inovasi pertanian spesifik lokasi
Post on 28-Oct-2021
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
Volume 6, Nomor 1, Juni Tahun 2020
Pengarah:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Penanggung Jawab:
Kepala Bidang Kerjasama dan Pengembangan Hasil Pengkajian
Reviewer:
Ketua merangkap Anggota:
Rubiyo (Prof. R., Peneliti Ahli Utama, Bidang Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP)
Anggota:
Prof. Dr. Sahardi Mulia, MS /Peneliti Ahli Utama Bidang Budidaya dan Produksi Tanaman Dr. Ir. Muchamad Yusron, M.PHIL /Peneliti Ahli Utama Bidang Budidaya Tanaman Dr. Chandra Indrawanto, M.Sc /Peneliti Ahli Utama Bidang Ekonomi Pertanian
Mitra Bestari
Ir. Rachmat Hendayana, M.S. /Peneliti Ahli Utama Bidang Ekonomi Pertanian
Redaksi pelaksana
Elya Nurwullan, SP. M.Si Yovita Anggita Dewi, S.TP, M.Sc Mulni Erfa, SE Catur Oktavian Indri Hastuti, SP.MP Agung Susakti, A.Md
Alamat Redaksi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10 Bogor, Indonesia Telepon/Fak : (0251) 8351277 – (0251) 8350928 E-mail : buletininovasipsl@gmail.com Website : http://www.bbp2tp.lirbang.pertanian.go.id
Buletin diterbitkan oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Merupakan
media ilmiah, memuat naskah primer berupa hasil penelitian, pengkajian dan diseminasi inovasi
pertanian dan naskah sekunder/tinjauan berupa tinjauan kritis, gagasan, opini maupun konsep orisinil
inovasi pertanian. Ruang lingkup materi, mencakup aspek teknis agronomis, sosial, ekonomi dan
kelembagaan, khususnya bernuansa spesifik lokasi.
ISSN -2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 6 Nomor 1, Bulan Juni 2020
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
ISSN -2407-0955
Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 6 Nomor 1, Bulan Juni 2020
PENDAMPINGAN KAWASAN KEDELAI MELALUI INTRODUKSI INOVASI TEKNOLOGI DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN DI LAMONGAN, JAWA TIMUR Amik Krismawati dan Kasmijati .......................................................................................................... 1 - 16
INOVASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BERBASIS KELAPA DI WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD G.H. Joseph, Agustinus N. Kairupan, Meivie Lintang ....................................................................... 17 - 24
ANALISIS KELAYAKAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS Rusli Burhansyah ............................................................................................................................. 25 - 34
USAHATANI JAGUNG HIBRIDA VARIETAS BIMA 19-URI DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN SUMATERA SELATAN Maya Dhania Sari dan Suparwoto .................................................................................................... 35 - 40
PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium cepa L.) DI KABUPATEN BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT Muhammad Syahri Mubarok dan Muhammad Arifin Muflih .............................................................. 41 - 49
TEKNOLOGI PEMUPUKAN INFUS AKAR DAN PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN PALA DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Risma Fira Suneth, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas ........................................................... 50 - 58
APLIKASI AUKSIN DAN SITOKININ UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA BUOL ST-1 Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah ............................................................................ 59 - 69
MUTU BENIH RIMPANG JAHE SELAMA PENYIMPANAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Melati dan Devi Rusmin.................................................................................................................... 70 - 77
INTRODUKSI INOVASI TEKNOLOGI PERBENIHAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN JENGKOL DI SUMATERA UTARA Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung ................................................. 78 - 84
STRATEGI PENGEMBANGAN LUMBUNG PANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH PERBATASAN Yennita Sihombing ............................................................................................................................ 86 -100
1 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
PENDAMPINGAN KAWASAN KEDELAI MELALUI INTRODUKSI INOVASI TEKNOLOGI DAN PENGUATAN
KELEMBAGAAN DI LAMONGAN, JAWA TIMUR
Amik Krismawati dan Kasmijati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang
Email: krismawati_amik@yahoo.com
ABSTRACT
Soybean Area Advisory Through Technology Innovation and Institutional Strengthening in Lamongan
District, East Java. The assessment were carried out at Lamongan Regency in 2019. This assessment aim
to documenting the socio-economic conditions of soybean farmers, also aim to encourage farmers to adopt
soy technology, and strengthen corporate-based farmer institutions. Activities began with coordination
with the relevant agencies and then conducted a survey, VUB display, completed with FGD. The results of
the activity show: the age of the farmers is in the productive age with an average land ownership between
0.25 - 1.0 hectare. At the location, there are 9 farmer groups that have legal status, high member
participation, and have received assistance from the government. Dena-1 varieties produce 2.28 t/ha, and
Anjasmoro 1.92 t/ha. The profit value of Dena-1 and Anjasmoro is Rp. 4.8 million and Rp 2.7 million with
a value and R/C 1.49 and R/C 1.31. Action plans need to be developed to strengthen corporate-based
farmer economic institutions, downstream soy products, supply chain structuring and marketing
development, as well as facilitate soybean area business development, accessibility to financing and
insurance institutions, investment and partnership development, and human resource capacity building.
Keywords: soybean, assessment, technology innovation, institutional strengthen
ABSTRAK
Kegiatan pendampingan yang dilakukan di Kabupaten Lamongan tahun 2019, bertujuan selain untuk
mendokumentasikan kondisi sosial ekonomi petani kedelai juga bertujuan mendorong petani untuk mengadopsi
teknologi kedelai, dan melakukan penguatan kelembagaan petani berbasis korporasi. Kegiatan dimulai dengan
koordinasi ke dinas terkait kemudian dilakukan survei, display VUB, dilengkapi dengan FGD. Hasil kegiatan
menjunjukkan: usia petani berada dalam usia produktif dengan penguasaan lahan rata-rata antara 0,25 – 1,0 hektar. Di
lokasi terdapat 9 kelompok tani yang telah berbadan hukum, partisipasi anggota cukup tinggi, dan pernah menerima
bantuan dari pemerintah. Varietas Dena-1 menghasilkan 2,28 ton/ha, dan Anjasmoro 1,92 ton/ha. Nilai keuntungan
Dena-1 dan Anjasmoro masing-masing Rp. 4,8 juta dan Rp 2,7 juta dengan nilai dan R/C 1,49 dan R/C 1,31. Rencana
aksi perlu disusun penguatan kelembagaan ekonomi petani berbasis korporasi, hilirisasi produk kedelai, penataan
rantai pasok dan pengembangan pemasaran, serta fasilitasi pengembangan usaha kawasan kedelai, aksesibilitas
terhadap lembaga pembiayaan dan asuransi, pengembangan investasi dan kemitraan, dan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia.
Kata kunci: kedelai, pendampingan, inovasi teknologi, penguatan kelembagaan
2 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
PENDAHULUAN
Karakteristik umum pertanian rakyat yang
beskala kecil tersebar dan terfokus di on farm,
mengakibatkan usahatani tidak efisien dan
cenderung subsistem. Produk yang dihasilkan
petani umumnya memiliki jenis dan mutu yang
tidak seragam, serta manajemen usaha yang masih
tradisional. Oleh karena itu, diperlukan upaya
untuk mengkonsolidasikan petani agar mampu
memperoleh berbagai efisiensi dalam mendapatkan
sarana produksi dan memasarkan produk, sehingga
kelembagaan petani yang masih terfokus di on
farm dapat bertransformasi menjadi kelembagaan
ekonomi petani berbadan hokum yang terintegrasi
dalam suatu lembaga Korporasi Petani.
Gabungan kelompok tani yang telah
terkonsolidasi dapat berintegrasi atau membentuk
kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum
berupa koperasi atau badan usaha lain sesuai
ketentuan peraturan perundang–undangan sehingga
dapat bermitra dengan perusahaan yang bergerak di
bidang industri pengolahan atau perdagangan
(Permentan, 2018).
Jawa Timur merupakan salah satu sentra
kedelai di Indonesia. Untuk mempercepat
swasembada pangan khususnya kedelai dilakukan
pengembangan kawasan pertanian yang telah
ditetapkan melalui Permentan No. 18/2018 tentang
Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian,
berbasis korporasi petani dan untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunan pertanian serta
pengembangan kawasan pertanian sesuai dengan
arah pembangunan pertanian berkelanjutan maka
pengembangan kawasan pertanian dilaksanakan
melalui pengembangan kawasan pertanian berbasis
korporasi petani (Permentan, 2018). Berdasarkan
Kepmentan No. 472/2018 lokasi pengembangan
kawasan kedelai di Jawa Timur meliputi kabupaten
Ponorogo, Lamongan, Malang, Pasuruan, Blitar,
Situbondo, dan Banyuwangi, Bangkalan, dan
Sumenep.
Kabupaten Lamongan memiliki wilayhnya
berbatasan dengan laut Jawa disebelah utara,
disebelah timur berbatasan dengan Gresik,
diselatan berbatasan dengan Mojokerto dan
Jombang Di sebelah barat berbatasan dengan
Bojonegoro dan Tuban.
Secara topografi, Lamongan terdiri dari
daratan rendah dengan ketinggian 0-25 mdpl
sebanyak 50,17% dari keseluruhan luas wilayah
sebanyak 45,68% berada pada ketinggian 25-100
mdpl seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berada di
atas 100 mdpl.
Kedelai merupakan komoditas unggulan di
Lamongan, dengan berbagai produk olahan untuk
konsumsi kedelai (Sudaryanto dan Swastika, 2007;
Yohanis, 2013). Kedelai dikenal sebagai sumber
protein nabati, umumnya dikonsumsi dalam bentuk
produk olahan berupa tahu, tempe, kecap, tauco,
susu kedelai dan berbagai bentuk makanan ringan.
Permasalahan utama yang dihadapi petani adalah
harga kedelai ditingkat petani yang relatif rendah
dan pengairan yang terbatas provitas kedelai
rendah.
Tujuan kegiatan pendampingan selain untuk
mendokumentasikan kondisi sosial ekonomi petani
kedelai di lokasi target, juga mendorong
peningkatan adopsi teknologi kedelai, dan
melakukan penguatan kelembagaan petani berbasis
korporasi.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Desa Kedung
Banjar, Kecamatan Sugio, Lamongan, bulan Maret
- Desember 2019. Metode pendampingan diawali
dengan baseline survei dengan teknik wawancara
menggunakan alat bantu kuisioner melibatkan 30
orang petani menggunakan teknik “simple random
sampling”. Selain data primer dikumpulkan juga
data sekunder melalui PRA (Chambers, 1992).
Kegiatan lainnya melaksanakan percontohan
model usaha tani terbaik dirancang menggunakan
RAK tiga ulangan pada lahan masing-masing
seluas 0,25 ha. Perlakuan terdiri atas 4 varietas
kedelai yaitu (1) Dena-1, (2) Dering-1, (3) Devon-
1, (4) Detap-1, (5) Anjasmoro, dan (5) Dega-1.
3 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Display VUB kedelai diawali dengan Kajian
Kebutuhan dan Peluang (KKP), menyusun
komponen teknologi kesepakatan dalam
pelaksanaan kegiatan.
Pengamatan dilakukan terhadap parameter
vegetatif, dan komponen hasil, serta respon petani.
Produksi kedelai dihitung secara ubinan 2,5 m x
2,5 m pada masing-masing varietas diulang 3 kali.
Analisis data produktivitas kedelai
menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of
Variance-ANOVA). Jila nilai F hitung sangat nyata,
dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf ᾳ = 5 (Gomez and
Gomez, 1993; Sastrosupadi 2005))
Tingkat kemampuan pengembalian atas
biaya usaha tani kedelai dihitung berdasarkan
nisbah penerimaan (R=revenue) atas biaya input
(C=cost), sedangkan pendapatan usaha tani
merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya
produksi.
Kelayakan ekonomi penerapan teknologi di
analisis menggunakan R/C, dengan rumus:
a = R/C (R = Py.Y; C = FC + VC)
a = (Py.Y) / (FC + VC).
Dalam hal ini : R = Revenue (penerimaan); C
= cost (biaya); Py = Price (harga output); Y =
Yield (output); FC = Fixed cost (biaya tetap); VC =
Variable cost (biaya variabel) (Soekartawi dan
Soeharja, 2011).
Pelaksanaan FGD yang dilaksanakan di
Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura,
dan Perkebunan Kabupaten Lamongan. FGD
dilaksanakan kurang lebih 2 jam dengan
menggunakan pertanyaan pemandu yang telah
disusun terlebih dahulu. Respon atau komentar
partisipan diarahkan agar dapat menstimulasi dan
mempengaruhi pemikiran serta keinginan berbagai
partisipan lainnya. Menurut Taufik dan Muslimin
(2019), FGD bertujuan untuk mendapatkan
informasi yang dapat dijadikan acuan untuk
merancang dan melaksanakan pendampingan
kawasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Kawasan Kedelai
Perhitungan usia petani di Desa Kedung
Banjar, menunjukan bahwa 86,6% petaninya
tergolong dalam usia yang produktif yaitu pada
rentang umur 15-64 tahun, sedangkan sisanya
sekitar 13,33% tergolong pada usia yang tidak lagi
produktif atau diatas 65 tahun. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Mantra (2004), yang
menyatakan bahwa umur produktif secara ekonomi
dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu kelompok umur
0-14 tahun merupakan usia belum produktif,
kelompok umur 15-64 tahun merupakan kelompok
usia produktif, dan kelompok umur di atas 65 tahun
merupakan kelompok usia tidak lagi produktif.
Usia produktif merupakan usia ideal untuk bekerja
dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
produktivitas kerja serta memiliki kemampuan
yang besar dalam menyerap informasi dan
teknologi yang inovatif khususnya di bidang
pertanian
Sebagian besar petani menggantungkan
hidupnya pada profesi pekerjaan bertani, hal ini
ditunjukkan oleh persentase pekerjaan petaninya
dimana sebanyak 80% petani tidak memiliki
pekerjaan atau pendapatan lain selain dari bertani,
presentasi pekerjaan selanjutnya dikuti oleh Petani
– Swasta sebesar 6,66%, dan pekerjaan sebagai
Petani – Pedagang, Petani – Pensiunan guru, Petani
– Kuli, Petani – PNS memiliki persentase masing –
masing hanya 3,33%.
Dapat dilihat bahwa pada kelompok tani di
Kecamatan Sugio mayoritas menggunakan pola
tanam padi-padi-kedelai dengan persentase sebesar
67% dan sisanya sebesar 33% menggunakan pola
tanam padi-jagung-kedelai (Gambar 1).
Penguasaan lahan petani terdapat tiga kategori
penguasaan lahan yang ada, yaitu lahan sawah,
lahan tegalan, dan juga lahan perkarangan. Dari
hasil perhitungan 30 responden yang ada, diperoleh
total seluruh luas lahan yang dikelola petani untuk
kegiatan bertani sebesar 23,04 ha dimana hampir
seluruh lahan merupakan jenis lahan sawah dengan
presentasinya sebesar 96,30%, sedangkan sisanya
4 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
lahan tegalan sebesar 2,4% dan lahan perkarangan
hanya sebesar 1,14%.
Berdasarkan hasil wawancara didapatkan
hasil bahwa sebagian besar petani yang dijadikan
sampel penelitian berpendidikan rendah, hal ini
ditunjukan seperti pada tabel diagram di atas
bahwa dari 30 responden yang berpendidikan SD
sebanyak 50%. Sedangkan berpendidikan SMP
sebanyak 13%, SMA 30% dan berpendidikan
tinggi sebanyak 3%. Dilihat dari tingkat pendidikan
yang ditamatkan oleh responden yang masih
rendah tersebut, berimplikasi pada proses usaha
tani di Kabupaten Lamongan. Dimana dalam teori
sumber daya manusia menunjukan, bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang, cenderung semakin
tinggi pengetahuan dan pemahamannya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ellyta (2015),
mengemukan bahwa dengan pendidikan akan
menambah pengetahuan, mengembangkan sikap
dan menumbuhkan kepentingan petani terutama
dalam menghadapi perubahan. Menurut Herlina
dan Maisyura (2019), tingkat pendidikan individu
dapat menunjukkan kualitas seseorang, hal ini
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam
menyerap berbagai pengetahuan. Seseorang yang
berpendidikan tinggi akan cenderung terbuka untuk
menerima hal – hal yang baru dan berani untuk
mencoba hal baru tersebut.
Berdasarkan hasil survei, terlihat bahwa
sebagian besar petani memiliki lama pengalaman
berusahatani sekitar 11 - 20 dan 21 - 30 tahun, baik
bagi petani anggota kelompok tani penyewa lahan
menjadi maupun lahan sendiri. Pengalaman usaha
tani dapat dikategorikan cukup lama, disebabkan
sebagian besar mata pencaharian masyarakat
sebagai petani dan penduduk asli dari desa
tersebut.
Tingkat pengalaman berusahatani yang
dimiliki petani secara tidak langsung akan
mempengaruhi pola pikir. Petani yang memiliki
pengalaman berusahatani lebih lama akan lebih
mampu merencanakan ushatani dengan lebih baik,
karena udah memahami segala aspek dalam
berusahatani, sehingga semakin lama pengalaman
yang didapat memungkinkan produksi menjadi
lebih tinggi. Menurut Linder (1982), Soekartawi,
(1990) dan Subagiyo (2005) dalam Hendayana
(2016), dikatakan jarak tempat tinggal petani dari
sumber informasi, tingkat pendidikan/ pengetahuan
petani, moivasi, keterlibatan dalam organisasi,
komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan
dan terpaan media masa, kebijakan pemerintah,
peran tokoh informal dan tokoh agama dan sistem
sosial dan nilai-nilai/norma juga berpengaruh
dalam percepatan adopsi.
Karakteristik Wilayah dan Kelembagaan
Kecamatan Sugio
Jumlah kelompok tani yang berada di
Kecamatan Sugio adalah 9 kelompok tani yang
seluruh kelompok tani telah berbadan hukum dan
memiliki struktur organisasi, frekuensi pertemuan
dalam setahunnya berkisar antara 1 kali hingga 6
kali pertemuan dengan tingkat partisipasi yang
cukup tinggi yaitu berkisar antara 50% hingga
80%. Menurut Tedjaningsih (2018), keberadaan
kelompok tani sebagai unit/tempat produksi
dirasakan oleh responden penting. Adanya
kelompok sebagai tempat produksi menurut
responden sangat membantu perekonomian
keluarga, karena dapat menambah penghasilan
keluarga dengan mempekerjakan anggota keluarga
kelompok tani tersebut.
Kelompok tani yang berada di Kecamatan
Sugio menggunakan sistem pemupukan modal
kelompok dengan dana PUAP, pinjaman bunga
lunak dan mandiri. Dengan persentase dana PUAP
sebesar 40%, pinjaman bunga lunak sebanyak
40%, dan mandiri sebanyak 20%. Sebagian besar
kelompok tani yang berada di Kecamatan Sugio
sudah mengakses bank dengan presentase sebesar
78% dan yang belum mengakses sebesar 22%.
Seluruh kelompok tani yang telah mengakses bank
menggunakan dana tersebut untuk sarana produksi.
Kelembagaan input saprodi dan pemasaran
ouput di Kec.Sugio masih terbatas.. Pasar yang
tersedia adalah pasar umum dan pasar-pasar
tradisional (Tabel 1).
5 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Tabel 1. Kelembagaan saprodi, pemasaran output, dan kelompok tani, Kecamatan Sugio
No. Komponen PTT Kegiatan
1 KUD Melayani kebutuhan masyarakat secara umum
2 Kios Saprotan Melayani kebutuhan sarana produksi petani (pupuk Urea, NPK
Phonska, pestisida, insektisida, fungisida, benih)
3 Kios/pasar Produk Pertanian Berupa pasar umum
4 Kelompok Tani 9 kelompok tani
Sebagian besar petani membeli sarana
produksi paling banyak kepada kios saprodi
sebesar 43%. Sedangkan petani membeli sarana
produksi paling sedikit kepada pengepul dan toko
pertanian masing-masing sebesar 14%. Kemudian,
sisanya petani membeli sarana produksi kepada
kelompok tani sebesar 29%. Gapoktan di
Kecamatan Sugio belum memiliki unit usaha
pemasaran hasil kelompok. Petani
menjual/memasarkan hasil produksi paling banyak
kepada tengkulak sebesar 62,5% dan sisanya
sebanyak 37,5% kepada pedagang pengumpul.
Gapoktan juga belum memiliki usaha pengolahan
hasil, sehingga jenis olahan juga belum ada.
Jumlah penyuluh di lokasi pendampingan
masih kurang dibandingkan jumlah kelompok tani
yang harus didampingi. Jumlah kelompok tani
sebanyak 9 kelompok, sedangkan jumlah penyuluh
5 orang. Putri dan Safitri (2018), menjelaskan
bahwa peran penyuluh dalam penerapan teknologi
diukur dengan sebagai berikut: (1). Penyuluh
sebagai penghubung peneliti, dan petani, (2).
Penyuluh sebagai organisator dan dinamisator, (3).
Penyuluh sebagai teknisi, dan (4). Penyuluh
sebagai pembimbing.
Potensi, Masalah, dan Peluang Pengembangan
Pertanian
Sebelum pelaksanaan kegiatan FGD di
tingkat kabupaten, dilakukan Pra FGD di tingkat
desa untuk menggali permasalahan,
mengidentifikasi permasalahan yang ada di tingkat
desa dan apa solusi yang akan kita lakukan sebagai
bahan masukan ke tingkat kabupaten pada
pelaksanaan FGD di tingkat kabupaten dalam
rangka Pendampingan Kawasan berbasis Korporasi
petani Komoditas Kedelai di Kecamatan Sugio
Kabupaten Lamongan.
Teknik pengumpulan data, dengan cara pra
FGD dengan melibatkan “orang kunci”. Tekniknya
yaitu wawancara kepada kelompok tani target
untuk mendapatkan informasi pendapatan usaha
tani kedelai dengan alat bantu berupa kuesioner.
Data yang terkumpul di analisis secara deskriptif.
Dalam pra FGD disampaikan hasil display yakni
varietas Dena memperoleh provitas tertinggi yaitu
2.82 ton/ha, sedang varietas eksisting Wilis 1,65
ton/ha. Provitas yang dihasilkan masih berbeda
dengan potensi hasil varietas dikerenakan
keterbatasan ketersediaan air dan serangan hama
tikus. Kegiatan perlu dilanjutkan pada tahun
berikutnya dengan menanam VUB baru yang
adaptif di Desa Kedung Banjar dan untuk
pemasarannya berharap bantuan dari BPTP untuk
menumbuhkan dan membangun koprorasi agar ada
keterjaminan harga.
Hasil baseline survei menunjukkan bahwa di
Kecamatan Sugio terdapat 9 Desa dengan 38
kelompok tani dengan anggota lebih dari 3.500
orang. Penerapan pola tanam padi-padi-kedelai
sebanyak 67% sedangakan dengan pola tanam
padi-padi-palawija 33%, dengan provitas kedelai
mencapai 1,65 ton/ha, dengan kepemilikan lahan
antara 0,3 – 1,0 ha/orang, dan banyak petani yang
menggarap lahan pertaniannya sendiri. Dari 9 desa
yang menjadi sentra kedelai hanya 1 desa yang
memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan
berperan dengan baik. Petani yang mengakses
6 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
Bank cukup banyak dan digunakan untuk sarana
produksi dan bukan untuk kegiatan konsumtif.
Olahan kedelai baru dilaksanakan di masing-
masing rumah tangga sebanyak 22%, sedangkan
sisanya 78% belum ada usaha pengolahan hasil.
Penumbuhan kembagaan dan ekonomi petani
menjadi hal yang perlu dikembangkan untuk
kedelai.
Hasil pelaksanaan pra FGD yakni
identifikasi masalah, peringkat dan solusi dalam
usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur disajikan pada Tabel 2 dan identifikasi
kelembagaan yang ada di Kabupaten Lamongan
disajikan pada Tabel 3.
Menurut Mejaya et al. (2015), petani belum
menggunakan benih unggul dan teknik pengelolaan
tanaman belum optimal. Teknologi produksi
kedelai meliputi: varietas unggul, teknik
pengelolaan lahan, air, tanaman dan organisme
pengganggu tanaman. Menurut Endrizal et al.
(2019), permasalahan dan kendala di lapangan
dapat diatasi jika petani relatif intensif didampingi
oleh PPL dan BPTP. Pendampingan inovasi yang
diharapkan adalah sesuai dan tepat dati hulu
sampai ke hilir, serta penerapan Good Agriculture
Practice (GAP) dan Good Handling Practice
(GHP), sehingga produktivitas dan kualitas
tanaman kedelai dapat ditingkatkan.
Tabel 2. Identifikasi masalah, peringkat dan solusi kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
No Identifikasi Masalah Rank Pemecahan Masalah
1. Harga 1 Menaikkan harga kedelai dari Rp 5.500 menjadi Rp 8.000
2. Air/pengairan 2 Melakukan pengerukan waduk
Perbaikan saluran irigasi
3. Hama dan Penyakit 3 Melakukan pemberantasan hama tikus dengan sistem grobyokan
4. Benih 4 Membutuhkan benih unggul kedelai
Perlu membentuk lembaga perbenihan
5. Provitas Rendah 5 Perlu ada introduksi teknologi untuk peningkatan produksi
6. Pestisida 6 Mahalnya harga pestisida maka diperlukan pestisida nabati
Berdasarkan hasil wawancara dikatakan
penjualan kedelai di Desa Kedung Banjar dari
petani dijual ke tengkulak yang ada di Desa
Kedung Banjar dan petani ada juga yang langsung
menjual ke pabrik tahu. Selanjutnya dari pedagang
tengkulak dijual ke pedagang pengumpul yang
berasal dari luar desa yakni Desa Sugio, Desa
Dampang, dan Kabupaten Sidoarjo. Penjualan
kedelai oleh pedagang tengkulak juga dijual ke
home industri dan pabrik tahu. Petani sudah pernah
mencoba untuk memotong rantai pasok penjualan
kedelai dengan menjual langsung ke pabrik tahun
namun mengalami kendala dengan rendemen hasil
tidak sesuai yang diharapkan oleh pabrik tahu dan
terkendala kebersihan. Harga jual kedelai ditingkat
petani berkisar Rp. 5.500 sampai dengan Rp.
6.000.
Pelaksanaan FGD Kegiatan Pendampingan
Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
Komoditas Kedelai di Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten
Lamongan. Kegiatan FGD sebagai tindak kegiatan
Pra FGD dan tindak lanjut hasil kerja Tim
Monitoring dan Evaluasi (Monev) BPTP Jawa
Timur dengan dimana nantinya melalui FGD dapat
diperoleh solusi tepat untuk pengembangan
kawasan korporasi tersebut. Dalam kegiatan FGD
dihadiri Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan,
Hortikultura, Perkebunan Kabupaten Lamongan,
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortilutura,
7 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
BAPEDA, bidang perekonomian PEMDA, Dinas
Koperasi, BBSB, PU Pengairan, BPP Sugio, BPP
Tikung, BPP Kembangbahu, BPP Kedungpring,
BPP Mantup, Gapoktan Mekarsari, Desa Kedung
Banjar, Kecamatan Sugio, dan kelompok tani.
Tabel 3. Identifikasi kelembagaan yang ada di Kabupaten Lamongan
No Nama Kelembagaan
yang ada
Kondisi Kelembagaan dan
Peranannya
Keterangan
1. Kelompok Tani 4 Kelompok Tani (Sumber
luhur, Gemah Ripah, Sumber
Rejeki dan Budi Rahayu)
Hampir semua kelompok masih berjalan aktif
Pertemuan kelompok masih dilakukan
3. BUMDes 1 buah Belum berjalan
4. Koperasi Wanita 1 KOPWAN Usaha simpan pinjam khusus bagi kaum ibu
Peminjaman dana untuk kegiatan home industri
5. PNPM Peminjaman modal lebih difokuskan untuk kaum
wanita untuk industri rumahan
FGD merupakan sebuah bentuk penelitian
kualitatif yang didalam kelompoknya peserta dapat
bertanya tentang sikap mereka terhadap masalah
dalam topik yang dibahas. FGD dibuka oleh
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan,
Hortikultura, Perkebunan Kabupaten Lamongan.
Dalam arahan Kepala Dinas Pertanian Dinas
Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura,
Perkebunan Kabupaten Lamongan sekaligus
membuka acara, diharapkan agar kegiatan
pendampingan kawasan pertanian berbasis
korporasi petani. Di masa kini, pertanian tidak bisa
dikelola sendiri-sendiri oleh petani. Perlu
dukungan semua pihak hingga petani bisa lebih
kuat dalam bentuk korporasi petani dan berada
dalam kawasan pertanian. Korporasi petani adalah
Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum
berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan
sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh
petani sehingga mereka punya posisi tawar
(bargaining) atas produk yang mereka hasilkan,
Dalam pelaksanaan FGD disampaikan
identifikasi potensi dan permasalahan dalam
rangka penyusunan rencana aksi pengembangan
kawasan sesuai masterplan; Pembentukan Unit
Manajemen Korporasi (UMK) yang terdiri dari
perwakilan anggota kelompok atau gapoktan yang
dipilih secara musyawarah dan mufakat. Tim
pengarah dari UMK dapat berasal dari dinas atau
instansi pemerintah, atau tokoh masyarakat yang
berpengaruh dalam pengembangan kawasan
pertanian komoditas kedelai.
Rencana aksi disusun secara bersama antara
dinas kabupaten/kota dengan UMK berdasarkan
Masterplan dan/atau hasil identifikasi potensi dan
masalah pengembangan kawasan; Rencana aksi
disusun dalam rangka: Penataan kelembagaan
ekonomi petani berbasis korporasi petani berbadan
hukum; Hilirisasi produk kedelai yang dihasilkan;
Penataan rantai pasok yang efisien dan adil bagi
petani dan pengembangan pemasaran; Fasilitasi
pengembangan usaha kawasan kedelai;
Aksesibilitas terhadap lembaga pembiayaan dan
asuransi; Pengembangan investasi dan kemitraan;
Peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia
(SDM).
Teknologi Display Tanaman Kedelai
Display VUB kedelai diawali dengan Kajian
Kebutuhan dan Peluang (KKP) untuk menggali
potensi dan permasalahan di lokasi kegiatan,
menyusun komponen teknologi kesepakatan dalam
pelaksanaan kegiatan. Hasil KKP lokasi display
VUB kedelai di lahan sawah, kelompok tani
Sumber Luhur, Desa Kedung Banjar, Kecamatan
Sugio, Kabupaten Lamongan, 2019 disajikan pada
Tabel 4.
8 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
Tabel 4. Hasil KKP lokasi display VUB kedelai di lahan sawah, kelompok tani Sumber Luhur,
Desa Kedung Banjar, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, 2019
No Rekomendasi
Umum Kebiasaan Petani Kesepakatan
1 Varietas unggul Wilis, Anjasmoro Anjasmoro, Dena-1 (FS), Devon-1 (FS), Dega-1 (BS),
Dering- (FS), Detap-1 (FS)
2 Benih bermutu Tidak berlabel Berlabel BS, FS, dan SS. Benih dicampur insektisida
Marshall 25 ST dengan dosis 5 gram per kg benih.
3 Olah tanah
sempurna
Olah Tanah Minimum Jerami padi dibabat digunakan sebagai mulsa. Dibuat
petakan dengan lebar 2 m dan panjang sesuai kondisi
lahan dengan kedalaman 20 cm. Antar petakan dibuat
drainase sedalam 25 cm dan lebar 50 cm dan panjang
sesuai dengan kondisi lahannya.
4 Bahan organik/
pupuk kandang
Tanpa pupuk organik Tanpa pupuk organik
5 Atur tata tanam Disebar Lubang tanam ditugal 2-3 cm. Jarak tanam 40 cm x 15
cm. Ditanam 2 biji/lubang, ditutup dengan pupuk
organik sekitar 40 kg/ha. Lubang penugalan ditutup
dengan pupuk organik 4-5 gram/lubang
6 Kebutuhan benih 70 – 80 kg/ha 40 kg/ha
7 Pemupukan N
(Urea), P (SP-
36), K (KCl) per
ha
Disebar
Umur 21 HST, NPK
Phonska = 150 kg/ha
I. 21 HST, Urea = 50 kg/ha + NPK Phonska: 150 kg/ha
II. 42 HST, NPK Phonska: 100 kg/ha
Pemupukan I, diberikan 5-7 cm pada saat penyiangan
pertama sepanjang barisan tanaman. Pemupukan II,
diberikan 5-7 cm pada saat penyiangan kedua
sepanjang barisan tanaman.
8 Pengairan Pengairan diberikan umur 14
hst, 28 hst, dan 42 hst
Pengairan diberikan jika kelembaban tanah tidak
mencukupi terutama pada stadium awal, awal
pertumbuhan (15 – 21 hst), berbunga (23 – 35 hst), dan
pengisian polong (65 – 75 hst) menggunakan sumber
air dari sungai
9 Pengendalian
hama dan
penyakit secara
terpadu
Penyemprotan 25 hst dengan
insektisida Prevathon 3 botol
(@ 0,25 liter). 45hst
disemprot dengan Prevathon
3 botol (@ 0,25 liter)
Mengikuti prinsip-prinsip Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) secara bijaksana sesuai jadual tanam.
Penggunaan insektisida secara bijaksana sesuai prinsip
ambang ekonomi
10 Pengendalian
gulma secara
tepat
30 hst: herbisida Rumpass
sebanyak 2 liter per ha
Pengendalian gulma dilakukan umur 21 HST dan 42
HST. Pengendalian gulma dilakukan manual
menggunakan cangkul atau dicabut. Secara kimia
dengan herbisida jenis kontak. Bersamaan penyiangan
pertama dilakukan pembubunan tanaman.
11 Panen Produktivitas 1,65 ton/ha Daun sudah luruh dan 95% polong sudah berwarna
kuning-coklat atau coklat kehitaman (tergantung
varietas). Dilakukan secara konvensional (disabit atau
dicabut)
9 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Pelaksanaan display dengan menerapkan
komponen PTT kedelai berdasarkan hasil KKP
Kabupaten Lamongan dilakukan perbaikan
teknologi budidaya kedelai. Secara prinsip tujuan
pengembangan pendekatan PTT kedelai adalah
untuk: (1) Peningkatan produktivitas, (2)
Peningkatan nilai ekonomi/keuntungan usaha tani
berbasis kedelai melalui efisiensi input, dan (3)
Melestarikan sumberdaya untuk keberlanjutan
sistem produksi. Pendekatan PTT padi mengacu
kepada keterpaduan teknologi dan sumberdaya
setempat yang dapat menghasilkan efek sinergis
dan efisiensi yang tinggi, sebagai wahana
pengolahan tanaman dan sumber daya spesifik
lokasi (Balitkabi, 2016).
Display VUB dengan penerapan komponen
PTT menggunakan varietas Anjasmoro, Dena-1,
Dering-1, Devon-1, Detap-1, dan Dega-1 yang
dilaksanakan pada Musim Kemarau II (MK-II)
yakni minggu ke-2 bulan Juli 2019 di Desa Kedung
Banjar, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan,
dengan kelompok tanui pelaksana adalah Sumber
Luhur. Pengamatan tanaman kedelai pada Display
meliputi pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman,
jumlah daun, dan jumlah cabang), parameter
generatif/reproduktif (jumlah polong per tanaman),
komponen hasil (bobot 100 biji dan hasil kedelai
kering ose) lebih baik dibandingkan dengan
tanaman kedelai eksisting. Hasil pengamatan pada
Display VUB dengan penerapan komponen PTT
menunjukkan bahwa partumbuhan vegetatif,
generatif, dan komponen hasil disajikan pada Tabel
5 dan 6.
Dari hasil pengamatan komponen hasil dan
hasil biji kering ose menunjukkan bahwa dengan
Dari hasil pengamatan komponen hasil dan hasil
biji kering ose menunjukkan bahwa dengan
menerapkan teknologi PTT terjadi peningkatan
hasil kedelai biji kering ose dibanding eksisting
dengan menggunakan varietas Wilis. Salah satu
komponen PTT dan teknologi wajib yakni
penggunaan VUB memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap peningkatan komponen hasil
dan hasil biji kering ose. Hal ini sesuai dengan
Gabesius et al., (2012), yang menyatakan bahwa
varietas memegang peranan penting dalam
perkembangan penanaman kedelai karena untuk
mencapai produktivitas yang tinggi sangat
ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas
unggul yang ditanam. Menurut Ratnasari et al.,
(2015), produktivitas kedelai dapat ditingkatkan
diantaranya dengan perbaikan teknik budidaya
melalui sistem pemupukan dan penggunaan
varietas unggul sifat genetik yang tidak sama, hal
ini dapat dilihat dari penampilan dan karakter dari
masing-masing varietas tersebut. Perbedaan sifat
genetik dapat menunjukkan respon yang berbeda
terhadap lingkungan dan faktor produksi.
Display VUB dengan menerapkan
komponen PTT menggunakan varietas Dena-1
memperoleh produktivitas kedelai sebesar 2,28
ton/ha dan dapat meningkatkan hasil 38,18%,
sedang produktivitas terendah diperoleh varietas
Anjasmoro yang rata-ata hasilnya 1,92 ton/ha,
dapat meningkatkan hasil 16,36% dibandingkan
rata-rata hasil petani yakni 1,65 ton/ha
(menggunakan varietas Wilis). Menurut Abdullah
et al. (2015), varietas unggul merupakan salah satu
paket teknologi peran nyata dalam meningkatkan
produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian,
efektif karena murah, penggunaannya sangat
praktis, mudah diadopsi petani serta relatif tidak
mencemari lingkungan. Konsep PTT
dikembangkan dari hasil penelitian dan
pelaksanaan sistem intensifikasi kedelai yang
bpernah dilakukan. Pemilihan komponen teknologi
yang akan dirakit menjadi paket teknologi produksi
selain harus sesuai dengan keadaan lingkungan
spesifik tersebut, juga harus mempertimbangkan
kepada terjadinya hubungan sinergis dan
komplementer antar komponen. Oleh karena itu
paket teknologi produksi kedelai: (a) Dapat
beragam atau sangat berbeda antara suatu tempat
dengan tempat lainnya, tergantung kepada tingkat
keragaman lingkungan, serta (b) Proses produksi
akan menjadi produktif, efisien, dan berkelanjutan
(Marwoto, 2010).
10 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
Tabel 5. Keragaan pertumbuhan tanaman kedelai pada kegiatan Display di Desa Kedung Banjar,
Kecamatan Sugio, Kabubaten Lamongan, 2019
Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun (helai) Jumlah Cabang per Tanaman
Anjasmoro 48,22 40,30 17,55
Dena-1 61,67 48,22 16,40
Dering-1 50,24 42,11 15,23
Devon-1 57,10 43,20 14,20
Detap-1 53,46 45,12 13,42
Dega-1 39,98 38,10 13,25
Penanaman kedelai untuk Display VUB
kedelai di Desa Kedung Banjar, Kecamatan Sugio,
Kabupataen Lamongan dilaksanakan pada akhir
Musim Kemarau (MK)-I, minggu ke-1 bulan Juli
2019. Hasil pengamatan pada Display VUB
menunjukkan bahwa setiap varietas kedelai
memiliki keragaan vegetatif, generatif, komponen
hasil, dan hasil biji kering ose yang berbeda. Dari
keragaan vegetatif, generatif, komponen hasil, dan
hasil biji kering ose menunjukkan bahwa varietas
Dena-1 memiliki vegetatif, generatif, komponen
hasil, dan hasil biji kering ose yang lebih tinggi
dibandingkan varietas yang lain. Hasil pengamatan
pada display VUB menunjukkan bahwa setiap
varietas kedelai memiliki keragaan vegetatif,
generatif, komponen hasil, dan hasil biji kering ose
disajikan pada Tabel 5 dan 6.
Varietas yang mendapatkan respon tinggi
dari petani di Desa Kedung Banjar, Kecamatan
Sugio, Kabupaten Lomongan adalah varietas Dena-
1, Dering-1, Detap-1, dan Devon-1, karena
mempunyai jumlah polong banyak, ukuran biji
sedang – besar, umur genjah (70 – 75 hst), dan
tahan terhadap hama penggerek polong. Varietas
kedelai kurang disukai petani adalah Dega-1 dan
Anjasmoro, karena jumlah polong sedikit, ukuran
biji kecil dan umur panen dalam (78 – 86 hst).
Hasil pengkajian di lahan sawah irigasi
menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman
kedelai yaitu 70 cm, jumlah polong isi 68, dan
jumlah polong hampa 10. Produktivitas yang
diperoleh dengan pendekatan PTT adalah 1,80 t/ha,
sedangkan produktivitas kedelai cara petani sesuai
base line study diperoleh 1,10 – 1,30 t/ha (Endrizal
et al., 2015). Mencermati pemahaman tersebut,
maka PTT merupakan suatu metoda yang tepat
dipilih untuk mengkomunikasikan berbagai
permasalahan dalam upaya peningkatan
produktivitas kedelai. Teknologi intensifikasi
kedelai bersifat spesifik lokasi, bergantung pada
masalah yang akan dikomunikasikan dan
diselesaikan (demand driven technology) (Siniati et
al., 2015).
Pelaksanaan display VUB tersebut dapat
dijadikan alternatif pilihan varietas selain varietas
eksisting untuk meningkatkan produksi dan
antisipasi terhadap serangan hama dan penyakit.
Hasil biji kedelai diharapkan bisa
ditumbuhkembangkan penangkaran VUB tersebut
terutama di lokasi display untuk memenuhi benih
secara intern. Kendala utama dalam pelaksanaan
display dan sekitar kawasan adalah hama tikus,
sehingga diperlukan pengendalian hama tikus
secara intensif.
11 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Tabel 6. Keragaan keragaan pertumbuhan generatif, komponen hasil, dan hasil kedelai pada kegiatan display VUB
Desa Kedung Banjar, Kecamatan Sugio, Kabubaten Lamongan, 2019
Varietas
Jumlah
polong per
tanaman
Bobot 100
biji
Hasil biji
kering ose Respon Petani
Eksisting
(Wilis)
37,54 11,20 1,65 a Petani tidak suka, ukuran biji kecil, umur panen 88
hst
Anjasmoro 53,10 13,35 1,92 a Petani kurang suka, ukuran biji besar, umur panen
85 hst
Dena-1 70,32 14,40 2,28 b Petani suka, ukuran biji besar, umur panen 73 hst
Dering-1 65,50 13,65 2,15 b Petani suka, ukuran biji sedang, umur panen 73 hst
Devon-1 63,64 13,76 2,18 b Petani suka, ukuran biji besar, umur panen 75 hst
Detap-1 50,56 13,37 2,10 b Petani suka, ukuran biji besar, umur panen 75 hst
Dega-1 45,12 13,33 1,95 a Petani kurang suka, ukuran biji kecil, umur panen
78 hst
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
5% pada uji BNT
Semua komponen teknologi diterapkan pada
Display VUB di Desa Kedung Banjar, Kecamatan
Sugio, Kabupaten Lamongan. Beberapa komponen
teknologi yang diterapkan kelompok tani di lokasi
kegiatan PTT adalah benih bermutu dan berlabel,
pemberian pupuk organik sebanyak 1 ton/ha,
pemberian pupuk anorganik dengan dosis 50 kg
Urea/ha dan 200 – 250 kg NPK Phonska/ha,
penggunaan jarak tanam 40 cm x 15 cm (single
row) (populasi 350.000 tanaman/ha), pengendalian
OPT secara terpadu, pengendalian gulma dan
pengairan pada periode kritis.
Penerapan teknologi wajib dalam Komponen
PTT diterapkan secara keseluruhan pada lokasi
Demfarm pendekatan PTT dan Display VUB yakni
(1) Varietas Unggul Baru (VUB), mempunyai
kepastian karakter varietas unggul seperti jaminan
potensi produksi, ukuran biji, warna biji, umur
tanaman genjah/sedang/panjang, karaketr lain
ketahanan biotik/abiotik, (2) Benih bermutu dan
sehat, benih bermutu yang ada labelnya menjamin
kualitas benih terutama daya tumbuh dan
campuran, (3) Saluran drainase, tanaman kedelai
sangat peka terhadap genangan air sehingga perlu
salurandrainase, (4) Pengelolaan tanaman yang
meliputi populasi dan cara tanam (singe row,
larikan dll), dan (5) Pengendalian hama dan
penyakit mengikuti program Pengendalian Hama
dan Penyakit Terpadu (PHPT) sesuai Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) sasaran (Kasijadi et
al., 201; Marwoto, 2011).
Penerapan teknologi pilihan yaitu komponen
teknologi yang bersifat lebih spesifik lokasi.
