jurnal sharia law ed 05
Post on 20-Jan-2017
179 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m
pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada
hukum syariah, baik perkara Hukum Tata
Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.
Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya
untuk hati-hati berdasarkan al-Qur‟an, as-
Sunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan
Ulama hanif, serta qiyas.
Semua itu dilakukan dalam rangka
mempersiapkan dan memahamkan masyarakat
akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat
diterapkan di Negara Khilafah.
Dan yang lebih penting adalah menopang
Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah
dalam menerapkan hukum-hukum syariah.
Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami
luncurkan diantaranya;
1. Hukum Tata Negara Khilafah
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Negara Khilafah
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Negara Khilafah
4. The Constitutional of the Islamic
Khilafah
5. Nizhamul Wakaala wa Da‟wa ; Sistem
Peraturan Kuasa Hukum dan Gugatan
6. Syariah Legal Drafting
Selamat membaca.
Daftar Isi ;
Aktor Intelektual Pembunuhan
Menurutt Hukum Pidana Islam? - 01
Penyelesaian Kasus Hukun Dalam
Islam – 07
Asas-asas Hukum Pidana Islam - 17
Diterbitkan oleh SHARIA LAW INSTITUTE
Penanggungjawab Chandra Purna Irawan |Redaksi Farhanudin | Manager
Research Muhammad Mithun |Website Official www.sharialawinstitute.com
|E-mail sharialawinstitute@gmail.com | HP/WA 085 2221 9294 7 | BBM 51EDC6C3 |
Aktor Intelektual Pembunuhan
menurut
HUKUM PIDANA ISLAM?
Penulis Chandra Purna Irawan.MH.
Pendahuluan
Beberapa bulan lalu masyarakat dikejutkan atas penganiayaan dan
pembunuhan sadis terhadap Salim alias Kancil dan pengeroyokan terhadap Tosan
yang diduga dilakukan oleh sekelompok preman atas perintah pengusaha
penambangan pasir illegal. Masyarakat mendesak agar eksekutor dan actor
pembunuhan dihukum.
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 01
Menyikapi actor intelektual dalam setiap pembunuhan, bagaimana Hukum
Pidana Islam menyelesaikam kasus tersebut?
Defenisi Aktor Intelektual
Pembunuhan dan penganiayaan, terdiri dari beberapa jenis diantaranya.
Pertama Pembunuhan tunggal disengaja atau direncanakan, kedua pembunuhan
tunggal yang tidak sisengaja atau mirip disengaja atau mirip tidak disengaja,
ketiga pembunuhan tunggal atas perintah, keempat pembunuhan secara berserikat
atau berkelompok yang direncanakan, kelima pembunuhan secara berkelompok
tapi tidak ada yang mengorganisir (amukan masa) , keenam pembunuhan secara
berkelompok atas perintah.
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum Muslim melakukan
pembunuhan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Keharaman
pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah. Allah swt
berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. [TQS
Al Baqarah (2):178]
Di ayat lain, al-Quran juga menyatakan dengan sangat jelas;
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 02
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh)
dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[TQS An Nisaa‟ (6):92]
Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‟iy menunjukkan bahwa pembunuhan
adalah perbuatan haram, kecuali pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan
karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Adapun sunnah, dituturkan bahwasanya Nabi saw ditanya tentang dosa
besar, kemudian beliau menjawab :
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta
kesaksian palsu..”[HR. Imam Bukhari]
“Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang
telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan
Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal ini, “Lelaki yang telah beristeri
yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad dari
agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan
Muslim].
Dari nash-nash di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya al-Quran dan
Sunnah telah mengharamkan tindakan pembunuhan. Keharamannya merupakan
perkara yang telah ma‟lum min al-diin bi al-dlarurah.
Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash,
atau membayar diyat. Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja,
dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang
dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban,
maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar‟iy kepada
keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan
sengaja, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat.
