kajian pratek manajemen laba -...
Post on 03-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KAJIAN PRATEK MANAJEMEN LABA
MELALUI KEBIJAKAN AKRUAL (DISCREATIONARY ACCRUALS)
Oleh :
Drs. Banter Laksana, MM.
Iwan Dermawan, SE.Akt
Abstrak Studi ini bertujuan memberikan gambaran tentang penerapan Manajemen laba yang menggunakan income
increasing discreationary accruals dan income descreasing discreationary accruals, sebagai implikasi dari hubungan
keagenan. Dalam prospektus perusahaan laporan keuangan dan laporan nonkeuangan sebagai informasi yang dapat
memberikan harapan kepada investor dan kreditor.
Tetapi perbedaan informasi yang dimiliki investor jika dibandingkan dengan manajer (agent) tentang peru-
sahaan dimana investor akan menginvestasikan dananya merupakan asimetri informasi antara manajer dan investor.
Keadaan ini mendorong manajer menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui investor dimana mana-
jer dapat mempengaruhi penyajian angka-angka akuntansi dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manaje-
men laba.
Satu cara yang digunakan oleh manajer untuk mendapatkan kontrak dari investor dengan memberikan in-
formasi laba dengan kebijakan akrual ( accrual descreationary). Pemanfaatan kebijakan akrual dengan manajemen
laba karena lebih sulit dideteksi investor. Perilaku manajer melakukan manajemen laba melalui kebijakan akuntansi
akrual, dapat dikurangi melalui kepemilikan perusahaan oleh manajer sebagai Insider Ownership.
Kata kunci: Manajemen laba, Asimetri informasi, Kebijakan akrual, Insider Ownership.
Abstract This study aim to give descriptive presentation about Earnings Management by applying income increasing
discreationary accruals and income descreasing discreationary accruals as implication from the relation of agent.
Financial Statements and nonfinancial statement in company prospectus is expected able to give information to
investor and creditor.
But lack of information owned by investor if compared to to be owned a manager ( agent) about company
where investor will invest the fund resulting assymetric of information between managers and investor. This
condition, pushs manager to hide some unknown information of investor, where manager can influence accounting
numbers presented in financial statements by the way of doing earnings management.
One of way applied by manager to get job contract with investor is by giving information of income
through accrual policy ( accrual descreationary). Policy usage of akrual by manipulation earnings management
because more difficult to be detected investor. To lessen behavior of manager does management of income through
policy of accrual accounting, owner of company can give freehold asset to manager as Insider Ownership.
Keyword : Earnings Management, Assymetric of information, Accrual Policy , Insider Ownership.
Pendahuluan.
Pada perusahaan public, telah terjadi pe-
misahan fungsi, yaitu fungsi kepemilikan dan fungsi
pengendalian. Fungsi pengendalian dipegang para
manajer, dan fungsi kepemilikan dipegang oleh
pemilik. Dengan adanya pemisahan fungsi ini
menjadi awal penyebab terjadinya konflik dan
menjadi masalah keagenan antara pemilik dan
manajer. Jensen dan Mekling (1976) dalam Theory
Agency, mengatakan konflik keagenan terjadi karena
adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian. Konflik keagenan dapat menyebabkan penurunan
nilai perusahaan, dan penurunan nilai perusahaan
akan mempengaruhi kekayaan dari pemilik perusaha-
an, sehingga pemilik perusahaan akan melakukan
tindakan pengawasan terhadap perilaku manajer.
Selanjutnya Jensen dan Mekling (1976), mengatakan
bahwa obat yang paling mujarab untuk mengurangi
adanya persoalan agensi didalam sebuah perusahaan
adalah dengan peningkatan kepemilikan oleh manaje-
men (Insider Ownership). Menurut Asymmetric
2
information theory, pemisahan fungsi antara fungsi
kepemilikan dan fungsi pengendalian menyebabkan
pemilik (principle) perusahaan kurang memiliki
informasi tentang nilai perusahaan dibandingkan ma-
najemen.
Informasi keuangan Perusahaan berbentuk
laporan keuangan sangat dibutukan oleh pihak- pihak
yang berkepentingan terhadap posisi keuangan peru-
sahaan seperti pemilik perusahaan, manajer/ pimpin-
an, investor, karyawan, kreditor/banker, suplier,
pemerintah dan masyarakat. Pemilik dapat menilai
sukses tidaknya manajer dalam memimpin perusaha-
an dan kesuksesan tersebut dapat diukur dengan laba
yang diperoleh perusahaan. Bagi manajer untuk
mengetahui perkembangan keuangan perusahaan dan
hasil-hasil keuangan yang telah dicapai baik pada
waktu-waktu yang lalu maupun waktu sekarang. Bagi
investor untuk penentuan kebijaksanaan penanaman
modal apakah akan menanamkan modalnya dalam
bentuk obligasi, saham biasa atau saham preferen,
akan tergantung pada hasil analisis. Bagi karyawan
untuk mengetahui apabila terjadi perubahan atau
perkembangan posisi keuangan pada perusahaan
yang bersangkutan. Bagi Kreditur/Bankkers, untuk
mengetahui posisi keuangan perusahaan yang meng-
ajukan kredit sebelum mengambil keputusan untuk
memberi atau menolak permintaan kredit. Suplier
ingin mengetahui harga penjualan persatuan, syarat
pembayaran utang, dan discount pembelian tunai.
Bagi Pemerintah, untuk menentukan besarnya pajak
yang akan ditanggung perusahaan sebagai dasar pe-
rencanaan pemerintah. Dan bagi Masyarakat Umum,
untuk mengetahui tersedianya kesempatan kerja, serta
fasilitas-fasilitas lain yang bermanfaat bagi masya-
rakat.
