kajian tentang perspektif bebas murni … jaksa penuntut umum dan hakim berkait pembuktian...
Post on 02-Jul-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN TENTANG PERSPEKTIF BEBAS MURNI DALAM
PANDANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN HAKIM BERKAIT
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERDIRI SENDIRI
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
1034K/PID.SUS/2008)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
AGUNG WIDODO
NIM.E1104004
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Agung Widodo
NIM : E1104004
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
KAJIAN TENTANG PERSPEKTIF BEBAS MURNI DALAM
PANDANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN HAKIM BERKAIT
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERDIRI SENDIRI
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
1034K/PID.SUS/2008) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan
hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2011
yang membuat pernyataan
Agung Widodo
NIM.E1104004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Agung Widodo, E1104004. 2011. KAJIAN TENTANG PERSPEKTIF BEBAS MURNI DALAM PANDANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DAN HAKIM BERKAIT PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI YANG BERDIRI SENDIRI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1034K/PID.SUS/2008). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui perspektif putusan bebas murni antara jaksa penuntut umum dan hakim, serta implikasi yuridis terhadap putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji perspektif putusan bebas murni antara jaksa penuntut umum dan hakim serta implikasi yuridis terhadap putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri pada kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui mengenai perspektif bebas murni antara jaksa penuntut umum dan hakim serta implikasi yuridis terhadap putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri pada kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif putusan bebas murni antara jaksa penuntut umum dan hakim menunjukan dua sisi yang berbeda, disatu sisi jaksa penuntut umum menilai hakim telah salah menerapkan hukum dalam menafsirkan unsur-unsur pasal yang didakwakan, jaksa penuntut umum menilai bahwa hakim dalam menilai unsur-unsur pasal yang didakwakan hanya berdasar atas kesaksian yang berdiri sendiri dan keterangan terdakwa, tidak dikaitkan dengan alat bukti yang lain, serta hakim juga tidak mengkaitkan perbuatan terdakwa dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan hakim Mahkamah Agung menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas murni, karena jaksa penuntut umum dipandang tidak bisa membuktikan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Singkawang tersebut merupakan pembebasan yang tidak murni, maka hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Kesaksian yang berdiri sendiri dalam kasus ini bukan merupakan alat bukti dan tidak mempunyai nilai pembuktian. Dalam kasus ini hakim bersifat bebas dan tidak terikat. Kata Kunci : putusan bebas murni, jaksa penuntut umum dan hakim, keterangan saksi yang berdiri sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Agung Widodo, E1104004. 2011. STUDY ON PERSPECTIVE OF ACQUITTAL DECISION ON THE EYES OF THE PUBLIC PROSECUTOR AND THE JUDGES RELATED WITH EVIDENCES AN INDEPENDENT WITNESSES (CASE STUDY OF THE SUPREME
MBER 1034K/PID.SUS/2008). Faculty Of Law, Sebelas Maret University.
This legal writing purposed to find out the perspective of acquittal decision between the public prosecutor and the judge, as well as the judicial implications of the acquittal wich based on the independent testimony.
This legal writing was a normative legal research wich has prescriptive character, assessing how the perspective of acquittal decision between public prosecutors and judges as well as judicial implications of the acquittal decision based on the independent testimony in case the decision of the Supreme Court Number 1034K/Pid.Sus/2008. The secondary research sources used including the primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Collection techniques used sources of legal materials awere the study of literature and internet references. Analysis of the research was deductive syllogism with the collection of research sources to interpreted relevant norms, then the source of the study was processed and analyzed to answer the problem under study. The last step was to drawing conclusions from the research sources that processed, which in turn can be known about the perspective of acquttal between the public prosecutors and the judges as well as judicial implications of free decision purely based on the independent testimony in case the decision of the Supreme Court Number 1034K/Pid. Sus/2008.
Based on research results can be concluded that the perspective of acquttal decision between the public prosecutors and the judges showed two different sides, on one side of the prosecutor assessing the judge had misapplied the law in interpretation of the elements of art that being prosecuted, the prosecutor considers that the judge in assessing elements charged articles based only on the independent testimony and information the defendant, it was not associated with other evidence, as well as judge also not related actions of the defendant to Article 55 paragraph (1) to-1 of the Criminal Code. While the judges of the Supreme Court considered that the Supreme Court decide Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW was acquittal decision, because prosecutors could not prove that the considered decision of the District Court of Singkawang wich a liberation that was not pure, then the judge Supreme Court rejected the appeal filed by the prosecutor. The independent testimony in this case was not evidence and had no evidentiary value. In this case the judge is free and unattached. Key word : acquittal decision , the public prosecutor and the judges , an independent witnesses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa 4 : 135 ) Today is tomorrow we worried about yesterday, keep move on without worrying because nothing impossible (Penulis)
Tak ada yang tak bisa kalau kita mau berusaha.
(Penulis) Yang baik belum tentu menang dan yang jahat belum tentu kalah, selalu ada dendam yang harus dibalas, perang tidak akan pernah usai (Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap
kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul KAJIAN TENTANG
PERSPEKTIF BEBAS MURNI DALAM PANDANGAN JAKSA
PENUNTUT UMUM DAN HAKIM BERKAIT PEMBUKTIAN
KETERANGAN SAKSI YANG BERDIRI SENDIRI (STUDI KASUS
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1034K/PID.SUS/2008) .
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah
Muhammad SAW. Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang
harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh
derajat sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui perspektif putusan bebas
murni antara jaksa penuntut umum dan hakim, serta implikasi yuridis terhadap
putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri
Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari
bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak,
dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku ketua bagian acara yang telah
memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum., selaku pembimbing I yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan
sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia
menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis.
5. Bapak Sutedjo, S.H.,M.M., selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang
berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Hardjono, S.H.,M.H., selaku ketua program non reguler fakultas
hukum UNS.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
8. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan
anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Segenap staff dan karyawan fakultas hukum UNS yang telah membantu dan
berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar dan segala
kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
10. Ayahnda Sudarto dan Ibunda Lasmi, yang telah memberikan segalanya
kepada penulis, semoga Ananda dapat membalas budi jasa kalian dengan
memenuhi harapan kalian kepada Ananda.
11. Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa
kepada penulis.
12. ,
Angga, Epand yang telah banyak memberikan nasehat dan dorongan hingga
terselesainya penulisan skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri
Karanganyar : Shinta, Mey, Wawan, Veni, Tyas Bundo, Sukma, Puspita,
Dhika, Mardiyan. Tak akan terlupakan dari kebersamaan kita yang hanya 1
bulan saja.
14. Sahabat malamku, Shinta, Mey, Wawan, dan Sukma terimakasih untuk semua
waktu, canda, tawa, senyum. Maav atas segala salah, kereseanku, kejahilanku,
semoga semuai ini takkan berakhir sampai disini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
15. Fiy, Dessy, Anind, Puri, Ana, Shuntul, Puput, Putri, terima kasih yang telah
setia menemaniku ketika lembur mengerjakan skripsi ini hingga selesai.
16. Penghuni kost Wisma Biru Pak Warjo, Bu Sri, Pak Okta, Mas Titus, Mas Arif,
Mas Dower, Mas Gonem, Mas eliya, Mas Oni, Bagus, Teguh, Mukhlis,
Nanang, Hasto, Beni, Anton, dan semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung sehingga terselesainya penulisan
skripsi ini.
17. Temenku Fakultas Hukum Non -sama
untuk meraih gelar Sarjana Hukum.
18. Temen-Temenku semua dari sabang sampai merauke Surip, Sis, Hendra,
Andika, Firman, Nita, Cecep, Damar, Pajar, Krebo, Bento, Pecok, Akmal,
Ubul, Pras, Yoga, Serta pihak2 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
19. Alone at Last, Blink182, Sum41, KMI, PWG, Captain Jack yang setia
menemani penulis hingga terselesainya penulisan skripsi ini.
20. Dan semua kru yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Penulisan
Hukum ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah
SWT membalasnya dengan kebaikan yang lebih atas jasa-jasa yang telah
diberikan.
Semoga bantuan, dorongan dan budi baik dari semua pihak mendapatkan
limpahan rahmat dan pahala dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan ini masih jauh dari sempurna,
hal ini disebabkan keterbatasan, kekurangmampuan dan kurangnya pengetahuan
penulis. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun
masyarakat umum.
