kajian linguistik forensik terhadap gugatan undang …
Post on 02-Oct-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK TERHADAP GUGATAN UNDANG-UNDANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DISERTASI
Oleh
ERNAWATI BR SURBAKTI
NIM: 158107002 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK TERHADAP GUGATAN UNDANG-UNDANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum. untuk dipertahankan di hadapan
sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
Oleh ERNAWATI BR SURBAKTI
NIM: 158107002 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka Tanggal: 17 Januari 2019
PANITIA PENGUJI DISERTASI Pemimpin Sidang:
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. (Rektor USU)
Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. (USU Medan)
Anggota : Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP (USU Medan)
Dr. Suriyadi, M.Hum. (Polmed Medan)
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (USU Medan)
Dr. Mulyadi, M.Hum. (USU Medan)
Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. (USU Medan)
Dr. Sawirman, M.Hum. (UNAND Padang)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
ABSTRAK
KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK TERHADAP GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Penelitian ini menganalisis pola bahasa dan aspek linguistik forensik
dalam gugatan UU ITE perspektif apraisal, makna semiotik forensik, dan mendeskripsikan faktor penyebab pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE. Metode penelitian yang digunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan dan analisis data model interaktif.
Pola bahasa teks UU ITE Sikap ^ Pemosisian ^ Graduasi, sidang pengadilan Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian, dan teks putusan dengan pola Pemosisian ^ Graduasi ^ Sikap. Aspek linguistik forensik terkait dengan rekaman percakapan terdapat bukti linguistik yang menyatakan percakapan tersebut berisi permufakatan. Dari hubungan ontologis dan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44 huruf b, alat bukti tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Makna semiotik forensik pasal 5 dan pasal 44 huruf b merujuk kepada alat bukti dan perluasan alat bukti.
Faktor penyebab pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam UU ITE (1) sikap sebagai payung hukum bagi masyarakat, materi muatan UU ITE, dan bentuk-bentuk pelanggaran yang terdapat dalam regulasi pemanfaatan teknologi informasi (2) modalitas merupakan sikap penulis terhadap sesuatu yang dijelaskan mengenai materi muatan dan bentuk-bentuk pelanggaran hukum dan menunjukkan pendirian, menjelaskan nilai, dan norma aturan hukum yang berlaku di Indonesia (3) waktu digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana.
Faktor penyebab sidang pengadilan karena (1) graduasi digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana dan rujukan terhadap undang-undang (2) sikap sebagai penilaian keadaan emosi pemohon yang merasa terancam (3) apresiasi merupakan sarana untuk menjadikan fakta yang membisu menjadi berbicara kepada hakim di sidang pengadilan melalui argumentasi yang disampaikan pemohon, ahli, dan saksi (4) afek sarana pemohon menyampaikan dasar hukum dan meminta perlindungan dari ketidakamanan dan ketidaksenangan dari masalah yang sedang terjadi (5) penyangkalan menggambarkan penutur di sidang pengadilan memposiskan dirinya sebagai posisi berlawanan atau penolakan terhadap beberapa pasal.
Faktor penyebab pola bahasa dalam putusan (1) pemosisian, karena majelis hakim MK memposisikan, menyesuaikan, dan menegosiasikan kekuatan proposisi dan pernyataan masing-masing dalam memutuskan gugatan sebagai lembaga konstitusi yang menjalankan fungsinya untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis (2) waktu menguraikan ketentuan pidana dan pengukuran (3) teks berisi usul, permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal. Faktor makna semiotik forensik karena bentuk fisik rekaman suara percakapan pemohon dihasilkan atau diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kata kunci: apraisal, linguistik forensik, semiotik, UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
ABSTRACT
THE STUDY OF FORENSIC LINGUISTICS ON THE LAWSUIT
OF THE INFORMATION AND ELECTRONIC TRANSACTIONS LAW
This study analyzed the language patterns and forensic linguistic aspects in the lawsuit of ITE Law on an appraisal perspective, the meanings of forensic semiotics, and to describes the causing factors of the language patterns and the meaning of forensic semiotics on the lawsuit of the ITE Law. The research used qualitative method with interactive model of data analyze and collecting techniques.
Language pattern of the text of the ITE Law Attitude ^ Engagement ^ Graduation, in the court Graduation ^ Attitude ^ Engagement and the decision texts with patterns Engagement ^ Graduation ^ Attitude. The aspects of forensic linguistics related to conversation recordings have linguistic evidences that state the conversation contains consensus. From the ontological and epistemic relationships of language patterns and forensic linguistics aspects in article 5 section (1), (2), and article 44 letter b, the evidence is invalid because it is not applicable with the procedure of law in Indonesia. The meaning of forensic semiotics in article 5 and article 44 letter b refers to evidence and the expansion of evidence.
Factors that cause language patterns and forensic semiotic meanings in ITE Law are (1) attitude as a legal protection for society, material content of the ITE Law, and forms of violations contained in the regulation of information technology utilization (2) modality is the author's attitude towards something explained content material and forms of violation of law and showing establishment, explaining the value, and norms of the applicable law in Indonesia (3) time is used as a measure of criminal provisions.
Factors that cause the court because of (1) graduation is used as a measure of criminal provisions and references to laws (2) attitude as an assessment of the emotional state of the applicant who feels threatened (3) appreciation is a means to make silent facts to be able to speak to the judge in court through arguments submitted by the applicant, expert, and witness (4) affect as means of the applicant to convey the cause of action and to request protection from insecurity and displeasure of the problem (5) denial is to describe speakers in the court that position as opposing positions or against several articles.
Factors that cause language patterns in text decisions are (1) engagement, because the Constitutional Court judges position, adjust, and negotiate the power of propositions and their respective statements in deciding a claim as a constitutional institution that carries out its functions to realize a democratic legal state (2) time outlining criminal provisions and measurement (3) text containing suggestions, requests, objections, protests against several articles. The meaning factors of forensic semiotic because of the physical form of voice recordings of the applicant's conversation had been produced or obtained from the illegal tapping process or not with the applicable legal procedures in Indonesia. Keywords: appraisal, forensic linguistics, semiotics, ITE Law.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan
disertasi dengan judul “Kajian Linguistik Forensik terhadap Gugatan Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik” sebagai syarat dalam menyelesaikan
studi S3 di Program Doktor Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
Banyak dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan selama pendidikan
dan penelitian disertasi ini berlangsung, sehingga hambatan yang ada dapat dilalui
dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan
hati, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang terkait.
Pertama, penulis berterima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera
Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum. yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor
Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Budi
Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera
Utara. Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., sebagai Ketua Program Studi
Linguistik dan Bapak Dr. Mulyadi, M. Hum. sebagai Sekretaris Program Studi S3
Linguistik yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan dukungan
yang luar biasa kepada penulis agar disertasi ini segera diselesaikan.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Bapak Dr. Eddy Setia,
M.Ed. TESP dan Bapak Dr. Suriyadi, M. Hum. sebagai promotor dan ko-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
promotor yang senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya yang sangat berharga
untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi dalam
menyelesaikan disertasi ini. Semoga jasa ibu dan bapak dibalas oleh Allah SWT
sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah pupus.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat disampaikan kepada Bapak Prof.
Dr. Robert Sibarani, M.S., Bapak Dr. Mulyadi, M. Hum., Ibu Dr. T. Thyrhaya
Zein, M.A. dan Bapak Dr. Sawirman, M. Hum., sebagai dewan penguji yang telah
banyak memberikan sumbangan pemikiran, saran, dan arahan sehingga telah
menginspirasi dan menambah wawasan saya untuk menyempurnakan disertasi ini.
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Bapak Sekretaris Jenderal,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah memberi kesempatan
kepada penulis dalam pengumpulan data gugatan UU ITE. Terima kasih kepada
bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H. M.Si. DFM., sebagai salah satu hakim MKRI,
Bapak Dr. Wiryanto, S.H., M. Hum., sebagai Plt. Kepala Pusat P4TIK dan Bapak
Dr. Fajar yang telah membantu penulis melakukan pengumpulan data untuk
penyusunan disertasi ini.
Terima kasih kepada dosen pengajar di Program Studi S3 Linguistik,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Amrin Saragih,
Ph.D., Bapak Prof. Dr. Syahron Lubis, M.A., Bapak Rustam Effendi, M.A.,
Ph.D., Bapak Prof. Dr. Bahren Umar Siregar, Bapak Prof. Dr. Aron Meko Mbete,
Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum., Ibu Dr. Nurlela, M. Hum., Bapak Dr. Muhizar
Muchtar, Dr. Gustianingsih, M. Hum. serta dosen pengajar lainnya yang
memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, serta membuka wawasan dan
cakrawala berpikir ilmiah. Terima kasih Bapak Susanto, Ph.D. yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
memperkenalkan kajian linguistik forensik sehingga memberikan motivasi dan
stimulus untuk mengambil kajian linguistik forensik sebagai objek penulisan
disertasi.
Penulis berterima kasih kepada Bapak Direktur Politeknik Negeri
Lhokseumawe, Bapak Wadir I, Bapak Wadir II, Bapak Wadir III, Bapak Wadir
IV, dan Bapak Ketua Jurusan Teknik Sipil PNL yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Studi
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih yang tidak
terhingga penulis persembahkan kepada ketiga orangtua tercinta Alm. Bapak K.
Surbakti, Almh. Mamak B. Br. Sembiring dan Bunda Dra. Rohana BY, S.H. yang
telah membesarkan, mendidik, dan mendoakan dengan segala kasih sayangnya
bersama kedelapan orang saudaraku Ngarihken Surbakti, Ngaturi Surbakti,
Ngakurken Surbakti, Rosmena Surbakti, Baik Surbakti, Sedia Surbakti, Nuraini
Surbakti, dan Majuh Surbakti. Penyemangat kakak ipar Fitriani dan ponakan
tersayang Serlina Tarigan, S.Pd., Surabina Tarigan, Sri Indahna Tarigan, Aditya
Surbakti, dan Armansyah Surbakti terima kasih untuk semua cinta dan kasih
sayang.
Terima kasih sahabat terbaik Lia Khalisa, M. Si, Iting Rasmita Dewi
Ginting, S.Pd., dan Mastopan, S.Pt., terima kasih untuk semua waktu, bantuan,
semangat, dan motivasinya selama ini. Teman-teman angkatan 2015, 2014, dan
administrasi Prodi Linguistik Kakak Nila Sakura, Kakak Karyani, dan Adinda
Tirta Arizka Nasution terima kasih telah banyak membantu dan melancarkan
administrasi penulis selama mengikuti studi di Prodi Lingustik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
Akhir kata penulis berharap semoga semua kebaikan yang diberikan
kepada penulis oleh berbagai pihak, mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin.
Medan, 17 Januari 2019 Penulis,
Ernawati Br Surbakti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ernawati Br Surbakti Tempat/Tanggal Lahir : Langkat, 06 Januari 1980 NIP : 198001062006042001 Agama : Islam Jabatan Fungsional : Lektor Perguruan Tinggi : Politeknik Negeri Lhokseumawe Alamat Kantor : Jalan Banda Aceh-Medan Km. 280,3
Buketrata, Mesjid Punteut, Blang Mangat Kota Lhokseumawe, Aceh 24301.
Telepon Kantor : (0645) 42670 Alamat Rumah : Jalan Sei. Bangkatan/Gg. Patok No. 196
Kelurahan Tanah Seribu, Kecamatan Binjai Selatan,
Sumatera Utara 20726 Alamat email : ernawati@pnl.ac.id
Pendidikan:
Tahun Pendidikan
1986 s.d.1992 : SD Negeri No. 057198, Kab. Langkat. 1992 s.d. 1995 : SMP Swasta Nasional, Kab. Langkat. 1995 s.d.1998 : SMU Negeri 2 Binjai 1998 s.d.2002 : S1 Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan 2011 s.d. 2013 : S2 Linguistik, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara 2015 s.d. 2019 : S3 Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
Seminar:
Tahun Makalah
2018 2017 2016 2015
: : :
:
Engagement and Graduation in Text of the Law on Electronic Information and Transaction Visual Metafuction of Multimodal Text Nabelken Gelar of Karonese Culture Ekoleksikal dalam Tradisi Rembah ku Lau Budaya Karo Sebagai Salah Satu Pemeliharaan Ekosistem Tindak Tutur Permintaan Maaf dalam Bahasa Karo
Karya Ilmiah:
Jurnal
Tahun Jurnal
2018 2014 2014 2014
:
:
:
:
The Appraisal Attitude in Decision Text No. 20/PUU-XIV/2016 on Information and Electronic Transactions Laws: Study of Forensic Linguistics
Nilai Budaya dalam Leksikon Erpangir ku Lau Tradisi Suku Karo: Kajian Antropolinguistik
Kekerabatan Bahasa Karo, Minang, dan Melayu: Kajian Linguistik Historis Komparatif
Genre dan Metafungsi Bahasa pada Khutbah Idul Adha Oleh Dr. Tgk. H. Rusli Hasbi, Lc. MA di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK………………………………………………………………... ABSTRACT……………………………………………………………….. UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………….. DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………... DAFTAR ISI……………………………………………............................ DAFTAR TABEL………………………………………………...……… DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN……………………………. DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………... BAB I PENDAHULUAN………………………………............................ 1.1 Latar Belakang…………………………………………...................... 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 1.3 Batasan Masalah.………………………………………...................... 1.4 Tujuan Penelitian………………………………….............................. 1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………………… 1.5.1 Manfaat Teoretis……………………………………………….. 1.5.2 Manfaat Praktis………………………………………………… BAB II KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, DAN LANDASAN
TEORI.......................................……………………...................... 2.1 Konsep……...…………………………………………………............. 2.2 Kajian Pustaka......................................................................................... 2.3 Landasan Teori........................................................................................ 2.3.1 Linguistik Forensik…………………...…………………………. 2.3.2 Linguistik Sistemik Fungsional…………………………………. 2.3.3 Apraisal.……..…………………………………………………... 2.3.3.1 Sikap.…………….………................................................. 2.3.3.2 Pemosisian………………………………………………. 2.3.3.3 Graduasi…………………………………………………. 2.3.3 Semiotik ……...................................................................................... BAB III METODE PENELITIAN…….………………………………... 3.1 Pendekatan Penelitian……………...…….............................................. 3.2 Lokasi Penelitian………………………………………………………. 3.3 Data dan Sumber Data……………………………………………….... 3.4 Metode Penelitian………...…………………………………………… 3.4.1 Pengumpulan Data………………………………………………. 3.4.2 Analisis Data…….………………………………………………. 3.4.3 Penyajian Hasil Analisis Data…………………………………… 3.5 Pengecekan Keabsahan Penelitian…………...………………………... BAB IV PAPARAN DATA………………………………….................... 4.1 Pengantar................................................................................................. 4.2 Paparan Data...........................................................................................
i ii
iii
1 1 7 7 7 8 8 8
10 10 13 24 24 32 37 40 53 56 59
64 64 67 67 71 71 74 78 80
84 84 84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
4.2.1 Data Pola Bahasa dan Aspek Linguistik Forensik dalam Gugatan UU ITE…………………………………………………………..
4.2.1.1 Data Teks UU ITE……………………………………… 4.2.1.2 Data Sidang Pengadilan………………………………… 4.2.1.3 Data Putusan No. 20/PUU-XIV/2016…………………... 4.2.2 Data Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan UU ITE……….. BAB V POLA BAHASA DAN ASPEK LINGUISTIK FORENSIK
DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
5.1 Pengantar................................................................................................. 5.2 Pola Bahasa dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik………………………………...……………………………. 5.2.1 Pola Bahasa dalam Teks UU ITE……………………………….. 5.2.1.1 Sikap dalam Teks UU ITE…………………………......... 5.2.1.2 Pemosisian dalam Teks UU ITE………………………… 5.2.1.3 Graduasi dalam Teks UU ITE………………………….... 5.2.2 Pola Bahasa dalam Proses Sidang Pengadilan Perkara
No.20/PUU-XIV/2016…………………………………………... 5.2.2.1 Pola Bahasa dalam Sidang Panel Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP I).…………………………… 5.2.2.2 Pola Bahasa dalam Sidang Panel Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP II).………………………….. 5.2.2.3 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP III).…………………………. 5.2.2.4 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP IV).………………………… 5.2.2.5 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP V).………………………….. 5.2.2.6 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP VI).………………………… 5.2.2.7 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP VII).………………………... 5.2.2.8 Pola Bahasa dalam Sidang Pleno Perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP VIII).……………………….. 5.2.3 Pola Bahasa dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016………. 5.2.3.1 Pola Sikap Bahasa dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016…………………………………... 5.2.3.2 Pola Pemosisian Bahasa dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016…………………………………... 5.2.3.3 Pola Graduasi Bahasa dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016………………………………….. 5.3 Aspek Linguistik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik……………………………………………… 5.4 Hubungan Ontologis dan Epistemik Pola Bahasa dan Aspek
Linguistik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik…………………………………………………...
84 84 88
111 115
118 118
118 123 124 137 140
143
148
162
169
179
186
195
202
209 218
219
227
229
233
239
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
BAB VI MAKNA SEMIOTIK FORENSIK DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK...........................................................................
6.1 Pengantar................................................................................................. 6.2 Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik………………………….…………………. 6.2.1 Identifikasi dan Interpretasi Makna Forensik pada Pasal 5 Ayat
(1), (2), dan Pasal 44 Huruf (b)………………………………….. 6.2.2 Deskripsi dalam Sidang Pegadilan………………………………. 6.2.3 Deskripsi dalam Rekaman Percakapan “Papa Minta Saham”…... 6.3 Hubungan Ontologis dan Epistemik Semiotik Forensik dalam
Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektroik………… BAB VII FAKTOR PENYEBAB POLA BAHASA DAN MAKNA
SEMIOTIK FORENSIK DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK .........................................................................
7.1 Pengantar................................................................................................. 7.2 Faktor Penyebab Pola Bahasa dalam Teks UU ITE, Sidang
Pengadilan, Putusan No.20/PUU-XIV/2016........................................... 7.2.1 Faktor Penyebab Pola Bahasa dalam Teks UU ITE...................... 7.2.2 Faktor Penyebab Pola Bahasa dalam Proses Sidang Pengadilan... 7.2.3 Faktor Penyebab Pola Bahasa dalam Putusan No.20/PUU-XIV/2016…………………………………………... 7.3 Perbandingan Bahasa dalam Teks UU ITE, Proses Sidang
Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………………… 7.3.1 Perbandingan Sikap dalam Teks UU ITE, Proses Sidang
Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………….. 7.3.2 Perbandingan Pemosisian dalam Teks UU ITE, Proses Sidang
Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………….. 7.3.3 Perbandingan Graduasi dalam Teks UU ITE, Proses Sidang
Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………….. 7.3.4 Perbandingan Polaritas Sikap Polaritas Sikap Teks UU ITE dan
Putusan No.20/PUU-XIV/2016…………………………………. 7.3.5 Perbandingan Polaritas Sikap Proses Sidang Pengadilan………. 7.3.6 Perbandingan Putusan No.20/PUU-XIV/2016 dan Pembacaan
Putusan pada SP VIII……………………………………………. 7.4 Faktor Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan UU ITE …………... BAB VIII TEMUAN PENELITIAN……………………………………. 8.1 Pengantar…………..………………………………………………….. 8.2 Temuan Penelitian….………………………………………………..... 8.2.1 Temuan Teoretis………………………………………………… 8.2.1.1 Pola Bahasa Teks UU ITE……………………………… 8.2.1.2 Pola Bahasa Proses Sidang Pengadilan…………………. 8.2.1.3 Pola Bahasa Putusan Perkara No.20/PUU-XIV/2016....... 8.2.1.4 Aspek Linguistik Forensik dalam Gugatan UU ITE……. 8.2.1.5 Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan UU ITE……..
243 243
243
243 253 258
259
263 263
264 264 266
269
271
271
272
273
274 276
279 280
282 282 282 282 283 284 285 287 288
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
8.2.1.6 Faktor Penyebab Pola Bahasa dan Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan UU ITE………………………
8.2.2 Temuan Metodologis…………………………………………... 4.2.3 Temuan Empiris………………………………………………... BAB IX SIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 9.1 Simpulan................................................................................................. 9.2 Saran....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. LAMPIRAN ………………………………………………………………
289 291 291
293 293 297 299 306
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 2.13 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 4.23 4.24 4.25 4.26 4.27 4.28 4.29 4.30 4.31
Afek-Irealis (hasrat) (Martin dan White, 2005)………………. Afek-Kebahagiaan/Ketidakbahagiaan (Martin dan White, 2005).. Afek-Keamanan/Ketidakamanan (Martin dan White, 2005)….. Afek-Kepuasan/Ketidakpuasan (Martin dan White, 2005)……. Afek-Jenis Ketidakbahagiaan (Martin dan White, 2005)……… Penilaian-Penghargaan Sosial (Martin dan White, 2005)…….. Penilaian-Sanksi Sosial (Martin dan White, 2005)…………… Jenis-jenis Apresiasi (Martin dan White, 2005)………………. Sub-tipe Apresiasi (Martin dan White, 2005)…………………. Model Pemosisian …………………………………………….. Aspek Forsa dalam Subgraduasi (Martin dan White, 2005)….. Model Graduasi ………………...……………………………... Pembagian Tanda……………………………………………… Sikap dalam Teks UU ITE…………………………………….. Sumber Penilaian dalam Teks UU ITE………………………... Sumber Afek dalam Teks UU ITE ……………………………. Sumber Apresiasi dalam Teks UU ITE ………………………. Sumber Pemosisian dalam Teks UU ITE ……………………... Sumber Graduasi dalam teks UU ITE ………………………... Tema Sidang Pengadilan Perkara No.20/PUU-XIV/2016…….. Distribusi Data Sikap Sidang Pengdilan……………………… Distribusi Data Pemosisian Sidang Pengdilan………………… Distribusi Data Graduasi Sidang Pengdilan…………………… Sumber Penilaian SP I ………………………………………… Sumber Apresiasi dalam SP I …………………………………. Sumber Afek SP I …………………………………………… Sumber Pemosisian SP I ……………………………………… Sumber Graduasi SP I ………………………………………… Sumber Penilaian SP II ………………………………………... Sumber Apresiasi SP II …………………………………….…. Sumber Afek SP II ……………………………………………. Sumber Pemosisian SP II ……………………………………. Sumber Graduasi SP II ……………………………………....... Sumber Apresiasi SP III ……………………………………… Sumber Penilaian SP III ………………………………………. Sumber Afek SP III …………………………………………… Sumber Pemosisian SP III …………………………….………. Sumber Graduasi SP III ……………………………………….. Sumber Penilaian SP IV ………………………………………. Sumber Apresiasi SP IV ………………………………………. Sumber Afek SP IV …………………………………………… Sumber Pemosisian SP IV ……………………………………. Sumber Graduasi SP IV ………………………………………. Sumber Penilaian SP V ………………………………………..
44 45 46 46 47 48 49 52 53 55 57 59 62 85 86 86 87 87 88 90 91 91 92 93 94 94 95 95 96 96 96 97 97 98 98 99 99 99
101 101 101 102 102 103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiv
4.32 4.33 4.34 4.35 4.36 4.37 4.38 4.39 4.40 4.41 4.42 4.43 4.44 4.45 4.46 4.47 4.48 4.49 4.50 4.51 4.52 4.53 4.54 4.55 4.56 4.57 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18 5.19 5.20
Sumber Apresiasi SP V ………………………………………. Sumber Afek SP V …………………………………………… Sumber Pemosisian SP V …………………………………….. Sumber Graduasi SP V ……………………………………….. Sumber Penilaian SP VI ………………………………………. Sumber Apresiasi SP VI ………………………………….…… Sumber Afek SP VI …………………………………………… Sumber Pemosisian SP VI ………………………………….…. Sumber Graduasi SP VI……………………………………….. Sumber Penilaian SP VII ……………………………………... Sumber Apresiasi SP VII ……………………………………... Sumber Afek SP VII ………………………………………….. Sumber Pemosisian SP VII …………………………………… Sumber Graduasi SP VII ……………………………………… Sumber Penilaian SP VIII …………………………………….. Sumber Apresiasi SP VIII …………………………………….. Sumber Afek SP VIII …………………………………………. Sumber Pemosisian SP VIII …………………………………... Sumber Graduasi SP VIII …………………………………….. Sumber Sikap dalam putusan No.20/PUU-XIV/2016 ………… Sumber Afek dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016…… Sumber Penilaian dalam teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016... Sumber Apresiasi dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016.. Sumber Pemosisian dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016… Sumber Graduasi pada Putusan No.20/PUU-XIV/2016………. Pasal yang digugat dalam Perkara No.20/PUU-XIV/2016……. Penilaian dalam Teks UU ITE…………………………………. Afek dalam Teks UU ITE …………………………………….. Apresiasi dalam Teks UU ITE ………………………………... Model Pemosisian dalam Teks UU ITE………………………. Model Graduasi dalam Teks UU ITE…………………………. Sikap Bahasa Forensik Sidang Pengadilan Perkara No.20/PUU-XIV/2016………………………………………… Pemosisian dalam Sidang Pengadilan Perkara No.20/PUU-XIV/2016………………………………………… Graduasi Sidang Pengadilan Perkara No.20/PUU-XIV/2016… Penilaian dalam SP I …………………………………………... Apresiasi dalam SP I ………………………………………….. Afek dalam SP I ………………………………………………. Model Pemosisian SP I ………………………………………... Model Graduasi SP I ………………………………………….. Penilaian dalam SP II ………………………………………… Apresiasi dalam SP II ………………………………………… Afek dalam SP II ……………………………………………… Model Pemosisian SP II ………………………………………. Model Graduasi teks SP II …………………………………….. Penilaian dalam SP III ………………………………………… Apresiasi dalam SP III …………………………………………
103 104 104 105 105 106 106 106 107 107 108 108 108 109 110 110 110 111 111 113 113 113 114 114 115 116 129 132 136 139 141
145
146 147 150 153 154 157 159 162 163 164 166 167 170 171
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xv
5.21 5.22 5.23 5.24 5.25 5.26 5.27 5.28 5.29 5.30 5.31 5.32 5.33 5.34 5.35 5.36 5.37 5.38 5.39 5.40 5.41 5.42 5.43 5.44 5.45 5.46 5.47 5.48 5.49 5.50 5.51 5.52 5.53 6.1
Afek dalam SP III ……………………………………………... Model Pemosisian SP III ……………………………………… Model Graduasi dalam SP III …………………………………. Penilaian dalam SP IV…………………………........................ Apresiasi dalam SP IV ……………………………………….. Afek dalam SP IV ……………………………………………. Model Pemosisian SP IV ……………………………………… Model Graduasi SP IV ………………………………………... Penilaian dalam SP V …………………………………………. Apresiasi dalam SP V …………………………………………. Afek dalam SP V ……………………………………………… Model Pemosisian SP V ………………………………………. Model Graduasi SP V …………………………………………. Penilaian dalam SP VI …………………………....................... Apresiasi dalam SP VI ……………………………………….. Afek dalam SP VI …………………………………………….. Model Pemosisian SP VI ……………………………………… Model Graduasi SP VI ………………………………………... Penilaian dalam SP VII ……………………………………….. Apresiasi dalam SP VII …………………………………......... Afek dalam SP VII …………………………………………… Model Pemosisian dalam SP VII ……………………………… Model Graduasi SP VII ………………………………………. Penilaian dalam SP VIII ………………………………………. Apresiasi dalam SP VIII ………………………………………. Afek dalam SP VIII …………………………………………… Model Pemosisian SP VIII ……………………………………. Model Graduasi SP VIII ………………………………………. Afek dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016…………….. Penilaian dalam Teks Putusan No.20/PUU- XIV/2016 ………. Apresiasi Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016 ……………… Model Pemosisian dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016 Model Graduasi pada Putusan No.20/PUU-XIV/2016………... Makna Semiotik dalam Pasal 5 ayat (1), (2), dan 44 huruf b…..
173 175 177 179 180 181 183 185 187 188 189 191 193 196 197 198 199 200 203 204 205 206 207 209 210 211 213 214 219 223 225 227 230 246
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xvi
7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6
Perbandingan Sikap dalam Teks UU ITE, Proses Sidang Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……… Perbandingan Pemosisian dalam Teks UU ITE, Proses Sidang Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………… Perbandingan Graduasi dalam Teks UU ITE, Proses Sidang Pengadilan, dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016……………… Polaritas Sikap UU ITE dan Putusan No.20/PUU-XIV/2016…. Perbandingan Polaritas Sikap Sidang Pengadilan……………... Polaritas Sikap Putusan No.20/PUU-XIV/2016 dan SP VIII…..
270
271
272 273 276 277
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xvii
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3.1 3.2 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
Ruang Lingkup Cakupan Kajian Linguistik Forensik…………. Stratifikasi Pemakaian Bahasa (Adaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004)…………………..………………………… Tipologi Sikap (Martin dan White, 2005)...…………………… Afek dalam Subkategori Sikap (Martin dan White, 2005)……. Penilaian dalam Subkategori Sikap (Martin dan White, 2005).. Apresiasi dalam Subkategori Sikap (Martin dan White, 2005).. Graduasi dalam Apraisal (Martin dan White, 2005)………….. Aspek Fokus dalam Subgraduasi (Martin dan White 2005)…... Tipologi Tanda………………………………………………… Komponen Analisis Data Model Interaktif……………………. Alur Pikir………………………………………………………. Majelis Hakim MKRI …………………………………………. Keterangan Sidang Pengadilan………………………………… Jaringan Sistem (Network Sistem) Gugatan UU ITE………….. Sikap dalam Gugatan UU ITE…………………………………. Pemosisisian dalam Gugatan UU ITE…………………………. Graduasi dalam Gugatan UU ITE……………………………... Jaringan Sistem (Network Sistem) UU ITE…………...……….. Tipologi Sikap dalam teks UU ITE …………………………… Jaringan Sistem (Network Sistem) Sidang Pengadilan………… Tipologi Sikap Panel (SP I) ………............................................ Tipologi Sikap Sidang Panel (SP II) ………………………….. Tipologi Sikap Sidang Pleno (SP III) …………………………. Tipologi Sikap Sidang Pleno (SP IV) …………………………. Tipologi Sikap Sidang Pleno (SP V) ………………………….. Tipolog Sidang Pleno (SP VI)…………………………………. Tipologi Sikap Sidang Pleno (SP VII) ....................................... Tipologi Sikap Sidang Pleno (SP VIII) ……………………….. Jaringan Sistem (Network Sistem) Putusan No.20/PUU-XIV/2016………………………………………… Tipologi Sikap Dalam Teks Putusan No.20/PUU-XIV/2016…. Triadik pasal 5 ayat (1) ………………………………………... Triadik pasal 5 ayat (2) ………………………………………... Triadik pasal 44 huruf b ………………………………………. Hakim MKRI…………………………………………………... Kuasa Hukum Pemohon……………………………….………. Kesaksian Ahli………………………………………………… Saksi dari Pemerintah…………………………………………..
27
35 41 42 48 51 56 59 61 65 82 89 93
119 120 121 122 123 126 144 148 161 169 178 186 195 202 209
216 218 243 244 245 251 253 254 254
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xviii
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
1. Lambang ^ = (1) diikuti oleh
(2) dikodekan oleh > = sumber/inti/superior = hubungan/mengacu pada ՙ ՚ = makna/terjemahan “ ” = penegasan bentuk atau bermakna khusus / = konstituen opsional = = sama dengan ( ) = (1) pengapit nomor data/klausa
(2) pengapit keterangan tambahan/keterangan sistem appraisal
[ ] = pengapit pasal R = Representament O = Objek I = Interpretant 2. Singkatan 2.1 Data DT = Data Teks DL = Data Lapangan SP = Sidang Pengadilan DRP = Data Rekaman Percakapan 2.2 Teks APH = Aparat Penegak Hukum CCTV = Closed Circuit Television (Televisi signal yang bersifat
tertutup) DPR RI = Dewan Permusawaratan Rakyat Republik Indonesia HAM = Hak Azasi Manusia ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights
Sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 2200A (XXI ) pada tanggal 16 Desember 1966
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana MKRI = Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MK = Mahkamah Konstitusi MEM = Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral PTPK = Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi P = Putusan P-1 = Alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda P-1 s.d. P-15 PP = Putusan Perkara PAN = Pendayagunaan Aparatur Negara PUU = Peraturan Undang-Undang PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa regels = rules and procedures
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xix
SK = Surat Kuasa SHP = Syamsu Hamid&Partners UU ITE = Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU HAP = Undang-Undang Hukum Acara Pidana UU KPK = Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi UU Tipikor
= Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
2.3 Teori dan konsep LSF = Linguistik Sistemik Fungsional LF = Linguistik Forensik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xx
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
Hal.
Lampiran 1 Izin Penelitian dari Program Studi Linguistik………….. 304 Lampiran 2
Izin Penelitian dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal)………
305
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa sebagai salah satu alat mendeskripsikan dan mendokumentasikan
hukum mengatur hak dan kewajiban kita sebagai warga negara. Nilai penting
bahasa dalam penegakan hukum, setidaknya, dapat dilihat melalui dua alasan
berikut: (1) hukum atau norma-norma hukum tidak mungkin dapat hidup tanpa
adanya upaya untuk mengartikulasikan atau mendeskripsikannya dengan
menggunakan bahasa, dan (2) bahasa adalah alat utama yang digunakan untuk
mendokumentasikan hukum (Bachari, 2017).
Dokumen hukum salah satunya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE). UU ITE dalam penerapannya menjadi dinamika pro dan kontra terhadap
beberapa pasal. Beberapa pasal dalam teks UU ITE Nomor 11 tersebut dianggap
krusial, misalnya pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Terlihat jelas
bahwa pasal tentang penghinaan, pencemaran nama baik, berita kebencian,
permusuhan, ancaman menakut-nakuti ini cukup mendominasi pada daftar
perbuatan yang dilarang menurut UU ITE diperbaharui1.
Pemahaman dan sosialisasi undang-undang nomor 11 tahun 2008 kepada
masyarakat yang diakibatkan adanya perubahan sosial, belum cukup efektif.
Sebagaimana terlihat dari masih maraknya pelanggaran-pelanggaran dalam
penggunaan teknologi informasi (Sidik, 2013).
Dalam konsiderans fungsi UU ITE terdiri atas (a) bahwa pembangunan
nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; (b) bahwa globalisasi
informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan
teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; (c) bahwa
perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang
yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru; (d) bahwa penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus
terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan
dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi
kepentingan nasional; (e) bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan
penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat; (f) bahwa pemerintah perlu mendukung
pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan
sosial budaya masyarakat Indonesia; (g) bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana, dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f, perlu membentuk undang-undang tentang informasi dan transaksi
elektronik2.
Sekaitan dengan fungsi UU ITE di atas, UU ITE mengandung
„pemanfaatan teknologi informasi‟ dan „hubungan sosial‟ dengan masyarakat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara
elektronik. Namun, dalam penelitian ini tidak dibahas mengenai sistem elektronik.
Masalah dalam penelitian ini mengenai linguistik forensik bahasa evaluatif
gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 yang memiliki polaritas dalam
menyampaikan informasi kepada masyarakat. Penggunaan bahasa dalam gugatan
UU ITE terdiri atas teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No.
20/PUU-XIV/2016 memiliki makna leksis positif dan negatif. Penggunaan bahasa
sebagai wujud isi dalam gugatan UU ITE dan sebagai wujud hubungan sosial
dengan masyarakat.
Dari pengorganisasian isi dan hubungan sosial terwujud realisasi tekstual
yang memiliki makna positif dan negatif dari pilihan leksis yang ditulis pada teks
UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Sebagai
contoh pada teks UU ITE Bab II bagian asas dan tujuan, pasal 4 antara lain:
(1) Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia; b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi Informasi.
(DT UU ITE 2008)
Dari teks UU ITE tersebut terdapat leksis positif mencerdaskan kehidupan
bangsa, mengembangkan perdagangan, meningkatkan efektivitas, membuka
kesempatan, memajukan pemikiran, pemanfaatan teknologi informasi, dan rasa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
aman. Leksis tersebut merupakan leksis positif. Jika ditinjau dari segi apraisal
leksis positif di atas merupakan apresiasi dan metafora.
Dalam penelitian ini dibahas pola bahasa dalam teks UU ITE, proses
sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dari perspektif apraisal.
Aspek linguistik forensik dari rekaman percakapan “papa minta saham” dan
gugatan UU ITE. Dari cakupan struktur teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
putusan No. 20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan diperoleh pola bahasa,
aspek linguistik forensik, makna semiotik forensik, dan faktor penyebab yang
mempengaruhi pola bahasa dan makna semiotik forensik gugatan UU ITE perkara
No. 20/PUU-XIV/2016.
Sekaitan dengan kasus timbulnya dugaan terjadinya permufakatan jahat
dan pencatutan nama presiden dan wakil presiden dalam perpanjangan kontrak PT
Freeport Indonesia yang melibatkan pemohon. Maka, pemohon menggugat
beberapa pasal dalam UU ITE kepada MKRI. Secara linguistik forensik beberapa
pasal tersebut merupakan bahasa evaluatif seperti analisis berikut ini.
Pasal 5
(2) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (DT UU ITE 2008)
(graduasi>fokus>tajam) Leksis sah pada pasal 5 ayat (1) memiliki sumber untuk mempertajam.
secara apraisal sah merupakan sumber graduasi yang berfungsi untuk menguatkan
frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya. Sah secara hukum tidak melanggar hukum acara yang berlaku di
Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
Untuk mengungkap pola bahasa dalam teks UU ITE, proses sidang
pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dibutuhkan suatu alat untuk
menentukan makna kata-kata tersebut. Apraisal digunakan dalam penelitian ini
untuk mengevaluasi apakah bahasa forensik teks UU ITE, proses sidang
pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 mengungkap sikap negatif atau
positif 3.
Bahasa merupakan keberagaman yang menarik dikaji dengan
menggunakan linguistik forensik dalam perspektif apraisal sehingga dengan
struktur teks UU ITE, tema proses sidang pengadilan, putusan No. 20/PUU-
XIV/2016, dan rekaman percakapan akan memiliki ciri khas dan pola sikap,
pemosisian, dan graduasi. Apraisal dapat digunakan untuk mengekplorasi,
memerikan, dan menjelaskan cara bahasa digunakan untuk mengevaluasi,
menggunakan pendirian, membangun personal tekstual, dan mengatur pemosisian
dan hubungan antarpribadi (Martin and White 2005).
Dari hasil penelitian ini diketahui pola bahasa, aspek linguistik forensik,
dan makna semiotik forensik. Penelitian ini tidak hanya sekedar mengungkapkan
sistem fungsi bahasa dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan No.
20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan tetapi juga secara tidak langsung
mengungkapkan sistem sosial dan budaya yang terugkap dari gugatan UU ITE.
Dalam penerapannya, seharusnya UU ITE sudah diuji dan disosialisasi
berulangkali dari semua aspek khususnya bahasa agar tidak multitafsir.
Masyarakat kecil akan terkena sanksi dan masyarakat yang memiliki kekuasaan
dapat menggugatnya. Hal ini juga dapat mengakibatkan supremasi hukum yang
tidak jelas. Dari proses sidang pengadilan gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
XIV/2016 sebagian pasal digugat dan dikabulkan. Sehingga data ini menarik
untuk diteliti dengan linguistik forensik. Selain itu, ada yang perlu dipahami
bahwa salah satu bentuk kejahatan yang paling berbahaya adalah kejahatan yang
dilegalkan dalam kebijakan-kebijakan resmi. Pada umumnya modus lingual yang
dikembangkan untuk memenuhi objektif kejahatan level ini adalah menggunakan
kata-kata kunci tertentu yang sengaja dibiaskan sehingga bersifat multi-
interpretasi (Sawirman dkk, 2015: 71).
Linguistik forensik membahas penggunaan bahasa dalam bidang hukum,
yang mencakup identifikasi penutur atau penulis asli sebuah dokumen, interpretasi
produk hukum, kesaksian ahli bahasa, bagaimana bahasa dipergunakan dalam
proses hukum (peradilan) sejak polisi memeriksa terdakwa dan saksi sampai
bahasa oleh hakim, jaksa, dan penasehat hukum dalam ruang sidang pengadilan
(Purnomo, 2011).
Setiap orang memiliki interpretasi yang berbeda terhadap produk hukum
sehingga muncullah proses hukum (peradilan). Selain interpretasi dalam proses
sidang pengadilan, penelitian ini juga dapat mengungkap nilai dan makna yang
terkandung dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan No. 20/PUU-
XIV/2016, dan rekaman percakapan. Dengan dikabulkannya gugatan UU ITE
perkara No. 20/PUU-XIV/2016, menandakan bahwa UU ITE menjadi layak untuk
dievaluasi bahasanya dengan menggunakan linguistik forensik perspektif apraisal
dan makna semiotik seperti rumusan penelitian berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pola bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dari perspektif apraisal?;
2. Bagaimanakah makna semiotik forensik dalam gugatan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik?;
3. Mengapa terbentuk pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam gugatan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?.
1.3 Batasan Masalah
Agar penelitian ini fokus dan tidak meluas, penelitian ini dibatasi pada
gugatan UU ITE. Gugatan UU ITE dalam penelitian ini terkait dengan kasus
timbulnya dugaan terjadinya permufakatan jahat dan pencatutan nama presiden dan
wakil presiden dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang
melibatkan pemohon (SN).
1.4 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
1. Menganalisis pola bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik perspektif apraisal;
2. Menganalisis makna semiotik forensik dalam gugatan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
3. Mendeskripsikan faktor penyebab terbentuknya pola bahasa dan makna
semiotik forensik dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1.5.1 Manfaat Teoretis
Temuan penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi.
Bahan masukan yang relevan dalam hal penelitian tentang pola bahasa, aspek
linguistik forensik perspektif apraisal, makna semiotik forensik, dan faktor
penyebabnya. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, sebuah interpretasi tentang
sosial, budaya, dan realisasi linguistik forensik dapat diketahui. Secara khusus,
penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber untuk analisis linguistik forensik
perspektif apraisal serta nilai dan makna terhadap teks undang-undang di
Indonesia. Analisis linguistik forensik perspektif apraisal ini direalisasikan dalam
penggunaan linguistik forensik dan sebagai pedoman untuk mengevaluasi
penggunaan bahasa dalam teks perundang-undangan di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap UU ITE. Temuan
jaringan sistem dan pola bahasa dapat digunakan sebagai evaluasi bahasa dalam
teks UU ITE. Pemilihan leksis dalam teks UU ITE diharapkan lebih tegas dan
jelas. Hasil penelitian ini juga bermanfaat dalam pemahaman linguistik forensik
perspektif apraisal sikap, pemosisian, dan graduasi dalam teks UU ITE, proses
sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Makna semiotik dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
gugatan UU ITE bermanfaat menghindarkan pemahaman multitafsir bahasa
terhadap undang-undang.
Catatan Akhir: 1 Pasal ini telah dipermasalahkan juga oleh Dewan pers bahkan mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi (Sidik, Suyanto. 2013). 2 Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 3 Kerangka kerja apraisal merupakan suatu sistem yang menunjukkan hubungan
semantik wacana yang diperoleh dari suatu konteks media, baik media lisan maupun media tulis. Sumber interpersonal berhubungan dengan sikap otorisasi, evaluasi sosial, dan posisi, baik pada pembaca maupun pada ragam otorisasinya (White 2002).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
BAB II
KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Konsep
Konsep dasar yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini
perlu diuraikan. Konsep dasar itu kemudian dijadikan sebagai definisi operasional
yang merepresentasikan cakupan pembahasan. Penelitian ini dirancang berupa
abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian. Penelitian ini
bertumpu pada pola bahasa perspektif apraisal, aspek linguistik forensik, makna
semiotik forensik, dan faktor penyebab terbentuknya pola bahasa dan makna
semiotik forensik dalam gugatan UU ITE.
2.1.1 Teks, konteks, dan wacana
Istilah teks dan konteks erat kaitannya dengan kajian wacana. Teks sebagai
bahasa yang fungsional, bahasa yang melakukan tugas tertentu dalam konteks
tertentu, yang berbeda dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang berdiri sendiri
(Halliday dan Hasan, 1985: 10). Teks juga adalah unit dari pengguna bahasa
(Halliday dan Hasan 1976: 1). Teks itu dibatasi sebagai unit bahasa yang
fungsional dalam konteks sosial (Halliday, 1994). Semua teks merupakan
penggunaan bahasa yang dihasilkan dengan maksud untuk menunjukkan sesuatu
untuk beberapa tujuan. Teks merupakan suatu proses yang dapat dimengeri, tidak
terbuka bagi persepsi yang langsung, dari menegosiasikan sebuah pesan. Teks
kemudian akan menjadi penanda maknanya sendiri, apapun konteks atau tujuan
dari produknya (Widdowson, 2007: 6-8).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Bahasa, khususnya, bahasa evaluatif di dalam teks sangat tergantung pada
konteks. Jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks.
Teks terdiri atas makna-makna walaupun teks terdiri atas kata-kata dan kalimat.
Teks pada dasarnya merupakan satuan makna. Teks harus dipandang dari dua
sudut yang bersamaan yaitu sebagai produk dan sebagai proses karena sifatnya
sebagai satuan makna. Sebagai produk, teks merupakan luaran, sesuatu yang dapat
direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu teks dan dapat
dideskripsikan dengan peristilahan yang sistematik. Teks juga merupakan suatu
proses dalam pengertian bahwa teks terbentuk melalui proses pemilihan makna
terus menerus (Halliday dan Hasan, 1985: 5).
Konteks merupakan teks yang menyertai teks tersebut (Halliday dan
Hasan, 1985: 5). Konteks juga merupakan faktor kunci di dalam pemilihan bahasa
(Fowler dan Kress, 1979: 30). Bahasa hanya dapat dipahami dengan melihat cara
bahasa itu digunakan dalam konteks tertentu, baik budaya maupun situasionalnya
(Halliday dan Hasan, 1985: 5). Penulis atau penutur bahasa menggunakan
konfigurasi sumber-sumber linguistik di dalam konteks tertentu. Sebagai dimensi
yang berpengaruh kuat dari konteks situasi langsung dari suatu peristiwa bahasa
pada cara bahasa itu digunakan (Eggins, 1994, 2004). Dengan demikian, konteks
afek pilihan bahasa yang dibuat oleh seorang penutur atau penulis tergantung pada
setting yang diberikan. Penelitian Iedema (1997) menunjukkan bahwa dalam
setting institusional, partisipan masih memiliki pilihan bahasa yang dapat mereka
buat yang akan berhubungan dengan afek yang mereka miliki dengan partisipan
lainnya di dalam setting tersebut. Dengan kata lain, partisipan menggunakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
bahasa dengan cara yang hampir ditentukan, namun mereka memiliki fleksibilitas
ketika membangun hubungan interpersonal dengan partisipan lainnya.
Istilah wacana, menurut Kress membahas hal-hal yang berorientasi sosial,
sedangkan istilah teks digunakan apabila orientasi pembahasan terhadap materi
bentuk dan struktur bahasa. Dari konteks tempat teks digunakan, istilah teks
mengacu pada bahasa yang digunakan daripada bahasa sebagai sistem yang belum
diterapkan. Wacana merupakan fenomena sosial. Wacana bukan saja laras bahasa
tetapi lebih luas lagi jangkauannya sampai kepada bentuk-bentuk interpretasi,
interaksi, dll. Wacana terdiri atas partispan-partisipan yang terlibat jenis situasi-
situasi di dalamnya teks berperan, sistem-sistem sosial, dan struktur-struktur yang
merangkul mengapa teks bermakna demikian (Sinar, 2003:7).
2.1.2 Pola bahasa, aspek linguistik forensik, dan semiotik forensik
Pola (pattern) adalah (1) pengaturan atau susunan unsur-unsur bahasa
yang sistematis menurut keteraturan dalam bahasa; (2) sistem bahasa secara
keseluruhan; (3) subsistem dalam bahasa (Kridalaksana, 2008: 196-197). Pola
bahasa dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 adalah susunan unsur-unsur yang berkaitan
dengan sistem apraisal.
Aspek lingustik forensik adalah pemunculan atau penginterpretasian
gagasan, masalah, situasi, dan sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut
pandang linguistik forensik. Sudut pandang linguistik forensik mengacu kepada
apraisal. Kerangka apraisal terdiri dari tiga subsistem yang beroperasi secara
paralel (Martin dan White, 2005: 35).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Kevelson memberikan suatu definisi tentang semiotik “semiotik, suatu
metode tentang penelitian ke dalam proses penelitian….” Kevelson menganggap
bahwa penelitian selalu dialogik, yaitu proses komunikasi atau pertukaran pesan
dengan melalui tanda atau sistem tanda. Hukum adalah salah satu sistem tanda itu,
seperti institusi sosial lain seperti bahasa, ekonomi, politik, keluarga dan lain-lain
(Kevelson, 1988:3). Pandangan Kevelson sejalan dengan Charles S. Peirce
“Hukum berfungsi sebagai sistem, prototipe untuk keseluruhan teori tentang
tanda” (Peirce,1991: 3).
2.2 Kajian Pustaka
Penelitian ini merujuk beberapa artikel penelitian dan disertasi yang
berhubungan dengan linguistik forensik, apraisal, semiotik, dan undang-undang.
Beberapa kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini memberikan
kontribusi kepada penelitian ini.
Udina (2016) menyimpulkan perkembangan linguistik hukum atau
linguistik forensik, sebagaimana diketahui, adalah contoh nyata perkembangan
integratif sains modern. Linguistik menjadi terlibat dalam berbagai penelitian
aktivitas manusia, hukum menjadi bidang penggunaan bahasa tertentu. Linguistik
hukum melacak hubungan erat antara bahasa dan hukum yang baik oleh para ahli
bahasa dan ahli hukum.
Institusionalisasi linguistik forensik yang ditandai dengan pembentukan
International Forensic Linguists Association menghasilkan interaksi yang lebih
erat antara ahli bahasa dan pengacara dan telah membangkitkan minat yang besar
dalam pendidikan. Banyak universitas di dunia beralih ke masalah bahasa dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
hukum, memperkenalkan program dan kursus yang berbeda. Spesialis hukum dan
ahli bahasa di banyak negara bekerja sama dalam isu-isu yang sangat penting
untuk pengembangan sistem hukum dan komunikasi dalam lingkup hukum.
Pendidik bahasa asing di sekolah hukum, merancang kursus LSP dengan
mempertimbangkan bahasa dan hubungan hukum. Pendekatan interdisipliner
untuk belajar memberikan cara belajar bahasa yang lebih efektif, memperkenalkan
siswa dengan masalah nyata pengembangan bahasa hukum dan komunikasi dalam
pengaturan profesional.
Bahasa dan hukum adalah bidang studi interdisipliner yang menarik bagi
ahli bahasa, spesialis hukum dan pendidik. Mengajar LSP membutuhkan konteks
khusus yang mengungkap berbagai fitur penggunaan bahasa profesional. Dari
sudut pandang ini bahasa dan hukum memberikan wawasan tentang
perkembangan bahasa hukum dan fungsi dan kekuatan spesifiknya.
Perkembangan teknologi komputer memberikan pendekatan baru dalam
metodologi pembelajaran bahasa. Penggunaan e-textbook Forensic English telah
digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbicara yang reseptif dan
produktif, kemampuan berbicara argumentatif, membaca dan menulis,
meningkatkan kompetensi multimedia dan semiotik.
Kontribusi artikel adalah mengenai pemahaman perkembangan linguistik
hukum atau linguistik forensik. Linguistik hukum melacak hubungan erat antara
bahasa dan hukum yang baik oleh para ahli bahasa dan ahli hukum. Perbedaan
artikel dengan penelitian ini adalah pada objek kajian dan teori yang digunakan.
Persamaannya adalah sama-sama menganalisis linguistik forensik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
Breeze (2016) memaparkan dalam tulisannya bahwa semua komunitas
profesional terlibat dalam praktik diskursif menarik pengetahuan ke bentuk
komunikasi sesuai dengan jenis tindakan profesional tertentu (Bhatia, 2004).
Seorang profesional yang handal mampu mengoperasikan secara terlatih,
mengelola wilayah sumber daya linguistik untuk memperoleh ujung komunikatif
yang khusus. Pilihan bahasa yang tersedia dalam situasi tertentu terpaksa secara
sosial yang dikenal dengan kecocokan, pada level wacana yang berhubungan dan
register, dan dari konsensus profesional apa yang berterima, pada level nilai dan
sikap.
Dalam kasus ketetapan internasional yang bertentangan, para analis
wacana fokus pada material di wilayah publik, seperti penghargaan (Giner, 2009;
Martinez, 2009) tetapi sedikit riset yang terpublikasi pada bahasa yang digunakan
dibalik pintu tertutup pengadilan arbitrasi. Opini sepakat dan tidak setuju
merupakan teks yang muncul dari konflik seorang arbitrator dengan mayoritas,
untuk mempertahankan jejak wacana dari proses arbiterasi.
Artikel ini menyimpulkan analisis apraisal yang dilakukan di sini
membawa sejumlah rangkaian nilai yang membentuk kemungkinan diskursif
arbiterasi. Ekspresi affect jarang dan sering, tetapi kadang-kadang digunakan
untuk efek retoris tertentu. Judgement cenderung menjadi pusat nili-nilai kunci
normalitas, verasitas, dan proprietas. Dua yang disebut terakhir menjadi indexed
baik dalam sense negatif maupun positif. Apresiasi fokus pada valuasi penting
atau signifikan, tetapi juga terpusat pada aspek komposisi, seperti kejelasan serta
argumen logis yang muncul menjadi nilai-nilai kunci dalam wacana arbitrasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
Ekstrapolasi dari studi adjectiva dan adverbia, menegaskan bahwa sistem
nilai arbitrasi yang mendasarinya adalah suatu argumen kualitas yang jelas dan
konsistensinya juga kemampuannya untuk membujuk. Normalitas atau kewajaran
sebuah nilai, sejauh ini artinya mengikuti standar cara memahami legislasi atau
melaksanakan prosedur. Proprietas penting dalam artian melakukan hal dengan
wajar, mengikuti proses yang tepat, bertindak dan berdebat dengan cara yang
dianggap benar, dalam profesi tersebut. Verasitas dianggap sebagai sebuah nilai
kunci, karena kebanyakan proses legal penting membangun sebuah kebenaran dan
meragukan tentang masalah fakta akan merusak keseluruhan kasus.
Dipandang dari sudut wewenang, jelas bahwa para arbitrator berharap
memposisikan diri mereka sebagai perwakilan kejujuran, kebenaran, dan
kewajaran. Sebagai perlawanan ketidakpastian, kebohongan, dan praktik yang
sesat dan tidak wajar. Terlebih lagi, para arbitrator juga menempati suatu posisi
wacana yang kuat sebagai arbiter kepentingan. Memberikan peringkat pada isu
yang berkenaan dengan signifikan ataupun kekurangannya.
Kontribusi artikel ini terhadap penelitian ini pada analisis apraisal yang
dilakukan berfungsi sebagai contoh investigasi perselisihan di sidang pengadilan
UU ITE. Perbedaan artikel dengan penelitian ini terletak pada penyajian data.
Artikel menyajikan bukti studi kontrastif yang didesain untuk mengukur
kesamaan dan kontras antara bahasa arbitrasi dan juga litigasi. Penelitian ini
menyajikan bukti gugatan UU ITE dari rekaman percakapan dan seluruh proses
sidang pengadilan. Kajian ini sama-sama menggunakan apraisal sebagai kerangka
kerja. Analisis ini menerapkan linguistik forensik pada kasus gugatan UU ITE
sedangkan Breeze menerapkan analisis wacana dalam arbitrasi internasional.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
Suriyadi (2015) mengkaji apraisal bahasa evaluatif dari teks editorial surat
kabar di Medan dengan menerapkan teori LSF. Penelitian tersebut bertujuan untuk
(1) mendeskripsikan pola apraisal sikap dalam teks editorial surat kabar di Medan,
(2) mendeskripsikan pola apraisal pemosisian dalam teks editorial surat kabar di
Medan, (3) mendeskripsikan pola apraisal graduasi dalam teks editorial surat
kabar di Medan, dan (4) mendeskripsikan mengapa apraisal dipolakan dengan
cara seperti itu dalam teks editorial surat kabar di Medan.
Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut metode deskriptif
analitis. Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak program
konkordansi Simple Concordance Program (SCP). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa (1) kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal sikap negatif
ditunjukkan dalam unsur afek, unsur penilaian, dan unsur apresiasi yang negatif
oleh para penulis teks editorial surat kabar di Medan. Ini menunjukkan bahwa
para penulis teks editorial surat kabar di Medan cenderung menceritakan peristiwa
sensitif atau masalah yang menimbulkan keprihatinan terhadap peristiwa yang
terjadi pada masyarakat, (2) kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal
pemosisian negatif oleh para penulis teks editorial surat kabar dengan mewartakan
cerita tentang peristiwa negatif atau pengingkaran terhadap peristiwa yang
diwartakan kepada masyarakat atau para pembaca setia surat kabar tersebut, (3)
kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal graduasi yang negatif oleh para
penulis teks editorial surat kabar dengan mewartakan dominasi penggunaan leksis
metafora dalam peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan (4) kecenderungan
penggunaan pola apraisal dalam teks editorial surat kabar di Medan adalah
Graduasi ^ Pemosisian ^ Sikap.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Penelitian Suriyadi memberi kontribusi kepada penelitian ini dari segi
teori dan analisis. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu (1)
data yang akan dianalisis adalah data linguistik forensik teks perundang-undangan
yaitu gugatan UU ITE, (2) pendekatan yang digunakan linguistik forensik.
Metode pengumpulan data penelitian dengan rekaman suara dan proses sidang
pengadilan di lapangan.
Correa (2013) menyimpulkan hukum tidak dapat dibayangkan tanpa
bahasa: tanpa bahasa tidak akan ada hukum, tidak ada persidangan, dan dalam
beberapa kasus, tidak ada bukti. Meskipun bidang linguistik forensik masih dalam
tahap awal, kontribusinya pada sistem peradilan pidana tetap signifikan.
Dari beberapa kasus hukum yang paling terkenal dan dibahas menguraikan
perpotongan antara linguistik terapan (terutama pragmatik, analisis wacana, dan
sosiolinguistik) dan bidang yang muncul dalam tiga bidang yang saling terkait: (1)
bahasa sebagai media komunikasi antara penegak hukum dan tersangka/saksi atau
sebagai media argumentasi hukum di ruang sidang, (2) bahasa hukum (isu
kejelasan, interpretasi dan konstruksi bahasa hukum), dan (3) kejahatan bahasa
dan bukti linguistik (penggunaan, validitas, dan reliabilitas di ruang sidang).
Dari kajian tersebut menunjukkan bagaimana linguistik terapan dapat
berkontribusi, tidak hanya untuk kodifikasi hukum yang lebih dimengerti, tetapi
juga untuk pemeliharaan hak-hak dari populasi yang rentan bahasa. Seperti
disiplin yang muncul lainnya, linguistik forensik menghadirkan banyak
keterbatasan yang tidak boleh diabaikan.
Pertama, bukti linguistik saja sering tidak cukup untuk menghukum atau
membebaskan seseorang, meskipun itu mungkin berkontribusi pada bukti yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
lebih besar. Kedua, sementara analisis linguistik menjadi semakin akurat dengan
bantuan teknologi, ini masih belum 100% sempurna dan masih tunduk pada
interpretasi. Akhirnya, ketidakmungkinan manipulasi eksperimental di ruang
sidang membuat beberapa asumsi tentang apa yang terjadi di sana sulit untuk
ditunjukkan. Meskipun hal ini mungkin terjadi, yang perlu jelas bahwa ketika para
ahli bahasa berfungsi sebagai saksi ahli, tujuan mereka adalah untuk membantu
hakim dalam memahami bukti dengan menyoroti isu-isu yang mungkin tidak jelas
sebaliknya.