Informasi keuangan dapat diperoleh melalui
laporan keuangan yang terdiri dari: neraca, laporan
rugi-laba, laporan arus kas, dan laporan keuangan
lainnya. Salah satu syarat yang ditetapkan oleh Ba-
pepam untuk perusahaan yang akan go public ada-
lah menyediakan dokumen prospectus. Isi dari pros-
pektus adalah informasi keuangan dan nonkeuangan,
informasi keuangan sebagai salah satu sumber utama
dalam penentuan harga saham di pasar perdana atau
IPO (Initial Public Offering). Sedangkan informasi
nonkeuangan berisi tentang penjamin emisi, auditor
independen, konsultan hukum, nilai penawaran sa-
ham, persentase saham yang ditawarkan, umur peru-
sahaan, dan informasi lain yang mendukung.
Laporan keuangan diharapkan dapat mem-
berikan informasi bagi investor dan kreditor untuk
mengambil keputusan tentang investasi dana mereka
di bursa efek. Manajer sebagai pengelola perusahaan
berkewajiban memberikan sinyal tentang kondisi pe-
rusahaan melalui pengungkapan informasi akuntansi
seperti laporan keuangan kepada pemilik, dan inves-
tor. Karena manajer perusahaan lebih banyak menge-
tahui informasi internal dan prospek perusahaan di
masa yang akan datang dibandingkan pemilik dan
investor. Informasi yang disampaikan manajer ter-
kadang diterima tidak sesuai dengan kondisi peru-
sahaan yang sebenarnya, hal ini menimbulkan asi-
metri informasi. Asimetri informasi terjadi karena
manajer lebih superrior dalam menguasai informasi
dibandingkan pemilik atau pemegang saham dan in-
vestor. Kondisi seperti inilah yang sering mendo-
rong manajer dalam mengelola laba perusahan me-
lakukan manajemen laba.
Asimetri informasi antara manajer dengan
pemilik dan investor memberikan kesempatan kepa-
da manajer untuk bertindak lebih oportunis, yaitu
untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal
pelaporan keuangan manajer dapt melakukan manaje-
men laba untuk menyesatkan pemilik dan investor
tentang kinerja keuangan perusahaan. Beberapa kasus
yang terjadi di Indonesia seperti, PT Lipo Tbk., PT.
Kimia Farma Tbk, telah melibatkan pelaporan
keuangan yang berawal dari terdeteksi adanya mani-
pulasi (Gideon 2005).
Praktek manajemen laba atau manipulasi
dalam pelaporan keuangan oleh manajer disebabkan
karena adanya asimetri informasi antara manajer,
pemilik dan investor. Ada beberapa alasan manaje-
men laba dilakukan, diantaranya untuk meningkat-
kan harga saham yang akan diperjual-belikan oleh
perusahaan. Manajer dalam melakukan manajemen
laba cenderung lebih suka menggunakan transaksi
akrual, karena alasannya kebijakan akrual lebih sulit
dideteksi apabila dibandingkan dengan kebijakan
metode akuntansi. Menurut Du Charme et al. (2000),
manajemen laba dapat dilakukan dengan memilih
prosedur akuntansi atau melalui transaksi akrual.
Kajian ini berupaya memberikan diskripsi
tentang topik tersebut dengan mengawalinya mela-
lui diskripsi teori keagenan dan asimetri informasi.
Diskripsi selanjutnya tentang manajemen laba , kebi-
jakan akrual, dan Insider Ownership.
Teori Keagenan dan Asimetri Informasi (Agency Theory and Asymmetric Information) Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan
hubungan keagenan sebagai suatu kontrak yang mana
satu atau lebih principal menggunakan orang lain
atau agen untuk menjalankan aktivitas perusahaan.
Masalah agen muncul karena pemisahan antara pe-
milik atau ownership dan pengelola atau manager/
agent (Fama 1980). Agen sebagai pengelola dapat
melakukan dua fungsi yaitu, (i). sebagai entrepeneur,
dan (ii). sebagai risk bearer/taker. Yang dikuatirkan
dalam hal ini, agen dapat melakukan suatu tindakan
tidak terpuji (moral hazard) yakni memanfaatkan
3
fasilitas perusahaan atau mengambil risiko berlebih-
an demi kepentingan pribadi atas biaya pemilik. Teo-
ri keagenan dipandang yang membuat suatu model
kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), di-
mana salah satu pihak adalah agen (manajer) dan
pihak yang lain adalah pemilik (principal). Pimilik
mendelegasikan pertanggungjawaban atas pengam-
bilan keputusan kepada manajer, hal ini dapat dikata-
kan bahwa pemilik memberikan amanah kepada ma-
najer untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai de-
ngan kontrak kerja yang disepakati.
Menurut Scott (2000), perusahaan mempu-
nyai banyak kontrak misalnya kontrak kerja antara
perusahaan dengan para manajernya dan kontrak
pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya.
Kontrak kerja yang dimaksud adalah kontrak kerja
antara pemilik modal dengan manajer perusahaan
dimana antara agen dan principal ingin memaksi-
mumkan kegunaan (utility) masing-masing dengan
informasi yang dimiliki. Tetapi disatu sisi agen
memiliki informasi yang lebih banyak dibanding-
kan dengan principal disisi lain, demikian juga de-
ngan pihak luar (investor) sehingga mengakibatkan
adanya asimetri informasi. Bagi manajer asimetri
informasi merupakan insentif dalam berperilaku
opportunistik untuk meningkatkan kesejahteraan
sendiri dan mengabaikan kepentingan pemilik peru-
sahaan dan nilai perusahaan. Asimetri informasi me-
nimbulkan konflik kepentingan antara pemilik dan
manejer dan menyebabkan biaya keagenan yang di-
tanggung oleh Pemilik perusahaan. Manajer lebih
banyak mengetahui informasi internal dan prospek
perusahaan dimasa mendatang dibandingkan pemi-
lik. Oleh karena itu manajer berkewajiban mem-
berikan sinyal tentang kondisi perusahaan kepada pe-
milik, dengan cara melalui pengungkapan informasi
akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuang-
an ini juga sangat penting bagi pengguna eksternal
selain pengguna internal perusahaan. Apabila asi-
metri informasi antara manajer dan investor sema-
kin besar, maka kecenderungan praktek manajemen
laba akan semakin besar dilakukan oleh manajer
perusahaan.
