kajian pustaka konsep diri pada remaja dengan orangtua ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/173/2/bab...
Post on 26-May-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Diri pada Remaja dengan Orangtua yang bekerja sebagai TKI
1. Konsep Diri
a. Pengertian konsep diri
Fitts (Agustiani, 2009) mengartikan bahwa konsep diri adalah penilaian dan
evaluasi individu terhadap diri dilihat dari aspek internal dan aspek eksternal.Rais
(Gunarsa & Gunarsa, 2011) membedakan pengertian antara konsep diri dan
kepribadian. Menurut Rais konsep diri adalah suatu pandangan diri yang berasal
dari dalam diri individu dan membentuk trait, sedangkan kepribadian adalah
pandangan orang lain tentang diri individu yang membentuk trait. Santrock
(2007) mengartikan konsep diri sebagai evaluasi yang menyangkut bidang-bidang
tertentu dari diri.Remaja melakukan evaluasi diri dalam berbagai bidang
akademik, atletik, penampilan fisik, dan sebagainya.
Sementara itu, Brooks (Sobur, 2016) mendefinisikan konsep diri adalah
suatu pandangan seseorang tentang dirinya serta persepsi tentang dirinya, hal ini
dapat bersifat fisik, psikis maupun sosial.Rakhmat (2009) lebih lanjut
menjelaskan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi
juga penilaian diri tentang diri, meliputi apa yang dipikirkan dan apa yang
dirasakan tentang diri. Adapun Rakhmat (2009) berpendapat bahwa adanya proses
perkembangan konsep diri menunjukkan bahwa konsep diri seseorang tidak
langsung dan menetap, tetapi merupakan sesuatu yang mempunyai proses
pembentukan dan masih dapat berubah.
11
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Calhaoun dan Acocella
(Ghufron & Risnawita, 2016) bahwa konsep diri adalah gambaran mental diri
seseorang.Burn mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri
secara keseluruhan yang mencakup pendapat individu terhadap diri sendiri,
pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapat individu tentang
hal-hal yang dicapai (Ghufron & Risnawita, 2016).Tercapainya keinginan dan
terealisasikannya kehidupan dapat diupayakan melalui konsep diri.Dapat
dikatakan bahwa konsep diri juga merupakan kerangka kerja untuk
mengorganisasikan pengalaman-pengalaman yang diperoleh seseorang.
Berdasarkan berbagai definisi dari para ahli yang telah dijelaskan di atas,
penelitian ini mengacu pada definisi konsep diri yang dikemukakan oleh Fitts
(Agustiani, 2009) yaitu konsep diri adalah penilaian dan evaluasi yang dilakukan
oleh individu terhadap diri dilihat dari aspek internal dan aspek eksternal. Definisi
konsep diri yang dikemukakan oleh Fitts (Agustiani, 2009) lebih relevan dan
sesuai dengan subjek penelitian yaitu remaja.
b. Aspek-Aspek Konsep Diri
Fits (Agustiani, 2009) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok,
yaitu:
1) Dimensi Internal
Dimensi internal atau disebut juga sebagai kerangka acuan internal (internal
rame of refrence) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya
sendiri berdasarkan dunia yang ada dalam dirinya. Dimensi internal ini
terbagi menjadi tiga, yaitu:
12
a) Diri identitas (identity self), merupakan aspek paling mendasar pada
konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapa saya?” dalam
pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang
diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk
menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misal “Saya
Mia”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan
lingkungannya, pengetahuan individu mengenai dirinya juga bertambah,
sehingga individu dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan
hal-hal yang lebih kompleks, seperti “Saya pintar tetapi terlalu kurus”.
b) Diri pelaku (behavioral self), merupakan persepsi individu tentang
tingkah laku diri, yang berisikan kesadaran mengenai “Apa yang
dilakukan oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri
identitas.
c) Diri penilai (judging self), berfungsi sebagai pengamat, penentu standar,
dan evaluator. Kedudukan diri penilai adalah sebagai perantara/mediator
antara diri identitas dan diri pelaku. Individu cenderung memberikan
penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-
label yang dikenakan diri individu bukanlah semata-mata
menggambarkan diri, tetap juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya,
penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan
dilakukan oleh diri.
Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas
dengan diri pelakunya, sehingga individu dapat mengenali dan menerima, baik
13
diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat
dilihat dari diri sebagai penilai (Agustiani, 2009). Diri penilai menentukan
kepuasan seseorang akan diri atau seberapa jauh seseorang dapat menerima
keadaan diri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri yang
rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada
diri. Sebaliknya, bagi individu yan memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran
diri lebih realitas, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan
untuk melupakan keadan diri dan memfokuskan energi serta perhatian ke luar diri,
dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif (Agustiani, 2009).
2) Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan
aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianut individu, serta hal-hal lain diluar
diri individu. Dimensi ini terbagi menjadi lima, yaitu:
a) Diri fisik (physical self), menyangkut persepsi individu terhadap keadaan
diri secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi individu mengenai
kesehatan diri, penampilan diri (cantik, jelek, menarik, tidak menarik)
dan keadaan tubuh diri (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b) Diri etik-moral (moral-ethical self), merupakan persepsi individu
terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika.
Hal ini menyangkut persepsi individu mengenai hubungan dengan
Tuhan, kepuasan individu akan kehidupan keagamaan dan nilai-nilai
moral yang dipegang diri, yang meliputi batasan baik dan buruk.
14
c) Diri pribadi (personal self), merupakan perasaan atau persepsi individu
tentang keadaan pribadi diri. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik
atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana
individu merasa puas terhadap diri pribadi atau sejauh mana individu
merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d) Diri keluarga (family self), merupakan perasaan dan harga diri individu
dalam kedudukan diri sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan
seberapa jauh individu merasa adekuat terhadap diri sebagai anggota
keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankan diri
sebagai anggota dari suatu keluarga.
e) Diri sosial (social self), merupakan penilaian individu terhadap interaksi
diri dengan orang lain maupun lingkungan di sekitar diri individu.
Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian diri dalam dimensi
eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksi diri dengan orang lain.
Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa diri memiliki fisik yang baik
tanpa adanya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik diri
memang menarik. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa
individu memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi dari
orang lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa diri memang memiliki pribadi
yang baik (Agustiani, 2009).
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa konsep diri menurut Fitts
(Agustiani, 2009) terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi
eksternal.Dimensi internal terbagi dalam tiga aspek yaitu diri identitas, diri
15
pelaku, dan diri penilai. Sedangkan dimensi eksternal terdiri dari lima aspek yaitu
diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga dan diri sosial.
Calhoun dan Accocela (Ghofur & Risnawita, 2016) mengatakan konsep diri
terdiri dari tiga aspek atau dimensi, yaitu:
1) Pengetahuan, pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya.
Individu di dalam benaknya terdapat suatu daftar yang menggambarkan diri,
kelengkapan atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku,
pekerjaan, agama dan lain-lain.
2) Harapan. Pada saat-saat tertentu, individu mempunyai satu aspek pandangan
tentang dirinya. Individu juga mempunyai satu aspek pandangan tentang
kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan. Pendeknya individu
memiliki harapan bagi dirinya sendiri untuk menjadi diri yang ideal. Diri
yang ideal sangat berbeda pada masing-masing individu. Seseorang
mungkin akan lebih ideal jika berdiri di atas podium berorasi dengan penuh
semangat, di depannya banyak orang antusias mendengarkan setiap kata
yang diucapkan sesekali meneriakkan semacam yel-yel. Sementara itu, bagi
yang lain merasa sebagai diri yang ideal jika merenung dan menulis di
rumah dengan menghasilkan suatu karya tulis yang dapat dibaca setiap
orang.
3) Penilaian, di dalam penilaian individu berkedudukan sebagai penilai tentang
diri sendiri. Apakah bertentangan dengan (1) “siapakah saya”, pengharapan
bagi individu; (2) “seharunya saya menjadi apa”, standar bagi individu.
16
Hasil dari penilaian tersebut adalah haga diri. Semakin tidak sesuai antara
harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.