Surakarta, April 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... viii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 9
E. Metode Penelitian ................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................................... 15
1. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti ....................................... 15
a. Pengertian Pembuktian .................................................................. 15
b. Sisitem Pembuktian ...................................................................... 16
c. Alat Bukti ....................................................................................... 21
2. Tinjauan tentang Saksi dan Keterangan Saksi ...................................... 25
a. Pengertian Saksi ............................................................................ 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
b. Keterangan Saksi .......................................................................... 26
3. Tinjauan tentang Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak) dan
Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak) ........................... 28
4. Tinjauan tentang Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Bebas
(Zuivere Vrijspraak) ............................................................................. 33
B. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ......................................................................................... 40
1. Kasus Posisi ....................................................................................... 40
2. Dakwaan Penuntut Umum .................................................................. 41
3. Tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Singkawang
Tanggal 12 Oktober 2007 ................................................................... 43
4. Putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW Tanggal 13 November 2007 ............... 45
5. Permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum ....................................... 46
6. Putusan Majelis Hakim....................................................................... 54
B. Pembahasan ............................................................................................... 54
1. Kajian Atas Putusan Bebas Murni dalam Perspektif Jaksa
Penuntut Umum dan Hakim Dalam Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008 .................................................. 54
2. Implikasi Yuridis Terhadap Perspektif Putusan Bebas Murni
Yang Didasarkan Pada Kesaksian Yang Berdiri Sendiri Pada Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008 .................. 60
a. ........................................................................................... P
erspektif Jaksa Penuntut Umum .................................................. 60
b. ........................................................................................... P
erspektif Hakim Mahkamah Agung ............................................ 62
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
B. Saran ...................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran ................................................................ 38
Gambar 2. Skematik perspektif Jaksa Penuntut Umum dan Hakim Mahkamah
Agung pada putusan bebas murni .............................................................................. 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Putusan Mahkamah Agung Nomor.1034K/Pid.Sus/2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagai negara hukum, negara Indonesia memiliki beberapa macam
hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum
pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum hukum ini mempunyai
hubungan yang sangat erat. Hukum acara pidana mengatur cara-cara
bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman
dalam perkara perkara yang terjadi (hukum pidana formal). Hukum Acara
Pidana merupakan suatu sistem kaidah atau norma yang diberlakukan oleh
negara, dalam hal ini oleh kekuasaan kehakiman, untuk melaksanakan Hukum
Pidana (materiil).
Dengan demikian suatu Hukum Acara Pidana dapat dikatakan baik
apabila Hukum Pidana dapat terealisasi dengan baik (Djoko Prakoso, 1988: 1).
Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 2 KUHAP yang berbunyi:
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam
lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan
terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang maka dalam
menyelesaikan perkara tersebut baik dari proses penyidikan sampai pada
proses persidangan di pengadilan para penegak hukum haruslah berpedoman
pada aturan-aturan dalam KUHAP. Apa yang diatur dalam hukum acara
pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban
hukum dalam masyarakat, namun sekaligus juga melindungi hak asasi tiap-
tiap individu baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum (Moch.
Faisal Salam, 2001: 13). Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum
u setidak-tidaknya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
(Syaiful Bakhri, 2009: 4-5).
Untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak terhadap
perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut
harus dengan dibuktikan alat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan
bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan di
depan sidang pengadilan (Darwan Prinst, 1998: 1320). Untuk membuktikan
benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan
adanya suatu pembuktian. Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan
kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat
berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana atau undang-
undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus
diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang
tidak bersalah mendapat hukuman, dan bila memang terbukti bersalah maka
hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.
Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib
terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana
dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari
hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkam nilai pembuktian. Menilai sampai mana batas minimum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai
pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun
pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya
memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di
Indonesia.
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan (M. Yahya Harahap, 2000: 273). Menurut Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti
adalah : Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan
terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada
keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian
(bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian.
Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP tetap
mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti keterangan saksi
dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan
diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus
sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini. Karena
dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya.
Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Ada
syarat-syarat yang harus di penuhi agar alat bukti keterangan saksi dan
mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi agar dapat menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
alat bukti yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan (M. Yahya
Harahap, 2002: 265-268), yaitu: 1) Keterangan saksi yang diberikan harus
diucapkan diatas sumpah, hal ini diatur dalamPasal 160 ayat (3) KUHAP. 2)
Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat
sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam
Pasal 1 angka 27 KUHAP. 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP. 4)Keterangan
seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan
pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi
dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP. 5)
Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai
saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran
suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP.
Dengan demikian berarti apabila alat bukti keterangan saksi tidak
memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas, maka keterangan saksi
tersebut tidak sah sebagai alat bukti dengan demikian tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian. Dari syarat sahnya keterangan saksi agar mempunyai
nilai kekuatan pembuktian, salah satunya disebutkan bahwa antara keterangan
saksi yang satu dengan saksi yang lain harus mempunyai saling hubungan atau
keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau
kejadian tertentu ini dijadikan sebagai dasar hakim dalam mengambil putusan
akhir.
Kalau dicermati lahirnya sebuah putusan pengadilan adalah
merupakan sebuah rangkaian proses panjang yang dihasilkan oleh semua
komponen sub unsur struktur yang ada dalam lingkaran proses Sistem
Peradilan Pidana yang diawali dari tindakan hukum penyelidikan atau
penyidikan oleh Kepolisian, Penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan serta
pemutus perkara oleh Pengadilan (Hakim) dan lebih lanjut usaha pembinaan
bagi pelanggar hukum (narapidana) yang dibina oleh Lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Pemasyarakatan. Dalam mekanisme proses peradilan pidana ini juga adanya
keterlibatan sub unsur Advokat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengenai penjatuhan putusan akhir (vonis) oleh hakim, dapat
berupa:
1. Putusan bebas dari segala dakwaan hukum (vrijspraak);
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging);
3. Putusan pemidanaan (veroordeling).
Dari bentuk-bentuk putusan tersebut secara esensi terhadap jenis
pemidanaan tertentu secara yuridis normatif selalu tersedia upaya hukum
untuk melawan sebagai bentuk ketidak puasan akan vonis yang dijatuhkan
hakim.
Adapun yang menjadi fokus kajian terkait dengan penjatuhan
putusan akhir (vonis) oleh hakim dalam relevansinya dengan upaya
hukumnya, yakni putusan hakim yang mengandung pembebasan (vrijspraak)
dalam korelasinya dengan keberadaan upaya hukumnya. berupa kasasi oleh
Jaksa Penuntut Umum yang secara tataran teoritik masih tetap menjadi
wacana yang berkepanjangan.
Pengaturan secara yuridis formal tentang putusan bebas (vrijspraak)
yang berkorelasi dengan upaya hukumnya, dalam hal ini khususnya berupa
upaya hukum kasasi tercantum dalam rumusan Pasal 244 KUHAP, sebagai
diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali . Berdasarkan rumusan
redaksional Pasal 244 KUHAP tersebut, pada kalimat bagian terakhir, secara
yuridis normatif KUHAP telah menutup jalan bagi Jaksa Penuntut Umum
untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak)
tersebut. Ironisnya setelah perjalanan diberlakukannya KUHAP, terjadi arus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
frekuensi putusan bebas (vrijspraak) yang memunculkan keresahan dalam
kehidupan masyarakat bahkan pencari keadilan cenderung tendensius, skeptis
terhadap institusi pengadilan pada khususnya dan penegakan hukum pada
umumnya oleh karena pengadilan tingkat pertama cenderung menjatuhkan
putusan bebas (vrijspraak) dalam kasus-kasus perkara tertentu, terlebih lagi
terhadap perkara-perkara berskala besar dan menyita perhatian publik.
Dalam praktek peradilan pidana akhirnya terjadi perkembangan
yang dimotori oleh pihak eksekutif, yakni Departemen Kehakiman Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-
PW. 07. 03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP yang dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri
putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, kondisi demi hukum, keadilan
dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan
Keberadaan yurisprudensi yang dilandasi keluarnya Keputusan
Menteri Kehakiman Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tersebut dibidang
substansi materi putusan bebas dengan upaya hukum yang menyertainya
masih selalu menjadi wacana kalangan teoritisi maupun praktisi. Fenomena
tersebut adalah ketika terjadi pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
1034K/Pid.Sus/2008. Dalam putusan tersebut jaksa penuntut umum
mengajukan kasasi kepada mahkamah agung dengan alasan bahwa putusan
yang diambil hakim seperti berikut: dalam hal ini judex facti telah salah
menerapkan hukum dalam melakukan penafsiran unsur-unsur pasal yang
didakwakan, dimana judex facti mengambil bukti-bukti dalam pembuktian
unsur tersebut yakni:
Pembuktian yang dilakukan judex facti terhadap kesalahan
Terdakwa di dasarkan atas keterangan saksi-saksi berdiri sendiri; Keterangan
saksi yang berdiri sendiri hanya bisa dipergunakan sebagai alat bukti yang sah
dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
Keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri antara
keterangan yang satu dengan yang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti atau mereka dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak memiliki
nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tungggal harus dinyatakan
tidak cukup memadai untuk pembuktian kesalahan Terdakwa, apabila jika
keterangan para saksi tersebut saling bertentangan antara yang satu dengan
yang lain. Hal ini akan mengakibatkan keterangan yang saling bertentangan
dan itu harus disingkirkan sebagai alat bukti, sebab ditinjau dari segi
yuridisnya, keterangan semacam itu tidak mempunyai nilai pembuktian
maupun kekuatan pembuktian; Bahwa, judex facti menafsirkan unsur
eksploitasi yang terurai dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 didasarkan atas keterangan para saksi a de Charge yang
mempunyai keterangan yang saling bertentangan dan memiliki penilaian diri
sendiri, sehingga judex facti mengambil suatu kesimpulan terhadap kesalahan
para Terdakwa hal tersebut tidak bisa diartikan sebagai alat bukti apabila
kemudian judex facti menjadikan keterangan saksi-saksi tersebut sebagai
pedoman penjatuhan putusan. Karena itulah keterangan saksi sangat penting
dalam proses pembuktian dalam proses persidangan yang berpengaruh
terhadap putusan hakim.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik melakukan
penulisan hukum dengan judul : ERSPEKTIF
BEBAS MURNI DALAM PANDANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DAN HAKIM BERKAIT PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI
YANG BERDIRI SENDIRI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan beberapa hal yang penulis kemukakan tersebut,
untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
serta untuk lebih mengarahkan ke pembahasan, penulis menetapkan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif putusan bebas murni antara jaksa penuntut
umum dan hakim pada kasus putusan Mahkamah Agung Nomor.
