industri rajutan dan kondisi sosial ekonomi...
Post on 16-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
53
BAB IV
INDUSTRI RAJUTAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT BINONG JATI KOTA BANDUNG
Pembahasan dalam bab ini terbagi menjadi beberapa sub judul, yaitu: (1)
Gambaran wilayah Binong Jati Kota Bandung dari tahun 1974 - 2004, yang dapat
dilihat dari keadaan geografis, jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat
pendidikan dan awal berdirinya industri rajutan Binong Jati. (2) Kondisi Industri
rajutan Binong Jati Kota Bandung tahun 1975 – 2004. (3) Peran masyarakat
dalam mengembangkan industri rajutan Binong Jati yang diwakili oleh upaya
pengusaha dan keterlibatan tenaga kerja dalam mengembangkan dan
meningkatkan industri rajutan (4) Konstribusi keberadaan industri rajutan Binong
Jati terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi masyarakat Binong Jati Kota Bandung.
Sub – sub judul tersebut kemudian akan dijabarkan lagi menjadi beberapa bagian
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh.
4.1. Gambaran Umum Wilayah Binong Jati Kota Bandung
4.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif
Pemaparan mengenai letak geografis dan administratif suatu wilayah
diperlukan untuk lebih memperjelas keadaan wilayah tersebut. Pemaparan kondisi
geografis dan administratif wilayah Binong Jati Kota Bandung diperlukan untuk
memahami kajian penelitian penulis mengenai perkembangan industri rajutan
Binong Jati di Kota Bandung tahun 1975-2004. Melalui kajian ini
54
dapat diketahui bagaimana keadaan geografis wilayah Binong Jati dapat
berpengaruh terhadap keberadaan industri rajutan tersebut.
Sebagai pengantar, penulis akan mengemukakan terlebih dahulu mengenai
kondisi administratif Kota Bandung. Kota Bandung secara geografis terletak di
tengah-tengah wilayah Jawa Barat dan merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat.
Kota Bandung terletak di koordinat 107° BT dan 6° 55’ LS. Luas Kota Bandung
adalah 16.767 hektare. Dengan demikian, Bandung mempunyai nilai strategis
dalam perekonomian dan perdagangan.
Secara Geografis Kota Bandung sebelah Utara berbatasan dengan
Kecamatan Cimenyan, Cilengkrang dan Kabupaten Bandung. Sebelah Selatan
Kota Bandung berbatasan dengan Kecamatan Dayeuh Kolot, Bojong Soang,
Kabupaten Bandung. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cileunyi,
Kabupaten Bandung. Dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cimahi
Selatan, Kabupaten Bandung. (BPS Kota Bandung: 2008, xvii) Untuk lebih
memperjelas kembali gambaran mengenai Kota Bandung dapat di lihat melalui
peta Kota Bandung berikut ini :
55
Gambar 4.1
� Keterangan : Warna pink pada peta menunjukan letak wilayah Kecamatan
Batununggal dimana industri rajutan Binong Jati berada.
Peta Wilayah Kota Bandung Sumber: www.yahoo/search_petaKotaBandung.com
Secara geografis Kecamatan Batununggal berbatasan dengan :
• Bagian Utara : Kecamatan Cibeunying Kidul
• Bagian Selatan : Kec. Bandung Kidul dan Kec. Buah Batu
• Bagian Timur : Kecamatan Kiaracondong
• Bagian Barat : Kecamatan Lengkong
Menurut administrasi pembangunan, wilayah Kecamatan Batununggal
termasuk ke dalam wilayah Cibeunying. Kecamatan Batununggal ini terbagi atas
8 (delapan) kelurahan yaitu terdiri dari Kelurahan Gumuruh, Kelurahan Binong,
Kelurahan Kebon Gedang, Kelurahan Maleer, Kelurahan Cibangkong, Kelurahan
Samoja, Kelurahan Kacapiring, Kelurahan Kebonwaru. Jumlah Rukun Warga
56
(RW) dan Rukun Tetangga (RT) dari 8 (delapan) Kelurahan tersebut adalah 83
RW dan 549 RT (Profil dan Tipologi Kecamatan Batununggal Kota Bandung,
hlm.4: 2008). Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 4.1 Kelurahan dan Jumlah RT / RW
No Kelurahan Jumlah RT Jumlah RW
1 Gumuruh 88 12
2 Binong 72 10
3 Maleer 71 12
4 Kebon Gedang 50 8
5 Kebon Waru 67 8
6 Kacapiring 49 9
7 Cibangkong 84 13
8 Samoja 68 11
JUMLAH 549 83
Sumber: Kantor Kecamatan Batununggal Kota Bandung (2008). Hlm,4
Usaha industri rajutan Binong jati tepatnya berada di wilayah Kelurahan
Binong. Kelurahan Binong sendiri memiliki 10 RW yang terbagi atas 72 RT.
Masyarakat yang berada di Kelurahan Binong tidak semuanya memiliki mata
pencaharian pada sektor usaha rajutan namun mayoritas masyarakatnya memiliki
pekerjaan pada usaha rajutan yaitu tepatnya berada di wilayah RW 04, RW 05 dan
RW 06. Dari ketiga RW yang mengembangkan usaha rajutan tersebut, di RW 04
yang paling banyak yakni sekitar 90 % warganya mengembangkan usaha rajutan.
57
Untuk RW 05 dan RW 06 masyarakatnya juga bekerja pada sektor usaha
rajutan, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan untuk RW yang lainnya yang
berada di Kelurahan Binong jumlah masyarakat yang bekerja pada usaha rajutan
jumlahnya lebih sedikit, rata – rata mereka hanya bekerja sebagai buruh di
industri rajutan yang berada di RW 04, RW 05 dan RW 06. Tetapi tidak menutup
kemungkinan jika suatu hari akan ada usaha rajutan di RW tersebut.
Selain di Kelurahan Binong ada beberapa Usaha Kecil Menengah (UKM) lain
yang menjadi sumber potensi dan pendapatan bagi masyarakat Kecamatan
Batununggal, seperti usaha makanan (rangginang) di Kelurahan Kacapiring, di
Kelurahan Cibangkong (Telur Gabus, Paru Goreng, dan Sale Pisang “Tunggal
Mekar”) serta usaha miniatur alat musik di Kelurahan Kebon Gedang. Semua
UKM yang terdapat di Kecamatan Batununggal menjadi potensi yang terus
dikembangkan sehingga menjadi ciri khas dari Kecamatan Batununggal
(Diperoleh dari Kantor Kecamatan Batununggal: Produk Usaha Menengah Kecil
dan Mikro Kecamatan Batununggal Bandung).
Untuk lebih jelasnya mengenai wilayah Kelurahan Binong dapat dilihat
dari peta wilayah Kelurahan Binong berikut.
58
Gambar 4.2
Peta Wilayah Kelurahan Binong
Keterangan : Lokasi Industri Rajutan Binong Jati RW.04, RW.05 dan RW.06 Sumber : diolah dari Kantor Kelurahan Binong: tanpa halaman
59
Melihat letak Kelurahan Binong yang dilalui oleh jalan raya, tentunya
memberikan kemudahan kepada masyarakat setempat terutama bagi
perkembangan sektor industri. Kondisi ini didukung pula oleh sarana transportasi
yang cukup memadai karena daerahnya yang mudah dijangkau dari berbagai arah.
Industri Rajutan Binong Jati Bandung berjarak 3 Km dari pusat Kota Bandung.
Untuk mencapai kawasan ini bisa menggunakan Jalan Tol Padalarang Cileunyi
dengan menggunakan Pintu Keluar Tol Buah Batu berjarak sekitar 2 Km. Gapura
selamat datang menjadi penunjuk arah di depan Jalan Binong Jati. Secara tidak
langsung, tersedianya sarana transportasi dan mudahnya akses jalan menuju
kawasan industri rajutan Binong jati berpengaruh terhadap perkembangan usaha
rajutan Binong Jati. Disamping itu, karena daerah ini dapat dilalui oleh angkutan
umum maka banyak orang mulai mengenal hasil rajutan Binong Jati dan dengan
mudah dapat memperolehnya.
Potensi lain yang ada di wilayah Binong Jati yang menyebabkan industri
rajutan ini semakin berkembang yaitu karena adanya faktor yang berasal dari
lingkungan sekitar atau faktor geografis sosialnya yang mendukung seperti
keberadaan pabrik garmen dan pabrik rajutan yang berada di wilayah
Kiaracondong dan Cicadas. Para buruh pabrik biasanya bekerja dengan sistem
kontrak, apabila kontrak kerja mereka telah habis dan tidak diperpanjang lagi
maka mereka akan mencari pekerjaan lain, biasanya para buruh ini kemudian
bekerja di industri rajutan Binong Jati sehingga industri rajutan ini semakin
berkembang dari tahun ke tahun.
60
Keterampilan yang dimiliki para buruh ini menjadi salah satu faktor
berkembangnya industri rajutan Binong Jati. Selain itu terdapat potensi lain yang
tidak kalah pentingnya yakni potensi dari masyarakatnya sendiri yang memiliki
jiwa kewirausahaan dan memiliki kreatifitas tinggi dalam mengembangkan usaha
rajutan. Mereka yang berhasil mengembangkan usaha rajutan ini akhirnya
menjadi pengusaha rajut yang sukses dan menjadikan wilayah Binong Jati
menjadi salah satu potensi usaha yang dapat mendatangkan keuntungan serta di
akui pula oleh pemerintah Kota Bandung sehingga menjadikan wilayah Binong
Jati menjadi sentra industri rajut yang ada di Kota Bandung.
4.1.2. Kondisi Demografis Wilayah Binong jati
4.1.2.1. Keadaan Penduduk Binong jati
Keadaan demografis merupakan salah satu faktor yang cukup penting
dalam perkembangan suatu wilayah. Keberadaan penduduk dalam jumlah yang
besar atau memiliki sumber daya manusia yang potensial di satu sisi dapat
menjadi sumber penggerak perekonomian dan pembangunan di suatu daerah.
Penduduk dapat dikatakan sebagai modal pembangunan apabila memiliki kualitas
yang unggul. Pada dasarnya penduduk yang terdapat di setiap daerah akan
berusaha untuk memajukan daerahnya sendiri. Namun di sisi lain hal ini dapat
menjadi beban apabila jumlah penduduk yang ada tidak sesuai dengan jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia. Akan tetapi banyaknya penduduk di wilayah
Binong Jati menjadi salah satu pendukung berkembangnya industri rajut karena
banyak dari mereka yang terlibat sebagai pekerja di industri rajut tersebut.
61
Berdasarkan data yang di peroleh dari BPS Kota Bandung dapat diketahui
perkembangan jumlah penduduk di Kelurahan Binong yang dapat dilihat dari
tabel berikut.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Binong tahun 1975-2004
Tahun Penduduk Jumlah
Jiwa Laki-laki Perempuan
1975 3.389 3.459 6.848
1980 4.023 4.036 8.059
1985 4.642 4.651 9.293
1990 5.277 5.270 10.547
1995 5.892 5.902 11.794
2000 6.477 6.472 12.949
2001 6.591 6.514 13.105
2002 6.715 6.623 13.338
2003 6.810 6.785 13.595
2004 6.908 6.929 13.837
Sumber: Diolah dari Data BPS Kota Bandung. (Kota Bandung dalam Angka Tahun 1975-2004). Bandung: Kantor Statistik Kota Bandung.
Dikarenakan keterbatasan sumber yang diperoleh penulis maka data yang
disajikan tidak berurutan berdasarkan tahun kajian, akan tetapi melihat data
penduduk pada tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di Kelurahan
Binong setiap tahunnya mengalami peningkatan serta penurunan. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya Fertilitas (kelahiran),
62
Mortalitas (kematian) ataupun faktor perpindahan yaitu pindah ke luar wilayah
Kelurahan Binong ataupun adanya pendatang yang baru menetap di Kelurahan
Binong. Jumlah penduduk setiap tahunnya sebagian besar termasuk ke dalam
angkatan kerja produktif sehingga dapat dijadikan sebagai modal sumber daya
manusia dalam proses pengembangan kelurahan Binong.
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penduduk di Kelurahan Binong pada
tahun 1975 lebih banyak jumlah penduduk perempuan daripada laki – laki
(jumlah penduduk perempuan 3.459 dan jumlah penduduk laki – laki 3.389). Hal
tersebut dikarenakan penduduk laki – laki usia produktif di Kelurahan Binong
tahun 1975 banyak yang mencari pekerjaan di tempat yang lain karena tahun 1975
usaha rajutan Binong jati baru mulai dirintas oleh beberapa orang penduduknya.
Walaupun awalnya jumlah laki – laki lebih sedikit namun setiap tahunnya jumlah
penduduk laki – laki terus bertambah. Mulai tahun 2000 jumlah penduduk laki –
laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan (jumlah penduduk laki –
laki – 6.477 dan jumlah penduduk perempuan 6.472), hal tersebut dikarenakan
industri rajut Binong Jati semakin berkembang dan yang menjadi pekerja rajut
mayoritas adalah laki – laki.
Jumlah penduduk di Kelurahan Binong setiap tahunnya hampir selalu
mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu
dampak semakin berkembangnya industri rajutan Binong Jati yang secara tidak
langsung mengakibatkan peningkatan kebutuhan jumlah tenaga kerja yang tidak
hanya berasal dari masyarakat Binong sendiri tapi pekerja dari tempat lain yang
kemudian menetap di wilayah Binong jati. Kota pada umumnya menjadi daya
63
tarik tersendiri bagi penduduk daerah untuk datang dan menetap di kota – kota
salah satunya datang ke wilayah Binong Jati Kota Bandung. Hal tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah masih banyaknya
masyarakat daerah yang menganggap bahwa kota banyak menyediakan lapangan
pekerjaan.
Ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan hal yang utama yang menjadi
salah satu faktor munculnya industri rajutan Binong jati. Sebagian masyarakat
Binong jati menggeluti usaha rajutan ini sebagai mata pencaharian yang utama.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat di wilayah Binong Jati berkembang
menjadi masyarakat industri. Menurut Soemardjan (Sajogjo, Sosiologi
Pembangunan 1985: 112) masyarakat industri merupakan salah satu bagian dari
masyarakat modern yang memiliki ciri dimana hubungan antara manusia
didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi atau dengan kata lain
dikemukakan bahwa masyarakat industri memiliki tingkat individualitas yang
tinggi. Selain itu, dikatakan pula bahwa hubungan yang terjalin dengan
masyarakat lain dilakukan secara terbuka dalam suasana saling mempengaruhi.
Ciri-ciri masyarakat industri tersebut tidak begitu nampak pada kondisi
masyarakat Binong Jati. Karena hubungan yang terjalin antar masyarakat Binong
jati merupakan hubungan yang harmonis. Hal tersebut dikarenakan industri yang
berkembang disana bukan merupakan industri besar yang mengutamakan
persaingan, tetapi industri kecil yang satu sama lainnya tetap saling mendukung.
Industri rajutan Binong jati ini masih menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
64
Kebutuhan akan penyediaan lapangan pekerjaan merupakan hal yang
harus lebih diperhatikan oleh Pemerintah. Hal ini pula yang menjadi salah satu
faktor munculnya industri rajut Binong Jati. Selain bekerja pada sektor industri,
masyarakat Binong Jati juga memiliki mata pencaharian di bidang lainnya,
diantaranya petani, pedagang, PNS, POLRI, ABRI dan lainnya. Untuk lebih
jelasnya, presentase mata pencaharian penduduk Binong Jati dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 Presentase Mata Pencaharian Masyarakat Binong Jati Tahun 1975-2004
Mata Pencaharian
Tahun Jumlah Penduduk Pertanian Industri & Pegawai Lainnya Produktif Perdagangan Negeri Keseluruhan (100%)
1975 58,25% 27,16% 10,05% 4,54% 4.108
1980 42,80% 38,54% 13,12% 5,54% 4.996
1985 38,41% 40,11% 13,07% 8,41% 5.389
1990 24,20% 50,71% 13,43% 3,66% 6.328
1995 20,14% 64,26% 10,79% 4,81% 7.312
2000 12,33% 71,20% 10,05% 6,42% 8.418
2004 8,14% 73,23% 11,21% 7,42% 8.717
Sumber: Diolah dari Data BPS Kota Bandung. Kota Bandung dalam Angka. Bandung: Kantor
Statistik Kota Bandung.
Berdasarkan data tabel di atas, mata pencaharian masyarakat Binong Jati
tahun 1975 sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian pada sektor
pertanian yakni sekitar 58,25%. Sedangkan masyarakat yang bermata pencaharian
65
pada sektor industri dan perdagangan maupun pegawai negeri dan lainnya lebih
rendah daripada sektor pertanian. Namun terjadi penurunan yang signifikan dari
presentase mata pencaharian antara sektor pertanian dengan industri dan
perdagangan di tahun 1975 – 1980 yakni menurun sampai 12,45%. Hal tersebut
dikarenakan saat itu industri rajutan Binong Jati mulai berkembang sehingga
banyak masyarakat Binong Jati yang beralih profesi dari sektor pertanian ke
sektor industri dan perdagangan serta ke sektor pekerjaan yang lainnya.