Berdasarkan dari kedua aspek yang telah disebutkan di atas, aspek yang
telah dipaparkan oleh Fitts (Agustiani, 2009) lebih tepat digunakan untuk
mengungkap konsep diri pada remaja dengan orangtua yang bekerja sebagai
TKI.Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang telah dijabarkan pada setiap
aspeknya.Aspek yang dikemukakan oleh Fitts (Agustiani, 2009) lebih jelas dan
lebih komperhensif untuk mengungkap bagaimana kondisi konsep diri yang
dimiliki seorang remaja dengan orangtua yang bekerja sebagai TKI dibandingkan
dengan aspek yang disebutkan oleh Calhoun dan Accocela (Ghofur & Risnawita,
2016).
c. Pembentukan Konsep Diri
Menurut Calhoun dan Acocela (Rapsari, 2014) konsep diri bukan
merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, individu tidak memiliki pengetahuan
tentang diri sendiri, tidak memiliki harapan terhadap diri sendiri, serta tidak dapat
menilai tentang diri sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu konsep diri mulai
terbentuk dari proses belajar dan melalui pengalaman individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Setiap interaksi yang terjadi individu akan
menerima tanggapan. Tanggapan yang diterima tersebut akan dijadikan cermin
bagi individu untuk menilai dan memandang diri sendiri terutama didasarkan pada
tanggapan orang yang dianggap penting bagi kehidupan individu tersebut.
Ketika seorang anak memasuki fase remaja, anak akan mengalami berbagai
perubahan dalam diri anak. Sikap atau tingkah laku anak yang ditampilkan juga
17
akan mengalami perubahan, dan sebagai akibatnya, sikap orang lain terhadap diri
anak juga akan berubah-ubah, menyesuaikan perubahan yang tampil dalam diri
anak (Sobur, 2016). Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa konsep diri pada
seorang remaja cenderung untuk tidak konsisten, dan hal ini dikarenakan sikap
orang lain yang dipersepsikan remaja juga berubah. Akan tetapi, melalui cara ini,
remaja mengalami suatu perkembangan konsep diri, sampai akhirnya ramaja
memiliki konsep diri yang konsisten (Rais dalam Sobur, 2016).
Mead (Sobur, 2016) dalam bukunya Man, Mind, and Society, menulis
bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang terbentuk melalui proses
internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-
pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap
lingkungan fisik dan refleksi dari diri yang diterima dari orang-orang penting
(significant other) di sekitar diri individu.Menurut Sobur (2016) saat masih kecil
orang penting yang ada disekitar anak adalah orangtua dan saudara-saudara yang
tinggal di bawah satu atap.Dari significant other lah secara berlahan-lahan
individu membentuk konsep diri. Segala sanjungan, senyuman, pujian, dan
penghargaan akan menyebabkan penilaian positif terhadap diri anak. Sebaliknya,
ejekan, cemoohan, dan hardikan akan menyebabkan penilaian yang negatif
terhadap diri anak. Dalam hubungan ini, Sullivan menjelaskan bahwa jika
individu diterima orang lain, dihormati, disenangi karena keadaan individu
sendiri, individu akan bersifat menghormati dan menerima diri. Sebaliknya, jika
orang lain selalu meremehkan, menyalahkan, dan menolak individu, maka
individu tidak akan menyenangi diri sendiri (McCandless dalam Sobur, 2016).
18
Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang
disekitanya.Apa yang dipersepsi individu lain mengenai diri individu, tidak
terlepas dari struktur, peran, dan status sosial yang disandang seorang individu.
struktur, peran, dan status sosial merupakan gejala yang dihasilkan dari adanya
interaksi antara individu satu dan individu lain, antara individu dan kelompok,
atau antara kelompok dan kelompok (Lindgren dalam Sobur, 2016).
d. Faktor-Faktor Konsep Diri
Menurut Calhoun & Acocella (1990), terdapat beberapa faktor pembentuk
konsep diri, khususnya konsep diri remaja, yaitu:
1) Orangtua. Orangtua sebagai kontak sosial yang paling awal yang dialami
oleh anak dan yang paling kuat, apa yang dikomunikasikan oleh orangtua
pada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak
sepanjang hidupnya.
