jepara, artefact and intangible values
Post on 26-Jul-2015
367 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TIPOLOGI PERKEMBANGAN KOTA DAN
BUDAYA KOTA JEPARA
I PENDAHULUAN
Kabupaten Jepara secara lokasi geografisnya terletak di ujung Pulau
Jawa, tepatnya di terletak pada posisi 110° 9' 48, 02" sampai 110° 58' 37,40"
Bujur Timur, 5° 43' 20,67" sampai 6° 47' 25,83" Lintang Selatan. Kabupaten
Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang
beribukota di Jepara, dengan jarak tempuh ke Ibukota Provinsi sekitar 71 km dan
dapat ditempuh dengan kendaraan lebih kurang 2 jam. Kabupaten ini berbatasan
dengan Laut Jawa di Barat dan Utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di
Timur, serta Kabupaten Demak di Selatan. Wilayah Kabupaten Jepara juga
meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa, dimana untuk
menuju ke wilayah tersebut sekarang dilayani oleh kapal ferry dari Pelabuhan
Jepara dan kapal cepat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Selain itu di
Kepulauan Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang dapat
didarati pesawat terbang berjenis kecil dari Semarang.
Gambar 1Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten JeparaTahun 2011-2031
1
Secara administratif wilayah luas wilayah daratan Kabupaten Jepara
1.004,132 km2 dengan panjang garis pantai 72 km, terdiri atas 14 kecamatan
yang dibagi lagi atas sejumlah 183 desa dan 11 Kelurahan Wilayah tersempit
adalah Kecamatan Kalinyamatan (24,179 km2) sedangkan wilayah terluas
adalah Kecamatan Keling (231,758 km2). Sebagian besar luas wilayah
merupakan tanah kering, sebesar 740,052 km2 (73,70%) sisanya merupakan
tanah sawah, sebesar 264,080 km2 (26,30%)
Gambar 2Peta Administratif Kabupaten Jepara
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten JeparaTahun 2011-2031
Kabupaten Jepara sebagai salah satu kota di Jawa Tengah yang sampai
saat ini masih membentuk kotanya, dikarenakan letak secara geografis sangat
kurang menguntungkan karena berada di luar jalur pantura sebagai salah satu
moda transportasi utama di Pulau Jawa. Namun posisi geografis ini justru
menjadikan masyarakat Jepara kreatif mencari keunggulan kompetitif atas hasil
karya mereka dalam mengembangkan perekonomian.
Sektor yang paling banyak digeluti adalah industri pengolahan.
Ketekunan masyarakat dalam mengembangkan produk akhir di sektor ini,
menjadikan produk mereka memiliki keunggulan kualitas dibanding daerah lain.
Indikasinya adalah tingkat penerimaan pasar internasional terhadap produk
industri pengolahan dari Jepara. Di motori industri furniture (mebel dan ukir),
2
berbagai produk industri Jepara saat ini tercatat telah menembus pasar ekspor di
seratus lebih negara di dunia. Di luar industri kayu, Kabupaten Jepara setidaknya
memiliki 10 jenis industri lain yang menjadikan industri pengolahan mampu
menjadi penopang ekonomi masyarakat. Hampir seluruh industri ini berskala
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sangat dibutuhkan sebuah konsep penataan kota yang sinergi dengan
budaya masyarakat Jepara. Penataan kota seharusnya tidak hanya merancang
bangunan namun juga merancang kehidupan, yaitu pembangunan fisik untuk
memenuhi kebutuhan jasmani rohani masyarakat, baik psikis maupun visual.
Saat ini cenderung kurang manusiawi, karena hanya memperhatikan aspek fisik
serta upaya di dalam peningkatan pendapatan kota. (Heryanto, 2011 : 275).
Identitas kota pun yang merupakan citra mental yang terbentuk dari
ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of
time) yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktifitas social-
ekonomi-budaya masyarakat itu sendiri (Lynch dalam Eko Budihardjo, 1997)
akan semakin memudar. Nilai dan norma sosial sebuah kota merupakan Golden
Area : bukti fisik kekayaan budaya bangsa, sebuah artefak yang menunjukkan
panjang pendeknya sejarah dan peninggalan sebuah masyarakat yang akan
diwariskan pada generasi yang akan datang. (Miarsono, 1997). Budaya dan
hasil karya di dalamnya merupakan salah satu modal penting di dalam
pembangunan merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan budaya, demi
memupuk jati diri bangsa. Nilai dan norma sebagai warisan budaya yang
merupakan warisan masa lalu yang menjadi bagian integral dari identitas kota
sekarang.
Bentuk kota adalah hasil interaksi antara masyarakat dengan
lingkungannya, yang dibantu oleh rekayasa teknologi serta diayomi oleh
kebijakan penguasa di dalam memenuhi kebutuhan mereka, baik fisik maupun
psikis. Dalamnya perkembangannya terdapat proses kegiatan politik social
ekonomi,dan budaya yang diadministrasi perilaku moral dan etika para actor
yang diwujudkan dalam suatu kebijakan public dalam suatu kurun waktu tertentu.
(Heryanto, 2011 : 276).
Namun isu globalisasi dampak dari kemajuan teknologi komunikasi di
era keterbukaan, akan membuat kebudayaan dari luar akan semakin dekat dan
proses infiltrasi dalam interaksi social akselerasinya semakin cepat. Jika tidak
3
semakin cepat di antisipasi, pola-pola infiltrasi sebagai trendsetter akan
menjadi mindset baru bagi generasi yang akan datang. Kekayaan budaya
sebagai jatidiri kota maupun bangsa akan semakin semu dan hilang, akibatnya
kekuatan kita bersaing dengan kota maupun bangsa lain pun akan semakin
lemah.