1034K/Pid.Sus/2008 ?
2. Bagaimana implikasi yuridis terhadap perspektif putusan bebas murni
yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri pada kasus
putusan Mahkamah Agung Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008 ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam
suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan
obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif).
Dalam penelitian ini tujuan yang ingi dicapai penulis adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana perspektif putusan bebas murni antara
jaksa penuntut umum dan hakim.
b. Untuk mengetahui lebih jelas tentang implikasi yuridis terhadap
perspektif putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang
berdiri sendiri.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar strata satu dalam
bidang ilmu hukum.
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya
mengenai pandangan jaksa dan hakim dalam putusan bebas serta
implikasi yuridis terhadap perspektif putusan bebas murni yang
didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri.
D. Manfaat Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya penelitian
akan menentukan nilai- nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi
manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis dan manfaat
praktis, yaitu :
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta untuk mengetahui
perspektif putusan bebas antara jaksa penuntut umum dan hakim serta
implikasi yuridis terhadap perspektif putusan bebas murni yang didasarkan
pada kesaksian yang berdiri sendiri.
b. Dapat bermanfaat selain sebagai bahan informasi juga sebagai literatur
atau bahan bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat praktis
a. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai
perspektif putusan bebas antara jaksa penuntut umum dan hakim serta
implikasi yuridis terhadap perspektif putusan bebas murni yang didasarkan
pada kesaksian yang berdiri sendiri.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi dalam kaitanya
dengan perimbangan yang menyangkut masalah ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang di hadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai peskripsi dalam
menyelesaikian masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35)
1. Jenis Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, maka pada
penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal (doctrinal research)
yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang
fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder (Johny lbrahim, 2006:44).
2. Sifat penilitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat preskriptif,
Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validasi aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki,
2010:22).
3. Pendekatan penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approoch), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach ) (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93).
Dari beberapa pendekatan tersebut, peneliti menggunakan jenis
pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus dilakukan dengan
cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum tetap, dalam mengunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami
oleh peneliti adalah ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang
digunakan untuk sampai kepada putusanya (Peter Mahmud Marzuki,
2010:l l9).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Dalam buku karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa
penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga untuk memecah
isu hukum diperlukan sumber-sumber penelitian yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer:
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim (Peter
Mahmud Marzuki, 2010:14l).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008.
b. Bahan Hukum Sekunder :
Bahaan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jumal hukum,
dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki, 2010:14l).
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum,
artikel, intemet, dan sumber lainya yang memiliki korelasi dengan isu
hukum yang akan diteliti didalam penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam teknik pengumpulan bahan hukum, dilakukan dengan
mendokumentasikan bahan hukum atau disebut studi kepustakaan. Peneliti
melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan
terhadap isu hukum yang akan dihadapi, dalam hal ini peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menggunakan pendekatan kasus (case approach) sehingga pengumpulan
bahan hukum yang digunakan adalah putusan-putusan pengadilan
mengenai isu hukum yang dihadapi. Putusan pengadilan tersebut
merupakan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (Peter
Mahmud Marzuki, 2010:195).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam teknik analisis bahan hukum, peneliti menggunakan metode
deduksi, metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor adalah
aturan hukum kemudian diajukan premis minor adalah fakta hukum dan
dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud
Marzuki, 2010:74).
Yang menjadi premis mayor (aturan hukum) yaitu Pasal 244
KUHAP tentang Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas dan
premis minor yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor :
1034K/Pid.Sus/2008 dalam menjatuhkan vonis bebas dan dari kedua
premis ini kemudian akan ditarik kesimpulan pada pembahasan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah pemahaman dalam pembahasan dan untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi, penulis
menjabarkan dalam bentuk sistematika skripsi sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan bagian pertama tentang
kerangka teori yang berisi tinjauan kepustakaan sebagai
literatur pendukung dalam pembahasan masalah
penulisan hukum ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan
ini meliputi tinjauan tentang pembuktian dan alat bukti,
tinjauan tentang saksi dan keterangan saksi, tinjauan
tentang putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dan
putusan bebas tidak murni (onzuivere vrijspraak),
tinjauan tentang upaya hukum kasasi terhadap putusan
bebas (vrijspraak). Bagian kedua adalah kerangka
pemikiran yang disajikan dalam bentuk narasi maupun
bagan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menguraikan mengenai hasil
penelitian tentang perspektif putusan bebas antara jaksa
penuntut umum dan hakim serta tentang nilai kekuatan
pembuktian kesaksian yang berdiri sendiri dalam
persidangan, implikasi yuridis terhadap perspektif
putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian
yang berdiri sendiri. Diuraikan pula mengenai
pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang
diperoleh dari hasil penelitian, kemudian dianalisis
dengan kajian pustaka, rumusan masalah dan tujuan
penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan mengenai pokok-pokok
yang menjadi simpulan dan saran dari hasil penelitian,
dengan berpedoman pada hasil penelitian dan
pembahasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam
menentukan kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada
terdakwa dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, pembuktian perlu
diketahui secara mendalam. Dasar hukum tentang pembuktian dalam
hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP (Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut Yahya Harahap,
pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap,
2002:273). Menurut Darwin Prints, yang dimaksud pembuktian adalah
bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang
salah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya
(Darwin Prints, 1998:133). Pembuktian tidak lain berarti memberi dasar
dasar yang cukup kepada hakim untuk memeriksa perkara yang
bersangkutan guna kepastian tentang perkara yang diajukan. Menurut
R. Subekti, yang dimaksud pembuktian ialah upaya untuk menyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalili-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan di pengadilan (R. Subekti, 1983: 7).
Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah
ketentuan yang membatasi siding pengadilan dalam usaha mencari dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
mempertahan kankebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum,
terdakwa maupun penasihat hukum. Dari semua tingkatan itu, maka
ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti telah ditentukan oleh
undang-undang, dengan tidak diperkenankannya untuk leluasa betindak
dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian, termasuk terdakwa
tidak leluasa untuk mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di
luar dari undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009: 3).
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang
disusun didapat dari jejak, kesan dan refleksi dari keadaan dan atau
benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan masa
lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian menurut
hukum pada dasarnya untuk menentukan substansi atau hakekat adanya
fakta-fakta masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang.
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat bukti dalam perkara pidana
bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Hal-hal yang sudah diketahui umum, tidak perlu
dibuktikan lagi.
b. Sistem Pembuktian
Tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana
cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang
dalam persidangan, dimana kekuatan pembuktian yang dapat dianggap
cukup memadai membuktian kesalahan terdakwa melalui alat-alat
bukti, keyakinan hakim, maka sistem pembuktian perlu diketahui dalam
upaya memahami sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP (Syaiful Bakhri, 2009: 39).
Teori sistem pembuktian ada 4 (empat), yaitu :
a) Conviction-In Time
Sistem pembuktian conviction-in time adalah sistem
pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik
keyakinan atas kesimpulan dari alat bukti yang diperiksa dalam
siding pengadilan. Alat bukti dapat saja diabaikan oleh hakim, dan
menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa saja. Kelemahan
sistem ini adalah, hakim dalam putusannya mendasarkan pada
keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup, dan
sekaligus bebas menentukan putusan bebas kepada terdakwa dari
tindak pidana, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukri.
Dengan bertumpu pada keyakinan semata-mata tanpa didukung
alat bukti yang sah, telah cukup membuktikan atau tidak
membuktikan kesalahan terdakwa, sehingga dengan menyerahkan
sepenuhnya kepada hakim atas nasib terdakwa, maka keyakinan
hakim yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian.