Komponen teknologi pilihan yang diterapkan pada
display dengan penerapan komponen PTT yakni
(1) Pemupukan dengan menggunakan pupuk
anorganik 50 kg Urea/ha dan 200 – 250 kg NPK
Phonska/ha, (2) Pemberian pupuk organik
sebanyak 1 ton/ha, (3) Pengairan untuk perbaikan
kelembaban tanah, (4) Pengendalian gulma, serta
(5) Penanganan panen dan pasca panen yang tepat.
Pemberian pupuk secara lengkap (NPK)
memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan tanpa
pemberian salah satu hara N, P, dan K (Syafruddin
et al., 2008; Liu et al., 2011). Keseimbangan
kombinasi pupuk N, P, dan K mempengaruhi
efisiensi penggunaan hara (Syafruddin et al.,
2008). Pemupukan N, P, dan K sangat diperlukan
tanaman. Pupuk buatan sumber hara NPK
diberikan bersamaan tanam atau pada setiap saat
sampai tanaman berumur 15 hari secara sebar
menurut barisan tanaman.
Dalam jangka panjang kombinasi
pemupukan antara pupuk organik dan anorganik
dapat meningkatkan produksi tanaman karena
12 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
pupuk organik bersifat memperbaiki kondisi fisik
dan kimia tanah, sehingga memberikan kondisi
yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman (Liu et
al., 2011; Roidah, 2013). Pupuk organik dapat
menurunkan tingkat pelepasan N-NO3+
, sehingga
kehilangan nitrogen dari pupuk organik dapat
dikurangi (Yang et al., 2004).
Hasil penelitian Yardha et al. (2013),
menyatakan tanaman kedelai sebagai komoditas
unggulan tanaman pangan di Kabupaten Tebo
diusahakan oleh petani rata-rata 1 – 2 kali setahun,
tergantung kondisi iklim. Penerapan teknologi
budidaya yang sesuai rekomendasi hasil LItbang
Pertanian, petani sudah hampir 80% menggunakan
varietas unggul Anjasmoro, dan menerapkan
sistem pengolahan tanah sempurna. Dalam
pelaksanaan kegiatan di lapangan masih diperlukan
pendampingan dari PPL dan Peneliti untuk lebih
meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman
kedelai. Penggunaan benih berlabel dan bermutu,
pengaturan populasi tanam, pengendalian OPT, dan
pemupukan serta pemeliharaan tanaman perlu
ditingkatkan untuk mencapai produktivitas dan
kualitas optimal.
Dalam berusahatani kedelai penting
dilakukan analisis biaya produksi dan besarnya
nilai keuntungan yang didapatkan. Perhitungan lain
yang harus dipertimbnagkan adalah harga pasar di
tingkat petani dan resiko kegagalan panen dalam
melakukan budidaya. Analisis usahatani kedelai
dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
upah tenaga kerja, harga pupuk, harga obat-obatan
dan harga jual kedelai di pasaran. Untuk mengukur
tingkat kemampuan pengembalian atas biaya
usahatani kedelai, dihitung nisbah penerimaan atas
biaya input yang digunakan, sedangkan pendapatan
usahatani merupakan selisih antara nilai hasil dan
biaya produksi (Endrizal et al., 2019).
Tingkat kemampuan pengembalian atas
biaya usaha tani kedelai dihitung berdasarkan
nisbah penerimaan atas biaya input yang
digunakan, sedangkan pendapatan usaha tani
merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya
produksi. Hasil analisis usaha tani kedelai dengan
adanya perbedaan perlakuan teknologi budidaya
seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7 menunjukkan nilai keuntungan
varietas Dena-1 yang ditanam di lokasi display
VUB adalah Rp. 4.876.000 dan R/C 1,49,
sedangkan terendah varietas Anjasmoro meperoleh
Rp. 2.700.000 dan R/C 1,31. Nilai keuntungan
varietas Wilis yang ditanam di lokasi display VUB
adalah Rp. 2.225.000 dan R/C 1,28.
Pendapatan usahatani dengan menerapkan
komponen PTT pada display VUB menggunakan
varietas Dena-1 lebih tinggi dibandingkan
teknologi petani (menggunakan varietas Wilis)
dengan R/C > 1. Ini menunjukkan bahwa teknologi
yang diintroduksi kepada petani secara ekonomis
cukup layak dan lebih baik. Menurut Soekartawi
dan Soeharjo (2011), R/C atau B/C dikatakan
menguntungkan apabila R/C atau B/C lebih dari
satu. R/C atau B/C > 1 berarti usahatani sudah
dijalankan secara efisien.
13 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Tabel 7. Analisis usahatani display VUB di Desa Kedung Banjar, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, 2019
Varietas Unggul
Baru (VUB)
Hasil Biji
Kering Ose1)
(ton/ha)
Biaya (Rp) Nilai Jual
Total 3)
(Rp)
Pendapatan
bersih5)
(Rp)
R/C
Saprodi 2)
Tenaga Kerja 4)
Wilis 1,65 1.725.000 5.950.000 9.900.000 2.225.000 1,28
Anjasmoro 1,92 2.215.000 6.605.000 11.520.000 2.700.000 1,31
Dena-1 2,28 2.215.000 6.589.000 13.680.000 4.876.000 1,55
Dering-1 2,15 2.215.000 6.565.000 13.200.000 4.080.000 1,50
Devon-1 2,18 2.215.000 6.559.000 13.080.000 4.306.000 1,49
Detap-1 2,10 2.215.000 6.535.000 12.600.000 3.850.000 1,44
Dega-1 1,95 2.215.000 6.449.000 11.880.000 3.166.000 1,36 Keterangan: 1) Rata-rata hasil kedelai kering ose dari pengujian lapang di Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, MK- II, 2019 2) Harga: Pupuk Urea = Rp. 1.800/kg; pupuk NPK "Phonska” = Rp 2.300/kg 3) Harga pupuk organik ”Petroganik”= Rp. 500/kg 4) Harga Kedelai Kering Ose Rp. 6.000/kg di Kabupaten Lamongan, bulan Oktober 2019 5) Diasumsikan biaya produksi selain pupuk dan ongkos panen adalah sama 6) Pendapatan bersih adalah nilai jual total dikurangi biaya pupuk, tenaga kerja 7) Biaya saprodi, dan biaya panen (biaya panen Rp. 300/kg)
KESIMPULAN
Hasil baseline survei menunjukkan rata-rata
umur petani dalam melakukan kegiatan usahatani
adalah berusia 54 tahun, masih tergolong usia
produktif (usia dibawah 61 tahun) dengan rata-rata
berpendidikan SMP, Kondisiini akan
mempengaruhi adopsi inovasi pertanian.
Pengalaman usahatani cukup baik dimana rata-rata
pengalaman dalam berusahatani 27 tahun. Pada
mumnya usia petani adalah tergolong usia
produktif, sehingga dapat diandalkan untuk
mengembangkan usahatani kedelei denganbaik.
Usahatani kedelai berpeluang untuk terus
ditingkatkan karena didukung oleh sumber daya
manusia produktif. Kondisi usia yang berproduktif
didukung latar belakang pendidikan formal yang
rata-rata setara dengan tingkat sekolah SMP. Rata-
rata luasan lahan yang diusahakan antara 0,25 – 1
hektar dan bahkan diatas satu hektar.
Hasil analisis diagnostik menunjukkan
terdapat 9 kelompok tani kawasan kedelai yang
tersebar di Kecamatan Sugio, berbadan hukum
sebesar 92 %. tingkat partisipasi anggota cukup
tinggi dengan frekuensi pertemuan pertahun rata-
rata 6 kali, pada umumnya sudah pernah menerima
bantuan dari pemerintah, jumlah lembaga
permodalan di desa juga cukup beragam, PUAP
cukup besar, pemasaran didominasi tengkulak, dan
permasalahan utama kelembagaan kelompok
kurang berjalan dan harga kedelai yang rendah.
Produktivitas kedelai 1,92 – 2,28 ton/ha.
Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Dena-1
yakni 2,28 atau meningkat 38,18% dibanding
varietas Wilis (1,65 ton/ha), sedang produktivitas
terendah diperoleh varietas Anjasmoro yakni 1,92
ton/ha. atau meningkat 16,36% dibanding varietas
Wilis (1,65 ton/ha).
Nilai keuntungan varietas Dena-1 yang
ditanam di lokasi display VUB adalah Rp.
4.876.000 dan R/C 1,49, sedangkan terendah
varietas Anjasmoro memperoleh Rp. 2.700.000 dan
R/C 1,31. Nilai keuntungan varietas Wilis yang
ditanam di lokasi display VUB adalah Rp.
2.225.000 dan R/C 1,28. Pendapatan usahatani
dengan menerapkan komponen PTT pada display
VUB menggunakan varietas Dena-1 lebih tinggi
dibandingkan teknologi petani (menggunakan
varietas Wilis) dengan R/C > 1. Ini menunjukkan
bahwa teknologi yang diintroduksi kepada petani
secara ekonomis cukup layak dan lebih baik.
Hasil Pra FGD menunjukkan adanya
permasalahan terkait komoditas kedelai meliputi
harga rendah, keterbatasan ketersediaan air, benih
14 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
tidak bersertifikat, serangan hama tikus, dan
provitas rendah berkisar 1,60 – 1,65 ton/ha. Untuk
kelembagaan keuangan sudah ada Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) membawahi
1 desa dan milik Gapoktan bergerak simpan pinjam
dengan modal Rp. 100.000.000. Hasil FGD
diperlukan rencana aksi yang disusun dalam
rangka: penataan kelembagaan ekonomi petani
berbasis korporasi petani berbadan hukum;
hilirisasi produk kedelai yang dihasilkan, penataan
rantai pasok yang efisien dan adil bagi petani dan
pengembangan pemasaran, fasilitasi
pengembangan usaha kawasan kedelai,
aksesibilitas terhadap lembaga pembiayaan dan
asuransi, pengembangan investasi dan kemitraan,
dan peningkatan kompetensi Sumber Daya
Manusia (SDM).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Jawa Timur yang telah memberikan ijin penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Balitkabi. 2016. Deskripsi varietas unggul aneka
kacang dan umbi. Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Malang. 214 p.
Chambers. 1992. Rural appraisal: rapid, rilex and
participatory dalam Y. Sukoco. PRA
(Participatory Rural Appraisal) Memahami
Desa secara Partisipatif. Kanisius.
Yogyakarta.
Deptan. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT) kedelai. Departemen Pertanian. 39 p.
Endrizal, P. Rina, dan Jumakir. 2015. Keragaan
teknologi dan produktivitas kedelai dengan
pendekatan PTT di lahan sawah irigasi
Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitiam Tanaman Aneka Kacang
dan Umbi Untuk Mewujudkan Sistem
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Malang.
Endrizal, Jumakir, dan Rustam. 2019. Pertanaman
kedelai pada kegiatan pengembangan
kawasan kedelai nasional di Kabupaten
Tebo, Provinsi Jambi. 2019. Bunga Rampai:
Introduksi teknologi Pertanian Dalam
Pendampingan Berbasis Kawasan. IAARD
Press. p. 1 – 15.
Ellyta. 2015. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi lidah buaya
(Aloe vera L.) di Pontianak Utara. Jurnal
Agrosains, 12(2): 1-9.
Gabesius, Y.O., L. Aziz, M. Siregar, dan Y. Husni.
2012. Respon pertumbuhan dan produksi
beberapa varietas kedelai (Glycine max L.
Merrill) terhadap pemberian pupuk bokashi.
Jurnal Online Agroekoteknologi, 1(1): 220 -
236.
Gomez, A.K dan A. Gomez. 1993. Statistical
procedures for agricultural research. 2nd
Edition. Los Banos.
Hendayana, R. 2016. Persepsi dan adopsi
teknologi. Landasan Teori dan Praktik
Pengukuran. Penerbit. IAARD PREES.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Herlina, C.H. dan C. Maisyura. 2019.
Implementasi teknologi padi jajar legowo
pada kawasan pertanian tanaman pangan di
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Bunga Rampai: Introduksi teknologi
Pertanian Dalam Pendampingan Berbasis
Kawasan. IAARD Press. p. 69 - 76.
Kasijadi, F., Roesmiyanto, dan E. Purnomo. 2012.
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) kedelai.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Timur. 48 p.
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 472/Kpts/RC.040/6/2018. Lokasi
Kawasan Pertanian Nasional. 56 p.
15 Pendampingan Kawasan Kedelai Melalui Introduksi Inovasi Teknologi dan Penguatan
Kelembagaan di Lamongan Jawa Timur (Amik Krismawati dan Kasmijati)
Linder, Pardey, dan Jarret. 1982. Distance to
information source and the time lag early
adoption of trace element fertilizer. Working
Paper 82-2. Departement of Economics
University of Adelaide.
Liu, K. B. L. Ma, L. Luan, dan L. Chaohai. 2011.
Nitrogen, phosphor, and potassium nutrient
effect on grain filling and yield of high-
yielding summer corn. Journal of Plant
Nutrition, 10 (34): 1516-1531.
Mantra, I.B. 2004. Filsafat penelitian dan metode
penelitian sosial. Pustaka Pelajar.
Marwoto. 2010. Peningkatan produksi kedelai
melalui pengelolaan tanaman terpadu.
Buletin Palawija, 19(2): 62 – 71.
Marwoto, Subandi, T. Adisarwanto, Sudaryono, A.
Kasno, S. Hardaningsih, D. Setyorini, dan
M.M. Adie. 2011. Pedoman umum
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) Kedelai.
Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan
Umbi-Umbian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementrian
Pertanian. 20 p.
Mejaya, M., D. Harnowo, Marwoto, Subandi,
Sudaryono, dan M.M. Adie. 2015. Panduan
teknis budidaya kedelai di berbagai kawasan
agroekosistem. Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. 38 p.
Muslimin dan A. Wahid. 2019. Kinerja
pendampingan inovasi pertanian pada
pengembangan kawasan padi di Provinsi
Sulawesi Selatan. Bunga Rampai: Introduksi
teknologi Pertanian Dalam Pendampingan
Berbasis Kawasan. IAARD Press. p. 165 –
183.
Nugraha, I.A. 2013. Kedelai dan politik pangan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, 31(2): 123
– 125.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018.
Pedoman pengembangan kawasan pertanian
berbasis korporasi petani. 85 p.
Putri, T.R. dan R. Safitri. 2018. Peran penyuluh
pertanian terhadap penerapan teknologi
tanam jajar legowo 2 : 1 (kasus kelompok
tani gotong royong 2 di Desa Klaseman,
Kabupaten Probolinggo). Jurnal Ekonomi
Pertanian dan Agribisnis (JEPA), 2(3): 167 –
178.
Raintung, J.S.M. 2010. Pengolahan tanah dan hasil
kedelai (Glycine max L. Merill). Soil
Environment, 8(2): 65 – 68.
Ratnasari, D., M.K. Bangun, dan R.I.M. Damanik
2015. Respon dua varietas kedelai (Glycine
max L. Merrill.) pada pemberian pupuk
hayati dan NPK majemuk. Jurnal Online
Agroekoteknologi, 3(1): 276 – 282.
Roidah, L.S. 2013. Manfaat penggunaan pupuk
organik untuk kesuburan tanah. Jurnal
Universitas Tulungagung Bonorowo, 1(1):
30 – 42.
Sastrosupadi, A. 2005. Rancangan percobaan
praktis bidang pertanian. Penerbit PT
Kanisius. Yogyakarta. 243 p.
Siniati, T., A. Muharyanto, dan H.A. Dewi. 2015.
Peningkatan kuantitas, kualitas, dan
efektivitas interaksi antara BPTP dengan
kelembagaan penyuluhan pertanian melalui
diseminasi inovasi teknologi: demfarm
pengenalan enam (6) varietas unggul baru
kedelai di Desa Kalimati, Kecamatan Tarik,
Kabupaten Sidoarjo. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. 39 p.
Soekartawi dan A. Soeharjo. 2011. Ilmu usahatani
dan penelitian untuk pengembangan petani
kecil. UI Press.
Subagiyo. 2005. Kajian faktor - faktor sosial yang
berpengaruh terhadap adopsi inovasi usaha
perikanan laut di Desa Pantai Selatan
Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian, 8(2): 81 – 90.
16 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 1 - 16
Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah.
Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor. 591 p.
Singgih, W. 1987. Budidaya bawang putih, bawang
merah, bawang bombay. Dalam: Seri
Pertanian LXXX/270. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Susilawati, B.S, Purwoko, H. Aswidinnoor, dan E.
Santosa. 2012. Peran hara N, P, dan K pada
pertumbuhan dan perkembangan ratun lima
genotipe padi. J. Agron. Indonesia, 40(3):
174 – 179.
Sutedjo, M.L. 2002. Pupuk dan cara pemupukan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Swasono, F.D.H. 2012. Karakteristik fisiologi
toleransi tanaman bawang merah terhadap
cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.
AgriSains, 3(4): 88 – 103
.
17 Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil PertanianBerbasis Kelapa Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud: (G.H. Joseph, Agustinus N Kairupan, Meivi Lintang)
INOVASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BERBASIS KELAPA DI WILAYAH PERBATASAN
KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD
G.H. Joseph, Agustinus N. Kairupan, Meivie Lintang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara
Jalan Kampus Pertanian Kalasey-Manado
Email: bptp-sulut@litbang.pertanian.go.id
ABSTRACT
Innovation of Agricultural Processing Technology Coconut Based In The Border Region Talaud Island
District. Miangas Island is one of the islands outermost in North Sulawesi region, where coconut is the most dominant
agricultural commodity. Coconut plant (Cocos Nucifera) has many uses since almost all parts of coconut ranging
from leaves, stems and parts of fruit to young coconut bunches have benefits. The potential utilization of coconut has
not been managed optimally and is still limited to fruit flesh to be used as copra, and coconut milk for household
purposes. While other byproducts such as coconut shell not yet fully utilized for productive activities that can increase
its added value. Coconut shell processing technology is relatively simple and can be managed in small scale. The
dissemination of shell charcoal processing technology innovation was carried out in the village of Miangas Special
District of Miangas in September 2018 using demonstration demonstration. The results of the demonstration found
that farmers in the Biangas Border Region have a positive perception of agricultural innovation. Farmers consider
the innovations to be beneficial, do not conflict with socio-cultural values and in accordance with community needs,
are easy to implement, easy to try, and the results easily seen.
Keywords: coconut, technological innovation, processing, border regions
ABSTRAK
Pulau Miangas merupakan salah satu pulau terluar di wilayah Sulawesi Utara dengan komoditas andalan
adalah kelapa. Tanaman Kelapa (Cocos Nucifera) memiliki banyak kegunaan karena hampir semua bagian kelapa
mulai dari daun, batang dan bagian buahnya sampai pada tandan kelapa muda memiliki manfaat. Pemanfaatan potensi
kelapa ini belum dikelola secara maksimal dan masih sebatas pada daging buah untuk dijadikan kopra, dan santan
untuk keperluan rumah tangga. Hasil sampingan lainnya seperti tempurung kelapa belum banyak dimanfaatkan
sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambahnya. Teknologi pengolahan tempurung
kelapa relatif sederhana dan dapat dikelola dalam skala kecil. Diseminasi inovasi teknologi pengolahan arang
tempurung dilaksanakan di Desa Miangas Kecamatan Khusus Miangas pada bulan September 2018 dan dilaksanakan
dalam bentuk peragaan demonstrasi. Hasil demonstrasi menunjukkan bahwa petani di Wilayah Perbatasan Pulau
Miangas memiliki persepsi positif terhadap inovasi pertanian. Petani menganggap inovasi tersebut menguntungkan,
tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah diterapkan,
mudah dicoba, dan hasilnya mudah dilihat.
Kata kunci: kelapa, inovasi teknologi, pengolahan, wilayah perbatasan
18 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 17 - 24
PENDAHULUAN
Kelapa merupakan komoditas unggulan
Kabupaten Talaud. Data dari Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian menunjukkan bahwa
Kabupaten Kepulauan Talaud tahun 2017 memiliki
luas lahan tanaman kelapa 22.133,14 ha dan
produksinya mencapai 18.577,38 ton. Potensi yang
ada semestinya mampu mengembangkan ekonomi
masyarakat, baik dalam bentuk peningkatan
pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja
(Tamungku et al., 2019). Kelapa memegang
peranan penting dalam perekonomian Kabupaten
Kepulauan Talaud selain cengkih, pala, dan kakao.
Pengusahaan kelapa di Kabupaten Talaud sangat
dipengaruhi faktor sosial ekonomi dan budaya
(Torar, 2009).
Subsektor perkebunan merupakan subsektor
basis yang kompetitif dan tumbuh. Subsektor ini
dapat dijadikan sektor andalan untuk
mengembangkan perekonomian di Kabupaten
Kepulauan Talaud termasuk unutk komoditas
kelapa (Kristiningsih, 2009).
Teknologi pengolahan hasil pertanian
bertujuan mempermudah dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas pengolahan hasil pertanian.
Pengolahan adalah suatu operasi atau rentetan
operasi terhadap suatu bahan mentah untuk diubah
bentuknya dan atau komposisinya. Pengolahan
hasil pertanian, mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: (a) dapat meningkatkan nilai tambah; (b)
menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau
dikonsumsi; (c) meningkatkan daya saing, dan (d)
menambah pendapatan dan keuntungan petani
(Soeprapto, 1990).
Diseminasi inovasi teknologi pertanian
merupakan aktivitas komunikasi yang penting
dalam mendorong terjadinya penyebaran dan
penerapan teknologi dalam suatu sistem sosial
perdesaan. Inovasi teknologi tersebut akan
bermanfaat bagi masyarakat petani apabila
komponen teknologi yang dihasilkan diterapkan
petani. Informasi inovasi teknologi perlu
disebarluaskan baik kepada pengguna.
Demonstrasi/peragaan adalah salah satu
metode untuk mengintroduksikan hasil penelitian
ke dalam praktek pertanian sesungguhnya di
tingkat petani. Metode ini memungkinkan
terjadinya pembelajaran, komunikasi dan interaksi
dengan petani. Setidaknya akan ada perubahan
pengetahuan, opini, aspirasi dan keterampilan;
yaitu perubahan perilaku terendah setelah program
intervensi menurut “Bennett’s Hierarchy”
(Radhakrishna, 2010). Permasalahan diseminasi
inovasi pertanian umumnya terkait dengan
kesenjangan adopsi teknologi, kesenjangan hasil,
dan kendala sosial-ekonomi petani (Irawan et al.,
2015).
Tanaman kelapa (Cocos Nucifera) memiliki
banyak kegunaan. Hampir semua bagian kelapa
mulai dari daun, batang dan bagian buahnya
sampai pada tandan kelapa muda memiliki
manfaat. Barlina et al. (1989) menyatakan bahwa
kelapa beserta produk-produknya berpeluang
menghasilkan devisa negara, karena memiliki
keunggulan komparatif dibandingkan beberapa
komoditas pertanian/perkebunan lainnya.
Keunggulan komparatif yang dimiliki tanaman
kelapa ditunjukkan dari besarnya manfaat semua
bagian tanaman ini untuk kehidupan manusia dan
peninkatan nilai ekonomi kelapa (Androecia, et al.,
1989).
Buah kelapa mempunyai hasil sampingan
berupa tempurung yang dapat diolah menjadi
arang. Selama ini tempurung kelapa hanya
digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak
atau dibiarkan sebagai limbah. Berdasarkan
informasi, dari setiap pembuatan 1.000 kg kopra
kering akan menghasilkan 300-500 kg tempurung
kelapa. Peningkatkan nilai tambah produk kelapa
memerlukan upaya pemanfaatan arang tempurung,
mengingat kebutuhannya cenderung meningkat
sebagai bahan baku pembuatan arang aktif.
Nilai ekonomi tempurung kelapa dapat
ditingkatkan dengan memanfaatkannya sebagai
bahan baku industri, misalnya sebagai bahan baku
pembuatan arang aktif. Teknologi pengolahan
tempurung kelapa relatif sederhana dan dapat
dilaksanakan oleh usaha-usaha kecil (Said et al.,
19 Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil PertanianBerbasis Kelapa Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud: (G.H. Joseph, Agustinus N Kairupan, Meivi Lintang)
2001). Arang tempurung adalah arang yang dibuat
dengan cara karbonisasi dari tempurung/batok
kelapa (Sinambela et al., 1983). Tulisan ini
merupakan hasil review dari kegiatan peragaan
demonstrasi inovasi teknologi pengolahan hasil
berbasis kelapauntuk pemberdayaan masyarakat di
wilayah perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud.
POTENSI HASIL SAMPING KELAPA
Di wilayah perbatasan Kabupaten
Kepulauan Talaud kelapa adalah salah satu
komoditas unggulan perkebunan selain pala dan
cengkeh. Perkembangan luas tanaman dan
produksi perkebunan rakyat berdasarkan data
tahun 2016 dengan luas tanam 22.142,14 hektar
yang tersebar di 19 kecamatan dengan jumlah
produksi 18.578,13 ton. Pemanfaatan buah kelapa
berorientasi pada daging buah untuk dijadikan
kopra, minyak, dan santan untuk keperluan rumah
tangga. Hasil sampingannya seperti tempurung
kelapa belum banyak dimanfaatkan. Potensi
produksi tempurung yang sedemikian besar perlu
dimanfaatkan untuk kegiatan produktif untuk
meningkatkan nilai tambah.
Menurut Suhardiman (1999), bobot
tempurung mencapai 15% dari bobot buah kelapa,
dengan demikian berarti terdapat sekitar 2.786,73
ton tempurung. Potensi produksi tempurung belum
dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif
yang dapat meningkatkan nilai tambahnya.
Tempurung kelapa kebanyakan hanya
dianggap sebagai limbah industri pengolahan
kelapa, ketersediaannya yang melimpah dianggap
masalah lingkungan, namun dapat diperbarui
(renewable), dan murah. Arang tempurung kelapa
ini masih dapat diolah lagi menjadi produk yang
bernilai ekonomis tinggi yaitu sebagai karbon aktif
atau arang aktif (Pambayun et al., 2013).
Upaya meningkatkan nilai tambah produk
kelapa dapat dilakukan dilakukan dengan
mengolah tempurung kelapa menjadi arang, karena
kebutuhan arang tempurung kelapa cenderung
meningkat sebagai bahan baku pembuatan arang
aktif.
DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI
Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil
Proses percepatan transfer dan adopsi
teknologi dapat dilakukan secara partisipatif
dengan memberdayakan berbagai unsur yang
berpotensi menampilkan keunggulan teknologi.
Inovasi teknologi juga perlu mempertimbangkan
peluang untuk dikembangkan di wilayah tersebut
dan dilaksanakan oleh petani (kelompok tani)
dengan pembinaan dan pengawalan dari peneliti,
penyuluh, dan teknisi. Teknik diseminasi melalui
pelaksanaan implementasi inovasi pertanian
dilaksanakan dalam bentuk peragaan demonstrasi
inovasi pertanian di lapangan, yaitu teknologi
pengolahan arang tempurung dengan perberdayaan
kelompok tani sebagai kooperator.
Dalam mendukung pelaksanaan peragaan
demonstrasi di lapang, dan mempercepat proses
adopsi dan difusi teknologi kepada petani di
wilayah perbatasan, salah satu strategi diseminasi
yang dilakukan adalah pelatihan, bimbingan,
peragaan teknologi dan penyediaan media
informasi inovasi pertanian dalam bentuk leaflet.
Penyediaan infomasi inovasi teknologi pertanian
dilakukan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
petani wilayah setempat. Kesesuaian materi, media
dan metoda yang digunakan akan mempengaruhi
keefektifan dalam kegiatan kegaitan penyuluhan
(Sugarda, 2001). Pendampingan atau frekuensi
kegiatan penyuluhan perlu ditingkatkan guna
membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan
petani sesuai yang diharapkan.
Demonstrasi/peragaan teknologi pengolah-
an hasil di salah satu wilayah perbatasan
Kabupaten Kepulauan Talaud yaitu Desa Miangas,
Kecamatan Khusus Miangas, Pulau Miangas.
Tanaman kelapa merupakan komoditas pertanian
yang paling dominan di wilayah perbatasan Pulau
Miangas. Berdasarkan data tahun 2016, jumlah
tanaman kelapa berjumlah 4.570 pohon yang
terdiri atas 810 pohon belum menghasilkan (BM),
3.340 pohon menghasilkan (M) dan tidak
menghasilkan 420 pohon (TM) (BPS Miangas
Dalam Angka, 2017).
20 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 17 - 24
Demonstrasi/peragaan inovasi teknologi
pengolahan hasil menggunakan bahan-bahan
pangan lokal. Kegiatan peragaan/demonstrasi
diikuti anggota kelompok tani lumbung pangan,
dan masyarakat sekitar Pulau Miangas. Materi
demonstrasi yaitu teknologi pengolahan arang
tempurung.
Inovasi Teknologi Pengolahan Arang
Tempurung
Teknologi pengolahan tempurung kelapa
relatif sederhana dan dapat dilaksanakan usaha-
usaha kecil (Said et al., 2001). Salah satu masalah
yang dihadapi dalam memproduksi arang
tempurung kelapa sebagai bahan baku arang aktif
adalah adanya persyaratan khusus yang wajib
dipenuhi, antara lain arang harus bersih,
keras/kompak, kadar air 5%, dan tingkat
kematangannya sempurna (Lindayanti, 2006).
Peragaan demonstrasi pengolahan arang
tempurung menggunakan teknologi alat bakar tipe
drum terbuat dari bahan plat besi, atau drum bekas
tempat minyak oli dengan tinggi 90 cm dan
diameter 60 cm (Gambar 1).
Gambar 1. Alat bakar pengolahan arang tempurung kelapa
Pada bagian atas alat dibuat lubang
pembuangan asap berupa cerobong dari bahan pipa
seng dengan ukuran tinggi 30 cm dan diameter 10
cm. Bagian atas cerobong dilengkapi dengan
penutup yang dapat dibuka dan ditutup. Kapasitas
alat adalah 90-112 kg tempurung dan usia
ekonomis alat 12-18 bulan.
Prosedur Pembuatan Arang Tempurung
Kelapa
Tempurung kelapa sebanyak 7,5 kg
dimasukkan ke dalam drum tempat pembakaran
yang telah tersedia hingga mencapai 1/4 bagian
drum. Lubang pengendali udara pada drum tempat
pembakaran ditutup rapat, kecuali lubang pada
baris paling bawah yang dibiarkan terbuka.
Pembakaran pertama dilakukan dengan
menyalakan sabut kelapa yang dicelupkan ke
dalam minyak tanah sebagai umpan. Setelah api
menyala dengan sempurna, ditambahkan
tempurung ke dalam drum secara perlahan-lahan
agar api tidak padam hingga drum penuh (sekitar
32 kg). Penutup drum lalu dipasang, tetapi
cerobong asap pada bagian atas drum dibiarkan
terbuka.
21 Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil PertanianBerbasis Kelapa Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud: (G.H. Joseph, Agustinus N Kairupan, Meivi Lintang)
Asap yang keluar dari cerobong
diperhatikan, jika cukup banyak berarti proses
pembakaran berjalan sempurna. Dari lubang
kendali udara bagian bawah (baris I) yang terbuka,
dapat dilihat tempurung telah terbakar sempurna
atau belum. Apabila tempurung sudah menjadi
bara, berarti pembakaran tempurung pada bagian
bawah sempurna. Lubang kendali udara pada baris
I ditutup rapat dan lubang pada baris II dibuka, lalu
ditambahkan tempurung kelapa sampai drum
penuh (sekitar 12 kg) dengan cara membuka
penutup atas drum, kemudian drum ditutup
kembali. Proses pembukaan dan penutupan lubang
kendali udara dilakukan seiring dengan
penambahan tempurung kelapa ke dalam drum.
Caranya sama seperti di atas sampai lubang
kendali udara pada barisan paling atas (terdapat
lima baris lubang). Setelah asap yang keluar dari
cerobong tidak lagi pekat, tetapi lebih
bening/jernih, semua lubang kendali udara dan
lubang cerobong asap ditutup.
Arang yang belum terbakar sempurna
dibakar kembali. Arang yang telah terbakar
sempurna diayak dengan anyaman kawat (besar
lobang 0,6-1,0 cm) untuk memisahkan tanah, debu
dan kerikil. Sebelum dikemas, arang dibiarkan
pada udara terbuka selama 12-15 hari, kemudian
dikemas dalam kantung plastik atau karung goni.
Alat pembakaran arang tempurung kelapa
tipe drum dengan suplai udara terkendali dapat
menghasilkan arang berkualitas lebih baik
dibandingkan arang hasil pembakaran yang biasa
dilakukan masyarakat setempat. Diseminasi
inovasi pertanian di areal percontohan
(demonstrasi) teknologi pembuatan arang
tempurung di wilayah perbatasan Pulau Miangas
(Gambar 2).
Gambar 2. Proses pengolahan arang tempurung kelapa
Hasil kajian Hadi (2011), melaporkan bahwa
setiap proses pembakaran, alat dapat menampung
rata-rata 90 kg tempurung dan menghasilkan rata-
rata 28,42 kg arang sehingga rendemen rata-rata
31,58% dan waktu pembakaran rata-rata 413 menit
(6 jam 53 menit). Dalam sehari semalam, satu unit
alat dapat digunakan untuk tiga kali proses
pembakaran. Mutu arang tempurung kelapa yang
baik adalah berwarna hitam dan apabila
dihancurkan/dipatahkan pada pinggiran bekas
patahannya mengkilap. Arang tempurung kelapa
berkualitas baik apabila dijatuhkan di atas tanah
atau benda keras akan berbunyi nyaring seperti
logam (Sinambela et al., 1983).
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP
PENGGUNAAN ALAT
Persepsi petani adalah penilaian atau
pandangan petani tentang inovasi dalam
menerapkan berdasarkan karakteristiknya (tingkat
keuntungan, kesesuaian, kerumitan, dapat
dicobakan, dan dapat diamati). Persepsi
merupakan proses pemahaman terhadap sesuatu,
22 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 17 - 24
yang nantinya akan berujung pada pengambilan
keputusan. Tahapan ini tidak terlepas dari
pengalaman dan pengetahuan petani dan pengaruh
dari beberapa faktor lain. Persepsi dan penerapan
inovasi berkorelasi positif, karena bila persepsi
atau penilaian petani terhadap inovasi kurang baik,
maka akan menjadi kendala bagi proses adopsi
inovasi, dan begitu pula sebaliknya, (Hanafi,
1987).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa inovasi teknologi yang telah
diintroduksikan kepada masyarakat petani
beberapa di antaranya tidak diadopsi lebih lanjut
(Nilasari et al., 2016). Faktor penyebabnya antara
lain tingkat kerumitan dan kurang menguntungkan
hasil dari inovasi tersebut.
Masyarakat di wilayah perbatasan Pulau
Miangas yang mengikuti sosialisasi dan
demonstrasi/peragaan alat ini memberikan respons
positif, tertarik dan berminat menggunakan alat
tersebut. Masyarakat tertarik dengan alat tersebut
karena konstruksinya sederhana, bahan baku alat
mudah didapat, dapat dipindahkan, tidak
memerlukan tempat khusus, harganya murah, dan
arang yang dihasilkan kualitasnya lebih baik.
Sebagian besar ibu rumah tangga di lokasi
kegiatan menggunakan arang tempurung kelapa
sebagai bahan bakar untuk memasak. Setelah
mencoba arang tempurung kelapa hasil
pembakaran dengan alat yang didemonstrasikan,
mereka sangat tertarik karena arangnya lebih
keras, lebih bersih, dan lebih awet sehingga lebih
hemat dibandingkan dengan arang yang biasa
mereka gunakan. Kualitas arang yang dihasilkan
lebih baik dan rendemennya lebih tinggi, para
perajin atau pengusaha arang tempurung kelapa
dapat menggunakan alat ini untuk memenuhi
pesanan arang dari luar daerah, terutama sebagai
bahan baku arang aktif.
Petani di wilayah perbatasan Pulau Miangas
atau pengguna memiliki persepsi positif terhadap
inovasi pengolahan arang tempurung berbahan
lokal. Petani menganggap inovasi tersebut
menguntungkan, tidak bertentangan dengan nilai-
nilai sosial budaya dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, mudah diterapkan, mudah dicoba, dan
hasil dapat dengan dilihat.
Hasil penelitian Indraningsih (2011),
melaporkan bahwa persepsi petani terhadap
inovasi pertanian menunjukkan peningkatan berarti
jika inovasi pertanian tersebut terkait langsung
dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani
terhadap teknologi lokal ataupun usaha tani
terpadu. Persepsi positif menjadi pertimbangan
penting bagi petani dalam pengambilan keputusan
untuk mau mengadopsi atau menolak inovasi.
Implikasinya adalah untuk mendorong terjadinya
adopsi, pemerintah hendaknya dapat meyakinkan
kepada petani serta membuktikan bahwa teknologi
pertanian tersebut dapat memberikan manfaat dan
tidak sulit untuk dilaksanakan.
Rogers (2003) menyebutkan bahwa sifat-
sifat inovasi akan menentukan petani untuk
mengadopsi atau tidak suatu inovasi, yaitu dari
sifat keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan,
kemudahan dicoba, dan dapat dibedakan dengan
yang lama.
Hasil penelitian dari Azrina et al. (2017)
menunjukkan kelayakan usaha dari pengolahan
arang tempurung diperolah nilai B/C yaitu Rp 0,27
(>0). Nilai BEP produksi yaitu 4,693 kg dan nilai
BEP harga yaitu Rp. 2,033/kg. Nilai ROI yang
diperoleh agroindustri arang tempurung yaitu Rp.
27,8.
KESIMPULAN
Inovasi teknologi pengolahan arang
tempurung memberikan hasil cukup baik dan
mendapatkan respons positif dari masyarakat
perbatasan pulau Miangas. Petani menganggap
inovasi tersebut menguntungkan, tidak
bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah
diterapkan, mudah dicoba, dan hasil dapat dilihat.
Nilai tambah yang didapatkan dari inovasi tersebut
adalah mengurangi pengeluaran petani dalam
penggunaan bahan bakar dan dapat memberi nilai
tambah bagi produk kelapa yang dihasilkan.
23 Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil PertanianBerbasis Kelapa Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud: (G.H. Joseph, Agustinus N Kairupan, Meivi Lintang)
Keberlanjutan penerapan inovasi pertanian
oleh petani di wilayah perbatasan memerlukan
dukungan dan perhatian serius dari pemerintah
pusat maupun daerah dan instansi terkait lainnya
untuk membangun pertanian di Pulau Miangas.
Komitmen tersebut termasuk mengembangkan
komoditas pertanian terutama komoditas tanaman
kelapa.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Balai Pengkajian Teknologi Sulawesi Utara yang
telah memberikan ijin dilakukannya penelitian dan
penulisan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Androecia, D., Z. Untu, R. Sudarsip, N. Padmi,
dan Nova. 1989. Prosiding Simosium I Hasil
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri (Buku II). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Azrina, T., M. Nur, dan S. Hurri. 2017. Analisis
kelayakan agroindustri arang tempurung di
Gampong Barat Lanyan Kecamatan Jangka
Kabupaten Bireuen (Studi Kasus usaha
Bapak Razali). Jurnal S. Pertanian, 1(1): 63
– 69.
Barlina, R., G.H.. Joseph, M.M.M. Rumokoi,
Kembuan, dan A. Lay. 1989. Peningkatan
nilai tambah hasil minyak kelapa melalui
teknologi pengolahan dan diversifikasi.
Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Buku II.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri, Bogor.
BPS Kabupaten Kepulauan Sangihe. 2017
Kepulauan Sangihe dalam angka 2017. BPS
Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan ide-ide baru.
Penerbit Usaha Nasional Surabaya.
Hadi, R. 2011. Sosialisasi teknik pembuatan arang
tempurung kelapa dengan pembakaran
sistem suplai udara terkendali. Buletin
Teknik Pertanian, 16(2): 77 - 80.
Indraningsih, K.C. 2011. Pengaruh penyuluhan
terhadap keputuan petani dalam adopsi
inovasi teknologi usahatani terpadu. Jurnal
Agro Ekonomi, 29(1): 1 - 24.
Lindayanti. 2006. Penanganan pascapanen
tanaman kelapa di daerah pasang surut.
Prosiding Seminar Kegiatan Pengkajian
Teknologi Spesifik Lokasi. Jambi,
November 2006. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. 26 p.
Nilasari, A. Fatchiya, dan P. Tjitropranoto. 2016.
Tingkat penerapan pengendalian hama
terpadu (pht) sayuran di Kenagarian Koto
Tinggi, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Jurnal Penyuluhan, 12(1): 15 - 30.
Pambayun, G.S., Y.EM. Yulianto, M.
Rachimoellah, dan E.M.M. Putri. 2013.
Pembuatan karbon aktif dari arang
tempurung kelapa dengan aktivator Zncl2
Dan Na2co3 sebagai adsorben untuk
mengurangi kadar fenol dalam air limbah.
Jurnal Teknik Pomits, 2(1): 2337 - 3539.
Radhakrishna, R. 2010. Viewing Bennett’s
hierarchyfrom a different lens: implications
for extension program evaluation. J.
Extention, 48(6): 5 p.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of innovations. Fifth
Edition. The Free Press. A Division of
Simon & Schuster, Inc. 1230 Avenue of The
Americas New York. NY 10020.
Said, E.G., Rachmayanti, dan M.Z. Muttaqin.
2001. Manajemen teknologi agribisnis kunci
menuju daya saing global produk agribisnis.
PT. Ghalila Indonesia dengan MMA IPB,
Bogor.
Suprapto. 2010. Karakteristik, penerapan, dan
pengembangan agroindustri hasil pertanian
di Indonesia. Makalah.
https://agroindustry.wordpress.com
/2010/10/18/karakteristik-penerapan-dan-
24 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 17 - 24
pengembangan-agroindustrihasil-pertanian-
di-indonesia/.
Sinambela, P., D. Siwu, Rorielohoo, D. Hartarto,
dan Silangen. 1983. Pengembangan
pembuatan arang tempurung di Sulawesi
Utara. Balai Penelitian dan Pengembangan
Industri, Manado.
Suhardiman, P. 1999. Bertanam kelapa hibrida.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Sugarda, T., D. Sudarmanto dan S. Sumintaredja.
2001. Penyuluhan pertanian. Jakarta:
Yayasan Pengembangan Sinar Tani.
Tamungku, O., R.A.M. Koleangan, dan P.C.
Wauran. 2019. Analisis pendapatan petani
kelapa (kopra) di Kabupaten Kepulauan
Talaud. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi,
19(02): 152 - 161.
Torar, D.J. 2009. Faktor sosial ekonomi dan
budaya yang mempengaruhi usahatani
kelapa di Kabupaten Kepulauan Talaud.
Buletin Palma, 36(2009): 48 - 61.
25
Analisis Kelayakan Varietas Unggul BaruPAdi Lahan Sawah Tadah Hujan Di Perbatasan Kabupaten
Sambas (Rusli Burhansyah)
ANALISIS KELAYAKAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS
Rusli Burhansyah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo No.45 Siantan Hulu Pontianak
Email:rburhansyah@gmail.com
ABSTRACT
Feasibility Analysis of New High Yielding Varieties of Upland Rice in Sambas District Border Areas.
Problems faced by the development of rice in the Sambas Border Area, especially Paloh, among others; low
productivity (2.8 tons/ha), low quality of crop yields, and undeveloped institutional economics of farmers. Through the
rice demonstration approach, it is expected that there will be an increase in rice productivity. The purpose of this
study was to determine the feasibility of new superior varieties of rice farming in rainfed rice fields in the border of
Sambas Regency. The study was conducted in April to August 2018. The research method used survey method. Data
collection through interviews. The number of respondents was 30 cooperative farmers. The results showed that new
superior varieties inpari 16 and inpari 22 were able to increased production. Inpari 16 vub grain production is
around 3.52 t/ha GKP with revenue of around Rp. 15,840,000 with a net profit of a total cost of Rp 2,205,798, with
R/C of 1.16 for the total cost. The inpari 22 VUB productivity is around 5.5 t/ha GKP with revenue of around Rp.
24,300,000, with a net profit of a total cost of Rp. 10,289,798 with an R/C of 1.73. From the results of sensitivity
analysis, it showed that inpari 22 variety is recommended, because it is still feasible (R/C>1) with various change
scenarios.
Keywords: rice, productivity, farm feasibility, high yielding varieties
ABSTRAK
Permasalahan yang dihadapi pengembangan padi tadah hujan di kawasan perbatasan Sambas antara lain
rendahnya produktivitas (2,8 ton/ha), rendahnya mutu hasil panen, dan kelembagaan ekonom petani yang belum
berkembang. Pendekatan demfram padi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi. Tujuan penelitian adalah
mengetahui kelayakan usahatani padi varietas unggul baru sawah tadah hujan di perbatasan Kabupaten Sambas.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2018. Metode penelitian menggunakan metode survei. Dan
pengumpulan data melalui wawancara. Jumlah responden sebanyak 25 orang petani kooperator. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa varietas unggul baru Inpari 16 dan Inpari 22 mampu meningkatkan produksi. Produksi gabah
VUB Inpari 16 sekitar 3,52 t/ha GKP dengan penerimaan sekitar Rp 15.840.000, keuntungan bersih atas biaya total
Rp 2.205.798 dan R/C 1,16 atas biaya total. Produktivitas VUB Inpari 22 sekitar 5,5 t/ha GKP, penerimaan Rp
24.300.000 dengan keuntungan bersih atas biaya total Rp 10.289.798 dan R/C 1,73. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan varietas Inpari 22 layak dikembangkan karena R/C >1 dengan berbagai skenario perubahan.
