kajian dan evaluasi undang-undang nomor 23 tahun...
Post on 03-Dec-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
Kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB) Desember 2019
LAPORAN AKHIR
KAJIAN DAN EVALUASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2019
TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA NASIONAL
UNTUK PERTAHANAN NEGARA
TIM PENYUSUN KETUA : DR. DWI HARYADI, SH., MH. ANGGOTA : MUHAMMAD SYAIFUL ANWAR, SH., LL.M.
WINANDA KUSUMA, SH., MH. RAFIQA SARI, SH., MH.
ii
Halaman Sampul ........................................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
I.2 Permasalahan .................................................................................. 4
I.3 Maksud dan Tujuan ........................................................................ 6
I.4 Metodologi ..................................................................................... 6
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................... 8
II..1 Pancasila: Tantangan Memahami Dan Mengali Dengan Utuh
Untuk Pertahanan Negara ........................................................... 8
II.2 Pertahanan Negara dalam Konsep.................................................. 10
II.3 Hubungan Warga Negara dan Pertahanan Negara .......................... 10
BAB III Analisis ........................................................................ 13
III.1 Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Nasional untuk Pertahanan Negara dalam Perspektif Nilai-Nilai
Pancasila ........................................................................ 13
a. Landasan Filosofis ............................................................... 13
b. Landasan Sosiologis............................................................. 14
c. Landasan Yuridis ................................................................. 16
III.2 Hubungan Antara Dasar Pertimbangan Dengan Materi Muatan
Dalam UU PSDN Sebagai Kesatuan Yang Utuh ......................... 17
III.3 Harmonisasi Muatan Materi UU PSDN Dengan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ............................ 22
III.4 Konsistesi Antara Tujuan UU PSDN Dengan Penjelasan Umum
Dan Pasal Per Pasal .................................................................... 31
III.5 Konsistensi, koherensi dan korespondensi Materi Undang-
Undang dengan Nilai-Nilai Pancasila .......................................... 35
III.6 Rekomendasi................................................................................ 43
BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................................... 45
Daftar Pustaka .............................................................................................. 47
DAFTAR ISI
1
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah besar yang
menyisir dari wilayah timur sampai wilayah barat. Dengan luas wilayah
daratan dan lautan sebesar 1.916.862,20 km2yang terdiri atas 34 provinsi dan
didalamnya tersebar 12.857 desa/kelurahan yang berada ditepi laut dan
71.074 yang bukan ditepi laut. Sebagai negara kepulauan, Papua Barat
misalnya tercatat sebagai provinsi dengan pulau terbanyak, yakni 4.108 pulau.
Kemudian secara demografi, jumlah penduduknya pada tahun 2018 sudah
mencapai 265 juta1.
Indonesia menjadi sangat strategis bagi dunia karena wilayahnya
sebagai jalur lalu lintas ekonomi, memiliki kekayaan dan keragaman budaya,
sumber daya alam yang melimpah, dan jumlah penduduk yang besar. Posisi
strategis tersebut disatu sisi dapat menjadi peluang dan potensi yang luar
biasa, namun disisi yang lain dapat menjadi ancaman dan sangat rentan
adanya infiltrasi kekuataan asing yang ingin memanfaatkan potensi tersebut
untuk kepentingannya, termasuk mengikis atau mereduksi kewibawaan
negara Indonesia melalui berbagai hal, khususnya masalah pertahanan dan
keamanan. Oleh karenanya sumber daya nasional yang ada, yakni sumber
daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan yang ada harus
dioptimalkan sebaik mungkin peran dan fungsinya untuk memperkokoh
pertahanan Negara.
Berbicara tentang pertahanan negara dalam konteks konstitusi telah
tertuang secara eksplisit dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa, “setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
Sehingga secara umum ditafsirkan bahwa tidak ada seorangpun yang secara
sadar “menghindar” dari adanya hak untuk membela kepentingan negara
tanpa adanya tendensi ataupun kepentingan apapun guna mempertahankan
1 BPS, Statitik Indonesia 2019
BAB I PENDAHULUAN
2
kepentingan negara. Disisi lain, warga negara juga memilki sebuah kewajiban
dalam usaha pembelaan negara baik secara sukarela maupun yang secara
nyata diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Dalam usahanya untuk mempertahankan kesatuan wilayah, baik
wilayah darat, laut maupun udara, usaha pembelaan terhadap negara dapat
diwujudkan melalui peran serta dalam upaya mempertahankan negara yang
disandingkan dengan bentuk sikap, perilaku, bentuk pertanggungjawaban
kepada Tuhan YME. ataupun pertanggungjawaban kepada masyarakat, yang
dijiwai atas dasar kecintaan dan kesadaran secara penuh terhadap keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara tindakan negara dalam sistem pertahanan dan keamanan
negara, secara jelas digambarkan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan
bahwa:“tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara dan ayat (2) “usaha pertahanan dan
keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Hal ini secara tersirat menyebutkan bahwa terdapat ruang untuk adanya
kekuatan-kekuatan pendukung lain yang dijadikan sebagai sumber kekuatan
pertahanan dan keamanan.
Usaha dalam melaksanakan pertahanan negara tersebut, didukung oleh
berbagai aspek yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan masyarakat yang menjadi salah satu unsur terbentuknya negara serta
sebagai komponen sumber cadangan pertahanan dan keamanan suatu bangsa.
Apabila terdapat hal yang beririsan dengan kepentingan warga negara
tersebut, khususnya di Indonesia, seyogyanya mendasarkan pada sistem nilai
Pancasila. Mengingat Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum,
maka setiap peraturan perundang-undangan wajib mengandung nilai-nilai
luhur Pancasila.
Salahsatu peraturan perundang-undangan yang menempatkan peran
warga negara dalam sistem pertahanan negara adalah Undang-Undang Nomor
3
23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk
Pertahanan Negara (selanjutnya disebut UU PSDN). Undang-undang ini
terdiri atas 10 bab 87 pasal yang disahkan pada bulan Oktober yang lalu.
Dengan adanya aturan ini menimbulkan potensi multitafsir terhadap
kekuasaan Negara. Salah satunya adalah berkaitan dengan konstruksi aturan
yang menggabungkan beberapa aturan menjadi satu bentuk aturan yang
semestinya diatur secara terpisah, dapat dimisalkan UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara yang masih aktif dan berjalan sehingga terdapat
dua aturan yang mengatur pada satu objek, sehingga berpotensi adanya
tumpang tindih pada saat pelaksanaan dilapangan, kemudian pada Pasal 8
ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negaraadanya
pembentukan komponen cadangan dan komponen pendukung, kemudian
terkait Bela Negara yang termaktub dalam Pasal 9 ayat (3) Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, dan kemudian UU Nomor 27 tahun 1997
tentang Mobilisasi dan Demobilisasi yang kemudian dicabut dan digantikan
oleh UU PSDN tersebut.
Hal yang menarik terhadap UU PSDN ini, berkaitan dengan konsep
hak asasi manusia (HAM) yang tidak secara utuh diberikan ruang terbatas
kepada warga negara dalam proses pemilihan menjadi komponen cadangan.
Hal tersebut ada dalam Pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan bahwa komponen
cadangan merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang
bersifat sukarela. Dalam proses menjadi komponen cadangan, melalui
tahapan seleksi dan verifikasi serta pelatihan dasar kemiliteran, kemudian
siap namun dalam UU PSDN tidak disebutkan dalam Pasal 41huruf g, yang
menyatakan bahwa komponen cadangan wajib memenuhi panggilan
mobilisasi. Diksi “wajib” adalah sebuah perintah dan apabila tidak memenuhi
panggilan mobilisasi akan terkena sanksi seperti yang termaktub dalam Pasal
77 ayat (1) yang menyebutkan bahwa apabila setiap komponen cadangan
tidak memenuhi panggilan mobilisasi diancam dengan penjara paling lama
4(empat) tahun. Dalam UU PSDN itu sendiri, hanya menjelaskan berkaitan
dengan aturan dan persyaratan mendjadi komponen cadangan, namun tidak
4
menjelaskan tekait apabila warga negara yang sudah masuk komponen
cadangan ingin mengundurkan diri atas dasar alasan logis yang bisa diterima.
Secara gambaran di atas, bisa masuk dalam sebuah sistematisasi
kencenderungan sentralistik kekuasaan. Maksudnya adalah apabila ada yang
tidak sepakat atau berpendapat lain terkait isi atau materi pelaksanaan UU
PSDN ini, bisa dikatakan tidak ikut membela negara atau secara prinsip
melawan perintah undang-undang. Hal ini tegas bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia. Dalam HAM secara utuh, pilihan hidup seseorang tidak bisa
dibatasi dengan adanya aturan yang memaksakan kehendak tujuan aturan
dengan menyimpangi aturan yang lain atau prinsip hidup manusia secar utuh.
Konstruksi berpikir HAM ini, mendasarkan pada kehendak pribadi yang
secara absolut bisa “mengelak” atau ingin keluar dari sistem komponen
cadangan namun tidak ada ruang yang diberikan oleh UU PSDN untuk
memilih mundur atau keluar dari komponen cadangan tersebut.
Adanya beberapa persoalan krusial di atas, maka undang-undang ini
penting untuk dilakukan telaah dari sudut pandang nilai-nilai Pancasila.
Apakah materinyaada yang berpotensi mereduksi atau mengurangi nilai-nilai
Pancasila dalam penerapannya. Terkhusus perihal konstruksi HAM dimana
adalah kewajiban mutlak negara dalam menjaga pertahanan negara, namun
diatur tentang tuntutan kewajiban warga negara.
1.2 Permasalahan
Pelaksanaan pengelolaan sumber daya nasional yang digunakan unutk
pertahanan negara secara nyata tidak bisa berlaku apabila tidak menggerakan
dari segala sektor atau lini dalam masyarakat. Namun, dalam
implementasinya, secara tersurat dan tersirat terdapat beberapa hal yang
“mengganjal” dari sisi isi atau materi dari UU PSDN tersebut. Dalam
pelaksanaannya, regulasi ini secara massive memiliki beberapa penafsiran
terkait konsep yang ditawarkan, diantaranya terkait dengan jaminan Hak
Asasi Manusia (HAM) secara utuh. Hal tersebut berkaitan dengan
dimungkinkannya militer bisa atau boleh menguasai sumber daya selain
manusia walaupun bukan milik negara. Hal ini bertitiktolak atas pengisian
5
komponen cadangan oleh warga negara yang bersifat sukarela namun hal
tersebut tidak sama atau tidak diberlakukan kepada komponen cadangan di
luar manusia yang berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan. Namun
yang paling menarik adalah dengan tidak adanya pilihan terhadap anggota
komponen cadangan untuk menolak apabila terdapat panggilan mobilisasi
oleh negara dan bahkan terdapat ancaman sanksi terhadapnya.
Hal-hal yang menjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan tersebut,
bisa dilihat melalui tidak adanya pilihan terkait dengan konsep demokrasi,
penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan supremasi sipil, yang secara
aturan UU PSDN ini mengatur dengan konstruksi tafsir “sepihak” sehingga
apabila tidak mengikuti aturan tersebut maka dapat dianggap menghalang-
halangi pelaksanaan sebuah aturan dan dijatuhi sanksi. Apabila ditelisik lebih
lanjut, UU ini secara prinsip mengarah pada sistem semi militeristik terpusat.
Maksudnya ialah konstruksi berfikir yang mendasarkan asas demokrasi
dengan ruang lingkup terbatas berbasis militer, hal ini dapat dilihat dalam
Pasal-pasal di BAB IX ketentuan Pidananya yang “menjaring” semua
komponen cadangan yang secara langsung maupun tidak langsung, sengaja
maupun tidak sengaja menghalangi terkait mobilisasi tersebut, bahkan
menyerahkan komponen cadangan lainnya, maka dikenakan sanksi. Hal ini
menegaskan bahwa melalui aturan UU PSDN ini, apabila ada yang
menghalangi, bisa dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan beberapa permasalahan substansi di atas, secara
sistematis berikut rumusan masalah dalam laporan kajian ini:
1. Bagaimana aspek filosofis, sosiologis dan yuridis UU PSDN
dalam prespektif nilai-nilai Pancasila?
2. Bagaimana hubungan antara dasar pertimbangan dengan materi
muatan dalam UU PSDN sebagai sebuah satu kesatuan yang utuh?
3. Apakah muatan materi UU PSDN sesuai dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan?
4. Apakah ada konsistensi antara tujuan yang ingin dicapai UU
PSDN dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal.
6
5. Bagaimana konsistensi, koherensi, dam korespondensi antara
keseluruhan materi muatan UU PSDN dengan nilai-nilai Pancasila?
1.3 Maksud dan Tujuan
Implementasi aturan mengenai pertahanan negara melalui konsep
komponen cadangan secara rigid bisa dilakukan, namun diperlukan terdapat
beberapa subtansi yang harus dimaknai atau ditafsirkan secara utuh dan
komprehensif agar tidak terdapat kesalahan penerapan dalam pemberlakuan
aturan tersebut yang dilandasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri sebagai batu uji
sebuah peratuan perundang-undangan (UU PSDN) tersebut. Oleh karena itu,
maksud dan tujuan dari kajian dan evaluasi ini adalah untuk melakukan telaah
akademis tentang beberapa substansi UU PSDN guna harmonisasi dengan
nilai-nilai Pancasila. Beberapa substansi yang menurut kami penting ditelaah,
dalam UU PSDN dalam rangka harmonisasi dengan nilai-nilai Pancasila
adalah sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan jaminan atas Hak Asasi Manusia;
b. Berkaitan dengan penguasaan Sumber daya alam dan sumber daya
buatan oleh negara;
c. Berkaitan dengan sistem semi militeristik terpusat;
d. Berkaitan dengan kriminalisasiterhadap komponen cadangan.