Andi Hamzah, menyebutkan bahwa teori ini berhadap-
hadapan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara
positif, disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa
sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun
kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah
melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pangkal
keyakinan hakim, maka teori ini didasarkan pada keyakinan hati
nurani hakim sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan.
Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan pada alat bukti dalam undang-undang. Hal ini dianut
pada pengadilan juri di Perancis, serta pengadilan adapt dan
swapraja memakai sistem ini, selaras dengan kenyataannya bahwa
pengadilan tersebut tidak dipimpin oleh hakimyang bukan ahli
hukum, sistem ini memberikan kepada hakim terlalu besar,
sehingga sulit diawasi, dan bagi terdakwa maupun penasehat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
hukumnya sulit melakukan pembelaan. Dalam praktek di
Indonesia, sistem ini pernah berlaku pada pengadilan distrik, dan
pengadilan kabupaten, sehingga sistem ini sangat memungkinkan
hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya,
misalnyaketerangan medium atau dukun. Sistem ini sangat
memberikan kebebasan yang luas kepada hakim sehingga sulit di
awasi. (Andi Hamzah, 2008: 252-253).
b) Conviction Raisonee
Dalam sistem ini hakim memegang peranan penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa, tetapi faktor
keyakinan hakim dibatasi dengan dukungan-dukungan dan alasan
yang jelas. Hakim berkewajiban menguraikan, mejelaskan alasan-
alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan yang dapat
diterima secara akal dan bersifat yuridis. Sistem ini disebut dengan
sistem yang bebas, karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-
alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie), atau disebut juga dengan
jalan tengah berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu,
dan terpecah menjadi dua jurusan yakni pertama, berdasarkan atas
keyakinan hakim (conviction in time) dan yang kedua adalah teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewijstheorie). Kesamaan keduanya adalah sama-sama
berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin
dipidana tanpa ada keyakinan hakim, bahwa terdakwa dinyatakan
bersalah.
Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan
(conclusive) yang logis, yang tidak didasrkan pada undang-undang
tetapi ketentuan-ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim itu
sendiri, tentang pilihannya terhadap alat bukti yang dipergunakan,
sehingga menurut undang-undang telah ditentukan secara
limitative, dan harus diikuti oleh keyakina hakim. Sistem ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
berpangkal tolak pada keyakinan hakim, dan pada system
pembuktian berdasarkan undang-undang negative (Syaiful Bakhri,
2009: 41).
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief
Wattelijk Bewijstheorie)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
(positief wattelijk bewijstheorie) ini bertolak belakang dengan
system pembuktian menurut keyakinan hakim semata (conviction-
in time). dimana keyakinan hakim tidak berarti, dengan suatu
prinsip berpedoman pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada hati nurainya, seolah-
olah hakim adalah robot dari pelaksana undang-undang yang tidak
berhati nurani. Kebaikan sistem ini, yakni hakim berkewajiban
mencari dan menemukan kebanaran, sesuai dengan tata cara yang
telah ditentukan berbagai alat bukti yang sah oleh undang-undang,
sehingga sejak pertama hakim mengenyampingkan faktor
keyakinan semata-mata dan berdiri tegak dengan nilai pembuktian
objektif tanpa memperhatikan subyektivitas dalam persidangan.
Sistem ini lebih sesuai disebutkan sebagai penghukuman
berdasarkan hukum. Maknanya penghukuman berdasarkan
kewenangan undang-undang dengan asas bahwa terdakwa akan
dijatuhkan hukuman, dengan unsur-unsur yang sah menurut
undang-undang.
d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijk bewisjtheorie)
Sistem ini adalah mendasarkan pada sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dan system pembuktian
menurut keyakinan hakim (conviction-in time). sistem pembuktian
ini, adalah suatu keseimbangan antara kedua sistem yang bertolak
belakang secara ekstrem. Pembuktian menurut undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
secara negatif menggabungkan secara terpadu, dengan rumusan
keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat bukti
yang sah menurut undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009: 42).
Bertitik tolak pada pandangan tersebut maka dapat diketahui,
bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang, keyakinan hakim juga
harus didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang sah.
Sehingga terjadi keterpaduan unsur subjektif dan objektif dalam
menentukan kesalahan terdakwa, dan tidak terjadi domonasi antar
keduanya.
Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat
disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut
undang-undang yang negative. Ini berarti bahwa dalam hal
pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup
alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh
undang-undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka
baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan
kesalahan terdakwa.
Sistem pembuktian di Indonesia, sering kali kejadian hakim
mulai dengan menetukan keyakinan tentang terbukti atau tidaknya suatu
kejadian, dan baru kalau hakim yakin betul, bahwa terdakwa bersalah,
maka diusahakan supaya ada alat-alat bukti yang mencukupi syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang, agar dapat menjadi dasar
dari keyakinan hakim itu. Praktek ini sekiranya tidak ada jeleknya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
sebetulnya sesuai dengan sifat manusia yang lebih cepat mengetahui
perasaannya daripada pikirannya, sedang keyakinan adalah lebih
mendekati perasaan daripada pikiran (Djoko Prakoso, 1988:44).
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum membuat surat
dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk menyusun
alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau
kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya terdakwa yang harus
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hakim dalam menjatuhkan
putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun
keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang
didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana
apa yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatannya
(Martiman Prodjohamijaya, 1983 : 19).
c. Alat Bukti
Alat bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu
dalil atau pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk
dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut
dakwaan di sidang pengadilan misalnya: keterangan terdakwa,
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk (Andi Hamzah,
1996 : 254 ).
Alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya
dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan
bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut
Pasal 184 (1) KUHAP adalah :
1) Keterangan saksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, sedangkan keterangan lebih
rinci mengenai keterangan saksi dijelaskan pada Pasal 185
KUHAP. Poin penting dalam pasal tersebut adalah keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Jadi dalam hal ini harus ada lebih dari satu saksi atau
dapat pula satu saksi yang didukung oleh alat bukti yang sah
lainnya.
2) Keterangan Ahli
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang
diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan
hukum, seorang saksi ahli yang dipanggil di depan pengadilan
memiliki kewajiban untuk :
a) Menghadap atau datang ke persidangan, setelah dipanggil
dengan patut menurut hukum
b) Bersumpah atau mengucapkan janji sebelum
mengemukakan keterangan (dapat menolak tetapi akan
dikenai ketentuan khusus)
c) Memberi keterangan yang benar Bila seorang saksi ahli
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka dia dapat
dikenai sanksi berupa membayar segala biaya yang telah
dikeluarkan dan kerugian yang telah terjadi. Akan tetapi
seorang ahli dapat tidak menghadiri persidangan jika
memiliki alasan yang sah.
Bila seorang saksi ahli tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka dia dapat dikenai sanksi berupa membayar
segala biaya yang telah dikeluarkan dan kerugian yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
terjadi. Akan tetapi seorang ahli dapat tidak menghadiri
persidangan jika memiliki alasan yang sah.
Menurut Pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat
saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh
hakim ketua sidang maupun terdakwa/ penasehat hukum.
Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan
penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil
yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan.
Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat
hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan
keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat
bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
3) Surat
Dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu dimaksud surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah :
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan
dengan pemeriksaan saksi-saksi dan pemeriksaan terdakwa. Pada
saat pemeriksaan saksi, dinyatakan mengenai surat-surat yang
ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan kepada
terdakwa pada saat memeriksa terdakwa (Leden Marpaung,
1992: 395).
4) Petunjuk
Pengaturan tentang alat bukti petunjuk terdapat dalam
Pasal 188 KUHAP, yang berbunyi :
a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiannnya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya.
b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat diperoleh dari :
(1) keterangan saksi;
(2) surat;
(3) keterangan terdakwa.
c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaaan berdasarkan
hati nuraninya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
5) Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti diatur dalam Pasal
189 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :
a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri.
b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain.
2. Tinjauan Tentang Saksi dan Keterangan Saksi
a) Pengertian Saksi
Pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pada butir 27
dijelaskan tentang arti keterangan saksi adalah salah satu alat bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dari
pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dari
keterangan saksi adalah :
1) Keterangan dari orang (saksi);
2) Mengenai suatu peristiwa pidana;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) Peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian saksi
adalah orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya tindak
pidana, kejahatan atau suatu peristiwa. Keterangan yang didengar atau
diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu) bukanlah suatu
kesaksian. Terhadap keterangan saksi, hakim menilai kebenarannya
dengan menyesuaikan keterangan-keterangan saksi satu dengan yang
lainnya, keterangan saksi dengan alat bukti yang sah yang ada.
Jenis saksi dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1) Saksi A Charge yakni saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan
diajukan oleh penuntut umum dikarenakan kesaksiannya
memberatkan terdakwa.