II. SEJARAH KOTA JEPARA
Sejarah Jepara sebagai kota pelabuhan memang tidak bisa diketahui
awal mulanya, namun sebagai kota pelabuhan yang menghubungkan daratan
dengan lautan, Jepara memegang peranan penting dari distribusi hasil alam
terutama beras, karena kualitas dan harga beras di jepara yang paling bagus dan
murah dari daerah hinterland seperti Juana, Kudus, Pati dan lain sebagainya.
Sebagai kota pelabuhan, Jepara juga mengalami pasang surut mulai dari pusat
perdagangan ramai, berubah menjadi kota pertahanan lalu kemudian hilang
dengan sendirinya.(Lapian dalam Hayati, 2005 : 31)
Dari sisi etimologisnya Jepara dulunya menurut C. Lekkerkerker (Hayati:
2005 :66) berasal dari kata Ujungpara, yang kemudian berubah menjadi Ujung
Mara, dan Jumpara, yang akhirnya berubah menjadi Jepara atau Japara. Kata
Ujung dan Para sendiri berasal dari bahasa jawa, Ujung artinya bagian darat
yang menjorok ke laut dan Para yang artinya menunjukkan arah, yang
digabung menjadi suatu daerah yang menjorok ke laut. Letak geografis memang
menempatkan Jepara di semenanjung yang strategis dan mudah dijangkau oleh
para pedagang. Para dari sumber yang lain diartikan Pepara, yang artinya
bebakulan mrono mrene, yang kemudian diartikan sebuah ujung tempat
bermukimnya para pedagang dari berbagai daerah. (Pemkab Jepara :1988,5)
Namun pada abad ke 7 di Jawa terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-
Ling yang oleh para pakar disamakan dengan Kalingga. Diduga kerajaan itu
berada di Jepara dengan Ibu Kota Kerajaan terletak di sekitar lokasi Benteng
Portugis, di Kecamatan Keling. Pada 618-906 M Kalingga diperintah oleh
seorang raja perempuan bernama Ratu Shima, seorang penganut agama Hindu
yang merintis kerajaannya menjadi kota pelabuhan. (Kompasiana: 2009). Kelak,
kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik yang dating dari
india, arab, Cina, Kamboja, maupun dari Eropa Barat. Jepara kemudian menjadi
sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan dan
menjadi salah satu pintu gerbang masukknya berbagai pengaruh asing.
Akibatnya, di satu sisi telah terjadi proses urbanisasi, di sisi lain terjadi akulturasi
4
seni dan budaya. Kerajaaan Kalingga berlangsung sejak abad ke 7 sampai abad
ke 9, sesudah itu pusat kerajaan berpindah ke selatan untuk selanjutnya
bergeser ke Timur. (Majapahit).
Pada tahun 1292, Jepara yang saat itu dikuasai oleh Sandang Garba
seorang raja yang juga pedagang kaya, telah termasyur sampai ke negeri
Spanyol, diserang oleh Dandang Gendis yang menguasai Tuban dan Kahuripan
di Delta Sungai Brantas yang sudah maju, karena dianggap menjadi pesaing
sebagai Kota Pelabuhan, dengan dibantu oleh bangsa cina. (Pigeaud dalam
Hayati, 2005:67).
Jepara sendiri waktu itu masih terpisah dengan daratan seperti yang
tampak pada gambar berikut :
Gambar 3Peta Jepara terpisah
Sumber : http://ketoprakjawa.wordpress.com/2011/03/18/1-kadipaten-carangsoka-paranggaruda/
Pada abad ke 11 sampai ke 15 saat masa kejayaan kerajaan Majapahit
menjalin hubungan dengan Campa dan Cina. Para penguasa kearajaan saling
berkunjung dan member upeti, namun yang terjadi kadang-kadang sebaliknya,
saling menyerang dan menguasai untuk meluaskan pengaruh kekuasaan,
wilayah perniagaan, dan daerah perdagangan. Di samping itu, para sufi dan
penyebar agama Islam juga berdatangan, diantaranya, Sunan Gunung Jati Syarif
Hidayatullah, selain sebagai pelopor dan penyebar Islam. Pada masa tersebut
Jepara tengah dipimpin oleh Arya Timur (1470) yang meskipun berada di bawah
kekuasaan Majapahit, namun telah mampu mengembangkan kekuasaannya
hingga ke Bengkulu dan Tanjungpura. Benteng kayu dan bambunya serta
pelabuhannya yang ramai di lukiskan sebagai pelabuhan terbaik selama
perjalanan Tome Pires dai Portugis ke Maluku dalam bukunya Suma Oriental.
5
Gambar 4Mantingan dan Pelabuhan Jepara
Sumber : http://ml-embun.blogspot.com/
Pada Tahun 1507 Jepara dipimpin oleh Adipati Unus anak dari Arya Timur dan
semakin berkembang pesat sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan
beras. Kekuatan pertahanannya juga cukup hebat dengan kemampuan
pasukannya pada tahun 1511 yang berperang samapai ke Malaka untuk
mengusir portugis yang akan memonopoli perdagangan dan menguasai pintu
keluar masuk perdagangan di Malaka.