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 03
Aktor Intelektual Pembunuhan
Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, baik yang terlibat
langsung dalam eksekusi pembunuhan atau yang melakukan perencanaan atau
yang memerintah dan mengawasi, maka semua orang-orang yang terlibat dalam
pembunuhan tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya,
hadits-hadits yang berbicara tentang sanksi pembunuhan, mencakup pelaku
pembunuhan tunggal maupun berkelompok. Misalnya, di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan;
“Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak; memberikan
pengampunan, atau membunuh pelakunya.” Hadits ini mencakup kasus
pembunuhan yang dilakukan secara tunggal atau berkelompok.
Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai
sanksi yang sama jika berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu
Sa‟id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Seandainya penduduk langit dan penduduki bumi berserikat dalam
(menumpahkan) darah seorang Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting
wajah mereka semua ke dalam neraka”.[HR. Imam Turmudziy]
Topik yang dibahas di dalam hadits ini adalah pembunuhan yang
dilakukan secara berkelompok atauperserikatan dalam sebuah pembunuhan.
Semua pelakunya mendapatkan ganjaran yang sama.
Imam Malik menuturkan sebuah riwayat dari Sa‟id bin Musayyab ra
sebagai berikut:
“Sesungguhnya Umar ra menjatuhkan sanksi bunuh kepada lima atau tujuh
orang yang berserikat dalam membunuh seseorang; yang mana mereka semua
membunuh seorang laki-laki dengan tipu daya”.[HR. Imam Malik]
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 04
Di dalam riwayat lain dituturkan bahwasanya „Umar pernah bertanya
kepada „Ali ra tentang pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang
terhadap seseorang. „Ali bertanya kepada „Umar, apa pendapatmu seandainya
ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau akan memotong tangan
mereka? „Umar menjawab, “Ya.” Ali menukas, “Demikian pula pembunuhan.”
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan; jika sekelompok orang bersekutu,
dua orang, atau lebih untuk membunuh seseorang, semuanya dikenai
sanksi. Semuanya harus dikenai sanksi pembunuhan meskipun pihak yang
terbunuh hanya satu orang.
Adapun delik dan sanksi yang dijatuhkan kepada orang-orang yang terlibat
dalam pembunuhan berkelompok itu tergantung dari keterlibatannya dalam
pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat dalam pemukulan terhadap pihak
yang terbunuh, maka ia terkategori sebagai orang yang terlibat dalam
pembunuhan secara pasti.
Adapun, jika seseorang tidak berlibat dalam pemukulan secara langsung,
maka, hal ini perlu dilihat. Jika ia berposisi sebagai orang yang memudahkan
terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan pihak yang hendak dibunuh, lalu
orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan korban
kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lain-lain, maka orang tersebut tidak
dianggap sebagai pihak yang turut bersekutu dalam pembunuhan, akan tetapi
hanya disebut sebagai pihak yang turut membantu pembunuhan. Oleh karena itu,
orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara saja. Imam
Daruquthniy mengeluarkan hadits dari Ibnu „Umar dari Nabi saw, beliau
bersabda, “Jika seorang laki-laki menghentikan seorang pria, kemudian pria
tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain, maka orang yang membunuh tadi harus
dibunuh, sedangkan laki-laki yang menghentikannya tadi dipenjara.” Hadits ini
merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu dan menolong [pembunuh]
tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara
dalam tempo yang sangat lama, bisa sampai 30 tahun. „Ali bin Thalib
berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai mati. Diriwayatkan oleh Imam
Syafi‟I dari „Ali bin Thalib, bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman bagi
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 05
seorang laki-laki yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang
menghentikan (mencegat korban). Ali berkata, “Pembunuhnya dibunuh,
sedangkan yang lain dijebloskan di penjara sampai mati.”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang
yang tidak bersekutu dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan
dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus
dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara
langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan,
pengatur taktik pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap
sebagai pihak yang bersekutu atau terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka
semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung. Dan semua orang yang
perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh,
layaknya pembunuh langsung.
Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap
sebagai pihak yang bersekutu dalam pembunuhan, baik dalam secara langsung
maupun tidak langsung. Waallahualam bishawab [ ]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang tidak
bersekutu dalam pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh. Sedangkan orang
yang bersekutu dalam pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun
keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu secara langsung, bersekutu
sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik pembunuhan,
dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau
terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan
secara langsung. Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam
pembunuhan, hukumnya dibunuh, layaknya pembunuh langsung.
Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang
bersekutu dalam pembunugan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung
PENYELESAIAN KASUS HUKUM
MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM
Sejatinya problem peradilan di Indonesia bukan hanya menyangkut
aparatnya saja, namun juga pada sistem peradilan yang berlaku. Jika ditelisik
secara cermat, sistem peradilan di negeri memberikan peluang kemenangan amat
kepada para pemilik modal. Pasalnya, untuk memperoleh keputusan pengadilan
dibutuhkan biaya besar.
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 07
Pertama, Sumber hukum yang berdasarkan akal ditafsirkan berdasarkan
aspek juridis dan rasa keadilan. Ini karena kadangkala ketentuan UU bertentangan
dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu banyak
celah hukum pada KUHP sehingga seringkali dimanfaatkan untuk memanipulasi
hukum. Hal ini kemudian mendorong adanya kebutuhan terhadap lawyer
(pengacara atau penasehat hukum) yang membutuhak yang tidak sedikit. Semakin
besar kasus yang dihadapi biaya layer pun semakin mahal. Di tangan para
pengacara handal mereka dapat memutarbalikkan kebenaran, memtahkan berbagai
argumentasi, dan mencari celah hukum yang membuat kliennya bisa lolos dari
jerat hukum.
Kedua, adanya pengadilan yang bertingkat-tingkat. Keputusan pengadilan
di bawahnya bisa dianulir oleh pengadilan di atasnya. Oleh karenanya, seseorang
yang telah diputus bersalah dan harus menjalani hukuman sekian bulan atau
tahun, kemudian mengajukan banding pengadilan ke tingkat atasnya yang lebih
mengikat. Keputusan itu bisa memperberat hukuman, memperingan, atau bahkan
membebaskan sama sekali. Itu berarti, untuk mendapatkan keputusan hukum
tetap, harus menempuh beberapa jenjang pengadilan. Lagi-lagi,
dibutuhkan uang untuk bisa mengikuti alur peradilan yang berbelit-belit ini.
Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uanglah yang bisa terus mengajukan
banding. Mereka pula memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan
„pertarungan‟ di babak terakhir.
Model pengadilan berjenjang seperti ini jelas tidak efisien, menghabiskan
banyak waktu, tenaga dan biaya bukan hanya pihak yang berperkara namun juga
para penegak hukum (polisi, hakim, jaksa). Proses yang lama tersebut membuat
kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang berperkara. Panjangnya
jenjang pengadilan ini menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan.
Di sisi lain penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan
tidak akan jera atau takut untuk melakukan tindak kriminal. Akibatnya angka
kriminal terus meningkat. Realitas ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di
negara-negara yang menganut peradilan sekular. Amerika Serikat, negara yang
sering dianggap sebagai kiblat peradaban sekular, adalah contohnya. Menurut
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 08
data, di AS aksi pembunuhan terjadi setiap 22 menit, pemerkosaan terjadi setiap 5
menit, perampokan berlangsung setiap 49 detik, dan pencurian terjadi setiap 10
detik. Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Prof. Morgan Reynold dari A &
M University Texas, diperoleh data bahwa dari 500.000 pencurian yang terjadi
setiap bulannya, ternyata hanya 6.000 pencuri yang tertangkap (Invansi Politik
dan Budaya, Salim Fredericks, hal. 254).
Lalu bagaimana gambaran sistem peradilan dalam Islam? Berikut
beberapa cuplikan sistem tersebut.
Sumber hukum yang jelas dan tegas
Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah
dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma‟ Sahabat dan Qiyas dengan
illat syar‟iy. Allah swt berfirman:
أ احى بثي ضيث الللاأ رزجع اء أ احزس يفزنأ بثعضع ضي إيهللاأ
“Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan
janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka
untuk memalingkan kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah
kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)
Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang
didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas
kemampuannya untuk mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi
oleh latar belakang dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem
yang mengemuka dalam hukum sekuler saat ini adalah bagaimana memadukan
antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan masyarakat. Artinya aturan
hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh
masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat relatif.
