kajian prospek konsep pidana kerja sosial pada … · advocate office drs. irpan yb, sh, mh,...
Post on 05-Jun-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
KAJIAN PROSPEK KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL
PADA RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA TAHUN 2010 DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagaian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
Aditya Danni Rosihandi
NIM. E0008269
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN PROSPEK KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL
PADA RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA TAHUN 2010 DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh
Aditya Danni Rosihandi
NIM. E0008269
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 5 Oktober 2012
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof.Dr. Supanto, S.H.,M.H. R. Ginting, S.H.,M.H.NIP. 19601107.198601.1.001 NIP. 19580105.198403.1.001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN PROSPEK KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL
PADA RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA TAHUN 2010 DALAM PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh
Aditya Danni Rosihandi
NIM. E0008269
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Jumat
Tanggal : 19 Oktober 2012
DEWAN PENGUJI
1 Rofikah, S.H., M.H. :…………………………………… Ketua
2 R. Ginting, S.H., M.H. :……………………………………
Sekertaris 3 Prof. DR. Supanto, S.H., M.H. :……………………………………
Anggota Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.H NIP. 19570203.198503.2.001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
PERNYATAAN
Nama : Aditya Danni Rosihandi
NIM : E0008269
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
KAJIAN PROSPEK KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL PADA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA TAHUN 2010 DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
INDONESIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar
yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 19 Oktober 2012
yang membuat pernyataan
Aditya Danni Rosihandi NIM. E0008269
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
Abstrak
Aditya Danni Rosihandi, NIM. E0008269. KAJIAN PROSPEK KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL PADA RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2010 DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat penegak hukum di Surakarta mengenai prospek konsep pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (RUU KUHP) tahun 2010 dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dan hubungan tujuan pemidanaan yang dianut dalam konsep pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 2010. Penelitian ini dilihat dari jenisnya merupakan penelitian hukum sosiologis atau empiris yang bersifat penelitian Survei deskripsi. Lokasi penelitiannya di Kantor Advokat Drs. YB Irpan, S.H., M.H, Satuan Reserse Kriminal Polres Surakarta, Kejaksaan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Surakarta, Rumah Tahanan Kelas I Surakarta. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi dokumentasi. Teknik pengambilan sampel dengan cara randomsampling. Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, adanya prospek yang sangat besar pidana kerja sosial diterapkan sebagai sanksi alternatif di Indonesia hal tersebut berdasarkan pertimbangan banyaknya kelebihan pidana kerja sosial ini bila dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan, dan pidana kerja sosial ini sangat relevan dengan tujuan pemidanaan integratif karena pidana kerja sosial dipandang memenuhi beberapa unsur tujuan pemidanaan antara lain Teori retributif (absolute), teori relatif (deterrence), Teori perlindungan sosial (social defence) serta pemeliharaan solidaritas masyarakat.
Kata kunci: Pidana Kerja Sosial, Pembaharuan Hukum Pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
Abstract
Aditya Danni Rosihandi, NIM. E0008269. PROSPECT STUDY CONCEPT OF COMMUNITY SERVICE ORDER ON PENAL CODE BILL 2010 IN REFORMOF INDONESIA PENAL CODE . Faculty of Law, Sebelas Maret University.
This research has a goal to know determine the opinion of law enforcement in Surakarta on the outlook for the criminal concept of social work at the Bill Book Criminal Justice Act Indonesia (Penal Code Bill) of 2010 in reform of Indonesia penal code and relations sentencing objectives adopted in the concept of community service order Penal Code Bill 2010. In this study, the writer uses sociological law research or empiric with survey description approach. The research located in Advocate Office Drs. Irpan YB, SH, MH, Surakarta Police Criminal Investigation Unit, the State Attorney Surakarta, Surakarta court, the House of Detention Class I Surakarta. Sources of data used in sociological or empirical legal research is the source of primary data and secondary data sources. Secondary data sources consisted of primary legal materials, legal materials and secondary and tertiary legal materials. Collection techniques through interviews and documentary study. Sampling technique by way of random sampling. The data analysis technique used in this study is qualitative. Based on the findings and conclusions resulting discussion, the prospect of a huge community service order applied as alternative sanctions in Indonesia it is based on consideration of the many advantages of social work criminal when compared to criminal deprivation of liberty, and community service order is highly relevant to the purpose of punishment integrative community service order is seen as criminal elements meet several objectives retributive theory of punishment, among others (absolute), the theory of relative (deterrence), Theories of social protection (social defense) as well as the maintenance of community solidarity.
Keywords: Community Service Order, Reform of Penal Code
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
MOTTO
“ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d ayat 11)
“ Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.” (Mario Teguh, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
Papa dan Mama tersayang
Kakak dan adik-adiku
My Lovely Aisya Arina Pratiwi
Sahabat-sahabatku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat, taufiq dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul
“ Kajian Prospek Pidana Kerja Sosial Pada Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2010 Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia”.
Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat
guna meraih gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Supanto, S.H., M.H. selaku pembimbing akademik serta pembimbing
skripsi I yang telah bersedia meluangkan banyak waktu, memberi masukan serta
saran selama ini.
3. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H selaku pembimbing skripsi II yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan masukan
kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan staff Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah membantu penulis selama ini.
5. Seluruh aparat penegak hukum di Surakarta, terutama kepada:
a. Bapak Aiptu Eko Santoso dan Aiptu Heri Purwanto selaku anggota Reskrim
Polres Surakarta.
b. Bapak Djohar Arifin, S.H. selaku Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta.
c. Bapak Bintoro Widodo, S.H., bapak Jhony Aswari, S.H., dan bapak Kadim,
S.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
d. Bapak Slamet, S.St. dan Basuki, S.Pd. selaku petugas Rutan Kelas I
Surakarta.
e. Bapak Drs. YB Irpan, S.H., M.H. selaku advokat.
Yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan
pendapat serta masukan tentang penulisan skripsi ini.
6. Papa dan mama yang begitu besar memberikan kepercayaan pada anaknya untuk
berproses menemukan dan memahami arti hidup yang sebenarnya.
7. Kakakku Rosita dan adik-adiku Ayu, Hanin yang telah banyak menemani dalam
menulis skripsi ini.
8. My lovely Aisya Arina yang setia menemani dalam suka dan duka dan telah
banyak menemani dalam menulis skripsi ini.
9. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008, Angga, Adit, Bayu, Vina,
Pandu, Irfan dan teman-teman DPR (Dibawah Pohon Rindang) yang telah
menjadi sahabat dalam suka dan duka.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan demi terselesaikan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………….... ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….. iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………….. iv
ABSTRAK…………………………………………………………………… v
MOTTO………………………………………………………………………. vii
PERSEMBAHAN……………………………………………………………. viii
KATA PENGANTAR………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xi
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 6
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………... 7
E. Metode Penelitian……………………………………………………… 7
1. Jenis Penelitian……………………………………………………… 8
2. Sifat Penelitian……………………………………………………… 8
3. Pendekatan Penelitian………………………………………………. 8
4. Populasi dan Sempel………………………………………………… 8
5. Lokasi Penelitian…………………………………………………….. 10
6. Jenis data…………………………………………………………….. 10
7. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………… 11
8. Teknik Analisis Data…………………………………………………. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
F. Sistematika Penulisan……………………………………………………. 14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori………………………………………………………… 16
1. Pidana dan Pembaharuan Pidana…………………………………… 16
2. Pidana Kerja Sosial Sebagai Sanksi Alternatif………………………. 19
3. Teori-Teori Tentang Tujuan Pemidanaan…………………………… 35
B. Kerangka Pemikiran……………………………………………………… 47
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian……………………………………………………………
49
1. Gambaran Umum Diterapkan Konsep Pidana Kerja Sosial
di Indonesia……………………………………………………………
49
2. Pendapat Penegak Hukum di Surakarta Mengenai Konsep
Pidana Kerja Sosial di Indonesia………………………………………
54
3. Konsep Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Aspek Tujuan
Pemidanaan…………………………………………………………… 80
B. Pembahasan ………………………………………………………………
88
1. Pendapat Penegak Hukum Di Surakarta Mengenai Prospek
Konsep Pidana Kerja Sosial Pada Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2010
Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia……………………... 88
2. Kesesuaian Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Tahun 2010 Dengan Tujuan Pemidanaan…………………….………92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………………… 97
B. Saran…………………………………………………………………….. 99
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 100
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel.1 Relevansi pidana kerja sosial dengan teori
pemidanaan retributif (absolute)…………………………… 82
Tabel.2 Relevansi pidana kerja sosial dengan teori
pemidanaan relatif (deterrence)……………………………. 84
Tabel.3 Relevansi pidana kerja sosial dengan teori
pemidanaan perlindungan sosial (social defence)…………. 85
Tabel.4 Relevansi pidana kerja sosial dengan
Pemeliharaan Solidaritas Masyarakat……………………… 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar.1 Interactive Model of Analysis…………………………………… 14
Gambar.2 Kerangka Pemikiran…………………………………………….. 47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembangunan
hukum nasional untuk meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum,
tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum, dan penegakan hak
asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional. Hal tersebut
diprogramkan dalam arah kebijakan pembangunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP). Dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional, Program
Legislasi Nasional (Porlegnas) tahun 2010-2014 merumuskan visi dan misi yang
menjadi parameter penentuan, penetapan dan prioritas rancangan undang-undang.
Visi pembangunan hukum nasional, yaitu mewujudkan negara hukum yang
demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk
peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan dan kebenaran
untuk tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan
dalam misinya diwujudkan dalam upaya pembaharuan sistem hukum, di
antaranya pembaharuan sistem hukum pidana.
Adapun hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum
warisan kolonial Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di
Indonesia. Dalam konteks inilah pembaharuan hukum pidana menjadi sangat
urgen, yaitu sebagai upaya menyerasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
ke dalam hukum pidana Indonesia. Urgensi pembaharuan hukum pidana
Indonesia dikemukakan oleh Sudarto yang mengemukakan adanya tiga alasan
penting dalam rangka penyusunan hukum nasional yaitu alasan politis, alasan
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sosiologis dan alasan praktis. Apabila diperinci lebih lanjut tiga alasan yang
dikemukakan oleh Sudarto di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Alasan Politis
Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum
(pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
2. Alasan Sosiologis
Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum) (pidana) nasional
didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional
haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.
3. Alasan Praktis
Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami
oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan, bahwa
hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan
bahasa Belanda, sementara dalam perkembangannya sangat sedikit
masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan
berbahasa Belanda (Sudarto, 1982: 62).
Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana dapat dilihat dari:
1. Sudut pendekatan kebijakan
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional.
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat.
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
2. Sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolotik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substansif hukum pidana yang dicita-citakan (Barda Nawawi Arief, 2011:29-30).
Landasan pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan
hanya menitik beratkan terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga
perlindungan individu dari pelaku tindak pidana. Digunakan pidana sebagai
sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja berhasil,
apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi obyeknya. Hal
yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk
mengulangi perbuatanya (Sudarto, 2006:86). Fungsi sanksi dalam hukum pidana
tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan
tetapi lebih dari itu kebaradaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan
memperbaiki si pelaku (M.Sholehhudin, 2007:162). Karena pidana pada
hakikatnya merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan tidak diperkenankan untuk merendahkan martabat manusia
(Niniek Suparni, 1996:3). Hal tersebut digunakan sebagai pemikiran
berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan
kemerdekaan (alternative imprisontment) dalam bentuknya sebagai sanksi
alternatif (alternative sanction) (Muladi, 1995:132).
Salah satu jenis pidana yang paling banyak ditetapkan dalam perundang-
undangan dan diterapkan dalam praktek adalah pidana penjara (custodial), namun
dalam perkembangan banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan
pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk mengulangi masalah kejahatan,
yang sering dipersoalkan adalah masalah keefektifitasannya di samping akibat-
akibat negatif dari pidana penjara. Selain itu permasalahan lain yang sering
dihadapi oleh lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan salah satunya
Kelebihan daya tampung (over capacity). Dampak yang dapat ditimbulkan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
kelebihan jumlah penghuni dibandingkan dengan kapasitas ruangan yang tidak
memadai dapat menimbulkan kasus plecehan seksual, masalah kesehatan dan
masalah kekerasan.
Hal tersebut menimbulkan usaha untuk mencari bentuk alternatif dari
pidana penjara. Usaha untuk membatasi penerapan pidana penjara, antara lain
dengan alternatif perampasan kemerdekaan (non-custodial) untuk perkara pidana
yang dianggap tidak terlalu serius atau membahayakan atau mempertimbangkan
pidana penjara hanya sebagai sanksi yang terakhir. Bentuk-bentuk non-custodial
yakni antara lain tertuang dalam aturan standart United Nations Standard
Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules). Diterima oleh
Majelis Umum PBB dalam resolusi 45/110 pada tanggal 14 Desember 1990. Draf
resolusi PBB ini merupakan hasil kongres PBB ke-8 mengenai “Prevention of
crime and The Treatmen of Offenders” yang diselenggarakan di Havana, Cuba
pada tanggal 27agustus-7september 1990. Dengan pertimbangan bahwa
pembatasan kemerdekaan hanya dapat dibenarkan dilihat dari segi keamanan
masyarakat, pencegahan kejahatan, pembalasan yang adil dan penangkalan
reintegrasi pelaku tindak pidana ke dalam masyarakat sebagai tujuan utama
sistem peradilan pidana.
Salah satu bentuk tindakan “non custodial” pada tahap peradilan dan
pemidanaan (trial and sentencing stage) dalam aturan United Nations Standard
Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo Rules) oleh majelis
umum PBB dalam resolusi 45/110 tertanggal 14 desember 1990 diantaranya
berupa community service order. Di Indonesia sendiri telah dirumuskan mengenai
dijatuhkannya pidana kerja sosial bagi terpidana yang dijatuhi pidana penjara
kurang dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda kategori I
(Denda Kategori I sebesar Rp1.500.000), sebagaimana dalam Pasal 86 Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun
2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP belum disahkan di
Indonesia. Namun ada kasus sebagimana dalam berita liputan 6 pelaku tindak
kekerasan (Bullying) saat melaksanakan Masa Orientasi Sekolah (MOS) di SMU
Don Bosco Jakarta Selatan, dalam pemberian hukuman para pelaku tidak harus
menjalani pidana penjara namun sebagai gantinya para pelaku tindak kekerasan
terhadap temannya tersebut harus melakukan pelayanan sosial di panti jompo
“Panti Wredha Melania” Tangerang Banten selama dua bulan. Para pelaku yakni
Raldi, Rifki, Aryando dan Rio harus menghibur, memberi makan para penghuni
dan membersihkan fasilitas di panti jompo tersebut (Liputan6.TV. Pelaku
Bullying Harus Kerja di Panti Jompo, http://tv.liputan6.com).
Dari contoh kasus di atas meskipun belum dikategorikan sebagai pidana
kerja sosial karena belum memiliki dasar hukum yang mengaturnya, tetapi kasus
tersebut sudah memberikan pandangan kedepan kepada masyarakat bahwa pidana
kerja sosial dimaksudkan agar terpidana dapat mengabdikan diri kepada
masyarakat dengan bekerja tanpa dibayar sebagai hukuman yang diterima atas
kejahatan yang dilakukan, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk
memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mudzakkir “Pidana kerja sosial sebagai pidana
yang positif untuk menjalin kembali hubungan antara pelanggar dengan
masyarakat. Masyarakat yang memperoleh layanan dari pidana kerja sosial ini
sebaiknya masyarakat yang menderita akibat adanya kejahatan atau masyarakat di
tempat mana kejahatan terjadi sebagai bagian dari proses islah” (Mudzakkir,
2004:79).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mempelajari,
memahami dan mengadakan penelitian lebih mendalam yang tertuang dalam
bentuk penulisan hukum dengan judul: “KAJIAN PROSPEK KONSEP
PIDANA KERJA SOSIAL PADA RANCANGAN UNDANG-UNDANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2010 DALAM
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan
beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat penegak hukum di Surakarta mengenai prospek konsep
pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia tahun 2010 dalam pembaharuan hukum pidana
Indonesia?
2. Apakah konsep pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 2010 sesuai dengan tujuan
pemidanaan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan pokok di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui pendapat penegak hukum di Surakarta mengenai
prospek konsep pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 2010 dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia.
b. Untuk mengetahui kesesuaian konsep pidana kerja sosial pada Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun
2010 dengan tujuan pemidanaan.
2. Tujuan subyektif
a. Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang hukum pidana
khususnya mengenai konsep pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2010 dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Untuk melatih kemempuan penulis dalam mempraktekkan teori ilmu
hukum, mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran serta
pengetahuan yang di dapat selama masa perkuliahan.
c. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memeperoleh gelar S1 dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun orang lain, khususnya bagi ilmu pengetahuan bidang penelitian tersebut.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
pada umunya, dan hukum pidana pada khusunya.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan referensi di bidang karya ilmiah
serta bagi penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang akan
datang.
2. Manfaat praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan oleh semua
pihak dalam pemahaman terhadap pemikiran tentang pidana kerja sosial
sebagai salah satu bentuk pidana.
E. Metode Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum adalah suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prisip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,
2006:35). Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
ataupun konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
Adapun metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
penelitian hukum sosiologis atau penelitian empiris. Pada penelitian hukum
sosiologi atau empiris ini penulis meneliti tentang kajian prospek konsep
pidana kerja sosial pada RUU KUHP tahun 2010 dalam pembaharuan hukum
pidana Indonesia.
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya, penelitian yang penulis susun termasuk penelitian
yang bersifat survei deskripsi. Sifat penelitian survei deskripsi ini merupakan
suatu kegiatan penelitian yang meneliti status kelompok manusia, suatu objek,
suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat-sifat serta
hubungan antara fenomena yang diteliti (M. Nazir, 2009:63).
Penelitian survei deskripsi mempunyai tujuan untuk memperoleh
gambaran tentang karakteristik dari satu fenomena tertentu dari keadaan
sekarang dan atas dasar tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang fenomena
tersebut sehingga dapat dirumuskan rekomendasi bagi pemecahan masalah
tersebut. Dalam penulisan hukum ini penulis akan memaparkan hasil
penelitian tentang kajian prospek konsep pidana kerja sosial pada RUU KUHP
tahun 2010 dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
3. Pendekatan Penelitian
Jenis pendekatan yang digunakan penulis adalah metode pendekatan
kualitatif. Adapun pendekatan penelitian kualitatif merupakan tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai apa yang dinyatakan
oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata.
4. Populasi dan Sempel Penelitian
a. Populasi Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi Populasi adalah aparat penegak
hukum di Surakarta. Alasan pengambilan populasi adalah untuk
mendapatkan hasil yang sejalan dengan tujuan penelitian ini.
b. Sempel Penelitian
Sempel adalah sebagian atau wakil yang diteliti. Dinamakan
penelitian sempel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil
penelitian sempel, yang dimaksud menggeneralisasikan adalah
mengangkat kesimpulan peneliti sebagai suatu yang berlaku bagi populasi
(Arikunto, 2002:109). Penulis mengambil sampel dengan cara random
sampling, yaitu cara pengambilan sampel secara random (tidak pandang
bulu), artinya setiap elemen dari populasi mendapat kesempatan yang
sama untuk dipilih menjadi sampel (Muslan Abdurrahman, 2009: 105).
Sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini terdiri atas 9
aparat penegak hukum di Surakarta antara lain: 2 Polisi, 1 Jaksa, 3 Hakim,
2 petugas Rumah Tahanan dan 1 Advokat. Adapun penentuan pemilihan
yang dilakukan penulis dengan subyek aparat penegak hukum menjadi
sempel penelitian adalah kompetensi yang dimiliki aparat penegak hukum
dalam memberikan pendapat tentang konsep pidana kerja sosial, sehingga
dapat memberi masukan apabila pidana tersebut diberlakukan pada saat
mendatang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
5. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis
melakukan penelitian dengan mengambil lokasi penelitian di Kantor Advokat
Drs. YB Irpan, S.H., M.H, Satuan Reserse Kriminal Polres Surakarta,
KeJaksaan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Surakarta, Rumah Tahanan
Kelas I Surakarta.
6. Jenis Data
Secara umum dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data yang diperoleh
langsung dari lapangan dinamakan data primer, sedangkan data yang
diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan ialah data sekunder (Soerjono
Soekanto, 2007:51). Jenis data yang digunakan penulis dalam menyusun
penelitian hukum ini adalah:
a. Data Primer
Data Primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh
secara langsung dari penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini data
primer merupakan wawancara langsung di lokasi penelitian. Adapun data
tentang penelitian ini diperoleh dari aparat penegak hukum di Surakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan keterangan atau fakta yang tidak
diperoleh secara langsung tetapi melalui penelitian kepustakaan yang
menunjang data primer. Sumber data sekunder dalam penelitian ini di
dapat melalui studi kepustakaan, misalnya instrumen hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, buku-buku yang berkaitan dengan pidana kerja sosial dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia.
c. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat ditemukannya data. Sumber data
yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
1) Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh
langsung di lokasi penelitian yaitu dengan wawancara langsung
dengan aparat penegak hukum di Surakarta.
2) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh tidak
secara langsung dari masyarakat melainkan dari bahan dokumen,
peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil
penelitian lainnya yang mendukung sumber data primer. Sumber data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan
hukum primer berupa :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan
5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvesi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk
Diperbolehkan Bekerja
6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang
7) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
8) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Tahun
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang akan penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan teks yang berkaitan
dengan permasalahan yang dikaji.
7. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Untuk mendapatkan data primer adalah dengan cara wawancara
langsung, yakni melakukan tanya jawab dengan pihak yang terkait dalam
penelitian ini yaitu pihak-pihak yang berkompeten, dalam hal ini
dilakukan dengan anggota Bareskrim Kepolisian Resor Surakarta Aiptu
Eko Santoso dan Aiptu Heri Purwanto,. Kejaksaan Negeri Surakarta bapak
Djohar Arifin, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta bapak Bintoro
Widodo, Jhony Aswari, dan Kadim. Petugas Rutan Kelas I Surakarta
bapak Slamet dan Basuki, Serta Advokat Irpan.
b. Studi Kepustakaan
Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan studi kepustakaan
tentang pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia
yang diperoleh melalui berbagai literatur meliputi buku-buku, peraturan
perUndang-Undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan
buku-buku yang berkaitan dengan pidana kerja sosial dalam pembaharuan
hukum pidana Indonesia.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J
Maleong, 2002:103). Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis ialah
model analisis interaktif (Interactive Model of Analysis). Teknik model
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
analisis interaktif adalah suatu teknik analisa data yang melalui 3 alur
komponen pengumpulan data, yaitu:
a. Reduksi Data
Kegiatan ini merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan
penyederhanaan data pada penelitian. Data yang telah teridentifikasi
tersebut lebih memudahkan dalam penyusunan. Dalam proses ini data-data
yang telah di dapatkan dari hasil wawancara kemudian diseleksi menjadi
lebih sempit lagi sesuai dengan permasalah yang akan diteliti, yaitu
mengenai kajian prospek konsep pidana kerja sosial pada Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2010
dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.
b. Penyajian Data
Dalam penyajian data ini, data-data yang telah diseleksi menjadi
lebih sempit lagi dari hasil wawancara sesuai dengan permasalahan yang
diteliti kemudian disajikan dalam bentuk sebuah uraian deskriptif, yaitu
uraian hasil penelitian yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya
terjadi di lapangan.
c. Penarikan Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan-
pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, alur sebab-akibat, selanjutnya peneliti akan menarik suatu
kesimpulan (HB. Sutopo, 2002:37). Dalam penelitian ini, setelah data-data
tersebut diseleksi menjadi lingkup yang lebih sempit lagi sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dan telah disajikan dalam bentuk uraian-uraian
deskriptif, maka dari uraian-uraian tersebut peneliti menarik kesimpulan
dari permasalahan yang diteliti.
Untuk lebih memudahkan mempelajari konsep analisis interaksi
penelitian ini dibuat sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Gambar. 1 Interactive Model of Analysis
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan yang sesuai dengan aturan baku dalam penulisan hukum, maka
sistematikan penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi
dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini.
Dalam menyajikan penelitian ini penulis menyusunannya dalam
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memberikan landasan teori atau
memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan
hukum yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut
PENGUMPULAN DATA
PENARIKAN KESIMPULAN
REDUKSI DATA
PENYAJIAN DATA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan
permasalahan yang penulis teliti.
Landasan teori tersebut antara lain tinjauan tentang pidana,
tinjauan tentang pidana kerja sosial, tinjauan teori pemidanaan.
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pembahasan dan hasil
perolehan dari penelitian yang dilakukan tentang kajian prospek konsep
pidana kerja sosial pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Tahun 2010 dalam pembaharuan hukum pidana
Indonesia.
BAB IV: PENUTUP
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil
penelitian serta memberikan saran yang dapat penulis kemukakan
kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pidana dan Pembaharuan Hukum Pidana
a. Pidana
Istilah lain bagi pidana, yang lebih dikenal oleh masyarakat
umum adalah “hukuman”. Dalam bidang hukum pidana “hukuman”
adalah terjemahan untuk kata “straf” yang terdapat dalam KUHP 1915,
atau kata “punishment” dalam literature anglo saxon. Walaupun kedua
isitilah ini mengandung persamaan arti, namun keduanya sebetulnya dapat
dibedakan. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum, yang
maknanya lebih luas dari pada pidana, sebab mencakup juga putusan
Hakim dalam lapangan hukum perdata. Sementara istilah pidana
merupakan istilah yang lebih khusus yang menunjukan sanksi dalam
bidang hukum pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:1-2).
Beberapa pendapat sarjana mengenai pidana, diantaranya sebagai
berikut (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:2-3):
2) Sudarto Pidana ialah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
3) Roeslan SalehPidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.
4) Sir Rupert CrossPunishment means “the infliction of pain by the state on some one who has been convicted for an offence”.
5) H.L.A. HartPunishment must:a. Involve pain or other consequences normally considered
unpleasant;
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
b. Be for an actual or supposed offender for his offence;c. Be for offence against rules;d. Be intentionally administered by human beings other than the
offender;e. Be imposed and administered by an authority constitueted by a
legal system against with the offence is committed.
Dari beberapa pengertian di atas, Muladi dan Barda Nawawi Arief
mengambil kesimpulan, bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-
ciri sebagai berikut:
1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh negara atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi Arief,
1998:4).
Dari keterangan yang telah disebutkan di atas pidana merupakan
pembalasan berupa penderitaan yang diperoleh pada setiap pelaku
kejahatan atas perbuatan yang dilakukan, karena perbuatan yang dilakukan
tersebut melanggar dari ketentuan perundang-undangan yang telah
ditentukan negara. Serta perbuatan yang dianggap telah menyimpang dari
norma-norma yang ada di masyarakat baik berdasarkan hukum adat
maupun berdasarkan hukum agama.
b. Pembaharuan Hukum Pidana
Sebagai upaya untuk melaksanakan amanat dari Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, maka pembaharuan hukum merupakan salah
satu masalah besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu masalah
mengganti atau memperbaharui produk-produk hukum yang dibawa
negara kolonial salah satunya di bidang hukum pidana khususnya KUHP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
yang dipandang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia
saat ini, hal ini juga sebagai tuntutan terhadap kemandirian Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka.
Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum
pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural,
atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan
kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan
pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang
melatarbelakanginya. Dengan demikian, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi
dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach)
(Barda Nawawi Arief, 2011:29).
Pembaharuan Hukum Pidana dapat diartikan sebagai Politik
Hukum Pidana atau Penal policy atau Kebijakan Hukum Pidana yang
bertujuan untuk penanggulangan kejahatan yang meliputi pembaharuan
hukum pidana materiil (substantif), hukum pidana formil (hukum acara
pidana) dan hukum pelaksana pidana. Kebijakan merupakan persamaan
dari “policy” atau “politik” sedangkan kebijakan (policy) ini dapat
dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling
efektif dan paling efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan
secara kolektif. Bertolak dari kedua istilah asing ini maka istilah kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan
berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau
“strafrechtspolitiek” (Barda Nawawi Arief, 2011:26).
Yang dimaksud dengan politik hukum pidana ialah kebiJaksanaan
dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk bidang hukum pidana
melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang (Sudarto, 1983: 83).
Dari beberapa pendapat mengenai pembaharuan hukum pidana di
atas maka dapat dikatakan upaya pembaharuan hukum pidana adalah suatu
upaya yang dilakukan oleh negara untuk memperbaharui hukum
berdasarkan perkembangan sosial budaya masyarakat untuk tercapainya
hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) di negara tersebut.
2. Pidana Kerja Sosial Sebagai Sanksi Alternatif
Banyaknya kritik mengenai pidana penjara yang kurang memuaskan
untuk tercapainya tujuan pemidanaan khususnya pidana penjara jangka
pendek, dan sebagai bentuk ketidak puasan masyarakat internasional terhadap
pidana perampasan kemerdekaan antara lain baik atas pertimbangan
kemanusiaan, pertimbangan filososfis pemidanaan maupun atas pertimbangan
ekonomis. Yang kemudian kecenderungan masyarakat internasional untuk
mencari sanksi alternatif di antaranya pidana kerja sosial (community service
order) sebagaimana tertuang dalam resolusi PBB yang dikenal dengan The
Beijing Rules. Kecenderungan ini juga ditransformasikan oleh Indonesia
dalam bentuk konsep, sebagai rangkaian dalam rangka pembaharuan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pidana Indonesia yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang KUHP
Indonesia.
Diadopsinya pidana kerja sosial dalam sistem hukum pidana Indonesia
itu tidak terlepas dari tekad untuk menjadikan hukum pidana Indonesia yang
tidak saja berorientasi pada perbuatan saja tetapi juga berorientasi pada pelaku
sekaligus (daad dader strafrecht) (Tongat, 2001:2). Dengan adanya pidana
kerja sosial dijadikan alternatif pidana penjara diharapkan menjadikan hukum
pidana di Indonesia lebih fungsional dan manusiawi, tidak hanya melihat dari
aspek korban melainkan juga pada pelaku serta keluarganya dan diharapkan
pidana kerja sosial juga dapat mengatasi permasalahan penjatuhan pidana di
Indonesia selain dampak negatif dari pidana penjara berupa stigmasi dan
dehumanisasi, tetapi juga permasalahan yang dihadapi oleh lembaga
pemasyarakatan yaitu over capacity maupun APBN yang diberikan untuk
keperluan para narapidana.
a. Pengertian Pidana Kerja sosial
Secara etimologis istilah “ pidana kerja sosial” berasal dari dua
kata yaitu “pidana” dan ”kerja sosial”. Bertolak dari pemahaman secara
etimologis, maka secara sederhana pidana kerja sosial dapat diartikan
sebagai pidana yang berupa kerja sosial, pidana kerja sosial merupakan
bentuk pidana dan pidana tersebut harus dijalani oleh terpidana dengan
melakukan kerja sosial yang ditentukan (Tongat,2001:7).
Pengertian pidana kerja sosial menurut Widodo (Widodo, 2009:
153):
“Pidana kerja sosial adalah jenis pidana berupa pelaksanaan pekerjaan tertentu oleh terpidana di masyarakat tanpa mendapatkan upah, berdasarkan persyaratan yang diatur oleh perturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam putusan pengadilan tersebut terkandung suatu perintah (orders) terhadap terpidana, yaitu tentang jangka waktu pidana dan tempat pelaksanaan pidana”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Pengertian pidana kerja sosial Menurut Woo Sik Chung (Woo Sik
Chung. The Community Service Order In Korea, http://www.unafei.or.jp):
“The Community Service Order is an alternative sentence by which offenders who are sentenced to amCommunity Service Order work without monetary compensation at public, private or nonprofit agencies in the community for a certain period of time. They are therefore allowed an opportunity for repentance while leading a free life in lieu of incarceration”.
Pidana kerja sosial adalah hukuman alternatif kepada pelaku tindak
pidana yang diwujudkan dalam bentuk kerja sosial, yaitu bekerja tanpa
dibayar untuk masyarakat, swasta atau lembaga nirlaba yang ada di
masyarakat dengan jangka waktu tertentu. Karena itu mereka diberi
kesempatan untuk bertobat saat menjalani kehidupan yang bebas sebagai
pengganti penahanan.
Pengertian pidana kerja sosial dalam kamus hukum Oxford
(Oxford Dictionary Of Law, oxford university press, market house books
Ltd, 2002:96):
“an order that requires an offender (who must consent and be aged at least 16) to perform unpaid work for between 40 an 240 hours under the supervision of probation officer. Such and order replaces any other from of punishment (e.g imprisonment); it is usually based on a probation officer’s report and carried out within 12 months (unless extended). Breach of the order may be dealt with by fine or by revocation of the order and the imposition of any punishment that could originally have been imposed for the offence”.
Pidana kerja sosial merupakan suatu pidana yang dikenakan
kepada para pelaku kejahatan dengan melakukan suatu pekerjaan atas
permintaannya, dengan adanya kriteria atau syarat-syarat tertentu seperti
pelaku haruslah cakap atau mampu melakukan pekerjaan tersebut dan
berusia minimal 16 tahun. Pekerjaan yang dilakukan itu tidak dibayar
(sukarela) dengan lamanya waktu bekerja antara 40-240 jam di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pengawasan. Pidana kerja sosial merupakan pidana pengganti selain
pidana penjara dan dilaksanakan dalam jangka waktu 12 bulan, selain itu
bisa ditambah kembali waktunya. Jika ada pelanggaran ketika
menjalankan pidana kerja sosial tersebut maka dapat digantikan dengan
pidana denda atau pidana lainnya.
Sedangkan Menurut Mohd. Al-Adib Samuri, pengertian pidana
kerja sosial yaitu (Mohd. Al-Adib Samuri, 2012:126):
“community service represents works carried out by the convicted for a public agency or non-profit organization for the purpose of repairing any damage that is a result of the crime in question or to provide compensation to the community for the convicted offender's sanction. as an alternative to imprisonment this sentence possesses some attractive qualities such as requiring the offenders to repay their debt to the aggrieved society in question and that the offenders are sentenced fairly, especially in respect of the number of hours required to serve regardless of their status, condition or the apparent difference in costs involved when compared to incarceration”.
Pidana kerja sosial merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh
terpidana untuk organisasi instansi publik atau nirlaba untuk tujuan
memperbaiki kerusakan apapun yang merupakan hasil dari kejahatan
tersebut atau untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat atas
sanksi bagi pelaku terpidana tersebut. Sebagai alternatif hukuman penjara
pernyataan ini memiliki beberapa sifat yang menarik seperti mensyaratkan
pelaku untuk membayar utang mereka kepada masyarakat yang dirugikan
tersebut dan bahwa pelaku dihukum secara wajar, terutama sehubungan
dengan jumlah jam yang dibutuhkan untuk melayani tanpa memandang
status mereka, kondisi atau perbedaan yang jelas dalam biaya yang
dibutuhkan bila dibandingkan dengan penahanan.
Dari beberapa pendapat mengenai pidana kerja sosial di atas maka
dapat dikatakan pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang sifatnya
sebagai alternatif pengganti hukuman yang diberikan oleh Hakim kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
terpidana untuk menjalankan hukuman di tempat publik dan tanpa dibayar
selama jangka waktu yang telah diputuskan sebagai bagian dari hukuman
atas kejahatan yang dilakukan, dengan diberikan pidana kerja sosial ini
dimaksudkan agar pelaku dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dan
masyarakat dapat ikut serta dalam melakukan pengawasan dan pembinaan
kepada pelaku agar menjadi individu yang lebih baik setelah terbebas dari
hukuman.
b. Ketentuan Pidana Kerja Sosial di Negara Lain
a. Inggris
Ketentuan pidana kerja sosial di Inggris sebagaimana
diungkapkan oleh Widodo bahwa tujuan pidana kerja sosial di Inggris
adalah mempekerjakan terpidana secara gratis di masyarakat sebagai
suatu alternatif pengganti pidana penjara. Kegiatan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan sasaran sebagaimana ditentukan dalam
standar nasional sistem peradilan pidana. Dalam pelaksanaannya
pidana kerja sosial, terpidana di tempatkan pada lingkungan kerja yang
dapat mendukung pembinaan narapidana. Narapidana diperintahkan
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di bawah
pengawasan pihak yang berwenang.
Pidana kerja sosial di Inggris merupakan perintah dari
pengadilan kepada terpidana, dan akan dijatuhkan jika:
a) Pelanggar dianggap layak untuk melaksanakan pekerjaan dengan
tanpa imbalan berupa bayaran atau upah (gratis), karena pekerjaan
yang dilakukan terpidana adalah untuk kepentingan masyarakat.
b) Pengadilan dapat menjatuhkan dan memerintahkan pidana kerja
sosial kepada terpidana antara 80 sampai 300 jam di masyarakat,
yang pelaksanaannya diawasi oleh pegawai khusus yang
berwenang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Pidana kerja sosial diselesaikan dalam jangka waktu 1 tahun,
terhitung sejak pidana tersebut dijatuhkan, dengan cara sebagai
berikut:
a) Dilaksanakan pada hari senin sampai dengan hari jumat.
b) Bagi terpidana yang mempunyai pekerjaan atau bersekolah secara
penuh (fulltime), pidana kerja sosial dilaksanakan pada akhir pekan
dan malam hari.
c) Dalam satu minggu, pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama
21 jam, dalam jangka waktu lebih dari 3 hari.
Selanjutnya dalam pedoman pelaksanaan pidana kerja sosial di
Inggris yakni pidana kerja sosial tidak terbuka peluang bagi terpidana
untuk mendapatkan upah atas pekerjaannya dari masyarakat. Pada
tahap awal, semula terpidana kerja sosial mengikuti kursus/pelatihan
yaitu meliputi penyampaian informasi penting, berkenaan dengan
kondisi-kondisi pidana kerja sosial, standar perilaku terpidana, hasil
kerja yang diharapkan, kehadiran dan kedisiplinan dalam
melaksanakan kegiatan, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Setelah
mengikuti tahap tersebut, terpidana dapat melaksanakan pidana kerja
sosial di tempat yang ditentukan oleh pengadilan.
Mengenai teknik penempatan narapidana yang dijatuhi pidana
kerja sosial di Inggris, ada dua bentuk penempatan kerja, yaitu sebagai
berikut:
a) Penempatan secara berkelompok
Terpidana dipekerjakan secara kelompok untuk melayani
masyarakat. Terpidana dikelompokan dalam suatu kelompok kecil
yang beranggotakan empat atau maksimal lima orang di bawah
pengawasan petugas khusus.
b) Penempatan secara individu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Penempatan secara individual dilakukan dengan cara
memperkejakan terpidana di tempat-tempat yang mempunyai
persamaan bidang, antara bidang pekerjaan di tempat kerja dengan
keahlian atau ketrampilan terpidana.
