iv tesis ini telah diuji panitia penguji tesis nomor : 68 ... · saya yang bertandatangan di bawah...
Post on 25-Apr-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal : 25 April 2017
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 68/UN 14.2.4.3/HK/2017
Tanggal 21 April 2017
Ketua : Prof. R.A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D.
Sekretaris : Dr. I Made Udiana, S.H., M.H.
Anggota :
1. Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum.
2. Dr. Dewa Gde Rudy, S.H., M.Hum.
3. Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum.
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Dewa Ayu Widya Sari
NIM : 1492461038
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG CYBER
NOTARY BERDASARKAN PASAL 15 AYAT
(3)UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN
NOTARIS
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 tahun 2010 dan Peraturan yang berlaku.
Denpasar, Maret 2017
Yang membuat pernyataan
Dewa Ayu Widya Sari
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini guna memperoleh gelar Magister
Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan, Program Fakultas Hukum
Universitas Udayana dengan judul “KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG
CYBER NOTARY BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (3) UNDANG-
UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN
NOTARIS”
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini belum tentu selesai tanpa
adanya bantuan dari pihak-pihak yang telah membimbing, mengarahkan,
memberikan semangat dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti studi pada Program Studi Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, untuk itu dengan segala ketulusan hati penulis ingin menggunakan
kesempatan ini untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat Pembimbing Pertama Prof. R. A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D.
dan Pembimbing Kedua Dr. I Made Udiana S.H., M.H, yang sudah meluangkan
waktu, memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam proses
penyelesaian Tesis ini. Terimakasih kepada penguji Prof. Dr. I Made Arya Utama,
S.H., M.Hum., Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum., Dr. Dewa Gde Rudy, S.H.,
M.Hum., yang telah meluangkan waktu, memberikan saran dan masukan kepada
Penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas
vii
Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada
Program Studi Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana. Terimakasih
juga penulis tujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Tidak lupa, penulis juga mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof.
Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum, atas ijin yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Magister.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Dr. Desak Putu
Dewi Kasih, S.H., M.Hum, atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis
ucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar serta Staf
Tata Usaha dan Karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas
Udayana atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga,
kedua Orang Tua, Ayahanda I Dewa Nyoman Gde Astawa. dan Ibunda I Gusti
Ketut Aryati atas kesempatan, doa dan dukungan yang tidak henti-hentinya
diberikan kepada penulis agar bisa menempuh dan menyelesaikan studi pada
Program Magister Universitas Udayana. Saudara/saudari penulis I Dewa Ayu
viii
Taman Sari, I Dewa Gede Suryawan dan I Dewa Ayu Alit Bintang yang telah
sangat membantu penulis menyelesaikan Tesis ini, yang terkasih I Made Yunada
yang sudah sabar dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi. Keluarga
besar Hartono, SH, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih
atas kesempatan, dukungan dan segala permakluman yang telah diberikan saat
penulis harus meninggalkan pekerjaan, termasuk ilmu dan pengalaman yang
diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk seluruh
teman-teman Angkatan VII Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas
kebersamaan dan hiburannya selama menempuh studi, serta semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan Tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna,
dan oleh karena itu guna perbaikan penulisan Tesis ini, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai bahan masukan bagi
penulis untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik di masa yang akan
dating. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
Denpasar, Januari 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG CYBER NOTARY
BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
Berdasarkan Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris memiliki kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Namun demikian
hingga dengan saat ini masih terdapat kekosongan hukum terkait pengaturan
tentang teknis pelaksanaan kewenangan notaris tersebut. Berdasarkan latar
belakang tersebut adapun permasalahan yang diangkat yaitu bagaimanakah
kewenangan notaris dalam pembuatan akta elektronik dilakukan? dan apakah
notaris berwenang membuat akta elektronik yang dilangsungkan oleh para pihak
yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris?
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
dengan menggunakan bahan penelitian yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan
studi kepustakaan dengan metode pendekatan the statute approach dan conseptual
approach. Selanjutnya bahan hukum yang dihimpun dianalisis secara Deskripsi,
Interpetasi, Konstruksi, Sistematisasi, Evaluasi, dan Argumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditemukan jawaban
permasalahan pertama, bahwa berdasarkan pendekatan teori kepastian kukum,
teori hukum progresif dan konsep negara hukum, kewenangan notaris dalam
pembuatan akta secara elektronik dilakukan dengan menggunakan bantuan media
video conference. Setelah draft akta disiapkan, notaris via video conference akan
membacakan akta yang akan di tandatangan oleh para pihak, para pihak pun dapat
mendengar sekaligus melihat dan membaca draft yang dimaksud pada media
elektronik yang dipergunakan. Setelah para para pihak menyetujui isinya, dengan
disaksikan oleh saksi-saksi dari notaris, para penghadap menandatangani akta
tersebut dengan menggunakan tanda tangan digital, kemudian notaris akan
melakukan pengecekan validitas atas tandatangan digital tersebut kepada CA.
Setelah CA menyatakan bahwa tanda tangan digital yang digunakan para pihak
adalah valid, maka notaris dan saksi-saksi turut serta menandatangani akta
tersebut, selanjutnya notaris dapat membuat salinan elektronik akta tersebut.
Kedua, bahwa berdasarkan pendekatan konsep negara hukum, teori wewenang,
teori penjenjangan norma, asas preferensi dan teknik interpretasi maka notaris
dapat membuat akta elektronik terhadap para pihak yang berkedudukan di luar
wilayah jabatan notaris, sepanjang objek atas perbuatan hukumnya masih berada
di dalam wilayah jabatan Notaris.
Kata Kunci: cyber notary, transaksi elektronik, wilayah jabatan notaris.
x
ABSTRACT
AUTHORITY OF NOTARIES IN CYBER NOTARY
UNDER ARTICLE 15 POINT (3) OF LAW NUMBER 2 OF 2014
ON AMENDMENT TO LAW NUMBER 30 OF 2004
ON THE POSITION NOTARY
Based on the descriptions of Article 15 point (3) of Law No. 2 of 2014 on the
Amendment of Law No. 30 of 2004 on Positions of Notaries Public it is state that
the Notary has the authority to certify the electronic transaction (cyber Notary).
However, until today there still exists legal void regarding technical
implementation rule regulating the authority of notaries. Based on this
background the issue herein raised is how electronic deeds made by notaries will
be done? and how will electronic deeds be done by the parties domiciled outside
the jurisdiction of the notaries practicing regions?
This research was classified into normative legal research with approached
by conceptual and statute approach. The legal material of this research were
based on primary, secondary and tertiary legal materials. The legal materials was
be descripted henceforth to interpreted, constructed, systematization, analysed,
evaluated, and also given argument to get conclusion of the problems.
Based on study conducted, the solution can be found, First, that based on
the theories of legal certainty, progressive law and state legal concept the
creation of electronic deeds by notaries may be conducted video conference. The
creation of electronic deeds by notaries public is similar to de process of creating
conventional notarized deeds, whereby after the draft is prepared, the content will
be read out by the notary public to be signed later by the parties. The signing
parties will be able to see and read the draft on the computer screen or the
electronic medium in use. And after the parties approve the content, the notary
public will ask the first party to sign the deed using the digital signature. The
notary public then validating the signature to CA, if the signature are valid notary
able giving the copy of the deed to the parties. Second, based on the concept of
legal state, theory of authority, theory of norm classification principle of
preference and technic of interpretation, notaries will be able to draw up
electronic transaction of the parties whose domicile in outside practicing area of
the notaries, except the object is out of notarie’s practicing area.
Key Words : cyber notary, electronic deeds, notarie’s practicing areas
xi
RINGKASAN
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub
bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan permasalahan yang
diteliti tentang Kewenangan Notaris Di Bidang Cyber Notary Berdasarkan Pasal
15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Bab pertama sebagai bab pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
permasalahan dan alasan melakukan penelitian. Berdasarkan penjelasan Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya
disebut UUJN) disebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan mensertifikasi
transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Konsep cyber notary
ingin memberi bingkai hukum yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau
penghadap di hadapan notaris dan notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik
(face to face) di satu tempat tertentu, dalam hal ini bisa saja para pihak berada di
suatu tempat yang berbeda dengan tempat kedudukan atau wilayah jabatan
notaris. Namun demikian hingga dengan saat ini masih terdapat kekosongan
hukum terkait pengaturan tentang teknis pelaksanaan kewenangan notaris tersebut
disamping itu terkait yurisdiksi notaris dalam menjalankan kewenangannya di
bidang cyber notary tampak adanya pertentangan norma antara Pasal 2 Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik dengan
Pasal 18 jo. Pasal 17 UUJN, dimana disatu sisi Pasal 2 UU ITE menyebutkan
bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal sedangkan di sisi
lain notaris dilarang menjalankan jabatannya di luar wilayah Provinsi dari tempat
kedudukannya.