Penurunan presentase mata pencaharian kembali terjadi secara signifikan
antara tahun 1995 – 2000 yakni sebesar 7,81%. Hal tersebut juga dikarenakan
industri rajutan Binong Jati semakin berkembang pesat sehingga sektor pertanian
tidak lagi diminati oleh masyarakat Binong Jati. Faktor lainnya karena banyaknya
pabrik – pabrik yang tumbuh di sekitar wilayah Binong, ada yang menjadi buruh
pabrik, buruh pada usaha rajut ataupun berdagang produk – produk rajutan. Di
tahun 2004 presentase pekerjaan pada sektor industri dan perdagangan mencapai
73,23%. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar mata pencaharian masyarakat
Binong Jati bekerja pada sektor tersebut. Dengan adanya industri rajut Binong Jati
telah banyak memberikan konstribusi dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan
sekaligus perdagangan bagi masyarakat sekitar.
4.1.2.2 Perkembangan Tingkat Pendidikan Di Kelurahan Binong
Perkembangan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh jumlah penduduk
saja, tetapi juga oleh berbagai bidang yang lain, salah satunya adalah bidang
pendidikan. Tingkat pendidikan di suatu daerah sangat berpengaruh terhadap
66
perkembangan daerah tersebut, yang artinya kualitas sumber daya manusia dapat
berperan penting dalam menciptakan kemajuan dari daerah tersebut. Pengertian
pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Dengan pendidikan manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan sangat bermanfaat bagi manusia agar lebih mengetahui dan
memahami segala aspek kehidupan.
Kota Bandung merupakan kota yang memiliki perhatian dalam hal
peningkatan mutu pendidikan, usaha tersebut dapat dilihat dari adanya
peningkatan dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendidikan maupun
program – program yang dicanangkan oleh Pemerintah dalam hal peningkatan
kualitas pendidikan. Oleh karena itu, Pemerintah kota Bandung berupaya
meningkatkan pendidikan masyarakatnya dengan pembangunan sekolah secara
bertahap. Tersedianya sarana pendidikan tersebut secara langsung berpengaruh
terhadap tingkat pendidikan masyarakat. Berikut ini adalah jumlah siswa yang
berada di Kelurahan Binong lulusan SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi.
67
Tabel 4.4 Jumlah Anak – Anak Kelurahan Binong Lulusan SD, SLTP, SLTA
Dan Perguruan Tinggi
Tahun Jumlah
SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi
1990 419 424 451 -
1991 424 432 463 -
1992 439 445 475 -
1993 450 461 486 -
1994 463 476 492 -
1995 470 488 499 327
1996 485 497 507 -
1997 496 503 518 346
1998 502 511 523 351
1999 517 520 534 -
2000 529 532 543 372
2001 538 543 554 393
2002 547 556 565 416
2003 559 567 573 424
2004 566 576 581 438
• Ket: Data Jumlah Lulusan Perguruan Tinggi Tahun 1990 – 1994,1996 dan 1999 tidak ada. - Data tidak tersedia
Sumber : Diolah dari Data BPS Kota Bandung. (Kota Bandung Dalam Angka Tahun). Bandung: Kantor Statistik Kota Bandung dan data dari Kantor Kelurahan Binong.
68
Dikarenakan keterbatasan sumber yang diperoleh peneliti maka data yang
tersedia hanya dari tahun 1990. Akan tetapi melihat data yang diperoleh dalam
tabel 4.4 menunjukan bahwa dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 jumlah
anak – anak kelurahan Binong lulusan SD, SLTP, SLTA mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Walaupun data mengenai lulusan perguruan tinggi hanya tersedia
dari tahun 1995, 1997, 1998, 2000 sampai 2004 namun mengalami kenaikan juga
(tahun 1995 sebesar 327 lulusan dan tahun 2004 menjadi 438 lulusan). Hal
tersebut menunjukan bahwa minat masyarakat Binong Jati terhadap pendidikan
bisa dikatakan cukup. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor salah satunya
adalah kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Sebagian kecil masyarakat Binong Jati yang berprofesi sebagai Pegawai
Negeri, Pedagang, Polisi dan Pengusaha besar dan sedang saja yang mampu
menyekolahkan anak – anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Namun anak –
anak dari pengusaha rajutan yang telah menyelesaikan sekolahnya sampai
perguruan tinggi biasanya jarang yang bekerja pada industri rajutan, mereka
bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai swasta, pedagang bahkan membuka
wirausaha baru. Kondisi tersebut menyebabkan generasi muda sebagai penerus
bagi kelangsungan industri rajutan yang mampu mengenyam pendidikan tinggi
jarang memiliki keinginan untuk mengembangkan usaha rajutan milik orang tua
mereka. Memang tidak semua pemilik usaha rajutan yang menyekolahkan
anaknya sampai perguruan tinggi, mereka ini yang termasuk pengusaha rajutan
kelompok kecil. Mereka merasa cukup untuk menyekolahkan anaknya sampai
69
jenjang SLTA, mereka juga berfikir lebih baik anak – anaknya bekerja membantu
mngembangkan usaha rajutan daripada meneruskan sekolah.
Tingkat pendidikan yang mampu dilaksanakan oleh para pengusaha
tersebut berbeda dengan sebagian besar masyarakat Binong Jati yang hanya
menjadi pekerja pada industri rajutan. Anak – anak mereka rata – rata mengenyam
pendidikan lebih rendah karena faktor ekonomi. Sebenarnya para orang tua
memiliki keinginan agar anak – anaknya dapat menempuh pendidikan sampai
jenjang perguruan tinggi, hanya sayangnya secara ekonomi mereka menyadari
bahwa posisinya hanya sebagai pekerja rajut yang pendapatannya tidak cukup
untuk membiayai sekolah anaknya sampai perguruan tinggi. Namun ada sebagian
kecil masyarakat yang hanya bekerja sebagai buruh rajut tapi berusaha agar
anaknya dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi dan
berharap jika anaknya telah menjadi seorang sarjana maka akan mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat merubah tingkat ekonomi dan status
sosialnya.
Contohnya Jamjam adalah anak seorang buruh rajut namun orangtuanya
ingin agar ia dapat meneruskan sekolahnya sampai perguruan tinggi dengan
harapan dapat meningkatkan status sosial keluarganya, dan dengan kerja kerasnya
akhirnya sekarang Jamjam telah menjadi salah satu pengusaha rajut Binong Jati
yang sukses karena dengan ilmu yang ia dapat di perguruan tinggi maka ia dapat
mengembangkan dan mengelola usaha rajutan milik orangtuanya (wawancara
dengan Jamjam Hendarsah Tanggal 23 Oktober 2009).
70
Dalam aspek keagamaan dari Masyarakat Kelurahan Binong Kecamatan
Batununggal Bandung sebagian besar masyarakatnya beragama islam. Dari data
yang diperoleh peneliti di Kantor Kelurahan Binong Bandung, bahwa penganut
agama islam mencapai 89,99 %, sedangkan Kristen Katholik 2,24 %, Kristen
Protestan 4,40%, Hindu 0,14 %, Buddha 0,8 %, Kong Hu Chu 2,10 % dan sisanya
merupakan penganut kepercayaan (Bandung dalam Angka Tahun 2004).
4.1.3 Perkembangan Awal Industri Rajutan Binong Jati Bandung
Pada awalnya, industri rajutan Binong Jati adalah usaha yang dilakukan
secara turun temurun dan dimulai sejak tahun 1960-an oleh beberapa orang warga
setempat yang pernah bekerja di perusahaan pabrik rajutan milik pengusaha
Tionghoa di Kota Bandung. Berbekal keterampilan yang dimilikinya, mereka
mulai membuka usaha rajut kecil – kecilan sebagai industri Rumah Tangga. Yang
dikenal sebagai salah satu perintis usaha rajutan Binong Jati adalah Haji Memet.
Berdasarkan hasil wawancara, awalnya Haji Memet bekerja di pabrik rajutan
milik orang Tionghoa, namun seiring dengan ilmu serta pengalaman yang
diperoleh selama beliau bekerja disana, maka beliau berinisiatif untuk membuka
usaha rajutan sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk membuka usaha yang
mandiri sekaligus untuk membuka lapangan kerja bagi masyarakat disekitarnya.
Pada awal perkembangannya sekitar tahun 1960-an, industri rajut ini
dikelola secara kekeluargaan oleh semua anggota keluarga Haji Memet dan
perkembangannya belum terlalu luas. Namun usaha yang dikembangkan oleh Haji
Memet telah membawa perubahan bagi keluarganya dan masyarakat yang berada
71
di sekitar Binong Jati. Kemunculan industri ini menjadi alternative baru sebagai
sumber pekerjaan bagi masyarakat setempat, karena pada umumnya pada saat itu
perekonomian masyarakat Binong Jati sangat tergantung pada sektor pertanian.
Dalam mengembangkan usahanya, Haji Memet mempekerjakan saudara,
tetangga dan masyarakat sekitar yang memiliki minat untuk bergelut dalam usaha
rajutan. Tidak adanya kualifikasi dalam tingkat pendidikan dan hanya
mengandalkan keterampilan dalam membuat rajutan yang dapat diperoleh secara
otodidak atau secara turun temurun, menjadikan usaha rajutan ini semakin
diminati masyarakat setempat. Bahkan tak sedikit dari pekerja Haji Memet yang
pada akhirnya mampu untuk membuka usaha rajutan sendiri, dan mulai membuka
peluang pekerjaan bagi masyarakatnya. Hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh
Haji Memet, karena beliau berpikir dengan semakin terbukanya kesempatan kerja
bagi warga sekitar, maka akan terbantu pula sektor perekonomian masyarakat
sekitarnya yang pada saat itu bekerja sebagai petani yang hanya mengandalkan
pendapatan pada musim panen. Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa industri
rajut Binong Jati ini tidak lepas dari adanya keinginan Haji Memet untuk
memperbaiki kehidupan keluarga dan masyarakat sekitarnya (Hasil wawancara
dengan Haji Memet tanggal 23 Oktober 2009).
Pada perkembangan selanjutnya, usaha rajutan yang didirikan oleh Haji
Memet mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan modal
yang dimiliki dan jumlah pesanan yang semakin sedikit sehingga usaha tersebut
lama – kelamaan tidak dapat bertahan. Pada tahun 1960-an Penjualan produk
rajutan memang dikerjakan jika mendapatkan pesanan dan di jual secara eceran.
72
Setelah usaha rajut ini tidak mendapat pesanan lagi maka mereka kembali bekerja
sebagai petani, pedagang ataupun sebagai buruh pabrik.
Baru sekitar tahun 1975 usaha rajut di wilayah Binong Jati ini mulai ramai
kembali. Uju, Usman, Atang, Endang, Hendar yang memunculkan kembali usaha
rajutan tersebut. Awal mulainya, permintaan produksi rajutan milik pengusaha
Tionghoa tersebut terus meningkat, menjadikan pedagang Tionghoa meminta
mereka mengerjakan rajutan di rumah. Kebetulan mereka berlima sama – sama
bertempat tinggal di wilayah Binong Jati. Mereka dititipkan mesin rajut oleh
pengusaha Tionghoa yang makloon produk-produk rajut pada mereka. Setelah
mereka dibekali mesin rajut maka mereka wajib menyetorkan produksinya sesuai
dengan permintaan majikan.
Tingginya permintaan produk rajut tersebut membuat mereka
mendapatkan upah yang lebih banyak sehingga akhirnya bisa menabung dan
mampu membeli mesin sendiri. Sambil mengerjakan pesanan majikan, mereka
juga mengajak beberapa orang di Binong Jati untuk membuat baju rajutan setelah
sebelumnya di tahun 1960-an usaha rajut ini pernah ada di wilayah Binong Jati.
Sehingga di tahun 1975 semakin banyak lagi masyarakat setempat yang bekerja
membuat rajutan serta akhirnya dapat mengembangkan sendiri usaha ini secara
kecil – kecilan, hal tersebut ditunjang dengan ramainya aktivitas perdagangan di
Pasar Baru dan Pasar Tanah Abang Jakarta, sehingga permintaan produksi rajutan
semakin meningkat (wawancara dengan Uju 24 Juli 2009).
Perkembangan industri rajut Binong Jati telah berdampak pada penyerapan
tenaga kerja pada masyarakat di sekitar wilayah Binong sehingga jumlah
73
pengangguran di wilayah Binong menjadi berkurang. Namun perkembangan
industri kecil tidak terlepas dari adanya hambatan yang mengakibatkan industri
rajutan sempat mengalami penurunan. Dalam hal pemasaran, pada awalnya hasil
produksi yang dipasarkan hanya ke Pasar Baru Bandung dan pasar Tanah Abang
Jakarta saja karena permintaan pesanan tidak terlalu banyak. Dalam hal
permodalan, modal yang diperlukan untuk mengembangkan usaha rajutan lebih
banyak menggunakan tabungan sendiri. Pada awal pendirian usaha tersebut tidak
mendapat bantuan pinjaman dari bank karena dibutuhkan prosedur peminjaman
yang sulit dan bantuan dari pemerintah dirasakan kurang sehingga usaha ini pada
awal kemunculannya sulit berkembang.
Dengan adanya keinginan dan sikap optimis yang dimiliki oleh
masyarakatnya menjadikan industri rajutan ini lama kelamaan dapat terus
berkembang. Hal ini tidak terlepas dari jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh
masyarakat Binong Jati. Barang rajutan yang dihasilkan juga semakin beragam,
yang awalnya hanya memproduksi baju hangat dan pakaian rajut saja menjadi
bermacam – macam model pakaian. Hal tersebut yang menjadikan industri rajut
Binong Jati menjadi salah satu sentra industri yang cukup potensial dan mampu
bersaing dengan industri kecil lainnya.
4.2 Kondisi Industri Rajutan Binong Jati Tahun 1975-2004
Keberadaan suatu industri sangat besar pengaruhnya terhadap
perekonomian di suatu daerah, dalam hal ini bahwa keberadaan industri di suatu
wilayah dapat membantu pemerintah dalam hal pendapatan dan penyediaan
74
lapangan pekerjaan. Apalagi saat ini tingkat pengangguran di kota – kota besar
cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri berkembangnya suatu industri tidak terlepas
dari campur tangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam
kegiatan industri.
Sub bab ini merupakan hasil analisis mengenai kondisi industri rajutan
Binong Jati pada kurun waktu 1975 – 2004. Pada kurun waktu tersebut industri
rajutan Binong jati mengalami peningkatan dalam hal jumlah unit usaha serta
jumlah pekerjanya. Peningkatan tersebut dikarenakan diterapkannya teknologi
yang bersifat padat karya yang dapat menghemat modal, banyak menyerap tenaga
kerja serta mampu meningkatkan kualitas produksi sehingga permintaan jumlah
produksi semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan industri rajutan
dianggap mampu untuk dijadikan sumber mata pencaharian yang berguna untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari (wawancara dengan Jamjam
Hendarsyah Tanggal 25 Juli 2009).
Adapun jumlah unit usaha pada industri rajutan Binong Jati Bandung
dapat di lihat dalam tabel di bawah ini.
75
Tabel 4.5 Jumlah Industri Rajutan dan Tenaga Kerja di Industr i Rajut Binong Jati
Tahun 1975 – 2004
Klasifikasi Usaha
Tahun Jumlah Jumlah Industri Kecil Industri Kecil Industr i Kecil Unit Tenaga Besar Menengah Kecil
Industri Kerja Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
(UI) (TK) UI TK UI TK UI TK
*1975 5 23 - - - - 5 23
*1980 23 147 - - 5 53 18 94
*1981 32 213 - - 9 97 23 116
*1982 44 285 - - 14 136 30 149
*1985 75 530 5 85 21 198 49 247
1990 123 841 12 185 32 298 79 358
1995 187 1.393 21 355 46 421 120 617
1999 225 1.745 34 519 57 553 134 673
2000 178 1.412 29 455 52 468 97 489
2001 189 1.479 32 476 56 505 101 498
2002 218 1.631 38 543 64 525 116 563
2004 250 2.053 47 689 79 752 124 612 Sumber : *Diolah dari hasil wawancara dengan Bapak Uju, Bapak Usman Tanggal 23 Oktober 2009 dan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan perdagangan Kota Bandung. Ket : UI (Unit Industri) TK (Tenaga Kerja)
Berdasarkan tabel di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Industri Rajutan
Binong Jati diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok industri kecil yaitu industri
kecil – besar, industri kecil – menengah, dan industri kecil – kecil. Klasifikasi
tersebut berdasarkan kriteria jumlah pekerja dan modal usaha. Menurut BPS
jumlah pekerja pada Industri Kecil antara 5 – 19 pekerja. Sedangkan menurut
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1995, kriteria usaha kecil dapat dilihat dari
76
segi keuangan dan modal yang dimiliki adalah “ Memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), atau
memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.1 milliar pertahun”. Mengacu pada
pemaparan menurut BPS dan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1995 tersebut,
penulis mengklasifikasikan industri kecil dengan jumlah pekerja antara 4 – 7,
industri menengah dengan jumlah pekerja antara 7 – 12 dan industri besar dengan
jumlah pekerja antara 12 – 19 orang.