Semua pelaksanaan pidana kerja sosial di Inggris
menggunakan standar nasional sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Jika jangka waktu dan kondisi-kondisi
pelaksanaan pidana kerja sosial tidak sesuai dengan standar yang
sudah ditetukan secara nasional, pengadilan dapat melakukan tindakan
berikut:
a) Memerintahkan terpidana untuk membayar denda;
b) Menambahkan jumlah jam kerja kepada terpidana; dan
c) Menarik kembali atau membatalkan pidana kerja sosial, dan
menjatuhkan pidana yang utama, misalnya dengan menjatuhkan
pidana penjara jika terpidana gagal melaksanakan pidana kerja
sosial (Widodo, 2009:165-169).
b. Skotlandia
Di dalam jurnal yang berjudul “Paying back: 30 years of unpaid
work by offenders in Scotland” Gill Mc Ivor menjelaskan tentang
pidana kerja sosial di Skotlandia sebagai berikut:
“Pilot community service schemes were first introduced in Scotland in 1977, some four years after the introduction of similar pilots in England and Wales. In the absence of specific legislation, orders to perform unpaid work were made as requirements of probation and were administered by local authority social work departments who, since 1969, had been responsible for the supervision of offenders and other tasks that had been undertaken by the former probation service.
Including punishment (through the deprivation of the offender’s free time), rehabilitation (through the positive effects of helping others) and reparation (by undertaking work of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
benefit to usually disadvantaged sections of the community). The reintegrative potential of community service was to be achieved through the offender being enabled to remain in the community, retaining employment and family ties, and, through coming into contact with others while carrying out unpaid work, avoiding social isolation. Although the policy intention was that community service should serve as a direct – and hence cheaper - alternative to a prison sentence, the enabling legislation was somewhat ambiguous in this respect. Community service orders of between 40 and 240 hours - to be completed within a period of 12 months - could be imposed subject to their consent upon offenders aged 16 years and older who had committed offences that were punishable by imprisonment: the legislation did not direct the courts to make orders only if they would have imposed a custodial sentence instead.
Further legislative changes were introduced by the Criminal Procedures (Scotland) Act 1995 as amended by the Community Service by Offenders (Hours of Work) (Scotland) Order 1996 which raised the minimum number of hours orderable to 80 and the maximum under solemn proceedings to300 hours.
In its most recent guidance on community service (Scottish Government, 2009b, pp.1-2) the Scottish Government identifies the main aims of community service (and unpaid work as a condition of probation) as being: To provide Scottish criminal courts with a credible
community based penalty, which has the potential to achieve a positive outcome in respect of the offender’s future likelihood of re-offending;
To achieve a high degree of credibility with the Scottish public and judges as a high quality intervention, which balances the requirement that offenders pay back for their crimes to communities with opportunities to help them move their lives on;
To ensure that courts have access at all times to a community disposal, which offers a credible alternative to a sentence of imprisonment or detention, by requiring the offender to undertake unpaid work for a specified number of hours for the community;
To provide offenders with an opportunity to develop their interpersonal and vocational skills to enhance their employability prospect (Gill Mc Ivor, 2010:42-43).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Dari penjelasan di atas bahwa pidana kerja sosial di Skotlandia
diperkenalkan pada tahun 1977, kerja sosial digunakan sebagai
hukuman terhadap waktu yang dimiliki pelaku, serta sebagai upaya
rehabilitasi dan memperbaiki sifat dari pelaku. Pidana kerja sosial
yang diberikan pada pelaku dengan lama waktu 40 sampai 240 jam
dan diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan. Namun dalam
Perubahan dilakukan oleh legislatif Skotlandia pada tahun 1995 pidana
kerja sosial yang diberikan kepada pelaku dengan lama waktu 80 jam
sampai 300 jam.
Dari keterangan di atas tujuan dari pidana kerja sosial di
Skotlandia dapat dikatakan. Agar masyarakat dapat ikut berperan serta
membina pelaku kejahatan sehingga di masa yang mendatang pelaku
tidak melakukan kejahatan lagi, pidana kerja sosial digunakan sebagai
upaya membayar tindak kejahatan yang telah dilakukan pelaku kepada
masyarakat dengan dipekerjakan tanpa dibayar selama berpuluh-puluh
jam. Selain itu pidana kerja sosial ini agar pelanggar mendapatkan
kesempatan untuk mengembangkan keterampilan yang dimilikinya
sebagai upaya meningkatkan prospek kerja kepada pelanggar setelah
terbebas.
c. Republik Ceko
Ketentuan pidana kerja sosial sebagaimana dalam blog Recent
Development, bahwa pidana kerja sosial telah diterapkan dalam The
Czech Penal code sejak tahun 1995. Namun KUHP Republik Ceko ini
berlaku efektif pada januari 1996. Pengaturan pidana kerja sosial dapat
diterapkan apabila terdakwa diancam dengan pidana kurang dari 5
tahun. Selain itu juga Hakim harus memperhitungkan terlebih dahulu
mengenai sifat dari perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh pelaku,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
kepribadian si pelaku dan juga Hakim harus mempunyai dasar yang
kuat atas tujuan yang akan dicapai dari pengenaan sanksi pidana kerja
sosial kepada pelaku tanpa harus memasukannya ke dalam penjara.
Hal ini dimaksudkan agar pidana kerja sosial merupakan satu-satunya
pidana alternatif dari pidana penjara yang dapat dikenakan.
Terpidana yang dikenakan pidana kerja sosial ini harus
melakukan sesuatu pekerjaan yang dilaksanakan secara sukarela dan
keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan itu dapat dirasakan oleh
masyarakat. Pidana kerja sosial tersebut dilaksanakan dengan jangka
waktu selama 50-400 jam, dan pelaksanaanya harus berakhir dalam
jangka waktu 1 tahun setelah ditetapkannya suatu putusan oleh
pengadilan.
Pengadilan juga memberikan pembatasan terhadap pelaku
pidana kerja sosial, yaitu jika pelaku gagal memperbaiki hidup atau
tidak dapat memnuhi persyaratan yang diberikan oleh pengadilan akan
mengubah putusannya kepada pelaku, maka pengadilan akan
mengubah putusannya tersebut menjadi hukuman penjara. Dalam
keadan seperti itu, pelaku tetap menjalankan pidana kerja sosial
bekerja di dalam penjara setiap hari selama paling sedikit 2 jam
sampai selesai waktu pidananya seperti yang telah ditetapkan oleh
pengadilan (Recent Development. The Czech Penal Code.
http://www.prison.org).
d. Irlandia Utara
Ketentuan pidana kerja sosial di Irlandia Utara sebagaimana
dalam blog Probation Board For Northern Ireland (PBNI), bahwa
pidana kerja sosial diperkenalkan di Irlandia Utara pada tanggal 1
April 1979 sebagai bagian dari penanganan pelanggar pada tahun
1976. Pada tahun 1982 dewan percobaan Irlandia Utara diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
tanggung jawab untuk "menjamin bahwa pengaturan yang dibuat
untuk orang-orang untuk melakukan pekerjaan di bawah Perintah
Pelayanan Masyarakat". Dasar legislatif untuk ini terkandung dalam
Dewan Hukuman Dalam Masa Percobaan. Pada tahun 1996 otoritas
legislatif telah ditulis ke dalam Pasal 13 Peradilan Pidana. Sekarang
undang-undang menyatakan bahwa seseorang, lebih dari 16 tahun,
yang dihukum karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman
penjara, pengadilan dapat memberi pidana kerja sosial yang
mengharuskan dia untuk melakukan pekerjaan yang tidak dibayar
dengan persetujuan pelaku tidak kurang dari 40 jam dan tidak lebih
dari 240 jam.
Tujuan dari perintah pidana kerja sosial adalah untuk
mencegah lebih lanjut menyinggung pelaku dengan mengintegrasikan
pelaku ke dalam masyarakat melalui:
a) Berhasil menyelesaikan dengan baik pekerjaan yang tidak dibayar;
b) Menjaga persyaratan disiplin; dan
c) Perbaikan kepada masyarakat dengan melakukan kerja sosial yang
berguna (Probation Board For Northern Ireland (PBNI). Strategy
For Community Service. http://www.pbni.org.uk).
e. Amerika Serikat
Ketentuan pidana kerja sosial di Amerika Serikat sebagaimana
dalam blog Office of Probation and Pretrial Services, Administrative
Office of the U.S. Courts, 2003, bahwa di Amerika Serikat, pidana
kerja sosial bukan merupakan bentuk sanksi pidana, tetapi lebih
merupakan bentuk tindakan di dalam ruang lingkup pengawasan
(probation). Pemberian pidana kerja sosial ini dilaksanakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
jangka waktu antara 100-500 jam dan lamanya pidana kerja sosial ini
tidak boleh melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
Pelaku tindak pidana yang dapat dikenakan pidana kerja sosial
adalah pelaku yang melakukan tindak pidana dalam korporasi ataupun
secara individual, terhadap pelaku tindak pidana yang tergolong dalam
first offender, terhadap para residivis, orang kaya ataupun miskin,
anak-anak maupun orang dewasa. Tetapi pengadilan dalam
memberikan pidana kerja sosial terhadap pelaku tindak pidana ini
sangat bersikap hati-hati dan melalui proses seleksi yang sangat ketat.
Tidak semua kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dapat
dikenakan pidana kerja sosial. Yaitu dengan pertimbangan seseorang
yang karena perbuatannya, diperkirakan kedepannya dapat
memberikan ancaman yang serius kepada masyarakat, maka orang
tersebut tidak memenuhi syarat untuk diberikan pidana kerja sosial ini.
Biasanya yang termasuk tidak memenuhi syarat untuk
dikenakan pidana kerja sosial adalah terhadap pelaku yang melakukan
tindak pidana yang berhubungan dengan obat-obatan terlarang dan
kecanduan alkohol, seseorang yang memiliki sejarah melakukan
serangan atau tindakan terhadap kejahatan seksual, seseorang yang
memiliki masalah serius secara emosional dan latar belakang
kejiwaanya. Pelaku yang dapat dikenakan pidana kerja sosial harus
memiliki pribadi dan stabilitas sosial yang baik, memiliki keinginan
serta motivasi yang tinggi, dan tidak memiliki catatan kriminal yang
menyangkut kejahatan dengan kekerasan.
Petugas pengawasan (probation officer) memiliki peran yang
sangat penting dalam pelaksanaan kerja sosial di Amerika. Sektor
pekerjaan yang dapat diberikan dalam mensukseskan pidana kerja
sosial di Amerika Serikat ini terdiri dari jenis pekerjaan yang
berhububungan dengan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
a) Pekerjaan yang meluangkan waktunya di dalam hutan lindung
dengan membersihkan jalan setapak dan membangun tempat
perkemahan.
b) Pekerjaan yang berhubungan dengan pelayan terhadap anak-anak
dalam sekolah khusus anak-anak yang dalam perawatan,
contohnya sekolah luar biasa, panti asuhan.
c) Bekerja dalam perusahaan jasa konstruksi yang sedang
membangun proyek bendungan milik pemerintah dan membantu
penanganan tempat penampungan bagi pengungsi yang terkena
banjir.
d) Mengirimkan makanan ke panti-panti jompo.
e) Bekerja sebagai operator alat-alat berat untuk meratakan jalan
raya, membersihkan salju di jalan raya, atau membangun kawasan
sehat di tempat penampungan warga Indian.
f) Bekerja di perusahaan yang perangkat lunak (software) komputer,
mengajarkan ketrampilan komputer untuk siswa sekolah menengah
yang berada dikawasan perumahan penduduk yang padat atau
kumuh.
Jika pelaku yang melaksanakan kerja sosial ini tidak
memenuhi kewajibannya, maka petugas dari pengawasan akan
memberikan sanksi berupa teguran atau pencabutan kembali sanksi
tersebut dan akan dikenakan pidana lainnya (Office of Probation and
Pretrial Services, Administrative Office of the U.S. Courts, 2003.
Community Service. hhtp;//www.uscourts.gov).
f. Belanda
Ketentuan pidana kerja sosial di Belanda sebagaimana
diungkapkan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa di Belanda dalam hal
Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana penjara tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
bersyarat yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 6 bulan
ataupun pidana penjara yang untuk bagian tidak bersyarat yang
dieksekusi dengan ancaman hukuman tidak lebih dari 6 bulan, maka
sebagai pengganti atau alternatifnya Hakim dapat memberikan pidana
kerja sosial. Pidana kerja sosial tidak akan diberikan terhadap pidana
bersyarat (voorwaardeljike vrijheidstraf), pidana denda atau kurungan
pengganti. Alasanya adalah karena dalam pandangan pembuat undang-
undang, pidana kerja sosial ini lebih berat dibandingkan dengan pidana
bersyarat/percobaan, maka penggantian pidana bersyarat/percobaan
tersebut dengan pidana kerja sosial juga mengimplikasikan
pemberatan pidana.
Pekerjaan yang dilakukan dalam pidana kerja sosial di Belanda
ini hanyalah terhadap pekerjaan yang dilakukan demi kepentingan
masyarakat umum, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan selain di badan-badan pemerintah,
misalkan di perusahaan swasta yang di bidang pekerjaannya berupa
bidang kesehatan masyarakat, lingkungan hidup, kerja sosial budaya,
perlindungan pelestarian alam, dan lembaga-lembaga bantuan sosial
lainnya. Hakim tidak akan menjatuhkan pidana kerja sosial terkecuali
ada persetujuan dari terdakwa (Pasal 22c KUHP Belanda). Hakim baru
dapat menjatuhkan pidana kerja sosial setelah ia memastikan adanya
orang atau instansi yang untuk jangka pendek tertentu bersedia
memberikan pekerjaan tersebut kepada terpidana. Dimungkinkan jika
ternyata tidak ada pekerjaan yang tersedia bagi terpidana, maka Hakim
dapat tidak menjatuhkan pidana kerja sosial, tetapi hanya
dimungkinkan untuk pengenaan pidana penjara saja.
Dalam suatu keputusan Hakim yang memuat sanksi pidana
kerja sosial, maka disamping dicantumkan sanksi pidana kerja sosial
tersebut, maka tercantum pula sanksi pidana penjara, yang oleh Hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
dinyatakan tidak dijalankan kecuali jika Hakim tidak memilih pidana
kerja sosial sebagai suatu sanksi pidana dalam keputusan akhirnya atau
hal ini untuk mengantisispasi jika ternyata sanksi pidana kerja sosial
gagal dilaksanakan dengan baik. Maksimal yang dapat diterpakan
untuk pidana kerja sosial ini adalah selama 240 jam, perhitungan
abstrak selama 240 jam tersebut sebanding dengan pidana penjara
selama 6 bulan, dengan perincian tiap minggu maksimal terpidana
bekerja selama 9-10 jam. Maksimum jangka waktu penyelesaian
pidana kerja sosial ini adalah 1 tahun.
Terhadap terpidana anak, batasan umur anak dalam KUHP
Belanda adalah 12-18 tahun, namun untuk rentang umur antara 16-18
tahun, Hakim denga mempertibangkan kedewasaan dari terpidana
anak tersebut, dapat memilih untuk memberlakukan hukum pidana
dewasa dengan ketentuan pidana penjara dikurangkan setengahnya
dari pidana penjara orang dewasa, pidana penjara seumur hidup diganti
dengan pidana penjara 10 tahun. Dalam Pasal 77h ayat (2) disebutkan
bahwa pidana kerja sosial termasuk dalam sanksi alternatif pengganti
pidana pokok yang dikenakan terhadap anak. Dalam Pasal 77f ayat
(1b) disebutkan bahwa dalam menerapkan Pasal 74 ayat (1) penunt
umum dapat menabahkan syarat-syarat kepada terdakwa berupa
pidana kerja sosial (arbeid ten algemenen) atau memperbaiki
kerusakan akibat tindak pidana atau mengikuti proyek pelatihan
minimal 40 jam dalam suatu periode tertentu, namun tidak boleh lebih
dari 3 bulan.
Pidana kerja sosial sebagai sanksi alternatif harus
diterapkan/dikenakan sebagai pengganti dari pidana-pidana yang
ditetapkan untuk delik khusus, dan tidak ada sanksi alternatif yang
dapat disamakan dengan tindakan “penempatan dalam suatu lembaga”
(Pasal 77g KUHP Belanda). Dalam Pasal 77b KUHP Belanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
disebutkan bahwa, dalam hal seseorang telah mencapai usia 16 tahun,
tetapi belum 18 tahun pada saat delik dilakukan, Hakim dapat tidak
menerapkan Pasal 77 g KUHP Belanda dan memberlakukan ketentuan
dalam bab terdahulu apabila ada alasan berdasarkan kualitas/bobot,
sifat/karakter pembuat, atau keadaan-keadaan pada waktu delik di
lakukan (Barda Nawawi Arief, 2002:17-21).
g. Perancis
Ketentuan pidana kerja sosial di Perancis sebagaimana
diungkapkan oleh Jean-Marie Picqurat, bahwa dimasukannya
ketentuan pidana kerja sosial dalam KUHP Perancis, didasarkan atas
penerapan aturan pidana kerja sosial yang ada di Kanada berdasarkan
hukum anglo-saxon. Selain pengalaman penerapan pidana kerja sosial
di Kanada tersebut, Perancis juga terinspirasi dari percobaan-
percobaan penerapan pidana tersebut dalam rentang tahun 1992-1993,
dan disimpulkan bahwa pidana kerja sosial sangat berguna jika
diterapkan bagi pelaku tindak pidana, yaitu menghindarkan diri
mereka dari suasana hukuman penjara dan juga dapat diterapkan bagi
para residivis yang telah menghuni beberapa kali lembaga penjara
tersebut.
Pelaksanaan pidana kerja sosial di Perancis dilakukan selama
jangka waktu minimum 40 jam dan maksimum 240 jam yang
pelaksanaan keseluruhan pidana tersebut tidak melebihi jangka waktu
maksimum 18 bulan. Dalam melaksanakan pekerjaan dalam lingkup
pidana kerja sosial ini, jumlah jam kerja terpidana tidak melebihi
waktu sekama 12 jam dari waktu bekerja yang biasanya selama
seminggu. Terhadap anak yang berumur 16-18 tahun pidana kerja
sosial diberikan dengan jangka waktu 20-120 jam. Jika pidana kerja
sosial tidak dapat dilaksanakan secara baik sesuai dengan kesepakatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
atau tidak dilaksanakan secara sempurna, maka pengadilan yang
memberikan pidana tersebut akan melihat kembali keputusan yang
telah dijatuhkan tersebut dengan mengganri putusan tersebut menjadi
pidana penjara atau dikenakan pidana denda.
Menurut Jean-Marie Picqurat, pidana kerja sosial di dalam
ketentuan KUHP Perancis, pada pokoknya terdiri dari 2 tipe, yaitu:
a) Pidana kerja sosial sebagai pidana pokok (diterapkan selama 200
jam yang dilaksanakan selama 6 bulan, jika gagal dilaksanakan,
maka hukuman dapat digantikan dengan pidana penjara selama 2
tahun dan denda sebesar 200.000 F) (Article 132-54 the French
Criminal Code).
b) Sanksi pidana kerja sosial sebagai kombinasi dengan pidana
bersyarat (suspended sentence). (sanksi pidana bersyarat yang
dapat dikenakan pidana kerja sosial dengan ancaman pidana
minimal 3 bulan penjara). (Berdasarkan Article 132-54 the French
Criminal Code, disebutkan bahwa “this provision is very close to a
probation order. In particular, its use is not subject to any
conditions”). Pidana kerja sosial di sini dapat dikenakan secara
keseluruhan atau sebagian dari pembatal pidana bersyarat (Hakim
berpandangan untuk mengambil alih juridiksi pemidanaan tersebut
(Jean-Marie Picqurat. Community Service, the French Experince.
http://www.caricom.org).
