jtptunimus gdl risnamaliq 5503 3 babii
Post on 28-Nov-2015
23 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Mencuci Tangan
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia
itu sendiri. oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang
sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berfikir,
persepsi dan emosi yang merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2003)
Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan
untuk mengadakan tindakan pada suatu objek, dengan suatu cara yang
menyatakan adanya suatu tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak
menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia
(Notoatmodjo, 2005)
Perilaku mencuci tangan adalah suatu aktivitas, tindakan mencuci
tangan yang di kerjakan oleh individu yang dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung. Menurut Green (1980), kesehatan seseorang
dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causes), dan
faktor non perilaku (non behavior causes). Perilaku kesehatan itu sendiri juga
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)
Yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
nilai-nilai dan sebagainya.
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
11
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan seseorang
dapat diperoleh melalui pendidikan, paparan media masa (akses
informasi), ekonomi (pendapatan), hubungan social (lingkungan social
budaya), pengalaman.
Sebelum anak berperilaku mencuci tangan, ia harus tahu
terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku dan apa resikonya
apabila tidak mencuci tangan dengan sabun bagi dirinya atau
keluarganya. Melalui pendidikan kesehatan mencuci tangan anak
mendapatkan pengetahuan pentingnya mencuci tangan sehingga
diharapkan anak tahu, bisa menilai, bersikap yang didukung adanya
fasilitas mencuci tangan sehingga tercipta perilaku mencuci tangan.
b. Sikap
Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang
terhadap stimulus dan objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan,
termasuk penyakit). Setelah anak mengetahui bahaya tidak mencuci
tangan (melalui pengalaman, pengaruh orang lain, media massa,
lembaga pendidikan, emosi), proses selanjutnya akan menilai atau
bersikap terhadap kegiatan mencuci tangan tersebut.
c. Kepercayaan sering diperoleh dari guru, orang tua dan seseorang yang
dituakan. Pendidikan kesehatan bisa melalui guru atau orang tua, misal
selain mengajari cara mencuci tangan guru atau orang tua bisa
membiasakan dirinya mencuci tangan sehingga anak bisa meniru
kebiasaan yang dilakukan guru atau orang tuanya. Karena anak
menganggap benar apa yang dilakukan guru atau orang tua dan orang
yang di tuakannya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enambling factor)
Yang terwujud dalam lingkungan fisik, ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih,
tepat buang sampah, tempat buang tinja, ketersediaan makanan yang
bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat
12
desa, dokter atau bidan swasta dan sebagainya. Untuk mendukung perilaku
hidup sehat.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing faktor)
Yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau
petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat. Maka promosi dan kesehatan yang paling tepat adalah bentuk
pelatihan bagi tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan, agar
sikap dan perilaku petugas atau tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat
menjadi teladan, contoh, atau acuan bagi masyarakat tentang hidup sehat
(berperilaku hidup sehat). (Notoatmodjo, 2003)
Menurut skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa
perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku mencuci tangan ini terjadi
melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme
tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus-Organisme-Respon. Skinner membedakan adanya dua respon, yaitu:
1. Respondent respons atau reflexive
Respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan
respon-respon yang relatif tetap.
2. Operant respon atau instrumental respons
Respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
perangsang tertentu. Perangsang itu disebut reinforcing stimulation atau
reinforce, karena memperkuat respon.
Di dalam kehidupan sehari-hari, respon jenis pertama (respondent
respons atau respondent beharvior) sangat terbatas keberadaannya pada
manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan
respons kemungkinan untuk memodifikasinya adalah kecil. Sebaliknya
operant respons atau instrument behavior merupakan bagian terbesar dari
perilaku manusia, dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar, bahkan
dapat dikatakan tidak terbatas (Notoatmodjo, 2005)
13
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Perilaku tertutup (recivert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas
pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi
pada orang menerima stimulus tersebut, dan belum bisa diamati secara
jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata ata
terbuka. Respon terhada stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindaka atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003)
Perilaku-perilaku mencuci tangan individu dapat terjadi disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya karena kebutuhan , dorongan motivasi, faktor
perangsang dan pengawet, dan pengaruh sikap dan kepercayaan (Kariyoso,
1994)
Terbentuknya perilaku mencuci tangan individu dapat terjadi karena
proses kematangan dan proses interaksi dengan lingkungan. Cara yang inilah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan
perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan lingkungan
ini melalui suatu proses yakni proses belajar atau di lingkungan yang ada
diluar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat
kaitannya. Perubahan perilaku adalah merupakan hasil dari proses belajar.
Berarti pendidikan kesehatan mencuci tangan disekolah merupakan salah satu
cara yang tepat untuk perubahan perilaku anak dalam proses belajar. Karena
melalui proses belajar terjadi proses kematangan dan proses interaksi dengan
lingkungan yang dapat merubah perilaku anak dalam hal mencuci tangan.
(Notoatmodjo, 2005)
Menurut WHO yang dikutip dari Notoatmodjo S, bentuk perilaku
sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam
14
pemahamannya terhadap perilaku. Berikut bentuk-bentuk perubahan perilaku
dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1. Perubahan Alamiah (natural change). Perilaku manusia selalu berubah,
dimana sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah.
Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik
atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat di
dalamnya juga akan mengalami perubahan.
2. Perubahan Rencana (planned change). Perubahan perilaku ini terjadi
karena memang direncanakan sendiri oleh subyek.
3. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to Change), apabila terjadi suatu
inovasi atau program-program pembangunan didalam masyarakat. Maka
yang sering terjadi adalah sebagai orang sangat lambat untuk menerima
inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya)
Untuk melakukan perubahan perilaku diperlukan motivasi yang kuat
untuk berubah. Motivasi adalah suatu dorongan yang menggerakkan seseorang
untuk berperilaku, beraktivitas dalam penyampaian tujuan dimana kebutuhan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap lajunya dorongan
tersebut . Jadi perubahan perilaku mencuci tangan pada anak usia sekolah
dapat tercapai dengan memberi anak motivasi yang kuat. Sehingga timbul dari
kesadarannya sendiri, tercipta perilaku mencuci tangan pada anak tersebut.
(Widayatun, 1999)
Menurut Kurt Lewin (1970) yang dikutip dari Notoatmodjo S,
berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu keadaan yang seimbang
antara kekuatan-kekuatan pendorong (drivering forces). Perilaku mencuci
tangan itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang.
B. Anak Usia Sekolah
1. Definisi Anak Usia Sekolah
Usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya
sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap
15
mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan
orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah
merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk
keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh
keterampilan tertentu. (Nuryanti, 2008)
Menurut Sigmund Freud, anak usia 6-12 tahun sering disebut
dengan masa anak pertengahan atau laten yaitu masa tenang dan nyaman,
walau anak mengalami perkembangan pesat pada aspek motorik dan
kognitif. Anak laki-laki lebih banyak bergaul dengan teman sejenis,
demikian pula dengan anak perempuan. Oleh karena itu, fase ini disebut
juga periode homoseksual alamiah. Anak mencari figur ideal diantara
orang dewasa berjenis kelamin sama dengannya (Irwanto, 2002)
Menurut Jean Piaget yang dikutip dari Dariyo A, bahwa anak usia
sekolah dibagi menjadi 2 periode yaitu masa anak tengah (middle
Childhood) pada masa ini anak-anak kira-kira berumur 7-9 tahun, berada
pada fase perkembangan operasi komplit, untuk tugas yang rumit atau
kompleks anak akan menemui hambatan. Dan masa anak akhir (late
childhood) anak dengan usia 10-12 tahun, anak-anak terus
mengembangkan kapasitas intelektual (masa operasi konkrit) di bangku
pendidikan formal yaitu sekolah dasar.
2. Perkembangan Fisik Pada Anak Usia Sekolah
Perkembangan fisik anak usia sekolah cenderung berbeda dengan
masa sebelumnya dan sesudahnya. Pertumbuhan tangan dan kaki lebih
cepat dibanding dengan pertumbuhan togok. Pada tahun-tahun awal usia
sekolah pertumbuhan jaringan tulang lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan jaringan otot mulai lebih cepat, hal ini berpengaruh pada
peningkatan kekuatan yang menjadi lebih cepat juga (Widayatun, 1999)
Mulai umur 6 tahun ini, seorang anak pertumbuhan badannya
relative seimbang, maka anak menjadi senang bermain keseimbangan dan
penguasaan badan. Pertumbuhan fisik yang berlangsung secara baik itu
sudah barang tentu ikut berpengaruh terhadap perkembangan psikis anak.
16
Pada masa tersebut anak sudah matang untuk masuk sekolah (Ahmadi,
2005)
Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama
lain, sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam
kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Sedangkan pertumbuhan anak-
anak berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini
antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang tua
terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain (Sofa, 2008)
3. Ciri-ciri Anak Usia Sekolah
Orang tua, pendidik, dan ahli psikologis memberikan berbagai
label kepada periode ini dan label-label itu mencerminkan ciri-ciri penting
dari periode anak usia sekolah. Yaitu sebagai berikut:
a. Label yang digunakan oleh orang tua
1) Usia yang menyulitkan
Suatu masa dimana anak tidak mau lagi menuruti perintah dan
dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya
daripada oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya.
2) Usia tidak rapih
Suatu masa dimana anak cenderung tidak memperdulikan dan
ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya sangat berantakan.
Sekalipun ada peraturan keluarga yang ketat mengenai kerapihan
dan perawatan barang-barangnya, hanya beberapa saja yang taat,
kecuali kalau orang tua mengharuskan melakukannya dan
mengancam dengan hukuman.
b. Label yang digunakan oleh para pendidik
1) Usia sekolah dasar
Pada usia tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar
pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, dan mempelajari
berbagai keterampilan penting tertentu, baik keterampilan kurikuler
maupun ekstra kurikuler.
17
2) Periode kritis
Suatu masa di mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai
sukses, tidak sukses, atau sangat sukses. Sekali terbentuk,
kebiasaan untuk bekerja dibawah, diatas atau sesuai dengan
kemampuan cenderung menetap sampai dewasa.telah dilaporkan
bahwa tingkat perilaku berprestasi pada masa kanak-kanak
mempunyai korelasi yang tinggi dengan perilaku berprestasi pada
masa dewasa.
c. Label yang digunakan ahli psikologi
1) Usia berkelompok
Suatu masa di mana perhatian utama anak tertuju pada keinginan
diterima oleh teman-teman sebaya sebagai angota kelompok,
terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan teman-
temannya. Oleh karena itu, anak ingin menyesuaikan dengan
standar yang disetujui kelompok dalam penampilan, berbicara, dan
perilaku.