2) Saksi A de Charge yaitu saksi yang dipilih atau ditunjuk oleh
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum yang sifatnya
meringankan terdakwa.
b) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Syaiful Bakhri,
2009: 133).
Keterangan saksi agar menjadi alat bukti yang sah harus
memenuhi beberapa persyaratan (M. Yahya harahap,2000:265-268)
yaitu:
1. Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan di atas sumpah,
hal ini sesuai dengan Pasal 160 (3) KUHAP.
2. Keterangan saksi yang diberikan di pengadilan adalah apa yang
saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan alami sendiri oleh saksi, hal
ini sesuai dengan Pasal 1 angka 27 KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
3. Keterangan saksi harus diberikan di siding pengadilan, hal ini
sesuai dengan Pasal 185 (1) KUHAP.
4. Keterangan saksi saja tidak cukup, agar mempunyai kekuatan
pembuktian maka keterangan saksi harus ditambah dan dicukupi
dengan alat bukti lain, hal ini sesuai dengan Pasal 185 (2)
KUHAP.
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, maksudnya
keterangan saksi yang di hadirkan dalam sidang pengadilan
mempunyai saling hubungan atau keterkaitan saling menguatkan
tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini
sesuai dengan Pasal 185 (4) KUHAP.
Seringkali terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang
beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi
yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Pendapat yang demikian ini keliru, karena sekalipun saksi yang
dihadirkan dan didengar keterangannya di siding pengadilan secara
kuantitatif telah melampui batas minimum pembuktian, belum
tentuketerangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti
yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 185 ayat (4) KUHAP
mengatur tentang kesaksian berantai (keeting bewijs). Pengertian
kesaksian berantai adalah beberapa saksi yang memberikan keterangan
tentang suatu kejadian yang tidak bersamaan, asalkan berhubungan
yang satu dengan yang lain sedemikian rupa. Keadaan tersebut tidak
dikenai asas unus testis nullus testis. (Syaiful Bakhri, 2009: 135)
Bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya
menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang seperti
inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang menegaskan:
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu (M. Yahya Harahap, 2006: 290).
3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak) Dan
Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak)
Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapakan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari
segala tuntutan hukuman dalam hal menurut cara yang diatur dalam
undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009: 137).
Landasan hukum putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1)
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
maka terdakw
tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian
dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Dari ketentuan tersebut diatas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi
yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, artinya dari
pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan
kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang
tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi asas batas
minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan
terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah (M. Yahya Harahap,2002: 327).
Berdasarkan Pasal 191 KUHAP, putusan pengadilan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
digolongkan menjadi ke dalam tiga macam yaitu:
1. Putusan bebas dari segala dakwaan hukum (vrijspraak);
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging);
3. Putusan pemidanaan (veroordeling).
Secara teori (menurut KUHAP), hanya dikenal putusan bebas,
tanp bebas . Putusan
bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek
peradilan berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni.
Bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah
putusan bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni,
kriteria dimaksud adalah:
a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni
apabila: pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas
suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila dalam putusan
bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas
wewenangnya;
b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila
pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur yang
didakwakan (Harun M. Husein, 1992: 130).
Apabila melihat Pasal 183 KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal
191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan
penilaian dan pendapat hakim bahwa:
a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan menyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di
persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
terbukti secara sah dan menyakinkan, karena menurut penilaian
hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak
memadai.
b. Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas
minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya
satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi batas
minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat
(2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau
seorang saksi bukan saksi.
c. Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan
yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi
sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai secara
cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan
lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam
keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan
pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum
(M. Yahya Harahap, 2002: 327).
Mengenai pengertian dan hakikat dari pengertian bebas murni dan
putusan bebas tidak murni menurut pendapat ahli, adalah sebagai berikut:
a. Putusan bebas murni (zuivere vrijspraak)
Secara teori (menurut KUHAP) atau pembentuk
Undang-undang hanya mengenal dan memakai satu istilah, yakni
putusan bebas, tanpa kualifikasi bebas murni dan bebas tidak
murni, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang
rpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,
maka terdakwa diputus bebas.
terkandung dalam rumusan Pasal 191 ayat (1) KUHAP tersebut
adalah senada dengan pandangan doktrina yang menyatakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
didasarkan tidak terbuktinya tin (H.
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992: 234).
Sedangkan Soedird
(soedirdjo, 1981: 80). Pendapat Soedirdjo ini memuat esensi yang
sama dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan,
iberikan oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Dengan demikian bahwa putusan bebas murni pada
hakekatnya mengacu pada putusan bebas sebagaimana yang diatur
dalam KUHAP oleh karena yang ditekankan dalam putusan bebas
murni ini adalah tidak terbuktinya tindak pidana yang didakwakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan
tertutupnya upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas yang
secara yuridis normatif ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP.
b. Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak)
Mengenai pengertian putusan bebas tidak murni, berikut
beberapa pendapat ahli, diantaranya, menurut M. Yahya Harahap,
seperti berikut:
Suatu putusan bebas dianggap pembebasan tidak murni:
Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada
penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang
disebut dalam surat dakwaan;
Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan
telah melampaui wewenangnya baik hal itu menyangkut
pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif
maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dalam putusan bebas itu telah turut dipertimbangkan dan
dimasukkan unsur-unsur non yuridis (M Yahya Harahap,
2003: 111).
H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, memberikan
pandangannya, sebagai berikut: Yang dimaksud dengan putusan
bebas yang tidak murni, ialah suatu putusan pembebasan yang
didasarkan pada:
kekeliruan penafsiran terhadap istilah tindak pidana yang
diuraikan dalam surat dakwaan;
pembebasan tersebut seharusnya merupakan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum;
putusan pengadilan yang melampaui batas wewenangnya
(H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992).
Definisi berikutnya merupakan pengertian pembebasan
tidak murni yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung
tanggal 25-2-1981 No. 445 K/Kr/1980 sebagaimana dikutip oleh
mengandung pengertian putusan bebas yang dijatuhkan oleh
pengadilan didasarkan atas tafsiran yang tidak benar mengenai
pasal yang bersangkutan ataupun mengenai suatu unsur dari tindak
pidana tersebut : 103).
Berdasarkan pendapat para sarjana dan yurisprudensi akhirnya
seorang doktrina memberikan sebuah kesimpulan terhadap putusan
bebas murni dan putusan bebas tidak murni tersebut, sebagai
berikut:
Bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah
putusan bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak
murni. Kriteria dimaksud, adalah:
a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak
murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau
apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak
melampaui batas wewenangnya;
b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni,
apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya
suatu unsur tindak pidana yang didakwakan. (Harun M.
Husein, 1992: 130)
4. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi Terhadap Putusan Bebas
(Vrijspraak)
Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan
bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada
Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang
bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi
terhadap putusan bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa
sebenarnya jalan atau pintu itu sudah tertutup. Akan tetapi terjadi
perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap
ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu
penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya
hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini merupakan suatu langkah
untuk mengatasi krisis ketidak adilan menurut persepsi publik akan ekses
putusan bebas yang cenderung mempolakan situasi dan kondisi negatif
bagi dunia peradilan khususnya dan penegakan hukum pada umumnya.
Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif
tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi
seperti yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan
Mahkamah Agung melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal 244
KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275
K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran
sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang
mengabulkan permohonan upaya hokum kasasi kepada Mahkamah Agung
atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat
dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:
a. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983 (Tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP) butir 19 menyatakan bahwa terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap
putusan bebas dapat dimintakan kasasi, hal ini akan didasarkan
pada Yurisprudensi.
b. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
1) Putusan MA Reg. No. 275/Pid/1983 tanggal 15 Desember
1983 menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan bebas
yang dijatuhkan PN itu, Jaksa langsung mengajukan
permohonan kasasi ke MA.
2) Putusan MA Reg. No. 892/Pid/1983 tanggal 4 Desember
1984, menyatakan bahwa MA wajib memeriksa apabila
pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa, yaitu
guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan
pengadilan bawahannya itu.
3) Putusan MA Reg. No. 532 K/Pid/1984 tanggal 10 Januari
1985, menyatakan bahwa putusan bebas tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
dibanding, tetapi dapat langsung dimohonkan kasasi.
4) Putusan MA Reg. 449/pid/1984 tanggal 2 September 1988,
menyatakan bahwa MA atas dasr pendapatnya sendiri
bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan
murni, harus menerima permohonan kasasi tersebut.
5) Putusan MA Reg. No. 449K/Pid/1984 tanggal 8 Mei 1985
menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan bebas yang
dijatuhkan PN itu, jaksa langsung mengajukan permohonan
kasasi ke MA.