Di mulai dari situlah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam, salah
satunya yang menonjol adalah kerajaan Demak. Pada masa kerajaan ini Jepara
merupakan salah satu daerah kekuasaan Raden Fatah, ayahanda Sultan
Trenggono, Eyang dari Retno Kencana, yang nantinya bergelar Ni mas Ratu
Kalinyamat. Beliau menikah dengan Raden Thoyib, seorang pangeran dari Aceh
yang telah lama melalangbuana sampai cina pada tahun 1536. (Pemkab Jepara,
2007: 13). Raden Thoyib inilah kemudian naik tahta dan berkuasa di daerah
Jepara dengan gelar Sultan Hadlirin bersama Retno Kencana, dan menempati
area kraton di Kalinyamat, sebuah tempat berjarak kurang lebih 18 km dari
Jepara. Kalinyamat atau yang disebut Cherinma atau Cherinhama pada waktu
itu dianggap sebagai daerah yang sacral sebagai tinggalnya para raja-raja
demak, termasuk tempat bertirakatnya Sunan Kalijogo. Sultan Hadlirin kemudian
mengangkat Cie Hwie Gwan,
ayah angkatnya selama di Cina
yang ahli didalam seni ukir dan
pahat, yang ikut dengannya
sebagai patih dengan gelar
Patih Sungging Badar
Duwung. (Sungging=memahat,
Badar=batu, Duwung=Tajam.).
Karena di Jepara tidak
ditemukan batu putih seperti di
Cina, media kayu pun kemudian
digunakan sang Patih untuk
berkreasi yang kemudian
menularkan kemampuan
mengukirnya kepada
masyarakat Jepara secara turun
menurun.
6
Pada tahun kepemimpinannya Sultan Hadlirin banyak juga menghabiskan
waktunya di Mantingan, sebuah daerah di sebelah selatan Pelabuhan Jepara
yang dijadikannya sebagai tempat perenungan. Di sinilah kemudian dibuatkan
pesanggrahan sebagai tempat beristirahat. Di dekat Pelabuhan Jepara, juga
didirikan sebuah kraton dengan benteng sebagai pusat menjalankan
pemerintahan dan perdagangan di pelabuhan Jepara. Di dekat Pelabuhan juga
didirikan sebuah masjid agung beratap susun lima dengan tipologi atap mirip
dengan arsitektur Cina.
Gambar 5Masjid Jepara Tahun 1660
Sumber : http://ml-embun.blogspot.com/
Di sebelah utara kanal juga didirikan sebuah benteng yang diduga
didirikan pada saat zaman Pangeran Trenggono dengan meriam-meriam buatan
portugis (Crucq, 1940) di atas bukit danaraja, benteng inilah yang digunakan
sebagai tempat pertahanan dari serbuan musuh-musuh Jepara, baik oleh
Mataram nantinya. Benteng ini juga kemudian di modifikasi oleh Pemerintah
Belanda melalui VOC pada tahun 1708 menjadi Benteng Loji VOC. VOC sendiri
datang di Jepara tahun 1613, dan mulai mendapatkan ijin sewa gadai terhadap
pelabuhan Jepara tahun 1680 dari Amangkurat II selaku Raja Mataram, sebagai
balas jasa menumpas pemberontakan Trunojoyo.
7
Gambar 6Denah Benteng di Bukit Danaraja oleh van den Heer Cornelis
Speelman (sekarang Benteng VOC) tahun 1677Sumber:http://www.gahetna.nl/collectie/afbeeldingen/kaartencollectie/zoeken/weergave/detail/start/0/tstart/0/q/zoekterm/Kaarte%20van%E2%80%99t%20Fort
%20en%20Stad%20Japara
Salah satu sejarah yang tidak bisa terlepaskan adalah Kapitein Francois
Tack, seorang perwira tinggi Kerajaan Belanda yang memiliki banyak jasa untuk
Kompeni dalam merebut mahkota Kerajaan Majapahit maupun peperangan di
Kediri dan Makasar. Kapten Tack pada waktu itu ditugaskan oleh Pemerintah
Hindia Belanda di Pelabuhan Jepara yang sedang dalam masa kemunduran,
untuk menertibkan kawasan Pantai Utara dan Timur Jawa. Kapten Tack tewas
dibunuh oleh kelompok pimpinan Untung Suropati di Alun-alun Kartosuro, pada
tanggal 8 Februari 1686 saat akan mengadakan perundingan dengan Sunan
Amangkurat II selakui Raja Mataram.(De Graaf, 1989:47) Dalam pertempuran
sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, tentara
VOC sebanyak 75 orang tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pangeran
Puger yang menyamar sebagai anak buah Untung Suropati sendiri berhasil
membunuh Kapten Tack menggunakan tombak Kyai Plered. Makam Kapten
Tack di duga masih berada di lingkungan Benteng VOC hingga saat ini.
8
Gambar 7Denah Benteng di Bukit Danaraja oleh van den Heer Cornelis
Speelman (sekarang Benteng VOC) tahun 1677Sumber: http://kitlv.pictura-dp.nl/index.php?
option=com_memorix&Itemid=28&task=result&cp=7
Perkembangan selanjutnya sejarah Jepara di bawah kepemimpinan Ratu
Kalinyamat 1549-1579, menggantikan perang sang suami yang dibunuh atas
suruhan Arya Penangsang sesaat sesudah menemui Sunan Kudus untuk
mengklarifikasi meninggalnya Raden Prawoto, kakak kandung Ratu Kalinyamat
yang juga dibunuh oleh Aryo Penangsang sebagai bagian dendam masa lalu.
Ayah Arya Penangsang, Pangeran Sedo Lepen putra mahkota semestinya
Sulltan Demak dibunuh oleh Prawoto sebagai upaya mengalihkan pewaris tahta
ke ayahnya yaitu Sultan Trenggono.
Ratu Kalinyamat sempat bersumpah dan bertapa, mulai dari benteng
bukit danaraja samapai akhirnya di pertapaan Sonder Tulakan, meninggalkan
atribut ke-Ratu-annya dan bersumpah belum kembali sampi Arya Penangsang
dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh pada tahun 1549 juga Danang
Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya, adik kandung Ratu Kalinyamat yang
bersama-sama berusaha untuk menumpas Arya Penangsang yang selalu
menggerogoti kasultanan Demak.