Bab kedua menguraikan mengenai tinjauan umum tentang notaris dan
cyber notary, yang terbagi dalam 2 (dua) sub bab. Yaktu sub bab pertama
membahas tentang Tnjauan Umum tentang notaris yang di dalamnya menguraikan
tentang sejarah perkembangan notaris, karakteristik notaris, kewenangan notaris,
kewajiban bagi notaris dan larangan bagi notaris. Sub bab kedua membahas
tentang tinjauan umum tentang cyber notary.
Bab ketiga merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yakni
bagaimanakah kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik.
Dalam pembahasannya menguraikan tentang Peluang Pembuatan Akta Notaris
secara elektronik di Indonesia dan Kekosongan Norma Pengaturan Pembuatan
Akta Notaris secara elektronik.
Bab keempat merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yakni
apakah notaris berwenang membuat akta elektronik yang dilangsungkan oleh para
pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris. Dalam pembahasannya
menguraikan tentang yurisdiksi kewenangan notaris dalam kaitannya dengan
pembuatan akta terhadap para pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan
notaris dan kedudukan atas akta elektronik yang dibuat terhadap para pihak yang
berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris tersebut.
xii
Bab kelima merupakan bagian penutup yang merupakan kesimpulan dari
tulisan ini, serta akan diajukan saran atas masalah yang diangkat dalam tulisan ini.
Dari pembahasan permasalahan pertama diperoleh kesimpulan bahwa
berdasarkan pendekatan teori kepastian kukum, teori hukum progresif dan konsep
negara hukum, maka pembuatan akta elektronik oleh notaris dapat dilakukan
dengan menggunakan bantuan media video conference. Bahwa kewenangan
notaris dalam pembuatan akta secara elektronik dilakukan dengan menggunakan
bantuan media video conference. Setelah draft akta disiapkan, notaris via video
conference akan membacakan akta yang akan di tandatangan oleh para pihak, para
pihak pun dapat mendengar sekaligus melihat dan membaca draft yang dimaksud
pada media elektronik yang dipergunakan. Setelah para para pihak menyetujui
isinya, dengan disaksikan oleh saksi-saksi dari notaris,para penghadap akan
dipersilahkan oleh notaris untuk menandatangani akta tersebut dengan
menggunakan tanda tangan digital, kemudian notaris akan melakukan pengecekan
validitas atas tandatangan digital tersebut kepada CA. Setelah CA menyatakan
bahwa tanda tangan digital yang digunakan para pihak adalah valid, maka notaris
dan saksi-saksi turut serta menandatangani akta tersebut, selanjutnya notaris dapat
membuat salinan elektronik akta tersebut, yang kemudian dikirimkan melalui
email kepada penghadap yang bersangkutan. Kedua, bahwa berdasarkan
pendekatan konsep negara hukum, teori wewenang, teori penjenjangan norma dan
asas preferensi maka notaris dapat membuat akta elektronik yang para pihaknya
berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris, sepanjang objek atas perbuatan
hukumnya masih berada di dalam wilayah jabatan Notaris.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………………………………………………………. i
PRASYARAT GELAR ………………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………… iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………………. v
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….. vi
ABSTRAK ………………………………………………………………… ix
ABSTRACT ……………………………………………………………… x
RINGKASAN ……………………………………………………………. xi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………..….. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………… 11
1.3. Orisinalitas Penelitian ….……………………………………… 11
1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 14
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 14
1.6. Landasan Teoritis ……………………………………………… 15
1.6.1. Konsep Negara Hukum……………………….. ………… 16
1.6.2. Teori wewenang …………………………………………. 18
1.6.3. Teori Kepastian Hukum …………………………………. 21
1.6.4. Teori Hukum Progresif …………………………………. 23
1.6.5. Teori Penjenjangan Norma ……………………………… 26
xiv
1.6.6. Asas Preferensi…………………………………………… 28
1.7. Metode Penelitian ……………………………………………… 32
1.7.1.Jenis Penelitian ………………………………………….. 32
1.7.2.Jenis Pendekatan ………………………………………… 33
1.7.3.Sumber Bahan Hukum ………………………………….. 34
1.7.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ……………………. 35
1.7.5.Teknik Analisis Bahan Hukum ………………………… 35
1.8. Kerangka Berpikir ………………………………………………. 41
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN CYBER
NOTARY ............................................................................................. 47
2.1. Tinjauan Umum tentang Notaris ………………………………. 47
2.1.1. Sejarah Perkembangan Notaris ………………………….. 47
2.1.2. Karakteristik Notaris ……………………………………. 49
2.1.3. Kewenangan Notaris ……………………………………. 62
2.1.4. Kewajiban Bagi Notaris ………………………………… 64
2.1.5. Larangan Bagi Notaris …………………………………… 69
2.2. Tinjauan Umum tentang Cyber Notary ………………………… 74
2.2.1. Sejarah Cyber Notary di Indonesia …………………… 74
2.2.2. Pengertian Cyber Notary ……………………………… 80
BAB III KONSEP CYBER NOTARY di INDONESIA …………………….. 91
3.1. Peluang Pembuatan Akta Notaris secara Elektronik di Indonesia. 91
3.2. Kekosongan Norma Pengaturan Pembuatan Akta Notaris secara
Elektronik di Indonesia ………………………………………… 102
xv
BAB IV YURISDIKSI KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA SECARA ELEKTRONIK …………………….…………… 134
4.1. Yurisdiksi Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta secara
Elektronik………………………………………………………. 134
4.2. Kedudukan Akta Notaris yang dibuat secara Elektronik terhadap
Para Pihak yang berkedudukan di luar Wilayah Jabatan Notaris 147
BAB V PENUTUP ……………………………………………………….. 156
5.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 156
5.2. Saran …………………………………………………………… 157
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah mengalami
perkembangan yang pesat. Demikian pesatnya kemajuan di bidang ini
memunculkan terbentuknya era global dimana antar daerah bahkan negara seakan-
akan tidak memiliki batas teritorial lagi. Globalisasi merupakan suatu proses yang
mencakup keseluruhan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga tidak lagi
tampak adanya batas-batas yang mengikat secara nyata. Dalam hubungannya
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, makna globalisasi mempunyai
dimensi luas dan kompleks yaitu bagaimana suatu negara yang memiliki batas-
batas teritorial dan kedaulatan tidak akan berdaya untuk menepis penerobosan
informasi, komunikasi dan transportasi yang dilakukan oleh masyarakat di luar
perbatasan. Pada era globalisasi ini dunia mengalami transformasi yang luar biasa
yang membawa pengaruh hampir ke seluruh aspek kehidupan.
Globalisasi ditandai oleh perkembangan teknologi elektronik yang sangat
pesat. Canggihnya teknologi modern dan terbukanya jaringan informasi global
yang transparan merupakan suatu gejala masyarakat gelombang ketiga, yang telah
ditandai dengan munculnya internet. Teknologi internet mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap dunia. Internet membawa perekonomian dunia
memasuki babak baru yang lebih populer dengan istilah digital economics,
2
keberadaannya ditandai dengan semakin maraknya kegiatan perekonomian yang
memanfaatkan internet sebagai media komunikasi, kolaborasi dan kooperasi.1
Pada prinsipnya globalisasi mengacu pada perkembangan-perkembangan
yang cepat di bidang teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa
membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi hal yang bisa dijangkau dengan
mudah. Globalisasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya membuat sekat-
sekat antar negara menjadi kabur yang mana disebabkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
global dengan ideologi Pancasila yang terbuka dan sistem politik, ekonomi,
sosial-budaya dan pertahanan keamanan yang dinamis, tidak dapat menghindar
dari arus derasnya perubahan sebagai akibat kemuktahiran teknologi informasi.
Pesatnya perkembangan teknologi membawa dampak pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
hukum. Kesemuanya ini menuntut adanya pengaturan hukum agar kehidupan
masyarakat tertib, aman, tentram dan sejahtera.
Globalisasi sebagai sebuah keharusan sejarah yang tak dapat dihindari oleh
siapapun telah memberikan dampak yang sangat besar dalam berbagai bidang
kehidupan umat manusia. Dampak nyata globalisasi tersebut tidak hanya dapat
dilihat dalam bidang sosial budaya dan ekonomi, tetapi juga di bidang hukum
tidak terkecuali dalam bidang hukum kenotariatan yaitu ditandai dengan adanya
ketentuan yang menyebutkan secara eksplisit bahwa seorang Notaris memiliki
kewenangan di bidang Cyber Notary.