2) Teman sebaya. Teman sebaya yang menempati kedudukan kedua setelah
orangtua dalam mempengaruhi konsep diri, apalagi perihal penerimaan atau
penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok teman sebayanya
mungkin mempunyai pengaruh yang dalam pada pandangan tentang dirinya
sendiri.
3) Masyarakat. Masyarakat yang menganggap penting fakta-fakta kelahiran
dimana akhirnya penilaian ini sampai kepada anak dan masuk ke dalam
konsep diri.
4) Belajar. Belajar memunculkanpendapat bahwa konsep diri individu adalah
hasil belajar, dan belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis
19
yang relatif permanen yang terjadi dalam diri individu sebagai akibat dari
pengalaman.
Menurut Rais (Gunarsa & Gunarsa, 2011) faktor-faktor yang mempengaruhi
konsep diri pada remaja antara lain yaitu:
1) Jenis kelamin, di dalam keluarga, lingkungan sekolah ataupun lingkungan
masyarakat yang lebih luas akan berkembang berbagai macam tuntutan
peran yang berbeda berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Tuntutan ini
berdasarkan tiga kekuatan yang berbeda yaitu biologis, lingkungan keluarga
dan kebudayaan.
2) Harapan-harapan. Stereotip sosial mempunyai peran yang penting dalam
menentukan harapan-harapan apa yang dipunyai oleh seorang remaja
terhadap dirinya sendiri dan mana harapan terhadap dirinya sendiri itu
merupakan pencerminan dari harapan-harapan orang lain terhadap diri
remaja.
3) Suku bangsa. Pada suatu masyarakat, umumnya terdapat suatu kelompok
suku bangsa tertentu yang dapat dikatakan sebagai kaum minoritas. Hal ini
tidak saja menyangkut suku bangsa, tetapi juga menyangkut kelompok-
kelompok minoritas lainnya, seperti kelompok anak-anak cacat, kelompok
yang orang-orang berekonomi rendah atau kelompok remaja yang kurang
berhasil dalam bidang tertentu dibandingkan dengan kelompok seusianya.
Remaja yang berasal dari kelompok ini umumnya juga mengembangkan
suatu konsep diri yang cenderung negatif dibandingkan kelompok mayoritas
lain.
20
4) Nama dan pakaian. Kedua hal ini umumnya dianggap sebagai faktor yang
kurang berpengaruh dibandingkan dengan faktor-faktor yang lain, namun
pada kenyataannya kedua faktor ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat
bagi perkembangan konsep diri pada remaja.
Berdasarkan dua faktor yang telah dipaparkan oleh para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri menurut
Calhoun & Acocella(1990) ialah orangtua, teman sebaya, masyarakat dan belajar,
dan menurut Rais (Gunarsa & Gunarsa, 2011) adalah jenis kelamin, harapan-
harapan, suku bangsa, nama dan pakaian. Dengan demikian konsep diri pada
seorang remaja akan terbentuk jika faktor-faktor yang telah disebutkan di atas
mampu menjadi faktor pendukung bagi pembentukan konsep diri. Adanya
perbedaan pada setiap individu memungkinkan konsep diri berdasarkan faktor di
atas dapat berbeda pula.
2. Pengertian dan Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
a. Pengertian remaja
Santrock (2007) mengartikan masa remaja sebagai periode transisi
perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang
melibatkan perubahan-perubahan baik itu secara biologis, kognitif maupun
sosioemosional.Piaget (Gunarsa & Gunarsa, 2011) mengartikan remaja sebagai
suatu fase hidup dengan perubahan-perubahan penting pada fungsi inteligensi,
tercakup dalam perkembangan kognitif. Adapun Anna Freud (Gunarsa &
Gunarsa, 2011) menggambarkan masa remaja sebagai suatu proses perkembangan
21
meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan
psikoseksual, perubahan dalam hubungan orangtua dan cita-cita individu.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah
masa peralihan atau masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan
berbagai perubahan penting baik secara fisik, kognitif, psikoseksual maupun
sosioemosional.
b. Batasan usia
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut
(Konopka dalam Agustiani, 2009):
1) Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan
berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orangtua. Fokus pada tahap ini adalah penerimaan
terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat
dengan teman sebaya.
2) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru.
Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah
lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self-directed). Pada masa ini
remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar
mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal
yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu
penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
22
3) Masa remaja akhir (19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang
dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan
vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan
yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman
sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.
c. Tugas-tugas perkembangan remaja
Pikunas (Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan
yang penting pada tahap remaja yaitu:
1) Menerima bentuk tubuh orang dewasa yang dimiliki dan hal-hal yang
berkaitan dengan fisiknya.
2) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan figur-figur otoritas.
3) Mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar
membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara
individu maupun dalam kelompok.
4) Menemukan model untuk identifikasi.
5) Menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber
yang ada pada diri remaja.
6) Memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
ada.
7) Meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekanak-
kanakan.
23
3. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Pengertian TKI menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri, TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu
dengan menerima upah. Menurut buku pedoman pengawasan perusahaan jasa,
tenaga kerja Indonesia adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun
perempuan yang melakukan kegiatan di bidang perekonomian, sosial, keilmuan,
kesenian, dan olahraga profesional serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri
baik di darat, laut maupun udara dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan
dan atau tertulis baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Pengertian TKI
secara umum adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah (Kurniadi, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga
kerja Indonesia (TKI) adalah seorang warga Negara Indonesia laki-laki maupun
perempuan yang bekerja keluar negeri dalam rangka mencari nafkah, dimana
pekerja tersebut terikat oleh janji atau kontrak yang sudah disepakati bersama dan
dalam jangka waktu yang telah ditentukan pekerja tidak diperbolehkan kembali ke
Indonesia sampai jangka waktu ketentuan telah tecapai.
24
Hasil penelitian Yuniastuti (2014) menyatakan umumnya para TKI
melakukan kontrak sebagai pekerja untuk waktu dua tahun, namun pada
kenyataannya hampir selalu TKI memperbaharui kontrak tersebut sampai tiga atau
bahkan empat kali.Pekerja yang diberangkatkan biasanya berusia minimal 21
tahun dan maksimal 25 tahun.Seorang TKI yang sudah berkeluarga pada
umumnya berangkat ke luar negeri ketika anak-anaknya masih kecil.Itu sebabnya
anak-anak diasuh oleh kakek dan nenek mereka.Seorangpekerja yang bekerja
sebagai TKI pada mulanya terpaksa atau dipaksakan karena keadaan ekonomi
rumah tangga yang sulit. Dilain sisi peran TKI adalah menghimpun dana yang
digunakan untuk berbagai keperluan, seperti menyekolahkan anak-anak sampai
tingkat SMA/SMK bahkan sampai ke perguruan tinggi. Walau demikian,
pendidikan anak TKI pada umumnya tidak terlalu tinggi, kebanyakan hanya
sampai tingkat SMP-SMA, serta jarang yang ingin kuliah di perguruan tinggi.
Kemudian dana yang terkumpul juga untuk membangun rumah, serta
memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga.
Masih dengan hasil penelitian Yuniastuti (2014).Anak-anak dari keluarga
TKI biasanya diasuh oleh salah satu di antara kedua orangtua, bapak, ibu atau
kakek nenek.Anak-anak TKI biasanya dicukupi kebutuhan fisiknya secara
berlebih oleh kakek dan neneknya dari hasil orangtua sebagai TKI, namun
kebutuhan rohani dan kasih sayang orangtua amat sedikit.Dampaknya membawa
pengaruh psikologis yang luar biasa besar pada anak.Salah satunya kenakalan
remaja seperti kebut-kebutan, merokok, minuman keras dan ke tempat pelacuran
banyak dilakukan oleh anak-anak TKI tersebut.Kondisi ini yang paling
25
ditakutkan.Keadaan tersebut membawa pengaruh terhadap peranan dan pola
pelaksanaan anak dalam kehidupan keluarga.Hal ini terjadi karena keluarga
tersebut timpang dengan tiadanya kedua orangutan atau seorang ibu. Sebuah
keluarga, khususnya orangtua mengemban tiga peran terhadap anak, yaitu: (1)
Merawat fisik anak agar tumbuh dan berkembang dengan sehat, (2) Proses
sosialisasi anak agar anak belajar menyesuaikan diri terhadap lingkungannya
(keluarga, masyarakat dan kebudayaan), serta (3) Kesejahteraan psikologis dan
emosional dari anak (Lubis dalam Yuniastuti, 2014). Peran orangtua yang
demikian tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh TKI yang meninggalkan
keluarga inti ke keluar negeri dalam kurun waktu yang lama. Peran sebagai
orangtua dialihkan kepada pihak lain, yakni kepada anggota keluarga yang
ditinggalkan, yang belum tentu mampu menggantikan peran orangtua.