1.4 Metodologi
Kajian dan evaluasi peraturan perundangan-undangan guna
harmonisasi dengan nilai-nilai Pancasila ini menggunakan metode Regulatory
Impact Analysis (RIA). RIA merupakan alat analisis dan evaluasi suatu
kebijakan (regulasi maupun non-regulasi) yang akan dibuat atau yang sudah
diberlakukan untuk dilakukan evaluasi. Metode RIA dapat dipahami ke dalam
3 (tiga) aspek:
1. Metode RIA sebagai Proses;
2. Metode RIA sebagai Alat;
3. Metode RIA sebagai Logika Berfikir
Dalam kajian dan evaluasi ini, metode RIA sebagai sebagai logika
berfikir akan digunakan untuk menganalisis. Namun demikian metode RIA
7
sebagai proses akan menjadi bagian analisis juga. Pilihan terhadap logika
berfikir karena fokus analisis pada konsep dari sebuah regulasi yang diuji
dengan nilai-nilai Pancasila.
Analisis akan dimulai dari judul dan dasar pertimbangan khususnya
analisis filosofis,sosiologis dan yuridis. Kemudian melihat ada atau tidak
keterkaitan antara dasar pertimbangan dengan materi muatan,sehingga UU
terlihat utuh sebagai satu kesatuan. Analisis juga dilakukan dengan
memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
denganasas materi mautan. Penjelasan umum juga akan menjadi bagian
review karena akan terlihat tujuan yang ingin dicapai sebuah dalam UU dan
penjelasan pasal per pasal , guna melihat konsistensinya.Terakhir melakukan
telaah konsisitensi, koherensi, dan korespondensi dengan nilai-nilai Pancasila
darikeseluruhan materi UU dan perda yang dievaluasi.
8
BAB II TINJAUANPUSTAKA
II. 1 Pancasila: Tantangan Memahami Dan Mengali Dengan Utuh Untuk
Pertahanan Negara
Konsepsi Pancasila yang dicetuskan para pendiri negara Indonesia,
secara komprehensif menjadikan Pancasila sebagai sumber rujukan terhadap
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pancasila merupakan
suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintah
negara/penyelenggara negara. Oleh sebab itu, seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara terutama peraturan perundang-undangan negara
dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila.2 Terdapat hal yang
beririsan dengan kepentingan warga negara tersebut, khususnya di Indonesia,
seyogyanya mendasarkan pada sistem nilai Pancasila.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya merupakan
suatu sisitem nilai yang menjadi sumber dari penjabaran norma, baik norma
hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Nilai-nilai
Pancasila yang harus diaktualisasi dan dijabarkan dalam kehidupan yang
bersifat praktis atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan
negara.yang menjadi pedoman.3 Pancasila juga dapat menjadi sebagai penguji
peraturan perundang-undangan, sangat diperlukan sebagai bentuk dasar
filosofis yang digunakan suatu peraturan yang akan diberlakukan kepada
warga negara Indonesia. 4
Pancasila merupakan ideologi terbuka sehingga membuka ruang
kepada interpretasi baru sesuai dengan dinamika politik dan sosial. Di sinilah
letak dari kekuatan dari Pancasila karena dia mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan dari waktu ke waktu.5
Konstruksi berpikir Pancasila
sebagai dasar sebuah kehidupan bangsa Indonesia, sejalan dengan pemikiran
2Any Ismayawati, “Pancasila sebagai Dasar Pembangunan Hukum Di Indonesia”,Yudisia, Vol. 8
No. 1, Juni 2017 3 Kuswan Hadji, “Aktualisasi Nilai Nilai Pancasila Sebagai Norma Dalam Mencegah Korupsi Di
Indonesia”, Vol 2 No 1 Tahun 2018 4Any Ismayawati, Op.cit. Hlm. 355 5 Siswanto, “Transformasi dan Identitas Keindonesiaan”, Jurnal Penelitian Politik, Volume 14
No. 1 Juni 2017
9
yang menyebutkan bahwa Penempatan Pancasila sebagai pemandu, yang
lapisan-lapisan materinya berisi substansi hukum dan tiang kerangkanya
struktur hukum, serta lingkungan kehidupannya adalah budaya hukum.6
Pancasila sebagai cita hukum harus menguasai dan melingkupi
konstitusi dan norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sehingga sebagai sumber dari segala sumber
hukum, Pancasila berfungsi sebagai dasar hukum yang bersifat konstitutif dan
sebagai dasar hukum yang bersifat regulatif. Pancasila merupakan titik tolak
pertahanan negara dalam rangka menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta tercapainya tujuan pembentukan
Negara Indonesia.7
Dalam perjalanannya, sistem pertahanan yang berbasis pada nilai-nilai
luhur Pancasila, mulai luntur dengan adanya padangan atau pemikiran asing
yang masuk dalam aturan-aturan hukum yang berlaku, sehingga banyak
aturan-aturan hukum secara tidak langsung banyak mengadopsi pemikiran
barat yang justru merubah Konstruksi falsafah Pancasila juga harus menjadi
nafas dalam hal konsep pertahanan dan keamanan bagi masyarakatnya. Tata
kelola pertahanan dan keamanan suatu negara, secara prinsip merupakan hal
mutlak yang harus dipenuhi sebuah negara untuk menangkal ganguan,
hambatan dan ancaman dari pihak asing yang akan merusak konsep negara,
khususnya di Indonesia dengan Pancasila yang dijadikan sumber dari segala
sumber hukum.8 Hukum sebagai peraturan akan dituangkan dalam peraturan
perundangan untuk dapat diterapkan dimasyarakat. Hal ini menyadarkan kita
dalam memahami Pancasila perlu dengan perspektif bernegara,
bermasyarakat hingga dimensi pribadi harus secara mendalam dan utuh.
6 Anthon Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik “Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 294., lihat juga di Toni dan Faisal,
Pancasila Antara Akumulasi Informasi dan Paradigma Kebangsaan, Jurnal Progressi, Volume
XIII/No.1/Juni 2019. 7 Anang Setiyawan, “Pancasila Sebagai Paradigma Pertahanan Modern Indonesia”, Citizenship
Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, Vol 7 No 1 Maret 2019,hlm. 6. 8Ibid.
10
II.2 Pertahanan Negara dalam Konsep
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 telah telah tercantum salah satu tujuan terbentuknya Pemerintah
Negara Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Pertahanan Negara bagi bangsa Indonesia
merupakan suatu cara untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan
keutuhan persatuan dan kesatuan, serta kedaulatan bangsa terhadap segala
bentuk ancaman.
Pertahanan negara saat ini telah diakomodir melalui Sistem
Pertahanan Rakyat Semesta, dan telah ditegaskan dalam konstitusi bahwa
system pertahanan negara adalah system pertahanan negara yang bersifat
semesta yaitu suatu sistem yang melibatkan seluruh sumber daya, sarana dan
prasarana untuk pertahanan negara.Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2002 Tentang Pertahanan Negara, keikutsertaan warga negara dalam bela
negara secara fisik dapat dilakukan dengan menjadi anggota Tentara Nasional
Indonesia dan pelatihan Dasar Kemiliteran. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, bela negara tidak selalu harus bearti “memanggul senjata
menghadapi musuh” atau bela negara yang militeristik. Menurut Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, keikutsertaan
warga negara dalam bela negara secara nonfisik dapat diselenggarakan
melalui pendidikan kewargaan negara dan pengabdian sesuai dengan profesi.
Pendidikan kewarganegaraan dapat dilaksanakan melalui jalur formal
(sekolah dan perguruan tinggi) dan jalur non formal (sosial kemasyarakatan).
Kris Wijoyo Sopanji menyebutkan bahwa ketahanan nasional sangat
bergantung pada kemampuan mengoptimalisasikan fungsi aspek sebagai
modal dasar untuk menciptakan aspek dinamis yang merupakan yang
merupakan kekuatan untuk menyelenggarakan kehidupan nasional9.
9 Kris Wijoyo Soepandji, Muhammad Farid, “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif Ketahanan
Nasional”, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 No. 3 , 2018, hlm. 9
11
II.3 Hubungan Warga Negara dan Pertahanan Negara
Indonesia ingin mengadopsi konsep negara hukum dalam sistem
negara pada saat awal kemerdekaannya. Dalam kepustakaan Indonesia,
peristilahan diksi negara hukum merupakan terjemahan istilah “rechtstaat”.
Istilah rechtstaat berasal dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh
Immanuel Kant.10
Dahlan Thaib berpendapat Ketentuan Indonesia adalah
Negara hukum tidak dapat dilepaskan dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai citanegara hukum, kemudian
ditentukan dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 (sebelum di
amandemen). Alinea I Pembukaan UUD 1945 mengandung kata perikeadilan;
dalam alinea II terdapat kata adil; dalam alinea II terdapat kata Indonesia;
dalam alinea IV terdapat kata keadilan sosial dan kata kemanusiaan yang adil.
Semua istilah tersebut merujuk pada pengertian Negara hukum,karena salah
satu tujuan Negara hukum adalah untuk mencapai keadilan.11
Salah satu
tujuan pembentukan suatu negara adalah untuk melindungi warga negara.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk
mewujudkan tujuan melindungi warga negaranya.
Terminologi atau pengertian mengenai warga negara12
diartikan
dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur
negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Pendapat
berbeda disampaikan oleh AS. Hikam mendefinisikan bahwa warga negara
sebagai terjemahan dari citizenship, yaitu anggota dari sebuah komunitas
yang membentuk negara itu sendiri, sedangkan Koerniatmanto S.,
mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota
negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap
negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal
10Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2014,
hlm. 3. 11 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Kumpulan
Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Media Pratama,Jakarta,1996,
hlm. 25. 12 Tim ICCE, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE, UIN Suarif
Hidayatullah, Jakarta, 2003, hlm. 73
12
balik terhadap negaranya13
.Pada hakikatnya pertahanan negara adalah segala
upaya pertahanan bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan
pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada
kekuatan sendiri. Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara
berdasarkan prinsip-prinsip seperti berikut :14
1. Bangsa Indonesia berhak dan wajib membela serta mempertahankan
kemerdekaan negara.
2. Bahwa upaya pembelaan negara tersebut merupakan tanggung jawab
dan kehormatan setiap warga negara yang dilandasi asas:
a. Keyakinan akan kekuatan dan kemampuan sendiri.
b. Keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah (keuletan).
c. Tidak mengandalkan bantuan atau perlindungan negara atau
kekuatan asing.
3. Bahwa pertentangan yang timbul antara Indonesia dengan bangsa lain
akan selalu diusahakan dengan cara-cara damai. Perang adalah jalan
terakhir yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.
4. Bahwa pertahanan dan keamanan keluar bersifat defensif-aktif yang
mengandung pengertian tidak agresif dan tidak ekspansif. Ke dalam
bersifat preventif-aktif yang mengandung pengertian sedini mungkin
mengambil langkah dan tindakan guna mencegah dan mengatasi setiap
kemungkinan timbulnya ancaman.
5. Bahwa bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam membela serta
mempertahankan kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan.
Pancasila secara umum diketahui oleh masyarakat sebagai dasar
ideologi negara Indonesia. Pancasila yang diposisikan sebagai ideologi negara.
Dalam keterangannya, Agus Widjojo menyatakan bahwa Pancasila sebagai
idiologi negara bermakna bahwa sila-sila dalam Pancasila nilainya merupakan
ide dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai yang
dicita-citakan. Nilai philosofi untuk mengatur tata kehidupan kenegaraan
Indonesia (filosofische groundslag) dalam Pancasila selanjutnya ditetapkan
sebagai Dasar negara. Kedudukannya sebagai dasar negara merupakan
kedudukan yuridis formal karena tertuang dalam ketentuan hukum negara,
yaitu dalam Pembukaan UUD 1945 Alenia IV15
.
13 AS. Muhamaad Hikam, Kewarganegaraan dan Agenda Demokratisasi, dalam Malian S dan
Marzuki. S., Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Azasi Manusia, UII Press, Yogyakarta,
2002, hlm. 26. 14 Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid,Ghalia Indonesia, Jakarta
,1982, hlm 286. 15Agus Widjojo, Pemantapan Nilai-Nilai Ideologi Bangsa dalam Rangka Penguatan Ketahanan
Nasional dalam Aras Global, Seminar Nasional Universitas Negeri Semarang, Prosiding
Seminar Nasional, Badan Penerbit Fakultas Hukum Unnes, Semarang, 2016, hlm.12
13
BAB III
ANALISIS
III. 1. Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk
Pertahanan Negara dalam Perspektif Nilai-Nilai Pancasila
A. Landasan Filosofis
Dalam naskah akademiknya dijabarkan bahwa landasan filosofis
dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 melihat aspek pertahanan
sebagai faktor yang sangat fundamental dalam menjamin kelangsungan
hidup negara. Kemampuan mempertahankan diri terhadap ancaman dari
luar negeri dan/atau dari dalam negeri merupakan syarat mutlak bagi
suatu negara dalam mempertahankan kedaulatan. Oleh karenanya,
sesuai dengan tujuan negara yang termuat dalam pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia maka
negara merupakan institusi yang memiliki kuasa penuh dalam
pengelolaan pertahanan.
Sumber daya dan sarana prasarana nasional merupakan potensi
pertahanan yang harus ditata dan dikelola secara baik untuk penguatan
pertahanan negara.Pelibatan sumber daya nasional untuk pertahanan
negara bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat komponen
utama. Ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara di abad
sekarang sudah tidak mungkin lagi diletakkan hanya pada fungsi TNI.
Namun idealnya TNI, sumber daya serta sarana prasaranalainnya
merupakan sumber kekuatan pertahanan negara yang siap digunakan
kapanpun sesuai dengan kebutuhan pertahanan negara.
Ada dua point penting dalam landasan filosofis di atas, pertama
pertahanan negara sebagai aspek fundamental dalam menjaga
kedaulatan negara sebagaimana menjadi salahsatu tujuan nasional
dalam pembukaan UUD 1945, bahkan termasuk berpartisipasi dalam
menjaga perdamaian dunia. Kedua, dalam rangka menjaga kedaulatan
14
tersebut dibutuhkan tata kelola semua sumber daya nasional yang ada
guna mendukung TNI sebagai komponen utama.
