jtptunimus gdl laodejufri 6481 3 babii
Post on 31-Jul-2015
30 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lanjut Usia
1. Pengertian Lanjut usia
Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia.
Dalam proses ini , tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut
usia). Dalam tahap ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan
atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan
masalah kesehatan secara umum ( fisik) maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada individu lanjut usia. Usia lanjut ditandai dengan perubahan
fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan lansia dalam
melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk, akan tetapi ciri-ciri usia
lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk dari
pada yang baik dan kepada kesengsaraan dari pada kebahagiaan, itulah
sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari pada usia madya (Hurlock,
1999)
Masalah-masalah kesehatan atau penyakit fisik dan atau kesehatan
jiwa yang sering timbul pada proses menua (lansia), menurut Stieglitz
(dalam Nugroho, 2000) diantara gangguan sirkulasi darah, gangguan
metabolisme hormonal, gangguan pada persendian, dan berbagai macam
neoplasma. Masalah sosial yang dihadapi lanjut usia (lansia) adalah bahwa
keberadaan lansia sering dipersepsikan negatif oleh masyarakat luas. Kaum
lansia sering dianggap tidak berdaya, sakit-sakitan, tidak produktif dan
sebagainya. Tak jarang mereka diperlakukan sebagai beban keluarga,
masyarakat, hingga Negara. Mereka seringkali tidak disukai serta sering
dikucilkan di panti-panti jompo. Perubahan perilaku ke arah negatif ini
justru akan mengancam keharmonisan dalam kehidupan lansia atau bahkan
sering menimbulkan masalah yang serius dalam kehidupannya.
.
7
2. Masalah yang sering dihadapi oleh lansia
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai
a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability (instabilitas
dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan
intelektual), infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan
penglihatan dan pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi),
insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya
kekebalan tubuh) (Kemala Sari, 2010). Bentuk-bentuk permasalahan yang
dihadapi lansia adalah sebagai berikut :
a. Demensia
Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang
umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada
orang yang berusia > 65 tahun.
b. Depresi
Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam problem lansia.
Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi tetapi suatu
keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi
lansia yang membuat mereka depresi. Gejala depresi pada lansia dengan
orang dewasa muda berbeda dimana pada lansia terdapat keluhan
somatik.
c. Skizofrenia
Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda
dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia
lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan awal adalah
adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat.
d. Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapat
terjadi kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham yang tersering
yaitu : waham kejar dan waham somatik.
8
e. Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan
obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut,
gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan panik pada lansia
adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan gejala fobia pada lansia
kurang serius daripada dewasa muda, tetapi efeknya sama, jika tidak
lebih, menimbulkan debilitasi pada pasien lanjut usia. Teori eksistensial
menjelaskan kecemasan tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi
secara spesifik bagi perasaan yang cemas secara kronis.
Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang
kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan rasa
putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa
integritas. kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan dalam
perkembangan kecemasan setelah suatu stressor yang berat. Gangguan
stres lebih sering pada lansia terutama jenis stres pasca traumatik karena
pada lansia akan mudah terbentuk suatu cacat fisik.
f. Gangguan Somatiform
Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan apada
pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis adalah
berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan pemeriksaan
fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak memliki penyakit
yang mematikan. Terapi pada gangguan ini adalah dengan pendekatan
psikologis dan farmakologis.
g. Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain
Riwayat minum / ketergantungan alkohol biasanya memberikan riwayat
minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa. Mereka
biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar lansia dengan riwayat
penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia yang kronis seperti
ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff. Presentasi klinis pada
lansia termasuk terjatuh, konfusi, higienis pribadi yang buruk, malnutrisi
dan efek pemaparan. Zat yang dijual bebas seperti kafein dan nikotin
9
sering disalahgunakan. Di sini harus diperhatikan adanya gangguan
gastrointestiral kronis pada lansia pengguna alkohol maupun tidak obat-
obat sehingga tidak terjadi suatu penyakit medik.
h. Gangguan Tidur
Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan
dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur. Fenomena yang sering
dikeluhkan lansia daripada usia dewasa muda adalah gangguan tidur,
ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari
Secara klinis, lansia memiliki gangguan pernafasan yang
berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi
yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan sistem
regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada lansia
adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi medis umum,
faktor sosial dan lingkungan. Ganguan tersering pada lansia pria adalah
gangguan rapid eye movement (REM). Hal yang menyebabkan
gangguan tidur juga termasuk adanya gejala nyeri, nokturia, sesak
napas, nyeri perut.
Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak
terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam tidur.
Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan konsolidasi yang
menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada lansia.
3. Perubahan yang terjadi pada lansia
Dalam buku keperawatan gerontik Nugroho.W (2000). Menyebutkan
beberapa perubahan pada lanjut usia diantaranya adalah :
a. Perubahan Fisik
1) Sel
2) Sistem Persarafan
3) Sistem Pendengaran
4) Sistem Penglihatan
5) Sistem Kardiovaskuler
10
6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
7) Sistem Respirasi
8) Sistem Gastrointestinal
9) Sistem Genitourinaria
10) Sistem Endokrin
1) Produksi dari hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
3) Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR= Basal Metabolic
Rate, dan menurunya daya pertukaran zat.
4) Menurunnya produksi aldesteron.
5) Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesteron,
estrogen, dan testeron.
11) Sistem Kulit (Integumentary System)
12) Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)
b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental antara lain :
Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. Kesehatan
umum. Tingkat pendidikan. Keturunan (Herediter). Lingkungan.
Perubahan kepribadian yang drastis, keadaan ini jarang terjadi. Lebih
sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan
mungkin karena faktor lain seperti pentakit-penyakit.
c. Perubahan Psikososial
1) Pensiun
Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun
(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
1) Kehilangan finansial (income berkurang).
2) Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup
tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya).
3) Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
4) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
11
2) Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-
kehilangan, antara lain:
3) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of
mortality).
4) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
bergerak lebih sempit.
5) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya
biaya pengobatan.
6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
7) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.
8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
9) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan dengan teman-teman dan
family.
10) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perkembangan Spiritual
Menurut Maslow, (1978) agama atau kepercayaan semakin
terintegrasi dalam kehidupanya, sedangkan menurut pendapat Murray, &
Zentner, (1970). Lain halnya dengan pendapat Fowler, (1978)
mengatakan perkembangan spiritual pada usia 70 tahun perkembangan
yang dicapai tingkatan ini berfikir dan bertindak dengan memberikan
contoh cara mencintai dan keadilan. Kutipan tadi diambil dari buku
Keperawatan Gerontik Nugroho,W (2000).
B. Kecemasan
1. Definisi kecemasan
Cemas merupakan suatu reaksi emosional yang timbul oleh
penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman dan merasa terancam (Stuart dan Sundeen, 1998).
12
Daradjat (dalam Siswati, 2000) menyatakan bahwa kecemasan
adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang tercampur aduk yang
terjadi tatkala orang sedang mengalami tekanan perasaan dan pertentangan
batin atau konflik. Ada segi yang disadari dari kecemasan itu seperti rasa
takut, tak berdaya, terkejut, rasa berdosa atau terancam, selain juga segi –
segi yang terjadi diluar kesadaran dan tidak dapat menghindari perasaan
yang tidak menyenangkan.
Menurut Carpenito (2000) menyebutkan bahwa kecemasan
merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan
yang sulit (ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon
terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik.
2. Kecemasan pada lansia
Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang
disertai dengan berbagai penderitaan seperti beberapa penyakit dan
keudzuran serta kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan
akan kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia,
khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut usia
biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis (menahun/berlangsung
beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya
mengalami kematian. Kenyataannya, proses penuaan dibarengi bersamaan
dengan menurunnya daya tahan tubuh serta metabolisme sehingga menjadi
rawan terhadap penyakit, tetapi banyak penyakit yang menyertai proses
ketuaan dewasa ini dapat dikontrol dan diobati. Masalah fisik dan
psikologis sering ditemukan pada lanjut usia. Faktor psikologis
diantaranya perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi (Nugroho,
2000).
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya
kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian
serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian,
karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang
kecemasan lansia penting, khususnya lansia yang mengalami penyakit
13
kronis. Kecemasan menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti,
sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi
bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya,
kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang
ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak
baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock,
1990).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat
menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menurut
Hurlock (1990) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan
organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar
terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.