Kata kunci: padi, produktivitas, kelayakan usahatani, varietas unggul baru
26 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 25 - 34
PENDAHULUAN
Kabupaten Sambas merupakan kabupaten
yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia.
Terdapat 1 Pos Lintas Batas (PLB) yakni Aruk-
Biawak, sedangkan perbatasan Temajuk belum
terdapat PLB. Kementerian Pertanian (Kementan)
bertekad membangun lumbung pangan di lima
wilayah perbatasan, yaitu Kepulauan Riau,
Entikong Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur
(NTT), Maluku, dan Merauke.
Komoditas pertanian di daerah perbatasan
Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas antara lain
padi, kelapa sawit, kelapa dalam, sapi, dan ayam
buras. Produktivitas komoditas padi masih relatif
rendah, karena lahan kurang subur. Perubahan
iklim akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya
kegagalan panen akibat kebanjiran dan kekeringan
di Kecamatan Paloh (Burhansyah et al., 2017).
Potensi lahan sawah di Kecamatan Paloh
seluas 4.497 ha berupa lahan sawah tadah hujan.
Luas panen padi di Kecamatan Paloh pada tahun
2017 sekitar 5.420 ha dengan rincian 4.873 padi
sawah dan 547 padi ladang (BPS Kabupaten
Sambas, 2018). Produktivitas padi pada tahun 2015
sekitar 2,82 ton/ha, setelah tahun 2015 BPS tidak
mendata produktivitas padi.
Salah satu upaya peningkatan produktivitas
melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT). Dalam model PTT, pemecahan masalah
setempat dengan penerapan teknologi inovatif
merupakan prioritas utama. Paket teknologi yang
dipilih dalam PTT tidak tetap, tetapi spesifik
lokasi. Masalah agronomis yang dihadapi petani
pada lahan sawah tadah hujan umumnya: (1)
penggunaan varietas lokal berdaya hasil rendah dan
berumur panjang, (2) mutu benih rendah, (3)
pemupukan tidak tepat dan cenderung kurang, (4)
cara tanam tidak teratur dan populasi tanaman
rendah, dan (5) pengendalian gulma tidak optimal.
Tingkat penerapan teknologi introduksi di lahan
sawah tadah hujan relatif rendah karena
pendapatan dan modal petani tidak memadai (Pane
et al., 2002). Siwi dan Kartowinoto (1989)
menyebutkan bahwa untuk wilayah miskin sumber
daya, penggunaan varietas unggul merupakan cara
yang murah dan mudah bagi petani.
Teknologi budidaya padi di Kecamatan
Paloh sudah cukup baik. Petani menanam 2 (dua)
kali dalam setahun. Musim kemarau (MK) dimulai
bulan April dan musim hujan (MH) bulan Oktober.
Lokasi rawan kekeringan dan kebanjiran. Musim
penghujan ditanami varietas lokal seperti Ringkak
dengan umur 6-8 bulan, sedangkan musim kemarau
ditanami Air Tenggulang, Inpara 3, dan Cilosari.
Pemupukan menggunakan NPK 100 kg/ha, Urea
50 kg/ha, SP36 50 kg/ha, sedangkan KCl, pupuk
organik, dan kapur tidak pernah diberikan.
Budidaya padi dengan cara tugal, legowo 4:1,
semai dengan ditugal, pemupukan persemaian
dengan Urea, jumlah tanaman per lubang 4-5.
Kebutuhan benih per 1 (satu) ha adalah 50 kg
dengan produksi 3 ton. Serangan hama dan
penyakit utama adalah wereng coklat, walang
sangit, ulat tanah, orong-orong, keong mas, dan
blast. Ketersediaan benih unggul padi berlabel
masih terkendala.
Menurut Lalu, et al. (2017) varietas padi
yang direkomendasikan untuk lahan tadah hujan
antara lain Inpari 1, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 18,
Inpari 19, Inpari 20, Inpari 21, Inpari 22, Inpari 30,
Inpari 32, Inpari 33, Inpari 38, Inpari 39, Inpari 40,
Inpari 41, Inpari 42, dan Inpari 43. Kelebihan
varietas Inpari 22 adalah produksinya cukup tinggi
dengan rata-rata hasil 5,8 t/ha GKG dan potensi
hasil 7,9 t/ha GKG. Inpari 42 agak tahan terhadap
wereng batang coklat biotipe 1, 2, dan 3. Varietas
ini tahan terhadap hawar daun bakteri patotipe III,
rentan terhadap patotipe IV dan VIII, tahan
terhadap blas ras 033 dan 133, agak tahan ras 073
dan 137, dan rentan terhadap tungro (Jamil et al.,
2015).
Tujuan penelitian adalah mengetahui
kelayakan usahatani varietas uggul baru padi
sawah tadah hujan di kawasan perbatasan
Kabupaten Sambas.
27
Analisis Kelayakan Varietas Unggul BaruPAdi Lahan Sawah Tadah Hujan Di Perbatasan Kabupaten
Sambas (Rusli Burhansyah)
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Desa Matang
Danau, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas,
Provinsi Kalimantan Barat pada sawah tadah hujan
luas tanam 10 ha. Waktu pelaksanaan untuk musim
kemarau bulan April – Agustus 2018.
Pendekatan Penelitian
Komponen teknologi yang diuji terdiri dari
benih VUB Inpari 26 dan Inpari 22, olah tanah
minimum, pupuk anorganik NPK 200 kg/ha, KCl
50 kg/ha, pupuk organik Petroganik 1.000 kg/ha,
dan Biotara 25 kg/ha. Pupuk Biotara merupakan
pupuk hayati berbentuk butiran. Kelebihan dari
pupuk ini adalah pupuk hayati konsorsium mikroba
dekomposer, pelarut P, dan penambat N dengan
media pembawa jerami padi atau tandan kosong
kelapa sawit. Biotara memiliki keunggulan pada
tanah masam lahan rawa dan mampu
meningkatkan produktivitas tanaman dan
keberlanjutan sumberdaya lahan. Kegunaan dari
pupuk ini yaitu dapat mengikat N, meningkatkan
ketersediaan hara P tanah, mempercepat
dekomposisi sisa-sisa organik, memacu
pertumbuhan tanaman, meningkatkan efisiensi
pemupukan N dan P lebih dari 30%, dan
meningkatkan hasil padi lebih dari 20% di lahan
rawa (Mukhlis et al., 2013). Jarak tanam jajar
legowo 4:1 adalah 40 x 25 x 15 cm, umur pindah
bibit 14-21 hari, pengendalian gulma sesuai
kondisi, dan pengendalian hama sesuai ambang
ekonomi.
Penentuan petani kooperator dilakukan
melalui koordinasi dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat,
Dinas Pertanian Kabupaten Sambas, dan penyuluh
lapangan di lokasi penelitian. Petani kooperator
yang terlibat sejumlah 25 orang berasal dari
kelompok tani Angin Surga.
Jenis Data dan Metode Analisis
Sumber data dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan dari hasil observasi dan wawancara
langsung menggunakan kuesioner. Data aspek
finansial yang dikumpulkan adalah penggunaan
dan biaya input sarana produksi yaitu benih, pupuk,
herbisida, dan pestisida serta penggunaan biaya
input tenaga kerja. Data tersebut dianalisis atas
biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan.
Keuntungan dihitung sebagai pendapatan bersih
dikurangi total biaya produksi (Suratiyah, 2011
dalam Gupito, 2014).
Metode analisis yang digunakan adalah
analisis pendapatan, analisis kelayakan, dan
analisis deskripsi (Soekartawi, 2002). Secara
matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Analisis Pendapatan
I = TR - TC
TR = Y.Py
TC = FC + VC
Keterangan:
I = Income (pendapatan)
TR = Total Revenue (total
penerimaan)
TC = Total cost (total biaya)
FC = Fixed cost (biaya tetap)
VC = Variable cost (biaya variable)
Y = Yield (produksi usahatani)
Py = Price of Y (harga Y)
Analisis Kelayakan
R/C
Keterangan:
R = Revenue (penerimaan)
C = Cost (biaya)
Kriteria keputusan:
R/C > 1 = usahatani menguntungkan
(tambahan manfaat/penerimaan lebih besar
dari tambahan biaya);
R/C <1 = usahatani rugi (tambahan biaya
lebih besar dari tambahan penerimaan);
dan
28 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 25 - 34
R/C = 1 usahatani impas (tambahan
penerimaan sama dengan tambahan biaya).
Analisis Deskripsi
Analisis deskripsi merupakan analisis yang
menggambarkan secara sistematik dan akurat
tentang fakta dan karakteristik populasi/kegiatan
dalam bidang tertentu yang menjadikan subyek
penelitian berdasarkan data dari variabel yang
diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan
fakta di lapangan (Nasir, 2003).
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan terkait
perubahan pada aspek pendapatan karena faktor
lingkungan yang berubah. Lingkungan dalam
pengertian ini antara lain perubahan harga input,
perubahan harga output, pajak, dan sejenisnya.
Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui
perubahan pendapatan yang terjadi manakala ada
kenaikan harga input atau pajak, atau ada
penurunan harga output, atau inflasi? Apakah
dengan perubahan itu, berdampak pada pendapatan
usahatani (Hendayana, 2016).
Perubahan yang sering dialami antara lain:
(a) Meningkatnya harga input produksi benih,
pupuk, dan pestisida. Peningkatan harga input
tersebut terjadi karena berbagai faktor, misalnya
inflasi, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar,
atau karena faktor eksternal lainnya (kebijakan
penyesuian harga), (b) Harga output tidak berubah
atau tetap, bahkan menurun. Kondisi penurunan
harga ouput tersebut dapat disebabkan karena
kelebihan produksi (over supply) akibat panen
raya, atau adanya kebijakan pemerintah melakukan
impor produk sejenis dengan produk petani.
Pendekatan Analisis
Analisis sensitivitas dilakukan dengan
membuat skenario perubahan yang diprediksi
terjadi secara realistis di lapangan.
Skenario 1: terjadi inflasi, harga pupuk non organik
5%, pestisida 15%, bunga modal naik 2%,
sedangkan lainnya tetap.
Skenario 2: terjadi inflasi seperti benih, pupuk
oganik dan tenaga kerja naik 5%, pupuk anorganik
10%, pestisida 20%, bunga modal 3% sementara
produksi turun 10%, dan harga gabah turun 5%
karena panen raya atau ada kebijakan impor
Skenario 3: terjadi inflasi lagi yang lebih dahsyat,
sehingga semua harga benih, pupuk organk, tenaga
kerja naik 10%, sedangkan pupuk anorganik 15%,
pestisida 25%, bunga modal 4%, produksi turun
20%, dan harga gabah turun sampai 10%
Skenario 4: terjadi inflasi lagi yang lebih dahsyat,
harga benih, pupuk organik dan tenaga kerja naik
15%, pupuk anorganik 20%, bunga modal naik 5%,
Produksi turun sampai 30% dan harga gabah turun
15% (Tabel 1).
Tabel 1. Skenario perubahan harga input, produksi dan harga output usahatani padi
No. Uraian Skenario 1 (%) Skenario 2 (%) Skenario 3 (%) Skenario 4 (%)
1 Input
2 Benih 0 5 10 15
3 Pupuk anorganik 5 10 15 20
4 Pupuk organik1 0 5 10 15
5 Pupuk organik2 0 5 10 15
6 Pestisida 15 20 25 30
7 Tenaga kerja 0 5 10 15
8 Bunga Modal 2 3 4 5
9 Produksi 0 -10 -20 -30
0 Harga gabah 0 -5 -10 -15
29
Analisis Kelayakan Varietas Unggul BaruPAdi Lahan Sawah Tadah Hujan Di Perbatasan Kabupaten
Sambas (Rusli Burhansyah)
HASIL PEMBAHASAN
Kondisi Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian
Luas wilayah dan jumlah penduduk Desa
Matang Danau merupakan salah satu faktor
pendukung dan potensi dalam melaksanakan
otonomi desa. Tingginya tingkat
partisipasi masyarakat juga merupakan faktor
utama dalam memajukan desa (BPS Kabupaten
Sambas, 2017).
Desa Matang Danau Kecamatan Paloh
memiliki wilayah 4.401 ha terdiri dari lahan
pertanian tanaman padi 900 ha, perumahan dan
pekarangan 1,5 ha, lahan perkebunan rakyat 1,75
ha, dan tanah wakaf 13.339 ha. Batas-batas
Desa Matang Danau: sebelah Utara dengan Desa
Laut Matuna, sebelah Selatan dengan
Desa Matang Segantar dan Mulia Kecamatan
Teluk Keramat, sebelah Barat dengan Desa
Kalimantan Kecamatan Paloh dan Merabuan Kec.
Tangaran, serta sebelah Timur dengan Desa Tanah
Hitam.
Desa Matang Danau memiliki 4 (empat)
dusun yaitu Dusun Pantai Laut, Dusun Mariana,
Dusun Perigi Nyatu, dan Dusun Matang Putus.
Desa ini juga merupakan penggabungan untuk dua
desa yaitu Desa Matang Putus dan Matang Danau.
Menurut data BPS, penduduk Desa Matang Danau
tahun 2016 berjumlah 4.265 jiwa terdiri dari laki-
laki 2.131 jiwa dan perempuan 2.134 Jiwa. Mata
pencaharian masyarakat adalah petani 3.490 orang,
nelayan 42 orang, usaha industri sedang 10 orang,
pedagang 54 orang, PNS/TNI/POLRI 76 orang,
swasta dan lainnya 17 orang, usaha industri kecil 3
orang, buruh bangunan 18 orang, pengangkutan 3
orang, dan perkebunan kecil 13 orang.
Potensi Kelembagaan
Lembaga-lembaga yang terdapat di desa
Matang Danau memiliki fungsi dan peran penting,
sebab membantu dalam mensejahterakan desa.
Jenis-jenis lembaga yang ada adalah:
Lembaga Pemerintahan
Lembaga pemerintahan merupakan
lembaga yang mengatur untuk memimpin,
melindungi, dan menertibkan keadaan desa.
Pemerintahan desa memiliki dua lembaga, yaitu (1)
Kepala desa dan perangkat-perangkat desa dan (2)
Badan Permusyawaratan Desa. Pendidikan
terakhir kepala desa adalah tamatan SMA
sederajat, sedangkan perangkat desa
sebagian Diploma (D3) dan Sarjana Strata-1 (S1).
Kemudian untuk jumlah RW ada 5, dan untuk
jumlah RT adalah berjumlah 17. Terdapat pula
perangkat-perangkat desa lainnya seperti BPD
dengan yang jumlah anggotanya orang, kemudian
untuk pendidikan terakhir ketua BPD adalah
tamatan SMA. Jarak desa Matang Danau
Kecamatan Paloh sekitar 23,6 km. Ke ibukota
kabupaten Sambas 60 km. Jarak ke provinsi sekitar
257 km (BPS Kabupaten Sambas, 2018).
Kelayakan Usahatani Padi Varietas Unggul
Baru
Dari hasil perhitungan analisis kelayakan
usahatani padi, varietas unggul baru inpari 16 dan
inpari 22 layak untuk dikembangkan di derah
Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas. Dari
Tabel 2 menunjukkan varietas unggul baru inpari
16 mampu berproduksi 3.520 kg/ha, Dengan harga
gabah sekitar Rp .4.500,-/kg diperoleh pendapatan
bersih (keuntungan) atas biaya total Rp 2.205.798,-
dengan R/C atas biaya total sekiar 1,16.
Varietas unggul baru inpari 22 memiliki
potensi untuk dikembangkan didaerah ini. Pada
Tabel 3 terlihat produktivitas padi mencapai 5.400
kg/ha dengan keuntungan atas biaya total Rp
10.289.798 selama 4 bulan atau Rp 2.572.450 per
bulan. Hal ini lebih tinggi dari Upah Miniimum
Kabupaten Sambas tahun 2018 sekitar
Rp.2.200.000,-
Dari hasil analisis sensitiitas menunjukkan
bahwa varietas unggul baru inpari 16 belum bisa
direkomendasikan ke petani. Hal ini karena dari
hasil skenario 2 yaknin harga benih naik 5%,
harga pupuk anorganik 10%, pupuk organic naik
5%, pestisida naik 20%, tenaaga kerja naik 5%,
30 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 25 - 34
modal naik 3%, produksi turun 10% dan harga
gabah turun 5% sudah tidak layak (R/C < 1) atas
biaya total. Padi varietas unggul inpari 22 layak
dikembangkan di daerah Perbatasan Kabupaten
Sambas. Dari Tabel 4, diketahui inpari 22 masih
layak dikembangkan karena nilai R/C diatas 1
dengan berbagai hasil skenario.
Tabel 2. Analisis Kelayakan Usahatani Padi VUB Inpari 16 di Desa Matang Danau MK 2018
Uraian Volume Satuan
Harga Satuan ( Rp) Jumlah (Rp)
Komponen biaya dan pendapatan
Biaya Sarana Produksi
Benih Padi 25 kg
10.000 250.000
Pupuk Organik 1.000 kg
875 875.000
Pupuk NPK 200 kg
2.700 540.000
Pupuk KCl 50 kg
10.000 500.000
Pupuk Bioatara 25 kg
12.000 300.000 Herbisida 4 liter
120.000 480.000
Insektisida 8 cair
86.000 688.000
Pestisida2 9 cair
89.000 812.609
Sub Total
4.445.609
Biaya Tenaga Kerja
Tenaga Kerja Dalam Keluarga
PRIA/WANITA Persiapan lahan 4 HOK
50.000 200.000
Membuat persemaian 2 HOK
50.000 100.000
Mencabut benih 2 HOK
50.000 100.000
Menanam 6 HOK
50.000 300.000 Memupuk 9 HOK
50.000 450.000
Menyemprot 4 HOK
50.000 200.000
Menyiang 6 HOK
50.000 300.000
Panen dan pengangkutan 10 HOK
50.000 500.000 Sub Total 43
50.000 2.150.000
Tenaga Kerja Upahan Persiapan lahan 3 HOK
50.000 150.000
Membuat persemaian 2 HOK
50.000 100.000
Mencabut benih 3 HOK
50.000 150.000
Menanam 25 HOK
50.000 1.250.000 Menyemprot 12 HOK
50.000 600.000
Menyiang 33 HOK
50.000 1.650.000
Panen dan pengangkutan 36 HOK
50.000 1.800.000
Perontokan 14,08
3.520 200 704.000 Sub Total 128,08
6.404.000
Total biaya tenaga kerja
8.554.000 Biaya total di luar bunga
12.999.609
Bunga modal (7% dr biaya tunai prapanen)
634.593
Total biaya (3+4)
13.634.202
Total biaya tunai
11.484.202 Komponen pendapatan (Rp/ha/musim)
Penerimaan (3520 kg@Rp4500)
15.840.000
Keuntungan finansial
Atas Biaya Tunai
4.355.798
Atas Biaya Total
2.205.798
R/C Atas Biaya Tunai
1,38
Atas Biaya Total
1,16
Keterangan: Analisis Data primer, 2018
31
Analisis Kelayakan Varietas Unggul BaruPAdi Lahan Sawah Tadah Hujan Di Perbatasan Kabupaten
Sambas (Rusli Burhansyah)
Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Padi VUB Inpari 22 di Desa Matang Danau MK 2018
Uraian Volume Satuan
Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)
Komponen biaya dan pendapatan
Biaya Sarana Produksi
Benih Padi 25 kg 10.000 250.000
Pupuk Organik dan An organik (+biotara) 2215000
Herbisida, Insektisida 1980609
Sub Total 4.445.609
Biaya TK Dalam Keluarga Pria/Wanita 43 HOK 50.000 2.150.000
Tenaga Kerja Upahan 6.780.000
Total biaya tenaga kerja 8.930.000
Biaya Total diluar bunga 13.375.609
Bunga Modal (7% dr biaya tunai prapanen) 634.593
Total biaya 14.010.202 Total biaya tunai 11.860.202
Komponen Pendapatan (Rp/ha/musim)
Penerimaan (5400 kg@Rp4500) 24.300.000,00
Keuntungan finansial
Atas Biaya Tunai 12.439.798
Atas Biaya Total 10.289.798 R/C
Atas Biaya Tunai 2,05
Atas Biaya Total 1,73
Keterangan: Analisis data primer, 2018
Tabel 4. Kelayakan Usahatani Padi VUB Inpari 16 Setelah Perubahan Hasil Skenario
Uraian Nilai (Rp) Perubahan Hasil Skenario
1 2 3 4
Input
Benih 250.000 250.000 262.500 275.000 287.500 Pupuk anorganik (NPK) 540.000 567.000 594.000 621.000 648.000
Pupuk anorganik (KCl) 500.000 525.000 550.000 575.000 600.000
Pupuk organik(petroganik) 875.000 875.000 918.750 962.500 1.006.250
Pupuk organik(biotara) 300.000 300.000 315.000 330.000 345.000
Herbisida 480.000 552.000 576.000 600.000 624.000
Insektisida 688.000 791.200 825.600 860.000 894.400 Fungisida 812.609 921.150 961.200 1.001.250 1.041.300
Biaya Tenaga Kerja DK 2.150.000 2.150.000 2.257.500 2.365.000 2.472.500 Biaya Tenaga Kerja LK 6.404.000 6.404.000 6.724.200 7.040.000 7.360.000
Bunga Modal 634.593 647.285 653.631 659.977 666.323
Penerimaan 15.840.000 15.840.000 14.256.000 12.672.000 11.088.000
Keuntungan (atas biaya tunai) 4.255.798 4.007.365 1.875.119 (252.727) (2.384.773)
Keuntungan (atas biaya total) 2.205.798 1.857.365 (382.381) (2.617.727) (4.857.273)
R/C (atas biaya tunai) 1,38 1,34 1,15 0,98 0,82
R/C (atas biaya total) 1,16 1,13 0,97 0,83 0,70
Keterangan: Analisis data primer, 2018
32 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 25 - 34
Tabel 5. Kelayakan Usahatani Padi VUB Inpari 22 Setelah Perubahan Hasil Skenario Uraian Nilai (Rp) Perubahan Hasil Skenario
1 2 3 4
Input
Benih 250.000 250.000 262.500 275.000 287.500
Pupuk anorganik (NPK) 540.000 567.000 594.000 621.000 648.000
Pupuk anorganik (KCl) 500.000 525.000 550.000 575.000 600.000 Pupuk organik(petroganik)
875.000 875.000 918.750 962.500 1.006.250 Pupuk organik(biotara) 300.000 300.000 315.000 330.000 345.000
Herbisida 480.000 552.000 576.000 600.000 624.000
Insektisida 688.000 791.200 825.600 860.000 894.400
Fungisida 812.609 921.150 961.200 1.001.250 1.041.300 Biaya Tenaga Kerja DK 2.150.000 2.150.000 2.257.500 2.365.000 2.472.500 Biaya Tenaga Kerja LK 6.404.000 6.404.000 6.724.200 7.040.000 7.360.000
Bunga Modal 634.593 647.285 653.631 659.977 666.323 Penerimaan 24.300.000 24.300.000 21.870.000 19.440.000 17.010.000
Keuntungan (atas biaya tunai) 12.439.798 12.091.365 9.094.319 6.097.273 3.100.227
Keuntungan (atas biaya total) 10.289.798 9.941.365 6.836.819 3.732.273 627.727
R/C (atas biaya tunai) 2,05 1,99 1,71 1,46 1,22
R/C (atas biaya total) 1,73 1,69 1,45 1,24 1,04
Keterangan: Analisis data primer, 2018
KESIMPULAN
Penggunaan inpari 16 memberikan
keuntungan atas biaya tunai sebesar Rp 4.355.798.
dan atas biaya total Rp 2.205.798. dan R/C atas
biaya tunai 1,38 dan R/C atas biaya total 1,16.
Varietas unggul baru inpari 22 memberikan
keuntungan atas biaya tunai sebesar Rp.12.439.798
dan atas biaya total Rp 10.289.798. R/C atas biaya
tunai sebesar 2,04 dan R/C atas biaya total 1,73.
Dari hasil sensitivitas kelayakan usahatani
untuk varietas unggul baru inpari 16 masih layak
(R/C >1) sampai skenario 1 ( pupuk anorganik
naik5%, pestisida naik 10%, bunga modal naik
2%). Sedangkan untuk skenario 2,3,dan 4 sudah
tidak layak (R/C<1). Hasil sensitivitas kelayakan
usahatani untuk varietas unggul bari 22 masih
layak (R/C>1) dari skenario 1,2,3,4.
Varietas unggul baru inpari 22 layak
dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di
kecamatan Paloh kawasan Perbatasan Kabupaten
Sambas. Vareitas unggul baru ini mempunyai
keunggulan antara lain: produktivitas diatas 5 ton
dengan keuntungan atas biaya total sebesar Rp
10.289.798,- dan R/C 1,73
DAFTAR PUSTAKA
Adyana. 2003. Demplot dan Sintesis Kebjiakan
Pengembangan Peningkatan Produtkivitas
Pada dan Ternak (P3T) Ke Depan. Laporan
Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaaman Pangan. Litbang Pertanian. 40
hal.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2017.
Kecamatan Paloh Dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Kabupaten
Sambas.182 hal.
BPS Kabupaten Sambas. 2017. Kabupaten
Sambas Dalam Angka 2017. BPS Kabupaten
Sambas.476 hal.
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
2010. Atlas Peta Tanah Tingkat Tinjau
Provinsi Kalimantan Barat, Skala 1 :
250.000, edisi I. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan
33
Analisis Kelayakan Varietas Unggul BaruPAdi Lahan Sawah Tadah Hujan Di Perbatasan Kabupaten
Sambas (Rusli Burhansyah)
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. 72 hal.
Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 2010.
Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah
Negara Dan Kawasan Perbatasan. BNPP,
Jakarta.15 hal.
Burhansyah, R., Darsono, L.M. Gufroni, Dwi P.,
dan Melia P. 2011. Laporan Akhir. Analisis
kebijakan Pertanian di wilayah Perbatasan
Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. BPTP
Kalimantan Barat. 60 hal.
Burhansyah, R, A.Subekti, G.C. Kifli, Azri,
K.Supriyadi, A.Musyafak. 2017. Laporan
Akhir Dukungan Inovasi Teknologi Di
Daerah Perbatasan Kalimantan Barat. BPTP
Kalbar. 107 hal.
Hamid, S.H.Mukti dan T.Widianto. 2001. Kawasan
Perbatasan Kalimantan: Permasalahan dan
Konsep Pengembangan, Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan
Wilayah. BPPT.15 hal.
Indah, LSM, Zakaria, WA & Prasmatiwi, FE 2015,
‘Analisis Efisiensi Produksi dan Pendapatan
Usahatani Padi Sawah Pada Lahan Irigasi
Teknis Dan Lahan Tadah Hujan Di
Kabupaten Lampung Selatan’, JIIA, 3(3):
260–267.
Ikhwanuddin. 2011. Penyusunan Kebijakan
Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Indonesia. www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/2512/, retrived on 3.5.2012 9
hal.
Jamil, A., Satoto, P.Sasmita, Y.Baliadi, A.Guswara
dan Suharna. 2015. Deksripsi Varietas
Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian.88 hal.
Jonharnas, JH & Sitindaon, SH 2017, ‘Peran Lahan
Sawah Tadah Hujanterhadap Ketahanan
Pangan Nasional Di Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara’, Jurnal
Agroteknologi, 7(2):15-20.
Jamaluddin 2016, ‘Analisis Tingkat Efesiensi
Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Padi
Varietas Unggul Nasional Unggul Lokal
Dan Hibrida Pada Sawah Tadah Hujan Di
Kecamatan Bangkinang Kabupaten
Kampar’, Jurnal Agribisnis, 18(2): 1–14.
Lailiyah, N, Timisela, Nr & Kaplale, R 2017,
‘Tadah Hujan Di Desa Lea Wai Kecamatan
Seram Utara Timur Kobi Analysis Of
Rainfed Lowland Rice ( Oriza Satuva L )
Production ( Oriza Satuva L ) In Lea Wai
Village North Seram East Kobi District
Agrilan : Jurnal Agribisnis Kepulauan
Pendahuluan Dari Hasil B’.5(2):151–165.
Las, I, D.Soetopo, I, Inounu, T. Sudaryanto,
Hermanto, K.Subagyono, H.Syahbuddin,
D.N.Cakrabawa, S.Mardianto dan
T.Alihamsyah. 2017. Grand Design
Pengembangan Lumbung Pangan
Berorientasi Eskpor di Wilayah Perbatasan.
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
86 hal.
Lalu M. Zarwazi, Y.Nugraha, A.P.V.Yuningsih.
2017. Rekomendasi Pengelolaan Lahan
Berbasis Agroekosistem dan Kesesuaian
Lahan Untuk Pengembangan Peningkatan
Produksi Padi. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, Balitbangtan.20 hal.
Murniati, K, Mulyo, JH, Irham, I & Hartono, S
2017, ‘Efisiensi Teknis Usaha Tani Padi
Organik Lahan Sawah Tadah Hujan di
Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung’,
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 14(1):
31–38.
Mukhlis, Y.Lestari, dan A.Budiman.2013. Pupuk
Hayati Biotara.
http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/ind/index
.php?option=com_content&view=article&id
=563:pupuk0-hayati-biotara-
&catid=55:teknologi-inovatif-badan-litbang-
pertanian&Itemid=613 (30 Oktober) 2019.
Nasution, FH & Alamsyah, Z ‘Sosio Ekonomika
Bisnis ISSN 1412-8241 Analisis Curahan
Jam Kerja Dan Pendapatan Rumah Tangga
34 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 25 - 34
Petani Padi Sawah Tadah Hujan Di
Kecamatan Pelayangan Kota Jambi Sosio
Ekonomika Bisnis ISSN 1412-8241
PENDAHULUAN Menurut Badan Litbang
Pertanian ( 2007 ), beras’, , pp. 46–54.
Pane, H., Ismail BP., I.P Wardhana, Karsidi, P.,
L.Pirngadi, dan Husin M.Toha. 2002.
Perspektif peningkatan produksi padi di
lahan sawah tadah hujan. Balai Penelitian
Tanaman Padi. 16 hal.
Pirngadi, K & Makarim, AK .2006, ‘Peningkatan
Produktivitas Padi pada Lahan Sawah Tadah
Hujan melalui Pengelolaan Tanaman
Terpadu’, Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, 25(2):116–123.
Rahayu, W 2014, ‘Ketersediaan pangan pokok
pada rumah tangga petani padi sawah irigasi
dan tadah hujan di kabupaten karanganyar’,
JSEP, 7(1): 45–51.
Riyanto, D, Widodo, S & Sukristiyonubowo, S
2019, ‘Aplikasi Biochar dan Pupuk Hayati
Dalam Meningkatkan Kualitas Lahan Sawah
Tadah Hujan Serta Produktivitas Padi di
Gunungkidul’, Prosiding Seminar Nasional
Lahan Suboptimal, 978–979.
Sabiham, S, Pramudya, B & Rusastra, WIW 2011,
‘Determination for Optimum Land Area of
Rice Farming In Order to Supports
Sustainable Food Self-Sufficiency in West
Nusa Tenggara’, Jurnal Agro Ekonomi,
29(2): 113–145.
Sistem, P, Jerami, P, Terhadap, P, Metana, E,
Ciherang, P & Hujan, T 2012, ‘Pengaruh
Sistem Tanam dan Pemberian Jerami Padi
Terhadap Emisi Metana dan Hasil Padi
Ciherang di Ekosistem Sawah Tadah
Hujan’,20(4):357–364.
Siwi, B.H dan S.Kartowinoto. 1989. Plasma nutfah
padi. Padi Buku I. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. P.321-
330.
Sudana, W., N.Ilham, D.K.S.Sadra, dan
R.N.Suhaeti. 1999.Metodologi Penelitian
dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 50 hal.
Sujinah dan Ali Jamil. 2016. Mekanisme Respon
Tanaman Padi terhadap Cekaman
Kekeringan dan Varietas Toleran. Iptek
Volume 11(1):1-8.
Syamsul Bakhri, Hartono, ZS dan HP 2003,
‘Teknologi peningkatan intensitas
pertanaman sawah tadah hujan di sulawesi
tengah’, Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian,
6(1):16–28.
Yartiwi, Y, Romeida, A & Utama, SP 2018, ‘Uji
Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi Sawah
Untuk Optimasi Lahan Tadah Hujan
Berwawasan Lingkungan Di Kabupaten
Seluma Provinsi Bengkulu’, Naturalis:
Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan, 7(2): 91–98.
Zuraida, R 2010, ‘Usaha tani Padi dan Jagung
Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk
Mendukung Ketahanan Pangan di
Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec .
Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru )’, ,
no. 2006, pp. 978–979.
https://www.researchgate.net/profile/Indra_Syamw
il/publication/305221883_Pembangunan_Wi
layah_di_Perbatasan_Negara_Kasus_Kalima
ntan_Barat/links/5785460008ae3949cf538c4
7.pdf
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754
454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prioritas.Jokowi-
JK
http://bisnis.liputan6.com/read/2846828/kementan-
bertekad-bangun-lumbung-pangan-di-
perbatasan (28 Oktober)2019.
35 Usaha tani Jagung Hibrida Varietas Bima19 URI di Lahan Sawah Tadah Hujan
Sumatera Selatan (Maya Dhania Sari dan Suparwoto)
USAHATANI JAGUNG HIBRIDA VARIETAS BIMA 19-URI DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN SUMATERA SELATAN
Maya Dhania Sari dan Suparwoto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jalan Kol. H. Burlian KM.6 No. 83 Palembang, Sumatera Selatan
Email: mayadhaniasari@gmail.com
ABSTRACT
Farming of Bima Uri-19 Hybrid Maize in Rainfed Land South Sumatera. One of the technology
introductions to increase maize productivity is high yielding superior varieties and adaptive to the local environment.
The research objective was to determine the feasibility of farming the BIMA 19-URI hybrid maize in rainfed rice fields
in an effort to increase farmer income. The research activity was carried out in rainfed rice fields in the Sampurna
Tani Group, Cahya Maju Village, Lempuing District, Ogan Komering Ilir Regency with an area of 1.5 ha starting in
August 2017, and involving 3 (three) cooperator farmers. Soil cultivation by means of perfect tillage. Seed treatment
before planting using ridomil. Planting is done by burying, filling 1-2 seeds per planting hole, spacing 70 cm x 20 cm.
The fertilizer used was 300 kg urea, 200 kg SP-36, and 100 kg KCl/ha were given twice and the corn variety used was
Bima 19-URI. The results of the study showed that the growth of the Bima 19-URI variety of maize was already good
and no one fell with a productivity of 7.2 tonnes of dry shelled/ha. Hybrid maize farming Bima 19-URI variety in
rainfed rice fields is financially feasible and profitable with R/C value of 1.9.
Keywords: maize, growth, productivity, farming analysis, rainfed land
ABSTRAK
Salah satu introduksi teknologi untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah varietas unggul berdaya hasil
tinggi dan adaptif dengan lingkungan setempat. Tujuan penelitian untuk mengetahui kelayakan usahatani jagung
hibrida BIMA 19-URI di lahan sawah tadah hujan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani. Kegiatan penelitian
dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan pada Kelompok Sampurna Tani, Desa Cahya Maju, Kecamatan Lempuing,
Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luasan 1,5 ha mulai pada bulan Agustus 2017, dan melibatkan 3 (tiga) petani
kooperator. Pengolahan tanah dengan cara olah tanah sempurna. Perlakuan benih sebelum tanam menggunakan
ridomil. Penanaman dilakukan dengan tugal, isi per lubang tanam 1-2 biji, jarak tanam 70 cm x 20 cm. Pupuk yang
digunakan 300 kg Urea, 200 kg SP-36, dan 100 kg KCl/ha diberikan dua kali dan varietas jagung yang digunakan
yaitu Bima 19-URI. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman jagung varietas Bima 19-URI sudah
baik dan tidak ada yang rebah dengan produktivitas 7,2 ton pipilan kering/ha. Usahatani jagung hibrida varietas Bima
19-URI di lahan sawah tadah hujan secara finansial layak diusahakan dan menguntungkan dengan nilai R/C 1,9.
Kata kunci: jagung, pertumbuhan, produktivitas, analisis usahatani, lahan tadah hujan
36 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
PENDAHULUAN
Jagung menjadi sumber utama karbohidrat
dan protein terpenting setelah beras yang memiliki
nilai ekonomis dan berpeluang cukup tinggi untuk
dikembangkan sebagai bahan baku industri
pengolahan pangan dan pakan ternak (Herlina dan
Fitriani, 2017). Jagung di Indonesia ditanam pada
lingkungan yang beragam dilihat dari tipe
agroekologi, kesuburan tanah, ketersediaan sumber
air, musim tanam, dan kemampuan modal petani.
Keragaman yang besar mengakibatkan terjadinya
keragaman produktivtas jagung dari sangat rendah
1,5-2 ton/ha hingga tinggi 7-9 ton/ha (Sutoro,
2012).
Permintaan jagung yang semakin banyak
memerlukan usaha ekstensifikasi dan intensifikasi,
tetapi pada saat ini terjadi alih fungsi lahan untuk
perkebunan, perumahan dan pembangunan
industri, sehingga usaha peningkatan produktivitas
perlu ditempuh melalui intensifikasi salah satunya
dengan menggunakan varietas unggul berdaya hasil
tinggi.
Soehendi dan Syahri (2013), mengemukakan
salah satu permasalahan dalam pengembangan
jagung adalah ketersediaan varietas unggul, karena
varietas unggul memegang peranan dalam
mendorong peningkatan produktivitas tanaman.
Idris (2008) dalam Helmi dan Sembiring, (2013)
menyebutkan bahwa penggunaan varietas unggul
yang ditanam terus menerus akan mengalami
perubahan antara lain kemurnian varietas dan
reaksinya terhadap hama dan penyakit tertentu
semakin menurun.
Varietas unggul baru (VUB) yang dapat
menggantikan varietas yang biasa digunakan petani
menjadi penting. Teknologi ini lebih aman dan
lebih ramah lingkungan serta murah harganya bagi
petani. Jagung dapat ditanam pada lahan kering,
lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan
lebak, dan lahan pasang surut dengan berbagai
jenis tanah, berbagai tipe iklim dan ketinggian
tempat 0-2000 m dari permukaan laut
(Zubachtirodin et al., 2007).
Secara nasional luasan lahan sawah tadah
hujan mencapai 2,1 juta ha sampai 2,6 juta ha dan
sekitar 900.000 ha terdapat di Pulau Jawa, sehingga
lahan sawah tadah hujan dapat menjadi alternatif
dalam rangka mendukung ketahanan pangan (Aos
dan Ruswandi, 2012). Provinsi Sumatera Selatan
(Sumsel) mempunyai sumberdaya cukup potensial
dalam pengembangan jagung, baik perluasan areal
(ektensifikasi) maupun peningkatan produksi
(intensifikasi), mengingat semua daerah
(kabupaten/kota) merupakan daerah penghasil
jagung. Luas sawah tadah hujan di Sumsel ialah
96.885 ha atau 12,5 % dari luas lahan sawah
(774.502 ha) (BPS Provinsi Sumatera Selatan,
2015).
Produktivitas jagung Sumatera Selatan tahun
2018 baru mencapai 6,7 ton/ha (BPS Provinsi
Sumatera Selatan, 2018), sementara potensi hasil
jagung hibrida mencapai 9-13 ton/ha pipilan
kering. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain teknologi bercocok
tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan
keterampilan petani jagung yang masih kurang,
penyediaan sarana produksi yang masih belum
tepat, dan kurangnya pemodalan petani jagung
untuk menyediakan sarana produksi.
Kecamatan Lempuing merupakan salah satu
Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir yang
terdiri dari 19 Desa. Luas wilayah Kecamatan
Lempuing 25.570,5 ha terdiri dari luas lahan kering
15.137,5 ha, sawah irigasi 650 ha, sawah tadah
hujan 9.397 ha, kolam/empang 21 ha, perairan
umum/rawa 365 ha. Lahan ini terletak pada
ketinggian sekitar 8 – 16 m dpl. pH tanah 4,0 – 5,5.
Bulan basah terjadi pada bulan Oktober-Maret dan
bulan kering terjadi pada bulan April-September.
Produktivitas jagung eksisting petani sekitar 4 ton
pipilan kering/ha (BP3K Cahya Maju, 2015).
Umumnya petani di Kecamatan Lempuing
Kabupaten Ogan Komering Ilir belum terbiasa
menanam jagung setelah panen padi kedua (IP200).
Petani membiarkan lahan sawahnya diberakan
hingga 3-4 bulan, padahal lahan yang
diusahakannya termasuk lahan produktif bila
diusahakan dengan menanam jagung ataupun
37 Usaha tani Jagung Hibrida Varietas Bima19 URI di Lahan Sawah Tadah Hujan
Sumatera Selatan (Maya Dhania Sari dan Suparwoto)
palawija lainnya maka akan mendapatkan
tambahan penghasilan. Sehubungan dengan
program yang telah dicanangkan oleh pemerintah
yaitu strategi peningkatan produksi jagung
berkelanjutan yang berbasis kawasan, maka
melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Sumatera Selatan memperagakan varietas
unggul baru jagung dalam mendukung program
pengembangan kawasan areal pertanaman jagung
di Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan tulisan adalah
menganalisis kelayakan usahatani jagung hibrida
BIMA 19-URI di lahan sawah tadah hujan dalam
upaya meningkatkan pendapatan petani.
METODOLOGI
Kegiatan budiaya hibrida jagung varietas
Bima 19-URI dilaksanakan di Desa Cahya Maju,
Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Provinsi Sumatera Selatan dimulai pada bulan
Agustus 2017.
Penanaman jagung dilaksanakan setelah
tanaman padi pada MK II di Kelompok Sampurna
Tani dengan agroekosistem sawah tadah hujan
seluas 1,5 ha dan petani yang terlibat 3 (tiga)
orang. Benih yang digunakan sebanyak 20 kg/ha
yang sebelumnya diberikan perlakuan benih yaitu 1
kg benih dicampur dengan 2 g ridomil yang
dilarutkan dalam 10 ml air. Pengolahan tanah
dengan cara olah tanah sempurna. Penanaman
dengan cara ditugal kedalaman 3-5 cm sebanyak 1-
2 benih jagung per lubang disertai furadan 1 g tiap
lubang lalu ditutup kembali dengan tanah, dengan
jarak tanam 70 cm x 20 cm.
Pupuk yang digunakan 300 kg Urea/ha, 200
kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha diberikan dua kali.
Pemupukan pertama yaitu 200 kg Urea/ha, 200 kg
SP-36/ha, 50 kg KCl/ha, dan 1.000 kg/ha pupuk
petrogenik pada umur 7-10 hari setelah tanam.
Pupuk kedua yaitu 150 kg Urea/ha dan 50 kg
KCl/ha pada umur 28-30 hari setelah tanam. Kapur
dolomit 1.000 kg/ha diberikan dengan disebar pada
saat dua minggu sebelum tanam. Pupuk
dimasukkan dalam lubang tugal dengan kedalaman
7-10 dan jarak 10 -15 cm dari tanaman atau secara
larikan diantara tanaman jagung, kemudian lubang
ditutup kembali. Penyiangan dilakukan 2 (dua) kali
yaitu pada umur 15 hari setelah tanam (HST) dan
28-30 HST sebelum pemupukan ke dua.
Pembumbunan dilakukan sekaligus untuk membuat
saluran drainase guna memperbaiki kelembaban
dan aerasi tanah, pengendalian hama secara
terpadu.
Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara menggunakan kuesioner. Data yang
dikumpulkan meliputi pertumbuhan dan komponen
hasil, sarana produksi, curahan tenaga kerja, dan
produksi. Analisis finansial usahatani jagung
dilakukan dengan menghitung R/C dan usahatani
jagung dikatakan layak jika R/C >1. Analisis
kelayakan usaha tani dianalisis berdasarkan rumus
(Soekartawi, 2006) sebagai berikut:
TR
R/C = ------
TC
Keterangan:
R/C = nisbah penerimaan dan biaya
TR = total penerimaan (Rp/ha)
TC = total biaya (Rp/ha)
Dengan keputusan:
R/C>1, usaha tani secara ekonomi
menguntungkan
R/C = 1, usaha tani secara ekonomi berada pada
titik impas
R/C<1, usaha tani secara ekonomi tidak
menguntungkan (rugi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Pertumbuhan Tanaman
Demplot tanaman jagung dengan
menampilkan varietas Bima 19-URI ditanam pada
akhir bulan Agustus 2017 di Desa Cahya Maju
Kecamatan Lempuing Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI). Pertumbuhan dan produksi jagung
hibrida Bima 19-URI dapat dilihat pada Tabel 1.