Dalam perspektif nilai-nilai Pancasila, secara eksplisit
kewajiban negara dalam menjaga keutuhan NKRI termaktub dalam
salahsatu nilai Pancasila disila ketiga, yakni Peran dan kewajiban
negara dalam menciptakan persatuan bangsa dalam kebhinnekaan dan
menjaga kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia. Sementara
terkait dengan peran serta warga negara dalam menjaga kedaulatan
negara terkandung dalam ketiga nilai Pancasila sebagai berikut:
1. Setiap orang untuk mencintai Tanah Air dan bersedia melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Pengutamaan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
3. Setiap orang rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis undang-undang ini dalam naskah
akademiknya disampaikan beberapa hal, antara lain:
1. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku, etnis dan
agama sehingga di balik identitas nasional setiap individu pasti
memiliki identitas lain yang melekat di dalam dirinya. Kondisi
masyarakat yang multikultur ini memiliki suatu kelemahan, yaitu
rentan terhadap konflik horizontal yang mengakibatkan disintegrasi
bangsa. Contoh konflik horizontal yang terjadi di Indonesia adalah
konflik Sampit yang terjadi di Kota Sampit pada tahun 2001-2007.
Contoh lain dari konflik horizontal yang sering terjadi di Indonesia
adalah konflik antar agama. Sebagai contoh, Konflik Poso yang
terjadi pada 24 Desember 1998.
2. Melihat contoh kasus di atas, apabila kita menelaah kesumber
permasalahan, penyebab dari konflik tersebut berkaitanerat dengan
penurunan nilai-nilai bela negara di dalammasyarakat. Konflik
horizontal biasanya terjadi karena adanyaidentitas lokal yang lebih
15
kuat dibandingkan identitas nasional,sehingga warga negara
melupakan hakikat bangsa seperti yangdicantumkan di dalam
Pancasila.
3. Penyebab yang sama juga berlaku untuk masalahseparatisme di
Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia telahmengalami beberapa
permasalahan separatisme seperti GerakanAceh Merdeka, Organisasi
Papua Merdeka, dan Gerakan RepublikMaluku Selatan. Gerakan
separatisme tersebut menunjukkanbahwa ada permasalahan besar di
dalam kehidupan berbangsadan bernegara bagi sebagian masyarakat
Indonesia. Kurangnyapemahaman mengenai kehidupan bernegara
akan diikuti dengandisintegrasi bangsa yang dapat menuntun bangsa
Indonesiaterhadap kehancurannya sendiri.
4. Untuk membangun bangsa yang kuat dan memilikikesadaran bela
negara, diperlukan sebuah payung yangmendukung proses integrasi
di dalam masyarakat, sehingga sukudan etnis yang berbeda dapat
mengedepankan identitasnasionalnya sebagai identitas utama. Salah
satu cara yang dapat digunakan sebagai kanalisasipatriotisme
masyarakat Indonesia adalah Pembinaan KesadaranBela Negara dan
program Komponen Cadangan. Dengan mengikutiprogram
Komponen Cadangan, seorang warga negara diharapkanmemiliki
pengertian yang tepat mengenai semangat bela negaradan dapat
berjuang untuk Indonesia apabila sewaktu-waktudibutuhkan dalam
keadaan darurat.
Berdasarkan keempat pertimbangan landasan sosiologis di atas,
garis merahnya adalah betapa keragaman Indonesia rentan dengan
konflik horizontal sehingga menimbulkan konflik sosial, suku, agama,
ras, bahkan gerakan separatis. Kondisi ini antaralain disebabkan karena
pemahaman persatuan dan nasionalisme yang mulai memudar.
Dalam perspektif Pancasila, terkhusus sila ketiga sebagaimana
disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa semangat
nasionalisme harus menjadi yang pertama dan utama di atas
kepentingan pribadi atau golongan. Keberagaman Indonesia yang luar
16
biasa dan tiada duanya didunia memang membutuhkan perekat yang
ampuh untuk menyatukan semuanya dibawah bendera merah putih.
Semangat mencintai Tanah Air, mengutamakan persatuan dan
kesatuan, dan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara
menjadi nilai Pancasila yang relevan dalam landasan sosiologis ini
ditengah menurunnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa dan
mudahnya masyarakat kita terbelah karena perbedaan pendapat
sehingga memicu konflik, terlebih diera media sosial yang begitu
mudah dalam memecah belah bangsa dengan berbagai isu atau berita
bohong.
C. Landasan Yuridis
Secara eksplisit landasan yurudis undang-undang ini adalah
Dalam Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakanbahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalamupaya pembelaan negara. Kemudian pada Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Sedangkan pada Pasal 30
ayat (2) usaha pertahanan negara dan keamanan negara dilaksanakan
melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Jelas
bahwa postur pertahanan negara terdiri dari komponen utama,
cadangan dan pendukung yang harus diaturoleh Undang-
Undang.Untuk menjalankan amanat UUD NRI Tahun 1945
makaUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara mengatur bahwa Pertahanan Negara diselenggarakan melalui
usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara
dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman. Daya tangkal
dibangun melalui Pembinaan Kesadaran Bela Negara bagi seluruh
warga negara, sehingga terbangun karakter rakyat yang militan atas
dasar kecintaan pada NKRI. Untuk menjalankan ketentuan tersebut,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 mendelegasikan pengaturan
17
mengenai Komponen Cadangan, Komponen Pendukung, pendidikan
kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan
pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan suatu undang-undang.
Namun demikian pengaturan tersebut sampai saat ini masih belum ada
sehingga diperlukan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya
nasional untuk pertahanan negara.
Landasan yuridis yang dijabarakan dalam naskah akademis di
atas secara konstitusional memang tidak ada persoalan. Begitu halnya
dengan nilai-nilai Pancasila sebagaimana terkandung dalam sila
ketiga. Mungkin yang penting menjadi perhatian adalah perihal
konteks antara hak dan kewajiban warga negara disatu sisi dengan
kewajiban mutlak negara dalam menjaga keutuhan NKRI dari segala
ancaman yang muncul. Konteks negara demokrasi dan Hak Asasi
Manusia harus menjadi pertimbangan disaat menempatkan kewajiban
warga negara sebagai bagian sipil untuk turut serta dalam menjaga
pertahanan negara dalam ranah militer meskipun sebagai komponen
cadangan.
III.2 Hubungan Antara Dasar Pertimbangan Dengan Materi Muatan Dalam
UU PSDN Sebagai Kesatuan Yang Utuh
Pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara
bertujuan untuk mengubah sumber daya nasional yang mana meliputi
seluruh sektor mulai dari seluruh sumber daya manusia, sumber daya alam
dan sumber daya buatan16
, menjadi kekuatan pertahanan nasional yang siap
dipergunakan untuk kepentingan pertahanan negara melalui usaha bela
negara, penataan komponen pendukung dan pembentukan komponen
cadangan. Dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan
negara bisa mengacu padal sila ke 3 pada Pancasila. Dimana kandungan
dalam sila ke tiga menerapkan setiap orang untuk mencintai tanah air dan
bersedia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia.
Dalam sila persatuan indonesia dimaknai dengan setiap orang warga negara
16 Lihat Pasal 1 angka 1
18
rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara serta pemuliaan dan
pemajuan potensi diri dan segala karya yang dimilikinya untuk kepentingan
bangsa dan negara.
Ancaman yang diatur dalam UU PSDN Pasal 3 angka 3 dalam
beberapa wujud.17
Dalam era globalisasi saat ini ide-ide tentang liberalisme,
hedonisme, dan radikalisme berinteraksi dengan rakyat Indonesia dan
membawa konsekuensi tersendiri kepada pola pikir dan perilaku warga
negara sehingga identitas keindonesiaan yang selama ini menjadi ciri bangsa
Indonesia seperti; nilai-nilai gotong royong, toleransi, musyawarah,
kekeluargaan, dan saling menghormati yang mengkristal dalam Pancasila
akan terdistorsi oleh nilai-nilai yang datang dari luar tersebut.18
Perlu
pemikiran lebih luas mengenai eksistensi ancaman terhadap negara
Indonesia dan adaptasi ancaman ditengah era digitalisasi. Perkembagan
digitalisasi menjadikan ancaman fisik sudah tertinggal zaman, kedaulatan
dan keutuhan bahkan bertentangan dengan Pancasila melalui proxy war.
Dalam undang-undangnya memuat materi memulai bela negara yang
mana setiap warga negara wajib ikut serta dalam usaha membela negara
dalam mewujudkan pertahanan negara, serta pendidikan kewarganegaraan
dimana setiap warga negara lebih memahami dan mencintai negara
Indonesia dengan memberikan pembinaan kesadaran yang diberikan nilai
nilai dasar bela negara. Pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila bukan
dimaksud sebagai doktrinisasi ala era orde baru. Dalam diskursus mengenai
pluralitas, adanya konflik horizontal menjadi suatu keniscayaan yang harus
dihadapi.19
Pendidikan ini perlu untuk mempertebal unsur komponen
cadangan sehingga segala ancaman yang masuk melalui proxy-proxy dapat
segera ditangkal dengan segera tanpa upaya militeristik sebagai bentuk
perlindungan negara.
17 Lihat Pasal 3 angka 3 18 Siswanto, “Transformasi dan Identitas Keindonesiaan”, Jurnal Penelitian Politik, Volume 14
No. 1 Juni 2017, hlm 55–68 19 Sudjito, Hendro Muhaimin, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Upaya Menangkal
Tumbuhnya Radikalisme Di Indonesia”, Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan
Karakter, Vol 2 No 1 2018
19
Peran dan kewajiban negara dalam memberikan perlindungan
terhadap hak-hak warga negara dan penghormatan terhadap harkat dan
martabat manusia sebagai nilai yang terkandung dalam Sila ke 2 Pancasila
mengamanatkan keaktifan negara dalam mendesain perlindungan. Pancasila
sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di
segala bidang.20
Kewajiban ini menjadi dasar pembentukan dan menjadi
dasar materi muatan suatu perundangan. UU PSDN yang mewajibkan
sumber daya nasional yang dalam hal ini sumber daya manusia yaitu warga
negara Indonesia sebagai salah satu komponen pokok pertahanan, apakah
hal sejalan negara yang melindungi secara aktif. Untuk dapat menjawab hal
tersebut negara harus mampu memberikan suatu turunan aturan mengatur
bahwa negara yang tetap aktif melindungi warga negara bukan sebaliknya.
Dalam konsideran pertimbangan disebutkan pelibatan seluruh
sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini. Melibatkan tersebut
menjadikan kewajiban setiap orang rela berkorban demi kepentingan bangsa
dan negara yang merupakan nilai Pancasila sila ke 3 relevan. Relevansi
tersebut perlu juga mempertimbangkan makna persiapan secara dini dalam
pemahaman warga negara sebagai sipil. Ukuran waktu secara dini tersbut
haruslah menjunjung nilai sila ke 2 penghormatan hak dasar manusia
sebagai Individu dan nilai sila ke 5 karsa, cipta dan karya masyarakat.
Penghormatan ini agar negara dapat menjamin warga negaranya tetap
mengembangkan diri. Pengembangan diri ini untuk mwujudkan pula
Indonesia yang kuat dari ancaman yang jelaskan dalam UU PDSN dengan
lebih mengedepankan sistem pertahanan nasional yang lebih efisien dalam
konteks kekinian.
Bela negara Bab III Pasal 6 ayat 5 yang tertulis Pelatihan dasar
kemiliteran secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
diberlakukan kepadacalon Komponen Cadangan yang telah memenuhi
persyaratan. Persyaratan yang dibuat nanti harus memenuhi nilai Pancasila
mengenai penghormatan HAM yang wajib dipenuhi oleh negara. Pembatasn
20 Any Ismayawati, “Pancasila sebagai Dasar Pembangunan Hukum Di Indonesia”, Yudisia, Vol
8 No 1, Juni 2017, hlm.56
20
HAM dalam pengimplemtasian persyaratan tadi agar warga negara tetap
bisa mengembangkan diri sesuai nilai Pancasila khususnya sila ke kelima.
Bila kita baca kewajiban komponen pendukung Pasal 17 ayat 2
keikutsertaan dengan sifat kesukarelaan, sifat sukarela merupakan
penghormatan atas HAM dengan sukarela warga negara dengan sadar tanpa
paksaan dan negara tidak membatasi pengembangan diri warga negara.
Komponen cadangan dalam Pasal 33 ayat 1 mensyarakat adanya proses
pendaftaran untuk menjadi bagian dari komponen cadangan. Tahap
pendaftaran bagian dari penegakan HAM dalam makna tidak ada
pemaksaan negara kepada warga negaranya.
Pemanfaatan sumber daya nasional selain memaksimalkan warga
negara yang tentunya harus tidak melanggar Pancasila. Dalam Pasal 55
penetapan Komponen Cadangan tidak menghilangkan hak kepemilikan,
mengelola, dan/atau menggunakan, dan/atau hak mengelolanya
pengaturannya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pengaturan
mengenai pemanfaatan tersebut harus tetap dengan nilai Pancasila, karena
untuk menjaga hak milik pribadi yang tercermin dalam nilai Pancasila sila
kelima. UU PDSN mengatur Pasal 54 ayat 4 hanya harus dilakukan
pemberitahuan kepada pemilik atau pengelola Sumber Daya Alam perlu
kiranya juga meminta izin tidak hanya pemberitahuan. Perbedaan paham
antara pemberitahuan dengan permintaan izin adalah hak kepemilikan
diakui dan dihormati oleh negara.
Komponen cadangan dalam Pasal 66 ayat 2 menyatakan kewajiban
pemanfaatan sumber-sumber yang digunakana dalam pertahanan nasional
demi kepentingan mobilisasi. Kewajiban ini bila dimaknai pemahaman sila
ketiga Persatuan Indonesia tanpa diminta oleh negara warga negara wajib
membela Indonesia. Kewajiban membela dan kewajiban memanfaatkan
diatas harus pula melihat nilai sila kelima bila tenaga dan sumber tersebut
akan menyangkut kewajiban warga negara dalam memenuhi kehidupannya.
Kepemilikan dalam pemanfaatan pertahanan nasional dalam hal
demobilisasi dalam Pasal 67 ayat 2 digunakan pada saat mobilisasi
dinyatakan diperlakukan sebagai barang milik negara dan diberi rawatan
21
kedinanasan dalam sistem pembinaan materiel. Materi muatan ini perlu
diperjelas bila kepemilikan tidak beralih tapi diperlakukan sebagai milik
negara tidak melanggar nilai Pancasila yang mengandung bahwa dapat
merugikan warga negara itu sendiri. Diatur dalam ayat 4 pasal ini pada saat
mobilisasi tidak menyebabkan putusnya hubungan kepemilikan dengan
pemilik atau pengelola, tapi bila diminta dikembalikan pada saat
dipergunakan ataupun proses pemanfaatan hingga mobilisasi harus tidak
mengandung kerugian warga negara yang mana juga tidak melanggar nilai
Pancasila.