2) Usia penyesuaian diri
Suatu masa dimana perhatian pokok anak adalah dukungan dari
teman-teman sebaya dan keanggotaan dalam kelompok.
3) Usia kreatif
Suatu masa dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan
apakah anak-anak menjadi konformis atau pencipta karya yang
baru yang orisinil. Meskipun dasar-dasar untuk ungkapan kreatif
diletakkan pada awal masa kanak-kanak, namun kemampuan untuk
menggunakan dasar-dasar ini dalam kegiatan-kegiatan orisinal
pada umumnya belum berkembang sempurna sebelum anak-anak
belum mencapai tahun-tahun akhir masa kanak-kanak.
4) Usia bermain
Bukan karena terdapat lebih banyak waktu untuk bermain daripada
dalam periode-periode lain hal mana tidak dimungkinkan lagi
apabila anak-anak sudah sekolah melainkan karena terdapat
18
tumpang tindih antara ciri-ciri kegiatan bermain anak-anak yang
lebih muda dengan ciri-ciri bermain anak-anak remaja. Jadi alasan
periode ini disebut sebagai usia bermain adalah karena luasnya
minat dan kegiatan bermain dan bukan karena banyaknya waktu
untuk bermain. (Hurlock, 1990)
Jadi dapat disimpulkan bahwa masa ini adalah masa atau usia dini
yang paling tepat bagi anak memperoleh pendidikan kesehatan mencuci
tangan. Masa dimana anak senang mempelajari apa yang ada disekitarnya
dengan suka bermain dan berkelompok dengan teman-temannya baik
dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. anak
akan mudah diberikan masukan mengenai pendidikan kesehatan mencuci
tangan sehingga dapat merubah perilaku yang sebelumnya tidak rajin
mencuci tangan, setelah mendapatkan pendidikan kesehatan anak menjadi
tahu pentingnya mencuci tangan dan merubah perilaku mencuci
tangannya.
4. Tugas Perkembangan Usia Sekolah
Tugas-tugas perkembangan anak usia sekolah menurut Havighurst
adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-
permainan yang umum
b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk
yang sedang tumbuh
c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya
d. Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita yang tepat
e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca,
menulis dan berhitung
f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk
kehidupan sehari-hari
g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai
h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan
lembaga-lembaga
19
i. Mencapai kebebasan pribadi
Untuk memperoleh tempat didalam kelompok sosial, anak harus
menyelesaikan berbagai tugas perkembangan. Kegagalan dalam
pelaksanaannya akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang,
sehingga sulit diterima oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu
menyamai teman-teman sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas
perkembangan tersebut (Hurlock, 1990)
Tugas-tugas perkembangan yang bersumber dari kematangan fisik
diantaranya adalah belajar berjalan, belajar melempar mengangkap dan
menendang bola, belajar menerima jenis kelamin yang berbeda dengan
dirinya. Beberapa tugas perkembangan terutama bersumber dari
kebudayaan seperti belajar membaca, menulis dan berhitung, belajar
tanggung jawab sebagai warga negara. Sementara tugas-tugas
perkembangan yang bersumber dari nilai-nilai kepribadian individu
diantaranya memilih dan mempersiapkan untuk bekerja, memperoleh nilai
filsafat dalam kehidupan (Kurniawan, 2007)
C. Pendidikan Kesehatan
1. Definisi pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu
meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan
yang direncanakan untuk individu, kelompok atau masyarakat agar belajar
tentang kesehatan dan melakukan perubahan-peubahan secara suka rela
dalam tingkah laku individu (Entjang, 1991)
Menurut Wood dikutip dari Effendi (1997), pendidikan kesehatan
merupakan sejumlah pengalaman yang pengaruh menguntungkan secara
kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan
kesehatan perseorangan, mayarakat dan bangsa. Kesemuannya ini,
dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimannya secara suka rela
perilaku yang akan meningkatkan dan memelihara kesehatan.
20
Menurut Steward dikutip dari Effendi (1997), unsur program
kesehatan dan kedokteran yang didalamnya terkandung rencana untk
merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan tujuan untuk
membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan.
Menurut Ottawwa Charter (1986) yang dikutip dari Notoatmodjo
S, pendidikan kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu
untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental dan
social, maka masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan
aspirasinya, kebutuhannya, dam mampu mengubah atau mengatasi
lingkungannya (lingkungan fisik, sosial, budaya, dan sebagainya).