3. Teori-Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat teori-teori yang
dijadikan dasar pembenaran pemberian pidana. Berangkat dari teori-teori ini
maka pemberian pidana merupakan sesuatu yang memang beralasan untuk
diberikan oleh pelaku tindak pidana. Perkembangan pemikiran tentang hakikat
tujuan pemidanaan, akan diuraikan beberapa teori tentang tujuan pemidanaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
yaitu Teori retributif (absolute), teori relatif (deterrence), Teori perlindungan
sosial (social defence), Teori penggabungan (integratif) (Mahmud Mulyadi,
2006: 4).
a. Teori Retributif (absolute/pembalasan)
Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat
nyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku
tindak pidana. Sanksi pidana dideskripsikan sebagai suatu pemberian
derita dan petugas dapat dinyatakan gagal bila penderitaan ini tidak
dirasakan oleh terpidana (Eva Achjani Zulfa, 2011:51). Tujuan
pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
Tuntutan keadilan yang absolute ini, terlihat pada pendapat
Imanuel Kant dalam bukunya “philosophy of law” sebagai berikut
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:11) :
“…Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan / kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.
Menurut teori Kant, dasar pembenaran dari suatu pidana itu
terdapat di dalam apa yang disebut Kategorischen Imperativ, yakni yang
menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut, merupakan
keharusan yang bersifat mutlak, hingga setiap pengecualian atau setiap
pembatasan yang semata-mata didasarkan pada tujuan itu harus
dikesampingkan. Jadi menurut Imanuel Kant pidana bukan sekedar
sebagai tujuan tetapi pidana yang diberikan pada seseorang yang telah
melakukan kejahatan suatu keadilan.
Menurut Nigel Walker para penganut teori retributif ini dapat pula
dibagi dalam beberapa golongan,yaitu (Muladi dan Barda Nawawi Arief,
1998:13) :
1) Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan
si pembuat. Golongan inilah yang mengemukakan alasan-alasan atau
dasar pembenaran untuk pengenaan pidana, sehingga golongan ini
disebut “punisher” (penganut aliran/teori pemidanaan).
2) Penganut teori retributif positif yang berpendapat bahwa alasan
pembalasan saja tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Dibutuhkan alasan lain untuk membenarkan suatu penjatuhan pidana
di luar alasan pembalasan semata. Dalam hal ini, efek lain dari sanksi
yang dianggap positif, bila dalam pandangan retributif murni dianggap
sekunder sifatnya, justru dalam pandangan retributif positif menjadi
primer sifatnya. Titik berat dari pandangan ini adalah keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dari suatu penjatuhan sanksi pidana harus
diperhitungkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, retributif positif ini dibagi lagi oleh
Nigel Walker menjadi jenis pandangan yaitu:
1) Penganut teori retributif terbatas (the limiting retributivist) yang
berpendapat pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan,
hanya saja tidak boleh melibihi batas yang cocok/sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2) Penganut teori distributif (retributive in distribution), yang
berpendapat pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak
bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi
oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati,
tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict
liability”. Golongan ini tidak mengajukan alasan-alasan untuk
pengenaan pidana, tetap mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan
pidana. Selanjutnya Nigel Walker, menyatakan bahwa kebanyakan
KUHP disusun sesuai dengan penganut “the limiting retribitivist”
yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa
mewajibkan pengadilan untuk mengenakan maksimim tersebut.
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif
ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran
sebagai berikut (Romli Atmasasmita, 1995:83-84):
1) Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si
korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun
keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran
retributif ini disebut “vindicative”.
2) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap
perbuatan yang merugikan orang lain atau memproleh keuntungan dari
orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe
aliran retributif ini disebut “fairness”.
3) Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara
beratnya satu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran
retributif ini disebut propprtionality.
Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif, adalah sebagai berikut
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:17):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
1) Tujuan pemidanaan adalah semata-mata untuk pembalasan;
2) Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim),
mengandung saran-sarana untuk tujuan lainnya, misalnya
kesejahteraan masyarakat (social welfare);
3) Kesalahan merupakan syarat satu-satunya untuk adanya pidana;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; dan
5) Pemidanaan melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.
b. Teori Relatif (Deterrence)
Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan
lain yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan
masyarakat dan pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun
prevensi khusus. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan
memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan
kejahatan. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang
dijatuhkan, memberikan ”deterrence effect” kepada si pelaku sehingga
tidak mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan fungsi perlindungan
kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan
kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari
kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku (Mahmud Mulyadi, 2006:
6).
Van Bemmelen membagi tujuan pemidanaan ini dalam 2 (dua)
bagian yaitu prevensi umum/ pencegahan umum dan prevensi khusus/
pencegahan khusus (Van Bemmelen, 1987:27).
1) Prevensi Umum
Dengan prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana pada
masyarakat pada umumnya, pencegahan kejahatan ingin dicapai oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada
umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.
Menurut Johanes Andenaes ada tiga bentuk pengaruh dalam
pengertian “general prevention”, yaitu: pengaruh pencegahan,
pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral, dan pengaruh
untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. Jadi dalam
teori tidak hanya tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent
effect), tetapi juga termasuk pengaruh moral atau pengaruh bersifat
pendidikan sosial dari pidana (the moral of social pedagogical
influence of punishment) (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:18).
2) Prevensi Khusus
Bertolak dari pendapat pelaku tindak pidana dikemudian hari
akan menahan diri supaya jangan berbuat seperti tu lagi, karena ia
belajar bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan. Jadi pidana
akan berfungsi mendidik dan memperbaiki.
Pembela teori ini misalnya Van Hamel yang berpandangan
bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan
dan alasan dari penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul
dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari
adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang
pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini, ialah (Andi Hamzah,
1993:31) :
a) Pidana adalah melulu untuk pencegahan khusus, yakni untuk
menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan
cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak
melakukan niat jahatnya.
b) Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara
menjatuhkan pidana, maka penjatuhan pidana harus bersifat
memperbaiki dirinya (reclasering).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
c) Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka
penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membikin
mereka tidak berdaya.
d) Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib
hukum di dalam masyarakat.
Adapun ciri-ciri pokok dari teori relatif, adalah sebagai berikut
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:17):
a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e) Pidana melihat kemuka (bersifat prospektif); pidana dapat
mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun
unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesjahteraan masyarakat.
c. Teori Perlindungan sosial (social defence)
Teori pemidanaan perlindungan sosial ini berkembang setelah
Perang Dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Fillip Gramatica, yang
mendirikan pusat studi perlindungan masyarakat pada tahun 1945. Dalam
perkembangan pandangan “social defence” ini setelah kongres ke-2 tahun
1949 terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan
aliran yang moderat (reformis).
Pandangan radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. gramatica
yang berpendapat bahwa (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:35):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
“Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”.
Pandangan moderat dipertahankan oleh Marc Ancel yang
menamakan alirannya sebagai “Defence Social Nouvelle” atau “ New
Social defence” atau “perlindungan sosial baru”. Menurut Marc Ancel,
setiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk
kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu peran yang besar dari hukum pidana
merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem
hukum (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:36-37).
Konsepsi yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan
masyarakat baru ini adalah:
1) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan
yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak
pidana, penilaian Hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan
institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan
dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial.
2) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a
human and social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan
dimasukan dalam perundang-undangan.
3) Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang
bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan
penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban
pribadi ini menekankan pada kewajiban moral kearah timbulnya
moralitas sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
d. Teori Gabungan (integratif)
Teori gabungan ini mendasarkan bahwa pembalasan (retribiutive)
merupakan dasar dan pembenaran dijatuhkannya pidana, namun
seharusnya perlu diperhatikan bahwa penjatuhan pidana ini harus
membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain, misalnya kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Tokoh teori gabungan ini adalah Pallegrino
Rossi (1787-1848), dalam bukunya yang berjudul “Traite de Droit Penal”
Ia beranggapan pembenaran pidana terletak dalam pembalasan dan
beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya kejahatan. Namun ia juga
berpendapat pidana bertujuan memperbaiki tata tertib masyarakat. Hakim
harus memperhatikan manfaat apa yang diberikan pidana terhadap tata
tertib masyarakat (Mahmud Mulyadi, 2006: 7-8).
Teori gabungan ini coba menyatukan tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan dan juga untuk pencegahan. Kedua tujuan ini merupakan
gabungan antara teori retributif dan teori relatif di atas. Ketiga teori ini
masih mengakui peran hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan,
tinggal menempatkan tujuan pidana ini secara proposional.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu (Adami Chazawi, 2002:162-164):
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. Pendukung teori
yang menitik beratkan pada pembalasan ini didukung oleh Pompe
yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada
penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib
hukum agar supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan
terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat
dibenarkan apabila bermanfaat bagi dipertahanankannya tata tertib
(hukum) masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinnya pidana tidak boleh
lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana. Pendukung
teori gabungan yang mentitik beratkan pada tata tertib hukum ini,
pendukungnya antara lain Thomas Aquino dan Vos. Menurut Thomas
Aquino, bahwa yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan
umum. Untuk adanya pidana maka harus adanya kesalahan pada
pelaku perbuatan, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada
perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang
dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan
dengan sukarela inilah yang tiada lain bersifat pembalasan. Sifat
membalas dari pidana adalah merupakan sifat umum dari pidana,
tetapi bukan tujuan dari pidana, sebab tujuan pidana pada hakekatnya
adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat. Menurut
Vos, bahwa penjatuhan pidana adalah suatu keadilan. Umumnya
penjatuhan pidana dapat memuaskan perasaan masyarakat, dan dalam
hal-hal tertentu dapat berfaedah yakni terpidana lalu menyegani tata
tertib dalam masyarakat.
Jadi pada hakikatnya pidana adalah selalu perlindungan terhadap
masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Pidana juga
mengandung hal-hal lain, yaitu diharapkan sebagai sesuatu yang akan
membawa kerukunan, dan pidana adalah proses pendidikan untuk
menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Dari beberapa pendapat yang sudah dikemukakan tersebut di atas,
ada teori yang dikemukakan oleh Muladi, yaitu teori Pemidanaan
Integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila) (Muladi, 2008:53). Teori
pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral
terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa
ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan
bahwa tidak ada satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori
pemidanaan integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala
perspektif.
Menurut Muladi, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki
kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan karena adanya
tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa tindak
pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang mengakibatkan
kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) (Muladi,
2008:61).
Berdasarkan teorinya, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat
tujuan yang bersifat integratif tersebut meliputi:
1) Pencegahan (baik umum maupun khusus)
Pencegahan umum ditunjukan kepada masyarakat agar tidak
melakukan tindak pidana. Sedangkan pencegahan khusus ditujukan
agar pelaku tindak pidana yang sudah dijatuhi pidana tidak melakukan
tindak pidana dikemudian hari. Muladi menyebutkan bahwa dalam
pencegahan khusus mencakup tiga faktor utama yaitu tipologi
kejahatan, karakteristik pelaku kejahatan, kepastian dan kecepatan
pidana.
2) Perlindungan masyarakat
Pengertian perlindungan masyarakat mengarah pada semua keadaan
yang mendukung agar masyarakat terlindungi dari bahaya
pengulangan tindak pidana. Tujuan ini merupakan tujuan setiap
pemidanaan.
3) Memelihara solidaritas masyarakat
Pemeliharaan solidaritas mengarah pada upaya penegakan adat-istiadat
atau kebiasaan masyarakat dan pencegahan balas dendam
perseorangan atau balas dendam tidak resmi (private revenge or
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
unofficial retaliation) terhadap penjahat. Selain itu solidaritas
masyarakat seringkali dikaitkan dengan kompensasi terhadap korban
kejahatan berupa ganti rugi.
4) Pengimbalan/pengimbangan
Pengertian pengimbalan/pengimbangan adalah diperlukannya
keseimbangan antara perbuatan pidana dengan pidana yang dijatuhkan.
Hal ini perlu diperhatikan dalam setiap tahap pembinaan (Muladi,
2008:82-87).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
B. Kerangka Pemikiran
Gambar. 2 Kerangka Pemikiran
RUU KUHP 2010
PASAL 65
1. Pidana Penjara2. Pidana Tutupan3. Pidana Pengawasan4. Pidana Denda
5. Pidana Kerja Sosial Teori Pemidanaan
1. Absolute2. Relatif3. social defence
4. integratif
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
KUHP
PASAL 10
1. Pidana Mati2. Pidana penjara3. Pidana Kurungan4. Pidana Denda5. Pidana Tutupan
Prospek Konsep Pidana Kerja Sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Keterangan:
Di Indonesia dalam menegakan hukum pidana mengacu pada peraturan
perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun dalam perkembangannya penegakan hukum di Indonesia banyak
menggunakan pidana penjara dalam memberikan putusan, namun dalam
perkembangannya pidana penjara mendapatkan banyak kritik dari masyarakat
internasional untuk tercapainya tujuan pemidanaan baik atas pertimbangan
kemanusiaan, pertimbangan filososfis pemidanaan maupun atas pertimbangan
ekonomis.
Hal tersebut memunculkan ide atau gagasan mengenai alternatif
pemidanaan di Indonesia yang belum ada dalam undang-undang sebelumnya.
Alternatif pemidanaan yang dimaksud yaitu pidana kerja sosial yang sudah ada
sebelumnya di Negara-negara Eropa dan Amerika. Pidana kerja sosial yang ada
ditunjukan kepada terpidana yang hukumannya singkat atau pidana penjara
jangka pendek. Dengan pidana kerja sosial bertujuan agar terpidana yang telah
dijatuhi hukuman oleh pengadilan tidak perlu dimasukan ke dalam rumah tahanan
dan sebagai gantinya pidana ini mengharuskan terpidana menjalani kerja sosial
untuk beberapa waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Hakim dan tidak
dibayar. dan dengan pidana kerja sosial dianggap dapat memberikan pemecahan
masalah terhadap kelebihan daya tampung (over capacity) lembaga
pemasyarakatan di Indonesia. Pidana kerja sosial ini memberikan solusi terhadap
sistem pemidanaan Indonesia bahwa tidak semua masalah pidana harus di pidana
penjara. Dengan adanya pidana kerja sosial selain agar terpidana mendapatkan
pembalasan terhadap apa yang telah dilakukan, dengan adanya pidana ini juga
agar terpidana tidak merasa diasingkan oleh masyarakat pada saat terpidana
menjalani hukuman serta memberikan pembelajaran kepada pelaku tetapi juga
kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana yang sama hal tersebut
digunakan sebagai pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Diterapkan Konsep Pidana Kerja Sosial di Indonesia
Melatarbelakangi dimunculkannya pidana kerja sosial sebagai salah
satu pidana pokok sebagaimana dituangkan dalam Pasal 65 huruf e RUU
KUHP Indonesia Tahun 2010, sebagaimana ketentuan Majelis Umum PBB
dalam resolusi 45/110 pada tanggal 14 Desember 1990 yang tertuang dalam
aturan United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures
(The Tokyo Rules), pidana kerja sosial digunakan sebagai alternatif pidana
penjara. Karena banyaknya kritik mengenai pidana penjara yang kurang
memuaskan untuk tercapainya tujuan pemidanaan khususnya pidana penjara
jangka pendek, dan sebagai bentuk ketidak puasan masyarakat internasional
terhadap pidana penjara antara lain baik atas pertimbangan kemanusiaan,
pertimbangan filososfis pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomis.
Adanya pertimbangan bahwa pidana penjara hanya diberikan sebagai
sanksi yang terakhir terhadap tindak pidana yang dianggap tidak terlalu serius,
karena banyak ditemukan sisi negatif dari pidana penjara. Kelemahan penjara
pernah juga diungkapkan dalam kesimpulan konggres PBB kelima tahun 1975
mengenai prevention of crime and the treatment of offenders, selanjutnya
dikemukakan bahwa (Widodo, 2009:50):
“In many countries, the role an functions of penal institusions were the subject of vigorous debate, and there was a crisis in public confidence regarding the effectiveness of imprisonment and a tendency to discount the capacity of correctional institutions to contribute to the control or reduction of crime”.
Terjadi krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara di
berbagai negara sehingga mengakibatkan adanya kecenderungan untuk
mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang
pengadilan atau pengurangan kejahatan.
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai karena jenis
pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil, bukan saja kepada
terpidana namun juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya
tergantung dari narapidana tersebut. Dengan pidana perampasan kemerdekaan
dimaksud adalah pidana yang merampas dan/atau membatasi kemerdekaan
seorang narapidana. Termasuk dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan
antara lain pidana penjara, pidana tutupan, dan pidana kurungan.
Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan narapidana
antara lain (C.I. Harsono, 1995:60):
a. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadiaan atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di lembaga pemasyarakatan (loss of personality).
b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (loss of security).
c. Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung mudah marah sehingga dapat menghambat proses pembinaan (loos of liberty).
d. Dengan menjalani pidana di dalam lembaga pemasyarakatan, maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun juga dibatasi (loos of communication).
e. Selama di lembaga pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (loos of good and service).
f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, narapidana merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan kerinduaan pada keluarga (loos of heterosexsual).
g. Selama dalam lembaga pemasyarakatandan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (loos of prestige).
h. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana dapat kehilangan rasa percaya diri (loos of belief).
i. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinnya (loos of creatifity).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas dalam penerapannya
Konsep Pidana Kerja Sosial tidak boleh bertentangan dengan hukum positif
yang telah berlaku di Indonesia, adapun formulasi konsep pidana kerja sosial
dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 86 RUU
KUHP Tahun 2010 sebagai berikut:
Dalam konsep rancangan KUHP Tahun 2010 pidana kerja sosial ini
diatur dalam Pasal 86 yang menyatakan:
(1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
(2) Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal hal sebagai berikut :a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;b. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang undangan
yang berlaku;c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan
segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;d. riwayat sosial terdakwa;e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa;f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dang. kemampuan terdakwa membayar denda.
(3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a. Dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b. Seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
(5) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
(7) Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan:a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan
pidana kerja sosial tersebut; atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.
Dari ketentuan mengenai konsep Pidana Kerja Sosial sebagai salah
satu alternatif pengganti pidana penjara dan denda di Indonesia. Terdapat
beberapa formulasi yang dapat dijadikan landasan agar nantinya Pidana Kerja
Sosial mendapatkan pengaturan yang formal dalam hukum positif di
Indonesia. Beberapa formulasi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar 1945
Sebagaimana diketahui, bahwa kebebasan untuk menganut
agama/kepercayaan juga kebebasan untuk menganut garis politik dalam
negara Indonesia secara tegas dijamin oleh konstitusi yaitu dalam UUD
1945. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang bunyinya:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Persyaratan tentang pengakuan terpidana terhadap tindak pidana
yang dilakukan, persyaratan diperlukan dengan persetujuan pidana sendiri.
Apabila terhadap tindak pidana yang telah ditawarkan, terpidana tidak
mau memberikan pengakuan sekalipun putusan Hakim sudah dijatuhkan
sulit kiranya pidana kerja sosial akan diterapkan sebab pidana kerja sosial
tidak dilakukan secara paksa, karena hal tersebut merupakan hak dari
terdakwa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP yang
bunyinya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
“Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa Hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu: a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. Hak meminta di periksa perkaranya dalam tingkat banding dalam dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.”