Terdapatnya beberapa penyakit sekaligus pada waktu yang sama,
juga sering terjadi pada lansia dan inilah yang sering menimbulkan
masalah dalam diagnostik sekaligus menimbukan kecemasan bagi si lansia
itu sendiri. Bahkan adakalanya bahwa penyakit yang gawat, kurang
diperhatikan karena gejala-gejalanya terselubung oleh keluhan-keluhan
umum yang dikemukakan atau oleh karena gejala-gejala proses menjadi
tua. Adakalanya mereka melebih-lebihkan keluhan mereka, sebaliknya
sering mereka tidak mengemukakan apa yang dirasakan sesungguhnya.
Selain kesehatan fisik yang perlu dipahami, juga ada kesehatan
mental, misalnya depresi. Depresi pada lansia memiliki latar belakang
yang agak berbeda dengan orang dewasa lainnya, karena depresi pada
lansia lebih sering timbul akibat berbagai penyakit fisik yang dideritanya.
Suatu ketergantungan hidup pada orang lain timbul pada sebagian lansia
yang kondisi fisiknya memang sudah tidak sempurna lagi, sehingga
merupakan fenomena kedua penyebab adanya depresi (Nugroho,2000).
Kecemasan lansia yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi
kematian diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari
kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan
menimbulkan kecemasan seperti gangguan penceranaan, detak jantung
14
bertambah cepat berdebar-debar akibatdari penyakit yang dideritanya
kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang.
Kemudian secara psikologis kecemasan lansia yang mengalami penyakit
kronis dalam menghadapi kematian adalah seperti adanya perasaan
khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya,
lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan pada lansia
yang mengalami penyakit kronis dalam menghadapi kematian diantaranya
adalah selalu memikirkan penyakit yang dideritanya, kendala ekonomi,
waktu berkumpul dengan keluarga yang dimiliki sangat sedikit karena
anak-anaknya tidak berada satu rumah/berlainan kota dengan subyek,
kepikiran anaknya yang belum menikah, sering merasa kesepian, kadang
sulit tidur dan kurangnya nafsu makan karena selalu memikirkan penyakit
yang dideritanya
3. Tingkat Kecemasan
Kecemasan mempunyai berbagai tingkat, Stuart & Sundeen (1998)
menggolongkan sebagai berikut :
a. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati serta
waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Kecemasan ringan
diperlukan orang agar dapat mengatasi suatu kejadian. Seseorang
dengan kecemasan ringan dapat dijumpai berdasarkan hal-hal sebagai
berikut :
1) Persepsi dan perhatian meningkat, waspada
2) Mampu mengatasi situasi bermasalah
3) Dapat mengatakan pengalaman masa lalu, saat ini dan masa
mendatang, menggunakan belajar, dapat memvalidasi secara
konsensual, merumuskan makna
4) Ingin tahu, mengulang pertanyaan
15
5) Kecenderungan untuk tidur
b. Kecemasan Sedang
Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting
dan mengesampingkan yang lain sehinga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih
terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukan
keadaan seperti :
1) Persepsi agak menyempit, secara selektif tidak perhatian tetapi
dapat mengarahkan perhatian.
2) Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya lebih.
3) Memandang pengalaman ini dengan masa lalu.
4) Dapat gagal untuk mengenali sesuatu apa yang terjadi pada situasi,
akan mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi dan
menganalisa.
5) Perubahan suara atau ketinggian suara.
6) Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung.
7) Tremor, gemetar
c. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu
cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan
hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat lagi dan
membutuhkan banyak pengarahan. Hal-hal dibawah ini sering
dijumpai pada seseorang dengan kecemasan berat, yaitu :
1) Persepsi sangat berkurang/berfokus pada hal-hal detail, tidak
dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstruksikan untuk
melakukannya.
2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian,
tidak mampu untuk memahami situasi saat ini.
3) Memandang pengalaman saat ini dengan arti masa lalu, hampir
tidak mampu untuk memahami situasi ini.
4) Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami.
16
5) Hiperventilasi, takhikardi, sakit kepala, pusing, mual.
d. Tingkat panik
Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang
kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat
melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini
tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam
waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan
kematian. Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya :
1) Persepsi yang menyimpang, fokus pada hal yang tidak jelas.
2) Belajar tidak dapat terjadi.
3) Tidak mampu untuk mengikuti, dapat berfokus hanya pada hal saat
ini, tidak mampu melihat atau memahami situasi, hilang
kemampuan mengingat.
4) Tidak mampu berpikir, biasanya aktifitas motorik meningkat atau
respon yang tidak dapat diperkirakan bahkan pada stimuli minor,
komunikasi yang tidak dapat dipahami.