Dalam rangka mobilisasi diatas ditekankan bahwa memanfaatkan,
memobilisasi dan perawatan harus dengan kesukarelaan atas dasar nilai
Pancasila sila Persatuan Indonesia. Pada sila ini warga negara setiap orang
untuk mencintai tanah air dan bersedia melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Pemahaman nilai ini menjadikan warga
negara dalam mobilisasi Sumber Daya Nasional sesuai dengan nilai
Pancasila. Sila ketiga juga mengandung nilai setiap orang rela berkorban
demi kepentingan bangsa dan negara, sifat kerelaan ini harus terus didorong
dalam Sistem Pertahanan Nasional.
Tahapan demobilisasi yang dilakukan yang didahului rehabilitasi
dalam kewajiban Pasal 71 ayat 2 harus wajib mengembalikan dengan
sebagaimana awal kondisi mobilisasi. Rehabilitasi pun harus dalam jangka
waktu yang jelas akan adanya kepastian bagi warga negara untuk dapat
memanfaatkan kembali. Rehabilitasi juga dengan standar kualitas yang
terbaik agar tidak adanya salah memahami dalam kewajiban membela
Indonesia sebagai negara dan kewajiban memenuhi kewajiban warga negara
sebagai pribadi yang merdeka.
Durasi demobilisasi yang diwajibkan oleh UU PSDN Pasal 72 ayat 3
paling lama 3 (tiga) tahun. Durasi tersebut menurut hemat penulis cukup
lama karena kewajiban warga negara sebagai pribadi merdeka, sebelum
waktu tersebut juga harus wajib diberikan pemenuhan kewajiban oleh
negara sesuai kepantasan. Kompensasi tersebut agar tidak menghilangkan
22
nilai Pancasila sila kedua dimana warga negara harus dijadikan manusia
yang seutuhnya.
III.3.Harmonisasi Muatan Materi UU PSDN Dengan Asas-Asas
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu
bagian inheren dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Indonesia
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam pengertian sebuah
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.21
Peraturan perundang-
undangan mengikat secara maksudnya adalah tidak mengidentifikasikan
individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang
memenuhi unsur -unsur tertentu yang terkandung dalam ketentuan
mengenai pola tingkah laku tersebut.22
Dalam membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan yang baik
dan responsif, harus berlandaskan atau mendasarkan pada suatu asas
Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang baik, yang meliputi:23
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
21 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan 22
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undanganYang baik, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.25 23 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
23
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, isi atau
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas
sebagai berikut:24
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Bentuk suatu peraturan yang baik dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan, ditentukan melalui kesesuaian atau keharmonisan
antara asas pembentukan peraturan perundang-undangan dengan materi
muatan peraturan perundang-undangan. Konsep peraturan yang secara
tahapan proses dan isi atau materinya mencirikan suatu peraturan baik, bisa
dilihat dari dampak atau efek atas pemberlakuan suatu aturan perundang-
undangan tersebut. hal tersebut dapat dianalisa melalui Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk
Pertahanan Negara (selanjutnya disebut UU PSDN). Dalam perspektif asas
pembentukan dan materi pembuatan peraturan perundang-undangan bisa
dianalisis sebagai berikut:
1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
a. Kejelasan Tujuan;
Dalam perspektif kejelasan tujuan atas UU PSDN, secara tersirat
menunjukan bahwa UU PSDN ini merupakan suatu peraturan untuk
melegitimasi adanya kesatuan antar elemen untuk pertahanan negara
dengan melibatkan seluruh sumber daya manusia, sumber daya
alamnya, serta sarana dan prasarana nasional. Secara prinsipil sangat
berguna dalam koridor pertahanan negara.
24 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
24
Dalam Pasal 3 UU PSDN menyatakan bahwa tujuan Pengelolaan
Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara bertujuan untuk
mentransformasikan Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam,
dan Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional
menjadi kekuatan Pertahanan Negara yang siap digunakan untuk
kepentingan Pertahanan Negara.
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mensyahkan atas UU PSDN tersebut. Secara kewenangan
kelembagaan atau pejabat yang membentuk peraturan ini, sudah
sesuai dengan kewenangan atau kekuasaan yang diberikan karena
sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1) menyatakan
bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Dalam Pasal 20 ayat (2)nya bahwa Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Artinya apabila suatu UU sudah diundangkan, maka telah terjadi
kesepakatan antara Presiden dengan DPR sehingga secara prinsip UU
PSDN telah mendapatkan persetujuan dari DPR sebagai lembaga
legislatif.
c. Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, Dan Materi Muatan;
Kesesuaian antara jenis peraturan dan hirarkitas dalam UU PSDN ini
secara kasat mata sudah sesuai dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan, namun untuk materi muatan atau isi dari UU
PSDN ini, masih bersinggungan antara suatu kewajiban dari warga
negara dengan kesukarelaan dari warga negara yang secara prisnip
berujung pada suatu Hak Asasi Manusia yang secara sekilas materinya
belum secara utuh atau komprehensif diatur dalam UU PSDN tersebut.
Konsep HAM yang telah diratifikasi dan diundangkan melalui UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, materi muatan
yang ada seyogyanya dimasukan juga dalam UU PSDN, hal ini sangat
erat hubungannya antara masuknya warga negara (manusia) dalam
sistem komponen cadangan. Kemudian berkaitan dengan “sukarela”
25
dalam isi atau materi muatan UU PSDN tersebut, berlaku secara
seimbang kesediaan warga negara (sumber daya manusia) sistem
komponen cadangan namun tidak ada ruang yang diberikan oleh UU
PSDN untuk memilih mundur atau keluar dari komponen cadangan
tersebut.
d. Dapat Dilaksanakan;
Dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Secara sadar, UU PSDN memiliki “irisan hukum” dengan undang-
undang yang lain, diharapkan tidak terjadi benturan atau tumpang
tindih antar satu aturan dengan aturan lain yang mengatur hal yang
prinsipil, dimisalkan berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan;
Setiap Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang, didasari karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dalam perspektif kedayagunaan dan kehasilgunaan atas
UU PSDN ini, secara nyata dan sistematis telah ada dalam beberapa
UU yang lain, diantaranya ada dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam peneyelenggaraan
pertahanan negara”, hal tersebut menjelaskan bahwa konteks bela
negara sudah ada dalam UU tersebut. Kemudian berkaitan dengan
Sumber daya alam dan sarana dan prasarana juga telah diatur dalam
UU Pertahanan Negara ini.
Dalam isi UU PSDN ini, terkait dengan warga negara, baik yang
sudah bekerja maupun dalam masa pendidikan, secara otomatis akan
bersinggungan dengan berbagai aturan, dimisalkan UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berhubungan dengan
warga negara yang bekerja bidang tertentu dalam sektor swasta yang
26
tunduk dan patuh terhadap Peraturan Perusahaan yang kemudian ikut
dalam usaha bela negara, bentuk perlindungan terhadap karyawan
tersebut atas pekerjaannya harus secara nyata dijamin dan
dikembalikan hak-haknya oleh negara untuk bisa dan mendapatkan
pekerjaannya kelak dikemudian hari pasca demobilisasi. Kemudian,
dapat dimisalkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, apabila warga
negara yang ikut dalam usaha bela negara, dan gugur yang kemudian
warga negara tersebut sebagai tulang punggung keluarga, negara
diwajibkan memberikan perhatian lebih atas keberlanjutan hidup
keluarga yang ditinggalkan.
f. Kejelasan Rumusan;
Dalam UU PSDN tersebut, secara resmi telah diundangkan dan telah
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti oleh khalayak ramai guna menghindari
multitafsir atas UU PSDN tersebut.
g. Keterbukaan.
Era keterbukaan informasi, memberikan ruang terhadap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Konstalasi pembentukan UU PSDN secara prosedur sudah memenuhi
persyaratan administratif dalam perancangan peraturan perundang-
undangan, namun disisi lain, perlu diperhatikan kembali dalam hal
pembahasan, terdapat beberapa usulan dan harapan dari lembaga atau
pihak-pihak yang tekait dengan masalah prinsip agar UU PSDN ini
tidak dijadikan sebagai alat kekuasaan, namun dijadikan sebagai
landasan bagi warga negara untuk membela negara atas pertahanan
negara melalui komponen cadangan yang diprioritaskan sebagai
penyokong TNI sebagai komponen utama, sehingga dalam
27
pelaksanaannya tidak ada yang disalahgunakan atas dasar kekusaan
(abuse of power).
Peraturan perundang-undangan dalam proses pembuatan atau
perancangan sampai pengundangan, terdapat materi muatan peraturan
perundang-undangan yang harus mencerminkan asas. Asas-asas materi
muatan yang terkandung dalam sebuah aturan seyogyanya saling
melengkapi antara satu dengan dengan yang lain. Harmonisasi dalam satu
undang-undang juga tercermin dalam UU PSDN tersebut yang disesuaikan
dengan asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang dapat
dikualifikasikan sebagai berikut:
a. Pengayoman
Maksud dari asas pengayoman adalah setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan harus memiliki fungsi
untuk memberikan perlindungan dengan tujuan menciptakan ketentraman
di masyarakat. UU PSDN dalam arti kepastian hukum dan perlindungan
hukum secara nyata telah masuk dalam materi muatannya, walaupun
secara garis besar, masih bisa dilihat ruang masih tersiratnya kekuasaan
negara atas sistem militeristik yang mendasari pelatihan komponen
cadangan tersebut. Loyalitas terhadap pimpinan dibentuk dan terbentuk
secara sistematis dalam proses pelatihan komponen cadangan tersebut.
b. Kemanusiaan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional. Dalam konteks tersebut, UU PSDN secara materinya,
terdiri atas 10 (sepuluh) BAB, yang secara tersirat masih memiliki
beberapa “celah”, baik dalam hal konsep HAM, maupun pelaksanaan in
put maupun out put terkait komponen cadangan tersebut. Ruang yang
diberikan oleh UU PSDN terhadap warga negara yang turut serta dalam
komponen cadangan sangat terbatas, maksudnya ialah tidak adanya ruang
untuk “mengundurkan diri atau menolak” apabila telah ikut dan
28
ditetapkan sebagai komponen cadangan. Secara garis besar, hal tersebut
merupakan hal yang musti ditanggulangai sejak awal sehingga
masyarakat akan jauh merasakan lebih tentram.
c. Kebangsaan
Dalam kajian terkait Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, UU
PSDN telah mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Konsep kebangsaan ini tercermin dari konsep bela negara
yang termaktub dalam UU PSDN ini yang secara murni untuk
mendisiplinkan dan menempa mental agar menjadi bangsa yang
tanggung dalam menghadapi semua ancaman, layak untuk diapresiasi
dan didukung secara penuh. Secara prinsip bela negara sebagai bentuk
pengabdian diri kepada bangsa dan negara serta mendedikasikan diri
untuk kebaikan bangsa dan negara.
d. Kekeluargaan
UU PSDN dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
seharusnya mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan. Dalam UU PSDN secara tersirat,
menggunakan sistem militer (sistem komando) yang secara utuh akan
menggunakan puncak pimpinan sebagai pemegang kunci pengambil
keputusan. Walaupun secara riil, dalam BAB VI tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi, Presiden dalam menyatakan mobilisasi harus mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
e. Kenusantaraan
Dalam UU PSDN memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam UU PSDN yang merupakan sistem pertahanan negara yang
bersifat semesta dan melibatkan seluruh elemen serta sumber daya
nasional, yang secara hirarki sampai tingkat daerah yang dipersiapkan
secara dini guna menegakan keadulatan negara, menjaga keutuhan
29
wilayah dan keselamtan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dari
luar maupun dari dalam.
f. Bhinneka Tunggal Ika
Dalam UU PSDN sudah memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan memasukan pembinaan
kesadaran bela negara. Secara aktual, UU PSDN sudah memasukan
semua elemen termasuk tokoh adat, yang menjadi anggota binaan
kesadaran bela negara serta dengan menanamkan nilai dasar bela negara
kepada masyarakat.
g. Keadilan
Muatan UU PSDN sudah mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negaranya. Dalam arti keadilan disini, memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada setiap warga negara tanpa
membedakan suku, agama, ras dan antar golongan yang secara sukarela
untuk mengikuti pelatihan bela negara atau lebih tepatnya menjadi
komponen cadangan dalam sistem pertahanan rakyat semesta.
h. Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan
Materi muatan UU PSDN mendudukan kompone cadangan (sumber daya
manusia) dalam porsi yang sama (equal) sehingga tidak memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Secara prinsip UU PSDN
bersifat menyeluruh bagi warga negara Indonesia.
i. Ketertiban dan Kepastian Hukum
UU PSDN dalam materi muatannya, seharusnya memberikan dan
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum. Ketertiban dan kepastian hukum disini berkaitan dengan konsep
rehabilitasi atas Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh warga negara.
Dalam rehabilitasi terhadap SDA tersebut, belum dijelaskan secara rinci
terkait indikator rehabilitasi SDA tersebut. Seyogyanya diberikan
indikator tingkat rehabilitasi yang diberikan negara atas penggunaan
30
SDA oleh negara terhadap SDA alam milik warga negara (swasta
maupun perseorangan).
j. Keseimbangan, Keserasian, Dan Keselarasan
Dalam UU PSDN sudah mencerminkan pola atau sistem yang seimbang,
adanya keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Konsep keseimbangan,
keserasian dan selarasan atas kepentingan, merupakan hal mutlak yang
harus diberikan oleh sebuah peraturan perundang-undangan. Walaupun
masih ada “sela atau ruang kecil” yang masih menjadi ganjalan dalam
UU PSDN tersebut. Dalam keterangan dalam asas-asas yang di atas,
dapat dimisalkan terkait adanya kekosongan pengaturan terkait
pelaksanaan HAM atas warga negara yang masuk dalam komponen
cadangan. Diperlukan penjelasan yang lebih rinci dan pasti terkait
permasalahan tersebut, agar tidak terjadi ketidakpastian dalam
pelaksanaannya kelak.