38 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Tabel 1. Pengamatan pertumbuhan dan produksi jagung
hibrida di Desa Cahya Maju Kec. Lempuing
Kabupaten OKI, 2017
Parameter Bima 19-URI
Tinggi tanaman (cm) 256
Jumlah daun (helai) 11,3
Tinggi letak tongkol (cm) 114
Jumlah tongkol/batang (tongkol) 1
Panjang tongkol (cm) 20,4
Lilit tongkol (cm) 15,5
Produksi ubinan (5x4m) (120
tanaman) kg pipilan kering
14,4
Produksi konversi per ha pipilan
kering (ton/ha)
7,2
Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan tanaman
jagung varietas Bima 19-URI sudah baik dan tidak
ada yang rebah. Produksi rata-rata 7,2 ton pipilan
kering/ha, sedangkan berdasarkan deskripsi hasil
rata-rata 9,3 ton/ha dan potensi hasil bisa mencapai
12,5 ton/ha (Jamil et al., 2016). Produksi varietas
BIMA-19 yang dikaji di lahan sawah tadah hujan
ini masih belum mencapai hasil rata-rata 9,3
ton/ha. Hal ini
disebabkan penanaman jagung pada bulan
Agustus sesuai dengan pola tanam setempat, tetapi
tanaman mengalami kekurangan air sehingga
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi
jagung. Kekurangan air ini menyebabkan tanaman
tidak dapat menyerap unsur hara dengan sempurna.
Bustaman (2006) dalam Asroh et al. (2015)
menyebutkan bahwa produksi jagung dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan selama pertumbuhan
sampai pengisian biji. Menurut Agrita (2012)
dalam Wahyudin et al. (2016) bahwa kondisi
lingkungan yang paling berpengaruh adalah
temperatur pada saat pertumbuhan dan dapat
mempengaruhi ukuran biji maksimum, untuk
membentuk ukuran biji maksimum diperlukan suhu
rata-rata 25°C. Semakin baik kondisi lingkungan
tanaman tumbuh maka tanaman akan dapat
mengekspresikan sifat genotifnya dengan baik
sehingga tanaman dapat tumbuh secara normal.
Keunggulan jagung BIMA 19-URI antara
lain mempunyai potensi hasil tinggi 12,5
ton/hektar, tahan terhadap penyakit bulai, toleran
penyakit karat dan bercak daun, toleran terhadap
kekeringan, tahan rebah akar/batang, serta stay
green. Selain itu umur tanaman ini hanya 58 hari
setelah tanam (50% keluar rambut) dan 102 hari
setelah tanam (masak fisiologis) dengan tinggi
tanaman 213 cm. Sifat-sifat khusus jagung BIMA
19-URI antara lain potensi hasil tinggi (12,5 ton/ha
pipilan kering pada KA 15%), rata-rata hasil ± 9,3
ton/ha pipilan kering pada KA 15%, kandungan
karbohidrat ± 58,60%, kandungan protein ±
15,41%, dan kandungan lemak ± 11,98% Varietas
ini lebih menguntungkan jika ditanam pada lahan
sawah tadah hujan. Keragaan fisik tanaman BIMA
19-URI disukai oleh petani karena batangnya yang
kokoh, besar dan berdaun lebar serta lebih lunak
sehingga sangat disukai ternak sapi (BPTP
Kalimantan Selatan, 2015).
Kelayakan Usahatani Budidaya Jagung Hibrida
Analisis usahatani budidaya tanaman jagung
hibrida Bima 19-URI di Desa Cahya Maju,
Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering
Ilir dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil perhitungan RC rasio usahatani jagung
hibrida Bima 19-URI menghasilkan keuntungan
sebesar Rp 12.225.000/ha dengan nilai R/C 1,9
sehingga varietas BIMA-19 layak dikembangkan di
lahan sawah tadah hujan dan produktivitas yang
dicapai oleh varietas tersebut lebih baik daripada
eksisting petani 4 ton/ha (BP3K Cahya Maju,
2015). Penanaman jagung ini berdasarkan pola
tanam di lahan sawah tadah hujan di Desa Cahya
Maju yaitu padi-padi-bera. Padi ditanam pada
musim hujan dan musim kemarau (MK I) sehingga
masa bera ditanam jagung pada musim kemarau
(MK II) yaitu bulan Juli-Oktober.
39 Usaha tani Jagung Hibrida Varietas Bima19 URI di Lahan Sawah Tadah Hujan
Sumatera Selatan (Maya Dhania Sari dan Suparwoto)
Tabel 2. Struktur biaya dan pendapatan usahatani jagung Bima 19-URI luasan 1 ha
di Desa Cahya Maju, Kecamatan Lempuing Kabupaten OKI, MK 2017
No Uraian Volume Nilai (Rp)
A Biaya Saprodi (Rp)
Benih hibrida (kg) 20 1.000.000
Urea (kg) 350 735.000
SP-36 (kg) 200 520.000
KCl (kg) 100 580.000
Kapur (kg) 1.000 750.000
Pupuk organik (kg) 1.000 1.000.000
Pestisida 1.190.000
Jumlah Biaya Saprodi 5.775.000
B Biaya Tenaga Kerja (Rp) 7.200.000
Total Biaya (A+B) 12.975.000
C Hasil pipilan kering kg/ha 7.200
Harga pipilan kering (Rp/kg) 3.500
Penerimaan (Rp) 25.200.000
Pendapatan (Rp) 12.225.000
R/C 1,9
Keterangan: Upahan harian Rp 80.000
Produktivitas jagung BIMA-19 dapat
ditingkatkan lagi dengan penambahan pupuk
organik yaitu pupuk kandang, peningkatan pH
tanah dengan kapur, dan penyediaan air yang
cukup dengan membuat sumur bor atau embung.
Menurut Bunyamin dan Aqil (2009); Sirappa dan
Rozak (2010) dalam Asroh et al. (2015) bahwa
pertumbuhan dan produksi jagung dapat meningkat
apabila didukung oleh kondisi lingkungan
diantaranya cukup penyinaran atau cahaya, air dan
unsur hara
KESIMPULAN
Produksi varietas Bima-19 URI sebesar 7,2
ton pipilan kering/ha, dengan nilai penerimaan
sebesar Rp 25.200.000, pendapatan bersih sebesar
Rp 12.225.000/ha dan capaian tingkat efisiensi
usahatani (R/C) sebesar 1,9. Varietas tersebut layak
dikembangkan di lahan sawah tadah hujan
Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera
Selatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
atas terselenggaranya kegiatan penelitian melalui
penganggaran DIPA Balai Pengkajian Teknologi
Sumatera Selatan, Balitbangtan.
DAFTAR PUSTAKA
Aos dan A. Ruswandi. 2012. Optimasi pemberian
takaran pupuk organik dan jumlah benih
terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman
padi pada sawah tadah hujan di Sumedang.
Dalam Djoko, P., A. Ratriyanto, J. Sutrisno,
A. Wibowo, Widiyanto dan H. Ihsaniyati
(Eds). Prosiding Seminar Nasional Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta. p. 678.
Asroh, A., Nurlaili, dan Fahrulrozi. 2015. Produksi
tanaman jagung (Zea mays L) pada berbagai
jarak tanam di tanah ultisol. Jurnal Lahan
Sub Optimal, 4(1): 66 – 70.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumsel. 2015. Luas
lahan menurut penggunaan. Badan Pusat
40 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Statistik Provinsi Sumatera Selatan,
Palembang. p. 54.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan.
2018. Sumatera Selatan dalam angka.
(https://sumsel.bps.go.id/dynamictable/2016/
11/02/213/produktivitas-jagung-kedelai-
kacang-tanah-kacang-hijau-ubi-kayu-dan-
ubi-jalar-menurut-kabupaten-kota-di-
provinsi-sumatera-selatan-2015-2018.html).
Diakses 7 April 2020.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Selatan. 2015. Bima-19 uri, jagung unggulan
masa depan.
(https://www.jitunews.com/read/11793/bima
-19-uri-jagung-unggulan-masa-depan).
Diakses 25 Maret 2019.
BP3K Cahya Maju. 2015. Programa penyuluhan
pertanian perikanan, kehutanan. BP3K
Cahya Maju. 39 p.
Helmi dan T. Sembiring. 2013. Penampilan
produktivitas beberapa galur dan varietas
jagung di Kabupaten Simalungun. Prosiding
Seminar Nasional Buku 1. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor. BPTP Sumatera Utara, Medan 6-7
Juni 2012. p. 334 – 337.
Herlina, N dan W. Fitriani. 2017. Pengaruh
persentase pemangkasan daun dan bunga
jantan terhadap hasil tanaman jagung. Jurnal
Biodjati, 2(2): 115 – 125.
Jamil, A. M.J. Mejaya, R.H. Pratana, N.A. Subekti,
H. Aqil, A. Musaddad, dan F. Putri. 2016.
Deskripsi varietas unggul tanaman pangan
2010-2016. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan
Litbang pertanian Kementerian Pertanian,
Jakarta. 142 p.
Soehendi dan Syahri. 2013. Potensi pengembangan
jagung di Sumatera Selatan. Jurnal lahan
Suboptimal, 2(1): 81 – 92.
Soekartawi. 2006. Analisis usahatani. Penebar
Swadaya, Jakarta. 56 p.
Sutoro. 2012. Kajian penyediaan varietas jagung
untuk lahan sub optimal. Iptek Tanaman
Pangan, 7(2): 108 – 115.
Wahyudin, A., Ruminta, dan S.A. Nursarifah.
2016. Pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung toleran herbisia akibat pemberian
berbagai dosis herbsida kalium glifosat.
Jurnal Kultivasi, 15 (2): 86 – 91.
Zubachtirodin, M.S. Pabbage, dan Subandi. 2007.
Wilayah produksi dan potensi
pengembangan jagung. Dalam Jagung
Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat
Penelitian Tanaman Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p.
462 – 473.
41 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Muhammad Syahri Mubarok
dan Muhammad Arifin Muflih)
PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH DI KABUPATEN BENGKAYANG,
KALIMANTAN BARAT
Muhammad Syahri Mubarok dan Muhammad Arifin Muflih
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo, No. 45, Kota Pontianak 78241
Email: syahrigaza@gmail.com
ABSTRACT
Effect of Plant Spacing On Shallot Growth and Production (Allium Cepa L.) In Bengkayang District, West
Kalimantan. This study aimed to determine the effect of spacing on the growth and production of shallots. The
assessment was conducted on a farmer's land in Bengkilu Village, Tujuh Belas Sub-district, Bengkayang District,
West Kalimantan. The assessment was conducted in 3 months, starting from April-July 2018. The experiment used a
randomized block design with 6 spacing treatments and 5 replications, the number of experimental plots was 30
plots. Each plot was taken 3 plants as samples. Treatment spacing was as follows: 15x10 cm, 20x10 cm, 20x15 cm,
25x10 cm, 25x 15 cm, 25x20 cm. Parameters observed were plant height (cm), number of leaves (strands), number of
tubers per clump (tubers), weight of wet tubers per clump (grams) and weight of dry tubers per clump (grams). Data
were analyzed using analysis of variance (F test) with a level of 5%. If the results were significantly different, a
further test was carried out with a real significant difference at the 5% level. The results of the analysis showed that
the application of shallot cultivation technology with treatment spacing of 20x10 cm and spacing of 20x15 cm was
significantly different in the parameters of plant height and number of leaves when the plants were 14, 35 and 42 dd.
The 25x10 cm spacing treatment was able to have a better effect on several parameters including number of tubers
per clump, tuber diameter and tuber weight per plant compared to other spacing treatments although they were not
significantly different.
Keywords: shallot, plant spacing, growth, production
ABSTRAK
Kajian bertujuan mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah.
Pengkajian dilakukan di lahan milik seorang petani di Desa Bengkilu, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat. Pengkajian berlangsung selama 3 bulan, dimulai dari bulan April-Juli 2018.
Percobaan menggunakan Rancang Acak Kelompok dengan 6 perlakuan jarak tanam dan 5 ulangan, jumlah petak
percobaan ada 30 petak. Tiap petak diambil 3 tanaman sebagai sampel. Perlakuan jarak tanam sebagai berikut: 15x10
cm, 20x10 cm, 20x15 cm, 25x10 cm, 25x 15 cm, 25x20 cm. Parameter yang diamati yaitu: tinggi tanaman (cm),
jumlah daun (helai), jumlah umbi per-rumpun (umbi), berat umbi basah per-rumpun (gram) dan berat umbi kering
per-rumpun (gram). Data dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F) dengan taraf 5%. Apabila hasil berbeda
nyata maka dilakukan uji lanjut dengan beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5%. Hasil analisa menunjukkan bahwa
penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan perlakuan jarak tanam 20x10 cm dan jarak tanam 20x15 cm
berbeda nyata pada parameter tinggi tanaman dan jumlah daun saat tanaman berumur 14, 35 dan 42 hari setelah
tanam (hst). Perlakuan jarak tanam 25x10 cm mampu memberikan pengaruh yang lebih baik pada beberapa
parameter diantaranya: jumlah umbi per rumpun, diameter umbi dan bobot umbi per rumpun tanaman dibandingkan
dengan perlakuan jarak tanam yang lain, meskipun tidak berbeda nyata.
Kata kunci: bawang merah, jarak tanam, pertumbuhan, produksi
42 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan
salah satu komoditas unggulan nasional yang
sangat fluktuatif baik harga maupun produksinya
(Basrawati, 2009). Mengingat kebutuhan bawang
merah yang terus meningkat, usahatani bawang
merah memiliki prospek cerah. Cerahnya prospek
bawang merah disebabkan tidak adanya bahan
pengganti (barang substitusi) baik sintetik maupun
alami, sehingga keberadaan bawang merah tentu
akan tetap dibutuhkan. Akan tetapi, hasil produksi
di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan
Barat pada khususnya masih kurang dibandingkan
dengan besarnya permintaan pasar domestik
maupun permintaan ekspor.
Tanaman bawang merah di Kalimantan
Barat baru mulai terdata pada tahun 2014, dengan
luas panen 1 ha dan produksi 4 ton. Produksi rata-
rata bawang merah per ha sampai dengan tahun
2017 baru mencapai 5,4 ton/ha. Potensi produksi
bawang merah hasil pengkajian yang telah
dilakukan oleh peneliti BPTP Kalimantan Barat
adalah 12 ton/ha. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, salah satunya karena penderasan diseminasi
budidaya tanaman bawang merah ke petani masih
belum mendapatkan perhatian dan belum menjadi
prioritas di masing-masing pemda, sehingga petani
lebih cenderung melakukan usahatani tanaman
hortikultura/sayuran lainnya.
Perkembangan produksi bawang merah di
Kalimantan Barat sejak tahun 2014 sampai dengan
2017 data tercatat baru mencapai 136 ton atau
sekitar 1,3% dari total kebutuhan konsumsi bawang
merah yang mencapai 10.368 ton/tahun (BPS,
2017). Pasokan bawang merah untuk wilayah
Kalimantan Barat selama ini lebih dari 98%
didatangkan dari daerah luar terutama dari Jawa
(BPS, 2017). Usaha lebih intensif untuk
meningkatkan hasil produksi dan penambahan luas
tanam bawang merah di Kalimantan Barat, guna
memperkecil ketergantungan bawang merah dari
daerah lain sangat diperlukan. Salah satu usaha
untuk meningkatkan produksi dan mendukung
pengembangan budidaya bawang merah diperlukan
teknik budidaya yang tepat dan inovatif.
Penderasan diseminasi terkait cara-cara budidaya
bawang merah mulai dari persiapan lahan,
penerapan teknik budidaya, perbaikan penanganan
pasca panen, prosesing dan pemasaran perlu
dilakukan agar hasil panen bawang merah
mempunyai nilai tambah bagi petani, menghasilkan
produk yang bermutu dan berdaya saing.
Dalam budidaya bawang merah efisiensi
penggunaan lahan akan terwujud dengan
pengaturan jarak tanam yang tepat. Jarak tanam
merupakan komponen bercocok tanam yang dapat
menentukan pertumbuhan tanaman, pengaturan
jarak tanam juga dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan. Jarak tanam yang digunakan
akan menentukan kepadatan jumlah populasi
persatuan luas lahan. Paryanti (2017) menyatakan
jarak tanam yang terlalu rapat atau tingkat
kepadatan populasi yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan persaingan antara tanaman dalam
memperoleh air, unsur hara, dan cahaya matahari.
Jarak tanam juga merupakan salah satu
faktor penting yang dapat mempengaruhi produksi
bawang merah. Peningkatan produksi bawang
merah dapat dilakukan dengan cara perbaikan
tingkat kerapatan tanam. Pengaturan jarak tanam
dapat mempengaruhi populasi tanaman dalam
kompetisi penggunaan cahaya, air dan unsur hara,
yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan
produksi. Jarak tanam yang rapat akan
mengakibatkan jumlah populasi tanaman per
satuan luas lebih tinggi, sedangkan jarak tanam
yang terlalu renggang akan mengakibatkan jumlah
populasi per satuan luas menjadi lebih rendah,
sehingga akan mengurangi ukuran umbi, jumlah
anakan per rumpun tanaman dan produksi menjadi
lebih rendah. Oleh karena itu, perlu digunakan
jarak tanam yang sesuai untuk menghasilkan besar
umbi, berat umbi dan produksi hasil yang optimal
(Limbongan dan Maskar, 2003).
Pengaturan kerapatan tanaman di dalam satu
areal penanaman sangat diperlukan untuk
mengurangi kompetisi di antara tanaman dan
meningkatkan hasil dari tanaman budidaya, yaitu
dengan menambah kerapatan tanaman atau
43 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Muhammad Syahri Mubarok
dan Muhammad Arifin Muflih)
populasi tanaman (Anggarayasa et al., 2018).
Anggarayasa et al. (2018), menyebutkan kerapatan
tanaman atau jarak tanam memiliki hubungan yang
tidak dapat dipisahkan dengan jumlah hasil yang
diperoleh dari sebidang tanah. Produksi tanaman
merupakan hasil dari faktor reproduksi dan hasil
pertumbuhan vegetatif, jarak tanam akan sangat
berhubungan dengan persaingan antara tanaman
dalam mendapatkan sinar matahari dan unsur hara
yang diperlukan bagi pertumbuhan dan hasil
tanaman. Bawang merah merupakan tanaman
hortikultura yang peka terhadap kelembaban yang
tinggi, dengan adanya pengaturan jarak tanam yang
tepat diharapkan dapat membantu bawang merah
untuk mendapatkan iklim mikro yang sesuai bagi
pertumbuhannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
perlu dilakukan pengkajian bawang merah varietas
Bima Brebes dengan perlakuan jarak tanam,
diharapkan dengan dilakukannya pengkajian ini
akan mampu meningkatkan hasil produksi bawang
merah di Kalimantan Barat. Pengaturan jarak
tanam akan mengetahui batas optimum pada hasil
yang dicapai pada suatu lahan sehingga hasil umbi
bawang merah dapat jauh lebih baik.
METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di lahan milik salah
seorang petani, di Desa Bengkilu, Kecamatan
Tujuh Belas, Kabupaten Bengkayang, Provinsi
Kalimantan Barat. Pengkajian berlangsung selama
3 bulan, dimulai dari bulan April-Juli 2018.
Bahan-bahan yang digunakan dalam kajian
adalah bibit bawang merah varietas bima brebes,
pupuk kandang ayam, kapur/dolomit, pupuk NPK,
pupuk TSP, pupuk KCL, pupuk daun dan ZPT,
serta beberapa jenis insektisida dan fungisida. Alat
yang digunakan adalah cangkul, cultivator,
gembor, ember, hand spayer, timbangan, meteran,
dan beberapa alat tulis.
Percobaan menggunakan Rancang Acak
Kelompok (RAK) dengan 6 (enam) perlakuan jarak
tanam dan diulang sebanyak 5 (lima) ulangan,
sehingga jumlah petak percobaan ada 30 petak
dengan ukuran masing-masing petak 1 m x 1 m.
Jumlah tanaman untuk tiap-tiap petak perlakuan
yaitu 63 tanaman untuk 15 x 10 cm, 45 tanaman
untuk 20 x 10 cm, 35 tanaman untuk 20 x 15 cm,
36 tanaman untuk 25 x 10 cm, 28 tanaman untuk
25 x 15 cm dan 20 tanaman untuk 25 x 20 cm,
sehingga jumlah total tanaman sebanyak 1.135
tanaman. Tiap petak diambil 3 tanaman sebagai
sampel.
Perlakuan ukuran jarak tanamnya adalah:
15x10 cm, 20x10 cm, 20x15 cm, 25x10 cm, 25x 15
cm, 25x20 cm. Pelaksanaan kajian meliputi:
persiapan dan pengolahan lahan, persiapan bibit,
perlakuan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan
bawang merah dan panen. Parameter yang diamati
dalam kajian yaitu: tinggi tanaman (cm), jumlah
daun (helai), jumlah umbi per-rumpun (umbi),
berat umbi basah per-rumpun (gram) dan berat
umbi kering per-rumpun (gram). Data dianalisis
dengan menggunakan analisis ragam (uji F) dengan
taraf 5%. Apabila hasil berbeda nyata maka
dilakukan uji lanjut dengan beda nyata jujur (BNJ)
pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman Bawang Merah
Hasil pengamatan yang telah dilakukan
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman
menunjukkan bahwa pada beberapa perlakuan
jarak tanam bawang merah memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Hasil
analisis secara statistik dengan uji F dan
dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata
5% ditunjukkan pada Tabel 1.
Hasil keragaan pertumbuhan tanaman
bawang merah yang ada pada Tabel 1
menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 20 cm
x 10 cm mampu memberikan pengaruh lebih baik
terhadap pertumbuhan tinggi tanaman
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lain pada semua tingkat umur, kecuali pada umur
7, 21, 28, dan 35 hari setelah tanam (hst) yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam
yang lain
44 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Tabel 1. Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman bawang merah pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 hst
Jarak Tanam Tinggi Tanaman Umur (Hst)
7 14 21 28 35 42 49 56
15 cm x 10 cm (J1) 2,45 b 20,67 25,37 A 29,6 a 31,82 a 35,6 b 38,7 a 33,13 a
20 cm x 10 cm (J2) 12,77 ab 22,73 a 25,09 A 27,87 ab 31,37 a 37,53 a 39,73 a 35,7 a 20 cm x 15 cm (J3) 12,97 a 21,63 ab 24,6 A 28,77 ab 31,8 a 35,2 b 39,03 a 34,53 a
25 cm x 10 cm (J4) 11,07 c 20,6 b 23,93 A 28,4 ab 32,13 a 35,8 ab 39,17 a 33,4 a
25 cm x 15 cm (J5) 11,84 bc 21,07 b 24,47 A 28 ab 31,07 a 34,57 b 38,27 a 32,23 a 25 cm x 20 cm (J6) 11,19 c 20,4 b 23,93 A 27,4 ab 30,63 a 34,3 b 38,27 a 31,8 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji
Duncan taraf 5%
Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan
jarak tanam yang rapat memungkinkan bagi
tanaman bawang merah untuk memberikan hasil
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jarak
tanam renggang.
Jarak tanam lebih rapat menghasilkan
tanaman bawang merah lebih tinggi, namun
memiliki jumlah daun lebih sedikit. Hal ini
disebabkan karena pada jarak tanam yang lebih
rapat akan menyebabkan adanya kompetisi yang
terjadi di atas tanah atau persaingan antar tanaman
bawang merah dalam mendapatkan unsur hara dan
cahaya lebih besar dibandingkan dengan jarak
tanam renggang, sehingga memacu pertumbuhan
tinggi bawang merah untuk mendapatkan cahaya
(efek etiolasi).
Bertambahnya tinggi tanaman dapat
menyebabkan pembentukan jumlah daun menjadi
lebih sedikit sebagai akibat hasil fotosintesis
banyak digunakan untuk pertumbuhan tinggi
tanaman. Saidah et al. (2019) menunjukkan
peningkatan kerapatan tanaman dapat
menyebabkan batang tanaman menjadi lebih kecil
dan seringkali lebih tinggi tanamannya. Indriyanti
(2010) menjelaskan bahwa pada jarak tanam yang
lebih besar persaingan atau kompetisi antar
tanaman dalam memperoleh faktor tumbuh akan
semakin kecil, sehingga pertumbuhan tanaman
akan lebih baik atau akan mencapai pertumbuhan
optimumnya.
Peningkatan pertumbuhan tinggi pada
tanaman bawang merah diduga akibat adanya
peningkatan jumlah populasi dari tanaman bawang
merah perluasan lahan, sehingga mengakibatkan
persaingan tanaman untuk memperoleh cahaya
semakin meningkat. Dengan tingkat jumlah
populasi tanaman yang semakin tinggi, akan terjadi
pengaruh naungan di antara tanaman yang tinggi
pula, dan mengakibatkan intensitas cahaya di
bawah kanopi juga semakin rendah. Penyempitan
jarak tanam tidak hanya berpengaruh dalam
peningkatan persaingan memperoleh cahaya
matahari, tetapi juga berpengaruh dalam
memperoleh unsur hara dan air, serta ruang tumbuh
akar. Pada kondisi jarak tanam rapat peluang
tanaman untuk memperoleh unsur hara, air, cahaya
matahari serta ruang tumbuh menjadi semakin
kecil sehingga tanaman tidak tumbuh optimal.
Jumlah Daun Bawang Merah
Hasil pengamatan yang telah dilakukan
terhadap jumlah daun bawang merah menunjukkan
bahwa pada beberapa perlakuan jarak tanam
bawang merah memberikan pengaruh terhadap
jumlah daun. Hasil analisis dengan uji F dan
dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf nyata
5% ditampilkan pada Tabel 2.
Hasil keragaan jumlah daun tanaman
bawang merah pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
perlakuan jarak tanam 20 cm x 15 cm memberikan
pengaruh lebih baik terhadap jumlah daun
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam lain
pada semua tingkat umur, kecuali pada umur 7 dan
56 hst yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
jarak tanam yang lain.
45 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Muhammad Syahri Mubarok
dan Muhammad Arifin Muflih)
Tabel 2. Pengaruh jarak tanam terhadap jumlah daun bawang merah umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49, dan 56 hst
Jarak Tanam Tinggi Tanaman Umur (Hst)
7 14 21 28 35 42 49 56
15 cm x 10 cm (J1) 10,6 a 15,5 c 19,7 ab 23,9 a 27,2 ab 25,9 b 21,1 B 17,3 b
20 cm x 10 cm (J2) 10,5 ab 16,7 abc 20,5 ab 23,9 a 26,7 ab 29,6 a 24,6 A 19,4 a
20 cm x 15 cm (J3) 10,5 ab 17,5 a 20,9 a 24,7 a 28,7 a 31,5 a 26,1 A 19,9 a
25 cm x 10 cm (J4) 9,7 bc 17,0 ab 20,8 a 24,6 a 27,4 ab 30,7 a 26,1 A 19,7 a
25 cm x 15 cm (J5) 9,4 c 15,9 bc 19,0 b 22,0 b 25,1 b 29,6 a 25,1 A 19,3 a
25 cm x 20 cm (J6) 9,3 c 15,6 bc 19,7 ab 22,9 ab 26,4 ab 30,5 a 26,0 A 20,0 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%
Pada tingkat kepadatan tanaman terendah
atau jarak tanam renggang, jumlah daun pada
tanaman biasanya lebih banyak bila dibandingkan
dengan kepadatan tanaman lebih tinggi atau jarak
tanam rapat. Hal ini disebabkan tanaman bawang
merah perlu mengurangi unsur-unsur yang dapat
mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam
penyerapan cahaya, unsur hara dan air, pada
tingkat kepadatan yang tinggi terjadi kompetisi
yang sangat hebat. Terjadinya kompetisi pada
pengamatan semua tingkat umur, ditunjukkan
dengan adanya perbedaan jumlah daun yang sangat
nyata. Haryadi (1996) menjelaskan bahwa
kepadatan atau kerapatan jarak tanaman akan
mempengaruhi tanaman dalam hal penggunaan air
dan zat hara, sehingga menghambat pembentukan
daun dari tanaman. Menurut Hamdani (2008) pada
tanaman bawang merah luas daun akan
mempengaruhi banyaknya radiasi matahari yang
diterima oleh tanaman, sehingga semakin besar
luas daun tanaman tersebut maka akan semakin
tinggi hasil fotosintesis yang dihasilkannya untuk
pertumbuhan dan perkembangan seluruh bagian
tanaman.
Pada kerapatan tanaman yang lebih besar
jumlah daun menurun, dengan adanya penurunan
dari jumlah daun maka memungkinkan terjadinya
pengurangan persaingan unsur hara, air dan
cahaya. Jumlah daun akan berkurang dengan
meningkatnya populasi dari tanaman dikarenakan
ruang bagi pertumbuhan tanaman sangat kecil dan
sempit sehingga tidak memungkinkan tanaman
meningkatkan jumlah daunnya.
Jumlah Umbi dan Diameter Bawang Merah
Hasil pengamatan yang telah dilakukan
terhadap jumlah umbi dan diameter bawang merah
menunjukkan bahwa pada beberapa perlakuan
jarak tanam bawang merah memberikan pengaruh
terhadap pertumbuhan jumlah umbi dan diameter
umbi. Hasil analisis secara statistik dengan uji F
dan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf
nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh jarak tanam terhadap jumlah umbi bawang dan diameter merah per tanaman
Jarak Tanam Jumlah Umbi Diameter Umbi (cm)
15 cm x 10 cm (J1) 5,67 a 2,45 b
20 cm x 10 cm (J2) 6,13 a 2,47 b
20 cm x 15 cm (J3) 6,67 a 2,1 ab
25 cm x 10 cm (J4) 7,67 a 2,71 a
25 cm x 15 cm (J5) 6,93 a 2,68 a
25 cm x 20 cm (J6) 6,33 a 2,63 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada
uji Duncan taraf 5%
46 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Hasil keragaan jumlah umbi bawang merah
yang ada pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
perlakuan jarak tanam 25 cm x 10 cm memberikan
pengaruh lebih baik terhadap jumlah umbi
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lain. Jumlah umbi per tanaman pada perlakuan
terkecil yaitu penggunaan jarak tanam 15 cm X 10
cm merupakan jumlah umbi yang paling sedikit
yaitu 5,67 umbi, kemudian disusul dengan
perlakuan jarak tanam 20 cm X 10 cm jumlah umbi
6,13; jarak tanam 25 cm X 20 cm jumlah umbi
6,33; jarak tanam 20 cm x 15 jumlah umbi 6,67;
dan jarak tanam 25 cm X 15 cm jumlah umbi 6,93;
serta yang mempunyai jumlah umbi terbanyak
pada perlakuan 25 cm X 10 cm adalah 7,67.
Menurunnya jumlah umbi pada tingkat kerapatan
atau kepadatan tanaman yang rapat pada perlakuan
jarak tanam ini diduga karena adanya penaungan
diantara individu tanaman yang terjadi secara
intensif, sehingga dapat menurunkan kecepatan
pengisian umbi dan jumlah umbi yang terbentuk
serta dapat menurunkan berat umbi per tanaman
dikarenakan adanya kompetisi yang tinggi dalam
proses fotosintesis, cahaya, air dan unsur hara.
Hasil keragaan diameter umbi bawang
merah yang ada pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
perlakuan jarak tanam 25 cm x 10 cm memberikan
pengaruh lebih baik terhadap diameter umbi
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lain. Rerata ukuran diameter umbi bawang merah
terbesar pada kajian perlakuan jarak tanam, yaitu
2,71 cm/umbi dan rerata diameter umbi bawang
merah terkecil 2,45 cm/umbi. Umbi bawang merah
hasil dari perlakuan jarak tanam renggang
cenderung memiliki diameter umbi lebih besar
dibandingkan dengan jarak tanam rapat.
Umbi dari jarak tanam renggang cenderung
memiliki diameter lebih besar. Azmi et al. (2011)
melaporkan hasil serupa bahwa umbi berukuran
besar akan menghasilkan umbi dengan diameter
yang besar pula. Bawang merah yang dihasilkan
dominan berbentuk bulat dan berukuran besar.
Bawang seperti ini merupakan bawang merah yang
disukai petani. Menurut Basuki (2009)
karakteristik bawang yang disukai petani adalah
umbi berbentuk bulat, besar dengan diameter lebih
dari 2 cm dan berwarna merah tua.
Selain ukuran umbi, kerapatan tanaman atau
jarak tanam juga berpengaruh terhadap hasil umbi
bawang merah. Tujuan pengaturan jarak tanam
pada dasarnya adalah memberikan persaingan
kemungkinan tanaman untuk tumbuh dengan baik
tanpa mengalami persaingan dalam hal
pengambilan air, unsur hara dan cahaya matahari,
serta memudahkan pemeliharaan tanaman.
Penggunaan jarak tanam yang kurang tepat dapat
merangsang pertumbuhan gulma sehingga
menurunkan hasil. Secara umum hasil tanaman
persatuan luas tertinggi diperoleh pada kerapatan
tanaman tinggi, akan tetapi bobot masing-masing
umbi secara individu menurun karena terjadi
persaingan antara tanaman (Sumarni dan Hidayat,
2005).
Berat Kering Panen dan Kering Jemur Umbi
Bawang Merah
Hasil pengamatan terhadap berat kering
panen dan kering jemur umbi bawang merah baik
berat per-rumpun, per-ubinan dan per-hektar
menunjukkan bahwa pada beberapa perlakuan
jarak tanam bawang merah memberikan pengaruh
terhadap berat kering panen dan kering jemur
umbi. Analisis uji DMRT pada taraf nyata 5%
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil keragaan berat kering panen dan
kering jemur umbi bawang merah per-rumpun pada
Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan jarak
tanam 25 cm x 10 cm memberikan pengaruh lebih
baik terhadap berat kering panen dan kering jemur
umbi bawang merah per-rumpun, dibandingkan
dengan perlakuan jarak tanam yang lain. Hal ini
diduga karena penggunaan jarak tanam 25 cm x 10
cm merupakan jarak tanam yang optimum untuk
meningkatkan berat kering panen dan kering jemur
umbi bawang merah per-rumpun.
47 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Muhammad Syahri Mubarok
dan Muhammad Arifin Muflih)
Tabel 4. Pengaruh jarak tanam terhadap berat kering panen dan kering jemur umbi bawang merah (g/tanaman)
Jarak Tanam Berat Kering Panen Per-rumpun
(g/tanaman)
Berat Kering Jemur Per-rumpun
(g/tanaman)
15 cm x 10 cm (J1) 48 A 35,07 a
20 cm x 10 cm (J2) 54,67 A 41,27 a
20 cm x 15 cm (J3) 65,33 A 49,2 a
25 cm x 10 cm (J4) 69,33 A 52,67 a
25 cm x 15 cm (J5) 68,33 A 51,53 a
25 cm x 20 cm (J6) 63,67 A 46,67 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
pada uji Duncan taraf 5%
Pada perlakuan jarak tanam tersebut tidak
terdapat peningkatan kompetisi yang tinggi pada
masalah pemanfaatan cahaya, air dan penyerapan
unsur hara, baik dari tanah maupun dari unsur hara
tambahan yang berupa pupuk. Dalam pelaksanaan
kajian ini, aplikasi pemupukan tidak dilakukan
dengan tugal tetapi menggunakan cara larikan
diantara individu tanamannya, sehingga akar dari
bawang merah pada perlakuan 25 cm x 10 cm ini
dapat menjangkau semua unsur hara tambahan
yang diberikan tanpa adanya kompetisi antar
tanaman yang tinggi.
Berat kering panen dan kering jemur umbi
bawang merah per-rumpun terendah didapat pada
perlakuan jarak tanam yang sempit. Menurunnya
berat umbi tersebut disebabkan karena tanaman
tidak efisien dalam penggunaan cahaya sebagai
akibat terjadinya persaingan antar tanaman yang
rapat, sehingga bahan makanan yang akan
disimpan di dalam umbi menjadi berkurang.
Menurut Hartati et al. (1996), tingkat kerapatan
jarak tanam yang tinggi akan berpengaruh terhadap
peningkatan persaingan tanaman dalam
memperoleh cahaya matahari, unsur hara dan air,
serta ruang tumbuh akar akan menjadi semakin
kecil sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dan
berproduksi secara optimal.
Pada populasi yang padat, tanaman akan
berkompetisi untuk merebut air, bahan mineral dan
cahaya, sehingga menyebabkan berkurangnya
organ dari tanaman dan akibatnya akan
mengurangi berat hasil per tanamannya. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan
jumlah populasi yang terdapat pada perlakuan jarak
tanam 15 cm X 10 cm. Pada perlakuan jarak tanam
ini didapatkan berat hasil per-tanaman yang paling
rendah yaitu 48 gr/tanaman kering panen dan 35,07
gr/tanaman kering jemur. Hal ini dikarenakan
adanya penambahan jumlah populasi dalam per
satuan luas yang akan semakin meningkatkan
kompetisi antar tanaman, tetapi untuk hasil per
satuan luas perlakuan jarak tanam ini (15 cm x 10
cm) mempunyai hasil yang lebih baik dan paling
optimal dikarenakan jumlah populasi per-hektarnya
akan semakin banyak jumlahnya.
Hasil keragaan berat kering panen dan
kering jemur umbi bawang merah per hektar pada
Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan jarak
tanam 15 cm x 10 cm mampu memberikan
pengaruh hasil yang lebih baik terhadap berat
kering panen dan kering jemur umbi bawang merah
per-hektar dibandingkan dengan perlakuan jarak
tanam yang lain. Rerata produksi bawang merah
pada kajian perlakuan jarak tanam 15x10 cm, yaitu
15,6 ton/ha kering panen dan 11,5 ton/ha kering
jemur.
48 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Tabel 5. Pengaruh jarak tanam terhadap berat kering panen dan kering jemur umbi bawang merah (ton/ha)
Jarak Tanam Berat kering panen per ha (ton) Berat kering jemur per ha (ton)
15 cm x 10 cm (J1) 15,6 A 11,5 a
20 cm x 10 cm (J2) 13,5 A 10,3 a
20 cm x 15 cm (J3) 11,0 Ab 8,3 ab
25 cm x 10 cm (J4) 14,3 A 10,6 a
25 cm x 15 cm (J5) 8,7 Bc 6,5 bc
25 cm x 20 cm (J6) 6,2 C 4,5 c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
pada uji Duncan taraf 5%
Hal ini diduga karena penggunaan jarak
tanam 15 cm x 10 cm merupakan jarak tanam yang
optimum untuk meningkatkan berat kering panen
dan kering jemur umbi bawang merah per-
hektarnya. Namun, jarak tanam tersebut tidak
mampu untuk meningkatkan rata-rata berat umbi,
jumlah umbi dan diameter umbi bawang merah
per-rumpun tanamannya. Selain itu, dengan
menggunakan jarak tanam tersebut maka jumlah
populasi atau kebutuhan bibit bawang merah per-
hektar akan semakin banyak jumlahnya dibanding
dengan jarak tanam yang lebih renggang, sehingga
kebutuhan biaya untuk penyediaan bibit bawang
merah semakin banyak.
Santoso (2018) menyatakan bahwa jarak
tanam perlu mendapat perhatian dalam melakukan
budidaya tanaman, karena jarak tanam sangat
mempengaruhi lingkungan tumbuh dan hasil
tanaman. Semakin rapat jarak tanam jumlah
populasi tanaman per satuan luas bertambah
banyak, pemeliharaan tanaman akan lebih ekstra
dan akan mengakibatkan kompetisi antar tanaman
semakin meningkat dalam mendapatkan unsur
hara, cahaya matahari, air. Jarak tanam agak
renggang memberi keuntungan yang merata bagi
tanaman untuk memperoleh unsur hara, sinar
matahari, dan air, serta dapat mempermudah dalam
pemeliharaan.
Kelemahan dalam menggunakan jarak tanam
yang agak renggang hasil yang diperoleh relatif
lebih sedikit untuk per-satuan luas lahannya,
dibandingkan dengan jarak tanam yang rapat. Jarak
tanam agak renggang perakaran dari tanaman
bawang merah dapat menjangkau unsur hara yang
diberikan tanpa adanya kompetisi antar tanaman
yang tinggi. Hal tersebut terkait dengan
berkurangnya persaingan antara tanaman dalam
penggunaan ruang, cahaya, air dan unsur hara
sehingga pertumbuhan tinggi tanaman dan
pembentukan daun akan lebih optimal, yang pada
akhirnya akan menghasilkan berat umbi lebih
tinggi.
KESIMPULAN
Pada parameter pengamatan tinggi tanaman,
perlakuan jarak tanam 20x10 cm berbeda nyata
saat tanaman berumur 14 dan 42 hst, lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lainnya, sedangkan untuk parameter pengamatan
jumlah daun, perlakuan jarak tanam 20x15 cm
berbeda nyata saat tanaman berumur 14 dan 35 hst,
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan jarak
tanam yang lainnya.
Perlakuan jarak tanam 25x10 cm mampu
memberikan pengaruh lebih baik pada beberapa
parameter pengamatan di antaranya: jumlah umbi
per rumpun (J4=7,67 umbi), diameter umbi
(J4=2,71 cm), bobot umbi kering panen per
rumpun tanaman (J4=69,33 gr) dan bobot umbi
kering jemur per rumpun tanaman (J4=52,67 gr),
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lain, meskipun tidak berbeda nyata. Jarak tanam
15x10 cm mampu memberikan pengaruh produksi
yang lebih baik untuk luasan per hektar
dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang
lain yaitu 15,6 ton/ha kering panen dan 11,5 ton/ha
kering jemur.
49 Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah (Allium
cepa L.) Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Muhammad Syahri Mubarok
dan Muhammad Arifin Muflih)
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
atas terselenggaranya kegiatan penelitian melalui
penganggaran DIPA Balai Pengkajian Teknologi
Kalimantan Barat, Balitbangtan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarayasa, C., M.S. Yuliartini, dan A.A.S.P.R.
Andriani. 2018. Pengaruh jarak tanam dan
pupuk kompos pada pertumbuhan dan hasil
tanaman bawang merah. Gema Agro, 23(2):
162-166.
Azmi, C., I.M. Hidayat, dan G. Wiguna. 2011.
Pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap
produktivitas bawang merah. J. Hort., 21(3):
206-213.
Basrawati. 2009. Penerapan teknologi maju
budidya bawang merah.
http//www.Distanprovinsi Bali.com/ indedx.
Php. 19 Maret 2019.
Basuki, R.S. 2009. Analisis kelayakan teknis dan
ekonomis teknologi budidaya bawang merah
dengan benih biji botani dan benih umbi
tradisional. J. Hort.,19(2): 214-227.
BPS. 2017. Tabel luas panen produktivitas-
produksi tanaman bawang merah seluruh
provinsi (online). Available at
http://www.bps.gp.id. Diakses 28 Oktober
2018.
Hamdani, S.J. 2008. Pertumbuhan dan hasil
bawang merah kultvar kuning pada status
hara P total tanah dan dosis pupuk fosfat
yang berbeda. J. Agrikultura, 19(1): 42-49.
Haryadi, S.S. 1996. Pengantar agronomi. Cetakan
IV. Gramedia. Jakarta. 197 p.
Indriyanti, L.A. 2010. Pengaruh jarak tanam dan
jumlah benih terhadap pertumbuhan
vegetatif jagung muda. J. Media Sains, 2(2):
153-196.
Limbongan, J. dan Maskar. 2003. Potensi
Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi
Bawang Merah Palu di Sulawesi Tengah. J.
Litbang Pertanian, 22(3): 103-108.
Paryanti, W. 2017. Pengaruh jarak tanam dan
takaran mikoriza terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman bawang merah. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Agroteknologi,
Universitas Muhammadiyah, Palembang. p.
2.
Saidah, Muchtar, Syafruddin, dan P. Retno. 2019.
Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan
dan hasil bawang merah asal biji. Prosiding
Seminar Nasional Masyarakat. Biodiversitas
Indonesia, 5(2): 209-212. Surakarta.
Masyarakat Biodiversitas Indonesia.
Santoso, D.J. 2018. Pengaruh dosis pupuk kandand
dan jarak tanam terhadap berat umbi dan
produksi bawang merah. Agriovet, 1(1): 81-
94.
Sumarni, N., E. Sumiati, dan Suwandi. 2005.
Pengaruh kerapatan tanaman dan aplikasi zat
pengatur tumbuh terhadap prosuksi umbi
bibit bawang merah asal biji kultivar bima. J.
Hort., 15(3): 208-214
.