1Abdul Halim Barkatullah, 2005, Bisnis E-commerce Studi Sistem Keamanan Dan
Hukum Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta, hal.1
3
Kemajuan teknologi informasi membawa dampak positif bagi peningkatan
perekonomian suatu bangsa. Transaksi elektronik adalah salah satu bukti dari
kemajuan teknologi informasi yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Peran
notaris dituntut untuk bisa turut serta dalam perkembangan teknologi dan
informasi tersebut, karena di dalam suatu transaksi elektronik tersebut sangat
dimungkinkan adanya campur tangan notaris sebagai pihak ketiga yang dipercaya
layaknya peran notaris dalam transaksi konvensional. Sangat tidak tepat apabila
notaris masih menggunakan cara konvensional dalam pelayanan jasa di bidang
transaksi elektronik, karena kecepatan, ketepatan waktu dan efesiensi sangatlah
dibutuhkan oleh para pihak. Perkembangan fungsi dan peran notaris dalam suatu
transaksi elektronik tersebut kemudian dipopulerkan dengan istilah Cyber
Notary.2 Notaris dituntut untuk bisa dan mampu menggunakan konsep cyber
notary agar tercipta suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat dan efesien, sehingga
mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.3
Secara rinci Notaris memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, untuk selanjutnya disebut UUJN). Adapun bunyi
ketentuan yang mengatur kewenangan notaris dalam UUJN akan diuraikan
sebagai berikut :
2 Edmon Makarim, 2013,Notaris dan Transaksi Elektronik;Kajian Hukum tentag Cyber
Notary atai Electronic Notary, PT Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 117. 3 R.A. Emma Nurita, 2012, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran,
Refika Aditama, Bandung, hal. 17.
4
Kewenangan umum Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang
menyatakan bahwa:
Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua
itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selanjutnya kewenangan khusus Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN
yang menyatakan sebagai berikut :
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan akta pertanahan;
g. membuat akta risalah lelang.
Kewenangan lain yang akan ditentukan kemudian, diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
UUJN yang menyatakan bahwa “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.”
Kewenangan notaris dalam bidang cyber notary secara eksplisit disebut
dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN yang menyatakan bahwa “Yang
dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan
secara elektronik (Cyber Notary), membuat akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat
5
terbang.” Berdasarkan penjelasan Pasal 15 ayat (3) tersebut dapat diketahui bahwa
Notaris memiliki kewenangan lain salah satunya adalah kewenangan
mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary).
Penggunaan media elektronik sebagai salah satu bentuk perkembangan teknologi
informasi dewasa ini telah banyak memberi kemudahan bagi notaris di dalam
menunjang tugas dan pekerjaannya seperti penggunaan email dan fax dalam
berkomunikasi, penggunaan komputer untuk pembuatan akta dan salinannya,
pembuatan laporan bulanan notaris, perkembangan terakhir adalah penggunaan
jaringan internet untuk akses ke situs administrasi hukum umum Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia guna pendaftaran pendirian atau pemberitahuan
perubahan anggaran dasar suatu Badan Hukum, serta pendaftaran Fidusia. Namun
demikian apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat 3 UUJN maka konsep
cyber notary dapat dimaknai sebagai notaris yang menjalankan tugas atau
kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi yang berkaitan
dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan akta, atau secara
sederhana konsep cyber notary ingin memberi bingkai hukum yaitu agar tindakan
menghadap para pihak atau penghadap dan notarisnya tidak lagi harus bertemu
secara fisik (face to face) di suatu tempat tertentu, dalam hal ini bisa saja para
pihak berada di suatu tempat yang berbeda dengan tempat kedudukan atau
wilayah jabatan notaris, di sisi lain para pihak berada pada tempat yang berbeda
pula.4 Hadirnya kewenangan notaris dibidang cyber notary dapat dipandang
sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan teknologi saat ini. Suatu kenyataan
4 Emma Nurita, 2012, Cyber Notary, Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, PT
Refika Aditama, Bandung, hal. xii.
6
sosial menunjukkan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah
mengubah pola dan perilaku masyarakat, diantaranya dalam transaksi bisnis telah
terjadi pergeseran dari pola konvensional dengan cara bertatap muka atau kontrak
offline ke arah era kontrak elektronik dengan cara online. Dengan teknologi
informasi transaksi bisnis tidak lagi dilakukan dengan cara berhadap-hadapan atau
face to face antara para pihak, tapi bisa dilakukan melalui pemanfaatan teknologi
informasi dimana para pihak tidak bertemu langsung secara fisik. Perkembangan
tersebut tentunya akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan kewenangan
notaris yang memiliki kewenangan utama untuk membuat akta otentik. Dengan
adanya ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUJNP yang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan di bidang cyber notary
memberikan peluang dibuatnya akta notaris dengan menggunakan media
elektronik, dalam hal ini notaris berperan dalam memberikan kepastian hukum
(aspek legal) atas suatu kontrak elektronik yang berlangung. Namun demikian
hingga dengan saat ini belum ada penjabaran lebih lanjut serta belum adanya
peraturan yang mengatur secara khusus tentang teknis pelaksanaan kewenangan
notaris tersebut mengakibatkan kebingungan dalam implementasinya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut apabila dicermati terdapat benang
merah antara UUJN dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 58 untuk selanjutnya disebut UU ITE) beserta perubahannya yaitu
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 251) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang
7
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 189, untuk selanjutnya disebut PP ITE). UU ITE
mengatur tentang prinsip-prinsip hukum dan regulasi pemanfaatan media
elektronik. Segala bentuk pemanfaatan media elektronik tunduk pada undang-
undang tersebut termasuk notaris dalam menjalankan kewenangannya di bidang
cyber notary tidak bisa lepas dari ketentuan yang diatur dalam UU ITE dan segala
peraturan pelaksanaanya.
Kajian lebih mendalam keterkaitan Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan UU
ITE dan PP ITE menghadirkan permasalahan yuridis baru terkait kompetensi
notaris dalam pembuatan akta secara elektronik. Kewenangan notaris dalam
pembuatan akta secara elektronik atau konsep cyber notary ini tidak dapat
dilepaskan dari ketentuan dalam UU ITE. Dilihat dari segi filosofisnya kegiatan
yang dilakukan secara elektronik bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat
konvensional yang mana dapat dilakukan dimana saja, kegiatan mana dengan
menggunakan media elektronik tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan
memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi bisa menembus batas-batas
wilayah seolah menjadi tidak terbatas, oleh karena itu dalam pengaturannya
transaksi elektronik dapat dilakukan tanpa adanya pembatasan wilayah sejalan
dengan apa yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan
bahwa Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah
hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia
8
dan merugikan kepentingan Indonesia. Jadi ketentuan dalam UU ITE berlaku
secara global sepanjang menyangkut kepentingan Indonesia. Dalam Penjelasan
Pasal 2 UU ITE tersebut diterangkan bahwa jangkauan yurisdiksi yang demikian
ditetapkan karena mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik termasuk transaksi elektronik dapat bersifat
lintas teritorial atau universal, tidak dibatasi oleh ruang (borderless) sehingga
dapat dilakukan dimana saja. Dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan
akta secara elektronik oleh notaris hal ini menimbulkan permasalahan jika
dihadapkan dengan Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 UUJN, dimana notaris
memiliki apa yang disebut sebagai wilayah jabatan notaris. Adapun Pasal 18
UUJN menyatakan bahwa :
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi
dari tempat kedudukannya.
Selanjutnya dalam Pasal 17 huruf a UUJN diatur bahwa Notaris dilarang
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Dalam penjelasan Pasal 17 huruf
a tersebut menyatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya
persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya. Artinya
bahwa notaris berwenang membuat akta atas perbuatan hukum yang dilakukan
dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eeeb3c0a2d8/adakah-pembatasan-wilayah-notaris-
terkait-pembuatan-akta-pendirian-pt.