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun ke
tahun jumlah industri rajutan di Binong Jati mengalami peningkatan dan
penurunan. Terkait dengan peningkatan terjadi pada tahun 1990 – 1995 jumlah
tenaga kerja mengalami peningkatan yakni 841 menjadi 1.393 pekerja. Hal
tersebut dipengaruhi oleh perkembangn industri rajut Binong Jati yang mengalami
kemajuan yang dapat dilihat dari jumlah produksi yang dihasilkan dan pemasaran
yang semakin luas. Peningkatan unit usaha rajutan pun mengalami kemajuan pada
tahun 2002 – 2004 yaitu dari 218 menjadi 250 unit usaha. Peningkatan tersebut
tidak terlepas dari berbagai faktor baik dari kondisi perekonomian Indonesia
maupun kreatifitas dan inovasi dari para pengusaha rajutan untuk tetap
mempertahankan usahanya seperti membuat desain baru yang mengikuti selera
konsumen.
Penurunan pada industri rajut Binong Jati sempat terjadi pada tahun 1999 -
2000, yaitu dari 225 unit industri rajutan menjadi 178 unit industri. Hal ini
dikarenakan pada tahun 1999 terjadi kenaikan harga bahan baku yakni benang
rajut menjadi mahal sedangkan daya beli konsumen menurun. Ditambah lagi
77
masih ada beberapa pengusaha yang kesulitan dalam memperoleh modal. Selain
itu juga tingginya persaingan dengan produk rajut yang berasal dari pabrik dengan
penjualan ekspor. Hal - hal tersebut mengakibatkan sebagian pengusaha terpaksa
gulung tikar. Namun di tahun 2000 - 2001 unit usaha meningkat kembali yang di
ikuti oleh jumlah pekerja yang semakin bertambah yakni dari 1.412 menjadi
1.479. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan industri rajutan
semakin baik.
Untuk lebih mengetahui secara jelas mengenai kondisi industri rajutan
Binong Jati, maka peneliti akan menjabarkan dalam sub bab berikut yang akan
dibagi berdasarkan faktor – faktor yang berperan dalam perkembangan industri
rajutan Binong Jati ini yakni permodalan, tenaga kerja, produksi dan pemasaran.
4.2.1. Permodalan
Masalah permodalan merupakan faktor yang penting dalam terbentuknya
suatu industri, sama halnya dengan industri rajutan Binong Jati. Tinggi rendahnya
kapasitas produksi yang dihasilkan tergantung pada jumlah modal yang dimiliki
pengusaha serta dipengaruhi oleh pesanan yang datang dari konsumen. Kapasitas
produksi yang tinggi berarti memerlukan bahan baku dan ongkos produksi yang
lebih banyak. Menjadikan jumlah modal yang diperlukan juga lebih banyak lagi.
Modal yang diperlukan dalam kegiatan produksi di usaha rajutan Binong
Jati dibagi ke dalam 2 jenis, yaitu (1) Modal lancar, yaitu modal yang diperlukan
dalam kegiatan usaha sehari-hari. Modal ini diantaranya dipergunakan untuk
pembelian bahan baku benang rajut dan untuk gaji para pekerja. (2) Modal tetap,
78
yaitu modal yang dipakai dalam bentuk peralatan atau perlengkapan yang akan
dipergunakan dalam usaha rajutan. Alat – alat tersebut antara lain: (1) mesin rajut
datar/flatknitting (2) mesin linking (3) mesin obras (4) setrika steam uap
(wawancara dengan Suhaya Wondo Tanggal 23 Oktober 2009).
Peralatan mesin rajut datar/flatknitting dan mesin linking merupakan
peralatan utama yang diperlukan dalam proses produksi rajutan. Barang – barang
tersebut merupakan modal yang penting dalam industri rajutan. Pada dasarnya
semua peralatan tersebut dimiliki oleh setiap pengusaha industri rajutan. Selain
modal berupa peralatan produksi, modal yang diperlukan dalam usaha rajutan ini
adalah modal dalam bentuk uang yang dipergunakan untuk membeli bahan baku
serta dipergunakan untuk gaji para pegawai.
Modal dalam bentuk uang dipergunakan untuk menjalankan usaha seperti
membeli peralatan produksi, membeli bahan baku, membayar upah para pekerja.
Para pengrajin yang baru mulai merintis usaha rajutan menggunakan modal hasil
tabungan sendiri atau pinjaman dari keluarga. Penggunaan modal pinjaman dari
bank jarang dilakukan karena pada umumnya ketika pertama kali mendirikan
usaha rajutan, mereka tidak mampu untuk memenuhi persyaratan yang diajukan
oleh pihak bank (wawancara dengan Uju, 23 Oktober 2009). Sedangkan para
pengusaha yang ingin lebih meningkatkan usahanya dan memerlukan tambahan
modal maka biasanya modal tersebut didapatkan dari tabungannya sendiri yang
diperoleh dari keuntungan usaha ataupun hasil pinjaman dari kelompok
pengusaha rajut yang telah berhasil memajukan usahanya. Bantuan dari pihak
Pemerintah bukan berupa modal dalam bentuk uang namun sebatas mengadakan
79
penyuluhan dan pelatihan bagi para pekerja. Kelangsungan produksi di Binong
Jati sangat dipengaruhi oleh jiwa kewirausahaan para pengusahanya sehingga
mereka dapat mencari alternatif tambahan modal tanpa tergantung dari pihak
Pemerintah ataupun pihak Bank.
Pengklasifikasian jumlah modal para pemilik usaha rajutan Binong Jati
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu kelompok besar dengan jumlah modal
awal sekitar Rp. 21.000.000 – Rp. 30.000.000 kelompok menengah dengan
jumlah modal awalnya sekitar Rp. 11.000.000 – Rp. 20.000.000 dan kelompok
kecil dengan modal awalnya sekitar Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000 (wawancara
dengan Jamjam Hendarsah tanggal 14 November 2009. Di bawah ini penulis akan
menyajikan perhitungan biaya produksi pada industri rajut Binong Jati yang akan
dipaparkan berdasarkan klasifikasi modal usaha. Untuk lebih jelasnya terdapat
dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.6 Perhitungan Biaya Produksi Industri Rajutan Binong Jati Bandung
Tahun 2002 - 2004
Nama Biaya Pemilik Klasifikasi Biaya Total Usaha Usaha Bahan Baku Upah Pekerja + Produksi Rajutan (Rp) Uang Makan (Rp) (Rp)
Suhaya Kelompok 20.000.000 - 12.040.000 - 15.240.000 32.040.000 -Wondo Besar 28.000.000 43.240.000 Jamjam Kelompok 12.000.000 - 7.020.000 – 9.520.000 19.020.000 - Hendarsah Menengah 19.000.000 28.520.000 Endang Kelompok 4.000.000 - 4.300.000 – 6.020.000 8.300.000 - Suhandar Kecil 11.000.000 17.020.000 Sumber : Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Suhaya Wondo, jamjam Hendarsah, dan
Endang Suhandar Tanggal 14 November 2009.
80
Berdasarkan data tabel di atas diketahui bahwa modal uang yang harus
dimiliki oleh para pemilik usaha rajutan adalah untuk membeli bahan baku,
pengeluaran upah dan uang makan pekerja. Modal untuk membeli bahan baku
tidak dikeluarkan dalam setiap proses produksi, tapi setiap satu bulan sekali.
Jumlah pekerja pada setiap kelompok besar biasanya berjumlah 12 – 19 orang,
kelompok menengah 7 – 12 orang dan kelompok kecil 4 – 7 orang. Para pekerja
setiap harinya bekerja dengan jenis pekerjaan masing – masing. Jika dilihat
berdasarkan biaya untuk bahan baku, upah pekerja dan makan maka usaha besar
akan mengeluarkan biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan usaha
menengah dan usaha kecil. Hal tersebut dikarenakan modal awal yang dikeluarkan
oleh kelompok besar menggunakan modal yang besar pula sehingga dapat
memproduksi barang rajutan dalam jumlah yang lebih banyak.
Jumlah modal yang dikeluarkan oleh kelompok besar jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kecil menengah dan kelompok kecil menjadikan
keuntungan yang diperoleh juga akan lebih banyak. Dalam hal ini keuntungan
yang diperoleh pengusaha rajutan setiap produksi berdasarkan kapasitas jumlah
produksi yang dibuat. Perhitungan keuntungan pada industri rajutan Binong jati di
tahun 2002 - 2004 akan dijabarkan dalam tabel di bawah ini.
81
Tabel 4.7 Perhitungan Keuntungan Yang Diperoleh Pemilik Usaha Rajutan
Binong Jati Per Bulan Tahun 2002 - 2004
Nama Klasifikasi Produksi Total Keuntungan / Pemilik Usaha Pendapatan Pendapatan Usaha Biaya Jumlah (Rp) Bersih Rajutan Produksi Produksi (Rp) (Rp) Suhaya Kelompok 32.040.000 - 160 – 220 44.000.000 - 11.960.000 - Wondo Besar 43.240.000 lusin 60.500.000 17.260.000 Jamjam Kelompok 19.020.000 - 88 – 140 24.250.000 - 5.180.000 - Hendarsah Menengah 28.520.000 lusin 38.500.000 9.980.000 Endang Kelompok 8.300.000 - 40 - 80 11.000.000 - 2.700.000 - Suhandar Kecil 17.020.000 lusin 22.000.000 3.980.000 Sumber : Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suhaya wondo, jamjam Hendarasah
dan Endang Suhandar 14 November 2009. Berdasarkan perhitungan pada tabel di atas, usaha rajutan Suhaya Wondo
selama 1 bulan menghasilkan omset antara Rp. 44.000.000 sampai Rp. 60.500.000
dengan jumlah antara produksi 160 - 220 lusin. Kapasitas produksi yang
dihasilkan sesuai dengan permintaan dan penghasilan bersih yang diperolehnya
antara Rp. 11.960.000 sampai Rp. 17.260.000 per bulannya. Keuntungan yang
diperoleh Wondo jauh lebih besar dibandingkan dengan jamjam maupun Endang.
Hal tersebut dikarenakan kapasitas jumlah produksi, jumlah modal untuk
pembelian bahan baku dan upah serta barang produksi yang dihasilkan juga jauh
lebih besar. Keuntungan yang di peroleh Bapak Wondo termasuk besar karena
wilayah pemasaran produk rajut Binong jati juga luas hampir di seluruh pasar
tradisional yang ada di Indonesia. Gambaran perhitungan di atas termasuk ke
dalam kelompok usaha besar (Bapak Wondo).
82
Usaha rajutan milik Jamjam Hendarsah termasuk kedalam kelompok
usaha rajutan menengah. Selama 1 bulan menghasilkan omset antara Rp.
24.200.000 - Rp. 38.500.000 dengan jumlah produksi antara 88 lusin - 140 lusin.
Kapasitas produksi yang dihasilkan sesuai dengan permintaan dan penghasilan
bersih yang diperolehnya sejumlah Rp. 5.180.000 - Rp. 9.980.000 per bulannya.
Penghasilan bersih yang didapatkan oleh Jamjam akan digunakan lagi untuk
modal usaha agar usaha yang dimilikinya bisa lebih berkembang.
Yang terakhir adalah usaha rajutan yang dimiliki oleh Endang Suhandar
yang termasuk pada usaha kelompok rajutan kecil karena modal yang ia gunakan
juga relatif lebih kecil. Omset yang diperoleh Endang Suhandar setiap bulannya
rata – rata antara Rp. 11.000.000 - Rp.22.000.000 dengan jumlah produksi yang
dihasilkan antara 40 - 80 lusin. Keuntungan bersih yang dimiliki oleh Endang
antara Rp. 2.700.000 - Rp. 3.980.000 perbulan. Keuntungan tersebut oleh Endang
di gunakan untuk keperluan menambah modal serta digunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya sehari – hari.
Berdasarkan data dalam tabel 4.7 biaya produksi ketiga usaha rajutan
tersebut akan berbeda karena sesuai dengan kapasitas jumlah produksi dan modal
bahan baku yang diperlukan yang mengakibatkan perbedaan dalam keuntungan
yang didapatkan. Keuntungan yang di peroleh para pengusaha rajutan termasuk
besar karena wilayah pemasaran produk rajut Binong jati juga luas hampir di
seluruh pasar tradisional yang ada di Indonesia. Pada umumnya keuntungan yang
diperoleh pengusaha rajutan akan langsung diterima karena sistem penjualan yang
dilakukan menggunakan sistem penjualan terputus. Maksudnya barang rajutan
83
yang dipesan akan langsung di bayarkan sesuai jumlah pesanan. Resiko barang
yang dipesan tidak habis terjual tidak ditanggung oleh pemilik usaha rajut. Hal
tersebut mendatangkan keuntungan bagi pengusaha rajut Binong Jati (wawancara
dengan Jamjam Hendarsah Tanggal 14 November 2009).
4.2.2. Tenaga Kerja
Adanya industri rajutan Binong jati telah membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar. Kemunculan industri rajutan Binong Jati memerlukan juga
tenaga kerja yang banyak serta terampil dalam membuat rajutan. Tenaga kerja
merupakan sumber daya utama dalam sebuah produksi. Industri rajutan Binong
Jati merupakan industri yang bersifat padat karya karena industri ini mampu
menyerap banyak tenaga kerja.
Tenaga kerja yang bekerja pada industri rajut Binong Jati pada mulanya
berasal dari wilayah Binong Jati sendiri. Namun, sejalan dengan berkembangnya
industri rajutan tersebut maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan
dan akibatnya banyak tenaga kerja yang datang tidak hanya dari wilayah Binong
Jati saja, tetapi juga dari kelurahan sekitar serta daerah luar seperti Cileunyi,
Padalarang bahkan dari luar Kota Bandung seperti Tasikmalaya, Garut dan
Sumedang (wawancara dengan Endang Tanggal 23 Oktober 2009). Pembagian
kerja pada industri rajutan Binong Jati disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang
dilakukan saat produksi seperti merajut menjadi kain menggunakan mesin rajut
flatknitting, menyambung kain dengan mesin linking, menjahit kancing,
84
membersihkan benang – benang dari baju yang telah selesai dijahit, mengobras,
menyetrika dengan setrika steam uap sampai packing hasil produksi.
Secara umum proses produksi seperti merajut dengan menggunakan mesin
flatknitting, menyambung kain dengan mesin linking dan menyetrika baju rajut
dengan setrika steam uap, dilakukan oleh tenaga kerja laki – laki karena lebih
membutuhkan tenaga yang lebih besar dan keahlian yang dimiliki sedangkan
pekerjaan menjahit kancing, membersihkan benang – benang dari baju yang telah
selesai dijahit, mengobras, Quality Control (QC) dan packing dilakukan oleh
pekerja perempuan karena tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga. Jadi setiap
jenis pekerjaan dari setiap proses produksi rajutan dilakukan oleh tenaga kerja
yang berbeda yang sesuai dengan keahliannya masing – masing.
Para pekerja pada industri rajutan Binong Jati mayoritas adalah laki-laki
dengan kisaran usia antara 16 sampai 40 tahun, sedangkan pekerja perempuan
usia antara 15 sampai 40 tahun dan mayoritas pekerjanya adalah lulusan SLTP
dan SLTA. Bekerja di industri rajut Binong jati tidak memerlukan kualifikasi
pendidikan tertentu, tetapi cukup dengan memiliki keterampilan membuat rajutan,
biasanya keterampilan tersebut sudah diperoleh dari orang tua mereka yang
bekerja sebagai pekerja rajut ataupun dari pengalaman mereka selama bekerja.
Jumlah jam kerja sekitar 8 jam setiap harinya, bekerja dari hari senin sampai sabtu
mulai dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Waktu istirahat sekitar 1 jam yaitu dari
jam 12.00 WIB sampai 13.00 WIB. Namun bila banyak pesanan maka jam kerja
akan ditambah (lembur), Waktu lembur tidak ditentukan sampai jam berapa yang
pasti sampai mencukupi jumlah pesanan. Biasanya pekerja laki – laki yang sering
85
lembur untuk mengerjakan jumlah pesanan (wawancara dengan Suhaya Wondo,
Tanggal 23 Oktober 2009).