50 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
TEKNOLOGI PEMUPUKAN INFUS AKAR DAN PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TANAMAN PALA DI KABUPATEN MALUKU TENGAH
Risma Fira Suneth
, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku
Jln. Chr. Soplanit-Rumah Tiga Ambon
Email: rismivira@gmail.com
ABSTRACT
Nutmeg is one of the important export commodities in Indonesia. The assessment aims to explore the
effectiveness of nutmeg fertilization using the root infusion method and the control of stem borer pests and
stem cancer to increase nutmeg productivity in Central Maluku district. Root infusion is one method / way
to enter nutrients through the fibrous roots in order to maximize the adequacy of nutrients for the
development of nutmeg plants. Fertilization through the infusion method shows the results in the form of
flowering (prospective fruit / nipple) and the formation of new shoots that occur at the age of 60 days after
fertilization. Efforts to control Batocera larvae / stem borer using biotris solution which is blocked in the
gerekan hole. Stem cancer in nutmeg has the characteristics of black bark and emits a red liquid (like
blood), over time it will split to make a big hole and split the cambium of the tree. Efforts to reduce stem
cancer can utilize coconut shell charcoal powder. The result will be hardening of the bark after applying
coconut shell charcoal for 3 weeks.
Key words : Nutmeg, root infusion, “OPT”
ABSTRAK
Pala merupakan salah satu komoditas ekspor yang penting di Indonesia. Pengkajian bertujuan
mengelaborasi efektifitas pemupukan pala menggunakan metode infus akar serta pengendalian hama
penggerek batang dan penyakit kanker batang guna meningkatkan produktivitas pala di kabupaten Maluku
Tengah. Infus akar merupakan salah satu metode / cara memasukkan unsur hara melalui akar serabut guna
memaksimalkan kecukupan nutrisi untuk perkembangan tanaman pala. Pemupukan melalui metode
penginfusan menunjukkan hasil berupa pembungaan (calon buah/ pentil) serta pembentukan tunas baru
yang terjadi pada umur 60 hari setelah pemupukan. Upaya pengendalian larva Batocera/ penggerek batang
menggunakan larutan biotris yang disumbatkan pada lubang gerekan. Kanker batang pada pala memiliki
ciri kulit batang berwarna hitam dan mengeluarkan cairan berwarna merah ( seperti darah ), lama kelamaan
akan terbelah hingga membuat lubang besar dan membelah kambium pohon. Upaya mengurangi kanker
batang dapat memanfaatkan bubuk arang tempurung kelapa. Hasilnya akan terjadi pengerasan kulit kayu
setelah dilakukan pengolesan bubuk arang tempurung selama 3 minggu.
Kata Kunci : Pala, Infus akar, OPT
51 Metode Pemupukan Infus Akar Dan Upaya Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Pala Di
Kabupaten Maluku Tengah (Risma Fira Suneth, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas)
PENDAHULUAN
Pala merupakan salah satu komoditas
ekspor yang penting karena Indonesia merupakan
negara pengekspor biji dan fuli pala terbesar yaitu
memasok sekitar 60% kebutuhan pala dunia
(Nurdjanah, 2007). Produk pala Indonesia
termasuk unggul di pasar dunia karena memiliki
aroma yang khas dan rendemen minyak yang
tinggi (Bustaman, 2008). Beberapa species pala
yang memiliki arti ekonomi penting dan
khususnya berfungsi sebagai rempah-rempah, obat
atau minyak atsiri. Heyne (1927),
Pala mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
(Rodianawati et al., 2015) dan memegang peranan
yang sangat penting bagi perekonomian
masyarakat di berbagai wilayah terutama yang
berada di Kawasan Timur Indonesia. Selain
sebagai produsen pala terbesar di dunia, Indonesia
juga menjadi pemasok kebutuhan pala terbesar di
dunia dengan pangsa mencapai 60-75 %
kebutuhan dunia (Hasibuan et al., 2010;
Rodianawati et al., 2015; Nurdjannah, 2007).
Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan
tanaman rempah asli kepulauan Maluku
(Purseglove et al., 1995), yang telah
diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-
temurun dalam bentuk perkebunan rakyat.
Komoditas pala termasuk tanaman spesifik lokasi
yang dapat diandalkan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah
dan termasuk komoditas ekspor yang cukup
potensial di Maluku. Komoditas ini menghasilkan
dua produk bernilai ekonomi tinggi, yaitu biji pala
dan fuli yang menyelimuti biji.Kedua produk
tersebut menghasilkan minyak pala, atsiri,
rempah, dan bahan obat (Hadad dan Firman,
2003).
Berdasarkan data BPS Provinsi Maluku
(2016) luasan areal perkebunan di kabupaten
Maluku Tengah adalah yang terbesar yaitu 11.133
Ha jika dibandingkan dengan beberapa Kabupaten
lainnya seperti Seram Bagian Timur (8. 353 Ha),
Maluku Tenggara (2.661 Ha),Seram Bagian Barat
(2.227 Ha), Buru Selatan (2.113 Ha), Kota Ambon
(1.763 Ha) dan Maluku Barat Daya (1.510 Ha).
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2011-
2015), pengembangan pala di Maluku mengalami
fluktuatif produksi, sementara perluasan areal
terjadi peningkatan. Tahun 2015,produksi pala
4.406 ton dengan produktivitas 0,14 t/ha. Namun
Secara nasional produktivitas pala di Maluku
masih rendah bila dibandingkan dengan target
Nasional yaitu rata-rata produktivitas pala 0,26
t/ha (Anonimous, 2015).
Permasalahan mendasar akibat rendahnya
produktivitas dan mutu biji pala yang dihasilkan
diakibatkan oleh umur tanaman yang sudah cukup
tua serta pemupukan intensif belum dilaksanakan
secara sempurna karena pengetahuan dan
ketrampilan petani cukup rendah. Pemupukan
merupakan suatu upaya untuk menyediakan unsur
hara yang cukup guna mendorong pertumbuhan
generatif tanaman dan produksi tandan buah segar
secara maksimum. Pada umumnya budidaya pala
di Maluku masih bersifat tradisional dan hampir
tidak pernah melakukan pemupukan. Oleh karena
itu produksi pala di wilayah Maluku sering
menurun.
Untuk meningkatkan produktivitas pala
perlu melakukan pemupukan secara tepat dan
berimbang. Faktor pemupukan telah terbukti
meningkatkan produksi tanaman. Namun
demikian masih banyak masalah tentang
pemupukan terutama dosis dan cara, sebab pada
kondisi tanah yang berbeda dan pada jenis
tanaman serta umur yang berbeda maka cara dan
dosis pemupukan cenderung berbeda. Dalam
pemupukan perlu mempertimbangkan ekologi
lahan. Misalnya, jika pemupukan dilakukan
dengan cara sebar maka dapat menguntungkan
vegetasi lain ( gulma atau tanaman selain pala).
Untuk itu pemupukan melalui teknik infus akar
patut dipertimbangkan untuk dilakukan sekaligus
sebagai teknik pengendalian hama dan penyakit.
Secara umum infus akar biasanya dilakukan
untuk pengendalian OPT pada tanaman kelapa
namun seiring berjalannya waktu teknik infus akar
dimanfaatkan sebagai pemupukan. Penggunaan
52 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
infus akar sebagai teknik pemupukan pala telah
diterapkan oleh Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Maluku pada kegiatan pendampingan
kawasan nasional perkebunan.
Pada umumnya, tanaman pala di Maluku
tidak pernah dilakukan pemupukan dan tidak
menggunakan jarak tanam sesuai standar
perkebunan. Hal ini seringkali menjadi faktor
yang mempengaruhi perkembangan hama dan
penyakit. Pengaturan jarak tanam yang tidak ideal
menyebabkan penyinaran matahari yang masuk ke
tajuk tanaman tidak sempurna dan hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan
penurunan kelembaban seperti yang dikemukakan
oleh Khairullah (2010) bahwa, penyinaran
matahari secara langsung dapat menjadi efek
mematikan spora atau membuluh spora pada
kebanyakan patogen.
Percepatan pembangunan pertanian
membutuhkan dukungan dan kesinambungan
ketersediaan inovasi teknologi pertanian sampai di
tingkat pengguna yang paling bawah yaitu petani
(Basuki et al., 2000; Sulaiman, 2002).
Kemudian untuk meningkatkan kapasitas
produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani
harus ada campur tangan pemerintah baik dalam
hal pembinaan teknis maupun pembiayaan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku
merupakan salah satu unit pelaksana teknis Badan
Litbang Pertanian di daerah (Provinsi Maluku)
mempunyai tugas dan fungsi melakukan
penerapan teknologi yang dikembangkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
yang diterapkan kepada petani. Agar teknologi
tersebut dapat terimplementasi dengan baik,
diperlukan pendampingan dan pengawalan oleh
BPTP. (laporan Pendampingan Kawasan
Pertanian Nasional Perkebunan Pala dan cengkeh,
2017).
Tujuan dari penulisan ini adalah
memberikan informasi efektifitas pemupukan
infus akar pada tanaman perkebunan pala dan
pengendalian hama penggerek batang dan
penyakit kanker batang tanaman pala guna
meningkatkan produktivitas pala di kabupaten
Maluku Tengah.
SISTEM BUDIDAYA PALA
Menurut Marzuki et all (2008) kultur teknis
yang diterapkan oleh petani pala di Maluku tidak
melakukan pemupukan maupun pengendalian
organisme pengganggu tanaman, seluruhnya
bergantung pada kondisi alam setempat.
Kondisi ini ditemukan pula di lokasi
kegiatan demplot pendampingan pala di Desa
Seith, kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku
Tengah, dimana petani mengelola kebun pala
tanpa memperhatikan pemeliharaan dan
pemupukan. Budidaya pala yang dilakukan oleh
petani setempat dengan menanam kemudian
membiarkan tanaman tumbuh dengan sendiri.
Proses perawatan yang dilakukan hanya sebatas
membersihkan gulma yang tumbuh pada sekita
areal pohon.
Kondisi perkebunan pala desa Seith
termasuk dalam polikultur karena selain pala ada
beberapa tanaman perkebunan lainnya yang juga
ikut diusahakan diantaranya kelapa, cacao,
cengkeh dan kenari. Selain tanaman perkebunan
beberapa diantaranya juga melakukan bercocok
tanam tanaman pangan seperti umbi-umbian dan
pisang.
Desa Seith merupakan salah satu desa adat
dengan bentuk pemerintahannya disebut Negri
yang dipimpin oleh kepala desa atau disebut Raja.
Desa Seith menerapkan sistem sasi pala sebagai
kearifan lokal untuk menjaga kualitas biji maupun
fuli pala. sistem sasi yaitu mengandung pengertian
tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam
tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu
yang secara ekonomis bermanfaat bagi
masyarakat (Biley & Zerner 1992). Sasi hanya
berlaku untuk tanaman umur panjang yang
bersifat musiman berupa pala, cengkeh, durian
dan langsat dapat dipanen dalam waktu yang
resmi berdasarkan musiman dari jenis tanaman itu
sendiri sebagai bentuk melestarikan sumber daya
alam dalam penjagaan kualitas hasil tanaman.
53 Metode Pemupukan Infus Akar Dan Upaya Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Pala Di
Kabupaten Maluku Tengah (Risma Fira Suneth, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas)
(Etlegar Dahlan, 2013). Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya pengambilan/panen
buah muda terutama pala, sebab jika buah pala
dipanen muda maka akan menyebabkan terjadinya
serangan aflatoksin pada biji pala tersebut pada
saat penyimpanan.
INTRODUKSI PEMUPUKAN SISTEM
INFUS AKAR
Pemupukan sangat diperlukan agar
ketersediaan hara yang dibutuhkan tanaman dapat
selalu terpenuhi. Tujuan utama pemupukan adalah
meningkatkan produksi, mutu dan hasil serta
mempertahankan stabilitas produksi. Oleh karena
itu infus akar dapat digunakan sebagai salah satu
sistem pemupukan guna meningkatkan hasil. Infus
akar merupakan salah satu metode / cara yakni
memasukkan unsur hara ke tanaman melalui akar
bertujuan agar unsur hara tersebut hanya
diperuntukkan ke tanaman.
Pemupukan di lokasi demplot dilakukan
dengan teknik infus akar menggunakan pupuk
organik cair ( POC) supermes. Sebelumnya,
penerapan infus akar diperuntukkan sebagai media
translokasi insektisida sistemik dari akar ke daun
dan seluruh bagian tanaman. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan infus akar juga
diperuntukkan sebagai media translokasi air dan
unsur hara untuk fotosintesis tanaman.
Pemilihan akar yang dipakai untuk infus
akar yaitu akar serabut yang tumbuh dipermukaan
tanah, memiliki rambut akar untuk memudahkan
terjadinya penyerapan unsur hara karena adanya
aliran massa dengan proses energi aktif agar lebih
memudahkan penyerapan unsur hara. Bagian akar
tanaman yang paling aktif adalah bagian dekat
ujung akar yang baru terbentuk rambut-rambut
akar. Bagian akar ini merupakan bagian yang
melakukan kegiatan respirasi (pernapasan)
terbesar. Selama proses pernapasan akar tanaman
berlangsung akan dihasilkan energi metabolik,
sehingga akan terjadi proses penyerapan unsur
hara http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/2007/1).
Gambar 2. Mekanisme kerja infus akar
Menurut Nkrumah et all (1989) proses
pergerakan aliran massa, sangat penting dalam
memindahkan unsur hara P, K, Ca, Mg, S dan
sebagainya dari suatu tempat ke dekat permukaan
akar, agar dapat diserap oleh akar tanaman.
Sehingga Hal ini akan sangat baik untuk proses
54 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
pembentukan tunas air pada daun dan proses
pembentukan buah pala.
KONDISI PALA PASCA APLIKASI
PEMUPUKAN DENGAN SISTEM
INFUS AKAR
Kegiatan pemupukan infus akar dilakukan
terhadap tanaman pala selama kurun waktu 3
bulan menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini
ditandai dengan kondisi tanaman yang cukup
rimbun ditandai dengan munculnya tunas air
membentuk pucuk – pucuk muda dan
pembentukan pentil pala. Kondisi tanaman pala
sebelum pemupukan sudah menghasilkan buah
dengan umur 6 bulan. Keadaan buah sudah cukup
besar seperti yang terlihat pada gambar 3 (kiri)
dan jumlah buah saat itu sedikit.
Kemudian setelah dilakukan pemupukan
menggunakan infus akar, tanaman pala mulai
menghasilkan pentil pala (calon buah) baru yang
cukup sarat dan pentil pala mulai terbentuk 60
hari setelah pemupukan serta pembentukan daun
baru.
Gambar 3. Muncul daun muda dan pembentukan pentil pasca pemupukan infus akar
Penerapan pemupukan infus akar selama 6
kali pemberian tanaman pala mulai mengeluarkan
pentil (calon buah ) baru bahkan terdapat salah
satu pohon pala yang belum pernah berproduksi
kembali menjadi produktif dengan muncul pentil
– pentil baru pada setiap ranting pohon.
Menurut Trojer (1976) ketersediaan hara di
desa Seith cukup. namun dengan bertambahnya
waktu ketersediaan hara bisa saja menipis akibat
penggunaan lahan secara terus – menerus.
Olehnya itu dapat dilakukan stimulus melalui
pemupukan agar tanaman pala dapat kembali
berproduksi maksimal. Mengingat proses
budidaya pala yang dilakukan oleh petani
setempat hanya mengandalkan unsur hara yang
tersedia oleh tanah.
Karakterisitik tanah yang berada di desa
Seith kecamatan Leihitu dicirikan oleh kejenuhan
basa yang sangat tinggi. KTK tanah berkisar
antara 6,78% sampai 17,80% dengan rata – rata
13,21 %. Nilai KTK demikian cukup mendukung
persediaan hara mineral kation tanaman pala (
Trojer, 1976).
55 Metode Pemupukan Infus Akar Dan Upaya Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Pala Di
Kabupaten Maluku Tengah (Risma Fira Suneth, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas)
Gambar 4. Larva penggerek batang pala
Efisiensi pemupukan dapat juga dilakukan
dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk
hayati. Pupuk organik dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah, serta meningkatkan
kemampuan mengikat air. Asam humik pada
pupuk organik dapat mengkhelat P terjerap
menjadi P tersedia bagi tanaman (Suryadi
Yudi,2017).
Produksi Pala
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan di desa Seith Kecamatan Leihitu ( Pulau
Ambon) Panen buah pala hampir sepanjang tahun,
panen besar dilakukan pada bulan April – Juni dan
panen kecil atau paruru di bulan November.
Produksi rata – rata buah pala di desa seith adalah
456 buah per pohon bahkan ada yang dapat
menghasilkan hingga ribuan buah per pohon (+/_
1500).
Hasil pengamatan Wahyuni et al., (2008)
menunjukkan bahwa panen buah pala hampir
sepanjang tahun, namun panen besar biasanya
terjadi pada bulan Mei-Juni. Variasi produksi
buah pala (butir/pohon) sangat tinggi, baik antar
tipe maupun dalam tipe yang sama. Produksi rata-
rata buah pala secara kumulatif selama lima tahun
adalah 1.195 butir/pohon.
HAMA PENYAKIT TANAMAN PALA DAN
UPAYA PENCEGAHAN
Penggerek Batang Pala
Hama tanaman pala mampu menyerang
sekitar 30% tanaman pala sehingga produksi pala
mengalami penurunan yang signifikan (Hanum,
2002).
Di Desa Seith, terdapat beberapa tanaman
pala mengalami kerusakan berat akibat serangan
penggerek batang sehingga menyebabkan
kematian yang diawali dengan kekeringan pada
ujung pohon hingga menyebabkan kematian
secara sistemik. Pada gambar 4 ditemukan larva
penggerek batang dengan ukuran 7 cm sebanyak 4
ekor dengan diameter lubang gerekan 2 cm.
Secara visual larva penggerek batang memiliki
warna krem, memiliki toraks berwarna coklat
kehitaman dengan beberapa bintik pada bagian
tubuh. Larva dengan ukuran 7 cm ini ditemukan
pada kulit kayu.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh sunanto (2003) bahwa tanda serangan
penggerek batang tanaman pala adalah terdapat
lubang gerekan pada batang dengan ukuran
56 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
diameter 0,5 – 1 cm dimana terdapat serbuk kayu.
Menurut Pracaya (2008) bahwa larva penggerek
batang gemuk, berwarna putih krem, kepalanya
berwarna coklat tua sampai hitam, bagian
badannya lebar tetapi semakin kebelakang
semakin mengecil.
Larva umumnya menggerek batang di
bawah lapisan kulit dan memakan jaringan
vaskuler membuang hasil gerekan berupa serpihan
keluar lubang. Lorong yang dibuat tidak
beraturan, dan bila lorong melingkar (bertemu)
maka tanaman bisa mati, namun hal ini lama baru
terjadi. Di samping membuat lorong kumbang ini
juga membuat lubang (pernafasan) yang
jumlahnya cukup banyak. Stadia larva dapat
mencapai 3 tahun, sehingga pohon yang terserang
dapat rusak parah bila pada pohon tersebut tinggal
beberapa ekor larva saja. Pohon yang terserang
hama ini dapat dikenali dengan adanya lubang-
lubang gerekan sebesar 2,5-3 cm. Berdasarkan
hasil pengamatan secara visual dilapangan gejala
kerusakan yang ditimbulkan oleh hama Batocera
hercules adalah batang pala digerek membentuk
bulatan seperti dibor dan menghasilkan serbuk
yang menempel disekitar lubang gerekan (Cere,
1991).
menurut Kalshoven (1981) bahwa larva
berukuran besar yang terbentuk dalam pohon yang
telah rusak atau lapuk dan kadang-kadang juga
terjadi pada pohon yang sudah tua dan masih
hidup. Lubang serangan berbentuk bulat dan
terdapat serutan kayu. Terowongan atau liang
gerek tidak teratur terbentuk diantara kulit dan
kayu pada batang. Sementara menurut kalay et all
(2015) Gejala kerusakan batang pala akibat hama
penggerek batang terlihat batang berlubang
dengan diameter 0,5 – 1 cm. Lubang gerekan
terlihat pada batang 1 – 2 m dari permukaan
tanah.
Upaya pengendalian larva penggerek
batang menggunakan prinsip kerja secara mekanis
yaitu penggunaan perangkap aktif untuk
mengendalikan imago menggunakan perangkap
cahaya ( light trap). Selain itu larutan pestisida
nabati biotris digunakan untuk mengendalikan
larva hama penggerek dengan cara menyumbat
lubang gerekan menggunakan kapas yang sudah
dicelupkan dalam larutan biotris.
Pengendalian imago penggerek batang pala
mengikuti prinsip yang dikemukakan oleh (Pedigo
1999; Yi et al . 2012) yakni Perangkap memiliki
dua prinsip kerja berdasarkan pada pergerakan
serangga yaitu perangkap aktif dan pasif.
Perangkap pasif merupakan perangkap yang tidak
menggunakan zat penarik sehingga serangga yang
terperangkap secara tidak sengaja, sedangkan
perangkap aktif merupakan perangkap yang
menggunakan zat penarik (baik stimulus kimia
maupun fisik) seperti cahaya, warna, atau
senyawa kimia sehingga menyebabkan serangga
dapat tertarik kedalam perangkap (Pedigo 1999;
McMaugh 2007; Yi et al. 2012).
Kanker Batang
Salah satu penyakit Tanaman Pala yang
cukup merugikan adalah kanker batang. Penyakit
kanker batang penyebabnya adalah patogen yang
bersumber dari mikroorganisme. Pemicu utama
penyakit ini adalah faktor lingkungan tanaman
yang kurang bersih dan kurang terpelihara.
Gejalanya yang mudah dilihat adalah
pembengkakkan batang, cabang dan ranting
tanaman.
Pada gambar 5 gejala kanker batang yang
ditemui pada lokasi pendampingan memiliki ciri
kulit batang berwarna hitam, lama kelamaan akan
terbelah hingga membuat lubang besar dan
membelah kambium pohon. Selain itu terdapat
cairan berwarna merah darah yang keluar dari
kulit pohon pala jika ditebas dengan parang.
Upaya mengurangi gejala kanker batang
dapat memanfaatkan bubuk arang tempurung
aktif. Hal ini dikarenakan arang tempurung
memiliki kandungan karbon aktif. Bubuk arang
tempurung aktif yang dihasilkan melalui
pembakaran kemudian dihaluskan dan dioles pada
bagian batang yang terserang. Perubahan yang
terjadi adalah setelah 1 bulan aplikasi terjadi
pembentukan kulit kayu baru setelah diolesi
dengan bubuk arang tempurung aktif.
57 Metode Pemupukan Infus Akar Dan Upaya Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Pala Di
Kabupaten Maluku Tengah (Risma Fira Suneth, Rizal Latuconsina dan Edween D Waas)
Gambar 5. Gejala Kanker Batang pada pohon pala
KESIMPULAN
Maluku merupakan salah satu daerah
penghasil pala yang telah dikenal sejak zaman
belanda, akan tetapi persoalan produktivitas pala
masih menjadi tugas dan tanggung jawab institusi
pertanian baik akademisi, peneliti, penyuluh dan
pengampu kebijakan.
Persoalan mendasar seperti pemupukan dan
serangan hama penyakit masih terus dibenahi
guna peningkatan produksi. Salah satu cara adalah
pemupukan secara intensif dan pengendalian
hama penyakit secara berkala. Pemupukan
menggunakan infus akar dapat dilakukan
mengingat keunggulan yang dimiliki serta hasil
didapatkan.
Hama penggerek batang merupakan hama
yang dapat merusak dengan intensitas kerusakan
yang cukup tinggi hingga dapat menyebabkan
kematian tanaman. Pengendalian hama penggerek
batang dapat menggunakan biotris dengan
menyumbat lubang gerekan atau dapat
menggunakan traping aktif untuk mengendalikan
imago. Sedangkan penyakit kanker batang dapat
menggunakan arang aktif tempurung kelapa yang
dioleskan pada batang pala.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS Kabupaten Maluku Tengah] 2017 Badan
Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah
2016. Maluku dalam Angka 2017.
BPTP Maluku, 2017 laporan Pendampingan
Kawasan Pertanian Nasional Perkebunan
Pala dan cengkeh.
Bustaman. (2008). Prospek dan starategi
pengembangan pala di Maluku. Balai besar
pengkajian dan pengembangan teknologi
pertanian. Perspektif Vol. 6 No. 2 /
Desember 2007. Hal 68 – 74 ISSN : 1412-
8004.
Cere, 1991. Inventarisasi Hama Dominan Pada
Tanaman Pala (Myristica Fragrans Houtt).
Etlegar Dahlan, 2013 Peran Lembaga Adat Sasi
dalam Pengelolaan Sumberdaya dusun di
Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat,
Kabupaten Maluku Tengah, Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor
Hanum CS. 2002. Tanaman pala di Kabupaten
Aceh Selatan : sang primadona yang
digerogoti penyakit . Harian Kompas, Senin
5 Agustus 2002.
Hasibuan AM, Sudjarmoko B & Listyati D. 2012.
Analisis keunggulan komparatif dan
58 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
kompetitif usahatani pala .Buletin RISTRI
3(3), 223-230.
http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/2007/11/mek
anisme-penyerapan-hara.html. Diakses 18
Mei 2019
https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/mimbar-
penyuluhan/249-pengendalian-hama-dan-
penyakit-tanaman-pala diakses 19 mei 2019
Kalay. Marthin. A, Lamerkabel Jacobus S. A,
Thenu Frances J. L. 2015 kerusakan
tanaman pala akibat penyakit busuk buah
kering dan hama penggerek batang di
kecamatan leihitu kabupaten maluku
tengah, Agrologia, Vol. 4, No.2, Oktober
2015, Hal. 88-95
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops In
Indonesia. Revised Translated by P.A. Van
Der Laan, University of Amasterdam With
the Assistance of G.H.L. Rohschild, Chiro,
Canberra. PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Jakarta
Khairullah 2010. Hubungan Cuaca Dan Iklim
Terhadap Hama Dan Penyakit Tanaman.
Online di
Komalig. A. 1970. Pencangkokan Tanaman Pala
Dengan Zat Tumbuh. Universitas
Samratulangi Manado.
Marzuki Ilyas, M.R. Uluputty, Sandra A. Aziz dan
Memen Surahman, 2008. Karakteristik
Morfoekotipe dan proksimat Pala Banda (
MYristica fragrans Houtt). Bul. Agron. (36)
(2) 146 – 152 (2008).
McMaugh T. 2007. Pedoman surveilensi
organisme pengganggu tumbuhan di Asia
dan Pasifik. ACIAR Monograph 119a: 192.
Nkrumah, M., S.M. Griffith, N. Ahmad, and F.A.
Gumbs. 1989. Lysimeter and Field Studies
on 15N in a Tropical Soil. Plant and Soil.
114: 3 -12.
Nurdjannah. N. (2007). Teknologi Pengolahan
Pala. Balitbangtan.
Pedigo PL. 1999. Entomology and Pest
Management 2nd Ed. New Jersey :
Prentice-Hall Inc.
Pracaya,2008. Hama dan penyakit Tanaman. Edisi
revisi. Penerbit Swadaya Jakarta
Purseglove, J.W., Brown E.G., Green S.L., and
Robbins S.R.J. 1995. Spices. New York:
Longmans. pp175-228.
Rodianawati I, Hastuti P, & Cahyanto MN.
Nutmeg’s oleoresin: effect of heating to
chemical compositions and antifungal
properties. The First International
Symposium on Food and Agro-biodiversity
(ISFA2014). Proc. Food Science 3, 244-254
Sulaiman, F. 2002b. Fungsi Informasi dan
Komunikasi yang diperlukan di Institusi
Penelitian Pertanian. Agro Ekonomi.
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Vol. 9,
No. 1. Yogyakarta.
Suryadi Rudi,2017 Strategi penelitian budidaya
untuk meningkatkan produktivitas dan daya
saing pala Perspektif Vol. 16 No. 1 /Juni
2017. Hlm 01 - 13 DOI:
http://dx.doi.org/10.21082/psp.v16n1.2016.
01-13 ISSN: 1412-8004
Susanto, H. 2003. Budidaya pala, komoditas
Ekspor kanisisus Yogyakarta
Trojer, L.R. 1976. Agroclimate Map of
Sumatera, Kalimantan, Maluku, and Irian.
Central Res. Inst. Agric. Bogor No. 17.
Wahyuni S. Hadad E.A., Suparman, dan
Mardiana. 2008. Keragaan Produksi Palsma
Nutfah Pala di KP Cicurug. Buletin Plasma
Nutfah .14(2) : 68-75
Yi Z, Jinchao F, Dayuan X, Weiguo S, Axmacher
JC. 2012. A comparison of terrestrial
arthropod sampling methods. J. Resour.
Ecol. 3 :174-182
59 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
APLIKASI AUKSIN DAN SITOKININ UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA BUOL ST-1
Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Desa Maku Kec. Dolo, Kab. Sigi, Prov. Sulawesi Tengah
e-mail : much_yr@yahoo.com
ABSTRACT
The coconut tree is the multifunctional and high economic value plant. The whole parts of the tree can be
used as many goods for human purposes. It’s called the tree of life, because all parts of the tree, such as
trunk, roots, leaf, dan coconut can be used for daily purpose. At present, most of the coconut plant is
entering the old and unproductive age. These circumstances give a vicious effect on the development and
sustainability of this commodity, if there are no rejuvenation and developing movements. It needs to be
provided superior seeds, so both the government and private’s coconut farm had been planted. Hopefully, it
will increase national production. Some solutions to improve dan accelerate the growth of coconut plant is
by adding growth-stimulating hormones (GSH). Some of GSH that commonly used are cytokinin and auxin,
applied on growing media at the early plantation. Adding cytokinin and auxin on “ST1 Buol” coconut seed
variety give better growth compared to the control plant. Applications of cytokinin and auxin give the best
growth for plant height at 101 to 171 HSS, leaf width at 101 HSS, and leaf length at 115 and 129 HSS.
While cytokinin hormone gives the best growth for leaf width at 115 to 171 HSS, leaf length at 101 HSS,
and 143 to 171 HSS.
Keywords: Growth Hormones, Coconut, Seeds, Plant Rejuvenation
ABSTRAK
Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, sehingga pohon ini sering
disebut pohon kehidupan karena hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan buahnya dapat
dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan sehari-hari. Keadaan ini memberikan dampak yang buruk
terhadap perkembangan dan keberlanjutan komoditi ini, jika tidak ada gerakan peremajaan dan
pengembangan. Hal ini disebabkan sebagian besar tanaman kelapa yang ada saat ini sudah berumur tua
Oleh karena itu, untuk peremajaan perlu disediakan benih unggul, sehingga diharapkan perkebunan kelapa,
baik milik pemerintah/swasta dan rakyat sudah ditanami jenis kelapa yang unggul semua dan
produktivitas kelapa secara nasional dapat meningkat. Salah satu cara untuk memperbaiki mutu dan
mempercepat pertumbuhan bibit tanaman kelapa adalah dengan menambahkan hormon dan zat pengatur
tumbuh (ZPT). Beberapa jenis hormon dan ZPT yang biasa digunakan untuk memacu pertumbuhan
adalah sitokinin dan auksin, yang diberikan ke dalam media tumbuh. Pemberian hormon tumbuh auksin
dan sitokinin pada bibit tanaman kelapa varietas ST 1 Buol memberikan hasil yang lebih baik bila
dibandingkan tanpa pemberian hormon tumbuh/kontrol. Pemberian hormon auksin memberikan
pertumbuhan terbaik terhadap tinggi tanaman umur 101 HSS sampai dengan 171 HSS, lebar daun umur
101 HSS, dan panjang daun umur 115 HSS dan 129 HSS. Sedangkan hormon sitokinin memberikan
60 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
pertumbuhan terbaik terhadap lebar daun umur 115 HSS sampai dengan umur 171 HSS, panjang daun
umur 101 HSS dan umur 143 HSS sampai dengan umur 171 HSS.
Kata kunci : hormon tumbuh, kelapa, pembibitan, peremajan tanaman
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara agraris
yang kehidupan perekonomiannya tidak bisa lepas
dari sektor pertanian. Tanaman Kelapa (Cocos
nucifera L.) merupakan komoditas strategis yang
berperan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan
budaya, sehingga tanaman kelapa dikenal sebagai
pohon kehidupan(Tree of Life). Buah kelapa
merupakan salah satu bahan baku kebutuhan
pokok, yaitu minyak goreng dan industri olahan
lainnya, juga untuk penggunaan kebutuhan khusus
yang tidak tergantikan, seperti kelapa segar untuk
sayur dan kelapa muda untuk minuman serta daun
kelapa untuk berbagai upacara. Menurut Barri et
al., (2015), kelapa adalah salah satu komoditi
perkebunan yang mempunyai peranan penting
dalam perekonomian nasional dengan hasil utama
adalah kopra. Selain itu, tanaman kelapa
merupakan tanaman sosial karena + 98%
diusahakan oleh petani.
Tanaman Kelapa Dalam telah ditanam
hampir diseluruh Indonesia dan luas arealnya terus
meningkat. Tahun 1986 luas areal perkebunan
Kelapa Dalam baru mencapai 3.113.000 ha,
kemudian pada tahun 1990 telah mencapai
3.334.000 ha dan diperkirakan pada tahun 1993
luas perkebunan Kelapa Dalam mencapai 3.624.000
ha. Daerah penghasil di Indonesia seluruh luas
areal perkebunan Kelapa Dalam sekitar 97,4%
dikelola oleh perkebunan rakyat yang melibatkan
sekitar 3,1 juta keluarga petani, kemudian sisanya
sebanyak 2,1 % dikelola perkebunan besar swasta
dan 0,5 % dikelola perkebunan besar negara.
Sementara produksinya terdapat dibeberapa daerah
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo,
Sulawesi Barat dan Maluku (Muhammad Ali,
2017;Selfi et al., 2013). Sampai dengan saat ini
produktivitas tanaman Kelapa Dalam masih sekitar
1,2 ton kopra per hektar per tahun (Statistik
Perkebunan Indonesia, 2016). Untuk itu, program
pengembangan tanaman Kelapa Dalam di
Indonesia terus dipacu untuk meningkatkan
produktivitas Kelapa Dalam.
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan Salah
satu daerah sentra tanaman kelapa di Indonesia.
Penyebaran kelapa meliputi Kabupaten
Banggai,Banggai Kepulauan, Buol, Donggala,
Morowali, Parigi Moutong, Poso, Sigi, Tojo una-
una, Toli-Toli, dan Palu. Berdasarkan data statistik,
luas areal kelapa pada tahun 2018 di Sulawesi
Tengah adalah 219.899 ha, dengan produksi
193.885 ton, sedangkan pada tahun 2017 seluas
218.144 ha dengan produksi 187.404,30 ton (BPS
Sulteng 2019). Dari data ini menunjukan mulai
mengalami kenaikan baik areal pertanaman
maupun produksi. Pada tahun 2016, luas areal
perkebunan kelapa dalam di Sulawesi Tengah
mencapai 210.248 ha dengan komposisi tanaman
belum menghasilkan (TBM)12,94% (27.208 ha),
tanaman menghasilkan (TM) 74,67% (156.983 ha),
dan tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak
(TTM/TR) 12,39% (26.057 ha).(Dinas perkebunan
dan Peternakan Prov.Sulteng, 2017).
Kelapa Dalam umumnya berpenampilan
tinggi dan membutuhkan tenaga pemanjat saat
panen, dimana dari hari ke hari ketersediaanya
makin sulit dan biaya panen relatif mahal. Di
samping itu, sekitar 30% kelapa rakyat ini sudah
tua dan kurang produktif/rusak. Akibatnya
produktivitas kelapa rendah, sehingga pendapatan
petani menjadi menurun. Untuk itu, ke depan,
perlu dipikirkan bagaimana menyediakan bahan
tanaman bagi kebutuhan peremajaan kelapa dengan
menggunakan varietas kelapa yang memiliki
karakteristik pendek, cepat berbuah dan produksi
tinggi (Novarianto, 2010).
61 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
Peningkatan produktivitas dan mutu hasil
yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya
saing produk perkebunan harus diawali dengan
penggunaan benih unggul bermutu. Benih memiliki
peran penting dalam pengembangan tanaman
perkebunan dan menentukan produksi dan mutu
hasil, sehingga dituntut mutu fisiologis dan genetik
yang memenuhi syarat. Dengan demikian, tidaklah
heran apabila seluruh tanaman dikaitkan dengan
perbenihannya. Produksi tanaman perkebunan
merupakan produksi olahan sehingga sangat
dibutuhkan benih yang bermutu untuk dapat
berproduksi tinggi kelak karena produktivitas
tanaman ditentukan oleh kualitas benih yang
digunakan (Nakukajuna, 2017).
Salah satu cara untuk memperbaiki mutu dan
mempercepat pertumbuhan bibit tanaman kelapa
adalah dengan menambahkan hormon dan zat
pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa jenis hormon
dan ZPT yang biasa digunakan untuk memacu
pertumbuhan adalah sitokinin dan auksin, yang
diberikan ke dalam media tumbuh. Beberapa jenis
auksin dapat diaplikasikan bersama-sama atau
dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh
golongan sitokinin dan gibberellin (Ahmed et al.,
2002). Namun untuk menginduksi perakaran, lebih
baik hanya dengan penambahan satu jenis hormon
saja. Auksin adalah jenis hormon tumbuh yang
disintesis oleh tanaman dan berfungsi sebagai
katalisator dalam metabolisme serta berperan
dalam perpanjangan sel (Alrasyid dan Widiarti,
1990). Auksin mendorong terjadinya pembelahan
sel, sehingga dibutuhkan untuk pembentukan akar
(Himanen et al., 2002). Sedangkan sitokinin
adalah Hormon dan senyawa-senyawa yang
memberikan pengaruh terhadap pembelahan sel.
Sitokinin dapat disintesa secara alami di
dalam jaringan tanaman. Namun demikian,
metabolisme tanaman yang tinggi di dataran
rendah memerlukan tambahan sitokinin untuk
memacu dan meningkatkan pertumbuhan tunas.
Aplikasi sitokinin eksogen telah dilaporkan dapat
merangsang pertumbuhan dan perkembangan tunas
lateral (Yaish et al, 2010 dalam Rosniawaty et al,
2018). Sitokinin sangat baik dalam menstimulasi
sintesis protein dan berperan dalam kontrol siklus
sel, sekaligus merangsang aktivitas pembelahan sel
dan sangat efektif dalam meningkatkan inisiasi
tunas.
METODOLOGI
Kegiatan pengkajian pemberian hormon
dan ZPT pada pembibitan kelapa varietas Buol
ST-1 dilaksanakan di IP2TP Sidondo BPTP
Sulawesi Tengah Desa Sidondo III, Kecamatan
Biromaru Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi
Tengah. Kajian ini dimulai bulan Januari 2018
sampai Desember 2018. Perlakuan dengan
pemberian Sitokinin dan Auksin serta kontrol.
Penyemprotan diberikan dosis 0,5 ml per liter air
pada umur 94 hari setelah semai sampai dengan
umur 164 hari setelah semai dengan interval
pengamatan setiap 7 hari. Pengamatan yang
dilakukan adalah adalah Tinggi Tanaman, daun
(jumlah daun, panjang daun dan lebar daun) dan
dianalisis secara deskriptif.
DESKRIPSI DAN KEUNGGULAN INOVASI
Pemerintah Indonesia melalui Balai
Penelitian Tanaman Palma (Balit Palma), telah
melepas varietas Kelapa Unggul dengan potensi
produksi berkisar 2,5 – 3,5 ton kopra/hektar/tahun
untuk varietas kelapa dalam. Varietas kelapa yang
dihasilkan merupakan hasil seleksi dari tanaman
kelapa disuatu daerah tertentu, seperti Kelapa
Dalam Mapanget/DMT, Dalam Palu/DPU, dalam
Bali/DBI (Balitbangtan, 2013). Sulawesi Tengah
memiliki beberapa plasma nutfah kelapa yang telah
dilepas, diantaranya Kelapa Buol ST-1. Kelapa ini
telah dilepas oleh Menteri pertanian pada tahun
2013 sebagai varietas unggul nasional. Varietas ini
merupakan hasil seleksi dari populasi Kelapa
Dalam di Desa Mokupo Kabupaten Buol Provinsi
Sulawesi Tengah. Jumlah yang terseleksi yaitu 300
pohon induk dengan potensi produksi benih 28.800
butir dan dapat digunakan untuk pengembangan
kelapa 131 ha per tahun. Kelapa varietas ST 1 Buol
memiliki beberapa keunggulan, yaitu lingkar
batang dan ukuran buah merupakan karakter antara
tipe Genjah dan Dalam, potensi produksi 3
62 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
ton/ha/tahun dan pertumbuhan batang lambat
sehingga tinggi batang tidak seperti Kelapa Dalam
(batang tidak tinggi) sehingga dapat mengurangi
risiko kecelakaan dalam proses panen kelapa
(Emytheresia, 2018).
Kelapa varietas Buol ST-1 dapat dijadikan
materi pemuliaan untuk persilangan dengan kelapa
Genjah sehingga menghasilkan kelapa produksi
tinggi dan batang pendek. Berdasarkan SK Mentan
RI No. 4966/Kpts/Sr.120/12/2013 secara rinci
deskripsi tanaman kelapa varietas Buol ST-1
sebagai berikut :
Asal dari Desa Mokupo Kecamatan Karamat
Kabupaten Buol Provinsi Sulawesi Tengah.
Silsilahnya:Hasil seleksi populasi tanaman Kelapa
Dalam pada BPT Kelapa di desa Mokupo. Tipe
tumbuhnya tegak, habitus tunggal. Lingkungan
tumbuhnya dilahan kering iklim basah, tumbuh
baik di dataran rendah sampai 450 m dpl. Tinggi
tanaman (m) 18 – 20. Bentuk tanaman adalah
tanaman tunggal. Umur mulai berbunga (bulan):40
(± 6,0). Umur mulai panen (bulan):52 (± 6,0).
Batang. Lingkar batang 20 (cm) 138,8 (±
17,08), Lingkar batang 150 (cm) 89,25 (± 6,64),
Panjang 11 bekas daun (cm) 98,7 (± 17,49)
Daun : Warna pelepah daun hijau, hijau
kekuningan. Panjang tangkai daun (cm)128,0 (±
111,66), Panjang lamina (cm) 540,25 (± 37,22),
Tebal tangkai daun (cm) 1,67 (± 0,30 ), Lebar
tangkai daun (cm) 6,23 (± 0,76), Jumlah anak daun
(helai)119,5 (± 7,11). Panjang anak daun (cm)
139,4 (± 6,10), Lebar anak daun (cm) 5,9 (± 0,42)
Bunga : Jumlah tandan bunga/tahun (buah)
13,1 (± 0,48), Panjang tangkai tandan (cm) 46,8 (±
8,7), Panjang rangkaian bunga cm) 48,2 (± 10,7),
Lebar tangkai tandan (cm) 2,6 (± 0,37), Jumlah
spikelet (buah) 24,30 (± 4,5)
Buah : Warna buah hijau kekuningan,hijau,
merah kecoklatan, Berat buah utuh (g) 1.518,33 (±
292,17), Jumlah buah/tandan (butir) 10,7 (± 14,95 ). Jumlah buah/pohon (butir) 139,1, Jumlah
buah/ha/tahun (butir) 19.800. Lingkar buah polar
(cm) 42,5 (± 2,8), Lingkar buah equatorial (cm)
43,4 (± 3,37). Kopra/butir (g) 240, Kadar minyak
(berat kering) (%) 61. Bentuk buah bulat, Ukuran
buah sedang. Ciri Karakter spesifik, batang pendek,
cepat berbuah. Daerah PengembanganLahan kering
iklim basah dengan tinggi tempat < 500 m
dpl,curah hujan 1.000 –1.500 mm per tahundengan
bulan kering <5 bulan kering (Anonim,
2018)Kelapa Buol ST-1 memiliki sifat morfologi
antara kelapa Dalam dan Genjah sehingga
dikategorikan sebagai kelapa Semi Dalam.
Karakter spesifik kelapa Buol ST-1 adalah cepat
berbuah (+ 40 bulan), ukuran batang relatif kecil,
pertumbahan tinggi batang lambat dan ukuran buah
relatif besar dengan berat daging buah rata-rata 481
g dan kandungan protein 9,67%. Potensi produksi
kelapa Buol ST-1 sebesar 3,3 ton kopra/ha/tahun,
sehingga digolongkan sebagai Blok Penghasil
Tinggi Kelapa dan telah dilepas sebagai varietas
unggul lokal pada tahun 2013. Potensi produksi
benih 300 pohon induk terpilih kelapa Buol ST-1
sebanyak 28.800 butir, yang dapat digunakan untuk
pengembangan kelapa seluas 131 ha per
tahun.(Tenda et.al, 2014)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-
rata produksi tandan 13,0 buah/pohon/tahun,
jumlah buah 8 butir/tandan, serta berat daging buah
segar rata-rata 481 gram/butir, diestimasi populasi
kelapa Buol ini memiliki potensi hasil kopra
sekitar 25,2 kg/pohon/tahun. Jika diasumsikan
jumlah tanaman sebanyak 143 pohon per hektar
dengan 130 pohon mencapai umur produksi maka
estimasi produksi per hektar adalah 3,3 ton kopra.