9
notaris yang bersangkutan.5 Adapun yang dimaksud dengan “membuat akta” di
sini adalah hadir di hadapan para penghadap (subjek perjanjian), membacakan dan
menanda-tangani akta tersebut.6 Berdasarkan Pasal 17 huruf a jo. Pasal 18 UUJN
penandatanganan akta noatriil dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, pertama,
penandatanganan akta dilakukan di kantor tempat kedudukan notaris yang
bersangkutan; kedua, penandatanganan akta dilakukan di luar tempat kedudukan
notaris namun pihak penghadap dan notaris masih berada dalam wilayah jabatan
notaris yaitu masih berada dalam 1 (satu) provinsi dari tempat kedudukan notaris,
contohnya dalam pembuatan berita acara rapat umum pemegang saham atau
penandatanganan akta terkait akad kredit di bank, dalam hal ini notaris
diperkenankan melangsungkan kewenangannya di luar tempat kedudukannya
namun demi kepastian hukum maka dilakukan dengan pembatasan bahwa notaris
dan penghadap serta objek pembuatan akta masih berada dalam wilayah jabatan
notaris. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kompetensi Notaris
dalam pembuatan akta secara elektronik. Kemudahan yang ditawarkan oleh
teknologi melalui media elektronik memungkinkan seseorang untuk melakukan
kegiatan/transaksi dimana saja, misalnya dalam pembuatan berita acara rapat
umum pemegang saham (RUPS), apabila RUPS tersebut dilangsungkan melalui
video conference dan dituangkan dalam bentuk akta elektronik yang dibuat oleh
notaris dimana salah satu atau beberapa pemegang saham berada di Jepang
sedangkan pemegang saham lainnya berada di Indonesia maka notaris dalam hal
ini sudah menjalankan jabatannya terhadap suatu perbuatan hukum yang bersifat
5 Irma Devita Purnamasari, 2011, Adakah Pembatasan Wilayah Notaris Terkait
Pembuatan Akta Pendirian PT, di akses pada tanggal 01 September 2016, diunduh dari URL : 6Ibid.
10
lintas batas negara, dengan menggunakan media elektronik batas-batas teritorial
ditiadakan, keadaan yang demikian tidak bertentangan dengan UU ITE karena
Pasal 2 UU ITE sendiri mengakui bahwa suatu transaksi elektronik bersifat
universal tidak terikat oleh territorial, namun hal demikian dapat dianggap
bertentangan Pasal 17 dan 18 UUJN. Ketentuan Pasal 17 dan 18 UUJN tersebut
membatasi kompetensi notaris. Dengan adanya pembuatan akta yang bersifat
lintas batas negara tersebut notaris dapat dipandang telah melanggar maksud dari
adanya pembatasan wilayah jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 17
huruf a jo. Pasal 18 UUJN. Pembuatan akta secara elektronik tidak mengenal
batas teritorial karena dengan dimungkinkannya pembuatan akta secara
elektronik berarti notaris dapat membuat dan melaksanakan penandatanganan akta
terhadap pihak-pihak yang berada di luar wilayah jabatannya, sementara maksud
dari diadakannya Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 UUJN adalah adanya pembatasan
bahwa notaris hanya dapat membuat akta dalam hal ini membaca dan
menandatangani akta terhadap penghadap yang berada dalam wilayah jabatan
notaris demikian halnya dengan objek dari perbuatan hukum yang dituangkan
dalam akta tersebut berada dalam wilayah jabatan notaris. Fenomena adanya
pertentangan norma ini tentunya menimbulkan keraguan bagi notaris dalam
menjalankan kewenangannya di bidang cyber notary tersebut. Keadaan yang
demikian menimbulkan kebingungan apakah notaris dapat mengambil peran
terkait transaksi elektronik yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris.
11
Hukum sebagai salah satu sarana yang dibutuhkan oleh semua orang
dalam mengatur kehidupannya termasuk dalam hal ini adalah kewenangan notaris
di bidang cyber notary, untuk itu diperlukan seperangkat pengaturan hukum yang
jelas dan mempunyai kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan dan
menyisakan pertanyaan dalam penerapannya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka dalam penelitian
ini mengangkat judul tentang KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG CYBER
NOTARY BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (3) UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka adapun Rumusan
Masalah yang diangkat dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara
elektronik dilakukan?
2. Apakah notaris berwenang membuat akta secara elektronik terhadap para
pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris?
1.3. Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena
belum ada penelitian secara khusus menulis tentang permasalahan dalam
penelitian ini, meskipun demikian ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak
sama secara substantial. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain
yang tidak sama dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
12
1. Penelitian yang dilakukan oleh AGUNG FAJAR MATRA, pada tahun 2012
dari Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, dengan
judul “Penerapan Cyber Notary di Indonesia ditinjau dari Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”. Tesis ini membahas tentang
apakah cyber Notary dapat diterapkan di Indonesia apabila ditinjau dari
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, untuk selanjutnya disebut
UUJNSP) dan kendala apa saja yang akan muncul dalam menerapkan cyber
notary di Indonesia. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa penerapan cyber
notary di Indonesia masih sulit untuk diterapkan secara utuh dimana
penerapan cyber notary masih banyak terbentur dengan UUJNSP. Dalam
hukum positif di Indonesia, terutama di dalam UUJNSP sendiri masih banyak
unsur-unsur yang tidak memungkinkan untuk menerapkan cyber notary secara
utuh di Indonesia, hal tersebut antara lain berkaitan dengan
keotentitasan/keaslian suatu akta dan juga sifat kerahasiaan yang harus
dipegang teguh oleh seorang notaris sebagai pejabat umum. Kendala utama di
dalam menerapkan cyber notary di Indonesia yaitu terbenturnya konsep cyber
notary ini dengan UUJNSP dan juga dengan Pasal 1868 KUHPerdata, Cyber
notary juga terkendala dengan sistem hukum di Indonesia dan proses
sosialisasi yang masih minim mengenai cybernotary.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Zainatun Rossaliana, pada tahun 2012 dari
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, dengan judul
“Keabsahan Akta Notaris yang Menggunakan Cyber Notary sebagai Akta
13
Otentik ”. Tesis ini membahas tentang Penyelesaian Konflik Norma antara
Pasal 15 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN dan apakah
sertifikasi transaksi yang dilakukan secara Cyber Notary sah sebagai akta
otentik. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa Konflik norma antara Pasal
15 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN dapat diselesaikan dengan
tetap menggunakan Pasal 15 ayat (3) UUJN dan dapat membuat akta Notaris
pada umumnya sepanjang pelaksanaan pasal tersebut sesuai dengan Pasal 16
ayat (1) huruf m dan Pasal 38 UUJN serta juga harus memenuhi unsur-unsur
dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang merupakan syarat otensitas akta. Dalam
kesimpulan kedua disebutkan bahwa sertifikasi transaksi yang menggunakan
cyber notary adalah sah karena sudah diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Hijrah Aulia Marta, pada tahun 2012 dari
Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, dengan judul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Notaris Dalam Transaksi Elektronik”. Tesis
ini membahas tentang apakah akta notaris dapat dibuat dalam bentuk akta
elektronik yang memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta otentik dan
bagaimanakah konsep penerapan akta notaris dalam bentuk akta elektronik
yang diakui sebagai akta otentik di masa yang akan datang. Adapun hasil dari
penelitian tersebut adalah, pertama, bahwa saat ini, akta notaris yang berbentuk
akta elektronik hanya diakui sebagai akta dibawah tangan. Namun besar
kemungkinan di masa yang akan datang akta notaris yang berbentuk akta
elektronik dapat diakui sebagai akta otentik. Kedua, kedepannya penerapan
14
akta notaris dalam bentuk akta elektronik yang diakui sebagai akta otentik
dapat dilakukan yaitu dengan diberlakukan cyber notary.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah
dikemukakan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya di bidang kenotariatan terkait kewenangan notaris di bidang Cyber
Notary yang baru diatur sejak diundangkannya UUJN.
1.4.2.Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin
dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan notaris dalam pembuatan
akta secara elektronik dilakukan.
2. Untuk mengetahui apakah notaris berwenang membuat akta secara
elektronik terhadap para pihak yang berkedudukan di luar wilayah
jabatan notaris.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua permasalahan
yang dibahas dalam tesis ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Secara teoritis adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu
hukum. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
15
1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai kewenangan lain yang dimiliki
oleh Notaris sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 15 ayat 3 UUJN
khususnya mengenai kewenangan notaris di bidang cyber notary.
2. Bagi Pemerintah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan atau masukan serta pengetahuan akan adanya problematika
terkait kewenangan notaris di bidang cyber notary sehingga pemerintah
dapat mengambil sikap untuk mengatasi permasalahan tersebut dan
notaris dapat melaksanakan kewenangan sesuai dengan tuntutan
perkembangan jaman.
3. Bagi masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai peningkatan peran dan
fungsi notaris.