Allah swt berfirman:
عس شيئبرىشاأ خيش عسى اأ شيئبرحج شش للاى يع ز أ ال رع
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 09
“…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan
boleh jadi kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah
maha mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah
hudud, jinayat, ta‟zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak
tanggung-tanggung beratnya. Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi
penghapus dosa pelakunya (jawabir) juga memberikan efek jera bagi
pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.
Integritas Penegak Hukum
Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah
khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi.
Rasulullah saw memutuskan sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di
masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi
qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti penunjukan Ali sebagi qadhi di
Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad.
Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang
menangani perkara muamalat dan „uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni
qadhi yang menangani pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan
qadhi al-madzhalim yakni qadhi yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat
dan pejabat negara.
Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang
yang telah diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi
qudhat.
Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara
yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda
dengan fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang.
Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim,
merdeka, baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap
realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim
memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara‟ dalam
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 10
dalam memutuskan perkara. Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang
bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan yang batil dan hakimnya
akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw bersabda:
ع ثشيذحاث ع أثي ع مضبح»لبي-سعيللاص-اج احذ ثالثخ ا جخف ا اثب ابسف
ب جخفازفأ ا حكعشففشج فمضا ث سج حكعشف ففجبسا حى ا ابسفف سج
عبطلض ج «.ابسفف
Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim
ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah
hakim mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang
mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara
maka ia di neraka; demikian pula hakim yang memutuskan perkara dengan jahil
maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan menurutnya shahih).
Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam
terwujudnya keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah
pegawai (ajir) negara yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak.
Tidak ada jumlah pasti mengenai batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu
Saad setidaknya dapat memberikan kisaran gaji pejabat di masa Rasul
dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan menjadi wali di
Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40 dirham)
atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah
menggaji Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25
gram emas), satu kambing dan satu mud gandum. Di samping itu pejabat dalam
daulah Islam juga mendapat beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu.
Rasulullah saw pernah bersabda:
سدع سز ا عذلبيشذاد ث س »يمي-سعيللاص-اج البوب يىزستعب جخف ص
فئ يى يىزستخبد بف خبد فئ يى سى يىزست سىبف أخجشدثىش أثلبيلبي«. أ اج
»لبي-سعيللاص- رهغيشارخز غبي ف «.سبسق أ
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 11
“Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia
tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak
memiliki rumah maka hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya
mendapatkan berita bahwa Nabi saw bersabda: barangsiapa yang mengambil
selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud. Menurut Albany Shahih).
Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari
manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta
yang Rasulullah saw juga bersabda.:
ب عاسزع بسصلبفشصلبع رهثعذأخزف ي ف غ
“Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami
memberikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan
harta yang tidak sah (ghulul). (HR. Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A‟dzamy)
Putusan yang tegas
Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku
bagi seseorang adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria
pengadopsian hukum baik dengan ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan
demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat tunggal. Artinya meski
dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang
berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya.
Mengeraskan basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat;
mengeraskan atau atau memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang
hendak shalat maka ia harus memilih pendapat yang dianggapnya paling rajih.
Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski
banyak pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah
diberi kewenangan oleh syara‟ untuk menetapkan perkara harus menetapkan
keputusan berdasarkan apa yang dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang
ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia adopsi yang sifatnya tunggal.
Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim pendamping namun
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 12
pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak mengikat
hakim tersebut.
Keputusan yang telah ditetapkan oleh seorang hakim bersifat tetap dan
tidak dapat dibatalkan atau diajukan banding atasnya. Oleh karena itu di dalam
Islam tidak dikenal pengadilan atau mekanisme hukum yang berjenjang seperti
dalam sistem Kapitalisme yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, pemberian Grasi, Amnesti atau Abolisi
oleh Presiden.