Kontribusi artikel Correa bagi penelitian ini memberi gambaran umum
persimpangan antara linguistik forensik dan bidang linguistik terapan lainnya
(terutama sosiolinguistik, pragmatik, dan analisis wacana) di tiga bidang yang
saling terkait: bukti linguistik, bahasa dan hukum, dan bahasa selama prosedur
hukum dan diskursus ruang sidang. Perbedaan kajian ini adalah pada objek
undang-undang. Objek kajian Correa interaksi prosedur hukum dan diskursus
ruang sidang. Persamaan kajian ini pada subbab rumusan masalah kedua
membahas interaksi dalam ruang sidang.
Wolcher (2006) menyimpulkan apa yg dimaksud dengan objek hukum
adalah identitasnya atau esensi yang ditentukan oleh modus eksistensinya atau
cara memanifestasikan dirinya dalam waktu sebagai fenomena hidup. Dengan
demikian, setiap upaya yang serius berpikir tentang lembaga manusia yang kita
sebut "hukum" memerlukan filosofi bagaimana hukum bahasa (statuta, preseden,
kontrak, dll) yg terkait dengan peristiwa hukum seperti interpretasi dan
penegakan hukum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Artikel ini dimulai dengan menggambarkan filosofi filsafat; kemudian
mengembangkan enam ide yang jelas membangun perbedaan antara aturan
implisit yang membentuk sistem bahasa (sebuah "permainan bahasa" tertanam
dalam "bentuk kehidupan") dan pernyataan yang dibuat, dengan cara aturan dalam
sistem. Wolcher kemudian menyatakan bahwa fenomena terakhir sebenarnya hal
utama dari bentuk hukum kehidupan. Dua bagian yang mengikuti diskusi ini
membongkar perbedaan yang ditemukan dalam filsafat bahasa antara magis dan
pandangan logis dari bahasa. Pandangan ajaib membayangkan bahwa bahasa
hukum harus selalu "berarti" sesuatu. Pandangan ini mengarah ke dalam
pemikiran ketidakjelasan, kebingungan, dan kadang-kadang bahkan ke absurditas.
Sebaliknya, pandangan logis dari bahasa mencoba untuk mengidentifikasi teknik
deskriptif yang berbeda (metode perbandingan dan metode aplikasi) bahwa orang-
orang menggunakan berbagai bentuk kehidupan dan berusaha kejelasan filosofis
tentang "teori" atau "penjelasan" dari banyak cara bahasa hukum benar-benar
digunakan oleh pengacara dan hakim.
Akhirnya, artikel ini berusaha untuk menunjukkan bahwa kejelasan
bukanlah milik tanda-tanda linguistik seperti itu, melainkan merupakan fungsi
dari perbedaan antara bentuk kehidupan yang konstitusi dan kontinuitas
diproduksi oleh sejarah dalam arti terbesar dari kata. Hal ini juga menyampaikan
bahwa permintaan untuk kejelasan dalam bahasa hukum pada akhirnya
permintaan untuk masuk ke dalam bentuk yang kuat secara politik kehidupan
yang dihuni oleh pengacara, hakim, dan anggota legislatif.
Kontribusi artikel ini dalam hal gambaran bagaimana bahasa hukum
bekerja. Perbedaan artikel ini dengan kajian yang akan dilakukan adalah dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
hal teori yang digunakan dan persamaannya adalah sama-sama menginterpretasi
bagaimana bahasa hukum bekerja.
Susanto (2005) menjelaskan semiotika hukum berada dalam proses
menentukan bentuk kajiannya, yaitu banyak istilah baru dan kompleks yang
diperkenalkan dengan kegunaan dan definisi yang berbeda. Sementara sudut
pandang lainnya mencoba menyatukan elemen-elemen analisis semiotik dalam
analisis hukum.
Pada bagian keempat tentang semiotika hukum sebagai pendekatan kritis
menyimpulkan hasil kajiannya suatu pendekatan semiotik kritis hanya awal untuk
memberikan pengaruh dalam sosiologi hukum. Beberapa konsep penting mulai
muncul. Telah dijelaskan bahwa beberapa sistem koordinat linguistik benar-benar
eksis. Untuk berkomunikasi secara bermakna seseorang harus menempatkan
dirinya dalam wacana yang relevan. Kata-kata menyampaikan ideologi yang
dikandungnya. Jadi penggunaan wacana tertentu terikat oleh sifat-sifat bentuk
linguistik.
Kajian tersebut juga secara singkat telah menyatakan bahwa untuk
memahami proses linguistik yang lebih baik, seseorang harus dapat
mengkonseptualisasi suatu domain dimana proses itu dihasilkan, bidang produk
linguistik dan suatu domain dimana proses itu bersirkulasi disebut dengan bidang
sirkulasi linguistik. Telah dijelaskan adanya ketegangan antara wacana-wacana
pluralis di satu sisi dan sistem koordinat linguistik yuridis disisi lain. Dapat
diindikasikan bahwa, hegemoni dan reifikasi dapat terjadi oleh penggunaan terus
menerus wacana sistem koordinasi linguistik yuridis. Pendekatan semiotik kritis
menyatakan bahwa formalitas represif merupakan sifat hukum dalam mode
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
produksi kapitalis pengadilan lebih tinggi secara aktif mengembangkan suatu
ideologi yang mendukung sistem ekonomi tertentu.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan adalah dalam
hal pemaknaan semiotik hukum. Perbedaan penelitian susanto dengan penelitian
yang dilakukan adalah pada objek penelitian dan teori semiotik yang digunakan.
Persamaannya adalah sama-sama menggunakan semiotik.
Tiersma (1999) mengatakan sistem hukum secara keseluruhan juga
memiliki tujuan yang dapat bertentangan dengan tujuan komunikasi yang jelas.
Sebagai contoh, ia berusaha untuk menyatakan hukum sebagai otoritatif mungkin.
Bahasa formal, kuno, dan ritualistis membantu mencapai tujuan ini dengan
menyampaikan aura tanpa batas waktu yang membuat hukum tampak hampir
abadi dan dengan demikian lebih kredibel dan layak dihargai.
Pengadilan meningkatkan rasa legitimasi mereka dengan menggambarkan
diri mereka sebagai institusi yang hampir tidak berubah dari garis keturunan kuno.
Bahasa ritualistik memisahkan proses hukum dari kehidupan biasa, menandai
mereka sebagai istimewa dan penting. Lebih jauh lagi, sistem hukum ingin agar
undang-undang itu muncul secara maksimal obyektif. Perintah pengadilan
biasanya dalam bentuk pasif, menciptakan kesan bahwa tindakan semacam itu
dilakukan tanpa campur tangan agen manusia yang bisa salah. Objektivitas hukum
diperkuat oleh penggunaan orang ketiga yaitu hakim.
Pernyataan aturan hukum yang luas dan impersonal (Siapa pun yang
melakukan X akan bersalah karena pelanggaran) membuat undang-undang
tampak tidak memihak. Tentu saja, pernyataan impersonal seperti itu sekali lagi
mengurangi komunikasi yang jelas. Generalisasi yang luas dan luas jauh kurang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
efektif daripada peringatan bahwa jika Anda melakukan hal-hal berikut, saya akan
melemparkan Anda ke penjara.
Dalam artikel ini disebutkan bahwa pengacara juga termasuk pelanggar
bahasa terburuk. Renungkanlah sifat berbelit-belit dan berlebihan, sebuah
dokumen yang sangat penting sehingga hanya efektif jika ditandatangani di
hadapan saksi. Mengapa pengacara tidak bisa menulis dengan lebih jelas, ringkas,
dan komprehensif? Kami tahu mereka dapat berkomunikasi dengan baik ketika
mereka menginginkannya. Jadi mengapa harus begitu banyak dokumen hukum
yang penting-dokumen yang mengatur hak dan kewajiban kita sebagai warga
negara, memungkinkan bank untuk mengambil kembali rumah kita, atau yang
menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan pada mobil sewaan-
berada dalam hukum yang benar-benar tidak dapat dimengerti? Mungkin bahasa
pengacara begitu berbelit-belit hanya karena konservatisme profesi dan pemujaan
sejarah dan tradisinya. Sampai taraf tertentu, bahasa Inggris hukum memang
merupakan produk dari sejarahnya. Dalam undang-undang mengharuskan bahwa
untuk selanjutnya semua permohonan harus dimohon, dibuktikan, dibela, dijawab,
diperdebatkan, dan dihakimi dalam Bahasa Inggris.
Bahwa pengacara benar-benar menciptakan bahasa Inggris hukum, atau
berpegang teguh pada kebiasaan lama, untuk menjaga publik dalam kegelapan dan
melindungi monopoli mereka atas layanan hukum tentu saja dibesar-besarkan.
Namun, para pengacara tampaknya mencoba mengeluarkan frase mereka yang
paling kuno, berlebihan, dan berbelit-belit ketika menulis dokumen langsung
untuk klien, terutama surat wasiat. Namun para pengacara bisa mengenakan biaya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
ratusan dolar untuk menyusunnya. Seringkali, kerumitan bahasa menutupi
kesederhanaan konten.
Kontribusi kajian Tiersma terhadap penelitian ini adalah membuka
cakrawala, sejarah, dan bagaimana sifat bahasa hukum baik dalam proses hukum
dan dokumen hukum. Perbedaan kajian Tiersma dengan kajian ini yaitu pada
objek yang diteliti dan persamaan kajian ini adalah sama-sama membahas tentang
bahasa hukum dalam dokumen hukum dan proses hukum.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menerapkan pendekatan Linguistik Forensik yang digunakan
untuk mendeskripsikan bahasa forensik dalam gugatan UU ITE. Rumusan
masalah pertama menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungional dalam
menganalisis penggunaan bahasa dengan perspektif apraisal. Rumusam masalah
kedua dianalisis dengan menerapkan teori semiotik. Apraisal digunakan untuk
mendeskripsikan sikap, pemosisian, dan graduasi dalam teks UU ITE, proses
sidang pengadilan, putusan gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016, dan
rekaman percakapan. Dari leksis apraisal dan interpretasi makna semiotk terhadap
gugatan UU ITE terungkaplah pola bahasa, aspek linguistik forensik, dan makna
semiotik forensik yang terkandung dalam gugatan UU ITE.
2.3.1 Linguistik forensik
Linguistik forensik adalah ilmu yang berkaitan dengan penerapan
pengetahuan dan teknik linguistik terhadap fakta-fakta bahasa yang terkandung
dalam kasus-kasus hukum, perseteruan pribadi antara pihak-pihak tertentu yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
kemudian hari berujung pada pengambilan tindakan hukum tertentu (Olsson,
2008:4). Fakta bahasa adalah setiap „teks‟ (text) dalam arti luas-baik oral atau
tulisan yang terkandung dalam kasus hukum: surat, buku, esei, diari, kontrak,
surat dokter, artikel, tesis, bahkan kertas parkir (Olsson, 2008:1).
Maschi dan kawan-kawan menyebut cara kerja forensik interdisipliner,
multidisipliner dan multikultural ini sebagai “kerja sosial forensik kolaboratif”
(collaborative forensic social work) yaitu pendekatan terintegrasi yang melibatkan
para generalis, spesialis, dan “kolektivis”. Cara kerja ini tak hanya melingkupi
kelompok sempit para korban dan pelaku yang terlibat di dalam peristiwa
kejahatan, tetapi semua pihak yang relevan: antropolog, sosiolog, ahli linguistik,
dan lain-lain (Maschi, dkk., 2009: xiii). Ini karena pekerjaan forensik akan
berhadapan dengan individu berbeda, atau komunitas yang dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dan isyu-isyu hukum yang berbeda pula.
Dalam linguistik forensik pengetahuan dan teknik-teknik linguistik
diterapkan untuk mengkaji fenomena kebahasaan yang terkait dengan kasus
hukum atau pemeriksaan perkara; atau sengketa pribadi antara beberapa pihak
yang pada tahap berikutnya berdampak pada pengambilan tindakan secara hukum
(Olsson, 2008). Linguistik forensik didefinisikan sebagai penerapan ilmu
linguistik dalam suatu ranah sosial khusus, yakni ranah hukum (Olsson, 2008;
Coulthard, 2014; Kusharyadi, 2005; Santoso, 2014).
Linguistik forensik berhadapan dengan variabel kejahatan dan peradilan
disamping variabel konsep-konsep linguistik. Hal ini menjadikan linguistik
forensik secara induktif dan deduktif memiliki proses analisis yang lebih
kompleks dan terkadang membutuhkan intuisi (Sawirman dkk, 2014: 52). Dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
kajian ini linguistik forensik berhadapan dengan sidang pengadilan gugatan UU
ITE yang digugat oleh pemohon SN terkait dengan dugaan pemufakatan jahat.
Perhatian utama dari linguistik forensik adalah (1) bahasa dari dokumen
legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interview dengan anak-anak
dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang
sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6)
kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur
(Coulthard dan Johnson, 2007:5).
Linguistik forensik juga mengkaji bahasa yang digunakan di penjara,
pengembangan penerjemahan bahasa yang digunakan dalam konteks peristiwa
hukum, penyediaan bukti forensik linguistik berbasis pada kepakaran dan
penyediaan kepakaran linguistik dalam penyusunan dokumen legal serta upaya
penyederhanaan bahasa hukum (Gibbons, 2007:12). Dari paparan diatas, dapat
disimpulkan bahwa ada tiga bidang utama yang menjadi fokus kajian linguistik
forensik, yaitu (1) bahasa sebagai produk hukum; (2) bahasa dalam proses
peradilan; dan (3) bahasa sebagai alat bukti.
Kajian linguistik forensik juga terkait dengan permasalahan kebinekaan,
khususnya di Indonesia, baik kebinekaan bahasa maupun kebinekaan budaya. Hal
ini disebabkan interaksi budaya dan bahasa yang berbeda dalam masyarakat
Indonesia bukan tidak mungkin menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat
pada friksi horisontal. Dalam hal ini, kajian linguistik forensik sangat dibutuhkan
untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh situasi
multibahasa dan multibudaya (Pedoman Kajian Linguistik Forensik; Pusat
Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan: 2016). Aspek dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
kebinekaan yang dapat dikaji linguistik forensik meliputi: (a) permasalahan dialek
geografis dan dialek sosial; (b) interpretasi kelas sosial terhadap teks; (c) persepsi
kesukuan, dan (d) sikap masyarakat terhadap hukum (Musfiroh, 2014, Eades,
2010 dalam Coulthard dan Johnson, 2010). Ruang lingkup linguistik forensik baik
secara praktis maupun teoretis adalah sebagai berikut.
Gambar 2.1 Ruang lingkup cakupan kajian linguistik forensik (Sumber: Pedoman Kajian Linguistik Forensik; Pusat Pengembangan Strategi dan
Diplomasi Kebahasaan: 2016)
Aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam kajian linguistik forensik
antara lain (1) Fonetik dan fonologi; penerapan fonetik dan fonologi forensik
salah satunya adalah dalam pembuatan transkripsi fonetis dan fonologis dari suatu
tuturan dalam sebuah kasus hukum yang tengah dianalisis secara linguistik
forensik (Olsson, 2008).
Fokus Kajian
Linguistik Forensik
Bahasa dalam Proses Peradilan
Bahasa Sebagai Barang Bukti
Lisan
Linguistik Profisiensi
Kejujuran Berbahasa
Gaya Bahasa Forensik
Fonetik Forensik
Dialektologi
Tulisan
Kepengarangan
Bahasa dalam Produk Hukum
Analisis Wacana
Analisis Struktur Bahasa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
(2) Morfologi digunakan dalam beberapa analisis, yakni: (a) menelaah
kesesuaian proses-proses morfologis kata-kata dalam produk hukum dengan
kaidah-kaidah gramatikal sehingga tidak menimbulkan ketaksaan atau
kesalahpahaman makna; dan (b) menelaah gaya bahasa perorangan, yakni dengan
meneliti kecenderungan penggunaan morfem tertentu dalam gaya bahasa
seseorang yang membedakannya dengan gaya bahasa orang lain sehingga dapat
digunakan dalam proses analisis identifikasi pengarang.
(3) Sintaksis menganalisis beberapa hal, yakni: (a) kesesuaian susunan
kalimat dalam bahasa produk hukum dengan kaidah gramatikal sehingga tidak
menimbulkan ketaksaan dan kesalahpahaman; (b) mengidentifikasi pengarang asli
sebuah karya; (c) analisis transitivitas dalam analisis wacana kritis; dan (d)
menyederhanakan kalimat-kalimat kompleks dalam produk hukum sehingga
mudah dipahami.
(4) Semantik digunakan dalam: (a) analisis makna dalam bahasa produk
hukum untuk menyelidiki ketaksaan makna yang dapat menimbulkan multitafsir
dan produk hukum tersebut; dan (b) analisis wacana, dalam hal ini penyelidikan
mengenai pemilihan kata yang memiliki makna tertentu baik makna literal
maupun makna kiasan yang menyiratkan maksud-maksud tertentu dari
penuturnya.
(5) Pragmatik dan Sosio-pragmatik dalam analisis wacana, baik wacana
lisan seperti percakapan antarpelaku sebuah kasus, percakapan dalam proses
penyidikan, atau percakapan dalam proses persidangan, maupun wacana tertulis
seperti teks-teks sosial media yang berpotensi menimbulkan tindakan hukum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
(6) Gaya bahasa forensik stilistika digunakan untuk analisis suara,
terjemahan dan interpretasi, identifikasi dialek, serta analisis wacana
(McMenamin, 2010 dalam Coulthard dan Johnson, 2010). Selain itu stilistika
forensik juga digunakan untuk mengidentifikasi penulis sebenarnya dari suatu
tulisan tanpa nama, misalnya dalam surat kaleng, surat ancaman, surat teror, dan
sebagainya (Tiersma dan Solon, 2005 dalam Musfiroh, 2014).
(7) Analisis Wacana merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa
dalam ruang lingkup penggunaan atau konteksnya (Brown dan yule, 1983).
Analisis wacana mencoba menelaah: (a) penggunaan bahasa yang mempengaruhi
sistem kognisi dan interaksi sosial; atau sebaliknya, (b) interaksi sosial
mempengaruhi penggunaan bahasa; dan (c) sistem kognisi yang mempengaruhi
penggunan bahasa dan interaksi sosial (Van Dijk, 1997). Analisis wacana
menganalisis struktur wacana, baik lisan maupun tertulis, dengan
mengaplikasikan kriteria linguistik seperti morfologi, sintaksis, semantik,
pragmatik, dan sebagainya, termasuk dengan memanfaatkan penanda wacana
untuk mendapatkan kesatuan dan kebermaknaan wacana (Crystal, 2008).
(8) Kecakapan berbahasa (linguistic proficiency) membantu
mengidentifikasi apakah tersangka sengaja diam atau karena tidak memiliki
kecakapan berbahasa sehingga tidak mampu menangkap maksud pertanyaan
penyidik atau tidak mampu berbahasa dengan baik untuk mengungkapkan
maksudnya. Proses penyidikan selanjutnya dapat dibantu oleh penerjemah, ahli
bahasa isyarat (jika tersangka/korban/sanksi tunarungu atau tunawicara), atau ahli
bahasa degan kompetensi tertentu untuk membantu tersangka yang tidak
mempunyai kecakapan berbahasa agar dapat mengungkapkan maksudnya dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
baik sehingga penyidikan dapat berlangsung dengan lancar (Tiersma dan solon,
2005 dalaam Musfiroh, 2014).
(9) Dialektologi dimanfaatkan untuk menganalisis data bahasa, terutama
berupa ujaran, dalam rangka mengenali dialek penutur yang belum diketahui dan
untuk menentukan aksen sosialnya (Tiersma dan solon dalam Musfiroh, 2014).
Selain itu, melalui dialektologi forensik dapat juga ditelusuri dan diidentifikasi
asal muasal dan keaslian bahasa dari penutur yang belum diketahui identitasnya.
(10) Kejujuran berbahasa dapat diidentifikasi apakah tersangka berkata
yang sebenarnya, mengada-ada atau menutupi kejadian yang sebenarnya melalui
penelitian struktur kalimat atau pemilihan kata dari keterangan tersangka (Tiersma
dan Solan, 2005 dalam Musfiroh, 2014). Selain itu, dalam rangka mendeteksi
kebohongan tersangka/sanksi, penggunaan strategi bertanya yang investigatif
yang dipadukan dengan bantuan alat pendeteksi kebohongan merupakan cara yang
efektif untuk menunjang keberhasilan penyidikan.
(11) Analisis struktur berbahasa berkaitan dengan bahasa dalam produk
hukum, analisis struktur bahasa ini menelaah struktur bahasa dalam produk
hukum terebut, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan sehingga
tidak menimbulkan ketaksaan makna yang berdampak pada penyalahgunaan
bahasa hukum dalam proses pengadilan. Selain itu, analisis struktur bahasa dalam
kajian produk hukum juga dapat sampai pada rekomendasi penyederhanaan
kalimat-kalimat kompleks dalam produk hukum sehingga lebih mudah dipahami.
(12) Kepengarangan (authorship) digunakan dalam kasus plagiarisme atau
penyelidikan sebuah teks yang tidak diketahui pengarang sebenarnya
(Olsson,2008). Melalui penggunaan gaya bahasa tertentu, dapat diidentifikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
asal-usul atau ciri-ciri gaya bahasa seseorang yang kemudian dapat menjadi
petunjuk untuk mengungkap pelaku sebenarnya dalam penyelidikan sebuah kasus
(Olsson, 2008).
Dari aspek linguistik yang digunakan dalam kajian linguistik forensik di
atas penelitian ini menggunakan aspek semantik wacana dan semiotik hukum
dalam menganalisis produk hukum. Tataran leksikal merupakan aspek penting
untuk mengungkap makna dalam berkomunikasi. Tataran ini melibatkan leksis
penggunaan leksis dan frekuensinya yang terikat konteks. Salah satu kasus yang
berkenaan dengan aspek leksikal pernah didokumentasi oleh McMenamin
(Gibbons, 2007:288).
Isu yang dibahas adalah perbedaan makna antara syndrome, accident dan
disease di sebuah polis asuransi. Seorang anak dari sebuah keluarga meninggal
karena sudden infant death syndrome (SIDS) pada usia 18 bulan. Kehidupan anak
tersebut dilindungi oleh asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan ayahnya. Pihak
asuransi menolak untuk membayarkan asuransi karena polis tersebut tidak
mencakup kematian karena penyakit (ilness atau disease). McMenamin kemudian
melakukan penelusuran ke literatur medis dan kamus. Ia akhirnya bisa
membuktikan bahwa kata syndrome dari sisi makna lebih dekat kepada accident
dibandingkan dengan makna kata disease.
Pada tataran wacana, kehadiran ahli linguistik juga diperlukan terutama
untuk menguraikan kode-kode dari ungkapan linguistik atau tulisan yang tidak
dikenal guna mengidentifikasikan makna berdasarkan konteksnya. Hal ini terjadi
pada Gibbons (2007) ketika ia diminta untuk menguraikan pembicaraan yang
direkam antara seorang laki-laki dan perempuan, karena polisi tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
memahaminya. Dengan mengacu pada konteks, Gibbons berhasil menemukan
bahwa pembicaraan tersebut merupakan bahasa rahasia yang merupakan hasil
modifikasi dari bahasa Inggris sehari-hari. Demikian pula ketika ia diminta untuk
mendeskripsikan catatan akhir dari seorang yang melakukan bunuh diri. Makna
dalam catatan terakhir pelaku bunuh diri tersebut dapat diungkap dengan melihat
konteks situasi yang ada pada pelaku (latar belakang keluarga, kondisi kejiwaan
dll).
Dalam penelitian ini penggunaan pola bahasa dan aspek linguistik forensik
dalam gugatan UU ITE dalam ruang lingkup penggunaan atau konteksnya. Dalam
hal ini teori yang digunakan adalah LSF dengan perspektif apraisal.
2.3.2 Linguistik Sistemik Fungsional
Halliday pada era 60-an mengemukakan pendekatan kajian sosial melalui
kajian bahasa yang dikenal dengan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).
Suriyadi (2015) menjelaskan dalam disertainya terdapat beberapa pandangan
penting dalam teori LSF sebagai alasan mengapa teori ini digunakan sebagai
kerangka apraisal dalam kajian ini.
Pertama, bahasa dalam konteks pendekatan LSF direalisasikan dalam tiga
unsur yaitu (wacana) semantik, leksikogramatika, dan fonologi/grafologi. Makna
dalam wacana semantik direalisasikan oleh leksikogramatika sebagai bentuk.
Selanjutnya, leksikogramatika dikodekan oleh fonologi (bahasa lisan), grafologi
(bahasa tulis), dan bahasa isyarat. Dalam klausa Ririn belajar, misalnya, leksis
belajarbermakna berusaha mengetahui sesuatu; berusaha memperoleh ilmu
pengetahuan. Wacana semantic belajar ini kemudian direalisasikan oleh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
leksikogrammar yang merupakan kaidah bahasa. Dalam klausa Ririnbelajar,
mereka belajar, kita belajar, verba belajar tidak mengalami perubahan bentuk,
seperti halnya dalam bahasa Inggris verbanya berubah sesuai dengan subjek.
Dengan demikian, verba study mengalami infleksi disebabkan subjek yang
menyertainya, seperti Ririn studies, they study, we study. Selanjutnya, leksis
belajar dikodekan dengan fonologi jika leksis itu diujarkan dan grafologi jika
leksis itu dituliskan.
Kedua, pada konteks pemakaian bahasa, bahasa difungsikan dalam
konteks sosial, bahasa kemudian memiliki sifat fungsional dalam konteks sosial
yaitu pada tataran konteks situasi, konteks budaya dan ideologi.
Dalam tataran konteks situasi, keberhasilan orang-orang dalam
berkomunikasi berkaitan dengan situasi terjadinya interaksi kebahasaan memberi
para pelibat banyak sekali keterangan tentang makna yang sedang dipertukarkan
dan makna-makna yang kemungkinan besar akan dipertukarkan (Haliday dan
Hasan, 1985). Jenis pemerian atau penafsiran konteks situasi yang paling
memadai bagi seorang linguis adalah jenis pemerian yang berciri hubungan-
hubungan makna yang dimaksud, yaitu hubungan-hubungan yang dapat membuat
orang mampu melakukan perkiraan tentang makna-makna jenis tertentu yang akan
membantu menjelaskan cara orang berinteraksi.
Membagi konteks situasi menjadi tiga pokok bahasan yaitu medan wacana
(field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) (Haliday dan Hasan,1985). Pertama,
medan wacana menunjukkan pada hal yang sedang terjadi, pada sikap tindakan
sosial yang sedang berlangsung: apa sesungguhnya yang sedang disibukkan oleh
para pelibat, yang di dalamnya bahasa ikut serta sebagai unsur pokok tertentu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Kedua, pelibat wacana menunjukkan pada orang-orang yag ikut ambil bagian,
pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis-jenis hubungan
peranan apa yang terdapat di antara para pelibat, termasuk hubungan-hubungan
tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalam
percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan yang secara kelompok
mempunyai arti penting yang melibatkan mereka. Ketiga, sarana wacana
menunjukkan pada bagian yang diperankan oleh bahasa dalam situasi itu.
Organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya, dan fungsinya dalam
konteks, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan atau semacam
gabungan keduanya?) dan juga mode retoriknya, yaitu apa yang akan dicapai teks
berkenaan dengan pokok pengertian seperti bersifat membujuk, menjelaskan,
mendidik, dan semacamnya.
Konteks budaya merupakan aktivitas bertahap untuk mencapai suatu
tujuan. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang
menetapkan apa seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan oleh
seseorang dalam suatu interaksi sosial. Martin (1985: 34) menyatakan:
Ideology is pervasive in every culture, but like most other types of meaning it is largely unconsciou….ideology has primarily to do with power. Whenever ideology is chalenged, the way in which power is shared by a community come under attack. As this happens, groups whose share in power is implicated by the cricis align themselves. All of this has the effect of making the ideological basis of power much moreclear.
Konteks sosial dengan demikian dapat dikaji dan direalisasikan oleh bahasa.
Sebaliknya, bahasa selalu merujuk konteks. Dengan demikian, bahasa dapat
dimengerti dengan merujuk pada konteks sosial (situasi, budaya, ideologi).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Gambar 2.2 Stratifikasi Pemakaian Bahasa (Adaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004)
Sementara itu, tatabahasa formal belum mampu mengkaji sampai pada
tataran konteks sosial karena keterbatasan tata bahasa formal dalam analisis
bahasa pada tataran konteks sosial. Tatabahasa tradisional, tatabahasa struktural,
ataupun tatabahasa transformasional dalam sistem analisisnya hanya mampu
mengkaji bahasa pada tata bahasa dan semantik tidak sampai pada aspek konteks
sosial. Padahal faktor bahasa perlu dikaji dari berbagai perspektif termasuk
konteks sosial dan semantik wacana.
Ketiga, dalam tataran konteks bahasa, bahasa juga merupakan struktur
semiotik (Halliday 1978: 110). Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa the
(Wacana)Semantik
Lexikogramar
Medan Pelibat
Sarana
Ideasi/ konjungsi
Negosiasi/Apraisal Interfacing melalui reseptor
Identifikasi
Transitivitas/ Ergativitas/ Taksis
Modus Organisasi Internal
Theme/ Rheme Ekspresi Fonologi/ Fonetik
Grafologi/ Isyarat
IDEOLOGI
BUDAYA SITUATION
Teme/ Reme Kohesi
KONTEKS BAHASA
KONTEKS SOSIAL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
semiotic structure of a situation type can be represented as a complex of three
dimensions: the ungoing social activity, the role relationships involved, and the
symbolic or rethorical channel. Dengan demikian, bahasa terjadi dari dua unsur
yaitu arti dan ekspresi. Semiotik lainnya memiliki unsur lain yaitu bentuk. Arti
dalam wacana semantik direalisasikan oleh leksikogramatika sebagai bentuk.
Selanjutnya, leksikogramatika diekspresikan oleh fonologi (bahasa lisan),
grafologi (bahasa tulis), dan isyarat (Kress dan Leuwen, 2006).
Pemahaman tentang bahasa semiotik dapat dilihat dalam memahami
rambu lampu lalulintas. Ada tiga warna lampu lalulintas, yaitu merah, kuning, dan
hijau. Ketiga lampu lalulintas ini memiliki tanda makna. Makna semiotik lampu
merah berarti tanda berhenti sekarang. Makna semiotik lampu kuning berarti
tanda perlahan dan bersiap untuk melaju. Makna semiotik lampu hijau berarti
tanda dipersilahkan melaju sekarang. Kegiatan berbahasa merupakan aktivitas
yang mengungkapkan makna melalui bahasa lisan, bahasa tulis, atau bahasa
isyarat. Dengan demikian, realisasi ekspresi (expression) lampu merah berarti
tanda bahasa berhenti.
Keempat, bahasa merupakan gambaran sikap dari penutur/penulis.
Gambaran sikap ini sejalan dengan teori LSF yang secara sederhana memiliki
empat pikiran bahasa, yaitu bahwa penggunaan bahasa adalah fungsional,
fungsinya adalah untuk membuat makna, makna-makna tersebut dipengaruhi oleh
konteks sosial dan kultural di mana makna-makna tersebut dipertukarkan, dan
proses penggunaan bahasa tersebut adalah proses semiotik, proses pembuatan
makna dengan memilih (Eggins, 2004: 3).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2.3.3 Apraisal
Dalam LSF, bahasa dipandang sebagai satu sistem yang mengandung
makna dan mengungkapkan makna (Haliday 1994: xvii). Oleh sebab itu,
bahasa berfungsi memberikan makna dan mengungkapkan makna. Selain itu,
bahasa juga membentuk sistem semiotik melalui konteks yang terbagi atas
konteks situasi dan konteks budaya. Konteks budaya meliputi sistem sosial
dan nilai sosial, termasuk ideologi. Sementara itu, konteks situasi berkaitan
dengan intansiasi konteks budaya (Halliday dan Hasan, 1985: 4). Bahasa
secara sentral memiliki kekuatan dan merupakan sarana untuk pencapaian suatu
kekuasaan, dan juga memiliki suatu ideologi (Fairclough, 1989: 19). Bahasa
ditentukan oleh kondisi sosial. Bahasa juga merupakan bagian dari hubungan
tersebut (Fairclough, 1989: 21). Lebih lanjut, Fairclough menyatakan bahwa
bahasa sebagai bentuk praktik sosial1. Oleh karena itu, penelitian linguistik
forensik ini ditinjau dari persfektif sistem evaluasi bahasa.
Melalui sistem evaluasi bahasa, teori evaluasi bahasa dikembangkan
melalui tiga kerangka yaitu apraisal, stansial, dan evaluasi2. Rumusan masalah
pertama memilih pola bahasa forensik perspektif apraisal dalam menganalisis data
teks gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 karena apraisal lebih
lengkap cakupannya dibandingkan dengan kedua kerangka kerja evaluasi bahasa
lainnya.
Apraisal awal dimulai sejak akhir 1990an. Awalnya sistem ini terdiri atas
lima kategori pokok, yaitu modalitas, apresiasi, afek, pertimbangan, dan
amplifikasi. Modalitas terdiri atas modalisasi dan modulasi. Apresiasi terdiri atas
reaksi, komposisi, dan evaluasi. Afek meliputi kebahagian, keamanan, dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
kepuasan. Pertimbangan mempunyai subkategori sanksi sosial dan penghargaan
sosial. Sementara itu, amplifikasi memiliki subkategori pengayaan dan penguatan
yang masing-masing terdiri atas beberapa subkategori lagi.
Perkembangan terakhirnya, sistem apraisal dibagi tiga, yaitu pemoisian
(engagement), sikap (attitude), dan graduasi (graduation). Sikap berkaitan dengan
nilai yang digunakan penutur/penulis mengevaluasi prilaku manusia dan objek
dan mengaitkan tanggpan emosional/afektual terhadap peserta dan proses. “Sikap
berkaitan dengan pengevaluasian sesuatu, sifat seseorang dan perasaan” (Martin
dan Rose, 2003: 22). Evaluasi bisa dipertegas (yang berhubungan dengan
graduasi) dan bisa tersurat didalam teks atau bahasa atau tersirat (yang disebut
juga dengan apraisal tersurat dan tersirat). Sikap bisa bersifat positif atau negatif.
Apraisal merupakan suatu kerangka (framework) untuk menganalisis
bahasa evaluatif (White, 2011). Apraisal merupakan suatu pendekatan untuk
mengekplorasi, memerikan, dan menjelaskan cara bahasa digunakan untuk
mengevaluasi, menggunakan pendirian, membangun personal tekstual, dan
mengatur pemosisian dan hubungan antarpribadi (Martin dan White, 2005).
Apraisal berhubungan dengan sumber-sumber linguistik dimana teks
sebagai wadah untuk mengungkapkan, menegosiasikan, dan membangun inter-
subjektivitas yang khusus dan akhirnya memosisikan ideologi. Dalam cakupan
yang luas, kerangka ini lebih khusus berhubungan dengan bahasa evaluatif, sikap
dan emosi, dan dengan seperangkat sumber-sumber yang secara eksplisit
memposisikan proposal dan proposisi sebuah teks secara interpersonal. Yakni
yang berhubungan dengan makna-makna yang bervariasi dalam istilah
persetujuan dengan ujaran-ujaran mereka yang bervariasi dalam suatu kesempatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
secara interpersonal baik dalam ujaran individu maupun sebagai teks terbentang
secara kumulatif (White, 2001). Apraisal merupakan pengembangan kerja dalam
LSF yang dikembangkan Halliday (1985, 1994), berhubungan dengan makna
interpersonal dalam teks negosiasi hubungan sosial dengan mengkomunikasikan
emosi, penilaian, dan apresiasi (Halliday dan Mattheissen, 2004).
Apraisal merupakan pendekatan yang menjajaki, memerikan dan
menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk mengevaluasi, menunjukkan
sikap mental, menyusun persona tekstual dan mengelola sikap dan hubungan
antarpribadi. Apraisal menjajaki bagaimana penutur dan penulis menyampaikan
penilaian tentang orang pada umumnya, penulis/penutur lainnya, dan ucapan-
ucapannya, objek material, peristiwa dan keadaan, sehingga membentuk aliansi
dengan orang-orang yang sama-sama memiliki pandangan ini dan memasang
jarak dengan orang-orang yang berpandangan berbeda.
Apraisal menelaah bagaimana sikap, penilaian, dan tanggapan emotif
secara jelas tergambar dalam teks dan bagaimana hal ihwal ini mungkin tersirat
secara tidak langsung, dipraduga, atau dibayangkan (Siregar, 2005). Sementara
itu, Sinar (2008) menyatakan bahwa kerangka apraisal adalah konsep evaluasi
untuk mengungkapkan penilaian penutur, baik tersirat maupun tersurat, terhadap
pokok pembicaraan, lawan bicara, ataupun dunia yang mungkin berhubungan
dengan parameter evaluatif, seperti sikap, pemosisian, yang meliputi di antaranya
epistemik, reabilitas, evidensialitas, dan graduasi.
Evaluasi mencakup aspek-aspek stansial atau ungkapan pendirian yang
disampaikan oleh penutur tentang sikap, perasaan, penilaian atau tanggung jawab
penutur terhadap isi pesan, termasuk hal-ihwal yang ditunjukkan penutur tentang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
tanggung jawabnya terhadap kebenaran isi pesan. Sikap melihat bagaimana
seseorang mengekspresikan keadaan. Pemosisian mempertimbangkan tentang
posisi seseorang. Graduasi menyelidiki bagaimana penggunaan fungsi bahasa
menguatkan atau melemahkan sikap dan keterbabitan/pemosisian yang
dihubungkan oleh teks.
2.3.3.1 Sikap
Sikap melihat bagaimana seseorang mengekpresikan keadaan. Aspek ini
terbagi atas tiga bagian yaitu afek, penilaian, dan apresiasi. gambar 2.3
menggambarkan uraian kajian apraisal sikap sebagai suatu alat yang digunakan
dalam menganalisis bahasa evaluatif. Tiga subbagian apraisal sikap yaitu afek,
penilaian dan apresiasi memiliki turunan kajian yang bervariasi. Ketiga subbagian
ini menunjukkan bagaimanakah sikap penutur atau penulis dalam menyampaikan
pesannya kepada para pendengar dan pembaca baik melalui media lisan maupun
tulisan. Dari analisis ketiga subsistem akan ditemukan sikap sesungguhnya dari
penutur dan penulis pesan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
Gambar 2.3 Tipologi Sikap (Martin dan White, 2005)
a. Afek dalam subkategori sikap
Istilah afek pada umumnya digunakan untuk membicarakan ungkapan
emosi dan perasaan.Istilah afek ini lebih umum digunakan dalam
pembahasan bahasa emotif. Afek berhubungan dengan sumber daya yang
menunjukkan perasaan negatif atau positif: apakah kita merasa senang atau sedih,
yakin atau cemas, tertarik atau bosan3.
Apresiasi
komposisi
valuasi
dampak
keseimbangan
kompleksitas
kepuasan
keamanan
kecendrungann
kebahagian
kualitas
Sikap
Penilaian Afek
sanksi sosial
penghargaan sosial
reaksi
verasitas
proprietas
tenasitas
kapasitas
normalitas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
Afek dalam perkembangan sistem apraisal dianggap berperan penting pada
subtipe apraisal lainnya seperti penilaian dan apresiasi. Afek merupakan sumber
daya untuk mengungkapkan perasaan. Penilaian atau pertimbangan merupakan
sumber daya untuk menilai karakter atau watak. Apresiasi merupakan sumber
daya untuk menghargai nilai suatu benda.
Gambar 2.4 Afek dalam subkategori Sikap (Martin dan White, 2005)
Dari segi polaritasnya, afek memiliki dua subkategori lagi yaitu positif dan
negatif:
1) Kecenderungan dan ketidakcenderungan. Yang termasuk dalam aspek
kecenderungan adalah rasa takut sedangkan yang termasuk aspek
ketidakcenderungan adalah keinginan;
2) Kebahagian dan ketidakbahagian. Yang termasuk dalam aspek
kebahagiaan adalah ceria dan kasih, sedangkan yang termasuk dalam
aspek ketidakbahagiaan adalah sengsara dan antipati atau tidak peduli;
3) Keamanan dan kegelisahan. Yang termasuk dalam aspek keamanan adalah
keyakinan dan kepercayaan, sedangkan yang termasuk aspek kegelisahan
adalah keresahan dan keheranan;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
4) Kepuasan dan ketidakpuasan. Yang termasuk dalam aspek kepuasan
adalah minat dan perasaan kagum, sedangkan yang termasuk dalam aspek
ketidakpuasan adalah kehampaan dan kejengkelan.
Martin dan White (2005) mengajukan enam pertanyaan sehubungan
dengan tipologi afek.
Pertama, apakah perasaan dirujuk oleh budaya sebagai nilai yang positif atau
negatif?
Contoh: (3) Afek positif: Pemohon memiliki hak atas rasa aman
Afek negatif: Pemohon merasa resah Kedua, apakah perasaan direalisasikan sebagai suatu gelora emosi yang termasuk
dalam manifestasi paralinguistik dan ekstralinguistik atau semata-mata hanya
pengalaman internal sebagai suatu kedaan emotif atau proses mental yang terus
menerus?
Contoh: (4) Gelora perilaku: Pemohon meminta keadilan
Proses mental: Pemohon merasa terancam Keadaan mental: Pemohon merasa resah Ketiga, apakah perasaan dirujuk seperti yang diarahkan atau reaksi pada orang
yang mengalami gejala emosi yang spesifik atau sebagai suasana hati yang biasa?
Contoh: reaksi kepada yang lain: (5) Pemohon merasa resah
Keresahan itu tidak menyenangkan pemohon. Keempat, bagaimana perasaan digolongkan dari nilai yang lebih rendah sampai
dengan skala yang lebih tinggi atau diantara keduanya?
Contoh: (6) Rendah: Pemohon merasa terancam
Sedang: Pemohon tidak nyaman Tinggi: Pemohon merasa tidak adil
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Kelima, apakah perasaaan meliputi maksud/tujuan (daripada reaksi) yang
berhubungan dengan stimulus yang irialis (daripada realis)? Nilai realis
merupakan reaksi terhadap stimulus yang ada atau yang lampau sedangkan irealis
berhubungan dengan maksud atau keinginan dalam kaitannya dengan stimulus
yang mungkin terjadi.
Contoh: (7) Realis: Pemohon merasa terancam
Irealis: Pemohon tidak nyaman diancam
Tabel 2.1 Afek–irealis (hasrat) (Martin dan White, 2005)
Kecendrungan / Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
takut hati-hati gemetar ketakutan meringkuk
waspada malu-malu gentar
hasrat/keinginan menyarankan meminta menuntut
merindukan menghendaki/ingin mendambakan
Keenam, variabel terakhir dari tipologi afek mengelompokkan emosi ke dalam
tiga perangkat utama yang berhubungan dengan realis yaitu kebahagiaan/
ketidakbahagian, keamanan/ketidakamanan, dan kepuasan/ketidakpuasan.
Variabel kebahagian/ketidakbahagiaan meliputi emosi yang berhubungan dengan
masalah suasana hati-kesedihan, kebencian, kebahagiaan, dan cinta. Variabel
keamanan/ketidakamanan meliputi emosi yang berhubungan dengan masalah
kesejakteraan ekososial-kecemasan, ketakutan, percaya diri dan kepercayaan.
Variabel kepuasan dan ketidakpuasan meliputi emosi yang berhubungan dengan
masalah pengejaran tujuan-ennui, ketidaknyamanan, keingintahuan, hormat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Contoh: (8) kebahagiaan/ketidakbahagian: Pemohonmerasa bahagia/sedih keamanan/ketidakamanan : Pemohon merasa yakin/cemas kepuasan/ketidakpuasan : Pemohon merasa asyik/jemu
Tabel 2.2 Afek-kebahagian/ketidakbahagiaan (Martin dan White, 2005)
Kebahagiaan/ Ketidakbahagiaan
Arus (Perilaku) Watak
ketidakbahagiaan penderitaan tidak peduli
merengek menangis meratap menegur mengatai mencerca
rendah sedih murung perasaan tidak suka benci najis
kebahagiaan ceria kasih
senyum tertawa girang bersalaman memeluk merangkul
riang ceria bergembira suka/gemar kasih sayang memuja/mengagumi
Keamanan meliputi perasaan damai dan kecemasan yang berhubungan dengan
lingkungan kita, termasuk orang-orang yang berbagi dengan kita. Perasaan di sini
berhubungan dengan keibuan di rumah–perasaan terlindungi atau tidak terlindungi
dari dunia luar (lihat tabel 2.3).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Tabel 2.3 Afek–keamanan/ketidakamanan (Martin dan White, 2005)
Keamanan/ Ketidakamanan
Arus (Perilaku) Watak
ketidakamanan kegelisahan kejutan
resah/gelisah tersentak gemetar heran berteriak takjub
tidak tenang cemas panik terpana melongo bingung
Keamanan amanah kepercayaan
menyatakan menegaskan memproklamirkan menyerahkan mengerjakan mempercayakan
kebersamaan percaya amanah nyaman percaya diri penuh kepercayaan
Kepuasaan berhubungan dengan perasaan kita terhadap pencapaian dan frustrasi
berkaitan dengan aktivitas yang kita lakukan, termasuk peran kita baik sebagai
partisipan maupun penonton (lihat tabel 2.4).
Tabel 2.4 Afek–kepuasan/ketidakpuasan (Martin dan White, 2005)
Kepuasan/ Ketidakpuasan
Arus (Perilaku) Watak
ketidakpuasan kebosanan ketidaksenangan
ceroboh menguap berceloteh tidak bergairah memarahi menghukum
hampa bosan patah semangat jengkel gusar geram
kepuasan keuntungan kesenangan
penuh perhatian sibuk rajin/getol menepuk punggung melengkapi memberikan penghargaan
tertarik terserap asyik hormat kagum senang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
Pada kanyataannya pemilihan satu leksikal atau leksikal lainnya selalu terkait
dengan pemberian tingkatan dari perasaan yang paling dalam (lihat Tabel 2.5)
Tabel 2.5 Afek–jenis ketidakbahagiaan (Martin & White, 2005)
Afek Positif Negatif
kecendrungan/ ketidakcendrungan kebahagiaan/ ketidakbahagiaan keamanan/ ketidakamanan kepuasan/ ketidakpuasan
kehilangan, menginginkan, riang, meluap, bergembira, menyukai, mencintai orang kepercayaan, percaya diri, penuh kepercayaan terlibat, terserap, asyik, terkesan, puas, terpesona, senang
waspada, takut, terhantui sedih, melankolis, patah hati, sakit hati, sendu, suram, putus asa, lemah, gundah, terharu, menangis gelisah, cemas, panik, tidak tenang datar, bosan, jengkel, payah, gusar, geram
b. Penilaian dalam subkategori Sikap
Istilah penilaian merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap kita
terhadap orang lain dan bagaimana mereka berperilaku–karakter mereka.
Penilaian secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yaitu yang berhubungan
dengan penghargaan sosial dan yang berorientasi kepada sanksi sosial (Martin
dan White 2005)4. Berikut ini merupakan gambaran kerangka apraisal dalam
parameter sikap dengan subkategori penilaian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Gambar 2.5 Penilaian dalam subkategori Sikap (Martin dan White, 2005)
Penilaian terbagi lagi atas dua bagian yaitu penghargaan sosial dan sanksi sosial.
Uraian lebih rinci dari gambar 2.5 dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 di
bawah ini.
Tabel 2.6 Penilaian-penghargaan sosial (Martin dan White, 2005) Penghargaan Sosial Positif Negatif
kebiasaan kapasitas tenasitas/kegigihan
beruntung, sukses, bahagia, keren, alami, stabil, menonjol, terkenal, mapan kuasa, kuat, beradab, sehat, dewasa, berpengalaman, jenaka, lucu, lawak, berbakat, berwawasan, pintar, bijaksana, ahli, cerdas, lihai, terpelajar, berkompeten, sukses, produktif gagah, berani, sabar, cermat, berhati-hati, teliti, tak tahu letih, tekun, tetap pendirian, dapat diandalkan, loyal, mudah beradaptasi
sial, malang aneh, ganjil, kuno, tak terduga, kabur, melarikan diri, nisbi lemah, tidak kukuh, gagal, belum dewasa, kekanakan, lambat, tebal, tolol, tidak kompeten, tidak produktif, jahil, pemurung, biadab, sakit malu-malu, pengecut, penakut, gegabah, sembrono, lemah, plin-plan, kacau, putus asa, tidak teguh pendirian, keras kepala, degil, tidak mudah diatasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Penilaian penghargaan sosial bermakna positif dan negatif. Penghargaan sosial
terdiri atas kebiasaan, kapasitas, dan tenasitas/kegigihan.
Tabel 2.7 Penilaian–sanksi sosial (Martin dan White, 2005)
Sanksi Sosial Positif Negatif
verasitas/kebenaran proprietas/etika
jujur, terpercaya, asli, jelas, masuk akal, benar alim, adil, penyayang, benar, baik, setia, loyal, rendah hati
palsu, tidak masuk akal, tidak terpercaya, tiruan, samaran bejat, zalim, bengis, nakal, khianat, lobak, congkak, kikir,
Sistem modalisasi digunakan untuk melihat paramater penilaian (Halliday
1985, 1994, Halliday dan Matthiessen, 2004). Normalitas untuk kebiasaan,
kapasitas untuk kemampuan, tenasitas untuk kecendrungan/keinginan, verasitas
untuk kemungkinan, dan proprietas untuk kewajiban.
Menurut Martin dan White (2005: 54) berawal dari proposisi, urutan
realisasi dapat disusun untuk menyatakan kemungkinan, kebiasaan, dan kapasitas
yang dimulai dengan hubungan yang kongruen dan meneruskan pada bentuk
metaforis menuju pada leksis yang dengan jelas terpilah secara alami.
Martin dan White 2005 lebih lanjut memberikan penjelasan bahwa
modalisasi kemungkinan dalam modus dapat dihubungkan dengan leksikalisasi
penilaian verasitas.
Contoh: (9) Hakim jujur.
Hakim tentu jujur. Hakim benar-benar jujur. Benar hakim jujur. [penilaian: verasitas]
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
Demikian juga dengan modalitas kebiasaan dapat dihubungkan dengan penilaian
normalitas.
Contoh: (10) Hakim adil.
Hakim sering adil. biasanya Hakim adil. Adil itu biasa bagi Hakim. [penilaian: normalitas] Sama halnya juga dengan kemampuan dan kapasitas Contoh:
(11) Hakim dapat memutuskan gugatan Hakim mampu memutuskan gugatan. Hakim cukup kuat memutuskan gugatan. Hakim cukup sehat, cukup jujur, cukup adil dll. (penilaian>kapasistas)
Modulasi kecendrungan dapat dihubungkan dengan tenasitas yang
dileksikalisasi.
Contoh: (12) Hakim akan memutuskan gugatan.
Hakim bermaksud memutuskan gugatan. (penilaian>tenasitas)
Modulasi obligasi dapat dihubungkan dengan penilaian proprietas yang
dileksikalisasi.
Contoh: (13) memutuskan Hakim harus memutuskan.
Hakim semestinya memutuskan. Diharap Hakim akan memutuskan. Dari contoh klausa-klausa di atas terlihat bahwa interpersonal gramatika (modus
dan modalitas) dan apraisal dapat terjadi realisasi gramatikal di satu pihak dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
realisasi leksikal di lain pihak. Dengan demikian, ini merupakan gambaran pola
kalimat dalam bahasa evaluatif.
c. Apresiasi dalam subkategori sikap
Istilah apresiasi merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi
kita terhadap benda atau sesuatu, khususnya benda-benda yang kita buat dan
penampilan-penampilan yang kita lakukan, termasuk juga fenomena alam. Martin
dan White (2005: 56) menyatakan bahwa istilah apresiasi pada umumnya dapat
dibagi ke dalam reaksi kita terhadap benda-benda (apakah benda-benda itu
menarik perhatian kita, apakah benda-benda itu menyenangkan kita?), komposisi
benda-benda tersebut (seimbang atau kompleks), dan nilai benda-benda tersebut
(inovatif, otentik, terjadi tepat pada waktu yang tepat, dll). Berikut ini merupakan
gambaran parameter apresiasi dalam subkategori sikap.
Gambar 2.6 Apresiasi dalam subkategori sikap (Martin dan White, 2005)
Parameter apresiasi terbagi lagi atas:
(1) Dampak. Aspek ini memiliki dua polaritas yaitu reaksi yang berdampak
positif dan reaksi yang berdampak negatif;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
(2) Kualitas. Aspek ini memiliki dua polaritas yaitu reaksi kualitas positif dan
reaksi kualitas negatif;
(3) Keseimbangan. Aspek ini memiliki dua polaritas yaitu keseimbangan positif
dan keseimbangan negatif;
(4) Kompleksitas. Aspek ini memiliki dua polaritas yaitu kompleksitas positif dan
kompleksitas negatif;
(5) Evaluasi. Aspek ini memiliki dua polaritas yaitu evaluasi positif dan evaluasi
negatif. Uraian lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2.8 di bawah ini.
Tabel 2.8 Jenis-jenis apresiasi (Martin dan White, 2005) APRESIASI Positif Negatif
dampak kualitas keseimbangan kompleksitas valuasi
menawan, memikat, mempesona, menarik, mengharukan, lincah, dramatis, luar biasa, terkemuka, sensasional beres, baik, bagus, jelita, cantik, menarik, menggembirakan seimbang, harmonis, simetris, proporsional, konsisten, logis, rupawan, montok, ramping sederhana, mewah, jelas, murni, jernih, tepat, kaya, detail tajam, mendalam, inovatif, asli, kreatif, luar biasa, unik, berharga, tak ternilai, sesuai, efektif
kusam, bosan, menjemukan, kering, tidak menarik, datar, biasa saja, kurang menarik kotor, jelek, aneh, menjijikkan, memuakkan, buruk tidak seimbang, berselisih, tidak rata, bertentangan, berantakan, kacau, tak berbentuk, menyimpang boros, berlebihan, tidak jernih, tidak jelas dangkal, sepele, biasa, tidak berlaku, gadungan, tidak berharga, tidak berguna, tidak efektif
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Secara gramatikal, reaksi, komposisi, dan evaluasi berhubungan dengan
proses mental-cara kita memandang sesuatu (Martin dan White, 2005 dan Eggins,
2004). Reaksi berhubungan dengan afeksi (emotif-’it’s grabs me’, desiratif-’I
want it’). Komposisi berhubungan persepsi (pandangan kita pada urutan); dan
valuasi berhubungan dengan kognitif (pendapat yang kita pertimbangkan)5.
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya hubungan yang kuat antara variabel
apresiasi, reaksi dan afek, termasuk di dalamnya hubungan leksis secara
derivasional. Uraian di atas secara sederhana dapat dipetakan sebagai berikut.
Tabel 2.9 Subtipe apresiasi (Martin dan White, 2005)
Apresiasi Tipe proses mental Metafungsi reaksi afeksi interpersonal komposisi percepsi tekstual valuasi kognisi ideasional
2.3.3.2 Pemosisian
Istilah pemosisian berkaitan dengan pemosisian penutur/penulis dalam
bahasanya. Pemosisian menggunakan sumber daya bahasa untuk memposisikan
suara penutur penutur/penulis berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
dibawakan bahasa atau teks (Martin dan White, 2005: 92). Sistem ini berkaitan
dengan siapa yang membuat evaluasi di dalam teks. Di dalam teks mungkin
terdapat sejumlah suara atau suara tunggal saja, yaitu suara penutur/penulis.
Keterlibatan terdiri atas monoglos dan heteroglos. Monoglos berarti tidak
menggunakan atau merujuk pada suara orang lain. Klausa Adnan Buyung adalah
pengacara tidak menggunakan atau merujuk pada suara orang lain. Berbeda
dengan itu, heteroglos berarti menggunakan atau merujuk pada beberapa suara
lain. Klausa Mereka mengatakan bahwa Adnan Buyung pengacara merupakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
contoh heteroglos. Klausa Mereka mengatakan menggunakan atau merujuk pada
suara orang lain.
Istilah pemosisian secara tradisional diberi label modalitas, polaritas,
evidensialitas, intensitifikasi, atribusi, konsesi, konsekuensitas (White, 2003;
Martin dan White, 2005). Kerangka orientasi dari pemosisian ini lebih mengacu
pada makna dalam konteks dialog dan juga mengacu pada efek retorik daripada
bentuk-bentuk gramatika. Konsekuensinya, hal itu akan membawa suatu
perbedaan pilihan lokusi secara leksikal maupun secara gramatikal terhadap teks
yang diacu. Peran yang terdapat dalam teks akan membuat suatu proses
pembuatan makna di mana si penutur/penulis menegosiasikan hubungan yang
terdapat dalam teks.
Martin dan White (2005: 97-8) menjelaskan rambu-rambu dalam penilaian
terhadap pemosisian dalam teks sebagai berikut.
Menyangkal: suara tekstual memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang ganjil atau
penolakan, beberapa posisi yang berlawanan:
Contoh: (14) Penyangkalan negasi (Kamu tidak perlu melakukan hal itu) Berlawanan konsesi/pengharapan berlawanan (Meskipun dia makan nasi seharian badannya masih kurus).
Menyatakan: dengan menyajikan proposisi, suara tekstual; menentukan
pertentangan, menekan, atau mengatur posisi alternatif:
(concur) naturally…., of course…, obiously, …, admittedly…, etc; beberapa jenis „retorikal‟ atau pertanyaan yang „utama‟. (pronounce) I contend…, the truth of the matter is …, there can be no doubt that …etc. (mengabsahkan) X has demonstrated that …,; As X has shown….etc.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
Menerima: penyajian proposisi secara eksplisit sebagai dasar dalam kesatuannya
sendiri, subjektivitas individu, suara otoritas yang menggambarkan proposisi.
Contoh: (15) It seems, the evidence suggests, apparently, I hear. Perhaps, probably, maybe, it’s possible, in my view, I suspect that, I believe that, it’s almost certain that…, may/will/must; beberapa jenis „retorikal‟ atau pertanyaan „eksplanatori‟. Merujuk: dengan merepresentasikan proposisi sebagai dasar dalam subjektivitas
suara eksternal, suara tekstual menggambarkan proposisi.
Membenarkan: X berkata …, X percaya…, menurut X, dalam pandangan X. Menjauhi X menegaskan/menekankan bahwa…, didesas-desuskan bahwa…
Tabel 2.10 Model pemosisian (Sumarsih, 2009)
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan berkata, berseru Asimilasi mengatakan, menjelaskan,
menyerukan, berkata (bahwa), mengemukakan, mengeluh, menambahkan, menggambarkan; menurut …, berdasarkan …
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan tidak, bukan, belum.
