jenis-jenis logam yang terdapat di dalam -...
Post on 06-Mar-2019
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FTIP001648/016
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan batu bara di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi
pembangkit listrik pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 47,7 juta ton atau 50%
dari total sumber bahan baku energi listrik nasional (Wardani, 2008). Jumlah
tersebut tidak termasuk sumber-sumber lain dimana penggunaannya sangat
mempertimbangkan biaya produksi. Sementara itu, kenaikan harga BBM
menyebabkan biaya produksi semakin tinggi, oleh karena itu banyak perusahaan
yang beralih ke bahan bakar yang lebih murah untuk sumber bahan bakar dalam
menghasilkan uap (steam), di antaranya industri tekstil (Kementrian Negara
Lingkungan Hidup, 2010). Salah satu kawasan yang memiliki kawasan industri
tekstil yang padat di antaranya adalah kabupaten Bandung. Menurut Suseno
(2006), penggunaan batu bara untuk industri tekstil di Kabupaten Bandung bisa
mencapai 45.000 ton/bulan.
Pada proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis limbah padat yang
dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash dan fly
ash. Bottom ash adalah sisa pembakaran batu bara yang memiliki massa yang
lebih berat (abu bawah) dari fly ash sehingga menumpuk di bawah tungku
pembakaran, sementara itu fly ash adalah abu sisa pembakaran yang memiliki
massa yang kecil sehingga dapat terbang oleh tiupan angin atau hembusan udara
tungku pembakaran (abu terbang) (Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari,
2009).
Fly ash dan bottom ash, berdasarkan PP. No. 85 tahun 1999 tentang
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dikategorikan sebagai B3
dengan kode limbah D223. Di dalam Lampiran 1 PP tersebut disebutkan bahwa
pencemar utama di dalam fly ash dan bottom ash adalah logam berat dan PNA
(Polynuclear Aromatics).
FTIP001648/017
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
2
Jenis-jenis logam yang terdapat di dalam fly ash yaitu timbal (Pb) 19 ppm,
tembaga (Cu) 298 ppm, seng (Zn) 391 ppm, krom (Cr) 224 ppm, dan arsen (As)
10 ppm (Hadijah dan Damayanti, 2006). Pb dan Cu termasuk dalam golongan
logam berat, sedangkan As termasuk dalam golongan metaloid, yaitu transisi
antara logam dan non-logam (Sunardi, 2006).
Meskipun memiliki kandungan logam berat yang cukup tinggi dan
termasuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), fly ash masih bisa dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, selama mendapat izin dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup dengan memenuhi syarat-syarat pemanfaatan diantaranya
melaporkan kegiatan pemanfaatan minimal satu kali dalam enam bulan kepada
menteri, gubernur atau walikota, berdasarkan Pasal 11, Peraturan Pemerintah No.
02 Tahun 2008. Syarat lainnya sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 10 ayat 2
yaitu pengumpul limbah B3 antara lain harus memiliki sarana dan prasarana pre-
treatment dan juga memiliki sarana dan prasarana laboratorium.
Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, maka fly ash dapat digunakan
untuk tujuan pertanian selama memenuhi syarat yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Beberapa penelitian penggunaan fly ash dalam bidang pertanian
mengindikasikan bahwa fly ash memiliki dampak positif dalam memperbaiki
kualitas tanah, diantaranya meningkatkan daya ikat air, kapasitas air tersedia, laju
infiltrasi dan drainase secara keseluruhan (Fail dan Wochock, 1977 dalam
Thyvahary, 2004).
Pengaruh pemberian fly ash limbah batu bara terhadap sifat fisik tanah
diketahui dapat meningkatkan kestabilan tanah dalam menahan rainfall runoff,
dimana tanah yang diberi campuran fly ash limbah batu bara memiliki tingkat
sedimentasi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sondari, 2009).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Adha (2009) pada tanah
gambut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas dukung tanah dari
tanah asli sebesar 85,67 ton/m2 dengan tanah campuran fly ash 15% dengan
pemeraman 14 hari sebesar 701,33 ton/m2. Penelitian di Australia menunjukkan
bahwa pemberian fly ash 100 ton/ha pada tanah pasir dapat menghemat
penggunaan 75% air (Smith, 2005). Sementara itu, pemberian 10 ton/ha fly ash
FTIP001648/018
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
3
pada tanaman padi di India dapat meningkatkan hasil gabah yang setara dengan
4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per ha, sementara perlakuan kontrol hanya
menghasilkan 2,559 ton gabah per ha (Mittra et al, 2003).