Sistem kerja yang diterapkan di industri rajut Binong Jati adalah sistem
kerja borongan dengan sistem upah sesuai dengan jumlah barang yang dapat
dihasilkan oleh pekerja (sistem upah kesatuan hasil), yang dimaksud dengan
sistem upah ini adalah jumlah upah yang akan diterima pekerja tergantung berapa
banyak pekerja tersebut menghasilkan produksi rajutan (wawancara dengan
Suhaya Wondo Tanggal 23 Oktober 2009). Dengan kata lain sistem kerja dan
sistem pembayaran pada industri rajutan Binong jati Bandung tidak terikat karena
pekerja dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya.
Mengenai sistem pembayaran upah seperti yang telah dijelaskan diatas
bahwa upah yang diterima pekerja erat kaitannya dengan kemampuan pekerja
tersebut dalam menyelesaikan jenis pekerjaannya. Sistem pembayaran upah pada
industri rajutan Binong Jati adalah per minggu. Upah biasanya dibayarkan pada
pekerja setiap hari sabtu. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai upah tenaga
kerja dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.8 Upah Per Minggu Tenaga Kerja Industri Rajutan Binong jati
Kota Bandung Tahun 1975 - 2004
Pekerjaan *1975
*1980 *1985 *1990 *1995 *2000 *2002 *2004
Merajut 7.000 15.000 40.000 120.000 170.000 200.000 230.000 250.000 Linking 7.000 15.000 40.000 120.000 170.000 200.000 230.000 250.000
Menjahit - 8000 15.000 80.000 100.000 150.000 165.000 180.000 Obras - - 12.000 50.000 100.000 170.000 180.000 200.000 Setrika - 8000 15.000 80.000 130.000 180.000 210.000 225.000
QC - 5000 10.000 30.000 50.000 120.000 140.000 150.000 Packing - - - 30.000 50.000 120.000 140.000 150.000
Sumber : diolah dari hasil wawancara dengan Bapak Suhaya Wondo tanggal 23 Oktober 2009 Ket : dalam jumlah Rp.
86
Berdasarkan data dari tabel 4.8 di atas diketahui bahwa pada tahun 1975
jenis pekerjaan pada usaha rajutan Binong Jati hanya ada pekerja rajut dan linking
saja sehingga upahnya pun pada tahun 1975 hanya untuk pekerjaan merajut dan
linking. Hal tersebut dikarenakan tahun 1975 usaha rajut Binong Jati mulai
merintis dan ada sekitar 5 unit usaha dengan jumlah pekerja 23 orang yang
menjadikan satu orang pekerja akan mengerjakan pekerjaan yang lain seperti
contohnya Endang pada tahun 1975 ia bekerja sebagai buruh rajut tapi ia juga
sekaligus mengerjakan pekerjaan jahit atau obras (wawancara dengan Endang
tanggal 24 Oktober 2009).
Tahun 1980 jenis pekerjaan mulai beragam sehingga terdapat upah
merajut, linking, jahit, setrika dan QC. Mulai tahun 1985 pekerjaan lebih beragam
hal tersebut dikarenakan barang rajut yang dihasilkan pun mulai bertambah
banyak macamnya sehingga setiap pekerja akan mengerjakan pekerjaan sesuai
bagiannya. Di tahun 1990 usaha rajut Binong Jati mulai berkembang lebih luas
sehingga setiap jenis pekerjaan dikerjakan oleh pekerja yang berbeda jenis
pekerjaannya. Namun hal tersebut hanya terjadi pada usaha rajut yang telah
berkembang pesat, pada usaha rajut yang baru dirintis dan hanya memiliki pekerja
kurang dari 5 orang menjadikan setiap pekerja akan mengerjakan jenis pekerjaan
yang lainnya secara bersamaan.
Mengambil contoh pada tahun 2004 upah yang di terima setiap pekerja di
lihat dari hasil pekerjaannya,. Untuk pekerjaan rajut dan linking masing – masing
memperoleh upah Rp. 250.000 selama 1 minggu. Untuk setiap lusinnya dihargai
Rp. 50.000, berarti pekerja tersebut telah mengerjakan pekerjaannya sebanyak 5
87
lusin. Begitu pula pekerjaan lainnya seperti menjahit, obras, setrika, QC dan
Packing, upah yang di terima masing – masing pekerja merupakan hasil
pekerjaannya sebanyak 5 lusin dalam 1 minggu. Namun jika pekerja tersebut
mampu mengerjakan lebih dari 5 lusin perminggunya maka upah yang di
terimanya lebih besar lagi.
Upah perminggu yang diterima para pekerja di industri rajutan Binong Jati
rata – rata mengalami kenaikan setiap tahunnya. Untuk pekerjaan merajut dan
linking, obras dan jahit serta QC dan packing, upah yang diterima sama
perminggunya, hal tersebut dikarenakan tingkat kesulitan dalam bekerja hampir
sama. Pekerja rajut dan linking memperoleh upah yang lebih tinggi dibandingkan
pekerjaan yang lainnya karena kedua jenis pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan yang utama dalam proses produksi rajutan serta pekerja rajut dan
linking biasanya adalah pekerja yang telah memiliki banyak pengalaman serta
telah bekerja dalam waktu yang lama di industri rajutan tersebut. Sedangkan
pekerjaan QC dan packing memperoleh upah yang paling sedikit karena pekerjaan
tersebut tidak membutuhkan keahlian khusus dan jenis pekerjaannya dapat
dikatakan mudah dilakukan.
Jumlah upah yang diterima oleh pekerja akan berbeda sesuai dengan jenis
pekerjaannya. Pembagian jenis pekerjaan pada setiap tenaga kerja berkaitan
dengan keahlian yang dimiliki karena hal tersebut akan menentukan jumlah
pendapatan yang diperolehnya. Pendapatannya tersebut berkaitan juga dengan
tingkat keterampilan yang dimiliki oleh pekerja seperti pekerjaan merajut, linking,
setrika steam uap pada umumnya akan memperoleh upah yang lebih besar karena
88
dalam proses ini membutuhkan keterampilan agar barang yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik. Berbeda dengan pekerjaan mengobras, menjahit
kancing, membersihkan benang, packing serta menjadi seorang Quality Control
(QC) upah yang diterima akan lebih kecil karena pekerjaan terebut tidak
memerlukan keterampilan khusus. Pada umumnya bagian finishing yang meliputi
Quality Control (QC) serta packing dilakukan oleh pekerja perempuan, banyaknya
adalah ibu – ibu rumah tangga yang mengisi waktu luangnya dengan bekerja di
industri rajutan Binong Jati. Misalnya saja Sona, yang diwawancarai oleh peneliti
mengatakan bahwa pekerjaan di bagian finishing tidak memerlukan keahlian
khusus, serta upah yang diterima dapat dipergunakan untuk membantu suami
mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari – hari (wawancara dengan Sona
Tanggal 23 Oktober 2009).
4.2.3. Proses Produksi
Faktor yang mendukung kemajuan suatu usaha selain fakor modal dan
tenaga kerja adalah proses produksi. Proses produksi pada industri rajutan Binong
Jati terbagi dalam beberapa tahapan yakni sebagai berikut :
1. Merajut dari bahan baku benang (benang Arcrylic, Nylon, Spandex, Wol)
hingga menjadi kain menggunakan mesin rajut datar/mesin rajut
flattknitting. Pada proses ini bahan baku benang yang berbentuk gulungan
akan dipasangkan pada mesin rajut flattknitting selanjutnya pegangan pada
mesin ditarik sehingga nantinya akan menghasilkan kain rajutan. Jenis
kain yang dihasilkan tergantung dari bahan baku benang. Kombinasi
89
warna kain rajut tergantung dari warna benang, untuk setiap pembuatan
kain rajut dibuat dari berbagai macam warna. Pada proses ini tidak setiap
pekerja dapat melakukannya. Merajut dengan mesin rajut flattknitting
dikerjakan oleh pekerja yang memiliki skill serta pengalaman
menggunakan mesin ini. Hal tersebut diperlukan agar hasil barang yang
didapatkan berkualitas baik. Upah yang diterima oleh pekerja yang
menggunakan mesin rajut ini akan lebih banyak karena pekerjaan ini
memerlukan ketelitian dan kerapihan.
2. Proses linking atau menyambungkan kain rajut. Pada proses ini kain – kain
rajutan akan disambungkan sehingga menjadi barang yang diinginkan
seperti rompi, cardigan, bolero, baju hangat, pakaian muslim, pakaian
biasa pria - wanita dan anak - anak, kerudung, syal, sarung tangan dll.
Mesin linking ini dimiliki oleh setiap pengusaha rajutan dan jumlah mesin
linking ini sama banyaknya dengan mesin rajut flattknitting karena setelah
benang rajut diubah jadi kain maka akan disambungkan oleh mesin
linking. Keterampilan pekerja linking akan menentukan kerapihan barang
hasil produksi, maka dari itu pekerja linking melakukan pekerjaan ini
dengan ketelitian. Pada proses linking ini juga membutuhkan skill dan
keterampilan yang biasanya didapatkan pekerja dari hasil pengalamannya.
3. Menjahit merupakan proses ketiga dalam pembuatan barang rajutan. Tidak
terlalu sulit pada tahapan produksi ini biasanya pekerja yang melakukan
pekerjaan ini adalah pekerja perempuan. Selain menjahit kancing, para
pekerja juga harus membersihkan sisa – sisa benang hasil linking dengan
90
menggunakan gunting. Hal ini diperlukan agar hasil produksi rapi dan
berkualitas. Yang tidak kalah pentingnya pada tahapan ini juga ada proses
pemberian label merk sesuai dengan nama usahanya, namun yang
memiliki merk pada produksi hanya para pengusaha yang diklasifikasikan
pengusaha kelompok besar.
4. Mengobras. Pada tahapan ini barang hasil produksi yang telah selesai akan
diobras terlebih dahulu agar hasil produksi semakin rapi dan maksimal.
Barang yang diobras akan disesuaikan warna benang obrasannya dengan
barang produksi.
5. Setrika steam uap. Setelah barang produksi selesai diobras maka dilakukan
proses setrika dengan steam uap yang sudah menggunakan LPG. Proses
ini juga merupakan proses penting karena kerapihan barang akan
mempengaruhi kualitas barang yang akan dipasarkan. Proses setrika steam
uap ini banyak dilakukan oleh pekerja laki – laki karena menyetrika
dengan setrika steam uap membutuhkan tenaga yang lebih besar untuk
mengangkat setrikaan dan disambungkan dengan kabel sehingga
memerlukan kehati – hatian dalam pekerjaan ini.
6. Quality Control (QC) dan packing. Proses ini merupakan tahapan terakhir
dari proses produksi rajutan sebelum barang dipasarkan. Pada proses QC
barang yang telah jadi diperiksa dulu (disortir) apakah layak untuk
dipasarkan atau tidak. Jika barang tersebut dibawah kualitas maka akan
dipisahkan dan nantinya barang tersebut akan dijual eceran dengan harga
yang lebih murah. Namun bila barang tersebut layak untuk dipasarkan
91
maka akan dilakukan proses packing/proses pengepakan barang. Proses
packing ini dilakukan perlusin setelah sebelumnya barang produksi rajutan
dimasukan ke dalam plastik. Apabila akan dijual eceran maka barangnya
akan dipisahkan dan tidak dimasukan kedalam karung ukuran besar untuk
kemudian siap dipasarkan. Pada tahapan ini dilakukan oleh pekerja
perempuan atau ibu – ibu rumah tangga karena pada tahapan ini tidak sulit
untuk mengerjakannya hanya perlu menghitung perlusin saja.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses
produksi pada industri rajutan Binong Jati Bandung harus melalui beberapa
tahapan. Proses produksi rajutan ini dikerjakan oleh pekerja yang sesuai dengan
kemampuannya masing – masing karena setiap tahapan memiliki kesulitan. Untuk
proses merajut dengan mesin rajut datar/flatknitting dan menyambungkan kain
rajut dalam proses linking diperlukan keterampilan dan skill serta pengalaman
membuat rajutan karena dalam proses tersebut menentukan kualitas barang yang
dihasilkan yang nantinya akan mempengaruhi jumlah pesanan dari konsumen.
Kualitas sumber daya manusia juga ikut menentukan kualitas seseorang dalam hal
ini adalah pekerja rajut Binong Jati akan memberikan pengaruh pada pembagian
tugas kerja dalam proses produksi pada industri rajutan Binong Jati. Hal tersebut
akan berkaitan dengan upah yang diterima pekerja yang pastinya ditentukan oleh
kemampuan yang dimiliki pekerjanya itu.
92
4.2.4. Pemasaran
Pemasaran merupakan proses akhir dalam sebuah industri yang merupakan
proses penyaluran hasil produksi kepada distributor agar sampai ke tangan
konsumen. Apabila pemasaran berjalan lancar maka akan mendatangkan
keuntungan bagi sebuah industri. Untuk lebih jelas mengenai distribusi pemasaran
produk rajutan Binong Jati, peneliti akan menjabarkan melalui tabel dibawah ini.
Tabel 4.9 Distribusi Produk Rajutan Binong Jati dari tahun 1975 – 2004
Tempat Pemasaran Tahun
Jakarta Bandung Jabar P. Jawa Luar Jawa Luar Negeri
1975 Tanah Pasar Baru - - - - Abang
1980 Tanah Pasar Baru - - - - Abang
1990 Tanah Pasar Baru Cirebon Semarang - - Abang, ITC Kebon Mangga Kalapa
Dua, Cipulir
2000 Tanah Pasar Baru Cirebon Semarang Bukittinggi, - Abang, ITC Kebon Majalengka Surabaya Lombok Mangga Kalapa Malang Banjarmasin
Dua, Cipulir
2004 Tanah Pasar Baru Cirebon Semarang Banjarmasin, Malaysia Abang, ITC Kebon Majalengka Surabaya Lombok, Singapura Mangga Kalapa, Malang Bukittinggi,
Dua, BIP Magelang Makassar, Cipulir Medan Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Suhaya WondoTanggal 24 Juli 2009.
93
Berdasarkan data pada tabel di atas produk rajut Binong jati sejak tahun
1975 dan 1980 mulai di pasarkan ke Pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Baru
Bandung, hal tersebut dikarenakan kedua wilayah tersebut merupakan ibukota
Provinsi yang mayoritas masyarakatnya memiliki tingkat konsumsi serta gaya
hidup yang tinggi. Pemasaran produk rajut ini semakin berkembang di Tahun
1990 meliputi wilayah Cirebon dan Semarang, kedua Kota ini juga merupakan
Kota besar yang sedang berkembang dan cukup potensial bagi penyerapan produk
rajut Binong Jati. Mulai tahun 2000 pemasaran lebih luas lagi, di Provinsi Jawa
Barat saja tidak hanya Cirebon namun juga ditambah Majalengka, di Pulau Jawa
meliputi Semarang, Surabaya, Malang bahkan sampai ke luar Pulau Jawa yakni
pasar Haur Kuning Bukittinggi, Lombok dan Banjarmasin. Semua wilayah yang
menjadi tempat pemasaran produk rajutan Binong Jati merupakan tempat yang
potensial karena masyarakatnya memiliki tingkat daya beli yang tinggi.
Pemasaran produk rajut Binong jati mencapai puncaknya di tahun 2004
bukan hanya di Dalam Negeri saja yang bertambah seperti di BIP (Bandung Indah
Plaza), Makassar dan Medan namun merambah ke Luar Negeri yakni Singapura
dan Malaysia. Cakupan pemasaran produk rajut yang semakin luas di pengaruhi
juga oleh kemampuan para pengusahanya dalam mengembangkan strategi
pemasaran baik melalui pameran – pameran maupun menjaga hubungan baik
dengan para supplier dan pedagang langganan yakni para pedagang grosir.
Upaya pengusaha rajutan dalam memperkenalkan produknya dilakukan
melalui media cetak, media elektronik dan promosi secara tidak langsung pada
konsumen. Pada awalnya promosi yang dilakukan secara tidak langsung oleh
94
konsumen dilakukan melalui mulut ke mulut, maksudnya adalah konsumen yang
menyukai produk rajut Binong Jati akan memberitahukan atau menginformasikan
adanya produk rajut yang murah namun berkualitas yang ada di wilayah Binong.
Seiring dengan perkembangannya, para pengusaha melakukan promosi dengan
cara yang lebih efektif yakni melalui media cetak dan media elektronik. Promosi
melalui media cetak dilakukan pengusaha dengan memasang poster – poster iklan
produk rajutan di sekitar wilayah Binong. Sedangkan melalui media elektronik
dilakukan melalui radio lokal dan TV lokal. Selain strategi promosi di atas,
keterlibatan Pemerintah Kota Bandung juga sangat berarti bagi perkembangan
industri Rajut Binong Jati agar semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Para pengusaha rajutan Binong Jati bila ingin lebih memajukan lagi
usahanya seharusnya dapat melakukan perbaikan dalam semua aspek kegiatan
usahanya agar unit usaha rajutan yang dikelola dapat terus berkembang. Maju
mundurnya suatu kegiatan usaha bukan hanya ditentukan oleh kualitas barang
produksi yang dihasilkannya tapi harus memperhatikan pula komoditi pasar yang
akan dihadapi sehingga para pengusaha bisa lebih mempersiapkan strategi yang
akan digunakannya yang akan berguna untuk lebih meningkatkan lagi pemasaran
produk yang dihasilkannya.