9
Selama berkuasa pelabuhan Jepara berkembang semakin pesat, dengan
semakin majunya teknologi galangan perkapalan waktu itu. Tidak hanya
pertahanan, perekonomian pun semakin berkembang, dengan semakin
terjalinnya hubungan yang erat dan solidaritas sesama pedagang pribumi yang
semakin diganggu oleh keberadaan Portugis. Dari segi pemerintahan dan
penataan kota, mulai dibangun Masjid Mantingan sebagai salah satu konsep
Masjid-Makam-Keraton, karena disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada
tahun 1559 dengan sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantingan
ini kebudayaan di kembangkan pada ornament-ornamen yang digunakan berupa
ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang disamarkan. Tipologi bangunan
dengan konsep perpaduan Islam-Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan
serta gapura yang berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di
dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang. Kaligrafi
juga berkembang pesat.
Perkembangan sejarah Jepara selanjutnya adalah pemerintahan oleh
Pangeran Jepara (1579-1599), merupakan anak angkat dari Ratu Kalinyamat.
Pansi Pada masa inilah kemerosotan Kota Jepara sebagai kota pelabuhan mulai
dirasakan. Faktor ekspansi Kerajaan Pajang yang dulunya membiarkan Jepara
berkembang ternyata lambat laiun mulai digerogoti daerahnya karena
pertimbangan ekonomi. Hal ini diperperah dengan kedatangan VOC pada tahun
1613, dengan politik dagang monopolinya. VOC semakin kuat setelah
mendapatkan legalisasi Raja Mataram Amangkurat II untuk membuat benteng
pada tahun 1680.
Setelah era kerajaan Jepara runtuh, diperkirakan terjadi kekosongan
penguasa, sehingga sampai tahun 1616 tidak tercatat sejarah siapa yang
memimpin Jepara. Baru pada tahun tersebut, Jepara tercatat dipimpin oleh Kyai
Demang Laksamana yang kemudian digantikan berurut-urut oleh Kyai Wirasetia,
Kyai Patra Manggala, Kyai Wiradika, Ngabehi Wangsadipa, Kyai Reksa
Manggala, Kyai Waradika, Ngabehi Wangsadipa (jabatan kedua), Ngabehi
Wiradika, Wira Atmaka, Kyai Ngabehi Wangsadipa, Tumenggung Martapura,
Temenggung Sujanapura, Adipati Citro Sumo I, Citro Sumo II, dan Adipati Citro
Sumo ke III yang sekaligus menutup sejarah era kerajaan Mataram di Jepara dan
masuk pada era kekuasaan Belanda .
Pelabuhan Jepara semakin sepi dengan munculnya sedimentasi yang
menyebabkan Jepara yang dulunya terpisah, sekarang menyatu dengan daratan.
10
Semua aktifitas pelabuhan mulai pindah ke Semarang pada tahun 1697. Factor
lingkungan ini diperparah dengan konflik antara penduduk local dengan VOC
dengan dibakarnya benteng sebanyak 2 kali. Puncaknya pada tahun 1743, Raja
Mataram Kartasura Pakubuwono II, menyerahkan semua pengelolaan pelabuhan
sepanjang Pantai Utara Jawa kepada Belanda sebagai bagian dari balas jasa di
perang Pacina ( Hayati, 2005 : 48)
Selanjutnya Jepara dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III yang kemudian
digantikan oleh Citro sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. Setelah
Adipati Citro Sumo VI, Jepara kemudian dipimpin oleh Temenggung Cendol.
Namun jabatan ini tidak lama, karena Setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari
tuban tahun 1838, ia mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Bupati
Jepara yang kemudian di lanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22
Desember 1857, ia digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung
Citro Wikromo, yang kemudian berturut-turut di gantikan oleh K.R.M.A.A.
Sosroningrat, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, dan Sukahar, sekaligus mengakhiri
era kekuasaan Belanda dan masuk pada era pemerintahan militer Jepang. Pada
awal kekuasan Jepang, Bupati Jepara dipercayakan pada R.A.A. Soemitro
Oetoyo yang menjabat hingga awal kemerdekaan, yaitu hingga bulan Desember
1949.
III. BENTUK ARTEFAK FISIK KOTA
Bentuk artefak sebagai peninggalan yang sifatnya fisik terkait dengan
perkembangan sejarah Kota Jepara sebagai Kota Pelabuhan ada dua macam
yaitu yang bersifat bangunan, maupun yang sifatnya toponim berupa pemukiman
atau kelompok masyarakat.
Artefak di masa lampau yang sangat berhubungan dengan sejarah jepara antara
lain
1. Kraton Kalinyamat
Kraton Kalinyamat merupakan tempat tinggal Ratu Kalinyamat yang
dulunya terkenal sebagai tempat bertirakatnya para raja dan petinggi raja-
raja Demak dan Sunan Kalijaga. Kraton ini sampai saat ini belum
ditemukan reruntuhannya, namun berdasarkan informasi warga sekitar,
ketika menggali pondasi bisa dipastikan menemukan batu bata sebagai
reruntuhan kraton. Didalamnya juga diduga terdapat Siti Hinggil dan
Taman Keraton
11
Gambar 8Batas Benteng Keraton Kalinyamat
Sumber : analisis
2. Taman Kraton Kalinyamat dan Siti hinggil
Taman Keraton berada di dalam keraton dengan unsure air, kolam dan
kura-kura serta Siti Hinggil sebagai tempat paseban. Konsep taman
keraton ini sama dengan taman-taman keraton seperti di Keraton Jogja
dengan Taman Sari-nya, Cirebon dengan Sunyaragi, yang disamping
menambah keindahan juga sebagai tempat persembunyian.