Selain memiliki dampak positif, penggunaan fly ash juga mengakibatkan
dampak negatif diantaranya adalah; kandungan logam di dalam fly ash jika
dibiarkan dapat menimbulkan pelindian (leaching) yang akan mencemari tanah
dan air tanah dan kemungkinan besar akan terakumulasi di dalam organ-organ
vegetatif maupun generatif tanaman (Sharma and Kalra, 2006). Untuk
mengurangi kandungan logam di dalam fly ash, maka dapat dilakukan dengan
proses dekomposisi fly ash bersama dengan bahan organik. Proses dekomposisi
bahan organik akan menyebabkan reaksi antara kation logam dan bahan-bahan
organik yang disebut dengan pengkhelatan, sehingga jumlah logam akan
berkurang (Hardjowigeno, 2003).
Pada umumnya, dekomposisi bahan organik memakan waktu yang lama,
karena tidak dilakukan penambahan mikroorganisme. Proses dekomposisi bisa
dipercepat dengan menambahkan kultur mikroorganisme campuran seperti
Effective Mikcroorganism (EM) 4. Proses dekomposisi yang melibatkan kultur
bakteri campuran tersebut dinamakan dengan bokashi (bahan organik kaya akan
sumber daya hayati) (Sutanto, 2002). Pembuatan bokashi yang menggunakan
limbah batu bara telah dilakukan pada tanaman padi. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa Pemberian 20 ton/ha bokashi bottom ash memperlihatkan
tinggi tanaman dan jumlah anakan yang paling tinggi, serta memberikan hasil
bobot gabah kering padi gogo tertinggi yaitu 17,2406 g/rumpun. Kadar logam
berat Pb pada beras tidak terdeteksi dengan adanya pemberian bottom ash maupun
bokashi bottom ash (Sondari, 2009). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
bahwa perbedaan antara fly ash dan bottom ash terletak pada ukuran partikel yang
lebih kecil.
Meskipun penelitian Sondari (2009) menggunakan bokashi bottom ash
untuk tanaman serealia (dalam hal ini tidak termasuk sayuran buah), penelitian
mengenai penggunaan fly ash sebagai pupuk dasar untuk tanaman sayuran buah
telah dilakukan oleh Ansari, Gupta dan Yunus pada Tahun 2011 terhadap tanaman
FTIP001648/019
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
4
terung (Solanum melongena). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa hasil
panen tertinggi dihasilkan oleh tanaman terung yang ditanam dalam media tanam
dengan perbandingan fly ash dan tanah kebun 1 : 1. Sementara itu, penelitian
mengenai pemanfaatan fly ash untuk tanaman cabai merah belum pernah
dilakukan. Padahal, cabai merah besar (Capsicum annuum L. var. abreviata
Eingerhuth) merupakan tanaman hortikultura yang paling dikenal dan banyak
digunakan sebagai pelengkap bumbu masakan. Selain itu, menurut Tjahjadi
(1991) tanaman cabai memiliki keunggulan dapat dibudidayakan di berbagai
tempat dengan ketinggian dan jenis tanah yang berbeda-beda, dari mulai dataran
rendah hingga dataran tinggi, dari tanah liat maupun pasir, dengan syarat
kesuburan tanah tetap terjaga.
Selain ditunjang oleh daya adaptasi yang baik, penggunaan cabai merah
sebagai objek penelitian juga didukung oleh fakta bahwa konsumsi cabai (semua
jenis) sangat tinggi di Indonesia. Hal ini terkait dengan kebiasaan setempat yang
menyukai masakan dengan rasa pedas. Konsumsi rata-rata cabai untuk rumah
tangga di Jawa adalah 5,937 gram/kapita/hari (2,20 kg/kapita/tahun), 5,696
gram/kapita/hari untuk daerah pedesaan dan 5,900 gram/kapita/hari untuk daerah
perkotaan (Bank Indonesia, 2007). Permintaan yang tinggi untuk buah cabai
merah besar tidak diimbangi oleh ketersedian pupuk yang memadai di setiap saat,
karena kebutuhan pupuk dasar untuk tanaman cabai cukup tinggi yaitu 10-20
ton/ha (Prajnanta, 1998). Keberadaan pupuk tersebut seringkali sulit dipenuhi oleh
petani jika lokasi penanaman jauh dari sentra produksi pupuk, seperti peternakan.
Sementara itu, limbah batu bara yang cukup melimpah di beberapa daerah tertentu
tidak dimanfaatkan oleh petani.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikasi masalah mengenai sejauh
mana pengaruh pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap
pertumbuhan, hasil, serta kandungan logam berat pada tanaman cabai merah.
FTIP001648/020
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
5
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana pengaruh pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash
terhadap pertumbuhan tanaman?
2. Apakah terdapat kandungan logam berat di dalam buah cabai merah besar
akibat pemberian berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash?