Sifat produksi kelapa Buol hampir sama dengan
Kelapa Dalam komposit spesifik lahan kering di
Desa Pakuli Bangga dan Desa Pantoloan, Sulawesi
Tengah serta Desa Bloro dan Adonara Barat yang
memberikan hasil kopra >3 ton per hektar per
tahun (Kumaunang dan Heliyanto, 2010).
Masalah Pengembangan Perbenihan Kelapa
Tanaman kelapa memiliki manfaat tidak saja
terletak pada daging buahnya yang dapat diolah
menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi
seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai
manfaat yang besar. Keadaan ini memberikan
63 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
dampak yang buruk terhadap perkembangan dan
keberlanjutan komoditi ini, jika tidak ada gerakan
peremajaan dan pengembangan. Menurut
Allorerung dan Mahmud (1997) dalam Effendi
(2008), kendala yang dihadapi dalam peremajaan
kelapa adalah: (1) kendala teknis, mencakup
penentuan umur tanaman yang akan diremajakan,
sistem peremajaan, varietas kelapa pengganti,
pemanfaatan kayu kelapa, teknik budidaya, dan
tanaman sela; dan (2) kendala non teknis,
mencakup persepsi dan tingkat pengetahuan petani,
tingkat ketergantungan petani, status kepemilikan
lahan, keterbatasan modal, dan pemasaran hasil.
Penyediaan benih Kelapa Unggul sangat
diperlukan guna meningkatkan produktifitas
kelapa secara nasional. Hal ini disebabkan
sebagian besar tanaman kelapa yang ada saat ini
sudah berumur tua. Secara teoritis tanaman kelapa
yang berumur lebih dari 60 tahun yaitu tanaman
kelapa yang ditanam pada tahun 1946 (Allorerung,
2006). Oleh karena itu, untuk peremajaan perlu
disediakan benih unggul, sehingga diharapkan
perkebunan kelapa, baik milik pemerintah/swasta
dan rakyat sudah ditanami jenis kelapa yang
unggul semua dan produktivitas kelapa secara
nasional dapat meningkat.
Hal pertama yang dilakukan untuk
meremajakan tanaman kelapa adalah persiapan
bibit bermutu melalui kegiatan pembibitan secara
intensif. Sutopo (2002) bahwa ketidakberhasilan
produksi tanaman seringkali sebagai akibat
penggunaan benih bermutu yang rendah. Dengan
demikian, benih merupakan salah satu input dasar
yang menentukan keberhasilan dalam kegiatan
produksi tanaman. Untuk itu perlu dilakukan
perbanyakan bibit kelapa, baik dari varietas unggul
nasional maupun unggul lokal yang telah
bersertifikat untuk menyuplai kebutuhan bibit
kelapa khususnya di Sulawesi Tengah.
Pertumbuhan Bibit Kelapa
Keragaan pertumbuhan bibit kelapa varietas
Buol ST-1 dengan pemberian hormon tumbuh
disajikan sebagai berikut :
Tinggi Tanaman (cm)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian hormon Sitokinin dan Auksin
menunjukkan pengaruh yang lebih baik terhadap
tinggi tunas kelapa dari umur 101 Hari Sesudah
Semai (HSS) sampai dengan umur 171 HSS
dibandingkan dengan tanpa pemberian hormon
(Kontrol). Rata-rata tinggi tunas kelapa dengan
pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tunas Kelapa dengan Pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin di IP2TP Sidondo
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) pada Umur ke ....
101 HSS 115 HSS 129HSS 143 HSS 157 HSS 171 HSS
Kontrol 76,80 78,33 86,57 90,81 99,22 118,46
Sitokinin 85,80 90,96 100,33 114,33 125,08 139,58
Auksin 89,13 99,13 114,38 124,38 135,13 147,63
Sumber : Data Diolah 2018 (HSS = hari sesudah semai)
Pemberian hormon Sitokinin dan Auksin
memberikan hasil yang lebih baik terhadap tinggi
tunas tanaman kelapa dari umur 101 HSS sampai
dengan 171 HSS bila dibandingkan dengan tanpa
pemberian hormon. Tinggi tunas tertinggi 147,63
cm diperoleh pada perlakuan hormon auksin umur
171 HSS dan yang terrendah 118,46 cm pada
perlakuan tanpa hormon umur 171 HSS. Tinggi
tunas cenderung terus bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Histogram Rata-rata
64 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
tinggi tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram Rata-rata tinggi tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin
di IP2TP Sidondo
Jumlah Daun (Helai)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian hormon Sitokinin dan Auksin tidak
menunjukkan hasil yang lebih baik terhadap
jumlah daun tunas kelapa dari umur 101 HSS
sampai dengan umur 171 HSS jika dibandingkan
tanpa pemberian hormon. Rata-rata jumlah daun
tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin
dan Auksin disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Tabel 2. Rata-rata jumlah daun tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin di IP2TP Sidondo
Perlakuan Jumlah Daun (Helai) pada Umur ke...
101 HSS 115 HSS 129 HSS 143 HSS 157 HSS 171 HSS
Kontrol 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67
Sitokinin 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67
Auksin 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67 5,67
Sumber : Data Diolah 2018 (HSS = hari sesudah semai
65 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
Gambar 2. Histogram Rata-rata jumlah daun tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin di IP2TP
Sidondo
Lebar Daun (cm)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian hormon Sitokinin dan Auksin
menunjukkan hasil yang terbaik terhadap lebar
daun tunas kelapa dari umur 101 HSS sampai
dengan umur 171 HSS, jika dibandingkan dengan
perlakuan tanpa hormon. Rata-rata lebar daun
tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin
dan Auksin disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 3.
Tabel 3. Rata-Rata Lebar Daun (cm) Tunas Kelapa
dengan Pemberian Hormon Sitokinin dan Auksin di
IP2TP Sidondo
Perlakuan
Lebar Daun (cm) pada Umur Tanaman ke ...
101 HSS
115 HSS
129 HSS
143 HSS
157 HSS
171 HSS
Kontrol 12,78 13,02 13,33 13,78 15,03 16,67
Sitokinin 13,48 16,00 15,82 17,50 18,50 19,17
Auksin 13,72 14,49 14,85 16,03 17,03 17,43
Sumber : Data Diolah 2018 (HSS = hari sesudah semai)
Gambar 3. menunjukkan bahwa hormon
Sitokinin dan Auksin memberikan lebar daun tunas
kelapa terbaik dari umur 101 HSS sampai dengan
171 HSS bila dibandingkan dengan tanpa
pemberian hormon, dengan lebar daun tunas
tertinggi 19,17 cm (perlakuan hormon Sitokinin
umur 171 HSS) dan yang terrendah 16,67 cm
(perlakuan kontrol umur 171 HSS). Lebar daun
cenderung terus bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Grafik Rata-rata
lebar daun tunas kelapa dengan pemberian Hormon
Sitokinin dan Auksin di IP2TP Sidondo,
ditampilkan pada Gambar 3:
66 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Gambar 3. Histogram rata-rata lebar daun tunas kelapa dengan pemberian hormon Sitokinin
dan Auksin di IP2TP Sidondo
Panjang Daun (cm)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian hormon Sitokinin dan Auksin
memberikan hasil yang lebih baik terhadap panjang
daun tunas kelapa dari umur 101 HSS sampai
dengan umur 171 HSS, bila dibandingkan panjang
daun tunas kelapa tanpa pemberian hormon. Rata-
rata panjang daun tunas kelapa dengan pemberian
Hormon Sitokinin dan Auksin ditampilkan pada
Tabel 4 dan Gambar 4.
Tabel 4. Rata-rata panjang daun tunas kelapa dengan pemberian Hormon Sitokinin
dan Auksin di IP2TP Sidondo
Perlakuan Panjang Daun (cm) pada Umur Tanaman ke ...
101 HSS 115 HSS 129 HSS 143 HSS 157 HSS 171 HSS
Kontrol 56,08 60,63 65,43 80,68 92,41 104,11
Sitokinin 70,08 75,92 90,83 112,83 127,79 145,79
Auksin 69,45 84,20 99,16 111,16 126,12 139,12
Sumber : Data Diolah 2018 (HSS = hari sesudah semai)
Gambar 4. Menunjukkan bahwa pemberian
hormon Sitokinin dan Auksin memberikan panjang
daun tunas terbaik dari umur 101 HSS sampai
dengan 171 HSS bila dibandingkan dengan tanpa
pemberian hormon, dengan panjang daun tunas
tertinggi sepanjang 145,79 cm (perlakuan hormon
Sitokinin umur 171 HSS) dan yang terrendah
sepanjang 104,11 cm (perlakuan tanpa hormon).
Panjang tunas cenderung terus bertambah seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Pertumbuhan
dan perkembangan merupakan suatu proses
biologis yang selalu dialami oleh makhluk hidup.
Pertumbuhan akan mengalami proses penambahan
substansi yang menyebabkan bertambahnya
67 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
volume yang diikuti dengan adanya perubahan
bentuk. Perkembangan merupakan suatu proses
pendewasaan atau pada tumbuhan biasanya dilihat
dari perbungaan tumbuhan yang kemudian
mengalami penyerbukan dan berbuah (Faridah et
al, 2012). Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh
pupuk, sementara arah dan kualitas dari
pertumbuhan dan perkembangan sangat ditentukan
oleh zat pengatur tumbuh.
Gambar 4. Histogram rata-rata lebar daun tunas kelapa dengan pemberian hormon Sitokinin
dan Auksin di IP2TP Sidondo
. Pemberian zat pengatur tumbuh yang tepat,
baik komposisi dan konsentrasinya, dapat
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman menjadi lebih baik. Zat pengatur tumbuh
(ZPT) adalah senyawa organik bukan hara tetapi
dapat merubah proses fisiologis tumbuhan.
Pemasokan zat pengatur tumbuh secara alami
biasanya berada di bawah optimal dan dibutuhkan
sumber dari luar (eksternal) untuk menghasilkan
respon yang dikehendaki (Leovici et al, 2014).
ZPT yang sering digunakan untuk
perbanyakan tunas adalah auksin dan sitokinin
yang diberikan secara tunggal maupun bersama-
sama. Pemberian sitokinin pada media mampu
memacu pembentukan tunas lateral pada tumbuhan
dikotil. Jenis sitokinin sintetik yang lebih banyak
digunakan adalah Benzyla – Amino – Purine
(BAP) dan Benzyladenin (BA) karena
menyebabkan pemanjangan yang lebih nyata
daripada kinetin (Salisburi dan Ross, 1995).
Auksin dan sitokinin merupakan dua jenis zat
pengatur tumbuh tanaman yang seringkali
digunakan untuk menginduksi morfogenetik
tanaman (Zulkarnain, 2007).
Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa
penggunaan horman Sitokinin dan Auksin
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap
pertumbuhan tunas kelapa, tetapi pertumbuhan
tunas tanaman cenderung bertambah seiring
dengan bertambahnya umur tanaman. Pemberian
hormon Sitokinin cenderung menghasilkan lebar
daun dan panjang daun tunas kelapa yang lebih
tinggi dibanding perlakuan pemberian hormon
auksin.
Auksin dan sitokinin yang digunakan dalam
media bersifat sinergis. Auksin berperan dalam
mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel,
sedangkan sitokinin berperan dalam pembelahan
sel. Hal ini mudah dimengerti karena secara seluler
auksin berperan dalam pemanjangan sel,
68 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
sedangkan sitokinin memicu pembelahan sel,
morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan
merupakan proses yang sangat penting dalam
pembentukan kalus dan selanjutnya diikuti
rediferensiasi kalus menuju pembentukan tunas
yang dipicu oleh adanya cahaya. Hal ini diperkuat
oleh Kusumo (1984) dalam Maryani (2005) yang
menunjukkan bahwa sitokinin dan auksin berperan
saling melengkapi dalam menginduksi tunas.
Menurut Davies (2004), interaksi auksin dan
sitokinin dalam kultur in vitro mampu membuat sel-
sel pada jaringan tanaman mengalami proses
pembelahan dan pembesaran, sedangkan pada
media tanpa penambahan BAP, auksin pada tahap
ini sudah mulai membentuk planlet. Penambahan
perlakuan BAP dalam media tanam dapat
meningkatkan jumlah tunas dan daun serta
mempunyai kecenderungan menurunkan jumlah
akar dan tinggi tunas (Tjandra, 2000 dalam
Kurniawati, 2004). Perbandingan antara sitokinin
dan auksin yang tinggi akan mendorong
pembentukan tunas, sedangkan perbandingan
sitokinin dan auksin rendah akan mendorong
pembentukan akar, sehingga selain meningkatkan
jumlah tunas terbanyak juga dapat meningkatkan
aktifitas sitokinin yang selanjutnya meningkatkan
efektifitas pembelahan sel semakin tinggi, sebab air
kelapa adalah endosperm yang kaya akan makanan,
maka jika air kelapa tersebut ditambahkan dalam
media kultur jaringan, eksplan yang ditanam dapat
tumbuh dengan baik.
KESIMPULAN
Peningkatan produktivitas dan mutu hasil
yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya
saing produk perkebunan harus diawali dengan
penggunaan benih unggul bermutu. Benih memiliki
peran penting dalam pengembangan tanaman
perkebunan dan menentukan produksi dan mutu
hasil, sehingga dituntut mutu fisiologis dan genetik
yang memenuhi syarat. Bibit merupakan awal dari
kehidupan tanaman sehingga dibutuhkan bibit yang
sehat dengan pertumbuhan baik serta berasal dari
blok penghasil tinggi atau pohon induk terpilih.
Pemberian hormon tumbuh auksin dan sitokinin
pada bibit tanaman kelapa dalam varietas Buol ST-
1 memberikan hasil yang lebih baik bila
dibandingkan tanpa pemberian hormon
tumbuh/control.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami haturkan kepada Dr.
Andi Baso Lompengeng Ishak yang telah
memberikan arahan dan dukungan kegiatan sampai
dengan penulisan karya ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, E. E., G.Y.D. Bisztray and I. Velich.
2002. Plant Regeneration from Seedling
Explants of Common Bean (Phaseolus
vulgaris,L). Proceedings of the 7th
Hungarian Congress of Plant Physiology.
Szent Istvan University of Budapest.
Budapest- Hungarian. 115-123.
Allorerung, D., Z. Mahmud, dan B. Prastowo.
2006. Peluang Kelapa untuk Pengembangan
Produk Kesehatan dan Biodisel. Buku1,
Prosiding : Konperensi Nasional Kelapa VI.
Gorontalo, 16-18 Mei 2006. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. 12-31.
Alrasyid, H and A. Widiarti. 1990. Pengaruh
Penggunaan Hormon IBA terhadap
Persentase Hidup Stek Khaya anthoteca.
Balai Penelitian Hutan No. 523. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Bogor. P. 1-22.
Anonim, 2018. Deskripsi Tanaman Kelapa.
https://drive.google.com/file/d/
1RwgR2ttL5LKJvz9TtU7TzQixy_2OwN0T/
view. Diakses tanggal 20 Maret 2019.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Balitbangtan). 2013. Varietas Unggul
Kelapa, Pinang, dan Aren di Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 58 hlm.
69 Aplikasi Auksin Dan Sitokinin Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Buol St-1
(Muchtar, Andi Irmadamayanti, Risna dan Saidah)
Barri L.N, Abner L,Hosang A.L, Lolong A.A,
Kumaunang J, Matana R.Y, Manaroinsong
E, 2015. Petunjuk Teknis Budidaya Kelapa.
Balitpalma. Manado
BPS, 2016. Sulawesi Tengah dalam Angka 2016.
Badan Pusat Statistik Prov.Sulawesi Tengah.
Davies, P. J. 2004. Plant Hormones : Biosynthesis,
Signal Transduction, Action. Kluwer
Academic Publisher. London.
Effendi S. D, 2008, Strategi Kebijakan Peremajaan
Kelapa Rakyat. Pengembangan Inovasi
Pertanian 1(4), 2008: 288-297.
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publika
si/ ip014084.pdf. diakses tanggal 28 Maret
2019.
Emytheresia, 2018. Kelapa Varietas ST 1 Buol.
http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/balaipatp
/berita/432. Diakses tanggal 18 Maret 2019.
Faridah, E., H. Supriyo, M. G. Wibisono, K. D.
Afiani, dan D. Hartanti. 2012. Akselerasi
Pertumbuhan Cendana (Santalum album)
dengan Aplikasi Unsur Hara Makro Esensial
pada Tiga Jenis Tanah. Jurnal Ilmu
Kehutanan 4(1):1-17.
Himanen, K., E. Baucheron, S. Vannesse, J. de
Almeida-Engler, D. Inze and T. eeckman.
2002. Auxin- mediated Cell Cycle
Activation During Early Root Initiation.
Plant Cell 14(10):2339-2352.
Kumaunang, J., B. Heliyanto. 2010. Seleksi
Tetua Kelapa Dalam Komposit Spesifik
Lahan Kering Iklim Kering. Buletin Palma
No.39 : 119-127
Kurniawati, M. 2004. Pengaruh 2,4-D, BAP, dan
Kinetin untuk Induksi Kalus Tunas Mentha
arvensis Var. Tempaku. Skripsi. Departemen
Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. IPB.
Leovici, H., Dody K., dan Eka T. S. P. 2014.
Pengaruh Macam dan Konsentrasi Bahan
Organik Sumber Zat Pengatur Tumbuh
Alami Terhadap Pertumbuhan Tebu
(Saccharum officinarum L.). Jurnal
Vegetalika 3 (1) : 22-34.
Maryani, Yekti dan Zamroni. 2005. Penggandaan
Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu
Pertanian Vol. 12 No.1, 2005: 51-55.
Muhammad Ali, 2017. Analisis Pendapatan dan
Kelayakan Usahatani Kelapa Dalam Di
Kelurahan Dondo Kecamatan Ampana Kota
Kabupaten Tojo Una-Una. J. Agrotekbis 5
(5) : 609-615
Nakukajuna H, 2017. Masalah Teknis Budidaya
Tanaman Perkebunan. http://herdynaku
kajuna. blogspot.com/2017/03/masalah-
tek nis-dalam-budidaya-tanaman.html. Diakses tanggal 18 Maret 2019.
Novarianto H, 2010. Karakteristik Bunga dan
Buah Hasil Persilangan Kelapa Hibrida
Genjah X Genjah. Buletin Palma No. 39.
Rosniawaty, A., Anjarsari, I. R. D., dan Sudirja,
R,. 2018. Aplikasi Sitokinin untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Teh
di Dataran Rendah. Jurnal Tanaman Industri
dan Penyegar. Vol 5 (1) 31-38.
Salisbury, Frank B dan Cleon W Ross. 1995.
Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Bandung: ITB.
Statistik Perkebunan Indonesia, 2016. Kelapa
2015-2017. Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian. Jakarta
Sutopo, L, 2002, Teknologi Benih Raja. Grafindo
Persada, Jakarta.
Tenda T. E, Tulalo A.M, Kumaunang J, dan
Maskromo I. 2014. Keunggulan Varietas
Kelapa Buol ST-1 dan Potensi
Pengembangannya. Buletin Palma. Vo.15.
No.2. hlm 93-101
Zulkarnain, 2007. Regenerasi Tanaman Nenas
(Ananas comosus (L.). Merr.) dari Tunas
Aksilar Mahkota Buah. J. Agroland. (14)
1:1-5
70 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
MUTU BENIH RIMPANG JAHE SELAMA PENYIMPANAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Melati dan Devi Rusmin
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
melatinazar@yahoo.co.id
ABSTRACT
One of the main problems in the supplying of ginger seed (rhizomes) is the occurrences of damage to seed
such as the shrinkage of rhizome weight, wrinkles and sprouts during storage. Storage is needed to
overcome of unavailability of quality seeds in the off seasons. The purpose of paper is to provide
information about problems in ginger rhizome seeds and the importance of storage techniques that can
maintain the quality of rhizome seeds during storage, so that it is expected to overcome problems in
maintaining the availability of ginger seeds out of season. Ginger seeds have the characteristics of easy to
sprout, easy to lose water so that the weight of the rhizome decreases quickly, the rhizomes become
wrinkled, and the rhizomes are susceptible to pests and diseases during storage. Storage environmental
conditions at a temperature of 14-220C, humidity ± 91% can maintain the quality of rhizome seeds. Setting
the light intensity of the storage room and irradiation treatment before the rhizome seeds are stored are
alternative technologies that need further investigation to maintain the quality of rhizome seeds during
storage.
Key words: Storage techniques, Zingiber officinale, seed quality, storage environment
ABSTRAK
Salah satu permasalahan dalam penyediaan benih jahe adalah terjadinya kerusakan benih seperti
penyusutan bobot rimpang, keriput dan bertunas selama penyimpanan. Penyimpanan diperlukan untuk
mengatasi kemungkinan tidak tersedianya benih bermutu pada saat diperlukan dan untuk memenuhi
kebutuhan benih di luar musim. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
permasalahan dalam benih rimpang jahe serta pentingnya teknik penyimpanan yang dapat mempertahankan
mutu benih rimpang selama penyimpanan, sehingga diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam
menjaga ketersediaan benih jahe di luar musim. Benih jahe mempunyai karakteristik mudah bertunas,
mudah kehilangan air sehingga bobot rimpang menurun dengan cepat, rimpang menjadi keriput, serta
rimpang mudah terserang hama dan penyakit selama di penyimpanan. Kondisi lingkungan penyimpanan
pada suhu 14-220C, kelembaban ± 91 % dapat mempertahankan mutu benih rimpang. Pengaturan intensitas
cahaya ruang simpan serta perlakuan iradiasi sebelum benih rimpang disimpan merupakan teknologi
alternatif yang perlu diteliti lebih lanjut untuk mempertahankan mutu benih rimpang selama penyimpanan.
Kata kunci : teknik penyimpanan, Zingiber officinale, mutu rimpang, lingkungan simpan
71 Mutu Benih Rimpang Jahe Selama Penyimpanan dan Yang Mempengaruhinya
(Melati dan Devi Rusmin)
PENDAHULUAN
Tanaman temu-temuan, khususnya jahe
merupakan tanaman yang mempunyai prospek
untuk dikembangkan. Jahe merupakan salah satu
tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak,
lebih dari 40 produk obat tradisional menggunakan
jahe sebagai bahan baku, sehingga jahe merupakan
salah satu tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah
besar untuk industri biofarmaka (Anon, 2002).
Permintaan terhadap benih rimpang jahe menyebar
sampai ke luar Jawa seperti Sumatera dan
Kalimantan (Anon. 2011). Tanaman tersebut juga
mempunyai banyak kegunaan sebagai rempah,
maupun bahan makanan.
Jahe ditanam pada awal musim hujan yaitu
sekitar bulan September-Oktober, dan panen pada
musim kemarau sekitar Juni-Juli. Perubahan cuaca
saat ini yang merupakan efek dari perubahan iklim
karena berubahnya keseimbangan lingkungan
mempengaruhi terhadap waktu musim hujan
sehingga berpengaruh terhadap jadwal waktu
tanam jahe. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap
permintaan benih jahe yang berlangsung semakin
panjang, karena adanya permintaan di luar musim.
Menurut Anon (2011) permintaan terhadap benih
rimpang jahe masih terjadi sampai bulan Februari,
yaitu sekitar 6 bulan setelah panen.
Salah satu permasalahan dalam produksi
benih rimpang jahe adalah sulitnya menjaga
ketersediaan benih rimpang bermutu dalam jumlah
yang mencukupi, pada waktu diperlukan oleh
pengguna. Hal tersebut disebabkan karena benih
rimpang jahe bukan merupakan benih sejati (true
seed) tetapi benih vegetatif dengan daya simpan
yang relatif pendek. Kemunduran daya tumbuh
benih rimpang jahe berlangsung cepat selama
penyimpanan, yang disebabkan oleh kadar air yang
tinggi. Benih akan menjadi keriput dan mudah
bertunas selama penyimpanan jika tidak
diperhatikan kondisi ruang penyimpanannya. Sifat
benih rimpang yang mudah bertunas mencapai (3-
4 cm) selama 4 bulan penyimpanan apabila kondisi
penyimpanan tidak optimal (Sukarman et al. 2007).
Benih rimpang yang sudah bertunas tentu sangat
menyulitkan dalam pengemasan dan pengiriman
benih jarak jauh karena tunas cenderung untuk
patah selama transportasi.
Sifat benih rimpang jahe yang mudah keriput
saat penyimpanan ini, sangat merugikan dalam
usaha perbenihan, karena dapat menurunkan bobot
benih 30-40 % selama 3 bulan (Sukarman et al.
2008). Benih rimpang jahe juga akan mudah
keriput apabila dipanen tidak cukup umur. Benih
rimpang jahe rentan terhadap serangan penyakit
dan hama gudang selama di penyimpanan.
Miftakhurohmah dan Noveriza (2009), melaporkan
bahwa benih rimpang jahe yang sudah disimpan 3
bulan di gudang penyimpanan didapatkan 4 jenis
cendawan pada jahe merah yaitu: Fusarium spp.
(24,40%), Aspergillus spp. (4,39%), Penicillium
spp. (2,19%), dan Absidia sp. (1,46%). Sedangkan
pada jahe putih kecil ditemukan Penicillium sp.
(48,39%) dan Fusarium sp. (26,87%) . Kondisi
demikian tentu akan berpengaruh kurang baik
terhadap produksi dan kualitas yang dihasilkan
Kurangnya ketersediaan benih bermutu
dalam jumlah yang mencukupi menyebabkan harga
benih jahe sangat fluktuatif, adakalanya harga
benih sangat tinggi, dan susah untuk dikendalikan.
Harga benih jahe yang tinggi tersebut di luar
jangkuan petani pengguna. Hal tersebut
mengakibatkan petani cenderung menggunakan
benih sendiri yang berasal dari pertanaman
konsumsi sehingga mutunya kurang terjamin.
Teknologi penyimpanan benih rimpang jahe
yang tepat sangat diperlukan untuk menjaga mutu
(fisik, fisiologis serta kesehatan benih) rimpang
jahe sampai saat jahe ditanam di lapangan.
Penyimpanan juga diperlukan untuk mengatasi
kemungkinan tidak tersedianya benih bermutu
pada saat diperlukan dan untuk memenuhi
kebutuhan benih di luar musim. Berdasarkan hal
tersebut, dalam makalah akan dibahas tentang
permasalahan benih rimpang khususnya benih
rimpang jahe dan teknik penyimpanan yang dapat
mempertahankan mutu benih rimpang jahe selama
72 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
penyimpanan karena harus menunggu masa tanam
berikutnya (musim hujan).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memberikan informasi tentang permasalahan
dalam benih rimpang jahe serta pentingnya teknik
penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu
benih rimpang selama penyimpanan, sehingga
diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam
menjaga ketersediaan benih jahe di luar musim.
PENYIMPANAN BENIH RIMPANG
Benih mencapai viabilitas dan vigor yang
maksimum pada saat masak fisiologis, selanjutnya
viabilitas dan vigor akan terus menurun. Perlakuan
benih tidak dapat meningkatkan viabilitas maupun
vigor, tetapi hanya menghambat laju kemunduran
benih. Oleh karena itu, benih harus ditangani
sebaik mungkin agar viabilitas dan vigornya tidak
cepat mengalami kemunduran. Penanganan benih
mencakup panen, pengolahan, sortasi, dan
penyimpanan (Hasanah dan Rusmin 2006).
Penyimpanan perlu dilakukan untuk
mempertahankan mutu benih dan menekan laju
kemunduran benih. Kemunduran mutu benih
merupakan salah satu masalah besar dalam
produksi pertanian. Kerugian selama pascapanen
tanaman temu-temuan diperkirakan sebesar 25-
50%, yang disebabkan oleh karena penanganan
pascapanen yang kurang baik dan suhu
penyimpanan yang tidak tepat (Nunes dan Emond,
2003), serta kelembaban ruang simpan yang tidak
seharusnya. Faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi daya simpan benih rimpang jahe
adalah suhu dan kelembapan.
Setelah panen, benih rimpang jahe disimpan
beberapa bulan menunggu datangnya musim hujan
untuk ditanam kembali. Penyimpanan bertujuan
untuk mempertahankan mutu fisik yaitu dapat
menekan munculnya tunas, dan menekan
penyusutan bobot rimpang. Mutu fisiologis juga
harus dipertahankan yaitu benih rimpang dapat
tumbuh dan berkembang pada saat di tanam setelah
disimpan. Beberapa pendekatan dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah penyimpanan benih jahe,
seperti pengaturan iklim mikro (suhu dan
kelembaban ruang simpan), dan pemberian ZPT.
Pengaturan iklim mikro dapat dilakukan
dengan cara mengontrol suhu, kelembaban dan
intensitas cahaya pada ruang penyimpanan.
Pengaturan iklim mikro bertujuan untuk
menghambat aktifitas respirasi dan menghambat
pertunasan. Asgar dan Ashandi (1994)
mendapatkan bahwa, penyimpanan benih kentang
pada ruang yang terang menghasilkan umbi
bertunas lebih banyak dengan kualitas tunas yang
lebih baik
Penyimpanan benih rimpang jahe melalui
perendaman benih sebelum simpan selama 4 jam
dengan paclobutrazol 500 ppm, belum dapat
menekan pertunasan benih jahe selama di
penyimpanan (Melati et al. 2005), tetapi
perendaman benih dengan paclobutrazol 1000 ppm
dapat menekan pertunasan (Melati dan Rusmin
2018). Penyimpanan benih rimpang jahe dengan
perlakuan pelapisan (coating) dengan pestisida
sintetis dan pestisida nabati belum dapat menekan
penyusutan bobot benih rimpang jahe (Sukarman
dan Seswita 2012).
Penyimpanan benih dalam bentuk rimpang
tentu akan berbeda penanganannya dengan benih
sejati “true seed”. Penyimpanan benih rimpang
lebih sulit dalam pelaksanaannya karena sifat benih
yang mudah bertunas selama di penyimpanan,
bobot benih rimpang yang cepat menyusut akibat
penguapan yang berlebihan dan ukuran benih yang
voluminous sehingga membutuhkan ruang dan
gudang penyimpanan yang cukup besar.
Daya simpan benih rimpang selain
dipengaruhi oleh faktor benih itu sendiri (vigor
dan kadar air awal) juga sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan atau kondisi ruang simpan (RH,
suhu dan intensitas cahaya). Secara umum
menunjukkan bahwa benih rimpang yang disimpan
pada ruangan ber AC dengan suhu < 250C mampu
menekan kemunduran benih dibandingkan benih
rimpang yang disimpan pada gudang penyimpanan
dengan suhu ruang.
73 Mutu Benih Rimpang Jahe Selama Penyimpanan dan Yang Mempengaruhinya
(Melati dan Devi Rusmin)
Pengaruh Suhu terhadap Mutu Benih
Rimpang Selama Penyimpanan
Secara umum pengaruh suhu terhadap
lama hidup benih menunjukkan bahwa dengan
meningkatnya suhu akan menurunkan daya hidup
benih, hal ini juga berlaku untuk benih rimpang
dan benih umbi. Suhu adalah faktor yang paling
penting dalam mempertahankan fisiologi dan
bioaktifitas selama penyimpanan rimpang. Suhu
yang tinggi menyebabkan tingginya aktifitas
respirasi. Policegoudra dan Aradhya (2007)
melaporkan bahwa kenaikan suhu sampai 26 ºC
pada rimpang temu mangga (zingiberaceae) dapat
menurunkan kadar air dengan cepat sehingga
penurunan bobot rimpang terjadi dengan cepat
sehingga umur simpan yang lebih pendek (< 3
bulan). Penyimpanan suhu rendah (14-15ºC), dapat
mengurangi penurunan kadar air yang berlebihan,
menunda pertunasan, dan memperpanjang masa
simpan 4-5 bulan.
Hasil penelitian Sukarman dan Seswita
(2012), penyimpanan benih rimpang jahe dengan
suhu rata-rata harian 19 - 20 ºC di Kebun
Percobaan Gunung Putri (±1400 dpl) dapat
mempertahankan daya simpan sampai 6 bulan,
dengan kondisi yang tidak berbeda nyata dengan
awal simpan. Sedangkan penyimpanan dengan
suhu rata-rata harian 28 ºC di Kebun Percobaan
Cimanggu, Bogor (±250 dpl) nyata menurunkan
bobot rimpang dan meningkatkan jumlah tunas per
rimpang serta meningkatkan panjang tunas selama
di penyimpanan. Abdillah dkk (2015)
menyampaikan bahwa jahe yang disimpan pada
suhu 22-270 C menunjukkan terjadinya penurunan
bobot dan kadar air seiring dengan lamanya waktu
simpan. Daya tumbuh benih rimpang jahe setelah 3
bulan simpan mencapai 61-91 % dan menurun
drastis pada bulan ke 4.
Kondisi ruang penyimpanan yang ideal
adalah suhu 150 C dan kelembaban relatif 75-80%
(Sukarman 2013). Rusmin dkk (2015)
menambahkan bahwa penyimpanan jahe putih
besar pada suhu 20-22 0 C sudah mampu menahan
penyusutan bobot pada 2, 3, dan 4 bulan setelah
simpan. Penyimpanan pada suhu 26-280C, tidak
mampu menekan penyusutan bobot yang mencapai
17 % pada bulan ke 4. Hal ini menunjukkan bahwa
penyimpanan benih rimpang selama empat bulan
tanpa memerlukan perlakuan khusus membutuhkan
suhu lebih rendah (20-220C) untuk menekan
penyusutan bobot. Hal tersebut dapat dicapai jika
benih rimpang cukup umur (± 9 bulan), sehat,
disusun di atas rak-rak, ditaburi abu dapur.
Pengaruh Kelembaban Ruang Simpan
terhadap Mutu Benih Rimpang Selama
Penyimpanan
Kelembaban nisbi (RH) mempunyai
pengaruh yang nyata terhadap kadar air benih,
jadi sangat penting untuk mengetahui hubungan
antara RH dan kadar air benih. Penyimpanan
benih rimpang atau umbi memerlukan kelembaban
ruang simpan yang cukup tinggi, untuk mencegah
penguapan atau kehilangan air yang cukup tinggi
pada rimpang atau umbi. Sampai saat ini belum
banyak informansi tentang hubungan kelembaban
ruang simpan dengan mutu benih rimpang jahe
selama di penyimpanan. Sukarman dan Seswita
(2012) melaporkan bahwa penyimpanan benih
rimpang jahe di KP. Gunung Putri dengan
ketinggian 1.400 dpl (dataran tinggi) dengan
kelembaban rata-rata ± 91 %, dapat
mempertahankan daya simpan sampai 6 bulan
dengan menekan penurunan bobot rimpang, jumlah
rimpang bertunas, dan panjang tunas selama di
penyimpanan. Cara ini dapat mempertahankan
daya tumbuh benih > 90% dengan susut bobot
19,88%, hingga penyimpanan selama 6 bulan, dan
secara ekonomi layak diusahakan (Ermiati dan
Sukarman 2011).
Penyimpanan benih jahe di Bogor pada RH
65-75% dapat mempertahan viabilitas benih
rimpang jahe sampai 4 bulan simpan dengan daya
tumbuh mencapai 90% (Rusmin dkk 2015).
Abdillah dkk (2015) menyampaikan bahwa jahe
yang disimpan pada ruangan dengan kelembaban
70-80% menunjukkan bahwa benih rimpang jahe
hanya bisa disimpan sampai 3 bulan, pada bulan ke
4 daya tumbuh rendah dan jahe banyak yang
terserang hama bahkan membusuk.
74 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Pengaruh Kadar Air Awal Simpan terhadap
Mutu Benih Rimpang Selama Penyimpanan
Secara umum hubungan antara kadar air
dan lama hidup benih yang dinyatakan oleh
Harrington (1972) dalam McCormack (2004),
bahwa setiap kenaikan kadar air sebesar 1%,
maka lama hidup benih akan menurun
setengahnya (untuk kadar air antara 5–14).
Kaidah tersebut hanya berlaku untuk benih
ortodok, tapi tidak bisa diterapkan untuk benih
rimpang atau umbi. Benih rimpang lebih mirip
penanganannya dengan benih rekalsitran, yaitu
tidak dapat dikeringkan sampai kadar air yang
rendah dan tidak dapat disimpan lama.
Penyimpanan benih harus dilakukan dengan
teknik yang tepat, sehingga dapat
mempertahankan kadar air air tetap tinggi, tapi
tidak bertunas selama penyimpanan. Penurunan
kadar air yang terlalu tinggi dan cepat
menyebabkan penyusutan bobot rimpang yang juga
tinggi dan mutu fisik rimpang menjadi rendah.
Mutu fisik rimpang menunjukkan baik tidaknya
rimpang tersebut dengan melihat secara langsung
kondisi rimpang. Mutu fisik rimpang yang
menurun ciri-cirinya kulit rimpang busuk atau
keriput, terserang penyakit atau hama, dan rimpang
berkecambah. Rimpang dengan kadar air awal
yang tinggi mempunyai penyusutan bobot yang
tinggi karena kadar air rimpang sangat
mempengaruhi proses respirasi benih rimpang
sehingga rimpang bertunas.
Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Mutu
benih Rimpang Selama Penyimpanan
Penyimpanan benih rimpang, benih umbi
dan benih kelompok rekalsitran juga dipengaruhi
oleh faktor cahaya, karena akan mempengaruhi
pertumbuhan tunas, penurunan bobot
rimpang/umbi dan perkecambahan benih
rekalsitran selama di penyimpanan.
Sampai saat ini belum banyak informasi
tentang pengaruh intensitas cahaya terhadap
pertunasan rimpang jahe selama di penyimpanan.
Di India, penyimpanan benih rimpang jahe secara
tradisional dilakukan dengan menyimpan di
lubang/ruang yang ternaungi dan dilapisi dengan
serbuk gergaji atau mulsa (Sasikumar et al. 2008).
Penyimpanan benih rimpang secara tradisional di
Indonesia, dengan menyimpan benih rimpang di
bawah kolong (cahaya tidak langsung) dan dilapisi
dengan abu dapur.
Pada benih umbi kentang penyimpanan di
gudang terang (Diffuse Light Storage/ DLS)
mempertahankan daya simpan hingga lima atau
enam bulan tanpa mempengaruhi kualitas benih
umbi dibanding dengan penyimpanan tradisional
dengan gudang gelap (Demo et al., 2004).
Penyimpanan benih umbi kentang pada kondisi
gelap mempunyai tunas yang panjang, serta umbi
pada kondisi gelap mendapat serangan hama
gudang. Tidak ditemukan adanya umbi yang
membusuk selama 4 bulan penyimpanan pada
ruangan yang diberi cahaya menyebar (612.2 -
1000 kW). Tunas yang terbentuk lebih kuat dan
penurunan bobot umbi lebih rendah (Gachango et
al. 2008). Penyimpanan di DLS telah terbukti
dalam menunda kemunduran fisiologis dari benih
umbi kentang, mengurangi dominasi apikal,
mengakibatkan peningkatan jumlah batang per
umbi, tunas pendek dan kuat
Pengaruh Kemasan terhadap Mutu Benih
Rimpang Selama Penyimpanan
Benih ortodok maupun benih rekalsitran
dapat dikemas dalam kantong plastik, alumunium foil, karung goni, atau kotak kayu, tergantung
jenis benih. Bahan kemasan tersebut dapat
dipergunakan sebelum benih dikirim. Untuk jahe
yang sifatnya lenih menyerupai benih rekalsitran
pengiriman dapat dilakukan dengan menggunakan
peti yang tidak rapat atau karung goni. Selama
pengiriman, benih rimpang jahe diusahakan tidak
terkena hujan dan kondisinya tetap kering
(Hasanah et al 2004)
Pada umumnya benih rimpang disimpan
dengan cara dihampar di ruang penyimpanan.
Adakalanya dikemas dengan menggunakan karung
75 Mutu Benih Rimpang Jahe Selama Penyimpanan dan Yang Mempengaruhinya
(Melati dan Devi Rusmin)
plastik , karung goni serta kotak kayu dan
kemudian ditumpuk. Menurut BSN (2006)
penyimpanan benih rimpang jahe menggunakan
kotak kayu dengan ukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm
dengan isi (15-20 kg). Kemasan benih rimpang
tidak dianjurkan lebih dari 25 kg, kawatir benih
menjadi rusak karena patah. Sukarman dan Melati
(2011) menyampaikan bahwa untuk benih
komersial dapat dilakukan dengan cara :
menyimpan pada rak rak bambu atau kayu, peti
kayu, keranjang bambu, karung bawang, atau
dihampar diatas lantai dengan tinggi tumpukan
tidak melebihi 50 cm.
Mudjisihono et al., (2001), mengungkap-kan
bahwa jenis kemasan plastik efektif untuk
menghambat perubahan kadar air selama
penyimpanan. Plastik hermetik adalah kantong
plastik yang dibuat dari bahan khusus untuk
menciptakan lingkungan yang kedap dari pengaruh
air dan udara luar. Plastik hermetik digunakan
karena dapat meminimalkan pengaruh lingkungan
luar, sehingga kondisi awal bibit tetap terjaga
sampai akhir penyimpanan. Plastik tersebut banyak
digunakan untuk menyimpan dan mengawetkan
hasil panen biji-bijian di wilayah tropis yang panas
dan lembab. Penyimpanan benih rimpang jahe
emprit dengan kemasan plastik hermetik
menunjukkan bahwa daya tumbuh benih rimpang
pada 4 bulan setelah simpan masih diatas 90%,
tetapi penyimpanan dengan kemasan karung goni
mempunyai daya tumbuh 2.76 % dan tidak ada
benih rimpang jahe yang tumbuh pada
penyimpanan di rak terbuka (Abdillah dkk 2015).
Pengaruh Irradiasi terhadap Mutu Benih
Rimpang Selama Penyimpanan
Pemanfaatan teknologi irradiasi banyak
digunakan dalam sterilisasi produk. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa teknik irradiasi
dapat menekan pertumbuhan mikroba pada sampel
yang diiuji. Irradiasi dengan menggunakan sinar
gamma juga telah dilakukan pada rimpang jahe.
Beberapa penelitian menunjukkan bahawa irradiasi
pada benih rimpang jahe sebelum disimpan dapat
menghambat pertunasan, benih dapat diiradiasi
sinar gamma dosis 0,5-0,6 kGy (Misra et al. 2004).
Iradiasi sinar gamma dengan dosis 1, 2, 4 dan 6
kGy pada rimpang Nelumbo nucifera
menunjukkan bahwa terjadinya dekontaminasi
pada rimpang. Semakin tinggi dosis iradiasi
semakin sedikit ditemukan keberadaan mikroba
(Khattack et al. 2009). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa teknik iradiasi dapat meningkatkan mutu
kesehatan benih. Pengaruh iradiasi pada benih
rimpang jahe terhadap keberadaan mikroba
(kesehatan benih) belum pernah diteliti, walaupun
pada benih rimpang komoditas lain memberikan
hasil yang positif. Iradiasi benih rimpang jahe
dengan sinar α dengan dosis 5, 10, 15, 20, 25 kRad
menunjukkan bahwa setelah disimpan selama 2
bulan, kadar air rimpang masih tinggi yaitu >
76,66%, sehingga rimpang tetap segar dan tidak
keriput (Sukarman dkk 2005). Penyusutan bobot
rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan iradiasi
25 kRad (27,11%). Setelah 2 bulan penyimpanan,
perlakuan iradiasi 10 dan 15 kRad, persentase
benih yang bertunas menurun, sedangkan pada
iradiasi 20 dan 25 kRad, sampai penyimpanan 2
bulan rimpang belum bertunas. Perlakuan iradiasi
dengan sinar gamma pada benih rimpang jahe
merupakan salah satu alternatif yang dapat
dipertimbangkan, karena teknik tersebut dapat
mempertahankan mutu benih rimpang selama
penyimpanan.
KESIMPULAN
Benih jahe mempunyai karakteristik mudah
bertunas, mudah kehilangan air sehingga bobot
rimpang menurun dengan cepat, rimpang menjadi
keriput, serta rimpang mudah terserang hama dan
penyakit selama di penyimpanan.
Kondisi lingkungan penyimpanan pada suhu
14-220C, kelembaban ± 91 % dapat
mempertahankan mutu benih rimpang.
Pengaturan intensitas cahaya ruang simpan
serta perlakuan iradiasi sebelum benih rimpang
disimpan merupakan teknologi alternatif yang
perlu diteliti lebih lanjut untuk mempertahankan
mutu benih rimpang selama penyimpanan.