1.6. Landasan Teoritis.
Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.7
Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang,
pendapat dan pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang
dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-
hipotesis yang dapat dikaji.8 Berdasakan beberapa definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang
7Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hal. 4 8Ibid, hal. 5
16
merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara ini disepakati
kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli hukum.9
Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.10 Ilmu hukum memiliki banyak
konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu
pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma
hukum”.11 Asas hukum merupakan kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai.12
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah
penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu
Peraturan Perundang-undangan. Adapun teori, asas dan konsep hukum yang
digunakan sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan dalam penelitian
ini adalah:
1.6.1. Konsep Negara Hukum
Berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat
(3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Unsur-unsur
minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir
Manan adalah sebagai berikut:13
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;
9Ibid,hal. 5 10Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 47 11M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,
cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, hal. 56 12J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan
kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 123 13Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesiadikutip dari I
Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan
Untuk Pembangunan Berkelanjutan,Pustaka Sutra, Bandung, hal. 15
17
c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.
Dari unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, unsur yang
bertalian erat dengan penelitian ini, yaitu unsur semua tindakan harus berdasar
hukum. Unsur ini memiliki arti bahwa setiap tindakan warga negara termasuk
penyelenggara negara harus berdasarkan atau berada dalam koridor hukum. maka
dalam hal ini hukum dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia
harus patuh dan tunduk pada norma hukum yang berlaku tidak terkecuali bagi
seorang Notaris dalam menjalankan kewenangannya.
Konsep ini dimaksudkan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis
kedua permasalahan dalam penelitian ini. Notaris di dalam menjalankan
kewenangannya harus didasarkan kepada hukum, dengan kata lain kewenangan
yang dijalankan oleh seorang notaris tidak boleh menyimpang dari peraturan
perundang-undangan.Peraturan perundang-undangan akan menetukan sah atau
tidak sahnya akibat hukum yang ditimbulkan dari kewenangan yang dijalankan
oleh seorang notaris.Oleh karena itu apabila dalam sebuah negara hukum terdapat
adanya suatu kekosongan, kekaburan dan/atau konfliknorma dalam suatu
peraturan perundang-undangan maka keadaan yang demikian harus segera
diakhiri, karena hukum memegang peran utama dalam negara itu sendiri.
18
1.6.2.Teori Wewenang
Kata kewenangan berasal dari kata wenang, yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan
(untuk melakukan sesuatu),14 sementara itu Indroharto mengemukakan bahwa
secara yuridis arti dari kata wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.15
Dari perspektif hukum administrasi negara, ada tiga sumber untuk
memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan
suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang
pemerintahan itu dibedakan antara:
1. yang berkedudukan sebagai “original legislator”: yang di Indonesia
adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai pembentuk
Konstitusi, dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama-sama
Presiden sebagai melahirkan Undang-undang;
2. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang
berdasar pada suatu ketentuan Undang-Undang mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang pemerintahan
kepada badan/pejabat pemerintahan tertentu.
14 Departemen Pendidikan Nasional, 2010, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal.210 15 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68.
19
Delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada oleh badan/pejabat
pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif
kepada badan/pejabat pemerintahan lainnya. Dalam hal pelimpahan wewenang
pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:16
1. delegasi harus difinitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. adanya kewajiban mempertanggungjawabkan dari penerima delegasi
(delegataris) kepada delegans;
5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang
tersebut kepada delegataris.
Mandat adalah pelimpahan tugas (penugasan) oleh pejabat atasannya
(pemberi mandat) kepada bawahannya (penerima mandat) untuk “atas nama”
pejabat atasannya melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta
mengeluarkan keputusan-keputusan administrasi tertentu.
Menurut teori kewenangan yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon
disebutkan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat.17 Kewenangan atribusi lazimnya digariskan
16 Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,
hal.76. 17 Philipus M. Hadjon, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, hal.2.
20
melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang, kewenangan delegasi
adalah kewenangan yang berasal dari adanya pelimpahan kewenangan secara
atributif sedangkan mandat tidak terjadi suatu pelimpahan kewenangan.18 Terkait
dengan kewenangan notaris dalam hal menjalankan tugas jabatannya sebagai
pejabat umum merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara
normatif diatur di dalam Pasal 15 UUJN.
Wewenang seorang notaris juga bersifat mandiri dan otonom, sebagai
Pejabat Publik yang diangkat oleh negara, seorang notaris dapat menjalankan
fungsinya kapan saja, tanpa harus memperoleh persetujuan dari pemerintah,
notaris bebas menjalankan fungsi dan wewenangnya selama tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Teori ini dipergunakan untuk menganalisis masalah Kedua dalam
penelitian ini. Dalam teori ini diajarkan bahwa tiada kewenangan yang lahir tanpa
adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dengan kata lain
kewenangan lahir dari peraturan perundang-undangan. Teori ini erat kaitannya
dalam menganalisis permasalahan kedua yaitu tentang kewenangan seorang
notaris di bidang cyber notary beserta akibat hukumya apabila kewenangan
tersebut dilakukan di luar wilayah jabatan notaris, sehubungan dengan itu maka
harus dilihat apakah peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber
kewenangan notaris memperbolehkan seorang notaris untuk melakukan hal
tersebut.
1.6.3. Teori Kepastian Hukum
18Hadi Setia Tunggal, 2006, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris,
Dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi & AD, ART dan Kode Etik Notaris, Harvarindo,
Jakarta, hal. 39.
21
Teori kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam
Negara hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada
hal-hal berikut:
1. kepastian hukum;
2. keadilan;
3. daya guna atau kemanfaatan.19
Teori Kepastian Hukum dari Gustav Radbruch, dimana bila dicari inti dari
teori kepastian itu sendiri adalah:
Teori kepastian hukum itu mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja
yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan
hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah di putuskan.20
Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus
dijalankan dengan cara yang baik.Kepastian hukum menghendaki adanya upaya
pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang
berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis
yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu
peraturan yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan)
asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum
19O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hal.
33. 20 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta, hal. 158.
22
akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat
kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :21
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak
berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara
peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,
perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.
Teori ini relevan dalam kaitannya untuk menganalisis permasalahan
pertama dan kedua. Permasalahan pertama dan kedua merupakan bentuk
ketidakpastian hukum yang tidak akan terjadi apabila tidak terdapat kekosongan
pengaturan dan konflik norma antara UUJN dan UU ITE. Kepastian hukum
secara normatif adalah saat suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti
karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
hukum tersebut tidak menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis
dalam artian bahwa hukum tersebut menjadi suatu sistem norma dengan norma
lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma dengan aturan
lainnya. Adanya kekosongan norma serta konflik norma antara UUJN dan UU
ITE menunjukan bahwa telah terjadi penyimpangan atas asas kepastian hukum
21Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,hal. 91-92
23
yang diutarakan oleh Lon Fuller khususnya asas peraturan dibuat dalam rumusan
yang dimengerti oleh umuman asas tidak boleh ada peraturan yang saling
bertentangan.
1.6.4. Teori Hukum Progresif
Pada awalnya sistem hukum positif dipandang mampu memberikan
harapan untuk mengatur berbagai persoalan yang muncul pada masyarakat
modern sehingga (diprediksikan) bisa mewujudkan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat
hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin
“terasing” dari realitas yang terus berkembang semakin pesat.22
Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu
didominasi oleh alam pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule
of Law yang bercirikan: Formal rules (tertulis dalam bentuk peraturan perundang-
undangan); Procedures (dilaksanakan melalui “aturan main” yang ketat);
Methodologist (mendewakan logika dalam penerapannya; Bureaucreacy) hanya
lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat,
melaksanakan dan mengawasi hukum.23 Munculnya ciri-ciri tersebut karena
konteks sejarah menculnya hukum modern dalam Constitutional State adalah
sebagai reaksi terhadap kekacauan yang diakibatkan oleh sistem hukum era
sebelumnya yakni absolutisme. Sehingga pada awalnya memang model hukum
modern ini cukup efektif dalam upaya penertiban masyarakat. Namun dalam
22 Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia:Penyebab dan Solusinya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 19. 23Al. Wisnubroto, 1996. Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-
Aspek Pengubah Hukum, hal. 20.