Dapat dirumuskan bahwa secara konsep, pendidikan kesehatan
adalah upaya untuk mempengaruhi, dan atau mempengaruhi orang lain,
baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan perilaku
hidup sehat. Sedangkan secara operasional, pendidikan kesehatan
merupakan suatu kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan praktek masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2003)
2. Tujuan pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain
pertama, tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan
masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan
lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan derajat
kesehatan yag optimal. Kedua, terbentuknya perilaku sehat pada individu,
keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik
fisik, mental dan social sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Ketiga, menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah
untuk mengubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang
kesehatan (Effendy, 1997)
21
Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu
menerapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami
apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya
yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan mampu
memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup
sehat dan kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009)
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan
WHO, tujuan pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan; baik
secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi
maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik
pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat,
pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009)
Jadi pendidikan kesehatan mencuci tangan pada anak usia sekolah
tersebut tujuannya adalah agar anak bisa cuci tangan pakai sabun dengan
benar, memperoleh pengetahuan dan pemehaman pentingnya mencuci
tangan untuk kesehatan, tercapainya perilaku mencuci tangan sehingga
dapat meningkatkan derajat kesehatan fisik, mental dan sosialnya,
sehingga produktif secara ekonomi maupun social.
3. Metode pendidikan kesehatan
Penyampaian pendidikan kesehatan harus menggunakan cara
tertentu , materi juga harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat
bantu pendidikan disesuaikan agar dicapai suatu hasil yang optimal.
Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda dengan sasaran massa
dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus berbeda dengan
sasaran individual dan sebagainya.
a. Metode pendidikan individual
Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat
individual ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang
yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi.
Bentuk pendekatan antara lain:
22
1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling)
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif,
setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek, dan dibantu
penyelesaiannya.
2) Interview (wawancara)
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali
informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk
mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi
itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. Apabila
belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
b. Metode pendidikan kelompok
Dalam memilih pendidikan kelompok, harus mengingat
besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada
sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan
kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada
besarnya sasaran pendidikan.
1) Kelompok besar : penyuluhan lebih dari 15 orang, dengan metode
antara lain
(a) Ceramah: metode yang baik untuk sasaran yang berpendidikan
tinggi maupun rendah.
(b) Seminar : metode ini sangat cocok untuk sasaran kelompok
besar dengan pendidikan menengah keatas. Seminar adalah
suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli dari beberapa ahli
tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya
dianggap hangat dmasyarakat.
2) Kelompok kecil: apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang.
Metode-metode yang cocok yaitu diskusi kelompok, curah
pendapat (brain storming), bola salju (snow balling), kelompok
kecil-kecil (bruzz group), role play (memainkan peranan) dan
permainan simulasi (simulation game)
23
c. Metode pendidikan massa (public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk
mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada
masyarakat yang sifatnya massa atau public, maka cara yang paling
tepat adalah pendekatan massa. Tanpa membedakan golongan umur,
jenis kelamin, pekerjaan, status social, tingkat pendidikan dan
sebagainya.
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) massa ini tidak
langsung. Biasanya mengguanakan atau melalui media massa.
Beberapa contoh metode antara lain ceramah umum (public spesking),
pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik
tv maupun radio, simulasi, tulisan-tulisan di majalah atau Koran dan
bill board yang di pasang di pnggir jalan, spanduk poster dan
sebagainya. (Notoatmodjo, 2005)
4. Alat bantu/media pendidikan kesehatan
Media pendidikan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan,
alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalm menyampaikan bahan
pendidikan/pengajaran. Disebut media pendidikan kesehatan karena alat-
alat tersebut merupakan saluran (channel) untuk menyampaikan informasi
kesehatan dan karena alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah
penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat dan klien
(Notoatmodjo, 2003)
Salah satu tujuan menggunakan alat bantu yaitu menimbulkan
minat, mencapai sasaran yang banyak, merangsang sasaran pendidikan
untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada orang lain, untuk
mempermudah penyampaian, penerimaan informasi oleh sasaran
pendidikan, mendorong keinginan orang untuk mengetahui dan
menegakkan pengertian yang diperoleh (Notoatmodjo, 2003)
Menurut para ahli, indera indra yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87%
dari pengetahuan manusia diperoleh disalurkan melalui mata. Sedangkan
24
13% sampai 25% lainnya tersalur melalui indera lain. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian
dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan (Notoatmodjo, 2003)
Pada garis besarnya hanya ada tiga macam alat bantu pendidikan
(alat peraga), antara lain:
a. Alat bantu melihat (visual aids) yang berguna dalam membantu
menstimulasi indera mata (penglihatan)pada waktu terjadinya
pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk.
1) Alat yang diproyeksikan, misalnya slide, film, film strip dan
sebagainya.
2) Alat-alat yang tidak diproyeksikan:
(a) Dua dimensi, gambar peta, bagan dan sebagainya.