3. Benteng Keraton Kalinyamat
Di Keraton Kalinyamat dibangun juga benteng sepanjang kurang lebih 5-6
km seluas 4 km2 dengan batu bata 20/25 selebar 2,5 m sebagai jalur
penjagaan. Batas benteng Jalan Jepara Kudus, Kali Bakalan, dan Kali
Krecek
4. Benteng Keraton Jepara
Benteng ini merupakan batas yang mengelilingi aktifitas para petinggi
kerajaan dengan rakyat, diduga berada di seputaran Komplek Kantor
Setda sampai ke Sebelah Barat Pecinan
5. Benteng Pertahanan/Benteng Loji Gunung
Benteng VOC berada di atas bukit berjarak kurang lebih 0,5 km dari Alun-
alun Kota Jepara, sekarang ini menjadi alternatif tempat kunjungan
keluarga yang ingin menikmati pemandangan kota dari atas. Taman yang
12
Gambar 9Peta Kawasan Benteng VOC
Sumber : analisis
Gambar 10Pendopo Kabupaten Jepara
Sumber : http://www.jeparakab.go.id/
ada di dalam benteng juga telah dilengkapi 2 (dua) buah gardu pandang
di sisi selatan dan utara
6. Pendopo
Bangunan Pendopo Kabupaten Jepara ini dibangun kurang lebih pada
tahun 1750, yaitu pada era pemerintahan Adipati Citro Sumo III, beliau
merupakan pimpinan pemerintahan yang ke 23 selama kurun waktu 22
tahun (1730-1760), sedangkan ayah RA Kartini merupakan bupati ke 31
selama kurun waktu 24 tahun (1881-1905).
13
Gambar 10Foto Masjid Agung Jepara
Sumber : Badan Arsip Daerah Jepara
Gambar 11Foto Masjid Mantingan
Sumber : http://humaspdg.wordpre
ss.com/
7. Masjid Agung
Masjid Agung berdasarkan tipologi penataan tata ruang jawa terutama di
pantura, berada di sebelah selatan alun-alun Kota. Dulunya Masjid ini
bersusun lima, dengan cirri atap mirip arsitektur cina. Namun dalam
perkembangan selanjutnya hanya bersusun tiga.
8. Masjid dan Makam Mantingan
Merupakan perwujudan konsep Masjid-Makam-Keraton, karena
disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada tahun 1559 dengan
sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantingan ini
kebudayaan di kembangkan pada ornament-ornamen yang
digunakan berupa ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang
disamarkan. Tipologi bangunan dengan konsep perpaduan Islam-
Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan serta gapura yang
berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di
dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang
14
Gambar 12Foto Alun-alun Kota Jepara
Sumber : japarajadoel.wordpress.com
Gambar 13Foto artefak kota modern
Sumber : download dari berbagai sumber
9. Alun-alun Kota
Alun-alun kota merupakan tempat bertemunya penguasa dengan rakyat,
seiring perkembangannya alun-alun banyak digunakan sebagai ruang
public
Sedangkan Artefak fisik perkembangan kota yang sifatnya sudah modern dan
berhubungan dengan aktifitas masyarakat antara lain :
1. Bangunan Pemerintahan
2. Kawasan Wisata
3. Kluster-kluster industry
4. Stadion
5. Dan lain-lain
15
Artefak yang sifatnya toponim berupa pemukiman atau kelompok masyarakat,
antara lain :
1. Kriyan
Kemungkinan berasal dari kata rakyan, yang artinya pejabat di masa lalu,
hal ini erat kaitannya dengan letak kampong Kriyan yang dekat dengan
Kalinyamatan.
2. Kauman
Terletak di sekitar Masjid Agung Kabupaten, merupakan kawasan tempat
ulama dan pemuka agama Islam berhuni. Letaknya di sebelah selatan
Alun-alun-kota Jepara
3. Sitinggil
Biasanya dijumpai pada kawasan pemukiman para bangsawan masa lalu.
Sitinggil sekarang ini berada di Kalinyamatan namun berupa tegalan dan
kuburan.
4. Pecinan
Merupakan tempat bermukim masyarakat etnis cina, namun sejak tahun
1910 tidak ditemukan masyarakat pecinan di Jepara, sekarang kawasan
pecinan berada di sebelah utara kawasan Kauman.
5. Kanjengan/Panggang Pungkuran
Merupakan tempat hunian para kanjeng, yaitu para pejabat pemerintah
kabupaten, berada di sebelah timur dan selatan komplek pendopo
kabupaten sekarang, berada di belakang komplek pendopo
(ungkur=belakang)
6. Jobokuto atau Ujungbatu
Jobokuto identik dengan toponim jobo yang berarti kawasan di luar
benteng kerajaan Jepara. Letaknya saat ini yang berada di sebelah barat
pecinan, menguatkan dugaan bahwa dulunya ada benteng keraton
tersendiri yang memisahkan dengan kehidupan sosial di luar.
7. Panggang Pandean
Terletak di debelah timur kawasan pendopo bupati, dulunya merupakan
kawasan pekerja dengan mata pencaharian pandai besi.