Pola dalam proses pemasaran yang ada di industri rajutan Binong jati
sangat bervariasi. Secara umum pemasaran produk terbagi atas tiga sistem yaitu
yang pertama sistem perorangan yakni produsen langsung menjual produk pada
konsumen secara eceran maupun pesanan lusinan melalui kios rajut yang mereka
miliki yang letaknya berdekatan tempat produksi rajutan tersebut. Yang kedua
95
dengan sistem perantara yakni produsen menyalurkan barang ke pedagang
perantara yang nantinya akan diteruskan pada konsumen. Yang ketiga melalui
sistem supplier yakni dari produsen/pengusaha rajut kemudian didistribusikan
kepada pedagang perantara lalu disalurkan lagi kepada para supplier yang
membawa produk rajut Binong Jati dan memperkenalkannya ke luar negeri
melalui pameran pada akhirnya sampai ke konsumen. Untuk lebih mengetahui
lebih jelas pola pemasaran pruduk rajutan Binong jati maka peneliti akan
menyajikan dalam bagan pemasaran berikut ini.
Bagan 4.1 Pola Pemasaran sistem Langsung/Perorangan
Pengusaha Kios Konsumen Rajut Rajut
Bagan 4.2 Pola Pemasaran sistem Perantara
Pengusaha Pedagang Konsumen
Rajut Perantara
Bagan 4.3 Pola Pemasaran sistem Supplier
Pengusaha Pedagang Supplier Konsumen Rajut Perantara
Bagan di atas menunjukan rangkaian pemasaran yang dilakukan oleh
pengusaha rajut Binong jati. Mulai dari pemasaran secara langsung/perorangan
yakni pihak pengusaha (produsen) langsung mendistribusikan pada konsumen
96
melalui kios rajut yang mereka miliki, pemasaran dengan cara seperti itu lebih
banyak dilakukan secara eceran dan keuntungan yang didapatkan oleh pengusaha
akan langsung diperoleh karena tidak melalui perantara. Meskipun keuntungan
yang didapatkan tidak terlalu banyak tapi hal ini menjadi salah satu media
promosi agar konsumen bisa secara langsung memilih barang rajutan di kios rajut
yang dimiliki para pengusaha.
Pola pemasaran yang kedua yakni dilakukan dengan sistem perantara
yakni produsen mendistribusikan produk rajutan pada pedagang perantara yang
telah menjadi langganan tetap seperti para pedagang di Pasar Tanah Abang dan
Pasar Baru Bandung yang telah menjadi langganan sejak tahun 1975. Dengan pola
pemasaran seperti ini maka jaringan pemasaran akan lebih luas karena pedagang
perantara dapat mendistribusikan kembali produk rajut kepada para penjual grosir
dan keuntungan yang diperoleh lebih besar karena produk rajutan dijual perlusin
dan pesanan datang dalam jumlah yang banyak. Namun kekurangannya para
produsen rajut tidak dapat menentukan langsung harga penjualan kepada
konsumen karena mereka menjualnya secara lusinan kepada pedagang perantara.
Pola pemasaran yang ketiga dilakukan dengan para suplier sebagai
perantara. Para supplier akan mempromosikan produk rajutan Binong Jati yang
diperkenalkan melalui pameran oleh para supplier ke luar negeri, pemasaran yang
dilakukan para pengusaha rajut bersifat lokal dan hanya dilakukan untuk pasar
dalam negeri saja sementara untuk skala ekspor dilakukan oleh para supplier. Hal
tersebut tentu saja secara tidak langsung akan menguntungkan para pengusaha
rajutan Binong Jati karena produk rajutan mereka dikenal sampai ke mancanegara.
97
Namun kekurangannya para pengusaha rajut tidak bisa campur tangan dalam
memasarkan produknya ke mancanegara karena yang berhak mengatur adalah
para supplier yang sebelumnya telah membeli produk rajut dari pedagang
perantara. Selain itu sistem penjualan di industri Rajut Binong Jati adalah sistem
penjualan terputus jadi barang rajutan yang dipesan akan langsung di bayarkan
sesuai jumlah pesanan. Resiko barang yang dipesan tidak habis terjual tidak
ditanggung oleh produsen (pemilik usaha rajut).
Dari ketiga pola pemasaran di atas dapat disimpulkan bahwa pola
pemasaran yang sering dilakukan oleh para pengusaha rajut Binong Jati adalah
yang memakai pola pemasaran dengan sistem perantara dengan alasan sudah
banyak langganan yang memesan produk rajutan pada para pengusaha. Pesanan
khususnya datang dari para pedagang di Pasar Tanah Abang Jakarta yang
biasanya memesan produk rajutan dalam jumlah banyak sehingga keuntungan
yang didapatkan oleh para pengusaha menjadi lebih besar serta dengan pola
pemasaran melaui pedagang perantara jaringan pemasaran semakin luas karena
produk rajut dapat di salurkan kembali pada pedagang grosir (wawancara dengan
Suhaya Wondo Tanggal 23 Oktober 2009).
Selain itu juga terdapat beberapa orang penduduk Binong jati yang disebut
sebagai distributor. Mereka tidak membuat produk rajutan sendiri namun mereka
hanya mengambil produk rajut dari para produsen kemudian mereka menjualnya
di rumah mereka sendiri yang dijadikan kios usaha. Mereka lebih sering menjual
secara eceran, keuntungan yang di dapatkan memang tidak terlalu banyak namun
98
dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya (Wawancara dengan Udung, 29
Januari 2010).
Berdasarkan kenyataan pada proses pemasaran produk rajutan yang ada di
lapangan, para pengusaha rajutan Binong Jati mengharapkan adanya bantuan dan
bimbingan dari pihak pemerintah maupun pihak – pihak terkait dalam masalah
pemasaran produksi agar para pengusaha rajut Binong Jati dapat memasarkan
sendiri produknya ke semua sektor tanpa campur tangan pihak supplier karena
pada umumnya para pengusaha masih kurang menguasai seluk beluk pemasaran
secara luas terhadap barang – barang yang dibuatnya serta Pemerintah di harapkan
dapat membantu untuk mengembangkan potensi yang ada di wilayah Binong Jati
dengan cara pengembangan infrastruktur baik sarana maupun prasarananya
sehingga kawasan Binong Jati dapat menjadi objek Wisata Produksi Rajut di
Indonesia.
4.3 Peran Masyarakat Dalam Mengembangkan Industri Rajutan
Binong Jati
Untuk terus mengembangkan usaha yang telah dirintis dari generasi ke
generasi diperlukan suatu upaya agar keberadaan usaha tersebut dapat terus
berkembang. Sama halnya dengan industri rajutan Binong jati yang telah ada dari
tahun 1960-an. Keberadaan industri ini oleh masyarakat sekitar dijadikan sumber
mata pencaharian sehingga usaha ini perlu diupayakan agar terus berkembang dan
tentunya peran masyarakat disini di wakili oleh upaya para pengusaha yang
memiliki andil yang cukup besar untuk terus meningkatkan keberadaan usaha
99
rajutan ini namun selain pengusaha, tentunya para pekerja pun memiliki peranan
yang cukup penting yakni sebagai sumber daya manusia bagi industri rajutan ini
yang ikut andil dalam mengembangkan usaha rajutan tersebut. Dalam sub bab di
bawah ini akan dipaparkan secara lebih jelas mengenai upaya pengusaha rajutan
Binong jati dalam mengembangkan usaha rajutan.
4.3.1. Upaya Pengusaha Rajutan Binong Jati
Bagi seorang pengusaha industri, kreatifitas merupakan hal yang penting
yang dapat menunjang kemajuan dalam usahanya. Sama halnya dengan usaha
rajutan yang ada di wilayah Binong jati Bandung yang memerlukan adanya
kreatifitas yang dapat mendukung kemajuan agar dapat meningkatkan usahanya.
Kreatifitas diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menciptakan produk baru,
namun produk tersebut tidak harus semuanya baru tetapi dikembangkan lagi dari
produk yang telah ada sebelumnya (Buchari alma, dalam buku kewirausahaan
2003: 31). Berdasarkan pengertian di atas kreatifitas bukan hanya diartikan
dengan menghasilkan produksi yang baru namun membuat ide dengan
mengkombinasikan produk – produk yang telah ada sehingga menghasilkan
sesuatu yang baru. Sama halnya para pengusaha rajutan Binong Jati Bandung
yang mempunyai kreatifitas dalam mengembangkan produk yang dihasilkannya
yang akan di jabarkan pada tabel berikut ini.
100
Tabel 4.10 Kreatifitas Produk Rajut Binong Jati Tahun 1975 – 2004
Tahun Desain Produk Produk Yang Di Hasilkan
Dewasa Remaja Anak2 Balita Baju Baju Syal Kerudung Rompi Sarung Hangat Rajut Rajut Rajut Tangan
1975 * - - - * - - - - -
1980 * - - - * * - - - -
1985 * * - - * * - - - -
1990 * * - - * * * - - -
1995 * * * - * * * - * *
2000 * * * - * * * * * *
2004 * * * * * * * * * *
Ket : * Produk Yang Tersedia - Produk Tidak Tersedia
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Uju, Endang dan Jamjam Tangal 23 Oktober 2009.
Berdasarkan data pada tabel di atas, tahun 1975 desain produk yang di
hasilkan di industri rajut Binong Jati hanya untuk pakaian dewasa pria dan wanita
serta hanya memproduksi baju hangat rajut saja. Tahun 1980 selain baju hangat
rajut juga mulai menghasilkan baju rajutan untuk pria dan wanita dewasa.
Kreatifitas pada industri rajut Binong Jati semakin terlihat pada tahun 2000 –
2004, saat itu kreatifitas yang dihasilkan berupa desain produk sudah semakin
beragam untuk semua usia bahkan untuk balita juga tersedia. Apalagi produk yang
dihasilkan tidak kalah banyaknya yakni ada baju hangat rajut, baju rajutan, syal ,
sarung tangan, rompi rajut bahkan kerudung rajut. Semua produk tersebut
ditunjang dengan peningkatan secara kualitas yakni produk yang dihasilkan
menggunakan bahan baku yang baik sehingga produk rajutan tidak mudah sobek
dan tidak cepat luntur.
101
Para pengusaha rajut Binong jati tentu terus mencoba untuk memunculkan
ide – ide kreatif yang bertujuan untuk lebih mengembangkan usaha rajutan yang
ditekuninya. Dalam hal kombinasi warna, barang rajutan yang di produksi tidak
terlalu banyak mengalami perubahan karena sejak dulu warna untuk barang
produksi sudah bermacam – macam, hanya saja di tahun 2000an produk yang
dihasilkan menggunakan kombinasi lebih banyak warna sehingga produk menjadi
lebih bervariasi dan lebih menarik.
Selain memproduksi dengan menggunakan mesin rajut, ada beberapa
pengusaha yang mengajarkan pada pekerjanya khususnya pekerja perempuan cara
membuat rajutan dengan menggunakan tangan. Hal tersebut dilakukan agar
produk yang dihasilkan lebih bervariasi. Harga jualnya pun jauh lebih mahal
dibandingkan buatan mesin karena rajutan dengan memakai tangan membutuhkan
keahlian khusus dan memakan waktu yang lebih lama. Barang – barang yang
dihasilkan lebih banyak produk untuk bayi dan anak – anak seperti baju hangat,
sepatu bayi, sarung tangan bayi (wawancara dengan Yuhaeni 23 Oktober 2009).
Adapun upaya yang dilakukan oleh pengusaha rajut Binong Jati untuk
lebih meningkatkan usahanya yakni dengan meningkatkan dan mempertahankan
produk rajut yang dihasilkan misalnya dengan cara menjaga jahitan agar tetap
rapi, mencari ide kreatif dalam pembuatan model pakaian yang digemari atau
sedang trend dengan mencari informasi dan referensi melalui media cetak, media
internet dan media elektonik lainnya. Ide – ide yang di dapatkan lalu
dikembangkan dengan ide kreatif dari pengusaha itu sendiri misalnya dengan
102
menambah corak pada produk rajut yang dihasilkan (wawancara dengan Yuhaeni
tanggal 23 Oktober 2009).
Selain kreatifitas yang seharusnya dimiliki oleh para pengusaha agar dapat
lebih memajukan usahanya, yang tidak kalah penting yakni inovasi yang
dilakukan para pengusaha. Inovasi pada usaha rajutan Binong jati telah dilakukan
dalam berbagai permasalahan seperti Inovasi dalam hal pemasaran, ketika pada
awalnya para pengusaha rajutan melakukan transaksi penjualan langsung kepada
pembeli tanpa menggunakan showroom pakaian rajut, kemudian para pengusaha
mengadakan inovasi yaitu dengan mendirikan kios rajut/showroom pakaian rajut
agar konsumen dapat memilih serta mencoba produk rajutan yang dipasarkan.
Inovasi lain dalam hal promosi adalah dengan mengikuti pameran-pameran atau
seminar, yang bersifat lokal maupun nasional. Selain inovasi yang terus
dikembangkan, hal lain yang diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan
industri rajutan tersebut yakni kedisplinan dalam pendistribusian barang yakni
ketepatan waktu dalam pengiriman barang kepada para langganan tetap dan selalu
menjaga hubungan baik dengan relasi usaha.
4.3.2. Organisasi Pengusaha Rajut Binong Jati
Terbentuknya suatu organisasi perkumpulan para pemilik usaha industri
kecil lebih dikarenakan tidak adanya perhatian dari pihak – pihak terkait yang
diharapkan dapat membantu mengembangkan keberadaan industri tersebut. Sama
halnya yang terjadi pada industri rajutan Binong Jati, para pemilik usaha rajutan
mendirikan organisasi tersebut sebagai wadah untuk menyalurkan tuntutan dan
aspirasinya agar usaha rajutan yang dikelola oleh mereka dapat lebih diperhatikan
103
oleh pihak – pihak yang terkait khususnya pemerintah. Selain itu tujuan lain dari
pendirian organisasi pengusaha rajut Binong Jati yakni untuk membantu
menghadapi kendala yang biasanya muncul pada industri kecil seperti masalah
permodalan, pemasaran dan kreatifitas.
Organisasi yang pertama kali didirikan diberi nama KIRBI (Koperasi
Industri Rajutan Binong Jati Bandung) yang dibentuk tahun 1995. Organisasi
tersebut didirikan karena adanya kebutuhan para pengusaha untuk saling
membantu dalam hal pengadaan bahan baku yang sempat mengalami kelangkaan
serta membantu penyediaan modal awal untuk usaha dengan jumlah anggota
sekitar 157 pengusaha. Industri rajutan yang ada di wilayah Binong Jati bukanlah
jenis industri yang mengutamakan persaingan namun merupakan industri kecil
yang saling membantu sesama pengusaha. Berikut ini merupakan susunan
pengurus pada koperasi industri rajutan Binong Jati Bandung (KIRBI).
Bagan 4.4. Susunan Pengurus Koperasi Industri Rajutan Binong Jati
SEKRETARIS Asep Sumarana
KETUA Suhaya Wondo
BENDAHARA Dedi Ruhiat
BIDANG USAHA Asep Surahman
BIDANG PERMODALAN A.Suherman
BIDANG PEMASARAN Rahmat Sofyan
104
Bagan 4.4 di atas menunjukan bahwa susunan pengurus koperasi industri
rajutan Binong Jati Bandung (KIRBI) terdiri atas ketua yakni Suhaya Wondo,
yang dibantu oleh sekretaris Asep Sumarna dan bendahara Dedi Ruhiat. Selain
bendahara dan sekretaris ada beberapa bidang lain yang membantu ketua dalam
melaksanakan kepengurusan KIRBI yang bertujuan untuk kemajuan industri
rajutan Binong Jati yaitu terbagi atas tiga bidang, yang pertama bidang usaha
dipercayakan kepada Asep Surahman, selanjutnya bidang permodalan
dipercayakan kepada A. Suherman dan terakhir yang mengurus bidang pemasaran
Rahmat Sofyan. Seluruh pengurus KIRBI diberikan kepercayaan untuk
menjalankan tugasnya masing – masing yang bertujuan untuk mensejahterakan
para anggotanya.
