jurnal tekno fisika
Post on 12-Oct-2015
174 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
Perancangan Kolimator Di Beam Port Tembus
Reaktor Kartini Untuk Boron Neutron Capture
Therapy
Muhammad Ilma Muslih Arrozaqi1, Andang Widiharto2, Yohannes Sardjono3
1,2 Jurusan Teknik Fisika FT UGM
Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA 1muhammad.ilma.m.a@ugm.ac.id
2andang@ugm.ac.id
3 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Badan Tenaga Nuklir Nasional BATAN
Jl. Babarsari Yogyakarta INDONESIA 3sardjono.batan@gmail.com
Intisari Telah dilakukan penelitian tentang desain kolimator yang menghasilkan neutron epitermal untuk keperluan uji in vivo Boron
Neutron Capture Therapy (BNCT) di Reaktor Riset Kartini dengan menggunakan perangkat lunak Monte Carlo N-Particle (MCNP).
Reaktor dimodelkan sebagai sumber neutron dan bekerja pada daya 100 kW. Simulasi menunjukkan bahwa desain kolimator yang
optimal adalah kolimator yang tersusun atas dinding kolimator berbahan Nikel (95 %) setebal 1,5 cm, Moderator Al 1350 (99,5%)
setebal 15 cm, Perisai gamma Pb setebal 1 cm dan penambahan Boral setebal 1,5 cm. ujung kolimator berupa aperture dengan diameter
2 cm sesuai dengan kebutuhan uji in vivo. Fluks maksimum yang diperoleh sebesar 5,03 x 108 n.cm-2.s-1. Sedangkan kualitas keluaran
radiasi terdiri dari komponen neutron cepat sebesar 2,17 x 10-13 Gy.cm2.n-1, komponen gamma sebesar 1,16 x10-13 Gy.cm2.n-1, rasio
antara neutron termal dan neutron epitermal sebesar 1,20 x 10-1 dan direksionalitas maksimum sebesar 0,835. Tiga diantara parameter
tersebut belum memenuhi kriteria dari IAEA yaitu fluks neutron yang kurang dari 1 x 109 n.cm-2.s-1, komponen neutron cepat yang
lebih dari 2 x10-13 Gy.cm2.n-1 dan rasio antara neutron termal dan neutron epitermal lebih dari 0,05. Meski begitu, fluks neutron
epitermal ini masih dapat digunakan karena lebih dari 5 x 108 n.cm-2.s-1 dan komponen neutron cepat masih cukup dekat dengan
kriteria sehingga masih layak untuk uji in vivo BNCT.
Kata kunci BNCT, MCNP, kolimator, beam port tembus, kriteria, IAEA, in vivo, fluks neutron epitermal
Abstract Studies were carried out to design a collimator which results in epithermal neutron beam for in vivo experiment of Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) at the Kartini Research Reactor by means of Monte Carlo N-Particle (MCNP) codes. Reactor within
100 kW of thermal power was used as the neutron source. All materials used were varied in size, according to the value of mean free
path for each material. MCNP simulations indicated that by using 5 cm thick of Ni (95%) as collimator wall, 15 cm thick of Al as
moderator, 1 cm thick of Pb as -ray shielding, 1.5 cm thick of Boral as additional material, with 2 cm aperture diametr, epithermal neutron beam with maximum flux of 5.03 x 108n.cm-2.s-1 could be produced. The beam has minimum fast neutron and -ray components of, respectively, 2.17x10-13Gy.cm2.n-1 and 1.16 x 10-13 Gy.cm2.n-1, minimum thermal neutron per epithermal neutron ratio
of 0.12, and maximum directionality of 0.835 . It did not fully pass the IAEAs criteria, since the epithermal neutron flux was below the recommended value, 1.0 x 109 n.cm-2.s-1. Nonetheless, it was still usable with epithermal neutron flux exceeding 5.0 x 108 n.cm-2.s-1and
fast neutron flux close to 2 x10-13Gy.cm2.n-1. it is still feasible for BNCTin vivo experiment.
Keywords design, collimator, epithermal neutron beam, BNCT, MCNP, criteria.
I. PENDAHULUAN
Dokumen ini adalah template. Sebuah salinan elektronik
yang dapat di-download dari situs jurnal Teknofisika. Untuk
pertanyaan di atas kertas panduan, silakan hubungi panitia
publikasi konferensi seperti yang ditunjukkan pada situs web. I
Berdasarkan data dari World Helth Organization (WHO)
yang dipublikasikan dalam buku World Health Statistic 2012 ,
ada sekitar 36 juta kasus kematian (63%) karena penyakit non
wabah. Sementara kanker menempati urutan kedua penyebab
kematian setelah penyakit jantung, yaitu sekitar 21% dari total
penyakit tak menular, dengan peningkatan kematian mulai dari
7,6 juta hingga 13 juta jiwa tiap tahunya. Lebih dari dua pertiga
dari semua kasus kematian yang disebabkan oleh kanker terjadi
di negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
diantaranya kanker paru-paru, payudara, kolorektal dan kanker
hati. Mayoritas dari kasus tersebut berakhir dengan kematian.
Di Indonesia, ada kurang lebih 165 orang mati untuk setiap
100.000 populasi karena kanker [1].
Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh sel
normal yang mengalami perubahan sifat sehingga tumbuh
secara tak terkendali. Pertumbuhan yang tak terkendali tersebut
menghasilkan sebuah jaringan yang disebut tumor. Jika tidak
segera dilakukan pengobatan dengan baik, tumor tersebut akan
menyebabkan beberapa gangguan antara lain: menyebar ke
-
jaringan terdekat, menyebabkan tekanan pada struktur tubuh
lainya dan menyebar ke bagian lain tubuh melalui pembuluh
limfa atau aliran darah. Semua gangguan diatas dapat
memberikan dampak yang serius pada tubuh manusia. Dalam
banyak kasus, kanker yang tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan kematian [2].
Pada negara berkembang, kesadaran untuk mengobati
kanker tidak setinggi pada negara maju. Aspek ini disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama, biaya pengobatan kanker belum
cukup terjangkau oleh sebagian besar penyakit kanker, bahkan
dalam kasus tertentu membutuhkan perawatan intensif dengan
melibatkan peralatan medis akurasi tinggi yang biayanya mahal
seperti kanker otak. Kedua, metode yang telah ada hanya
memberikan pengobatan secara paliative dan belum
menjangkau ke arah curative untuk kasus kanker tingkat lanjut.
Tujuan dari pengobatan paliative ini adalah mengurangi rasa
sakit atau memperpanjang harapan hidup pasien, sehingga ini
tidak secara total mengobati pasien. Pada keadaan ini, mereka
lebih memilih untuk meninggalkan masa pengobatan dan
beralih ke pengobatan alternatif. Ketiga, beberapa metode
pengobatan memiliki efek samping yang beresiko meskipun
efek ini tidak terjadi secara langsung dan bersifat deterministik.
Biasanya dalam melakukan penanganan kanker tidak hanya
melibatkan satu metode pengobatan untuk menekan efek
samping tersebut sekaligus meningkatkan efektifitas terapi agar
diperoleh hasil yang maksimal. Pada dasarnya ada empat
metode standar terapi kanker. Metode tersebut diantaranya
adalah kemoterapi, radioterapi dan immunoterapi. Masing-
masing metode itu mempunyai batasan dan kelemahan
sehingga pada sebagian besar terapi kanker menggunakan
kombinasi terapi diatas.
Terapi yang umum digunakan dalam pengobatan kanker
adalah radioterapi. Terapi ini memanfaatkan radiasi energi
tinggi seperti sinar-x, sinar gama atau elektron. Efek dari
radiasi tersebut dapat membunuh sel kanker melalui
mekanisme ionisasi DNA sel pada daerah lokal yang terpapar
radiasi. Kelemahan dari terapi ini adalah ikut terpaparnya
jaringan sehat yang segaris atau sejajar dengan pemukaan sel
kanker, terutama yang lebih dekat dengan sumber radiasi.
Terlebih lagi ada attenuasi untuk bagian tubuh yang lebih
dalam sehingga ada variasi distribusi dosis untuk tiap
kedalaman yang berbeda. Meskipun berbagai macam teknik
penyinaran telah dikembangkan untuk memperoleh hasil yang
optimal seperti 3D Conformal Radiotherapy, Stereotactic
Radiotherapy, dan High Dose Rate Brachytherapy, pada
beberapa kasus metode ini masih meninggalkan efek jangka
panjang pada jaringan sehat [3,4].
Salah satu bagian dari radioterapi yang potensial untuk
dikembangkan adalah Boron Neutron Capture Therapy
(BNCT). Teknik ini memanfaatkan nuklida non-radioaktif 10B
untuk menangkap neutron melalui reaksi ini 10B(n,)7Li. Hasil dari reaksi ini mempunyai karakteristik Linier Energy Transfer
(LET) yang tinggi (untuk partikel mendekati 150 keVm-1 dan untuk 7Li mendekati 175 keVm-1). Jangkauan dari
partikel ini berada pada jarak 4,5 m hingga 10 m , sehingga
energi terdeposisi terbatas dalam sel tunggal (diameter sel 18
2 m ) [3].
Gbr. 1 Skema hasil peluruhan dari Boron Neutron Capture
Therapy [3].
Boron-11 mempunyai waktu paruh yang sangat singkat yaitu
sekitar 10-12 s sedangkan Lithium-7 sekitar 10-5 s. Pada
senyawa campuran boron, disertakan juga scavanger yang
sangat reaktif terhadap lithium-7 sehingga lithium akan terikat
dan keluar tubuh melalui mekanisme metabolisme. Hal ini
penting karena dosis therapiutic untuk lithium mendekati dosis
toksik. Sedangkan partikel alpha akan berubah menjadi helium
setelah mendapatkan elektron melalui reaksi ionisasi dan
eksitasi. Karena helium merupakan gas mulia yang bersifat
inert, helium akan keluar dari tubuh tanpa bereaksi secara
kimiawi.