Proklamasi menyatakan, memutuskan, menetapkan
Terbuka
Modalitas pasti, harus, selalu, wajib, ditetapkan, tentu, mungkin, akan, biasanya, diharapkan, mau, gemar, barangkali, agaknya, kadang-kadang, boleh, diizinkan, ingin, rela, ridho, bisa, dapat;
Indrawi kelihatannya, kedengarannya, rasanya;
Desas-desus katanya, kata orang, disebutkan, dilaporkan;
MONOGLOS Representasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
2.3.3.3 Graduasi
Graduasi berkaitan dengan penggunaan fungsi bahasa menguatkan atau
melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks (Martin dan
White, 2005: 136). Sikap sering berkaitan dengan tingkatan. Oleh karena itu,
sikap dapat diperkuat dan diperlemah. Gradabilitas juga umumnya merupakan ciri
sistem pemosisian. Dalam pemosisian ini makna yang diberi skala akan bervariasi
dari sub-sistem ke sub-sistem lainnya. Pemosisian menilai skala untuk tingkat
intensitas penutur/penulis (Martin dan White, 2005: 135).
Graduasi terdiri atas forsa dan fokus. Forsa atau daya digunakan untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi. Fokus digunakan untuk
mempertajam atau memperlunak kualitas sesuatu yang dibicarakan.
Gambar 2.7 Graduasi dalam apraisal (Martin dan White, 2005)
a. Forsa
Forsa atau daya memiliki dua subkategori yaitu intensifikasi dan
kuantifikasi. Forsa meliputi penilaian pada tingkat intensitas dan jumlah (Martin
dan White, 2004: 140). Penilaian terhadap intensitas dapat digunakan terhadap
kualitas (sedikit bodoh, sangat bodoh), terhadap proses (keributan itu sedikit
mengganggu kita, keributan itu sangat mengganggu kita), terhadap modalitas
kemungkinan, usualitas, inklinasi dan obligasi (sangat mungkin bahwa).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Istilah intensifikasi digunakan untuk merujuk skala kualitas dan proses.
Sementara itu, istilah kuantifikasi memberikan gambaran pengukuran yang kurang
tepat (beberapa meter) dan pengukuran yang kurang tepat terhadap keberadaan
atau mas-entitas menurut ciri-ciri seperti ukuran, berat, distribusi atau perkiraan
(jumlah yang kecil, jumlah yang besar, gunung yang terdekat, gunung yang jauh).
Tabel 2.11 Aspek forsa dalam subgraduasi (Martin dan White, 2005)
Force Number jumlah/ Size ukuran
Mass/ Size ukuran
Proximity (space) (ruang)
Proximity (time)
Distribution distribusi (space)
Distribution distribusi (time)(waktu)
Degree tingkat
Vigour
Lebih lanjut, Martin dan White (2004: 141) membagi intensifikasi ke
dalam dua kelas gramatikal yaitu isolasi dan infusi. Isolasi berkaitan dengan
penilaian dengan menggunakan realisasi skala tinggi/rendah terhadap suatu
kualitas. Infusi berkaitan dengan penilaian dengan menggunakan realisasi skala
tinggi/rendah terhadap satu aspek makna dalam istilah tunggal.
Pembagian skala dalam isolasi.
Kualitas skala tinggi/rendah:
[pramodifikasi adjektiva]
A bit miserable, somewhat miserable, relatively miserable, fairly miserable, rather miserable, very miserable, extremely miserable, utterly miserable.
[pramodifikasi adverbia]
Slightly abruptly, somewhat abruptly, fairly abruptly, quite abruptly, rather abruptly, very abruptly.
Skala tinggi/rendah proses verba
[kelompok verba adverbial termodifikasi]
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Ini agak membingungkan saya, Ini sedikit membingungkan saya, Ini sangat membingungkan saya.
Skala tinggi/rendah modalitas
agak mungkin, sangat mungkin agak sering, sangat sering
Pembagian skala dalam infusi.
Kualitas
puas, senang, bahagia, gembira
(Wanita itu melakukannya) dengan tangkas, cekatan, pandai.
hangat, panas, mengelupas
Proses
Ini menggelisahkan saya, ini mengejutkan saya, Ini menakutkan saya.
Modalitas
Mungkin, kemungkinan, pasti, jarang, adakalanya, kadang-kadang, sekali-sekali, terkadang, kadang kala, sering, selalu. Kedua, kuantifikasi merupakan pemberian skala yang berkaitan dengan
jumlah (ukuran, berat, kekuatan, jumlah) yang meliputi waktu dan ruang
(seberapa luas yang didistribusikan, seberapa lama berakhirnya) dan perkiraan
dalam waktu dan ruang (seberapa dekat, seberapa barunya). Menurut Martin dan
White (2004), semantik dari subsistem ini rumit karena pada kenyataannya
entitas kuantitas dapat berupa konkrit (ikan besar, banyak ikan, dekat ikan) atau
abstrak (masalah besar, banyak masalah, sedikit takut, sukses besar).
b. Fokus
Fokus merupakan bagian graduasi yang berfungsi untuk menguatkan dan
melunakkan proposisi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
Contoh:
(16) Menguatkan: ayah sesungguhnya, teman sebenarnya Melunakkan: They sort of play jazz, they are kind of crazy.
Gambar 2.8 Aspek fokus dalam subgraduasi (Martin dan White, 2005)
Secara ringkas, model graduasi dapat dilihat pada Tabel 2.12
Tabel 2.12 Model graduasi (Sumarsih, 2009)
GRADUASI
FOKUS Tajam sesungguhnya, benar-benar Lunak seperti, seolah-olah
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora menegaskan, menganak
sungai, meroket Tingkatan Termegah Repetisi terbahak-bahak
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu ketika, segera Ruang di sekeliling, di dekat Jumlah banyak, sedikit
2.3.4 Semiotik
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita beri makna (Hoed, 2011:3). Dalam terminologi semiotika,
terdapat jurang yang dalam antara sebuah tanda dan referensinya pada realitas
(referent). Konsep, isi, atau makna dari apa yang dibicarakan atau ditulis tidak
sesuai dengan realitas yang dilukiskan. Seseorang mengatakan [A] sementara
realitas yang sesungguhnya adalah [B]. Sebaliknya, seorang dikatakan tengah
mengungkapkan kebenaran ketika tanda yag digunakannya mempunyai hubungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
yang relatif simetris dengan referensi realitasnya. Dalam pengertian, tanda [A]
menceritakan realitas [A] (Piliang, 2012:45).
Semiotika hukum mendasari dirinya pada salah satu dua aliran (aras)
utama pemikiran semiotik; Eropa atau Amerika (Jackson, 1985; Corrington, 1993:
117). Tradisi Eropa sebagaimana dikatakan Dragan Milovanovic, lebih
memberikan perhatian pada (1) analisis struktural dan semantik (beberapa level
struktural di dalam [tersembunyi] dianggap eksis yang dikordinasikan poros
paradigmatik dan sintagmatik [poros paradigmatik merupakan totalitas arti kata
dalam kamus, poros sintagmatik adalah metode untuk merangkai kata-kata dalam
bentuk linier agar bermakna] sipil biner tanda [signifier dan signified]- sifat tanda
yang signifier adalah kesan-aksotik, impprent psikis). Sedangkan sifat tanda yang
signified mengacu pada konsep atau kesan mental, misalnya kata „pohon‟ dan
kesan pohon muncul. (2) non-referensial (arti sifatnya internal terhadap sistem
linguistik satu kata mengacu pada yang lain; contohnya dengan melihat kata
dalam kamus).
Dalam tradisi semiotik ini, dapat dilihat uraiannya (karya) Ferdinand de
Saussure dan Jackson. Sedangkan aplikasi terhadap hukum telah diawali oleh
Algirdas Greimas, Bernard Jackson dan Eric Landowski (Susanto, 2005: 45-46).
Semiotik hukum dapat mengungkap kejahatan yaitu dari cara pandang terhadap
kejahatan melalui proses interaksi atau komunikasi tanda dan simbol-simbol
tertentu (Susanto, 2005).
Menurut Peirce, tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Bagi Peirce, semiosis dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual. ruang, prilaku) sepanjang
memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Umberto Eco berseloroh bahwa sesuatu
menjadi tanda kalau bisa dipakai untuk berbohong. Menurut Peirce seperti dikutip
Noth (1995: 42) “Nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Dengan
demikian, sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan
proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan. Peirce
mengatakan sebagai berikut,
By ‘semiosis’ on the contrary (to diadic relations), an action, or influence, which is, or involves, a cooperation of three subjects such as a sign, its object, and its interpretant, this tri-relative influence not being in any way resolvable into actions between pairs.
Dengan kata lain, semua unsur yakni tanda (representament atau ground), objek,
dan interpretant dapat ditelaah secara trikotomi. Ground ada tiga macam yaitu
qualisign, sinsign, dan legisign; objek ada tiga macam yaitu ikon, indeks, dan
simbol; interpretant juga ada tiga macam yaitu rheme, dicent sign, dan argument
(Noth, 1995:44-45; Susanto, 2005: 230-231; Sibarani, 2012: 255).
Gambar 2.9 Tipologi tanda
Menurut Peirce pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang
tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme.
Interpretant
Tanda/representament Objek
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan
pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya,
seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga
jalur logika, yaitu (a) hubungan penalaran dengan jenis penandanya, (b) hubungan
kenyataan dengan jenis dasarnya, dan (c) hubungan pikiran dengan jenis
petandanya (Santosa, 1993:10).
Tabel 2.13 Pembagian tanda (Peirce dalam Santosa, 1993)
Ground/representamen: tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.
Objek/referent: yaitu apa yang diacu
Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima
Qalisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda. Warna hijau.
Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.
Rheme: tanda suatu kemungkinan/konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya:”mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya: rambu lalu lintas.
Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, misalnya asap dan api.
Dicent sign: tanda sebagai fakta/pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, misalnya: tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Lesign: hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah lesign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran
Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan/suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional, misalnya: bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan yang langsung memberikan alasan, misalnya: gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Semiotik Peirce dapat diletakkan dalam hubungan terhadap tiga kategori
utama: firstness, secondness dan thirdness. Firsness berhubungan dengan sense
data primordial; ia disusun dan tidak ada struktur yang dibutuhkan, hanya murni
momentum heterogen (Corrington, 1993:127). Secondness akan berpengaruh jika
dua elemen berinteraksi. Merupakan bidang “things and facts”. Menurut Peirce
“keberadaan mereka terdiri dari reaksi terhadap kekuatan-kekuatan kasar
(Corrington, 1993: 69). Thirdness adalah bidang dimana hubungan aktif dan
sadar ditetapkan antara objek-objek yang berbeda. Hanya dengan thirdness suatu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
tanda dapat menjadi suatu simbol (Susanto, 2005: 50). Alasan pemilihan teori ini
karena data dan permasalahan dalam gugatan UU ITE melibatkan proses kognitif
di dalam kepala seseorang (pemohon, hakim, dan saksi) dan proses itu dapat
terjadi kalau ada representament, objek, dan interpretant.
Catatan Akhir:
1 Praktik sosial adalah (1) bahasa merupakan bagian dari sebuah komunitas sosial. (2) bahasa adalah praktik sosial, dan (3) bahasa adalah proses sosial yang terkondisi, terkondisikan oleh bagian dari masyarakat di luar masalah kebahasaan (Fairclough 1989: 25).
2 Persamaan dasar dari ketiga teori ini adalah bahwa evaluasi, stansial, ataupun apraisal termasuk ke dalam fungsi interpersonal bahasa. Perbedaan ketiganya umumnya terletak pada bagaimanakah evaluasi atau bahasa evaluatif didefenisikan, unsur-unsur apa saja yang termasuk ke dalam evaluasi, dan bagaimana unsur-unsur ini dikategorisasikan dan ditentukan indikatornya.
3 Dari segi tipenya, afek memiliki empat subkategori yaitu kecenderungan,
kebahagiaan, keamanan, dan kepuasan (bandingkan dengan Sumarsih 2009). Dari segi polaritasnya, afek memiliki dua subkategori yaitu positif dan negatif. Selain itu, afek juga dibagi lagi dari segi cara dan nilai.
4 Penilaian penghargaan berkaitan dengan normalitas (bagaimanakah ketidaklaziman
seseorang itu), kapasitas (bagaimanakah mampunya mereka) dan tenasitas (bagaimanakah tegasnya mereka). Penilaian sanksi berkaitan dengan verasitas (bagaimanakah jujurnya seseorang itu) dan proprietas (bagaimanakah etisnya seseorang itu) (Martin dan White 2005).
5 Menurut Martin dan White (2005), kerangka kerja apresiasi bisa saja
diinterpretasikan secara metafungsi bahasa dengan beorientasi pada reaksi kepada signifikansi interpersonal, komposisi pada organisasi tekstual dan valuasi pada nilai ideasional.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2014: 4). Proses
penelitian kualitatif dalam kajian ini melibatkan upaya-upaya penting seperti
mengajukan prosedur-prosedur, mengumpulkan data, menganalisis data, dan
menafsirkan makna data gugatan UU ITE.
Pendekatan kualitatif memiliki sifat dan karakteristik yang dianggap sesuai
digunakan dalam pembahasan pola bahasa, aspek linguistik forensik perspektif
apraisal, dan interpretasi makna semiotik forensik. Pemerian kategori gramatik
dan semantik bahasa evaluatif dilakukan melalui pengujian pola, makna, dan
hubungannya dengan unsur-unsur bahasa yang diperoleh khususnya dari data
penggunaan bahasa gugatan UU ITE.
Rancangan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang ditemukan
dibanyak bidang, khususnya evaluasi, dimana peneliti mengembangkan analisis
mendalam atas suatu kasus, sering kali program, peristiwa, aktivitas, proses, atau
satu individu atau lebih (Creswell 2014: 19).
Studi kasus dalam penelitian ini merupakan rancangan khususnya evaluasi
dalam gugatan UU ITE menggunakan kerangka kerja apraisal. Penelitian ini
mengembangkan analisis mendalam atas kasus rekaman percakapan ”papa minta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
saham” dan proses sidang pengadilan gugatan UU ITE. Kasus-kasus dibatasi oleh
waktu dan aktivitas dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah
ditentukan (Stake, 1995; Yin, 2009, 2012; Creswell, 2014).
Prosedur pengumpulan data dan analisis data menggunakan model analisis
model interaktif (Miles, Huberman, dan Saldana, 2014).
Gambar 3.1 Komponen analisis data model interaktif Sumber: Miles, Huberman, dan Saldana (2014)
Dari gambar komponen analisis data model interaktif di atas, proses sidang
pengadilan gugatan UU ITE terdiri atas sembilan kali, akan tetapi, karena satu
sidang merupakan putusan UU tipikor maka data proses sidang pengadilan hanya
diambil delapan proses sidang.
Metode dalam linguistik forensik melibatkan empat aspek. Pertama,
analisis terhadap rangkaian kata yang digunakan dalam berkomunikasi. Analisis
ini melibatkan suara, kata, tatabahasa, dan wacana serta interaksinya dalam
konteks sosial tertentu. Kedua, analisis terhadap makna yang mungkin ada dalam
Pengumpulan
data Penyajian data
Kondensasi data Simpulan penarikan/ verifikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
bentuk-bentuk linguistik tersebut. Aspek ketiga, adalah pengukuran kemampuan
berbahasa dari para partisipan. Keempat, adalah aspek konteks dimana peristiwa
komunikasi itu terjadi. Beberapa aspek yang berhubungan erat dengan penyajian
bukti-bukti linguistik antara lain meliputi: grafofonologi, transkripsi, leksikal,
morfologi, sintaksis, wacana, dan sosiolinguistik (Gibbons, 2007:285). Metode
bahasa forensik dalam gugatan UU ITE melibatkan aspek:
(1) Analisis terhadap rangkaian leksis yang digunakan mengungkap pola
dan aspek linguistik forensik dalam teks UU ITE, proses sidang
pengadilan, dan putusan gugatan UU ITE;
(2) Analisis terhadap makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE
yang ada dalam bentuk-bentuk linguistik tersebut;
(3) Faktor penyebab terbentuk pola bahasa dan makna semiotik forensik
yang melibatkan konteks proses sidang pengadilan gugatan UU ITE
terkait perpanjngan PT Freeport Indonesia;
(4) Aspek yang berhubungan erat dengan penyajian bukti-bukti linguistik
dalam gugatan UU ITE antara lain meliputi transkripsi data leksis dan
klausa yang memiliki makna semiotik forensik.
Melalui metode ini dijaring data penelitian yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan penelitian yang telah
ditetapkan. Unsur-unsur yang mengandung kategori semantik evaluasi dan
pendirian dijaring melalui pengamatan dan unsur-unsurnya. Oleh karena
itu, setiap konteks yang diperoleh dari data diperiksa secara teliti untuk
menentukan pola bahasa forensik yang secara semantik berhubungan dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
parameter evaluatif dan interpretasi makna semiotik yang terdapat dalam gugatan
UU ITE.
3.2 Lokasi Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, data penelitian terdiri atas teks UU ITE,
teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016, dan sidang pengadilan. Data UU ITE dan
putusan diperoleh dari situs resmi MKRI (www.mahkamahkonstitusi.go.id). Data
sidang pengadilan tidak terdapat di situs resmi MKRI, data sidang pengadilan di
peroleh dari MKRI, Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal. Lokasi MKRI berada di
Jalan Medan Merdeka Barat, No. 6 Jakarta. Hal ini sesuai dengan gugatan UU
ITE yang diajukan oleh SN kepada MKRI. Gugatan UU ITE diproses melalui
sidang pengadilan di ruang sidang MKRI.
3.3 Data dan Sumber Data
Data penelitian ini terdiri atas (1) teks UU ITE tahun 2008, (2) proses
sidang pengadilan, (3) teks putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 dan (4)
rekaman percakaan “papa minta saham”. Data pertama, transkripsi teks UU RI
nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Teks UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 terdiri
atas 25 halaman dan penjelasan tiga belas halaman. Teks UU ITE nomor 11
Tahun 2008 memiliki struktur yang terdiri dari (1) Pendahuluan, (2) Bab I
Ketentuan Umum, (3) Bab II Asas dan Tujuan, (4) Bab III Informasi,
Dokumentasi, dan Tanda Tangan Elektronik, (5) Bab IV Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik dan Sistem Elektronik, (6) Bab V Transaksi Elektonik, (7) Bab VI
Nama Domain, HAKI, dan Perlindungan Hak Pribadi, (8) Bab VII Perbuatan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
Dilarang, (9) Bab VIII Penyelesaian Sengketa, (10) Bab IX Peran Pemerintah dan
Peran Masyarakat, (11) Bab X Penyidikan, (12) Bab XI Ketentuan Pidana, (13)
Bab XII Ketentuan Peralihan, dan (14) Bab XIII Ketentuan Penutup.
Teks UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 disahkan di Jakarta pada tanggal 21
April 2008 oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE
diundangkan di Jakarta pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalata.
Data kedua, rekaman proses sidang pengadilan gugatan UU ITE. Proses
sidang pengadilan dilaksanakan di ruang sidang MKRI. Proses sidang pengadilan
dilakukan sebanyak sembilan kali. Akan tetapi, objek kajian ini hanya dibatasi
delapan kali sidang karena satu sidang merupakan putusan gugatan UU Tipikor.
Proses sidang pengadilan yang diteliti dengan rincian dua sidang panel dan enam
sidang pleno. Kedelapan sidang tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Rabu, tanggal 24 Pebruari
tahun 2016);
(2) Sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Selasa, tanggal 08 Maret
tahun 2016);
(3) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Senin, tanggal 11 April
tahun 2016);
(4) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b ((bagian satu) hari Rabu,
tanggal 20 April tahun 2016);
(5) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b ((bagian dua) hari Rabu, tanggal
20 April tahun 2016);
(6) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Selasa, tanggal 03 Mei
tahun 2016);
(7) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Kamis, tanggal 19 Mei
tahun 2016);
(8) Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 pengujian UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf b (hari Rabu, 07 September
2016).
Data ketiga, transkripsi teks putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
tentang informasi dan transaksi elektronik yang diajukan oleh SN anggota DPR-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
RI. putusan No. 20/PUU-XIV/2016 secara keseluruhan terdiri atas 105 halaman.
Struktur teks putusan tersebut terdiri dari (1) Pendahuluan; Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI) yang mengadili perkara dan pemohon SN, (2) Duduk
Perkara, (3) Pertimbangan Hukum, (4) Konklusi, (5) Amar Putusan, (6) Pendapat
Berbeda (Dissenting Opinions), dan (7) Pengesahan.
Data dalam penelitian ini berupa leksis dari klausa. Klausa dalam LSF
merupakan unit tata bahasa yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu: (1)
proses, (2) partisipan, dan (3) sirkumstan. Klausa merupakan satuan tata bahasa
dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu klausa, grup atau frasa, kata, dan
morfem (Halliday, 2004:9). Klausa dalam penelitian ini merujuk pada pendapat
Halliday. Klausa diklasifikasi menjadi:
(1) Produk bahasa sumber sikap yaitu afek, apresiasi dan penilaian. Setelah
itu data dibagi menjadi unsur afek, penilaian, dan apresiasi. Afek terdiri
atas unsur kebahagiaan/ketidakbahagiaan, kepuasan/ketidakpuasan,
keamanan/ketidakamanan, dan irealis/irealis. Unsur penilaian, mencakup
penghargaan sosial dan sanksi sosial. Unsur apresiasi terdiri atas reaksi,
komposisi, dan valuasi;
(2) Unsur pemosisian yaitu monoglos dan heteroglos;
(3) Unsur graduasi yaitu forsa dan fokus.
Data berupa leksis, frasa, dan klausa digunakan menganalisis penggunaan
pola bahasa dan aspek linguistik forensik. Transkripsi data pasal dan pihak-pihak
yang hadir dalam sidang pengadilan diidentifikasi digunakan untuk
menginterpretasi makna semiotik forensik. Hasil pola bahasa, aspek forensik, dan
makna forensik berdasarkan konteksnya digunkan untuk menganalisis faktor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
penyebab terbentuknya pola bahasa dan makna semiotik forensik yang terkandung
dalam gugatan UU ITE.
Sumber data penelitian ini yaitu (1) teks UU ITE tahun 2008, (2) rekaman
proses sidang pengadilan diperoleh dari rekaman sidang di MKRI, dan (3) teks
putusan No. 20/PUU-XIV/2016 diperoleh dari situs resmi MKRI
(www.mahkamahkonstitusi.go.id). Untuk menganalisis pola bahasa dan aspek
linguistik forensik perspektif apraisal, makna semiotik forensik, dan faktor
penyebab yang mempengaruhinya, sumber data penelitian menggunakan
transkripsi teks rekaman suara SN terkait perpanjangan PT Freeport sebagai
referensi dalam memahami masalah gugatan UU ITE.
Alasan pemilihan objek penelitian teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 adalah (1) sebagian leksis dalam teks UU ITE
mengandung makna yang tidak jelas (2) pernah digugat oleh SN dan dikabulkan
sehingga gugatan UU ITE menjadi layak dievaluasi secara apraisal dan makna
semiotik (3) UU ITE dalam pelaksanaannya menelan banyak korban akibat
ketidakpahaman pengguna internet atau kurangnya sosialisasi UU ITE.
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Pengumpulan data
Metode pengumpulan data mengacu kepada pendapat Miles, Huberman,
dan Saldana, (2014). Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari
rekaman proses sidang pengadilan di MKRI. Dokumen tertulis terkait dengan teks
UU ITE dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Data rekaman proses sidang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
pengadilan terdiri dari delapan kali sidang dikumpulkan dalam bentuk video dan
data rekaman percakapan “papa minta saham”.
Dokumen teks gugatan UU ITE ditranskripsi kembali kemudian dilakukan
langkah-langkah selanjutnya seperti berikut ini:
(1) Membuat kode dan tema dari dokumen. Pada langkah ini data
transkripsi rekaman proses sidang pengadilan diberi tema berdasarkan
tanggal sidang pengadilan. Contoh sidang panel perkara No.20/PUU-
XIV/2016 pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf
b (hari Rabu, tanggal 24 Pebruari tahun 2016) dengan tema
pemerikasaan pendahuluan diberi kode SP I dan seterusnya sampai SP
VIII. Teks UU ITE dan putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
ditranskripsi masing-masing berdasarkan struktur tubuh teks;
(2) Memilah dan menempatkan data yang telah diberi kode pada kategori
yang sama. Pada langkah ini data transkripsi rekaman proses sidang
pengadilan mulai dari SP I sampai dengan SP VIII diklasifikasi sesuai
dengan bahasa forensik sumber sikap, pemosisian, dan graduasi. Teks
UU ITE, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 juga diklasifikasi
berdasarkan sumber sikap, pemosisian, dan graduasi. Masalah kedua,
transkripsi pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan pasal 44 huruf b
diidentifikasi tanda berdasarkan analisis triadik Peirce dan makna
semiotik forensik;
(3) Memisahkan atau mengasingkan kategori-kategori tersebut dari data
yang akan dikumpulkan. Mengasingkan dan menandai transkripsi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
proses sidang pengadilan, teks UU ITE, dan putusan No. 20/PUU-
XIV/2016 yang sudah diklasifikasi atau dikategorisasi sebagai
persiapan pengumpulan data secara menyeluruh. Sebagai contoh
bahasa forensik subsistem sikap akan dipisah dengan pemosisan dan
graduasi. Sikap terdiri atas unsur afek, penilaian, dan apresiasi. Afek
terdiri atas unsur keamanan, keamanan-amanah, kepuasan-
kesenangan, dst. Penilaian terdiri atas unsur penghargaan sosial dan
sanksi sosial. Apresiasi terdiri atas unsur kualitas, keseimbangan,
kompleksitas, dan valuasi. Data semiotik forensik pada tahap ini
ditandai dengan memilah ikon, indeks, dan simbol untuk memperoleh
interpretasi makna semiotik forensik;
(4) Memberi keterangan singkat pada data temuan pola bahasa dan aspek
linguistik forensik sumber sikap, pemosisian, dan graduasi. Pada tahap
ini ditemukan pola bahasa dan aspek linguistik forensik dengan
sumber sikap, pemosisian, dan graduasi. Pola bahasa dan aspek
linguistik forensik ditemukan dari dominasi apraisal. Dari pola bahasa
dan diinterpretasi kecenderungan atau faktor penyebab terbentuknya
pola bahasa dalam gugatan UU ITE. Dari pasal yang digugat oleh SN
ditemukan tanda semiotik forensik. Temuan identifikasi tanda menjadi
semiosis interpretasi makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
3.4.2 Analisis data
Proses analisis data dimulai sejak pengumpulan data dilakukan. Proses
analisis data ditelaah dari seluruh data yang tersedia yaitu dari transkripsi teks UU
ITE, rekaman proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016.
Untuk menjawab rumusan masalah, analisis data penelitian ini mengacu kepada
pendapat Miles, Huberman, dan Saldana (2014). Analisis data (data analysis)
terdiri atas tiga subproses yang saling terkait berikut ini.
a. Memilah data (data condensation)
Memilah data (data condensation) merupakan tahap seleksi, fokus,
penyederhanaan, abstraksi dan proses transformasi data. Kondensasi data adalah
suatu bentuk analisis yang mempertajam, menyederhanakan, fokus, seleksi data,
dan pengaturan data sedemikian rupa sehingga dapat diverifikasi dan disimpulkan
(Miles, Huberman, dan Saldana, 2014:8).
Data dalam penelitian ini terdiri atas data lisan dan data tulis. Data teks
UU ITE, rekaman proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
dianalisis dengan memilah data (data condensation) dengan tahapan berikut ini.
(1) Seleksi yaitu proses menyeleksi data seluruh teks UU ITE, seluruh
rekaman proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-
XIV/2016. Teks dibaca secara cermat dan hati-hati kemudian
dianalisis. Dari hasil seleksi tersebut, temuan pola bahasa dan aspek
linguistik forensik baik leksis, frasa, dan klausa teks UU ITE, proses
sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dikumpulkan
dan ditandai atau diklasifikasi untuk proses selanjutnya;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
(2) Fokus yaitu proses memfokuskan analisis data pada teks UU ITE,
proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 yang
mengandung pola bahasa dan aspek linguistik forensik perspektif
apraisal dan makna semiotik forensik;
(3) Penyederhanaan yaitu menyederhanakan data bahasa forensik. Dalam
proses menyederhanakan data temuan, data forensik diklasifikasi
berdasarkan sumber sikap, pemosisin, dan graduasi. Kemudian
penyederhanaan data semiotik berdasarkan pasal;
(4) Abstraksi dan transformasi yaitu mencatat seluruh hasil temuan pola
bahasa, aspek linguistik forensik, dan interpretasi makna semiotik
forensik dari transkripsi teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan
putusan No. 20/PUU-XIV/2016 secara cermat dan mengorganisasikan
(menata) semua hasil temuan pola bahasa, aspek linguistik forensik,
makna semiotik forensik, dan faktor penyebab terbentuk pola bahasa
dan makna forensik teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan
putusan No. 20/PUU-XIV/2016.
Sebelum menampilkan hasil temuan, terlebih dahulu diberikan contoh-
contoh analisis di setiap bagian. Kemudian, setiap hasil temuan ditampilkan dalam
tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase termasuk jumlah totalnya.
Kemudian besar kecilnya dijadikan dominasi bahasa sumber sikap, pemosisian,
dan graduasi.
b. Penyajian data (data display)
Penyajian data merupakan data yang sudah diverifikasi, kondensasi, dan
disimpulkan. Penyajian data dilakukan untuk memudahkan peneliti menarik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
simpulan tentang data yang sudah dianalisis. Data display dalam penelitian ini
adalah tampilan data tentang pola bahasa perspektif apraisal, aspek linguistik
forensik, semiotik forensik, dan faktor penyebab pola bahasa dan semiotik
forensik.
c. Menarik simpulan atau verifikasi (conclusion drawing and verification)
Simpulan analisis data pada penelitian ini adalah menganalisis pola
bahasa, aspek linguistik forensik, semiotik forensik, dan faktor penyebab pola
bahasa dan semiotik forensik. Analisis data juga didasarkan pada teori yang
mengemukakan bahwa analisis data dengan ciri kualitatif dilakukan melalui
proses sintesis, pencarian pola-pola, dan penemuan makna (Bogdan dan Biklen,
1998).
Dominasi perolehan sumber apraisal digunakan untuk menjajaki,
memerikan dan menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk mengevaluasi,
menunjukkan sikap mental, menyusun persona tekstual dan mengelola sikap dan
hubungan antarpribadi. Hasil dominasi juga menjajaki bagaimana penutur dan
penulis menyampaikan penilaian tentang orang pada umumnya, penulis/penutur
lainnya, dan ucapan-ucapannya, objek material, peristiwa dan keadaan, sehingga
membentuk aliansi dengan orang-orang yang sama-sama memiliki pandangan ini
dan memasang jarak dengan orang-orang yang berpandangan berbeda.
Hasil temuan makna semiotik forensik diuraikan dari setiap pasal 5 ayat
(1), (2), dan pasal 44 huruf b serta deskripsi pihak-pihak yang hadir dalam proses
sidang pengadilan. Hasil temuan makna semiotik forensik dianalisis secara
semiotik Pierce.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Seiddel (1998) dalam Moleong
(2006: 248), proses penganalisisan data berjalan sebagai berikut: (1) mencatat
yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal diberi kode agar sumber datanya
tetap dapat ditelusuri, (2) mengumpulkan, memilah-milah mengklasifikasikan,
mensintesiskan, dan membuat indeksnya, (3) berpikir dengan jalan membuat agar
kategori data itu mempunyai makna, mencari, dan menemukan bentuk pola
bahasa dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Bahasa forensik gugatan UU ITE dengan parameter kategori apraisal, data
yang dianalisis dan didistribusikan dan dinterpretasikan untuk melihat status dan
tipe kategori semantik dan gramatikal yang muncul sesuai dengan konteks
berdasarkan sistem apraisal. Konteks berpengaruh pada makna evaluatif karena
kajian evaluatif berkaitan dengan ruang yang melibatkan makna harfiah,
figuratif, dan fungsional. Analisis makna semiotik forensik setiap data gugatan
UU ITE diperoleh dari pasal yang disidangkan, teks pasal UU ITE diidentifikasi
dan diinterpretasi dari perspektif semiotik.
Berikut contoh analisis yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan
pola bahasa perspektif apraisal.
(17) Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas yang terdapat dalam ayat atau pasal merupakan tafsir satu-satunya yang mempuyai kekuatan hukum sehingga terdapat dalam ayat pasal atau bagian UU yang memiliki makna ambigu tidak jelas atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada mahkamah konstitusi. (DL SP I 21) (sikap>penilaian>sanksi sosial>kapasitas>positif) (sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif) (sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif) (sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
Berdasarkan contoh di atas, secara apraisal dapat dijelaskan bahwa dalam
klausa tersebut terdapat leksis kekuatan, ambigu, tidak jelas, multitafsir, dan
dapat dicetak tebal dengan keterangan bahwa leksis yang bercetak tebal adalah
bahasa evaluatif dan diberi penomoran dalam analisis sumber apraisal.
Contoh analisis semiotik forensik dengan triadik dalam pasal 5 ayat (1)
gugatan UU ITE berikut ini.
Pasal 5
(18) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Segitiga makna atau triadik memiliki tiga titik inti yaitu Representamen (R),
Objek (O), dan Interpretan (I). Dari segitiga makna atau triadik di atas
diinterpretasi makna semiotik forensik.
3.4.3 Penyajian hasil analisis data
Validitas analisis harus didukung sepenuhnya dengan penyajian data yang
cukup terfokus sehingga seluruh data dapat diamati di satu lokasi tertentu dan
secara sistematis disusun untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sedang
dihadapi. Penyajian hasil analisis data menggunakan dua metode, yaitu metode
yang bersifat informal dan metode formal (Sudaryanto, 1993:145; Mahsun, 2005:
116).
Metode jenis pertama dilakukan dengan leksis dan klausa, termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis. Metode kedua perumusan dengan
menggunakan tanda-tanda atau lambang. Tanda-tanda yang dimaksud yaitu tanda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
tambah (+), tanda kurang (-), tanda kurung biasa (( )), tanda diikuti oleh (>),
tanda inti/superior (^), tanda kurung siku [ ] dan seterusnya.
Dalam penyajian data ditetapkan teori dan metode penganalisisan data
sebagaimana ditetapkan dalam subbab landasan teori. Cara yang dirancang dalam
penyajian hasil analisis data adalah sebagi berikut:
(1) Dengan menyeleksi hasil analisis ke dalam klausa dan leksis
kemudian dilakukan seleksi sumber sikap, pemosisian, dan graduasi.
Berdasarkan hasil analisis sumber apraisal data bahasa dan aspek
linguistik forensik dipolakan dan diinterpretasi kecenderungan bahasa
evaluatif dalam bahasa forensik gugatan UU ITE;
(2) Mengidentifikasi tanda yang muncul dari pasal 5 ayat (1), (2), dan
pasal 44 huruf b dan menginterpretasi makna semiotik forensik;
(3) Dari hasil pola bahasa dan aspek linguistik forensik serta dominasi
perolehan sumber apraisal sikap, pemosisian, dan graduasi dideskripsi
faktor penyebab terbentuknya pola bahasa gugatan UU ITE.
Selanjutnya dalam bab yang sama dideskripsi faktor penyebab
interpretasi makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE.
Saat penyajian hasil analisis nomor dihilangkan dan diberi lambang yang
digunakan untuk mengapit keterangan sumber sikap, pemosisian, dan graduasi.
Hasil analisis direkapitulasi berdasarkan sumber dan disajikan dalam bentuk tabel
dan model. Hasil rekapitulasi menjadi dominasi untuk menemukan pola bahasa
produk dan menginterpretasi kecenderungan-kecenderungan pesan dan makna
yang terdapat dalam gugatan UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
3.5 Pengecekan Keabsahan Penelitian
Agar hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya,
perlu dilakukan pemeriksaan keabsahan data berdasarkan strategi-strategi validitas
(validity strategies) Creswell (2014:269) yang telah disesuaikan dengan tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mentriangulasi (triangulate) sumber data menggali kebenaran informasi
melalui dokumen tertulis. Dokumen tertulis tersebut naskah akademik
rancangan UU ITE1, Laporan akhir penelitian hukum tentang efektivitas UU
No. 11 tahun 2008 tentang ITE2, dan Revisi UU ITE tahun 2006.
2. Menerapkan member cheking untuk mengetahui akurasi hasil penelitian.
Membawa kembali laporan akhir apraisal dan semiotik untuk mengecek
apakah sudah akurat atau belum.
3. Membuat deskripsi yang kaya dan padat tentang hasil penelitian
menggambarkan ranah UU ITE.
4. Mengklarifikasi bias yang mugkin dibawa peneliti ke dalam penelitian.
Melakukan refleksi diri terhadap kemungkinan munculnya bias, peneliti
membuat narasi yang terbuka dan jujur sesuai dengan bukti-bukti linguistik.
5. Menyajikan informasi ‟yang berbeda‟ atau ‟naratif‟ dari gugatan UU ITE.
6. Memafaatkan waktu yang relatif lama untuk memahami kasus yang diteliti.
7. Melakukan tanya jawab dengan sesama rekan peneliti
8. Mengajak seorang auditur untuk meriview keseluruhan hasil penelitian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Dari uraian di atas dapat disimpulkan gugatan UU ITE dianalisis
menggunakan metode kualitatif dengan model analisis data model interaktif.
Kajian ini menggunakan pendekatan linguistik forensik yang berkolaborasi
dengan teori LSF kerangka kerja apraisal.
Apraisal digunakan untuk menganalisis sikap, pemosisian, dan graduasi
dalam penggunaan bahasa forensik. Apraisal digunakan untuk menemukan pola
bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE. Makna semiotik
forensik ditemukan dari pasal yang digugat, dianalisis dengan semiotik.
Penggunaan bahasa forensik dalam gugatan UU ITE juga mengungkap faktor
penyebab terbentuknya pola bahasa dan makna semiotik dalam gugatan UU ITE
seperti alur berpikir berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
Gambar 3.2 Alur pikir
Sumber Data Kondensasi Data
Penyajian data bahasa forensik
perspektif Apraisal; Makna
Semiotik
Rumusan masalah: 1. Pola bahasa dan aspek
linguistik forensik gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
2. Interpretasi makna semiotik forensik dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
3. Faktor penyebab pola bahasa dan makna semiotik forensik gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penarikan/ Verifikasi
Konsep dan Teori Kolaborasi Linguistik
Forensik dengan Semantik Wacana (Halliday, 2004)
Perspektif Apraisal (Martin dan White, 2005)
dan Semiotik Hukum
Pendekatan Linguistik Forensik
(Gibbons, 2007) (Olsson, 2008)
Analisis Data
Temuan dan Simpulan
Metode Penelitian
Kajian Linguistik Forensik terhadap gugatan Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
Catatan Akhir: 1 Naskah akademik rancangan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik
terdiri atas (1) pendahuluan, (2) prinsip-prinsip hukum regulasi informasi dan transaksi elektronik, (3) model pengaturan informasi dan transaksi elektronik, (4) instrumen internasional di bidang informasi dan transaksi elektronik pengaturan informasi dan transaksi elektronik (UNCITRAL, Word Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU), ASEAN, APEC, OECD), (5) Materi muatan regulasi informasi dan transaksi elektronik (materi muatan rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan bentuk-bentuk pelanggaran yang perlu diatur dalam regulasi pemanfaatan teknologi informasi khususnya informasi dan transaksi elektronik) (6) kesimpulan dan saran. Berdasarkan karakterstik khusus yang terdapat dalam ruang siber, pengaturan dan penegakan hukum tidak dapat menggunakan prinsip-prinsip tradional, kegiatan siber meskipun bersifat virtal tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata, terdapat beberapa alternatif model pengaturan terkait pemanfaatan teknologi informasi, diperlukan regulasi dibidang teknologi informasi model pengaturan yang bersifat komprehensif, untuk kepastian hukum perlu segera diundangkan UU ITE, masing-masing organisasi mengeluarkan peraturan atau model law yang mengisi satu sama lain (Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia: Naskah akademik rancangan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik).
2 Laporan akhir penelitian hukum tentang efektivitas UU No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Laporan ini berisi pendahuuan, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ITE, tanggapan responden terhadap daftar pertanyaan, efektivitas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilihat dari aspek pidananya, dan penutup (Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI: Laporan akhir penelitian hukum tentang efektivitas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
BAB IV
PAPARAN DATA
4.1 Pengantar
Bab ini berisi paparan data penelitian terdiri atas tiga bagian yaitu (1) teks
UU ITE, (2) proses sidang pengadilan, dan (3) putusan No. 20/PUU-XIV/2016.
Paparan data dihubungkan berdasarkan masalah penelitian yaitu (1) pola bahasa
dan aspek linguistik forensik perspektif apraisal (2) interpretasi makna semiotik
forensik (3) faktor penyebab terbentuknya pola bahasa, aspek linguistik forensik
dan makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE.
4.2 Paparan Data
4.2.1 Data pola bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE
Analisis pola bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE
terdiri atas tiga data yang saling terhubung yaitu (1) data teks UU ITE, (2) data
proses sidang pengadilan, dan (3) data putusan No. 20/PUU-XIV/2016 yang akan
diuraikan satu persatu berikut ini:
4.2.1.1 Data teks UU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki
dasar hukum Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. UU ITE dianggap perlu untuk diterapkan
mengingat Indonesia saat ini adalah salah satu negara yang menggunakan
teknologi informasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer, dan/atau media elektronik lainnya (Tobing, 2010).
UU ITE disahkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2008 oleh Presiden
Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE diundangkan di
Jakarta pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indoesia Andi Mattalata.
Teks UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 secara keseluruhan terdiri atas 4964
leksis. Teks UU ITE terdiri atas 25 halaman dan penjelasan 13 halaman.
Berdasarkan analisis apraisal jumlah kemunculan apraisal sikap 164 leksis,
pemosisian 160 leksis, dan graduasi 124 leksis. Pola bahasa dalam UU ITE
berasal dari sumber sikap, pemosisian, dan graduasi seperti dalam table sikap
berikut ini.
Tabel 4.1 Sikap dalam teks UU ITE
Sikap teks UU ITE
Penilaian Afek Apresiasi 51,80% 25,60% 22,60%
Sumber sikap terdiri atas unsur afek 42 leksis, penilaian 85 leksis,
apresiasi 37 leksis. Sumber penilaian dalam UU ITE terangkum pada tabel
berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
Tabel 4.2 Sumber penilaian dalam teks UU ITE
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>positif 8,20% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>negatif 71,80% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 5,90% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 7,00% 5 sikap>penilaian>sanksi sosial> verasitas/kebenaran>negatif 2,40% 6 sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas>positif 4,70%
Total 100%
Sumber penilaian dalam teks UU ITE terdiri atas sanksi sosial dan
penghargaan sosial. Sanksi sosial terdiri atas proprietas/etika, verasitas/kebenaran
bermakna positif dan negatif. Penghargaan sosial terdiri dari kapasitan bermakna
positif dan tenasitas bermakna positif. Teks UU ITE juga memiliki sumber afek
dengan rekapitulasi persentase pilihan unsur afek pada teks UU ITE dapat dilihat
berikut pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Sumber afek dalam teks UU ITE
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>yakin/aman 9,50% 2 sikap>afek>keamanan>positif 14,30% 3 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 30,96% 4 sikap>afek>ketidakamanan>kegelisahan 2,38% 5 sikap>afek>ketidakpuasan>ketidaksenangan 9,52% 6 sikap>afek>irealis>kecenderungan>hasrat/keingian 2,40% 7 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 16,66% 8 sikap>afek>ketidakamanan>negative 14,28% Total 100%
Sumber afek terdiri atas unsur keamanan 6 leksis, unsur keamanan-yakin 4
leksis, keamanan-kepercayaan 13 leksis, ketidakamanan-kegelisahan 1 leksis,
ketidakpuasan-ketidaksenangan 4 leksis, irealis (hasrat) kecenderungan-ingin 1
leksis, dan irealis (hasrat) kecenderungan-takut 7 leksis. Unsur penilaian terdiri
atas (1) sanksi sosial proprietas/etika positif 7 leksis, proprietas negatif 61 leksis,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
verasitas/kebenaran positif 6 leksis, dan verasitas/kebenaran negatif 2 leksis (2)
penghargaan sosial kapasitas positif 5 leksis dan tenasitas positif 4 leksis.
Tabel 4.4 Sumber apresiasi dalam teks UU ITE
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 8,10% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>positif 13,52% 3 sikap>apresiasi>keseimbangan>negative 2,70% 4 sikap>apresiasi>valuasi>positif 35,14% 5 sikap>apresiasi>dampak>negative 37,84% 6 sikap>apresiasi>kompleksitas>negative 2,70% Total 100%
Sumber apresiasi terdiri atas kualitas bermakna positif, keseimbangan bermakna
positif dan negatif, valuasi bermakna positif, dampak bermakna negatif, dan
kompleksitas bermakna negatif.
Tabel 4.5 Sumber pemosisian dalam teks UU ITE
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 20,00% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 5,60% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 41,20% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 31,30% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 1,90% Total 100%
Sumber pemosisian berasal dari heteroglos. Heteroglos terdiri dari
ekstravokalisasi dan intravokalisasi. Sumber ekstravokalisasi terdiri atas satu
unsur asimilasi 32 leksis. Sumber intravokalisasi terdiri atas proklamasi 9 leksis,
modalitas 66 leksis, penyangkalan 50 leksis, dan indrawi 3 leksis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Tabel 4.6 Sumber graduasi dalam teks UU ITE
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 8,10% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 17,70% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 17,70% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 10,50% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 35,50% 6 graduasi>fokus>tajam 10,50% Total 100%
Sumber graduasi terdiri atas forsa dan fokus. Sumber forsa terdiri atas
unsur tingkatan 10 leksis, metafora 22 leksis, ruang 13 leksis, waktu 44 leksis, dan
sumber fokus hanya terdapat satu unsur tajam 13 leksis.
Teks UU ITE memiliki struktur yang terdiri atas Pendahuluan
(Konsiderans), Bab I Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III
Informasi, Dokumentasi, dan Tanda Tangan Elektronik, Bab IV Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik, Bab V Transaksi Elektonik, Bab VI
Nama Domain, HAKI, dan Perlindungan Hak Pribadi, Bab VII Perbuatan yang
Dilarang, Bab VIII Penyelesaian Sengketa, Bab IX Peran Pemerintah dan Peran
Masyarakat, Bab X Penyidikan, Bab XI Ketentuan Pidana, Bab XII Ketentuan
Peralihan, dan Bab XIII Ketentuan Penutup.
4.2.1.2 Data sidang pengadilan
Proses sidang pengadilan (sidang panel dan pleno) perkara No. 20/PUU-
XIV/2016 terdiri atas sembilan kali sidang. Dari sembilan sidang tersebut
penelitian ini hanya membahas delapan sidang karena satu sidang berisi tentang
putusan No. 21/PUU-XIV/2016. Sidang perkara No. 20/PUU-XIV/2016 digabung
dengan sidang undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
pidana korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Namun, dalam penelitian ini putusan perkara No. 21/PUU-XIV/2016 tentang
undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
tidak dibahas. Penelitian ini membahas sidang perkara No. 20/PUU-XIV/2016
tentang pengujian undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik.
Sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 diadakan di ruang
sidang MKRI. MKRI memiliki sembilan hakim yang diketuai oleh AH. Anggota
majelis hakim MKRI antara lain AU, MMPS, ST, WA, IDGP, PA, AW, dan MFI
dengan Panitera Pengganti CN.
Gambar 4.1 Majelis Hakim MKRI Sumber: Sidang pengadilan MKRI
Data penelitian sidang pengadilan gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-
XIV/2016 terdiri atas delapan kali sidang. Sidang Pengadilan (SP) terdiri atas dua
sidang panel dan enam sidang pleno. Sidang pengadilan terdiri atas delapan tema.
Sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 berdasarkan tema lebih rinci
dapat dilihat pada tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
Tabel 4.7 Tema sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Sidang Pengadilan Perkara
No. 20/PUU-XIV/2016
Tema
SP I pemeriksaan pendahuluan SP II perbaikan permohonan SP III mendengarkan keterangan presiden dan DPR SP IV bagian (1) mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon SP V bagian (2) mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon SP VI mendengarkan keterangan ahli presiden SP VII mendengarkan keterangan ahli/saksi presiden SP VIII pengucapan putusan
Proses sidang pengadilan gugatan UU ITE No. 20/PUU-XIV/2016 terdiri
atas: (1) sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 hari Rabu, tanggal 24
Pebruari tahun 2016 berisi pemeriksaan pendahuluan (2) sidang panel perkara No.
20/PUU-XIV/2016 hari Selasa, tanggal 08 Maret tahun 2016 berisi tentang
perbaikan permohonan (3) sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 dan No.
21/PUU-XIV/2016 hari Senin, tanggal 11 April tahun 2016 bertema
mendengarkan keterangan presiden dan DPR (4) sidang pleno perkara No.
20/PUU-XIV/2016 dan No. 21/PUU-XIV/2016 (bagian satu) hari Rabu, tanggal
20 April tahun 2016 bertema mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon
(5) sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 dan No. 21/PUU-XIV/2016
(bagian dua) hari Rabu, tanggal 20 April tahun 2016 masih mengenai tema
mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon (6) sidang pleno perkara No.
20/PUU-XIV/2016 dan No. 21/PUU-XIV/2016 hari Selasa, tanggal 03 Mei tahun
2016 tentang mendengarkan keterangan ahli presiden (7) sidang pleno perkara No.
20/PUU-XIV/2016 dan No. 21/PUU-XIV/2016 hari Kamis, tanggal 19 Mei tahun
2016 bertema mendengarkan keterangan ahli/saksi presiden (8) sidang pleno
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 hari Rabu, 07 September 2016 tentang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
pengucapan putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016. Distribusi data sidang
pengadilan terangkum dalam tabel sikap, pemosisian, dan graduasi berikut ini.
Tabel 4.8 Distribusi data sikap sidang pengadilan
Sidang Pengadilan
(SP) Sikap
Total Penilaian Apresiasi Afek SP I 17 33 32 82 SP II 11 9 4 24 SP III 67 34 18 119 SP IV bagian (1) 144 33 36 213 SP V bagian (2) 186 62 46 294 SP VI 52 22 15 89 SP VII 150 45 20 215 SP VIII 7 25 6 38 Jumlah 634 263 177 1074
Total jumlah data sikap dalam sidang pengadilan diperoleh dari SP I s.d
SP VIII. Kemunculan leksis sumber sikap berjumlah 1074 leksis. Sumber sikap
didominasi oleh SP V bagian 2 dengan jumlah 294 leksis. Sumber sikap terdiri
atas unsur penilaian 634 leksis, apresiasi 263 leksis, dan afek 177 leksis. Berikut
distribusi data pemosisian sidang pengadilan.
Tabel 4.9 Distribusi data pemosisian sidang pengadilan
Sidang Pengadilan
(SP)
Pemosisian
Total Heteroglos
Ekstra vokalisasi
Intravokalisasi Tertutup Terbuka
Asimilasi Penyangkalan Proklamasi Modalitas Indrawi SP I 73 80 5 65 9 232 SP II 15 18 7 7 0 47 SP III 131 130 29 119 13 422 SP IV 164 186 13 141 15 519 SP V 134 286 5 211 12 648 SP VI 100 285 7 186 35 613 SP VII 112 427 15 317 20 891 SP VIII 63 60 39 42 7 211
Jumlah 792 1472 120 1088 111 3583
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
Distribusi data pemosisian terdiri atas unsur heteroglos. Unsur heteroglos
terdiri atas unsur ekstravokalisasi dan intravokalisasi. Sumber pemosisian SP
dengan total jumlah kemunculan 3583 leksis. Sumber pemosisian didominasi oleh
SP VII dengan jumlah kemunculan 891 leksis. Ekstravokalisasi terdiri atas unsur
asimilasi dengan jumlah 792 leksis. Intravokalisasi terdiri atas unsur
penyangkalan 1472 leksis dan proklamasi 120 leksis. Unsur modalitas dengan
jumlah 1088 leksis dan indrawi 111 leksis.
Tabel 4.10 Distribusi data graduasi sidang pengadilan
Sidang
Pengadilan (SP)
Graduasi
Total Fokus Forsa
Intensifikasi Kuantifikasi Tajam Lunak Metafora Tingkatan Waktu Ruang Jumlah
SP I 23 5 8 13 102 28 27 206 SP II 0 0 2 7 47 3 12 71 SP III 10 9 23 38 84 31 30 225 SP IV 11 15 8 43 140 34 50 301 SP V 32 19 26 82 182 4 115 460 SP VI 9 29 21 24 106 20 133 342 SP VII 51 48 57 40 139 19 100 454 SP VIII 7 6 39 9 65 5 19 150 Jumlah 143 131 184 256 865 144 486 2209
Secara keseluruhan data sumber graduasi sidang pengadilan terdiri atas
unsur fokus dan forsa dengan jumlah 2209 leksis. Sumber graduasi didominasi
oleh SP V dengan jumlah 460 leksis. Fokus pada SP terdiri atas unsur tajam 143
leksis dan unsur lunak 131 leksis. Unsur forsa SP terdiri atas Intensitifikasi dan
kuantifikasi. Unsur Intensitifikasi terdiri atas unsur metafora 184 leksis dan
tingkatan 256 leksis. Unsur kuantifikasi terdiri atas unsur ruang 144 leksis, waktu
865 leksis, dan jumlah 486 leksis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
a. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I)
Jumlah kosa kata dalam teks SP I berisi pemeriksaan pendahuluan terdiri atas
4.118 leksis. Berdasarkan analisis apraisal jumlah kemunculan apraisal sikap 82
leksis, pemosisian 232 leksis, dan graduasi 206 leksis. SP I merupakan jenis
sidang panel. Sidang panel memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan
pendahuluan (lihat pasal 10 ayat (1) PMK 6/2005), melaporkan hasil pemeriksaan
dan memberikan rekomendasi kepada rapat pleno permusyawaratan hakim serta
memberikan usulan penggabungan pemeriksaan persidangan dalam keadaan
tertentu (lihat pasal 12 ayat (2) PMK 6/2005).
Gambar 4.2 Keterangan sidang pengadian Sumber: sidang pengadilan MKRI
Sidang panel dihadiri oleh Hakim Ketua AH dan Hakim Anggota IDGP
dan MMPS. Pemohon yang hadir SH, TMA, MAS dan HAN. Sumber sikap unsur
penilaian hakim dan pemohon dalam SP I dapat dilihat pada tabel penilaian
berikut ini.
Tabel 4.11 Sumber penilaian SP I
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>positif 21,20% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>negatif 9,10% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 24,20% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 24,20% 5 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran> negatif 6,10% 6 sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas>positif 15,20% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Sumber penilaian SP I terdiri atas sanksi sosial dan penghargaan sosial.
Sanksi sosial terdiri atas proprietas dan verasitas bermakna positif dan negatif.
Penghargaan sosial terdiri atas kapasitas dan tenasitas bermakna negatif.
Tabel 4.12 Sumber apresiasi SP I
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 15,60% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>positif 3,10% 3 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 21,90% 4 sikap>apresiasi>valuasi>positif 28,10% 5 sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif 31,30% Total 100%
Sumber apresiasi SP I berdasarkan polaritas positif dan negatif terdiri atas
kualitas, keseimbangan, valuasi, dan kompleksitas. Leksis dalam SP I merupakan
sumber daya yang menunjukkan perasaan.
Tabel 4.13 Sumber afek SP I
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan 11,76% 2 sikap>afek>keamanan>amanah 82,36% 3 sikap>afek>kepuasan-kesenangan 5,88% Total 100%
Sumber afek SP I terdiri atas keamanan, keamanan-amanah, dan kepuasan-
kesenangan. Selain sumber sikap unsur penilaian, apresiasi, dan afek terdapat
sumber pemosisian teks SP I terangkum dalam persentase pemosisian sebagai
berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Tabel 4.14 Sumber pemosisian SP I
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 31,50% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 2,10% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 28,00% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 34,50% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 3,90% Total 100%
Pemosisian SP I terdiri atas heteroglos. Heteroglos terdiri atas
ekstravokalisasi dan intravokalisasi. Sumber ekstravokalisasi terdiri atas asimilasi.
Intravokalisasi terdiri atas proklamasi, modalitas, penyangkalan dan indrawi.
Tabel 4.15 Sumber graduasi SP I
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 6,30% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 3,90% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 13,10% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 13,60% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 49,50% 6 graduasi>fokus>tajam 11,20% 7 graduasi>fokus>lunak 2,40% Total 100%
Sumber graduasi terdiri atas forsa dan fokus. Forsa terdiri atas
intensitifikasi dan kuantifikasi. Sumber intensitifikasi terdiri atas unsur tingkatan
dan metafora. Sumber kuantifikasi memiliki unsur jumlah, ruang, dan waktu.
Fokus dalam SP I terdiri atas tajam dan lunak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
persentase graduasi pada SP I di bawah ini.
b. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II)
Jumlah kosa kata dalam teks SP II berisi perbaikan permohonan terdiri
atas 1.568 leksis. Kemunculan apraisal sikap 24 leksis, pemosisian 47 leksis, dan
graduasi 71 leksis. SP II dihadiri hakim ketua hakim Arief Hidayat dan pemohon
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
SH. Sumber sikap terdiri atas penilaian, apresiasi, dan afek. Penilaian pada SP II
memiliki bahasa evaluasi yang terangkum dalam tabel apresiasi berikut ini.
Tabel 4.16 Sumber penilaian SP II
No Sumber Sikap Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 9,10% 2 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>negatif 18,20% 3 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 72,70% Total 100%
Penilaian dalam SP II terdiri atas saksi sosial unsur proprietas bermakna
positif dan verasitas bermakna positif. Penghargaan sosial memiliki unsur
kapasitas bermakna negatif. Sumber apresiasi SP II terdiri atas kualitas,
keseimbangan, dan valuasi seperti tabel berikut.
Tabel 4.17 Sumber apresiasi SP II
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 22,20% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 66,70% 3 sikap>apresiasi>valuasi>positif 11,10% Total 100%
Sumber apresiasi SP II terdiri dari unsur kualitas bermakna positif, keseimbangan
bermakna negtif, dan valuasi bermakna positif.
Tabel 4.18 Sumber afek SP II
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>amanah 25,00% 2 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 75,00% Total 100%
Sumber afek pada SP II memiliki unsur kepuasan-kesenangan dengan jumlah dan
keamanan-amanah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
Tabel 4.19 Sumber pemosisian SP II
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 31,90% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 14,90% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 14,90% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 38,30% Total 100%
Dari tabel pemosisian SP II di atas terdapat sumber pemosisian yang terdiri atas
intravokalisasi dengan unsur proklamasi, modalitas, dan penyangkalan. Sumber
ekstravokalisasi dengan unsur asimilasi.
Tabel 4.20 Sumber graduasi SP II
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 9,90% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 2,80% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 16,90% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 4,20% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 66,20% Total 100%
Sumber graduasi pada SP II terdiri atas forsa dan fokus. Sumber forsa terdiri atas
intensitifikasi unsur tingkatan, dan metafora. Sumber forsa kuantifikasi unsur
jumlah, ruang, dan waktu.
c. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Jumlah kosa kata dalam teks SP III berisi sidang pleno bertema
mendengarkan keterangan presiden dan DPR terdiri atas 7.866 leksis.
Kemunculan apraisal sikap 119 leksis, pemosisian 422 leksis, dan graduasi 225
leksis. Apraisal sikap dalam SP III dipaparkan dari sumber apresiasi, penilaian,
dan afek dengan persentase berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
Tabel 4.21 Sumber apresiasi SP III
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 2,94% 2 sikap>apresiasi>kualitas>negatif 2,94% 3 sikap>apresiasi>keseimbangan>positif 2,94% 4 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 23,50% 5 sikap>apresiasi>valuasi>positif 55,90% 6 sikap>apresiasi>dampak>negatif 2,94% 7 sikap>apresiasi>dampak>positif 5,90% 8 sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif 2,94% Total 100%
Jenis apresiasi yang muncul dari analisis SP III adalah kualitas bermakna
positif dan negatif, keseimbangan bermakna positif dan negatif, valuasi bermakna
positif, dampak bermakna positif dan negatif, dan kompleksitas bermakna negatif.