(b) Tiga dimensi, misalnya bola dunia, boneka dan sebagainya.
b. Alat-alat bantu dengar (audio aids), yaitu alat dapat membantu untuk
menstimulasikan indera pendengar pada waktu proses penyampaian
bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya : piring hitam, radio, pita suara
dan sebagainya.
c. Alat bantu lihat-dengar, seperti televise dan video cassette. Alat-alat
bantu pendidikan ini lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA)
(Notoatmodjo, 2003)
5. Sasaran pendidikan kesehatan
Sasaran pendidikan kesehatan adalah individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat yang dijadikan subyek dan obyek perubahan perilaku,
sehingga diharapkan dapat memahami, menghayati dan mengaplikasikan
cara-cara hidup sehat dalam kehidupan sehari-harinya. Banyak faktor yang
diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan pendidikan kesehatan,
antara lain tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, adat istiadat,
kepercayaan masyarakat dan kepercayaan waktu (Effendy, 1997)
Berdasarkan tujuan akhir visi dan misi pendidikan kesehatan yaitu
kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
mereka sendiri. dari visi dan misi tersebut sudah jelas bahwa yang menjadi
25
sasaran utama pendidikan kesehatan adalah masyarakat khususnya bagi
perilaku masyarakat. Namun demikian, karena terbatasnya sumber daya,
akan tidak efektif apabila upaya atau kegiatan pendidikan kesehatan, baik
yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta itu,langsung di
alamatkan kepada masyarakat. Oleh sebab itu dilakukan pentahapan
sasaran pendidikan kesehatan yang terbagi menjadi 3 kelompok sasaran,
yaitu:
a. Sasaran Primer (Primary Target)
Masyarakat menjadi sasaran langsung pendidikan kesehatan
dengan strategi pemberdayaan masyarakat (impowerment). Sesuai
dengan permasalahan kesehatan, maka sasaran ini dibagi menjadi,
kepala keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu hamil dan
menyusui untuk masalah KIA (kesehatan ibu dan anak), anak sekolah
untuk kesehatan remaja dan sebagainya.
b. Sasaran Sekunder (Sekunder Target)
Para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan
sebagainya. Disebut sasaran sekunder, Karena dengan memberikan
pendidikan kesehatan kepada kelompok ini akan memberikan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat sekitarnya dengan
mengguankan strategi dukungan sosial (social support).
c. Sasaran Tersier (Tertiary Target)
Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik di tingkat
pusat, maupun daerah adalah sasaran tersier pendidikan kesehatan.
Dengan menggunakan startegi advokasi (advocacy) (Notoatmodjo,
2003)
6. Pendidikan Kesehatan Terhadap Perilaku
Tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu,
kelompok dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana
melalui proses belajar. Seseorang mengubah perilakunya dengan beberapa
cara salah satunya yang disebut dengan Cognitive Dissonance adalah
adanya suatu gangguan keseimbangan tentang kemantapan pengertian
26
yang sudah dimiliki seseorang. Cognitive dissonance akan timbul pada
seseorang jika yang bersangkutan menghadapi hal-hal yang baru, di mana
individu akan mengembalikan keseimbangannya melalui suatu proses
rasionalisasi dengan mengubah pengertian atau sikapnya. Namun jika
antara pengertian dan sikap yang sudah diikuti selama ini oleh yang
bersangkutan dengan yang baru perbedaannya terlalu besar, maka cara
untuk mengembalikan keseimbangan adalah dengan menolak yang baru.
(Mubarak, 2009)
Selain kebiasaan, perilaku orang untuk mau hidup sehat ternyata
menjadi faktor penentu orang mau cuci tangan sebelum makan. Mengajak
orang untuk sadar cuci tangan pakai sabun secara benar ternyata susah-
susah gampang. Karena tidak jarang cuci tangan masih di anggap satu hal
sepele. Letakkan tangan di air, bilas, selesai. Kesadaran bahwa kesehatan
harus dimulai dan diusahakan oleh kita sendiri, harus kita sadari sejak dini.
Dan perlu ada penjelasan pentingnya mencuci tangan dengan benar untuk
menjaga dan mencegah penyakit yang berasal dari tangan kita sendiri.
Adanya pengertian baru akan menyebabkan adanya gangguan
keseimbangan pemahaman yang sudah dimiliki oleh individu, kelompok
atau masyarakat. Akan ada konflik antar pengertian dan anggapannya yang
lama dan yang baru, perbedaan inilah yang disebut cognitive dissonance.
Dengan ini berarti tujuan akhir dari pendidikan kesehatan adalah
masyarakat dapat mempraktekkan hidup sehat melalui mencuci tangan
bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat dapat berperilaku hidup sehat.
(Mubarak, 2009)
Pendidikan kesehatan identik dengan penyuluhan kesehatan,
karena keduanya berorientasi kepada perubahan perilaku yang diharapkan
yaitu perilaku sehat, sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah
kesehatan dirinya, keluarga dan kelompoknya dalam meningkatkan
kesehatan (Effendy, 1997)
27
D. Mencuci Tangan
1. Pengertian mencuci tangan
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi
dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun
oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman.
Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya
pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi
agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari
satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak
tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk,
gelas) (Wikipedia, 2009)
Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara
mekanis dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air.