Ada dua jenis neutron yang dapat digunakan sebagai
sumber neutron dalam BNCT yaitu neutron termal dan neutron
epitermal. Neutron termal biasanya digunakan untuk sel kanker
yang terletak di permukaan kulit (Superficial). Untuk area yang
lebih dalam (8-10 cm) menggunakan neutron epitermal, karena
akan termoderasi oleh jaringan tubuh (terutama yang memiliki
kandungan air yang banyak) sehingga akan mencapai sel
kanker dalam bentuk neutron termal (penjelasan lebih lengkap,
akan dipaparkan bagian dasar teori) [3].
Untuk menunjang fasilitas BNCT, diperlukan sumber
Neutron dengan kriteria tertentu. Sumber neutron pada fasilitas
BNCT bisa diperoleh dari Reaktor Nuklir atau Compact
neutron Generator. Di Indonesia sendiri telah tersedia tiga
Reaktor Nuklir untuk keperluan riset yang dioperasikan oleh
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yaitu Reaktor
TRIGA 2000 di Bandung , TRIGA MARK-II (Reaktor Kartini)
di Yogyakarta dan Reaktor Serba Guna - G.A. Siwabessy di
serpong. Dari ketiga reaktor tersebut , reaktor yang bisa
dimanfaatkan untuk fasilitas BNCT adalah Reaktor Kartini [4].
Reaktor Kartini bekerja pada daya 100 kW dan
mempunyai enam saluran yang langsung terhubung dengan inti
reaktor untuk melewatkan Neutron keluar. Seperti tampak pada
gambar dibawah ini.
-
Gbr.2 Pandangan atas dari irisan Reaktor Kartini [5].
Untuk keperluan penelitian BNCT , Beam Port
Tembus ( Radial Piercing Beam Port) adalah saluran yang
sesuai untuk uji In Vivoterkait terapi kanker. Yaitu pengujian
biologis yang menggunakan organisme uji seperti hewan
dengan asumsi semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, serta
enzim-enzim yang ada dalam tubuh hewan uji tersebut
memiliki kesamaan dengan manusia. Saluran ini langsung
menembus reflektor grafit dan mempunyai pangkal paling
dekat dengan inti reaktor, sehingga dilewati oleh neutron
dengan nilai fluks yang paling tinggi dibandingkan dengan
saluran yang lainya. Saat ini Beam Port Tembus masih berupa
saluran yang disumbat dengan kayu (bagian dalam) dan
aluminium yang berisi beton (bagian luar). Agar bisa
difungsikan untuk keperluan uji In Vivo BNCT diperlukan
collimator yang sesuai dengan persyaratan yang telah di
tentukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).
Sebelum dilakukan pemasangan, dibutuhkan penelitian untuk
membuat sebuah rencana desain terlebih dahulu. Dalam
penelitian tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung
melalui pengukuran tetapi melalui simulasi yang bertujuan
untuk efisiensi biaya dan menekan resiko kecelakaan radiasi
saat pengukuran langsung, agar diperoleh sebuah desain
collimator yang siap pakai. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis dalam perancangan kolimator di beam port tembus
Reaktor Kartini untuk Boron Neutron Capture Therapy (BNCT)
sehingga diharapkan mampu menjadi solusi terhadap masalah
yang dipaparkan diatas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Parameter Berkas Neutron
Dalam BNCT, diperlukan neutron termal yang cukup
untuk bereaksi dengan senyawa boron berlabel dalam sel tumor
pada volume target. Maka, pada volume target yang letaknya
lebih dalam di bawah permukaan kulit, neutron yang digunakan
adalah neutron epitermal. Sementara pada volume target yang
letaknya di permukaan cukup menggunakan neutron termal [4].
Gbr. 3 Kurva distribusi fluks neutron termal dan neutron
epitermal [5].
Neutron epitermal dapat menembus jaringan dan
menghasilkan neutron termal maksimum pada kedalaman 2-3
cm di bawah permukaan kulit dan turun secara eksponensial
pada kedalaman selanjutnya. Penetrasi berkas ini bisa
ditingkatkan dengan menaikan energi rerata neutron epitermal
dengan ukuran berkas yang kecil. Berbeda dengan neutron
epitermal, neutron termal justru turun secara eksponensial sejak
dari permukaan. Oleh karena itu, neutron termal sesuai untuk
pengobatan kanker pada permukaan kulit [6].
Sebagian besar berkas neutron termal disertai radiasi
lainya dan tidak secara selektif diserap oleh senyawa berlabel
dalam sel, sehingga baik jaringan sehat maupun tumor akan
mengalami kerusakan jaringan. Maka diharapkan adanya
desain kolimator yang optimal sedemikian sehingga
menghasilkan neutron epitermal yang sampai pada kedalaman
tumor untuk waktu terapi yang rasional dan seminimal
mungkin tidak ada radiasi lain. Ada dua prinsip sifat berkas
radiasi, yaitu intensitas dan kualitas. Internsitas radiasi
ditentukan oleh waktu terapi sedangkan kualitas radiasi
berhubungan dengan jenis radiasi, energi dan intensitas relatif
antara radiasi lainya [4,6].
1) Intensitas Neutron Epitermal: Definisi umum
untuk neutron epitermal dalam penelitian ini adalah neutron
yang berada pada rentang energi 0,5 eV hingga 10 keV.
Penelitian yang telah ada menunjukkan bahwa fluks berkas
neutron epitermal minimum yang sesuai adalah 109neutron cm-
2s-1. Bisa juga menggunakan berkas dengan intensitas 5 108
neutron cm-2s-1 namun perlu waktu iradiasi yang lebih lama.
Jika menggunakan intensitas yang lebih tinggi (1010), waktu
penyinaran yang lebih singkat harus diimbangi dengan
peningkatan kualitas berkas sinar. Tetapi ketika harus membuat
pilihan, para praktisi cenderung lebih memilih kualitas sinar
daripada intensitas selama masih dalam waktu penyinaran yang
wajar (mungkin bisa diperpanjang hingga satu jam) [6].
-
1) Kualitas berkas sinar:Kualitas berkas didefinisikan oleh empat parameter sebagai berikut.
- Komponen neutron cepat. Dalam penelitian ini, rentang
neutron cepat didefinisikan pada rentang energy diatas 10 keV.
Dalam neutron cepat, ada berkas radiasi lain yang tidak
diinginkan oleh karena karakteristiknya, seperti proton dengan
LET tinggi dan radikal bebas. Pada fasilitas BNCT yang telah
ada rentang dosis dari komponen ini adalah 2,5-13 10-13 Gy
cm2 per neutron epitermal dan pada volume target adalah 2
10-13 Gy cm2 per neutron epitermal [4,6].
- Komponen sinar gamma. Karena sinar gamma tidak hanya
menyinari volume target yang telah diinjeksikan senyawa
bertanda, melainkan sebagian besar jaringan sehat di sekitarnya,
maka komponen ini harus dihilangkan. Karena disamping dari
reaktor, gamma juga akan dihasilkan melalui reaksi (n,) di dalam tubuh pasien. Pada volume target, nilai yang diijinkan
adalah adalah 2 10-13 Gy cm2 per neutron epitermal.
Sedangkan pada fasilitas BNCT yang telah ada, berada pada
rentang 1-13 10-13 Gy cm2 per neutron epitermal [6].
- Rasio antara fluks neutron termal dan epitermal. Untuk
mengurangi kerusakan pada permukaan kulit, maka neutron
termal harus diminimalisir. Rasio fluks neutron termal dan
epitermal harus kurang dari 0,05 [6].
- Rasio antara arus neutron total dan fluks neutron total.Rasio
ini menunjukkan fraksi neutron yang bergerak kearah luar /
depan port. Nilai yang disarankan untuk poin ini adalah lebih
besar dari 0,7. Hal ini untuk membatasi divergensi berkas
neutron (mengurangi iradiasi diluar target yang telah
ditentukan) serta untuk membantu fleksibilitas pasien selama
berada sejajar dengan sumbu port. Artinya saat pasien tidak
memungkinkan cukup dekat dengan lubang keluaran, maka
posisi pasien yang agak jauh tidak menyebabkan organ lain
terirradiasi [6]. Secara umum, disajikan dalam Tabel 2.1
Tabel 1. Parameter berkas neutron yang disarankan IAEA.
Parameter Notasi (satuan) Rekomendasi
IAEA
Fluk neutron
epitermal (/
2 ) > 1.0 109
Laju dosis
neutron cepat /
fluks neutron
epitermal
/(
2/) < 2.0 1013
Laju dosis
gamma / fluks
neutron
epitermal
/(
2/) < 2.0 1013
Rasio antara
fluks termal dan
epitermal
/ < 0.05
Rasio antara arus
neutron dan
fluks neutron
/ > 0.7
B. Kolimator untuk BNCT
Ada dua metode dasar untuk melakukan pendekatan
fluks netron yang sesuai pada neutron yang bersumber dari
reaktor. Yaitu spectrum shifting dan filtering. Spectrum shifting
menggunakan moderator untuk menurunkan energi neutron
cepat ke rentang neutron termal atau epitermal. Sedangkan
pada filtering menggunakan material yang menyerap neutron
pada energi tertentu. Untuk reaktor yang mempunyai bukaan
fasilitas irradiasi yang besar seperti kolom termal, biasanya
menggunakan spectrum shifting atau bisa dikombinasikan
dengan filtering. Pada reaktor yang hanya mempunyai port
yang sempit dan panjang, teknik filtering harus digunakan [6].
Secara umum, ada beberapa komponen kolimator
yang dapat dioptimasi untuk memperoleh keluaran neutron
yang sesuai. Diantanrannya: dinding kolimator, moderator,
filter, perisai gamma, aperture [4].