Pengambilan keputusan untuk bekerja sebagai TKI itu merupakan proses dialogis
yang pelik, sebab bagi keluarga miskin pilihan itu ditempatkan sebagai yang
terbaik dalam keterpaksaan TKI.
Dari hasil penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa menjadi seorang TKI
bagi orangtua mempunyai keuntungan dan kerugian.Keuntungan yang diterima
diantaranya meningkatkan penghasilan keuangan dalam keluarga.Kerugian yang
diterima perkembangan anak yang ditinggalkan terganggu dan berdampak
keberbagai aspek tugas-tugas perkembangan anak.
26
4. Konsep Diri Remaja dengan Orangtua bekerja sebagai TKI
Menurut Clarke-Stewart dan Friedman (Agustiani, 2009) masa remaja
dikenal sebagia masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa.Pada masa ini seorang anak mengalami perubahan secara pesat baik fisik
maupun psikis.Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, di mana
tubuh berkembang pesat sehingga mencapai tubuh orang dewasa yang disertai
pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif.Selain itu remaja juga berubah
secara kognitif dan mulai mampu berfikir secara abstrak seperti orang
dewasa.Adapun Pikanus (Agustiani, 2009) menyebutkan beberapa tugas penting
dalam perkembangan ramaja diantranya yaitu menerima diri sendiri dan
mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada diri.Penerimaan
diri disini jelas berhungan erat dengan konsep diri dan penemuan identitas diri.
Erikson (Olson & Hergenhahn, 2013) menyebutkan bahwa pada periode ini
remaja memasuki periode krisis identitas.Erikson yakin tahap ini dapat
merepresentasikan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.
Tahap-tahap sebelumnya anak belajar siapa diri mereka dan apa yang dapat
mereka lakukan (tersedianya berbagai peran yang anak mainkan). Pada tahap ini
anak harus hati-hati dalam mempertimbangkan informasi yang sudah
dikumpulkan mengenai diri dari diri pribadi maupun dari masyarakat. Hal ini
untuk menentukan identitas diri yang nantinya akan digunakan pada tahap
selanjutnya. Pembentukan identitas diri sejalan dengan pembentukan konsep diri
pada remaja, dimana remaja harusnya sudah memiliki konsep diri yang psositif.