Kesehatan dan kebersihan tangan secara bermakna mengurangi jumlah
mikroorganisme penyebab penyakit pada kedua tangan dan lengan serta
meminimalisasi kontaminasi silang (Tietjen dkk, 2004)
Cuci tangan dianggap merupakan salah satu langkah yang paling
penting untuk mengurangi penularan mokroorganisme dan mencegah
infeksi selama lebih dari 150 tahun. Menurut Boyce 1999 dan Larson
1995) bahwa dapat diketahui bahwa kesehatan kebersihan tangan yang
baik dapat mencegah penularan mikroorganisme dan mengurangi
frekuensi infeksi nosokomial. (Tietjen dkk, 2004)
Menurut Public Health Education Program Manager Yayasan
Unilever Indonesia dr Leo Indarwahono, mencuci tangan menggunakan
sabun dan air mengalir dapat memutuskan mata rantai kuman yang
melekat di jari-jemari. Dengan membiasakan diri mencuci tangan
memakai sabun dan air mengalir, berarti telah melakukan salah satu upaya
pencegahan penyakit. Masyarakat termasuk anak sering mengabaikan
mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir karena kurangnya
pemahaman tentang kesehatan. (okezone, 2009)
28
2. Tujuan mencuci tangan
Pariera, Lee dan Wade (1990) yang dikutip dari Tietjen,
mengungkapkan bahwa mencuci tangan dengan sabun bertujuan untuk
menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan
mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci tangan dengan sabun
biasa dan air sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun anti
mikrobial. Sebagai tambahan, iritasi kulit jauh lebih rendah apabila
menggunakan sabun biasa.
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan mencuci tangan
pakai sabun antara lain diare, infeksi saluran pernafasan dan infeksi cacing
(infeksi mata dan kulit)
Menurut Val Curtis & Sandy Cairncross dari London School of
Hygiene and Tropical Medicine, Inggris tahun 2003. Menurut peneliti
tentang kesehatan sanitary dan air ini, perilaku mencuci tangan dengan
sabun bisa mengurangi insiden diare sebanyak 42-47%. Artinya, sekitar
satu juta anak di dunia dapat diselamatkan tiap tahun dengan cuci tangan.
Hanya saja ada yang perlu diperhatikan dalam prosesnya, yaitu harus
menggunakan sabun dan membilas tangan menggunakan air mengalir.
Menurut Curtis & Cairncross, tanpa sabun, bakteri dan virus tidak akan
hilang. Air hanya sebatas menghilangkan kotoran yang tampak, tetapi tak
menghilangkan cemaran mikrobiologis yang tidak tampak. (Moernantyo,
2006).
3. Cara mencuci tangan dengan benar
Praktek CTPS yang benar hanya membutuhkan sabun dan air
mengalir. Air mengalir tidak harus dari keran, bisa juga mengalir dari
sebuah wadah berupa gayung, botol, kaleng, ember tinggi, gentong atau
jerigen. Untuk penggunaan jenis sabun dapat menggunakan semua jenis
sabun karena semua sebenarnya cukup efektif dalam membunuh kuman
penyebab penyakit. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka CTPS
perlu dilakukan dengan cara yang baik dan benar, langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut, yaitu :
29
a. Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir
b. Tangan yang basah disabuni, digosok-gosok bagian telapak tangan dan
punggung tangan,jari-jari, bawah kuku, minimal selama 20 detik.
c. Bilas kembali dengan air mengalir bersih sampai bersih
d. Keringkan dengan kain bersih atau kibas-kibaskan di udara (Sibuea,
2007)
Untuk mendorong cuci tangan, kita harus melakukan segala upaya
menyediakan sabun dan suplai air bersih terus menerus baik dari kran atau
ember dan lap pribadi. Langkah-langkah mencuci tangan tersebut adalah
a. Basahi kedua belah tangan
b. Gunakan sabun biasa
c. Gosok dengan seluruh bidang permukaan tanan dan jari-jari bersama
sekurang-kurangnya selama 10 hingga15 detik, dengan memperhatikan
bidang di bawah kuku tangan dan di antara jari-jari.
d. Bilas kedua tangan seluruhnya dengan air bersih
e. Keringkan kedua tangan dengan lap atau pengering dan gunakan lap
untuk mematikan kran.(Tietjen, 2004)
Karena mikroorganisme tumbuh berkembang biak di tempat basah
dan di air yang menggenang maka apabila sabun batangan digunakan,
sediakan sabun batangan yang berukuran yang kecil dalam tempat sabun
yang kering. Hindari mencuci tangan di Waskom yang berisi air walaupun
telah ditambahkan bahan antiseptic seperti detol atau savlon, karena
microorganisme dapat bertahan dan berkembang biak pada larutan ini.
Jangan menambahkan sabun cair kedalam temaptnya bila masih ada
isinya, penambahan dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun
yang baru dimasukkan. Apabila tidak tersedia air mengalir, gunakan ember
dengan kran yang dapat dimatikan sementara menyabuni kedua tangan dan
buka kembali untuk membilas atau gunakan ember dan kendi / teko.
(Tietjen, 2004)
30
4. Waktu Penting Cuci Tangan Pakai Sabun
Saat yang penting cuci tangan dengan sabun adalah sebelum makan
dan sesudah makan, sebelum memegang makanan, sebelum melakukan
kegiatan apapun yang memasukkan jari-jari kedalam mulut dan mata,
setelah bermain dan olah raga, setelah buang air kecil dan buang air besar,
setelah buang ingus dan setelah buang sampah, setelah menyentuh
hewan/unggas termasuk hewan peliharaan dan sebelum mengobati luka.
Penggunaan sabun pada saat mencuci tangan menjadi penting
karena sabun sangat membantu menghilangkan kuman yang tidak tampak
minyak/lemak/kotoran di permukaan kulit serta meninggalkan bau wangi.