6) Putusan MA Nomor 321K/Pid/1983, yang isinya adalah :
a) Menimbang bahwa namun demikian sesuai
Yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan
pengadilan yang membebaskan terdakwa itu
merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka
sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut,
permohonan kasasi tidak dapat diterima.
b) Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan
itu berdasarkan penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat
dakwaannya dan bukan didasarkan pada tidak
terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan,
atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila
dalam menjatuhkan putusan itu, Pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya (meskipun mengenai
hal ini tidak diajukan sebagai keberatan kasasi)
Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya bahwa
pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang
murni harus menerima permohonan kasasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas,
Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
tanpa terlebih dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri
Kehakiman ini menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang
sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum khususnya dalam
beracara pidana kita yang menyangkut persoalan putusan bebas.
Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut
Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk
mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu
terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum banding atau peradilan
tingkat kedua) atau dengan kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah
Agung pertama tersebut menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis
normatif bagi para Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan
ruang guna meminta pemeriksaan kepada Mahkamah Agung berupa upaya
hukum kasasi terhadap putusan bebas. Hal ini merupakan salah satu
langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai fenomena
yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut
Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak)
tersebut.
Terkait dengan yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai putusan
bebas tersebut berikut pendapat salah seorang ahli yang menyatakan:
Pada hemat kami Mahkamah Agung tidaklah melahirkan
yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan
Mahkamah Agung berusaha meluruskan penerapan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan, agar penerapan hukum tersebut benar-
benar sesuai dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya.
Dengan cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk menyesuaikan
pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan aspirasi hokum dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebab
larangan kasasi terhadap putusan bebas, dirasakan terlalu idealistik
dan belum sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kita, oleh
karena itu demi hukum, kebenaran dan keadilan, Mahkamah
Agung membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi terhadap
putusan bebas (Harun M. Husein, 1992: 120).
Jadi hal yang esensial dari yurisprudensi Mahkamah Agung
tersebut, yakni suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hukum berupa
kepastian, kemanfaatan dan keadilan dengan meluruskan penerapan hukum
yang dilakukan pengadilan melalui suatu pertimbangan apakah putusan
bebas yang dimintakan kasasi tersebut merupakan kualifikasi putusan
bebas murni atau tidak murni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
B. Kerangka pemikiran
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
Keterangan :
1. Putusan Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW
2. Putusan Mahkamah Agung No.1034K/Pid.Sus/2008
Putusan Bebas Jaksa
Penuntut
Umum
Hakim
Kasasi
Pasal 244, 245, 248 dan 253 KUHAP
Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03 Tahun 1983
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Doktrin
1. Bagaimana perspektif putusan bebas antara jaksa
penuntut umum dan hakim pada kasus putusan
Mahkamah Agung Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008 ?
2. Bagaimana implikasi yuridis terhadap perspektif
putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian
yang berdiri sendiri pada kasus putusan Mahkamah
Agung Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Berdasarkan kerangka diatas dapat di jelaskan bahwa pada putusan
Pengadilan Negeri Singkawang Nomor : 236/Pid.B/2007, hakim menyatakan
Terdakwa I dan Terdakwa II tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
menurut hukum bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam
dakwaan jaksa penuntut umum dan membebaskan terdakwa. Menurut
pandangan jaksa penuntut umum, hakim dalam mengambil keputusan salah
menerapkan hukum dalam melakukan penafsiran unsur-unsur pasal yang
didakwakan jaksa penuntut umum, sehingga jaksa penuntut umum
mengajukan permohonan kasasi kepada mahkamah agung.
Dengan mengingat Pasal 244, 245, 248 dan 253 KUHAP dan
Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03 Tahun 1983, doktrin serta
yurisprudensi Mahkamah Agung RI, bagaimana perspektif putusan bebas
antara jaksa penuntut umum dan hakim pada kasus putusan Mahkamah Agung
Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008 dan bagaimana implikasai yuridis terhadap
perspektif putusan bebas murni yang didasarkan pada kesaksian yang berdiri
sendiri pada kasus putusan Mahkamah Agung Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Dalam suatu proses persidangan perkara pidana yang menjadi
proses akhir adalah penjatuhan putusan oleh hakim. Putusan hakim dapat
berupa putusan bebas dari segala dakwaan hukum, putusan lepas dari
segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan. Untuk putusan bebas dari
segala dakwaan hukum akan menimbulkan upaya hukum berupa kasasi, hal
ini terjadi seperti dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor
1034K/Pid.Sus/2008, dimana jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri
Singkawang mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri
Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW Tanggal 13 November 2007.
Dalam putusan tersebut hakim mengambil putusan membebaskan
terdakwa, karena hakim menilai kesalahan terdakwa tidak terbukti secara
sah dan menyakinkan. Jaksa penuntut umum menilai bahwa hakim
Pengadilan Negeri Singkawang salah dalam menerapkan hukum dalam
melakukan penafsiran pasal-pasal yang didakwakan serta pembuktian
terhadap kesalahan terdakwa hanya didasarkan pada kesaksian yang berdiri
sendiri dan keterangan terdakwa saja, tidak dikaitkan dengan alat bukti
lain. Hal ini berakibat adanya upaya hukum dari jaksa penuntut umum
yaitu dengan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Identitas Terdakwa
I Nama Lengkap : PHANG KUI FA alias LINA alias MOI CE
Tempat Lahir : Singkawang
Umur/ Tgl. Lahir : 48 Tahun/15 April 1959
Jenis Kelamin : Perempuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jalan Pademangan IV Rt. 004/18 No.25
Kelurahan
Pademangan, Jakarta Utara.
Agama : Budha
Pekerjaan : Tani
II Nama Lengkap : CHIA DJIU DJUN alias AJUNG
Tempat Lahir : Singkawang
Umur/ Tgl. Lahir : 33 Tahun/21 Mei 1974
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jalan Tanjung Batu Dalam No. 94 Rt.03/02
Kelurahan Sedau Singkawang Selatan Pemkot
Singkawang
Agama : Budha
Pekerjaan : Tani
2. Dakwaan Penuntut Umum
Bahwa mereka terdakwa I PHANG KUI FA alias LINA alias
MOI CE dan terdakwa II CHIA DJIU DJUN alias AJUNG, pada hari
Jumat tanggal 30 Maret 2007 sekitar pukul 08.30 wib atau setidak-
tidaknya pada waktu-waktu tertentu masih dalam tahun 2007,
bertempat di Jalan Karang Intan Kelurahan Sedau Kecamatan
Singkawang Selatan Pemkot Singkawang atau pada tempat tertentu
masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Singkawang,
melakukan, menyuruh lakukan atau turut melakukan suatu perbuatan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
mengeksploitasi ekonomi atau sexual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan mereka
terdakwa I phang Kui Fa als Lina als Moi Ce dan terdakwa II Chia
Djiu Djun als Ajung terhadap Tung Su als Alang yang merupakan
seorang anak belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun (sesuai
Kartu Keluarga No.069/C/V/23/2002 tanggal 12 Agustus 2002, lahir
tanggal 14 Mei 1989).
Bahwa terdakwa I Phang Kui Als Lina als Moi Ce melakukan
eksploitasi ekonomi dengan cara menyuruh terdakwa II Chia Djiu Djun
als Ajung mencarikan perempuan yang akan dikawinkan dengan orang
Taiwan yang mengaku bernama Liem Theng Sheng, serta mengikuti Liem
Theng Sheng ke Taiwan. Setelah terdakwa II Chia Djiu Djun als Ajung
mendapatkan Tung Su Lang, kemudian membujuk Tung Su Lang mau ke
Taiwan, untuk dikawinkan dengan Liem Theng Sheng. Kemudian
terjadilah perkenalan antara keluarga Tung Su Lang dan Liem Theng
Sheng dimana terdakwa I Phang Kui Fa als Moi Ce, pada saat itu
memberikan sejumlah uang sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
kepada keluarga Tung Su Lang, dan Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah),
kepada Tung Su Lang, terdakwa I Phang Kui Fa als Lina Als Moi Ce,
juga membiayai semua urusan yang menyangkut dokumen berupa surat-
surat pengurusan paspor untuk keberangkatan Tung Su Lang ke Taiwan,
serta membiayai acara makan-makan bersama keluarga Tung Su Lang;
Bahwa setelah merasa memberikan sejumlah uang kepada Tung Su
Lang, terdakwa I Phang Kui Fa als Lina Als Moi Ce meminta agar Tung
Su Lang segera ke Taiwan tapi di tolak oleh Tung Su Lang karena
sebelumnya tidak mau pergi ke Taiwan mengikuti Liem Theng Sheng.