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Alternatif pidana denda juga diterapkan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa apabila pidana
denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan latihan kerja sebagaimana
tertuang dalam Pasal 28 yang bunyinya:
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhjan kepada anak nakal paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvesi ILO
Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
Sementara berkaitan dengan persyaratan usia waktu terpidana
menurut undang-undang, dapat dikemukakan bahwa persayaratan ini
sebenarnya berkaitan dengan adanya larangan melakukan pekerjaan bagi
anak, Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang
bunyinya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja, yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan pekerjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun
2. Pendapat Penegak Hukum di Surakarta Mengenai Konsep Pidana Kerja
Sosial di Indonesia
Dari apa yang sudah diungkapkan di atas maka penulis ingin
mengetahui bagaimana pendapat/pandangan dari penegak hukum di Surakarta
mengenai prospek konsep pidana kerja sosial sebelum pidana tersebut
diterapkan di masa mendatang. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh penulis mengenai pendapat dari penegak hukum di Surakarta
mengenai konsep pidana kerja sosial pada RUU KUHP tahun 2010 adalah
sebagai berikut:
a. Pandangan Penegak Hukum Mengenai Penerapan Pidana Kerja
Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek di Indonesia
1) Pandangan Polisi Mengenai Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif
Pidana Penjara Jangka Pendek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai pandangannya tentang pidana kerja sosial, bahwa
sebelum pidana kerja sosial ini akan diterapkan di masa mendatang
harus adanya perencanaan secara matang oleh pemerintah baik dari
segi pengawasan terhadap pelaksanaannya maupun perlindungan
terhadap terpidana yang menjalankan pidana kerja sosial.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Aiptu Eko Santoso berikut
ini:
“Dalam penerapannya pidana kerja sosial harus dipersiapkan secara matang agar yang melakukan kerja sosial tidak terancam ,dan dalam melakukan kerja sosial sebaiknya dilakukan ditempat khusus dan tertutup” (Wawancara, 15082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Hal senada dituturkan oleh Aiptu Heri Purwanto berikut ini:
“Mungkin dalam penerapannya pidana kerja sosial harus ada pembahasan lebih lanjut yang harus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dari segi pengawasan terpidana saat menjalankan pidana kerja sosial tersebut apakah adanya badan pengawasan secara khusus untuk melaksanakan pengawasan ini. Bisa saja kalau nanti dia melaksanakan kerja sosial terus tidak dilakukan pengawasan lebih lanjut setelah bekerja terus pulang kerumah si terpidana sendiri bisa melarikan diri” (Wawancara, 15082012).
2) Pandangan Jaksa Mengenai Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif
Pidana Penjara Pangka Pendek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai pandangannya tentang pidana kerja sosial, yaitu
masyarakat diberikan kesempatan untuk dapat ikut serta dalam
memberikan hukuman kepada terpidana. Namun ada permasalahan
dalam penerapan pidana kerja sosial yaitu siapa yang bertanggung
jawab dan yang melakukan pengawasan kepada narapidana, serta
konsekuensi seperti apa yang diberikan kepada terpidana bila
melarikan diri.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Jaksa Djohar Arifin, sebagai berikut:
“Bagus dalam artian akan menjadikan masyarakat lebih dihargai dalam ikut serta memberikan hukuman kepada terpidana, tetapi yang menjadi permasalahan dalam penerapan pidana kerja sosial ini siapa yang akan mengawasi dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Apabila terpidana yang menjalankan kerja sosial ini melarikan diri maka konsekuensinya seperti apa yang harus diberikan” (Wawancara, 31082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
3) Pandangan Hakim Mengenai Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif
Pidana Penjara Jangka Pendek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai pandangannya tentang pidana kerja sosial, bahwa
kerja sosial ini merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya tidak
terdapat dalam KUHP yang lama sebagai antisipasi pemberian pidana
penjara, kurungan dan denda untuk tindak pidana ringan sebagai
bentuk alternatif selain itu juga harus adanya persiapan yang matang
oleh pemerintah bila benar-benar disahkan mendatang, dan Hakim
harus melaksankan ketentuan pidana tersebut bila di dalam undang-
undang sudah menetapkannya.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Hakim Jhony Answari,
berikut ini:
“Pidana kerja sosial merupakan pengembangan dari Pasal 10 KUHP yang sudah ada, pidana kerja sosial ini dibutuhkan sebagai antisipasi pemberian pidana penjara, kurungan dan denda untuk tindak pidana ringan sebagai bentuk alternatif.” (Wawancara, 14082012).
Pernyataan tersebut juga dituturkan oleh Hakim Khadim,
sebagai berikut :
“Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru yang sebelumnya belum terdapat dalam Pasal 10 KUHP, dan kerja sosial ini merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) sehingga harus ada persiapan secara matang oleh pemerintah dalam penerapannya bila benar-benar disahkan” (Wawancara, 14082012).
Sedangkan yang dituturkan Hakim Bintoro Widodo, tentang
pandangannya mengenai pidana kerja sosial sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
“Bila pidana kerja sosial sudah menjadi pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang sebagai dasar Hakim untuk memutuskan pidananya maka harus dilaksanakan ketentuan tersebut, dengan ketentuan apabila terbukti tindakannya yang didakwakan dan tuntutan yang diberikan oleh Jaksa penuntut sudah pantas dengan kejahatan yang dilakukan untuk dijatuhi dengan pidana kerja sosial.” (Wawancara, 14082012).
4) Pandangan Petugas Rutan mengenai Pidana Kerja Sosial Sebagai
Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas rutan mengenai pandangannya tentang pidana kerja sosial,
bahwa kerja sosial ini harus ada beberapa syarat yang diperhatikan
antara lain dari pengawasan dan pihak yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pidana kerja sosial yang dilakukan oleh para narapidana,
selain itu pidana kerja sosial yang akan dilakukan harus melalui
restorative justice dan adanya begening antara kedua belah pihak agar
adanya kepuasaan antara pihak korban dan pelaku upaya ini juga
sebagai memberikan rasa aman pada pelaku tersebut bila menjalankan
hukuman di luar penjara (lingkungan masyarakat).
Sebagaimana yang dituturkan oleh petugas Rutan Basuki,
sebagai berikut :
“Pandangan saya mengenai pidana kerja sosial masih harus adanya beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain dari segi pengawasan terhadap para terpidana lebih lanjut stelah melakukan pidana kerja sosial, pihak yang bertanggung jawab terhadap para terpidana selama menjalankan pidana kerja sosial dan segi adminstratif dari pelaksanaan pidana kerja sosial. Karena misal seperti asimilasi habis melakukan kegiatan di luar lembaga pemasyarakatan dia harus kembali lagi, dan untuk pertanggung jawaban kerja sosial ini diberikan kepada siapa itu harus diperhatikan lagi” (Wawancara, 12092012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Sedangkan yang dituturkan oleh petugas Rutan Slamet, sebagai
berikut :
“Penerapan pidana kerja sosial harus melalui restorative justice dan adanya begening antara kedua belah pihak agar terciptanya rasa aman pada terpidana, karena korban terkadang juga tidak terima atas penjatuhan pidana yang dianggap tidak adil bagi korban maka harus adanya perjanjian damai antara kedua belah pihak terlebih dahulu” (Wawancara, 12092012).
5) Pandangan Advokat Mengenai Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif
Pidana Penjara Jangka Pendek di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai pandangannya tentang pidana kerja sosial, bahwa
kerja sosial ini harus ditransformasikan terlebih dahulu dengan nilai
sosial dan nilai budaya Indonesia agar tidak ada kendala dalam
penerapanya.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Dalam penerapan pidana kerja sosial apabila mau ditaati maka ditrasnformasikan terlebih dahulu dengan nilai sosial bangsa Indonesia.” (Wawancara, 08082012).
b. Pendapat Penegak Hukum Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial
Dengan Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
1) Pendapat Polisi Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial Dengan
Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai kesesuaian pidana kerja sosial dengan kultur sosial
dan budaya bangsa Indonesia, bahwa adanya kesesuaian pidana kerja
sosial dengan kultur budaya bangsa Indonesia karena kerja sosial ini
sebelumnya sudah pernah diterapkan sejak jaman penjajahan Belanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
sehingga kerja sosial ini tidak asing lagi dimata masyarakat Indonesia.
Namun dalam kendalanya kerja sosial ini belum tentu bisa diterima
oleh masyarakat.
Pendapat Aiptu Heri Purwanto sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kerja sosial sesuai dengan sosial dan kultur budaya bangsa, karena kerja tanpa dibayar ini sudah pernah diterapkan saat penjajahan Belanda dan itu sudah tidak menjadi asing lagi bagi masyarakat Indonesia” (Wawancara, 15082012).
Pendapat Aiptu Eko santoso sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Pidana kerja sosial sudah sesuai dengan kultur sosial dan budaya Indonesia, tetapi masyarakat Indonesia sendiri yang belum tentu bisa menerima tentang kerja sosial itu sendiri” (Wawancara, 15082012).
2) Pendapat Jaksa Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial Dengan
Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai kesesuaian pidana kerja sosial dengan kultur sosial
dan budaya bangsa Indonesia. Bahwa kerja sosial ini sudah sesuai
dengan kultur sosial dan budaya bangsa Indonesia, karena di
masyarakat pedesaan masih terdapat hukum adat yang sangat
dihormati antara lain hukum denda yang diberlakukan di Flores ada
kasus pengendara menabrak hewan ternak babi dan juga menebang
pohon di wilayah yang dilindungi oleh hukum adat dan sebagai
hukumannya mereka disuruh untuk membayar denda. Begitu pula di
Kabupaten Ende dan Kabupaten Laram tuka adanya pengalaman dari
Jaksa Djohar Arifin dalam memberikan sosialisasi kepada para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
narapidana untuk bekerja sosial dan para napi menyambut dengan
antusias kerja sosial tersebut.
Pendapat Jaksa Djohar Arifin, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Sudah sesuai, karena banyak terjadi di masyarakat pedesaan kita bahwa hukum adat sangat dihormati adanya sanksi denda apabila adanya pelanggaran adat yang dilakukan. Contohnya di Flores ada kasus menabrak hewan ternak babi dan menebang pohon mereka dijatuhi hukum adat berupa denda.Dan berdasarkan pengalaman yang pernah saya dapat diKabupaten Ende dan Laram Tuka khususnya terpidana diberi sosialisasi untuk bekerja sosial mereka disuruh untuk membangun fasilitas publik dan semuanya dapat berjalan lancar dan terpidana menyambut antusias kerja sosial yang diberikan karena mereka mendapat pengalaman bekerja serta merasa dihargai walau hanya diberi makan dan rokok saja mereka sudah senang” (Wawancara, 31082012).
3) Pendapat Hakim Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial Dengan
Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai kesesuaian pidana kerja sosial dengan kultur sosial
dan budaya bangsa Indonesia. Bahwa kerja sosial ini sudah sesuai
dengan kultur sosial dan budaya bangsa Indonesia, karena adanya
kesesuaian hukum adat masyarakat kita dengan kerja sosial selain itu
kerja sosial ini juga dalam syarat dan ketentuannya sudah disesuaikan
dengan yang ada di Indonesia.
Pendapat Hakim Jhony Answari, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Pidana kerja sosial sudah sesuai dengan kultur sosial dan budaya Indonesia, karena pada masa penjajahan Belanda dulu dikenal sebagai sistem penjara dan sekarang sudah diubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dengan pembinaan kepada terpidana, begitu juga dengan pidana kerja sosial terpidana itu sedang dibina dan dimasyarakatkan kembali sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang pemasyarakatan kita. Dilihat juga tentang jam kerja dari kerja sosial itu 8 jam merupakan rata-rata jam kerja di Indonesia” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Khadim, sebagaimana yang dituturkan berikut
ini:
“Pidana kerja sosial sesuai dengan pidana adat Indonesia, karena dalam hukum adat itu sendiri terdapat sanksi sosial” (Wawancara, 14082012).
4) Pendapat Petugas Rutan Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial
Dengan Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas rutan mengenai kesesuaian pidana kerja sosial dengan kultur
sosial dan budaya bangsa Indonesia. Bahwa kerja sosial ini sudah
sesuai dengan kultur sosial dan budaya bangsa Indonesia yaitu dalam
hukum adat kita mengenal sanksi sosial dan kerja sosial ini dianggap
dapat menghapus kesenjangan di antara masyarakat kita bahwa
kesenjangan tersebut dapat dihapus dengan peran serta masyarakat
dalam upaya melakukan pembinaan kepada para terpidana.
Pendapat petugas Rutan Basuki, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Sudah sesuai, karena dalam hukum adat budaya kita masih mengenal tentang sanksi sosial karena setiap orang yang melanggar dari ketentuan adat yang sudah ditetapkan maka dia akan mendapatkan sanksi sosial atas pelanggaran yang dilakukan” (Wawancara, 12092012).
Pendapat petugas Rutan Slamet, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
“Sudah sesuai, karena kultur sosial dan budaya kita yang satu rumpun dan pada dasarnya seperti berdiri sama tinggi duduk sama rendah jadi kita sebagai masyarakat harus saling mengawasi dan ikut serta membina para terpidana menjadi lebih baik, karena tindak pidana terjadi akibat adanya kesenjangan di masyarakat kita bila kita ikut serta dalam melakukan pembinaan maka kesenjangan tersebut dapat dihilangkan dan para terpidana merasa menjadi bagian masyarakat biasa” (Wawancara, 12092012).
5) Pendapat Advokat Mengenai Kesesuaian Pidana Kerja Sosial Dengan
Kultur Sosial dan Budaya Bangsa Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai kesesuaian pidana kerja sosial dengan kultur sosial
dan budaya bangsa Indonesia. Bahwa kerja sosial ini sudah sesuai
dengan kultur sosial dan budaya bangsa Indonesia, bilamana kejahatan
yang dilakukan itu merupakan perusakan terhadap keseimbangan
masyarakat dan untuk memperbaiki itu semua maka dia harus
mengabdikan dirinya kepada masyarakat.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Sudah sesuai, dalam hukum adat pada saat melakukan kejahatan dia telah melakukan perusakan terhadap keseimbangan dalam masyarakat untuk memperbaiki hal itu bisa dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan cara kerja sosial” (Wawancara, 08082012).
c. Pendapat Penegak Hukum Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
1) Pendapat Polisi Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pidana penjara, adanya kontra pendapat mengenai kelebihan kerja
sosial dengan pidana penjara yang sudah diterapkan sebelumnya,
bahwa kerja sosial ini disatu sisi dapat merubah mental terpidana
untuk menjadi lebih baik namun disisi lain kerja sosial ini terdapat
kekurangan bila diterapkan karena kurangnya SDM kita untuk
melakukan pengawasan terhadap pidana kerja sosial ini.
Pendapat Aiptu Eko Santoso sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kelebihan kerja sosial dapat merubah sikap mental dari terpidana, mengendalikan keinginan terpidana untuk merugikan orang lain” (Wawancara, 15082012).
Adanya perbedaan pendapat yang dituturkan oleh Aiptu Heri
Purwanto berikut ini:
“Menurut saya lebih baik di pidana penjara saja, karena ada faktor-faktor seperti yang sudah saya sebutkan tadi dan ini harus dibahas lebih lanjut lagi sehingga dalam penerapannya bisa lebih matang lagi” (Wawancara, 15082012).
2) Pendapat Jaksa Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan dengan
pidana penjara. Dengan pidana kerja sosial bisa memberikan
pengalaman kerja kepada para narapidana, dapat mengurangi beban
anggaran negara yang dikeluarkan untuk para narapidana, dan juga
dapat meringankan beban kerja aparat penegak hukum apabila harus
berpekara sehingga membutuhkan waktu yang lama dalam
penyelesaiannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pendapat Jaksa Djohar Arifin, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Menurut saya pidana kerja sosial bisa lebih mengena untuk terpidana mereka mendapatkan pengalaman kerja bila dipidana kerja sosial, selain itu dapat mengurangi anggaran negara untuk terpidana apabila harus di penjara dan meringankan beban pekerjaan aparat penegak hukum apabila harus diperekarakan karena akan membutuhkan waktu yang lama” (Wawancara, 31082012).
3) Pendapat Hakim Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan dengan
pidana penjara, bahwa adanya kelebihan pidana kerja sosial
dibandingkan dengan pidana penjara yaitu dengan adanya pidana kerja
sosial selain dapat memasyarakatkan terpidana, menghilangkan
stigmasi bila di pidana penjara, menekan kelebihan daya tampung LP,
serta dapat mengurangi beban anggaran negara untuk kebutuhan para
narapidana selama di lapas. Selain itu semua pidana kerja sosial juga
dapat menjadi ganti rugi terpidana kepada korban ataupun masyarakat
terhadap kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan.
Pendapat Hakim Kadim, sebagaimana yang dituturkan berikut
ini:
“Dengan pidana kerja sosial maka dapat mengatasi masalah dari kelebihan kapasitas di penjara (over capacity), mengurangi beban anggaran negara untuk kebutuhan para narapidana, dan stigma yang diperoleh terpidana apabila dia di penjara, karena stigma itu sangat melekat terhadap mantan narapidana walaupun sudah keluar dari penjara tetap cap jahat itu masih melekat pada diri mantan napi tersebut” (Wawancara, 14082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Pendapat Hakim Jhony Aswari, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Dengan kerja sosial terlepas sebagai pendidikan terpidana tersebut juga untuk memasyarakatkan terpidana agar bermanfaat untuk masyarakat luas” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Bintoro Widodo, sebagaimana yang
dituturkan berikut ini:
“Dengan pidana kerja sosial dapat digunakan sebagai ganti rugi terpidana kepada korban atau masyarakat terhadap kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan” (Wawancara, 14082012).
4) Pendapat Petugas Rutan Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas rutan mengenai kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan
dengan pidana penjara, bahwa adanya kelebihan pidana kerja sosial
dibandingkan dengan pidana penjara yaitu sebagai mengatasi masalah
overload lembaga pemasyarakatan maupun rutan, menguragi anggaran
biaya negara untuk menghidupi para narapidana selama di lembaga
pemasyarakatan maupun rutan, dapat memanfaatkan tenaga para
narapidana untuk pelayanan publik dan sebagai upaya reintegrasi para
narapidana dengan masyarakat.
Pendapat petugas Rutan Basuki, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kelebihan dari pidana kerja sosial dapat mengurangi daya tampung warga binaan yang sementara ini sering over load, dapat mengurangi bajed dari negara bisa terkurangi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
tenaga-tenaga dari terpidana bisa dimanfaatkan untuk pelayanan publik” (Wawancara, 12092012).
Pendapat petugas Rutan Slamet, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kelebihan pidana kerja sosial dapat mengurangi kesenjangan sosial antar masyarakat, dapat mengatasi masalah over capacity, mengurangi anggaran pemerintah untuk biaya hidup bagi para narapidana dan sebagai upaya reintegrasi para narapidana dengan masyarakat” (Wawancara, 12092012).
5) Pendapat Advokat Mengenai Kelebihan Pidana Kerja Sosial
Dibandingkan Dengan Pidana Penjara
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan dengan
pidana penjara, bahwa pidana kerja sosial memiliki kelebihan
dibandingkan dengan pidana penjara dengan kerja sosial dapat
menghilangkan stigmasi negatif terpidana bila menjalani pidana
penjara. Selain itu terpidana juga dapat berhubungan baik dengan
masyarakat disaat menjalani kerja sosial ataupun setelah terbebas.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Kelebihan kerja sosial dapat menghilangkan stigmasi negatif yang ditimbulkan apabila bila dia di pidana penjara dan dia dapat berhubungan baik dengan masyarakat saat terbebas maupun saat menjalankan kerja sosial” (Wawancara, 08082012).
d. Pendapat Penegak Hukum Mengenai Bentuk Pidana Kerja Sosial
Yang Patut Diterapkan di Indonesia
1) Pendapat Polisi Mengenai Bentuk Kerja Sosial Yang Patut Diterapkan
di Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai bentuk kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia,
bahwa kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia disesuaikan
dengan keahlian terpidana. Selain itu di tempat-tempat yang sifatnya
bergerak di bidang sosial.
Pendapat Aiptu Eko Santoso sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Harus sesuai dengan arah terpidana (disesuaikan dengan keahliaan terpidana), contohnya saja orang desa yang bisa bertani maka kerja sosial yang diberikan tentang pertanian” (Wawancara, 15082012).