Pada masing – masing bidang memiliki tugas yang berbeda – beda,
misalnya pada bidang usaha. Bidang ini bertugas untuk memberikan pengarahan
pada anggotanya yang merupakan pengrajin rajutan yang baru merintis agar
mereka dapat mengatur manajemen usaha yang dikelolanya. Selanjutnya bidang
permodalan yang berfungsi untuk membantu dan memudahkan para anggotanya
yang ingin meminjam modal untuk kemajuan usahanya dengan jumlah bunga
pinjaman yang tidak memberatkan anggota. Dan yang terakhir bidang pemasaran
yang berfungsi untuk membantu anggota agar dapat memasarkan hasil
produksinya, khususnya para pengrajin yang baru merintis biasanya masih belum
mahir melihat peluang pasar untuk memasarkan hasil produksinya. Dengan
adanya bidang kepengurusan dalam koperasi ini diharapkan dapat terus
105
mengembangkan keberadaan industri rajutan Binong Jati (hasil wawancara
dengan Dedi Ruhiat tanggal 16 Januari 2010).
Para pengurus Koperasi Industri Rajutan Binong Jati (KIRBI) merupakan
para pengusaha rajut yang sudah cukup lama merintis usaha di bidang rajutan, jadi
mereka cukup memiliki pengalaman untuk membantu para pengrajin yang baru
merintis bisnis rajutan. Pada umumnya para pemilik usaha rajutan Binong Jati
merupakan warga setempat karena usaha rajutan ini bersifat turun temurun
sehingga rasa kekeluargaan tetap terjalin dengan baik. Keberadaan KIRBI masih
dikatakan cukup bermanfaat bagi para pengrajin rajutan yang baru merintis usaha.
Organisasi KIRBI selain mengurus masalah manajemen usaha,
permodalan serta pemasaran juga membantu para pengrajin untuk mendapatkan
bahan baku produksi. Keberadaan koperasi industri rajutan Binong jati (KIRBI)
saat ini hanya berkembang dalam ruang lingkup internal saja, belum ada campur
tangan dari pihak Pemerintah untuk lebih membantu peningkatan keberadaan
koperasi tersebut. Walaupun begitu, dengan adanya koperasi ini diharapkan agar
para pemilik usaha yang baru memulai usaha dapat lebih meningkatkan usahanya,
saling menjaga silaturahmi dan menjaga agar tidak timbul persaingan antar
sesama pengusaha rajutan Binong Jati.
Organisasi lainnya yang ada di industri rajutan Binong jati adalah Forum
Komunikasi Pengusaha Industri Rajutan Binong Jati Bandung (FOKUS RAJUT)
yang terbentuk tahun 2002. Melalui organisasi ini para pengusaha rajut Binong
Jati membentuk sebuah forum diskusi dan kerja sama antar sesama pengusaha
untuk kemajuan industri rajutan Binong Jati. Berikut ini merupakan susunan
106
kepengurusan Forum Komunikasi Pengusaha Industri Rajutan Binong Jati
Bandung.
Bagan 4.5 Susunan Pengurus Forum Komunikasi Pengusaha Industri Rajutan
Binong Jati Bandung
Berdasarkan Bagan 4.5 di atas susunan kepengurusan Forum Komunikasi
Pengusaha Industri Rajutan Binong Jati Bandung (FOKUS RAJUT) terdiri atas
beberapa pengurus, yang menjabat ketua yakni Djuanda. Namun dalam
kepengurusan organisasi ini adanya wakil ketua yakni H. Abbas Rohman yang
tugasnya membantu serta mewakili ketua jika berhalangan hadir dalam rapat
ataupun forum diskusi. Seperti organisasi pada umumnya, juga terdapat adanya
sekretaris dan bendahara serta ada bidang kepengurusan yang lain yakni ada
bidang ketahanan usaha, bidang internal dan bidang sosial.
Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk membentuk suatu
perkumpulan para pengusaha rajut Binong jati yang ingin mengenalkan potensi
KETUA 1 Djuhanda
WAKIL KETUA H.Abbas Rohman
SEKRETARIS Maman Ahyar
BENDAHARA Darmawan
BIDANG KETAHANAN USAHA Wiwin Ichan
BIDANG INTERNAL Asep Suherman
BIDANG SOSIAL Charles Ginting
107
unggulan yang ada di wilayah Binong Jati serta dapat mengkomunikasikan
dengan pihak – pihak yang terkait demi tercapainya tujuan tersebut. Dalam
mengkomunikasikan tujuan yang ingin dicapainya bidang – bidang kepengurusan
itu berperan sangat penting, misalnya bidang ketahanan usaha yang bertugas
untuk membantu para pengrajin yang terancam bangkrut karena kendala modal
ataupun bahan baku. Dengan adanya bidang ketahanan usaha ini berusaha
membantu agar pengrajin tersebut tetap bisa mempertahankan usahanya.
Selanjutnya bidang internal mengurusi masalah internal yang ada di industri
rajutan Binong jati seperti munculnya persaingan dalam pemasaran hasil produksi,
bidang internal ini berusaha memberikan solusi bagi kedua pihak yang
bermasalah. Dan yang terakhir bidang sosial yang berfungsi mengurus masalah
sosial pemilik usaha dan para pekerja rajutan (hasil wawancara dengan H. Abbas
Rohman tanggal 16 Januari 2010). Keberadaan Forum Komunikasi Pengusaha
Industri Rajutan Binong Jati Bandung (FOKUS RAJUT) pada awalnya dapat
berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan bidangnya masing – masing. Namun
hanya berjalan beberapa tahun saja, saat ini keberadaan organisasi tersebut hanya
seperti sebuah perkumpulan saja tidak banyak manfaat yang dirasakan oleh
anggotanya.
Selain kedua organisasi di atas, di industri rajutan Binong Jati Bandung
juga terdapat UPT (Unit Pelayanan Teknis) rajutan Binong Jati yang didirikan
tahun 2000. Tujuan awal didirikan UPT rajutan diharapkan secara efektif mampu
mendukung pengembangan industri kecil dan menengah agar dapat meningkatkan
perdagangannya melalui peningkatan kemampuan dan pengelolaan teknisi UPT
108
dalam bidang teknologi dan manajemen. Selain itu pengembangan fungsi UPT
sebagai pusat pemasaran dan informasi yang menyediakan fasilitas produksi dan
tempat untuk konsultasi desain.
Tujuan lainnya dengan keberadaan UPT ini agar kerjasama antar para
pengusaha rajut dengan instansi pemerintah yang terkait dapat mudah dilakukan.
Dan pemerintah tentunya dapat berperan dalam melakukan pembinaan jangka
panjang agar kawasan rajut Binong Jati dapat lebih berkembang. Keberadaan UPT
ini memperlihatkan hasil yang positif yakni tahun 2000 kawasan Rajut Binong
Jati dijadikan oleh Pemerintah Kota Bandung menjadi Sentra Rajut di Kota
Bandung (Wawancara dengan Dedi Ruhiat tanggal 16 Januari 2010).
4.3.3. Keterlibatan Tenaga Kerja Industri Rajutan Binong Jati
Dalam perkembangan suatu industri khususnya industri kecil menengah,
selain upaya pemilik usaha untuk mengembangkan usaha yang dimilikinya,
keterlibatan tenaga kerja pun cukup penting karena tenaga kerja dapat dijadikan
sebagai ujung tombak kemajuan suatu industri. Yang dimaksud dengan tenaga
kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di
luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk kebutuhan
masyarakat (Artoyo, dalam buku tenaga kerja perusahaan menurut pengertian dan
peranannya 1986:12). Tenaga kerja erat kaitannya dengan potensi sumber daya
manusia jika pekerja memiliki potensi yang baik dengan keterampilan kerja yang
tinggi maka usaha yang dirintis akan berjalan dengan lancar dan semakin
berkembang.
109
Perkembangan sebuah industri tidak lepas dari adanya pengaruh tenaga
kerja. Industri - industri yang berkembang baik industri kecil maupun besar
menyadari akan pentingnya menetapkan pekerjaan sesuai dengan orangnya, yang
tidak hanya dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi juga dapat menyesuaikan
diri terhadap pekerjaannya. Penempatan dan pemilihan tenaga kerja dalam sebuah
industri baik industri kecil maupun besar merupakan hal yang harus diperhatikan.
Tenaga kerja tidak dapat lagi dipandang semata- mata sebagai salah satu faktor
produksi, tetapi lebih luas dari itu yaitu sebagai mitra kerja dalam berusaha. Pada
gilirannya hubungan industrial yang harmonis dan kemitraan akan memberikan
dampak positif terhadap kebijaksanaan sistem pengupahan, sekaligus memberikan
rasa ketenangan bagi pekerja.
Berkembangnya industri rajut Binong Jati menjadikan para pengusahanya
ingin lebih meningkatkan lagi menjadi sebuah industri rajut yang lebih dikenal
oleh masyarakat dan akhirnya dapat mendatangkan keuntungan tersendiri. Untuk
tetap mempertahankan keberadaan industri tersebut maka hal yang diperlukan
adalah selalu menciptakan design produk terbaru yang mengikuti perkembangan
jaman serta disukai oleh konsumen. Ide – ide yang dimunculkan tidak harus selalu
berasal dari para pengusahanya saja namun para pekerjanya pun dapat
memberikan ide yang dimilikinya.
Dengan ide yang dimunculkan oleh pekerja maka menjadikan produk rajut
semakin bervariasi dan tentunya pekerja tersebut akan mendapatkan reward dari
pengusaha tempatnya bekerja. Reward di artikan sebagai penghargaan yang di
berikan kepada seorang pekerja apabila pekerja tersebut telah menghasilkan ide
110
ataupun design terbaru pada produk rajutan. Biasanya Reward yang diberikan
berupa bonus uang yang dapat menambah penghasilannya. Dengan adanya
reward yang diberikan oleh pengusaha maka dapat memacu para pekerja untuk
memunculkan ide – ide terbaru.
Hal tersebut terjadi pada usaha rajutan milik Suhaya Wondo, sejak tahun
2000 Wondo memberikan reward kepada pekerja yang dapat memberikan ide –
ide kreatifnya. Dengan hal tersebut semakin memacu pekerja yang lain untuk
memunculkan ide – ide produk terbaru, karena Wondo akan memberikan reward
berupa bonus yang cukup besar sehingga produk rajutan milik Wondo semakin
bervariatif. Dengan adanya hal tersebut menjadikan Wondo mendapatkan
keuntungan yang besar karena produknya disukai oleh konsumen (Wawancara
dengan Suhaya Wondo Tanggal 29 Januari 2010).
Upaya lain yang dilakukan oleh pengusaha rajut untuk lebih meningkatkan
usahanya yakni dengan memberikan pelatihan keterampilan membuat rajutan.
Walaupun rajutan yang diproduksi di industri rajut Binong Jati menggunakan
tenaga mesin namun untuk menggerakan mesin – mesin tersebut diperlukan juga
keahlian dan keterampilan para pekerjanya. Hal lainnya yang seharusnya
dilakukan oleh seorang pengusaha adalah memberikan fasilitas dan kemudahan
bagi pekerjanya misalnya fasilitas tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja
agar pekerja dapat menghemat ongkos, memberikan pinjaman ketika mereka ada
kebutuhan mendesak, ketika mereka sakit mendapatkan ijin untuk istirahat, ketika
pekerja wanita melahirkan memperoleh dispensasi untuk cuti serta diajak untuk
111
rekreasi bersama keluarganya sehingga mereka dapat memberikan kinerja terbaik
yang mereka miliki.
Fasilitas dan kemudahan tentunya akan diberikan oleh setiap pemilik
usaha jika para pekerja dapat menunjukan tanggung jawabnya ketika bekerja.
Salah satunya dengan menunjukan etos kerja yang dimilikinya. Etos kerja adalah
ukuran serta cara diri seseorang dalam mempersepsi pekerjaannya serta
pandangan hidup yang dimilikinya (Saripudin, dalam buku Mobilitas dan
Perubahan Sosial 2005: 45). Pada dasarnya para pekerja rajutan Binong Jati
memiliki etos kerja yang tinggi dalam menekuni pekerjaan mereka sebagai
pekerja rajut. Mereka selalu berusaha untuk lebih meningkatkan lagi kualitas
kerjanya, misalnya dengan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
Kota Bandung karena pekerjaan sebagai pekerja rajutan memerlukan ketelitian
dalam bekerja.
Sebenarnya etos kerja para pegawai rajut Binong jati cukup tinggi karena
alasan mereka cenderung tidak memiliki keterampilan lain selain membuat
rajutan. Mereka menekuni pekerjaan ini karena hanya ini jenis pekerjaan yang
bisa mereka kerjakan. Namun sayangnya, etos kerja tenaga kerja rajut Binong Jati
mempunyai posisi tawar rendah maksudnya adalah bagaimana para pekerja
tersebut dapat memberikan hasil kerja yang signifikan pada pekerjaan yang
ditekuninya apabila tidak disertai dengan peningkatan jumlah upah yang
diterimanya. Upah mingguan yang diterima pekerja rajut Binong jati hanya cukup
untuk kebutuhan hidup sehari – hari saja bahkan ada yang kurang tercukupi
kebutuhan hidupnya. Berdasarkan tabel 4.8 yang menunjukan jumlah upah yang
112
diterima para pekerja rajut sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan laba
yang diperoleh pengusahanya.
Seharusnya para pengusaha tersebut bila telah merasa cukup untuk
memberikan upah dengan jumlah tersebut karena telah di atas UMR (Upah
Minium Regional) sebesar Rp. 660.0000 dan di tahun 2004 upah untuk pekerjaan
merajut dan linking sebesar Rp.1000.000 (terbesar) dan Rp. 600.000 (terkecil)
namun jumlah tersebut hanya untuk pekerjaan packing saja karena hanya
dikerjakan oleh perempuan yang bekerja untuk membantu pendapatan suaminya
maka akan lebih baik apabila para pengusaha tersebut memberikan fasilitas serta
kemudahan bagi pekerjanya agar mereka semakin meningkatkan kinerjanya untuk
kemajuan industri rajut Binong Jati Bandung.
Sebagai seorang pekerja, faktor lain yang mendorong mereka untuk
memiliki etos kerja yang tinggi walaupun dengan posisi tawar rendah dalam
menekuni pekerjaannya karena tuntutan ekonomi. Pekerjaan sebagai pekerja
rajutan memang tidak lantas cukup untuk memenuhi semua kebutuhan rumah
tangga yang semakin mahal namun pekerjaan ini cukup mampu untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga walaupun tidak berlebihan. Para pekerja selalu berusaha
bekerja semaksimal mungkin agar memperoleh upah yang lebih besar setiap
minggunya karena pembayaran upah dilakukan secara borongan/sesuai dengan
hasil pekerjaan yang dicapai. Kesadaran untuk bekerja lebih rajin dalam pekerjaan
ini diperlukan karena siapa yang bekerja lebih tekun maka akan memperoleh upah
yang lebih banyak.
113
Selain etos kerja yang tinggi, sikap yang seharusnya dimiliki oleh para
pengrajin agar dapat meningkatkan usaha industri rajutan Binong Jati ini yakni
dengan bersikap loyal terhadap majikan. Sikap seperti ini sangat diperlukan bagi
kemajuan suatu usaha. Dengan bersikap loyal kepada majikan maka para pekerja
akan melakukan pekerjaan dengan lebih giat sehingga industri rajutan Binong jati
dapat semakin berkembang. Para pekerja rajutan Binong jati dapat dikatakan
memiliki sikap loyal terhadap majikan, hal tersebut terbukti dari wawancara yang
dilakukan oleh peneliti kepada Bapak Dede salah satu pekerja yang telah bertahun
– tahun bekerja sebagai pengrajin disalah satu usaha rajutan yang ada di Binong
jati. Dia telah bekerja sebagai pengrajin selama hampir 15 tahun dan salah seorang
anaknya sama – sama menjadi pengrajin rajutan di tempat ia bekerja (wawancara
dengan Bapak Dede tanggal 23 Oktober 2009).
4.4 Konstribusi Industri Rajutan terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Binong Jati
Sub bab ini merupakan hasi analisis dari pertanyaan penelitian yang terakhir
mengenai kontribusi keberadaan industri rajutan Binong Jati terhadap kondisi
sosial ekonomi masyarakat Binong Jati Kecamatan Batununggal Kota Bandung.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Binong Jati tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan industri rajutan yang telah berkembang berpuluh-puluh tahun dan
telah memberikan pengaruh yang beragam terhadap penyediaan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
114
Sebagai bagian dari masyarakat industri, masyarakat Binong Jati telah
memiliki pandangan yang luas dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi
dalam kehidupan sosial ekonominya. Perubahan tersebut menjadi suatu dinamika
yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya. Berkembangnya industri rajutan
merupakan jalan bagi para pemilik usaha dan para tenaga kerjanya untuk
meningkatkan taraf hidupnya dan digunakan sebagai mata pencaharian yang dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya. Berikut ini akan dijabarkan mengenai perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Binong Jati dalam hal sosial dan ekonomi.