Akibatnya terdakwa I Phang Kui Fa als Lina als Moi Ce mengancam
apabila Tung Su Lang tidak mau pergi ke Taiwan, maka diminta untuk
membayar kerugian sebesar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah)
dan karena merasa tidak mampu, akhirnya orang tua Tung Su Lang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
membiarkan anaknya untuk mengikuti kemana Terdakwa I Phang Kui Fa
als Lina Als Moi Ce;
Bahwa terdakwa I Phang Kui Fa als Lina Als Moi Ce melakukan
eksploitasi ekonomi tersebut dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dimana terdakwa I Phang Kui Fa als Lina Als Moi
Ce telah menerima pemberian uang sebesar Rp. 22.000.000,- (dua puluh
dua juta rupiah) dari Liem Theng Sheng yang dipergunakan untuk
mencarikan isteri. Kemudian terdakwa I Phang Kui Fa als Lina als Moi
Ce langsung menghubungi terdakwa II Chia Djiu Djun als Ajung untuk
mencarikan perempuan dengan imbalan Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
dari jumlah uang sebesar Rp. 22.000.000,- (dua puluh dua juta rupiah)
tersebut, mereka Terdakwa mendapatkan keuntungan, belum termasuk
komisi yang akan di terima sebesar Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus
ribu rupiah), apabila pekerjaan mereka Terdakwa selesai dilakukan;
Perbuatan mereka Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Tuntutan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Singkawang
Tanggal 12 Oktober 2007 adalah sebagai berikut :
a) Menyatakan terdakwa I Phang Kui Fa als Lina als Moi Ce dan
terdakwa II Chia Djiu Djun als Ajung terbukti bersalah terbukti
yang
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaiman yang diatur
dalam Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Fhang Kui Fa als Lina als
Moi Che pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan terdakwa II Chia
Djiu Djung als Ajung pidana penjara selama 6 (enam) bulan
dikurangi selama para Terdakwa berada dalam penjara, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
ditambah dengan pidana denda masing-masing sebesar
Rp.10.000.000.-(sepuluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan;
c) Menyatakan barang bukti berupa :
1 (satu) lembar asli Kartu Keluarga No.069/C/V/23/2003 atas
nama Jong Fo Kim,dikembalikan kepada Jong Fo Kim;
1 (satu) lembar KTP Asli No.92/02/C/23/2006 atas nama Tung
Su Lang ,dikembalikan kepada Tung Su Lang;
Sebuah mobil merk Toyota Kijang KF No. KB 1158 AD Noka.
KF50122293 No. Sin 5K-0128465 warna hitam, dikembalikan
kepada Aliong;
1 (satu) lembar surat perkawinan campuran No. 09-07/2006 SPP
bermaterai 6000,-;
1 (satu) lembar asli surat keterangan No. 474.2/72/KPCS/2006
tanggal 10 November 2006;
1 (satu) lembar asli surat kutipan akta perkawinan No.
72/KPCS/2006 tanggal 10 November 2006;
2 (dua) lembar seri tiket masing-masing atas nama Tung Su Lang
dan Phang Kui Fa;
1 (satu) lembar Faximil akte kelahiran No. 329/CS/1989 tanggal
16 Mei 1989 atas nama Su Lang bermaterai 6000,-;
1 (satu) lembar faximil pasport No.871625 atas nama Su Lang
Tung;
1 (satu) lembar foto tunangan antara Tung Su Lang alias Alang
dengan Liem Then Sheng; Tetap terlampir dalam berkas perkara;
d) Menetapkan supaya para Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.1000,- (seribu rupiah);
4. Putusan Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Tanggal 13 November 2007 yang Amar lengkapnya sebagai berikut:
1) Menyatakan Terdakwa I Phang Kui Fa alias Lina alias Moi Ce dan
Terdakwa II Chia Djiu Djun alias A Jung tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan perbuatan
pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
2) Membebaskan para Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut
(vrijspraak);
3) Memulihkkan hak-hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya;
4) Memerintahkan para Terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan;
5) Memerintahkan agar barang bukti berupa:
1 (satu) lembar asli Kartu Keluarga No.069/C/V/23/2003 atas
nama Jong Fo Kim; Dikembalikan kepada Jong Fo Kim;
1 (satu) lembar KTP Asli No.92/02/C/23/2006 atas nama Tung
Su Lang; Dikembalikan kepada Tung Su Lang;
Sebuah mobil merk Toyota Kijang KF No. KB 1158 AD Noka.
KF50122293 No Sin 5K-0128465 warna hitam; Dikembalikan
kepada Aliong;
1 (satu) lembar surat perkawinan campuran No. 09-07/2006 SPP
bermaterai 6000,-;
1 (satu) lembar asli surat keterangan No. 474.2/72/KPCS/2006
tanggal 10 November 2006;
1 (satu) lembar asli surat kutipan akte perkawinan No.
72/KPCS/2006 tanggal 10 November 2006;
2 (dua) lembar seri tiket masing-masing atas nama Tung Su Lang
dan Phang Kui Fa;
1 (satu) lembar Faximil akte kelahiran No. 329/CS/1989 tanggal
16 Mei 1989 atas nama Su Lang bermaterai Rp.6000,-;
1 (satu) lembar faximil pasport No.871625 atas nama Su Lang
Tung;
1 (satu) lembar foto tunangan antara Tung Su Lang alias Alang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dengan Liem Then Sheng;
6 (enam) lembar foto tunangan antara Tung Su Lang dengan
Liem Then Sheng;
1 (satu) lembar Surat dari Liem Then Sheng kepada Majelis
Hakim beserta dengan terjemahan resminya; Tetap terlampir
dalam berkas perkara;
6) Membebankan biaya perkara kepada Negara;
5. Permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum
Mengingat akan akta tentang Permohonan Kasasi No.
16/Akta.Pid/2007/PN.SKW. Jo No. 236/Pid.B/2007/PN.SKW yang
dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Singkawang yang
menerangakan, bahwa pada tanggal 19 Nopember 2007
Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Singkawang telah
mengajukan Permohonan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan
Negeri Singkawang tersebut;
Memperhatikan memori kasasi bertanggal 30 nopember
2007 dari Jaksa/Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Singkawang pada
tanggal 3 Desember 2007;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahawa putusan Pengadilan Negeri tersebut
telah dijatuhkan dengan hadirnya Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Singkawang pada tanggal 13
Nopember 2007 dan Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum
mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 19 Nopember 2007
serta memori kasasinya telah diterima Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Singkawang pada tanggal 3 Desember 2007, dengan
demikian permohonan kasasi beserta alas an-alasannya telah
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-
undang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Menimbang, bahwa Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana) menetukan bahwa terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadialn
lain, selain dari Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum
dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung
kecuali terhadap putusan bebas.
Menimbang, bahwa akan tetapi Mahakamah Agung
berpendapat selaku badan Peradilan Tertinggi yang mempunyai
tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-
undang di seluruh wilayah Negara diterapkan secara tepat dan adil,
Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
bawahannya yang membebaskan Terdakwa, yaitu guna menentukan
sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan bawahannya itu;
Menimbang, bahwa namun demikian sesuai
yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan
yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni
sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana) tersebut, permohonan kasasi harus
dinyatakan tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa sebaliknya apabila pembebasan itu
didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak
pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada
tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, at au
apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas
dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan
itu pengadilan telah melampui batas kewenangannya (meskipun hal
ini tidak diajukan sebagai alasan kasasi), Mahkamah Agung atas
dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan
pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi
tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya adalh
sebagai berikut :
Judex Facti telah salah menerapkan hukum dalam
melakukan penafsiran unsur-unsur pasal yang didakwakan, dimana
judex facti mengambil bukti-bukti dalam pembuktian unsur tersebut
dari 2 hal yakni :
1) Pembuktian yang dilakukan judex facti terhadap kesalahan
Terdakwa didasarkan atas keterangan saksi -saksi berdiri
sendiri;
Keterangan saksi yang berdiri sendiri hanya bisa
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dengan syarat
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan
yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarakan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
Keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri antara
keterangan yang satu dengan yang lain tidak mempunyai
nilai sebagai alat bukti atau mereka dikategorikan sebagai
saksi tunggal yang tidak memiliki nilai kekuatan
pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus
dinyatakan tidak cukup memadai untuk pembuktian
kesalahan terdakwa, apabila jika keterangan para saksi
lain. Hal ini akan mengakibatkan keterangan yang saling
bertentangan dan harus disingkirkan sebagai alat bukti,
sebab ditinjau dari segi yuridisnya, keterangan semacam itu
tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan
pembuktian;
Bahwa; Judex Facti menafsirkan unsure eksploitasi yang
terurai dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 didasrkan pada saksi ade Charge yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
mempunyai keterangan yang saling betentangan dan
memiliki penilaian diri sendiri, sehingga judex facti
mengambil suatu kesimpulan terhadap kesalahan terdakwa
hal tersebut tidak bisa diartikan sebagai alat bukti apabila
kemudian judex facti menjadikan keterangan saksi -saksi
tersebut sebagai pedoman penjatuhan putusan;
2) Pembuktian yang didasarkan pada pengakuan terdakwa:
Pasal 189 ayat (4) K angan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain;
Bahwa unsur yang dakwaan yang didakwakan adalh bersifat
alternative yakni adanya unsur Eksploitasi Ekonomi atau
Seksual terhadap Anak yang ada dalam pasal 88 Undang-
Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perl indungan Anak
dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Bahwa penafsiran judex facti terhadap Eksploitasi Ekonomi
yang berpegang pada penjelasan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dikaitkan dengan alat bukti berupa keterangan saksi-saksi
yang berdiri sendiri serta pengakuan terdakwa adalah keliru;
Bahwa Eksploitasi Ekonomi tercakup juga didalamnya
adalah perolehan keuntungan yang diperoleh oleh para
terdakwa dengan menggunakan sarana-sarana identitas yang
dipalsukan. Bahwa terhadap kegiatan terdakwa memberikan
sejumlah uang kepada korban dengan keharusan untuk
menikah tanpa mengetahui pasangan termasuk juga lingkup
eksploitasi, karena faktanya, para Terdakwa mengancam
korbannya apabila tidak mau mengikuti kemauan para
Terdakwa diharuskan untuk mengganti kerugian sebesar Rp.