Sehingga kit adapt memperoleh kebersihan yang terpadu dengan bau
wangi dan segar setelah mencuci tangan pakai sabun, ini tidak akan kita
dapatkan jika kita hanya menggunakan air saja. Yang tidak kalah penting
untuk diperhatikan adalah waktu-waktu kita harus melakukan perilaku
mencuci tangan, di Indonesia diperkenalkan 5 waktu penting yaitu:
a. Setelah ke jamban
b. Setelah menceboki anak
c. Sebelum makan
d. Sebelum member makan anak
e. Sebelum menyiapkan makanan (Sibuea, 2007)
E. Pendidikan Kesehatan Terhadap Peningkatan Perilaku Mencuci Tangan
Tangan merupakan pembawa utama kuman penyakit, oleh karena itu
sangat penting untuk diketahui dan diingat bahwa perilaku cuci tangan pakai
sabun merupakan perilaku sehat yang sangat efektif untuk mencegah
penyebaran berbagai penyakit menular seperti diare, ISPA dan Flu Burung.
Diare merupakan penyakit "langganan" yang banyak berjangkit pada
masyarakat terutama usia balita. Survei Kesehatan Nasional tahun 2001
menempatkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) penyakit pada posisi
tertinggi sebagai penyakit paling berbahaya pada balita. Diare dan ISPA
dilaporkan telah membunuh 4 juta anak setiap tahun di negara-negara
31
berkembang. Sementara Flu Burung atau yang dikenal juga H5N1 merupakan
penyakit mematikan dan telah memakan cukup banyak korban. Penyakit-
penyakit tersebut juga merupakan masalah global dan banyak berjangkit di
negara-negara berkembang, suatu wilayah yang didominasi dengan kondisi
sanitasi lingkungan yang buruk, tidak cukup pasokan air bersih, kemiskinan
dan pendidikan yang rendah tetapi rantai penularan penyakit-penyakit tersebut
di atas dapat diputus "hanya" dengan perilaku cuci tangan pakai sabun yang
merupakan perilaku yang sederhana, mudah dilakukan, tidak perlu
menggunakan banyak waktu dan banyak biaya. (Sibuea, 2007)
Cuci tangan merupakan salah satu perilaku sehat yang pasti sudah
dikenal. Perilaku ini pada umumnya sudah diperkenalkan kepada anak-anak
sejak kecil tidak hanya oleh orang tua di rumah, bahkan ini menjadi salah satu
kegiatan rutin yang diajarkan para guru di Taman Kanak-Kanak sampai
Sekolah Dasar. Tetapi kenyataannya perilaku sehat ini belum menjadi budaya
masyarakat kita dan biasanya hanya dilakukan sekedarnya, sebagai contoh
ketika kita masuk ke sebuah rumah makan Indonesia, biasanya fasilitas cuci
tangan disediakan dalam bentuk kobokan berisi air bersih dengan sepotong
kecil jeruk nipis yang maksudnya untuk menghilangkan bau amis di tangan.
Pemandangan berbeda ketika kita masuk ke restaurant fast food terkemuka
asal negara adi daya, fasilitas cuci tangan sudah sangat memenuhi syarat, yaitu
air bersih mengalir dilengkapi dengan sabun cuci tangan cair berkualitas dan
pengering tangan merk terkenal, sayangnya fasilitas itu belum digunakan
dengan baik, karena biasanya orang hanya mencuci tangan sekedar
menghilangkan bau amis bekas makanan dan lupa atau malas mencuci tangan
dulu sebelum makan.
Jika kita sedikit melirik ke masyarakat pedesaan, pada umumnya
masyarakat desa hanya menggunakan air seadanya dan belum banyak yang
menggunkan sabun untuk mencuci tangan sebelum atau sesudah dari jamban.
Beberapa hal di atas menunjukan kenyataan bahwa perilaku cuci tangan pakai
sabun sebagai salah satu upaya personal hygiene belum dipahami masyarakat
32
secara luas dan prakteknya pun belum banyak diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. (Sibuea, 2007)
Banyak masyarakat yang beranggapan mencuci tangan adalah suatu
kegiatan yang sepele. Mereka mencuci tangan cukup dengan meletakkan
tangan di air, bilas, selesai. Kesadaran bahwa kesehatan harus dimulai dan
diusahakan oleh kita sendiri, harus kita sadari sejak dini. Agar anak tahu dan
mampu berperilaku mencuci tangan pakai sabun, dapat diberikan penjelasan
mengenai pentingnya mencuci tangan dengan sabun dan cara mencuci tangan
pakai sabun dengan benar melalui pendidikan kesehatan. Dengan memberikan
pendidikan kesehatan tentang mencuci tangan dengan tujuan anak
mendapatkan pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan pakai sabun.
sehingga setelah anak tahu, diharapkan anak timbul dalam kesadarannya
sendiri membiasakan mencuci tangannya pakai sabun.