Tabel 4.22 Sumber penilaian SP III
No Sumber penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 4,50% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 61,20% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 10,40% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 22,40% 5 sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas>positif 1,50% Total 100%
Sumber penilaian SP III terdiri atas sanksi sosial dan penghargaan sosial.
Sumber sanksi sosial terdiri atas proprietas/etika bernilai positif dan negatif dan
verasitas/kebenaran bernilai positif. Sumber penghargaan sosial terdiri atas
kapasitas bermakna positif dan tenasitas bermakna positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
Tabel 4.23 Sumber afek SP III
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan 22,20% 2 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 5,60% 3 sikap>afek>ketidakamanan>kegelisahan 5,60% 4 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 22,20% 5 sikap>afek>ketidakamanan 11,10% 6 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 33,30% Total 100%
Sumber afek SP III terdiri atas unsur keamanan, keamanan-kepercayaan,
ketidakamanan-kegelisahan, kepuasan-kesenangan, ketidakamanan, dan irealis
kecenderungan merasa takut.
Tabel 4.24 Sumber pemosisian SP III
No
Sumber Pemosisian Jumlah
1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 31,00% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 6,90% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 28,20% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 30,80% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 3,10% Total 100%
Sumber pemosisian terdiri atas heteroglos. Heteroglos terdiri atas
ekstravokalisasi dan intravokalisasi. Ekstravokalisasi dalam SP III terdiri atas
asimilasi. Intravokalisasi terdiri atas unsur proklamasi, modalitas, penyangkalan,
dan indrawi.
Tabel 4.25 Sumber graduasi SP III
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 16,89% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 10,22% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 13,33% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 13,78% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 37,33% 6 graduasi>fokus>tajam 4,45% 7 graduasi>fokus>lunak 4,00% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
Sumber graduasi SP III terdiri atas forsa dengan unsur intensitifikasi dan
kuantifikasi. Intensitifikasi terdiri atas unsur tingkatan dan metafora. Kuantifikasi
terdisi atas unsur jumlah, ruang, dan waktu. SP III merupakan jenis sidang pleno.
Sidang pleno memiliki wewenang diantaranya untuk melakukan pemeriksaan
pendahuluan, pemeriksaan persidangan (pasal 12 ayat (1) (2) PMK 6/2005), dan
pengucapan putusan Mahkamah Konstitusi (pasal 31 jo pasal 39 PMK 6/2005).
SP III dihadiri oleh hakim ketua AH dan hakim anggota PA (pasal 10 ayat (1) dan
(2) PMK 6/2005).
Pihak pemohon dihadiri oleh MAS, SH, HSN, dan TMR. Sementara dari
DPR tidak hadir. Dari pemerintah dihadiri oleh Mu dari Kumham, YH Direktur
3C Kemenkumham, MD koodinator pada Jamdatun Jagung, Ari dari kejaksaan
dan Su dari Kumham.
MD pembaca keterangan presiden atas permohonan pengujian UU No. 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 tahun 2001 tentang pemeriksaan
tindak pidana korupsi terhadap UUD Republik Indonesia tahun 1945. Meriam
Barata Dirjen Seketaris Kominfo pembaca keterangan presiden atas permohonan
pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transkasi elektronik dan
UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap UUD RI 1945.
d. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Jumlah kosa kata dalam teks SP IV berisi sidang pleno bagian satu tentang
mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon terdiri atas 10.230 leksis.
Kemunculan apraisal sikap 199 leksis, pemosisian 519 leksis, dan graduasi 301
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
leksis. Leksis sikap terdiri atas unsur penilaian, apresiasi, dan afek seperti tabel
berikut.
Tabel 4.26 Sumber penilaian SP IV
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 4,20% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 77,10% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 9,00% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 9,70% Total 100%
Sumber penilaian terdiri atas sumber penghargaan sosial terdiri atas kapasitas
bermakna positif. Sanksi sosial terdiri atas proprietas dan verasitas.
Tabel 4.27 Sumber Apresiasi SP IV
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 27,30% 2 sikap>apresiasi>valuasi>positif 69,70% 3 sikap>apresiasi>valuasi>negatif 3,00% Total 100%
Apresiasi SP IV terdiri atas keseimbangan negatif dan valuasi positif dan negatif.
Tabel 5.28 Sumber afek SP IV
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan 41,70% 2 sikap>afek>keamanan>amanah 8,30% 3 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 11,10% 4 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 11,10% 5 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 27,80% Total 100%
Sumber afek SP IV terdiri atas keamanan, keamanan-amanah, keamanan-
kepercayaan, kepuasan-kesenangan, irealis unsur kecenderungan merasa takut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
Tabel 4.29 Sumber pemosisian SP IV
No
Sumber Pemosisian Jumlah
1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 31,60% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 2,50% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 27,20% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 35,80% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 2,90% Total 100%
Sumber pemosisian SP IV terdiri atas ekstravokalisasi dan intravokalisasi.
Ekstravokalisasi pada SP IV hanya memiliki unsur asimilasi. Intravokalisasi
dalam SP IV terdiri atas proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan indrawi.
Tabel 4.30 Sumber graduasiSP IV
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 14,29% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 2,66% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 16,60% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 11,30% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 46,50% 6 graduasi>fokus>tajam 3,66% 7 graduasi>fokus>lunak 4,99% Total 100%
Sumber graduasi SP IV terdiri atas forsa dengan unsur intensitifikasi dan
kuantifikasi. Intensitifikasi terdiri atas unsur tingkatan dan metafora. Kuantifikasi
terdisi atas unsur jumlah, ruang, dan waktu. Fokus terdiri atas unsur tajam dan
lunak.
SP IV dihadiri oleh hakim Anwar Usman. Pemohon dihadiri oleh M. AS,
SH, HSAN, dan TRMA. Dari DPR RI dihadiri oleh SDA. Pemerintah dihadiri
Mu, AS, YH Direktur D3C Kemenkumham, DE, SH dari kejaksaan, BS dari
Kepala Biro Hukum Kominfo.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
Dihadirkan juga ahli pemohon CH, AH, H.A.S. NB, M. SK. Wahiduddin Adams
pemimpin pengambilan sumpah dari ahli pemerintah.
e. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Jumlah kosa kata dalam teks SP V berisi sidang pleno bagian dua masih
mengenai tema mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon terdiri atas
10.802 leksis. kemunculan apraisal sikap 294 leksis, pemosisian 648 leksis, dan
graduasi 460 leksis. Sumber sikap terdiri atas penilaian berikut ini.
Tabel 4.31 Sumber penilaian SP V
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 3,76% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 69,90% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 13,97% 4 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>negatif 1,07% 5 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 11,30% Total 100%
Sumber penilaian SP V memiliki proprietas/etika bermakna positif dan negatif,
kapasitas bermakna negatif dan positif, dan verasitas/kebenaran bermakna positif.
Sumber apresiasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.32 Sumber apresiasi SP V
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 3,22% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 17,75 % 3 sikap>apresiasi>valuasi>positif 46,78% 4 sikap>apresiasi>valuasi>negatif 1,61% 5 sikap>apresiasi>dampak>positif 1,61% 6 sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif 29,03% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
Sumber apresiasi SP V terdiri atas kualitas bermakna positif, keseimbangan
bermakna negatif, valuasi bermakna negatif dan positif, dampak bermakna positif,
dan kompleksitas bermakna negatif. Sumber afek berikut ini.
Tabel 4.33 Sumber afek SP V
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>amanah 2,17% 2 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 2,17% 3 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 8,70% 4 sikap>afek>ketidakbahagiaan>keamanan positif 36,96% 5 sikap>afek>ketidakbahagiaan>ketidakamanan>negatif 2,18 % 6 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 47,82% Total 100%
SP V juga memiliki Afek yang terdiri atas keamanan amanah dan
kepercayaan. Afek unsur kepuasan dan kesenangan, unsur
ketidakbahagiaan/keamanan bermakna positif dan negatif, serta irealis
kecenderungan merasa takut.
Tabel 4.34 Sumber pemosisian SP V
No
Sumber Pemosisian Jumlah
1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 20,68% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 0,78% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 32,56% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 44,13% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 1,85% Total 100%
Sumber pemosisian SP V terdiri atas ekstravokalisasi unsur asimilasi.
Intravokalisasi SP V terdiri atas unsur proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan
indrawi. Sumber graduasi terdiri atas tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu,
tajam, dan lunak seperti tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
Tabel 4.35 Sumber graduasi SP V
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 17,82% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 5,65% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 25,00% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 0,87% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 39,57% 6 graduasi>fokus>tajam 6,96% 7 graduasi>fokus>lunak 4,13 % Total 100%
SP V bagian (2) dihadiri oleh Hakim Anwar Usman bertugas sebagai
ketua sidang, sebagai anggota hakim hadir I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo,
Patrialis Akbar, dan Maria Farida Indrati. Ahli Pemohon dihadirkan EOSH, SB,
dan DADT.
f. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI)
Jumlah kosa kata dalam teks SP VI berisi mendengarkan keterangan ahli
presiden terdiri atas 10.000 leksis. Kemunculan apraisal sikap 89 leksis,
pemosisian 613 leksis, dan graduasi 342 leksis.
Tabel 4.36 Sumber penilaian SP VI
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 23,10% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 17,30% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 23,10% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 36,50% Total 100%
Sumber penilaian SP VI memiliki proprietas/etika bermakna positif dan negatif,
kapasitas bermakna positif, dan verasitas/kebenaran bermakna positif. Sumber
apresiasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
Tabel 4.37 Sumber apresiasi SP VI
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 9,10% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 13,60% 3 sikap>apresiasi>valuasi>positif 40,90% 4 sikap>apresiasi>dampak>positif 36,40% Total 100%
Sumber apresiasi SP VI terdiri atas kualitas bermakna positif, keseimbangan
bermakna negatif, valuasi bermakna positif, dampak bermakna positif seperti tabel
berikut ini.
Tabel 4.38 Sumber afek SP VI
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>positif 46,70% 2 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 33,30% 3 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 20,00% Total 100%
Sumber afek SP VI terdiri atas keamanan bermakna positif, keamanan-
kepercayaan, kepuasan-kesenangan lihat persentase pemosisian berikut ini.
Tabel 4.39 Sumber pemosisian SP VI
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 16,30% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 1,15% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 30,35% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 46,50% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 5,70% Total 100%
Sumber pemosisian SP VI terdiri atas ekstravokalisasi unsur asimilasi.
Intravokalisasi SP VI terdiri atas unsur proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan
indrawi. Sumber graduasi terdiri atas tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu,
tajam, dan lunak seperti tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
Tabel 4.40 Sumber graduasi SP VI
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 7,00% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 6,15% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 38,90% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 5,85% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 31,00% 6 graduasi>fokus>tajam 2,60% 7 graduasi>fokus>lunak 8,50% Total 100%
SP VI dihadiri oleh ketua majelis Hakim Arief Hidayat dengan anggota
majelis Hakim I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar, dan Maria Farida Indrati.
Pemohon dihadiri oleh MAS, SH, HSAN, TMA. Dari pihak pemerintah dihadiri
oleh Mu, YH direktur 3C Kemenkumham, AJ, DE, SH dari Kejaksaan Agung,
AS. Malau dari Kominfo. Ahli Pemerintah yang dihadirkan Dr. EK pengajar
hukum telematika Universitas Indonesia, Dr SS berhalangan hadir diganti dengan
Prof. HS staf pengajar hukum media Universitas Erlangga.
g. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Jumlah kosa kata dalam teks SP VII berisi mendengarkan keterangan
ahli/saksi presiden terdiri atas 12.282 leksis. Kemunculan apraisal sikap 215
leksis, pemosisian 891 leksis, dan graduasi 454 leksis.
Tabel 4.41 Sumber penilaian SP VII
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 6,00% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 61,30% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 16,00% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 16,70% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
Sumber penilaian SP VII memiliki proprietas/etika bermakna positif dan negatif,
kapasitas bermakna positif, dan verasitas/kebenaran bermakna positif. Sumber
apresiasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.42 Sumber apresiasi SP VII
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 6,70% 2 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 8,90% 3 sikap>apresiasi>valuasi>positif 75,60% 4 sikap>apresiasi>valuasi>negatif 2,20% 5 sikap>apresiasi>dampak>positif 4,40% 6 sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif 2,20% Total 100%
Sumber apresiasi SP VII terdiri atas kualitas bermakna positif, keseimbangan
bermakna negatif, valuasi bermakna negatif dan positif, dampak bermakna positif,
dan kompleksitas bermakna negatif. Lihat juga sumber afek berikut ini.
Tabel 4.43 Sumber afek SP VII
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>positif 30,00% 2 sikap>afek>keamanan>amanah>positif 15,00% 3 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 55,00% Total 100%
Sumber afek SP VII terdiri atas keamanan bermakna positif, keamanan-amanah
bermakna positif, dan irealis unsur kecenderungan merasa takut.
Tabel 4.44 Sumber pemosisian SP VII
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 12,57% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 1,68% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 35,60% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 47,90% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 2,25% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
Sumber pemosisian SP VII terdiri atas ekstravokalisasi unsur asimilasi.
Intravokalisasi SP VII terdiri atas unsur proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan
indrawi. Sumber graduasi terdiri atas tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu,
tajam, dan lunak seperti persentase sumber graduasi berikut ini.
Tabel 4.45 Sumber graduasi SP VII
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 8,80% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 12,60% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 22,00% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 4,20% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 30,60% 6 graduasi>fokus>tajam 11,20% 7 graduasi>fokus>lunak 10,60% Total 100%
SP VII dihadiri oleh Arief Hidayat sebagai ketua majelis hakim. Hakim
anggota Manahan MP Sitompul, Suhartoyo dan Patrialis Akbar. Pemohon dihadiri
oleh M. AS dan SH. Dari pemerintah dihadiri oleh M, MB Sekretaris Dirjen
Kominfo, BS Kepala Biro Hukum Kominfo, AM, DE dari Kejagung, dan SF. Dari
ahli pemerintah dihadirkan Dr. M.
h. Sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Jumlah kosa kata dalam teks SP VIII berisi pengucapan putusan perkara
No. 20/PUU-XIV/2016 terdiri atas 3.284 leksis. Kemunculan apraisal sikap 38
leksis, pemosisian 211 leksis, dan graduasi 150 leksis dapat dilihat pada
rangkuman tabel sumber skap, pemosisian, dan graduasi berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
Tabel 4.46 Sumber penilaian SP VIII
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 28,57% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 14,29% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 28,57% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 28,57% Total 100%
Leksis sumber penilaian pada tabel di atas terdiri atas proprietas/etika bernilai
positif dan negatif, kapasitas bermakna positif, dan verasitas/kebenaran bernilai
positif.
Tabel 4.47 Sumber apresiasi SP VIII
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 24,00% 2 sikap>apresiasi>valuasi>positif 76,00% Total 100%
Sumber apresiasi SP VIII terdiri atas keseimbangan bermakna negatif, valuasi
bermakna positif.
Tabel 4.48 Sumber afek SP VIII
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 16,70% 2 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 83,30% Total 100%
Sumber afek SP VIII hanya terdiri atas kepuasan-kesenangan dan irealis unsur
kecenderungan merasa takut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
Tabel 4.49 Sumber pemosisian SP VIII
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 29,90% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 18,50% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 19,90% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 28,40% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 3,30% Total 100%
Sumber pemosisian SP VIII terdiri atas ekstravokalisasi unsur asimilasi.
Intravokalisasi SP VIII terdiri atas unsur proklamasi, modalitas, penyangkalan,
dan indrawi.
Tabel 4.50 Sumber graduasi SP VIII
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 6,00% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 26,00% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 12,70% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 3,30% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 43,30% 6 graduasi>fokus>tajam 4,70% 7 graduasi>fokus>lunak 4,00% Total 100%
Sumber graduasi terdiri atas tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu,
tajam, dan lunak. SP VIII dihadiri oleh Ketu Hakim Arief Hidayat dan anggota
majelis hakim Manahan MP Sitompul, I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo.
4.2.1.3 Data putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Struktur teks putusan tersebut terdiri atas (1) pendahuluan; Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang mengadili perkara dan pemohon SN
(2) duduk perkara, (3) pertimbangan hukum, (4) konklusi, (5) amar putusan, (6)
pendapat berbeda (dissenting opinions), dan (7) pengesahan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
MKRI yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, diajukan oleh SN sebagai pemohon.
Berdasarkan surat kuasa khusus nomor 28/SK-SHP/I/2016 bertanggal 28 Januari
2016 memberi kuasa kepada advokat di kantor hukum SYAMSU
HAMID&PARTNERS, beralamat di Gedung Graha Samali, Lantai 2, R. 2001, Jalan
H. Samali nomor 31 B, Pancoran, Kalibatan-Pasar Minggu, Jakarta Selatan12740.
Amar putusan menyatakan (1) mengabulkan permohonan pemohon untuk
sebagian; (2) menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya; (3)
memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Dalam rapat permusyawaratan hakim oleh sembilan hakim konstitusi pada
hari Rabu, tanggal dua puluh dua, bulan Juni, tahun dua ribu enam belas dan hari
Selasa, tanggal tiga puluh, bulan Agustus, tahun dua ribu enam belas, yang
diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Rabu, tanggal tujuh, bulan September, tahun dua ribu enam belas, selesai
diucapkan pukul 12.42 WIB, oleh sembilan hakim konstitusi dan anggota, dengan
didampingi oleh panitera pengganti, serta dihadiri oleh pemohon/kuasanya,
presiden atau yang mewakili, dan dewan perwakilan rakyat atau yang mewakili.
Teks putusan gugatan UU ITE Nomor 20/PUU-XIV/2016 terdiri atas
33.398 leksis dan 105 halaman. Berdasarkan analisis apraisal jumlah kemunculan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
113
apraisal sikap 531 leksis, pemosisian 1535 leksis, dan graduasi 1036 leksis.
Sumber sikap terdiri atas unsur afek 193 leksis, penilaian 182 leksis, apresiasi 156
leksis. Persentase sumber sikap dalam putusan terangkum dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.51 Sikap dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Sikap Putusan No. 20/PUU-XIV/2016 Afek Penilaian Apresiasi
36,30% 34,30% 29,40%
Sumber sikap putusan No. 20/PUU-XIV/2016 terdiri dari unsur afek 36,34%,
penilaian 34,27%, dan apresiasi 29,37% yang akan diuraikan satu persatu pada
tabel berikut ini.
Tabel 4.52 Sumber afek dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No Sumber Afek Jumlah 1 sikap>afek>keamanan>amanah 9,85% 2 sikap>afek>keamanan>kepercayaan 3,63% 3 sikap>afek>keamanan>positif 52,85% 4 sikap>afek>kepuasan>kesenangan 0,50% 5 sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut 17,62% 6 sikap>afek>irealis>kecenderungan>hasrat/keingian 15,55% Total 100%
Unsur afek terdiri atas sistem sikap keamanan 102 leksis, keamanan-amanah 19
leksis, keamanan-kepercayaan 7 leksis, irealis (hasrat) kecenderungan-ingin 30
leksis, kepuasan-kesenangan 1 leksis dan irealis (hasrat) kecenderungan-takut 34
leksis.
Tabel 4.53 Sumber penilaian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No Sumber Penilaian Jumlah 1 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif 18,10% 2 sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif 27,50% 3 sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif 31,30% 4 sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif 23,10% Total 100%
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
114
Unsur penilaian terdiri atas (1) sanksi sosial proprietas/etika positif 33 leksis,
proprietas negatif 50 leksis, verasitas/kebenaran positif 42 leksis, (2) penghargaan
sosial kapasitas positif 57 leksis.
Tabel 4.54 Sumber apresiasi pada putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No Sumber Apresiasi Jumlah 1 sikap>apresiasi>kualitas>positif 0,64% 2 sikap>apresiasi>kualitas>negatif 0,64% 3 sikap>apresiasi>keseimbangan>positif 0,64% 4 sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif 19,88% 5 sikap>apresiasi>valuasi>positif 62,82% 6 sikap>apresiasi>valuasi>negatif 0,64% 7 sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif 14,74% Total 100%
Unsur apresiasi terdiri atas (1) reaksi kualitas positif 1 leksis dan kualitas negatif 1
leksis (2) komposisi keseimbangan positif 1 leksis, keseimbangan negatif 31
leksis, dan kompleksitas negatif 23 leksis (3) valuasi positif 98 leksis dan valuasi
negatif 1 leksis.
Tabel 4.55 Sumber pemosisian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No Sumber Pemosisian Jumlah 1 pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi 29,10% 2 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi 7,20% 3 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas 27,70% 4 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan 33,20% 5 pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi 2,80% Total 100%
Sumber pemosisian terdiri atas unsur asimilasi 447 leksis, proklamasi 110 leksis,
modalitas 425 leksis, penyangkalan 510 leksis, dan indrawi 43 leksis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
115
Tabel 4.56 Sumber graduasi putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No Sumber Graduasi Jumlah 1 graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan 5,39% 2 graduasi>forsa>intensifikasi>metafora 22,16% 3 graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah 8,48% 4 graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang 5,88% 5 graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu 42,96% 6 graduasi>fokus>tajam 11,67% 7 graduasi>fokus>lunak 3,46% Total 100%
Sumber graduasi terdiri atas unsur tingkatan 56 leksis, metafora 230 leksis, ruang
61 leksis, waktu 446 leksis, lunak 36 leksis dan tajam 121 leksis.
4.2.2 Data makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE
Gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 diajukan oleh SN
(pemohon yang diwakili oleh kuasa hukum Syamsu Hamid dan Partners)
memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian materil pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2) dan pasal 44 huruf b undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang
informasi dan transaksi elektronik lembaran negara Republik Indonesia tahun 2008
nomor 58 dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 4843, UU
ITE dan pasal 26 a undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2001 nomor 134 dan
tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 4150) terhadap UUD 1945.
Data pasal yang digugat adalah sebagai berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
116
Tabel 4.57 Pasal yang digugat dalam perkara No.20/PUU-XIV/2016
Pasal Uraian Pasal 5 ayat 1 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pasal 5 ayat 2 Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 44 huruf (b) Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Makna secara semiotik forensik dilakukan dengan mengidentifikasi dan
interpretasi tanda. Identifikasi makna forensik dianalisis pada pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan pasal 44 huruf b.
Tipologi makna semiotik forensik dalam pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44
huruf b memiliki tiga titik inti yaitu Representamen (R), Objek (O), dan
Interpretan (I). Tipologi tanda Pasal 5 ayat (1) terdiri atas ® informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya dengan makna informasi
elektronik (pemufakatan jahat)/dokumen elektronik (rekaman suara), (O) pasal 31
ayat (3) dengan makna tidak diperoleh dengan cara yang sah, (I) tidak sah dengan
makna tidak sesuai dengan HA yang berlaku di Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) terdiri atas ® informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
makna informasi elektronik (pemufakatan jahat)/dokumen elektronik (rekaman
suara), (O) pasal 31 ayat (3) dan (4) dengan makna perluasan alat bukti tidak
sesuai. (I) tidak sah dengan makna tidak sesuai dengan HA yang berlaku di
Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
117
Pasal 44 huruf b terdiri atas ® informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dengan makna informasi elektronik (pemufakatan jahat)/dokumen
elektronik (rekaman suara) alat bukti lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) (O) pasal 31 ayat
(3) dan (4) dengan makna alat bukti lain tidak sesuai (tidak diperoleh berdasarkan
tata cara intersepsi) dengan pasal 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), (I) tidak sah dengan makna tidak sesuai dengan HA yang berlaku di
Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
118
BAB V
POLA BAHASA DAN ASPEK LINGUISTIK FORENSIK DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
5.1 Pengantar
Pembahasan dalam bab ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama tentang
pola bahasa dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 yang terdiri atas tiga data yaitu (1) teks UU ITE
tahun 2008 (2) sidang pengadilan (3) putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Bagian
kedua tentang aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE. Bagian ketiga
hubungan ontologis dan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik
perspektif apraisal dalam gugatan UU ITE.
Dari hasil analisis ditemukan pola bahasa teks UU ITE Sikap ^ Pemosisian
^ Graduasi. Pola bahasa proses sidang pengadilan Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian.
Pola bahasa teks putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 adalah Pemosisian ^
Graduasi ^ Sikap. Dari aspek linguistik forensik terdapat bukti-bukti linguistik
yang menyatakan bahwa percakapan tersebut berisi lobi atau pemufakatan jahat
tetapi alat bukti tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia.
5.2 Pola Bahasa dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Sistem dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik berkenaan dengan wilayah makna yang merujuk pada sikap,
pemosisian, dan graduasi. Kerangka apraisal terdiri dari tiga subsistem yang
beroperasi secara paralel seperti jaringan sistem gugatan UU ITE berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
119
Gambar 5.1 Jaringan sistem (network system) gugatan UU ITE
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120
Sistem sikap menunjukkan bagaimanakah sikap penutur atau penulis
dalam menyampaikan pesannya kepada para pendengar dan pembaca baik melalui
teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016.
Subsistem apraisal sikap terdiri atas afek, penilaian, dan apresiasi memiliki
turunan kajian yang bervariasi. Secara keseluruhan teks UU ITE, proses sidang
pengadilan, dan putusan gugatan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 terangkum
dalam diagram sistem dan subsistem apraisal sikap berikut ini.
Gambar 5.2 Sikap dalam Gugatan UU ITE
Dari diagram di atas sikap dalam gugatan UU ITE didominasi oleh
unsur penilaian dari ketiga teks. Hal tersebut menggambarkan gugatan UU
ITE merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap pembuat, perumus,
dan pihak-pihak yang hadir dalam proses sidang pengadilan gugatan UU ITE
berorientasi pada penghargaan sosial dan sanksi sosial.
Sistem pemosisian berkaitan dengan siapa yang membuat evaluasi di
dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan gugatan. Kerangka
orientasi dari pemosisian ini lebih mengacu pada makna dalam konteks dialog dan
51,8
25,622,6
59
16,5
24,5
34,3 36,329,4
010203040506070
Penilaian Afek Apresiasi
Sikap dalam Gugatan UU ITE Perkara No. 20/PUU-XIV/2016
UU ITE SP Putusan No.20/PUU-XIV/2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
121
juga mengacu pada efek retorik dalam gugatan UU ITE. Secara keseluruhan teks
UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
terangkum dalam diagram sistem dan subsistem apraisal pemosisian berikut ini.
Gambar 5.3 Pemosisian dalam Gugatan UU ITE
Pemosisian dalam gugatan UU ITE didominasi oleh unsur penyangkalan
dan modalitas. Hal ini menggambarkan bahwa ketiga teks menggunakan sumber
daya bahasa untuk memposisikan suara pembuat, perumus, dan pihak-pihak yang
hadir dalam proses sidang pengadilan sebagai sesuatu yang ganjil atau penolakan,
beberapa posisi yang berlawanan berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
terdapat dalam bahasa teks UU ITE, putusan, dan proses sidang pengadilan.
Modalitas menggambarkan pembuat, perumus, dan pihak-pihak yang hadir dalam
proses sidang pengadilan menggunakan bahasa untuk merealisasikan dan
menyatakan sikap, pandangan, pertimbangan, dan keinginan.
Sistem graduasi berkaitan dengan penggunaan fungsi bahasa menguatkan
atau melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks gugatan UU
ITE. Secara keseluruhan teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
122
20/PUU-XIV/2016 terangkum dalam diagram sistem dan subsistem apraisal
graduasi berikut ini.
Gambar 5.4 Graduasi dalam Gugatan UU ITE
Secara keseluruhan graduasi dalam gugatan UU ITE didominasi oleh
unsur waktu. Unsur metafora didominasi oleh putusan No. 20/PUU-XIV/2016.
Hal ini menggambarkan bahwa dalam gugatan UU ITE, waktu digunakan sebagai
pengukuran ketentuan pidana dan rujukan terhadap undang-undang. Metafora
dalam putusan menggambarkan atau melibatkan perubahan UU ITE berdasarkan
keadaan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
5.2.1 Pola bahasa dalam UU ITE
Dari hasil analisis ditemukan pola bahasa teks UU ITE Sikap ^ Pemosisian ^
Graduasi seperti jaringan sistem berikut ini.
Gambar 5.5 Jaringan sistem (network system) UU ITE
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
124
5.2.1.1 Sikap dalam UU ITE
Dari hasil analisis sikap dalam teks UU ITE terbentuk pola Penilaian ^
Afek ^ Apresiasi. Dari sistem tersebut menunjukkan teks UU ITE memiliki
wilayah makna yang merujuk pada sikap pemerintah yang menggambarkan
bagaimana masyarakat harus mematuhi norma yang berlaku dalam UU ITE dan
sanksi yang akan muncul jika terbukti melanggar UU ITE.
Sikap dalam teks UU ITE dapat dilihat dari contoh berikut ini.
(19) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA menimbang bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. (DT UU ITE 2008 1)
(sikap> penilaian>sanksi sosial>proprietas>positif) (sikap>afek>ketidakamanan>kegelisahan>negatif)
(20) Bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. (DT UU ITE 2008 3)
(sikap>afek>irealis>keinginan>positif) (sikap>afresiasi>kualitas>positif) (sikap>afresiasi>keseimbangan>positif) (sikap>afresiasi>keseimbangan>positif)
Secara apraisal leksis Esa, dinamika, mengharuskan, optimal, merata, dan
menyebar adalah leksis bahasa evaluatif yang merupakan sumber daya
mengungkapkan keadaan. Leksis Esa memiliki makna „satu‟ merupakan sumber
sikap unsur proprietas/etika bermakna positif. Frasa DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA ditulis dengan menggunakan huruf kapital memiliki makna
untuk menegaskan bahwa UU ITE mencerminkan Indonesia dengan keberagaman
menjadi „satu‟ di mata hukum dalam menegakkan keadilan sebagai wujud
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
125
perdamaian. Leksis dinamika merupakan sumber daya yang menunjukkan
perasaan ketidakamanan atau kegelisahan bermakna negatif. Kegelisahan
pemerintah akan perkembangan teknologi sehingga mengharuskan untuk
diterbitkannya UU ITE sebagai salah satu norma hukum dalam masyarakat.
Leksis mengharuskan merupakan unsur irealis atau keinginan bermakna
positif. Leksis mengharuskan merupakan keadaan meliputi maksud dan tujuan
atau reaksi yang berhubungan dengan stimulus yang irialis. Ketiga leksis optimal,
merata, dan menyebar adalah sumber apraisal sikap yang merupakan unsur
apresiasi. Leksis optimal, merata, dan menyebar merupakan wilayah makna yang
merujuk evaluasi terhadap pengelolaan teknologi informasi. Leksis optimal
merupakan reaksi kualitas bermakna positif. Leksis merata dan menyebar
merupakan komposisi keseimbagan yang bermakna positif.
Dari tabel sikap UU ITE tahun 2008 terbentuk sumber sikap Penilaian ^
Afek ^ Apresiasi. Penilaian mendominasi sumber sikap dalam teks UU ITE
dengan jumlah 51,80%, diikuti afek dengan jumlah 25,60%, dan terkecil diperoleh
apresiasi dengan jumlah 22,60%. Dari hasil analisis ketiga komponen di atas
ditemukan bahwa teks UU ITE memiliki tipologi sikap dari penulis UU ITE yang
sesungguhnya seperti gambar berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
126
Gambar 5.6 Tipologi sikap dalam teks UU ITE
Dari gambar di atas dapat disimpulkan sikap dalam teks UU ITE
didominasi unsur penilaian yang terdiri atas dua kategori yang berorientasi pada
penghargaan sosial dan sanksi sosial. Kerangka kerja apraisal dalam parameter
sikap unsur penilaian dalam teks UU ITE terdiri atas unsur penilaian penghargaan
sosial bermakna kapasitas dan tenasitas. Penilaian saksi sosial bermakna verasitas
dan proprietas.
Afek terdiri atas dua subkategori makna positif dan negatif. Afek teks UU
ITE tersebut terdiri dari afek unsur irialis (hasrat)-keinginan, ketidakamanan-
kegelisahan, kepercayaan, dan ketidakpuasan-ketidaksenangan. Apresiasi dalam
teks UU ITE dibagi kedalam reaksi, komposisi, dan valuasi. Reaksi dalam teks
bermakna dampak dan kualitas, komposisi bermakna keseimbangan, dan valuasi.
Ketiga unsur teks UU ITE di atas akan diuraikan secara rinci berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127
a. Penilaian dalam teks UU ITE
Penilaian dalam teks UU ITE merupakan wilayah makna yang merujuk
pada sikap unsur proprietas/etika bermakna negatif dengan jumlah 71,80%. Dari
persentase penilaian pada UU ITE tergambar sumber sikap didominasi oleh
proprietas/etika bermakna negatif sebanyak 71,80%. Hal ini menggambarkan UU
ITE merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap dan norma yang
mengatur bagaimana pengguna teknologi informasi harus berprilaku. Penilaian
dalam UU ITE terbagi atas dua kategori yaitu yang berhubungan dengan
penghargaan sosial dan sanksi sosial. Akan tetapi, penilaian yang didominasi UU
ITE adalah penilaian dalam kategori sanksi sosial.
Persentase perolehan penilaian berikutnya diikuti oleh proprietas/etika
bermakna positif dengan jumlah 8,20%. Hal ini menggambarkan penilaian sanksi
sosial bagaimana etika dalam menggunakan teknologi informasi dan penilaian
penghargaan sosial bagaimana tegasnya hukum dalam menjalankan keadilan demi
perdamaian. Ketiga verasitas/kebenaran bernilai positif dengan jumlah 7,00%.
Dari ketiga sumber tersebut penilaian dalam teks UU ITE memiliki wilayah
makna yang merujuk pada sikap penulis terhadap sesuatu yang dibutuhkan
masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi. Lebih jelasnya lihat contoh
sumber daya penilaian dalam teks UU ITE sebagai berikut.
(21) Bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (DT UU ITE 2008 6) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas>positif)
(22) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. (DT UU ITE 2008 128) (sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
128
Leksis penting merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap
terhadap pentingnya pemanfaatan teknologi informasi. Leksis penting merupakan
penghargaan sosial bermakna tenasitas bernilai positif akan tegasnya kemanfaatan
teknologi informasi dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional.
Contoh di atas merupakan pasal 27 ayat 4 yang terdapat pada Bab VII mengenai
perbuatan yang dilarang. Leksis pemerasan dan pengancaman bermakna negatif.
Kedua leksis merupakan sanksi sosial bermakna proprietas/etika yang akan
dikenakan jika melanggar hukum sesuai dengan yang tertera pada pasal 27 ayat 4.
Leksis penilaian bermakna positif antara lain kekuatan, memberikan,
mengaudit, mengeluarkan, andal, berkewajiban, penting, mengambil alih, akurat,
benar, dipercaya, jelas, kebenaran, baik, esa, keadilan, terlibat dan melakukan.
Makna negatif apraisal sikap penilaian antara lain bohong, menyesatkan,
bobolnya, dibobol, eksploitasi, intersepsi, kesalahan, kelalaian, kebencian,
kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, permusuhan,
perbuatan, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan,
penyalahgunaan, menyebarkan, memaksa, melanggar, menerobos, melampaui,
menjebol, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, memfasilitasi, manipulasi,
mengganggu, melakukan, dan menyimpang. Unsur penilaian UU ITE secara
umum dapat dibagi dalam dua kategori yaitu yang berhubungan dengan
penghargaan sosial dan yang berorientasi kepada sanksi sosial yang terdapat
dalam tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
129
Tabel 5.1 Penilaian dalam teks UU ITE
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas kekuatan,
memberikan, mengaudit, mengeluarkan
-
tenasitas/kegigihan andal, berkewajiban, penting, mengambil alih.
-
Sanksi Sosial verasitas/kebenaran akurat, benar,
dipercaya, jelas, kebenaran
bohong, menyesatkan
proprietas/etika baik, esa, keadilan, terlibat melakukan
bobolnya, dibobol, eksploitasi, intersepsi, kesalahan, kelalaian, kebencian, kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, permusuhan, perbuatan, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan, penyalahgunaan, menyebarkan, memaksa, melanggar, menerobos, melampaui, menjebol, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, memfasilitasi, manipulasi, mengganggu, melakukan, menyimpang.
Dari tabel penilaian-penghargaan sosial dalam teks UU ITE di atas
penghargaan sosial kapasitas atau kemampuan bernilai positif memiliki leksis
kekuatan, memberikan, mengaudit, dan mengeluarkan. Keempat leksis kapasitas
tersebut menggambarkan kapasitas UU ITE sebagai payung hukum bagi
masyarakat pengguna teknologi informasi. Unsur berikutnya tenasitas/kegigihan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
130
dalam UU ITE memiliki leksis andal, berkewajiban, penting, dan mengambil alih
bernilai positif. Leksis tenasitas/kegigihan tersebut merupakan penilaian sikap
terhadap ketegasan isi teks UU ITE.
Dari tabel penilaian-sanksi sosial dalam teks UU ITE di atas dapat
digambarkan teks UU ITE memiliki verasitas/kebenaran dengan leksis akurat,
benar, dipercaya, kebenaran, dan jelas bermakna positif. Unsur verasitas
bermakna negatif bohong dan menyesatkan. Unsur proprietas dengan leksis baik,
esa, keadilan, terlibat, dan melakukan bermakna positif dan proprietas bermakna
negatif dengan leksis bobolnya, dibobol, eksploitasi, intersepsi, kesalahan,
kelalaian, kebencian, kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik,
permusuhan, perbuatan, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan,
penyalahgunaan, menyebarkan, memaksa, melanggar, menerobos, melampaui,
menjebol, mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, memfasilitasi, manipulasi,
mengganggu, melakukan, dan menyimpang.
b. Afek dalam teks UU ITE
Dari hasil analisis unsur afek dalam UU ITE didominasi oleh unsur
kepercayaan sebanyak 30,96%. Dari persentase tersebut menyimpulkan harapan
pemerintah untuk memberi pelindungan hukum kepada masyarakat sebagai nilai
yang positif. Dari persentase afek dapat digambarkan secara umum sumber sikap
paling dominan adalah kepercayaan dengan jumlah 30,96%. Kedua diikuti oleh
sumber sikap dengan unsur kecenderungan merasa takut dengan jumlah 16,66%.
Ketiga unsur keamanan dan ketidakamanan dengan jumlah 14,28%. Dari jumlah
tersebut dapat dinyatakan bahwa UU ITE diciptakan sebagai payung hukum untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
131
melidungi hak-hak masyarakat. Sebagai contoh kalimat yang menggambarkan
unsur afek teks UU ITE adalah sebagai berikut.
(23) Bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. (DT UU ITE 2008 2) (sikap>afek>ketidakamanan>kegelisahan>negatif)
(24) Bahwa perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang
demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. (DT UU ITE 2008 4) (sikap>afek>keamanan>kepercayaan>positif)
(25) Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (DT UU ITE 2008 36) (sikap>afek>keamanan>yakin>positif) (sikap>afek>ketidakamanan>kegelisahan>positif)
Dari contoh di atas, leksis dinamika merupakan leksis afek yang bermakna
negatif. Leksis dinamika merupakan jenis ketidakamanan unsur gelisah. Kategori
ini sesuai dengan makna dinamika yaitu kegelisahan pemerintah akan gerak
masyarakat yang menimbulkan perubahan atau dampak dari teknologi yang terus
berkembang dapat menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat.
Pemerintah harus tanggap atas segala kejadian yang terjadi. Sebagai salah satu
upaya pembangunan nasional yang harus terus berkelanjutan dan berkembang
sehingga UU ITE diterapkan sebagai salah satu norma untuk mengatur
penggunaan teknologi informasi dan elektronik secara benar.
Leksis menyebabkan merupakan leksis afek unsur kepercayaan
berdasarkan konteksnya bermakna positif. Leksis menyebabkan dalam kalimat
tersebut bermakna kearah dampak dari perkembangan teknologi yang
mengakibatkan perubahan kehidupan manusia dalam berbagai bidang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
132
Leksis memengaruhi merupakan unsur kepercayaan yang bermakna
positif. Leksis memengaruhi secara langsung membutuhkan bentuk-bentuk
perbuatan hukum baru sebagai perlindungan hukum dan norma bagi pengguna
media teknologi informasi. Untuk mengembangkan, melindungi, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat UU ITE dibutuhkan sebagai payung
hukum perlindungan masyarakat dalam menggunakan teknologi.
Dari segi polaritasnya, afek memiliki dua subkategori yaitu positif dan
negatif. Afek digunakan untuk mengekspresikan emosi dan perasaan. Leksis yang
bermakna positif dalam kategori sumber afek teks UU ITE antara lain aman,
dibuat, dikuasakan, diberi wewenang, kuasa, memercayai, memberikan,
membuka, meningkatkan, menyebabkan, menangani, mengembangkan, meminta
bantuan ahli, pengamanan, penyidikan, mewujudkan, melindungi, kebasan dan
perlindungan. Dalam menyampaikan perasaan dapat diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam UU ITE unsur irealis
kecenderungan/ketidakcenderungan direalisasikan oleh arus (prilaku).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
133
Tabel 5.2 Afek dalam teks UU ITE
Kecendrungan/ Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
hasrat/keinginan mengharuskan, menawarkan - takut ancaman, diancam kehati-
hatian, menakut-nakuti, pengancaman.
Keamanan/Ketidakamanan ketidakamanan kegelisahan
dinamika
-
keamanan kebebasan, perlindungan - kepercayaan aman, dibuat, dikuasakan,
diberi wewenang, kuasa, memercayai, memberikan, membuka, meningkatkan menyebabkan, menangani mengembangkan, meminta bantuan ahli, pengamanan, penyidikan, mewujudkan, melindungi.
-
Kepuasan/Ketidakpuasan ketidakpuasan ketidaksenangan
perselisihan, diperselisihkan
-
Unsur realis kecenderungan/ketidakcenderungan bermakna hasrat
keinginan merupakan arus (prilaku) terdapat pada leksis mengharuskan dan
menawarkan merupakan reaksi terhadap stimulus yang ada atau yang lampau.
Kecenderungan/ketidakcenderungan bermakna takut merupakan arus (prilaku)
terdapat pada leksis ancaman, diancam kehati-hatian, menakut-nakuti, dan
pengancaman. Agar lebih jelas mengenai irealis lihat contoh berikut.
(26) Bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. (DT UU ITE 2008 3) (sikap>afek>realis>keinginan>positif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
134
Dari contoh teks konsiderans di atas terdapat leksis mengharuskan yang
merupakan leksis realis. Leksis tersebut memiliki makna hasrat atau keinginan
untuk dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan transaksi
elektronik karena reaksi terhadap stimulus yang sedang berlangsung atau yang
sudah terjadi. Hal ini sekaitan dengan variabel keamanan/ketidakamanan meliputi
keadaan yang berhubungan dengan masalah kesejahteraan ekososial-kecemasan,
ketakutan percaya diri dan kepercayaan.
Unsur keamanan/ketidakamanan dalam teks UU ITE memiliki tiga unsur
yang merupakan arus (prilaku). Unsur tersebut antara lain (1) ketidakamanan-
kegelisahan yang memiliki leksis dinamika. Leksis tersebut berhubungan dengan
masalah keadaan ekososial pengguna teknologi informasi meliputi kegelisahan,
kecemasan, ketakutan akan masalah yang akan muncul sehingga perlu adanya
meningkatkan perlindungan terhadap pengguna teknologi informasi. (2)
keamanan dengan leksis kebebasan dan perlindungan. Leksis keamanan tersebut
meliputi perasaan damai dan kecemasan yang berhubungan dengan lingkungan
(masyarakat) pengguna teknologi informasi. (3) kepercayaan dengan leksis
aman, dibuat, dikuasakan, diberi wewenang, kuasa, memercayai, memberikan,
membuka, meningkatkan, menyebabkan, menangani, mengembangkan, meminta
bantuan ahli, pengamanan, penyidikan, mewujudkan, melindungi. Leksis
keamanan-kepercayaan merupakan leksis yang meliputi keadaan damai dan
kecemasan yang berhubungan dengan UU ITE.
Unsur kepuasan dalam teks UU ITE terdiri atas makna ketidakpuasan dan
ketidaksenagan. Leksis perselisihan dan diperselisihkan merupakan dua leksis
yang sama namun memiliki dua makna yang berbeda dari segi nosi imbuhan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
135
Pengulangan leksis tersebut menunjukkan bahwa pada leksis selisih merupakan
penegasan. Perselisihan dan diperselisihkan merupakan arus (prilaku) bermakna
ketidaksenagan. Ketidaksenangan akan menimbulkan perselisishan. Untuk
menghindarkan perselisihan maka dibutuhkan payung hukum UU ITE, akan tetapi
terkadang pemahaman makna yang berbeda di masyarakat menimbulkan
perselisihan baru dari realisasi UU ITE.
c. Apresiasi dalam teks UU ITE
Unsur apresiasi dalam teks UU ITE didominasi oleh ungkapan dengan
sistem sikap jenis apresiasi berdampak negatif dengan jumlah 37,84%. Leksis atau
ungkapan dampak yang bermakna negatif merupakan wilayah makna yang
merujuk pada evaluasi terhadap sesuatu yang dibuat dan penampilan yang
dilakukan jika melanggar pasal dalam UU ITE.
Dari persentase pilihan sumber apresiasi terlihat jelas bahwa dampak
bermakna negatif mendominasi teks. Hal ini karena isi butir pasal dalam UU ITE
merupakan dampak dari pelanggaran UU ITE. Lebih jelasnya lihat contoh yang
menggambarkan unsur apresiasi teks UU ITE bermakna positif dan negatif
berikut ini.
(27) Nama domain adalah alamat internet penyelenggara negara, orang,
badan usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. (DT UU ITE 2008 29) (sikap>apresiasi>kualitas>positif)
(28) Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hokum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. (DT UU ITE 2008 33)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
136
(sikap>apresiasi>dampak>negatif)
Dari contoh di atas terdapat leksis apresiasi unik dengan makna kualitas
bermakna positif. Leksis unik merupakan wilayah makna yang merujuk pada
bahasa evaluasi terhadap benda atau sesuatu, khususnya kode atau susunan
karakter untuk menunjukkan lokasi tertentu di dunia maya. Leksis unik adalah
reaksi yang menarik perhatian terhadap sesuatu.
Leksis akibat merupakan wilayah makna yang merujuk pada dampak
negatif dari orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
UU ITE. Leksis akibat merupakan merupakan dampak negatif dari tindakan
perbuatan pelanggaran hukum yang merugikan kepentingan Indonesia.
Dari contoh di atas terdapat juga leksis apresiasi bermakna positif dalam
teks UU ITE yang terdiri atas efektivitas, efisiensi, meningkatkan,optimal,
strategis, dan unik. Makna negatif antara lain akibat, konsekuensi, kesalahan,
kelalaian, dan memaksa.
Tabel 5.3 Apresiasi dalam teks UU ITE
Apresiasi Positif Negatif dampak
- akibat, konsekuensi,
kesalahan kelalaian, memaksa
kualitas optimal, layak, meningkatkan
-
keseimbangan
merata, menyebar, strategis, mempertahankan
bertentangan
valuasi efektivitas, efisiensi, unik, sesuai
-
Dari segi parameter apresiasi terdapat sumber sikap antara lain (1)
apresiasi memiliki polaritas reaksi yang berdampak positif dan negatif. Dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
137
teks UU ITE terdapat dampak negatif dengan leksis akibat, konsekuensi,
kesalahan, kelalaian, memaksa. Dalam teks UU ITE tidak terdapat dampak
positif. (2) apresiasi bermakna kualitas memiliki polaritas reaksi kualitas positif.
Reaksi kualitas positif memiliki leksis optimal, layak, dan meningkatkan. (3)
apresiasi bermakna keseimbangan memiliki polaritas komposisi keseimbagan
positif. Komposisi keseimbangan positif memiliki leksis merata, menyebar,
mempertahankan dan strategis. (4) apresiasi bermakna valuasi memiliki polaritas
valuasi positif. Leksis yang memiliki polaritas valuasi positif antara lain
efektivitas, efisiensi, sesuai dan unik.
5.2.1.2 Pemosisian dalam teks UU ITE
Dari hasil penelitian ungkapan pemosisian dalam teks UU ITE didominasi
oleh sistem pemosisian unsur modalitas dengan persentase 41,20%. Ditemukan
bahwa unsur heteroglos digunakan untuk menyatakan suara penulis. Hal ini
menunjukkan bagaimana penulis menggunakan sumber daya bahasa untuk
memosisikan suara penulis berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
dibawakan bahasa dalam teks UU ITE.
Dari perolehan dominasi modalitas menggambarkan bahwa penulis UU
ITE menggunakan bahasa untuk merealisasikan dan menyatakan sikap,
pandangan, pertimbangan, dan keinginan. Dari persentase pilihan sumber
pemosisian di atas dominasi kedua diperoleh pemosisian unsur penyangkalan
dengan jumlah 31,30%. Ketiga sumber pemosisian bermakna asimilasi sebanyak
20,00%. Keempat sistem pemosisian bermakna proklamasi dengan jumlah 5,60%
dan jumlah terkecil diperoleh sumber pemosisian bermakna indrawi sebanyak
1,90%.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
138
Penulis UU ITE menggunakan bahasa untuk mempertimbangkan posisi
penulis untuk menyatakan penyangkalan, pernyataan, penerimaan, dan perujukan.
Sebagai contoh kalimat yang menggambarkan sumber pemosisian teks UU ITE
sebagai berikut.
(29) Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik harus memastikan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan. (DT UU ITE 2008 48) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
(30) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (DT UU ITE 2008 125) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas)
(31) Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (DT UU ITE 2008 13) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi)
(pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan)
Contoh pasal 7 Bab III tentang informasi, dokumen, dan tanda tangan
elektronik. Leksis menyatakan, berdasarkan, harus, dan bahwa merupakan
sumber daya untuk memosisikan suara penulis. Kalimat pasal 7 terdapat leksis
berdasarkan dengan makna yang berbeda. Leksis berdasarkan yang pertama
mengandung makna menurut adanya informasi elektronik dan/atau dokumen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
139
elektronik. Leksis berdasarkan yang kedua memakai peraturan perundang-
undangan sebagai dasar dalam menentukan keputusan. Leksis menyatakan
memiliki makna mengatakan dan mengemukakan haknya. Leksis harus memiliki
makna wajib dan mesti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Leksis
bahwa memiliki makna penguatan isi dan uraian tentang pernyataan hak,
memperkuat hak, atau menolak hak wajib sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Leksis tanpa merupakan leksis penyangkalan yang memiliki makna secara
hukum tidak memiliki hak atau perbuatan melanggar hukum. Leksis dapat
menunjukkan modalitas yang bermakna perbuatan melanggar hukum atau
perbuatan yang membuat masyarakat menerima Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Model pemosisian teks UU ITE tahun 2008 yang ditemukan pemosisian
heteroglos. Heteroglos dalam teks UU ITE menggunakan atau merujuk pada
beberapa suara lain. Teks UU ITE merujuk kepada UUD 1945, Pancasila, dan
hukum acara yang berlaku di Indonesia. Teks UU ITE memiliki leksis pemosisian
yang unik seperti tabel model pemosisian berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
140
Tabel 5.4 Model pemosisian dalam teks UU ITE
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi bahwa, berdasarkan,
didasarkan, berhubungan, menurut
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan tetapi, tidak, tanpa, kecuali, bukan.
Proklamasi menimbang, mendukung, membentuk, memutuskan, menetapkan, dinyatakan, menyatakan.
Terbuka
Modalitas harus, dapat, ditetapkan, mungkin, wajib, pasti, izin.
Indrawi dilihat, didengar
Desas-desus - MONOGLOS Representasi -
Heteroglos ekstravokalisasi yang ditemukan adalah leksis asimilasi dengan
leksis bahwa, berdasarkan, didasarkan, berhubungan, dan menurut. Heteroglos
intravokalisasi penyangkalan terdiri atas leksis tetapi, tidak, tanpa, dan kecuali
dan bukan. Leksis proklamasi menimbang, mendukung, membentuk, memutuskan,
menetapkan, dinyatakan, dan menyatakan. Modalitas dengan leksis harus, dapat,
izin, mungkin, ditetapkan, wajib dan indrawi dengan leksis dilihat dan didengar.
5.2.1.3 Graduasi dalam teks UU ITE
Graduasi memberi gambaran penggunaan fungsi bahasa menguatkan atau
melemahkan sikap dan keterbabitan/pemosisian yang dihubungkan dengan teks
UU ITE. Dari hasil penelitian teks UU ITE ditemukan bahwa forsa atau daya yang
merupakan sumber daya untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
141
paling dominan daripada fokus yang merupakan sumber daya untuk mempertajam
atau memperlunak kualitas UU ITE.
Berdasarkan rekapitulasi pilihan sumber graduasi pada UU ITE ungkapan
graduasi paling banyak muncul sistem graduasi dengan sistem graduasi unsur
kuantifikasi waktu dengan jumlah 35,50%. sumber kedua graduasi bermakna
metafora dan graduasi unsur jumlah dengan jumlah 17,70%. Ketiga sumber
graduasi bermakna ruang dan graduasi bermakna mempertajam dengan jumlah
yang sama 10,50%. Jumlah terkecil sumber graduasi bermakna tingkatan dengan
jumlah 8,10%. Sebagai contoh yang menggambarkan sumber graduasi UU ITE
tahun 2008 jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(32) Peraturan pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya undang-undang ini. (DT UU ITE 2008 203) (graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu)
(33) Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. (DT UU ITE 2008 35) (graduasi>forsa>intensifikasi>metafora)
(34) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang (1) sah. (DT UU ITE 2008 40) (graduasi>fokus>tajam)
Leksis 2 (dua) tahun dan setelah merupakan leksis waktu. Kedua leksis
tersebut sama-sama kuantifikasi pemberian skala waktu untuk memperkuat dan
memperlemah tingkat evaluasi teks UU ITE. Leksis mencerdaskan kehidupan
bangsa merupakan leksis metafora dengan makna cerdas dalam menyelesaikan
persoalan. Leksis sah merupakan leksis mempertajam atau menguatkan proposisi
dengan makna alat bukti hukum yang sesuai dengan kebenarannya. Sumber
graduasi dari leksis di atas berbeda-beda maknanya menurut konteksnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
142
Model graduasi dalam teks UU ITE terdiri atas fokus dan forsa. Unsur
fokus mempertajam dan memperlunak teks UU ITE. Unsur forsa terdiri atas dua
unsur yaitu intensitifikasi untuk merujuk skala kualitas dan proses pada teks UU
ITE. Pemberian skala yang berkaitan dengan jumlah, ruang, dan waktu seperti
leksis graduasi berikut ini.
Tabel 5.5 Model graduasi dalam teks UU ITE
GRADUASI
FOKUS Tajam memperhatikan, diakui, disahkan,
diawasi, sah, sehingga Lunak -
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora
mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga, pertumbuhan, perbuatan hukum, pelanggaran, melanggar, dilanggar, melawan
Tingkatan Maha, pesat, lebih Repetisi -
Ukuran/ Jumlah/ Kuantifikasi
Waktu waktu, saat, ketika, pertama, terakhir, setelah, selama, waktu satu kali dua puluh empat jam, paling lama...tahun, telah, tanggal, mulai berlaku, tahun.
Ruang lokasi, di Indonesia, wilayah, ke pusat data, di lingkungan, setempat, di sidang pengadilan
Jumlah satu, sekumpulan, dua, lebih, paling banyak..., sepertiga, dua per tiga.
Aspek forsa dalam unsur mempertajam dengan leksis memperhatikan,
diakui, disahkan, diawasi, sah, dan sehingga. Aspek forsa unsur intensitifikasi
yang merujuk pada metafora dengan leksis mencerdaskan kehidupan bangsa,
menjaga, pertumbuhan, perbuatan hukum, pelanggaran, melanggar, dilanggar,
melawan dan tingkatan dengan leksis maha, pesat, lebih. Unsur kuantifikasi
memberikan gambaran pengukuran waktu dengan leksis waktu, saat, ketika,
pertama, terakhir, setelah, waktu satu kali dua puluh empat jam, paling
lama...tahun, mulai berlaku, dua tahun. Pengukuran ruang dengan leksis lokasi, di
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
143
Indonesia, wilayah, ke pusat data, di lingkungan, setempat, di sidang pengadilan.
Pengukuran jumlah dengan leksis satu, sekumpulan, dua, paling banyak...,
sepertiga, dua per tiga.
5.2.2 Pola bahasa dalam proses sidang pengadilan perkara No.20/PUU-XIV/2016
Sidang pengadilan adalah proses memeriksa dan mengadili perkara pidana
di dalam ruang sidang pengadilan di bawah pimpinan hakim tunggal atau majelis
hakim. Sidang pengadilan dalam gugatan UU ITE terdiri atas (1) sidang pleno
yaitu alat kelengkapan mahkamah dengan sembilan orang hakim konstitusi,
kecuali dalam keadaan luar biasa dengan tujuh orang hakim konstitusi konstitusi
sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat (1), (2), dan (3) undang-undang No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan (2) sidang panel yaitu alat
kelengkapan mahkamah dengan beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat (4) undang-undang No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 1 angka 10,11 PMK 6/2005).
Pemohon menggugat pasal 5 ayat (1) dan (2) terkait pemufakatan jahat.
Data sidang pengadilan merupakan bahasa evaluatif yang dikaji dengan apraisal.
Perspektif ini lebih khusus berhubungan dengan bahasa evaluatif, sikap, dan
emosi dengan seperangkat sumber-sumber yang secara eksplisit memosisikan
proposal dan proposisi teks yang terdapat dalam pasal UU ITE pada perkara No.
20/PUU-XIV/2016 secara interpersonal.
Dari hasil analisis bahasa apraisal menjajaki, memerikan, dan menjelaskan
bagaimana bahasa dalam sidang panel dan pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016
digunakan untuk mengevaluasi, menunjukkan sikap mental, menyusun persona
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
144
tekstual dan mengelola sikap dan hubungan antarpribadi. apraisal menjajaki
bagaimana penutur (hakim, DPR, ahli pemohon, ahli presiden, dan ahli saksi
presiden) menyampaikan penilaian dalam proses sidang panel dan pleno perkara
No. 20/PUU-XIV/2016 ucapan-ucapannya, objek material, peristiwa, dan keadaan
sehingga membentuk aliansi dengan orang-orang yang sama-sama memiliki
pandangan dan memasang jarak dengan orang-orang yang berpandangan berbeda.
Dari hasil analisis bahasa secara keseluruhan proses sidang pengadilan
ditemukan pola bahasa yaitu Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian. Pola bahasa dengan
cara kerja apraisal tersebut memiliki perolehan leksis yang tidak menjauhi antara
ketiga sumber. Hal ini menggambarkan bahwa proses sidang pengadilan memiliki
wilayah makna bahasa menguatkan dan melemahkan sikap dan pemosisian yang
dihubungkan oleh teks proses sidang pengadilan seperti jaringan sistem SP berikut
ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
145
Gambar 5.7 Jaringan sistem (network system) Sidang Pengadilan
Sikap bahasa yang terbentuk sumber Penilaian ^ Apresiasi ^ Afek. Dari
sistem sidang pengadilan tergambar bagaimana sikap, penilaian, dan tanggapan
emotif secara jelas dan bagaimana hal ihwal ini tersirat secara tidak langsung,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
146
dipraduga, atau dibayangkan. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam rincian tabel
berikut ini.