27
Pembentukan konsep diri pada remaja dipengaruhi oleh beberapa
faktor.Menurut Baldwin dan Holmes (Sobur, 2016) faktor yang mempengaruhi
pembentukna konsep diri adalah orangtua, teman sebaya, masyarakat dan
belajar.Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saraswatia dkk (2015)
bahwasanya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri pada
remaja.Salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri pada remaja adalah
orangtua. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa hadirnya orangtua dalam
kehidupan remaja akan mempengaruhi seorang anak dalam membentuk dan
perkembangan konsep diri anak.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Durado dkk (2013) yang
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara dukungan orangtua
yang baik dengan konsep diri yang positif pada remaja.Penelitian ini menyebutkan
golongan remaja yang tinggal dengan orangtua dan diberikan dukungan yang
positif oleh orangtua, maka hal tersebut berkorelasi secara positif terhadap
pengembangan konsep diri yang positif terhadap remaja.Sesuai dengan faktor
yang disebutkan oleh Baldwin dan Holmes (Sobur, 2016) bahwa orangtua
menjadi salah satu faktor dalam pengembangan konsep diri pada remaja.Hal ini
menjelaskan bahwa kondisi remaja yang tinggal bersama orangtua memiliki
pengembangan konsep diri secara positif.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Pardede (2008) menunjukkan
bahwa konsep diri yang terbentuk pada remaja anak jalanan adalah konsep diri
yang negatif.Hal ini terlihat dari beberapa bagian diri subjek yang sebagian besar
memandang dirinya secara negatif.Hal tersebut juga diakibatkan oleh beberapa
28
faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri subjek ke arah yang negatif
yakni orangtua, teman sebaya, dan masyarakat.Dalam penelitian ini, subjek
mengaku bahwa dirinya sering disebut sebagai anak pembawa masalah oleh
orangtuanya, hal tersebut membentuk konsep diri negatif pada diri subjek.Begitu
pula dengan perasaan subjek bahwa kedua orangtuanya tidak menyayangi subjek,
hal ini menimbulkan konsep diri yang negatif pada subjek.Orangtua adalah kontak
sosial paling awal dan paling kuat.Akibatnya, orangtua menjadi sangat penting di
mata anak.Apa yang dikomunikasikan orangtua terhadap anak lebih menancap
daripada infromasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya (Le Roux dan
Smith dalam Pardede, 2008). Dari penelitian ini menunjukkan bahwa orangtua
menjadi faktor penting dalam pembentukan konsep diri anak (Baldwin dan
Holmes dalam Sobur, 2016).
Kehadiran orangtua secara langsung sangat dibutuhkan anak dalam
pembentukan konsep diri positif, namun pada kenyataannya banyak orangtua
yang tidak dapat memberikan pengasuhan secara langsung kepada anak.Hal ini
disebabkan oleh kebanyakan orangtua yang memilih bekerja sebagai TKI.Banyak
akibat yang harus diterima oleh anak yang dikarenakan orangtua yang bekerja
sebagai TKI.Salah satunya ialah konsep diri.Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nasriati (2013) yang menyebutkan bahwasanya anak yang
ditinggal oleh orangtua yang bekerja sebagai TKI memiliki konsep diri yang
rendah.Hal ini disebabkan karena tidak adanya kehadiran orangtua dalam
pengasuhan sehingga anak tidak memperoleh dukungan dan hubungan yang baik
secara emosional.
29
Berdasarkan dari hasil penelitian Maskhur dkk (2012) remaja dengan
orangtua yang bekerja sebagai TKI sudah mengetahui hakihat dari “siapa saya”
namun informasi yang lebih lengkap mengenai diri diperoleh remaja secara
negatif sehingga dimensi internal diri identitas (Fitts dalam Agustiani, 2009)
menunjukkan hasil yang negatif, seperti subjek yang beranggapan bahwa keluarga
yang dimiliki tidak utuh dan tidak sama seperti keluarga yang lain, selain itu
subjek juga beranggapan bahwa subjek berasal dari keluarga yang “ganjil” dan
“tidak normal”. Hal ini diakibatkan oleh ketidakhadiran orangtua dalam
memberikan informasi yang baik bagi remaja.
Diri identitas yang negatif tersebut menghasilkan diri pelaku yang negatif
pula (Fitts dalam Agustiani, 2009).Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian
Maskhur dkk (2012), dengan perilaku yang menyimpang pada diri remaja seperti
salah satu remaja dari subjek penelitian tersebut mentato tangannya dengan getah
pohon hingga terluka dan bernanah namun remaja tersebut tidak memiliki
penyesalan karena sudah melukai diri yang dapat berakibat fatal bagi
hidupnya.Perilaku tersebut muncul karena subjek beranggapan bahwa subjek
sudah tidak diperdulikan lagi oleh orangtua subjek, karena subjek ditinggal
seorang diri dengan orang yang tidak menyayangi subjek.
Menurut Fitts (Agustiani, 2009) diri penilai sebagai mediator antara diri
identias dan diri pelaku, individu cenderung memberikan penilaian terhadap apa
yang dipersepsikan diri. Penelitian Maskhur dkk (2012) menunjukkan subjek
menilai dirinya secara negatif hal ini terlihat dari hasil penelitian yang
nenunjukkan bahwa remaja menganggap dirinya berasal dari keluarga yang tidak
30
utuh serta tidak berharga karena entah ayah atau ibu subjek yang bekerja sebagai
TKI membiarkan subjek berada dalam kondisi keluarga yang tidak ideal.Secara
keseluruhan dimensi internal konsep diri Fitts (Agustiani, 2009) pada subjek
penelitian ini memiliki konsep diri negatif.Hal ini sesuai dengan faktor penyebab
yang disebutkan oleh Baldwin dan Holmes (Sobur, 2016) yaitu orangtua.