Keberadaan industri rajutan telah memberikan konstribusi yang besar
dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Binong jati sehingga
penghasilan yang diperoleh dengan adanya industri rajutan ini dapat mencukupi
kebutuhan pokok sehari – hari khususnya masyarakat yang terlibat langsung
dalam usaha rajutan ini. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang dimaksud oleh
peneliti yakni masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha rajutan ini yang
terdiri dari para pengusaha rajutan serta pekerjanya.
Keuntungan dan upah yang diperoleh pengusaha maupun pekerja rajutan
biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari seperti
membeli kebutuhan pokok dan sisanya untuk membeli kebutuhan yang lainnya.
Industri rajut Binong Jati merupakan salah satu usaha yang cukup mendatangkan
keuntungan. Keberadaan industri rajutan Binong Jati dapat dijadikan sandaran
ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adapun daftar harga –
harga bahan pokok di Kota Bandung Tahun 1991-2004 yang akan di uraikan pada
tabel di bawah ini.
115
Tabel 4.11 Harga Tujuh Bahan Pokok Di Kota Bandung Tahun 1991-2004
TAHUN JENIS KOMODITI (RUPIAH)
BERAS
(KG)
IKAN ASIN
(KG)
MINYAK GORENG
(KG)
GULA PASIR
(KG)
GARAM
(BATA)
MINYAK TANAH
(LITER)
TELUR
(BUTIR)
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
609,05
601,32
574,17
760,00
871,88
890,21
937,85
1.994,92
2.309,58
2.058,60
2.299,93
2.833,71
2.906,20
2.657,55
2.749,58
2.879,62
2.240,00
2.432,00
2.774,17
3.567,22
4.540,90
10.113,69
15.539,08
14.208,84
15.172,90
16.808,54
16.750,39
17.070,83
966,89
1.590,78
1.066,25
1.758,00
1.654,90
1.558,89
2091,47
4.688,81
4.278,63
4.958,86
5.368,33
6.365,97
5.641,03
5.607,47
1.127,25
1.219,75
1.250,00
1.283,00
1.463,65
1.487,78
1.649,58
3.060,54
3.276,36
3.161,07
4.094,51
4.286,86
4.661,75
4.547,91
214,58
235,07
225,00
244,00
425,00
180,21
376,88
171,67
177,68
270,75
315,40
329,70
445,89
368,23
262,81
267,71
349,48
350,00
350,00
350,00
402,87
453,18
454,34
487,35
687,35
1.034,41
1.134,33
1.185,06
265,39
276,35
215,17
225,00
245,88
299,23
307,68
528,75
760,72
730,55
792,80
870,16
877,89
897,90
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bandung (Statistik Harga Konsumen Kota Bandung Tahun 1991-2004)
Peneliti tidak mencantumkan dari tahun 1975 dikarenakan keterbatasan
sumber, yang peneliti temukan data hanya dari tahun 1991. Berdasarkan data
harga bahan pokok pada tabel di atas dapat diketahui bahwa setiap tahun harga
bahan - bahan pokok di Kota Bandung cenderung mengalami kenaikan. Walaupun
116
sempat mengalami penurunan namun tidak terlalu banyak. Harga bahan
kebutuhan pokok ini nantinya akan berimbas pada upah para pekerja yang di
dapatkan dari pekerjaan mereka di industri rajutan Binong Jati Kota Bandung.
4.4.1. Kesejahteraan Pengusaha
Dari awal kemunculannya industri rajutan ini mengalami perkembangan
yang cukup baik, hal tersebut dapat dilihat dari pemasaran produknya yang
semakin meluas sampai ke pasar – pasar tradisional di seluruh Indonesia. Semakin
meluasnya pemasaran produk rajutan Binong Jati berpengaruh pula terhadap
keuntungan yang diperoleh para pengusaha rajutan sehingga tingkat kesejahteraan
para pengusaha dapat semakin meningkat serta tingkat kesejahteraan masyarakat
Binong Jati baik yang berhubungan secara langsung dengan industri rajutan
maupun yang tidak berhubungan langsung sama – sama dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarganya.
Pengusaha yang berada di Industri rajutan Binong Jati Bandung terbagi
atas tiga kelompok, yakni pengusaha rajutan kelompok besar, pengusaha rajutan
kelompok menengah dan pengusaha rajutan kelompok kecil. Pembagian
kelompok tersebut berdasarkan jumlah modal dan tenaga kerja yang dimiliki oleh
para pengusaha tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai pendapatan para
pengusaha rajutan Binong Jati maka akan diuraikan melalui tiga sampel yakni
satu orang pengusaha rajutan kelompok besar, satu orang pengusaha rajutan
kelompok menengah dan satu orang pengusaha rajutan kelompok kecil. Berikut
adalah anggaran rumah tangga beberapa pengusaha rajutan Binong Jati yang
dijadikan sampel dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
117
Suhaya Wondo merupakan salah satu pengusaha rajutan Binong Jati yang
terbilang sukses, beliau merintis usaha rajutan sejak tahun 1992. Usaha rajutan
yang dimilikinya termasuk kelompok pengusaha rajutan kelompok besar dengan
jumlah pekerja sebanyak 18 orang di tahun 2004. Rata – rata pendapatan perbulan
yang diperoleh Bapak Wondo di tahun 2004 Rp. 11.960.000. Keuntungan tersebut
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari, Wondo pada
tahun 2004 memiliki 4 orang anak (dua orang anak yang masih sekolah, dan dua
anak lagi Balita) serta 1 orang isteri sehingga beban keluarga yang ditanggung
oleh Wondo berjumlah 6 orang (wawancara dengan Wondo tanggal 23 Oktober
2009). Untuk lebih jelasnya mengenai perincian anggaran rumah tangga keluarga
Suhaya Wondo adalah sebagai berikut.
� Pendapatan per bulan tahun 2004 Rp.11.960.000
� Pengeluaran per bulan :
� Beras untuk 6 orang = 50 kg x @ Rp.2.700 = Rp. 135.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.25.000 = Rp. 750.000
� Biaya sekolah 2 orang anak* = Rp. 130.000
� Biaya Listrik = Rp. 100.000
� Biaya lain – lain * = Rp. 200.000 +
Jumlah Rp.1.315.000 -
Sisa Rp.10.645.000
Ket*
Biaya sekolah 2 orang anaknya SMP dan SD.
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
118
Berdasarkan perincian data tersebut maka diketahui bahwa Wondo
memperoleh keuntungan yang besar dari hasil usaha rajutan, sisa dari
penghasilannya digunakan kembali untuk modal proses produksi selanjutnya dan
sisanya untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti membayar cicilan pada
bank, biaya kesehatan, membeli pakaian, perhiasan untuk isterinya, membeli alat
– alat rumah tangga, membeli kendaraan, membeli alat – alat elektronik, biaya
kegiatan sosial seperti melayat tetangga yang sakit, undangan perkawinan,
undangan sunatan dan sebagian lagi ditabung. Selain itu Wondo juga menyisihkan
penghasilannya untuk memperluas lahan usahanya dengan menambah tempat
untuk proses produksi rajutan. Dengan usaha rajut yang dimilikinya Wondo dapat
menunaikan ibadah umroh serta ibadah Haji (wawancara dengan Suhaya Wondo
14 November 2009).
Selanjutnya adalah Jamjam Hendarsah yang merintis usaha rajutan dari
tahun 1995. Usaha rajutan yang dimiliki Jamjam termasuk dalam usaha rajutan
menengah dengan memiliki 10 orang pekerja di tahun 2004. Rata – rata
pendapatan perbulan yang diperoleh Jamjam Hendarsah tahun 2004 sebesar Rp.
5.180.000 (wawancara dengan Jamjam Hendarsah Tanggal 14 November 2009).
Dalam mencukupi kebutuhan hidup, Jamjam pada tahun 2004 memiliki 2 orang
anak dan 1 orang isteri sehingga beban keluarga yang ditanggung oleh Jamjam
dan isterinya adalah 4 orang. Perincian anggaran rumah tangga Bapak Jamjam
adalah sebagai berikut.
119
� Penghasilan selama satu bulan Rp.5.180.000
� Pengeluaran
� Beras untuk 4 orang = 30 kg x @ Rp.2700 = Rp. 81.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.20.000 = Rp.600.000
� Biaya sekolah 2 orang anak* = Rp. 80.000
� Biaya Listrik = Rp. 80.000
� Biaya lain – lain * = Rp. 150.000 +
Jumlah Rp. 991.000 –
Sisa Rp.4.189.000
Ket*
Biaya sekolah 2 orang yaitu SMP dan SD
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
Pendapatan yang diterima Jamjam dalam setiap bulannya mampu
memenuhi kebutuhan pokok sehari – hari. Dengan sisa penghasilan yang
didapatkan setiap bulannya dapat membeli peralatan rumah tangga yang sifatnya
sekunder. Bahkan dengan keuntungan yang diperolehnya dapat dipergunakan
untuk menunaikan ibadah Umrah dan ibadah Haji dengan isterinya. Selain itu sisa
pendapatannya digunakan untuk biaya kesehatan keluarga, menambah modal
usaha dan menabung untuk keperluan memperluas usahanya serta dipergunakan
juga sebagai donatur sebuah yayasan sosial (wawancara dengan jamjam
Hendarsah Tanggal 14 November 2009).
Pengusaha selanjutnya yang dijadikan sampel oleh peneliti adalah Endang
Suhandar. Beliau termasuk pengusaha rajutan kelompok kecil karena memiliki
120
pekerja sebanyak 5 orang pada tahun 2004 dan penghasilan perbulannya sebesar
Rp. 2.700.000. Dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, Endang Suhandar
mempunyai tanggungan keluarga sebanyak 4 orang anak dan 1 orang isteri
sehingga beban yang ditanggung oleh Bapak dan isterinya sebanyak 6 orang.
Untuk lebih jelasnya maka akan diuraikan perkiraan biaya anggaran rumah tangga
Bapak Endang adalah sebagai berikut :
� Pendapatan tertinggi per bulan tahun 2004 Rp. 2.700.000
� Pengeluaran per bulan :
� Beras untuk 6 orang = 60 kg x @ Rp.2.700 = Rp. 162.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.20.000 = Rp. 600.000
� Biaya sekolah 4 orang anak* = Rp. 350.000
� Biaya Listrik = Rp. 120.000
� Biaya lain – lain * = Rp. 200.000 +
Jumlah Rp.1.432.000 -
Sisa Rp.1.268.000
Ket*
Biaya sekolah 4 orang anaknya 1 Perguruan Tinggi, 1 SMA dan 2 SD
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
Berdasarkan perincian data di atas dapat diketahui bahwa sisa pendapatan
Endang digunakan untuk biaya kesehatan, membeli alat – alat rumah tangga,
biaya kegiatan sosial seperti melayat tetangga yang sakit, undangan perkawinan,
undangan sunatan dan ditabung. Beliau juga dapat menyekolahkan anaknya hingg
ajenjang perguruan tinggi dari hasil usaha rajutan yang dimilikinya. Sisa dari
121
penghasilannya juga disisihkan untuk menambah modal usaha rajutan miliknya
(wawancara dengan Endang Suhendar tanggal 14 November 2009).
Berdasarkan perincian ketiga pendapatan para pengusaha rajutan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa ketiga pengusaha rajutan ini berbeda dalam hal
pendapatan dan pengeluaran per bulannya. Hal tersebut dikarenakan jumlah
anggota keluarga tanggungan pun berbeda - beda. Sebagian besar keuntungan
yang didapatkan oleh para pengusaha selain untuk mencukupi kebutuhan
pokok/primer sehari – hari juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder
bahkan tersier seperti kendaraan motor, mobil mewah, rumah mewah serta
perhiasan. Dengan demikian maka dapat dikatakan ketiga pengusaha tersebut
dikatakan sejahtera dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan penghasilan
yang diperoleh tersebut maka menjadikan setiap pengusaha mampu memberikan
kebutuhan konsumsi yang lebih baik bagi keluarganya seperti daging, telur, ikan,
makanan laut (udang, kepiting) dan buah – buahan. Para pengusaha juga dapat
menyekolahkan anak – anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi seperti SMA
bahkan perguruan tinggi (wawancara dengan Endang tanggal 14 November 2009)
Dan sisa penghasilan yang didapatkan tidak lupa disisihkan untuk
mengembangkan usaha rajutannya.
4.4.2. Kesejahteraan Tenaga Kerja
Masyarakat yang terjun langsung dalam usaha rajutan Binong Jati
Bandung telah dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Tingkat
kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini dapat dilihat dari jumlah
penghasilan/upah masyarakat yang terlibat langsung dalam usaha industri rajutan
122
yakni tenaga kerja/pekerjanya. Para pekerja dalam industri rajutan ini diberikan
upah yang berbeda yang sesuai dengan posisi dan keahlian yang mereka miliki
serta jumlah produksi yang dapat mereka hasilkan. Upah yang diterima oleh
pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
Untuk melihat tingkat kesejahteraan tenaga kerja industri rajutan maka
penulis menggunakan UMR (upah minimum regional) yang diterapkan oleh
Pemerintah Jawa Barat yang meliputi Kota Bandung tahun 2004 yakni sebesar
Rp. 22.000 per hari atau Rp. 660.000 per bulan (BPS Kota Bandung tahun 2004).
Peneliti akan mengambil sampel tenaga kerja Binong Jati sebanyak 4 orang.
Pekerja yang dijadikan sampel adalah pekerja yang telah berkeluarga sehingga
dapat dilihat sejauh mana upah yang mereka peroleh dari pekerjaannya dapat
memenuhi kebutuhan keluarganya. Berikut ini adalah daftar upah rata – rata
pekerja rajutan Binong Jati dalam satu bulan dan berdasarkan jenis pekerjaannya.
Tabel 4.12 Jumlah Upah Tenaga Kerja Industri Rajutan Binong Jati
Kota Bandung Tahun 2003 dan 2004
Nama Pekerjaan Upah perminggu Upah perbulan Dede Rajut Rp.250.000 Rp.1000.000
Kurnia Linking Rp.250.000 Rp.1000.000 Roni Setrika uap Rp.225.000 Rp.900.000 Sona Packing Rp.150.000 Rp.600.000
Sumber : Diolah berdasarkan wawancara dengan narasumber Dede, Kurnia, Roni dan Sona tanggal 23 Oktober 2009
Berdasarkan data pada tabel diatas dapat diketahui bahwa upah yang
diterima para pekerja di industri rajutan Binong Jati berkisar antara Rp. 600.000 –
Rp. 1000.000 perbulan. Upah masing – masing pekerja berbeda menurut jenis
pekerjaannya dan upah yang didapat juga tidak tetap karena tergantung dari
123
jumlah barang yang telah diselesaikannya. Upah tersebut sudah termasuk upah
makan namun jika ada kerja lembur maka upah akan ditambah sesuai dengan
barang yang dihasilkannya. Berikut ini akan diuraikan anggaran rumah tangga
tenaga kerja rajutan Binong Jati Bandung selama satu bulan.
Dede bekerja sebagai pekerja rajut pada industri rajutan Binong Jati
diberikan upah Rp. 1000.000 perbulan. Upah tersebut digunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya yang terdiri dari satu orang isteri dan tiga orang anak.
Perincian anggaran rumah tangga dede adalah sebagai berikut.
� Upah rata – rata selama satu bulan Rp.1000.000
� Pengeluaran
� Beras untuk 5 orang = 30 kg x @ Rp.2700 = Rp. 81.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.10.000 = Rp.300.000
� Biaya sekolah 3 orang anak* = Rp. 80.000
� Biaya Listrik = Rp. 50.000
� Biaya lain – lain = Rp. 70.000 +
Jumlah Rp. 581.000 –
Sisa Rp. 419.000
Ket*
Biaya sekolah 3 orang yaitu SMA, SMP dan SD
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
Berdasarkan rincian anggaran rumah tangga tersebut, kehidupan Dede
dapat dikatakan sejahtera karena upah yang diperolehnya selama satu bulan
sebagai pekerja rajut Binong Jati dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya
124
sehari – hari. Sisa uang yang dimilikinya digunakan untuk keperluan yang lain
seperti membeli pakaian, biaya kesehatan, cicilan barang elektronik, dan ditabung.
Bila mendapat upah lembur maka Dede biasanya akan menggunakan untuk
ditabung (wawancara dengan Dede tanggal 24 Oktober 2009).
Kurnia bekerja sebagai pekerja linking pada industri rajutan Binong Jati
diberikan upah Rp. 1000.000 perbulan. Upah tersebut digunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya yang terdiri dari satu orang isteri dan dua orang anak yang
satu usia sekolah dan satu lagi balita. Perincian anggaran rumah tangga Kurnia
adalah sebagai berikut.