Manajemen Laba (Earnings management) Manajemen laba adalah sebagai suatu inter-
vensi manajemen dengan maksud tertentu terhadap
proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja
untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi
(Schipper 1989). Pendapat yang sama seperti itu me-
ngatakan Manajemen laba adalah intervensi manaje-
men dalam proses menyusun laporan keuangan eks-
ternal sehingga dapat menaikkan atau menurunkan
laba akuntansi sesuai kepentingannya (Scott 1997).
Menurut penjelasan Fischer dan Rosenzweig (1995),
manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer
dengan menyajikan laporan yang menaikkan (menu-
runkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang
menjadi tanggung jawabnya, tanpa menimbulkan ke-
naikkan (penurunan) profitabiliti ekonomi unit terse-
but dalam jangka panjang. Ada yang mendifiniskan
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgement) dalam pelaporan keuang-
an dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan
keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besar-
an (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders
tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mem-
pengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung
pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Penetapan standar akuntansi pd laporan ke-
uangan perusahaan ada yang bersifat wajib ditaati
dan ada yang bersifat manajemen leluasa memilih
sehingga manajer akan memilih satu metode yang
dianggap paling meng-untungkan bagi manajer.
Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001) mendifi-
nisikan Earnings Management menjadi dua yaitu :
1. Earnings management dalam arti sempit hanya
berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi.
Earnings mana gement didifinisikan sebagai perilaku
manajer untuk „bermain‟ dengan komponen discrea-
tionary accruals dalam menentukan besarnya ear-
nings.
2. Dalam arti luas, Earnings management merupakan
tindakan manajer untuk meningkatkan/mengurangi
laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit tempat
manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan
peningkatan/penurunan profitabilitas ekonomis jang-
ka panjang unit tersebut. Menurut teori akuntansi po-
sitif mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen
laba yaitu, 1). hipotesis program bonus (the bonus
plan hypothesis), 2). hipotesis perjanjian hutang (the
debt covenant hypothesis), dan 3). hiptesis biaya
politik (the political cost hypothesis).
Manajer perusahaan tergerak dalam mela-
porkan laba yang diperoleh untuk mendapatkan bo-
nus yang dihitung atas laba tersebut. Dengan adanya
perencanaan bonus, mendorong manajer perusahaan
lebih memungkinkan menggunakan metode akuntansi
yang dapat meningkatkan pendapatan yang dilapor-
kan pada periode yang berjalan. Menurut Belkoui dan
Riahi (2000), alasan tindakan seperti itu mungkin
akan meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak
ada penyesuaian untuk metode yang dipilih.
Menurut Scott (2000), ada beberapa motiva-
si lain yang dapat mendorong praktik manajemen la-
ba dalam laporan keuangan, yaitu :
1. Bonus Scheme
Manajemen mempunyai informasi tentang laba
bersih sebelum dilaporkan dalam laporan keuangan
dan pihak luar seperti investor tidak akan mengetahui
sampai mereka membaca laporan keuangan tersebut.
Karena itu, manajer berusaha untuk mengatur laba
bersih sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka
4
berdasarkan rencana kompensasi perusahaan dengan
cara mengubah angka-angka akrual laba dalam lapor-
an keuangan.
2. Debt Covenant
Suatu perjanjian yang berfungsi untuk melindungi
kreditur dari tindakan manajer terhadap ke pentingan
kreditur. Manajemen laba dalam konteks kontrak
utang jangka panjang ini sering dilakukan oleh peru-
sahaan yang berma salah karena kelangsungan hidup
perusahaannya sedang terancam.
3. Motivasi Politik
Aspek politik yang sangat rawan ini tidak akan
pernah dapat dilepaskan dari perusahaan khususnya
perusahaan berskala besar dan industri strategis kare-
na kegiatannya yang melibatkan hajat hidup orang
banyak.
4. Motivasi Pajak
Pajak adalah alasan utama perusahaan melakukan
manajemen laba dengan mengurangi laba bersih yang
dilapor kan dalam laporan keuangan. Dengan kecil-
nya angka laba bersih maka kecil juga pajak yang
akan dikeluarkan suatu perusahaan.
5. Pergantian CEO
Pergantian CEO dalam perusahaan membuat para
CEO harus tetap waspada agar mereka tetap dapat
mempertahankan jabatannya. Biasanya mereka ber-
usaha memaksimalkan pendapatan agar mereka da-
pat tetap survive dalam perusahaan.
6. IPO (Initial Public Offering)
Perusahaan yang melakukan IPO tidak memiliki
harga saham tetap. Untuk menentukan nilai saham
yang tetap, perusahaan melakukan tawar-menawar
informasi keuangan yang ada dalam prospektus yang
merupakan sumber informasi yang sangat berguna
bagi perusahaan yang baru pertama kali menawarkan
sahamnya di pasar modal.
Selanjutnya menurut Scott (2000), ada
beberapa macam bentuk manajemen laba yang
dapat digunakan manajer antara lain adalah :
1). Taking a bath
Bentuk ini digunakan jika manajer merasa harus
melaporkan kerugian dalam jumlah yang besar
selama periode reorganisasi. Manajemen laba ini
mengakui adanya biaya-biaya periode mendatang dan
kerugian periode berjaan ketika keadaan buruk dan
tidak dapat dihindari. Dalam hal ini manajemen akan
menghapus beberapa aktiva dan membebankan pada
perkiraan biaya mendatang, sehingga akibatnya laba
periode berikutnya menjadi lebih tinggi dari kenya-
taannya.
2). Income minimization
Mengambil jatah laba sebelumnya jika manajer
mengetahui bahwa periode yang akan datang laba
akan turun drastis. Cara ini biasanya digunakan se-
lama periode akuntansi dengan profitabilitas tinggi.
3). Income maximization
Perekayasaan laba untuk mendapatkan bonus. Hal
ini dilakukan dengan cara menaikkan laba dalam la-
poran ke uangan karena manajer ingin mendapatkan
bonus sebagaimana kompensasi bonus berdasarkan
besarnya laba.