24
perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa Kontinental, model
hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin tidak ampuh dalam mengatasi
perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial akibat pesatnya
kemajuan teknologi. Oleh sebab itu negara-negara maju seperti Amerika Serikat
mencoba untuk memformulasikan sistem hukumnya dengan apa yang disebut
“Anglo-American Common Law”.24
Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi
perubahan sosial akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan
informasi adalah sifatnya yang cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan
dengan sendirinya sulit untuk menjadi responsif terhadap perkembangan rasa
keadilan. Demikian halnya dengan sistem hukum Indonesia yang menurut
pendapat dari pengamat internasional hingga masyarakat awam masih jauh dari
harapan dan memerlukan pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif
kemudian muncul sebagai reaksi keprihatinan atas kegagalan hukum Indonesia
yang didominasi doktrin positivism. Hukum Progresif dicetuskan oleh Profesor
Satjipto Rahardjo yang tidak sekedar sebagai penggagas awal tetapi sekaligus juga
pejuang dan pengembang hukum progresif.25
Prinsip utama yang dijadikan landasan dalam teori hukum progresif adalah
“Hukum adalah untuk Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk
dalam skema hukum. Bahkan hukum dibuat bukan untuk dirinya sendiri (hukum
24Al. Wisnubroto, 2014, Dasar-dasar Hukum Progresif, diakses pada tanggal 08 Agustus
2016, diunduh dari http://www.hukumprogresif.com/2014/11-dasar-dasar-hukum-progresif, hal.5. 25Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI dan The Asia Foundation, hal.5.
25
untuk hukum).26 Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam
hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin menggeser
landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum
bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses
menjadi” (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas
kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu
mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat.27
Oleh sebab itu hukum progresif tidak menempatkan aturan hukum positif
sebagai sumber hukum yang paripurna. Manusia harus mampu memberikan
makna pada sebuah aturan hukum melampaui teks yang tertulis guna mewujudkan
keadilan yang substantif. Prinsip ini telah mengispirasi praktek penegakan hukum
secara progresif oleh para pekerja hukum.28
Bagi hukum progresif proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan
tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan
waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa
harus menunggu perubahan peraturan.
Teori ini digunakan untuk membahas pembahasan masalah pertama dan
kedua dalam penelitian ini, dimana melalui teori ini dimungkinkan untuk
melakukan intepretasi kreatif tentang konsep dari cyber notary itu sendiri
26 Al.Wisnubroto, Op.Cit., hal.8 27 Ibid 28 Al.Wisnubroto, “Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, dalam Myrna
A.Savitri, et.al., 2011, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif :Urgensi dan Kritik, Epistema-
Huma, Jakarta, hal.225.
26
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih luwes tentang kapabilitas seorang
notaris dalam pembuatan akta secara elektronik.
1.6.5. Teori Penjenjangan Norma
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori
gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans
Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre” mengemukakan
bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang dibawah
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada
suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.29
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis
dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok,
dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat
kelompok besar, yaitu:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II : Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan
otonom).
Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan tentang
jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:
29Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, ,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 44-45.
27
Pasal 7:
(1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental
negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar
bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis
besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma
hukum yang berisi sanksi.
Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan
Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupakan
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata
cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari
norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok dan merupakan norma
hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-undang
dikatagorikan dalam Fomell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome
Satzung.
Teori ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan kedua dari
penelitian ini. Permasalahan kedua dalam penelitian ini timbul akibat adanya 2
(dua) peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lainnya. Teori
28
ini dipergunakan untuk menentukan tingkatan/kedudukan dari peraturan yang
beretentangan tersebut, apakah memiliki kedudukan yang sederajat atau tidak.
Penentuan kedudukan ini kemudian untuk memastikan asas mana dari asas
preferensi yang akan digunakan untuk memecahkan konflik norma yang terjadi.
1.6.6. Asas Preferensi
Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki
(kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada
peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan
suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan
adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Jika ternyata ada
pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan
perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada yang
dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Oleh karena itu diperlukan
asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan
perundang-undangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas
(adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai
asas preferensi, yaitu:
1. Asas lex superior derogat legi inferiori,
Terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie
menyatakan bahwa:
Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih
tinggi yang mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi pertentangan,
maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih
29
rendah, dan karena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka
hal demikian berlaku asas lex superior derogate legi inferiori.30
Hal tersebut sebagaimana dimaksud oleh Gert-Fredrik Malt yang
menyatakan bahwa:
the lex superior principle points to the formaland substantive reasons for
assuming, given a set of different opinions covering the same situation an
emanating from different sources (persons, procedures, values), that one (in
principle and which one) should be considered as representing the ultimate or
most fundamental and important opinion of the utterer (or a body of utterers,
such as the society as a whole?) and that is the valid one. In a world where
points of view, values, and opinions may differ (disagree) such an assumption
will promote the necessary and maximal orientatition of the total set of
opinions in the sistem toward coherence and unity (of order, of value, of
opinion, of acts, avoiding anarchy) and efficiency in the application of means
and end.31
2. Asas lex posteriori derogate legi priori
Selanjutnya terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Gert-Fredrik Malt
menyatakan bahwa:
The lex posterior principle thus points to the formal and substantive reasons
for assuming, given an older and more recent statement (concerning fact,
values, and norms), that the latter represents the ultimate (actual) opinion of
the utterer and is also the valid one. In a changing world such an assumption
will promote a necessary and maximal orientation of the total set of opinions in
the sistem towards the actual (present).”32
Hal senada mengenai asas ini diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang
menyatakan bahwa:
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama
dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi
normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundang-undangan yang
baru dengan tidak mencabut peraturan perundang-undangan yang lama yang
30Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata
Pemerintahan yang baik, A3, Malang,hal. 36. 31Gert-Fredrik Malt, “Methods for the solution of Conflict between Rule in a sistem of
Positive Law” dalam Bob Brouwer, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of
the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory. hal. 211 32Gert-Fredrik Malt, Op.Cit.,hal..208
30
mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling
bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama, hal demikian
berlaku asas lex posteriori derogate legi priori.33
3. Asas lex specialis derogate legi generali
Terkait dengan asas lex specialis derogate legi generali, Gert-Fredrik Malt
menyatakan bahwa:
The lex specialis principle points to the formal and substantive reasons for
assuming, given a more general and a more specific statement, coverting the
same situation, that the latter represents the ultimate opinions of the utterer
and also the valid one in relation to the situation. In a complex world, such as
assumtions will promote necessary and maximal orientatios of the total set of
opinions in the sistem toward the concrete (reality).34
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang
menyatakan bahwa:
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat
umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, sedangkan
kedua-duanya mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi demikian maka
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus akan mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku
asas lex specialis derogate legi generali.35
Adapun tipe penyelesaian yang berkaitan dengan asas preferensi hukum
sebagaimana diuraikan diaas yaitu sebagai berikut:36
1. Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan
bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan
33Kusnu Goesniadhie, Op.Cit.,hal. 36 34Gert-Fredrik Malt, Op.Cit. hal. 209 35Kusnu Goesniadhie, Op.Cit. hal. 37 36P.W. Brouwer et.al. Coherence and Conflict in Law dalam Philipus M. Hadjon dan
Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hal.31
31
dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika
diinterpretasi sebagai pragmatis.
2. Reinterpretasi
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan:
Cara yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti
asas-asas preferensi, menginterpretasi kembali norma yang utama
dengan cara yang lebih fleksibel.
Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi dan
kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyampingkan
norma yang lain.
3. Pembatalan (invalidation)
Ada dua macam pembatalan, yaitu:
a. pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu
lembaga khusus. Di Indonesia Pembatalan Peraturan Pemerintah ke
bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
b. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut dalam
kasus konkrit.
4. Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal:
dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan
dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah
maka dengan cara memberikan kompensasi.
32
Asas ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan kedua dari
penelitian ini. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa permasalahan
kedua dalam penelitian ini adalah bermula dari adanya konflik norma,
permasalahan kedua dalam penelitian ini akan memperoleh penyelesaian dengan
menerapkan asas ini pada konflik norma yang terjadi.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan
tidak hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap sesuatu obyek
yang terlihat kasat mata.37 Suatu penelitian secara ilmiah dilakukan oleh manusia
untuk menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, yang
disertai dengan suatu keyakinan, bahwa setiap gejala akan ditelaah dan dicari
hubungan sebab akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu,
menurut H.L.Manheim, bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara hati-
hati dan cermat menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki subjek ke
dalam cara berfikir ilmiah38
1.7.1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitaian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian ini beranjak dari adanya kekosongan dan
konflik norma yang mengatur tentang kewenangan notaris di bidang Cyber Notary
berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUJN dimana kekosongan norma yang terjadi
adalah mengenai bagaimana pembuatan akta elektronik dibuat oleh notaris,
37Ibid. 38 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, hal.
9.
33
sedangkan konflik norma yang terjadi adalah pertentangan antara Pasal 17 jo.18
UUJN dengan Pasal 2 UU ITE terkait apakah notaris berwenang untuk membuat
akta secara elektronik yang dilakukan oleh para pihak yang berkedudukan di luar
wilayah jabatan notaris.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, dengan
pendekaan tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai masalah
yang diteliti. Pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan pada
tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (The
Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and
Conceptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk
mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian hukum ini.