Tabel 5.6 Sikap bahasa sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Sidang Pengadilan
(SP) Sikap
Penilaian Apresiasi Afek SP I 2,68% 12,54% 18,07% SP II 1,73% 3,42% 2,26% SP III 10,60% 12,92% 10,16% SP IV bagian (1) 22,71% 12,54% 20,33% SP V bagian (2) 29,33% 23,57% 25,98% SP VI 8,20% 8,40% 8,50% SP VII 23,65% 17,11% 11,30% SP VIII 1,10% 9,50% 3,40% Jumlah 100% 100% 100%
Dari tabel sikap bahasa sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
di atas, persentase kemunculan leksis apraisal sikap yang paling dominan adalah
apraisal sikap penilaian dengan jumlah 59,0%, perolehan kedua apresiasi dengan
jumlah 24,50%, ketiga afek dengan jumlah 16,50%. Dari pola tersebut tergambar
bahwa sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 mengekspresikan
keadaan atau menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui proses sidang
pengadilan terbuka di MKRI. Pesan yang tergambar merujuk pada sikap penilaian
yang merujuk pada sikap dan karakter pemohon. Pesan yang sebenarnya
disampaikan dalam proses sidang pengadilan ini adalah bagaimana keadaan emosi
pemohon yang merasa terancam. Pemosisian sidang pengadilan perkara No.
20/PUU-XIV/2016 tergambar pada tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
147
Tabel 5.7 Pemosisian bahasa sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Sidang
Pengadilan
(SP)
Pemosisian Heteroglos
Ekstra vokalisasi
Intravokalisasi Tertutup Terbuka
Asimilasi Penyangkalan Proklamasi Modalitas Indrawi SP I 9,20% 5,43% 4,20% 6,0% 8,10% SP II 1,90% 1,22% 5,80% 0,60% 0% SP III 16,54% 8,83% 24,20% 10,90% 11,72% SP IV 20,70% 12,63% 10,80% 13,0% 13,52% SP V 16,90% 19,42% 4,20% 19,40% 10,81% SP VI 12,62% 19,40% 5,80% 17,10% 31,54% SP VII 14,14% 29,00% 12,5% 29,10% 18,01% SP VIII 8,0% 4,07% 32,5% 3,90% 6,30%
Jumlah 100% 100% 100% 100% 100%
Dari hasil rekapitulasi pemosisian bahasa di atas tergambar kecenderungan
leksis pemosisian dalam proses sidang pengadilan didominasi unsur heteroglos.
Bahasa proses sidang pengadilan didominasi oleh penyangkalan dengan jumlah
41,10%. Jumlah dominasi ini menggambarkan bahwa proses sidang pengadilan
menjelaskan suara tekstual memosisikan sebagai sesuatu yang ganjil, penolakan,
dan berlawanan. Tingginya persentase penyangkalan dibandingkan dengan
pemosisian yang lainnya menggambarkan penutur di sidang pengadilan
memposiskan dirinya sebagai posisi berlawanan atau penolakan terhadap
beberapa pasal dalam UU ITE. Hal ini karena pemohon merasa haknya dirugikan
dan secara tidak langsung tergambar bahwa dari proses sidang pengadilan bahwa
gugatan UU ITE diterima sebagian pasal. Graduasi bahasa proses sidang
pengadilan lebih jelasnya digambarkan pada tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
148
Tabel 5.8 Graduasi bahasa sidang pengadilan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Sidang
Pengadilan (SP)
Graduasi Fokus Forsa
Intensifikasi Kuantifikasi Tajam Lunak Metafora Tingkatan Waktu Ruang Jumlah
SP I 16,08% 3,81% 4,34% 5,07% 11,80% 19,40% 5,55% SP II 0% 0% 1,08% 2,73% 5,43% 2,10% 2,46% SP III 7,0% 6,87% 12,5% 14,84% 9,71% 21,50% 6,17% SP IV 7,70% 11,45% 4,34% 16,80% 16,20% 23,60% 10,30% SP V 22,37% 14,50% 14,13% 32,03% 21,04% 2,80% 23,66% SP VI 6,29% 22,13% 11,41% 9,40% 12,25% 13,90% 27,36% SP VII 35,66% 36,64% 31,0% 15,62% 16,06% 13,20% 20,60% SP VIII 4,90% 4,60% 21,20% 3,51% 7,51% 3,50% 3,90% Jumlah 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Dari hasil rekapitulasi graduasi bahasa sidang pengadilan perkara No.
20/PUU-XIV/2016 ditemukan sumber graduasi bahasa unsur waktu dengan
jumlah 39,20%. Hal ini menggambarkan bahwa bahasa dalam proses sidang
pengadilan menyampaikan pesannya menggunakan fungsi bahasa memperkuat
dan memperlemah tingkat evaluasi dengan pengukuran waktu.
Dominasi kedua terbentuk unsur jumlah dengan jumlah 22,00%. Hal ini
menggambarkan bahwa pengukuran jumlah juga menjadi pertimbangan dalam
proses sidang pengadilan dalam memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi
terhadap gugatan UU ITE. Hasil analisis apraisal bahasa sidang pengadilan
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 akan dibahas secara rinci di bawah ini setiap
proses sidang pengadilan.
5.2.2.1 Pola bahasa dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I)
Sidang pengadilan pertama (SP I) berjenis sidang panel diadakan hari
Rabu, tanggal 24 Pebruari tahun 2016. Sidang panel mengenai pengujian undang-
undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [pasal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
149
5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 44 huruf (b)]. Tema sidang panel pertama
„pemeriksaan pendahuluan‟.
a. Sikap dalam sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP I) Apraisal sikap digunakan sebagai suatu alat untuk menganalisis bahasa
evaluatif sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I). Sikap dalam SP I
terbentuk pola bahasa forensik Penilaian ^ Apresiasi ^ Afek. Dari pola tersebut
terlihat bagaimana hakim dan pemohon mengekspresikan keadaan. Aspek sikap
dalam SP ITE terdiri atas tiga sumber yaitu apresiasi, penilaian, dan afek. Lebih
jelasnya dapat dilihat dari simpulan tipologi apraisal sikap SP I gambar 5.4
berikut ini!
Gambar 5.8 Tipologi sikap sidang panel (SP I)
Dari gambar tipologi sikap SP I di atas, tiga sumber sikap yaitu apresiasi,
penilaian, dan afek memiliki turunan yang bervariasi. Ketiga sumber
menunjukkan sikap hakim dan pemohon dalam menyampaikan pesannya dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
150
SP I yang bertema „pemeriksaan pendahuluan‟. Dari analisis ketiga sumber
ditemukan sikap sesungguhnya penutur SP I. Sikap dan pesan dalam SP I akan
diuraikan secara rinci di bawah ini.
1. Penilaian dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I)
Penilaian merupakan sumber daya yang menilai karakter atau watak.
Penilaian dalam SP I merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap hakim
dan pemohon. Selain hakim pada SP I hadir pemohon SH, TMA, MAS, dan HAN.
Pemohon adalah kuasa hukum SN berasal dari Advokat di kantor hukum SH dan
Partners.
Sikap yang paling dominan adalah verasitas/kebenaran bermakna positif
dengan jumlah 24,20% kemudian diikuti kapasitas bermakna positif dengan
jumlah 24,20%. Ketiga proprietas/ etika bermakna positif dengan jumlah 21,20%.
Perolehan terendah verasitas/kebenaran bermakna negatif dengan jumlah 6,10%.
Sistem sikap ini terbentuk dari leksis dan konteks ujaran dalam SP I dengan tema
„pemeriksaan pendahuluan‟. Sikap hakim dan pemohon dalam SP I
menggambarkan bahwa hakim memiliki sumber daya verasitas/kebenaran
bermakna positif. Selain itu penilaian yang muncul dari SP I tergambar penilaian
proprietas bermakna positif dan kapasitas bermakna positif. Hal ini tergambar
sikap hakim dalam SP I memiliki sumber daya yang mengungkapkan kejujuran,
etika, dan kemampuan hakim dalam memeriksa permohonan yang diajukan
pemohon kepada MK. Dalam SP I Penilaian dibagi dalam dua kategori yaitu yang
berhubungan dengan penghargaan sosial dan yang berorientasi kepada sanksi
sosial seperti tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
151
Tabel 5.9 Penilaian dalam SP I
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas kekuatan - tenasitas/kegigihan cermat, cermati, dicermati,
kecermatan, mencermati -
Sanksi Sosial verasitas/kebenaran benar, jelas, jelaslah - proprietas/etika adil, fair, seadil-adilnya -
Dari tabel penilaian penghargaan sosial di atas terdapat dua makna
penghargaan sosial dalam teks SP I yaitu kapasitas dan tenasitas. Leksis kapasitas
kekuatan merupakan leksis yang menggambarkan kemampuan. Leksis kekuatan
bermakna positif. Leksis cermat, cermati, dicermati, kecermatan, dan mencermati
adalah leksis yang menggambarkan tenasitas hakim. Dengan pengulangan leksis
menggambarkan ketegasan atau penegasan yang sangat jelas dari hakim untuk
memeriksa kembali permohonan yang disampaikan agar lebih jelas. Untuk lebih
jelasnya diuraikan pada contoh berikut ini.
(35) Perkara saudara permohonannya sudah diterima di kepanitraan yang secara tertulis dengan bukti. Oleh karna itu, majelis sudah membaca dan mencermati permohonan anda secara tertulis. (DL SP I 11) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas/kegigihan>positif)
(36) Tafsir mahkamah konstitusi terhadap konstitusionalitas yang
terdapat dalam ayat atau pasal merupakan tafsir satu-satunya yang mempuyai kekuatan hukum sehingga terdapat dalam ayat pasal atau bagian UU yang memiliki makna ambigu tidak jelas atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada mahkamah konstitusi. (DL SP I 21) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif).
Dari di atas terdapat leksis mencermati. Leksis mencermati merupakan
leksis bahasa evaluatif yang menggambarkan penilaian. Leksis mencermati
merupakan leksis tenasitas/kegigihan bermakna positif. Dari leksis tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
152
tergambar kegigihan hakim membaca dan mencermati permohonan yang
disampaikan pemohon secara tertulis.
Leksis kekuatan yang merupakan bahasa evaluatif bermakna positif.
Leksis kekuatan pada contoh ini merupakan wilayah makna yang merujuk pada
karakter hakim. Leksis kekuatan adalah leksis penilaian kapasitas majelis hakim
yang memiliki kekuatan hukum.
Dari tabel sanksi sosial di atas didapat leksis sanksi sosial verasitas benar,
jelas, dan jelaslah. Sanksi sosial kedua yaitu proprietas dengan leksis adil, fair,
dan seadil-adilnya. Keenam leksis tersebut merupakan bahasa evaluatif bermakna
positif. Penilaian sanksi sosial SP I juga terdapat penilaian sanksi sosial proprietas
bermakna negatif yaitu leksis dilanggar, melanggar, dan dilarang seperti contoh
berikut ini.
(37) Pemohon: “Ok. Sebagai negara salah satu esensi negara hukum adalah adanya jo proses of law penekanan terhadap proses of law sebagai salah satu ciri negara hukum membawa konsekuensi membawa tindakan aparatur tindakan penyelengara negara bukan saja harus didasarkan atas norma-norma hukum materil yang adil tapi juga harus didasarkan pada hukum formil yang mengatur prosedur untuk menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materil yang memenuhi syarat keadilan norma-norma hukum prosedur itu haruslah bersifat fair ...” (DL SP I 64) (sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>positif)
Leksis adil dan keadilan yang memiliki kata dasar sama bermakna positif.
Leksis adil, keadilan, dan fair merupakan leksis penilaian proprietas. Leksis adil,
keadilan, dan fair menggambarkan sikap pemohon berusaha mendapatkan
keadilan melalui sidang pengadilan dengan cara menggugat sebagian pasal yang
terdapat pada teks UU ITE. Leksis fair merupakan leksis propritas bermakna
positif. Leksis fair merupakan bahasa evaluatif yang memiliki arti adil dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
153
berimbang. Di depan leksis fair terdapat frasa haruslah bersifat fair. Pemohon
menyampaikan permohonan kepada hakim dan memberi penegasan bahwa
prosedur penegakan hukum harus memenuhi syarat keadilan.
2. Apresiasi dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I)
Apresiasi dalam SP I merupakan wilayah makna yang merujuk pada
bahasa evaluasi terhadap sesuatu dengan tema pemeriksaan pendahuluan. Wilayah
makna apresiasi pada teks SP I memiliki makna yang bervariasi antara polaritas
positif dan negatif. Apresiasi polaritas positif antara lain leksis bagus, rapi,
potensial,cukup,bertentangan, wajar, dipastikan, sesuai, berkesesuaian, spesifik,
dan khusus. Apresiasi polaritas bermakna negatif antara lain arbitrer, sewenang-
wenang,ambigu, multitafsir, ketidakjelasan, kekaburan, rancu, tidak jelas, dan
tidak pasti.
Apresiasi SP I memiliki sumber bahasa yang paling dominan kompleksitas
negatif dengan jumlah 31,30%. Kedua valuasi positif dengan jumlah 28,10%.
Ketiga keseimbangan negatif dengan jumlah 21,90%. Perolehan terendah
keseimbangan bermakna positif dengan jumlah 3,10%. Dari dominasi tersebut
menggambarkan apresiasi SP I memiliki kompleksitas bermakna negatif.
Kompleksitas negatif diiringi valuasi bernilai positif yaitu evaluasi terhadap
permohonan. SP I memiliki bentuk bahasa evaluasi dengan wilayah makna yang
berhubungan dengan proses mental-cara memandang sesuatu perkara dengan tema
pendahuluan permohonan yang bernilai positif. SP I juga terbentuk keseimbangan
negatif bahasa evaluasi dengan wilayah makna yang berhubungan dengan
komposisi dari pemeriksaan pendahuluan pemohon seperti jenis apresiasi berikut
ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
154
Tabel 5.10 Apresiasi dalam SP I
Apresiasi Positif Negatif kualitas bagus, rapi,potensial,
cukup, -
keseimbangan bertentangan, wajar, dipastikan,
arbitrer, sewenang-wenang,
kompleksitas ambigu, multitafsir ketidakjelasan, kekaburan, rancu, tidak jelas, tidak pasti
valuasi sesuai,berkesesuaian, spesifik, khusus
-
Dari tabel jenis apresiasi SP I di atas terdapat leksis bagus, rapi, potensial,
dan cukup dengan makna kualitas memiliki polaritas kualitas positif. Leksis
bertentangan, wajar, dan dipastikan dengan makna keseimbangan yaitu polaritas
keseimbangan positif. Leksis arbitrer dan sewenang-wenang merupakan makna
Apresiasi keseimbangan yaitu polaritas keseimbangan negatif. Leksis ambigu,
multitafsir, ketidakjelasan, kekaburan, rancu,tidak jelas, dan tidak pasti
merupakan makna kompleksitas yaitu polaritas negatif. Leksis sesuai,
berkesesuaian, spesifik, dan khusus merupakan valuasi yaitu polaritas positif
seperti contoh berikut ini.
(38) Tiga kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial. (DL SP I 29) (sikap>apresiasi>valuasi>positif)
(39) Ketentuan-ketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat arbitrer
menurut selera penyelengara kekuasaan negara. (DL SP I63) (sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif).
Leksis spesifik merupakan wilayah makna yang berhubungan dengan
proses mental cara pemohon memandang tiga kerugian konstitusional secara
khusus. Leksis spesifik merupakan valuasi positif. Contoh di atas terdapat leksis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
155
arbitrer yang merupakan wilayah makna berhubungan dengan persepsi atau
pandangan kita pada sebuah urutan atau prosedur hukum. Prosedur hukum tidak
boleh bersifat arbitrer yang bermakna sewenang-wenang atau bersifat mana suka.
Leksis arbitrer dalam konteks ini adalah polaritas dengan komposisi
keseimbangan negatif.
3. Afek dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016(SP I)
Afek pada SP I membicarakan ungkapan emosi dan perasaan dengan tema
pendahuluan permohonan yang dihadiri oleh hakim dan pemohon. Dari
rekapitulasi afek maka ditemukan dominasi leksis afek pada SP I memiliki sistem
bahasa forensik keamanan/amanah dengan jumlah 82,36%. Urutan kedua pola
keamanan dengan jumlah 11,76% dan kepuasan-kesenangan dengan jumlah
terkecil 5,88%. Dari dominasi tersebut tergambar bahwa SP I merupakan sumber
daya yang menunjukkan perasaan keamanan yang amanah cukup tinggi seperti
uraian leksis dan tabel berikut ini.
Tabel 5.11 Afek dalam SP I
Keamanan/ Ketidakamanan
Arus (Perilaku) Watak
keamanan amanah
ditegaskan, menegaskan
-
Kepuasan/Ketidakpuasan kepuasan kesenangan
- hormati
Kecendrungan/Ketidakcenderungan takut hati-hati - Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan
jaminan, keamanan, kepastian, perlindungan.
-
Leksis ditegaskan dan menegaskan merupakan leksis keamanan-amanah yang
merupakan arus (prilaku) lebih jelas diikuti contoh berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
156
(40) Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam pasal 10 ayat 1 a UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8tahun 2011 tentang perubahan atas UU No.24tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. (DL SP I 18) (sikap>afek>keamanan>amanah)
Leksis menegaskan pada konteks kalimat di atas merupakan wilayah makna yang
menyatakan keyakinan dan kepercayaan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Variabel lain dari afek dikelompokkan pada kepuasan/ketidakpuasan. Dari tabel di
atas terdapat satu leksis hormati yang bermakna kepuasan atau kesenangan seperti
contoh berikut.
(41) Hadirin yang kami hormati demikianlah persidangan hari Rabu 24 Pebruari 2016 untuk perkara No. 20/PUU-XIV/2016 telah selesai. (DL SP I 159). (sikap>afek>kepuasan>kesenangan).
Leksis hormati merupakan sumber daya yang menunjukkan watak untuk
mengungkapkan perasaan. Dari tabel jenis afek di atas, terdapat beberapa leksis
keamanan yaitu jaminan, keamanan, kepastian, dan perlindungan seperi contoh
berikut.
(42) Proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas bukti yang tidak sah jelas melanggar prinsip jo process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 D ayat 1 serta melanggar hak privasi yang wajar pemohon yang dijamin dalam pasal 28 G ayat 1 UUD 1945. (DL SP I 55). (sikap>afek>keamanan)
Leksis jaminan dan perlindungan pada konteks contoh di atas merupakan
sumber daya yang menunjukkan sesuatu yang bernilai positif. Leksis jaminan dan
perlindungan adalah leksis keyakinan dan kepercayaan yang menunjukkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
157
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28 D ayat 1. Dari
tabel di atas terdapat leksis hati-hati yang merupakan arus (prilaku)
kecenderungan merasa takut seperti contoh berikut.
(43) Jadi sesuai dengan yang disarankan oleh yang mulia Pak Palguna tadi ini harus hati-hati karna inikan masih dalam proses untuk memperoleh bukti-bukti lainya. (DL SP I 121) (sikap>afek>kecendrungan/irialis).
Leksis hati-hati berhubungan dengan masalah ekososial dengan masalah maksud
atau keinginan pengejaran tujuan. Leksis hati-hati merupakan stimulus yang
mungkin terjadi.
2. Pemosisian dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I)
Pemosisian dalam SP I menggunakan sumber daya bahasa untuk
memposisikan suara hakim dan pemohon yang berkaitan dengan proposisi dan
proposal yang dibawakan bahasa dalam teks SP I. Orientasi dari pemosisian teks
SP I mengacu pada makna dalam dialoq antara hakim dan pemohon serta paparan
dari pembacaan permohonan dari pemohon.
Sumber pemosisian SP I dengan dominasi sumber pemosisian bermakna
penyangkalan dengan jumlah 34,50%. Dari dominasi tersebut menjelaskan suara
tekstual memosisikan pemohon sebagai sesuatu yang ganjil atau penolakan.
Beberapa posisi berlawanan terhadap UU ITE sehingga diajukan permohonan
sesuai dengan tema SP I yaitu pengajuan permohonan. Posisi kedua adalah
pemosisian bermakna asimilasi dengan jumlah 31,50%. Dominasi ketiga bentuk
pemosisian bermakna modalitas dengan jumlah 28,00%. Lebih jelasnya
dirangkum pada tabel model pemosisian SP I berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
158
Tabel 5.12 Model pemosisian SP I
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi Bahwa, berdasarkan, jelaskan,
menambahkan, mengatakan, menjelaskan, menurut
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan Belum, bukan, enggak, ngak, tidak, tanpa, tapi,
Proklamasi menyatakan
Terbuka
Modalitas Akan, bisa, boleh, dapat, harus, ingin, pasti
Indrawi Didengar, dilihat kedengarannya, kelihatannya, melihat, mendengarkan
Desas-desus - MONOGLOS Representasi -
Dari tabel model pemosisian SP I terdapat makna asimilasi dengan leksis
bahwa, berdasarkan, jelaskan, menambahkan, mengatakan, menjelaskan dan
menurut. Leksis penyangkalan belum, bukan, enggak, ngak, tidak, tanpa,tapi.
Leksis proklamasi menyatakan, leksis modalitas akan, bisa, boleh, dapat, harus,
ingin, pasti. Leksis indrawi didengar, dilihat, kedengarannya, kelihatannya,
melihat, dan mendengarkan. Untuk lebih jelasnya leksis-leksis tersebut dapat
dilihat pada contoh berikut ini.
(44) Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 24 C ayat 1 UUD 1945 mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir tentang yang putusannya bersifat final menguji UU terhadap UUD 1945. (DL SP I 17) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
(45) Menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi
adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya UU yang dimohonkan pengujian adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak akan terjadi lagi. (DL SP I 30)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
159
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas)
Dari contoh di atas terdapat leksis bahwa dan berdasarkan yang
merupakan sumber daya bahasa untuk memposisikan pemohon berkaitan dengan
proposisi dan proposal yang dibawakan dalam tema pemeriksaan pendahuluan.
Leksis bahwa dan berdasarkan sama-sama bermakna asimilasi. Leksis bahwa
merupakan sumber daya yang memposisikan pemohon dengan membenarkan
bahwa MK berwenang dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir tentang
putusannya yang bersifat final menguji UU terhadap UUD 1945. Leksis
berdasarkan merupakan leksis merujuk dengan merepresentasikan proposisi
sebagai dasar.
Leksis menurut, dapat, akan, dan tidak. Leksis dari contoh tersebut
memiliki makna yang bervariasi. Leksis menurut bermakna asimilasi. Leksis
menurut merupakan leksis merujuk yang merepresentasikan proposisi penalaran
dalam subjektivitas suara eksternal. Leksis dapat dan akan bermakna modalitas.
Leksis dapat dan akan merupakan opini pemohon dalam memposisikan dirinya
untuk dimohonkan pengujian terhadap UU ITE. Leksis tidak bermakna
penyangkalan. Leksis tidak merupakan suara tekstual memosisikan pemohon
sebagai suatu yang mengadakan penolakan atas sebagian pasal dalam UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
160
3. Graduasi dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP I) Graduasi dalam SP I berkaitan dengan penggunaan fungsi bahasa
menguatkan atau melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks
proses sidang pengadilan. Sikap dalam SP I diperkuat dan diperlemah yang
berkaitan dengan graduasi. Pemosisian juga menilai skala untuk tingkat intensitas
yang terhubung dengan graduasi.
Sumber graduasi yang paling dominan adalah unsur waktu dengan jumlah
49,50%. Hasil sumber graduasi pada unsur waktu sangat mendominasi
dibandingkan bentuk yang lainnya yaitu unsur ruang dengan jumlah 13,60% dan
urutan ketiga unsur jumlah 13,10%. Hasil dari analisis graduasi teks SP I
didominasi oleh forsa. Hal ini menggambarkan SP I memiliki fungsi bahasa untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi. SP I diperkuat dan diperlemah
dengan kemunculan leksis kuantifikasi waktu. Agar lebih jelas dapat dilihat pada
model graduasi bahasa forensik SP I di bawah ini berdasarkan contoh dari SP I.
Tabel 5.13 Model graduasi bahasa forensik SP I
GRADUASI
FOKUS Tajam jelas-jelas, sah Lunak seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora mengawal,
menegakkan,berwenang Tingkatan mulia Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu hari.., kapan, kesempatan, ketika, pertama, sebelum, tahun, tanggal, terakhir, terlebih dahulu, setelah, nantikan, permulaan, tadi, selanjutnya,sekarang
Ruang di samping, disebelah, di atas, di dalam, ke alamat, disini, kesana, disitu
Jumlah banyak, sedikit, semua, sering, seluruhnya, selebihnya, setelah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
161
Leksis graduasi SP I terdiri dari fokus dan forsa. Fokus memiliki unsur
mempertajam dan memperlunak. Leksis mempertajam antara lain leksis jelas-
jelas, sah dan leksis memperlunak seperti. Forsa memiliki dua unsur yaitu
intensifikasi dan kuantifikasi. Forsa meliputi penilaian pada tingkat intensitas dan
kuantifikasi. Intensitifikasi yang terdapat pada SP I adalah metafora dengan leksis
mengawal, menegakkan, dan berwenang. Intensitifikasi tingkatan memiliki leksis
mulia. Kuantifikasi waktu dengan leksis ketika, pertama, sebelum, tahun..,
tanggal.., terakhir, terlebih dahulu, setelah, nantikan, permulaan, tadi,
selanjutnya, dan sekarang. Kuantifikasi ruang dengan leksis di samping,
disebelah, di atas, di dalam, ke alamat, di sini, ke sana, dan di situ. Kuantifikasi
jumlah dengan leksis banyak, sedikit, semua, sering, seluruhnya, selebihnya, dan
setelah. Leksis-leksis tersebut lebih jelas jika dikaitkan dengan konteksnya seperti
contoh berikut.
(46) Hadirin dimohon berdiri yang mulia Majelis Hakim Konstitusi memasuki ruang persidangan. (DL SP I 1) (graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan) (graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang)
(47) Arief Hidayat: “Baik. Saudara kuasa pemohon perlu saya
sampaikan, ini sidang pendahuluan yang pertama”. (DL SP I 10) (graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu).
Leksis mulia pada contoh di atas merupakan penilaian pada tingkat
intensitas memuliakan ketua sidang pengadilan. Leksis ruang merujuk pada
tempat persidangan. Leksis pertama merupakan leksis pemberian skala yang
berkaitan dengan waktu karena sidang pengadilan dilakukan sebanyak delapan
kali.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
162
5.2.2.2 Pola bahasa dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II)
1. Sikap dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 SP II)
Sidang pengadilan (SP II) dengan jenis sidang panel diadakan hari Selasa,
tanggal 8 Maret 2016. Tema sidang panel ini adalah „perbaikan permohonan‟.
Sikap dalam SP II yang terbentuk pola bahasa forensik Penilaian ^ Apresiasi ^
Afek. Pola Sikap dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 ini
menggambarkan bahwa SP II menggambarkan penilaian hakim terhadap
permohonan pemohon.
Gambar 5.9 Tipologi sikap sidang panel (SP II)
a. Penilaian dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II)
Penilaian merupakan sumber daya yang menilai karakter atau watak.
Penilaian dalam SP II merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap hakim
dan pemohon dalam sidang dengan tema perbaikan permohonan. Penilaian dalam
SP II penilaian didominasi oleh verasitas/kebenaran positif dengan jumlah
72,70%. Dominasi kedua dengan kapasitas negatif dengan jumlah 18.20% dan
ketiga unsur proprietas/etika positif dengan jumlah 9,10%. Dari persentase di atas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
163
SP II merupakan wilayah makna yang merujuk karakter hakim dan pemohon.
Pada SP II terbentuk penilaian verasitas bermakna positif. Hal ini karena pada
sidang panel dengan tema „perbaikan permohonan‟ untuk memohon kebenaran
dengan kapasitas pemohon. Penilaian dalam SP II terdiri atas penghargaan sosial
dan sanksi sosial berikut ini.
Tabel 5.14 Penilaian dalam SP II
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas - kekuatan Sanksi Sosial verasitas/kebenaran betul - proprietas/etika seadil-adilnya -
Dari tabel penilaian-penghargaan sosial SP II terdapat leksis penghargaan sosial
kekuatan dengan makna kapasitas bernilai positif. Lebih jelasnya lihat contoh
berikut ini.
(48) Arief Hidayat: “Jadi ini bertentangan sehingga gak usah dibacakan, sehingga nomor lima tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ya sekarang nomor enam”. (DL SP II 47) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>negatif)
Leksis kekuatan dalam konteks di atas merupakan leksis penilaian bernilai negatif
dengan kapasitas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penilaian-saksi
sosial SP II dengan leksis betul merupakan verasitas bernilai positif. Leksis
Penilaian adil, baik, dan seadil-adilnya merupakan saksi sosial bermakna
proprietas bernilai positif.
(49) Arief Hidayat: “Itu yang betul menurut saudara pasal berapa? 4 atau 44.” (DL SPII 52)
(sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
164
(50) Memerintah pemuatan putusan dalam perkara ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya atau apabila mahkamah berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono). (DL SP II 64) (sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>positif)
Leksis betul pada contoh wilayah makna verasitas yang bernilai positif
bagaimana seorang hakim mengoreksi permohonan sebelum sidang pleno dimulai.
Leksis seadil-adilnya merupakan leksis penilaian proprietas bernilai positif. Dari
Parameter penilaian leksis seadil-adilnya adalah proprietas yang disampaikan
pemohon untuk kewajiban hakim memutuskan putusan yang seadil-adilnya.
b. Apresiasi dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II)
Apresiasi merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi terhadap
sesuatu atau keadaan yang terbentuk pada teks SP II. Leksis evaluasi dalam SP II
yang paling dominan dengan bahasa forensik keseimbangan negatif dengan
jumlah 66,70%. Dominasi kedua dengan kualitas positif dengan jumlah 22,20%
dan ketiga valuasi positif dengan jumlah 11,10%. Dari parameter apresiasi
tergambar reaksi antara hakim dan pemohon terhadap perbaikan permohonan
dengan komposisi keseimbangan bernilai negatif.
Tabel 5.15 Jenis-jenis Apresiasi SP II
APRESIASI Positif Negatif keseimbangan - bertentangan, valuasi Sesuai, -
Dari tabel jenis-jenis apresiasi di atas, SP II memiliki leksis bertentangan
dan sesuai. Leksis bertentangan merupakan wilayah makna apresiasi dengan
komposisi keseimbangan negatif dan leksis sesuai merupakan wilayah makna
apresiasi dengan jenis valuasi bernilai positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
165
c. Afek dalam sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 (SP II)
Afek digunakan untuk membicarakan ungkapan emosi dan perasaan pada
teks SP II. Afek pada SP II berhubungan dengan sumber daya yang menunjukkan
perasaan negatif dan positif.
Sumber sikap yang dominan pada SP II memiliki unsur kepuasan-
kesenangan dengan jumlah 75,00%. Kedua keamanan-amanah dengan jumlah
25,00%. Dari unsur tersebut tergambar bahwa teks SP II memiliki bahasa evaluasi
yang bermakna minat dan perasaan pemohon yang ingin menggugat UU ITE
sangat tinggi.
Tabel 5.16 Afek dalam SP II
Keamanan/ Ketidakamanan
Arus (Perilaku) Watak
keamanan amanah
menegaskan
-
Kepuasan/Ketidakpuasan kepuasan kesenangan
- terhormat, hormat
Leksis menegaskan merupakan afek-keamanan bermakna amanah seperti contoh
berikut ini.
(51) Pemohon: “Kami mulai dengan legal standing bahwa dalam permohonan a quo pemohonakan menegaskan bahwa kualifikasi pemohon dalam permohonannya ini adalah selaku perorangan warga negara Indonesia kalaupun saat ini pemohon merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia namun dalam a quo pemohon tidak bertindak dalam kedudukan pemohon sebagai anggota DPR RI yang memiliki hak konstitusional yang berbeda dengan perorangan dengan warga negara yang bukan anggota DPR RI. (DL SP II 25) (sikap>afek>keamanan>amanah).
Dari contoh di atas leksis menegaskan merupakan ungkapan emosi dan
perasaan pada keadaan. Leksis menegaskan merupakan sumber daya apraisal
sikap keamanan yang mengandung arus (prilaku) pemohon dalam menyampaikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
166
permohonan pada sidang panel dengan tema perbaikan permohonan terkait status
legal standing pemohon. Leksis hormat dan terhormat merupakan afek-kepuasan
bermakna kesenangan seperti contoh berikut.
(52) Pemohon: “Ya berdasarkan posita maka kami mengajukan majelis hakim yang terhormat berkenan memberikan putusan sebagai berikut mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.” (DL SP II 36). (sikap>afek>kepuasan>kesenangan)
Leksis terhormat pada contoh di atas merupakan sumber daya yang menunjukkan
perasaan hormat yang dirujuk oleh budaya sebagai nilai yang positif menghormati
majelis hakim sebagai perangkat hukum dalam menegakkan keadilan.
2. Pemosisian dalam sidang panel Perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II)
Pemosisian SP II berkaitan dengan pemosisian hakim dan pemohon dalam
bahasanya. Pemosisian SP II menggunakan sumber daya bahasa untuk
memposisikan hakim dan pemohon berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
dibawakan SP II.
Dari tabel pemosisian SP II di atas terdapat sistem bahasa yang dominan
yaitu intravokalisasi tertutup unsur penyangkalan dengan jumlah 38,30%. Dari
persentase tersebut SP II merupakan wilayah makna yang memposisikan
pemohon. Pemohon pada SP II memposisikan dirinya sebagai suara tekstual yang
berlawanan atau melakukan penolakan terhadap UU ITE dan menggugatnya ke
MKRI melalui sidang pengadilan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
167
Tabel 5.17 Model pemosisian SP II
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan Asimilasi Bahwa, berdasarkan,
menambahkan, mengatakan, menjelaskan, menurut
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan baik, bukan, namun, ngak tapi, tidak,
Proklamasi Menyatakan
Terbuka
Modalitas Akan, bisa dapat, harus, mungkin,
Indrawi - Desas-desus -
MONOGLOS Representasi
Dari model pemosisian di atas, terdapat leksis asimilasi bahwa,
berdasarkan, menambahkan, mengatakan, menjelaskan, dan menurut dengan
merujuk suara lain. Leksis penyangkalan yaitu baik, bukan, namun, ngak, tapi,
dan tidak. Leksis proklamasi menyatakan. Leksis modalitas akan, bisa, dapat,
harus, dan mungkin. Lebih jelasnya leksis-leksis tersebut dapat diuraikan dari
contoh berikut.
(53) Pemohon: “Kami mulai dengan legal standing bahwa dalam permohonan a quo pemohon akan menegaskan bahwa kualifikasi pemohon dalam permohonannya ini adalah selaku perorangan warga negara Indonesia kalaupun saat ini pemohon merupakan anggota dewan perwakilan rakyat Indonesia namun dalam a quo pemohon tidak bertindak dalam kedudukan pemohon sebagai anggota DPR RI yang memiliki hak konstitusional yang berbeda dengan perorangan dengan warga negara yang bukan anggota DPR RI. (DL SP II 25) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
168
Leksis bahwa dalam contoh di atas merupakan sumber daya bahasa untuk
memposisikan suara penutur. Leksis akan merupakan modalitas yang memiliki
makna yang direalisasikan untuk menyatakan sikap pemohon sebagai kualifikasi
perorangan sebagai WNI. Leksis namun, tidak, bukan merupakan leksis
penyangkalan. Pemohon memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang melakukan
penolakan atau berlawanan bahwa pemohon memiliki legal standing sebagai WNI
bukan sebagai anggota DPR RI.
3. Graduasi dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP II) Graduasi dalam SP II merupakan gambaran penggunaan fungsi bahasa
menguatkan dan melemahkan sikap keterbabitan/pemosisian yang dihubungkan
dengan teks. Dari pola graduasi SP II didominasi unsur waktu dengan jumlah
66,20%. Dari unsur tersebut tergambar bahwa SP II merupakan sumber daya
untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi perbaikan permohonan.
Tabel 5.18 Model graduasi bahasa forensik teks SP II
GRADUASI
FOKUS Tajam - Lunak -
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora - Tingkatan Kualifikasi, Mulia Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu Hari, saat, sebelum, pertama, tahun, tanggal, terakhir, …yang lalu
Ruang Jumlah
- Minoritas, …sampai…, terdiri
Dari model graduasi tabel 5.32 terdapat leksis tingkatan kualifikasi dan
mulia. Leksis waktu hari.., saat, sebelum, pertama, tahun..., tanggal..., terakhir,
dan …yang lalu. Leksis jumlah minoritas, ...sampai..., dan terdiri.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
169
(54) Arief Hidayat: “Baik, perbaikan permohonan saudara sudah diterima di mahkamah pada hari senin 7 maret 2016 pukul 10.52 sehingga hakim sudah membaca perbaikan permohonan ini. (DL SP II 11) (graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu)
(55) Arief Hidayat: “P1 sampai dengan P15 yayang di perbaikan ini karna yang pertama ada P12 A1”. (DL SP II 77) (graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah) (graduasi>forsa>kuantifikasi>waktu)
Dari contoh di atas secara apraisal terdapat leksis pada hari..., sampai
dengan, dan pertama yang merupakan leksis graduasi. Leksis tersebut merupakan
sumber daya untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi perbaikan
permohonan yang diperiksa oleh ketua majelis.
5.2.2.3 Pola bahasa dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
1. Sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Sidang pengadilan ketiga (SP III) dengan jenis sidang pleno diadakan hari
Senin, tanggal 11 April 2016. Tema sidang pleno „mendengarkan keterangan
Presiden dan DPR‟. Sikap dalam SP III yang terbentuk pola Penilaian ^ Apresiasi
^ Afek. Sumber sikap melihat bagaimana hakim mendengarkan keterangan
presiden dan DPR dalam mengekspresikan keadaan. Dalam SP III terdapat tiga
aspek afek, penilaian, dan apresiasi. Ketiga sumber tersebut memiliki turunan
kajian yang bervariasi seperti tergambar pada gambar berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
170
Gambar 5.10 Tipologi sikap sidang pleno (SP III)
Dari gambar Sikap SP III di atas tergambar ketiga subbagian yang
bervariasi dalam menyampaikan pesannya kepada masyarakat. Dari ketiga bagian
ditemukan sikap pesan yanng sesungguhnya. Untuk lebih jelasnya dijelaskan
ketiga aspek apraisal sikap secara rinci di bawah ini.
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Penilaian dalam SP III merupakan wilayah makna yang merujuk pada
sikap bagaimana mereka berprilaku. Penilaian dalam SP III terdiri dari proprietas
positif dan negatif, kapasitas positif, verasitas positif, dan tenasitas negatif dengan
jumlah berikut ini.
Dari tabel persentase penilaian SP III terdapat sumber sikap yang dominan
yaitu unsur proprietas/etika bernilai negatif dengan jumlah 61,20% dan diikuti
bentuk dengan verasitas/kebenaran bernilai positif dengan jumlah 22,40%. Hal ini
menggambarkan penilaian dalam SP III merupakan bagaimana penilaian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
171
proprietas sebagai kewajiban menyampaikan keterangan presiden dan DPR dan
verasitas positif untuk kemungkinan yang akan diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 5.19 Penilaian dalam SP III
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas aktual, kuat, tegas, nyata,
kekuatan -
tenasitas/kegigihan cermat - Sanksi Sosial verasitas/kebenaran betul, jelas, nyata,
sebenarnya, sebetulnya -
proprietas/etika baik, adil jahat, kejahatan
Dari tabel penilaian di atas terdapat leksis penghargaan sosial bermakna kapasitas
dengan leksis kuat dan tegas. Makna tenasitas dengan leksis cermat. Lebih
jelasnya leksis tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(56) Setelah membaca dengan cermat permohonan pemohon, pemerintah berpendapat bahwa yang dipermasalahkan pemohon adalah penerapan norma suatu UU sesuai dengan yang diamanatkan di dalam UU PTPK pengaduan konstitusi namun oleh pemohon permasaalahan tersebut sebagai permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dengan dalil bahwa ketentun pasal 15 PTPK yang dimohonkan fungsianya itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. (DL SP III 38) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>tenasitas>positif)
Leksis cermat merupakan penilaian-penghargaan sosial yang bernilai positif.
Leksis cermat merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap Pemerintah
terhadap pemohon bagaimana pemohon berprilaku dalam keadaan menggugat UU
ITE. Secara cermat pemerintah telah membaca uraian dari permohonan pemohon.
Leksis sanksi sosial dengan makna verasitas betul, jelas, dan nyata bermakna
positif. Leksis proprietas dengan leksis baik bermakna positif dan interpretasi dan
kejahatan.
(57) Pemohon dalam permohonanya mengajukan dalam kapasitasnya sebagai perorangan warga negara Indonesia maka tidak tepat jika
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
172
pemohon berdalil bahwa kerugian konstitusional secara nyata dirasakan kedudukannya sebagai perorangan warga negara Indonesiakarna kerugian secara nyata dirasakan oleh pemohon dalam kapasitanya sebagai anggota DPR RI dengan diberlakukannya pasal 15 UU PTPK. (DL SP III 60) (sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif)
Secara apraisal leksis nyata pada contoh di atas merupakan penilaian untuk
kemungkinan secara nyata sebagai perorangan WNI pemohon tidak dirugikan
karena kebenarannya dirasakan oleh pemohon sebagai anggota DPR RI.
b. Apresiasi dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Apresiasi dalam SP III merupakan wilayah makna yang merujuk pada
evaluasi terhadap paparan keterangan dari pemerintah dan DPR. Akan tetapi pada
SP III keterangan dari pemerintahlah yang akan dievaluasi karena DPR tidak
hadir.
Dari persentase apresiasi di atas dominasi leksis apresiasi terbentuk unsur
valuasi positif dengan jumlah 55,90%. Dari jumlah dominasi tersebut tergambar
bahwa wilayah makna bahasa evaluatif SP III merujuk pada evaluasi dan
penampilan yang dilakukan keterangan pihak pemerintah dan DPR yang
berhubungan dengan proses mental-cara memandang kasus gugatan UU ITE.
Tabel 5.20 Apresiasi dalam SP III
Apresiasi Positif Negatif dampak menarik kompleks,rumit kualitas buruk keseimbangan wajar bertentangan kompleksitas - multitafsir valuasi luar biasa, sesuai, khusus,
potensial -
Dari tabel jenis-jenis apresiasi di atas terdapat apresiasi berdampak positif
dan negatif dengan leksis menarik berdampak positif dan leksis kompleks dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
173
rumit berdampak negatif. Apresiasi kualitas dengan leksis buruk kualitas
bermakna negatif. Leksis wajar dengan keseimbangan bermakna positif. Leksis
bertentangan dengan keseimbangan negatif. Apresiasi dengan leksis multitafsir
bermakna kompleksitas negatif. Apresiasi valuasi dengan leksis luar biasa,
sesuai, khusus, dan potensial dengan makna valuasi positif. Agar lebih jelas
bagaimana makna tersebut dalam konteks maka dicontohkan berikut ini.
(58) Setelah membaca dengan cermat permohonan pemohon, pemerintah
berpendapat bahwa yang dipermasalahkan pemohon adalah penerapan norma suatu UU sesuai dengan yang diamanatkan di dalam UU PTPK pengaduan konstitusi namun oleh pemohon permasaalahan tersebut sebagai permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dengan dalil bahwa ketentun pasal 15 PTPK yang dimohonkan fungsianya itu bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. (DL SP II 38) (sikap>apresiasi>valuasi>positif) (sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif)
Leksis sesuai merupakan apresiasi dengan makna valuasi positif. Leksis
sesuai merujuk pada evaluasi terhadap penerapan norma suatu undang-undang.
Leksis pada konteks ini pemerintah menentang pengaduan konstitusi oleh
pemohon. Leksis bertentangan merupakan apresiasi dengan makna keseimbangan
negatif. Menurut pemohon bahwa fungsi undang-undang yang digugat tidak
sesuai dengan UUD 1945.
c. Afek dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Afek dalam SP III mengungkap emosi dan perasaan. Afek merupakan
sumber daya yang menunjukkan perasaan negatif dan positif. Dari hasil analisis
SP III terbentuk sistem sikap keamanan, kepercayaan, ketidakamanan,
kesenangan, kegelisahan, kecenderungan rasa takut, dan keinginan pemohon.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
174
Dari persentase afek di atas dominasi perolehan hasil analisis SP III
ditemukan unsur irealis-kecenderungan merasa takut dengan jumlah 33,30%.
Hasil ini menggambarkan bahwa sumber daya yang menunjukkan perasaan pada
SP III merupakan aspek yang bermakna ketidakamanan pemohon. Kecenderungan
merasa takut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada jenis afek berikut.
Tabel 5.21 Afek dalam SP III
Kecendrungan/ Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
takut diancam - hasrat/keinginan melawan - Keamanan/Ketidakamanan ketidakamanan kegelisahan
kegelisahan
-
keamanan kepercayaan
menyerahkan, -
Kepuasan/Ketidakpuasan kepuasan kesenangan
- hormat, terhormat
Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan dilindungi, mengamankan,
menyelamatkan,melindungi ancaman, diancam, dicurigai
Dari tabel afek-irealis terdapat leksis diancam dengan makna kecenderungan
merasa takut. Pemohon merasa takut dan terancam posisinya di DPR karena
penyadapan yang disebarluaskan. Afek jenis keamanan/ketidakamanan SP III
mengandung leksis kegelisahan yang bermakna ketidakamanan-kegelisahan dan
leksis menyerahkan dengan leksis keamanan-kepercayaan. Lihat contoh berikut.
(59) Namun demikian pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada yang mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya. (DL SP III 78) (sikap>afek>keamanan>kepercayaan)
Leksis menyerahkan pada contoh tersebut merupakan sumber daya bahasa
evaluasi yang mempercayakan segala keputusan kepada yang berwenang yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
175
kepada Majelis Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya. Unsur
kepuasan/ketidakpuasan memiliki leksis hormat dan hormati yang merupakan
watak kesopanan dari WNI kepada mahkamah sebagai majelis yang berwenang
dalam mengadili dan memutuskan sidang pengadilan.
Dari tabel di atas terdapat leksis afek jenis keamanan dilindungi,
mengamankan, menyelamatkan, dan melindungi dengan makna
keamanan/ketidakamanan bermakna positif. Afek jenis ini juga terdapat leksis
ancaman, diancam, dan dicurigai yang merupakan keamanan/ketidakamanan
bermakna negatif. Lihat contoh berikut.
(60) Dari uraian di atas penyelidik memiliki kewenangan berdasarkan UU antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana mencari keterangan dan barang bukti menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri mengatakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 1 KUHP. (DL SP III 74) (sikap>afek>ketidakamanan).
(61) Selain daripada itu ketentuan pasal 15 UU PTPK tidak semata-mata
hanya ditujukan kepada pemohon saja tetapi ditujukan juga atau berlaku pada yang dimintai keterangan terhadap setiap orang atau saksi dalam setiap proses penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung dengan dipanggilnya pemohon dalam perkara tindak pidana korupsi bukan berarti menghilangkan hak pemohon karena hak pemohon masih dilindungi oleh undang-undang dengan membela diri sepenuhnya sebagaimana penerapan asas praduga tidak bersalah serta asas persamaan di hadapan hukum. (DL SP III 76). (sikap>afek>keamanan).
Leksis dicurigai merupakan afek ketidamanan yang merupakan sumber
daya penilaian bermakna negatif. Leksis dilindungi merupakan afek keamana
bermakna positif karena pemohon dilindungi oleh UU dalam penerapan asas
praduga tidak bersalah dan persamaan di hadapan hukum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
176
2. Pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III) Pemosisian SP III ditemukan pemosisian asimilasi, proklamasi, modalitas,
penyangkalan, dan indrawi. Dari hasil analisis ditemukan dominasi SP III hingga
terbentuk unsur bahasa forensik asimilasi dengan jumlah 31,00%. Dari hasil teks
SP III tergambar keterlibatan penutur yaitu pemerintah dan DPR dalam proposisi
yang dibicarakan atau dikodekan dalam teks. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam
model pemosisian SP III dan contoh berikut.
Tabel 5.22 Model pemosisian SP III
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi bahwa,
berdasarkan,ditambahkan, menambahkan, mengatakan, menjelaskan, menurut,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan
belum, bukan, kecuali, namun, ngak, tanpa, tapi, tetapi, tidak
Proklamasi menyatakan,
Terbuka
Modalitas akan, bisa, dapat, harus,izin,izinkan,mungkin,
Indrawi dengar, dengarkan, kelihatannya, mendengarkan, melihat
Desas-desus
-
MONOGLOS Represensi
Dari model pemosisian SP III ditemukan asimilasi dengan leksis berdasarkan,
bahwa, ditambahkan, menambahkan, mengatakan, menjelaskan, dan menurut.
Lihat contoh berikut.
(62) Berdasarkan hal tersebut di atas pemerintah berpendapat permohonan pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kududukan hukum dan adalah tepat jika mahkamah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
177
konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. (DL SP III 77)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (63) Bahwa pemerintah tidak sependapat dengan alasan pemohon yang
menyatakan surat perintah direktur penyelidikan Jaksa Agung Muda tindak pidana khusus No.prin-133/f2.2fd.1/11/2015 tanggal 30 November 2015, No.prints-134/f;/fd1/12/2015 tanggal 2 Desember 2015 No.prints 135/f:/fd.1/01/2016 tanggal 4 Januari 2016. (DL SP III 157)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan)
(pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi)
Leksis berdasarkan, menyatakan, tidak, bahwa dan dapat merupakan
sumber daya untuk menyatakan keterlibatan pemerintah dalam gugatan UU ITE.
Pemerintah memiliki suara tekstual untuk memposisikan dirinya sebagai suatu
yang berlawanan atau mengadakan penolakan terhadap kedudukan hukum
pemohon. Pemerintah tidak sependapat dengan alasan pemohon dalam
menyatakan surat perintah direktur penyelidikan.
3. Graduasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP III)
Graduasi dalam SP III merupakan penggunaan fungsi bahasa menguatkan
atau melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan teks yang bertema
mendengarkan keterangan presiden dan DPR. Graduasi dalam SP III terdapat
sistem tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu, fokus mempertajam dan
memperlemah seperti terangkum pada persentase sistem graduasi berikut ini.
Dari hasil analisis SP III diperoleh persentase graduasi yang dominan
antara lain sumber bahasa forensik unsur waktu dengan jumlah 37,33%. Hasil ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
178
menggambarkan teks SP III memiliki fungsi bahasa evaluasi dengan unsur waktu
untuk memperlemah atau menguatkan keterangan presiden.
Tabel 5.23 Model graduasi dalam SP III
GRADUASI
FOKUS Tajam Sah Lunak Seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi
Metafora -
Tingkatan dikualifikasikan, kualifikasi, mulia
Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu Hari, kapan, ketika, kesempatan pertama, sejak, tahun, tanggal, terakhir, terlebih dahulu
Ruang Jumlah
Bertempat, sebelah, , sebelahnya Di sejumlah, sebanyak, semua
Graduasi dalam SP III terdiri dari leksis sah dan seperti yang digunakan
untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi. Graduasi unsur tingkatan
dengan leksis dikualifikasikan, kualifikasi, dan mulia. Leksis hari, kapan, ketika,
kesempatan pertama, sejak, tahun, tanggal, terakhir, terlebih dahulu merupakan
graduasi unsur waktu. Leksis bertempat, sebelah dan sebelahnya merupakan
graduasi unsur ruang. Graduasi unsur ruang dengan leksis disejumlah, sebanyak,
dan semua. Lebih jelasnya lihat contoh berikut ini.
(64) Kegiatan dalam ruang cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. (DL SP III 179)
(graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang) (graduasi>forsa>intensifikasi>tingkatan)
Leksis ruang cyber dan sangat merupakan sumber daya bahasa evaluasi
yang berfungsi untuk menguatkan atau melemahkan sikap dan pemosisian yang
dihubungkan oleh teks SP III yang bertema mendengarkan keterangan presiden
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
179
dan DPR. Leksis sangat merupakan tingkatan yang digunakan terhadap kualitas
alat bukti meskipun kegiatan dalam ruang cyber.
5.2.2.4 Pola bahasa dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Sidang pengadilan (SP IV) dengan jenis sidang plenobagian satu (1)
diadakan hari Rabu, tanggal 20 April 2016. Tema sidang pleno „mendengarkan
keterangan DPR dan ahli pemohon‟.
1. Sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV) Sikap yang terbentuk dari SP IV yaitu Penilaian^Afek^Apresiasi. Dari
bentuk tersebut teks SP IV merupakan sumber daya untuk menilai keadaan.
Keadaan yang terdapat pada SP IV tergambar pada gambar berikut ini.
Gambar 5.11 Tipologi sikap sidang pleno (SP IV)
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Penilaian SP IV merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap dan
bagaimana DPR, pemerintah, dan ahli pemohon berprilaku dalam menyampaikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
180
keterangannya. Penilaian dalam SP IV terdiri atas proprietas, kapasitas, dan
verasitas seperti persentase berikut ini.
Dari tabel persentase penilaian terdapat sumber sikap penilaian yang
mendominasi SP IV yaitu sumber proprietas/etika bermakna negatif dengan
jumlah 77,10%. Hasil ini menggambarkan bahwa keterangan DPR dan ahli dari
pemohon mengajukan bukti-bukti kebenaran yang berhubungan dengan
kewajiban.
Tabel 5.24 Penilaian SP IV
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas kekuatan,tegas,kekuatannya,
cukup,sistematis,kreatif,cermat, cermati
-
Sanksi Sosial Positif Negatif verasitas/kebenaran benar, jelas, otentik,
sebenarnya
proprietas/etika adil, curang, jahat, kejahatan
Penilaian-penghargaan sosial dalam SP IV memiliki leksis kekuatan, tegas,
kekuatannya, cukup, sistematis, kreatif, cermat, dan cermati. Seperti contoh
berikut.
(65) Tegasnya perbuatan persiapan adalah mengumpulkan kekuatan sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan mulai melepaskan kekuatanya yang telah dikumpulkan masih dalam teori hukum pidana baik permufakatan jahat maupun percobaan atau dasarmemperluas dapat dipidanakan perbuatan berkaitan dengan hal tersebut tentang perbuatan permufakatan jahat berkaitan dengan unsur kesepakatan terdapat beragam pendapat. (DL SP IV 103) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif)
(66) Ada pendapat yang menyatakan harus ada kesepakatan yang jelas dan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut tidaklah diperlukan. (DL SP IV 104) (sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>positif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
181
b. Apresiasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Apresiasi dalam SP IV merupakan wilayah makna yang merujuk pada
evaluasi terhadap keterangan DPR dan ahli pemohon. Dari rekapitulasi persentase
apresiasi dalam sp IV ditemukan dominasi sumber sikap sehingga terbentuk sikap
apresiasi dalam teks SP IV terhadap keterangan DPR dan ahli pemohon. Sistem
SP IV didominasi oleh valuasi bernilai positif adalah dengan jumlah 69,70%. Dari
dominasi tersebut tergambar bahwa keterangan DPR dan ahli pemohon
merupakan wilayah makna yang merujuk pada valuasi yang berhubungan dengan
kognitif.
Tabel 5.25 Apresiasi dalam SP IV
Apresiasi Positif Negatif keseimbangan - bertentangan kompleksitas - tidak jelas valuasi luar biasa, sesuai, khusus,
khususnya biasa
Jenis-jenis apresiasi SP IV berdasarkan parameter apresiasi yaitu
keseimbangan dengan leksis bertentangan merupakan polaritas reaksi yang
berdampak negatif. Kompleksitas dengan leksis tidak jelas merupakan polaritas
kompleksitas negatif. Valuasi dengan leksis luar biasa, sesuai, khusus, dan
khususnya merupakan valuasi positif.
c. Afek dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Afek dalam SP IV digunakan dalam pembahasan bahasa emotif yang
digunakan oleh DPR dan ahli pemohon. Afek yang mucul dari teks tersebut
adalah keamanan/ketidakamanan, amanah, kepercayaan, kesenagan, dan
kecenderungan rasa takut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
182
Dari persentase afek terdapat sumber sikap yang mendominasi unsur
keamanan dengan jumlah 41,70%. Dari dominasi tersebut tergambar bahwa
keterangan yang disampaikan DPR dan ahli pemohon merupakan sumber daya
yang menunjukkan perasaan aman DPR dan kecenderungan rasa takut perwakilan
ahli pemohon.
Tabel 5.26 Afek dalam SP IV
Kecendrungan / Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
takut ancaman, ketakutan, diancam, hati-hati
-
Keamanan/Ketidakamanan keamanan amanah kepercayaan
menegaskan menyerahkan, percaya
- -
Kepuasan/Ketidakpuasan kesenangan hormat, terhormat Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan
aman, jaminan, perlindungan,
-
Afek irealis dengan leksis ancaman, diancam, ketakutan, dan hati-hati merupakan
leksis bermakna kecenderungan merasa takut seperti contoh berikut.
(67) Bahwa selain itu setiap warga negara juga mempunyai hak memproleh perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesutu sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 g ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas perlidungan diri pribadi. (DL SP IV 56)
(sikap>Afek>irealis>kecenderungan>takut)
Leksis ancaman dan ketakuatan pada contoh di atas merupakan sumber daya yang
mengungkapkan perasaan pemohon. Nilai irealis yang dirasakan pemohon
berhubungan dengan maksud dan keinginan dalam kaitannya dengan stimulus
yang mungkin terjadi. Leksis afek-keamanan/ketidakamanan dalam SP IV dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
183
leksis menegaskan merupakan makna keamanan amanah. Leksis menyerahkan
dan percaya merupakan makna kepercayaan seperti contoh berikut.
(68) Bahwa pasal 1 ayat 3 UUD tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. (DL SP IV 46)
(sikap>Afek>keamanan>amanah)
Leksis menegaskan merupakan sumber daya untuk mengungkapkan arus
prilaku. Leksis menegaskan memberikan penegasan bahwa pasal 1 ayat 3 UUD
tahun 1945 memberikan keamanan bermakna amanah kepada pemohon sebagai
WNI. Leksis afek-kepuasan/ketidakpuasan dalam SP IV dengan leksis hormat dan
terhormat bermakna kepuasan kesenangan. Afek-jenis ketidakbahagiaan dalam
SP IV dengan leksis aman, jaminan, dan perlindungan bermakna
keamanan/ketidakamanan seperti contoh berikut.
(69) Bahwa pasal 28 d ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama dihadapan hukum (DL SP IV 54). (sikap>Afek>keamanan)
Leksis jaminan dan perlindungan merupakan sumber daya bermakna keamanan
bernilai positif bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan dan jaminan
yang adil dihadapan hukum.
2. Pola Pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV)
Pemosisian SP IV berkaitan dengan pemosisian DPR dan ahli pemohon.
Pemosisian dalam SP IV merupakan sumber daya untuk memposisikan DPR dan
ahli pemohon yang berkaitan dengan proposisi dan proposal yang dibawakan
dalam tema mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon. Pemosisian dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
184
SP IV terdiri atas asimilasi, proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan indrawi
dengan persentase yang tertera pada tabel berikut.
Persentase pemosisian dalam SP IV terdiri atas unur penyangkalan dengan
jumlah 35,80%. Kedua asimilasi dengan jumlah 31,60%. Dari dominasi di atas
menjelaskan penilaian terhadap SP IV memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang
berlawanan atau melakukan penolakan terhadap gugatan UU ITE yang diajukan
oleh pemohon.