76 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Penyimpanan benih rimpang jahe dengan
teknologi yang tepat dan biaya yang murah
diperlukan untuk menjaga ketersediaan benih di
luar musim sehingga dapat memenuhi permintaan
konsumen pada waktu diperlukan dengan harga
terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah RH, Rohlan R, dan Setyastuti P 2015.
Pengaruh bobot rimpang dan tempat
penyimpanan terhadap mutu bibit rimpang
jahe (Zingiber officinale Rosc.). Vegetalika
4(4) : 57-67.
Anonymous. 2011. Produksi benih sumber
tanaman obat dan Aromatik. Laporan Teknis
Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. Balittro Bogor.
Asgar, A. dan A. Ashandi. 1994. Penyimpanan
umbi bibit kentang di dataran medium
dengan tipe gudang terang. Bul. Penel. Hort.
Vol. XXVI (2): 151-159.
Beers, S-J. 2001. Jamu : The Ancient Indonesia Art
of Herbal Healing. Periplus Editions (HK)
Ltd. Singapore. 192p
Benge, S. 2000. Asian Secrets of Health, Beauty
and Relaxation. Periplus Editions.
Singapore. 105p
BSN, 2006. Benih jahe (Zingiber officinale L.)
kelas benih pokok (BP) dan kelas benih
sebar (BR). Badan Standarisasi Nasional. 25
hlm.
Copeland LO and McDonald MB. 1995. Seed
Science and Technology. Whasington:
Chapman & Hall. Thomson Publishing. 408
p.
Demo P, Akoroda MO, El-Bedewy R, Asiedu R .
2004. Monitoring storage losses of seed
potato (Solanum tuberosum L.) tubers of
different sizes under diffuse light conditions.
Proceedings, 6th triennial congress of the
African Potato Association (APA). 5-10
April 2004. Agadir, Morocco, pp: 363-370.
Ermiati and Sukarman. 2011. Cost analysis of
storage ginger seed rhizomes at different
altitudes. Proceeding of the 2nd International
Symposium on Temulawak and the 40th
Meeting of National Working Group on
Indonesia Medical Plant Biopharmaca
Research Center. Institute of Research and
Community Services, Bogor Agricultural
University. Bogor. 353-356.
Gachango E, Solomon I.S, Jackson N. K, George
N.C and Paul D. 2008. Effects of light
intensity on quality of potato seed tubers.
African Journal of Agricultural Research
Vol. 3 (10). 732-739.
Hasanah, M., Sukarman, Supriadi, N.M. Januwati,
dan R. Balfas. 2004a. Keragaan perbenihan
jahe di Jawa Barat. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri 10 (3):
118−125.
Hasanah, M. dan D. Rusmin. 2006. Teknologi
pengelolaan benih beberapa tanaman obat di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(2):
68–71. Hasanah, M. dan D. Rusmin. 2006.
Teknologi pengelolaan benih beberapa
tanaman obat di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian 25(2): 68–71.
Khattak K.F, Simpson T.J, Ihasnullah 2009. Effect
of gamma irradiation on the microbial load,
nutrient composition and free radical
scavenging activity of Nelumbo nucifera
rhizome. Radiation Physics and Chemistry.
Vol 78 )3): 206-212.
McCormack, J.H. Seed Processing and Storage.
2004. Jeff McCormack Garden Medicinals
and Culinaries. 28 p
Melati, Sukarman, D. Rusmin dan M. Hasanah.
2005. Pengaruh asal benih dan cara
penyimpanan terhadap mutu rimpang jahe.
Gakuryoku XI (2):186-189
Miftakhurohmah dan R. Noveriza. 2009. Deteksi
cendawan kontaminan pada sisa benih jahe
merah dan jahe putih kecil. Bul. Littro. Vol.
20 (2): 167–172.
77 Mutu Benih Rimpang Jahe Selama Penyimpanan dan Yang Mempengaruhinya
(Melati dan Devi Rusmin)
Misra, B.B., S. Gautama, and A. Sharma. 2004.
Shelf-life extension of fresh ginger (Zingiber
officinale) by gamma irradiation. J.Food Sci.
69: 274-279.
Mudjisihono R., D Hindiarto., Z, dan Noor. 2001.
Pengaruh kemasan plastik terhadap mutu
sawut kering selama penyimpanan. Jurnal
Penelitian Pertanian, 20 (1): 55-65
Nunes, M.C.N., Emond, J.P., 2003. Storage
temperature. In: Bartz, J.A., Brecht, J.K.
(Eds.), Postharvest Physiology and
Pathology of Vegetables, 2nd ed. Marcel
Dekker Inc., New York, Basel, pp. 209–228.
Policegoudra R.S dan S.M Aradhya. 2007.
Biochemical changes and antioxidant
activity of mango ginger (Curcuma amada
Roxb.) rhizomes during postharvest storage
at different temperatures. Postharvest
Biology and Technology 46 (2007) 189–194
Rusmin D, Mr Suhartanto, S Ilyas, D Manohara
dan E Widajati, 2015. Mutu Fisiologis
Rimpang Benih Jahe Putih Besar Selama
Penyimpanan Dengan Pelapisan Lilin Dan
Aplikasi Paclobutrazol. Bul. Littro, Vol 26
(1).: (35-46)
Sadjad, S. 1980. Panduan pembinaan mutu benih
tanaman kehutanan di Indonesia. IPB-
Bogor. 301 hal.
Sasikumar, B, Thankamani, C. K, Srinivasan, V,
Devasahayam, S, Santhosh J Eapen, Kumar,
A and John Zacharaiah, T. 2008. Ginger.
V. A. Parthasarathy, Director, Indian
Institute of Spices Research. Printed at
Niseema Printers & Publishers, Kochi . 14 p
Sukarman, D. Rusmin, dan Melati. 2004. Pengaruh
asal sumber benih dan cara penyimpanan
terhadap viabilitas benih jahe (Zingiber
rosiding
Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman
Sukarman, M. Hasanah, D. Rusmin, dan Melati.
2005. Viabilitas dua klon jahe besar
(Zingiber officinale Rosc.) pada cara
penyimpanan yang berbeda. J. Ilmiah
Pertanian Gakuryoku XI: 181-185.
Sukarman, D. Rusmin dan Melati. 2007.
Viabilitas benih jahe (Zingiber officinale
rosc.) pada cara budidaya dan lama
penyimpanan yang berbeda. Bul. Littro.
Vol. XVIII (1): 1 – 12
Sukarman. 2008. Penyediaan benih nilam sehat.
hlm. 221–232. Prosiding Seminar Nasional
Pengendalian Terpadu Organisme
Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik,
Bogor, 4 November 2008.
Sukarman, D. Rusmin dan Melati. 2008.
Pengaruh lokasi produksi dan lama
penyimpanan terhadap mutu jahe (Zingiber
officinale L.). Jurnal Littri 14 (3): 119-124
Sukarman dan Melati. 2011. Prosesing dan
penyimpanan benih jahe (Zingiber officinale
Rosc.). Bunga rampai JAHE (Zingiber
officinale Rosc).Status Teknologi Hasil
Penelitian Jahe. 31-35.
Sukarman dan D. Seswita. 2012. Pengaruh lokasi
penyimpanan dan pelapisan (coating) benih
dengan pestisida nabati terhadap mutu benih
rimpang jahe. Bul. Littro. Vol. 23 (1): 1 –
10
Sterrett, SB. VA. 2009. Potato seed selection and
management. Virginia Cooperative
Extension. www.ext.vt.edu. Virginia State
University. 2p.
Voss, RE., Davis, KG. Baghott and M-Siskiyu.
2011. Proper environment for potato
storage. Vegetable Research and
Information Center. The University
California. 3p.
.
78 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
INTRODUKSI INOVASI TEKNOLOGI PERBENIHAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN JENGKOL DI SUMATERA UTARA
Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jend. A.H. Nasution No 1B Medan
79 Introduksi Inovasi Teknologi Perbenihan Mendukung Pengembangan Jengkol Di Sumatera
Utara (Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung)
ABSTRACT
Jengkol or jering (Archidendron pauciflorum, synonym: A. jiringa, Pithecellobium jiringa, and P. lobatum)
is a commodity that is quite in demand today. Along with the increasing popularity of the jengkol
commodity, it has stimulated increased demand while jengkol production is still relatively limited. At the
farm level, so far there is no jengkol cultivation specifically for development, farmers are only limited to
taking the production of jengkol from the jengkol plant that grows naturally. Efforts are needed to increase
jengkol production with the introduction of adaptive seed technology. This paper aims to introduce seed
technology innovation to support the development of jengkol in North Sumatra. The introduction of jengkol
seedlings has been initiated by conducting exploration of the jengkol mother tree in jengkol production
centers in North Sumatra in 2017-2018. There are 5 jengkol production centers in North Sumatra, namely
Pakpak Barat, North Tapanuli, Simalungun, South Tapanuli and North Palsa Regencies. The results of the
exploration carried out obtained 2 types of jengkol which are commonly cultivated in this province, namely
Jengkol Papan and Jengkol Padi. To support the development of jengkol seedlings, assistance is provided
by plant seed supervisors in North Sumatra Province.
Keywords: Jengkol board, rice jengkol, seeds, introduction
ABSTRAK
Jengkol atau jering (Archidendron pauciflorum, sinonim: A. jiringa, Pithecellobium jiringa, dan P.
Lobatum) merupakan salah satu komoditas yang cukup banyak diminati saat ini. Seiring dengan semakin
populernya komoditas jengkol tersebut, telah mendorong permintaan yang meningkat sementara itu
produksi jengkol relatif masih terbatas. Pada tingkat petani selama ini tidak ada budidaya jengkol yang
khusus pengembangannya, petani hanya sebatas mengambil hasil produksi jengkol dari tanaman jengkol
yang tumbuh alamiah. Perlu upaya untuk meningkatkan produksi jengkol dengan introduksi teknologi
perbenihan yang adaptif. Makalah ini bertujuan melakukan introduksi inovasi teknologi perbenihan untuk
mendukung pengembangan jengkol di Sumatera Utara. Langkah introduksi perbenihan jengkol telah
diawali dengan melakukan kegiatan eksplorasi Pohon Induk jengkol disentra-sentra produksi jengkol di
Sumatera Utara pada tahun 2017-2018. Terdapat 5 kabupaten sentra produksi jengkol di Sumatera Utara
yaitu Kabupaten Pakpak Barat, Tapanuli Utara, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Palsa Utara. Hasil
eksplorasi yang dilakukan diperoleh 2 jenis jengkol yang umum di budidayakan di Provinsi ini yaitu
Jengkol Papan dan Jengkol Padi. Untuk mendukung pengembangan perbenihan jengkol dilakukan
pendampingan oleh petugas pengawas benih tanaman Provinsi Sumatera Utara.
Kata Kunci : Jengkol papan, jengkol padi, benih, introduksi
PENDAHULUAN
Indonesia Sebagai salah satu daerah
penyebaran jengkol, memiliki keragaman jengkol
yang cukup banyak. Namun, kondisi sekarang ini
keragaman dan keberadaan tanaman jengkol cukup
memprihatinkan. Upaya awal yang dapat dilakukan
adalah eksplorasi. Menurut Chahal dan Gosal
(2003), eksplorasi adalah kegiatan mengumpulkan
materi (tanaman) dengan cara tertentu dan juga
informasi yang terkait dengan tanaman tersebut.
Tujuan akhir dari eksplorasi adalah diperolehnya
koleksi plasma nutfah yang bisa dimanfaatkan
sebagai sumber gen baru.
Tanaman Jengkol awalnya kurang
mendapakan minat khususnya dalam hal ekonomi
karena budidaya jengkol di anggap kurang
menghasilkan, tapi seiring dengan berjalannya
80 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
waktu dan semakin banyaknya pencinta jengkol,
belakangan jengkol justru berubah menjadi sebuah
bahan baku yang memiliki nilai ekonomis yang
tinggi di masyarakat.
Buah Tanaman jengkol (Archidendron/
Pauciflorum) banyak dimanfaatkan masyarakat
untuk berbagai jenis menu memenuhi keperluan
sehari-hari, akan tetapi pemanfaatan yang
berlebihan tanpa adanya upaya pembudidayaannya
dapat mengakibatkan terjadi kelangkaan tanaman
jengkol tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya
untuk menjaga keberadaan populasi jengkol
dengan cara perbanyakan tanaman jengkol
(Manurung, dkk, 2016).
Jengkol terdiri dari berbagai vitamin, asam
jengkolat, mineral, dan serat yang tinggi. Jengkol
memiliki khasiat diuretic yang dapat membantu
melancarkan pembuangan urine, dan hal ini sangat
menguntungkan bagi penderita penyakit jantung
koroner. Seratnya dapat melancarkan buang air
besar. Manfaat lainnya adalah mencegah penyakit
diabetes/kencing manis dikarenakan kandungan
asam dan mineralnya.
Tanaman tropis ini memiliki buah yang
sebenarnya adalah biji atau polong dari buah yang
sebenarnya. Tiap polong terdapat kurang lebih 5-7
buah. Pohon jengkol sendiri mampu tumbuh
hingga mencapai 10-27 meter. Selain itu, pohon
jengkol juga memiliki akar yang dalam sehingga
mampu menyerap air tanah. Hal tersebut
bermanfaat positif bagi konservasi air dan tanah.
Tanaman jengkol merupakan tanaman
tahunan yang selama ini tidak dibudidayakan
secara optimal. Tanaman ini umumnya tumbuh di
hutan-hutan dan di kebun milik masyarakat namun
tidak terawat. Beberapa waktu belakangan ini
jumlah tanaman jengkol semakin berkurang akibat
subsitusi hutan-hutan dan kebun menjadi
perkebunan. Kondisi iklim yang tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman
jengkol berperan dalam menekan jumlah tanaman
ini. Selain itu, tanaman ini belum menjadi prioritas
dalam kebijakan pemerintah untuk dikembangkan.
Faktor-faktor di atas menyebabkan tidak hanya dari
segi kuantitas tanaman berkurang, namun juga
menyebabkan terjadinya erosigenetik (genetic
drift).
Jengkol (Pithecellobium jiringa (Jack.)
Prain) leguminosa tanaman asli daerah Asia
tenggara khasiatnya selain sebagai bahan
pangan,dapat dijadikan sebagai tanaman obat,
pupuk kompos, dan pestisida nabati.
Cangkang, biji dan kulit batang jengkol
memiliki kandungan zat anti diabetes.
Pengetahuan jenis-jenis jengkol masih sangat
terbatas, belum ada informasi yang jelas antara
varietas-varietas jengkol dan minimnya
database mengenai jengkol menjadi salah satu
kelemahan untuk mengembangkan komoditas
ini. Ini terbukti dari hasil wawancara tahun
2013 di dua pasar induk di Bandung yaitu
pasar Gedebage dan pasar Ciroyomdimana
para pedagang jengkol juga belum mengetahui
adanya variasi antara jengkol-jengkol yang
dipasok kepasar (Maxiselly dan Ustari, 2014).
Tanaman jengkol merupakan tanaman
tahunan yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dan
di kebun milik masyarakat namun tidak terawat.
Beberapa waktu belakangan ini jumlah tanaman
jengkol semakin berkurang akibat peralihan fungsi
hutan dan kebun menjadi perkebunan dan tanaman
ini belum menjadi prioritas dalam kebijakan
pemerintah untuk dikembangkan (Fauza, dkk
2015).
Primadona (2012) menyatakan bahwa
jengkol kaya akan karbohidrat, protein, vitamin A,
vitamin B, fosfor, kalsium, alkaloid, minyak atsiri,
steroid, glikosida, tanin dan saponin. Kandungan
vitamin C pada 100 gram biji jengkol adalah 80
mg. Biji, cangkang dan kulit batang jengkol
memiliki kandungan zat anti diabetes karena
beraktifitas secara hipoglikemia.Penelitian
terhadap ekstrak biji dan kulit batang jengkol
berdampak positif dalam menurunkan kadar
glukosa dalam darah sehingga mengurangi resiko
terkena Diabetes Melitus (Abdul Rozak et al.,
2010)
81 Introduksi Inovasi Teknologi Perbenihan Mendukung Pengembangan Jengkol Di Sumatera
Utara (Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung)
Benih jengkol yang sehat dicirikan dengan
berkembangnya struktur penting tanaman seperti
akar, batang dan daun. Benih tumbuh vigor dengan
perkembangan yang seimbang antara akar, batang
dan daun. Akar tumbuh menyamping dan
menghujam ke bawah, diameter batang membesar
dengan cepat, daun tampak hijau gelap segar yang
berkembang dari percabangan tanaman dalam
jumlah banyak. Untuk itu ketersediaan benih sehat
bermutu dalam jumlah banyak merupakan
keharusan bagi pengembangan jengkol berskala
kebun dalam rangka pemenuhan kebutuhan pasar
yang tinggi.
KONDISI DAN POTENSI JENGKOL DI
SUMATERA UTARA
Perkembangan luas panen jengkol di
Indonesia pada tahun 2009-2014 mengalami
penurunan dari 7.631 ha dengan rata-rata hasil 8,19
ton/ha menjadi 6.678 ha dengan rata-rata hasil 8,04
ton/ha (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2015). Di
Provinsi Sumatera Utara terdapat 5 kabupaten
yang sentra produksi jengkol yaitu Kabupaten
Pakpak Barat, Tapanuli Utara, Simalungun,
Tapanuli Selatan dan Palsa Utara. Pada tingkat
petani belum ada budidaya khusus
pengembangannya, petani hanya sebatas
mengambil hasil produksi untuk kemudian diolah
dan dijual.
Dari data Dinas Pertanian Sumut tercatat
produksi pohon jengkol tahun 2013 sebanyak
12.336 ton, namun di tahun 2014 mengalami
penurunan (3.562 ton). Karena jengkol termasuk
salah satu komoditas yang cukup banyak diminati
dengan semakin berkurangnya produksi
mengakibatkan harga jual yang cukup tinggi
(Juskal,2015).
Tingginya permintaan masyarakat akan buah
jengkol sebagai bahan konsumsi pangan
mengakibatkan ketersediaanya di pasar sangat
terbatas. Harga jengkol naik drastis sampai Rp.
60.000 per kg, bahkan di beberapa tempat terjadi
kelangkaan. Hal ini membuktikan bahwa
komoditas ini mempunyai nilai tambah yang tinggi.
Keterbatasan ketersediaan biji jengkol disebabkan
karena belum adanya penanaman jengkol skala
kebun. Sangat dimungkinkan tidak tersedianya
benih unggul bermutu menjadi kendala dalam
budidaya jengkol.
KARAKTERISTIK JENGKOL
SUMATERA UTARA
Pada Tahun 2017-2018 BPTP Sumatera
Utara melakukan kegiatan eksplorasi Pohon Induk
jengkol disentra-sentra produksi jengkol di 4
Kabupaten yaitu : kabupaten Dairi, Kabupaten
Asahan, Kabupaten Deli Serdang, dan kabupaten
Langkat.. Pohon induk adalah tanaman pilihan
yang dipergunakan sebagai sumber buah calon
benih. Persyaratan pohon induk antara lain adalah
memiliki sifat unggul Produktivitas tinggi sesuai
tingkatan umur,kualitas (rasa dan bentuk buah
disenangi pasar)tahan terhadap serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Nama
pemilik,varietas pohon induk dan asal-usulnya
harus jelas, sehingga memudahkan pelacakannya.
Tanaman pohon induk telah berproduksi minimal
lima musim, untuk mengetahui sifat pohon induk
yang di inginkan, dilaksanakan melalui pencarian
pohon induk ke beberapa titik lokasi di kabupaten
potensi jengkol yang ada di Sumatera Utara.
Dari hasil eksplorasi yang dilakukan
diperoleh 2 jenis jengkol yang umum di
budidayakan di Sumatera Utara yaitu jengkol
papan dan jengkol padi. Perbedaan kedua jenis
jengkol ini ditunjukkan pada Tabel 1.
Dari beberapa lokasi yang di survey untuk
mendapatkan pohon induk, diperoleh bahwa salah
satu jenis jengkol yang berasal dari pohon induk
unggul di temukan di kabupaten Deliserdang,
Kecamatan Kutalimbaru ,di desa Suka Makmur
kampung Tanduk benua. Adapun ke unggulan
dimaksud adalah rasa buah yang pulen, sedikit
berbau, dapat berbuah di luar musim dan bebas
hama penyakit.
Berdasarkan Hasil Analisa Hubungan
kekerabatan antar jengkol lokal menggunakan
analisa DNA yang dilakukan di laboratorium Balai
Penelitian Buah Tropika solok menunjukkan
bahwa buah jengkol dari pohon induk yang berasal
82 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
dari Dusun I Desa Suka Makmur Kecamatan
Kutalimbaru Kabupaten Deliserdang memiliki rasa
tekstur pulen dan enak, yang sama dengan Jengkol
Detty Payakumbuh Padang Magung, tidak/ sedikit
menimbulkan bau bila dimakan, serta tidak sama (
berbeda ) dengan jengkol Muring yang sedang
dalam proses pendaftaran yang dijadikan sebagai
pembanding dalam proses analisa DNA.
Tabel 1. Perbedaan karakter jengkol varietas Padi dan varietas Papan di Sumatera Utara Tahun 2018
Bagian Karakter Jenis Varietas
Sipadi/Page
Si Papan
Cabang Sudut Cabang ( ˚ ) 30 – 45 30 – 45
Panjang Ruas ( m ) 1,5 – 2 1,5 – 2
Warna Permukaan Hijau berjamur putih Hijau berjamur putih
Daun Bentuk ujung Daun Meruncing Meruncing
Bentuk pangkal daun Membulat Membulat
Panjang helai daun cm) 10 – 18 9 – 15
Lebar helai daun (cm) 4 – 5 3 – 4,1
Tebal helai daun (mm) 0,5 0,5
Warna daun Hijau tua Hijau tua
Bunga Warna Tangkai Coklat muda Coklat muda
Warna mahkota Hijau muda Hijau muda
Tipe bunga Majemuk Majemuk
Panjang tangkai (cm) 15,5 15,5
Diameter tangkai bunga (cm) 0,1 0,1
Buah Warna kulit Ungu kehitaman Ungu kehitaman
Tebal kulit buah (cm) 0,3 0,25
Lebar kulit (cm) 2,9 – 4 3,2 – 4,5
Getah buah Sedikit Lebih banyak
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI
PERBENIHAN JENGKOL
Kegiatan perbanyakan benih jengkol yang
telah dilaksanakan di BPTP Sumatera Utara
melalui beberapa tahapan, yaitu:
Persiapan benih, pelaksanaannya dengan
menggunakan buah yang telah masak secara
fisiologis yaitu warna kulit berwarna coklat
kehitaman, biji jengkol mempunyai kulit kuning
kecoklatan sewaktu dikupas dari polongnya sudah
terasa keras. Biji dikumpulkan dan dikemas dalam
karung plastik, lalu biji dipisahkan dari kulitnya
dengan cara manual yaitu mengkupas kulit dengan
pisau.
Selanjutnya biji disortir untuk mendapatkan
calon benih yang bermutu. Penempatan benih
dalam media kecambah : benih yang telah disortir
Dilakukan Seed treatmen (seed
coaling)selanjutnya dikeringanginkan selama 2
jam, agar benih tidak terserang jamur. Kemudian
benih dikecambahkan dengan cara membenamkan
benih pada media kecambah dengan kedalaman 2 -
3 cm. Pengamatan dilakukan setiap hari dan
menghitung jumlah benih yang berkecambah
selanjutnya di pindahkan ke media tanam (Polibag
) setiap hari.
Pemeliharaan benih: pemeliharaan dilakukan
setiap hari dengan cara membersihkan gulma yang
tumbuh di dalam polybag serta menyiram tanaman
pada pagi hari.
83 Introduksi Inovasi Teknologi Perbenihan Mendukung Pengembangan Jengkol Di Sumatera
Utara (Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung)
Sumber benih menggunakan buah yang
telah masak secara fisiologis yaitu warna kulit
berwarna coklat kehitaman. Biji dikumpulkan dan
dikemas dalam karung plastik, lalu biji dipisahkan
dari kulitnya dengan cara manual yaitu mengkupas
kulit dengan pisau, selanjutnya biji diseleksi untuk
mendapatkan calon benih yang sehat.Benih yang
telah diseleksi dilakukan Seed treatmen (seed
coaling) selanjutnya dikering anginkan selama 2
jam, agar benih tidak terserang jamur.
Kemudian benih dikecambahkan dengan
cara membenamkan benih pada media kecambah
dengan kedalaman 2 - 3 cm. Pengamatan dilakukan
setiap hari tentang kebutuhan dan hama penyakit
yg mungkin menyerang. dan melakukan perawatan
benih yang berkecambah selanjutnya pemeliharaan
dilakukan setiap hari dengan cara membersihkan
gulma yang tumbuh di dalam polybag serta
menyiram tanaman pada pagi hari.
Pada perbanyakan benih jengkol dari biji,
proses pengecambahan dilaksanakan dalam media
persemaian/perkecambahanyang terbuat dari Pasir
halus dan disungkup dengan Goni basa.
Penggunaan media pasir halus untuk memudahkan
akar tanaman tumbuh dan mengurangi
kelembaban. Benih yang telah berkecambah segera
dipindahkan ke media tanam (Polibag) yang telah
di siapkan dua minggu terlebih dahulu. Polybag di
isi dengan tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1. Tanah yang digunakan
merupakan tanah lapisan atas (top soil) dan pupuk
kandang yang digunakan adalah pupuk kandang
yang sudah masak. Tanah dan pupuk kandang
diaduk rata dengan perbandingan 1:1, kemudian
tanah diisi ke polybag dan disusun di lokasi
pembenihan yang dinaungi dengan paranet/waring
bagan.
Pemilihan biji untuk menjadi benih jengkol
didasarkan pada seleksi keunggulan sifat utama
jengkol seperti panjang polong, diameter, bobot
biji serta kualitas yang baik. Biji yang terseleksi
dikupas kemudian dicuci dengan air mengalir dan
direndam dalam larutan fungisida dengan dosisi 2-
3 g/liter selama 5-10 menit.
Penyiraman dilakukan secara berkala untuk
menjaga kelembaban media tetap terjaga terutama
bila tidak hujan. Kemudian dilakukan pembersihan
gulma secara manual dengan cara mencabut.
Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan
cara penyemprotan dengan menggunakan pestisida
dan fungisida sesuai kebutuhan dengan dosis dan
kebutuhan.
Pendampingan kegiatan perbenihan jengkol
dilakukan oleh Petugas Pengawas Benih Tanaman
BPSB Provinsi Sumatera Utara dan pada tahun
2017 telah disalurkan sebanyak 10.000 batang bibit
jengkol yang tersebar di 10 kabupaten/kota di
sumatera utara yaitu kabupaten Langkat 1140
batang, Medan 570 batang, Deli serdang 7.525
batang, Dairi 20 batang, Tobasa 100 batang, Tapsel
20 batang, Taput 20 batang, Asahan 55 batang,
Simalungun 510 batang, Karo 40 batang batang.
Sehingga dapat mempercepat penyebarluasan bibit
jengkol untuk memenuhi sebagian kebutuhan bibit
jengkol di Sumatera Utara dan juga dapat
mendukung pembibitan jengkol secara nasional.
Tabel 2. Data Pengamatan Pertumbuhan Benih Jengkol Varietas Padi di BPTP Sumatera Utara Tahun 2017-2018
No Umur
Tanaman
Rata-rata
Tinggi Tanaman (Cm)
Rata-rata
Diameter Batang( Cm )
Rata-rata JumlahDaun
(Helai)
1. 2 Bulan 12,2 0,58 6,8
2. 3 bulan 20,4 1,19 17,6
3. 4 bulan 30,2 1,82 27,6
84 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 78 - 84
Tabel 3. Data Pengamatan Pertumbuhan Benih Jengkol Varietas Papan di BPTP Sumatera Utara Tahun 2017-2018
No Umur
Tanaman
Rata-rata
Tinggi Tanaman (Cm)
Rata-rata
Diameter Batang( Cm )
Rata-rata
JumlahDaun (Helai)
1. 2 Bulan 14,6 0,65 6
2. 3 bulan 21,3 1,36 19,9
3. 4 bulan 36,1 2,21 32,8
KESIMPULAN
Teknologi perbenihan Jengkol yang
diterapkan pada 2 jenis jengkol yang umum di
budidayakan di Sumatera Utara yaitu jengkol
Papan dan jengkol Padi dapat mempercepat
penyebarluasan benih jengkol untuk pemenuhan
sebagian kebutuhan benih di Sumatera Utara.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh Tim kegiatan Dukungan Perbenihan
Komoditas Jengkol di Sumatera Utara tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013. Laporan Tahunan Dinas Pertanian
Sumatera Utara.
Ardy, P.F. 2015. Karakteristik Morfologi Tanaman
Jengkol (Pithecellobium jiringa) Pada Kebun
Induk Di Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang. [Skripsi]. Padang. Fakultas
Pertanian. Universitas Andalas. 53 hal.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2016.
Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Fisiologi
Tumbuhan. Jakarta: Gramedia. 232 hal.
Eka, A. 2007. Jengkol Panganan Unik Indonesia.
http://imagesmultiplycontent.com.
Evacuasiany E, H. William, dan S. Santosa. 2004.
Pengaruh Biji Jengkol (Pithecellobium
jiringa) terhadap Kadar Glukosa Darah
Mencit Galur Balb/c. JKM. Vol. 4, No l.
International Plant Genetic Resources
Institute (IPGRI).
Fauza, H. Istino Ferita, Nurwanita E. Putri, Novri
Nelly, dan Bujang Rusman. 2015. Studi
Awal Penampilan Fenotipik Plasma Nutfah
Jengkol (Pithecollobium jiringa) di Padang,
Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon Volume 1, Nomor 1, Maret 2015: 23-
30.
Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.edu/
bioversity/phenology/index.html
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia.
Jilid II. Penerjemah: Badan Litbang
Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya,
Jakarta.
Hutapea, J.R. 1994. Inventaris Tanaman Obat
Indonesia. Edisi III. Depkes RI.Jakarta.
Hutauruk, Joko, E. 2010. Isolasi Senyawa
Flavonoida Dari Kulit Buah Tumbuhan
Jengkol (Pithecollobium lobatum Benth.)
Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra A.G. 2003. Teknologi Benih:
Pengolahan Benih dan Tuntunan Praktikum.
Jakarta: Rineka Cipta. 187 hal.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi,
Produksi dan Sertifikasi Benih. Yogyakarta:
Penerbit Andi. 192 hal.
Manurung, F.L., M. Riniarti, dan Duryat. 2016. Uji
Daya Simpan Jengkol (Pithecellobiun
lobatum) Dengan Menggunakan Beberapa
Media Simpan. Jurnal Sylva Lestari Vol.4
No.2: 69-78.
Pitojo. 2002. Jengkol Budidaya dan
Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta.
85 Introduksi Inovasi Teknologi Perbenihan Mendukung Pengembangan Jengkol Di Sumatera
Utara (Tommy Purba, Nazaruddin, Khadijah El Ramija, Imelda Marpaung)
Republika. 2013. Jengkol hilang dipasaran sejak
sepekan terakhir. Diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/ja
wa-barat-nasional/13/06/08/mo2ini-jengkol-
hilang-di-pasaran-sejak-sepekan-terakhir
Rocky, Paulus. 2013. Morfologi dan Fungsi
Tanaman Jengkol. http://email.com/
Morfologi dan Fungsi Tanaman Jengkol.
Sepriyani. 2016. Fenologi Pembuangan pada
Tanaman Jengkol (Pithecellobiumjiringa).
Universitas andalas.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia. 144 hal.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan. Jilid 3. Bandung: ITB. 343 hal.
Sastrapraja S. 2012. Perjalanan Panjang Tanaman
Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jakarta.
Schnelle, M, A. 1995. The Care and Handling of
Cut Flowers. Oklahoma Cooperative
Extension Fact Sheet. Oklahoma State
University.
Singgalang. 17 Oktober 2016. Jengkol Sebabkan
Sejumlah Daerah Alami Inflasi. Singgalang:
24 (kolom 2-5).
Sitompul, S.M dan Guritno. 1995. Analisis
Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 412 hal.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 237 hal.
Wirawan, B dan Sri Wahyuni. 2002. Memproduksi
Benih Bersertifikat. Jakarta: Penebar
Swadaya. 120 hal.
86
Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah Perbatasan
(Yennita Sihombing)
STRATEGI PENGEMBANGAN LUMBUNG PANGAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI WILAYAH PERBATASAN
Yennita Sihombing
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor, 16114
E-mail: yennita_sihombing@yahoo.co.id
ABSTRACT
The Strategy Development of Food Barn to Support Food Security in Border Areas. Food security has
become a strategic issue that has been widely discussed in recent. The purpose of paper is to formulate the strategy of
developing food storage in supporting food security in border areas. The development of food barns in the border
area is designed based on the area with the concept of modern agriculture supported by technological innovation and
institutional infrastructure, production, capital, and processing and marketing of agricultural products through
empowerment of farmer groups and partnerships with the private sector. Strategies for developing barns that can be
carried out in border areas include: improved administration and management of barns, increasing barn members'
participation in savings and loan activities so that there is an increase in business scale, expanding businesses by
serving milling activities that serve members of barns, increasing services for members of food storage and the need
for attention, assistance and guidance of food storage from the government.
Keywords: food security, food barn, strategy, border areas, development
ABSTRAK
Ketahanan pangan menjadi isu strategis yang banyak dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk menyusun strategi pengembangan lumbung pangan dalam mendukung ketahanan pangan di
wilayah perbatasan. Pengembangan lumbung pangan wilayah perbatasan dirancang berbasis kawasan dengan konsep
pertanian modern yang didukung oleh inovasi teknologi dan kelembagaan sarana-prasarana produksi, permodalan,
serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian melalui pemberdayaan kelompok tani dan kemitraan dengan swasta.
Strategi pengembangan lumbung pangan yang dapat dilakukan di wilayah perbatasan pada khususnya antara lain:
perbaikan administrasi dan manajemen lumbung pangan, peningkatan partisipasi anggota lumbung pangan dalam
kegiatan simpan pinjam sehingga terjadi peningkatan skala usaha, perluasan usaha dengan melayani kegiatan
penggilingan yang melayani anggota lumbung pangan, peningkatan jasa bagi anggota lumbung pangan dan perlunya
perhatian, bantuan dan pembinaan lumbung pangan dari pemerintah.
Kata kunci: ketahanan pangan, lumbung pangan, strategi, wilayah perbatasan, pengembangan
87 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
PENDAHULUAN
Peningkatan ketahanan pangan merupakan
bagian penting dan sangat strategis dari
pembangunan pertanian karena pangan menempati
urutan terbesar pengeluaran rumah tangga. Data
BPS tahun 2019 menyebutkan pengeluaran untuk
pangan mencapai 49,14 persen (Maret 2019)
sedikit menurun dibandingkan Maret 2018 sebesar
49,51 persen.
Penyediaan pangan ke depan semakin
kompleks apalagi bagi Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk cukup besar. Diperlukan adanya
pendekatan baru untuk memenuhi kebutuhan
pangan dunia saat ini dan mendatang, karena
surplus produksi pangan dunia ternyata tidak
mampu memecahkan persoalan kelaparan (Malik,
2014). Masih banyaknya kasus-kasus gizi buruk di
Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara
akses pangan dengan ketersediaan pangan (Banita,
2013).
Wilayah perbatasan yang merupakan salah
satu sasaran strategis pembangunan nasional,
masih relatif tertinggal, terutama dalam aspek
kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar petani
(44,79 persen) menjual hasil panennya langsung
kepada tengkulak sehingga harga yang diterima
oleh petani sangat rendah, sementara pada saat
paceklik petani sebagai konsumen membeli beras
dengan harga tinggi. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani
terutama di wilayah perbatasan (Prasmatiwi, 2012).
Faktanya bahwa masyarakat lokal menjual hasil
kebun dan tani bukan karena sudah mapan,
melainkan sebaliknya harga kebutuhan pokok di
wilayah Indonesia sangat tinggi dan sulit di
jangkau masyarakat lokal (Niko dan Samkamaria,
2019).
Wilayah perbatasan tidak hanya dipandang
sebagai batas teritorial antar negara tetapi juga
merupakan simbol kedaulatan dan kekuasaan
terhadap sumber daya yang dimiliki. Karakteristik
sosial masyarakat di wilayah perbatasan cenderung
terbuka dan menerima apapun pengaruh dari luar
(Prasojo, 2013). Situasi tersebut berdampak positif
dan negatif terhadap aspek sosial, budaya dan
ekonomi. Peningkatan aktifitas perekonomian dan
peningkatan akses terhadap infrastruktur umum
dapat meningkatkan nilai dan daya saing negara
tersebut, perlu diikuti oleh bidang pertanian
sebagai pendukung utama bagi kedaulatan pangan.
Wilayah perbatasan juga merupakan daerah
prioritas pengembangan untuk mencapai
terwujudnya lumbung pangan berbasis ekspor.
Konsep pengembangan wilayah perbatasan pada
dasarnya dilakukan dengan beberapa pendekatan
yakni pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach), pendekatan keamanan (security
approach) dan lingkungan (environment approach)
(Hadi, 2014).
Indonesia saat ini mengalami permasalahan
kerawanan pangan yang cukup serius, khususnya di
wilayah perbatasan. Secara mikro masih banyak
terjadi kasus kelaparan, busung lapar, kekurangan
gizi (malnutrisi), kwashiorkor dan berbagai kasus
gizi buruk lainnya diberbagai daerah wilayah tanah
air. Sekitar 39,05 persen orang miskin di Indonesia
dan 68 persen di antaranya berada di pedesaan.
Golongan inilah yang paling rentan terjadi
kerawanan pangan, yang disebabkan masih sangat
rendahnya aksesibilitas kemampuan membeli
bahan pangan. Tujuan penulisan makalah ini
adalah menyusun strategi pengembangan lumbung
pangan dalam mendukung ketahanan pangan di
wilayah perbatasan.
STRATEGI PENGEMBANGAN LUMBUNG
PANGAN MASALAH PERBATASAN
Secara geografis wilayah perbatasan
Indonesia terdiri dari perbatasan darat dan laut
yang berada di 13 provinsi serta mencakup 41
kabupaten. Perbatasan darat berbatasan langsung
dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini, dan
Timor Leste sedangkan perbatasan laut berbatasan
dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik
Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini
(Supianto, 2018).
Wilayah perbatasan dapat dilihat dari tiga
sudut padang, yaitu: (a) sebagai bagian yang tidak
88 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
terpisahkan dan merupakan “beranda terdepan”
NKRI; (b) sebagai wujud dari salah satu misi
pemerintah, pembangunan yang harus dimulai dari
wilayah pinggir atau perbatasan; dan (c) memiliki
posisi strategis, baik secara sosial dan ekonomi,
maupun geopolitik dan keamanan nasional.
Wilayah perbatasan memiliki berbagai keunikan
dan permasalahan, antara lain: (a) keterbelakangan
infrastruktur dan aksesibilitas informasi; (b)
strategis secara teritorial dan sensitif secara
geopolitik, kedaulatan dan keutuhan NKRI; (c)
pada umumnya merupakan daerah remote atau
terpencil tetapi potensial dari segi luas dan
keragaman agroekosistem; dan (d) membutuhkan
inovasi (teknologi) dan dukungan kebijakan
“khusus” dan “tematik” (Sulaiman et al., 2017).
Potensi sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya belum dimanfaatkan secara maksimal,
sehingga menjadikan daerah perbatasan termasuk
dalam kategori kawasan tertinggal (Sudiar, 2015).
Konsep pengembangan wilayah perbatasan pada
dasarnya dilakukan dengan beberapa pendekatan
yakni pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) dan pendekatan keamanan (security
approach) dan lingkungan (environment approach)
(Munaf et al., 2008; Hadi, 2014).
Niko (2019) menyebutkan bahwa
permasalahan kemiskinan, khususnya bagi kaum
perempuan di pedesaan menjadi sangat rentan atas
keparahan dan kesengsaraan. Infrastruktur seperti
akses jalan, komunikasi dan listrik sangat terbatas.
Kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat
perbatasan dan negara tetangga dapat
mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat
seperti adanya ketergantungan ekonomi
(Kuntjorowati dan Pratyowati, 2017).
Dalam rangka mengantisipasi, mencegah
dan menangani persoalan rawan pangan dan gizi
buruk harus didukung oleh informasi ketahanan
pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata
dengan baik. Informasi ketahanan pangan dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk
mengelola krisis pangan dalam rangka upaya
perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan
gizi baik jangka pendek, menengah maupun
panjang.
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang
pangan pasal 114 dan Peraturan Pemerintah No. 17
tahun 2015 tentang ketahanan pangan dan gizi
pasal 75 mengamanatkan pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
berkewajiban membangun, menyusun, dan
mengembangkan sistem informasi pangan dan gizi
yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi
pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem
peringatan dini terhadap masalah pangan dan
kerawanan pangan dan gizi (BKP, 2018).
Pengembangan Lumbung Pangan
Berorientasi Ekspor-Wilayah Perbatasan (LPE-
WP) merupakan salah satu strategi mengatasi
masalah pangan di perbatasan. LPE-WP
didefinisikan sebagai kawasan atau wilayah yang
fungsi utamanya (1) memproduksi pangan untuk
memenuhi kebutuhan pangan baik di wilayah yang
bersangkutan maupun di luar wilayah tersebut, (2)
meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing
pangan nasional sehingga mampu memanfaatkan
peluang ekspor ke pasar negara tetangga dan pasar
global, dan (3) mengembangkan sistem pertanian
modern berbasis kawasan khusus dan inovasi, baik
teknologi maupun manajemen dengan
memperhatikan berbagai faktor strategis secara
holistik.
Perubahan cara pandang (paradigm shift)
juga sangat diperulakan untuk menumbuhkan
gairah baru masyarakat perbatasan. Lumbung
pangan wilayah perbatasan diharapkan dapat
memperkuat posisi wilayah perbatasan menjadi
pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan
dengan negara tetangga, sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan keamanan wilayah
(Sulaiman et al., 2017).
Pengembangan pangan wilayah perbatasan
juga menuntut kerjasama lintas program
merupakan keterpaduan beberapa program yang
dilakukan pada satu wilayah administrasi (desa)
(Gambar 1).
89 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Gambar 1. Koordinasi lintas sektor dalam penanganan kerentanan pangan
Sumber: BKP (2018)
Kerjasama lintas program dapat
meningkatkan efisiensi anggaran dan tenaga kerja
serta mempercepat pencapaian tujuan akhir yang
ingin dicapai. Kerjasama lintas sektor diartikan
sebagai usaha bersama beberapa pihak seperti
kementerian/dinas bahkan perguruan tinggi dan
masyarakat yang dilandasi oleh pemahaman yang
sama bahwa ketahanan pangan dan gizi bersifat
multi dimensi. Untuk mewujudkan ketahanan
pangan dan gizi mensyaratkan kerjasama tersebut,
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Komitmen menjadi kata kunci keberhasilan
kerjasama lintas sektor (BKP, 2018).
Strategi pengembangan lumbung pangan
adalah serangkaian kegiatan dalam pengambilan
keputusan dengan menganalisis faktor-faktor
strategis dalam lumbung pangan baik faktor-faktor
dari luar maupun dari dalam lumbung pangan.
Strategi pengembangan lumbung pangan
yang dapat dilakukan di wilayah perbatasan pada
khususnya antara lain: perbaikan administrasi dan
manajemen lumbung pangan, peningkatan
partisipasi anggota lumbung pangan dalam
kegiatan simpan pinjam sehingga terjadi
peningkatan skala usaha, perluasan usaha dengan
melayani kegiatan penggilingan yang melayani
anggota lumbung pangan, peningkatan jasa bagi
anggota lumbung pangan dan perlunya perhatian,
serta bantuan dan pembinaan lumbung pangan dari
pemerintah.
KONSEP KETAHANAN PANGAN
Ketahanan pangan terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.
Ketersediaan berarti bahwa pangan tersedia cukup
untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk,
baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan
keamanannya. Salah satu aspek penting dalam
membangun ketahanan pangan adalah ketersediaan
pangan. Ketersediaan pangan dapat diperoleh dari
hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan
nasional serta impor apabila kedua sumber utama
tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Ketersediaan pangan melalui impor beras
bukanlah cara terbaik. Kecenderungan melakukan
impor secara terus-menerus justru akan menjadikan
lemahnya posisi tawar petani. Impor juga membuat
negara menjadi ketergantungan dalam memenuhi
ketersediaan pangan sehingga mengganggu
ketahanan pangan nasional.
Ketersediaan pangan melalui cadangan
pangan nasional berfungsi untuk menghadapi
masalah seperti kekurangan pangan, gangguan
Pengolah/Pedagang
Konsumen
Petani
Pengolah/Pedagang
NasionalPusat
Provinsi
Kab/Kota Konsumen
Daerah
Rumah tangga
Pemerintah Masyarakat
Lintas Pelaku Lintas Wilayah
KOORDINASIDEWAN KETAHANAN PANGAN
90 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
pasokan dan harga, serta keadaan darurat.