Dalam aturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
terkait materi muatan suatu aturan, bisa dimasukan asas-asas lain yang
sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi dalam pelaksanaan aturan
tersebut. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 6 ayat (2) yang menyebutkan bahwa suatu
peraturan dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam penjelasan dari Pasal 6
ayat (2) ini, yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,dan
asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik
Sistem tata kelola sumber daya nasional yang termaktub dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Nasional Untuk Pertahanan Negara atau UU PSDN apabila dipersandingkan
dengan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
31
Peraturan Perundang-undangan, masih terdapat beberapa hal yang kurang
mengikuti asas tersebut, khususnya asas keperdataan. Asas keperdataan
yang dimaksud adalah berkaitan dengan asas perjanjian (Pasal 1320
KUHPerdata), kemudian asas iktikad baik dan asas pacta sunt servanda
(pasal 1338).
Dalam UU PSDN tersebut khususnya dalam pasal 72 ayat (1), (2)
dan (3) tidak menyebutkan secara eksplisit terkait dengan tunduk dan
patuhnya negara terhadap asas-asas hukum perdata. Dalam pasal tersebut,
tidak dijelaskan posisi negara terhadap posisi komponen cadangan (sumber
daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional).
Seyogyanya harus diberikan kepastian aturan dan kepastian kedudukan para
pihak untuk menggunakan bagian dari keperdataan tersebut.
Secara keseluruhan, UU PSDN ini merupakan aturan perundang-
undangan yang secara resmi dijadikan sebagai landasan hukum terkait pola
pertahanan dan keamanan yang menggunakan seluruh daya upaya yang ada
dalam diri Bangsa Indonesia yang termaktub dalam baik dalam nilai-nilai
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Harmonisasi aturan merupakan hal
yang tak terelakan sehingga perlu diadakannya perubahan terbatas terkait
pemberlakuan UU PSDN yang bersinggungan atau terdapat irisan aturan
yang mengatur hal yang sama sehingga akan tercipta aturan yang lebih baik
untuk kedepannya tanpa harus melanggar prinsip atau asas yang secara
universal berlaku di Indonesia maupun di dunia internasional.
III. 4 Konsistesi Antara Tujuan UU PSDN Dengan Penjelasan Umum Dan
Pasal Per Pasal.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan
Negara, dapat kita temui tentang pengaturan pokok mengenai Bela Negara.
Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat (3), menyatakan
bahwa “setiap warga negara dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”,
kita dapat melihat penyelenggaraannya dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2002 dalam pasal 9 ayat (1), menyatakan bahwa “setiap warga
32
negara berhak dan wajib ikut serta dalam bela negara yang diwujudakan
dalam penyelanggaraan pertahanan negara”, sehingga pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa “tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara”, kemudian ayat (2) menegaskan pula bahwa “usaha pertahanan dan
keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta oleh Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan
pendukung”. Usaha pembelaan negara sangatlah penting untuk menjaga
kedaulatan, keutuhan persatuan dan kesatuan sebuah negara dari ancaman
dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Kebijakan pertahanan negara disusun dengan Nawacita yang telah
dicanangkan oleh Bapak Presiden Jokowi, khusus Nawacita adalah antara
lain menghadirkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman keseluruh warga negara, membangun Indonesia dari
pinggiran dan melakukan revolusi karakter bangsa25
. Kebijakan pertahanan
negara disusun untuk mencapai tujuan membangun TNI yang profesional,
pengamanan perbatasan, ikut serta dalam perdamaian dunia, membangun
industri pertahanan dalam negeri yang kuat, mandiri dan berdaya saing, dan
mewujudkan kesadaran bela negara sebagai bagian 26
Bangsa Indonesia memiliki cara tersendiri untuk membangun system
pertahanan negaranya, yaitu system pertahanan yang bersifat semesta
dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, yang dipersiapkan secara matang demi menjaga segenap
bangsa dari segala ancaman. Konsep pertahanan negara yang bersifat
semesta, lahir dari sejarah panjang perjuangan rakyat Indonesia, yang
diawali dari masa penjajahan sampai dengan kemerdekaan. Pada hakikatnya
pertahanan negara yang bersifat semesta tersebut penyelenggaraannya
didasarkan pada kesadaran atas hak, kewajiban dan kekuatan setiap rakyat
Indonesia yang disusun berlandasakan prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
25 Artikel “Capaian Tiga Tahun Kabinet Kerja Kementerian Pertahanan, Vol. 67/Nomor. 53,
Tahun 2019, hlm. 35. 26Ibid
33
ketentuan hukum nasional, hukum internasional, dan kebiasaan
internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai dengan
memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan
negara maritim.
Melalui prinsip tersebut, tujuan penyelenggaraan pertahanan negara
adalah untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan segenap bangsa
Indonesia. Dalam mencapai tujuan tersebut, fungsi pertahanan negara
dilaksanakan dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh
segenap bangsa Indonesia, sekaligus digunakan bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara
bertujuan untuk mentransformasikan sumber daya nasional menjadi
kekuatan pertahanan negara yang siap digunakan untuk kepentingan
pertahanan negara melalui usaha bela negara, penataan komponen
ppendukung, dan pembentukan kompnen cadangan. Bela negara merupakan
hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang bertujuan untuk
menengakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah Republik
Indonesia, keselamatan segenap bangsa Indonesia. Usaha bela negara
bertujuan untuk memelihara jiwa nasionalisme warga negara dalam upaya
pemenuhan hak dan kewajiban dalam membela negara demi tercapainya
tujuan dan demi kepentingan segenap bangsa Indonesia.
Komponen pendukung adalah merupakan salah satu wadah dan
bentuk keikutsertaan warga negara dan pemanfaatan sumber daya nasional
lainnya yang secara langsung mupun tidak langsung dapat digunakan untuk
meningkatkan kekuatan dan kemampuan dalam usaha bela negara. Untuk
komponen utama dan komponen cadangan digunakan untuk meningkatkan
kekuatan dan kemampuan dalam menghadapi ancaman militer. Sedangkan
komponen pendukung meliputi warga negara, sumber daya alam, sumber
daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, dimana pengelolaannya
ada pada kementerian atau lembaga Pertahanan Negara dan dilaksanakan
dalam system tata kelola yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati
34
hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undanga yang
berlaku.
Komponen cadangan merupakan salah satu wadah dan bentuk
keikutsertaan warga negara serta sarana dan prasarana nasional dalam usaha
pertahanan negara. Kegiatan dari pengelolaan komponen cadangan meliputi
pembentukan, penetapan, pembinaan, penggunaan, pengembalian yang
bertujuan untuk memperbesar dan memperkuat kemampuan Tentara
Nasional Indonesia sebagai komponen utama setelah pernyataan mobilisasi
oleh presiden. Mobilisasi sendiri adalah sebuah bentuk tindakan pengerahan
dan penggunaan secara serentak dari Sumber Daya Nasional yang telah
dipersiapkan secara tepat untuk melindungi negara Indonesia dari keadaan
perang atau ancaman militer yang membahayakan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia menyatakan demobilisasi apabila
ancaman militer yang dapat mengancam kedaulatan negara sudah dapat
diatasi. Demobilisasi adalah suatu bentuk upaya penghentian pengerahan
dan penggunaan sumber daya nasional yang ada di seluruh wilayah
Republik Indonesia, tujuannya meliputi memulihkan fungsi dan tugas setiap
unsur kekuataan bangsa yang telah dikerahkan melalui mobilisasi.
Pemulihan ini dilakukan secara bertahap dengan mengutamakan tugas
umum pemerintah dan pemulihan ekonomi rakyat.
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Bapak Ryamizad
menegaskan, dengan bela negara dapat memperkuat pertahanan Indonesia,
yaitu untuk melawan terorisme, aksi radikalisme saparatisme, bencana alam,
wabah penyakit, dan sebagainya, dengan strategi utama perang modern
berbasis brainwash. Maka dari itu, peperangan cuci otak ini harus dilawan
dengan penanaman rela berkorban dan mencintai negara dengan bela negara.
Idiologi dan negara memiliki keterikatan yang tidak dapat dipisahkan.
Ideologi merupakan hasil refleksi manusia. Ideologi mencerminkan cara
berfikir masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga membentuk
masyarakat menuju cita-citanya. Dengan demikian idiologi sangat
menentukan eksistensi suatu bangsa dan negara. Idiologi membimbing
35
bangsa dan negara untuk mencapai tujuannya melalui berbagai realisasi
pembangunan 27
.
Tujuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang
Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara agar setiap
warga negara berhak dan wajib serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta agar sistem pertahanan negara
bersifat semesta yang melibatkan seluruh sumber daya nasional yang
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dapat diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah, berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara,
menjaga keutuhailayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk
ancaman, baik dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri.
III. 5 Konsistensi, koherensi dan korespondensi Materi Undang-Undang
dengan Nilai-Nilai Pancasila
Konsep pertahanan rakyat semesta merupakan bagian dari skenario
besar dalam strategi nasional bidang pertahanan. Pertahanan Negara adalah
segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman serta gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Akselerasi
pertahanan negara tersebut melalui sistem pertahanan yang visioner yang
disiapkan sejak dini dan berkelanjutan. Dalam undang-undang Pengelolaan
Sumber Daya Nasional (UU PSDN), konstruksi mempertahankan Negara
dalam hal ini Indonesia bila melihat secara utuh tidak hanya
mempertahankan unsur kedaulatan, keutuhan dan keselamatan tapi perlu
juga dimasukan usaha mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa
yang telah terbukti oleh zaman mempertahankan Indonesia sebagai negara-
bangsa.
Konstruksi pendayagunaan sumber daya yang Indonesia memiliki
beberapa tujuan. Salah satu tujuan yang menitikberatkan pada transformasi
sumber daya nasional dalam Pancasila juga tidak melupakan peran dan
27 Budiyono, “Memperkokoh Idiologi Negara Pancasila Melalui Bela Negara”, Vol. 5, No. 1 April
2017, hlm. 3.
36
kewajiban negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga
negara dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Peran
negara tersebut tidak boleh dilupakan bukannya mentransformasi. Negara
yang dimaksud disini adalah semua alat negara yang dalam peraturan
mempunyai kewajiban utama sebagai pelindung negara.
Penyiapan secara dini dalam menghadapi ancaman perlu adanya
pengaturan yang jelas agar rasa bersedia melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia dapat dipahami oleh warga negara bukan
sebagai paksaan negara. Bila tidak diinformasikan dengan baik maksud
penyiapan secara dini ini dengan tepat dari ancaman dari luar dan dalam.
Ancaman global yang datang dari luar maupun ancaman dari dalam sendiri,
sekarang memiliki beraneka ragam jenis dan bentuk, khususnya ancaman
ideology yang secara nyata dalam menjalankan ideologi tersebut
bertentangan dengan niali Pancasila sepert kapitalisme, liberalisme,
hedonisme, dan radikalisme.
Dalam BAB III tentang Bela Negara, menjelaskan terkait usaha bela
negara diwujudkan pada setiap aktivitas warga negara, baik fisik maupun
nonfisik, hal ini disesuaikan dengan kapasitas dan kompetensinya, meliputi
idiologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta pertahanan keamanan
dalam masa damai dan masa perang. Dalam pendidikan kewarganegaraan
sudah mencakup pemahaman tentang bela negara. Sedangkan untuk
“pengabdian sesuai profesi” seperti pengabdian setiap warga negara yang
mempunyai profesi tertentu untuk kepentingan pertahanan negara, termasuk
dalam menganggulangi dan memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh
perang, bencana alam, atau bencana lainnya.
Pembinaan dan aplikasi sistem pertahanan negara, bisa dilakukan
melalui berbagai macam jalur yang secara aturan bisa masuk dalam usaha
pertahanan negara, salah satunya melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan inilah dapat dilakukan pembinaan
menanamkan nilai-nilai bela negara, melalui sistem pendidikan nasional,
kelompok masyarakat lainnya diantaranya kader organisasi pemuda dan
kader organisasi mahasiswa, badan lainnya, antara lain adalah yayasan dan
37
koperasi, serta pihak lainnya antara lain adalah pihak swasta, organisasi
kemasyarakatan, koorporasi, dan perkumpulan. Sedangkan untuk kebijakan
pembinaan kesadaran bela negara antara lain adalah rencana induk dan
rencana aksi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pembinaan kesadaran negara
demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
Usaha pertahanan rakyat semesta didukung oleh sebuah kualifikasi
yang cukup tepat dengan adanya sebuah pelatihan untuk mempersiapkan
komponen-komponen yan ada untuk dipersiapkan melalui sebuah latihan.
Pelatihan dasar kemiliteran ini hanya diberlakukan bagi warga negara yang
telah memenuhi syarat sebagai calon komponen cadangan yang
pengelolaannya dilaksanakan oleh Menteri dengan menerapkan sistem tata
kelola pertahanan negara yang demokrasi, berkeadilan, dan menghormati
hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undangan, dengan
tujuan memperkuat kemampuan Tentara Nasional Indonesia sebagai salah
satu komponen penting dalam pertahanan negara.
Komposisi pertahanan negara yang dipersiapkan melalui UU PSDN
ini secara utuh meliputi komponen utama, komponen cadangan dan
komponen pendukung. Komponen utama dan komponen cadangan yaitu
Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama melaksanakan bentuk
pengabdian. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional adalah undang-
undang mengatur mengenai Tentara Nasional Indonesia. Pengabdian oleh
komponen cadangan bertujuan untuk mengahadapi ancaman non militer
serta sebagai bentuk tindakan yang wajib dilakukan oleh pemerintah sebagai
bentuk tanggung jawab untuk melakukan pembinaan warga negara sesuai
dengan profesinya yang dipersiapkan secara resmi untuk kepentingan
pertahanan negara.