� Upah rata – rata selama satu bulan Rp.1000.000
� Pengeluaran
� Beras untuk 4 orang = 25 kg x @ Rp.2700 = Rp. 67.500
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.10.000 = Rp.300.000
� Biaya sekolah 1 orang anak* = Rp. 30.000
� Biaya Listrik = Rp. 40.000
� Biaya lain – lain = Rp. 70.000 +
Jumlah Rp. 507.500 –
Sisa Rp. 492.500
Ket*
Biaya sekolah 1 orang yaitu SD
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
Berdasarkan rincian anggaran rumah tangga tersebut, kehidupan Kurnia
dapat dikatakan sejahtera karena upah yang diperolehnya selama satu bulan
sebagai pekerja linking Binong Jati dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya
125
sehari – hari. Sisa uang yang dimilikinya digunakan untuk keperluan yang lain
seperti membeli pakaian, biaya kesehatan, cicilan motor, dan sisanya ditabung
(wawancara dengan Kurnia tanggal 24 Oktober 2009).
Roni bekerja dibagian setrika uap pada industri rajutan Binong Jati diberikan
upah Rp. 900.000 perbulan. Upah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya yang terdiri dari satu orang isteri dan satu orang anak yang masih
balita. Perincian anggaran rumah tangga Roni adalah sebagai berikut.
� Upah rata – rata selama satu bulan Rp.900.000
� Pengeluaran
� Beras untuk 3 orang = 20 kg x @ Rp.2700 = Rp. 54.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.7500 = Rp.225.000
� Biaya sekolah (belum usia sekolah/balita) = Rp. –
� Biaya Listrik = Rp. 50.000
� Biaya lain – lain * = Rp. 60.000 +
Jumlah Rp.389.000 –
Sisa Rp. 511.000
Ket*
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
Berdasarkan perincian anggaran rumah tangga tersebut, kehidupan Roni
masih dapat dikatakan sejahtera karena upah yang diperolehnya selama satu bulan
sebagai pekerja setrika steam uap dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya
sehari – hari. Sisa uang yang dimilikinya digunakan untuk keperluan yang lain
126
seperti membeli pakaian, biaya kesehatan, cicilan motor, cicilan barang elektronik
dan sisanya ditabung (wawancara dengan Roni tanggal 24 Oktober 2009).
Pada proses packing atu bagian finishing lebih banyak dilakukan oleh
perempuan. Mereka bekerja di industri rajutan Binong Jati ini untuk membantu
suami mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari – hari. Sona bekerja dibagian
packing dengan upah Rp. 600.000 perbulan. Upah yang didapatkan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari satu orang suami dan
tiga orang anak. Suami Sona bekerja sebagai pedagang yang penghasilannya
perbulan RP. 700.000 setelah digabung dengan penghasilan suaminya, maka
pemasukan uang keluarga Ibu Sona sebesar Rp. 1.300.000 Berikut ini merupakan
perincian anggaran rumah tangga Sona yakni sebagai berikut.
� Penghasilan rata – rata selama satu bulan Rp.1.300.000
� Pengeluaran
� Beras untuk 5 orang = 30 kg x @ Rp.2700 = Rp. 81.000
� Membeli lauk pauk 30 x Rp.7500 = Rp.225.000
� Biaya sekolah 3 orang anak = Rp 100.000
� Biaya Listrik = Rp. 60.000
� Biaya lain – lain * = Rp. 100.000 +
Jumlah Rp.566.000 –
Sisa Rp. 734.000
Ket*
Biaya lain – lain (minyak goreng, minyak tanah, sabun, pasta gigi, sampo)
127
Berdasarkan perincian anggaran rumah tangga tersebut diketahui bahwa
upah bekerja Sona dibagian packing memang dibawah UMR yang ditetapkan
pemerintah. Namun upah yang didapatkan Sona dengan bekerja di industri rajutan
Binong Jati dipergunakan untuk membantu suami mencukupi kebutuhan rumah
tangga sehari – hari jadi dengan upah tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan
hidup keluarganya. Sisa uang yang dimiliki Sona digunakan untuk keperluan yang
lain seperti membeli pakaian, biaya kesehatan, cicilan barang elektronik, biaya
yang tidak terduga dan sisanya ditabung (wawancara dengan Sona tanggal 24
Oktober 2009).
Upah yang diterima oleh para tenaga kerja yang bekerja di industri rajutan
Binong Jati dapat dikatakan cukup sejahtera karena mereka dapat mencukupi
kebutuhan hidup sehari – hari bahkan ada sisa untuk keperluan lain yang tidak
terduga dan ditabung. Meskipun ada beberapa pekerja yang menerima upah di
bawah UMR yang ditetapkan pemerintah (bagian QC dan packing) namun pekerja
di bagian ini mayoritas perempuan dan mereka bekerja untuk membantu suaminya
mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari.
Pada dasarnya upah yang diterima oleh pekerja digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokok seperti membeli beras, lauk pauk, biaya listrik dan
biaya sekolah anaknya. Untuk lauk pauk kebutuhan minimalnya tahu, tempe,
telur, sayuran dan ikan asin. Pada awal minggu mereka menerima upah dapat
menambah lauk pauk seperti membeli ikan dan daging. Dengan kondisi yang
seperti itu memperlihatkan bahwa pemenuhan gizi para pekerja dan keluarganya
128
mencukupi karena bekerja sebagai buruh di industri rajutan Binong Jati terbukti
dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
Berdasarkan pemaparan di atas dengan melihat penghasilan yang
diperoleh pengusaha dan upah pekerja dapat terlihat kesejahteraan hidup para
pengusaha rajutan dengan pekerja rajutan. Perbedaan kesejahteraan pengusaha
rajutan dengan pekerjanya dapat terlihat dari bangunan rumah masing – masing
dan kendaraan yang dimilikinya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti (Oktober tahun 2009) dapat digambarkan bahwa bangunan rumah yang
dimiliki pengusaha rajutan (Suhaya Wondo dan Jamjam Hendarsah) dapat
dikatakan sangat sejahtera, rumah mereka didirikan di atas tanah yang luas dan
bangunan rumah yang mewah. Bangunan rumah yang dimiliki oleh Wondo dan
jamjam tidak hanya satu rumah namun sampai dua rumah mewah di kawasan
Binong Jati dan dilengkapi juga dengan peralatan elektronik serta kendaraan
bermotor dan mobil yang tidak hanya satu tapi dua mobil. Sedangkan jika melihat
kesejahteraan hidup para pekerja, secara umum mereka hidup sederhana dan
rumah yang mereka miliki juga sederhana namun diantara mereka ada yang
memiliki kendaraan bermotor.
Perbedaan tingkat kesejahteraan antara pengusaha dengan pekerja
mengakibatkan munculnya perbedaan status sosial ekonomi di wilayah Binong
Jati. Dengan adanya perbedaan ini mengakibatkan setiap orang harus berusaha,
dan bekerja keras untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dengan
meningkatkan kinerjanya dalam bekerja. Seorang pekerja pun jika memiliki
semangat dan mau bekerja keras tidak menutup kemungkinan dapat merubah
129
status sosialnya kearah yang lebih baik. Adanya pelapisan sosial dan perbedaan
kedudukan dalam masyarakat Binong Jati tidak mengakibatkan adanya konflik
karena warga Binong jati masih memiliki sikap saling menghormati, menghargai
dan mau saling tolong menolong jika ada warga yang kesulitan.
4.4.3. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Binong Jati Dengan
Berkembangnya Industri Rajutan
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Binong Jati pada dasarnya tidak
terlepas dari keberadaan industri rajutan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
masyarakat Binong Jati menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada usaha
rajutan ini. Industri rajutan ini mulai berkembang sejak tahun 1975 yang awalnya
dirintis dengan sistem makloon oleh beberapa orang warga Binong Jati, salah
satunya adalah Uju. Seiring dengan perkembangannya industri ini terus
mengalami kemajuan karena pada akhirnya banyak masyarakat yang tertarik
untuk ikut serta mengembangkan industri rajutan ini sehingga menjadikan
masyarakat sekitar wilayah Binong Jati menjadi masyarakat industri.
Masyarakat industri menurut Soemardjan dalam buku Sosiologi
Pembangunan (1989:112) yakni masyarakat yang merupakan satu bagian dari
masyarakat modern yang memiliki ciri dimana hubungan antar manusia
didasarkan pada kepentingan – kepentingan pribadi yang biasanya memiliki
tingkat individualitas yang tinggi. Ciri masyarakat tersebut tidak terdapat dalam
masyarakat Binong Jati. Tidak terjadinya sikap individualisme juga dikarenakan
industri yang berkembang di Binong Jati bukan industri besar namun indusri kecil
130
yang lebih mengutamakan kekeluargaan yang menjadikan hubungan antar
masyarakat Binong Jati terjalin secara harmonis.
Sebagian masyarakat Binong Jati telah memiliki pandangan yang luas
dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi. Salah satunya adalah perubahan
sosial ekonomi yang menjadi salah satu dinamika dalam kehidupan masyarakat.
Berkembangnya industri rajutan Binong Jati merupakan jalan bagi masyarakat
untuk meningkatkan taraf kehidupannya dan sebagai mata pencaharian yang dapat
diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Binong Jati sebelum adanya
industri rajutan tidak memiliki kemajuan yang signifikan. Dalam hal mata
pencaharian, masyarakat Binong Jati pada umumnya bekerja sebagai buruh tani,
pedagang, buruh bangunan dan buruh pabrik. Dari masing – masing pekerjaannya
tersebut mereka memiliki penghasilan yang berbeda – beda. Dengan penghasilan
yang demikian maka akan berdampak pada kehidupan sosialnya, salah satunya
adalah kemampuan untuk memberikan fasilitas pendidikan pada anak – anaknya
menjadi terhambat karena penghasilan yang didapat kurang mencukupi.
Berkembangnya industri rajutan Binong Jati merupakan jalan bagi
masyarakat untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan bekerja sebagai
pekerja pada industri rajutan maka pendapatan yang dimiliki setiap bulannya
cukup untuk kebutuhan hidup sehari – hari bahkan memberikan pendidikan yang
layak untuk anak – anaknya. Adanya kesadaran untuk memberikan pendidikan
yang lebih baik pada anak – anaknya dikarenakan masyarakat Binong Jati telah
memiliki pandangan yang lebih maju mengenai pendidikan, mereka berharap
131
dengan pendidikan dapat meningkatkan status sosial keluarganya. Meskipun tidak
semua pekerja rajut Binong Jati mampu memberikan pendidikan sampai jenjang
perguruan tinggi namun mereka tetap mengusahakan agar pendidikan yang
dicapai oleh anaknya melebihi pendidikan orang tuanya.
Kehidupan sosial pada masyarakat Binong Jati mengalami perubahan
walaupun secara lambat. Perubahan yang lambat dinamakan evolusi. Sama halnya
dengan yang diungkapkan oleh Suwarsono dan Alvin Y. (1991) dalam buku
perubahan sosial dan pembangunan di Indonesia bahwa teori evolusi merupakan
gejala perubahan sosial yang berjalan perlahan – lahan, sedikit demi sedikit dan
bertahap. Perubahan ini terjadi dari masyarakat sederhana ke masyarakat modern
yang memerlukan waktu yang lama untuk mencapai tahap terakhir. Perubahan
yang bersifat evolusi terjadi karena adanya usaha yang dilakukan untuk
menyesuaikan diri dengan kebutuhan – kebutuahn, keadaan dan kondisi baru yang
timbul sejalan dengan pertumbuhan suatu masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat terlihat dari bentuk rumah
sebagai tempat tinggal yang dari waktu ke waktu cenderung berubah dari yang
sederhana berubah menjadi lebih modern dengan menggunkan peralatan rumah
tangga yang serba elektronik yang sebelumnya hanya dimiliki oleh kalangan atas
saja. Kehidupan ekonomi seseorang dalam masyarakat juga turut mempengaruhi
kehidupan sosial yang dijalaninya. Pada masyarakat Binong Jati yang mayoritas
mempunyai mata pencaharian di sektor industri rajutan terdapat hubungan yang
didasarkan pada kedudukannya dalam pekerjaan yakni antara bawahan (pekerja)
dengan atasan (pengusaha) yang kehidupan ekonominya berbeda.
132
Kehidupan pekerja industri rajutan Binong Jati dapat dikatakan sederhana
karena upah yang mereka terima hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari – hari
berbeda dengan kondisi pengusaha yang lebih mapan dengan keuntungan yang
mereka dapatkan sangat besar. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari tempat
tinggal yang dimiliki pekerja yang masih sederhana bahkan ada beberapa pekerja
yang masih mengontrak rumah sedangkan tempat tinggal pengusaha sangat
mewah dengan fasilitas yang serba ada.
Dalam hal pembagian kerja pada industri rajutan Binong Jati, meskipun
tidak tertulis jelas namun terdapat struktur pembagian golongan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing – masing, hal tersebut
berkaitan erat dengan sumber daya manusia yang dimiliki. Pembagian kerja
tersebut diantaranya pekerjaan sebagai tukang rajut, linking, jahit, obras, setrika
uap, Quality Control serta Packing, pekerjaan tersebut harus dikerjakan dengan
sebaik mungkin karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap hasil akhir kualitas
produksi rajut Binong Jati.
Dengan adanya pembagian pekerjaan maka memungkinkan terciptanya
interaksi sosial antara pekerja dengan sesama pekerja dan pekerja dengan
pengusaha. Namun terjadinya interaksi sosial tidak hanya terdapat dalam
lingkungan kerja saja namun terjadi juga dengan masyarakat sekitar karena
perkembangan industri rajutan Binong Jati terkait juga dengan keberadaan
masyarakat di sekitar industri. Dengan interaksi yang cukup baik maka akan
tercipta suasana yang damai dan penuh dengan sikap saling menghormati dan
menghargai.
133
Selain perubahan ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya industri
rajutan berdampak pula pada kondisi sosial pekerja yakni mengalami yang
mobilitas sosial. Setiap pekerja memiliki kesempatan untuk merubah
kedudukannya dari lapisan sosial bawah menjadi lapisan sosial atas ataupun dari
lapisan sosial menengah ke lapisan sosial atas. Seperti yang dikemukakan oleh
Horton dan Hunt (1992: 36) mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak
perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial tersebut
dapat berupa peningkatan dan penurunan dalam segi status sosial yang mengalami
perubahan. Biasanya dari segi penghasilan yang dapat merubah status sosial
seseorang.
Mobilitas sosial dapat berlangsung dua arah yaitu peralihan individu atau
objek sosial dari satu kelompok ke kelompok lainnya yang masih sejajar dan
perpindahan individu atau objek lainnya dari satu kedudukan sosial ke kedudukan
sosial lainnya yang tidak sejajar. Hal ini dapat terlihat dari pekerjaan seseorang
yang pada awalnya hanya sebagai pekerja pada industri rajutan Binong Jati namun
dengan semangat dan kerja keras hingga sekarang dapat menjadi pemilik usaha
walaupun masih dalam tahap merintis dengan jumlah pekerja antar 1 – 3 orang.
Melihat kondisi seperti itu maka dapat dikatakan mobilitas sosial yang terjadi
pada pekerja tersebut merupakan suatu peralihan kedudukan dan tidak sejajar
maka hal tersebut dapat dikatakan gerak sosial secara vertikal.
Selain mobilitas sosial vertikal ada juga yang dinamakan mobilitas sosial
horizontal, contohnya seorang pengusaha rajutan yang awalnya hanya memiliki
pekerja sebanyak 5 orang namun dengan semangatnya untuk terus
134
mengembangkan usaha yang dimilikinya maka lama kelamaan usahanya dapat
terus berkembang hingga akhirnya ia memiliki pekerja sampai 20 orang.
Walaupun usahanya mengalami perkembangan namun ia tetap pada kedudukan
sebagai seorang pengusaha yang meningkat hanya jumlah pekerja yang ia miliki.
Dalam hal ini ia mengalami mobilitas sosial horizontal yang menurut Saripudin
dalam bukunya mobilitas dan perubahan sosial (2005 :10) mobilitas horizontal
adalah gerak orang perorangan dan kelompok yang berubah dari satu posisi ke
posisi yang lain namun masih dalam strata/ kedudukan yang sejajar.
Berdasarkan pemaparan diatas memberikan gambaran bahwa kehidupan
sosial ekonomi masyarakat di lingkungan industri rajutan Binong Jati berlangsung
secara harmonis karena adanya nilai kekeluargaan. Hal tersebut yang menjadi
perekat antar masyarakat sehingga keberadaan industri rajutan ini jelas
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar baik dalam hal aspek
ekonomi maupun sosial karena dalam kehidupannya manusia akan selalu
mengalami perubahan dan penyesuaian dengan keadaan di sekitarnya untuk dapat
menciptakan lingkungan yang lebih baik.
top related