Hal Ini telah menjadi ijma di kalangan sahabat r.a. Umar misalnya
menetapkan keputusan yang bertentangan dengan Abu Bakar namun ia tidak
membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh Abu Bakar. Hal yang sama juga yang
terjadi Ali yang memiliki sejumlah pendapat yang bertentangan dengan Umar
namun beliau tidak membatalkan pendapat pendahulunya itu.
ع سب جعذأثث :لبيا وب شعطبعبع ع بللاسض بع ي ش اذ طع عي ي
أرب أ جشا وب ع للاسض ىزبةوزتع ا ثي جشأ ا ثي -سعيللاص-اج
ذففىثشا شع ع للاسض حزع لعابطعخبف ف ااالخزالفثي شفأر ع للاسض ع
جذيفسأ ا لبيفأثذ ث اذ ضعأ ء ثي ش فأثفبسزمبفأر أ بيمي ف ع للاسض
ع يشيبافمبأر أ ي ؤ خطهثسبهشفبعزها يه فمبيثي ع للاسض :ع يحى شإ ع
للاسض ع ش.سشيذوب األ
Dari Salim bin Abu Ja’d berkata: “Andaikan Ali bermaksud mencela
Umar r.a. pada suatu kesempatan maka ia pasti melakukannya di saat penduduk
Najran mendatangi beliau. Sebelumnya beliau telah menulis ketetapan antara
penduduk Najran dengan Rasulullah saw. Namun pada masa Umar jumlah
mereka bertambah banyak hingga Umar mengkhawatirkan mereka berselisih
dengan orang lain. Mereka mendatangi Umar untuk mengganti ketetapan
sebelumnya lalu Umar menggantinya; Meski setelah itu mereka menyesal atas
ketetapan baru tersebut.. Mereka lalu mendatangi beliau untuk meminta
keringanan namun ditolak oleh Umar. Tatkala Ali menjadi pemimpin mereka
mendatangi beliau dan berkata: “Wahai amirul mukmin kami mohon pemaafan
dengan lisanmu dan keputusan dengan sumpahmu. Namun Ali r.a. menjawab:
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman |13
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Umar r.a. merupakan pemimpin yang
lurus.” (H.R. al-Baihaqy)
Bahkan dalam kasus yang sama sahabat dapat mengeluarkan keputusan
yang berbeda di waktu yang berbeda berbasarkan perubahan ijtihad mereka.
Meski demikian mereka tidak menganulir pendapat sebelumnya. Umar bin
Khattab misalnya telah melakukan hal tersebut.
سعدع ث حى يعا شلض:لبياثمف ع خطبةث ا للاسض شأح فع جبرشوذا ص
اثزب رب إخ ب ربأل إخ بألثيب أ فششن حثي اإلخ أل ثي ح اإلخ األةأل اثثجع ثي
اء فمبيس يشيب:سج أ ي ؤ إها ن رشش ثي وزاوزاعب شفمبي بعره:ع ئز لضيب ي
ز بع .لضيب ي ا
Dari Ibnu Mas’ud bin Hakam ats-Tsaqafi berkata: “Umar telah
menetapkan warisan dari seorang wanita yang meninggalkan suami, anak
perempuan, saudara seibu dan saudara seibu sebapak. Beliau kemudian
menggabungkan antara saudara seibu dan saudara seibu sebapak untuk
mendapatkan sepertiga secara merata (dari harta warisan). Seorang laki-laki
kemudian mempertanyakan hal itu: Wahai Amirul Mukminin bukankah pada
tahun sebelumnya engkau tidak menggabungkan keduanya? Maka Umar
menjawab itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan pada saat itu dan ini
adalah keputusan yang kami tetapkan saat ini.” (HR. al-Baihaqy)
Oleh karena itu para ulama ushul membuat suatu kaedah fiqhi:
“Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”
Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah.
Jika terbukti hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam,
menyalahi dalil yang qathi atau memutuskan perkara yang bertentangan dengan
realitas maka keputusannya harus dibatalkan. Adapun jika ia menetapkan perkara
dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya tidak direvisi sebagaimana
kaidah fiqhi di atas.