Tabel 5.27 Model pemosisian sidang pengadilan SP IV
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi bahwa, berdasarkan,
mengatakan, menggambarkan, menjelaskan, menurut,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan bukan, belum, kecuali, namun, ngak, tanpa, tapi, tetapi, tidak,
Proklamasi Menyatakan
Terbuka
Modalitas akan, bisa, boleh dapat, harus, ingin, mungkin, pasti
Indrawi dengarkan, didengar, dilihat, lihat, mendengarkan, melihat,
Desas-desus - MONOGLOS Representasi
Model pemosisian dalam SP IV terdiri atas asimilasi dengan leksis bahwa,
berdasarkan, mengatakan, menggambarkan, menjelaskan, dan menurut.
Penyangkalan dengan leksis bukan, belum, kecuali, namun, ngak, tanpa, tapi,
tetapi, dan tidak. Proklamasi dengan leksis menyatakan. Modalitas dengan leksis
akan, bisa, boleh dapat, harus, ingin,mungkin,dan pasti. Indrawi dengan leksis
dengarkan, didengar, dilihat, lihat, mendengarkan, dan melihat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
185
(70) Anwar Usman: “Agenda persidangan hari ini adalah untuk mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon”. (DL SP IV 15)
(pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>indrawi)
(71) Bahwa UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan alat bukti yang sah tetapi pasal 5 ayat 2 UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini yaitu perluasan tersebut harus sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. (DL SP IV 76)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas)
Leksis mendengarkan pada contoh di atas merupakan sumber daya bahasa
untuk memposisikan suara hakim, DPR, dan ahli pemohon. Hakim memposisikan
dirinya sebagai suara tekstual yang menggambarkan proposisi. Leksis bahwa dan
menjelaskan memposisikan suara DPR yang merepresentasikan proposisi sebagai
dasar dalam subjektivitas suara eksternal. Leksis tidak dan tetapi memmosisikan
DPR sebagai suatu yang melakukan penolakan beberapa posisi yang berlawanan
terhadap UU ITE. Leksis harus memposisikan pendapat DPR pada tingkat yang
tinggi (keharusan) agar sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
3. Pola Graduasi dalam sidang panel perkara
No. 20/PUU-XIV/2016 (SP IV) Graduasi dalam SP IV menggunakan fungsi bahasa untuk menguatkan
atau melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks yang bertema
mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon. Graduasi dalam SP IV terdiri
dari tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu dan fokus mempertajam dan
memperlunak isi SP IV.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
186
Dari persentase graduasi terdapat sumber graduasi yang mendominasi
yaitu unsur waktu dengan jumlah 46,50%. Kedua unsur jumlah dengan jumlah
16,60%. Dari perolehan tersebut graduasi waktu secara umum mendominasi untuk
menguatkan dan melemahkan keterangan dari DPR dan ahli pemohon.
Tabel 5.28 Model graduasi bahasa forensik SP IV
GRADUASI
FOKUS Tajam Sah Lunak Seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora - Tingkatan Kualifikasi, mulia Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu hari, jam, ketika, nanti, pertama, sebelum, seumur, selama, tahun, tanggal
Ruang Jumlah
beralamat, paling ujung, sebelah, tempat, ke depan, ruang .. sampai…, sebuah, sekitar
Graduasi dalam SP IV terdapat leksis sah dan seperti dengan fungsi
bahasa mempertajam dan memperlunak teks keterangan DPR dan ahli pemohon.
Leksis kualitas dan mulia yang merujuk pada tingkatan. Leksis hari, jam, ketika,
nanti, pertama, sebelum, seumur, selama, tahun, tanggalmerujuk pada waktu.
Leksis beralamat, paling ujung, sebelah, tempat, ke depan, ruang merujuk pada
ruang. Leksis ... sampai…, sebuah, sekitar merujuk pada jumlah.
5.2.2.5 Pola bahasa dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Sidang pengadilan (SP V) dengan jenis sidang pleno bagian dua (2)
diadakan hari yang sama Rabu, tanggal 20 April 2016. Tema sidang pleno
„mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon‟.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
187
1. Pola Sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Sikap pada SP V bagian (2) merupakan kelanjutan dari SP IV dengan tema
yang sama. Sikap dalam SP IV memiliki pola yang berbeda dengan SP V
meskipun dengan tema yang sama. Dari hasil analisis terbentuk
Penilaian^Apresiasi^Afek dari SP V. Pola tersebut memiliki beberapa aspek
seperti gambar berikut.
Gambar 5.12 Tipologi sikap sidang pleno (SP V)
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Penilaian pada SP V terdiri atas proprietas, verasitas, dan kapasitas. Jenis
penilaian pada SP V bermakna positif dan negatif seperti rekapitulasi persentase
yang terdapat pada tabel di bawah ini.
Dari tabel persentase di atas penilaian SP V didominasi oleh jenis sanksi
sosial unsur proprieta/etika bermakna negatif dengan jumlah 69,90%, kedua jenis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
188
penilaian penghargaan sosial unsur kapasitas bermakna positif dengan jumlah
13,97%, ketiga jenis sanksi sosial unsur verasitas/kebenaran bermakna positif
dengan jumlah 11,30%, dan yang terkecil penghargaan sosial unsur kapasitas
bermakna negatif dengan jumlah 1,07%. Dominasi penilaian proprietas/etika
bermakna negatif pada SP V menggambarkan keterangan DPR dan ahli pemohon
merupakan wilayah makna merujuk pada kewajiban. Lebih jelas dapat dilihat
bersama uraian contoh klausa berdasarkan konteksnya di bawah ini.
Tabel 5.29 Penilaian dalam SP V
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas tegas, sistematis, otentik,
cermat ketidaktegasan, ketidakcermatan
Sanksi Sosial Positif Negatif verasitas/kebenaran benar, jelas, jelas-jelas proprietas/etika Adil, baik, keadilan
Penilaian-penghargaan sosial SP V terdapat leksis tegas, sistematis, otentik, dan
cermat bermakna kapasitas positif. Leksis ketidaktegasan, ketidakcermatan
bermakna kapasitas negatif seperti contoh berikut.
(72) Ketidaktegasan dan ketidakcermatan dalam urusan delik dalam norma a quo jelas menghilangkan kepastian hukum jaminan dan perlindungan dan hak asasi setiap orang yang terlibat dalam proses hukum dengan dugaan tindak pidana korupsi. (DL SP V 156) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>negatif)
Dari parameter penilaian leksis ketidakjelasan dan ketidakcermatan masuk
dalam kategori kapasitas bermakna negatif. Leksis ketidakjelasan merupakan
makna yang tidak jelas dan tidak cermat dalam frasa yang terdapat dalam undang-
undang dapat menghilangkan kepastian hukum. Penilaian-sanksi sosial memiliki
leksis benar, jelas dan jelas-jelas dengan makna verasitas/kebenaran. Makna
proprietas dalam SP V terdiri atas leksis adil, baik, keadilan yang bernilai positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
189
b. Apresiasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Apresiasi dalam SP V merupakan wilayah makna yang merujuk pada
evaluasi terhadap keterangan DPR dan ahli pemohon bagian ke (2). Dari SP V
ditemukan apresiasi kualitas, keseimbangan, valuasi, dampak dan kompleksitas
yang bermakna positif dan negatif seperti tabel berikut.
Dari hasil persentase apresiasi ditemukan bahwa sumber sikap yang
dominan adalah valuasi bermakna positif dengan jumlah 46,78%. Dari dominasi
tersebut tergambar bahwa apresiasi yang muncul dari SP V adalah wilayah makna
yang merujuk pada DPR dan ahli pemohon yang bermakna valuasi. DPR dan ahli
pemohon berhubungan dengan kognitif memaparkan pertimbangan-pertimbangan
sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan masing-masing.
Tabel 5.30 Apresiasi dalam SP V
Apresiasi Positif Negatif dampak menarik kualitas bagus - keseimbangan - bertentangan kompleksitas - multitafsir, tidak jelas valuasi khusus, khususnya, luar
biasa, sesuai
Jenis apresiasi yang terdapat dalam SP V adalah apresiasi jenis dampak
dengan leksis menarik bermakna positif. Kualitas dengan leksis bagus bermakna
positif. Keseimbanagan dengan leksis bertentangan dengan keseimbanagan
negatif. Leksis multitafsir, tidak jelas dengan kompleksitas negatif. Leksis khusus,
khususnya, luar biasa, sesuai dengan valuasi positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
190
(73) Berdasarkan hal itu maka frasa permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud pasal, 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14 adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karna tidak memuat untuk berbuat secara cermat. (DL SP V 52) (sikap>apresiasi>kompleksitas>negatif)
Leksis tidak jelas dan multitafsir merupakan makna apresiasi dengan
polaritas kompleksitas negatif. Leksis multitafsir dan tidak jelas memiliki
kecenderungan negatif sehingga sulit ditafsirkan dalam hukum. Hal ini menjadi
kelemahan dan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan masyarakat.
c. Afek dalam sidang panel perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V)
Afek dalam SP V terdiri atas keamanan-amanah, kepuasan-kesenangan,
keamanan-kepercayaan, keamanan/ketidakamanan, irealis-kecenderuangan-takut.
Afek dalam SP V bermakna positif dan negatif. Persentase Afek pada SP V
memiliki sumber yang dominan irealis-kecenderungan merasa takut yaitu dengan
persentase 47,82%. Hal ini menggambarkan bahwa ahli pemohon dalam
memaparkan keterangan pada bagian kedua menjelaskan pembuktian dengan
lebih cenderung merasa takut.
Tabel 5.31 Afek dalam SP V
Kecendrungan / Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
takut diancam, ancaman,ketakutan - Keamanan/Ketidakamanan Keamanan amanah kepercayaan
menegaskan menyerahkan
- -
Kepuasan/Ketidakpuasan kesenangan hormati,
terhormat Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan
aman, dilindungi, jaminan, keamanan, kerahasiaan, mengamankan, perlindungan, pertahanan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
191
Dari tabel afek-irealis (hasrat) terdapat leksis diancam, ancaman, dan ketakutan
dengan makna kecenderungan merasa takut.
(74) Sebagaimana diatur dalam pasal 28 g ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidakberbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (DL SP V 229) (sikap>afek>irealis>kecenderungan>takut)
Dari leksis ancaman dan ketakutan pada contoh di atas ahli pemohon
berulang kali menyampaikan pasal 28 ayat 1 sebagai bentuk kecenderungan rasa
takut. Afek-keamanan/ketidakamanan dalam SP V terdapat leksis menegaskan
dan menyerahkan yang bermakna keamanan amanah. Afek-
kepuasan/ketidakpuasan dalam SP V terdapat leksis hormat dan hormati
bermakna kepuasan-kesenangan. Afek ketidakbahagiaan dalam SP V terdapat
leksis aman, dilindungi, jaminan, keamanan, kerahasiaan, mengamankan,
perlindungan, dan pertahanan yang bermakna keamanan.
(75) Bahwa jaminan kerahasiaan pribadi seseorang merupakan hak asasi yang bersifat universal telah diakui secara internasional sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik yaitu dalam ICCPR. (DL SP V 203) (sikap>afek>keamanan)
Leksis jaminan dan kerahasiaan sumber daya afek bermakna keamanan.
Pemilihan kedua leksis oleh pemohon terkait dengan tingkat perasaan yang paling
dalam. Perasaan tidak nyaman atau merasa terancam haknya sehingga
menggunakan ICCPR sebagai jaminan perlindungan hak asasi yang bersifat
universal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
192
2. Pola pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V) Kerangka orientasi pemosisian ini mengacu pada makna dalam konteks
dialoq dan pada efek retorik dari keterangan lanjutan sidang yaitu mendengarkan
keterangan DPR dan ahli pemohon. Pemosisian dalam SP IV terdiri atas asimilasi,
proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan indrawi. Sistem Pemosisian yang
terbentuk dari SP V adalah unsur penyangkalan dengan jumlah 44,13%. Dari
unsur tersebut tergambar bahwa dialoq dan paparan pendapat dari DPR dan ahli
pemohon memposisikan dirinya sebagai perlawanan atau penolakan dari sebagian
pasal yang digugat. Perolehan kedua yaitu modalitas dengan jumlah 32,56%. Hal
ini menggambarkan penyangkalan yang disampaikan pemohon menjadi keharusan
demi kepastian hukum di Indonesia.
Tabel 5.32 Model pemosisian SP V
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi Bahwa, berdasarkan,
menambahkan, mengambarkan, mengatakan, menjelaskan, menurut,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan
belum, bukan, kecuali, namun, ngak, tanpa, tapi, tetapi, tidak, tidaklah
Proklamasi Menyatakan,
Terbuka
Modalitas akan, bisa, boleh, dapat, dibolehkan, ingin, mungkin, wajib
Indrawi Dilihat, lihat, melihat
Desas-desus
-
MONOGLOS Representasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
193
Model pemosisian dalam SP V terdiri atas asimilasi dengan leksis bahwa,
berdasarkan, menambahkan, mengambarkan, mengatakan, menjelaskan, menurut
untuk merealisasikan rujukan sebagai dasar. Penyangkalan dengan leksis belum,
bukan, kecuali, namun, ngak, tanpa, tapi, tetapi, tidak, tidaklah untuk
merealisasikan penolakan dan perlawanan dari pemohon. Proklamasi leksis
menyatakan untuk menyajikan proposisi, menentukan pertentangan terhadap
keadaan, atau mengatur posisi alternatif. Modalitas dengan leksis akan, bisa,
boleh, dapat, dibolehkan, ingin, mungkin, wajib untuk merealisasikan sikap,
pandangan, pertimbangan, opini pemohon terhadap pengalamannya. Indrawi
dengan leksis dilihat, lihat, melihat merealisasikan dasar dan pandangan.
(76) Oleh karena itu, general principle of law maupun Mulyatno menyatakan dengan tegas didalam bukunya bahwa sebetulnnya tidak ada perbedaan asasi antara perbuatan persiapan atau forbereading dan of puringhandeling atau permulaan pelaksanaan. (DL SP V 23) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi)
Leksis menyatakan pada contoh di atas menyajikan proposisi, menentukan
pertentangan terhadap keadaan, atau mengatur posisi alternatif untuk
menyampaikan keterangan dalam menyampaikan hak asasi pemohon dan definisi
pemufakatan jahat yang dituduhkan pada pemohon.
3. Pola graduasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP V) Graduasi SP V berkaitan dengan penggunaan fungsi bahasa menguatkan
dan melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks dengan tema
mendengarkan keterangan lanjutan DPR dan Ahli pemohon. Graduasi dalam SP V
terdiri atas tingkatan, metafora, jumlah, ruang, waktu, tajam dan lunak. Dari
persentase di atas terbentuk sistem graduasi unsur waktu dengan jumlah 39,57%.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
194
Dari dominasi hasil sumber tersebut tergambar bahwa fungsi bahasa DPR dan ahli
pemohon menguatkan dan melemahkan sikap dan pemosisian yang dihubungkan
oleh SP V.
Tabel 5.33 Model graduasi SP V
GRADUASI
FOKUS Tajam jelas-jelas, sah Lunak Seolah-olah, seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi
Metafora penegakan hukum, menegakkan hukum,mengaburkan,melanggar, membunuh atau merampas
Tingkatan dikualifikasi, kualifikasi, mengkualifikasikan, mulia
Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu dikemudian hari, hari, kapan, kesempatan, ketika, nanti, paling lama, pertama, sementara, selama, seumur, tahun tanggal, terakhir
Ruang Jumlah
- minimum, sebagian, sebanyak, sejumlah, seluruh, semua
Model graduasi pada SP V terdiri atas leksis mempertajam yaitu jelas-
jelas dan sah. Leksis memperlunak yaitu seolah-olah dan seperti. Metafora
dengan leksis penegakan hukum, menegakkan hukum, mengaburkan, melanggar,
membunuh atau merampas. Tingkatan dengan leksis dikualifikasi, kualifikasi,
mengkualifikasikan, mulia. Unsur waktu dengan leksis dikemudian hari, hari...,
kapan, kesempatan, ketika, nanti, paling lama, pertama, sementara, selama,
seumur, tahun... tanggal..., terakhir. Jumlah dengan leksis minimum, sebagian,
sebanyak, sejumlah, seluruh,dan semua. Leksis tersebut dapat dilihat dalam
beberapa contoh di bawah ini.
(77) Majelis hakim yang mulia masalah yang tidak kalah pentingnya dalam konteks penegakan hukum pidana yang merupakatan wujud dalam upaya menjalankan hak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (DL SP V 204) (graduasi>forsa>intensifikasi>metafora)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
195
(78) Pasal 104 KUHP menentukan bahwa makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden dan wakil presiden diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup. (DL SP V 122) (graduasi>forsa>intensifikasi>metafora)
Leksis penegakan hukum, membunuh, dan merampas merupakan leksis
bermakna metafora. Leksis penegakan hukum, membunuh, dan merampas
merupakan penggunaan bahasa untuk membandingkan yang berhubungan dengan
objek yang disandingkan untuk menghasilkan proses konsep kepastian hukum.
Dengan demikian, leksis metafora pada contoh berfungsi untuk menjelaskan,
mengekspresikan, dan mengevaluasi kepastian hukum yang harus ditegaskan.
5.2.2.6 Pola bahasa forensik dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI)
Sidang pengadilan (SP VI) dengan jenis sidang pleno diadakan hari Selasa,
tanggal 3 Mei 2016. Tema sidang pleno „mendengarkan keterangan ahli presiden‟.
1. Pola sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI) Sikap yang terbentuk dari SP VI yaitu pola Penilaian ^ Apresiasi ^ Afek.
Dari bentuk tersebut ditemukan Sikap dalam SP VI menggambarkan Penilaian
yang terdiri atas penghargaan sosial dan saksi sosial.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
196
Gambar 5.13 Tipologi sikap sidang pleno (SP VI)
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI)
Penilaian sumber daya bahasa teks SP VI terdiri atas proprietas, kapasitas,
dan verasitas. Ketiga penilaian tersebut bermakna positif dan negatif. Dari hasil
penelitian persentase penilaian SP VI memiliki dominasi pertama jenis sanksi
sosial unsur verasitas/kebenaran bermakna positif dengan jumlah 36,50%, kedua
jenis penghargaan sosial unsur kapasitas bermakna positif dan sanksi sosial unsur
proprietas/etika bermakna positif dengan jumlah 23,10%, dan yang terkecil adalah
jenis sanksi sosial unsur proprietas/etika bermakna negatif dengan jumlah
17,30%.
Dari dominasi tersebut SP VI menggambarkan sumber daya bahasa yang
berorietasi kepada saksi sosial unsur verasitas/kebenaran bermakna positif. Dari
parameter penilaian keterangan ahli pada SP VI merupakan bahasa evaluasi
bermakna verasitas yang bersifat kemungkinan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
197
Tabel 5.34 Penilaian dalam SP VI
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas kuat, kekuatan, otentik,
otentiknya -
Sanksi Sosial Positif Negatif verasitas/kebenaran benar, betul, jelas - proprietas/etika baik, amal baik, amal buruk
Penilaian-penghargaan sosial dalam SP VI memiliki leksis kuat, kekuatan,
otentik, dan otentiknya dengan makna kapasitas. Leksis ini merupakan leksis
bermakna positif. Leksis kuat, kekuatan, otentik dan otentiknya merupakan leksis
yang menyatakan kualitas teks yang disampaikan seperti contoh berikut.
(79) Lalu dikatakan otentik atau original manakala informasi yang disimpan dan dibaca kembali yakni tidak berubah. (DL SP VI 50) (sikap>penilaian>penghargaan sosial>kapasitas>positif)
Leksis otentik pada contoh di atas merupakan leksis kapasitas bernilai positif yang
menyatakan keoriginalan informasi yang disimpan dan dibaca kembali yakni tidak
berubah. Penilaian-sanksi sosial dalam SP VI terdiri atas makna verasitas dengan
leksis benar, betul, dan jelas. Ketiga leksis tersebut bermakna positif. penilaian
proprietas dengan leksis baik, amal baik bermakna positif dan leksis amal buruk,
jahat bermakna negatif. Pada teks SP VI terdapat leksis proprietas positif dan
negatif yang seimbang.
b. Apresiasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI)
Apresiasi dalam SP VI terdiri atas apresiasi bermakna kualitas,
keseimbangan, valuasi, dan dampak. Keempat makna ini memiliki makna positif
dan negatif. Persentase apresiasi SP VI didominasi sumber apresiasi unsur valuasi
positif dengan jumlah 40,90%. Kedua sumber sikap berdampak positif dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
198
jumlah 36,40%. Dan yang terkecil unsur kualitas bermakna positif dengan jumlah
9,10%.
Dari perolehan dominasi tersebut tergambar kecenderungan apresiasi SP
VI bahwa keterangan ahli presiden merupakan evaluasi yang berhubungan dengan
kognitif atau pendapat yang dipertimbangkan oleh ahli presiden dan reaksi yang
berdampak positif.
Tabel 5.35 Apresiasi dalam SP VI
Apresiasi Positif Negatif dampak menarik kualitas bagus, cantik, - keseimbangan - bertentangan valuasi khusus, sesuai -
Jenis-jenis apresiasi dalam SP VI terdiri atas apresiasi dampak dengan
leksis menarik yang memilliki polaritas reaksi berdampak positif. Apresiasi
kualitas dengan leksis bagus dan cantik memiliki polaritas reaksi berkualitas
positif. Apresiasi keseimbangan dengan leksis bertentangan memiliki polaritas
reaksi keseimbagan negatif. Apresiasi valuasi dengan leksis khusus dan sesuai
memiliki polaritas reaksi positif.
c. Afek dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI)
Afek dalam SP VI berhubungan dengan sumber daya bahasa yang
menunjukkan perasaan negatif dan positif. Afek pada SP VI merupakan
pertimbangan ahli presiden untuk menilai gugatan perkara No. 20/PUU-
XIV/2016. Dari hasil analisis afek dalam SP VI terdiri atas afek ketidakbahagiaan
bermakna keamanan, keamanan-kepercayaan, dan kepuasan-kesenangan.
Dari hasil persentase afek pada SP VI didominasi oleh sumber afek jenis
keamanan bernilai positif dengan jumlah 46,70%, kedua sumber afek berjenis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
199
keamanan bermakna kepercayaan dengan jumlah 33,30% dan yang terkecil
sumber afek berjenis kepuasan bermakna kesenangan dengan jumlah 20,00%.
Tabel 5.36 Afek dalam SP VI
Keamanan/ Ketidakamanan
Arus (Perilaku) Watak
keamanan kepercayaan
dipercaya, dipercayakan, keterpercayaan,
-
Kepuasan/Ketidakpuasan kesenangan hormati Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan
dilindungngi, keselamatan, menyelamatkan, melindungi, melindunginya, perlindungan
-
Dari tabel di atas afek-keamanan/ketidakamanan dalam teks SP VI dengan
leksis dipercaya, dipercayakan, keterpercayaan merupakan makna keamanan-
kepercayaan. Afek-kepuasan/ketidakpuasan dalam SP VI dengan leksis hormati
merupakan makna kesenangan. Afek-jenis ketidakbahagiaan dalam SP VI dengan
leksis dilindungi, keselamatan, menyelamatkan, melindungi, melindunginya, dan
perlindungan. Keenam leksis ini merupakan makna keamanan bernilai positif.
2. Pola pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016(SP VI) Pemosisian pada SP VI berkaitan dengan pemosisian ahli presiden dalam
menyampaikan keterangannya mewakili pemerintah. Pemosisian dalam SP VI
menggunakan sumber daya bahasa asimilasi, proklamasi, modalitas,
penyangkalan, dan indrawi. Dalam SP VI hanya terdapat heteroglos. Merujuk
pada suara lain berkaitan dengan proposisi dan proposal yang dibawakan dalam
memaparkan pendapatnya di sidang pengadilan. Dari hasil analisis SP VI
terbentuk sumber pemosisian sesuai dengan persentase pemosisian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
200
Dari persentase pemosisian pada SP VI terdapat sumber pemosisian
dengan dominasi unsur penyangkalan dengan jumlah 46,50%. Kedua unsur
modalitas dengan jumlah 30,35%. dan yang terkecil unsur proklamasi dengan
jumlah 1,15%. Dari hasil tersebut menggambarkan bahwa ahli presiden
memposisikan dirinya sebagai susuatu yang melakukan penolakan dan
berlawanan.
Tabel 5.37 Model pemosisian bahasa forensik SP VI
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi bahwa, berdasarkan,
mengatakan, mengambarkan, menjelaskan, menurut
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan bukan, belum, ngak, menampik, tapi, tanpa, tidak
Proklamasi menyatakan
Terbuka
Modalitas Akan, bisa, boleh, dapat, harus, mungkin, pasti
Indrawi dilihat, kelihatan, lihat, lihat-ihat, mendengarkan, melihat, terlihat
Desas-desus - MONOGLOS Representasi
Model pemosisian SP VI terdiri atas asimilasi dengan leksis bahwa,
berdasarkan, mengatakan, mengambarkan, menjelaskan, menurut. Leksis ini
merepresentasikan rujukan yang digunakan sebagai dasar dalam menngambarkan
proposisi. Penyangkalan dengan leksis bukan, belum, ngak, menampik,tapi, tanpa,
tidak. Leksis ini memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang ganjil atau melakukan
penolakan. Proklamasi dengan leksis menyatakan. Leksis menyatakan menyajikan
proposisi, suara tekstual, dan mengatur posisi alternatif. Modalitas dengan leksis
akan, bisa, boleh, dapat, harus, mungkin, dan pasti. Leksis modalitas pada teks
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
201
SP VI ini merupakan pernyataan, sikap, pendapat, dan opini yang dibangun dalam
menyampaikan perasaan dan harapan.Indrawi dengan leksis dilihat, kelihatan,
lihat, lihat-lihat, mendengarkan, melihat, terlihat. Leksis indrawi digunakan
untuk menyampaikan perasaan indrawi.
3. Pola graduasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VI) Graduasi pada SP VI terdiri atas forsa atau daya yang digunakan untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi pada teks bertema mendengarkan
keterangan ahli presiden. Forsa memperkuat dan memperlemah pada tingkatan,
metafora, jumlah, ruang, dan waktu. Selain forsa juga terdapat fokus yang
digunakan untuk mempertajam dan memperlunak sesuatu pandangan yang
disampaikan oleh ahli presiden atau pihak pemerintah.
Persentase graduasi pada SP VI didominasi oleh sumber graduasi unsur
jumlah dengan jumlah 38,90%. Kedua bentuk unsur waktu dengan jumlah
31,00%. Hasil terkecil diperoleh oleh unsur mempertajam dengan jumlah 2,60%.
Dari hasil analisis graduasi menggambarkan bahwa unsur jumlah digunakan untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi teks SP VI dengan tema
keterangan ahli presiden.
Tabel 5.38 Model graduasi bahasa forensik SP VI
GRADUASI
FOKUS Tajam Sah Lunak Seperti, seakan-akan, seolah-olah
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora - Tingkatan Mulia, Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu
Hari, jam, kapan, kemarin, kemudian, ketika, nanti, pertama, pukul, sebelumnya, sejak, selama, tahun, tanggal, terakhir, yang akan datang,
Ruang Jumlah
kedepan, sebelah banyak, berapa, berdua, besar, kurang, lebih…, sekian, semua, sering, jumlahnya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
202
Model graduasi dalam SP VI digunakan untuk mempertajam dan
memperlunak kualitas teks SP VI. Leksis sah digunakan untuk mempertajam teks.
Leksis seperti, seakan-akan, seolah-olah digunakan untuk memperlunak teks SP
VI. Leksis mulia digunakan untuk memperkuat tingkatan pada teks. Leksis unsur
waktu hari, jam, kapan, kemarin, kemudian, ketika, nanti, pertama, pukul,
sebelumnya, sejak, selama, tahun, tanggal, terakhir, yang akan dating digunakan
untuk memperkuat dan memperlemah teks. Leksis unsur ruang kedepan, sebelah
dan jumlah banyak, berapa, berdua, besar, kurang, lebih…, sekian, semua,
sering, jumlahnya digunakan untuk memperkuat dan memperlemah tingkat
evaluasi pada teks SP VI.
5.2.2.7 Pola bahasa dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII) Sidang pengadilan ketujuh (SP VII) dengan jenis sidang pleno diadakan hari
Kamis, tanggal 19 Mei 2016. Sidang ini bertema „mendengarkan keterangan
ahli/saksi presiden‟.
1. Pola sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Sikap dalam SP VII memiliki pola Penilaian ^ Apresiasi ^ Afek. Pola
bahasa forensik ini mengekspresikan keadaan keterangan ahli saksi presiden
sesuai dengan gambar 5 yang digunakan dalam menganalisis bahasa evaluatif.
Ketiga sumber tersebut memiliki turunan yan bervariasi seperti gambar berikut
ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
203
Gambar 5.14 Tipologi Sikap sidang pleno (SP VII)
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Penilaian dalam SP VII merupakan wilayah makna yang merujuk pada
sikap keterangan saksi presiden. Penilaian SP VII terdiri atas proprietas, kapasitas,
dan verasitas yang memiliki persentase yang bervariasi. Persentase penilaian
dalam SP VII didominasi oleh pola sumber sikap dengan jenis sanksi sosial
bermakna proprietas dengan jumlah 61,30%.
Perolehan ini menggambarkan bahwa SP VII merupakan wilayah makna
yang merujuk pada sikap penutur atau pihak yang hadir pada SP VII berprilaku
sebagai kewajiban yang bernilai positif. Hasil terkecil diperoleh oleh sistem
penilaian proprietas bernilai negatif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
204
Tabel 5.39 Penilaian dalam SP VII
Penghargaan Sosial Positif Negatif Kapasitas cerdas, cermat, kekuatan,
kekuatannya, produktif, tegas -
Sanksi Sosial verasitas/kebenaran actual, benar, jelas, kebenaran,
objektif, proposional -
proprietas/etika adil, baik, keadilan
Penilaian-penghargaan sosial dalam teks SP VIII memiliki leksis cerdas,
cermat, kekuatan, kekuatannya, produktif, tegas dengan makna kapasitas.
Penilaian-sanksi sosial memiliki leksis aktual, benar, jelas, kebenaran, objektif,
proposional unsur verasitas bermakna positif. Leksis adil, baik, keadilan unsur
proprietas bermakna positif.
b. Apresiasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Apresiasi SP VII merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi
terhadap keterangan ahli presiden. Apresiasi dalam SP VII terdiri atas kualitas,
keseimbangan, valuasi, dampak, dan kompleksitas reaksi positif dan negatif. Dari
hasil analisis apresiasi ditemukan persentase apresiasi dalam SP VII berikut ini.
Persentase apresiasi dalam SP VII didominasi oleh sumber apresiasi
bermakna valuasi yang berhubungan dengan kognitif dengan jumlah 75,60%. Dari
dominasi jumlah apresiasi pada teks SP VII tergambar bahwa keterangan saksi
presiden berhubungan dengan proses mental-cara saksi memandang isi gugatan
UU ITE. Pendapat saksi presiden dipaparkan dengan pertimbangan dan dasar
keilmuan yang bermakna positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
205
Tabel 5.40 Apresiasi dalam SP VII
Apresiasi Positif Negatif dampak menarik, luar biasa kualitas bagus - keseimbangan - bertentangan kompleksitas - tidak jelas valuasi luar biasa, sesuai,
khusus, khususnya, kekhususan
biasa
Berdasarkan parameter apresiasi SP VIII memiliki jenis-jenis apresiasi
dampak dengan leksis menarik dan luar biasa. Kedua leksis tersebut merupakan
polaritas dengan reaksi yang berdampak positif. Apresiasi kualitas terdapat leksis
bagus yang merupakan reaksi kualitas positif. Apresiasi keseimbangan dengan
leksis bertentangan yang merupakan reaksi keseimbangan negatif. Apresiasi
kompleksitas dengan leksis tidak jelas merupakan reaksi kompleksitas negatif.
Apresiasi valuasi luar biasa, sesuai, khusus, khususnya, kekhususan merupakan
reaksi valuasi positif dan leksis biasa yang merupakan reaksi valuasi negatif.
c. Afek dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Afek dalam SP VII bermakna ketidakbahagiaan-keamanan, keamanan-
amanah, dan kecenderungan-takut. Afek dalam teks SP VII berhubungan dengan
sumber daya bahasa yang menunjukkan perasaan negatif dan positif yang
memiliki persentase bervariasi. Dari persentase di atas terdapat dominasi sistem
afek bermakna irealis kecenderungan merasa takut dengan jumlah 55,00%.
Dari hasil dominasi tersebut tergambar bahwa afek SP VII merupakan
sumber daya bahasa yang memiliki kecenderungan dari rasa takut. Dan perolehan
terkecil pada SP VII adalah keamanan unsur amanah bermakna positif dengan
jumlah 15,00%. Hal ini menggambarkan pada sidang pleno VII keterangan ahli
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
206
presiden masih menggunakan leksis unsur keamanan yang merupakan amanah
undang-undang.
Tabel 5.41 Afek dalam SP VII
Kecendrungan / Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
Takut diancam,ancaman, menakut-nakuti
-
Keamanan/Ketidakamanan keamanan amanah
menegaskan
-
Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan jaminan, keamanan,
perlindungan
Dari hasil persentase di atas maka SP VII cenderung memiliki leksis
irealis. Leksis diancam, ancaman, menakut-nakuti dalam SP VIII merupakan
leksis kecenderungan takut. Lebih jelasnya dijelaskan dalam contoh berikut.
(80) Dalam perakteknya pihak yang bersepakat kecendrungannya mempunyai kualitas atau potensi kualitas untuk melakukan tersebut dalam perspektif pidana bahwa pidana harus mempunyai dasar legistimasi antara lain dalam rangka pencegahan kejahatan dengan tujuan antara lain menakut-nakuti menanamkan norma pengamanan, sosialisasi, pencegahan main hakim sendiri, penyelesaian konflik, dan pengurangan rasa dendam. (DL SP VII 168). (sikap>afek>irealis>kecendrungan>takut)
Leksis menakut-nakuti pada contoh di atas merupakan sumber daya bahasa
evaluatif yang membicarakan ungkapan perasaan Irealis-takut. Leksis menakut-
nakuti berhubungan dengan maksud atau keinginan dalam kaitannya dengan
stimulus yang mungkin akan terjadi. Afek-keamanan/ketidakamanan dalam SP
VII dengan leksis menegaskan memiliki unsur keamanan amanah bermakna
positif. Afek-jenis ketidakbahagiaan dalam SP VII terdiri atas leksis jaminan,
keamanan, perlindungan unsur keamanan bermakna positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
207
2. Pola pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Pemosisian dalam SP VII menggunakan sumber daya bahasa untuk
memposisikan keterangan ahli saksi presiden. Pemosisian dalam SP VII merujuk
pada suara orang lain atau heteroglos. Pemosisian dalam SP VII terdiri atas
asimilasi, proklamasi, modalitas, penyangkalan, dan indrawi. Dari persentase
Pemosisian SP VII ditemukan dominasi unsur penyangkalan dengan jumlah
47,90%. Dari dominasi tersebut SP VII menggambarkan suara tekstual yang
memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang ganjil atau penolakan terhadap gugatan
UU ITE. Tidak jauh dari sistem penyangkalan, SP VII juga memiliki bahasa
evaluasi berupa unsur modalitas dengan hasil 35,60%.
Tabel 5.42 Model pemosisian bahasa forensik dalam SP VII
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi Bahwa, berdasarkan,
mengatakan menjelaskan, menurut,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan bukan, enggak, gak, tanpa, tapi, tetapi, tidak
Proklamasi Menyatakan
Terbuka
Modalitas akan, bisa, boleh, dapat harus, ingin, mungkin, pasti, wajib
Indrawi didengar dengar, dilihat, lihat, mendengarkan, melihat,
Desas-desus - MONOGLOS Representasi
Model pemosisian SP VII terdiri atas suara heteroglos. Suara tekstual
pemosisian pada teks SP VII mengacu pada makna asimilasi dengan leksis bahwa,
berdasarkan, mengatakan menjelaskan, menurut. Unsur penyangkalan dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
208
leksis bukan, enggak, gak, tanpa, tapi, tetapi, tidak. Proklamasi dengan leksis
menyatakan. Modalitas dengan leksis akan, bisa, boleh, dapat harus, ingin,
mungkin, pasti, wajib. Indrawi dengan leksis didengar dengar, dilihat, lihat,
mendengarkan, melihat.
3. Pola graduasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VII)
Graduasi pada SP VII terdiri atas forsa atau daya yang digunakan untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi pada teks bertema mendengarkan
saksi presiden. Forsa memperkuat dan memperlemah pada tingkatan, metafora,
jumlah, ruang, dan waktu. Selain forsa juga terdapat fokus yang digunakan untuk
mempertajam dan memperlunak sesuatu pandangan yang disampaikan oleh saksi
presiden atau pihak pemerintah.
Persentase graduasi pada SP VII didominasi oleh sumber graduasi dengan
unsur waktu dengan jumlah 30,60%. Kedua sumber graduasi unsur jumlah dengan
jumlah 22,00%. Terkecil diperoleh oleh unsur ruang dengan jumlah 4,20%. Dari
hasil analisis Graduasi menggambarkan bahwa unsur waktu digunakan untuk
memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi SP VII dengan tema keterangan
saksi presiden.
Tabel 5.43 Model graduasi bahasa forensik SP VII
GRADUASI
FOKUS Tajam Sah Lunak Seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora - Tingkatan Mulia Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu
Hari, ketika, lama, nanti, pertama, pukul, sebelum, tahun, tanggal, terakhir, waktu, waktunya
Ruang Jumlah
Banyak, didepan, diruangan, ketempat, Sebelah…, sebuah, semua, maksimal, sebagian, setengah,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
209
Model graduasi dalam SP VII digunakan untuk mempertajam dan
memperlunak kualitas SP VII. Leksis sah digunakan untuk mempertajam
pernyataan. Leksis seperti digunakan untuk memperlunak SP VII. Leksis mulia
digunakan untuk memperkuat tingkatan pada pernyataan. Leksis unsur waktu
hari, ketika, lama, nanti, pertama, pukul, sebelum, tahun..., terakhir, waktu,
waktunya digunakan untuk memperkuat dan memperlemah. Leksis ruang banyak,
didepan, diruangan, sebelah..., dan jumlah sebuah, semua, maksimal, sebagian,
setengah digunakan untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi pada
SP VII.
5.2.2.8 Pola bahasa dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016(SP VIII)
Sidang pengadilan (SP VIII) dengan jenis sidang pleno diadakan hari rabu,
tanggal 7 September 2016. Tema sidang pleno „pengucapan putusan‟.
1. Pola sikap dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Sikap dalam SP VIII mengekspresikan keadaan pada saat pengucapan
putusan. Dari hasil analisis SP VIII terbentuk sikap Apresiasi ^ Afek ^ penilaian.
Pola sikap tersebut menggambarkan penutur mengekspresikan pesannya kepada
masyarakat melalui pengucapan putusan dari sidang pleno. Sikap atau pesan
sidang secara langsung menyampaikan apresiasi. Evaluasi terhadap perkara No.
20/PUU-XIV/2016. Evaluasi tersebut akan diuraikan satu persatu pada aspek
sikap di bawah ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
210
Gambar 5.15 Tipologi Sikap sidang pleno (SP VIII)
a. Penilaian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Penilaian SP VIII merupakan wilayah makna yang merujuk pada sikap
majelis hakim dalam pengucapan putusan. Penilaian dibagi dalam dua subkategori
yaitu penghargaan sosial dan yang berorientasi pada sanksi sosial. Persentase
penilaian SP VIII di atas terdapat unsur penilaian berjenis sanksi sosial unsur
proprietas/etika bermakna positif dan verasitas/kebenaran bermakna positif
dengan jumlah 28,57%. Hal ini menggambarkan hasil proprietas dan verasitas
suatu bahasa evaluasi yang seimbang antara kewajiban dan kemungkinan.
Tabel 5.44 Penilaian dalam SP VIII
Penghargaan Sosial Positif Negatif kapasitas kekuatan, - Sanksi Sosial verasitas/kebenaran benar, - proprietas/etika keadilan
Penilaian-penghargaan sosial dalam SP VIII terdapat leksis kekuatan yang
bermakna kapasitas bermakna positif. Penilaian-sanksi sosial dalam SP VIII
terdiri atas saksi sosial verasitas dengan leksis benar. Sanksi sosial proprietas
dengan leksis keadilan seperti contoh berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
211
(81) Arief Hidayat: “Putusan perkara nomor 20/PUU-XIV/2016 demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir.” (DL SP VIII 12) (sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/etika>positif)
Leksis keadilan pada pengucapan putusan oleh ketua hakim merupakan leksis
proprietas bernilai positif menggambarkan etisnya majelis hakim berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.
b. Apresiasi dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
apresiasi dalam SP VIII. Dari tabel di atas dominasi valuasi bernilai positif dengan
jumlah 76,00%. Kedua keseimbangan bernilai negatif dengan jumlah 24,00%.
Dari hasil tersebut tergambar bahwa apresiasi SP VIII secara umum merupakan
wilayah makna yang merujuk pada evaluasi dan reaksi terhadap putusan UU ITE.
Dari parameter apresiasi SP VIII terbagi atas dua aspek valuasi dan keseimbangan
dengan polaritas bervaluasi positif dan keseimbangan negatif.
Tabel 5.45 Apresiasi dalam SP VIII
Apresiasi Positif Negatif Keseimbangan - beretentangan,
pertentangan Valuasi khusus, khususnya,
sesuai -
(82) Menimbang bahwa selain itu mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai hukum pembuktian. (DL SP VIII 75) (sikap>apresiasi>valuasi>positif)
Leksis sesuai pada contoh di atas merupakan apresiasi yang berhubungan
dengan kognitif. Leksis sesuai adalah pendapat yang dipertimbangkan mengenai
bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan harus sesuai dengan hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
212
c. Afek dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Afek dalam SP VIII merupakan sumber daya bahasa yang terdiri atas afek
keamanan, amanah, kesenagan, dan kecenderungan dari rasa takut. Afek dalam SP
VIII memiliki makna positif dan negatif yang bervariasi. Dari persentase afek SP
VIII dominasi sumber afek unsur kecenderungan merasa takut dengan jumlah
83,30%.
Dari persentase dominasi afek tersebut tergambar bahwa sumber daya
bahasa evaluatif dalam SP VIII meliputi perasaan takut atau tidak aman. Didalam
SP VIII juga terdapat sumber afek unsur kesenangan dengan jumlah 16,70% yang
berhubungan dengan sidang karena sebagian pasal dikabulkan dan direvisi. Lebih
jelasnya lihat contoh SP VIII berikut ini.
Tabel 5.46 Afek dalam SP VIII
Kecendrungan/ Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
Takut ancaman,mengancam, ketakutan.
-
Keamanan/Ketidakamanan keamanan amanah
menegaskan
-
Kepuasan/Ketidakpuasan kesenangan hormat Afek Positif Negatif keamanan/ ketidakamanan
aman, keamanan, keselamatan, melindungi, perlindungan
(83) Pasal 31UU No.17 tahun 2011 tentang intelegent negara menyatakan
selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 badan intelegent negara memiliki wewenang melakukan penyadapan pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi idiologi politik ekonomi sosial budaya pertahanan dan keamanan dan sektor kehidupan masyarakat lainya termasuk pangan, energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup dan atau....” (DL SP VIII 35) (sikap>afek>irealis>kecendrungan>takut)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
213
Secara apraisal leksis mengancam merupakan irealis berhubungan dengan
maksud atau keinginan dalam kaitannya dengan stimulus yang mungkin terjadi.
Leksis mengancam merupakan kecenderungan dari rasa takut yang akan
mengancam keamanan nasional maka pasal 31 UU No.17 tahun 2011 tentang
intelegent negara memberikan wewenang untuk melakukan penyadapan sebagai
antisipasi. Leksis menegaskan merupakan afek-keamanan bermakna amanah.
Leksis hormat merupakan watak dari peserta sidang pengadilan merupakan suatu
kesenangan dan kebiasan memberi hormat kepada majelis hakim.
(84) Manahan MP Sitompul :‟‟...menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungandari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (DL SP VIII 22) (sikap>afek>keamanan)
Leksis perlindungan dan aman pada contoh di atas merupakan leksis afek
bermakna keamanan. Leksis perlindungan dan aman meliputi peryataan bahwa
setiap orang berhak atas rasa damai dan terlindung dari ancaman ketakutan.
2. Pola Pemosisian dalam sidang pleno perkara No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Pemosisian dalam SP VIII merupakan sumber daya bahasa yang berfungsi
untuk memposisikan majelis hakim dan yang hadir pada pengucapan putusan
gugatan. Pemosisian dalam teks SP VIII terdiri atas asimilasi, proklamasi,
modalitas, penyangkalan, dan indrawi.
Persentase sumber pemosisian yaitu asimilasi dengan jumlah 29,90%. Hal
ini menggambarkan bahwa majelis hakim merepresentasikan proposisi sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
214
dasar dalam memutuskan gugatan. Menggunakan undang-undang sebagai dasar
pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Tabel 5.47 Model pemosisian SP VIII
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi Bahwa, Berdasarkan, menurut,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan kecuali, namun, tanpa, tetapi, tidak
Proklamasi Menyatakan
Terbuka
Modalitas Akan, bisa, boleh, dapat, harus
Indrawi Didengar, dilihat, Mendengar, mendengarkan,
Desas-desus - MONOGLOS Representasi
Leksis Asimilasi dalam SP VIII terdiri atas bahwa, berdasarkan, dan
menurut. Leksis penyangkalan kecuali, namun,tanpa, tetapi, tidak. Leksis
proklamasi menyatakan. Leksis modalitas akan, bisa, boleh, dapat, harus. Leksis
indrawi didengar, dilihat, dan mendengar.
(85) Pokok permohonan menimbang bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan atau interseption termasuk didalamya perekaman adalah perbuatan melawan hukum karna penyadapan merupakan sebuah tidakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia pasal 28 g ayat 1 UUD 1945.” (DL SP VIII 20) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
(86) Berdasarkan beberapa UU tersebut diatas ternyata telah terang
bahwa penyadapan untuk kepentingan hukumpun harus dilaksanakan berdasarkan prosedur hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang. (DL SP VIII 43)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
(pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>terbuka>modalitas) (pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
215
Leksis berdasarkan, bahwa, dan harus merupakan sumber daya bahasa
yang memposisikan majelis hakim dalam pengucapan putusan gugatan. Leksis
berdasarkan dan bahwa memposisikan majelis hakim merepresentasikan
proposisi sebagai dasar dalam memutuskan gugatan. Dari contoh di atas hakim
memposisikan dirinya dengan proposisi sebagai dasar pertimbangan bahwa
penyadapan untuk kepentingan hukum harus dilaksanakn dengan prosedur hukum
yang telah ditentukan oleh undang-undang. Leksis harus memposisikan pendapat
majelis hakim pada tingkat yang tinggi (keharusan) sesuai dengan prosedur
hukum yang ditentukan undang-undang.
3. Pola graduasi dalam sidang pleno perkara
No. 20/PUU-XIV/2016 (SP VIII)
Graduasi SP VIII terdiri atas penilaian pada tingkat intensitas yang
digunakan terhadap tingkatan dan metafora. SP VIII memiliki unsur jumlah,
ruang, dan waktu jumlah, ruang, waktu, dan fokus yang digunakan untuk
mempertajam dan memperlunak teks yang bertema pengucapan putusan.
Graduasi SP VIII terbentuk sumber graduasi unsur waktu dengan jumlah
43,30%. Hasil dominasi menggambarkan SP VIII dalam membacakan putusan
sidang lebih banyak menggunakan bahasa evaluasi dengan makna merujuk pada
waktu untuk menguatkan putusan gugatan UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
216
Tabel 5.48 Model graduasi SP VIII
GRADUASI
FOKUS Tajam Sah Lunak Seperti
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi Metafora melawan,melanggar Tingkatan Esa, kualifikasi, mulia, Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu
bertanggal, hari, jangka,ketika, paling lama,pertama,tahun,tanggal, terakhir
Ruang Jumlah
lingkungan, ruang, sebelah… banyak, minoritas, sebagian, semua,
Model graduasi SP VIII terdiri atas mempertajam dengan leksis sah.
Memperlunak dengan leksis seperti. Tingkatan dengan leksis Esa, kualifikasi, dan
mulia. Kuantifikasi waktu dengan leksis bertanggal, hari, jangka, ketika, paling
lama, pertama, tahun, tanggal, terakhir. Unsur ruang dengan leksis lingkungan,
ruang, sebelah dan unsur jumlah dengan leksis banyak, minoritas, sebagian,
semua agar lebih jelas dapat dilihat pada contoh berikut.
(87) Pemerintah: “Terima kasih yang mulia dari pemerintah hadir masing-masing saya sendiri dari Kementerian Hukum dan HAM dan kemudian sebelah kanan saya masing-masing dari Kementrian Kominfo.” (DL SP VIII 9) (graduasi>forsa> intensifikasi>tingkatan)
(graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang)
(88) Pokok permohonan menimbang bahwa pada dasarnya tindakan penyadapan atau interseption termasuk didalamya perekaman adalah perbuatan melawan hukum karna penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi manusia pasal 28 G ayat 1 UUD 1945.” (DL SP VIII 21) (graduasi>forsa>intensitifikasi>metafora) (graduasi>forsa>intensitifikasi>jumlah) (graduasi>forsa>intensitifikasi>metafora)
Leksis mulia merupakan fugsi bahasa untuk menguatkan pada tingkatan.
Leksis sebelah kanan merupakan fungsi bahasa untuk menguatkan pada ruang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
217
Leksis sebuah merupakan fungsi bahasa untuk menguatkan pada jumlah. Leksis
melawan dan melanggar merupakan fungsi bahasa untuk menyandingkan fungsi
bahasa dengan objek yang dipertentangkan untuk menghasilkan konsep hukum
dan hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28 g ayat 1 UUD 1945.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
218
5.2.3 Pola Bahasa dalam Teks Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Pola bahasa teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 adalah Pemosisian ^ Graduasi ^
Sikap tergambar seperti jaringan sistem berikut ini.
Gambar 5.16 Jaringan sistem (network system) putusan No. 20/PUU-XIV/2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
219
5.2.3.1 Pola sikap bahasa dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Sikap bahasa dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 mengekspresikan
keadaan. Keadaan hakim MKRI, pemohon yang diwakilkan kepada kuasa hukum,
ahli dari pemohon, ahli dari pemerintah, dan perwakilan dari DPR. Aspek sikap
dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 terdiri atas tiga bagian yaitu afek,
penilaian, dan apresiasi yang bervariasi. Ketiga aspek ini menggambarkan
bagaimana sikap pemohon yang diwakilkan kepada kuasa hukum, ahli dari
pemohon, ahli dari pemerintah, dan perwakilan DPR dalam menyampaikan
pesannya kepada hakim MKRI. Pesan yang disampaikan pemohon kepada hakim
MKRI disampaikan secara tulis dan lisan dalam sidang pengadilan gugatan UU
ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016.
Sikap dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016 terbentuk pola sikap bahasa
Afek ^ Penilaian ^ Apresiasi. Dominasi tiga sumber yaitu afek dengan jumlah
36,30%, penilaian dengan jumlah 34,30%, dan apresiasi dengan jumlah 29,40%.
Dari dominasi tersebut menggambarkan sikap putusan No. 20/PUU-XIV/2016
digunakan untuk memutuskan ungkapan emosi dan perasaan atau keinginan
pemohon untuk menggugat UU ITE. UU ITE berhasil digugat dan direvisi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
220
Gambar 5.17 Tipologi sikap dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
a. Afek dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Afek dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 berhubungan dengan
sumber daya yang menunjukkan perasaan negatif dan positif. Leksis afek dalam
teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 bermakna positif antara lain perlindungan,
melindungi, keamanan, aman, perdamean, pengakuan, kerahasiaan, kepastian,
menjaga, ketertiban dan menyelamatkan.
Sumber afek dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 terbentuk
sumber afek yang dominan yaitu keamanan bernilai positif dengan jumlah
52,85%. Kedua irealis usur kecenderungan merasa takut dengan jumlah 17,62%.
Ketiga irealis unsur kecenderungan bermakna hasrat/keingian dengan jumlah
15,55% dan yang terkecil kepuasan bermakna kesenangan dengan jumlah 0,50%.
Hasil ini menggambarkan teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 berhubungan
dengan sumber daya yang menunjukkan perasaan aman. Dari segi polaritas, afek
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
221
teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 memiliki makna afek-irealis (hasrat) dan
afek-keamanan/ketidakamanan. Lihat tabel afek berikut ini.
Tabel 5.49 Afek dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Kecendrungan/ Ketidakcenderungan
Arus (Perilaku) Watak
hasrat/keinginan mengajukan - Takut ancaman,ketakutan,mengancam,
kekhawatiran,ketakutan,takut, diancam,mengancam, membahayakan,
-
Keamanan/Ketidakamanan keamanan amanah
menegaskan,penegasan,ditegaskan -
kepercayaan memberikan, menyerahkan,dipercaya,kepercayaan
-
Kepuasan/Ketidakpuasan kepuasan kesenangan
terhormat
Afek Positif Negatif keamanan perlindungan,melindungi,
keamanan,aman,perdamean, pengakuan,kerahasiaan,kepastian, menjaga,ketertiban,menyelamatkan
Dari hasil analisis sikap afek-irealis dalam teks putusan ditemukan leksis
mengajukan. Leksis mengajukan merupakan leksis afek-irealis yang bermakna
usul, permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal pada UU ITE tahun
2008. Dalam hal ini yang mengajukan adalah pemohon SN yang diwakili oleh
kuasa hukumnya. Pemohon memiliki kecenderungan memiliki hasrat/keinginan
mengajukan gugatan UU ITE karena merasa terancam. Sikap pemohon atau
perasaan pemohon meliputi maksud dan tujuan yang tergambar dari leksis
mengajukan. Dari deskripsi tersebut berhubungan dengan sumber daya yang
menunjukkan rasa takut dengan leksis ancaman, ketakutan, mengancam,
kekhawatiran, ketakutan, takut, diancam, mengancam, dan membahayakan. Hal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
222
ini sekaitan dengan penemuan leksis sikap afek-keamanan/ketidakamanan. Leksis
menegaskan, penegasan, dan ditegaskan merupakan sumber daya evaluasi unsur
keamanan amanah.
Dalam putusan leksis memberikan, menyerahkan, dipercaya, dan
kepercayaan merupakan unsur afek bermaknan keamanan-kepercayaan. Leksis
terhormat merupakan leksis kepuasan yang diucapkan oleh pemohon, ahli, saksi
pemerintah kepada hakim yang dianggap sebagai simbol keadilan dan kebenaran
dalam mengambil keputusan.
Dalam teks putusan terdapat juga sumber daya bahasa evaluasi yang
berhubungan dengan perasaan aman atau keamanan bermakna positif dengan
leksis perlindungan, melindungi, keamanan, aman, perdamean, pengakuan,
kerahasiaan, kepastian, menjaga, ketertiban dan menyelamatkan. Sebagai contoh
kalimat yang menggambarkan unsur afek teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
adalah sebagai berikut.
(89) Proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah (illegal) jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy) pemohon yang dijamin dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945. (DT PP 2016 111) (sikap>afek>keamanan>positif)
Secara apraisal leksis pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, dan
adil adalah leksis afek bermakna keamanan yang bernilai positif.
(90) Tindakan pembenaran ini dapat mengakibatkan negara dianggap telah lalai dalam melindungi warga negaranya dari tindakan perekaman yang dilakukan secara illegal yang mengancam hak privasi warga negaranya. (DT PP 2016 117) (sikap>afek>keamanan>positif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
223
(91) Pasal 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011 tentang intelijen
negara menyatakan, “Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 badan intelijen negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan: a. kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau b. kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum”. (DT PP 2016) (sikap>afek>keamanan>positif)
b. Penilaian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Penilaian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 merupakan wilayah
makna yang merujuk sikap terhadap putusan gugatan UU ITE. Penilaian dalam
putusan perkara dibagi atas dua kategori yaitu yang berhubungan dengan
penghargaan sosial dan sanksi sosial. Dari parameter sikap unsur penilaian dalam
teks putusan perkara terdiri atas subkategori proprietas, kapasitas, dan verasitas
yang bermakna positif dan negatif.
Teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 memiliki sumber penilaian yang
didominasi oleh sanksi sosial unsur kapasitas bermakna positif dengan jumlah
31,30%. Kedua sanksi sosial unsur proprietas/etika bermakna negatif dengan
jumlah 27,50%. Ketiga verasitas/kebenaran bermakna positif dengan jumlah
23,10%. Terkecil unsur proprietas/etika bermakna positif dengan jumlah 18,10%.
Dari dominasi tersebut tergambar penilaian terhadap putusan gugatan berdasarkan
hasil sidang. Penilaian dalam putusan didominasi oleh kategori yang berhubungan
dengan penghargaan sosial dengan subkategori kapasitas. Kapasitas
menggambarkan teks putusan merupakan sumber daya penilaian bermakna positif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
224
Berikut contoh yang menggambarkan unsur penilaian teks putusan No. 20/PUU-
XIV/2016.
(92) Proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah (illegal) jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy) pemohon yang dijamin dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945. (DT PP 2016)
(sikap>penilaian>sanksi sosial>verasitas/kebenaran>negatif) (sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif)
(sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>positif)
Secara apraisal contoh di atas terdiri atas leksis penilaian jelas, melanggar,
dan adil. Leksis jelas merupakan penilaian berjenis sanksi sosial unsur kebenaran
bermakna negatif. Leksis jelas merupakan unsur kebenaran dalam proses
penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah
(illegal) melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip
negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur
dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Leksis melanggar merupakan penilaian etika
bermakna negatif. Perolehan bukti rekaman suara melanggar prinsip pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam
pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi (a reasonable expectation of
privacy) pemohon yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
(93) Ketidakfairan, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum prosedural dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, karena seseorang dapat dipidana kehilangan kemerdekaan, bahkan kehilangan nyawa akibat penerapan hukum materil yang secara prosedural tidak memenuhi standard due process of law, kepastian hukum dan keadilan. (DT PP 2016)
(sikap>penilaian>sanksi sosial>proprietas/ etika>negatif)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
225
Leksis penilaian bermakna positif antara lain adil, benar, baik, Esa,
kekuatan, keadilan, kebenaran, kuat, seadil-adilnya, dan semangat. Leksis
Penilaian bermakna negatif antara lain dilanggar, intersepsi, jelas, ketidakarifan,
ketidakpastian, ketidakadilan, membocorkan, pelanggaran, terlanggar, dan
terlanggarnya. Leksis penilaian tersebut lebih rinci dapat dilihat pada uraian tabel
berikut ini.