4). Income smoothing
Bentuk manajemen laba ini dengan cara
melaporkan perataan laba untuk tujuan pelaporan
eksternal, yaitu pada investor. Melalui income smoo-
thing, manajer dapat menaikkan atau menurunkan
laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan
sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko
tinggi.
5). Offsetting Extraordinary
Memindahkan dampak laba yang tidak biasa atau
luar biasa (temporal) yang berlawanan dengan tren
laba ke dalam tren tertentu.
6). Aggressive accounting application
Bentuk ini terkadang diartikan dengan salah saji
pada laporan keuangan. Cara ini digunakan untuk
membagi laba antar periode.
7). Timing revenue and expense recognitions
Bentuk ini dengan membuat kebijakan tertentu
yang berkaitan dengan periode terjadinya transaksi
(yang bisa mengenai transaksi akrual), seperti a).
mengakui beban dengan metode tertentu misalnya
metode successful effort untuk pengakuan biaya
eksplorasi dan minyak bumi, b). mengakui penda-
patan sebelum terjadinya transaksi, dan c). mengakui
pendapatan sebelum penjual telah memenuhi syarat-
syarat dalam kontrak penjualan.
Pada umumnya teknik yang digunakan
untuk melakukan manajemen laba menurut Ketz
(1999) ada dua yaitu:
1. Income increasing (Meningkatkan laba)
Manajemen laba dapat dilakukan dengan cara front-
leading revenue dan back leading expense yang me-
manfaatkan prinsip kecocokan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari penampakan adanya berbagai
masalah, yaitu pertumbuhan perolehan laba.
2. Income decreasing (Menurunkan laba)
Manajemen laba dengan menurunkan laba dapat
dilakukan pada saat perusahaan mengalami krisis
karena proyek yang bagus memiliki laba yang tinggi
dan perusahaan berusaha untuk menyimpan sebagian
dari labanya.
Teknik ini disebut perataan laba, tetapi dapat
berakibat buruk, karena mereka dapat memberikan
persepsi bahwa manajemen telah melaporkan
kebenaran.
Terjadinya penyimpangan laba dalam la-
poran keuangan oleh manajer keuangan disebab-
kan; pertama, karena besarnya kewenangan mana-
jer untuk memilih metode akuntansi yang akan di-
gunakan dalam mencatat dan mengungkapkan in-
formasi privat yang dimiliki (Midiastuty dan Mach-
5
foedz, 2003). Kedua, adanya informasi asimetri
antara manajer dan dengan pihak luar (Healy dan
Palepu, 1993). Kewenangan penetapan standar
kuntansi oleh manajer ada yang bersifat mandatory
(wajib ditaati) dan ada yang bersifat voluntary (ma-
najemen leluasa memi-lih), sehingga manajer akan
memilih satu metode yang dianggap paling mengun-
tungkan. Sikap manajer seperti ini disebut oportunis-
tik dimana sikap atau perilaku oportunistik manajer
biasanya terjadi pada saat perusahaan akan menawar-
kan saham perdananya di pasar modal sebelum peru-
sahaan go public disebut IPO (Initial Public Offe-
ring). Asimetri Informasi dan Manajemen Laba. Manajer relatif memiliki informasi lebih
banyak dibandingkan dengan pemilik dan pihak
luar (investor). Jadi, tidak mungkin bagi pemilik dan
investor untuk dapat mengawasi semua perilaku dan
semua keputusan manajer secara rinci. Veronica dan
Bachtiar (2003), mengatakan asimetri informasi
merupakan satu kondisi dimana saat satu pihak me-
miliki informasi yang tidak diketahui oleh pihak lain.
Menurut Teoh et al.(1997, 1998) dan Du Charme et
al (.2000), asimetri informasi tersebut yang mendo-
rong manajer melakukan earnings management se-
belum dan sesudah penawaran saham perdana.
Dalam penyajian informasi akuntansi yaitu
laporan keuangan manajer (agent) juga memiliki in-
formasi yang asimetri, sehingga dapat lebih fleksi-
bel mempengaruhi pelaporan keuangan untk memak-
simumkan kepentingan mereka. Menurut IAI (2002)
tujuan laporan keuangan adalah menyediakan infor-
masi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta
perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaa t bagi sejumlah besar pemakai laporan ke-
uangan dlm pengambilan keputusan ekonomi. Tetapi
karena adanya asimetri informasi, maka manajer da-
pat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang di-
sajikan dalam laporan keuangan dengan cara melaku-
kan manajemen laba. Kebijakan akrual (Discreationary accruals)
Akuntansi akrual merupakan konsep yang
berkaitan dengan konsep periode waktu. Dasar akun-
tansi akrual bahwa pendapatan dan biaya-biaya dibe-
bankan keperiode akuntansi yang tepat yang tidak
memerlukan periode kas diterima atau dibayar. Atau
dasar akuntansi akrual, sistem akuntansi dimana pen-
dapatan dan biaya dicatat pada saat diperoleh dan ter-
jadi, tidak peduli kapan kas diterima atau dibayar. Ini
berarti bahwa transaksi akrual me-rupakan transaksi
yang tidak mempengaruhi aliran kas masuk dan alir-
an kas keluar. Dalam literatur akuntansi, transaksi
akrual biasanya dapat berupa transaksi yang bersifat
discreationary accruals dan non-discreationary
accruals. Discreationary accruals merupakan suatu
metode yang memberikan kebebasan pada seorang
manajer untuk menentukan jumlah transaksi akrual
secara fleksibel. Sedangkan non-discreationary
accruals adalah pencatatan transaksi dengan
menggunakan metode tertentu yang terjadi dan
diharapkan manajer akan konsisten dengan metode
tersebut.
Seorang manajer menggunakan Discreatio-
nary accruals dengan cara menggeser pendapatan
masa depan menjadi pendapatan sekarang. Discrea-
tionary accruals biasanya dilakukan perusahaan yang
akan go public, hal ini sesuai hasil penelitian Teoh
et al (1997), Discreationary accruals lebih banyak
dilakukan oleh perusahaan yang akan go public
dibandingkan dengan perusahaa yang tidak mela-
kukan penawaran saham perdana jika sudah menga-
lami go public. Melalui discreationary accruals telah
terbukti bahwa manajer melakukan manipulasi laba,
karena lebih sulit dideteksi oleh investor seperti
halnya dalam melakukan pembelian kembali saham
melalui penurunan laba (income decreasing), dan
pada saat melakukan IPO melalui kenaikkan laba
(income increasing).