Menurut penelitian Rogers (1974) perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari
oleh pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan sikap positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat lenggeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku
tidak didasari oleh pengetahuan, pemahaman dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama. Seperti, anak-anak di himbau untuk mencuci tangan oleh
gurunya tanpa mengetahui makna dan tujuan mencuci tangan pakai sabun,
maka sebagian besar dari anak akan lebih banyak menyepelekan kegiatan
mencuci tangan tersebut walaupun telah mendapatkan himbauan mencuci
tangan pakai sabun. (Notoatmodjo, 2003)
Pentingnya membudayakan cuci tangan memakai sabun secara baik
dan benar didukung oleh data WHO yang menunjukkan, setiap tahun rata-rata
100.000 anak di Indonesia meninggal dunia karena diare. Sementara data
Subdit Diare Depkes menunjukkan sekitar 300 orang diantara 1.000 penduduk
masih terjangkit diare sepanjang tahun. Penyakit diare menjadi penyebab
kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada
semua umur. Penyebab utama diare adalah minimnya perilaku hidup bersih
33
dan sehat di masyarakat, salah satunya kurangnya pemahaman mengenai cara
mencuci tangan dengan sabun secara baik dan benar menggunakan air bersih
mengalir. Sedangkan berdasarkan kajian WHO, cuci tangan memakai sabun
dapat mengurangi angka diare hingga 47% (lily, 2007)
Data menunjukkan lebih dari 5.000 anak balita penderita diare
meninggal setiap harinya di seluruh dunia sebagai akibat kurangnya akses
pada air bersih dan fasilitas sanitasi dan pendidikan kesehatan. Penderitaan
dan biaya-biaya yang harus ditanggung karena sakit dapat dikurangi dengan
melakukan perubahan perilaku sederhana seperti mencuci tangan dengan
sabun. (Mujiyanto, 2009)
Upaya mensosialisasikan perilaku sehat sanitasi dan mencuci tangan
dengan sabun di Nigeria dimulai oleh sebuah program yang diprakarsai oleh
UNICEF dengan menggunakan anak sekolah sebagai agen perubahan. Dalam
membentuk perilaku sanitasi mandiri dan pengetahuan akan hidup yang bersih
dan sehat anak-anak sekolah dirangsang untuk membentuk kelompok
kelompok sekolah seperti klub sehat & hak untuk anak, yang melibatkan
orang tua dan mengajak partisipasi komunitas di desa untuk ikut serta dalam
proyek-proyek sanitasi. Salah satu sekolah memprakarsai Klub Lingkungan
Sehat dimana para murid mempromosikan perilaku mencuci tangan dengan
sabun untuk komunitas dan memperkenalkan teknik-teknik untuk menjaga
kebersihan air dalam penggunaannya sehari-hari di rumah dan berusaha agar
pengetahuan untuk hidup bersih ini diterapkan dirumah. Dengan pertolongan
dari guru-guru sekitar 12 anak perempuan dan 18 anak lelaki yang mendirikan
klub lalu mengoperasikan dan merawat fasilitas klub serta mengawasi
penggunaan sumur bor. Klub tersebut membiayai aktivitasnya dengan menjual
ember plastik dan bejana tembikar yang dilengkapi dengan keran. Dua tahun
setelah intervensi ini, perilaku mencuci tangan dengan sabun meningkat
hingga 95 persen. Guru mulai melaporkan bahwa para murid datang kesekolah
dalam keadaan bersih, dan kasus cacingan serta penyakit-penyakit kulit
lainnya berkurang. Tidak hanya itu, angka kehadiran murid pun naik dengan
34
teratur per tahunnya, dari 320 murid ketika program pertama kali
diperkenalkan, hingga 538 murid pada tahun 2001. ( Suryani, 2009)
Penelitian lain di Pakistan menemukan bahwa mencuci tangan dengan
sabun mengurangi infeksi saluran pernafasan yang berkaitan dengan pnemonia
pada anak-anak balita hingga lebih dari 50%. Mencuci tangan dengan sabun
mengurangi angka infeksi saluran pernafasan dengan dua langkah: dengan
melepaskan patogen-patogen pernafasan yang terdapat pada tangan dan
permukaan telapak tangan dan dengan menghilangkan patogen (kuman
penyakit) lainnya (terutama virus entrentic) yang menjadi penyebab tidak
hanya diare namun juga gejala penyakit pernafasan lainnya. Bukti-bukti telah
ditemukan bahwa praktek-praktek menjaga kesehatan dan kebersihan seperti –
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan/ buang air besar/kecil – dapat
mengurangi tingkat infeksi hingga 25%. (Suryani, 2009).
35
F. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Lawrance Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)
Faktor Predisposisi :
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Kepercayaan
4. Keyakinan
5. Nilai
Faktor Pendukung:
1. Lingkungan fisik
2. Ketersediaansarana danprasaranasumber/ fasilitaskesehatan
Faktor Penguat :
1. Sikap dan
perilaku petugas
kesehatan
2. Sikap dan
perilaku tokoh
masyarakat
Perilaku Kesehatan
36
G. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
H. Variabel Penelitian
1. Variabel Independent
Variabel independent dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang
mencuci tangan pada anak usia sekolah.
2. Variabel Dependent
Variabel dependent dalam penelitian ini adalah perilaku mencuci tangan
pada anak usia sekolah.
I. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan yang diajukan pada penelitian ini adalah :
Ha : Ada pengaruh pendidikan kesehatan mencuci tangan terhadap perilaku
pada anak usia sekolah di SDN Sinoman Pati.
Pengetahuan Tentang
Mencuci Tangan Pada Anak
Usia Sekolah
Perilaku Mencuci Tangan Anak
Usia Sekolah
top related