Pendapat Aiptu Heri Purwanto sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kalau pidana kerja sosial ini akan diterapkan lebih baik dipekerjakan di tempat yang sifatnya bergerak di bidang sosial, contohnya saja PMI, Panti Jompo, Panti Asuhan” (Wawancara, 15082012).
2) Pendapat Jaksa Mengenai Bentuk Kerja Sosial Yang Patut Diterapkan
di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai bentuk kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia.
Membersihkan jalan dan fasilitas umum di kota Solo, membantu
aparat kePolisian dalam upaya membatu mengatur lalulintas, bekerja
di panti sosial dan rumah sakit.
Pendapat Jaksa Djohar Arifin, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Bisa di berikan kerja untuk membersihkan jalan dan fasilitas umum di kota Solo, membantu kePolisian untuk mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
kelancaran lalulintas, dipekerjakan di panti sosial, di rumah sakit, dan terminal” (Wawancara, 31082012).
3) Pendapat Hakim Mengenai Bentuk Kerja Sosial Yang Patut
Diterapkan di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai bentuk kerja sosial yang patut diterapkan di
Indonesia, bahwa kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia
terutama untuk akses masyarakat luas, selain didasarkan dengan
ketrampilan terpidana dan jenis kejahatan serta lamanya hukuman
yang dijalani.
Pendapat Hakim Kadim, sebagaimana yang dituturkan berikut
ini:
“Disesuaikan saja dengan ketrampilan dan kebutuhan si pelaku tindak pidana, misalnya saja ketrampilannya memasak pekerjakan saja terpidana di panti jompo, panti asuhan dsb” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Bintoro Widodo, sebagaimana yang
dituturkan berikut ini:
“Bentuk kerja sosial yang pantas diberikan terlebih dahulu melihat kenyataannya seperti apa, berapa lama tuntutan pidananya dan kesesuaian kejahatan yang dilakukan. misalnya saja membersihkan jalan raya itu merupakan pengabdian pelaku kepada masyarakat, sedangkan terhadap korban yang telah dirugikan dari kejahatan yang dilakukan ada kasus tentang anak yang mencuri di sebuah toko dan dalam pesyaratannya untuk tidak melaksanakan pidana penjara dia harus bekerja di toko tersebut tanpa dibayar” (Wawancara, 14082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Pendapat Hakim Jhony Aswari, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Bentuk kerja sosial yang pantas untuk terpidana diutamakan untuk akses masyarakat luas, misalnya saja di rumah sakit, membersihkan jalan raya, pasar-pasar kumuh sehingga fasilitas umum dapat terpelihara dan juga sekolah hal tersebut bisa jadi edukasi kepada pelajar untuk tidak melakukan perbuatan yang dilakukan terpidana” (Wawancara, 14082012).
4) Pendapat Petugas Rutan Mengenai Bentuk Kerja Sosial Yang Patut
Diterapkan di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas rutan mengenai bentuk kerja sosial yang patut diterapkan di
Indonesia, bahwa kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia
disesuaikan dengan kemampuan dari terpidana dan tidak menuntut
tanggung jawab yang tinggi misalkan membangun jalan milik
pemerintah dan buruh perkebunan.
Pendapat petugas Rutan Basuki, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Yang patut diberikan sesuai dengan pendidikannya, bagi tipe yang pemikir dan memiliki kemampuan di tempatkan sesuai dengan kememampuannya sedangkan bagi yang hanya memiliki tenaga kasar bisa digunakan untuk membangun jalan milik pemerintah, gapura dan tempat yang memerlukan kemampuan fisik” (Wawancara, 12092012).
Pendapat petugas Rutan Slamet, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Bentuk kerja sosial yang tidak menuntut tanggung jawab yang tinggi, kerja sosial yang biasa dilakukan tenaga kasar dan upahnya rendah, mislanya saja buruh bangunan untuk proyek pemerintah dan buruh perkebunan hal ini juga dapat membantu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
terpidana mendapatkan pekerjaan kelak setelah terbebas” (Wawancara, 12092012).
5) Pendapat Advokat Mengenai Bentuk Kerja Sosial Yang Patut
Diterapkan di Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai bentuk kerja sosial yang patut diterapkan di
Indonesia, bahwa kerja sosial yang patut diterapkan di Indonesia
disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan sehingga dapat
ditentukan jenis kerja sosial apa yang harus dikerjakan.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Disesuaikan saja dengan perbuatan kejahatannya, misalnya apabila melakukan perusakan (Pasal 406 KUHP) maka harus merenovasi/memperbaiki kembali apa yang telah dia rusak, jika dalam hal kejahatan lain seperti penipuan ringan maka harus ikut serta dalam kegiatan sosial masyarakat contohnya: membersihkan jalan, membangun masjid, dan bekerja di panti jompo” (Wawancara, 08082012).
e. Pendapat Penegak Hukum Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan
Yang Pantas Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
1) Pendapat Polisi Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan Yang Pantas
Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai klasifikasi pelaku kejahatan yang pantas dijatuhi
pidana kerja sosial, bahwa klasifikasi kejahatan yang pantas dijatuhi
kerja sosial ini bisa terhadap seluruh tindak pidana terutama terhadap
kejahatan yang dapat merugikan masyarakat luas.
Pendapat Aiptu Eko Santoso sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
“Sebetulnya semua kejahatan dapat diterapkan pidana kerja sosial namun harus berdasarakan dari pertimbangan Hakimyang memutuskan, bisa saja kejahatan terhadap kekayaan negara (korupsi), tentang narkotika bahwa terpidana benar-benar melaksanakan pidana itu untuk tujuan merehabilitasi” (Wawancara, 15082012).
Pendapat Aiptu Heri Purwanto sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Jenis kejahatan yang dapat merugikan masyarakat banyak misalnya saja penjual minuman keras, Bandar judi dan penjudinya” (Wawancara, 15082012).
2) Pendapat Jaksa Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan Yang Pantas
Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai klasifikasi pelaku kejahatan yang pantas dijatuhi
pidana kerja sosial. Jenis pidana ringan yang tidak menimbulkan
konflik di masyarkat, misalnya saja pencurian rokok dan sandal,
penebangan pohon di hutan lindung, perjudian dalam skala yang kecil
dan penganiayaan ringan dan korbanpun sudah memaafkan pelaku.
Pendapat Jaksa Djohar Arifin, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Pidana ringan yang tidak menimbulkan konflik di masayarakat, misalnya saja pencurian ringan seperti mencuri rokok, sandal, penebangan pohon di hutan lindung, perjudian namun dalam skala yang kecil (togel) jangan sampai yang miliaran, bisa juga untuk penganiayaan namun dengan ketentuan korban sudah memaafkan. Jangan sampai diterapkan pada kasus pembunuhan karena dapat membahayakan masyarakat maupun terpidana” (Wawancara, 31082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
3) Pendapat Hakim Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan Yang Pantas
Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai klasifikasi pelaku kejahatan yang pantas dijatuhi
pidana kerja sosial, bahwa klasifikasi kejahatan yang pantas dijatuhi
kerja sosial jangan sampai berhubungan dengan nyawa, tubuh cukup
berhubungan dengan harta dan terhadap jenis kejahatan yang ringan.
Selain itu juga harus disesuiakan dengan kejahatan apa yang
disebutkan dalam RUU KUHP kedepannya bila kejahatan tersebut
mendapatkan pidana kerja sosial maka harus dilaksanakan ketentuan
yang ada.
Pendapat Hakim Kadim, sebagaimana yang dituturkan berikut
ini:
“Kejahatan-kejahatan ringan saja, jangan sampai semua orang yang melanggar hukum itu di pidana penjara. Contohnya saja orang yang mencuri buah kakao atau sandal jepit itu bisa saja diganti dengan kerja sosial dan waktunya sendiri disesuaikan dengan beratnya pidana yang diperbuat” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Bintoro Widodo, sebagaimana yang
dituturkan berikut ini:
“Tergantung dari apa yang dituntut oleh Undang-Undang yang dilanggar, misalnya pencurian apabila disebutkan dalam RUU KUHP mendatang disahkan dan disebutkan mendapat sanksi kerja sosial maka harus dilaksanakan ketentuan tersebut” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Jhony Aswari, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
“Saya berpandangan untuk kejahatan yang diberikan kerja sosial ini bagi orang-orang tertentu dan kasus-kasus tertentu jangan sampai dengan tindak pidana yang berhubungan dengan nyawa, tubuh. Cukup pada harta misalnya penipuan ringan yang jumlahnya tidak seberapa, dan penganiayaan juga boleh asal dalam hal ini korban telah memaafkan terpidana” (Wawancara, 14082012).
4) Pendapat Petugas Rutan Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan Yang
Pantas Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas rutan mengenai klasifikasi pelaku kejahatan yang pantas
dijatuhi pidana kerja sosial, bahwa klasifikasi kejahatan yang pantas
dijatuhi kerja sosial hanya terhadap tindak pidana ringan misalnya
terhadap kecelakaan lalulintas, perjudian, mabuk, pencuriaan ringan
karena faktor ekonomi yang bukan residivis dan terhadap pelaku
kerusuhan masal.
Pendapat petugas Rutan Basuki, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kejahatan yang pantas diberikan kerja sosial antara lain kasus lakalantas, perjudian, mabuk dan kasus pencurian ringan karena faktor ekonomi” (Wawancara, 12092012).
Pendapat petugas Rutan Slamet, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Hanya diberikan terhadap kejahatan ringan saja, misalkan perjudian, kecelakaan lalulintas, pencuri pemula yang bukan residivis serta pelaku kerusuhan masal yang merupakan korban politik dari front-front pemberontak” (Wawancara, 12092012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
5) Pendapat Advokat Mengenai Klasifikasi Pelaku Kejahatan Yang
Pantas Dijatuhi Pidana Kerja Sosial
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai klasifikasi pelaku kejahatan yang pantas dijatuhi
pidana kerja sosial, bahwa klasifikasi kejahatan yang pantas dijatuhi
kerja sosial jangan sampai berhubungan dengan nyawa lebih baik
terhadap pencurian atau penggelapan namun dengan nominal yang
tidak banyak.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Yang penting tidak berhubungan dengan nyawa, misalnya diterapkan pada kasus pencurian ringan dan penggelapan dengan jumlah yang tidak banyak” (Wawancara, 08082012).
f. Setuju Atau Tidaknya Para Penegak Hukum Dengan Penerapan
Pidana Kerja Sosial di Indonesia
1) Polisi
Beradasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Polisi mengenai pidana kerja sosial adanya kontra pendapat yaitu
disatu sisi setuju dengan pidana kerja sosial ini dengan adanya
persiapan yang matang dan adanya rasa keadilan untuk masyarakat,
disatu sisi pidana kerja sosial ini tidak disetujui karena dalam
melakukan pengawasan terhadap kerja sosial ini dirasa sulit dan belum
adanya sadar hukum masyarakat kita dibandingkan dengan negara-
negara maju yang sudah menerapkan pidana kerja sosial.
Pendapat Aiptu Eko Santoso sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Saya setuju dengan penerapan pidana kerja sosial, namun dikembalikan lagi pada rasa keadilan masyarakat dan adanya persiapan yang matang terlebih dahulu dalam penerapannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Karena harapan kami sebagai Polisi yaitu agar terpidana yang sudah menjalankan hukumannya tersebut tidak mengulangi lagi pelanggaran yang dilakukan” (Wawancara, 15082012).
Pendapat Aiptu Heri Purwanto sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Kalau saya tidak setuju dengan pidana kerja sosial ini karena untuk pengawasannya sangat sulit dilakukan dan masyarakat kita belum mengenal sadar hukum seperti halnya masyarakat negara maju yang sudah menerapkan pidana kerja sosial” (Wawancara, 15082012).
2) Jaksa
Beradasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Jaksa mengenai pidana kerja sosial, bahwa adanya apresiasi dari Jaksa
tentang penerapan kerja sosial di Indonesia. Perlunya uji coba untuk
pelaksanaan pidana kerja sosial agar tidak ada permasalahan aturan
mainnya sehingga dapat obyektif dan terbuka, namun harus adanya
pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan
misalkan berkoordinasi dengan aparatur desa seperti RT, RW dan
Kelurahan. Selain itu juga dengan aparat penegak hukum seperti
Polisi, Jaksa ataupun BAPAS.
Pendapat Jaksa Djohar Arifin, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Sangat setuju, memang perlu dicoba untuk pelaksanaan pidana kerja sosial agar tidak ada permasalahan aturan mainnya sehingga dapat obyektif dan terbuka, namun sekali lagi untuk pihak yang mengawasi dan bertanggung jawab harus ada kepastian terlebih dahulu mungkin saja dapat berkoordinasi dengan aparat desa seperti ketua RT, RW dan kelurahan, selain itu juga pihak Polisi, keJaksaan dan BAPAS” (Wawancara, 31082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
3) Hakim
Beradasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Hakim mengenai pidana kerja sosial, bahwa adanya apresiasi dari
Hakim tentang penerapan kerja sosial di Indonesia namun harus
adanya persiapan yang matang dari pemerintah sebagai hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum), selain itu dengan kerja sosial ini
tidak menjadi kerja rodi bagi terpidana yang melaksanakan. Adanya
manfaat yang di dapat dari kerja sosial ini sebagai upaya perawatan
terhadap fasilitas umum.
Pendapat Hakim Kadim, sebagaimana yang dituturkan berikut
ini:
“Sangat setuju, dalam artian ius constituendum dan persiapan yang sangat matang dari pemerintah untuk penerapannya” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Bintoro Widodo, sebagaimana yang
dituturkan berikut ini:
“Setuju, kalau memang dalam hal pemerintah sudah menyetujui (mengesahkan) kita sebagai Hakim tinggal menerapkannya saja. Namun dalam penerapanya bila disahkan nantinya harus ada persiapan secara matang terlebih dahulu oleh pemerintah” (Wawancara, 14082012).
Pendapat Hakim Jhony Aswari, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Pidana kerja sosial ini sangat dibutuhkan, harus ada dan hal ini sangat dinantikan. Karena tidak semua manusia dapat bertobat apabila dimasukan dalam sel tahanan selain itu dengan pidana kerja sosial kita dapat memanfaatkan terpidana untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
merawat fasilitas umum dan bermanfaat bagi masyarakat luas, tetapi jangan sampai kerja sosial itu menjadi kerja rodi bagi para terpidana” (Wawancara, 14082012).
4) Petugas Rutan
Beradasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
petugas Rutan mengenai pidana kerja sosial, bahwa adanya apresiasi
dari Petugas Rutan tentang penerapan kerja sosial di Indonesia namun
dengan ketentuan hanya diberikan pada kasus-kasus tertentu dan jenis
pidananya ringan selain itu pidana kerja sosial ini mempunyai banyak
sisi positif antara lain mengurangi anggaran negara untuk menghidupi
para narapidana dan seabagi upaya reintegrasi narapidana dengan
masyarakat.
Pendapat petugas Rutan Basuki, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Setuju, dengan ketentuan pidana kerja sosial yang diberikan disesuaikan dengan kasus-kasus dan syarat-syarat yang harus diperhatikan yang telah saya sebutkan tadi, hanya terhadap kasus-kasus ringan saja” (Wawancara, 12092012).
Pendapat petugas Rutan Slamet, sebagaimana yang dituturkan
berikut ini:
“Setuju, karena setidaknya akan mengurangi beban pemerintah dalam hal biaya hidup bagi para narapidana selain itu dalam rangka reintegrasi masyarakat dalam upaya penyadaraan kepada pelaku tindak pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukan” (Wawancara, 12092012).
5) Advokat
Beradasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
Advokat mengenai pidana kerja sosial, bahwa adanya apresiasi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
penerapan pidana kerja sosial di Indonesia. Dengan adanya kerja sosial
dapat menghindarkan stigma negatif bila di pidana penjara selain itu
pidana kerja sosial ini dapat bermanfaat juga bagi masyarakat bila
dibandingkan dengan pidana penjara karena pidana ini juga dirasa
tidak efektif.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Advokat Irpan, berikut ini:
“Setuju, karena apabila dipenjara juga tidak efektif dengan adanya pidana kerja sosial mereka dapat bermanfaat dimasyarakat dan menghilangkan stigma negatif bila di penjara baik sebelum dan atau setelah bebas” (Wawancara, 08082012).
g. Pandangan Mengenai Pertimbangan Penegak Hukum Dalam
Memberikan Pidana Kerja Sosial Bila Diterapkan Pada Masa
Mendatang
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan aparat
penegak hukum khususnya dengan Jaksa dan Hakim karena peran mereka
dalam memberikan tuntutan dan putusan pada proses perdalian.
1) Pertimbangan Jaksa
Adapun dalam pertimbangannya apabila pidana kerja sosial ini
dilaksanakan di masa mendatang, pidana kerja sosial ini hanya pantas
untuk pidana ringan saja, melihat reaksi pada masyarakat apakah
pidana yang dilakukan dapat menimbulkan konflik bila dikenakan
pidana kerja sosial, riwayat hidup dari terdakwa apakah pernah
melakukan kejahatan atau tidak, dan faktor pendorong terdakwa
melakukan tindak pidana.
Sebagaimana yang dituturkan Jaksa Djohar Arifin, sebagai
berikut:
“Pertimbangan yang diberikan kerja sosial ini diberikan untuk pidana ringan, tidak menimbulkan konflik di masyarakat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
untuk pelaku dilihat dari riwayat kejahtan yang pernah dilakukan apakah pernah melakukan kejahatan apakah baru saja, dan faktor pendorong terpidana melakukan kejahatan tersebut” (Wawancara, 31082012).
2) Pertimbangan Hakim
Adapun dalam pertimbangannya apabila pidana kerja sosial ini
dilaksanakan di masa mendatang, jenis tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa bahwa tindak pidana yang dilakukan adalah tindak
pidana ringan, riwayat terdakwa yang belum pernah tersangkut proses
peradilan pidana, faktor psikologis terdakwa, umur dari terdakwa,
melihat rasa keadilan di masyarakat bahwa sepantasnya terdakwa
mendapatkan pidana kerja sosial, dan harus adanya dasar acuan yang
konkrit serta syarat-syarat untuk terdakwa sehingga Hakim dapat
memberikan opsi pidana kerja sosial serta adanya alternatif bagi
seorang Hakim dalam menjatuhkan pidana selain pidana penjara untuk
membatasi jumlah penghuni lapas yang semakin padat.
Sebagaimana yang dituturkan Hakim Bintoro Widodo, sebagai
berikut:
“Untuk membatasi jumlah penjatuhan pidana penjara karena jumlah penghuni lapas semakin padat, dalam kasus yang dilanggar oleh tepidana tidak terlalu berat dan berdasarkan rasa keadilan di masyarakat bahwa terpidana sepantasnya untuk mendapatkan pidana kerja sosial (Wawancara, 14082012).
Pertimbangan Hakim Kadim, sebagai berikut:
“Sifat dari pidana tidak pidana yang dilakukan oleh terpidana itu sendiri, yang pertama dia melakukan tindak pidana karena faktor apa, yang kedua belum pernah tersangkut dengan proses peradilan pidana, yang ketiga faktor usia, sosial dan psikologis dari terdakwa itu sendiri” (Wawancara, 14082012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Pertimbangan Hakim Jhony aswari, sebagai berikut:
Harus ada syarat yang menjadi acuan dasar seorang Hakimuntuk memberikan opsi pidana kerja sosial, juga adanya syarat konkrit bagi Hakim untuk pidana kerja sosial, hal tersebut digunakan untuk menghindari praktek kongkalikong antara Hakim dengan terpidana ataupun kuasa hukum terpidana. Sehingga diperlukan syarat-syarat khusus yang konkrit untuk pedoman bagi Hakim dalam memberikan opsi pidana kerja sosia” (Wawancara, 14082012).