Masih dengan penelitian yang dilakukan oleh Maskhur dkk (2012) yang
menunjukkan hasil bahwa subjek menyatakan dirinya adalah anak yang tidak
diinginkan.Perasaan yang dialami subjek karena pengasuhan yang diterima subjek
mengalami pemindahan tangan seperti yang awalnya dirawat bibi atau paman
berpindah tangan pada nenek atau kakek subjek.Hal ini menunjukkan bahwa
dimensi eksternal diri pribadi (Fitts dalam Agustiani, 2009) yang dimiliki subjek
bersifat negatif.
Adapun hasil wawancara dari penelitian Maskhur dkk (2012) menyatakan
bahwa subjek penelitian tersebut merasa tidak memiliki kedudukan dalam anggota
keluarganya.Hal ini ditunjukkan dengan ayah atau ibu subjek bercerai dan
menikah lagi dengan janda atau duda yang telah memiliki anak, sehingga subjek
hanya berperan sebagai pengasuh dari adik tiri subjek, sedangkan kasih sayang
yang subjek peroleh hanya sedikit.Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
subjek memiliki diri keluarga (Fitts dalam Agustiani, 2009) yang bersifat negatif.
Diri sosial (Fitts dalam Agustiani, 2009) yang dimiliki oleh subjek
penelitian juga negatif.Hal ini terlihat dari hasil penelitian Maskhur dkk (2012)
yang menyatakan bahwa subjek tidak pernah ikut serta atau diikutsertakan dalam
kegiatan sosial yang terjadi dilingkungan tempat tinggal subjek.Akibat dari
31
perilaku tersebut subjek beranggapan bahwa lingkungan tempat subjek tinggal
tidak dapat menerima keberadaan subjek sebagai seorang anak yang orangtuanya
bekerja sebagai TKI. Berdasarkan dimensi eksternal yang dikemukakan oleh Fitts
(Agustiani, 2009) tiga dari lima dimensi eksternal yang dimiliki subjek bersifat
negatif.
Secara keseluruhan dimensi yang disebutkan oleh Fitts (Agustiani, 2009)
enam dari delapan dimensi konsep diri yang dimiliki subjek bersifat negatif.
Semua dimensi yang dijelaskan di atas disebabkan oleh ketidakhadiran orangtua
dalam proses pembentukan konsep diri pada remaja. Ketidakmampuan orangtua
untuk hadir secara langsung dan utuh dalam kehidupan remaja menimbulkan
berbagai masalah yang kompleks yang harus dihadapi remaja seorang diri
sehingga menimbulkan gangguan pada pembentukan konsep diri pada remaja.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, pertanyaan penelitian merupakan hal yang
sangat esensial. Terdapat dua bagian dalam pertanyaan penelitian kualitatif yaitu
central question dan sub question (Creswell, 2014).
1. Central Question
Central question merupakan pertanyaan pokok atau utama dalam
penelitian kualitatif.Central question dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana gambaran konsep diri pada remaja dengan orangtua yang bekerja
sebagai TKI”.
32
2. Sub Question
Sub question terbagi menjadi dua yaitu issue sub question dan topical
question.
Issue sub question yang merupakan pertanyaan penjelas dari pertanyaan
utama penelitian, yang disusun berdasarkan aspek-aspek eksternal konsep diri,
meliputidiri fisik, diri pribadi, diri etik-moral, diri keluarga dan diri sosial,
pertanyaannya sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran diri fisik subjek?
2. Bagaimana gambaran diri pribadi subjek?
3. Bagaimana gambaran diri etik-moral subjek?
4. Bagaimana gambaran diri keluarga subjek?
5. Bagaimana gambaran diri sosial subjek?
top related