Ketersediaan pangan dari hasil produksi dalam
negeri dapat diperoleh dari hasil produksi petani
padi di beberapa sentra produksi (Syarief et al.,
2014).
Ketahanan pangan bukan saja persoalan
menghasilkan padi atau beras kemudian dapat
menjadi konsumsi sebagai nasi, namun lebih luas.
Ketahanan pangan mencakup kemampuan
masyarakat pada level lokal maupun nasional
untuk dapat menghasilkan produk pangan selain
padi atau beras seperti misalnya jagung, umbi-
umbian, singkong, sagu, dan lain sebagainya.
Harapan inilah yang menjadi acuan ketahanan
pangan nasional (Atem dan Niko, 2020).
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi ketahanan pangan terus mengalami
perkembangan sejak adanya Conference of Food
and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan
konsep secure, adequate and suitable supply of
food for everyone. Ketahanan pangan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
tahun 2012 mengenai pangan didefinisikan sebagai
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan
disebutkan dalam undang-undang tersebut sebagai
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Untuk
mencapai ketahanan pangan tersebut pemerintah
menyelenggarakan, membina, dan atau
mengoordinasikan segala upaya atau kegiatan
untuk mewujudkan cadangan pangan nasional.
Warr (Australian National Univesity, 2014)
membedakan ketahanan pangan pada empat
tingkatan, yaitu: (a) Level global, ketahanan
pangan diartikan dengan apakah supply global
mencukupi untuk memenuhi permintaan global; (b)
Level nasional, ketahanan pangan didasarkan pada
level rumah tangga. Jika rumah tangga tidak aman
pangan, sulit untuk melihatnya aman pada level
nasional; (c) Level rumahtangga, ketahanan pangan
merujuk pada kemampuan akses untuk kecukupan
pangan setiap saat. Ketahanan pangan secara
tersirat bukan hanya kecukupan asupan makanan
hari ini saja, melainkan termasuk juga ekspektasi
permasalahan ke depan; dan (d) Level individu,
ketahanan pangan merupakan distribusi makanan
pada rumah tangga, fokus pada konsumsi
perorangan pada rumah tangga. Pada saat rumah
tangga kekurangan makanan, individu akan
terpengaruh secara berbeda.
Program Ketahanan Pangan
Wilayah yang perkembangannya cukup
tertinggal pembangunannya dibandingkan wilayah
lain di Indonesia adalah wilayah perbatasan, yang
identik dengan daerah perdesaan, daerah pinggiran,
daerah tertinggal, atau daerah miskin yang
cenderung termaginalkan (Hendrayady, 2018).
Sukari (2009) menyatakan bahwa prioritas
utama yang dijadikan kebijakan pembangunan
ketahanan pangan adalah pengembangan kapasitas
distribusi pangan di antaranya: (1) peningkatan
efisiensi dan kelancaran distribusi pangan; (2)
peningkatan kelancaran distribusi pangan kedaerah
terisolasi/terpencil, perbatasan dan darurat; dan (3)
peningkatan gejolak pasokan dan harga pangan.
Penyusunan strategi kebijakan dan program
ketahanan pangan mempertimbangakan faktor-
faktor yang mempengaruhi kondisi ketahanan
pangan suatu wilayah. Ningsi (2012) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan pangan di kabupaten yang masuk dalam
kategori tahan pangan adalah akses pangan,
ketersediaan pangan dan penyerapan pangan.
Salah satu masalah dalam penyediaan
pangan yang berdampak pada kondisi ketahanan
pangan suatu wilayah adalah keterbatasan
informasi dan basis data mengenai sumberdaya
alam. Penggunaan terintegrasi informasi
sumberdaya lahan dan informasi geografis dapat
mempermudah mencapai kondisi ketahanan
pangan suatu wilayah (Widiatmaka, 2015).
Pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung
jawab dalam penciptaan ketahanan pangan apabila
terjadi kondisi paceklik, bencana alam yang tidak
dapat dihindari. Pembagian pilar dalam ketahanan
pangan berdasarkan Undang-Undang Pangan
91 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Indonesia adalah availability, accessibility, dan
stability.
Masalah lainnya yang mengancam
kemandirian pangan adalah semakin menurunnya
lahan pertanian produktif yang disebabkan
gencarnya konversi lahan lumbung pangan. Solusi
yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan
insentif kepada petani yang tidak mengkonversi
lahan pertaniannya, penetapan pajak, dan
penetapan lahan pertanian abadi (Sunarminto et al.,
2010).
Aspek Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah suatu sistem
terintegrasi yang merupakan sinergi dan interaksi
ketiga aspek subsistem, di antaranya (1) subsistem
ketersediaan pangan mencakup aspek produksi,
cadangan serta keseimbangan antara impor dan
ekspor pangan; (2) subsistem distribusi pangan
mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan
ekonomi atas pangan secara merata, bertujuan
menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga
pangan; (3) subsistem konsumsi pangan
menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mempunyai
pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang
baik sehingga dapat mengelola konsumsi pangan
secara optimal. Pembangunan ketahanan pangan
memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem
tersebut.
Salah satu aspek penting dalam membangun
ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dari
hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan
nasional dan impor dengan syarat apabila kedua
sumber tidak dapat memenuhi kebutuhan
(Mariyani, 2017). Ketersediaan pangan yang cukup
merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk
jaminan pangan, tetapi tidak cukup untuk
menjamin pangan di tingkat rumah tangga dan
individu, karena masih sangat tergantung pada
faktor akses dan penyerapan pangan. Ketersediaan
pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga
walaupun produksi pangan bersifat musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah tetapi volume
pangan yang tersedia bagi masyarakat jumlah dan
jenisnya harus mencukupi, serta stabil
penyediaannya dari waktu ke waktu.
Keberhasilan pembangunan masing-masing
subsistem perlu didukung oleh faktor ekonomi,
teknologi dan sosial budaya yang pada akhirnya
akan meningkatkan output berupa peningkatan
status ketahanan pangan suatu wilayah. Namun
demikian, pembangunan ketahanan pangan dapat
dilakukan apabila stakeholder terkait mengetahui
tipologi wilayah berdasarkan pada indikator
ketahanan pangan, sehingga kebijakan yang
dilakukan tepat sasaran.
Perwujudan ketahanan pangan nasional
merupakan kondisi terpenuhinya berbagai
persyaratan yaitu: (1) terpenuhinya pangan dengan
kondisi ketersediaan yang cukup; (2) terpenuhinya
pangan dengan kondisi aman; (3) terpenuhinya
pangan dengan kondisi yang merata; dan (4)
terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau,
mudah diperoleh semua orang dengan harga
terjangkau (Nurhemi et al., 2014).
DUKUNGAN INOVASI TEKNOLOGI
IMPLEMENTASI KETAHANAN PANGAN
Badan Ketahanan Pangan telah menyusun
peta ketahanan dan kerawanan pangan tahun 2018
di Indonesia. Daerah yang masuk dalam kategori
tahan pangan (warna hijau) didominasi oleh
wilayah Jawa dan Sumatera, sementara daerah
rawan pangan didominasi oleh Indonesia wilayah
timur. Perbandingan jumlah penduduk yang sangat
rawan, rawan, dan tahan pangan, proporsi
penduduk yang tahan pangan terus menurun.
Penduduk rawan dan sangat rawan pangan justru
mengalami peningkatan. Hal ini merupakan fakta
yang semakin menegaskan perlunya penguatan
ketahanan pangan khususnya pada penduduk
dengan kategori rawan dan sangat rawan pangan.
Pengembangan kawasan perbatasan sebagai
sentra pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan
pada karakteristik kawasan perbatasan seharusnya
memiliki intensitas tinggi dalam arus lalu lintas
manusia, barang dan jasa. Wilayah perbatasan
menghadapi persoalan rendahnya produktivitas
92 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
pertanian, sedangkan aspek teknologi
produksi/inovasi pertanian sudah banyak tersedia.
Kondisi spesifik masing-masing wilayah
perbatasan perlu dikaji agar kebutuhan inovasi
yang ditawarkan bisa sesuai. Pada tahap awal
inovasi yang berkaitan dengan peningkatan
produksi pangan akan menjadi prioritas untuk
menyelesaikan persoalan pemenuhan kebutuhan
pangan di wilayah perbatasan (Zulkifli et al.,
2017).
Inovasi teknologi yang diintroduksikan
merupakan paket atau komponen-komponen
teknologi spesifik lokasi yang telah diujicoba
dalam skala terbatas. Pengembangan ke wilayah
yang lebih luas memerlukan pertimbangan secara
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, agar
introduksi teknologi dapat berjalan dan
berkelanjutan. Salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan sektor pertanian adalah pentingnya
peran diseminasi inovasi teknologi pertanian dalam
pembangunan pertanian (Indraningsih, 2017).
Introduksi teknologi budidaya dilakukan
dengan sistem percontohan teknologi di lahan
petani untuk menjadi acuan pengembangan menuju
skala yang lebih luas. Teknologi yang
diperkenalkan secara umum adalah perbaikan jarak
tanam, varietas unggul spesifik lokasi, dan
pemupukan. Kinerja dukungan inovasi teknologi di
lihat berdasarkan pendekatan perbandingan kondisi
eksisting (cara petani) dengan kondisi introduksi.
Inovasi teknologi yang dinilai tepat dan berpeluang
mampu menjadi pengungkit produksi adalah
perbaikan pola tanam (Dariah dan Heryani, 2014).
Pola tanam tidak hanya terkait dengan persoalan
teknis ketersediaan air, tetapi harus dipandang dari
berbagai sudut antara lain dari sudut pandang sosial
dan budaya. Introduksi perubahan pola tanam harus
mempertimbangkan kebiasaan masyarakat,
kegiatan off farm, kegiatan sosial dan juga
ketersediaan modal usahatani.
Diseminasi inovasi pertanian menggunakan
media dan komunikasi untuk meningkatkan adopsi
inovasi. Penyebarluasan informasi melalui media
komunikasi merupakan rangkaian timbal balik dan
tak terpisahkan dalam upaya penyebaran inovasi.
Karakteristik petani yang berhubungan dengan
pemanfaatan media komunikasi adalah: umur,
pendidikan, kekosmopolitan, informasi, dan
kepemilikan media komunikasi. Ketersediaan akses
informasi berhubungan dengan teknologi informasi
berbasis pertanian yang menggunakan media
komunikasi (Rahmawati et al., 2017).
Produksi dan Konsumsi Produk Pertanian
Pada saat ini, pangan pokok masyarakat
Indonesia selain beras ada juga yang masih
mengkonsumsi jagung, ubi kayu, ubi jalar,
keladi/talas dan sagu sebagai makanan pokok. Pada
tahun 2017, produksi padi, jagung, ubi kayu dan
ubi jalar secara keseluruhan memberikan kontribusi
sebesar 60,23% dari total penyediaan energi per
kapita per hari (BKP, 2017).
Beras berkontribusi lebih besar dalam
penyediaan energi dibandingkan dengan jagung,
ubi kayu dan ubi jalar. Gandum merupakan bahan
pangan yang konsumsinya semakin meningkat di
Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, maka impor gandum pada tahun 2017
mencapai 11,45 juta ton dan tepung terigu sebesar
0,86 juta ton (BPS, 2017).
Berdasarkan data Susenas, padi-padian
masih merupakan bahan pangan yang paling
banyak dikonsumsi dibandingkan dengan bahan
pangan lain, meskipun terdapat kecenderungan
menurun dibandingkan tahun 2017 sampai 2019
yang semula 852,44 kalori menjadi 814,77 kalori
(Tabel 1).
Konsumsi tertinggi masyarakat (per kapita)
adalah “padi-padian”, disusul “makanan dan
minuman jadi” dan “minyak dan lemak”.
Produk peternakan dan perikanan merupakan
sumber protein utama yang penting. Pada tahun
2017, produksi daging sebesar 3,47 juta ton yang
terdiri dari 2,51 juta ton unggas dan 0.96 ton
daging ruminansia atau produksi unggas
mendominasi produksi peternakan. Produksi
peternakan rata-rata tumbuh sebesar 5,56% selama
2008-2017 (BPS, 2017).
93 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Tabel 1. Rata-rata konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia per kapita sehari berdasarkan komoditas (gram),
Maret tahun 2017– 2019
No Kelompok Barang Kalori Protein
2017 2018 2019 2017 2018 2019
1 Padi-padian 852,44 838,03 814,77 20,02 19,72 19,18
2 Umbi-umbian 43,69 38,37 36,79 0,42 0,36 0,37
3 Ikan 49,17 49,46 50,55 8,23 8,31 8,54
4 Daging 67,70 59,99 62,19 4,20 3,73 3,88
5 Telur dan susu 60,47 63,34 60,20 3,35 3,50 3,42
6 Sayur-sayuran 38,90 37,95 39,01 2,44 2,29 2,32
7 Kacang-kacangan 59,23 53,93 52,44 5,63 5,34 5,16
8 Buah-buahan 52,96 51,55 46,97 0,53 0,57 0,53
9 Minyak dan lemak 252,43 257,42 259,42 0,21 0,20 0,20
10 Bahan minuman 98,10 98,07 96,17 0,81 0,83 0,81
11 Bumbu-bumbuan 12,33 11,25 10,49 0,53 0,48 0,45
12 Konsumsi lainnya 64,17 59,33 56,01 1,26 1,16 1,11
13 Makanan, minuman jadi 498,30 528,42 535,50 14,56 15,70 16,17
Jumlah 2.152,64 2.147,09 2.120,52 62,20 62,19 62,13
Sumber: BPS (2019)
Produksi perikanan di Indonesia salah satu
yang terbesar di dunia dan diperkirakan telah
menghasilkan lebih dari 22,98 juta ton tangkapan
ikan pada tahun 2017 (BPS, 2017). Berdasarkan
data NBM 2015 angka tetap, ketersediaan ikan per
kapita di Indonesia diperkirakan mencapai 45,61
kg per kapita per tahun (BKP, 2017). Sebagian
besar produksi ikan terdapat di wilayah timur
Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya
komoditas ikan dalam pola makan di
daerahtersebut.
Sayuran dan buah-buahan merupakan
sumber utama dalam penyediaan vitamin dan
mineral. Antara tahun 2008 dan 2017, produksi
sayuran dan buah-buahan telah meningkat dengan
rata-ratapertumbuhan sebesar 2,48% untuk sayuran
dan 1,43% untuk buah-buahan. Impor sayuran
meningkat dengan rata-rata sebesar 5,02% dan
buah-buahan sebesar 4,42% padaperiode yang
sama (BPS, 2017).
Kementerian Pertanian telah berhasil
meningkatkan produksi beberapa komoditas
pangan, antara lain produksi padi dari sebesar 71,8
juta ton pada tahun 2013 menjadi 81,07 ton pada
tahun 2017 atau meningkat sebesar 14,9%,
produksi jagung meningkat sebesar 56,24%,
produksi bawang merah meningkat sebesar 45,54%
serta produksi cabai meningkat sebesar 36,42%
(BPS, 2017 dan Pusdatin, 2017). Peningkatan
produksi tersebut berimbas pada peningkatan nilai
produksi pertanian. Pada tahun 2013, nilai produksi
pertanian tercatat sebesar Rp 994,78 triliun dan
meningkat menjadi Rp 1.344,73 triliun pada tahun
2017 dengan laju peningkatan sebesar 9% per
tahun. Tren nilai ekspor sektor pertanian juga
mengalami peningkatan pada periode 2013-2017.
Ekspor pertanian sebesar Rp 334,34 triliun pada
tahun 2013 dan pada tahun 2017 menjadi Rp
441,89 triliun atau naik 24% per tahun (BPS,
2017).. Peningkatan kesejahteraan petani
ditunjukkan oleh menurunnya jumlah penduduk
miskin pedesaan. Persentase penduduk miskin
pedesaan tahun 2015 sebesar 14,21%, menurun
menjadi 13,20% pada tahun 2018 (BPS, 2017).
Sementara itu, persentase penduduk dengan
konsumsi kalori kurang dari 1.400 kkal (70 persen
AKG) per kapita mengalami trend yang menurun.
Pada tahun 2013, persentase penduduk rawan
sebesar 18,68% turun menjadi 12,69% pada tahun
2016 (BPS, 2016).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan
Pangan di Wilayah Perbatasan
94 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
Wilayah kepulauan dan perbatasan
menyimpan sumberdaya alam pertanian yang
belum dikembangkan sehingga membutuhkan
inovasi teknologi bisa ekplorasi potensi tersebut
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
wilayah perbatasan (Dariah dan Heryani, 2014;
Soedireja, 2017).
Ketidakstabilan harga komoditas pangan di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh permasalahan
supply (ketersediaan pangan), sifat komoditas
pangan yang musiman, kondisi alam seperti tanah,
perubahan musim, dan juga letak geografis daerah
sehingga akan memengaruhi ketersediaan stok
pangan setiap bulan. Permasalahan distribusi
menjadi hambatan tersendiri pada masalah
transportasi barang antar daerah khususnya di
wilayah perbatasan. Panjangnya rantai pemasaran
komoditas pangan menyebabkan ketidakefisienan
dalam pemasaran barang dan menyebabkan
tingginya harga berbagai komoditas pangan
(Nurhemi et al., 2014).
Secara sederhana, inflasi dapat diartikan
sebagai meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau
dua barang dapat dikatakan inflasi apabila
kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan
harga pada barang lainnya. Adapun hubungan
antara inflasi dan ketahanan pangan secara
sederhana dapat digambarkan dalam Gambar 2.
.
Sumber: Nurhemi et al. (2014)
Gambar 2. Hubungan ketahanan pangan dan inflasi
Alur hubungan antara inflasi dan ketahanan
pangan lebih berada pada aspek accesibility dan
aspek stability. Pada aspek stability, hal yang
menjadi perhatian utama ketahanan pangan adalah
permasalahan fluktuasi harga pangan. Hal ini
tentunya sangat dekat hubungannya dengan inflasi
mengingat komoditas pangan merupakan salah satu
kelompok komoditas yang masuk dalam keranjang
perhitungan inflasi. Availability memiliki
hubungan dengan inflasi karena ketersediaan
pasokan suatu barang akan berkorelasi dengan
harga barang tersebut. Dari sisi accesibility, hal
yang menjadi perhatian utama adalah harga
komoditas pangan pada level yang dipastikan
terjangkau oleh masyarakat dan kemudahan dalam
memperoleh produk pangan. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Warr (2011) bahwa
masyarakat yang paling rentan terhadap ketahanan
pangan adalah masyarakat miskin, yang dipicu oleh
Ketahanan Pangan
Availability
Accessibility
Stability
Pasokan Supply
Harga Level
Ketersediaan Fisik
Fluktuasi Harga
Inflasi
95 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
kenaikan harga sehingga menyebabkan masyarakat
tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar pangan.
Pencapaian keberhasilan penyediaan pangan
di masa mendatang akan dipengaruhi oleh
pertumbuhan penduduk. Hasil Sensus Penduduk
2010 mencatat bahwa jumlah penduduk Indonesia
sebesar 237,6juta jiwa. Angka ini meningkat
hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan tiga
dekade yang lalu. Pada tahun 2045, jumlah
penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat
menjadi sekitar 311,6–318,9 juta jiwa (Bappenas,
2018). Pertumbuhan penduduk ini tentunya akan
meningkatkan jumlah permintaan pangan.
Hal-hal lain yang mempengaruhi ketahanan
pangan di wilayah perbatasan: (1) Pergeseran
preferensi makanan merupakan faktor penyebab
utama meningkatnya permintaan impor untuk
beberapa komoditas pertanian, seperti gandum,
daging sapi, buah-buahan, sayuran dan susu. Hal
ini terjadi karena berubahnya pola konsumsi dan
pola permintaan pangan pada kelas berpendapatan
menengah di perkotaan yang melebihi kapasitas
nasional untuk memproduksi sendiri, (2) Sisi
penyediaan pangan, dihadapkan pada kenyataan
penurunan jumlah petani, (3) Tingginya kehilangan
pangan (food loss) dan pangan yang terbuang (food
waste) dalam sistem pangan, (4) Konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian akibat persaingan
penggunaan lahan terutama dengan sektor
perumahan dan industri, (5) Meningkatnya
kejadian kekeringan dan banjir sebagai dampak
dari perubahan iklim global, (6) Penurunan kualitas
tanah dan kesuburan karena kerusakan lingkungan,
(7) Hama dan penyakit pada tanaman dan ternak
yang dapat berpotensi mengurangi tingkat
produksi, (8) Produktivitas petani yang masih
rendah terutama petani gurem yang disebabkan
oleh kurangnya akses ke pasar untuk menjual hasil
produksi, dan (9) Kurangnya akses ke fasilitas
modal (BKP, 2018).
Lumbung Pangan Wilayah Perbatasan
Lumbung pangan adalah salah satu
kelembagaan yang ada di masyarakat yang telah
lama berperan dalam pengadaan pangan terutama
dalam musim paceklik. Menurut Rosyadi dan
Sasongko (2010), keberadaan lumbung pangan
atau lumbung desa pernah berperan sangat penting
dalam menyangga ketersediaan pangan di desa.
Lumbung pangan dikenal sebagai cadangan
pangan di pedesaan dan sebagai penolong selama
masa paceklik. Hal ini sangat penting untuk daerah
pertanian tadah hujan, lahan pertanian pangan
hanya dapat berproduksi optimal pada musim
hujan saja. Selain itu, langkanya dan mahalnya
harga pupuk dan saprodi lainnya, memaksa para
petani harus berhutang untuk dapat melaksanakan
usahtaninya.
Menurut Soemarno (2010), lumbung pangan
dapat berperan sebagai cadangan pangan terutama
di kawasan pedesaan. Lumbung diharapkan dapat
membantu meningkatkan ketahanan pangan
masyarakat dalam skala kecil. Menurut Rachmat
(2010), lumbung pangan merupakan cadangan
pangan yang berfungsi untuk menjaga stok atau
stabilitas pangan baik karenamusim paceklik atau
karena ada kondisi darurat seperti bencana alam.
Lumbung pangan individu berfungsi menyimpan
stok bahan pangan rumah tangga selama periode
tertentu. Lumbung kelompok berfungsi untuk
mengatasi kerawanan pangan pada saat paceklik
serta membantu anggota dalam penyediaan modal
(Prasmatiwi et al., 2013).
96 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
Sumber: BKP, (2018)
Gambar 3. Skema lumbung pangan masyarakat
Aspek-aspek yang penting menjadi fokus
dalam pemberdayaan lumbung pangan antara lain:
organisasi, administrasi, pengembangan usaha,
pemupukan modal dan pengembangan jaringan
(BKP, 2018). Semua aspek tersebut di atas harus
mendapatkan perhatian lebih lanjut dan pembinaan
secara langsung dari pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Menurut Mishbah (2013), faktor-
faktor yang mempengaruhi eksistensi LPMD dan
Lumbung Pangan Swadaya dalam membangun
ketahanan pangan adalah: (a) Faktor eksternal
bantuan dana dari pemerintah, fluktuasi harga
gabah dipasar, dan eksistensi tengkulak dan (b)
Faktor internal: aset, modal finansial, motivasi dan
tanggung jawab anggota, serta sumberdaya
manusia pengelola lumbung pangan.
Lumbung pangan wilayah perbatasan
merupakan salah satu langkah strategis untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar
wilayah dan antar masyarakat di wilayah
perbatasan. Pengembangan lumbung pangan
wilayah perbatasan diarahkan pada peningkatan
kapasitas produksi pangan untuk memenuhi
kebutuhan pangan di wilayah perbatasan dan
kelebihannya untuk diekspor utamanya ke negara
tetangga guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan berkembangnya ekonomi wilayah
perbatasan. Sasaran utamanya adalah
meningkatnya produksi, mutu, dan daya saing
produk komoditas pangan dengan mengutamakan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
sumberdaya alam di wilayah perbatasan.
97 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Pemberdayaan lumbung pangan dapat
dilakukan melalui proses pemberdayaan
masyarakat. Dengan kegiatan tersebut masyarakat
diharapkan mampu memberdayakan kelembagaan
lumbung pangan melalui penguatan cadangan
pangan dan pengembangan usaha ekonomi
kelompok menuju terwujudnya kemandirian
kelembagaan lumbung pangan. Indikator
kemandirian kelembagaan lumbung pangan
sebagai berikut: 1) Menguatnya permodalan usaha
kelompok; 2) Meningkatnya posisi tawar anggota
dalam penjualan hasil usaha tani; 3)
Berkembangnya keterampilan teknis anggota
kelompok; 4) Terjalinnya hubungan kemitraan dan
jaringan usaha kelompok; 5) Berkembangnya
usaha kelompok menuju skala yang mampu
memberikan peningkatan pendapatan yang layak
bagi anggotanya; dan 6) Meningkatnya cadangan
pangan minimal sebesar 3 bulan kebutuhan
konsumsi masyarakat.
Pengembangan lumbung pangan wilayah
perbatasan dirancang berbasis kawasan dengan
konsep pertanian modern yang didukung oleh
inovasi teknologi dan kelembagaan sarana-
prasarana produksi, permodalan, serta pengolahan
dan pemasaran hasil pertanian melalui
pemberdayaan kelompok tani dan kemitraan
dengan swasta. Lima provinsi yang disasar sebagai
lokasi prioritas lumbung pangan wilayah
perbatasan adalah (1) Provinsi Kalimantan Barat,
di Kabupaten Sambas, Sintang, Sanggau,
Bengkayang, dan Kapuas Hulu; (2) Provinsi
Kepulauan Riau, di Kabupaten Lingga, Karimun,
dan Natuna; (3) Provinsi Kalimantan Utara di
Kabupaten Nunukan; (4) Provinsi Papua di
Merauke; serta (5) Provinsi Nusa Tenggara Timur
di Malaka dan Belu. Komoditas prioritas yang
dikembangkan antara lain padi (semua provinsi
kecuali NTT), jagung untuk Kalbar, Papua dan
NTT. Bawang merah menjadi target
pengembangan untuk perbatasan Kaltara dan NTT.
Khusus sayuran pengembangannya diarahkan
untuk mengejar target ekspor ke Singapura dan
Malaysia menjadi prioritas Kepri dan Kalbar.
Strategi Pengembangan Lumbung Pangan
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Pembangunan di bidang pangan dan gizi
sangat diperlukan untuk tercapainya sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi. Daerah yang saat ini tahan pangan
tidak dijamin selamanya berada dalam kondisi
tahan pangan jika tidak ada strategi dan upaya yang
dilakukan oleh pengambil kebijakan yang
didukung oleh masyarakat dan sektor swasta secara
berkelanjutan. Sebagai dasar penyusunan
kebijakan/program secara berjenjang pemerintah
telah menetapkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 83 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi (KSPG).
KSPG terdiri atas kebijakan strategis di bidang: (a)
ketersediaan pangan; (b) keterjangkauan pangan;
(c) pemanfaatan pangan; (d) perbaikan gizi
masyarakat; dan (e) penguatan kelembagaan
pangan dan gizi.
Kebijakan strategis masing-masing bidang
dikemukakan sebagai berikut (BKP , 2018)
Á Kebijakan di bidang ketersediaan pangan:
Peningkatan produksi pangan dalam negeri,
Penguatan cadangan pangan nasional, dan
penguatan perdagangan pangan, dan
penyediaan pangan berbasis pada potensi
sumberdaya lokal
Á Di bidang keterjangkauan pangan Efisiensi
pemasaran pangan, kbijakannya meliputi:
Penguatan sistem logistik pangan, Stabilisasi
pasokan dan harga pangan pokok dan
pangan lainnya, Pemberdayaan masyarakat
di bidang pangan dan gizi, Penanganan
kerawanan pangan dan gizi, dan Penyediaan
bantuan pangan bagi masyarakat miskin dan
masyarakat yang mengalami rawan pangan
dan gizi
Á Kebijakan Pemanfaatan pangan, meliputi
Pengembangan pola konsumsi pangan
beragam, bergizi seimbang, dan aman,
Pengembangan jejaring dan informasi
pangan dan gizi, dan Peningkatan
pengawasan keamananan pangan.
98 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
Á Bidang perbaikan gizi masyarakat
kebijakannya meliputi perbaikan pola
konsumsi pangan perseorangan dan
masyarakat yang beragam, bergizi seimbang,
dan amanPerbaikan atau pengayaan gizi
pangan tertentuPenguatan pelaksanaan dan
pengawasan regulasi dan standar gizi
Penetapan persyaratan khusus mengenai
komposisi pangan untuk meningkatkan
kandungan gizi pangan olahan tertentu yang
diperdagangkanPerbaikan gizi bagi ibu
hamil, ibu menyusui, bayi, balita, remaja,
dan kelompok rawan gizi lainnyaPenguatan
sistem surveilan pangan dan gizi, dan
Penguatan program gizi lintas sektor melalui
program sensitif gizi
Á Pada bidang penguatan kelembagaan pangan
dan gizi, kebijakannya meliputi Penguatan
kelembagaan pangan dan gizi tingkat
nasional yang telah ada, Penguatan peran
kelembagaan pangan dan gizi daerah
provinsi dan kabupaten/kota yang telah ada,
dan Penguatan fungsi dewan ketahanan
pangan, dan dewan ketahanan pangan
provinsi dan kabupaten/kota yang telah ada,
pengembangan kemitraan antar berbagai
pemangku Kepentingan dalam pembangunan
pangan dan gizi berkelanjutan
Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi
selanjutnya dioperasionalkan melalui Rencana
Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) terdiri
atas 5 pilar, meliputi: (a) Perbaikan gizi
masyarakat; (b) Peningkatan aksesibilitas pangan
yang beragam; (c) Mutu dan keamanan pangan; (d)
Perilaku hidup bersih dan sehat; dan (e) Koordinasi
pembangunan pangan dan gizi.
Program/kegiatan pada masing-masing pilar
diuraikan dapalam paparan sebagai berikut:
Á Program perbaikan gizi masyarakat,
mencakup promosi dan pendidikan gizi
masyarakat, Pemberian suplementasi gizi,
Pelayanan kesehatan dan masalah gizi,
Pemberdayaan masyarakat di bidang pangan
dan gizi, Jaminan sosial yang mendukung
perbaikan pangan dan gizi, dan Pendidikan
anak usia dini
Á Program peningkatan aksesibiltas pangan
yang beragam, meliputi produksi pangan
dalam negeri, penyediaan pangan berbasis
sumber daya lokal, distribusi pangan,
konsumsi kalori, karbohidrat, protein,
vitamin, dan mineral, peningkatan akses
pangan bagi masyarakat miskin dan
masyarakat yang mengalami rawan pangan
dan gizi
Á Program mutu dan keamanan meliputi
pengawasan regulasi dan standar gizi,
pengawasan keamanan pangan segar,
pengawasan keamanan pangan olahan,
pengawasan pangan sarana air minum dan
tempat-tempat umum, dan promosi
keamanan pangan
Á Program perilaku hidup, meliputi: bersih dan
sehat, pencegahan dan pengendalian
penyakit menular, pencegahan dan
pengendalian penyakit tidak menular,
penyediaan air bersih dan sanitasi, penerapan
kawasan tanpa rokok, penerapan perilaku
sehat
Á Koordinasi pembangunan pangan dan gizi,
meliputi perencanaan pangan dan gizi,
Penguatan peranan lintas sektor, penguatan
pencatatan sipil dalam perbaikan gizi,
pelibatan pemangku kepentingan,
pemantauan dan evaluasi, dan penyusunan
dan penyampaian laporan
KESIMPULAN
Dalam rangka mengantisipasi, mencegah
dan menangani persoalan rawan pangan dan gizi
buruk harus didukung oleh informasi ketahanan
pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata
dengan baik. Strategi pengembangan lumbung
pangan adalah serangkaian kegiatan dalam
pengambilan keputusan dengan menganalisis
faktor-faktor strategis dalam lumbung pangan baik
faktor-faktor dari luar maupun dari dalam lumbung
pangan.
99 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Strategi pengembangan lumbung pangan
yang dapat dilakukan di wilayah perbatasan pada
khususnya antara lain: perbaikan administrasi dan
manajemen lumbung pangan, peningkatan
partisipasi anggota lumbung pangan dalam
kegiatan simpan pinjam sehingga terjadi
peningkatan skala usaha, perluasan usaha dengan
melayani kegiatan penggilingan yang melayani
anggota lumbung pangan, peningkatan jasa bagi
anggota lumbung pangan dan perlunya perhatian,
bantuan dan pembinaan lumbung pangan dari
pemerintah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Kepala Balai Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian yang telah memberikan ijin
penulisan karya tulis ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atem dan N. Niko. 2020. Persoalan kerawanan
pangan pada masyarakat miskin di wilayah
perbatasan entikong (Indonesia-Malaysia)
Kalimantan Barat. Jurnal Surya Masyarakat,
2(2): 94-104.
Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi kalori dan
protein penduduk Indonesia dan provinsi,
Maret 2019:berdasarkan hasil susenas Maret
2019. Buku 2. ISSN / ISBN : 1979-6250.
Badan Pusat Statistik Pusat. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik produksi
pangan 2008-2017. Statistik Indonesia.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2019. Pengeluaran untuk
konsumsi penduduk Indonesia Berdasarkan
hasil Susenas Maret 2019. Buku 1. ISSN:
1979-6242. Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). 2018. Pembangunan
kependudukan (disampaikan pada acara
peluncuran buku Proyeksi Penduduk
Indonesia Tahun 2015-2045). Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan (BKP). 2017. Neraca
bahan makanan 2017. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan (BKP). 2018. Peta
ketahanan dan kerentanan pangan 2018.
Kementerian Pertanian, Jakarta.
Banita, D. 2013. Analisis ketersediaan pangan
pokok dan pola konsumsi rumahtangga
petani di Kabupaten Wonogiri. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Dariah, A dan N. Heryani. 2014. Pemberdayaan
lahan kering suboptimal untuk mendukung
kebijakan diversifikasi dan ketahanan
pangan. Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi
Khusus, 1(1): 1–16.
Hadi, S. 2014. Program pembangunan kawasan
perbatasan. Bulletin Program Pembangunan
Kawasan, 1–9. http://tataruang.atr-bpn.go.id/
Bulletin/upload/data_artikel/program
pembangunan kawasan edisi 3.pdf. Diakses
11 Juni 2019.
Hendrayady, A. 2018. Strategi pembangunan
wilayah perbatasan Provinsi Kepulauan
Riau. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 6(1):
1-10.
Hendrayady, A. 2019. Membangun wilayah
perbatasan di Provinsi Kepulauan Riau.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1): 34-49.
Indraningsih, K.S. 2017. Strategi diseminasi
inovasi pertanian dalam mendukung
pembangunan pertanian. Forum Penelitian
Agro Ekonomi, 35(2): 107-123.
Kuntjorowati, E. dan S. Prastyowati. 2017. Upaya
masyarakat perbatasan antarnegara dalam
mempertahankan kesejahteraan sosial. Jurnal
PKS, 16(4): 345-358.
Malik, H. 2014. Melepas perangkap impor pangan:
model pembangunan kedaulatan pangan di
Kabupaten Kaur, Bengkulu. LP3ES: Jakarta.
Mariyani, S. 2017. Strategi pengembangan
lumbung pangan dalam mendukung
ketersediaan pangan rumah tangga petani
padi anggota lumbung pangan di Kecamatan
100 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol. 6, N0., 1 Juni 2020 : 85 - 100
Ambarawa, Kabupaten Pringsewu. Skirpsi.
Universitas Lampung. p. 1-101.
Mishbah, A. 2013. Studi komparatif lumbung
pangan masyarakat desa dengan lumbung
pangan swadaya dalam membangun
ketahanan pangan di Kabupaten
Karanganyar. Skripsi. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Munaf, D.R., T. Suseno, R.I. Janu, dan A.M.
Badar. 2008. Peran teknologi tepat guna
untuk masyarakat daerah perbatasan. Jurnal
Sosioteknologi, 13(April): 329–333.
http://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/arti
cle/view/991/601. Diakses 11 Juni 2019.
Niko, N. 2019. Kemiskinan perempuan Dayak
Benawan di Kalimantan Barat sebagai
bentuk kolonialisme baru. Jurnal Pemikiran
Sosiologi, 6(1): 58-76.
Niko, N. dan Samkamaria. 2019. Terminal Barang
Internasional (TBI) dalam konteks
pembangunan ekonomi masyarakat di
perbatasan Entikong, Indonesia-Malaysia.
Indonesian Journal of Religion and Society,
1(2):104-114.
Ningsi, B.A.W. 2012. Permodelan ketahanan
pangan Indonesia dengan menggunakan
partial least square path modelling (PLS-
PM). Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nurhemi, R.I.S. Shinta, dan S.R. Guruh. 2014.
Pemetaan ketahanan pangan di Indonesia:
pendekatan TFP dan indeks ketahanan
pangan. Working Paper. Bank Indonesia.
WP/4/2014.
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No.
5680. Ditetapkan di Jakarta,pada tanggal 19
Maret 2015. Jakarta.
Prasmatiwi, F.E., N. Rosanti, dan ListianaI. 2013.
Kajian cadangan pangan rumahtangga petani
padi di Provinsi Lampung. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi V
Satek & Indonesia Hijau.
http://repository.lppm.unila.ac.id/756/1/
Fembriarti-Prosiding%20Satek.pdf. Diakses
13 Juni 2019
Prasmatiwi, F.E., Rosanti, dan Listiani. 2013.
Kajian cadangan pangan rumah tanggga
petani di provinsi Lampung. Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi V
Satek dan Indonesia Hijau. p. 1099-1108.
Prasojo, Z.H. 2013. Dinamika masyarakat lokal di
perbatasan. Walisongo, 21(November), 417–
436. http://www.journal.walisongo.ac.id/
index.php/walisongo/article/view/252/233.
Diakses 11 Juni 2019.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
(Pusdatin). 2017. Data produksi tanaman
pangan. Jakarta
Rachmat, M. 2010. Kajian sistem kelembagaan
cadangan pangan masyarakatperdesaan
untuk mengurangi 25% risiko kerawanan
pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Rahmawati, A. Saleh, M. Hubeis, dan N.
Purnaningsih. 2017. Factors related to use of
communication media spectrum
communication network dissemination in
multi channel. Int J Sci Basic and Applied
Res., 34(1): 182-192.
Rosyadi, I. dan N. Sasongko. 2010. Mendesain dan
menerapkan manajemen stok (cadangan)
pangan sebagai upaya meningkatkan
ketahanan pangan. WARTA, 13(2): 128 –
139.
Soedireja, H.R. 2017. Potensi dan upaya
pemanfaatan air tanah untuk irigasi lahan
kering di Nusa Tenggara. Jurnal Irigasi,
11(2): 67–80.
Sudiar, S. 2015. Pembangunan wilayah perbatasan
negara: gambaran tentang strategi
pengelolaan kawasan perbatasan darat di
Provinsi Kalimantan Utara. Jurnal
Administrative Reform, 3(4): 489-500.
101 Strategi Pengembangan Lumbung Pangan Dalam Mendukung Ketahanan Pangan di
Wilayah Perbatasan: Yennita Sihombing
Sukari. 2009. Strategi pengembangan kebijakan
dan program ketahanan pangan kabupaten
administrasi Kepulauan Seribu. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sulaiman, A.A., I. Las, D. Soetopo, I. Inounu,
B.I. Setiawan, K. Subagyono, Hermanto, T.
Alihamsyah, S. Torang, E. Suryani,
Hoerudin, S. Herodian, F. Bahar, dan B.
Wirawan. 2017. Buku membangun lumbung
pangan di perbatasan, sinergitas merintis
ekspor pangan di wilayah perbatasan NKRI.
Cetakan Pertama. Oktober 2017. ISBN :
9786025540066. Kementerian Pertanian,
Jakarta.
Soemarmo. 2010. Model pengembangan LPMD
lumbung pangan masyarakatdesa. FP
Universitas Brawijaya. Malang.
http://marno.lecture.ub.ac.id/. Diakses 11
Juni 2019.
Sunarminto, B.I., D. H. Darwanto, M. Mawardi, D.
Indradewa, D. Sutrisno, S. Atmosudiro, T.
Gunawan, Faturochman, Zuprizal, J.H.
Mulyo, C. Agus, B.S. Daryono, B.
Purwantana, Y. Erwanto, A. Rozaq,
Sugiyarto, C. Widiyanto, dan Genesiska.
2010. Buku Pertanian terpadu untuk
mendukung kedaulatan pangan nasional.
ISBN. 979-503-546-0. BPFE- Yogyakarta.
Hlm. 1-24.
Supianto. 2018. Kementan dorong pembangunan
lumbung pangan wilayah
perbatasan.Jurnas.com (Jujur dan bernas).
http://www.jurnas.com/artikel/35431/Kemen
tan-Dorong-Pembangunan-Lumbung-
Pangan-Wilayah-Perbatasan/ . Diakses 11
Juni 2019.
Syarief, R., Sumardjo, dan A. Fatchiya. 2014.
Kajian model pemberdayaan ketahanan
pangan di wilayah perbatasan antar negara.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 19(1): 9-13.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Tentang
Pangan Pasal 114. Disahkan di Jakarta,pada
tanggal 16 November 2012. Jakarta.
Warr, P. 2011. Food security vs. food self-
suffiency: the Indonesian case. Working
Paper. No.2011/04. The Australian National
University.
Warr, P. 2014. Food insecurity and its
determinants. The Australian National
University.
Widiatmaka. 2015. Integrasi informasi geografis
dan informasi sumberdaya lahan pertanian
mendukung kedaulatan pangan nasional.
Disampaikan dalam Seminar Nasional
“Peran Geografi dalam Mendukung
Kedaulatan Pangan 2015”. Badan Informasi
Geospasial. Bogor.
Zulkifli, A. Latif, dan R. Karmilia. 2017. Risiko
pengelolaan kawasan perbatasan negara
dengan model kerjasama ekonomi
internasional. Jurnal Ilmiah Cano
Ekonomos, 6(2): 59-70.
PEDOMAN BAGI PENULIS
Redaksi menerima naskah yang orisinil, belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang dalam proses
pengajuan ke penerbitan pada publikasi lain.
SISTEMATIKA PENULISAN NASKAH: Primer dan atau Tinjauan/Sekunder
Á Naskah primer: Nama penulis, nama instansi, alamat instansi kemudian Abstract, Keywords,
Abstrak, Kata kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terimakasih, Daftar Pustaka, Lampiran
Á Naskah tinjauan/sekunder: Sistematika sama dengan naskah primer tetapi tidak ada Metodologi
JUDUL
Á Judul harus mengandung novelty dan mencerminkan isi naskah, tidak melebihi 15 kata.
ABSTRAK
Á Menggambarkan seluruh isi tulisan secara singkat dan padat (maks 250 kata ), mencakup permasalahan, tujuan, metode, hasil utama, kesimpulan.
KATA KUNCI
Á Terdiri atas 3-5 kata kunci, mewakili isi naskah.
PENDAHULUAN
Á Memuat argumentasi penulisan naskah dengan judul yang dipilih, perumusan masalah, tujuan
METODOLOGI (Khusus untuk Naskah Primer)
Á Menyampaikan ruang lingkup, lokasi, waktu, data dan sumber data, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Á Ungkapan hasil dan pembahasan disampaikan tanpa dipisahkan antara hasil dan pembahasan. Á Susun dalam beberapa subbab yang mengacu pada tujuan Á Setiap pernyataan yang bukan pendapat penulis, agar dituliskan sumber referensinya. Á Setiap tampilan Tabel dan Gambar, dilengkapi dengan sumbernya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Á Memuat sintesis dari hasil dan pembahasan. Á Tidak mengulang pembahasan
UCAPAN TERIMAKASIH
Á Ditujukan kepada pihak-pihakyang berjasa dalam penyusunan naskah, sejak mengumpulkan data hingga tersusunnya menjadi naskah
DAFTAR PUSTAKA
Á Gunakan Mendeley dengan Style : Harvard-anglia 2008.
Á Jumlah pustaka untuk naskah primer: minimal 10 buah, 80 % diantaranya dari artikel. Á Untuk naskah tinjauan: jumlahnya minimal 25 buah, 80 % diantaranya dari artikel.
PENGAJUAN NASKAH
Á Ajukan melalui email ke alamat redaksi : E-mail : jpptp06@yahoo.com Á Pengajuan naskah, dilengkapi dengan: Surat pengantar Kepala Unit Kerja di tempat penulis, dan
Klirens etik yang ditandatangani semua penulis dibubuhi meterai. Á Jumlah halaman terbit, maksimum 10 halaman, atau sekitar 20 halaman usulan naskah. Á Gunakan Microsoft Office 2010
PUBLIKASI: Buletin terbit 2 kali dalam satu tahun, yaitu di Bulan Juni dan Desember
top related