Tindakan Discreationary accruals dengan
menaikan laba (income increasing), pada saat mela-
kukan IPO merupakan praktek manajemen laba
dengan menggeser pendapatan masa depan (future
earnings) menjadi pendapatan sekarang (current
earnings), sehingga laba pada periode akan dilapo-
rkan lebih tinggi dari seharusnya. Sehubungan de-
ngan hal itu (income increasing), Teoh et al.(1997,
1998), Espenlaub (1999) dalam Mardiyah (2003),
mengatakan meskipun dalam jangka pendek peru-
sahaan mampu mempertahankan kinerja yang dila-
porkan dengan lebih tinggi atau overperformance,
dalam jangka panjang penurunan kinerja tetap
terjadi. Menurut Jain dan Kini (1994), Ritter (1991)
dalam Mardiyah (2003), mengatakan bahkan penu-
runan kinerja laba tersebut tetap terjadi meskipun
terdapat pertumbuhan penjualan dan pengeluaran
modal yang tinggi setelah IPO tersebut. Penelitian
yang dilakukan Teoh et al. (1997), Healy dan Wahlen
(1998), menunjukan 62% perusahaan yang melaku-
kan IPO menerapkan manajemen laba dan ditemukan
bukti bahwa manajemen perusahaan yang melakukan
IPO kemungkinan besar menaikkan laba (income
increasing) dengan menggunakan kebijakan
depresiasi dan pengakuan kerugian piutang pada saat
IPO dan beberapa tahun setelah IPO.
Watts dan Zimmerman (1986) dalam
Maulana (2007), menyebutkan bahwa manajemen
korporasi yang nakal dan oportunistik bisa saja
memakai triktrik akuntansi untuk menghindari pajak.
Caranya adalah dengan melakukan manajemen laba
(earnings management), sehingga kinerja laba yang
dilaporkan tampak jelek. Teknik yang lazim diguna-
kan adalah dengan melakukan income minimization
6
atau income decreasing, yaitu manajemen melapor-
kan laba periode sekarang dengan nilai yang semini-
mal mungkin atau bahkan minus dengan menggeser
laba berja-lan keperiode-periode berikutnya.
Fenomena manajemen laba dengan mereka-
yasa laba yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar dunia seperti: Xerox, Tyco, Permalat Group,
Global Crossing, WorldCom, Enron dan HIH.
Perusahaan-perusahaan ini melakukan tipuan laporan
laba dengan tidak etis dan terbongkar, serta telah di-
pailitkan. Beberapa hasil studi empiris di Amirika
Serikat, Kanada dan Inggris mengatakan bahwa reka-
yasa laporan keuangan khususnya laba-rugi, dengan
cara-caranya yang tampaknya etis untuk tujuan kom-
pensasi manajemen, kontrak utang, menghindari pa-
jak, dan biaya politik. Di Indonesia kasus melakukan
tipuan laporan laba/rugi telah banyak dilakukan oleh
korporasi tetapi yang terungkap hanya segelintir saja,
dan sanksi yang dijatuhkan pemerintah relatif ringan.
Secara umum beberapa penelitian yang telah
dilakukan baik di pasar modal Amirika Serikat mau-
pun di pasar modal Indonesia, menunjukkan perusa-
haan–perusahaan banyak yang melakukan manaje-
menlaba disekitar IPO. Ada juga hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa tidak ada perlakuan mana-jemen
laba sebelum dan setelah IPO. Perbedaan be-berapa
hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bukti-bukti
tersebut tidak konsisten antara penelitian yang satu
dengan penelitian yang lain, tetapi secara keseluruhan
penelitian tersebut menemukan adanya bukti mana-
jemen laba. Seperti penelitian Friedlan (1994),
Magnan dan Courmir (1997), dan Teoh et al. (1998),
telah menemukan adanya manajemen laba untuk
menaikkan laba yang ada sebelum perusahaan akan
go public. Neill, Pourciau, dan Schaever (1995),
menemukan adanya hubungan antara pemilihan
metode akuntansi dan manajemen laba saat IPO.
Sedangkan Aharony et al.(1993), menemukan bukti
yang lemah bahwa manajer melakukan manajemen
laba dengan menaikkan laba (income increasing)
pada periode satu tahun sebelum pena waran saham
perdana.
Hasil penelitian para peneliti telah membuk-
tikan bahwa telah terjadi manajemen laba pada lapor-
an keuangan sebelum dan setelah perusahaan go pu-
blic. Gumanti (1996), pada penelitiannya menunjuk-
kan tidak ada manajemen laba sebelum IPO. Peneliti
Gumanti (2001), menggunakan model yang dikem-
bangkan oleh Friedlan (1994), hasilnya menunjukkan
bahwa manajemen laba ditemukan pada periode dua
tahun sebelum perusahaan melakukan IPO, sedang-
kan pada periode satu tahun sebelum go public, tidak
ditemukan adanya praktek manajemen laba. Hasil
penelitian dari Tiono et. al (2004) menunjukkan
bahwa perusahaan melakukan manajemen laba untuk
meningkatkan laba yang dilaporkan sebelum perusa-
haan go public, khususnya untuk periode dua tahun
dan satu tahun sebelum go public. Manajemen Laba dan Akuntansi Akrual Bentuk Manajemen Laba seperti perataan la-
ba sulit dibedakan dari pilihan akrual akuntansi seca-
ra tepat. Beberapa pernyataan yang merupakan garis
besar dari tujuan pelaporan keuangan dan hubungan-
nya dengan definisi akrual akuntansi seperti yang
dikeluarkan Financial Accounting Standard Board
(FASB) dalam Statement of Financial Accounting
Concepts (SFAC), adalah:
FASB (1978), SFAC no. 1, para 43 :
Fokus utama dari pelaporan keuangan
adalah informasi tentang kinerja suatu
perusahaan yang dihasilkan oleh laba dan
komponennya.