Tabel 5.50 Penilaian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Penghargaan Sosial Positif Negatif Kapasitas kekuatan, kuat,
semangat,aktual,potensial, berpotensi,tegas,mencermati
-
Sanksi Sosial verasitas/kebenaran benar, jelas, jelas-jelas, nyata,
kebenaran, dibenarkan, benar-benar
-
proprietas/etika adil, baik, Esa, keadilan, seadil-adilnya, fair.
intersepsi, ketidakarifan, ketidakadilan, pemufakatan jahat, menyadap,penyadapan,kejahatan, kejahatan-kejahatan
Penilaian berjenis penghargaan sosial unsur kapasitas dalam putusan
gugatan adalah leksis kekuatan, kuat, aktual, potensial, berpotensi, tegas,
mencermati dan semangat bermakna positif. Penilaian berjenis sanksi sosial
bermakna verasitas dalam putusan gugatan adalah leksis benar, jelas, jelas-jelas,
nyata, dibenarkan, benar-benar dan kebenaran bermakna positif. Leksis adil,
baik, Esa, fair, keadilan, seadil-adilnya merupakan penilan berjenis sanksi sosial
proprietas/etika bermakna positif. Leksis intersepsi, ketidakarifan, ketidakadilan,
pemufakatan jahat, menyadap, penyadapan, dan kejahatan merupakan jenis
sanksi sosial unsur proprietas bermakna negatif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
226
c. Apresiasi dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Apresiasi merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi terhadap
gugatan UU ITE. Apresiasi dalam putusan dibagi dalam reaksi, komposisi, dan
valuasi. Pilihan sumber apresiasi pada putusan No. 20/PUU-XIV/2016 didominasi
oleh valuasi bermakna positif dengan jumlah 62,82%, kedua keseimbangan
bermakna negatif 19,88%, ketiga kompleksitas bermakna negatif 14,74%, dan
yang terkecil kualitas bermakna positif dan negatif dengan jumlah 0,64%,
keseimbangan bermakna positif 0,64%, dan valuasi bermakna negatif 0,64%. Dari
dominasi tersebut tergambar bahwa teks putusan gugatan merupakan sumber daya
bahasa yang merujuk pada evaluasi terhadap pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44
huruf b. Lebih jelasnya lihat paparan contoh yang menggambarkan unsur apresiasi
teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 berikut ini.
(94) Menimbang bahwa pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 10 Februari 2016 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 10 Februari 2016 berdasarkan akta penerimaan berkas permohonan nomor 6.4 /PAN.MK/2016 dan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi pada tanggal 17 Februari 2016 dengan nomor 20/PUU-XIV/2016, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal (8) 7 Maret 2016. (DT PP 2016 6). (sikap>apresiasi>keseimbangan>positif)
(95) Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 (constitutie is de hoogste wet). (DT PP 2016 13). (sikap>apresiasi>keseimbangan>negatif)
Leksis apresiasi bermakna positif antara lain menimbang dan bertentangan
dengan unsur keseimbangan bermakna positif dan negatif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
227
Tabel 5.51 Apresiasi dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Apresiasi Positif Negatif kualitas Baik buruk keseimbangan pertentangan bertentangan kompleksitas - ambigu,multitafsir,tidak
jelas,ketidakjelasan, kekaburan,ketidakpastian, kabur.
valuasi sesuai,khusus,spesifik, khususnya,kesesuaian.
biasa
Leksis baik merupakan apresiasi teks putusan dengan unsur kualitas
bermakna positif dan leksis buruk bermakna negatif. Leksis pertentangan
merupakan unsur keseimbangan bermakna positif dan leksis bertentangan
bermakna negatif. Leksis ambigu, multitafsir, tidak jelas, ketidakjelasan,
kekaburan, ketidakpastian, dan kabur bermakna negatif. Leksis sesuai, khusus,
spesifik, khususnya, dan kesesuaian.
5.2.3.2 Pola pemosisian bahasa dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Pemosisian bahasa forensik dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016
berkaitan dengan pemosisian penulis putusan dalam bahasanya. Pemosisian
bahasa forensik dalam putusan menggunakan sumber daya bahasa forensik untuk
memposisikan suara penulis yang berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
dibawakan teks putusan. Sistem pemosisian berkaitan dengan MK yang membuat
evaluasi dalam putusan gugatan.
Di dalam putusan gugatan terdapat sejumlah suara heteroglos. Heteroglos
dalam putusan gugatan menggunakan atau merujuk pada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia atau sesuai dengan hukum acara yang berlaku
di Indonesia. Pemosisian dalam putusan gugatan terdiri atas asimilasi, proklamasi,
modalitas, penyangkalan, dan indrawi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
228
Pemosisian putusan gugatan di atas persentase tertinggi diperoleh oleh
unsur penyangkalan dengan jumlah 33,20%, kedua asimilasi dengan jumlah
29,10%, modalitas dengan jumlah 27,70%, ke empat proklamasi 7,20%, dan
terkecil indrawi dengan jumlah 2,80%. Persentase ini memiliki dominasi pada
label penyangkalan. Dari dominasi tersebut tergambar jelas bahwa bahasa
forensik putusan gugatan berlawanan konsensi terhadap UU ITE. Suara tekstual
memosisikan dirinya sebagai sesuatu yang melakukan penolakan atau beberapa
posisi berlawanan. Lebih jelasnya lihat contoh berikut ini.
(96) DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. (DT PP 2016)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi)
(97) Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- V/2007 yang menyatakan: “Bahwa pengertian perorangan warga Negara Indonesia” dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tidak sama dengan “perorangan warga negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR” sebagaimana didalilkan Pemohon. (DT PP 2016)
(pemosisian>heteroglos>ekstravokalisasi>asimilasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>proklamasi) (pemosisian>heteroglos>intravokalisasi>tertutup>penyangkalan)
Leksis berdasarkan, bahwa, menyatakan, dan tidak memiliki konteks
masing-masing dengan pemosisian. Orientasi dari pemosisian contoh di atas lebih
mengacu pada makna dalam konteks retorik. Peran yang terdapat dalam teks
putusan membuat suatu pembuatan makna penulis menegosiasikan hubungan
yang terdapat dalam putusan gugatan UU ITE. Leksis berdasarkan merupakan
leksis yang bermakna merujuk. Dengan merepresentasikan proposisi sebagai dasar
dalam suara eksternal, suara tekstual menggambarkan proposisi. Leksis bahwa
dan menyatakan merupakan asimilasi. Leksis menyatakan merupakan menyajikan
proposisi, suara tekstual; menentukan pertentangan atau mengatur posisi alternatif
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
229
dalam menyampaikan pernyataan dan putusan terhadap pemohon. Leksis tidak
merupakan penyangkalan yaitu suara tekstual memosisikan dirinya sebagai
sesuatu yang ganjil atau penolakan, beberapa posisi berlawanan terhadap
pemohon dalam hal legal standing.
Pemosisian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016 terdiri atas
heteroglos ekstravokalisasi dengan unsur asimilasi. Unsur intravokalisasi tertutup
penyangkalan dan proklamasi. Unsur intravokalisasi terbuka modalitas dan
indrawi dengan leksis pada tabel berikut ini.
Tabel 5.52 Model pemosisian dalam teks putusan No. 20/PUU-XIV/2016
PEMOSISIAN HETEROGLOS
Ekstra-vokalisasi
Penyisipan - Asimilasi bahwa, menurut, berdasarkan,
didasarkan, menjelaskan,
Intra-vokalisasi
Tertutup
Penyangkalan bukan, tetapi, tidak, tanpa, namun
Proklamasi menimbang, menyatakan.
Terbuka
Modalitas boleh, harus, dapat, kepentingan, pasti, wajib
Indrawi dilihat, dibaca, melihat, didengar, mendengar, mendengarkan,
Desas-desus - MONOGLOS Representasi -
Dari deskripsi tabel model pemosisian dalam teks putusan No. 20/PUU-
XIV/2016 di atas tidak ditemukan leksis heteroglos ekstravokalisasi penyisipan.
heteroglos ekstravokalisasi ditemukan pada asimilasi dengan leksis bahwa,
menurut, berdasarkan, didasarkan, dan menjelaskan.
5.2.3.3 Pola graduasi bahasa dalam teks Putusan No. 20/PUU-XIV/2016 Graduasi memberi gambaran penggunaan fungsi bahasa menguatkan atau
melemahkan sikap dan keterbabitan/pemosisian yang dihubungkan dengan teks
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
230
putusan. Dari hasil penelitian teks putusan ditemukan bahwa forsa atau daya yang
merupakan sumber daya untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi
paling dominan dari pada fokus yang merupakan sumber daya untuk
mempertajam atau memperlunak kualitas teks salinan putusan gugatan UU ITE.
Daya putusan gugatan memperkuat dan memperlemah terdiri atas
subkategori yaitu intensitifikasi dan kuantifikasi. Intensitifikasi ditandai oleh
penilaian terhadap tingkatan dan metafora. Kuantifikasi ditandai oleh penilaian
terhadap jumlah, ruang, dan waktu. Selain itu teks putusan juga dipertajam dan
diperlunak proposisi seperti jumlah persentase sistem graduasi putusan berikut ini.
Dominasi sistem graduasi pertama adalah unsur waktu dengan jumlah
42,96%, kedua metafora dengan jumlah 22,16%, ketiga unsur mempertajam
dengan jumlah 11,67%, dan yang terkecil adalah unsur memperlunak dengan
jumlah 3,46%. Dari dominasi tersebut tergambar bahwa unsur waktu merupakan
pengukuran terhadap keberadaan atau ciri-ciri gugatan UU ITE.
Dominasi kedua adalah metafora. Metafora dalam teks putusan gugatan
menggambarkan bahwa graduasi dalam teks putusan merupakan bahasa forensik
yang digunakan berhubungan dengan perbandingan untuk menghasilkan proses
konseptualisasi yang terstruktur. Lebih jelasnya lihat contoh berikut ini.
(98) DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. (DT PP 2016) (graduasi>forsa> intensitifikasi>tingkatan)
(99) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; (DT PP 2016) (graduasi>fokus>lunak)
(100) Pengaturan mengenai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE ini menimbulkan multitafsir karena rumusan tersebut terlalu luas. (DT PP 2016)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
231
(graduasi>fokus>tajam)
Secara apraisal leksis MAHA merupakan unsur tingkatan. Leksis MAHA
merupakan leksis yang menyatakan paling atau tingkatan yang paling tinggi.
Sesuai dengan konteksnya DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA, MKRI melaksanakan tugasnya sebagai institusi yang memberi keadilan.
Adil dalam hal ini sebagai penyelenggara atau institusi menjalankan tugas negara
seperti memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Dari contoh di atas terdapat leksis seperti. Leksis seperti merupakan leksis
fokus untuk memperlunak penilaian terhadap teks putusan. Sesuai dengan konteks
klausa Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
leksis seperti pada konteks tersebut melunakkan proposisi. Pernyataan kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi merupakan
pernyataan yang dinilai benar.
Leksis sah merupakan leksis yang berfungsi mempertajam proposisi.
Konteks klausa dalam pengaturan mengenai alat bukti yang sah menimbulkan
multitafsir karena rumusan tersebut terlalu luas. Leksis sah dalam klausa tersebut
harus sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Lihat model graduasi
putusan No. 20/PUU-XIV/2016 berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
232
Tabel 5.53 Model graduasi dalam teks Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
GRADUASI
FOKUS Tajam sah, disahkan Lunak seperti, seolah-olah
FORSA (INTENSITAS) Daya
Intensifikasi
Metafora
melanggar,terlanggar,penegak hukum,melawan,menegakkan, pelanggaran,melarang, membocorkan,dilanggar, terlanggarnya
Tingkatan Maha, lebih tinggi, sangat tinggi, lebih besar, lebih jauh, tertinggi, kualifikasi
Repetisi -
Ukuran/jumlah/ Kuantifikasi
Waktu ketika, pertama, terakhir, bertanggal, pada tanggal/ hari..., saat ini, saat itu, jadwal, selang waktu, setiap waktu, tahun..., kelima, keempat, kedua, ketiga, keenam, ketujuh, kesembilan, sebelum, sejak lama, sejak, waktu hitungan detik, sesudah, hari akhir, waktunya, sebelumnya, enam bulan, enam tahun, lama....
Ruang di Indonesia, di gedung..., ruang, di Amerika Serikat, di pusat, di daerah, ruangan, di luar ruangan
Jumlah satu, kedua, bersama-sama, sendiri-sendiri, sebuah, sejumlah, beberapa kali, lima, minoritas, tiga kali, kedua puluh tiga, semua orang, empat, satu dari dua, semua, tiga, jumlahnya, berdua, banyak..., minoritas, mayoritas, angka satu s.d angka empat, sembilan.
Unsur forsa dalam subgraduasi mempertajam dengan leksis disahkan, sah,.
Aspek forsa subgraduasi intensitifikasi tidak terdapat yang merujuk pada metafora
dan tingkatan dengan leksis maha, lebih tinggi, sangat tinggi, lebih besar, lebih
jauh, tertinggi, kualifikasi. Subgraduasi kuantifikasi memberikan gambaran
pengukuran waktu dengan leksis ketika, pertama, terakhir, bertanggal, pada
tanggal/ hari, saat ini, saat itu, jadwal, selang waktu, setiap waktu, tahun, kelima,
keempat, kedua, ketiga, keenam, ketujuh, kesembilan, sebelum, sejak lama, sejak,
waktu hitungan detik, sesudah, hari akhir, waktunya, sebelumnya, enam bulan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
233
enam tahun, lama....Pengukuran ruang dengan leksis di Indonesia, di gedung...,
ruang, di Amerika Serikat, di pusat, di daerah, ruangan, di luar ruangan.
Pengukuran jumlah dengan leksis satu, kedua, bersama-sama, sendiri-sendiri,
sebuah, sejumlah, beberapa kali, lima, minoritas, tiga kali, kedua puluh tiga,
semua orang, empat, satu dari dua, semua, tiga, jumlahnya, berdua, banyak,
minoritas, mayoritas, angka satu s.d. angka empat, sembilan.
5.3 Aspek Linguistik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perhatian utama dari linguistik forensik adalah (1) bahasa dari dokumen
legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interview dengan anak-anak
dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang
sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6)
kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur
(Coulthard dan Johnson, 2007:5). Dari pendapat di atas penelitian gugatan UU ITE
pada Bab ini mengkaji dua aspek perhatian utama dari linguistik forensik yaitu (1)
bahasa dari dokumen legal yaitu teks UU ITE tahun 2008 dan salinan putusan
perkara No. 20/PUU-XIV/2016. (2) interaksi dalam ruang sidang yaitu proses
sidang pengadilan gugatan UU ITE yang dikaitkan dengan rekaman percakapan
120 menit “papa minta saham”.
Dalam ujaran gugatan UU ITE memiliki makna yang harus dilihat dari
konteks forensik. Setiap ujaran dan teks dari pelaku memiliki makna yang harus
dilihat dari berbagai lapis konteks secara forensik (Sawirman dkk, 2014: 50).
Pelaku dalam hal ini adalah pemohon dan pihak-pihak yang hadir dalam proses
sidang pengadilan dan yang terlibat dalam rekamam pembicaraan. Apapun bentuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
234
bukti linguistik yang sedang dianalisis, selalu ada kata kunci tertentu yang
merupakan inti dari struktur lingual (McMenamin, 2001:170).
Aspek linguistik forensik dihubungkan dengan data rekaman percakapan
pembicaraan sepanjang 120 menit antara MS, MR, dan SN. MKD memutuskan
untuk membuka rekaman percakapan yang diserahkan SS. Keputusan diambil
melalui mekanisme voting antara MKD dan anggota fraksi partai politik. Data
rekaman yang mengandung aspek linguistik forensik seperti berikut ini.
(101) SN: Mempercantik. Tapi kalau pengalaman kita, artinya saya dengan pak Lh, pengalaman-pengalaman dengan presiden, itu rata-rata 99 % itu goal semua Pak. Ada keputusan-keputusan penting kayak Arab itu, bermain kita. Makanya saya tahu. Makanya Bung Rz begitu tahu Dn, dimaintenance, dibiayai terus itu Dn habis-habisan supaya belok. Pinter itu.
MS: Anu The lobbies (MS, SN, MRC ketawa). (DRP 105,106) (graduasi>forsa>metafora) (pemosisian>heteroglos>tertutup>penyangkalan) (graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah) (sikap>penilaian-sanksi sosial>proprietas) (sikap>penilaian-penghargaan sosial>kapasitas)
Leksis mempercantik dan bermain merupakan leksis graduasi, SN
mengatakan bahwa pengalamannya melakukan usaha untuk memuluskan lobi.
Leksis tapi merupakan leksis penyangkalan, pengalaman Lh dan SN dalam melobi
presiden rata-rata 90% goal semua. Rata-rata 90% adalah leksis sumber graduasi
dengan unsur jumlah untuk menguatkan sikap yang dihubungkan oleh SN. Dn
dalam percakapan di atas digambarkan sebagai sosok kesayangan presiden karena
kecerdasannya. Dn adalah Ph.D dari kampus luar negeri. SN berkata kepada MR
agar Dn dimaintenance, dibiayai terus hingga habis-habisan supaya belok. Belok
merupakan leksis sikap proprietas/etika bermakna negatif agar dapat membantu
lobi mereka. Agar dapat memuluskan lobi Dn digambarkan sebagai sosok yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
235
pintar juga dipengaruhi. Lebih jelasnya percakapan MR, MS, dan SN mengenai
pemufakatan pembagian saham pada percakapan berikut ini.
(102) MR: Bapak itu sudah jalan divestasi sudah berapa persen? MS: 30 % yang sudah jalan MR: Yang sudah jalan 9% dong MS: 9,3 %. Dipegang BUMN SN: Kalau gak salah itu Pak Lh sudah bicara. MR: Pak Lh sudah bicara SN: Pak Lh bicara dengan JB. Pak Lh udah ada unek-unek Pak MR: Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Lh janganlah ambil
20%, ambillah 11% kasihlah Pak JK 9%. Harus adil, kalau enggak ribut. (DRP 114-121)
(graduasi>forsa>kuantifikasi>jumlah) (pemosisian>heteroglos>terbuka>modalitas) (sikap>penilaian-sanksi sosial>proprietas)
Pada bagian percakapan ini MR menyebut harus ada pembagian saham
antara Lh dan JK karena jika tidak adil akan terjadi keributan. Dari percakapan di
atas terdapat sumber graduasi leksis persen (30%, 9%, 9,3%, 20%, dan 11%)
dengan unsur jumlah untuk menguatkan dan memuluskan lobi. Dalam
pernyataannya MR mengucapkan leksis harus adil, enggak ribut. Leksis harus
merupakan modalitas. Leksis adil merupakan wilayah makna penilaian-sanksi
sosial unsur proprietas/etika dalam lobi. Lekis enggak merupkan penyangkalan
dan leksis ribut merupakan proprietas/etika bermakna negatif. Lihat percakapan
berikutnya.
(103) MR: Why not. Pak Lh oke. Kita ketemu sama Pak Mr, hari minggu malam. Kita ngumpetlah. Seeeeeeeet dia action minggu depan. Nggak lama Pak. Next week two week. Bisa kau angkat akhir Juni selesai urusan. Begitu ini selesai ini saham bisa.
SN: Saya sih yakin itu karena presiden sendiri kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan kita di DPR, itu kita ketemu segitiga, Pak Lh, saya dan presiden. Akhirnya setuju. Ngomongnya gini presiden. Saya sudah ketemu presiden cocok itu. Pengalaman ya, artinya ini demi keberhasilan semua. Ini belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri, yang gini-gini. Enggak ngerti malah bapak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
236
MS: Ada lobbiesnya. SN: Strategi. MS: Ini HK SN: HKnya Hahahaa (DRP 202-207) (pemosisian>heteroglos>tertutup>penyangkalan) (sikap>penilaian-penghargaan sosial>tenasitas)
HK adalah mantan menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan pemenang
nobel perdamaian. Dalam percakapan ini MS mengakui kemampuan lobi SN
seperti HK. SN berpendapat bahwa lobi kepada presiden tidak akan berhasil jika
menteri-menteri yang melobinya. Urusan di DPR pak Lh, SN, dan presiden
ketemu segitiga akhirnya setuju. Hal ini menggambarkan SN sangat mumpuni dan
memiliki strategi dalam melobi.
Dari contoh percakapan selama 120 “papa minta saham” yang melibatkan
pemohon, terdapat bukti-bukti linguistik yang menyatakan bahwa percakapan
tersebut berisi lobi atau pemufakatan. Keberhasilan lobi menguntungkan pihak
pelobi dan merugikan pihak lain. Pemohon kemudian menggugat pasal 5 ayat (1)
berikut ini.
Pasal 5
(104) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (DT UU ITE 2008)
(graduasi>fokus>tajam) Leksis sah pada pasal 5 ayat (1) memiliki sumber untuk mempertajam.
secara apraisal sah merupakan sumber graduasi yang berfungsi untuk menguatkan
frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya. Sah secara hukum tidak melanggar hukum acara yang berlaku di
Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
237
(105) [2] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di indonesia. (DT UU ITE 2008) (graduasi>fokus>tajam) (sikap>apresiasi>valuasi>positif) (graduasi>forsa>kuantifikasi>ruang)
Pada pasal 5 ayat (2) selain leksis sah, juga terdapat leksis sesuai yang
merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi terhadap sesuatu,
khususnya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya. Leksis sesuai adalah leksis apresiasi yang merupakan sumber daya
untuk menghargai nilai hukum acara yang berlaku di Indonesia. Secara parameter
apresiasi dalam sumber sikap leksis sesuai bermakna valuasi bernilai positif.
Secara gramatikal leksis sesuai bermakna valuasi berhubungan dengan proses
kognitif yang dapat diinterpretasikan secara metafungsi bahasa dengan
berorientasi pada nilai ideasional. Leksis di Indonesia merupakan leksis graduasi
yang berfungsi menilai kuantifikasi sebagai ruang berlakunnya hukum acara.
Leksis di Indonesia digunakan untuk memperkuat evaluasi terhadap sikap yang
dihubungkan oleh isi pasal.
Dari kedua pasal di atas yang menjadi penekanan adalah frasa alat bukti.
Alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Perkembangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
kejahatan, dan modus operandinya, serta masyarakat akan selalu mempengaruhi
perkembangan alat bukti pada hukum acara pidana di Indonesia, baik yang diatur
dalam KUHAP maupun dalam perundang-undangan khusus (Soetanto, 2008).
Masalah dalam kasus ini adalah pada makna frasa alat bukti dan perluasannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
238
Alat bukti dalam pasal tersebut dapat melemahkan dan/atau memperkuat proses
hukum untuk menyatakan kebenaran.
Aspek linguistik forensik dari analisis pola bahasa gugatan UU ITE
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 perspektif apraisal ditemukan aspek modalitas
dalam UU ITE, perolehan dominasi modalitas menggambarkan bahwa penulis UU
ITE menggunakan bahasa untuk merealisasikan dan menyatakan sikap,
pandangan, pertimbangan, dan keinginan. Temuan ini menggambarkan
kecenderungan sebagian pasal dalam UU ITE dapat dimanfaatkan oleh orang-
orang yang tidak bertanggung jawab menjadi peluang melakukan kejahatan.
Leksis modalitas dalam UU ITE antara lain harus, dapat, ditetapkan, mungkin,
wajib, pasti, dan izin.
Beberapa pasal dalam UU ITE memiliki peluang dapat merugikan
masyarakat atau mengancam kebebasan berekspresi dan dapat dimanfaatkan
pihak-pihak tertentu menjadi peluang kejahatan. Misal pasal 27 ayat 3 di bawah
ini.
Pasal 27
(106) [3] Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (DT UU ITE )
Definisi pencemaran nama baik tidak memiliki batasan antara kritik,
pendapat, atau sengaja dicemarkan sehingga jika ada pengguna teknologi
informasi yang terjerat UU ITE membutuhkan pakar hukum dan pengacara untuk
melakukan pembelaan terkait dengan masalah atau kasus yang menjerat. UU ITE
diharapkan menjadi payung hukum demi keadilan dan kebenaran bukan menjadi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
239
masalah dalam berekspresi. UU ITE juga menjadi batasan dalam berekspresi
bukan menjadi alat untuk melegalkan dan menjadikan sarana untuk terbebas dari
kejahatan.
Pasal 28
(107) [1] Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (DT UU ITE)
Inti pasal 28 ayat (1) berada pada leksis bohong dan kerugian. Secara
apraisal bohong adalah leksis sikap. Leksis tanpa merupakan makna
penyangkalan. Leksis menyebarkan, bohong, dan menyesatkan adalah leksis sikap
dengan unsur proprietas/etika bermakna negatif. Leksis kerugian merupakan
dampak bermakna negatif. Sejauh mana konsumen merasa dirugikan belum ada
batasan sehingga sulit menyatakan bahwa seseorang telah mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Belum terlihat akibat kerugian
yang disebabkan berita bohong tersebut. Leksis kerugian merupakan leksis yang
bersifat multitafsir yang dapat menjadikan peluang masalah hukum dan dapat
disusupi niat jahat.
5.4 Hubungan Ontologis dan Epistemik Pola Bahasa dan Aspek Linguistik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Linguistik forensik dalam gugatan UU ITE dianalisis dengan apraisal.
Kerangka ini lebih khusus berhubungan dengan bahasa evaluatif, sikap, dan emosi
dengan seperangkat sumber-sumber yang secara eksplisit memposisikan proposal
dan proposisi sebuah teks secara interpersonal. Ditemukan hubungan ontologis
dan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik perspektif apraisal dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
240
gugatan UU ITE khususnya pada pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan pasal 44 huruf
b sebagai berikut.
Hubungan ontologis pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat
(1)
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. sah Sistem graduasi yang berfungsi
untuk menguatkan frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya.
Hubungan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat (1) Ketika alat bukti dikaitkan dengan cara perolehan alat bukti terkait dengan rekaman suara pemohon
Tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
. Hubungan ontologis pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat
(2)
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. sah Sistem graduasi yang berfungsi
untuk menguatkan frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya.
sesuai Sumber sikap unsur valuasi positif; secara gramatikal leksis sesuai bermakna valuasi berhubungan dengan proses kognitif yang dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
241
diinterpretasikan secara metafungsi bahasa dengan berorientasi pada nilai ideasional.
di Indonesia Graduasi yang berfungsi menilai kuantifikasi sebagai ruang berlakunnya hukum acara.
Hubungan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat (2) Ketika alat bukti dikaitkan dengan cara perolehan alat bukti terkait dengan rekaman suara pemohon
Tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia
Hubungan ontologis pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 44
huruf b
Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). alat bukti Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Hubungan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik forensik pada pasal 5 ayat (1) Ketika alat bukti dikaitkan dengan cara perolehan alat bukti terkait dengan rekaman suara pemohon
Tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Dari temuan hubungan ontologis dan epistemik pola bahasa dan aspek
linguistik forensik perspektif apraisal dalam gugatan UU ITE khususnya pada
pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan pasal 44 huruf b, alat bukti tidak sah karena tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
242
sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jika dikaitkan dengan
bukti percakapan selama 120 menit terdapat lobi atau pemufakatan dalam
memuluskan proyek-proyek pemerintah selama ini dan pembagian saham
perusahaan akan tetapi tidak dapat dibuktikan karena tidak sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia. Simpulannya rumusan UU ITE masih dapat
disusupi celah kejahatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
243
BAB VI
MAKNA SEMIOTIK FORENSIK DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
6.1 Pengantar
Makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-
XIV/2016 pasal 5 ayat (1) dan (2) serta pasal 44 huruf b dikaitkan dengan kasus
pemohon mengenai rekaman suara terkait perpanjangan izin/kontrak PT Freeport
Indonesia dengan penafsiran permufakatan jahat dan rekaman pencatutan nama
presiden dan wakil presiden. Makna semiotik forensik diidentifikasi dari pasal
yang digugat, rekaman percakapan „papa minta saham‟, dan deskripsi pihak-pihak
yang hadir dalam sidang pengadilan.
6.2 Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
6.2.1 Identifikasi dan interpretasi makna forensik pada pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44 huruf (b)
Wajah pengadilan harus dinilai berdasarkan tiga kriteria; efektivitas,
efisiensi, dan tentu saja kejujuran (Susanto, 2005: 144). Kriteria pengadilan akan
berjalan apabila persoalan atau menyangkut ketidaksepahaman makna dalam
pengadilan tidak berkepanjangan. Interaksi atau proses dalam sidang pengadilan
melibatkan hakim, pemohon, ahli dari pemohon dan pemerintah, pemerintah dan
DPR. Pasal UU ITE yang digugat dalam perkara No. 20/PUU-XIV/2016 pasal 5
ayat (1), (2), dan pasal 44 huruf b.
Dari uraian beberapa pasal yang digugat dalam perkara No. 20/PUU-
XIV/2016, pasal 5 ayat (1) dan (2), pasal 44 huruf b terkait dengan penyadapan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
244
yang dilakukan MS terhadap SN dan dilaporkan kepada SS. Gugatan terhadap UU
ITE yang dijadikan alat bukti adalah mengenai penafsiran permufakatan jahat dan
rekaman pencatutan nama presiden dan wakil presiden terkait permintaan saham
PT Freeport.
Berdasarkan tipologi tanda semua unsur yakni tanda (representament atau
ground), objek, dan interpretant dapat ditelaah secara trikotomi. Ground ada tiga
macam yaitu qualisign, sinsign, dan legisign; objek ada tiga macam yaitu ikon,
indeks, dan simbol; interpretant juga ada tiga macam yaitu rheme, dicent sign, dan
argument (Noth, 1995:44-45; Susanto, 2005: 230-231; Sibarani, 2012: 255).
Proses semiosis yang muncul dari teks pasal UU ITE terkait dengan kasus tersebut
adalah seperti pasal berikut.
Pasal 5
(108) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Tanda (representamen) yang muncul pada pasal 5 ayat (1) informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti merupakan tanda, ada tanda yang mendukung dan/atau merupakan
penghubung yang berfungsi untuk merangkai frasa. Penghubung dan
menghasilkan rangkaian yang menyatakan jumlah (kumulatif), atau menghasilkan
pilihan (alternatif) (Matanggui 2013:46).
Simpulannya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti merujuk kepada pasal 31 ayat (3).
Berdasarkan hal tersebut objek muncul dari representamen. Objek merupakan
tanda yang diwakili oleh representamen atau acuan dari tanda. Objek adalah pasal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
245
31 ayat (3) menjadi reperensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Acuan
tanda atau objek berada dalam ketetapan pasal 31 ayat (3). Acuan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya atau alat bukti
berada dalam ketetapan hukum yang sah atau tidak sah. Dikatakan sah jika sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dari interpretasi tanda pasal 5
ayat (1) terbentuk segitiga makna atau triadik dikaitkan dengan perolehan bukti
suara percakapan pemohon berikut ini.
Gambar 6.1 Triadik pasal 5 ayat (1)
Segitiga makna atau triadik memiliki tiga titik inti yaitu representamen
(R), Objek (O), dan Interpretan (I). Dari segitiga makna atau triadik di atas pasal
31 ayat (3) (O), informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti (R) informasi elektronik berupa „permufakatan
jahat‟ dan dokumen elektronik berupa bukti rekaman suara percakapan yang
dihasilkan atau diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah. Pasal 31 ayat (3)
menyatakan “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Tidak sah
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (rekaman suara; permufakatan jahat)
Pasal 31 ayat (3)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
246
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan
kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang”. Frasa tidak sah (I) tidak sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
Pasal 5
(109) [2] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Interpretasi dari pasal 5 ayat (2) tidak jauh berbeda dari pasal 5 ayat (1)
perbedaannya hanya penambahan atau perluasan representament yaitu perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Pasal 31 ayat (3) dan (4) (O). Segitiga makna atau triadik pasal 5 ayat (2) seperti
gambar berikut ini.
Gambar 6.2 Triadik pasal 5 ayat (2)
Tidak sah
Informasi elektronik (permufakatan jahat) dokumen elektronik (rekaman suara) hasil cetaknya merupakan perluasan alat bukti
Pasal 31 ayat (3) dan (4)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
247
Pasal 44
(110) b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Data berupa tanda (representamen) yang muncul pada pasal 44 huruf b
Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3). Segitiga makna atau triadik pasal 5 ayat (2) seperti pada
gambar berikut ini.
Gambar 6.3 Triadik pasal 44 huruf b
Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) terkait kasus pemohon dan perolehan bukti rekaman suara
Tidak sah
Informasi elektronik (permufakatan jahat) dokumen elektronik (rekaman suara) sebagaimana dalam pasal 1 angka1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Pasal 31 ayat (3) dan (4)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
248
dari cara dan alat buktinya tidak sah secara hukum. Jelasnya lihat rangkuman
makna semiotik pada tabel berikut ini.
Tabel 6.1 Makna semiotik forensik dalam pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44 huruf b
Pasal Tipologi Tanda Makna pasal 5 ayat (1)
R informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
informasi elektronik (pemufakatan jahat) /dokumen elektronik (rekaman suara).
O Pasal 31 ayat (3) tidak diperoleh dengan tata cara intersepsi
I tidak sah tidak sesuai dengan HA yang berlaku di Indonesia.
pasal 5 ayat (2)
R informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
informasi elektronik (pemufakatan jahat) /dokumen elektronik (rekaman suara).
O Pasal 31 ayat (3) (4) Tidak diperoleh dengan tata cara intersepsi
I tidak sah tidak sesuai dengan HA yang berlaku di Indonesia.
pasal 44 huruf b
R informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik alat bukti lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
informasi elektronik (pemufakatan jahat) /dokumen elektronik (rekaman suara).
O Pasal 31 (3) (4) Alat bukti tidak sesuai dengan tata cara intersepsi. alat bukti lain tidak sesuai dengan pasal 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
I tidak sah tidak sesuai dengan HA yang berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
249
Dari rangkuman makna semiotik forensik dalam pasal 5 ayat (1), (2), dan
pasal 44 huruf b tanda dan makna memiliki tiga titik inti yaitu Representamen (R),
Objek (O), dan Interpretan (I). Terkait dengan kasus permufakatan jahat dan
pencatutan nama presiden dan wakil presiden atas perpanjangan PT Freeport
Indonesia. Jelasnya lihat pasal 5 ayat (3) dan (4) di bawah ini.
Pasal 5
(111) [3] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Dari uraian pasal 5 ayat (3) di atas alat bukti lain berupa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik diperoleh menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau
institusi penegak hukum lainnya merupakan representamen (R) dengan bentuk
fisik rekaman suara pemohon yang direkam diam-diam melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Lihat juga pasal 5 ayat (4) berikut.
Pasal 5
(112) [4] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
250
Berkaitan dengan kasus pemohon maka interpretasi makna semiotik
forensik pasal 5 ayat (1) dan (2) adalah informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetaknya merujuk kepada pasal 31 ayat (3) dan (4).
Bukti rekaman suara percakapan pemohon dihasilkan atau diperoleh dari proses
penyadapan yang tidak sah. Pasal 44 huruf b mengandung makna forensik dengan
bentuk fisik rekaman suara pemohon yang direkam diam-diam melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Jika R dan O tidak sesuai dengan I maka analisis dari segitiga semiosis di
atas yaitu pasal 5 ayat (1) dan (2) secara semiosis tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia dan alat bukti dalam proses hukum tidak dapat dilanjutkan
(dihentikan dan diputuskan). Sebaliknya jika R dan O sesuai dengan I maka
analisa semiosis di atas sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan
proses hukum dapat dilanjutkan. Semiosis dalam gugatan UU ITE yang
dipergunakan sebagai dasar kombinasi satu dengan yang lainnya dapat
dirumuskan seperti berikut ini:
1. Tipologi tanda (pasal 5 ayat (1) (2) dan pasal 44 huruf b) berdasarkan ground/representament
Pasal 5
(113) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(114) [2] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
251
(115) b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Qualisign (1) MS: Kepastian hukumnya tidak ada. Ada kebon sawit besar
bagus cantik udah jadi Pak. Tiba-tiba ditutup sama gubernur katanya merusak alam. Kasihan Pak buat investor. Itu orang nggak jadi males menginvestasi
MR: Provinsinya Dajjal MS: Betul Pak zamannya Dajjal MR: Sama Pak. Gila itu. Itu waktu Rz mengondisikan ngurusi
gula, sudahlah begini begini, dia sudah kuasai lahan Pak, pada waktu itu. Beda kongsi. Gua ketawa aja. Makan dulu, kalau udah jalan 5 tahun baru saya ambil.
(2) MR: Kita ini orang kerja, strateginya. Jadi Freeport jalan, bapak itu bisa terus happy, kita ikut-ikutan bikin apa. Kumpul-kumpul. Gua gak ada bos, nggak usah gedek-gedek. Ngapain gak happy. Kumpul-kumpul. Kita golf. Gitu, Kita beli private jet yang bagus, representative. Apalagi
SN: Iya
MR: Buat kita itu tak ada yang rakus. Ini mutual benefit, konsepnya mutual benefit. Barangnya kita semua. Kita semua kerja. Freeport 51 kasih kita lokal, support financing. Ya Pak
SN: Kalau Freeport menjamin, semua juga gampang. Semua bank langsung kasih.
Sinsign Permufakatan jahat dan pencatutan nama presiden guna meminta saham PT Freeport Indonesia
Legisign Pasal 15 jo. Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 berupa permufakatan jahat untuk melakukan korupsi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
252
2. Tipologi tanda pasal 5 berdasarkan objek (Pasal 31(3) (4))
Ikon Pasal 31 ayat (1) (2)
Index Jika intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dan diperoleh berdasarkan ketentuan hukum acara di Indonesia maka alat bukti/perluasan alat bukti tidak sah
Simbol Tata cara (hukum acara yang berlaku di Indonesia)
3. Tipologi tanda pasal 5 berdasarkan interpretant (Tidak sah)
Rheme Sah diperoleh berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia
Dicentsign Tidak sah karena tidak diperoleh berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia
Argument Tidak sesuai dengan pasal 31 ayat (3) dan (4); pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4) / ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
Dari rumusan kombinasi hubungan tanda di atas, terlihat jelas hubungan
antara tanda yang satu dengan tanda lainnya. Tanda-tanda tersebut saling
berhubungan sehingga menghasilkan makna “rekaman percakapan berisi
permufakatan jahat namun perolehan alat bukti tidak sesuai dengan pasal 31 ayat
(3) (4) sebagaimana pasal 5 ayat (1), (2), dan pasal 44 huruf b” sesuai dengan
konsep triadik. Sebagai rujukan alat bukti dan perluasan alat bukti dapat dilihat
pasal 5 ayat (3) dan (4) berikut.
Pasal 5
(116) [3] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya merupakan alat bukti hukum yang sah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
253
(117) [4] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
6.2.2 Deskripsi dalam sidang pengadilan
Dalam proses sidang pengadilan gugatan UU ITE menjelaskan tentang
pihak-pihak yang hadir dalam sidang. Interaksi dalam persidangan melibatkan
hakim, pemohon, ahli dari pemohon dan pemerintah, pemerintah dan DPR.
Linguistik forensik tidak lain merupakan penerapan teori linguistik dalam
membantu penyelesaian sengketa kebahasaan di pengadilan (Suhandono, 2017:
29). Sengketa kebahasaan dalam penelitian ini adalah mengenai multitafsir
penggunaan pasal penyadapan dalam UU ITE. Pihak-pihak yang hadir adalah:
1. Hakim
Hakim dalam proses sidang pengadilan merupakan simbol keadilan. Makna
semiotik hakim adalah simbol keadilan dalam mengungkap kebenaran.
a. hakim b. ketua hakim AH
Gambar 6.4 Hakim MKRI Sumber: Sidang pengadilan MKRI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
254
Dalam proses sidang tersebut tidak semua hakim setuju dengan putusan
tersebut. Terdapat dua orang hakim MK yang memiliki pendapat berbeda. Hakim
memiliki argumentasi bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia
yang berstatus sebagai anggota DPR sedangkan mahkamah telah berkali-kali
menyatakan pendiriannya bahwa seseorang dalam kualifikasi demikian tidak
memiliki kedudukan hukum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-
undang sehingga janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi
kekuasaan DPR untuk membentukknya masih dapat dipersoalkan
konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri. Konflik dalam proses sidang pengadilan
menyisakan tanda yang mengandung makna. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Arthur Asa Berger, “...bila tanda dapat digunakan untuk menampilkan kebenaran,
maka tanda juga dapat digunakan untuk berbohong atau menipu (Piliang 2012:
291).
Sementara DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat
(1) undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan nomor 011/PUU-V/2007
mengenai parameter kerugian konstitusional.
2. Pemohon
Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yaitu (1) perorangan warga negara Indonesia, (2) kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
255
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang, (3) badan hukum publik atau privat, (4) lembaga negara. Berdasarkan
pasal 51 ayat (1) UU MK, maka pemohon adalah perorangan warga negara
Indonesia yang pada saat rekaman suara diperoleh berkedudukan sebagai ketua
DPR.
Gambar 6.5 Kuasa hukum pemohon Sumber: Sidang pengadilan MKRI
Pemohon diwakilkan oleh kuasa hukum pemohon yaitu SH, TMA, MAS,
dan HAN. Kuasa hukum SN berasal dari Advokat di kantor hukum SH dan
Partners. Kasus gugatan UU ITE bermula dari rekaman pembicaraan atau
rekaman suara MS Presdir PT Freeport Indonesia, MR pengusaha minyak, dan SN
Ketua DPR dengan durasi sepanjang 120 menit. Rekaman suara tersebut
kemudian dijadikan alat bukti permufakatan jahat dan pencatutan nama presiden
dan wakil presiden.
3. Ahli dan saksi dari pemerintah
Menurut pemerintah, motivasi pemohon mengajukan permohonan ini
semata-mata hanya karena adanya kepentingan pribadi pemohon yaitu agar alat
bukti elektronik yang menjadikan dasar pemanggilan pemohon tidak dapat menjadi
alat bukti yang sah dalam dugaan permufakatan jahat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
256
a. Pengambilan sumpah b. Ahli pemerintah (EM dan HS)
Gambar 6.6 Kesaksian ahli Sumber: Sidang pengadilan MKRI
Gambar 6.7 Saksi dari pemerintah Sumber: Sidang pengadilan MKRI
Presiden mengajukan tiga orang pada persidagan tanggal 3 Mei 2016 dan
19 Mei 2016. Ahli tersebut adalah (1) EM mengatakan menurut ahli
pengungkapan informasi dengan dalih kebebasan cenderung merupakan
penyalahgunaan terhadap penguasaan yang lebih terhadap informasi. Hal Itu lebih
jahat dari penjahatnya sehingga untuk ahli, informasi yang sifatnya privasi adalah
tetap privasi. Pengungkapan informasi privat menjadi publik tidak boleh secara
sembarangan. Bahwa dalam rezim intellectual property right dengan tegas
menyatakan sesuatu yang direkam oleh orang lain tetap milik dari orang yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
257
direkam atau dengan kata lain hak cipta tetap ada pada orang yang direkam. Begitu
pula dengan data, sesuatu yang melekat secara pribadi seperti foto yang difoto
orang lain adalah tetap foto milik dari orang yang difoto tersebut bukan milik dari
tukang foto. Sehingga apabila pengungkapan foto tersebut dilakukan secara
sembarangan, hal itu dapat digugat karena telah melanggar privasi. Dari uraian
pendapat ahli di atas terdapat frasa lebih jahat dari penjahatnya menjadi tanda
yang mengandung makna.
(2) HS mengatakan bahwa semua transaksi digital dengan sendirinya dapat
digunakan sebagai alat bukti, oleh karena itu jika ada orang berkomunikasi dengan
orang lain secara privat, kemudian salah satu membuka pembicaraannya, apakah
ini pidana atau tidak? Hal itu tergantung apakah sudah diatur dalam Undang-
Undang atau tidak? UU ITE sudah melarang membocorkan pembicaraan privat,
apabila dilakukan maka dipidana.
(3) MZ berpendapat terkait dengan rekaman, hasil dari perekaman dapat
dijadikan alat bukti tergantung pada orisinalitas hasil rekaman yang dikuatkan oleh
ahli, tetapi mengenai bagaimana cara rekaman tersebut didapatkan baik secara
diam-diam atau tidak, itu adalah masalah etika. Permasalahan yang kemudian
terjadi adalah bagaimana jika hasil kegiatan merekam (rekaman) tersebut adalah
berisi dugaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana? Menurut ahli,
pertama tindakan tersebut melanggar etika. Tapi kemudian, rekaman tersebut
merupakan bukti dari dugaan tindak pidana tertentu maka tentunya orang yang
merekam berkewajiban untuk melaporkannya kepada kepolisian. Polisi dalam hal
ini wajib untuk merahasiakan rekaman tersebut baik dari segi isinya maupun siapa
yang memberikan rekaman tersebut, hal tersebut karena data tersebut merupakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
258
data awal dari sebuah proses penyelidikan. Terkait dengan permohonan pemohon,
dimana rekaman pembicaraannya yang menjadi masalah keberatannya, maka ahli
dapat katakan bahwa harus dilihat dahulu terdapat unsur permufakatan jahat atau
tidak (Putusan No. 20/PUU-XIV/2016).
6.2.3 Deskripsi dalam rekaman percakapan “papa minta saham”
Saling terkait dengan aspek linguistik forensik pada Bab V (bagian
percakapan “papa minta saham‟). Dalam bagian percakapan “papa minta saham‟
di bawah ini.
(118) MR: Iyalah itu kira-kira. Harga perlu dikendalikan yang wajar. Atau kalau terbalik, kalau pure itu, itu kan satu deal. Misalnya JB bilang Freeport gak usah ikut. Silahkan yang lain, murni. Investor banyak yang mau, gak susah kalau Freeport. Marubeni ngotot mau masuk situ, Cuma harga tinggi. Itu maksud saya Pak. Justru kita sebagai lokal, merasa nyaman kalau itu opsinya sama Freeport. Dibandingkan kalau sama orang luar. China pun ada yang mau Pak.
MS: Ini yang Pak Riza sampaikan yang lalu sama Dh itu kan MR: Iya. Itu harganya yang wajar. Bukan harga yang tidak
ketinggian tidak kerendahan. Kan PTnya milik bapak juga, 51 %. Nanti bapak juga jangan sampai menekan ke induk usaha Freeport, pertambangan.
MS: Kuncinya kan itu lagi, surat perpanjangan itu. Tidak mungkin keluar purchasing guarantee kalau tidak. PLTA mau dibangun itu kan untuk underground mining. Underground mining baru bisa dipastikan mau dilanjutkan kalau ada perpanjangan. (DRP 84-87)
Dari cuplikan percakapan di atas secara verbal terdapat frasa jangan
sampai menekan yang disampaikan oleh MR. Frasa tersebut mengandug makna
bahwa terjadi kesepakatan di awal bahwa MS juga tidak boleh menekan ke induk
usaha Freeport pertambangan. MS juga mengatakan bahwa inti dari semuanya
adalah surat perpanjangan. Dari cuplikan pernyataan di atas jelas memang terjadi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
259
lobi atau pemufakatan dan pembagian saham dalam proses perpanjangan PT
Freeport yang akan direncanakan. Namun alat bukti rekaman percakapann
diperoleh tidak berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia maka proses
hukum tidak dapat dilanjutkan.
6.3 Hubungan Ontologis dan Epistemik Semiotik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Hubungan ontologis dan epistemik semiotik forensik dalam gugatan UU
ITE khususnya pada pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan pasal 44 huruf b sebagai
berikut.
Hubungan ontologis semiotik forensik pada pasal 5 ayat (1) dan (2)
(1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
Rekamanan suara percakapan pemohon terkait perpanjangan PT Freeport Indonesia.
Pasal 31 ayat (3)
Tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hubungan epistemik semiotik forensik pada pasal 5 ayat (1) Informasi elektronik berupa „permufakatan jahat‟ dan dokumen elektronik berupa bukti suara percakapan.
Alat bukti hukum diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah. Pasal 31 ayat (3) menyatakan “kecuali intersepsi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
260
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”.
Dari segitiga semiosis pasal 5 ayat (1) dan (2) secara jelas tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan proses hukum tidak dapat dilanjutkan (dihentikan dan diputuskan).
Hubungan ontologis semiotik forensik pada pasal 44 huruf b
Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
Pasal 31 ayat (3) dan (4)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Sah jika diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Hubungan epistemik semiotik forensik pada pasal 5 ayat (1) Informasi elektronik berupa „pemufakatan jahat‟ dan dokumen elektronik berupa bukti suara percakapan
tidak sah
Makna frasa alat bukti lain atau perluasan alat bukti berupa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik terdiri dari keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perkembangan dari ilmu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
261
pengetahuan dan teknologi, kejahatan, dan modus operandinya, serta masyarakat
akan selalu mempengaruhi perkembangan alat bukti pada hukum acara pidana di
Indonesia, baik yang diatur dalam KUHAP maupun dalam perundang-undangan.
Dikaitkan dengan rekaman percakapan, alat bukti yang digunakan melemahkan
proses hukum untuk menyatakan kebenaran.
Gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 mengungkap sikap dan
nilai-nilai yaitu nilai kepatuhan-ketidakpatuhan, nilai sosial, nilai keadilan-
ketidakadilan, nilai ketentraman-ketidaktentraman, dan kenyamanan-
ketidaknyamanan. Teks UU ITE tahun 2008 digugat oleh pemohon dan berhasil
dikabulkan gugatannya.
UU ITE tahun 2008 kemudian direvisi di tahun 2016. Hasil revisi UU ITE
tahun 2016 adalah sebagai berikut:
(1) Menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap
ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik pada pasal 27 ayat 3. (a)
Menambahkan penjelasan atas istilah mendistribusikan, mentransmisikan,
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik; (b) Menegaskan
bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; (c)
Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada
ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
(2) Menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun
menjadi 4 tahun. Denda Rp.1.000.000.000 menjadi Rp750.000.000
menurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan pada pasal 29 dari paling
lama 12 tahun penjara menjadi 4 tahun dan denda Rp2.000.000.000 menjadi
Rp750.000.000
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
262
(3) Melaksanakan putusan MK atas pasal 31 ayat (4) yang mengamanatkan
pengaturan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang yang menambahkan
penjelasan pasal 5 terkait keberadaan informasi elektronik sebagai alat bukti
hukum. (a) Mengubah ketentuan pasal 31 ayat (4) yang semula
mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam
peraturan pemerintah menjadi dalam undang-undang; (b) Menambahkan
penjelasan pada ketentuan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum
yang sah.
(4) Sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan
penahaman dengan hukum acara KUHAP
(5) Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE
pada ketentuan pasal 43 ayat (5).
(6) Menambahkan ketentuan right to be forgotten kewajiban menghapus konten
yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaan right to
be forgotten dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan
penetapan pengadilan.
(7) Memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten
negatif di internet.
Setelah revisi UU ITE tahun 2016, dalam penerapannya UU ITE tetap
menelan korban. Hal ini terjadi karena celah-celah multitafsir tetap dapat
digunakan oleh oknum untuk melakukan kejahatan. Lemahnya definisi-definisi
unsur penting dalam UU ITE menyebabkan peluang ketidakadilan dan
menghambat masyarakat dalam penggunaan internet berintegrasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
263
BAB VII
FAKTOR PENYEBAB POLA BAHASA DAN MAKNA SEMIOTIK FORENSIK DALAM GUGATAN UNDANG-UNDANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK 7.1 Pengantar
Bab ini akan menguraikan faktor penyebab pola bahasa dan makna
semiotik forensik dalam gugatan UU ITE. Faktor penyebab pola bahasa dalam
teks UU ITE tahun 2008 karena (1) dari segi sikap, pertama faktor tujuan UU ITE
sebagai payung hukum bagi masyarakat, faktor kedua karena materi muatan UU
ITE dan bentuk-bentuk pelanggaran yang terdapat dalam regulasi pemanfaatan
teknologi informasi (2) faktor modalitas merupakan sikap penulis terhadap
sesuatu yang dijelaskan yaitu mengenai materi muatan dan bentuk-bentuk
pelanggaran hukum dan menunjukkan pendirian UU ITE sebagai payung hukum
yang menjelaskan nilai dan norma aturan hukum yang berlaku di Indonesia (3)
faktor unsur waktu dalam teks digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana.
Faktor penyebab pola bahasa proses sidang pengadilan karena (1) graduasi
digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana dan rujukan terhadap undang-
undang (2) sikap sebagai penilaian keadaan emosi pemohon yang merasa
terancam (3) apresiasi merupakan sarana untuk menjadikan fakta yang membisu
menjadi berbicara kepada hakim di sidang pengadilan melalui argumentasi yang
disampaikan pemohon, ahli, dan saksi. Secara ideologis, teks peradilan
didominasi oleh kemampuan berbicara. Artinya, siapa yang pandai berbicara
dialah yang menguasai peradilan, dan tidak tertutup kemungkinan
memenangkannya (Setia, 2008: 275). (4) afek merupakan sarana pemohon
menyampaikan dasar hukum dan meminta perlindungan dari ketidakamanan dan
ketidaksenangan dari masalah yang sedang terjadi (5) unsur penyangkalan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
264
menggambarkan penutur di sidang pengadilan memposiskan dirinya sebagai
posisi berlawanan atau penolakan terhadap beberapa pasal dalam UU ITE.
Faktor penyebab pola bahasa dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016 (1)
mengapa pemosisian, karena majelis hakim MK memposisikan, menyesuaikan,
dan menegosiasikan kekuatan proposisi dan pernyataan masing-masing dalam
memutuskan gugatan sebagai lembaga konstitusi yang menjalankan fungsinya
untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis (2) unsur waktu digunakan
untuk menguraikan ketentuan pidana dan pengukuran putusan gugatan UU ITE
(3) teks berisi usul, permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal pada
UU ITE.
7.2 Faktor Penyebab Pola Bahasa dalam Teks UU ITE, Sidang Pengadilan, dan Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
7.2.1 Faktor penyebab pola bahasa dalam teks UU ITE
Dari hasil analisis ditemukan pola bahasa teks UU ITE tahun 2008 yaitu
Sikap ^ Pemosisian ^ Graduasi. Sikap dalam teks didominasi oleh unsur penilaian,
kedua afek, dan ketiga apresiasi. Pemosisian didominasi modalitas, dan graduasi
didominasi unsur waktu.
Faktor penyebab terbentuknya pola bahasa sumber sikap dalam teks UU
ITE tahun 2008 pertama, sikap yang dominan dalam teks UU ITE adalah
penilaian. Penilaian yang berhubungan dengan penghargaan sosial dan sanksi
sosial. Mengapa penilaian dominan dalam teks UU ITE, karena faktor tujuan
teknologi informasi dan komunikasi sebagai payung hukum bagi masyarakat.
Faktor kedua karena materi muatan UU ITE dan bentuk-bentuk pelanggaran yang
terdapat dalam regulasi pemanfaatan teknologi informasi seperti contoh berikut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
265
(119) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan nama domain oleh masyarakat, pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan nama domain yang diperselisihkan. (DT UU ITE 2008 120)
Leksis mengambil alih pada contoh di atas merupakan sanksi yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran. Reaksi
tersebut mengggambarkan ketegasan pemerintah dalam memberi sanksi kepada
pelanggaran yang dilakukan.
Posisi kedua yaitu pemosisian. Pemosisian dalam teks UU ITE didominasi
oleh modalitas. Modalitas terbentuk dalam teks karena faktor modalitas
merupakan leksis yang menunjukkan sikap penulis terhadap sesuatu yang
dijelaskan yaitu mengenai materi muatan dan bentuk-bentuk pelanggaran hukum.
Sikap ini dapat berupa sanksi hukum, kepastian ancaman hukuman yang diterima
jika melanggar pasal UU ITE tahun 2008. Berdasarkan nilai (value) tingkat
kepastian terjadi terhadap keharusan dan kecenderungan dikelompokkan dalam
tingkatan tinggi, menegah, dan sedang. Sebagai contoh berikut.
(120) Para pihak yang melakukan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. (DT UU ITE 2008 96)
Leksis wajib termasuk kedalam nilai probabilitas tingkat tinggi dalam
tataran modalitas yang memiliki makna menunjukkan keharusan. Begitu juga
pada leksis harus dan dapat yang menunjukkan kepastian dan keharusan dari
suatu yang dilakukan. Penggunaan modalitas secara interpretatif dapat dijelaskan
bahwa tujuan penulisan UU ITE adalah untuk menunjukkan pendirian UU ITE
sebagai payung hukum yang menjelaskan nilai dan norma aturan hukum yang
berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
266
Posisi ketiga graduasi dengan unsur waktu, karena waktu dalam teks
digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana. Waktu digunakan untuk
menguatkan dan melemahkan penilaian dalam teks.
7.2.2 Faktor penyebab pola bahasa dalam proses sidang pengadilan
Dari hasil penelitian linguistik forensik dalam proses sidang pengadilan
gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 diperoleh pola bahasa
Graduasi^Sikap^Pemosisian yang akan dikaitkan dengan faktor-faktor penyebab
terbentuknya sumber apraisal proses sidang pengadilan gugatan UU ITE. Sekaitan
dengan fitur yang mendominasi proses sidang pengadilan dicirikan oleh apraisal
sikap, pemosisian, dan graduasi. Pola bahasa dalam proses sidang pengadilan
didominasi oleh sumber graduasi, kedua diikuti oleh sikap, dan ketiga pemosisian.
Dari dominasi sumber graduasi proses sidang pengadilan gugatan UU ITE
berkaitan dengan faktor waktu yang menyebar pada setiap teks. Interpretasi dapat
dibuktikan pada setiap proses sidang pengadilan karena pemohon, saksi, dan ahli
memberikan gambaran pengukuran yang kurang tepat dan rujukan terhadap
undang-undang. Sebagai contoh di bawah ini.
(121) Pemufakatan jahat ini bukan saja dijadikan delik selesai melainkan ancaman pidana juga disamakan dengan perbuatan yang telah dilaksanakan sepenuhnya ini berarti bahwa karna delik pasal 104 diancam dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara sementara dengan paling lama 20 tahun maka pemufakatan jahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan ini juga diancam dengan pidana yang sama. (DL SP V 125)
Dalam konteks ini unsur waktu digunakan untuk menyatakan pengukuran
ketentuan pidana. Bahasa hukum khususnya bahasa perundang-undangan
menggunakan ketentuan pidana dengan unsur waktu dan jumlah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
267
Posisi kedua apraisal sikap dengan unsur penilaian dengan posisi pertama,
apresiasi posisi kedua, dan diikuti oleh afek. Kehadiran penilaian sebagai posisi
pertama berkaitan dengan faktor penilaian dan tanggapan emotif secara jelas baik
tersirat secara tidak langsung dan dipraduga menyebar pada kedelapan proses
sidang pengadilan. Pesan yang tergambar merujuk pada sikap penilaian yang
merujuk pada sikap dan karakter pemohon, ahli, dan saksi. Pesan yang sebenarnya
disampaikan dalam proses sidang pengadilan ini adalah bagaimana keadaan emosi
pemohon yang merasa terancam. Keterlibatan emosi dan perasaan pemohon dapat
dilihat pada contoh berikut.
(122) Keberadaan norma pasal 5 ayat 1 dan 2 dan pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26 tidak mengatur secara tegas bahwa alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenagan yang diberikan oleh UU untuk melakukan perekaman seperti yang terjadi dalam kasus yang dialami oleh pemohon. (DL SP I 67)
Interpretasi dapat dibuat berkaitan dengan kehadiran leksis tegas pada
konteks kalimat di atas. Leksis tegas yang diucapkan pemohon menggambarkan
penilaian atau pertimbangan hakim terhadap proses pengadilan gugatan UU ITE
agar dalam penegakan hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Sifat pemohon dan saksi dapat ditandai dengan adanya leksis
tegas, seadil-adilnya, cermat, kekuatan terhadap penilaian keadaan berdasarkan
kutipan langsung ataupun rangkuman fakta yang didapatnya.