1) Dinding kolimator: Diperlukan reflektor yang sesuai
untuk menaikan intensitas berkas. Selain itu kenaikan berkas
juga dapat dicapai dengan membuat bentuk dinding kolimator
seperti kerucut dengan diameter awal yang lebar dan aperture
ujung yang sempit. Bahan dinding kolimator yang sesuai untuk
reflektor adalah yang mempunyai tampang lintang hamburan
dan masa atom relatif yang besar. Bahan yang
direkomendasikan untuk komponen ini adalah Pb, Bi, PbF2 [6].
Namun, Ni juga dapat digunakan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Marko Mucec dan salah satu jurnal yang diterbitkan
Elsevier menunjukkan bahwa neutron epitermal akan
meningkat setelah ketebalan dinding kolimator Ni mencapai
6,5 cm [4,7].
Gbr. 4 Fluks neutron epitermal untuk setiap variasi ketebalan
dinding kolimator Ni [7].
Untuk dinding kolimator yang letaknya dekat dengan
ujung keluaran, diperlukan beam delimiter untuk menyerap
neutron. Bagian ini tersusun dari B4C atau 6Li2CO3 yang
terdispersi dalam polyethylene. Neutron epitermal yang
menumbuk bagian ini akan mengalami termalisasi dan
ditangkap dengan emisi sinar gamma yang minimal [6].
-
- Moderator. Moderator untuk neutron cepat yang paling baik
adalah yang mempunyai masa atom yang rendah. Hasil aktivasi
neutron dari bahan moderator harus memiliki umur yang
pendek. Bahan yang sesuai untuk sifat diatas adalah Al, Al2O3,
dan AlF3. Kombinasi Al dengan Al2O3 atau AlF3 bisa
memoderasi neutron cepat secara efisien karena tampang
lintang O dan F dapat mengisi celah pada daerah resonansi Al
[6].
- Perisai sinar gamma. Bahan yang digunakan untuk perisai
gamma adalah bahan yang mempunyai densitas atom yang
tinggi. Pb dan Bi adalah material yang bagus untuk mengurangi
sinar gamma yang keluar dari reaktor dan bersifat transparan
bagi neutron meskipun akan tetap sedikit mempengaruhi
penurunan intensitas berkas neutron. Bismuth hampir sama
baiknya dengan timbal, tetapi dapat melewatkan neutron
epitermal dengan lebih baik [6].
- Filter. Bagian ini berfungsi untuk menahan neutron cepat dan
neutron termal, serta meloloskan neutron epitermal yang keluar
dari reaktor. Bahan yang bisa digunakan untuk filter neutron
termal adalah 6Li dan 10B (mempunyai tampang lintang 1/v).
Bahan dengan tampang lintang 1/v bisa menghabiskan neutron
dengan energi di bawah spektrum neutron epitermal. Selain itu
dapat dikombinasikan menjadi LiF, campuran ini secara efektif
menangkap neutron energi rendah , di bawah 10 eV dan
mengurangi neutron dengan energi diatas 10 keV [8]. Tampang
lintang serapan dari isotop 60Ni mempunyai interferensi
minimum yang sangat rendah dan lebar pada rentang energi
antara beberapa eV hingga 10 keV sehingga material ini sangat
sesuai untuk tujuan BNCT [8,9].
- Aperture. Aperture berfungsi untuk menentukan tampang
lintang yang keluar dari port, sehingga umumnya diletakan
pada ujung port. Dalam presentasi yang disajikan oleh
Nicoletta Protti yang berjudul The efficacy of Boron Neutron
Capture Therapy on small animal models, dia menggunakan
aperture 3-4 cm dalam uji coba yang dilaporkan dalam In vivo efficacy test of BNCT for NRLT: BDIX rats + 10BPA-f [10]. Aperture dapat divariasikan sesuai dengan kebutuhan uji
selama dalam ukuran yang dapat wajar sehingga
memungkinkan untuk dideteksi hasilnya [4].
III. DASAR TEORI
A. Boron Neutron Capture Therapy (BNCT)
Adalah teknik terapi yang didesain untuk meradiasi
volume target hingga pada tingkatan sel secara selektif
menggunakan partikel bermuatan dengan Linear Energy
Transfer yang tinggi. Chadwick (1932) menemukan bahwa
10B mempunyai kecendurangan yang tinggi untuk menangkap
neutron pada energi termal (
-
= . . Sebagai tambahan, untuk fluks didefinisikan sebagai penjumlahan skalar dari intensitas yang mempunyai
arah bervariasi. Diasumsikan bahwa neutron akan terserap atau
terhambur saaat melewati suatu bidang dengan tebal , Intensitas sebelum tumbukan diwakili dengan () dan setelah tumbukan ( + ). Untuk sejumlah /3 , terdapat . inti per cm2 dan tiap inti memiliki luas termal cm2, maka fraksi luas yang terhalang inti adalah . . , sehingga diperoleh hubungan sebagai berikut.
( + ) = (1 )() (3.1)
() = () (3.2)
()
()= (3.3)
Setelah di integrasikan diperoleh
() = 0. (3.4)
Besaran didefinisikan sebagai tampang lintang mikroskopik dengan satuan 2/ atau . Dimana 1 barn setara dengan 10242. Dari persamaan tersebut, ada definisi lain yakni tampang lintang makroskopik.
= (3.5)
Tampang lintang makroskopik memiliki satuan 1, sehingga untuk persamaan untuk neutron tak terhambur
adalah
()
0= (3.6)
sedangkan untuk neutron terhambur,
0= (3.7)
Karena perbandingan intensitas akhir dengan
intensitas awal adalah fungsi probabilitas, maka dapat
ditentukan pula probablitas netron lolos pada hamburan
pertama dan terhambur pada kejadian selanjutnya pada
ketebalan . Probabilitas ini dapat dinotasikan sebagai () dan dapat diperoleh dengan cara mengalikan probilitas neutron lolos pada tahap pertama dan probabilitas neutron
terhambur pada tahap kedua.
() = . (3.8)
Dengan mengetahui probabilitas ini, kita dapat
menghitung jarak rerata antara dua peristiwa hamburan yang
ditempuh neutron (mean free path).
= ()
0= . =
1
0
(3.9)
Diperoleh bahwa jarak bebas rerata adalah resiprok
dari termal lintang makroskopik.
2) Interaksi partikel alpha: Karena alpha merupakan
partikel berat dan bermuatan, partikel ini sangat reaktif
terhadap materi dan menghasilkan sejumlah besar ion di
sepanjang lintasannya, namun tidak mempunyai penetrasi
yang dalam. Sebagai contoh, 5 MeV alpha hanya mampu
mencapai jarak 3,6 cm di udara dan tidak dapat menembus
selapis kertas. Untuk material lain dengan densitas yang lebih
padat jarak tembus reratanya akan berkurang secara
proporsional. Pada jaringan tubuh mamalia, partikel alpha
berenergi 5 MeV hanya mampu menembus hingga kedalaman
4 m [14]. Proses yang paling mungkin terlibat dalam
penyerapan alpha adalah ionisasi dan eksitasi dari elektron
orbital. Ionisasi terjadi ketika partikel alpha cukup dekat
dengan elektron sehingga menarik elektron tersebut dari
orbitnya melalui gaya coulumb. Setiap terjadi interaksi
tersebut , partikel alpha kehilangan energi kinetiknya dan
melambat. Selain itu, energi kinetik alpha juga berkurang
akibat elektron yang tereksitasi. Seiring dengan melambatnya
partikel alpha, kecenderungan untuk menyebabkan ionisasi
akan naik dan akan mencapai puncaknya pada akhir lintasan.
Setelah berhasil menangkap elektron, partikel alpha akan
berubah menjadi atom helium. Karena alpha mempunyai
penetrasi yang rendah, maka tidak berbahaya jika berupa
paparan eksternal. Kecuali jika nuklida pemancar partikel
alpha berada dalam tubuh, maka kerusakan jaringan akan
lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang lain [14].
3) Interaksi radiasi dengan tubuh: Interaksi radiasi
dengan materi biologi diawali dengan proses eksitasi atau
ionisasi yang terjadi dalam waktu 10-15 detik setelah paparan
radiasi. Reaksi ini segera diikuti dengan interaksi fisiko kimia
yang menghasilkan pembentukan ion radikal dalam 10-10 detik
(ditunjukkan oleh persamaan reaksi (3.13)). Reaksi ini akan
menghasilkan radikal bebas dalam waktu 10-5 detik
(ditunjukkan oleh persamaan (3.14) dan (3.15)). Radikal bebas
menginduksi terjadinya reaksi biokimia yang menimbulkan
kerusakan khususnya pada DNA sehingga menyebabkan efek
biologis. Elektron sekunder yang dihasilkan dari proses ionisasi
akan berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung bila penyerapan energi dari elektron tersebut
langsung terjadi pada molekul organik dalam sel yang
mempunyai arti biologi penting, seperti DNA, sedangkan
interaksi secara tidak langsung bila terlebih dahulu terjadi
interaksi radiasi dengan molekul air dalam sel yang efeknya
kemudian mengenai molekul organik penting [15].
2 + +
(3.15)
2+ + +
(3.16)
+ 2 + (3.17)
Penyerapan energi radiasi oleh molekul air dalam
proses radiolisis air akan menghasilkan ion radikal yang
-
kemudian akan dihasilkan radikal bebas (H* dan OH*).
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul bebas, tidak
bermuatan dan mempunyai sebuah elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya. Radikal bebas bersifat tak
stabil, sangat reaktif dan toksik terhadap molekul organik vital
tubuh. Radikal bebas yang telah terbentuk dapat saling
berinteraksi menghasilkan suatu molekul hidrogen peroksida
yang stabil dan toksik. Karena sebagian besar tubuh manusia
terdiri dari air (80%) , maka sebagian besar interaksi radiasi
dalam tubuh terjadi secara tidak langsung [15].