Komponen cadangan sebagai salah satu unsur dalam UU PSDN
inidiatur dalam BAB V Pasal 28 ayat (1) menjelaskan tentang isi komponen
cadangan, dan hal tersebut sudah sesuai dengan konsep Pancasila yang
termakstub dalam UUD NRI 1945 pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyebutkan bahwa,
“setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
38
negara”. Dalam nilai-nilai Pancasila terdapat dalam nilai Sila Kedua, yang
dalam tafsir nilainya adalah berkaitan dengan peran dan kewajiban negara
dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia (warga negara
Indonesia). Secara yuridis, UU PSDN disesuaikan dengan aturan lainnya,
namun terdapat beberapa hal yang tidak tersebtuh secara nyata berkaitan
dengan ruang gerak yang diberikan oleh UU PSDN terhadap warga negara
yang turut serta dalam komponen cadangan sangat terbatas, maksudnya
ialah tidak adanya ruang untuk “mengundurkan diri atau menolak” apabila
telah ikut dan ditetapkan sebagai komponen cadangan. Oleh karena itu,
disarankan dalam Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan dari
UU PSDN ini, agar memasukan mekanisme pengunduran diri dari warga
negara yang telah ditetapkan sebagai komponen cadangan.
Komponen cadangan merupakan pengabdian dalam usaha
pertahanan negara yang bersifat sukarela. Dalam arti sukarela yang
didengungkan oleh Pancasila, secara tersirat bahwa kesiapsediaan seorang
warga negara muncul dari jiwa dan pemikiran suatu pembelaan negara
apabila terjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dari luar yang
secara nyata maupun tidak nyata sehingga mengancam kedaulatan Negara
Republik Indonesia. Hal ini berimplikasi terhadap konteks HAM yang
secara universal ada dalam Pancasila sebagai bintang pemandu sebuah
negara. Dalam nilai-nilai Pancasila masuk dalam aturan harus lebih
mengedepankan terkait hak-hak warga negara yang berkaitan dengan HAM
khususnya hak atas warga negara.
Melimpahnya sumber daya yang Indonesia punya, yang kemudian
bertransformasi dalam sebuah pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan
dari sumber-sumber daya tersebut, diharapkan tidak disalahgunakan oleh
kekuasaan dalam pemanfaatan kekuatan pertahanan untuk kepentingan
pribadi atau golongan. Konsep Pancasila dalam hal melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia secara nilai masuk dalam Sila
Ketiga. Bagaimana peraturan ini bisa menjadi dasar patokan atau tolok ukur
untuk melaksanakan adanya kewajiban warga negara untuk menjaga
39
keberlangsungan negara Indonesia yang berujung pada kerelaan berkorban
untuk kepentingan bangsa dan negara.
Komponen cadangan yang disiapkan untuk dikerahkan melalui
mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan
komponen utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
Dalam tataran konsep, komponen cadangan secara utuh merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam sebuah negara dan tugas dari komponen
cadangan ini untuk membantu usaha pertahanan dan keamanan negara.
Secara tersurat, nilai-nilai Pancasila yang secara konseptual merasuk pada
sendi-sendi peraturan perundang-undangan, sehingga pemanfaatan sumber-
sumber pertahanan dalam komponen cadangan pertahanan ini, secara nyata
diharapkan tidak melanggar hal-hal lain yang saling berkaitan khususnya
berkaitan dengan komponen cadangan khususnya yang bersifat private.
Dalam UU PSDN ini terdapat pengelolaan kegiatan atau proses dari
komponen cadangan tersebut. Hal ini juga berkaitan erat dengan UU Nomor
3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang masih aktif dan berjalan
sehingga terdapat dua aturan yang mengatur pada satu objek, sehingga
berpotensi adanya tumpang tindih pada saat pelaksanaan dilapangan,
kemudian pada Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara adanya pembentukan komponen cadangan dan
komponen pendukung, kemudian terkait Bela Negara yang termaktub dalam
Pasal 9 ayat (3) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Terkait
hal tersebut, perlu adanya persamaan konsepsi dalam hal pengaturan
komponen cadangan tersebut.
UU PSDN dalam Pasal 41 huruf g, yang menyatakan bahwa
komponen cadangan wajib memenuhi panggilan mobilisasi. Diksi “wajib”
adalah sebuah perintah. UU PSDN itu sendiri, hanya menjelaskan berkaitan
dengan aturan dan persyaratan menjadi komponen cadangan, namun tidak
menjelaskan terkait apabila warga negara yang sudah masuk komponen
cadangan ingin mengundurkan diri atas dasar alasan logis yang bisa
diterima. Hal ini berkaitan dengan Pasal 77 ayat (1) tentang ketentuan
pidana, yang menyebutkan bahwa apabila setiap komponen cadangan tidak
40
memenuhi panggilan mobilisasi diancam dengan penjara paling lama 4
(empat) tahun. Hal tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap pasal
tersebut, disisi lain sukarela, kemudian menjadi wajib yang berujung pada
pemidanaan apabila tidak mengikuti panggilan komponen cadangan. Nilai-
nilai Pancasila yang seharusnya dikedepankan berkaitan dengan
penghormatan terhadap hak dasar manusia sebagai individu, maupun
sebagai warga masyarakat yang berhak untuk memilih tanpa harus
dikenakan ancaman hukuman. Hal-hal seperti ini seharusnya dihindari
sehingga UU tersebut lebih humanis dan populis.
Komponen Cadangan secara penuh menjadi kewajiban negara untuk
melindunginya. Hal tersebut secara prinisp sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila berkaitan dengan peran dan kewajiban negara dalam memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia. Terdapat hal yang menarik dalam UU PSDN
ini berkaitan dengan hak ketenagakerjaan dari seorang pekerja atau profesi
yang dalam UU PSDN ini dijamin keberlanjutannya apabila terpilih menjadi
bagian dari komponen cadangan. Disisi lain, pekerja tersebut juga harus
tunduk dan patuh terhadap asas hukum lain berupa perjanjian kerja (dasar
hubungan private) terkait hubungan kerja tersebut. Sebagai bentuk
perlindungan terhadap karyawan tersebut atas pekerjaannya harus secara
nyata dijamin dan dikembalikan hak-haknya oleh negara untuk bisa dan
mendapatkan pekerjaannya kelak dikemudian hari pasca demobilisasi.
Dalam pelaksanaan mobilisasi maupun demobilisasi, banyak
komponen yang akan terkena dampaknyanya, salah satunya adalah sumber
daya alam dan sumber daya buatan. Sumber daya tersebut apabila sudah
terverifikasi dan mendapatkan penetapan menjadi salah satu unsur
komponen cadangan, serta merta harus diserahkan pemanfaatan dan
pengelolaannya kepada negara walaupun tidak memutuskan kepemilikannya.
Pengembalian sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan
prasarana nasional kepada masyarakat, negara diposisikan sebagai badan
hukum, mengembalikan kepada subyek hukum (pemilik SDA atau SDB)
lain. Dalam Pasal 72 UU PSDN ini tidak menyebutkan secara eksplisit
41
terkait dengan tunduk dan patuhnya negara (badan hukum) terhadap asas-
asas hukum perdata. Dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan posisi negara
dengan posisi komponen cadangan (sumber daya alam, sumber daya buatan
serta sarana dan prasarana nasional). Seyogyanya harus diberikan kepastian
aturan dan kepastian kedudukan para pihak untuk menggunakan bagian dari
keperdataan tersebut. Persamaan kedudukan didepan hukum merupakan
bagain dari sebuah nilai-nilai Pancasila yang dituangkan dalam UUD NRI
1945.
Secara komprehensif, UU PSDN ini merupakan salah satu wujud
penting dari usaha pertahanan terhadap negara secara utuh dari semua sektor
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam beberapa isi dari materi
peraturan perundang-undangan sudah memenuhi asas pembentukan
peraturan perundang-undangan namu disisi lainnya masih ada beberapa
pasal yang masih bersifat norma kabur (vague norm) dengan masih adanya
multitafsir dalam pelaksanaannya. Bentuk pertahanan negara tersebut
dengan melakukan pemanfaatan semua sumber daya yang digunakan secara
berkelanjutan dalam berbagai bentuk usaha, salah satunya melalaui bela
negara.
Pengawasan usaha Bela Negara, penataan Komponen Pendukung,
dan pembentukan Komponen Cadangan dilaksanakan oleh komisi di Dewan
Perwakilan Rakyat yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang
pertahanan. Pengaturan ini sejalan dengan fungsi pengawasan DPR.
Pengawasan terhadap usaha bela negara, penataan komponen pendukung
dan pembentukan cadanganmenjadi bagian check and balance kekuasaan
dan penting dilakukan agar tidak ada penyalahgunaan terhadap sumber daya
pertahanan negara. Konsistensi, koherensi dan korespondensi materi ini
sejalan dengan nilai sila keempat dimana kita menganut sistem perwakilan,
yaitu ada DPR yang menjadi representasi dari rakyat Indonesia untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan segala aspek pembangunan,
termasuk dalam implementasi undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya nasional dibidang pertahanan negara.
42
Upaya kriminalisasi terlihat dalam Bab IX tentang ketentuan pidana.
Adapun perbuatan yang dikriminalisasi adalah komponen cadangan yang
tidak memenuhi panggilan mobilisasi, pemberi kerja yang memutus
hubungan kerja komponen cadangan yang dalam masa pelatihan/aktif, tidak
menyerahkan yang sudah ditetapkan sebagai komponen cadangan, dan
penyalahgunaan kekuasaan karena tidak mengembalikan sumber daya
pertahanan yang telah digunakan.
Secara teoritik, proses kriminalisasi atau membuat sebuah perbuatan
yang tadinya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana memiliki
persyaratan , seperti apakah sebagai perbuatan yang dibenci masyarakat,
kemudian menimbulkan kerugian materil maupun imateril, bertentangan
dengan tujuan nasional, mempertimbangkan kemampuan penegak hukum
dan lain sebagainya. Persyaratan atau pertimbangan-pertimbangan tersebut
menjadi sangat penting agar tidak semua perbuatan kemudian
dikriminalisasi yang ternyata menyebabkan over criminalitation
sebagaimana selama ini terjadi dalam beberapa undang-undang. Satu yang
perlu dipahami bahwa hukum pidana dengan sanksinya yang berat
dibandingkan dengan sanksi dibidang hukum yang lain, seperti perdata atau
hukum administrasi negara, maka penerapannya harusla selektif dan hati-
hati sesuai dengan kebutuhan. Sifat hukum pidana sebagai ultimum
remidium harus betul-betul menjadi perhatian agar tidak salah dalam
melakukan kriminalisasi. Ditambah lagi beban aparat penegak hukum yang
selama ini sudah berat, jangan ditambah lagi dengan tindak pidana baru
yang ternyata cukup menggunakan instrument hukum dibidang yang lain.
Terkait dengan kriminalisasi dalam UU ini muaranya dimulai dari
apakah pertahanan negara itu menjadi kewajiban pemerintah atau kewajiban
warga negara atau bahkan keduanya. Apabila sepakat bahwa menjadi
kewajiban atau tugas dari pemerintah, maka keterlibatan warga negara
sifatnya menjadi hak, bukan kewajiban. Apabila kita merunut dari naskah
pembukaan UUD 1945 diawal alenia keempat bahwa “membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia”, maka kalimat ini menyiratkan bahwa
43
pertahanan negara termasuk melindungi warga negara adalah kewajiban dari
pemerintah. Selanjutnya merujuk dari Pasal 30 ayat (1) UUD 1945
disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta”,
menurut kami ini pemilihan kata hak kemudian dikumulatifkan dengan kata
wajib tetap ditafsirkan bahwa yang prioritas adalah hak, yang artinya
kewajiban itu menjadi pilihan. Kemudian linier dengan Pasal 30 ayat (2),
bahwa “rakyat sebagai pendukung”. Selanjutnya dari sisi nilai-nilai
Pancasila terutama sila ketiga misalnya, bahwa ada nilai kewajiban warga
negara dan ada juga kewajiban dari negara, posisi tersebut tetap
memprioritaskan peran atau kewajiban dari pemerintah. Dari pembahasan
ini, menurut kami kriminalisasi terhadap perbuatan misalnya tidak
mengikuti mobilisasi adalah kurang tepat karena mendudukan warga negara
sebagai kriminal, sementara meskipun warga negara memiliki kewajiban
tetapi sifatnya tetap sebagai pendukung dan wajib turut serta. Disisi yang
lain dilihat dari prasyarat kriminalisasi terlihat dipaksakan dan tidak
mempertimbangkan beban aparat penegak hukum, tujuan nasional bangsa
yang mendudukan pemerintah sebagai pelindung dan penjaga pertahanan
negara dan lain-lain. Justru dengan melakukan kriminalisasi ini akan
berpotensi menimbulkan masalah baru ditengah pemerintah nantinya fokus
pada mengatasi gangguan-gangguan pertahanan negara.
III. 6 Rekomendasi
Pancasila sebagai sebuah sumber falsafah hidup bangsa, secara utuh
digunakan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan dari ancaman dan
gangguan dari semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal
tersebut, penulis merekomendasikan beberapa hal terkait dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional
Untuk Pertahanan Negara, diantaranya ialah:
a. Secara prinsip pertahanan negara merupakan kewajiban negara
untuk melindungi kepentingan warganegaranya, sehingga konsep
hak dan kewajiban yang didengungkan oleh UU PSDN ini
kiranya diperhatikan konsep atau asas lain yang berkaitan
44
langsung maupun tidak langsung, misalkan berkaitan dengan Hak
Asasi Manusia
b. Kebutuhan atau Urgensi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019
tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan
Negara untuk disahkan secara umum tidak terlalu mendesak,
karena pada dasarnya, UU PSDN ini beririsan dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Secara
tidak langsung, terdapat dua aturan yang mengatur hal yang sama
terkait bela negara dan pertahanan negara, bisa mengakibatkan
benturan pengaturan dalam konteks pertahanan negara tersebut.
c. Kriminalisasi warga negara dengan dikarenakan tidak mengikuti
arahan dari negara, seharusnya tidak perlu terjadi bahkan terkesan
semi otoriter dalam aturan ini, sehingga penulis
merekomendasikan untuk adanya de-kriminalisasi atau
penghapusan tindak pidana terhadap warga negara yang “tidak
ikut” dalam mobilisasi pembelaan negara.
45
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
IV.1 Kesimpulan
Negara hakikatnya sebagai pelindung rakyatnya. Perlindungan
kepada rakyatnya tersebut dicantumkan dalam sebuah konstitusi yang
diderivasikan dalam aturan yang digunakan sebagai landasan hukum dalam
melakukan sebuah kebijakan terkait sebuah pertahanan negara. Undang-
Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU
PSDN) secara formil sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia yang artinya UU PSDN menjadi aturan yang harus
diketahui dan dipahami oleh setiap warga negara Indonesia.