3. Konsep Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Aspek Tujuan Pemidanaan
Pelaksanaan pidana kerja sosial di Indonesia tidak lepas dari tujuan
yang hendak dicapai dalam pemidanaan. Namun sebagaimana kita ketahui
bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum pidana Indonesia belum
dirumuskan secara formal di dalam undang-undang khususnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Oleh karena itu untuk melihat
tujuan pemidanaan yang terkandung pada konsep pidana kerja sosial, tolak
ukur yang akan dipakai penulis untuk menilai relevansi dari pidana kerja
sosial dengan tujuan pemidanaan sebagai pembaharuan hukum pidana
Indonesia penulis melakukan penelitian dengan beberapa penegak hukum di
Surakarta sebagai dasar acuan sejauh mana pidana kerja sosial tersebut dapat
memenuhi tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Terutama ketika pidana
kerja sosial dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam
Rancangan KUHP Baru Indonesia Tahun 2010 sebagai bentuk pembaharuan
hukum pidana Indonesia. Berhubung tujuan pemidanaan baik yang
dirumuskan dalam berbagai teori pemidanaan maupun dalam Rancangan
Undang-Undang KUHP Indonesia itu sendiri bersifat sangat plural, maka
untuk melihat apakah pidana sosial dapat memenuhi tuntutan tujuan
pemidanaan akan dilihat dari aspek tujuan pemidanaan yang bersifat umum.
Berikut ini akan disinggung kembali tujuan pemidanaan yang dikemukakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dalam berbagai teori pemidanaan serta dalam Rancangan Undang-Undang
KUHP baru Indonesia Tahun 2010.
Sebagaimana telah dirumuskan dalam teori pemidanaan, setiap teori
pemidanaan memiliki tujuan pemidanaan yang berbeda-beda antara lain Teori
retributif (absolute), teori relatif (deterrence), Teori perlindungan sosial
(social defence), Teori gabungan (integratif). Teori retributif, misalnya
merumuskan, bahwa tujuan pemidanaan semata-mata untuk memenuhi ambisi
balas dendam tanpa mempunyai tujuan lebih lanjut. Sementara itu dalam teori
relatif mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan mempunyai tujuan lebih
lanjut dari sekedar untuk pembalasan. Menurut teori ini pemidanaan
mempunyai tujuan untuk prevensi, baik yang bersifat umum maupun yang
bersifat khusus. Sedangkan Teori perlindungan sosial (social defence) yang
dipelopori oleh F. gramatica yang berpendapat bahwa teori perlindungan
sosial merupakan tujuan pidana yang mengintegrasikan individu ke dalam
tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Di luar ketiga teori tersebut di atas ada teori yang bersifat integratif,
yang mengartikulasikan tujuan pemidanaan sekaligus. Menurut teori
integratif, tujuan pemidanaan bersifat plural, yaitu baik sebagai pembalasan
mapun sebagai prevensi dan perlindungan masyarakat. Selain itu
dikemukakan oleh Muladi, yaitu teori Pemidanaan Integratif (kemanusiaan
dalam sistem Pancasila). Menurut Muladi, tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan baik individual maupun sosial yang disebabkan
karena adanya tindak pidana. Konsepsi ini bertolak dari asumsi dasar, bahwa
tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan yang
mengakibatkan kerusakan individual dan sosial (individual and social
damages). Berdasarkan teorinya, Muladi mengemukakan bahwa seperangkat
tujuan yang bersifat integratif tersebut meliputi :
a. pencegahan (baik umum maupun khusus);b. perlindungan masyarakat;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
c. memelihara solidaritas masyarakat, dand. pengimbalan/pengimbangan.
Untuk mengetahui tujuan pidana yang dianut dalam pidana kerja sosial
dengan tujuan pemidanaan yang telah dikemukakan di atas maka penulis
melakukan penelitian dengan para penegak hukum di Surakarta berupa
pendapat dari para penegak hukum atas pengalaman yang diperoleh selama
menjalankan tugas, adapun hasil wawancara yang diperoleh penulis antara
lain sebagai berikut:
a. Konsep pidana kerja sosial dihubungkan dengan teori pemidanaan
retributif (absolute)
Pandangan penegak hukum di Surakata mengenai relevansi pidana
kerja sosial dengan teori pemidanaan retributif (absolute) dapat ditunjukan
melalui data yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Relevansi pidana kerja sosial dengan
teori pemidanaan retributif (absolute)
NO Pendapat Penegak Hukum Jumlah Presentase (%)
1 Setuju bahwa kerja sosial mendapatkan
pembalasan
6 66,67
2 Tidak setuju bahwa kerja sosial
mendapatkan pembalasan
3 33,33
3 Tidak tau 0 0
Jumlah 9 100
Sumber : Hasil Wawancara Dengan Aparat Penegak Hukum Di Surakarta
Pada tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa dari 9 (sembilan) aparat
penegak hukum di Surakarta, 6 (enam) orang di antaranya menyatakan
bahwa dengan pidana kerja sosial terpidana mendapatkan pembalasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
berupa rasa malu dan penderitaan. Mereka berpendapat bahwa dengan
pidana kerja sosial terpidana mendapatkan pembalasan atas perbuatan
yang dilakukan, dengan pidana kerja sosial yang diberikan melalui
putusan Hakim dalam persidangan dan masyarakat yang hadir dalam
persidangan mengetahuinya sudah memberikan rasa malu bagi terpidana.
Pekerjaan yang dilakukan terpidana selama berpuluh-puluh jam untuk
kepentingan masyarakat serta tidak mendapatkan bayaran merupakan
penderitaan, selain itu di tempatkan terpidana di lingkungan masyarakat
dalam melaksanakan pidana kerja sosial juga memberikan rasa malu
kepada terpidana karena masyarakat mengetahui status sebagai terpidana
yang melaksanakan hukuman berupa kerja sosial.
Sementara itu pada tabel 1 di atas ada 3 (tiga) aparat penegak
hukum di Surakarta yang tidak setuju bahwa pidana kerja sosial
mendapatkan pembalasan atas perbuatan yang dilakukan. Mereka
berpendapat bahwa pidana kerja sosial yang diterapkan terlalu mudah dan
ringan bagi terpidana bila dibandingkan dengan pidana penjara, selain itu
bahwa tujuan pemidanaan di Indonesia tidak sebagai upaya untuk
pembalasan melainkan sebagai upaya membina dan merehabilitasi
terpidana agar dapat kembali pada masyarakat.
b. Konsep pidana kerja sosial dihubungkan dengan teori pemidanaan
relatif (deterrence)
Pandangan penegak hukum di Surakata mengenai relevansi pidana
kerja sosial dengan teori pemidanaan relatif (deterrence) dapat ditunjukan
melalui data yang dijelaskan dalam tabel berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Tabel 2
Relevansi pidana kerja sosial dengan
teori pemidanaan relatif (deterrence)
NO Pendapat Penegak Hukum Jumlah Presentase (%)
1 Dengan kerja sosial dapat memberikan
upaya pencegahan umum dan khusus
8 88,89
2 Dengan kerja sosial tidak dapat
memberikan upaya pencegahan umum
dan khusus
1 11,11
3 Tidak tau 0 0
Jumlah 9 100
Sumber : Hasil Wawancara Dengan Aparat Penegak Hukum Di Surakarta
Pada tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa dari 9 (sembilan) aparat
penegak hukum di Surakarta, 8 (delapan) orang di antaranya menyatakan
bahwa dengan pidana kerja sosial terpidana mendapatkan upaya prevensi
umum dan khusus. Mereka berpendapat dengan pidana kerja sosial yang
dilakukan di luar penjara dan berhubungan langsung dengan masyarakat
dapat menjadi upaya pembelajaran kepada masyarakat agar tidak
melakukan tindak pidana, karena setiap tindak pidana yang dilakukan pasti
akan di pidana dan itu merupakan upaya pencegahan umum. Sedangkan
rasa malu yang di dapat terpidana dengan melaksanakan pidana kerja
sosial yang dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan maupun Rumah
Tahanan dan diketahui oleh masyarakat, rasa malu yang dialami oleh
terpidana diharapkan dapat menjadi salah satu upaya sarana pemberian
efek jera agar terpidana tidak melakukan tindak pidana setelah terbebas.
Sementara itu pada tabel 2 di atas ada 1 (satu) aparat penegak
hukum di Surakarta yang tidak setuju bahwa pidana kerja sosial sebagai
upaya pencegahan secara umum maupun khusus, karena ada beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
faktor orang melakukan tindak pidana salah satunya adalah faktor
ekonomi yaitu bila sesorang yang terdesak untuk mencukupi kebutuhan
hidup dapat melakukan segala cara agar kebutuhannya dapat terpenuhi,
walaupun diberi pidana kerja sosial hal tersebut tidak memberikan efek
jera kepada terpidana.
c. Konsep pidana kerja sosial dihubungkan dengan teori pemidanaan
perlindungan sosial (social defence)
Pandangan penegak hukum di Surakata mengenai relevansi pidana
kerja sosial dengan teori pemidanaan perlindungan sosial (social defence)
dapat ditunjukan melalui data yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 3
Relevansi pidana kerja sosial dengan
teori pemidanaan perlindungan sosial (social defence)
NO Pendapat Penegak Hukum Jumlah Presentase (%)
1 Setuju bahwa kerja sosial dapat
memberikan perlindungan pada
masyarakat
7 77.78
2 Tidak setuju bahwa kerja sosial dapat
memberikan perlindungan pada
masyarakat
1 11,11
3 Tidak tau 1 11,11
Jumlah 9 100
Sumber : Hasil Wawancara Dengan Aparat Penegak Hukum Di Surakarta
Pada tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa dari 9 (sembilan) aparat
penegak hukum di Surakarta, 7 (Tujuh) orang di antaranya menyatakan
bahwa dengan pidana kerja sosial dapat memberikan perlindungan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
masyarakat. Mereka berpendapat dengan pidana kerja sosial yang
dilakukan dapat memberikan pengalaman kerja kepada terpidana dengan
pengalaman kerja yang di dapatkan diharapkan terpidana mendapatkan
pekerjaan sehingga kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dan tidak
melakukan tindak pidana lagi. Selain itu upaya pidana kerja sosial yang
dilakukan di lingkungan masyarakat juga memberikan pengaruh kepada
masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana karena apabila mereka
melakukan kejahatan akan mendapatkan hukuman, karena perlindungan
masyarkat mengarah pada semua keadaan yang mendukung agar
masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana.
d. Konsep pidana kerja sosial dihubungkan dengan Pemeliharaan
Solidaritas Masyarakat
Tabel 4
Relevansi pidana kerja sosial dengan
Pemeliharaan Solidaritas Masyarakat
NO Pendapat Penegak Hukum Jumlah Presentase (%)
1 Dengan kerja sosial terkandung
Pemeliharaan Solidaritas Masyarakat
4 44,45
2 Dengan kerja sosial tidak terkandung
Pemeliharaan Solidaritas Masyarakat
2 22,22
3 Tidak tau 3 33,33
Jumlah 9 100
Sumber : Hasil Wawancara Dengan Aparat Penegak Hukum Di Surakarta
Pada tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari 9 (sembilan) aparat
penegak hukum di Surakarta, 4 (Empat) orang di antaranya menyatakan
bahwa dengan pidana kerja sosial adanya pemeliharaan solidaritas
masyarakat, mereka berpendapat dengan diterapkan pidana kerja sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
memenuhi upaya pemeliharaan solidaritas masyarakat. Karena dalam
pelaksanaan pidana kerja sosial yang bertujuan agar adanya peran serta
masyarakat dalam melakukan pembinaan kepada terpidana untuk menjadi
lebih baik lagi merupakan suatu kepedulian masyarakat terhadap terpidana
dan tercapainya keamanan di lingkungan sekitarnya, selain itu
pemeliharaan solidaritas masyarakat sering dikaitkan dengan upaya
pencegahan balas dendam yang dilakukan oleh perseorangan ataupun
korban terhadap penjahat sehingga dapat mengancam keselamatan
terpidana, sehingga sering kali hal tersebut dikaitkan kerugian yang
ditanggung oleh korban terhadap kejahatan yang dilakukan sehingga
korban meminta tuntutan yang nyata berupa ganti kerugian dari pelaku
kejahatan.
Adanya ketidak setujuan aparat penegak hukum dengan pidana
kerja sosial sebagai pemeliharaan solidarotas masyarakat karena
berdasarkan pengalaman di lapangan selama menjalankan tugas bahwa
setiap orang yang menjadi korban tindak pidana pasti memiliki rasa
dendam ataupun benci kepada pelaku kejahtaan sehingga upaya balas
dendam itu ingin diberikan kepada terpidana, selain itu pidana kerja sosial
ini dianggap hukuman yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan
pidana penjara sehingga korban tidak puas atas hukuman yang di dapat
oleh terpidana dan bukan menjadi tuntutan yang nyata bagi korban
terhadap pelaku kejahatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
B. PEMBAHASAN
1. Pendapat Penegak Hukum Di Surakarta Mengenai Prospek Konsep Pidana
Kerja Sosial Pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Tahun 2010 Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan aparat
penegak hukum di Surakarta mengenai prospek konsep pidana kerja sosial di
Indonesia. Melihat antusiasme dari penegak hukum di Surakarta yang setuju
terhadap pidana kerja sosial ini untuk diterapkan di Indonesia dan banyaknya
kelebihan pidana kerja sosial dibandingkan dengan pidana penjara, penulis
mengambil kesimpulan adanya prospek yang sangat besar pidana kerja sosial ini
untuk diterapkan sebagai alternatif pidana di Indonesia pada masa mendatang. Hal
tersebut didasarkan atas bahwa dengan diterapkan pidana kerja sosial dapat
memasyarakatkan terpidana pada saat menjalankan hukumannya dan agar dapat
diterima kembali dalam masyarakat setelah menjalani hukumannya. Sebagaimana
tujuan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan bahwa pemasyarakatan
bertujuan agar terpidana dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat.
Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan
pelaksanaan asimilasi. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (9) Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan bahwa asimilasi dilaksanakan dengan membaurkan
narapidana dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan kerja yang
dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dengan lingkungan masyarakat.
Bertujuan agar dapat memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat dalam
melakukan pembinaan kepada narapidana (metode community based corrections).
Berdasarkan ketentuan di atas pidana kerja sosial ini secara sekilas memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
kesamaan dengan pelaksanaan asimilasi yang sudah diterapkan di Indonesia
sebelumnya namun yang membedakan pelaksanaan pidana kerja sosial terpidana
tidak perlu menjalani ½ (setengah) masa tahanan, dengan keterlibatan masyarakat
secara langsung pada pidana kerja sosial ini bertujuan agar terciptanya
komunikasi dan interaksi yang baik antara terpidana dengan masyarakat, sehingga
masyarakat dapat ikut serta dalam upaya melakukan pembinaan kepada terpidana
dan dapat membantu upaya resosialisasi terpidana terhadap masyarakat, upaya
sosialisasi terpidana terhadap masyarakat ini diharapkan agar setelah terbebas dari
hukumannya terpidana dapat diterima dan menyatu kembali dengan lingkungan
masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh penulis dengan para aparat
penegak hukum di Surakarta bahwa Pidana kerja sosial juga dianggap sudah
sesuai dengan nilai sosial dan kultur budaya bangsa Indonesia. Dalam hukum adat
kita apabila terjadi kejahatan maka dia telah melakukan perusakan keseimbangan
dalam masyarakat sehingga harus mendapatkan sanksi sosial, sebagaimana
diungkapkan oleh Sudarto dalam pembaharuan hukum pidana harus melihat
alasan sosiologis yaitu hukum itu disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di
negara tersebut. Melalui pidana kerja sosial ini keinginan masyarkat untuk
memidana setiap orang yang bersalah juga terpenuhi karena masyarakat itu
sendiri yang memberikan sanksi sosial berupa rasa malu kepada terpidana. Selain
itu pidana kerja sosial ini memang cocok bagi terpidana yang melakukan tindak
pidana ringan dan tidak menimbulkan konflik di masyarakat, karena sifatnya
berupa alternatif terhadap pidana penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
Terhadap sanksi yang diberikan juga sudah sesuai dengan pidana kerja sosial itu
sendiri bahwa kerja sosial ini sifatnya adalah bekerja tanpa dibayar untuk
kepentingan masyarakat sebagai bentuk dalam memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan dari kejahatan yang sudah dilakukan.
Adanya kelebihan pidana kerja sosial bila dibandingkan pidana penjara
yaitu antara lain dapat mengurangi pengeluaran anggaran belanja negaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
berkaitan dengan banyaknya praktik penerapan pidana penjara di Indonesia.
Dapat dilihat bahwa pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak
dijatuhkan oleh Hakim sehingga jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan
makin bertambah. Sehingga jumlah pengeluaran negara yang diambil dari APBN
untuk membina narapidana di lembaga pemasyarakatan semakin besar,
sebagaimana dikutip dalam majalah Gatra untuk kepentingan konsumsi sehari-
hari bagi para narapidana di seluruh Indonesia negara menanggung hutang yang
cukup besar yaitu kurang lebih 80 miliar (Gatra news. Negara utang Rp 80 miliar
untuk makan napi, http://arsip.gatra.com). Sehingga jika jumlah narapidana di
lembaga pemasyarakatan dapat dikurangi, maka biaya yang biasanya digunakan
untuk kebutuhan para narapidana di lembaga pemasyarakatan ataupun rumah
tahanan negara dapat dialihkan pada sektor lain yang mengarah pada
kesejahteraan masyarakat, selain itu jika narapidana di lembaga pemasyarakatan
berkurang maka biaya yang dipikul oleh masyarakat untuk membina narapidana
juga akan berkurang karena anggaran belanja negara dapat dikurangi. Pidana
kerja sosial juga dianggap dapat mengatasi masalah kelebihan penghuni (over
capacity) yang dihadapi oleh rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan,
karena dengan meningkatnya kepadatan penghuni dapat mempengaruhi proses
pembinaan bagi warga binaan di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan
karena tidak sebandingnya antara jumlah petugas teknis di rumah tahanan maupun
lembaga pemasyarakatan dengan jumlah warga binaan.
Melalui pidana kerja sosial dapat memberi kesempatan kepada narapidana
untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup
mandiri di tengah masyarakat hal tersebut diwujudkan melalui kegiatan kerja
produktif. Kegiatan ini berguna untuk menambah keterampilan narapidana
sebagai modal mendapatkan pekerjaan setelah bebas. Dengan adanya kegiatan
kerja produktif sebagai modal keterampilan, maka akan semakin memberikan
kesiapan bagi narapidana untuk menjalani kehidupan setelah bebas. Di samping
itu narapidana juga dapat mengaplikasikan keahliannya saat menjalani hukuman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
sehingga keahlian dan tenaga yang dimiliki terpidana dapat bermanfaat bagi
masyarakat. Narapidana pidana kerja sosial juga tidak dikumpulkan dengan
kelompok masyarakat kriminal di rumah tahanan ataupun lembaga pemasyarkatan
sehingga dapat terhindar dari efek negatif psikologis yang diperoleh terpidana
apabila digabungkan dengan kelompok masyarakat kriminal. Dengan pidana kerja
sosial hak asasi manusia dari narapidana dapat terlindungi yaitu narapidana masih
dapat melanjutkan kegiatan sebagaimana yang dilakukan sehari-hari walaupun
sedang melaksanakan hukuman misalkan bekerja, sekolah dan kuliah.
Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 86 ayat (6) pidana kerja sosial dapat diangsur
selama 12 bulan hal tersebut bertujuan agar dengan pidana kerja sosial narapidana
dapat menjalankankan pekerjaan yang biasa mereka lakukan untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan keluargannya Serta narapidana yang harus bersekolah
maupun kuliah dapat melanjutkan pendidikannya secara formal dan hal tersebut
tidak dapat terlaksana apabila narapidana melaksanakan hukumannya di dalam
penjara.
Berdasarkan adanya kelebihan pidana kerja sosial yang telah disebutkan di
atas terdapat beberapa kendala dalam penerapan pidana kerja sosial yaitu dari segi
pengawasan yang dilakukan kepada terpidana dalam melakukan pidana kerja
sosial karena terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang dimiliki oleh pihak
LAPAS, Rutan, ataupun BAPAS. Serta hak-hak dari narapidana yang harus
dipenuhi sehingga pidana kerja sosial ini benar-benar dapat tercapainya upaya
tujuan pidana. Walaupun demikian hal tersebut masih dapat diperbaiki dengan
melakukan studi banding ke negara lain yang sudah melaksanakan pidana kerja
sosial terlebih dahulu agar kelak saat pidana kerja sosial ini diterapkan tidak
terdapat kendala dan pidana kerja sosial dapat diterima oleh masyarakat Indonesia
sebagai salah satu bagian dari pidana yang berdasarkan aspek hak asasi manusia
dan ekonomi menjadi alternatif pidana yang disukai, selain itu juga pidana kerja
sosial dianggap bermanfaat bagi negara maupun masyarakat karena keahlian dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
tenaga yang dimiliki oleh narapidana dapat bermanfaat dan berguna bagi
narapidana kelak setelah melaksanakan hukuman.
2. Kesesuaian Konsep Pidana Kerja Sosial Dalam Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 2010 Dengan
Tujuan Pemidanaan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan aparat
penegak hukum di Surakarta penulis dapat menyimpulkan pidana kerja sosial
sesuai dengan teori pemidanaan gabungan (integratif), bahwa pidana kerja sosial
memenuhi beberapa unsur teori pemidanaan berupa pengimbalan/pengimbangan,
upaya pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat dan pemeliharaan
solidaritas masyarakat. Terpenuhinya unsur pembalasan/pengimbangan yang di
dapat terpidana dari pidana kerja sosial dengan pidana kerja sosial yang diberikan
melalui putusan Hakim dalam persidangan dan masyarakat yang hadir dalam
persidangan mengetahuinya sudah memberikan rasa malu bagi terpidana.
Pekerjaan yang dilakukan terpidana selama berpuluh-puluh jam untuk
kepentingan masyarakat serta tidak mendapatkan upah merupakan penderitaan,
selain itu di tempatkan terpidana di masyarakat dalam melaksanakan hukuman
pidana kerja sosial juga memberikan rasa malu kepada terpidana karena
masyarakat mengetahui status sebagai terpidana yang melaksanakan hukuman
berupa kerja sosial.
Pidana kerja sosial ini diarahkan pada upaya perbaikan keseimbangan
antara tindak pidana yang dilakukan dan pidana yang dijatuhkan, karena adanya
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan maka dia yang harus
memperbaiki kerusakan tersebut. Upaya itu dapat diterapkan dengan pidana kerja
sosial yang dilakukan oleh terpidana yang harus melakukan hukumanya dengan
mengabdikan tenaga dan keahliaanya untuk masyarakat, dengan seperti itu
kerugian yang ditimbulkan dapat diperbaiki. Seperti contoh kasus yang dikatakan
oleh Bintoro Widodo, seorang Hakim di Surakarta, bahwa ada seorang anak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
mencuri di toko kelontong dalam putusannya Hakim menjatuhi hukuman kepada
anak tersebut tidak dengan pidana penjara namun diganti dengan bekerja di toko
tersebut untuk beberapa waktu. Selain itu kasus kerusuhan dan penjarahan yang
ada di Inggris para pelaku kerusuhan yang ditangkap diwajibkan untuk meminta
maaf kepada para pemilik toko dan melakukan pidana kerja sosial untuk
memperbaiki kerusakan pada toko tersebut akibat kerusuhan dan penjarahan yang
dilakukan oleh para terpidana. Berdasarkan kasus di atas bahwa dengan
diterapkan pidana kerja sosial bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan dari kejahatan yang telah dilakukan sebagai upaya memberikan
pengimbalan/pengimbangan kepada para terpidana.
Terpenuhinya unsur tujuan pidana sebagai pencegahan umum dan khusus
dalam pelaksanaan pidana kerja sosial, dengan pelaksanaan pidana kerja sosial
yang dilakukan di luar penjara dan berhubungan langsung dengan masyarakat
dapat menjadi upaya pembelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan
tindak pidana, karena setiap tindak pidana yang dilakukan pasti akan di pidana
dan itu merupakan upaya pencegahan umum. Sedangkan rasa malu yang di dapat
terpidana dengan melaksanakan pidana kerja sosial yang dilakukan di luar
lembaga pemasyarakatan dan diketahui oleh masyarakat, rasa malu yang dialami
oleh terpidana diharapkan dapat menjadi salah satu upaya sarana pencegahan agar
terpidana tidak melakukan tindak pidana setelah terbebas. Karena setiap tujuan
pemidanaan adalah memberikan efek jera kepada terpidana agar kelak setelah
terbebas tidak melakukan tindak pidana lagi dan mengembalikan fitrah terpidana
tersebut sebagai manusia yang lebih baik apabila kembali ke masyarakat, selain
itu pemidanaan juga bertujuan memberikan pembelajaran kepada setiap individu
lain untuk melakukan tindak pidana karena dapat merugikan orang lain dan setiap
tindak pidana yang dilakukan akan mendapatkan hukuman atau ganjaran.
Pidana kerja sosial dianggap dapat memberikan perlindungan masyarakat,
pidana kerja sosial yang dilakukan dapat memberikan pengalaman kerja kepada
terpidana dengan pengalaman kerja yang didapatkan diharapkan terpidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
mendapatkan pekerjaan sehingga kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dan tidak
melakukan tindak pidana lagi. Selain itu upaya pidana kerja sosial yang dilakukan
di lingkungan masyarakat juga memberikan pengaruh kepada masyarakat agar
tidak melakukan tindak pidana karena apabila mereka melakukan kejahatan akan
mendapatkan hukuman, karena perlindungan masyarkat mengarah pada semua
keadaan yang mendukung agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan
tindak pidana. Dengan pidana kerja sosial ini mengupayakan agar seseorang yang
telah melakukan tindak pidana tidak mengulangi kembali tindak pidana yang
dilakukan dengan asumsi bahwa kerja sosial memberikan pengalaman berharga
kepada terpidana berupa pengalaman bekerja sehingga setelah terbebas terpidana
bisa mendapatkan pekerjaan dan tidak melakukan kejahatan kembali, selain itu
juga dengan kerja sosial terpidana dapat sadar bahwa tindak pidana yang
dilakukan telah merugikan masyarakat khususnya korban.
Pidana kerja sosial dianggap dapat melakukan upaya pemeliharaan
solidaritas masyarakat karena dalam pelaksanaan pidana kerja sosial yang
bertujuan agar adanya peran serta masyarakat dalam melakukan pembinaan
kepada terpidana untuk menjadi lebih baik lagi merupakan suatu kepedulian
masyarakat terhadap terpidana dan tercapainya keamanan di lingkungan
sekitarnya, selain itu pemeliharaan solidaritas masyarakat sering dikaitkan dengan
upaya pencegahan balas dendam yang dilakukan oleh perseorangan ataupun
korban terhadap penjahat sehingga dapat mengancam keselamatan terpidana
sehingga dalam pelaksanaan pidan kerja sosial ini menurut hasil wawancara yang
dilakukan oleh penulis dengan salah satu Hakim Johny Aswari, beliau
berpandangan sebelum melaksanakan pidana kerja sosial antara korban dan
pelaku kejahatan harus tercapai kesepakatan damai agar pada saat terpidana
menjalani pidana kerja sosial ini di lingkungan masyarakat terpidana merasa aman
tanpa adanya tuntutan balas dendam dari korban, karena menurut beliau rasa
dendam yang dimiliki oleh korban harus dihilangkan terlebih dahulu salah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
satunya dengan kesepakatan damai antara kedua belah pihak yaitu korban dan
pelaku itu sendiri.
Sementara itu berkaitan dengan masalah tujuan pemindahan dalam Pasal
54 Rancangan Undang-Undang KUHP Baru Tahun 2010 disebutkan:
(1) Pemidanaan bertujuan :a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan demi pengayoman
masyarakat;b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan menjadi orang yang baik
dan berguna;c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dand. membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
Dari uraian tentang tujuan pemidanaan yang terdapat pada RUU KUHP
tahun 2010, memiliki kesamaan dengan teori gabungan (integratif) yaitu sebagai
upaya pencegahan, pembinaan, pemulihan ketertiban masyarakat dan pembebasan
rasa bersalah terpidana. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis
dengan beberapa aparat penegak hukum di Surakarta, dengan pidana kerja sosial
dapat tercapainya tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP tahun 2010 sebagai
berikut:
a. Dengan dilakukan pidana kerja sosial lebih dapat sebagai upaya rehabilitasi
dan resosialisasi bagi terpidana bila dibandingkan harus di pidana penjara,
sebagaimana diketahui upaya rehabilitasi dan resosialisasi bertujuan agar
dapat memasyarakatkan terpidana menjadi orang yang lebih baik dan berguna
dan mencegah dilakukannya pengulangan tindak pidana oleh mantan
narapidana setelah terbebas sebagai penjahat kambuhan karena dorongan
beberapa faktor. Pidana kerja sosial yang diterjunkan secara langsung dengan
masyarakat juga dapat upaya penyelesaian konflik dan memulihkan
keseimbangan yang ditimbulkan tindak pidana dalam masyarakat, karena
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan di lingkungan
masyarakat dinilai menimbulkan kerugian secara materiil maupun psikologis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Sehingga pemidanaan yang dilakukan langsung di lingkungan masyarakat
seperti pidana kerja sosial yang mewajibkan setiap terpidana untuk
mengabdikan dirinya kepada masyarakat sebagai sarana pemulihan
keseimbangan antara tindak pidana yang dilakukan dengan upaya perbaikan
yang dilakukan oleh terpidana kepada masyarakat.
b. Dengan dilakukan pidana kerja sosial dapat menghindarkan terpidana dari
stigmasi dan dehumanisasi, diterapkan pidana kerja sosial dapat
membebaskan rasa bersalah terpidana bila dibandingkan harus di pidana
penjara. Karena pidana penjara dapat memberikan stigma negatif berupa “cap
penjahat” bagi setiap residivis dan dehumanisasi sehingga rasa bersalah bagi
setiap residivis itu selalu ada. Sedangkan apabila terpidana menjalankan
pidana kerja sosial yang dilaksanakan di luar penjara efek negatif yang
ditimbulkan dari pidana penjara seperti stigma negatif dan dehumanisasi dapat
dihindari karena terpidana saat menjalankan pidana kerja sosial ini masih
dapat melaksanakan kegiatan yang dilakukan dalam kesehariaannya di
masyarakat maupun pada keluarga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah penulis uraikan
pada bab-bab sebelumnya, maka simpulan yang dapat ditarik sebagai berikut :.
1. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan aparat
penegak hukum di Surakarta adanya prospek yang sangat besar pidana kerja
sosial ini untuk diterapkan sebagai alternatif pidana di Indonesia pada masa
mendatang, sebagaimana diungkapkan oleh penegak hukum di Surakarta:
a. Polisi
Dengan pidana kerja sosial dapat merubah sikap mental dari terpidana,
mengendalikan keinginan terpidana untuk merugikan orang lain.
b. Jaksa
Dengan pidana kerja sosial terpidana mendapatkan pengalaman kerja,
selain itu dapat mengurangi anggaran negara.
c. Hakim
Dengan pidana kerja sosial selain dapat memasyarakatkan terpidana,
menghilangkan stigmasi bila di pidana penjara, menekan kelebihan daya
tampung LP, serta dapat mengurangi beban anggaran negara untuk
kebutuhan para narapidana selama di lapas. Selain itu pidana kerja sosial
juga dapat menjadi ganti rugi terpidana kepada korban ataupun masyarakat
terhadap kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan.
d. Petugas Rutan
Dengan pidana kerja sosial dapat mengatasi masalah overload lembaga
pemasyarakatan maupun rutan, menguragi anggaran biaya negara untuk
menghidupi para narapidana selama di lembaga pemasyarakatan maupun
rutan, dapat memanfaatkan tenaga para narapidana untuk pelayanan publik
dan sebagai upaya reintegrasi para narapidana dengan masyarakat.
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
e. Advokat
Dengan kerja sosial dapat menghilangkan stigmasi negatif terpidana bila
menjalani pidana penjara. Selain itu terpidana juga dapat berhubungan
baik dengan masyarakat disaat menjalani kerja sosial ataupun setelah
terbebas.
2. Pidana kerja sosial relevan dengan teori pemidanaan gabungan (integratif)
pidana kerja sosial memenuhi beberapa teori yang sudah ada antara lain Teori
retributif (absolute), teori relatif (deterrence), Teori perlindungan sosial
(social defence) dan sebagaimana yang diungkapkan oleh Muladi yang
menyebutkan tujuan pidana integratif meliputi pencegahan (baik umum
maupun khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat, dan pengimbalan/pengimbangan. Dengan pidana kerja sosial
diharapkan terpidana mendapatkan rasa malu atas perbuatan yang dilakukan
serta melakukan pekerjaan tanpa diupah merupakan suatu penderitaan yang
diterima oleh pelaku hal tersebut menjadi bagian dari pembalasan atas
perbuatan yang dilkukan, dengan rasa malu yang diperoleh terpidana
diharapkan terpidana mendapatkan efek jera dan tidak melakukan
perbuatannya lagi dengan pidana kerja sosial memberikan pandangan kepada
masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana hal tersebut menjadi bagian
dari tujuan umum dan khusus dari pemidanaan. Dengan pidana kerja sosial
diharapkan terpidana mendapatkan pekerjaan dari pegalaman yang diperoleh
selama melaksanakan pidana kerja sosial sehingga masyarakat terhindar dari
pengulangan tindak pidana hal tersebut menjadi bagian dari tujuan
pemidanaan perlindungan sosial (social defence), pidana kerja sosial
diharapakan masyarakat dapat ikut serta untuk membina terpina agar menjadi
lebih baik lagi serta terhindar upaya balas dendam dari korban hal tersebut
menjadi bagian dari tujuan pemidanaan pemeliharaan solidaritas masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1. Berdasarkan pengalaman keberhasilan penerapan pidana kerja sosial
diberbagai negara, bahwa pidana kerja sosial mempunyai banyak kelebihan
bila dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan serta dapat
menghindarkan efek negatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Pidana
kerja sosial juga dianggap lebih manusiawi karena tidak hanya melindungi
kepentingan korban tetapi juga terhadap pelaku tindak pidana, berdasarkan
banyaknya sisi positif pidana kerja sosial bila dibandingkan dengan pidana
perampasan kemerdekaan maka sebaiknya pidana kerja sosial dapat benar-
benar diterapkan di Indonesia sebagai alternatif pidana perampasan jangka
pendek pada masa mendatang.
2. Kebijakan konsep pidana kerja sosial dalam rancangan undang-undang KUHP
di Indonesia dirasa masih memerlukan perhatian khusus dari pembuat
undang-undang, maka sebaiknya memperhatikan kelemahan maupun
kelebihan dari negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan pidana kerja
sosial serta adanya peraturan pelaksanaannya karena formulasi konsep pidana
kerja sosial dalam rancangan undang-undang KUHP ini masih bersifat umum
sehingga penerapan pidana kerja sosial ini tidak terdapat kendala serta dapat
diberlakukan secara efektif sebagai alternatif pidana perampasan jangka
pendek di Indonesia.
3. Tujuan pemidanaan di Indonesia saat ini masih sebatas berbentuk rancangan,
sehingga sebisa mungkin disahkan secara formal di dalam Undang-Undang
agar tolak ukur serta dasar pembenar kesesuaian pidana kerja sosial dengan
tujuan pemidanaan tidak lagi sebatas teori.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Pramita.
Barda Nawawi Arief . 2002. Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenada.
C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta : Djambatan
Elizabeth A .Martin. 2002. Oxford Dictionary Of Law, oxford university press, market house books Ltd, 2002.
Eva Achjani Zulfa. 2011. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: CV. Lubuk Agung.
HB. Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kkualitatif (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis) Pusat Penelitian Surakarta.
Lexy J Maleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
M. Sholehhudin. 2007. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doubel Track System dan Implementasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moh. Nazir. (2009). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Muladi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
. 2008. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Muslan Abdurahman. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM Perss.
Niniek Suparni. 1996. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Romli Atmasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Mandar Maju.
S. Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sudarto. 1982. Hukum Dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.
. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Tongat. 2002. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Van Bemmelen. 1987. Hukum Pidana I, Terjemehan. Bandung: Bina Cipta.
Widodo. 2009. Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime : Alternatif Ancaman Pidana Kerja Sosial dan Pidana Pengawasan Bagi Pelaku Cyber Crime. Yogyakarta: Laksbang Mediatama.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvesi ILO Nomor
138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Tahun 2010
Artikel, Majalah, Makalah, dan Jurnal:
Gill Mc Ivor. 2010. “Paying back: 30 years of unpaid work by offenders in Scotland”. European Journal of Probation (EJP). Vol. 2, No.1.
Mahmud Mulyadi. 2006. “Revitalisasi Alas Filosofi Tujuan Pemidanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia”. Karya Ilmiah, Edisi Agustus 2006.
Mohd. Al-Adib Samuri. 2012. “Community Service Order For Juvenile Offenders: Theoretical and Legal Framework”. Medwell Journals. Vol. 7, No.2.
Mudzakkir. 2004. “Kajian Terhadap Ketentuaan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 2, No. 1.
Internet
Gatra news. Negara utang Rp 80 miliar untuk makan napi, http://arsip.gatra.com//2005-07-17/versi_cetak.php?id=86274> [Diakses pada tanggal 22 September 2012, pukul 11.03 wib].
Liputan6.TV. Pelaku Bullying Harus Kerja di Panti Jompo. http://tv.liputan6.com/main/read/5/1103018/0/pelaku-bullying-harus-kerja-di-panti-jompo> [ Diakses pada tanggal 21 September 2012, pukul 3.05 wib].
Office of Probation and Pretrial ServicesAdministrative Office of the U.S. Courts, 2003. Community Service. hhtp;/www.uscourts.gov/misc/2003-community.PDF> [Diakses pada tanggal 5 juni 2012, pukul 22.01 wib].
Probation Board For Northern Ireland (PBNI). Strategy For Community Service..http://www.pbni.org.uk/archive/pdfs/What%20we%20do/PBNI%20Strategy%20for%20CS%20July%202010%20011010.pdf> [Diakses pada tanggal 26 juni 2012, pukul 02:06 WIB].
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Jean-Marie Picqurat. Community Service, the French Experince. http://www.penalreform.org/english/altern_csfrance.htm> [Diakses pada tanggal 7 juni 2012, pukul 01:36 WIB].
Recent Development. The Czech Penal Code. http://www.prison.org/english/altrec.htm> [Diakses pada tanggal 5 juni 2012 pukul 02:41 wib].
Woo Sik Chung, The Community Service Order In Korea. http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No61/No61_18VE_Chung1.pdf>[Diakses pada tanggal 24 juni 2012, pukul 01:36 WIB].
2.
top related