Dalam hubungannya dengan respon sel, dikenal istilah
Radiosensitivitas. Yaitu tingkat sensitivitas terhadap paparan
radiasi yang berhubungan dengan kematian sel, khususnya
kemampuan reproduktif sel. Kemampuan reproduktif sel
adalah hilangnya kemampuan sel untuk melakukan
pembelahan (proliferasi) setelah sel melakukan mitosis dua
atau tiga kali. Radiosensitivitas suatu sel bergantung pada
faktor fisik, kimia dan biologi sel. Faktor fisik yang
berpengaruh antara lain meliputi LET radiasi, dosis, laju dosis,
dan distribusi waktu paparan radiasi (tunggal dan fraksinasi)
[15].
B. Perangkat lunak Monte Carlo N-Particle (MCNP)
MCNP (Monte Carlo N-Particle Transport
Code) adalah perangkat lunak serbaguna yang dikembangkan
oleh Los Alamos National Laboratory (LANL) untuk
menghitung transpor partikel dan radiasi menggunakan metode
stokastik yang disebut Monte Carlo. Beberapa fenomena
transport meliputi neutron, foton, elektron, dan gabungannya.
Rentang energi neutron yang mampu dihitung MCNP adalah
antara 10-11 MeV hingga 20 MeV untuk semua isotop dan lebih
dari 150 MeV untuk beberapa isotop. Untuk rentang energi
foton yang mampu dihitung adalah antara 1 KeV hingga 1 GeV.
Perangkat lunak ini dilengkapi kemampuan untuk menghitung
keff sebagai fitur standarnya [16].
Pengguna dapat membuat file input yang kemudian
dapat dibaca oleh MCNP untuk diolah berdasarkan perhitungan
yang diinginkan. File input ini terdiri dari informasi yang
meliputi spesifikasi geometri, deskripsi material, lokasi dan
karakteristik dari sumber neutron, foton dan elektron serta tipe
tally (perhitungan) yang diinginkan. Monte Carlo bekerja
dengan cara menduplikasi secara teoritis proses statistik
(seperti interaksi partikel nuklir dengan bahan) dan sangat
berguna untuk masalah kompleks yang tidak dapat dimodelkan
oleh kode komputer yang menggunakan metode deterministik.
Peristiwa probabilistik individu yang terdiri dari suatu proses,
disimulasikan secara berurutan [16].
Gbr. 7 Kejadian acak dari interaksi neutron dengan material
fisi [16].
Gambar 7. merepresentasikan jejak dari interaksi
neutron pada material dengan geometri slab (lempeng) yang
mengalami reaksi fisi. Insiden pertama dipilih secara acak
untuk ditentukan dimana interaksi terjadi, sesuai dengan
hukum fisis yang mengatur proses berdasarkan material yang
terlibat. Pada tahap ini, tumbukan neutron terjadi pada nomor
1. Neutron terhambur dengan arah seperti gambar diatas, yang
dipilih secara acak sesuai distribusi hamburan fisisnya. Dalam
peristiwa ini juga dihasilkan foton yang akan disimpan
sementara waktu untuk dianalisis nantinya. Pada nomor 2,
reaksi fisi terjadi sehingga neutron yang datang berubah
menjadi dua neutron baru dengan arah yang berbeda beserta
satu berkas foton. Salah satu neutron dan foton disimpan
kembali untuk dianalisis kemudian. Neutron fisi yang pertama
ditangkap pada insiden nomor 3 dan berakhir disini. Neutron
yang telah tersimpan pada interaksi sebelumnya, keluar dari
slab pada nomor 4 setelah disampling secara acak. Foton hasil
dari reaksi fisi mengalami interaksi pada kejadian nomor 5 dan
keluar dari slab pada kejadian nomor 6. Sisa foton yang
tergenerasi pada insiden pertama terserap pada kejadian nomor
7. Perlu diketahui bahwa partikel tersimpan yang dianalisis
pertama kalinya oleh MCNP adalah partikel yang terbentuk
paling akhir [16].
Salah satu fitur yang disediakan dalam MCNP untuk
perhitungan terkait fenomena teknik nuklir adalah tally.
Masing-masing tally memiliki tujuan kalkulasi numerik yang
berbeda-beda sesuai jenisnya. Berikut disajikan beberapa tally
sesuai fungsi perhitungannya.
Tabel 2. Jenis tally yang disediakan oleh MCNP
Tally Mode
partikel
Deskripsi Satuan
F1 :N, :P, :E Arus yang
melewati surface
Partikel
F2 :N, :P, :E Fluks rerata yang
melewati surface
Partikel/cm2
F4 :N, :P, :E Fluks rerata yang
melewati cell
Partikel/cm2
F5a :N, :P uks pada titik Partikel/cm2 F6 :N, :P, :N,P Energi deposisi
rerata yang
melewati cell
MeV/g
-
F7 :N Energi deposisi fisi
dalam cell
MeV/g
F8 :N, :P, :E, :P,E Distribusi pulsa
energi pada
detektor
Pulsa
Surface yang dimaksud pada tabel 3.1 adalah batas
suatu geometri, sedangkan cell adalah suatu volume geometri
yang dibatasi oleh surface. N,P dan E mewakili jenis radiasi
yaitu neutron, foton dan elektron.
Perangkat lunak serupa yang telah dikembangkan
adalah SHIELD. Untuk hasil yang lebih baik, MCNP5 dapat
digantikan dengan perangkat lunak tersebut.
C. Visual Editor
Visual Editor (Vised) dikembangkan untuk untuk
membantu pengguna dalam membuat file input MCNP
menggunakan menu button. Vised juga dapat digunakan untuk
menampilkan preview geometri yang telah dibuat tanpa
menggunakan vised seperti notepad. Melalui vised, pengguna
dapat dengan mudah mengatur dan melihat secara rinci
komponen geometri yang ditampilkan dari berbagai sudut
pandang.
Gbr. 8 Tampilan antarmuka Visual editor.
IV. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Alat dan Bahan Penelitian
Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah
berbasis simulasi dengan menggunakan seperangkat Personal
Computer dengan spesifikasi sebagai berikut:
Processor : Intel Core i5 CPU 2.93 GH RAM : 4 GB
Operating System: Windows 7 32-bit
Software :
Micosoft Excel 2007
Notepad++ v6.3.3
Visual editor 5-4.23-12N
Monte Carlo N-Particle version 5 (MCNP5)
B. Tata Laksana Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2013
sampai Septermber 2013, dengan hasil berupa spesifikasi
geometri dan material kolimator pada beam port tembus untuk
Boron Neutron Capture Therapy. Penelitian dilaksanakan di
Pusat Akselerator dan Proses Bahan BADAN TENAGA
NUKLIR NASIONAL yang beralamat di Jl. Babarsari Kotak
Pos 6101 YKBB YOGYAKARTA.
Pelaksanaan dimulai dengan mempersiapkan alat,
bahan dan kompetensi. Alat dan bahan yang dimaksud telah
dijelaskan pada subbab sebelumnya, sedangkan kompetensi
yang harus dikuasai adalah penggunaan software MCNP5
meliputi tata cara input dengan menggunakan code serta
pembacaan file output sesuai dengan kebutuhan. Tata cara
pembacaan file input akan dijelaskan lebih lanjut pada lampiran
D. Kemudian dilakukan pemodelan Reaktor Kartini sebagai
sumber neutron. Setelah Reaktor kartini termodelkan dengan
baik, dilakukan perancangan kolimator pada beam port tembus.
Data hasil keluaran dari perancangan kolimator dianalisis untuk
diambil pertimbangan apakah desain tersebut memenuhi
kriteria yang direkomendasikan oleh IAEA. Jika belum
memenuhi, maka dilakukan perancangan ulang tiap bagian
kolimator hingga diperoleh hasil yang optimal. Hasil akhirnya
berupa spesifikasi kolimator yang meliputi geometri dan
dimensi material yang dirumuskan dalam kesimpulan.
Pemodelan Reaktor Kartini dimulai dari pembuatan
geometri reaktor. Data reaktor yang meliputi dimensi serta
material penyusunnya diperoleh dari dokumen Laporan
Analisis Keselamatan (LAK), pengamatan langsung di
lapangan serta informasi narasumber yang bekerja di Reaktor
Kartini. Dalam pembuatan geometri, bahan bakar diasumsikan
merupakan bahan bakar baru. Dari informasi tersebut, Reaktor
Kartini dapat dimodelkan. Model tersebut kemudian dievaluasi
Keff dan fluksnya pada beberapa titik (ring bahan bakar) dan
divalidasi dengan data pengukuran lapangan. Jika belum sesuai,
maka batang kendali divariasikan hingga diperoleh hasil yang
dekat dengan parameter validasi. Jika model reaktor telah
cukup dekat (mirip) dengan reaktor sesungguhnya, maka model
ini dapat digunakan sebagai sumber neutron untuk kolimator
yang akan dirancang.
Metode perancangan kolimator yang diambil adalah
metode sekuensial. Artinya tiap bagian kolimator dirancang
secara berurutan dan independen terhadap bagian lainnya.
Urutan bagian tersebut dimulai dari dinding kolimator,
moderator, perisai gamma, filter serta aperture. Perancangan
tiap bagian kolimator tersebut dilakukan dengan optimasi
keluaran kolimator setelah divariasikan ketebalannya.