Berdasarkan kajian terhadap UU PSDN tersebut, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Bahwa UU PSDN secara formal sudah terbentuk dan disahkan
namun secara materiil terdapat norma-norma atau asas yang
masih belum diakomodir dalam aturan tersebut sehingga
dikhawatirkan menimbulkan gesekan antar satu undang-undang
dengan undang-undang yang lain.
b. Terdapat tumpang tindihnya antar aturan (UU PSDN dengan UU
Pertahanan Negara) yang mengatur hal yang sama berkaitan
dengan konsep bela negara (komponen cadangan). Konsep hak
asasi manusia (HAM) yang tidak secara utuh diberikan ruang
terbatas kepada warga negara dalam proses pemilihan menjadi
komponen cadangan.
c. Sistem perlindungan dan pertahanan negara merupakan kewajiban
negara terhadap masyarakatnya, sehingga secara prinsip setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta, menurut kami ini
pemilihan kata hak kemudian dikumulatifkan dengan kata wajib
tetap ditafsirkan bahwa yang prioritas adalah hak, yang artinya
kewajiban itu menjadi pilihan. Kemudian linier dengan Pasal 30
ayat (2), bahwa “rakyat sebagai pendukung”. Selanjutnya dari sisi
46
nilai-nilai Pancasila terutama sila ketiga misalnya, bahwa ada
nilai kewajiban warga negara dan ada juga kewajiban dari negara,
posisi tersebut tetap memprioritaskan peran atau kewajiban dari
pemerintah.
IV. 2 Rekomendasi
Pancasila sebagai sebuah sumber dari segala sumber hukum,
sehingga setiap peraturan perundang-undangan harus mencirikan nilai-nilai
luhur Pancasila. UU PSDN tersebut secara kasat mata telrihat utuh, namun
secara materiil terdapat beberapa ruang kecil dalam aturan tersebut. Dalam
hal tersebut, penulis merekomendasikan beberapa hal terkait dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Nasional Untuk Pertahanan Negara, diantaranya ialah:
a. Harmonisasikan isi atau materiil dari UU PSDN dengan konsepsi
aturan hukum yang lain sehingga akan terbentuk isi materiil
aturan yang lebih komprehensif tanpa adanya tumpang tindih
dengan atauran hukum yang lain.
b. Diusulkan untuk segera merevisi dan meninjau ulang terhadap
UU PSDN dengan dasar ketidakcermatan atas konseptual
terhadap asas-asas hukum yang lainnya, sehingga tujuan dari
aturan ini dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan ketenangan
dan keadilan ditengah masyarakat.
c. Untuk memperjelas posisi negara dalam bentuk perlindungan
terhadap warga negaranya sehingga tidak menimbulkan kerugian
dalam masyarakat.
47
Daftar Pustaka
Agus Widjojo, Pemantapan Nilai-Nilai Ideologi Bangsa dalam Rangka Penguatan
Ketahanan Nasional dalam Aras Global, Seminar Nasional Universitas Negeri
Semarang, Prosiding Seminar Nasional, Badan Penerbit Fakultas Hukum Unnes,
Semarang, 2016
Anang Setiyawan, “Pancasila Sebagai Paradigma Pertahanan Modern Indonesia”,
Citizenship Jurnal Pancasila Dan Kewarganegaraan, Vol 7 No 1 Maret 2019
Anthon Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik “Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Any Ismayawati, “Pancasila sebagai Dasar Pembangunan Hukum Di
Indonesia”,Yudisia, Vol. 8 No. 1, Juni 2017
Artikel “Capaian Tiga Tahun Kabinet Kerja Kementerian Pertahanan, Vol. 67/Nomor.
53, Tahun 2019
AS. Muhamaad Hikam, Kewarganegaraan dan Agenda Demokratisasi, dalam Malian S
dan Marzuki. S., Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Azasi Manusia, UII
Press, Yogyakarta, 2002
Badan Pusat Statistik, Statitik Indonesia 2019
Budiyono, “Memperkokoh Idiologi Negara Pancasila Melalui Bela Negara”, Vol. 5,
No. 1 April 2017
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia,
Kumpulan Tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, Media
Pratama,Jakarta,1996
Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid,Ghalia Indonesia,
Jakarta,1982
Kris Wijoyo Soepandji, Muhammad Farid, “Konsep Bela Negara Dalam Perspektif
Ketahanan Nasional”, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 No. 3 , 2018
Kuswan Hadji, “Aktualisasi Nilai Nilai Pancasila Sebagai Norma Dalam Mencegah
Korupsi Di Indonesia”, Vol 2 No 1 Tahun 2018
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Penerbit Rajawali Pers,
Jakarta, 2014
Siswanto, “Transformasi dan Identitas Keindonesiaan”, Jurnal Penelitian Politik,
Volume 14 No. 1 Juni 2017
Sudjito, Hendro Muhaimin, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Upaya
Menangkal Tumbuhnya Radikalisme Di Indonesia”, Waskita: Jurnal Pendidikan
Nilai dan Pembangunan Karakter, Vol 2 No 1 2018
48
Tim ICCE, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE, UIN
Suarif Hidayatullah, Jakarta, 2003
Toni dan Faisal, Pancasila Antara Akumulasi Informasi dan Paradigma Kebangsaan,
Jurnal Progressi, Volume XIII/No.1/Juni 2019.
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undanganYang baik, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
49
LAPORAN MATRIK
KAJIAN DAN EVALUASI
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2019 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA
NASIONAL UNTUK PERTAHANAN NEGARA
TIM PENYUSUN Ketua : Dr. Dwi Haryadi, SH., MH. Anggota : Muhammad Syaiful Anwar, SH., LL.M.
Winanda Kusuma, SH., MH. Rafiqa Sari, SH., MH.
Kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB) Desember 2019
50
NO Materi Undang-Undang Hasil Analisis dan Evaluasi Keterangan
1. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 Mempertahankan Negara dalam hal ini Indonesai bila melihat secara utuh tidak
Pertahanan Negara adalah segala usaha hanya mempertahankan unsur kedaulatan, keutuhan dan keselamatan tapi perlu
untuk mempertahankan kedaulatan juga dimasukan usaha mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang
negara, keutuhan wilayah Negara telah terbukti oleh zaman mempertahankan Indonesia sebagai negara-bangsa
Kesatuan Republik Indonesia,
dankeselamatan segenap bangsa dari
ancaman serta gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara.
2. Bagian kedua Tujuan dari Undang- Tujuan yang menitikberatkan pada tranasformasi sumber daya nasional dalam undang ini
Pasal 3 Pengelolaan Sumber Pancasila juga tidak melupakan peran dan kewajiban negara dalam memberikan
Daya Nasional untuk Pertahanan Negara perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan penghormatan terhadap harkat
bertujuan untuk mentransformasikan dan martabat manusia. Peran negara tersebut tidak boleh dilupakan bukannya
Sumber Daya Manusia, Sumber Daya mentransformasi. Negara yang dimaksud disini adalah semua alat negara yang
Alam, dan Sumber Daya Buatan, serta dalam peraturan mempunyai kewajiban utama sebagai pelindung negara.
Sarana dan Prasarana Nasional menjadi
kekuatan Pertahanan Negarayang siap
digunakan untuk kepentingan Pertahanan
Negara.
51
3. Pasal 4 ayat 1 Pengelolaan Sumber Daya Penyiapan secara dini dalam menghadapi ancaman perlu adanya pengaturan yang
Nasional untuk Pertahanan Negara jelas agar rasa bersedia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
dipersiapkan secara dini untuk Indonesia dapat dipahami oleh warga negara bukan sebagai paksaan negara. Bila
menghadapi Ancaman tidak disampaikan dengan baik maksud penyiapan secara dini ini dengan tepat.
4. Pasal 4 ayat 3 menjabarkan beberapa Ancaman global sekarang beraneka ragam khususnya ancaman ideology yang
amcaman dari yang perlu diantisipasi secara nyata dalam menjalankan ideologi tersebut bertentangan dengan niali
Pancasila sepert kapitalisme, liberalisme, hedonisme, dan radikalisme.
5 BAB III, Bela Negara, Dalam usaha bela negara diwujudkan pada setiap aktivitas warga negara, baik fisik
Bagian Kesatu, Umum, maupun nonfisik, hal ini disesuaikan dengan kapasitas dan kompetensinya,
Pasal 6 ayat 1 sampai dengan ayat 5 meliputi idiologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta pertahanan keamanan
dalam masa damai dan masa perang. Dalam pendidikan kewarganegaraan sudah
mencakup pemahaman tentang bela negara. Sedangkan untuk “pengabdian sesuai
profesi” seperti pengabdian setiap warga negara yang mempunyai profesi tertentu
untuk kepentingan pertahanan negara, termasuk dalam menganggulangi dan
memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam, atau bencana
lainnya.
6 Bagian Kedua, Pendidikan Melalui pendidikan kewarganegaraan inilah dapat dilakukan pembinaan
Kewarganegaraan, Pasal 7, 8, 9, 10, 11, menanamkan nilai-nilai bela ngara, melalui sistem pendidikan nasional, kelompok
52
12 masyarakat lainnya diantaranya kader organisasi pemuda dan kader organisasi
mahasiswa, badan lainnya, antara lain adalah yayasan dan koperasi, serta pihak
lainnya antara lain adalah pihak swasta, organisasi kemasyarakatan, koorporasi,
dan perkumpulan. Sedangkan untuk kebijakan pembinaan kesadaran bela negara
antara lain adalah rencana induk dan rencana aksi. Hal ini dilakukan sebagai
bentuk pembinaan kesadaran negara demi persatuan dan kesatuan Indonesia.
7 Bagian Ketiga Bagian Ketiga, Pelatihan Pelatihan dasar kemiliteran ini hanya diberlakukan bagi warga negara yang telah
Dasar Kemiliteran Secara Wajib, Pasal memenuhi syarat sebagai calon komponen cadangan yang pengelolaannya
13 dilaksanakan oleh Menteri dengan menerapkan sistem tata kelola pertahanan
negara yang demokrasi, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia serta
mentaati peraturan perundang-undangan, dengan tujuan memperkuat kemampuan
Tentara Nasional Indonesia sebagai salah satu komponen penting dalam
pertahanan negara.
8 Bagian Keempat, Pengabdian Sebagai Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional adalah undang-undang mengatur
Prajurit Tentara Nasional Indonesia mengenai Tentara Nasional Indonesia.
Secara Sukarela atau Wajib, Pasal 14
9 Bagian Kelima, Pengabdian Sesuai Pengabdian sesuai profesi ini bertujuan untuk mengahadapi ancaman non militer
Profesi, Pasal 15, dan 16 serta sebagai bentuk tindakan yang wajib dilakukan oleh pemerintah sebagai
bentuk tanggung jawab untuk melakukan pembinaan warga negara sesuai dengan
53
profesinya yang dipersiapkan secara resmi untuk kepentingan pertahanan negara.
10 Pasal 28 tentang Komponen Cadangan Pasal 28 ayat (1) menjelaskan tentang isi komponen cadangan, dan hal tersebut
sudah sesuai dengan konsep Pancasila yang termakstub dalam UUD NRI 1945
pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang menyebutkan bahwa, “setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”.
Dalam nilai-nilai Pancasila terdapat dalam nilai Sila Kedua, yang dalam tafsir
nialinya adalah berakiatn dengan peran dan keajiban negara dalam memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga neagra dan penghormatan terhadap harkat
dan martabat manusia (warga negara Indonesia).
Ruang yang diberikan oleh UU PSDN terhadap warga negara yang turut serta
dalam komponen cadangan sangat terbatas, maksudnya ialah tidak adanya ruang
untuk “mengundurkan diri atau menolak” apabila telah ikut dan ditetapkan sebagai
komponen cadangan. Oleh karena itu, disarankan dalam Peraturan Pemerintah
sebagai petunjuk pelaksanaan dari UU PSDN ini, agar memasukan mekanisme
pengunduran diri dari warga negara yang telah ditetapkan sebagai komponen
cadangan.
54
Pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan bahwa komponen cadangan merupakan
pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela. Dalam arti
sukarela yang didengungkan oleh Pancasila, secara tersirat bahwa kesiapsediaan
seorang warga negara muncul dari jiwa dan pemikiran suatu pembelaan negara
apabila terjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dari luar yang secara
nyata maupun tidak nyata sehingga mengancam kedaulatan Negara Republik
Indonesia. Hal ini berimplikasi terhadap konteks HAM yang secara universal ada
dalam Pancasila sebagai bintang pemandu sebuah negara. Dalam nilai-nilai
Pancasila masuk dalam aturan harus lebih mengedepankan terkait hak-hak warga
negara yang berkaitan dengan HAM khususnya hak atas warga negara.
Pasal 28 ayat (3) menjelaskan terkait pemanfaatan dalam usaha pertahanan negara
yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (Pasal 28 ayat (1) tersebut.
Pemanfaatan dari sumber-sumber ini diharapkan tidak adanya penyalahgunaan
kekuasaan yang berkaitan dengan pemanfaatan kekuatan pertahanan untuk
kepentingan pribadi atau golongan. Konsep Pancasila dalam hal melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia secara nilai masuk dalam Sila
Ketiga. Bagaimana peraturan ini bisa menjadi dasar patokan untuk melaksanakan
adanya kewajiban warga negara untuk menjaga keberlangsungan negara Indonesia
55
yang berujung pada kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
11 Pasal 29 Pasal ini menjelaskan terkait komponen cadangan yang disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan
kemampuan komponen utama dalam menghadpi ancaman militer dan ancaman
hibrida. Secara tersurat, pasal ini berkaitan dengan tujuan dari adanya komponen
cadangan. Nilai-nilai Pancasila yang secara konseptual merasuk pada sendi-sendi
peraturan perundang-undangan, sehingga pemanfaatan sumber-sumber pertahanan
dalam komponen cadangan pertahanan ini, secara nyata tidak melanggar hal-hal
lain yang saling berkaitan khususnya berkaitan dengan komponen cadangan.