Apresiasi menempati urutan kedua berkaitan dengan faktor penilaian
terhadap UU ITE atau keadaan yang menyebar pada setiap proses sidang
pengadilan. Baik hakim, pemohon, saksi, dan ahli ikut mengapresiasi keadaan,
situasi, dan hal yang menyangkut kualitas, dampak, valuasi, kompleksitas, dan
keseimbangan UU ITE. Dengan demikian, teks UU ITE diupayakan sebagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
268
payung hukum agar penggunaan informasi dan transaksi elektronik berjalan sesuai
dengan UUD 1945.
Faktor mengapa apresiasi digunakan dalam proses sidang pengadilan
adalah karena penyampaian pesan yang berkenaan dengan UU ITE yang digugat
oleh pemohon berkaitan dengan keadaan atau situasi sehingga penilaian atas
keadaan tersebut menjadi lebih banyak setelah sikap penilaian. Apresiasi
merupakan sarana untuk menjadikan fakta yang membisu menjadi berbicara
kepada hakim di sidang pengadilan melalui argumentasi yang disampaikan
pemohon, ahli, dan saksi.
Dominasi sikap proses sidang pengadilan yang ketiga adalah afek. Sifat
pemohon, ahli, dan saksi ditandai dengan adanya leksis yang mengekpresikan
keadaan. Dengan subkategori afek ditemukan bahwa adanya emosi dan perasaan
pemohon, saksi, dan ahli dalam menyampaikan pesannya kepada majelis hakim
MKRI.
Faktor penyebab afek dalam sidang pengadilan berkaitan dengan tema dari
setiap sidang. Dengan demikian afek yang digunakan dalam proses sidang
pengadilan agar pesan dan maksud pemohon, saksi, dan ahli sampai kepada
majelis hakim dan menjadi pertimbangan dan sesuai dengan harapan masing-
masing.
Afek pada proses sidang pengadilan ini dominan terdapat pada SP I
dengan tema pemeriksaan pendahuluan. Hasil ini menunjukkan bahwa dari
kedelapan sidang ungkapan emosi dan perasaan lebih banyak disampaikan oleh
pemohon. Leksis afek yang dominan adalah keamanan bermakna amanah yang
membuktikan bahwa pemohon menyampaikan dasar hukum dan meminta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
269
perlindungan dari ketidakamanan dan ketidaksenangan dari masalah yang sedang
terjadi. Dengan demikian dominasi tersebut merupakan keinginan yang
diharapkan akan terealisasi.
Posisi ketiga dari apraisal proses sidang pengadilan adalah pemosisian.
pemosisian didominasi oleh penyangkalan. Penyangkalan menggambarkan
penutur di sidang pengadilan memposiskan dirinya sebagai posisi berlawanan atau
penolakan terhadap beberapa pasal dalam UU ITE. Dalam hal ini penyangkalan
umumnya dilakukan oleh pemohon.
7.2.3 Faktor penyebab pola bahasa dalam putusan gugatan UU ITE perkara No.
20/PUU-XIV/2016
Pola bahasa teks putusan gugatan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 adalah
Pemosisian ^ Graduasi ^ Sikap. Sikap didominasi oleh afek, kedua penilaian, dan
ketiga apresiasi. Pemosisian dalam teks yang dominan adalah penyangkalan dan
graduasi putusan gugatan didominasi oleh kuantifikasi waktu.
Faktor penyebab terbentuknya sumber apraisal dalam teks putusan gugatan
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 pertama, mengapa pemosisian, karena MK
memposisikan dirinya sebagai lembaga konstitusi menjalankan fungsinya untuk
mewujudkan negara hukum di Indonesia yang demokratis. Putusan pengujian
undang-undang yang dilakukan dalam kasus perkara pengujian undang-undang,
pada intinya membuktikan unsur negara hukum yang menjamin pengakuan dan
perlindungan HAM (persamaan di muka hukum) yang tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945 (Latif, 2007). Jelasnya seperti contoh berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
270
(123) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan nomor 20/PUU- XIV/2016 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa “oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945”. (DT PP 2016 155)
Dalam konteks ini interpretasi dapat disimpulkan berkaitan dengan kehadiran
leksis bahwa, menyatakan, dan dapat. Majelis hakim MKRI memposisikan,
menyesuaikan, dan menegosiasikan kekuatan proposisi dan pernyataan masing-
masing dalam memutuskan gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016.
Faktor kedua, pemosisian didominasi oleh penyangkalan. Putusan gugatan
perkara No. 20/PUU-XIV/2016 memposiskan dirinya sebagai posisi berlawanan
atau penolakan terhadap beberapa pasal dalam UU ITE dan berhasil dikabulkan
sebagian.
Posisi kedua adalah graduasi, mengapa graduasi terbentuk pada teks
putusan gugatan, karena graduasi menguatkan dan melemahkan teks putusan
gugatan UU ITE. Graduasi yang mendominasi adalah kuantifikasi waktu.
Kuantifikasi waktu digunakan untuk menguraikan ketentuan pidana dan
pengukuran putusan gugatan UU ITE.
Posisi ketiga adalah sikap. Sikap dalam teks putusan UU ITE didominasi
oleh afek. Afek mendominasi teks putusan gugatan karena teks berisi usul,
permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal pada UU ITE tahun 2008.
Sikap (attitude) dan nilai-nilai (value) sebagai subsistem ideologi
merupakan faktor penting dalam menentukan pikiran, tindakan, prilaku, dan karya
manusia (Piliang, 2013:370). Sejalan dengan pendapat Piliang pikiran, tindakan
prilaku, dan karya manusia dalam sidang pengadilan mengungkap sikap dan nilai-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
271
nilai dalam gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 yaitu nilai
kepatuhan, nilai sosial, nilai keadilan, nilai ketentraman dan kenyamanan.
7.3 Perbandingan Bahasa dalam Teks UU ITE, Proses Sidang Pengadilan, dan Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Perbandingan bahasa perspektif apraisal melihat persamaan dan perbedaan
yang terdapat dalam sumber apraisal teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan
putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Dari hasil analisis ditemukan pola bahasa teks
UU ITE Sikap ^ Pemosisian ^ Graduasi, pola bahasa proses sidang pengadilan
Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian, dan pola bahasa putusan No. 20/PUU-XIV/2016
adalah Pemosisian ^ Graduasi ^ Sikap.
Dari hasil tersebut perlu dianalisis perbandingan antara ketiga data yang
berasal dari dua data tulis dan satu data lisan. Data tulis berasal dari salinan teks
UU ITE dan salinan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Data lisan berasal dari data
rekaman proses sidang pengadilan. Dari perbandingan bahasa berdasarkan sistem
apraisal tersebut ditemukan sebab-sebab faktor pola bahasa dalam gugatan UU
ITE berikut ini.
7.3.1 Perbandingan sikap dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Perbandingan tiga data teks yaitu data lisan proses sidang pengadilan dan
data tulis yaitu UU ITE dan salinan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Sikap dalam
perbandingan tiga teks membandingkan tiga unsur dalam sikap yaitu afek,
penilaian, dan apresiasi seperti tabel berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
272
Tabel 7.1 Perbandingan sikap dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No. Sikap Teks UU ITE
Sidang Pengadilan
Putusan No. 20/PUU/XIV/2016
1 Afek 25,60% 16,50% 36,30% 2 Penilaian 51,80% 59,0% 34,30% 3 Apresiasi 22,60% 24,50% 29,40%
Perbandingan ketiga teks dengan unsur penilaian didominasi oleh teks
sidang pengadilan dengan jumlah 59,0%. Penilaian didominasi oleh sidang
pengadilan karena dialoq dalam sidang pengadilan merupakan realisasi bahasa
menyatakan kemungkinan, dasar hukum sebagai rujukan, dan meneruskan pada
bentuk metaforis menuju leksis. Kedua UU ITE dengan jumlah 51,80%. Afek
didominasi oleh putusan karena bahasa dalam putusan berisi norma, mencegah
kemungkinan yang akan terjadi, dan kewajiban pengguna teknologi dan informasi.
Apresiasi didominasi oleh putusan dengan jumlah 29,40% karena teks putusan
merupakan wilayah makna merujuk pada evaluasi UU ITE.
7.3.2 Perbandingan pemosisian dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Pemosisian pada ketiga teks akan mengungkap sebab-sebab posisi penutur
dan penulis dalam memposisikan suara yang berkaitan dengan proposisi dan
proposal. Sistem ini berkaitan dengan hakim, pemohon, ahli dari pemohon dan
dari pemerintah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
273
Tabel 7.2 Perbandingan pemosisian dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No. Pemosisian Teks UU ITE
Sidang Pengadilan
Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
1 ekstravokalisasi asimilasi 20,00% 22,10% 29,10% 2 intravokalisasi:
tertutup
penyangkalan 31,30% 41,10% 33,20% proklamasi 5,60% 3,30% 7,20% 3 intravokalisasi:
tertutup
modalitas 41,20% 30,40% 27,70% indrawi 1,90% 3,10% 2,80%
Dominasi pemosisian dari ketiga teks diperoleh teks UU ITE dengan unsur
modalitas 41,20%. Modalitas pada teks UU ITE merupakan heteroglos
menggunakan pernyataan atau merujuk dengan merepresentasikan proposisi
sebagai dasar yaitu UU 1945, pancasila, ahli, dan hukum acara yang berlaku di
Indonesia.
7.3.3 Perbandingan graduasi dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan
putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Perbandingan pada graduasi ketiga teks dengan unsur fokus dan forsa.
Fokus berfungsi untuk mempertajam dan memperlunak ketiga teks. Forsa terdiri
atas dua subkategori yaitu intensitifikasi dan kuantifikasi berikut ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
274
Tabel 7.3 Perbandingan graduasi dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan,
dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No. Graduasi Teks UU ITE
Sidang Pengadilan
Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
1 fokus tajam 10,50% 5,50% 11,67% lunak 0% 5,90% 3,46% 2 forsa: intensitifikasi metafora 17,70% 8,30% 22,16% tingkatan 8,10% 11,60% 5,39% 3 forsa: kuantifikasi waktu 35,50% 39,20% 42,96% ruang 10,50% 6,50% 5,88% jumlah 17,70% 22,00% 8,48%
Perbandingan graduasi dari ketiga teks didominasi oleh teks sidang
pengadilan dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dengan unsur waktu. Teks
putusan 42,96% dan sidang pengadilan 39,20%. Unsur waktu didominasi oleh
kedua teks karena unsur waktu digunakan sebagai ukuran yang berkaitan dengan
perkiraan waktu.
7.3.4 Perbandingan polaritas sikap teks UU ITE dan putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016 Perbandingan bahasa teks UU ITE dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
berdasarkan polaritas sikap dengan sistem afek, penilaian, dan apresiasi. Teks UU
ITE dan putusan memiliki persamaan yaitu sama-sama teks tulis. Dari
perbandingan dan dominasi polaritas tersebut ditemukan sebab-sebab faktor
bahasa dalam teks UU ITE berdasarkan polaritasnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
275
Tabel 7.4 Polaritas sikap UU ITE dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
No
Sistem Sikap Teks UU ITE Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
Positif Negatif Positif Negatif 1 Afek keamanan-yakin/amanah 9,50% 0% 9,85% 0% keamanan-kepercayaan 14,30% 0% 3,63% 0% ketidakamanan-kegelisahan 0% 2,38% - - ketidakpuasan-ketidaksenangan 0% 9,52% - - irealis/kecenderungan
hasrat/keinginan 2,40% 0% 15,55% 0%
irealis/kecenderungan hasrat/takut
0% 16,66% 0% 17,62%
keamanan/ketidakamanan 0% 14,28% 52,85% 0% kepuasan-kesenangan - - 0.50% 0% 2 Penilaian Kapasitas 5,90% 0% 31,30% 0% Tenasitas 4,70% 0% - - Verasitas 7,00% 2,35% 23,10% 0% Proprietas 8,20% 71,80% 18,10% 27,50% 3 Apresiasi Dampak 0% 37,84% - - Kualitas 8,10% 0% 0,64% 0,64% Kompleksitas 0% 2,70% 0% 14,74% Keseimbangan 13,52% 2,70% 0,64% 19,88% Valuasi 35,14% 0% 63,82% 0,64%
Dari uraian perbandingan teks UU ITE dan putusan persentase polaritas
sikap di atas sistem afek didominasi oleh teks putusan dengan unsur keamanan
bermakna positif. Unsur keamanan positif diperoleh dengan jumlah 52,85%.
Unsur penilaian didominasi oleh teks UU ITE unsur proprietas/etika bermakna
negatif dengan jumlah 71,80%. Apresiasi didominasi oleh teks putusan dengan
unsur valuasi bermakna positif 63,82%.
Dari perbandingan tersebut sumber afek didominasi unsur keamanan
bermakna positif karena teks putusan merupakan jawaban dari gugatan pemohon
yang merasa terancam. Sumber penilaian didominasi unsur proprietas negatif
karena teks UU ITE merupakan payung hukum untuk melindungi pengguna
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
276
teknologi informasi. Sumber Apresiasi didominasi unsur valuasi bermakna positif
karena teks putusan berhubungan dengan kognitif (pendapat yang
dipertimbangkan hakim, pemohon, DPR, ahli pemohon, ahli dari pemerintah).
7.3.5 Perbandingan polaritas sikap proses sidang pengadilan
Perbandingan polaritas sikap proses sidang pengadilan terdiri atas delapan
kali sidang. Sidang tersebut memiliki tema (1) pemeriksaan pendahuluan (2)
perbaikan permohonan (3) mendengarkan keterangan presiden dan DPR (4)
mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon (5) mendengarkan keterangan
DPR dan ahli pemohon (6) mendengarkan keterangan ahli presiden (7)
mendengarkan keterangan ahli/saksi presiden (8) pengucapan putusan. Sikap
dalam sidang pengadilan terdiri atas tiga sistem yaitu afek, penilaian, dan
apresiasi. Lebih jelasnya lihat tabel 7.5 (perbandingan polaritas sikap sidang
pengadilan).
Dari tabel tersebut tergambar polaritas positif dan negatif antara kedelapan
sidang pengadilan. Perbandingan sumber penilaian didominasi oleh SP IV dengan
unsur proprietas bermakna negatif sejumlah 77,10% dan kedua SP V dengan
unsur proprietas bermakna negatif sejumlah 69,90% dan ketiga unsur yang sama
diperoleh SP VII dengan jumlah 61,30%. Ketiga SP ini memiliki proprietas
bermakna negatif dengan nilai yang tidak jauh berbeda hal ini karena tema
keduanya sama yaitu mendengarkan keterangan DPR dan ahli pemohon. SP IV
sidang bagian 1 dan dilanjutkan lagi kesidang V bagian 2. Faktor lain perolehan
unsur propritas bermakna negatif pada SP IV dan V karena munculnya frasa
pemufakatan jahat yang bermakna negatif dan kewajiban.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
277
Perbandingan sumber apresiasi pada sidang pengadilan di atas didominasi
oleh valuasi yaitu polaritas valuasi positif. Dominasi pertama diperoleh SP VIII
dengan jumlah 75,60%, kedua SP VII dengan jumlah 75,55%, ketiga SP IV
dengan jumlah 69,69%. Faktor penyebab dominasi valuasi pada sumber apresiasi
sidang pengadilan karena pendapat berhubungan dengan kognitif atau
pertimbangan yang merujuk kepada proposisi sebagai dasar pertimbangan yaitu
UU 1945 dan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Perbandingan sumber afek didominasi oleh SP VIII dengan unsur
irealis/kecenderungan merasa takut sejumlah 83,30%, perolehan ini sangat tinggi.
Hal ini karena pada SP VIII pengucapan atau pembacaan putusan oleh hakim.
Unsur irealis/kecenderungan merasa takut mendominasi pada sidang ini karena
permohonan pemohon yang merasa terancam atau takut. Kemunculan unsur ini
menggambarkan hasrat atau keinginan pemohon terkabul. Dominasi kedua
diperoleh SP I dengan unsur keamanan sejumlah 82,36%. Faktor penyebab
kemunculan unsur keamanan ini karena pada SP I bertema pemeriksaan
pendahuluan dan pemohon menyampaikan permohonannya dengan merujuk hak
asasi pemohon sebagai warga negara yang meminta perlindungan. Hal ini
berhubungan dengan SP VIII yaitu unsur irealis yang merasa takut dan terancam.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
278
Tabel 7.5 Perbandingan polaritas sikap proses sidang pengadilan
N o
Sistem Sikap
Sidang Pengadilan SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
(+) %
(-) %
1 Penilaian kapasitas 24,20 0 18,20 0 10,40 0 9,00 0 13,97 1,07 23,10 0 16,00 0 28,57 0 tenasitas 15,20 0 - - 1,50 0 - - - - - - - - - - verasitas 24,20 6,10 72,70 0 22,40 0 9,70 0 11,30 0 36,50 0 16,70 0 28,57 0 proprietas 21,20 9,10 9,10 0 4,50 61,19 4,20 77,10 3,76 69,90 23,10 17,3 6,00 61,30 28,57 14,29
2 Apresiasi dampak - - - - 5,90 2,94 - - 1,61 0 36,40 0 4,40 0 - - kualitas 15,60 0 22,20 0 2,94 2,94 - - 3,22 0 9,10 0 6,70 0 - - kompleksitas 0 31,30 - - 0 2,94 - - 0 29,03 - - 0 2,20 - - keseimbangan 3,10 21,90 0 66,70 2,94 23,50 0 27,30 0 17,75 0 13,60 0 8,90 0 24,0 valuasi 28,0 0 11,10 0 55,90 0 69,69 3,00 46,77 1,61 40,90 0 75,55 2,20 75,60 0
3 Afek keamanan-
yakin/amanah 82,36 0 25,00 0 - - 8,30 0 2,17 0 - - 15,00 0 - -
keamanan/ ketidakamanan
11,76 0 - - 22,20 11,10 41,70 0 36,96 0 46,70 0 30,00 0 - -
keamanan-kepercayaan
- - - - 5,60 0 11,10 0 2,17 0 33,30 0 - - - -
ketidakamanan-kegelisahan
- - - - 0 5,55 - - 0 2,17 - - - - - -
kepuasan-kesenangan
5,88 0 75,00 0 22,20 0 11,10 0 8,70 0 20,00 0 - - 16,70 0
ketidakpuasan-ketidaksenangan
- - - - - - - - - - - - - - - -
irealis/ kecenderungan/ingin
- - - - - - - - - - - - - - - -
irealis/ kecenderungan /takut
- - - - - 33,30 0 27,80 0 47,82 - - 0 55,00 0 83,30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
279
7.3.6 Perbandingan salinan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dan pembacaan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 pada SP VIII
Salinan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dan pembacaan putusan No.
20/PUU-XIV/2016 pada SP VIII (sidang pleno kedelapan) karena memiliki
persamaan berisi putusan. Perbedaannya salinan putusan teks tulis sedangkan SP
VIII merupakan sidang pleno berisi putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan polaritasnya kedua teks ini dibandingkan seperti tabel berikut.
Tabel 7.6 Polaritas Sikap Putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dan SP VIII
No
Sistem Sikap Putusan No. 20/PUU-XIV/2016
SP VIII
Positif Negatif Positif Negatif 1 Afek keamanan-yakin/aman 9,85% 0% - - keamanan-kepercayaan 3,63% 0% - - ketidakamanan-kegelisahan - - - - kepuasan-kesenangan - - 16,70% 0% ketidakpuasan-
ketidaksenangan 15,55% 0% - -
irealis/kecenderungan hasrat/keinginan
0% 17,62% - -
irealis/kecenderungan hasrat/takut
52,85% 0% 0% 83,30%
Ketidakamanan 0.50% 0% - - 2 Penilaian Kapasitas 31,30% 0% 28,57% 0% Tenasitas - - - - Verasitas 23,10% 0% 28,57% 0% Proprietas 18,10% 27,50% 28,57% 14,29% 3 Apresiasi Dampak - - - - Kualitas 0,64% 0,64% - - Kompleksitas 0% 14,74% - - Keseimbangan 0,64% 19,88% 0% 24,00% Valuasi 63,82% 0,64% 76,00% 0%
Perbandingan teks putusan dan pembacaan putusan SP VIII memiliki
persentase polaritas sikap sumber afek didominasi oleh teks SP VIII dengan unsur
irealis/kecenderungan hasrat/takut bermakna negatif 83,30%. Sumber penilaian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
280
didominasi oleh teks putusan unsur kapasitas bermakna positif dengan jumlah
31,30%. Apresiasi didominasi oleh SP VIII dengan unsur valuasi bermakna
positif 76,00%.
Dominasi Afek diperoleh teks SP VIII karena teks lisan putusan
merupakan gambaran keadaan pemohon. Penilaian didominasi teks putusan
dengan unsur irealis kecenderungan merasa takut karena teks putusan berisi syarat
dikabulkannya gugatan UU ITE sebagian. Apresiasi didominasi unsur valuasi
bernilai positif karena teks SP VIII berhubungan dengan kognitif (pendapat yang
dipertimbangkan hakim, pemohon, DPR, ahli pemohon, ahli dari pemerintah).
7.4 Faktor Makna Semiotik Forensik dalam Gugatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dari uraian makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE perkara No.
20/PUU-XIV/2016 pada Bab VI berkaitan dengan kasus pemohon maka faktor
penyebab makna semiotik forensik pasal 5 ayat (1) dan (2) karena proses
perolehan alat bukti tidak sah atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya merujuk kepada pasal 31 ayat (3) dan (4).
Pasal 44 huruf b mengandung makna dengan bentuk fisik rekaman suara
percakapan pemohon dihasilkan atau diperoleh dari proses penyadapan yang tidak
sah atau tidak dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Jika R dan O tidak sesuai dengan I maka analisis dari semiosis yaitu pasal 5 ayat
(1) dan (2) secara jelas tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan
proses hukum tidak dapat dilanjutkan (dihentikan dan diputuskan). Sebaliknya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
281
jika R dan O sesuai dengan I maka analisa semiosis secara jelas sesuai dengan
hukum yang berlaku di Indonesia dan proses hukum dapat dilanjutkan.
Faktor penyebab dari deskripsi pihak-pihak yang hadir dalam sidang yaitu
hakim, pemohon, ahli pemohon, dan ahli dari pemerintah. Faktor penyebab (1)
karena legal standing pemohon. Terdapat dua orang hakim MK yang memiliki
pendapat berbeda. Hakim memiliki argumentasi bahwa pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai anggota DPR
sedangkan MK telah berkali-kali menyatakan pendiriannya bahwa seseorang
dalam kualifikasi demikian tidak memiliki kedudukan hukum. DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang sehingga janggal jika undang-undang yang
dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentukknya masih dapat
dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri. Konflik dalam proses sidang
pengadilan menyisakan tanda yang mengandung makna. (2) karena pemohon
merasa terancam (3) karena perolehan alat bukti tidak sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia.
Faktor penyebab jika dikaitkan dengan dominasi bahasa forensik dalam
UU ITE, sumber graduasi didominasi oleh unsur waktu. Dalam sidang pengadilan
dominasi menggambarkan bahwa bahasa yang muncul dalam proses sidang
pengadilan (1) waktu menjadi pengukur dalam gugatan, (2) waktu adalah urutan
dalam gugatan, dan (3) waktu adalah petunjuk dalam gugatan. Faktor
penyebabnya karena dalam gugatan UU ITE waktu digunakan sebagai urutan dan
rujukan beberapa aturan hukum acara. Waktu digunakan sebagai petunjuk hukum-
hukum yang pernah digunakan dengan masalah yang sama sebagai petunjuk
perbandingan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
282
BAB VIII
TEMUAN PENELITIAN
8.1 Pengantar
Temuan penelitian meliputi temuan teoretis, temuan metodologis, dan
temuan empiris. Temuan teoretis merujuk pada hasil penerapan pendekatan
linguistik forensik dengan teori LSF kerangka kerja apraisal serta semiotik pada
data teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016
gugatan UU ITE, dan rekaman percakapan “papa minta saham”. Temuan
metodologis bersumber dari praktik pengkajian data. Temuan empiris bersumber
dari data penelitian yang menyajikan suatu fakta hukum dan kebahasaan dalam
gugatan UU ITE.
8.2 Temuan Penelitian
Temuan penelitian didapat dari analisis data dan merupakan jawaban dari
rumusan masalah pada Bab I yaitu (1) pola bahasa dan aspek linguistik forensik
dalam gugatan UU ITE perspektif apraisal, (2) makna semiotik forensik dalam
gugatan UU ITE, dan (3) faktor penyebab terbentuknya pola bahasa dan makna
semiotik forensik dalam gugatan UU ITE.
8.2.1 Temuan teoretis
Penelitian ini menghasilkan temuan teoretis tentang (1) jaringan sistem
(network system) gugatan UU ITE, UU ITE, sidang pengadilan, dan putusan No
20/PUU-XIV/2016. (2) pola bahasa dan aspek linguistik forensik gugatan UU
ITE, (2) makna semiotik forensik, dan (3) faktor penyebab terbentuknya pola
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
283
bahasa dan makna semiotik forensik. Pola bahasa gugatan UU ITE berasal dari
pola bahasa teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-
XIV/2016 berikut ini.
8.2.1.1 Pola bahasa teks UU ITE
Pola bahasa teks UU ITE Sikap ^ Pemosisian ^ Graduasi. Dari pola
tersebut menemukan jaringan sistem UU ITE yang menunjukkan teks UU ITE
memiliki wilayah makna yang merujuk pada sikap pemerintah yang
menggambarkan bagaimana masyarakat harus mematuhi norma yang berlaku
dalam UU ITE dan sanksi yang akan muncul jika terbukti melanggar UU ITE.
Unsur penilaian didominasi sumber sikap dalam teks UU ITE dengan jumlah
51,80%, diikuti unsur afek dengan jumlah 25,60% dan terkecil diperoleh unsur
apresiasi dengan jumlah 22,60%.
Sumber sikap dalam teks UU ITE memiliki pola Penilaian ^ Afek ^
Apresiasi. Unsur penilaian terdiri atas dua kategori yang berorientasi pada
penghargaan sosial dan sanksi sosial. Kerangka kerja apraisal dalam parameter
sikap subkategori penilaian dalam teks UU ITE terdiri atas penilaian penghargaan
sosial unsur kapasitas dan tenasitas. Penilaian saksi sosial unsur verasitas dan
proprietas. Unsur afek terdiri atas dua subkategori irialis (hasrat)-keinginan,
ketidakamanan-kegelisahan, kepercayaan, dan ketidakpuasan-ketidaksenangan.
Apresiasi dalam teks UU ITE dibagi dalam reaksi, komposisi, dan valuasi. Unsur
reaksi dalam teks terdiri atas dampak dan kualitas, unsur komposisi terdiri atas
keseimbangan, dan valuasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
284
Sumber pemosisian pada teks UU ITE secara menyeluruh ditemukan
unsur modalitas dengan jumlah 41,20%. Penulis UU ITE menggunakan bahasa
untuk merealisasikan dan menyatakan sikap, pandangan, pertimbangan, dan
keinginan. Penulis UU ITE menggunakan bahasa untuk mempertimbangkan
posisi penulis untuk menyatakan penyangkalan, pernyataan, penerimaan, dan
perujukan.
Sumber graduasi dalam teks UU ITE paling banyak muncul sumber
graduasi dengan unsur waktu dengan jumlah 35,50%. Kedua metafora dan jumlah
dengan jumlah 17,70%. Ketiga unsur ruang dan unsur mempertajam dengan
jumlah yang sama 10,50%. Jumlah terkecil unsur tingkatan dengan jumlah 8,10%.
8.2.1.2 Pola bahasa proses sidang pengadilan
Dari hasil analisis bahasa proses sidang pengadilan gugatan UU ITE
menghasilkan temuan teoretis tentang jaringan sistem dan pola bahasa sidang
pengadilan yaitu Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian. Hal ini menggambarkan bahwa
bahasa proses sidang pengadilan memiliki wilayah makna menguatkan dan
melemahkan sumber sikap dan pemosisian yang dihubungkan oleh teks proses
sidang pengadilan.
Dari hasil rekapitulasi graduasi bahasa proses sidang pengadilan
ditemukan unsur waktu dengan jumlah 39,20%. Hal ini menggambarkan bahwa
dalam teks proses sidang pengadilan menyampaikan pesannya menggunakan
fungsi bahasa memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi dengan pengukuran
waktu. Dominasi kedua unsur jumlah dengan jumlah 22,00%. Hal ini
menggambarkan bahwa pengukuran jumlah juga menjadi pertimbangan dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
285
proses sidang pengadilan dalam memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi
terhadap gugatan teks UU ITE.
Sumber sikap bahasa yang terbentuk pola Penilaian ^ Apresiasi ^ Afek.
Dari pola bahasa sidang pengadilan tergambar bagaimana sikap, penilaian, dan
tanggapan emotif secara jelas dan bagaimana hal ihwal ini tersirat secara tidak
langsung, dipraduga, atau dibayangkan. Proses sidang pengadilan gugatan UU ITE
mengekspresikan keadaan atau menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui
proses sidang pengadilan terbuka di MKRI. Pesan yang tergambar merujuk pada
sikap penilaian yang merujuk pada sikap dan karakter pemohon yang merasa
terancam.
Pemosisian dalam proses sidang pengadilan didominasi unsur heteroglos.
Teks proses sidang pengadilan didominasi oleh unsur penyangkalan dengan
jumlah 41,10%. Hal ini menggambarkan bahwa proses sidang pengadilan
menjelaskan suara tekstual memosisikan sebagai sesuatu yang ganjil, penolakan,
dan berlawanan. Tingginya persentase penyangkalan dibandingkan dengan
pemosisian yang lainnya menggambarkan penutur di sidang pengadilan
memposisikan dirinya sebagai posisi berlawanan atau penolakan terhadap
beberapa pasal dalam UU ITE. Hal ini karena pemohon merasa hak nya dirugikan
dan secara tidak langsung tergambar proses sidang pengadilan bahwa gugatan UU
ITE diterima sebagian pasal.
8.2.1.3 Pola bahasa putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016
Pola bahasa putusan No. 20/PUU-XIV/2016 Pemosisian ^ Graduasi ^
Sikap. Pemosisian dalam putusan menggunakan sumber daya bahasa untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
286
memposisikan suara penulis yang berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
dibawakan teks putusan. Sistem pemosisian berkaitan dengan MK yang membuat
evaluasi dalam putusan gugatan.
Pemosisian putusan gugatan diperoleh oleh pemosisian penyangkalan
dengan jumlah 33, 20%, kedua asimilasi dengan jumlah 29,10%, modalitas
dengan jumlah 27,70%, ke empat proklamasi 7,20%, dan terkecil indrawi dengan
jumlah 2,80%. Persentase ini memiliki dominasi pada label penyangkalan. Dari
dominasi tersebut tergambar jelas bahwa bahasa putusan gugatan berlawanan
konsensi terhadap teks UU ITE. Suara tekstual memosisikan dirinya sebagai
sesuatu yang melakukan penolakan atau beberapa posisi berlawanan.
Graduasi dalam putusan ditemukan bahwa unsur forsa atau daya yang
merupakan sumber daya untuk memperkuat dan memperlemah tingkat evaluasi
paling dominan daripada fokus yang merupakan sumber daya untuk mempertajam
atau memperlunak kualitas teks salinan putusan gugatan UU ITE. Daya putusan
gugatan memperkuat dan memperlemah intensitifikasi yang ditandai oleh unsur
penilaian terhadap tingkatan dan metafora. Unsur kuantifikasi ditandai oleh unsur
penilaian terhadap jumlah, ruang, dan waktu. Selain itu teks putusan juga
dipertajam dan diperlunak proposisi.
Dominasi sumber graduasi pertama adalah unsur waktu dengan jumlah
42,96%, kedua metafora dengan jumlah 22,16%, ketiga mempertajam dengan
jumlah 11,67%, dan yang terkecil adalah memperlunak dengan jumlah 3,46%.
Dari dominasi tersebut tergambar bahwa unsur waktu merupakan pengukuran
terhadap keberadaan atau ciri-ciri gugatan UU ITE. Dominasi kedua adalah
metafora. Metafora dalam teks putusan gugatan menggambarkan bahwa graduasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
287
dalam teks putusan merupakan bahasa yang digunakan berhubungan dengan
perbandingan untuk menghasilkan proses konseptualisasi yang terstruktur.
Apraisal sikap berpola Afek ^ Penilaian ^ Apresiasi. Dominasi tiga bagian
yaitu afek dengan jumlah 36,30%, penilaian dengan jumlah 34,30%, dan apresiasi
dengan jumlah 29,40%. Sikap putusan No. 20/PUU-XIV/2016 digunakan untuk
memutuskan ungkapan emosi dan perasaan atau keinginan pemohon untuk
menggugat teks UU ITE. Ketiga aspek dalam putusan menggambarkan sikap
pemohon yang diwakilkan kepada kuasa hukum, ahli dari pemohon, ahli dari
pemerintah, dan perwakilan DPR dalam menyampaikan pesannya kepada hakim
MKRI. Pesan yang disampaikan pemohon kepada hakim MKRI disampaikan
secara tulis dan lisan dalam sidang pengadilan gugatan UU ITE.
8.2.1.4 Aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE
Dari percakapan selama 120 menit kasus “papa minta saham” yang
melibatkan pemohon, terdapat bukti-bukti linguistik yang menyatakan bahwa
percakapan tersebut berisi lobi atau permufakatan jahat. Keberhasilan lobi
menguntungkan pihak pelobi dan merugikan pihak lain. Dari percakapan MR, SN,
dan MS memiliki sumber graduasi, sikap, dan pemosisian. Sumber graduasi
dengan leksis persen (30%, 9%, 9,3%, 20%, dan 11%) unsur jumlah dan strategi
untuk menguatkan dan memuluskan lobi menjadi leksis penanda bagi-bagi saham
dalam percakapan tersebut.
Sekaitan dengan kasus timbulnya dugaan terjadinya permufakatan jahat
dan pencatutan nama presiden dan wakil presiden dalam perpanjangan kontrak PT
Freeport Indonesia yang melibatkan pemohon. Maka, pemohon menggugat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
288
beberapa pasal dalam UU ITE kepada MKRI. Pasal tersebut memiliki celah
menguatkan dan memperlemah UU ITE karena tidak memiliki definisi, rumusan,
dan proses yang tepat.
Secara apraisal pada pasal 5 ayat (1) dan (2) leksis sah dan sesuai yang
merupakan wilayah makna yang merujuk pada evaluasi terhadap sesuatu,
khususnya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya. Secara parameter apresiasi dalam sumber sikap leksis sesuai
bermakna valuasi bernilai positif. Secara gramatikal leksis sesuai bermakna
valuasi berhubungan dengan proses kognitif yang dapat diinterpretasikan secara
metafungsi bahasa dengan berorientasi pada nilai ideasional. Leksis di Indonesia
merupakan leksis graduasi yang berfungsi menilai ruang berlakunnya hukum
acara. Leksis di Indonesia digunakan untuk memperkuat evaluasi terhadap sikap
yang dihubungkan oleh isi pasal. Masalah dalam kasus adalah makna frasa alat
bukti dan perluasannya. Alat bukti dalam pasal tersebut dapat melemahkan
dan/atau memperkuat proses hukum untuk menyatakan kebenaran.
8.2.1.5 Makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE
Temuan makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE pasal 5 ayat (1)
(2) dan pasal 44 huruf b yang dikaitkan dengan pasal (3) dan (4) secara
ground/representament rekaman suara kasus “papa minta saham‟ terdapat tanda
semiotik permufakatan jahat. Bentuk fisik rekaman suara percakapan pemohon
dihasilkan atau diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah atau tidak dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dari hasil analisis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
289
semiosis dirumuskan jika R dan O tidak sesuai dengan I maka alat bukti tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pihak-pihak yang hadir dalam sidang pengadilan yaitu hakim, pemohon,
ahli pemohon, dan ahli dari pemerintah. Konflik atau perbedaan pendapat
antarhakim dalam memutuskan putusan dari proses sidang pengadilan menyisakan
tanda yang mengandung makna. Dari sidang pengadilan mengungkap makna
bahwa bahasa yang muncul dalam proses sidang pengadilan (1) waktu menjadi
pengukur dalam gugatan, (2) waktu adalah urutan dalam gugatan, dan (3) waktu
adalah petunjuk dalam gugatan.
8.2.1.6 Faktor penyebab pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE
a. Faktor pola bahasa gugatan UU ITE
Faktor penyebab pola bahasa dalam UU ITE karena (1) dari segi sikap,
pertama faktor tujuan UU ITE sebagai payung hukum bagi masyarakat, faktor
kedua karena materi muatan UU ITE dan bentuk-bentuk pelanggaran yang
terdapat dalam regulasi pemanfaatan teknologi informasi (2) faktor modalitas
merupakan sikap penulis terhadap sesuatu yang dijelaskan yaitu mengenai materi
muatan dan bentuk-bentuk pelanggaran hukum dan menunjukkan pendirian UU
ITE sebagai payung hukum yang menjelaskan nilai dan norma aturan hukum yang
berlaku di Indonesia (3) waktu dalam teks digunakan sebagai pengukuran
ketentuan pidana.
Faktor penyebab pola bahasa dalam proses sidang pengadilan karena (1)
graduasi digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana dan rujukan terhadap
undang-undang (2) sikap sebagai penilaian keadaan emosi pemohon yang merasa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
290
terancam (3) apresiasi merupakan sarana untuk menjadikan fakta yang membisu
menjadi berbicara kepada hakim di sidang pengadilan melalui argumentasi yang
disampaikan pemohon, ahli, dan saksi (4) afek merupakan sarana pemohon
menyampaikan dasar hukum dan meminta perlindungan dari ketidakamanan dan
ketidaksenangan dari masalah yang sedang terjadi (5) penyangkalan
menggambarkan penutur di sidang pengadilan memposiskan dirinya sebagai
posisi berlawanan atau penolakan terhadap beberapa pasal dalam UU ITE.
Faktor penyebab pola bahasa dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016 (1)
mengapa pemosisian, karena majelis hakim MK memposisikan, menyesuaikan,
dan menegosiasikan kekuatan proposisi dan pernyataan masing-masing dalam
memutuskan gugatan sebagai lembaga konstitusi yang menjalankan fungsinya
untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis (2) unsur waktu digunakan
untuk menguraikan ketentuan pidana dan pengukuran putusan gugatan UU ITE
(3) teks berisi usul, permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal pada
UU ITE.
b. Faktor makna semiotik forensik gugatan UU ITE
Faktor makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE perkara No.
20/PUU-XIV/2016 karena (1) bentuk fisik rekaman suara percakapan pemohon
dihasilkan atau diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah atau tidak dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia (2) karena legal
standing pemohon (3) karena pemohon merasa terancam (4) jika dikaitkan dengan
dominasi sidang pengadilan maka faktor penyebabnya karena dalam gugatan UU
ITE waktu digunakan sebagai urutan dan rujukan beberapa aturan hukum acara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
291
Waktu digunakan sebagai petunjuk hukum-hukum yang pernah digunakan dengan
masalah yang sama sebagai petunjuk perbandingan.
8.2.2 Temuan metodologis
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis data
model interaktif. Keterbaruan dari metode analisis ini melibatkan aspek (1)
analisis terhadap rangkaian leksis yang digunakan mengungkap pola bahasa dan
aspek linguistik forensik dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan
putusan perkara No. 20/PUU-XIV/2016, (2) analisis makna semiotik forensik
dalam gugatan UU ITE yang ada dalam bentuk-bentuk linguistik tersebut, (3)
pembentukan pola bahasa dan makna semiotik forensik yang melibatkan konteks
proses sidang pengadilan gugatan UU ITE terkait perpanjangan PT Freeport
Indonesia, (4) aspek yang berhubungan erat dengan penyajian bukti-bukti
linguistik dalam gugatan UU ITE antara lain meliputi transkripsi data leksis dan
klausa yang memiliki makna semiotik forensik. Melalui kondensasi data gugatan
UU ITE proses analisis lebih terakomodir menyeluruh tanpa harus mengurangi
temuan data di lapangan.
8.2.3 Temuan empiris
Temuan empiris dalam gugatan UU ITE khususnya pada pasal 5 ayat (1),
(2), (3), (4), dan pasal 44 huruf b, jika dikaitkan dengan bukti percakapan kasus
“papa minta saham” terdapat permufakatan jahat akan tetapi tidak dapat
dibuktikan karena perolehan alat bukti tidak sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
292
Dari hubungan ontologis dan epistemik pola bahasa dan aspek linguistik
forensik perspektif apraisal dalam gugatan UU ITE khususnya pada pasal 5 ayat
(1), (2), (3), (4), dan pasal 44 huruf b, alat bukti tidak sah karena tidak sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Jika dikaitkan dengan bukti
percakapan selama 120 menit terdapat lobi atau permufakatan dalam memuluskan
proyek-proyek selama ini dan pembagian saham perusahaan akan tetapi tidak
dapat dibuktikan karena tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia. Simpulannya rumusan undang-undang di Indonesia masih dapat
disusupi celah kejahatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
293
BAB IX
SIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan
Analisis linguistik forensik dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik terdiri atas teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan
No. 20/PUU-XIV/2016 yang dihubugkan dengan teks rekaman percakapan selama
120 menit kasus “papa minta saham”. Analisis pertama mengenai pola bahasa dan
aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE menggunakan perspektif
apraisal. Apraisal dalam gugatan UU ITE dianalisis dengan tiga sumber yaitu
sikap, pemosisian, dan graduasi.
Analisis kedua makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE. Dari
analisis pola bahasa perspektif apraisal dan semiotik forensik diperoleh faktor-
faktor terbentuknya pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam gugatan UU
ITE. Dari analisis kajian linguistik forensik terhadap gugatan UU ITE dapat
ditarik simpulan sebagai berikut:
(1) Pola bahasa dan aspek linguistik forensik sebagai berikut:
a. Pola bahasa dalam gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016
persfektif apraisal ditemukan (a) jarigan sistem dan pola bahasa teks UU
ITE Sikap ^ Pemosisian ^ Graduasi. Teks UU ITE merupakan wilayah
makna yang merujuk pada sikap pembuat atau perumus yang berorientasi
pada penghargaan sosial dan sanksi sosial. Unsur modalitas dalam UU
ITE menggunakan bahasa untuk merealisasikan dan menyatakan sikap,
pandangan, pertimbangan, dan keinginan. (b) jaringan sistem dan pola
bahasa proses sidang pengadilan yaitu Graduasi ^ Sikap ^ Pemosisian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
294
Teks SP menggunakan unsur waktu dan metafora untuk menguatkan dan
memperlemah proposisi. Unsur waktu digunakan sebagai pengukuran
ketentuan pidana dan rujukan terhadap undang-undang. Unsur metafora
menggambarkan atau melibatkan perubahan UU ITE berdasarkan
keadaan. (c) jaringan sistem dan pola bahasa putusan No. 20/PUU-
XIV/2016 Pemosisian ^ Graduasi ^ Sikap. Dari teks putusan tergambar
pemosisian atau memposisikan suara pembuat atau perumus dan pihak-
pihak yang hadir dalam sidang sebagai suatu yang ganjil atau penolokan
beberapa posisi berlawanan berkaitan dengan proposisi dan proposal yang
terdapat dalam UU ITE.
b. Aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE terkait dengan rekaman
percakapan yang melibatkan pemohon, terdapat bukti-bukti linguistik
yang menyatakan bahwa percakapan tersebut berisi lobi atau
permufakatan jahat. Dari percakapan MR, SN, dan MS memiliki sumber
graduasi, sikap, dan pemosisian. Sumber graduasi dengan leksis persen
(30%, 9%, 9,3%, 20%, dan 11%) unsur jumlah dan strategi untuk
menguatkan dan memuluskan lobi menjadi leksis penanda bagi-bagi
saham dalam percakapan tersebut. Dari hubungan ontologis dan epistemik
pola bahasa dan aspek linguistik forensik perspektif apraisal dalam
gugatan UU ITE khususnya pada pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan pasal
44 huruf b, alat bukti tidak sah karena tidak sesuai dengan hukum acara
yang berlaku di Indonesia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
295
(2) Makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE berkaitan dengan proses
sidang pengadilan dan kasus pemohon sebagai berikut:
a. Makna semiotik forensik pasal 5 (1), (2), pasal 44 huruf b adalah informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti „rekaman suara percakapan „papa minta saham‟
merupakan ground/representament. Objek „Pasal 31 ayat (3) dan (4)‟ dan
interpretant „tidak sah‟. Berdasarkan ground/representament rekaman
suara “papa minta saham‟ terdapat tanda semiotik permufakatan jahat.
Bentuk fisik rekaman suara percakapan pemohon dihasilkan atau
diperoleh dari proses penyadapan yang tidak sah atau tidak dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika R dan O
tidak sesuai dengan I maka alat bukti secara analisis segitiga semiosis
pasal 5 ayat (1) dan (2) tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
b. Dari deskripsi pihak-pihak yang hadir dalam sidang yaitu hakim, pemohon,
ahli pemohon, dan ahli dari pemerintah terjadi perbedaan pendapat antar
hakim dalam memutuskan putusan dari proses sidang pengadilan
menyisakan tanda yang mengandung makna.
c. Dalam sidang pengadilan mengungkap makna bahwa bahasa yang muncul
dalam proses sidang pengadilan (1) waktu menjadi pengukur dalam
gugatan, (2) waktu adalah urutan dalam gugatan, dan (3) waktu adalah
petunjuk dalam gugatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
296
(3) Faktor penyebab pola bahasa dan makna semiotik forensik dalam gugatan UU
ITE disimpulkan sebagai berikut:
a. Faktor penyebab pola bahasa dalam teks UU ITE tahun 2008 karena (1)
dari segi sikap, pertama faktor tujuan UU ITE sebagai payung hukum
bagi masyarakat, faktor kedua karena materi muatan UU ITE dan bentuk-
bentuk pelanggaran yang terdapat dalam regulasi pemanfaatan teknologi
informasi (2) faktor modalitas merupakan sikap penulis terhadap sesuatu
yang dijelaskan yaitu mengenai materi muatan dan bentuk-bentuk
pelanggaran hukum dan menunjukkan pendirian UU ITE sebagai payung
hukum yang menjelaskan nilai dan norma aturan hukum yang berlaku di
Indonesia (3) unsur waktu dalam teks digunakan sebagai pengukuran
ketentuan pidana.
b. Faktor penyebab pola bahasa dalam proses sidang pengadilan karena (1)
graduasi digunakan sebagai pengukuran ketentuan pidana dan rujukan
terhadap undang-undang (2) sikap sebagai penilaian keadaan emosi
pemohon yang merasa terancam (3) apresiasi merupakan sarana untuk
menjadikan fakta yang membisu menjadi berbicara kepada hakim di
sidang pengadilan melalui argumentasi yang disampaikan pemohon, ahli,
dan saksi (4) afek merupakan sarana pemohon menyampaikan dasar
hukum dan meminta perlindungan dari ketidakamanan dan
ketidaksenangan dari masalah yang sedang terjadi (5) penyangkalan
menggambarkan penutur di sidang pengadilan memposiskan dirinya
sebagai posisi berlawanan atau penolakan terhadap beberapa pasal dalam
UU ITE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
297
c. Faktor penyebab pola bahasa dalam putusan No. 20/PUU-XIV/2016 (1)
mengapa pemosisian, karena majelis hakim MK memposisikan,
menyesuaikan, dan menegosiasikan kekuatan proposisi dan pernyataan
masing-masing dalam memutuskan gugatan sebagai lembaga konstitusi
yang menjalankan fungsinya untuk mewujudkan negara hukum yang
demokratis (2) unsur waktu digunakan untuk menguraikan ketentuan
pidana dan pengukuran putusan gugatan UU ITE (3) teks berisi usul,
permintaan, sanggahan, protes terhadap beberapa pasal pada UU ITE.
d. Faktor makna semiotik forensik dalam gugatan UU ITE karena bentuk
fisik rekaman suara percakapan pemohon dihasilkan atau diperoleh dari
proses penyadapan yang tidak sah atau tidak dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
9.2 Saran
Analisis linguistik forensik dalam gugatan Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik perlu memberi saran sebagai penelitian lanjutan. Dari hasil
analisis tersebut perlu disarankan kepada penelitian lanjutan sebagai berikut:
(1) Disarankan kepada peneliti lanjutan untuk menganalisis pola bahasa
persfektif apraisal dari data sidang pengadilan dengan tema yang berbeda
seperti persidangan korupsi, terorisme, dan pemilu. Diasumsikan penelitian
tersebut kaya akan temuan.
(2) Disarankan analisis pola bahasa dan makna semiotik forensik perlu
dikembangkan dengan membandingkan jenis kasus yang sama dengan data
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
298
yang berbeda. Hal ini juga akan mengungkap temuan yang menarik dalam
linguistik forensik.
(3) Perlu dilakukan penelitian pola bahasa dengan data teks undang-undang yang
berbeda agar memperoleh gambaran yang baik dalam memilih leksis yang
sesuai dengan fungsi dan peran kata untuk menjelaskan makna dalam
perundang-undangan serta menghindarkan multitafsir.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
299
DAFTAR PUSTAKA
Bachari, A. D. 2017. “Kebijakan Bahasa untuk Penyidikan Perkara Pidana di
Indonesia”. Prosiding Seminar Tahunan Linguistik (Setali 2017). Universitas Pendidikan Indonesia.
Bhatia, V. K. 2004. Worlds of Written Discourse. London: Continuum. Breeze, R. 2016. “Appraisal Analysis of Dissenting and Concurring Opinions”.
Discourse and Practice in International Commercial Arbitration (Issues, Challenges, and Prospects). London: Routledge.
Brown, G. dan G. Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press. Coulthard, M dan A. Johnson. 2007. An Introduction to Forensic Linguistics:
Language and Evidence. London: Routledge. Coulthard, M dan A. Johnson. 2010. The Routledge Handbook of Forensic
Linguistics. London: Routledge. Correa. M. 2013. “Forensic Linguistics: An Overview of the Intersection and
Interaction of Language and Law” Studies About Languages 2013 No. 23. USA: Colorado State University.
Corrinton, R. 1993. An Introduction to Charles S. Peirce. Lanham, Maryland:
Rowman and Littlefield Publishers. Crystal, D. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. 6th Edition. Oxford:
Blackwell Publishing. Creswell, J. W. 2014. Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Fourth Edition: Sage. Giner, D. 2009. “A Contribution to the Contrastive Analysis of Persuasion
through Interactional Elements in International Commercial Awards and Judgements”. Paper presented at First International Seminar on Langguages for Business. Avila.
Eggins, S. 1994. An Introductions to Systemic Fuctional Linguistics. London:
Pinter Eggins, S. 2004. An Introductions to Systemic Fuctional Linguistics. Edisi 2.
London: Continuum. Fairclough, N. 1989. Language and Power. Longman: Longman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
300
Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Blackwell
Publishers.
Fowler, R. dan G. Kress. 1979. “Rules and Regulation” dalam Roger Fowler et
all, Langguage and Control, 26-45. London: Routledge and Kegan Paul.
Gibbons, J. dan M. T. Turell. 2008. Dimensions of Forensic Linguistics. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Gibbons, J. 2007. Forensic Linguistics, an Introduction to Langguage In the Justice System. Oxford: Blackwell Publishing.
Halliday, M. A. K dan R. Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social-Semiotic Perspectives. Geelong, Victoria: Deakin University Press.
Halliday, M. A. K. 1985. Introduction to Functional Grammar. London: Arnold. Halliday, M. A. K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. Second
Edition. London: Arnold. Halliday, M. A. K dan C.M.I.M. Matthiessen. 2004. Introduction to Functional
Grammar. Third edition. London: Arnold. Halliday, M. A. K. 2004. The Langguage of Early Childhood. London.
Continuum. Hoed, B. H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas
Bambu. Iedema, R. 1997. “The Langguage of Administration: Organizing human activity
in formal Institutions” in Frances Christie dan J.R. Martin. Genre and Institutions: Social Processes in the Workplace and school. London: Continuum.
Kevelson, R. 1988. The Law as a System of Sign. New York: Plenum Publishers. Kress, G. dan T. Leeuwen. 2006. Reading Images: The Grammar of Visual
Design. London: Routledge. Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik [Edisi Keempat]. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Latif, A. 2007. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokratis. Yogyakarta: CV Kreasi Total Media.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
301
Larsen, S. E. 1994. Semiotics. Terjemahan Sudaryanto [Cetakan Ketiga 2012]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten Bekerjasama dengan Yayasan Ekalawya.
Martin, J. R.1992. English Text, System and Structure. Philadelphia/Amsterdam:
John Benjamins Publishing Company. Martin, J. R. 1985. Factual Writing: Exploring and Challengin Social Reality.
Geelong: Deakin University Press. Martin. J. R. 2000. ‟Beyond exchange: Appraisal systems in English.‟ dalamS.
Hunston and G. Thompson, ed, Evaluation in text: Authorial stance and the construction of discourse. Oxford: Oxford University Press. pp. 142–175.
Martin, J. R. 2004. „Mourning: How we get aligned.‟ Discourse and Society 15.2-
3; 321-344. Martin, J. R. dan D. Rose. 2003. Working with Discourse: Meaning beyond the
Clause. London: Continuum. Martin, J. R. dan White. 2005. Language of Evaluation: Appraisal in English.
London: UK: Palgrave. Martinez, L. 2009. Analysing Generic Integrity in Professional Discourses: The
Case of Intellectual Property Arbitration. In Perez-Lantada, Carmen and Watson, Martha (Eds) Language for Business: A Global Approach. Zaragoza, Prensas Universitarias de Zaragoza.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maschi, Tina, Carolyne Bradley, Kelly Ward (eds). 2009. Forensic Social Work: Psycho-social and Legal Issues in Diverse Practice Settings. New York: Springer Publication Company.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2005. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Jakarta.
McMenamin, G. R. 2001. Forensic Linguistics: Advances in Forensik Stylistics.
Miles, B. M., A. M., Huberman, dan J. Saldana. 2014. Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Edition 3. United States of America. SAGE Publications, Inc.
Moleong, L. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif [Edisi Revisi]. Bandung: Rosdakarya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
302
Musfiroh, T. 2014. Linguistik Forensik dalam Masyarakat Multikultural. Bahasa dan Sastra dalam Persfektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY.
Matanggui, J. H. 2013. Bahasa Indonesia untuk Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Grasindo.
Noth, W. 1995. Handbook of Semiotics. USA: American University Press. Olsson, J., 2008. Forensic Linguistics. Second Edition. London: Continuum.
Piliang, Y. A. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari.
Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan Republik. 2016. Pedoman Kajian Linguistik Forensik. Jakarta.
Purnomo, M. E. 2011 “AWK untuk Menemukan Ideologi yang Tersembunyi”. Diunduh tanggal 10 Maret 2012 www.unsri.ac.id/?act=info_detil&id=263
Santoso, R. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: JP
Press. Santosa, P. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung.
Angkasa. Santoso, I. 2014. “Mengenal Linguistik Forensik: Linguis Sebagai Saksi Ahli
dalam Kaitannya dengan Pendidikan Karakter” (Makalah dalam memantapkan pendidikan karakter untuk melahirkan insan bermoral, humanis dan profesional). Yogyakarta: UNY Press.
Sawirman, Hadi, dan Yusdi. 2014. Liguistik Forensik (Volume 1). Padang:
Andalas University Press. Sawirman, Hadi, dan Yusdi. 2015. Liguistik Forensik (Volume 2). Padang: Pusat
Studi Ketahanan Nasional Universitas Andalas. Setia, E. 2008. “Klausa Kompleks dan Realisasi Pengalaman dalam Teks
Peradilan (Kasus Bom Bali I): Sebuah Analisis Linguistik Fungsional Sistemik”. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.
Sinar, T. S. 2008. Phrasal and Experiential Realizations in Lecture Discourse: A
Systemic Functional Analysis. Medan: Kopertis Wilayah I Sumut-NAD. Sinar, T. S. 2003. Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Linguistik Sistemik-
Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
303
Sibarani, R. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Siregar, B. U. 2005. ”Menjajaki Bahasa Evaluatif: Evaluasi, Sikap Mental, dan
Apraisal”. Medan: Kumpulan Makalah PLU-3. Sidik, S. 2013. “Dampak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) terhadap Perubahan Hukum dan Sosial dalam Masyarakat”. Jurnal Ilmiah Widya. Volume. 1 No. 1 Mei-Juni 2013 hal. 7.
Stake, R. E. 1995. The Art of Case Study Research. Thousand Oaks. CA: Sage. Susanto, A. F. 2005. Semiotika Hukum: dari Dekonstruksi Teks Menuju
Progresivitas Makna. Bandung: Refika Aditama. Sumarsih. 2009. “Penggambaran Sikap, Pendirian, dan Penilaian dalam Teks dan
Konteks melalui Bahasa Evaluatif”. Disertasi tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Suriyadi. 2015. “Apraisal dalam Teks Editorial di Medan”. Disertasi. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suhandono. 2017. “Ilmu Forensik Kesaksian Ilmu Bahasa dalam Sidang
Pengadilan”. UGM. Prosiding Seminar Nasional bahasa, sastra, dan budaya. Implementasi Gerakan Literasi menuju masyarakat mandiri berkemajuan.
Soetanto, S. D. P. 2008. “Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak
Pidana pada KUHAP dan UU Khusus di Indonesia”. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret.
Tiersma, P. 2016. ”What is Forensic Linguistics?” Artikel pada
http://www.languageandlaw.org/FORENSIC.HTM. Tanggal pengunduhan 11 Januari 2016.
Tiersma, P. 1999. ”The Nature of Legal Language, Artikel pada
http://www.languageandlaw.org/NATURE.HTM]. Tanggal pengunduhan 15 Agustus 2018.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
304
Tobing, R. L, dkk. 2010. “Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang Efektivitas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Kementerian Hukum dan Ham RI.
Udina, N. 2016. “Forensic Linguistics Implications for Legal Education: Creating
The Etextbook on Language and Law”. 7th International Conference on Intercultural Education “Education, Health, and ICT for a Transcultural World”. Almeria, Spain: EDUHEM 2016, 15-17 June 2016.
Van Dijk, T. A. 1997. Discourse as Structure and Process Discourse Studies a
Multidisciplinary Introduction Volume I. London: Sage Publication. Widdowson, H. G. 2007. Discourse Analysis. Oxford: Oxford University Press. Wolcher, L. E. 2006. “How Legal Language Works” UNBOUND Vol. 2: 91,
2006. Yin, R. K. 2009. Case Srudy Research: Design and Methods (edisi ke 4).
Thousand Oaks, CA: Sage. Yin, R. K. 2012. Amplications of Case Study Research (edisi ke 3). Thousand
Oaks, CA: Sage.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
305
Daftar Sumber Data
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tanggal 21 April 2008.
2. Sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Rabu, tanggal 24 Pebruari tahun 2016.
3. Sidang panel perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Selasa, tanggal 08 Maret tahun 2016.
4. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Senin, tanggal 11 April tahun 2016.
5. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (bagian satu) hari Rabu, tanggal 20 April tahun 2016.
6. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (bagian dua) hari Rabu, tanggal 20 April tahun 2016.
7. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Selasa, tanggal 03 Mei tahun 2016.
8. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Kamis, tanggal 19 Mei tahun 2016.
9. Sidang pleno perkara No.20/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hari Rabu, 07 September 2016.
10. Salinan PutusanNo.20/PUU-XIV/2016 (perkara pengujian undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).
11. Transkrip lengkap percakapan 120 menit “Papa Minta Saham” tribun-timur.com, http://makassar.tribunnews.com/2015/12/03/transkrip-lengkap-percakapan-120-menit-papa-minta-saham?page=all.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
306
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi Linguistik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
307
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
top related