Langkah pertama, adalah studi referensi dalam pemilihan
material bagian kolimator. Tahap ini penting untuk dilakukan
agar tidak perlu dilakukan uji berbagai macam material yang
ada, sehingga membutuhkan waktu yang lama dalam proses
simulasinya. Material yang telah direkomendasikan dalam
referensi kemudian diuji sesuai fungsinya. Pada bagian
kolimator yang pertama, yaitu dinding kolimator yang
berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan neutron
epitermal, maka paremeter ujinya adalah fluks neutron termal
sehingga bahan pertimbangannya adalah fluks neutron
epitermal maksimum yang dapat dicapai setelah divariasikan
-
ketebalannya. Untuk moderator neutron, berfungsi untuk
menurunkan fluks neutron epitermal sehingga parameter ujinya
adalah komponen neutron cepat (/). Komponen neutron cepat keluaran kolimator untuk setiap variasi ketebalan
moderator dianalisa untuk dipilih nilainya yang cukup kecil.
Pemilihan ini juga mempertimbangkan fluks neutron epitermal
karena penambahan moderator juga akan mengurangi fluks
neutron epitermal juga, padahal diharapkan neutron epitermal
yang dicapai adalah sebesar-besarnya sehingga pada tahapan
ini diperlukan optimasi dan pengambilan keputusan. Untuk
perisai gamma berfungsi untuk mengurangi intensitas radiasi
gamma tanpa mengurangi fluks neutron epitermal secara
signifikan, sehingga perlu dilakukan optimasi penambahan
perisai gamma agar diperoleh / yang sekecil-kecilnya dan fluks neutron epitermal yang tinggi. Filter digunakan untuk
mengurangi fluks neutron termal sedemikian sehingga / cukup kecil sesuai persyaratan IAEA. Seperti halnya bagian kolimator sebelumnya, bagian ini juga dioptimasi agar
neutron epitermal tidak turun terlalu besar. Namun pada
penelitian ini tidak dilakukan penambahan filter karena
material yang direkomendasikan tidak tersedia di pasar industri
material. Bagian terakhir adalah aperture. Aperture adalah
lubang keluaran kolimator yang menyempit untuk
mengendalikan berkas radiasi agar tidak menyebar secara
divergen. Lubang aperture tidak divariasikan diameternya dan
ditetapkan 2 cm. Namun disekitar lubang ditambahkan material
yang mampu mengurangi berkas radiasi agar aman bagi
lingkungan.
Pada awalnya tiap bagian kolimator diuji coba dengan
menambahkan beberapa material ideal yang berbeda secara
bergantian agar diperoleh material dengan sifat yang paling
baik sesuai fungsinya sebagai bagian dari kolimator. Material
terpilih kemudian dievaluasi ketersediaannya dalam industri
material dan dipilih material yang kemurniannya cukup tinggi.
Material ini kemudian divariasikan untuk dioptimasi sesuai
fungsinya sebagaimana dijelaskan diatas.
1) Pemodelan Reaktor Kartini: Reaktor Kartini
termasuk anggota dari Reaktor TRIGA (Training Research and
Isotopes Production General Atomic). Reaktor TRIGA adalah
jenis reaktor nuklir yang digunakan untuk pendidikan,
pelatihan, penelitian dan produksi isotop yang dibuat oleh
Perusahaan General Atomic di Amerika Serikat. Teras Reaktor
TRIGA berbentuk silinder dengan terdiri atas kisi-kisi tempat
dudukan elemen bahan bakar, elemen dummy, dan batang
kendali. Elemen-elemen tersebut tersusun dalam 6 daerah atau
ring yang sepusat (A, B, C, D, E, dan F). Pada masing-masing
ring sepusat dengan jarak yang sama, sehingga akan
membentuk sebuah silinder [16].
Gbr. 9 Konfigurasi bahan bakar Reaktor Kartini [16].
Ukuran batang kelongsong bahan bakar, dan radius
masing-masing ring disajikan dalam Tabel 4.1.
Tabel 3.. Ukuran elemen bahan bakar TRIGA Reaktor Kartini.
Panjang total 73,04 75,39 cm
Panjang Aktif 38 cm
Panjang Grafit 6,5-9,5 cm
Diameter luar kelongsong 37 mm
Tebal cakram molibdenum 35,6 mm
Tebal kelongsong 0,5 mm
Gap bahan bakar-kelongsong 0,2 mm
Radius Ring A 0 cm
Radius Ring B 4.05384 cm
Radius Ring C 7.98068 cm
Radius Ring D 11.94562 cm
Radius Ring E 15.91564 cm
Radius Ring F 19.8882 cm
Reaktor ini dapat dioperasikan pada daya maksimum
250 kW.. Dalam memodelkan Reaktor Kartini, menggunakan
acuan spesifikasi yang didokumentasikan di Laporan Analisis
Keselamatan (LAK). Spesifikasi tersebut meliputi geometri
dan bahan tiap-tiap bagian teras reaktor kartini. Sistem yang
dimodelkan hanya dibatasi pada teras reaktor sebagai sumber
neutron beserta beton pengungkung. Beberapa bagian yang
mempengaruhi kekritisan juga dipertimbangkan dalam
pemodelan ini seperti Reflektor, Rotary specimen rack (Lazy
Suzan), beam port tembus dan kisi alumunium.
Saat ini Reaktor Kartini dioperasikan pada daya 100
kW yang dicapai dengan menarik batang kendali pengaman
100 %, kompensasi 65 % dan pengatur 55 %. Pada kondisi ini
telah diperoleh keff yang mendekati 1 dan nilai fluks neutron
yang mendekati nilai referensi pada penelitian sebelumnya
(Ring B = 1,78 x 1012 n/cm2, Ring C =1,56 x 1012 n/cm2, dan
Ring D =1,14 x 1012 n/cm2). Untuk memperoleh nilai tersebut,
telah dilakukan simulasi menggunakan MCNP5 dengan
100.000 partikel (history) sebagai initial condition dan 1020
siklus total. Jumlah tersebut menghasilkan akurasi dan
penyimpangan error hingga 10-4. Dalam perhitungan keff
-
digunakan KCODE card dan dalam perhitungan fluks
menggunakan tally card F4:N.
1) Recording Neutron dan sinar gamma (SSW/SSR card) : Pada tahap ini, radiasi yang keluar dari inti reaktor akan
direkam di permukaan pangkal beam port. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah perhitungan selanjutnya, memperolah
keakuratan yang tinggi dan mempersingkat proses running
yang berulang-ulang.
Pada dasarnya semakin banyak jumlah cell yang
dideklarasikan sebagai cell penting (important), maka waktu
yang dibutuhkan oleh MCNP untuk mensimulasikannya akan
semakin lama sehingga perlu dilakukan pengurangan important
cell agar waktu simulasi menjadi pendek. Untuk itu proses
simulasi dapat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah tahap recording yaitu proses simulasi menggunakan
KCODE dengan menyertakan SSW card. Dalam proses ini,
semua bagian reaktor dideklarasikan sebagai important cell dan
semua komponen radiasi yang masuk ke dalam beam port
tembus dari inti reaktor akan dibaca oleh MCNP dan disimpan
dalam bentuk file SSR. Sangat penting untuk memasukan
partikel awal (history) dengan jumlah besar agar diperoleh hasil
sampling yang akurat dan error yang kecil. Dalam penelitian
ini diambil nilai 108 history untuk sampling dan 25 siklus.
Proses pada tahapan ini memang akan memakan waktu yang
lama, namun akan mempermudah pada proses selanjutnya.
Tahap kedua adalah tahap untuk memanggil kembali file SSR
hasil bacaan MCNP pada tahap pertama. Pada tahap ini, bagian
selain yang berhubungan dengan beam port tembus
dideklarasikan sebagai non-important cell. Permukaan pangkal
beam port tembus yang telah direkam menjadi sumber radiasi
untuk perhitungan selanjutnya. Karena important cell jauh
lebih sedikit dari sebelumya, maka running yang dilakukan
MCNP juga jauh lebih singkat, sehingga waktu untuk
melakukan optimasi perancangan kolimator semakin efisien.
Keuntungan lain yang diperoleh dari simulasi dua
tahap ini adalah, keluaran dari inti reaktor yang masuk kedalam
kolimator selalu tetap. Berbeda dengan perhitungan yang
dilakukan dalam sekali simulasi tanpa recording, selain waktu
simulasi untuk keseluruhan optimasi akan lama, keluaran dari
inti reaktor juga akan berubah-ubah meskipun sedikit, karena
konsep Monte Carlo yang bersifat probabilistik, sehingga
variabel kontrol tidak bernilai tetap.
2) Perhitungan parameter: Sebelum dilakukan
optimasi, maka perlu diketahui parameter apa yang akan
menjadi dasar optimasi. Parameter yang dimaksud meliputi
fluks neutron epitermal, fluks neutron termal, fluks neutron
total, laju dosis neutron cepat, laju dosis gamma, dan arus
neutron. Dalam perhitungan parameter-parameter tersebut
digunakan tally yang sesuai dengan tujuan perhitungannya
berdasarkan yang tertera pada tabel 3.1. Untuk perhitungan
fluks neutron dan laju dosis neutron cepat menggunakan tally
dengan jenis F4:N, sedangkan untuk perhitungan laju dosis
foton menggunakan tally jenis F4:P dan untuk perhitungan arus
neutron menggunakan F1:N. Pada umumnya, penggunaan tally
F4 digunakan untuk menghitung fluks rerata yang melewati
suatu volume geometri sedangkan untuk menghitung fluks
yang melewati suatu permukaan digunakan tally F2. Namun
dalam penggunaan praktis, F4 lebih fleksibel untuk digunakan
karena dapat mendefinisikan bagian yang berbeda yang
dibatasi permukaan yang sama.
Seperti yang disinggung dalam paragraf sebelumnya,
F4 digunakan dalam tiga tujuan perhitungan yang berbeda.