16
IV. BENTUK BUDAYA MASYARAKAT
Bentuk budaya masyarakat Jepara erat hubungannya dengan sejarah kota
Jepara. Budaya masa lalu yang masih berkembang saat ini, adalah mata
pencaharian masyarakat dulunya sebagai Kota Pelabuhan, tentu saja tidak
terlepas dari aktifitas perdagangan. Untuk masyarakat yang berada di
pedalaman rata-rata adalah petani dan pengrajin. Beras dari Jepara terkenal
kualiatas dan murahnya sejak jaman Ratu Kalinyamat. Sedangkan kerajinan,
terutama ukiran mulai dikembangkan oleh Patih Sungging Badar Duwung, yang
ahli di dalam seni ukiran.
Seni ukiran inilah kemudian yang berkembang pesat dan bertahan serta menjadi
budaya khas masyarakat Jepara yang diwariskan turun temurun. World Carving
Center saat ini masih gencar di promosikan sejak 15 Mei 2008, sebagai salah
satu menjual jepara di dunia. Hantaman krisis social tahun 1997 menjadikan
berkah sekaligus bencana. Penjarahan kayu dan didukung oleh harga dollar
yang naik, membuat sebagian besar pengrajin ukiran menjadi gelap mata.
Hasilnya pun bisa langsung dinikmati sekarang. Kayu sebagai bahan ukiran
semakin langka, para investor semakin berkurang akibat high cost management
menyebabkan upah pekerja tinggi,membuat Jepara semakin sulit untuk mem-
branding- kotanya. Memang masih ada pesona Karimunjawa National Park, yang
menjadi surga terumbu karang dan pemandangan eksotisnya. Namun statusnya
sebagai Taman Nasional sendiri bisa mengaburkan jepara sebagai pemangku
daerah administratifnya.
Satu lagi budaya khas yang masih bertahan, yaitu Tenun Troso. Berdasarkan
sejarahnya digeluti oleh warga Desa Troso, Kecamatan Pecangaan. Dari kota
Jepara, desa industri ini berjarak sekitar 15 km. arah tenggara. Keterampilan
membuat tenun ikat sudah dimiliki oleh warga Desa Troso sejak tahun 1935 yang
bermula dari Tenun Gendong warisan turun-temurun. Tahun 1943 mulai
berkembang Tenun Pancal dan kemudian pada tahun 1946 beralih menjadi Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM), hingga sekarang.
Budaya lainnya yang bersifat atraktif berdasarkan data Legenda Jepara ada
banyak sekali, antara lain :
Hari Jadi Jepara yang jatuh setiap tanggal 10 April, bertepatan dengan
naiknya Ratu Kalinyamat menjadi penguasa Jepara tanggal 10 April
1549.
17
Upacara Jembul Tulakan, sebagai upacara memperingati selesainya
Ratu kalinyamat bertapa di Sonder Tulakan, menggambarkan jembul aryo
penangsang yang terbunuh oleh Danang Sutowijaya
Perang Obor, sebagai tradisi berdasarkan legenda rakyat di Tegalsambi,
sebelah selatan Jepara, biasanya dilaksanakan sesudah panen besar
Pesta Lomban, merupakan pesta sedekah laut satu minggu setelah Hari
Raya Idul Fitri, dengan melarung sesaji ke laut oleh pemimpin Jepara,
dengan harapan mendapat berkah.
Dan lain-lain
Dari segi perilaku dan keseharian sebagai masyarakat pesisir, masyarakat
Jepara terkenal sangat keras dan begitu fanatic terhadap idiologi yang ada.
Contoh yang paling keras adalah konflik pemilu 1999 antara PKB dan PPP di
dongos yang melibatkan pembantaian dan kekerasan antar sesame warga.
Masih ada penyeerbuan dan pembakaran Kantor DPRD pada kerusuhan tahun
1998 yang diakibatkan bisikan dari beberapa tokoh terhadap massa yang
gampang tersulut. Memang tidak seluruh tipologi masyarakat Jepara seperti itu,
seiring dengan perkembangan zaman, era keterbukaan dan demokrasi semakin
membaik dan kondusif
V. PERKEMBANGAN KOTA YANG TERJADI
Perkembangan yang terjadi saat ini, konsep pengembangan kota
berdasarkan sejarah sebagai kota pelabuhan, mulai bergeser karena adanya
factor alam serta interfensi dari pemerintahan. Konsep Kota pelabuhan yang
dulunya membuat Jepara menjadi jaya saat ini tidak ditemukan sisa-sisa
kejayaannya. Dari beberapa artefak yang ada, hanya beberapa yang masih ada,
itupun dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.
Perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh kebijakan penguasa yang
ada. Mulai dari jaman colonial menuju orde baru, Jepara berada di bawah
penguasaan negara asing, baik oleh Belanda maupun Jepang. Di sebelah utara
Jepara terdapat beberapa hutan jenis kayu keras tahunan seperti jati dan
mahoni. Dari perkembangan selanjutnya, saat ini ternyata di bawah jati tersebut
terdapat kekayaan tambang, seperti Felspar. Kemungkinan hal inilah yang
disembunyikan oleh Daendels ketika membuat jalan pos yang tidak melewati
Jepara. Ada kemungkinan Belanda sengaja menyembunyikan kekayaan alam
Jepara dengan ditumbuhi hutan jati dan mahoni.