5) Muntah, perasaan mau pingsan.
4. Rentang Respon Kecemasan
Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualisaikan dalam
rentang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon
adaptif sampai maladative. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat
konstruktif dan deskruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk
belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama tentang
perubahan terhadap perasan tidak nyaman dan befokus pada kelangsungan
hidup. Sedangkan reaksi deskruktif adalah reaksi yang dapat
menimbulkan tingkah laku maladaptive serta difungsi yang menyangkut
kecemasan berat atau panik Stuart dan Sundeen, 1998). Rentang respon
kecemasan dapat dilihat pada gambar 2.1.
17
Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan
Sumber : Stuart, G.W dan Sundeen, S. J. (1998).
5. Respon terhadap kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan meliputi :
a) Respon fisiologis
1) Sistem kardiovaskuler
Palpitasi, meningkatkan tekanan darah, rasa mau pingsan, pusing-
pusing, tekanan darah menurun, nadi menurun.
2) Sistem respiratory
Nadi cepat dan pendek, rasa tertekan pada dada, perasaan tercekik,
terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan.
3) Sistem neuromuskuler
Reflek meningkat, insomnia, tremor, rigid, gelisah, muka tercekik,
ketakutan, reaksi kejutan, wajah tegang, gerakan lambat, kelemahan
secara umum.
4) Sistem gastrointestinal.
Rasa tidak nyaman pada abdomen, nafsu makan menurun, mual,
diare, rasa penuh di perut, rasa terbakar pada epigastrum.
5) Sistem urinary
Tekanan pada sistem, frekuensi buang air kecil (BAK) meningkat.
6) Sistem integumen
Wajah merah, rasa panas, dingin pada kulit, kering setempat /
telapak tangan, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh.
Rentang Respon Kecemasan Respon adaptif Repon maladaptive Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
18
6. Faktor-faktor penyebab kecemasan
Banyak ahli memberikan pandangan tentang hal-hal yeng
mempengaruhi kecemasan. Iskandar (dalam Lestary, 2010)
menggambarkan bahwa factor yang mempengaruhi kecemasan terbagi
menjadi dua yaitu internal yang berangkat dari pandangan psikoanalisis
yang berpendapat bahwa sumber dari kecemasan itu bersifat internal dan
tidak disadari. Sementara menurut Atkinson (dalam Lestary, 2010)
menyebutkan bahwa kecemasan lebih ditimbulkan oleh factor eksternal
dari pada factor internal. Dalam kajian ini menurut Stuart dan Sundeen
(1998) menyatakan penyebab kecemasan dibagi menjadi :
a. Faktor predisposisi, yaitu faktor-faktor pendorong timbulnya
kecemasan yang dibagi menjadi :
1) Dalam pandangan psikoanalitik kecemasan adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif
seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani
seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya, ego atau
aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen tersebut.
2) Menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul dari perasaan
takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan
interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan
kelemahan spesifik.
3) Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk
frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan
merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.
5) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor
khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu
mengatur kecemasan.
19
b. Faktor Presipitasi
Faktor Presipitasi merupakan faktor pencetus timbulnya
kecemasan yang dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu :
1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang / menurunnya kapasitas untuk
melaksanakan aktifitas sehari – hari.
2) Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegritas dalam diri
seseorang.
7. Teori Predisposisi Kecemasan
Menurut Freud (dalam Siswati (2000) terjadinya kecemasan pada
individu dapat diterangkan melalui teori-teori :
a. Teori psikomotorik
Menurut teori ini. Freud, menyatakan kecemasan terbagi
dalam 4 kategori yaitu : superego anxiety, castration anxiety,
separation anxiety dan id or impulse anxiety.
Selanjutnya oleh Freud dikatakan pula kecemasan adalah hasil
konflik yang tidak disadari antara impuls id (terutama impuls agresif
dan seksual) yang melawan ego atau superego. Banyak impuls id
memberikan ancaman pada individu karena berlawanan dengan nilai-
nilai yang dianut oleh individu atau nilai-nilai moral dalam
masyarakat.
b. Teori Kognitif.
Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa kecemasan dapat
terjadi karena adanya penyimpanan cara berfikir (distorsi kognitif)
pada seseorang. Individu akan mengalami gangguan atau
penyimpanan dalam menafsirkan situasi-situasi yang dihadapinya,
sehingga kecemasan ini lebih dipengaruhi oleh proses berfikir individu
bukan oleh situasinya.