Tetapi dalam MCNP tidak diijinkan penggunaan jenis tally
yang sama dalam sekali perhitungan. Oleh karena itu, perlu
ditambahkan indeks untuk membedakan masing-masing
perhitungan tersebut. Indeks tersebut diletakkan antara huruf F
dengan n (nomor tally). Dalam penelitian ini F4:N digunakan
untuk perhitungan fluks neutron, F14:N untuk perhitungan laju
dosis neutron cepat, dan F24:P untuk perhitungan laju dosis
gamma.
Hasil dari perhitungan dengan MCNP berupa data
tally pada volume geometri yang ditentukan, namun karena
penghitungan tersebut berdasarkan jumlah partikel per cm2dan
tidak sesuai dengan satuan pada kriteria yang ditetapkan IAEA,
maka terlebih dahulu harus dilakukan konversi daya ke laju fisi,
sebagai berikut:
(105) (1 /
) (
1
1,602 1013) (
1
200 )
= 3,121 1015
Untuk menghasilkan daya sebesar 100 kW diperlukan 3,121 1015/. Dengan mengetahui laju fisi tersebut, maka faktor normalisasi untuk setiap tally dapat ditentukan
berdasarkan berkas radiasinya. Faktor normalisasi untuk
neutron adalah sebagai berikut
(3,121 1015
) (
2.42
) = 7,553 1015 /
Nilai ini akan dipakai pada perhitungan fluks neutron (F4:N)
dan perhitungan laju dosis neutron (F14:N), sedangkan faktor
normalisasi untuk foton gamma adalah sebagai berikut
(3,121 1015
) (
1
) = 3,121 1015 /
Nilai ini akan dipakai pada perhitungan laju dosis gamma
(F24:P). Pada perhitungan arus neutron (F1:N) perlu dibagi
dengan luas termal keluaran neutron pada kolimator. Dalam
penelitian ini telah ditetapkan bahwa ujung aperture
berdiameter 2 cm, sehingga faktor normalisasi menjadi
7.553 1015
(1 )2= 2.405 1015
2.
Faktor-faktor ini akan digunakan untuk mengkonversi tally-
tally input file dalam suatu card khusus (fm card ).
Terkait perhitungan dosis berdasarkan energi yang
dilepaskan oleh berkas radiasi neutron dan foton gamma
terhadap material, acuan yang digunakan adalah tabel kerma
coefficientsyang dikeluarkan dalam Dosimetry system 2002
-
(DS02) dari ICRU Report 63. Karena batas bawah energi
neutron cepat adalah 10-2 MeV, maka koefisisen kerma yang
digunakan adalah pada energi diatas nilai tersebut, sedangkan
untuk gamma menggunakan koeffisien kerma untuk semua
rentang energi. Kode untuk memasukan tabel konversi tersebut
dalam MCNP adalah DEn dan DFn. DEn adalah card mewakili
energi berkas radiasi sedangkan DFn adalah koefisien kerma
yang berkorelasi dengan DEn.
Disamping itu, dalam perhitungan fluks neutron
diperlukan batasan untuk klasifikasi energi neutron sehingga
bisa dibedakan fluks untuk neutron termal, neutron epitermal
dan neutron cepat. Dalam MCNP, kita dapat memasukan
batas-batas atas dari energi neutron melalui En card yang
dipisah dengan spasi, karena MCNP menghitung fluks neutron
dibawah batas tersebut. Untuk penelitian ini diambil batas 5 x
10-7, 10-2 dan 20 MeV. Artinya neutron termal berada dibawah
5 x 10-7 MeV, neutron epitermal berada pada 5 x 10-7< E
-
Material Pb lebih mudah untuk diperoleh sehingga diputuskan
untuk menggunakan Pb sebagai perisai gamma. Pb
mempunyai jarak bebas rerata sekitar 1,5 cm. Namun,
optimasi penelitian ini menggunakan variasi 0,5 cm karena
mempertimbangkan pengurangan neutron yang terjadi.
- Aperture. Aperture adalah bagian kolimator yang
mengerucut pada bagian ujung untuk memusatkan berkas
radiasi. Diameter ujung yang dipilih adalah 2 cm sesuai
tujuannya untuk uji in vivo dengan organisme uji tikus. Setiap
pengujian pada bagian sebelumnya, selalu dilakukan
pengukuran pada ujung aperture ini, sehingga keluarannya
merupakan keluaran yang diterima langsung oleh organisme
uji.
Desain kolimator dimulai dari pengujian dinding
kolimator. Pada tahap ini, semua material ideal yang
disarankan (Pb, Bi, PbF2 dan Ni) disimulasikan untuk
memperoleh material dengan sifat terbaik dalam
mempertahankan fluks neutron epitermal. Material ideal
tersebut kemudian digantikan dengan material non-ideal yang
tersedia di pasaran industri material sesuai rekomendasi pihak
manufacturing. Material tersebut disimulasikan kembali
dengan variasi ketebalan 0,5 cm hingga tercapai nilai fluks
neutron termal maksimum. Untuk setiap penambahan
ketebalan dinding kolimator, berarti pengurangan diameter
dalam dari lubang kolimator. Setelah fluks neutron epitermal
maksimum tercapai, langkah selanjutnya adalah
mensimulasikan bahan moderator ideal (Al, Al2O3, dan AlF3)
dengan variasi ketebalan 5 cm karena jarak bebas rerata dari
material tersebut adalah sekitar itu. Material dengan sifat
memoderasi paling baik dipilih sesuai ketersediaannya untuk
disimulasikan kembali dengan variasi ketebalan yang lebih
kecil untuk memperoleh data yang presisi. Dari data tersebut
kemudian ditentukan ketebalan optimum yang
mempertimbangkan / dan fluks neutron epitermal. Setelah itu, simulasi dilanjutkan dengan penambahan Pb di
ujung kolimator. Parameter yang dievaluasi adalah / . Seperti pada moderator penambahan ketebalan Pb juga
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pengurangan fluks
neutron epitermal. Langkah terakhir adalah mengevaluasi
fluks neutron di sekitar lubang aperture. Jika diperlukan, bisa
ditambahkan Boral yang bahan utamanya adalah Boron dan
Alumunium dimana Alumunium dapat memoderasi neutron
cepat dengan baik dan boron dapat menyerap neutron termal
hasil moderasi alumunium. Penambahan ini penting sebagai
komponen keselamatan untuk mengurangi fluks neutron di
sekitar lubang aperture.
C. Rencana Analisis Hasil
Dalam penelitian ini, analisis hasil dilakukan selama
simulasi. Setiap data hasil simulasi suatu bagian kolimator
dianalisis terlebih dahulu sebelum dianjutkan simulasi bagian
kolimator yang lain. Hal ini karena suatu bagian kolimator
saling mempengaruhi dan saling bergantung satusama lain.
Pada beberapa bagian kolimator, cukup dianalisis dengan
grafik. Namun, beberapa bagian yang lain tidak cukup ditinjau
dari grafik melainkan dibandingkan dalam bentuk tabel,
terkait pengaruhnya dengan parameter lain. Dalam hal ini
perlu dilakukan pengambilan keputusan dalam mengambil
nilai optimal.
V. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Validasi Model Reaktor Kartini
Validasi model reaktor kartini meliputi kritikalitas dan
fluks neutron total pada beberapa ring bahan bakar dalam inti
reaktor. Hasil simulasi menunjukkan bahwa keff model Reaktor
Kartini adalah 1,0008 0,0007. Hasil ini cukup dekat dengan
nilai kritikalitas yang diharapkan yaitu 1,000 +0,010. Fluks
neutron pada bahan bakar di Ring B, Ring C dan Ring D model
reaktor masing-masing adalah 1,52 x 1012, 1,37 x 1012 , dan 1,27
x 1012 n.cm-2.s-1, sedangkan pada kondisi sebenarnya, fluks
yang terukur adalah 1,78 x 1012, 1,56 x 1012 ,dan 1,14 x 1012
n.cm-2.s-1 [17]. Penyimpangan nilai ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sebenarnya yang
tidak ideal, beberapa geometri model bagian reaktor tidak
persis sama dan kesalahan pada perhitungan faktor multiplikasi
yang tidak mewakili kondisi sebenarnya. Meskipun begitu,
model ini masih bisa digunakan sebagai pendekatan dalam
perancangan kolimator.
B. Perancangan kolimator pada beam port tembus
Sebelum ditambahkan kolimator, beam port tembus
hanya berupa lubang kosong yang disumbat oleh kayu pada
bagian luar dan Alumunium pada bagian dalam. Ketika sumbat
tersebut dilepas, maka lubang beam port kosong mempunyai
dimensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Gbr. 11 Dimensi beam port tembus.
Neutron berasal dari teras reaktor pada bagian paling
kiri dan akan keluar di ujung beam port bagian 2, yakni bagian
paling kanan. Sehingga pengukuran parameter uji dilakukan
pada permukaan ujung bagian 2 beam port. Di dalam lubang
bagian 2 tersebut akan ditambahkan material tertentu sebagai
bagian dari kolimator sedemikian sehingga keluaran yang
dihasilkan sesuai dengan persyaratan IAEA.
15 cm 19 cm
156cm 117 cm
Teras (Bagian)
1)
(Bagian)
2)
-
1) Dinding Kolimator: Semua bahan yang direkomendasikan sebagai reflektor diuji dengan simulasi
menggunakan MCNP. Hasil simulasi dengan variasi ketebalan
0,5 cm berbagai bahan uji ditunjukkan dalam Gambar 5.2.
Gbr. 11 Fluks neutron epitermal Vs Tebal dinding kolimator
berbagai bahan.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa material yang
memiliki kemampuan untuk mempertahankan neutron yang
paling baik adalah Nikel. Fluks neutron termal semakin
meningkat hingga ketebalan 3 cm. Artinya semakin tebal
dinding kolimator Ni semakin banyak juga jumlah neutron
yang mengalami refleksi. Peningkatan ini disebabkan adanya
pergeseran energi neutron dari neutron cepat menjadi neutron
epitermal. Pada ketebalan selanjutnya, fluks neutron epitermal
justru semakin turun. Hal ini karena ketebalan dinding
kolimator yang lebih besar membuat diameter dalam dari
kolimator semakin kecil sehingga terjadi semakin banyak
tumbukan antara neutron dengan dinding kolimator dan
menyebabkan pergeseran energi neutron yang semakin besar
hingga melawati daerah epitermal menuju daerah termal.