Pendekatan analisis konsep hukum (Analytical and Conceptual Approcah)
yaitu beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi.39
39Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hal. 93
34
Dengan beberapa pendekatan hukum yang digunakan tersebut diharapkan
dapat diperoleh pemecahan yang tepat terhadap kedua pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam tesis ini.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum.40 Bahan-bahan hukum primer diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok
permasalahan yang akan diteliti.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
lebih lanjut terhadap bahan hukum primer,41 dalam penulisan tesis ini
digunakan bahan hukum sekunder seperti:
a. Buku-buku mengenai Cyber Notary, kewenangan notaris dan
buku-buku lain yang terkait dengan topik yang diangkat dalam
penelitian ini.
b. Makalah-makalah yang berasal dari seminar maupun pidato
mengenai Cyber Notary;
c. Artikel-artikel yang terkait dengan permasalahan yang di bahas
baik yang dimuat dalam media cetak mauapun media elektronik.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.42 Bahan
40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan
singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13 41Ibid
35
hukum tersier yang dugunakan dalam penulisan ini adalah Kamus
Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
dilakukan melalui studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer yaitu
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan, bahan hukum
sekunder yaitu buku-buku literatur ilmu hukum beserta tulisan-tulisan hukum
lainnya yang relevan dengan permasalahan dan bahan hukum tersier. Bahan
hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu
(card sistem). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang
perlu disiapkan yaitu43 kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau
mengutip data beserta sumber darimana data tersebut diperoleh (nama
pengarang/penulis,judul buku/artikel, halaman, dan sebagainya)
Dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan melalui tahapan identifikasi
bahan hukum, selanjutnya data yang telah terkumpul selanjutnya diolah.
Pengolahan bahan hukum dilakukan dengan tahapan pemeriksaan bahan hukum,
penandaan bahan hukum, serta penyusunan atau sistematisasi bahan hukum.
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan
yang akan diteliti selanjutnya dibahas melalui beberapa teknik analisis yaitu
teknik deskripsi, interpretasi, konstruksi, sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.
Analisis bahan hukum dalam penelitian ini diawali dengan melakukan teknik
42Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
43 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.Cit, hal.. 53
36
deskripsi. Teknik deskripsi adalah penguraian suatu bahan hukum yang telah
dikumpulkan. Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap peratutan perundang-
undangan yang menunjukkan adanya kekosongan dan konflik norma mengenai
kewenangan notaris di bidang Cyber Notary khususnya dalam hal ini adalah
kewenangan mensertifikasi transaksi elektronik.
Bahan hukum yang telah dideskripsikan tersebut kemudian disistemasi,
diinterpretasi, dievaluasi dan diberikan argumentasi. Teknik sistematisasi adalah
upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan
yang sederajat maupun yang tidak sederajat.44 Dalam penelitian ini teknik ini
digunakan dengan mengkaitkan rumusan konsep hukum dari kedua pokok
permasalahan dengan peraturan perundang-undangan lain baik yang sederajat
maupun tidak sederajat.
Teknik selanjutnya yang digunakan adalah interpretasi atau penafsiran
hukum atau adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu
Pasal.45 Penafsiran atau interpretasi hukum dilakukan dalam kaitan adanya suatu
kekaburan norma. Terkait dengan hal tersebut pendapat A Aarnio yang dikutip
oleh Hans Kelsen menyebutkan bahwa….interpretation in turn has been
understood as linguistic matter….46 atau penafsiran semata-mata disebabkan
karena faktor bahasa. Dalam ilmu hukum ada adagium yang berbunyi “in claris
non fit interpretatio” yang artinya kalau undang-undang sudah jelas tidak perlu
dilakukan interpretasi. Berpkir secara “acontrario” maka justru adagium inilah
44Ibid 45Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum. PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 157 46Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, hal.381
37
yang sesungguhnya menjadi landasan relevansi interpretasi apabila undang-
undang tidak jelas. Interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan
cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang. Isi
Undang-Undang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang
mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpretatie
terhadap Undang-Undang itu perlu.47 Ada beberapa metode penafsiran hukum
yang lazim diterapkan yaitu :
1. Penafsiran Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang
karena itu hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri
(penjelasan undang-undang menurut susunan kata-katanya).48
2. Penafsiran Historis atau Sejarah, adalah meneliti sejarah dari undang-
undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud
pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum
tertentu seperti KUHP, KUHPerdata, hukum romawi dan sebagainya.49
b. Sejarah undang-undang, yaitu penelitian terhadap pembentukan undang-
undang tersebut, seperti ketentuan denda dalam KUHP pidana, sekarang
dikalikan lima belas mendekati harga-harga pada waktu KUHP Pidana
itu dibentuk.50
47Pipin syarifin, 1999, Pengantar Ilmu Hukum. CV.Pustaka Setia, Bandung, hal, 156 48Ibid 49Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit. hal.15 50Pipin Syarifin, Op.Cit, hal.157
38
3. Penafsiran Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sitem dan rumusan
undang-undang yang meliputi:51
1. Penalaran analogi dan penalaran a contario. Penggunaan a
contario yaitu memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal
undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan
berlakunya kaidah Undang-Undang.
2. Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah terdahulu
secara logis tak ada perbedaan).
3. Penghalusan atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
4. Penafsiran Teleologis/Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan maksud atau
tujuan dibuatnya undang-undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan
manusia yang selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi undang-undang
tetap dan tidak berubah. Contoh walaupun undang-undang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan akan tetapi jika undang-undang itu masih berlaku, maka
tetap diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa masa sekarang.52
5. Penafsiran Authentic (Sahih dan Resmi), yaitu membersihkan penafsiran
yang pasti sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang itu
sendiri.53
6. Penafsiran Ektensis (Luas), yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata
dalam peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya, seperti
51Hasanuddin AF [et al.], 2004, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Al Husna Baru,
Jakarta, hal.166. 52Ibid 53Ibid
39
:aliran listrik dapat dimasukkan kedalam kata benda, karena itu ada yang
berwujud dan yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.54
7. Penafsiran Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi,
karena analogi sama dengan qiyas, yaitu hukum ibarat dengan kata-kata
tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuai peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian di anggap sesuai dengan bunyi
aturan tersebut, misalnya, menyambung atpenau menyantol aliran listrik
dianggap sama dengan mengambil aliran listrik, misalnya: Hakim cari
undang-undang untuk yang tepat untuk mengadili perkara kalau undang-
undang tidak ada, maka ia lari ke:
a. Yurisprudensi;
b. Dalil hukum adat;
c. Melakukan undang-undang secara analogi (kontruksi hukum).
8. Penafsiran Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit)
arti kata dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk kerugian
yang terwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya.55
9. Penafsiran Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya
dengan okum okum yang berlaku. Contoh Pasal 570 KUHPerdata sekarang
harus ditasirkan menurut hak milik yang sesuai dengan okum Indonesia yaitu
Pasal 20 ayat1 Undang-Undang Pokok Agraria.56
10. Penafsiran a Contrario (Menurut Pengingkaran), yaitu suatu cara
menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertuian
54Ibid 55Hasanuddin AF [et al.], Op.Cit, hal. 167 56Ibid, hal. 166
40
antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu undang-undang.
Berdasarkan perlawanan (pengingkaran) itu ditarik kesimpulan bahwa soal
yang dihadapi tiu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud/ berada di luar
pasal itu. Karena dasar berfikir a contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa
pasal untuk suatu peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri
itu, sudah bukti yang jelas bahwa pembuat undang-undang tidak
menghendaki peristiwa yang serupa itu termasuk diatur juga.57
11. Penafsiran Perbandingan, yaitu penafsiran komparatif dengan cara
membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu
ketentuan undang-undang.58
Teknik Konstruksi, yaitu berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan
melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario), sedangkan teknik
evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,
benar atau salah, sah atau tidak sahnya suatu pandangan, proposisi, pernyataan
norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun bahan hukum
sekunder.59 Teknik Argumentasi yaitu memberikan argumen atau alasan yang
bersifat penalaran hukum terkait permasalahan yang dibahas.