20
c. Teori Belajar
Kecemasan menurut pandangan teori belajar terjadi bukan
terpusat pada konflik interval tetapi cara-cara ketika kecemasan
dihubungkan dengan situasi-situasi tertentu melalui proses belajar.
Para pengikut pandangan tradisional ini dari teori belajar menganggap
bahwa kecemasan berkembang melalui belajar berasosiasi. Sehingga
stimulus yang ada awalnya netral menjadi sesuatu yang mencemaskan
karena cenderung terkondisi yang didasarkan pada hubungan dengan
stimulus yang tidak menyenangkan atau aversive stimulus.
d. Teori kepribadian
Kecemasan merupakan dimensi dasar kepribadian dan
kecemasan dapat dilihat sebagai campuran antara intraversi dan
neurotisme. Adapun stressor pencetus kecemasan dikelompokkan
menjadi 2 kategori yaitu :
1) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melaksanakan aktifitas sehari-hari.
2) Ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi social yang terintegritas dalam diri
seseorang
8. Cara pengukuran kecemasan
Alat ukur tingkat kecemasan telah dikembangkan oleh beberapa
peneliti sebelumnya diantaranya adalah kecemasan berdasarkan HARS,
Demikian halnya dengan penelitian ini, karena kecemasan berdasarkan
HARS telah terbukti dan banyak digunakan sebagai referensi untuk
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kecemasan maka dalam
penelitian ini untuk mengukur kecemasan ibu terhadap sindrom
klimakterium juga menggunakan standar HARS yang berisi tentang
perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan
kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatic, Gejala kardiovaskuler, gejala
21
resperatori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom,
tingkah laku (Hidayat, 2007).
Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala
yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,
skor 1 berarti ringan (1 gejala dari pilihan yang ada), sokr 2 berarti sedang
(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)
dan skor 4 berarti Sangat Berat (semua gejala ada).
C. Nyeri
1. Pengertian
Menurut Asosiasi Nyeri Internasional disebutkan nyeri adalah
suatau pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara actual
maupun potensial, atau menggambarkan keadaan kerusakan (Sudoyo,
2006).
Nyeri merupakan suatu pengalaman psikis yang normalnya
berhubungan dengan kerusakan terhadap jaringan pada tubuh. Dapat
didefinisikan sebagai sensasi ketidakenakan, penderitaan atau kesakitan,
yang lebih kurang terlokalisir, yang dihasilkan dari stimulasi akhir-akhiran
saraf yang khusus, dianggap sebagai mekanisme protektif sepanjang ia
menyebabkan penderita memindahkan atau menarik dirinya dari sumber
nyeri ( Soenarto, 1990).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007).
2. Fisiologi
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
22
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini
meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
3. Proses nyeri
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli
akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik
kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf
23
tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks
serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan
sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi
sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat
membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau
dingin) dan agen kimiawi yang dilepaskan karena trauma/inflamasi.
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf
untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi
potensial aksi yang dijalarkan ke system saraf pusat
4. Klasifikasi
Menurut Tamsuri (2007), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi 4 yaitu:
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri fapat dikelompokan sebagai
nyeri akut dan nyeri kronis.
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu daeri 1
detik sampai dengan kurang dari enam bulan. Umumnya terjadi
pada cefera, penyakit akut, atau pembedahan dengan awitan cepat.
Dapat hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan
setelah kerusakan jaringan sermbuh.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih
dari enam bulan. Umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau
bahkan persisten. Nyeri kronis dapat mernyebabkan klien merasa
putus asa dan frustasi. Nyeri ini dapat menimbulkan kelelahan
mental dan disik.
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dibedakan menjadi 6 yaitu :
1) Nyeri superfisial
24
Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperrti pada
laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Mermiliki durasi pendek,
terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.
2) Nyeri somatik
Nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur
penyokong, umumnya bersidat tumpul dan stimulasi dengan
adanya peregangan dan iskemia.
3) Nyeri viseral
Nyeri yang disebabkan kerusakan organ internal, durasinya
cukup lama, dan sensasi yang timbul biasanya tumpul.
4) Nyeri sebar (radiasi)
Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari
daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersidat intermiten
atau konstan.
5) Nyeri fantom
Nyeri fantom adfalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien
yang mrngalami amputasi.