.
Gbr. 12 Tampang lintang hamburan 58Ni [9].
Gambar tersebut adalah distribusi tampang lintang
hamburan untuk berbagai energi pada 58Ni. Isotop ini
mempunyai presentase yang paling besar dalam nikel alam
yakni sekitar 80 % sedangkan sisanya (60Ni ) hanya sekitar
20 %. Dalam grafik tersebut tampak bahwa pada wilayah energi
epitermal, tampang lintang hamburannya adalah sekitar 20
hingga 30 barn. Sebagai perbandingan Pb dan Bi masing-
masing mempunyai tampang lintang hamburan 9 hingga 13
barn [4,9]. Hal inilah yang menjelaskan kenapa Nikel lebih baik
dari pada bahan uji lain.
Pada kenyataanya, Nikel dengan kandungan 100 %
sulit untuk ditemukan dalam pasar industri material. Sebagai
pendekatan dipilih Nikel dengan kemurnian 95 %. Hal ini
memungkinkn terjadi pergeseran titik optimasi sehingga perlu
dilakukan simulasi kembali untuk mengujinya.
Gbr. 13 Fluks neutron epitermal Vs Tebal dinding Ni 95%.
Hasil simulasi pada gambar 5.4 menunjukkan bahwa titik
puncak optimasi bergeser menjadi 1,5 cm. Hal ini karena
beberapa unsur bahan pengotor (5%) yang terkandung dalam
campuran Nikel tersebut mempunyai tampang lintang serapan
yang lebih besar dari Nikel, seperti yang ditunjukkan dalam
tabel berikut ini.
Tabel 4. Persentase campuran Ni 95% beserta tampang lintang
serapannya.
Unsur Persentase a barn
Ni 95 4,619
Mn 1,5 13,4118
Fe 1 2,585
Si 0,5 0,1691
Cu 1 4,4678
C 0,5 0,0034
Ti 0,5 17,294
Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa unsur Mn
dan Ti mempunyai tampang lintang serapan yang lebih tinggi
dari Nikel. Unsur inilah yang menyebabkan fluks neutron
berkurang dan titik optimasi bergeser ke ketebalan yang lebih
kecil.
2) Moderator: Berikut disajikan grafik hasil uji beberapa material moderator.
-1
0
1
2
3
4
5
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
e
pi (
n/c
m2 )
x 1
09
Tebal dinding kolimator (cm)
Pb Bi PbF2 Ni R = 0.7213
-1
0
1
2
3
4
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5
ep
i (n
/cm
2 ) x
10
9
Tebal dinding kolimator (cm)
-
Gbr. 14 df/epi Vs Tebal Moderator berbagai bahan.
Dari grafik tersebut tampak bahwa ketiga bahan
tersebut mempunyai pola yang sangat sama. Al, Al2O3, dan
AlF3 mempunyai kecenderungan yang hampir sama karena
unsur pokok penyusunnya sama-sama didominasi oleh Al.
Komponen neutron cepat terus menurun hingga pada ketebalan
tertentu dan naik kembali setelah kedalaman tertentu. Hal ini
karena pada awalnya neutron cepat termoderasi menjadi
neutron epitermal sehingga menambah fluks epitermal yang
artinya memperkecil pembilang dan memperbesar penyebut
parameter ini, sehingga menyebabkan parameter ini semakin
kecil. Pada penambahan ketebalan selanjutnya, spektrum
energi neutron telah berada pada daerah epitermal dan terus
termoderasi menuju daerah termal. Artinya fluks neutron
epitermal akan semakin berkurang dan penyebut dari parameter
tersebut juga akan semakin kecil. Hal ini menyebabkan
/ semakin naik kembali. Dari ketiga bahan tersebut, yang paling baik adalah Al karena mampu menurunkan
/ hingga pada titik terendahnya dengan cepat hingga pada ketebalan 20 cm, tetapi tidak menaikkan parameter ini
secara signifikan pada ketebalan selanjutnya. Karena faktor
ketersediaan, sebagai pendekatan dipilih Al dengan kode
manufacture 1350 dan kemurnian 99.5 %. Pengotornya antara
lain Si 0,1 %, Fe 0,4 %, Cu 0,05%, Mn 0,01 %, Ti 0,01 %, Ga
0,03 %, V 0,01 %, Zn 0,05 %, B 0,05%. Karena melibatkan dua
parameter yang dioptimasi, maka data lebih mudah untuk
dianalisis dalam bentuk tabel sebagai berikut
Tabel 5. Hasil simulasi moderator Al 1350 (95%)
Tebal
(cm)
x 109 /
Tebal
(cm) x 10
9 /
(n/cm2.s) (Gy-cm2/n) (n/cm2.s) (Gy-cm2/n)
5 1,16 311 13 0,11 900
6 1,5 259 14 0,28 84,5
7 0,772 453 15 0,577 7,1
8 1,96 147 16 0,249 24,7
9 1,47 111 17 0,243 163
10 1,07 199 18 0,299 100
11 0,532 556 19 0,203 453
12 0,846 342 20 0,196 98,3
Berdasarkan tabel tersebut tebal optimal berada pada
15 cm dengan fluks neutron epitermal 5,57 x 108 n/cm2.s dan
/ = 7,1 x 10-13Gy-cm2/n. Fluks neutron turun hingga di
bawah batas yang ditentukan IAEA. Meskipun begitu, nilai ini
masih dapat digunakan karena masih berada diatas 5 x 108
n/cm2.s.
3) Perisai gamma: Untuk menekan dosis gamma, ditambahkan material Pb di ujung kolimator. Pb mempunyai
jarak bebas rerata 1,5 cm. namun untuk mendapatkan
perubahan yang lebih akurat dipilih variasi 0,5 cm karena
panambahan ini juga mempengaruhi fluks neutron termal
meskipun sedikit. Berikut tabel hasil simulasi dengan
penambahan Pb.
Tabel 7. Hasil simulasi dengan penambahan perisai gamma Pb
Tebal (cm) x 10
9 / 1013
(n/cm2.s) (Gy-cm2/n)
0 0,557 151
0,5 0,506 14,4
1 0,405 1,16
1,5 0,402 1,16
Penambahan Pb pada ketebalan 1 cm menurunkan
fluks neutron epitermal hingga di bawah batas yang dapat
digunakan. Namun, mengurangi dosis gama secara signifikan.
Pada ketebalan selanjutnya, fluks neutron epitermal semakin
rendah namun hampir tidak berpengaruh terhadap komponen
gamma. Akhirnya optimasi yang dipilih adalah pada ketebalan
1 cm. Pada ketebalan ini fluks neutron epitermal berada di
bawah batas yang ditentukan IAEA (4,05 x 108 n/cm2.s), tetapi
dalam hal ini kualitas keluaran radiasi lebih diutamakan dari
pada fluks yang dibutuhkan. Kualitas radiasi yang dihasilkan
pada ketebalan tersebut sudah memenuhi kriteria IAEA untuk
BNCT yaitu 1,16 x 10-13Gy-cm2/n, sedangkan yang
disyaratkan adalah kurang dari 2 x 10-13Gy-cm2/n.
4) Aspek keselamatan :Pada bagian ini ditambahkan material Boral di sekeliling lubang aperture untuk mengurangi
fluks neutron yang keluar selain dari lubang aperture. Hasil
simulasi untuk penambahan Boral disajikan dalam tabel 6.
Tabel 8. Fluks neutron lingkungan setelah ditambahkan Boral
(n/cm2.s)
Tebal
(cm) Termal Epitermal Cepat Total
0,5 2,53 x 105 8,21 x 106 1,20 x 107 2,05 x 107
1 1,32 x 105 5,88 x 106 1,47 x 107 2,07 x 107
1,5 9,11 x 104 9,84 x 106 1,40 x 107 2,40 x 107
2 8,21 x 104 8,64 x 106 1,23 x 107 2,11 x 107
-2
0
2
4
6
5 10 15 20 25 30df/
epi
x 1
0-3
Tebal (cm)
Al AlF3 Al2O3
-
Tabel 6. Fluks neutron pada lubang aperture setelah
ditambahkan Boral
Te
bal
(c
m)
x 109 / 10
13 / 1013
(n/cm2.s) (Gy-cm2/n) (Gy-cm2/n)
0,5 0,512 2,58 1,20
1 0,506 2,49 1,17
1,5 0,503 2,17 1,16
2 0,482 2,26 8,14
Berdasarkan data dari kedua tabel tersebut tampak
bahwa penambahan Boral mempengaruhi fluks neutron di
sekeliling lubang aperture, terutama untuk neutron termal.
Tetapi penambahan ini juga mempengaruhi fluks neutron yang
ada pada lubang aperture. Pada penambahan boral setebal 0,5
cm, fluks neutron epitermal lebih besar jika dibandingkan saat
belum ditambahkan. Hal ini karena mendapat kontribusi dari
hamburan neutron dari material boral disekeliling lubang
aperture. Pada penambahan selanjutnya, fluks neutron
epitermal semakin turun karena neutron epitermal yang arah
nya tidak paralel dengan sumbu kolimator terserap oleh
material di sekeliling aperture. Tebal yang dipilih adalah pada
1,5 cm karena pada ketebalan tersebut fluks neutron epitermal
masih dalam batas yang digunakan sedangkan komponen
neutron cepat dan komponen gamma mencapai minimum.
Gbr. 15 Kolimator hasil optimasi pada beam port tembus.