12 Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Pasal-pasal ini berkaitan dengan pengelolaan kegiatan atau proses dari komponen
Pasal 31 s.d Pasal 40 cadangan tersebut. Pasal ini juga berkaitan erat dengan UU Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara yang masih aktif dan berjalan sehingga terdapat dua
aturan yang mengatur pada satu objek, sehingga berpotensi adanya tumpang tindih
pada saat pelaksanaan dilapangan, kemudian pada Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adanya pembentukan komponen cadangan
dan komponen pendukung, kemudian terkait Bela Negara yang termaktub dalam
Pasal 9 ayat (3) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
56
13 Pasal Pasal 41 huruf g tentang Kewajiban UU PSDN Pasal 41 huruf g, yang menyatakan bahwa komponen cadangan wajib
dan Hak memenuhi panggilan mobilisasi. Diksi “wajib” adalah sebuah perintah. UU PSDN
itu sendiri, hanya menjelaskan berkaitan dengan aturan dan persyaratan menjadi
komponen cadangan, namun tidak menjelaskan tekait apabila warga negara yang
sudah masuk komponen cadangan ingin mengundurkan diri atas dasar alasan logis
yang bisa diterima. Hal ini berkaitan dengan Pasal 77 ayat (1) tentang ketentuan
pidana, yang menyebutkan bahwa apabila setiap komponen cadangan tidak
memenuhi panggilan mobilisasi diancam dengan penjara paling lama 4 (empat)
tahun.
hal tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap pasal tersebut, disisi lain sukarela,
kemudian menjadi wajib yang berujung pada pemidanaan apabila tidak mengikuti
panggilan komponen cadangan. Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya
dikedepankan berkaitan dengan penghormatan terhadap hak dasar manusia sebagai
individu, maupun sebgai warga masyarakat yang berhak untuk memilih tanpa
harus dikenakan ancaman hukuman. Hal-hl seperti ini seharusnya dihindari
sehingga UU tersebut lebih humanis dan populis.
14 Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Komponen Cadangan yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a mendapatkan
hak sebagaimana yang disebutkan di pasal 42 ini, hal ini secara penuh menjadi
57
tanggungan negara. Hal tersebut secara prinisp sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
berkaitan dengan peran dan kewajiban negara dalam memberikan perlindungan
terhadap hak-hak warga negara dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
manusia. Secar tidak langsung berkaitan dengan adagium “memanusiakan
manusia”.
15 Pasal 43 Merupakan pembagian jenis masa pengabdian, yaitu masa aktif dan masa tidak
aktif bagi komponen cadangan.
16 Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 44 ayat (1) merupakan masa pengabdian aktif pada saat komponen cadangan
mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau pada saat mobilisasi
Pasal 44 ayat (2) merupakan masas tidak aktif dimana komponen cadangan
kembali kepada rutinitas atau pekerjaan semula
17 Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 45 ayat (1) menyebutkan tetap memperoleh hak ketenagakerjaannya dan
tidak menyebabkan putusnya hubungan kerja dengan instansi atau perusahaan
tempatnya bekerja. Hal ini secara prinsip akan bersinggungan dengan UU Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berhubungan dengan warga negara
yang bekerja bidang tertentu dalam sektor swasta yang tunduk dan patuh terhadap
Peraturan Perusahaan yang kemudian ikut dalam usaha bela negara, bentuk
perlindungan terhadap karyawan tersebut atas pekerjaannya harus secara nyata
dijamin dan dikembalikan hak-haknya oleh negara untuk bisa dan
58
mendapatkan pekerjaannya kelak dikemudian hari pasca demobilisasi.
Pasal 45 ayat (2) warga negara yang berstatus mahasiswa selama menjalanimasa
aktif akan tetap memperoleh hak akademisnya dan tidak menyebabkan kehilangan
status sebagai peserta didik. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang menjelaskan
bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa meurpkan hak wajib warga negara namun
tidak dipungkiri harus melalui surat izin tertulis apabila mahasiswa tersebut masuk
terseleksi dalam komponen cadangan tersebut.
18 Pasal 46 Pelaksanaan pelatihan (masa aktif), menggunakan hukum militer
19 Pasal 47 Batas akhir pengabdian oleh komponen cadangan pada usia 48 tahun. Hal ini
sudah mencukupi umur yang beranjak senja sehingga perlu diistirahatkan.
20 Pasal 48 Masa pengabdian komponen cadangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
21 Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) tentang Dalam pasal ini mengatur mekanisme terkait dengan pemberhentian secara hormat
Pemberhentian dan pemberhentian komponen cadangan secara tidak hormat. Dalam
pemberhentian tersebut sudah jelas terkait unsur-unsur pemberhentiannya.
22 Pasal 50 Ketentuan pemberhentian komponen cadangan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
23 Pasal 51 Penetapan Sumber Daya alam, Penetapan Sumber Daya alam, Sumber Daya Buatan serta sarana dan prasarana
Sumber Daya Buatan serta sarana dan nasional ini melalui tahapan verifikasi dan klasifikasi yang berkaitan langsung
59
prasarana nasional dengan sistem tata kelola pertahanan yang mendukung komponen utama maupun
Pasal 51 sd Pasal 54 komponen cadangan. Penetapan SDA, SDB dan Sapras Nasional ini ditentukan
oleh menteri dengan berkoordinasi dengan menteri yang terkait.
24 Pasal 55 Penetapan komponen cadangan tidak menghilangkan kepemilikan dan
pengelolaan, namun disisi lain, tidak diatur mengenai pemilik yang “menolak” atas
SDA dan SDB nya ditetapkan menjadi komponen cadangan oleh negara.
Seyogyanya untuk pengaturan teknisnya, dimasukan juga ketentuan mengenai
“hak menolak” terhadap pemanfaatan SDA dan SDB atas penetapan komponen
cadangan tersebut.
Pasal 56 Ketentuan mengenai penetapan SDA, SDB dan Sapras Nasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah
25 Pasal 57 tentang Warga Negara Tujuan dari pembinaan komponen cadangan tersebut adalah untuk meningkatkan
Pasal 57 ayat (1), (2), dan ayat (3) kualitas, nilai guna, dan daya guna untuk kepentingan pertahanan negara. Hal ini
Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) secara prinsip sesuai dengan nilai-nilai Pancasila berkaitan dengan usaha untuk
persatuan dan kesatuan negara mendasarkan pada warga negaranya sendiri.
26 Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Sumber Sumber daya Alam, Sumber Daya Buatan serta Sarana dan Prasarana Nasional
daya Alam, Sumber Daya Buatan serta dikelola, dipelihara dan dirawat dibawah supervisi dibawah kementerian atau
Sarana dan Prasarana Nasional lembaga terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
27 Pasal 60 Ketentuan mengenai pembinaan komponen cadangan diatur dalam Peraturan
60
Pemerintah.
28 Penggunaan dan Pengembalian Penggunaan dan Pengembalian komponen cadangan difungsikan untuk
Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) memperbesar dan memperkuat komponen utama pasca penyataan mobilisasi
Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau demobilisasi oleh Presiden. penggunaan komponen cadangan nini
dibawah komando Panglima TNI. Secara urutan kewenangan, sudah jelas dan
terukur dalam pelaksanaannya, terkait mobilisasi dan atau demobilisasi oleh
Kepala Negara dan pelaksanaannya oleh Panglima TNI.
29 Pasal 63 tentang Mobilisasi Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) tentang mobilisasi dalam keadaan darurat militer
atau keadaan perang dengan persetujuan DPR RI. Hal ini merupakan hal yang
sudah tepat dalam persetujuan mobilisasi agar tidak timbul korban pada
masyarakat secara meluas.
30 Pasal 64 Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) menerangkan terkait mobilisasi terhadap komponen
cadangan dan komponen pendukung dinaikan statusnya menjadi komponen
cadangan.
31 Pasal 65 Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) terkait dengan mobilisasi yang dikoordinasikan oleh
kementerian atau lembaga sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Komponen pendukung bersifat non kombatan.
32 Pasal 66 Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) berkaitan dengan Komponen cadangan yang berasal
dari unsur warga negara wajib memenuhi panggilan mobilisasi, dan setiap pemilik
61
dan/atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan
prasarana nasional yang ditetapkan setatusnya menjadi komponen cadangan wajib
menyerahkan pemanfaatannya untuk kepentingan mobilisasi.
33 Pasal 67 Pasal 67 (1), (2), (3), dan (4) terkait dengan komponen cadangan yang
diperlakukan dan diberikan hak sesuai dengan ketentan yang berlaku dan tidak
memutuskan hubungan kepemilikannya.
34 Pasal 68 Terkait mobilisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
35 Pasal 69 tentang Demobilisasi Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) terkait pemulihan Demobilisasi yang dinyatakan
oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Hal ini sudah sesuai dgn fungsi kekuassan
legislatif dan eksekuitf untuk saling bekerjasama dalam hal genting tentang
mobilisasi.
36 Pasal 70 Demobilisasi dilakukan secara bertahap guna memulihkan fungsi dan tugas umum
pemerintahan dan kehidupan sosial ekonmi masyarakat pasca mobilisasi oleh
negara.
37 Pasal 71 71 ayat (1) dan ayat (2) terkait dengan konsep rehabilitasi atas Sumber Daya
Alam yang dimiliki oleh warga negara. Dalam rehabilitasi terhadap SDA tersebut,
belum dijelaskan secara rinci terkait indikator rehabilitasi SDA tersebut.
Seyogyanya diberikan indikator tingkat rehabilitasi yang diberikan negara atas
penggunaan SDA oleh negara terhadap SDA alam milik warga negara (swasta
62
maupun perseorangan).
38 Pasal 72 ayat (1), (2) dan (3) tentang Pengembalian sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana
Demobilisasi nasional kepada masyarakat, negara diposisikan sebagai badan hukum,
mengembalikan kepada subyek hukum (pemilik SDA atau SDB) lain. Dalam pasal
ini tidak menyebutkan secara eksplisit terkait dengan tunduk dan patuhnya negara
(badan hukum) terhadap asas-asas hukum perdata. Dalam pasal tersebut, tidak
dijelaskan posisi negara dengan posisi komponen cadangan (sumber daya alam,
sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional). Seyogyanya harus
diberikan kepastian aturan dan kepastian kedudukan para pihak untuk
menggunakan bagian dari keperdataan tersebut. Persamaam kedudukan didepan
hukum merupakan bagain dari sebuah nilai-nilai Pancasila yang dituangkan dalam
UUD NRI 1945.
39 Pasal 73 Komponen cadangan yang dimobilisasi dan pengelola mendapatkan tanda
kehormatan oleh negara. Hal ini terkait dengan penghormatan atas rela
berkobannya para komponen cadangan yang secara sukarela menyerahkan
pemanfaatan atas sumber daya alam maupun sumber daya buatan demi
kepentingan negara.
40 Pasal 74 Ketentuan demobiliasi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Diharapkan
63
peraturan pemerintah sebagai petunjuk teknis akan lebih mengedepankan kajian
mengenai nilai-nilai Pancasila sebagai landasan pelaksanaan UU PSDN ini
sehingga tujuan dari negara tercapai.
41 Pasal 76 Perihal pengawasan usaha bela negara, penataan komponen pendukung dan
pembentukan komponen cadangan dilakukan oleh komisi di DPR yang
membidangi. Ketentuan ini sudah sejalan dengan prinsip check and balance
kekuasaan agar tidak ada penyalahgunaan terhadap sumber daya pertahanan
negara. Kemudian fungsi pengawasan memang menjadi bagian dari tugas DPR.
Hal ini juga sudah sesuai dengan nilai sila keempat dimana kita menganut sistem
perwakilan, dan DPR sebagai representasi dari masyarakat memiliki kewajiban
untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif termasuk implementasi
undang-undang ini.
42 Pasal 77 Kriminalisasi terhadap setiap komponen cadangan atau setiap orang yang tidak
memenuhi panggilan mobilisasi dengan ancaman pidana tunggal berupa pidana
penjara maksimal 4 tahun pada dasarnya penting ditinjau ulang mengingat tujuan
nasional dalam pembukaan UUD 1945, kemudian nilai-nilai Pancasila sila ke tiga
dan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) meskipun mendudukan kewajiban warga negara
dalam pertahanan negara, namun tetap posisi utama ada pada kewajiban
pemerintah melalui perangkatnya berupa TNI dan Polri. Kemudian jika melihat
64
syarat-syarat kriminalisasi tentunya ketentuan ini belum sepenuhnya memenuhi
persyaratan tersebut.
43 Pasal 78 Kriminalisasi terhadap pemberi kerja/pengusaha/lembaga pendidikan yang
memutuskan hubungan kerja dengan calon komponen cadangan juga dirasa kurang
tepat mengingat ini adalah ranahnya hukum perdata, serta mempertimbangkan
syarat-syarat kriminalisasi. Pasal ini pada dasarnya tujuannya untuk melindungi
kepentingan negara dalam konteks pertahanan negara, namun tentunya
kepentingan dunia kerja juga bagian yang harus dilindungi oleh negara. Namun
dari semua ini, pada dasarnya ketentuan ini adalah kelanjutan dari pasal
sebelumnya yang mengkriminalisasi setiap orang yang tidak mau dimobilisasi.
44 Pasal 79 Kriminalisasi terhadap perbuatan tidak menyerahkan pemanfaatan sumber daya
yang dimiliki juga perlu ditinjau ulang untuk dapat digunakan sarana sanksi
hukum yang lain karena ini terkait dengan hak milik dan hukum privat atau
mungkin ke sanksi administrasi dibandingkan dengan sanksi pidana yang
diancaman dengan pidana tunggal penjara maksimal 4 tahun.
45 Pasal 80, 81, 82, dan 83 Kriminalisasi terhadap perbuatan penyalahgunaan kekuasaan dengan tidak
menyerahkan kembali sumber daya, perbuatan menganjurkan orang tidak
menyerahkan, atau perbuatan diatas karena kealpaan, juga membutuhkan
peninjauan ulang mengenai subjek tindak pidananya, dan kembali pada posisi
65
warga negara sebagai perangkat pendukung. Pada dasarnya kriminalisasi pada
pasal 80 sampai 83 merupakan tindak lanjut dari kriminalisasi sebelumnya.
46 Pasal 84 dan 85 Dalam ketentuan penutup ini sepertinya ada inkonsistensi dimana Pasal 84
mengatur bahwa masih berlaku sepanjang tidak bertentangan, namun di Pasal 85
terhadap undang-undang yang sama dicabut dan tidak berlaku
top related