18
Pada Masa orde baru, dengan sistem Repelita, Jepara cukup signifikan
membentuk kotanya, yaitu mulai dengan munculnya pabrik pengolah kayu untuk
meubel, pabrik karung goni, industry tenun dan lain sebagainya. Namun dengan
kondisi geografis yang tanpa tersentuh jalur pantura, Jepara harus menciptakan
daya tarik kotanya, salah satunya dengan mengeksplorasi kekayaan budaya,
pertanian dan pariwisata. Cerita keinginan masyarakat dalam meningkatkan nilai
tambah dari produk asli mereka di dalam budaya ukiran dilakukan tidak hanya
karena alasan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga karena alasan
budaya dan kegigihan masyarakat mempertahankan karya dan peradaban
mereka. (Purnomo :2010, 8)
Secara keseluruhan pengembangan kota dipusatkan di Jepara,
kalinyamat sebagai kota kerajaan masaa lalu semakin ditinggalkan, dan masuk di
dalam lingkup kecamatan pecangaan. Penataan Kota yang berusaha untuk
menguri-uri kebudayaan local hanya masih sebatas slogan oleh pemerintah saat
itu. Contoh yang paling mengerikan adalah pemugararan Masjid Mantingan,
dengan mengganti ornament dan bentuk asli. Semangat konservasi memang
belum begitu ada saat itu, hasil pembangunanlah dengan modernisasi itulah
yang menjadi tema pengembangan kota di masa orde baru.
Era Reformasi membawa berkah sekaligus musibah bagi perekonomian
Jepara. Penjarahan besar-besaran hutan pada tahun 1998 mengakibatkan
ekonomi masyarakat saat itu meningkat tajam. Pergerakan uang sangat tinggi di
Jepara, Nilai tukar Dollar yang tinggi, menyebabkan industry meubel menjadi
primadona. Bahan baku kayu curian diolah menghasilkan meubel untuk diekspor
ke luar negeri secara besar-besaran tidak lagi memperhatikan kualitas. Banyak
sekali para spekulan luar negeri yang berkedok investor turut memperkeruh
suasana.
Akibat yang terjadi pada penataan kota, banyak sector public yang
terbengkalai meskipun memiliki potensi pemasukan PAD yang besar namun
tidak berjalan karena tergoda untuk ikut terjun di dunia meubel. Ukiran untuk
sementara terbengkalai, banyak jenis order garden furniture dengan motif
sederhana namun menghabiskan banyak bahan baku diproduksi. Pembangunan
sector public pun menjadi imbas.
Setelah Masa Reformasi bencana pun datang, disaat bahan baku
semakin langka, banyak perushaan meubel yang kolaps karena bayak sekali
yang tidak sanggup bertahan dihantam kebutuhan bahan baku dan permintaan.
19
Gambar 12Orientasi pasar dan jumlah pekerja meubel
Sumber : jCenter for International Forestry Research (CIFOR), 2007.
Seleksi alam pun terjadi, investasi yang datang semakin sedikit, karena banyak
mereka yang lari ke luar daerah, karena cost economy di Jepara pasca reformasi
sangat tinggi. Banyak pekerja yang tidak mau dibayar murah, padahal di daerah
lain bisa sangat murat. Saat itulah baru terasa betapa pentingnya mencitrakan
sebuah kota di dalam menghadapi daya saing.
Pada 15 Mei 2008, Pemerintah Kabupaten Jepara baru berani mengeluarkan
jargon The World Curving Centre. Namun dalam penataan infrastruktur kota
masih banyak terkendala, terutama dalam pengiriman barang, mulai dari
pengrajin maupun ke pengapalan. Pelabuhan laut terdekat masih di Tanjung Mas
Semarang, pengembangan kluster pun masih terfokus di Tahunan, dan
Mantingan
VI. ANALISIS PERPADUAN PERKEMBANGAN KOTA DAN BUDAYA
Perkembangan kota tidak selalu sejalan dengan perkembangan budaya
masyarakat. Perkembangan kota Jepara yang dulunya merupakan kota
pelabuhan yang termasyur kemudian harus berganti tema menjadi kota berbasis
20
industry, meskipun tidak meninggalkan basis pertanian. Yang menarik adalah
basis industry yang dipilih sejalan dengan budaya masyarakat Jepara yang dari
dulu secara turun temurun menguasai ukir dan meubel sebagai pangsa
pasarnya. World Curving Centre diapungkan sebagai konsep pengembangan
kota.
Dari beberapa pengalaman yang sudah dilalui oleh masyarakat Jepara,
semakin ke depan sudah mulai bisa bersinergi bareng dengan pengampu
kepentingan untuk mengawal konsep ini. Sudah menjadi bukti nyata bahwa
dalam budaya ukiran dilakukan tidak hanya karena alasan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat tetapi juga karena alasan budaya dan kegigihan
masyarakat mempertahankan karya dan peradaban mereka. Jatuh bangun para
pengusaha, pelaku dan masyarakat sebagai penggerak roda pembangunan
dalam bidang industry ukiran memang masih dihadapkan kendala bahan baku.
Berdasarkan penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR), 2007
bahwa :
sembilan meter kubik kayu bulat menyokong satu pekerja tetap dalam
industri ini selama setahun. Oleh karena hutan tanaman jati di Jawa yang
dikelola dengan baikdapat menghasilkan minimal 9 m³/ha/tahun (Von
Wulfing 1932), maka temuan tersebut berarti satu hektar hutan tanaman
seharusnya menopang satu pekerja tetap selama setahun pada industri
mebel. Menimbang hal tersebut, apabila perusahaan umum Perhutani,
yang mengelola hampir 3 juta ha hutan di pulau Jawa mengkhususkan
satu juta ha untuk hutan tanaman jati atau mahoni, maka pekerjaan bagi
satu juta orang akan terjamin di industri mebel.