6) Nyeri alih
Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri
viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada
brberapa tempat atau lokasi.
c. Klasifikasi nyeri berdasarkan organ
Berdasarkan tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokan
dalam:
1) Nyeri organik
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya
kerusakan organ.
2) Nyeri neurogenik
Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron,
misalnya pada neurologi.
3) Nyeri psikogenik
25
Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor
psiokologis. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek
psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.
5. Pengukuran Nyeri
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri disebabkan oleh subyerktivitas
yang tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual.
Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja atau
pengukuran berdimensi ganda (Sudoyo, 2006)
Macam-macam pengukuran nyeri
a. Skala deskritif
Merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang
garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang
ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling
menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.
Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating
scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-
10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala
untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.
b. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)
Suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
26
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
c. Skala numerik
Numerical rating scale merupakan pengukuran nyeri dimana
klien untuk memberikan angka 1 sampai 10. Nol diartikan sebagai
tidak ada nyeri, sedangkan angka 10 diatrikan sebagai rasa nyeri hebat
dan tidak tertahankan.
6. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Prihardjo (1996) antara lain :
1. Faktor internal
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa
kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah
yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak
berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih
dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990),
perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon
nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.
27
d. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
e. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
f. Pengetahuan
Nyeri dirasakan dan disadari otak, tetapi berlum tentu
penderita akan tergangggu misalnya karrna ia punya pengetahuan
tentang nyeri sehingga ia menerimanya secara wajar.
g. Kelelahan
Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang
merasa lebih nyaman waktu istirahat.
2. Faktor eksternal
a. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang
mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive
akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri
b. Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan.
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
28
d. Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari
lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.
e. Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang
mermakai akan mempercepat penurunan nyeri.
D. Hubungan nyeri dengan kecemasan pada lansia
Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai suatu bentuk
manifestasi rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau
terjadinya peristiwa buruk dan kondisi yang ada. Cemas yang dirasakan oleh
penderita rematik disebabkan karena adanya nyeri (Lasich, 2010).
Setiap manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak
enak. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis.
Banyak orang yang datang ke rumah sakit atau puskesmas dengan keluhan
nyeri yang biasanya disertai dengan rasa lainnya seperti rasa tertekan, panas
atau dingin (Lasich, 2010).
Rasa tidak nyaman dapat berupa rasa nyeri yang dirasakan oleh lanjut
usia sebagai salah satu bentuk penurunan fungsi tubuh akibat dari penuaan
seperti rematik, nyeri sendi dan sebagainya. Munculnya rasa nyeri secara
berulang ini menimbulkan rasa kekhawatiran pada diri lanjut usia jika ras
nyeri tersebut datang kembali. Lanjut usia yang memiliki penyakit nyeri
tentunya telah memahami saat mana rasa nyeri tersebut akan muncul yaitu
seperti saat udara atau cuaca dingin dan sebagainya, sehingga apabila pencetus
rasa nyeri tersebut ada maka muncul rasa cemas akibat dari kekhawatiran
datangnya nyeri tersebut.
Nyeri cenderung meningkat pada situasi kecemasan dan stress. Nyeri
juga dapat ditimbulkan oleh faktor emosi seperti ketakutan, kecemasan dan
pertentangan yang menyebabkan ketegangan, kejang otot dan lain-lain
(Lasich, 2010).
29
E. Kerangka teori
Gambar 2.1 : Kerangka Teori Sumber : (Priharjo, 1996); (Stuart et al, 1998); (Sudoyo, 2006) telah dimodifikasi
F. Kerangka konsep
Gambar 2.2 : Kerangka Konsep
Tingkat Kecemasan: - Ringan - Sedang - Berat
NyeriPenyakit rematik
Nyeri sendi Kecemasan
Stressor: - Predisposisi
Konflik Takut Frustasi Reseptor untuk
benzodiasepines - Presipitasi
Ancaman integritas fisik (penyakit)
Ancaman system diri
- Nyeri organik - Nyeri neurogenik - Nyeri psikogenik
30
G. Variabel
1. Variabel independent atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah
kejadian nyeri sendi
2. Variabel dependent atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah adalah
tingkat kecemasan.
H. Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka kerja dapat dirumuskan : Ada hubungan
antara nyeri sendi pada dengan kecemasan pada lansia di Perumahan Kini
Jaya RW IV Kelurahan Kedungmundu Kecamatan Tembalang Semarang
top related