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 14
Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun
tidak menyalahi nash atau ijma’ atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad
orang yang mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat
telah bersepakat atas hal tersebut.”
Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti-
bukti yang absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi
sehingga menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk
menjatuhkan sanksi kepada terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul
yang diperoleh dari sejumlah riwayat:
“Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.”
Hal yang perlu ditambahkan adalah meski khalifah, muawint tafwidh atau
qadhi qudlat memiliki otoritas untuk mengangkat dan memberihentikan seorang
hakum namun dalam proses penyelesaian perkara yang melibatkan
Khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat seorang hakim madzalim yang
menangani perkara mereka tidak boleh diberhentikan selama perkara tersebut
berlangsung. Dengan demikian ia dapat menyelesaikan kasus tersebut tanpa
adanya kekahwatiran akan tekanan dan intervensi dari pejabat tersebut.
Wallahu a‟lam bis Shawab
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 15
ASAS-ASAS
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan
sesuatu menurut undang undang".
Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati
demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak
yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah
mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional
menunjukkan adanya asas legalitas.
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin:
Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 17
hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu
jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang
dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan
kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi,
berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap
orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak
pidana.
1. Sumber Hukum Asas Legalitas
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia,
tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut
dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan
asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada
manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum
adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga
kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di
kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra‟: 15
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat
bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami
mengutus seorang Rasul.”
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59
Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota,
sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 18
ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami
membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan
melakukan kezaliman.”
Kaidah Fiqh
داص س دالفعبياعمالءلج الحذ
Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada
aturan hukumnya
2. Penerapan Asas Legalitas
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan
hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip
tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan
diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan
bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.
Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas
legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta‟zir adalah yang
paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam
terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi
juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak
individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan
sanksinya.
Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang
dikemukakan pada bab di atas serta kaidah "tidak ada hukuman bagi
perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas", maka perbuatan
tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana.
Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di
undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi
pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang
mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku
surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah :
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 19
فيازششيعاجبئي السجعيخ
Tidak berlaku surut pada pidana Islam
Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal:
- Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).”
- Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;
a) Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di
wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni :
Negara-negara Islam;
Negara yang berperang dengan negara Islam;
Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.
b) Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi
seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di
mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun
di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam.
B. Asas tidak Berlaku Surut
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 20
Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai
dengan kaidah
اجبئي ازششيع tidak berlaku surut pada pidana Islam, artinya السجعيخ في
sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa
dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah
yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun
belum ada nas yang melarangnya.
Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-
jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan
menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim.
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu :
a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.”
b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada
perbuatan yang belum ada aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan
kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang
berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam.
Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi
istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur‟an secara khusus
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 21
mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan
dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (an-Nisa: 22). Sebagai
akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum
pidana pelakunya tidak dipidana.
C. Asas Praduga tak Bersalah
Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah
asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence).
Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk
suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa
ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh
harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh
mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif.
Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman
karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas
menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan
untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya
keraguan.
Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan membawa pembebasan
terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan
hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk
menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa.
Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan
hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan
kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak
meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang
pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa,
tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya. Menurut
mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 22
melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas
dan ta'zir.
D. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah
segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang
maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had
atau ta‟zir).
Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal
dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah
ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur‟an maupun hadits.
Sementara ta‟zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau
tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :
دثبشجبد ادسءااحذ
Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau
syubhat.
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas
pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana,
baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang
dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil
bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni
langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang
menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak
berdosa. “
E. Asas Moralitas
Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak
diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.
(2) Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu
tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 23
karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang
gila.
(3) Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan
dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam
melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan.
Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
(4) Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya
hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur
karena dua hal : pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan
tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa.
Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi
qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan,
dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum
seperti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb.
Wallahualambishawab
Jurnal Sharia Law Edisi 05 Halaman | 24
BBNNII..0033..0011..886666..883311 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann
BBRRII 11668899--0011--000000660077--5533--66 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann
GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur
>> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya yang Hafidz 30
Juz Al-Qur’an
>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut
>>Menghibur anak-anak Rohingny
top related