FASB (1985), SFAC no. 6, para 139 :
Akuntansi akrual menekankan pada catatan
pengaruh keuangan terhadap kesatuan
transaksi dan kejadian lain, dan keadaan
yang mempunyai konsekuensi kas untuk
kesatuan dalam periode kejadian atau
transaksi tersebut, dan keadaan yang terjadi,
daripada hanya dalam periode kas yang
diterima, atau dibayar oleh kesatuan
tersebut.
FASB (1985), SFAC no. 6, para 145:
Akuntansi akrual menggunakan akrual,
diferal, dan alokasi prosedur dengan tujuan
untuk menghubungkan pendapatan, biaya,
keuntungan, dan kerugian pada periode yang
meng-gambarkan kinerja dai satu kesatuan
selama satu periode, sebagai pengganti dari
penerimaan dan pengeluaran kas. Jadi pe-
ngakuan pendapatan, biaya, keuntungan,
kerugian dan yang berhubungan dengan
tambahan atau penurunan aktiva dan kewa-
jiban, yang meliputi penandingan pendapat-
an dan biaya, alokasi dan amortisasi adalah
intisari dari penggunaan akrual akuntansi
untuk pengukuran kinerja perusahaan.
Menurut (Dechow 1994), terdapat beberapa
bukti yang menunjukkan bahwa hasil dari
proses akrual yaitulaba yang dilaporkan
cenderung untuk lebih diratakan daripada
arus kas (cenderung bahwa akrual secara
negatif ber-hubungan dengan arus kas), dan
bahwa laba memberikan informasi yang
lebih baik tentang kinerja ekonomi kepada
investor daripada arus kas.
Selanjutnya Dechow et. al (1995), menje-
laskan ada beberapa model untuk mengidentifikasi-
kan manajemen laba pada laporan keuangan yaitu :
1. Model Healy
Model ini mengguanakan rata-rata dari total
akrual (TAt) dengan total asset yang di log (At-1) dari
7
periode esti masi sebagai ukuran untuk diskresioner.
Dan model untuk akrual non diskresioner dalam
peristiwa t (NDAt).
2. Model DeAngelo
Model ini mengguanakan total akrual periode ter-
akhir (TAt-1) dengan total asset waktu mundur (log
At-2) sebagai ukuran dari akrual non diskresioner.
Bagian dari akrual diskresioner adalah perbedaan
antara total akrual dalam peristiwa tahun yang di-
skala dengan At-1 dengan akrual non diskresioner
(NDAt).
3. Model Jones
Model ini berusaha untuk mengendalikan pe-
ngaruh dari perubahan lingkungan ekonomi peru-
sahaan terhadap akrual non diskresioner. Menurut
model ini pengukuran akrual diskresioner dengan
kesalahan ketika diskresi dipakai melalui pengakuan
pendapatan. Insider Ownership. Struktur kepemilikan (Ownership structure)
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk-
kan bahwa struktur modal tidak hanya ditentukan da-
ri jumlah utang dan modal, tetapi juga dari persentase
kepemilikan saham oleh inside shareholders dan out-
side shareholders, pendapat Jensen dan Meckling
(1976)., Demsetz dan Lehn (1985), menjelaskan bah-
wa konsentrasi kepemilikan menghilangkan konflik
kepentingan antara pemilik dan manajer karena in-
sentif yang dimiliki pemilik untuk memonitor mana-
jer. Penelitian Poun (1988), McConnell dan Servaes
(1990) serta Brickley, Lease dan Smith (1998), ha-
silnya mendukung pernyataan bahwa meningkatnya
konsentrasi kepemilikan akan meningkatkan nilai
perusahaan.
Kepemilikan yang besar (large shareho-
lders), dapat lebih mengendalikan perusahaan. Menu-
rut Shleifer dan Vishny (1997), pemilik besar dapat
melakukan pengawasan karena dapat memperoleh in-
formasi dan memonitor manajemen serta mempunyai
hak suara untuk menekan manajemen dalam beberapa
kasus. Kemudian Herschey dan Zaima (1989) dalam
Soliha dan Taswan (2002), memberikan bukti bahwa
keputusan menjual perusahaan dengan kepemilikan
insider yang lebih besar akan memperoleh respon
investor yang lebih menguntungkan daripada peru-
sahaan dengan kepemilikan insider yang lebih ren-
dah. Kajian Konflik agensi di sebabkan oleh kebijakan-
kebijakan tertentu yang dilakukan manajer perusaha-
an tanpa sepengetahuan dari pihak pemilik dan inves-
tor, seperti manajer menerapkan akuntansi akrual
dalam pelaporan keuangan. Jensen dan Meckling
(1976), menyatakan bahwa terjadinya konflik
keagenan disebabkan antara lain oleh pembuatan
keputusan yang berkaitan dengan; pertama, aktivitas
pencarian dana, dan kedua, pembuatan keputusan
yang berkaitan dengan bagaimana dana yang diper-
oleh tersebut diinvestasikan. Pendapat Watts dan
Zimmerman (1978), menyatakan bahwa kontrak ini
menciptakan dorongan untuk melakukan tindakan
manajemen laba, karena hal ini memungkinkan men-
jadi mahalnya kompensasi komite dan kreditur me-
lihatnya melalui manajemen laba.
Menurut Friedlan (1994), perilaku perusa-
haan sebelum melakukan Initial Public Offering
(IPO), diduga perusahaan melakukan accounting dis-
creation sebelumnya dengan harapan tingkat pe-
nerimaannya menjadi lebih tinggi. Hal ini sesuai
hasil penelitian Teoh et al.(1997), discreationary
accruals lebih banyak dilakukan oleh perusahaan
yang akan go public dibandingkan dengan perusa-
haan yang tidak melakukan penawaran saham per-
dana jika sudah mengalami go public. Melalui dis-
creationary accruals telah terbukti bahwa manajer
melakukan manipulasi laba karena lebih sulit di-
deteksi oleh investor seperti halnya dalam mela-
kukan pembelian kembali saham melalui penurunan
laba (income decreasing), dan pada saat melakukan
IPO melalui kenaikkan laba (income increasing).