3. Bagaimana dengan hasil yang diperoleh dari pemberian berbagai dosis fly
ash dan bokashi fly ash?
1.4 Tujuan dan Maksud Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
berbagai dosis fly ash dan bokashi fly ash terhadap hasil, pertumbuhan dan
kandungan logam berat Pb di dalam tanaman cabai merah besar.
1.5 Kegunaan Penelitian
1. Memberikan tambahan informasi mengenai penggunaan fly ash untuk
tanaman cabai merah besar.
2. Mendapatkan cara penanganan limbah batu bara yang tidak mencemari
lingkungan.
1.6 Kerangka Pemikiran
Pembakaran batu bara menghasilkan dua jenis limbah padat yang
dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash (abu
bawah) dan fly ash (abu terbang). Bottom ash merupakan abu yang mengumpul di
bagian bawah tungku pembakaran, sedangkan fly ash adalah abu yang karena
massanya kecil, dapat terbawa oleh perbedaan potensial lingkungan angin,
tekanan udara, dan lain sebagainya (Bayuseno, Sulistyo dan Istadi, tanpa tahun;
Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari, 2009).
Menurut beberapa penelitian, fly ash memiliki beberapa manfaat pada
tanaman. Pemberian 10 ton/ha fly ash pada tanaman padi di India dapat
meningkatkan hasil gabah yang setara dengan 4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per
ha, sementara perlakuan kontrol hanya menghasilkan 2,559 ton gabah per ha
FTIP001648/021
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
6
(Mittra et al, 2003). Namun, kendala dari penggunaan fly ash adalah adanya
kemungkinan pelindian (leaching) logam seperti Pb, Cu, Zn, Cr, dan As yang
dapat mencemari air tanah (Hadijah dan Damayanti, 2006; Sharma and Kalra,
2006). Proses pengkhelatan yang terjadi pada saat dekomposisi bahan organik
dapat mengikat kation logam, sehingga logam di dalam fly ash dapat berkurang.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengubah fly ash menjadi
bokashi fly ash bersama sejumlah bahan organik (Hardjowigeno, 2003; Sondari,
2009).
Pengaruh pemberian bokashi fly ash terhadap hasil dan pertumbuhan
tanaman belum pernah dilakukan, namun pemberian 20 ton/ha bokashi bottom ash
memperlihatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang paling tinggi, serta
memberikan hasil bobot gabah kering padi gogo tertinggi yaitu 17,2406 g/rumpun
dibandingkan dengan pemberian 10 ton/ha, serta mampu mengendapkan Pb secara
maksimal (Sondari, 2009). Secara umum, perbedaan di antara fly ash dan bottom
ash hanya terletak pada perbedaan ukuran, bukan perbedaan komposisi kimia.
Secara fisik abu batu bara merupakan partikel yang sangat kecil, dengan diameter
rata-rata 10 mm dan luas permukaan yang besar (Hadijah dan Damayanti, 2006).
Pemberian limbah batu bara yang lebih besar cenderung meningkatkan pH tanah
dan konduktivitas listrik (Tsadilas et al, 2003). Pemberian lebih dari 40 ton/ha
meningkatkan radioaktivitas Ra, Ac dan K (Mittra B.N et al., 2003).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada umumnya menggunakan
tanaman serealia untuk menguji dampak pemanfaatan fly ash. Penelitian serupa
untuk tanaman hortikultura belum pernah dilakukan, kecuali pada tanaman terung
(solanum melongena). Tanaman cabai merah besar merupakan salah satu tanaman
hortikultura yang satu famili dengan terung. Tanaman cabai juga merupakan
tanaman yang lazim dibudidayakan di Indonesia. Konsumsi rata-rata cabai untuk
rumah tangga di Jawa adalah 2,20 kg/kapita/tahun (Bank Indonesia, 2007).
Tanaman cabai, sebagaimana tanaman lainnya membutuhkan nutrisi untuk
tumbuh, berkembang serta berreproduksi. Pada umumnya tanaman cabai
membutuhkan pupuk dasar berupa pupuk organik dengan jumlah antara 10 – 20
ton/ha (Prajnanta, 1998; Pitojo, 2003), dengan pH ideal 5 – 7,5 (Tjahjadi, 1991).
FTIP001648/022
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
7
1.7 Hipotesis
Dari pemaparan di atas dapat dirumuskan hipotesis bahwa pemberian 20
ton/ha bokashi fly ash sebagai pupuk dasar pada tanaman cabai merah besar akan
memberikan hasil dan pertumbuhan tertinggi serta tidak akan menimbulkan
kandungan logam berat pada buah cabai merah besar.
top related