57 Pipin Syarifin,Loc.Cit. 58Ibid. 59Ibid
41
1.8. Kerangka Berpikir
Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam menganalisis
permasalahan, maka dapat diangkat suatu kerangka berpikir atas dasar acuan
teori-teori yang telah diuraikan tersebut di atas, yang mana suatu kekosongan dan
konflik norma atas pengaturan kewenangan notaris di bidang cyber notary
menimbulkan suatu ketidakpastian dalam pelaksanaanya. Berdasarkan penjelasan
Pasal 15 ayat (3) UUJN tersebut dapat diketahui bahwa Notaris memiliki
kewenangan lain salah satunya adalah kewenangan mensertifikasi transaksi yang
dilakukan secara elektronik (cyber notary). Konsep cyber notary ingin memberi
bingkai hukum yaitu agar tindakan menghadap para pihak atau penghadap di
hadapan notaris dan notarisnya tidak lagi harus bertemu secara fisik (face to face)
di suatu tempat tertentu, dalam hal ini bisa saja para pihak berada di suatu tempat
yang berbeda dengan tempat kedudukan atau wilayah jabatan notaris, di sisi lain
para pihak berada pada tempat yang berbeda pula. Hadirnya kewenangan notaris
dibidang cyber notary dapat dipandang sebagai jawaban atas tuntutan
perkembangan teknologi saat ini. Suatu kenyataan sosial menunjukkan
perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengubah pola dan
perilaku masyarakat, diantaranya dalam transaksi bisnis telah terjadi pergeseran
dari pola konvensional dengan cara bertatap muka atau kontrak offline ke arah era
kontrak elektronik dengan cara online. Peran notaris dituntut untuk bisa turut serta
dalam perkembangan teknologi dan informasi tersebut. Sebagaimana diketahui
bahwa notaris telah lama dikenal sebagai pihak ketiga yang dipercaya, dengan
adanya ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUJNP yang dalam penjelasannya
42
menyebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan di bidang cyber notary
memberikan peluang dibuatnya akta notaris dengan menggunakan media
elektronik, dalam hal ini notaris berperan dalam memberikan aspek legal atas
suatu akta yang dibuat secara elektronik. Namun demikian hingga dengan saat ini
belum ada penjabaran lebih lanjut serta belum adanya peraturan yang mengatur
secara khusus tentang teknis pelaksanaan kewenangan notaris tersebut
mengakibatkan kebingungan dalam implementasinya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut apabila dicermati terdapat
benang merah antara UUJN dengan UU ITE dan PP ITE. UU ITE mengatur
tentang prinsip-prinsip hukum dan regulasi pemanfaatan media elektronik. Segala
bentuk pemanfaatan media elektronik tunduk pada UU tersebut termasuk notaris
dalam menjalankan kewenangannya di bidang cyber notary. Kajian lebih
mendalam hubungan antara UUJN dengan UU ITE dan PP ITE menghadirkan
permasalahan yuridis baru yaitu konflik norma yurisdiksi notaris dalam
menjalankan kewenangannya. Dilihat dari segi filosofisnya transaksi elektronik
bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat konvensional yang mana dapat
dilakukan dimana saja tidak menutup kemungkinan bersifat lintas batas negara
sebagaimana halnya dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE tersebut diterangkan
bahwa jangkauan UU ITE tidak mengenal batas teritorial mengingat pemanfaatan
Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas territorial atau universal. Namun di sisi lain notaris memiliki apa
yang disebut sebagai wilayah jabatan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 18
UUJN yang menyatakan bahwa:
43
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah Provinsi
dari tempat kedudukannya.
Selanjutnya dalam Pasal 17 huruf a UUJN diatur bahwa Notaris dilarang
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Dalam penjelasan Pasal 17 huruf
a tersebut menyatakan bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya
persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya. Artinya
bahwa notaris berwenang membuat akta atas perbuatan hukum yang dilakukan
dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan
notaris yang bersangkutan,60 yang dimaksud dengan “membuat akta” di sini
adalah hadir di hadapan para penghadap (subjek perjanjian), membacakan dan
menanda-tangani akta tersebut.61
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kompetensi Notaris
dalam menjalankan kewenangannya di bidang cyber notaryatas transaksi
elektronik yang dilakukan oleh para pihak yang berada di luar wilayah jabatan
notaris. Dalam mengatasi permasalahan tersebut terdapat landasan teori yang
digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut. Landasan teori yang
digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini adalah Konsep
Negara Hukum, Teori Wewenang, Teori Kepastian Hukum, Teori Pernjenjangan
Norma, dan Asas Preferensi.
60 Irma Devita Purnamasari, 2011, Adakah Pembatasan Wilayah Notaris Terkait
Pembuatan Akta Pendirian PT, di akses pada tanggal 01 September 2016, diunduh dari URL :
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eeeb3c0a2d8/adakah-pembatasan-wilayah-notaris-
terkait-pembuatan-akta-pendirian-pt. 61Ibid.
44
Konsep Negara Hukum dimaksudkan sebagai dasar untuk membahas dan
menganalisis seluruh permasalahan dalam penelitian ini. Notaris di dalam
menjalankan kewenangannya harus didasarkan kepada hukum, dengan kata lain
kewenangan yang dijalankan oleh seorang notaris tidak boleh menyimpang dari
peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan akan
menetukan sah atau tidak sahnya akibat hukum yang ditimbulkan dari
kewenangan yang dijalankan oleh seorang notaris.
Teori Kewenangan dipergunakan untuk menganalisis masalah kedua
dalam penelitian ini. Dalam teori ini diajarkan bahwa tiada kewenangan yang lahir
tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Teori ini erat
kaitannya dalam menganalisis permasalahan kedua, yaitu apakah seorang notaris
boleh menjalankan kewenangan cyber notary terhadap tranaksi elektronik yang
dilangsungkan oleh para pihak yang berada di luar wilayah jabatan notaris dan
akibat hukum yang ditimbulkan apabila notaris melakukannya.
Teori Kepastian Hukum dipergunakan untuk membahas permasalahan
Pertama dan Kedua. Permasalahan kedua merupakan bentuk ketidakpastian
hukum yang tidak akan terjadi apabila tidak terdapat konflik norma antara UUJN
dan UU ITE. Adanya konflik norma antara UUJN dan UU ITE menunjukan
bahwa telah terjadi penyimpangan atas asas kepastian hukum yang diutarakan
oleh Lon Fuller khususnya asas tidak boleh ada peraturan yang saling
bertentangan.
Teori Penjenjangan Norma dipergunakan untuk menentukan
tingkatan/kedudukan dari peraturan yang mengalami konflik norma, apakah
45
memiliki kedudukan yang sederajat atau tidak. Penentuan kedudukan ini
kemudian untuk memastikan asas mana dari asas preferensi yang akan digunakan
untuk memecahkan konflik norma yang terjadi untuk memecahkan permasalahan
kedua dalam penelitian ini.
Asas Preferensi dipergunakan untuk memecahkan permasalahan kedua
dari penelitian ini. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa permasalahan
kedua dalam penelitian ini adalah bermula dari adanya konflik norma,
permasalahan kedua dalam penelitian ini akan memperoleh penyelesaian dengan
menerapkan asas ini pada konflik norma yang terjadi.
Teori Hukum Progresif digunakan untuk mempertajam pembahasan
masalah Pertama dalam penelitian ini. Melalui teori ini dimungkinkan untuk
melakukan intepretasi kreatif tentang konsep dari cyber notary itu sendiri
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih fleksibel tentang kapabilitas seorang
notaris dalam melakukan sertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Seluruh landasan teoritis tersebut akan dipergunakan untuk membedah dan
menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Secara garis besar kerangka berpikir tersebut digambarkan dalam bagan
sebagai berikut:
46
KEKOSONGAN DAN KONFLIK NORMA
KEWENANGAN NOTARIS DI BIDANG CYBER NOTARY
Jenis
Penelitian:
- Penelitian
Normatif
Jenis Pendekatan :
- Pendekatan
Peraturan
Perundang-
undangan
- Pendekatan
Analisis Konsep
Hukum
Sumber Bahan
Hukum:
- Bahan Hukum
Primer
- Bahan Hukum
Sekunder
- Bahan Hukum
Tersier
Teknik
Pengumpulan
Bahan Hukum :
- Studi
kepustakaan
- Sistem kartu
Teknik Analisis Bahan Hukum : Deskripsi, Interpetasi, Konstruksi,
Sistematisasi, Evaluasi, dan Argumentasi.
Permasalahan 1:
Bagaimanakah kewenangan
notaris dalam
pembuatan akta
secara elektronik
dilakukan?
Permasalahan 2:
Apakah notaris berwenang membuat akta secara elektronik terhadap
para pihak yang berkedudukan di luar wilayah jabatan notaris?
Teori Kepastian Hukum
Teori Wewenang
Asas Preferensi
Teori Penjenjangan Norma
Konsep Negara Hukum
Teori Hukum Progresif
top related