Fenomena ini memungkinkan manajer peru-
sahaan yang akan gopublic untuk melakukan manaje-
men laba terhadap laporan keuangan dalam prospek-
tus guna mendapatkan harga saham yang tinggi.
Alasan yang lebih operasional dikemukakan oleh Lev
(2003), kenapa perusahaan termotivasi melakukan
manajemen laba, karena laba sering menjadi obyek
misstatement dan fraudelent (kecurangan) sebelum
didiseminasi ke pasar modal, karena laba merupakan
input utama dalam model-model valuasi investor dan
dapat mempengaruhi harga-harga sekuritas, nilai
kompensasi dan kekayaan para manajer korporasi.
Laba juga digunakan direksi, komisaris dan para
investor institusional untuk mengukur kinerja
korporasi dan kualitas manajemen. Dalam perjanjian
kontraktual dan pinjaman, pen-capaian target-target
profitabilitas oleh suatu korporasi juga menja-di basis
penilaian.
Model-model untuk mengidentifikasikan
manajemen laba pada laporan keuangan menurut
Dechow et. al (1995) yaitu : Model Healy, Model
DeAngelo, dan Model Jones. Karena keterbatasan
data laporan keuangan perusahaan yang tersedia
sebelum IPO (paling banyak 3 peride) dalam satu
tahun sebelum tanggal IPO, banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya praktik
manajemen laba dengan menggunakan model Jones.
Alasan menggunakan model ini karena menurut dari
Dechow et. al (1995), model Jones modifikasian me-
rupakan model yang paling kuat dalam mendeteksi
ada tidaknya praktik manajemen laba dalam perusa-
8
haan yang akan go public dan pada model ini manaje-
men laba terdapat discreationary accruals yang
signifikan.
Praktisi akuntansi sering berpendapat dan
memiliki persepsi yang berbeda dengan akademisi
terhadap manajemen laba. Praktisi dan regulator ber-
pendapat bahwa manajemen laba merupakan tindakan
lazim yang cenderung bermasalah, sehingga membu-
tuhkan usaha perbaikan lebih lanjut. Menurut para
akademisi umumnya lebih optimis, walaupun hasil
penelitian akademik memiliki keterbatasan untuk
membuktikan manajemen laba. Studi Jones (1991),
menawarkan suatu model untuk melindungi identitas
perusahaan yang melakukan tindakan manajemen
laba. Tujuan model Jones adalah, untuk memisahkan
ekspektasi nondiscreationary accruals dari disc-
reationary accruals yang dikelola. Menurut penda-
pat Dechow dan Skinner (2000), akademisi sering
mengandalkan pada efisiensi pasar untuk argumen
bahwa manajemen laba tidak menjadi masalah, se-
panjang hal tersebut diungkapkan secara penuh kepa-
da investor. Secara koseptual, ada dua motif utama
yang mendorong para manajer melakukan manaje-
men laba. Pertama, motif oportunistik untuk memak-
simumkan utilitas mereka dalam menhadapi kontrak
kompensasi, kontrak utang, dan political costs.
Kedua, motif antisipasi manajer dalam menghadapi
atau melakukan kontrak yang efisien, seperti dalam
kontrak kompensasi eksekutif dan kontrak utang.
Salah satu cara mekanisme kontrol untk me-
ngurangi konflik keagenan yaitu dengan meningkat-
kan insider ownership (Crutchley dan Hensen 1989,
Jensen, Solberg dan Zorn, 1992). Menurut pendekat-
an ini konflik keagenan dapat dikurangi apabila in-
sider mempunyai kepemilikan saham dalam perusa-
haan. Dengan adanya kepemilikan saham, maka in-
sider akan merasakan langsung manfaat dari kepu-
tusan yang diambilnya, demikian juga kerugian
yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah. Jensen dan Meckling (1976)
menyatakan kepemilikan ini mensejajarkan kepen-
tingan manajemen dengan pemegang saham. Dengan
demikian kepemilikan saham oleh manajemen meru-
pakan insentif bagi para manajer untuk mening-
katkan kinerja perusahaan dan manajer akan menggu-
nakan utang secara optimal sehingga meminimumkan
biaya keagenan. Menurut Scott (2003) pemilik mena-
warkan kepada para manajernya suatu hak opsi kepe-
milikan saham perusahaan (employee stock option
plan/ ESOP) sebagai suatu payoff atau kompensasi
manajerial. Alasannya, para manajer yang diberi
otoritas untuk menge-lola perusahaan dan juga hak
opsi saham tidak akan berperilaku oportunis karena
perusahaan adalah miliknya juga.
Konsentrasi kepemilikan dapat menguntung-
kan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian,
apabila kepemilikan semakin terkonsentrasi maka
pemegang saham akan mempresentasikan kepenting-
an mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan ke-
pentingan investor, pekerja dan manajer. Penelitian
Herschey dan Zaima (1989) dalam Soliha dan
Taswan (2002), memberikan bukti bahwa keputusan
untuk menjual perusahaan dengan kepemilikan insi-
der yang lebih besar akan memperoleh respon inves-
tor yang lebih menguntungkan daripada perusahaan
dengan kepemilikan insider yang lebih rendah. Implikasi Dengan memperhatikan diskripsi dari kajian
diatas, maka dapat dikatakan bahwa para manajer da-
pat menggunakan a simetri informasi untuk melaku
manajemen laba dengan kebijakan akuntansi akrual
dalam informasi pelaporan keuangan perusahaan.