Fluks neutron lingkungan masih dianggap cukup tinggi,
sehingga dalam penerapan nantinya diperlukan mekanisme proteksi
radiasi bagi pekerja radiasi. Disamping itu harus dilakukan studi
lebih lanjut untuk menurunkan fluks neutron tersebut agar organ
sehat di sekitar titik uji, tidak ikut terpapar radiasi.
Keluaran akhir neutron berdasarkan optimasi yang telah
dilakukan ditunjukkan dalam tabel 9.
Tabel 9. Keluaran berkas radiasi hasil optimasi
Parameter Nilai Rekomendasi
IAEA
(/2) 5,03 x 108 > 1,0 109
/( 2/) 2,17 x 10-13 < 2,0 1013
/( 2/) 1,16 x 10-13 < 2,0 1013
/ 0,120 < 0,05
/ 0,835 > 0,7
Ada tiga parameter yang belum tercapai sesuai
rekomendasi IAEA. Pertama adalah fluks neutron epitermal. Fluks
neutron epitermal yang tercapai adalah 5,03 x 108 n/cm2.s.
Meskipun belum mencapai kriteria, hasil tersebut masih layak
untuk digunakan karena lebih dari 5 x 108 n/cm2.s. Kedua adalah
komponen neutron cepat. Komponen neutron cepat yang tercapai
adalah 2,17 x 10-13Gy-cm2/n. Parameter ini sudah cukup dekat
dengan kriteria. Ketiga adalah komponen neutron termal. Parameter
ini masih cukup jauh dengan acuan yaitu 0,120.
Meskipun desain ini belum sempurna, beberapa parameter
kualitas radiasi yang dikeluarkan masih lebih baik dibandingkan
beberapa fasilitas BNCT didunia.
Tabel 9. Perbandingan keluaran berkas radiasi fasilitas BNCT
[19]
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Desain kolimator optimal pada beam port tembus
Reaktor Kartini untuk BNCT yang pengujianya dilakukan
secara sekuensial dan independen untuk masing-masing
bagian kolimator adalah sebagai berikut.
1. Dinding kolimator dengan bahan Ni setebal 1,5 cm dan aperture 2 cm,
2. Moderator dengan bahan Al 1350 (99,5 %) setebal 15 cm,
3. Perisai gamma dengan bahan Pb setebal 1 cm, dan 4. Boron-Alumunium (Boral) setebal 1,5 cm.
keluaran berkas radiasi dari desain tersebut ditunjukkan dalam
lima parameter berikut
1. Fluks neutron epitermal 5,03 x 108 n/cm2.s
-
2. Laju dosis neutron cepat per fluks neutron epitermal 2,17 x 10-13 Gy-cm2/n
3. Laju dosis gamma per fluks neutron epitermal 1,16 x 10-13 Gy-cm2/n
4. Rasio antara fluks termal dan epitermal 0,120 5. Rasio antara arus neutron dan fluks neutron total 0,835
Parameter keluaran dari desain ini tidak sepenuhnya
memenuhi kriteria yang ditentukan IAEA. Namun jika
dibandingkan fasilitas BNCT lain di dunia, desain ini masih
layak untuk digunakan.
B. Saran
Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka
penulis memiliki saran untuk penelitian selanjutnya.
1. Dalam desain ini, fluks neutron epitermal yang keluar dari aperture tidak hanya berasal dari teras reaktor secara
langsung tetapi juga dari hamburan dinding aperture.
Kolimasi yang lebih baik dapat dicapai dengan
memperpanjang dimensi kerucut aperture ke arah dalam
atau memperkecil sudut kerucut aperture. Perubahan ini
juga akan mempengaruhi parameter yang lain sehingga
perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait dimensi yang
tepat untuk bagian aperture ini.
2. Untuk mengurangi fluks neutron yang bocor di sekeliling lubang aperture, perlu ditambahkan bahan yang menyerap
neutron dengan lebih baik seperti Lithium atau bahan
yang mengandung Boron pada kerucut aperture. Namun,
masih diperlukan studi lebih lanjut untuk memperoleh
material yang lebih baik dan dimensi yang tepat. Selain
itu, modifikasi bentuk aperture juga bisa dilakukan seperti
gambar berikut.
Gambar 6.1. Perubahan ujung aperture yang
direkomendasikan.
Perbedaan dari desain sebelumnya adalah
terdapat material yang mengandung boron (dalam contoh
diatas boral) pada kerucut aperture. Penambahan ini akan
menyerap neutron lebih banyak sehingga tidak bocor ke
lingkungan. Tetapi agar neutron pada sistem tidak ikut
terserap perlu ditambahkan pula lapisan Nikel yang
ketebalanya masih perlu dioptimasi pada ketebalan
selanjutnya.
3. Untuk menekan fluks neutron termal dengan lebih rendah, diperlukan material yang menyerap neutron pada rentang
energi tersebut namun melewatkan neutron pada rentang
energi epitermal. Material yang baik dalam hal ini adalah
60Ni, tetapi material tersebut tidak memadai dalam hal
ketersediaan dalam industri material sehingga perlu
dilakukan eksplorasi lebih lanjut terkait bahan dengan sifat
yang serupa.
REFERENSI
[1] World Health Statistic. Dokumen publik, World
Healtt Organization, Jenewa, 2006.
[2] Cancer Research UK. What Cancer Is. Diakses dari
http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-
cancer/what-is-cancer/cells/what-cancer-is, 2
Agustus 2013.
[3] Wolfgang Sauerwein dan Ray Moss. Requirement for
Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) at a
Nuclear Research Reactor. The European BNCT
Project, Belanda, 2009.
[4] Nina Fauziah. A conceptual Design of Neutron
Collimator in Thermal Column of Kartini Research
Reactor for Boron Neutron Capture Therapy. Skripsi ,
Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2009.
[5] Widarto. Analisis Dan Penentuan Distribusi Fluks
Neutron Saluran Tembus Radial Untuk
Pendayagunaan Reaktor Kartini. Laporan penelitian,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2002.
[6] Current Status of Neutron Capture Therapy.
Dokumen teknis, International Atomic Energy
Agency,Wina, 2001.
[7] Gritzay, Kalchenko, Klimova, Razbudey, Sanzhur,
dan Binneyvier. Monte-Carlo calculations for the
development of a BNCT neutron source at the Kyiv
Research Reactor.Laporan penelitian, Elsevier,
Amsterdam, 2004.
[8] Katarzyna Tyminska. Filter/moderator system for a
BNCT beam of epithermal neutrons at nuclear reactor
MARIA. Laporan penelitian, Institute of Atomic
Energy, wierk-Otwock, 2009.
[9] N. Soppera, E. Dupont, and M. Bossant. Java-based
Nuclear InformationSoftware: Book of Neutron-
induced Cross-sections. A technical document,
Nuclear Energy Agency, Issy-les-Moulineaux, 2012.
[10] Nicoletta Protti. The efficacy of Boron Neutron
Capture Therapy on small animal models. Desertasi,
University of Pavia, Pavia, 2012.
[11] Media Nuklir. Interaksi neutron. Diakses dari
medianuklir.files.wordpress.com/2010/08/interaksi-neutron.pdf, 5 Agustus 2013.
[12] Dwi Wahyuningsih. Simulasi Pengukuran Distribusi
Dosis Serapan Pada Brachytherapy Payudara
Menggunakan Mcnp5 Dengan Model Seed
Advantage TM103Pd. Skripsi, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2012.
-
[14] European Centre of Technological Safety .
Interaction of Radiation with Matter. Diakses
dari http://www.tesec-int.org/TechHaz-
site%2008/Radiation-interaction.pdf.,29 Mei
2013
[15] Interaksi Radiasi Dengan Tubuh. Dokumen teknis,
Insprektur Pratama, Jakarta, 2005.
[16] Thomas E. Booth, John T. Goorley, Avneet Sood,
Forrest B. Brown, H. Grady Hughes, Jeremy E.
Sweezy, Jeffrey S. Bull, Russell D. Mosteller, Richard
F. Barrett, Lawrence J. Cox, Richard E. Prael, Susan
E. Post, R. Arthur Forster, Elizabeth C. Selcow, and
Teresa L. Roberts. MCNPA General Monte Carlo
N-Particle Transport Code, Version 5, Volume I:
Overview and Theory. A technical document, LA-UR-
03-1987, Los Alamos National Laboratory, New
Mexico, 2003.
[17] Arie Yusman Windiasari, Widarto dan Yusman
Wiyatmo. Penentuan Karakteristik Distribusi Rapat
Daya Teras Reaktor Kartini . Prosiding Seminar
Nasional ke-17 Teknologi dan Keselamatan PLTN
Serta Fasilitas Nuklir, hal. 195-205, Yogyakarta, 1
Oktober 2011.
[18] Thomas E. Booth, John T. Goorley, Avneet Sood,
Forrest B. Brown, H. Grady Hughes, Jeremy E.
Sweezy, Jeffrey S. Bull, Russell D. Mosteller, Richard
F. Barrett, Lawrence J. Cox, Richard E. Prael, Susan
E. Post, R. Arthur Forster, Elizabeth C. Selcow, and
Teresa L. Roberts. MCNPA General Monte Carlo N-Particle Transport Code, Version 5, Volume II:
Overview and Theory. A technical document, LA-CP-
03-0245, Los Alamos National Laboratory, New
Mexico, 2003.
[19] Introduction to the BNCT facility at the THOR.
Dokumen teknis, Hsin-chu, 2010.
[20] World U. S. Department of Commerce. X-ray Mass
AttenuationCoefficient. Diakses dari
http://physics.nist.gov/PhysRefData/XrayMassCoef/
ElemTab/z83.html,20 Mei 2013.
[21] Sandvick. Nominal Composition Alloy.
Diakses dari http://sandvick.com, Oktober 2013.
top related