konsumsi kayu di Jepara saja (1,5 – 2,2 juta m³) ternyata melebihi angka
produksi resmi dari Departemen Kehutanan untuk seluruh pulau Jawa
(923.632 m³ pada tahun 2004) (Departemen Kehutanan Republik
Indonesia 2004)10. Selain itu, Jepara merupakan salah satu dari sekian
banyak sentra industri produksi mebel di Jawa. Hal ini menimbulkan
pertanyaan mendasar tentang peran agroforestri di pulau Jawa. Semua
ini memunculkan suatu hipotesis baru: sumbangan pasokan kayu dari
agroforestri kepada industri mebel ternyata jauh lebih tinggi daripada
yang diperkirakan sebelumnya, meskipun sebagian dari pasokan tersebut
mungkin berasal dari sumber kayu ilegal di Jawa serta pulau lain di
Indonesia. Namun demikian, hasil temuan kami memberi kesan bahwa
21
selama ini semua keputusan kebijakan maupun analisis yang
berdasarkan studi terdahulu, ternyata disesatkan oleh taksiran yang jauh
terlalu rendah dalamstudi tersebut.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah penggunaan hak cipta ukiran
jepara oleh oknum-oknum di luar negeri. Hal ini sudah dilakukan antisipasi
dengan membuat sebuah kebijakan yang mengatur tentang hak cipta oleh
pemerintah, yaitu dengan membentuk Lembaga Jepara Indikasi Geografis (IG)
Produk Mebel Ukir Jepara yaitu lembaga yang memberikan Indikasi Geografis
(Geographical Indications) adalah tanda yang menunjukkan produk dari suatu
tempat, wilayah atau daerah tertentu dengan memperhatikan kualitas, reputasi
dan karakteristik produk yang dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia pada
wilayah yang bersangkutan. Mebel ukir Jepara merupakan produk yang memiliki
karakteristik-karakteristik sebagaimana tersebut diatas
Perkembangan kota juga harus mendukung konsep yang telah
diapungkan. Minimal ada pengaturan, regulasi serta penyediaan infrastruktur
yang harus mendukung agar budaya yang menjadi dasar pengembangan kota
bisa disinergiskan
VII KESIMPULAN
Dari keseluruhan di atas bisa disimpulkan bahwa :
1. Perkembangan Kota begitu dinamisnya, konsep awal kota bisa berubah
seiring dengan factor lingkungan (sedimentasi teluk jepara) serta factor
intervensi penguasa selaku pemangku kebijakan.
2. Artefak-artefak yang ada sebagai cerminan kebudayaan sebuah kota
sangat penting untuk mendapatkan citra kota. Kota Jepara sulit untuk
mencitrakan kotanya karena begitu lamanya artefak-artefak tersebut
dibiarkan hilang. Minimal dokumentasi terhadap artefak tersebut ada
sebagai bagian dari sejarah kota
3. Kebudayaan yang berkembang bisa sangat dipengaruhi penataan sebuah
kota. Intervensi Ratu Kalinyamat pada Kota Pelabuhan, Belanda dengan
monopoli perdagangan, Orde baru dengan orientasi hasil, sangat
mempengaruhi budaya terutama yang ada hubungannya dengan mata
pencaharian masyarakat. Budaya yang sifatnya atraktif masih bisa
bertahan dan tetap survive sampai sekarang
22
4. Percepatan Penataan sebuah kota tidak selalu berjalan beriringan
dengan budaya masyarakat. Loss Society sebagai selisih dari masyarakat
yang tidak mampu mengikuti percepatan inilah yang memiliki nilai budaya
local yang tinggi. Jepara sebetulnya memiliki tipologi jenis ini, namun
masih perlu diteliti lebih dalam sebagai konsekuensi dari pembangunan
5. Kota Jepara memiliki keunikan tentang budaya masyarakat sebagai
masyarakat pesisir yang keras dan cenderung fanatic, dengan budaya
seni ukir sebagai mata pencaharian. Perilaku keduanya ternyata masih
bisa berjalan bersama serta berdampingan dengan kebijakan dan
intervensi peerintah di dalam penataan kota. Di saat dihantam krisis
bahan baku masih bisa mengembangkan dengan bahan baku lain, dan
diversifikasi model, serta hal-hal lain yang ditangkap sebagai peluang
bagi Kota Jepara untuk mencitrakan kotanya.
6. Letak geografis yang terisolir memang telah membentuk masyarakat
Jepara yang tidak akan menyerah dihadapkan dengan kesulitas
aksesbilitas, malah bisa menciptakan sesuatu yang dijadikan daya tarik
dan daya saing di masa yang akan datang
23
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Legenda Jepara, Jepara 2007
Budihardjo, Prof. Ir. Eko, Arsitektur Pembangunan Dan Konservasi, Djambatan, 1997, Jakarta.
Budihardjo, Prof. Ir. Eko , Arsitektur Dan Kota Di Indonesia, PT ALUMNI, Bandung, 1997
Crucq, K.C. De Verdwenen Kanonnen Van Het Kastel Van Jepara (Hilangnya Meriam Di Istana Benteng Jepara), TBG, Tahun 1940, Jilid LXXX
de Graff, DR. H, penerjemah Dick Hartoko,Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut Di Kartasura Abad XVII, PT Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, 1989.
Hayati, M.S. Dra. Chusnul,et all, Sejarah Ratu Kalinyamat Usulan Sebagai Pahlawan Nasional Dari Jepara, kerja sama Pemerintah Kabupaten Jepara dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Jepara, Desember 2005
Heryanto, Bambang, Roh dan Citra Kota, Brilian Internasional, Surabaya, 2011
Purnomo, H., Irawati, R.H. dan Melati (ed.). Menunggang Badai: Untaian Kehidupan, Tradisi Dan Kreasi Aktor Mebel Jepara. CIFOR, Bogor, Indonesia.2010
Roda, Jean-Marc et al., Atlas Industri Mebel Kayu Di Jepara, Indonesia, Cirad, Cifor, Harapan Prima, Jakarta, 2007
24
top related