Terutama pada saat perusahaan sebelum atau sesudah
melakukan Initial Public Offering (IPO). Pemilik da-
pat menggunakan kebijakan pengawasan yang ketat,
dimana insider dapat diberikan hak untuk kepemilik-
an saham perusahaan. Dengan kepemilikan insider
merupakan insentif bagi peningkatan kinerja perusa-
haan atau akan mempermudah mencapai nilai perusa-
haan yang diinginkan. Keterbatasan Kajian ini hanya terfokus pada insider ow-
nership untuk mengurangi perilaku oprtunistik para
manajer yang melakukan kesempatan adanya asimetri
informasi dengan kebijakan akuntansi akrual. Masih
terdapat metode atau cara-cara yang digunakan untuk
memonitor dan membatasi perilaku oportunistik ma-
najer, seperti pemilik dapat juga mewajibkan para
manajernya menerapkan Corporate Governance dan
prinsip-prinsip dasarnya: transparency, accountabi-
lity, responsebility, dan fairness. Serta belum mema-
sukkan institution ownership.
Referensi Crutchley, C. E dan R.S. Hensen, 1989, “A Test
of the Agency Theory of the Managerial Ownership,
Corporate Leverage, and Corporate Divident”,
Financial Management Winter, 36-46
Demsetz dan K. Lehn, 1985, “The Structure of
Corporate Ownership: Causes and Consequences”,
Journal of Political Econmy 88, 1155-1177
Durcharme, L., P.H. Malatesta and S.E. Sefcik,
2000, Earning Management: IPO Valuation and
Sub-sequent Performance, Working Paper, 8
Agustus.
Fama, E (1980), “Agency Problems and the Theory
of the Firm”, Journal of Political Economy (JPE),
288-307.
FASB, 1978, “Objectives of Financial Reporting by
Business Enterprises, Statement of Financial
Accounting Concept ”, No. 1, Norwalk, CT: FASB.
9
FASB, 1985, “Elements of Financial Statements,
Statement of Financial Accounting Concept ”, No. 6,
Norwalk, CT: FASB.
Fisher, Marilyn dan Kenneth Rosenzweig, 1995,
”Attitude af students and Accounting Practitioners
Concerning the Ethical Acceptability of Earnings
Management”,Journal of Business Ethics, Vol. &:
pp. 85-107.
Friedlan, John M, 1994, “Accounting Choices of
Issuers of Initial Public Offerings”, Contemporary
Accounting Research, Vol. 11, pp 1-31
Gideon SB., Budiono, 2005, “Studi Pengaruh
Mekanisme Corporate Governance dan Dampak
Manajemen Laba dengan menggunakan Analisis
Jalur”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, IAI,
2005.
Gumanti, T.A., 2001, “Earning Management dalam
Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Jakarta”,
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 4, no. 2., Mei,
hal. 165-183.
Healy, P.M., dan J.M. Wahlen, 1999, “A Review of
The Earning Managements Literature and
Implication far Standard Setting”, Working Paper.
Jensen, Michael C., & Meckling, William H., 1976,
“Theory of the Firm; Managerial Behavior, Agency
Cost, and Ownership Structure”, Journal of
Financial Economics, vol.3 no.4, October, pp 305-
360.
Jensen, G., D. Solberg, dan T. Zorn, 1992,
“Simultaneous Determination of Insider Ownership,
Debt and Divident Policy”, Journal of Financial and
Quantitative Analysis 27, 247-263
Jones, Jennifer J., 1991, “Earnings Management
During Import Relief Investigation”, Journal of
Accounting Research, 25, pp. 193-228.
Lev, B., 1989, “On the Usefulness of Earnings and
Earnings Research: Lessons and Directions From
Two Decade of Empirical Research”, Journal of
Accounting Research, Vol. 27, Suplement, pp. 153-
201
Lev, B., 2003, “Corporate Earnings: Facts and
Fiction”, Journal of Economic Perspectives, vol. 17,
no. 2, pp. 27-50
Lilis Setiawati, 2001, “ Rekayasa Akrual untuk
Meminimalkan Pajak”, Simposium Nasional
Akuntansi V, IAI
Mardiyah, A.A., 2003, “Hubungan Withdrawn
Initial Public Offerings (WIPO), Seasoned Equity
Offering (SEO), dan Earnings Management dengan
Initial Return, Simposium Nasional Akuntansi VI,
Surabaya, 16-17 Oktober.
Midiastuty, P.P. dan Machfoedz, M., 2003,
“Analisis Hubungan Mekanisme Corporate
Governance dan Indikasi Manajemen Laba”,
Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya, 16-17
Oktober.
Pound, J., 1988, “Proxy Contests and the Efficiency
of Shareholder Oversight”, Journal of Financial
Econmy 22, 237-265.
Ray Ball dan S.P. Kothari (Editor), 1994, Financial
Statement Analysis. McGraww-Hill, Inc., London
Schipper, K., 1989, “Commentary On Earning
Management”, Accounting Horizons:3,pp.91-102
Scott, William R., (2000), “Financial Accounting
Theory”, Second Edition, Canada: Prentice Hall.
------------------, (2003), “Financial Accounting
Theory”, Third Edition, Canada:Prentice Hall.
Shleifer, A., dan R. Vishny, 1986, “Large
Sharehol-ders and Corporate Control”, Journal of
Political Economics 95, June, 461-488.
Soliha, Euis dan Taswan , 2002, “Pengaruh
Kebijak-an Hutang Terhadap Nilai Perusahaan Serta
Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya”, Journal
Bisnis dan Ekonomi, Vol.9, no.2, September,
hal.120-148.
Teoh, S.H., T.J. Wong , dan G.R. Rao, 1997, “Are
Accruals During An Initial Public Offering
Opportunistic?”, Working Paper, July.
Teoh, S.H., I. Welch and T.J. Wong, 1998a,
“Earnings Management and The long Run Market
Performance of Initial Public Offerings”, The
Journal of Finance, Vol. LIII, no. 6, December,
pp.1935-1974.
Watts, Ross L., dan J.L. Zimmerman, 1986,
“Positive Accounting Theory”, New Jersey, Prentice
Hall, Inc Englewood Cliffs.
Widyaningdyah, A.L., 2001, “Analaisis Faktor-
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Earnings Management Pada Perusahaan Go Public di
Indonesia”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol.3,
no. 2, hal 89-102.
10
top related