40.000.000,- (empat puluh juta rupiah). Kemudian tanpa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
sepengatuhan korban kelengkapan yang menyangkut
identitas telah dipersiapkan oleh para Terdakwa dengan
menyuruh pihak ketiga yang kesemua dokumen tersebut
dipalsukan pembuatannya;
Bahwa korban tidak mengetahui keberadaan dokumen-
dokumen/identitasnya tersebut karena tidak diperkenankan
menyimpan dokumennya sendiri secara leluasa oleh korban;
Bahwa uraian tersebut diatas, tidak mengulangi fakta, akan
tidak termuat dalam pertimbangan-pertimbangan judex facti.
Penafsiran unsur dalam pertimbangan hukum judex facti
yang tidak berdasarkan oleh alat bukti lain dan hanya
dikaitkan dengan keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri
serta dari pengakuan Terdakwa menjadikan tidak
menerapkan hukum sebagaimana mestinya;
Bahwa, Judex Facti tidak mengaitkan perbutan para
Terdakwa dengan unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum;
Dalam pertimbangan hukum Judex Facti, para Terdakwa
hanya berperan sebagi mak comblang/makelar, karena yang
membuat dokumen-dokumen yang dipalsukan tersebut
adalah pihak ketiga, akan tetapi atas suruhan dan
permintaan para Terdakwa;
Hal tersebut juga mengakibatkan judex facti telah salah
menerapkan atau tidak menerapakan hukum sebagaimana
mestinya;
Bahwa apabila seluruh fakta-fakta dan alat bukti yang
terungkap di Persidangan dimuat menjadi pertimbangan
judex facti serta tidak memutar balikkan fakta -fakta yang
didapat dalam persidangan dalam pemutusannya tentu unsur
terbukti secara sah dan menyakinkan para Terdakwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 88 Undang-
Undang Nomor 23 tahun2002 tentang Perlindungan Anak
akan dapat dibuktikan dan putusan yang akan diambil oleh
judex facti adalah tentu putusan yang memenuhi rasa
keadilan;
Karena Judex Facti tidak menerapkan atau menerapakan
hukum sebagaimana mestinya dalam menjatuhkan putusan
terhadap para Terdakwa karena pemeriksaan persidangan
tersebut diambil sebagaian saja terlebih dengan
mengedepankan fakta-fakta dan alat bukti yang
mengunyungkan bagi Terdakwa sebagaimana yang
dilakukan oleh judex facti maka putusan yang diambil
berdasarkan pertimbangan hukum yang keliru dan
menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya sehingga
tidak memeperlihatkan rasa keadilan;
Maka dengan mengingat Pasal 244,245,248 dan 253
KUHAP dan Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14
PN.07.03 Tahun 1983, Doktrin serta Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI. Agar memutuskan :
1. Menerima permohonan kasasi Penuntut Umum;
2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Singkawang
di Kalimantan Barat Nomor : 236/Pid.BB/2007
PN.Skw tanggal 13 Nopember 2007 atas nama
terdakwa I Phang Kui Fa Als Lina Als Moi Che dan
terdakwa II Chia Djiu Djun Als Ajung ;
3. Memeriksa dan mengadili sendiri perkara tersebut;
4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Phang Kui
Fa Als Lina Als Moi Che pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan terdakwa II Chia Djiu Djun Als
Ajung pidana penjara 6 (enam) bulan dikurangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
selama para Terdakwa berada dalam tahanan, serta
ditambah dengan pidana denda masing-masing
sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
1 (satu) lembar asli Kartu Keluarga
No.069/C/V/23/2003 atas nama Jong Fo Kim,
dikembalikan kepada Jong Fo Kim;
1 (satu) lembar KTP Asli No.92/02/C/23/2006 atas
nama Tung Su Lang, dikembalikan kepada Tung
Su Lang;
Sebuah mobil merk Toyota Kijang KF No. KB
1158 AD Noka. KF50122293 No. Sin 5K-0128465
warna hitam, dikembalikan kepada Aliong;
1 (satu) lembar surat perkawinan campuran No. 09-
07/2006 SPP bermaterai 6000,-;
1 (satu) lembar asli surat keterangan No.
474.2/72/KPCS/2006 tanggal 10 November 2006;
1 (satu) lembar asli surat kutipan akta perkawinan
No. 72/KPCS/2006 tanggal 10 November 2006;
2 (dua) lembar seri tiket masing-masing atas nama
Tung Su Lang dan Phang Kui Fa;
1 (satu) lembar Faximil akte kelahiran No.
329/CS/1989 tanggal 16 Mei 1989 atas nama Su
Lang bermaterai 6000,-;
1 (satu) lembar faximil pasport No.871625 atas
nama Su Lang Tung;
1 (satu) lembar foto tunangan antara Tung Su Lang
alias Alang dengan Liem Then Sheng;
Tetap terlampir dalam berkas perkara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
6. Menetapkan supaya para terdakwa membayar biaya
perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah);
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa ternyata Pemohon
Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut
adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena
Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak
sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut;
Menimbang, bahwa di samping itu Mahkamah Agung
berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak dapat
melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri dengan telah melampui batas wewenangnya, oleh
karena itu permohonan kasasi Jaksa/Penuntut
Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-
undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak
dapat diterima;
Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi
Jaksa/Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dan
para Terdakwa tetap dibebaskan, maka bia ya perkara
dibebankan kepada Negara;
Memperhatikan Undang-Undang No.4 Tahun 2004,
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 dan peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
6. Putusan Majelis Hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Singkawang tersebut;
Membebankan biaya perkara pada tingkat kasasi kepada
Negara;
B. Pembahasan:
1. Kajian Atas Putusan Bebas Murni dalam Perspektif Jaksa Penuntut
Umum dan Hakim Pada Kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor1034K/Pid.Sus/2008
Guna memberikan gambaran mengenai perspektif Jaksa Penuntut Umum
maupun Hakim Mahkamah Agung pada putusan bebas murni Pengadilan
Negeri Singkawang No. 236/Pid.B/2007/PN.SKW tanggal 13 November
2007, dapat peneliti sajikan gambar skematik sebagai berikut :
Perspektif Jaksa Penuntut
Umum :
Hakim telah salah
menerapkan hukum dalam
melakukan penafsiran
unsur-unsur pasal yang
didakwakan, hakim
mengambil bukti-bukti
dalam pembuktian, yakni :
1. pembuktian yang
dilakukan hakim
terhadap kesalahan
Perspektif hakim Mahkamah
Agung :
1. Jaksa Penuntut Umum
tidak dapat membuktikan
bahwa putusan
pengadilan negeri
singkawang No.
236/Pid.B/2007/PN.SK
W tanggal 13 November
2007 adalah merupakan
pembebasan yang tidak
murni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Gambar 2. Skematik perspektif Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
Mahkamah Agung pada putusan bebas murni
Berdasarkan paparan dan skematik diatas, maka dapat dibahas
bahwa jaksa penuntut umum melakukan kasasi dengan berdasar kepada :
a. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983 (Tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP) butir 19 menyatakan bahwa terhadap
Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara
langsung dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung :
1. Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983;
2. Yurisprudensi Mahakamah Agung tentang kasasi terhadap putusan bebas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi
berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi, hal
ini akan didasarkan pada Yurisprudensi.
b. Yurisprudensi tentang kasasi terhadap putusan bebas :
1. Putusan MA Reg. No. 275/Pid/1983 tanggal 15 Desember
1983 menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan
bebas yang dijatuhkan PN itu, Jaksa langsung mengajukan
permohonan kasasi ke MA.
2. Putusan MA Reg. No. 892/Pid/1983 tanggal 4 Desember
1984, menyatakan bahwa MA wajib memeriksa apabila
pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa, yaitu
guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan
pengadilan bawahannya itu.
3. Putusan MA Reg. No. 532 K/Pid/1984 tanggal 10 Januari
1985, menyatakan bahwa putusan bebas tidak dapat
dibanding, tetapi dapat langsung dimohonkan kasasi.
4. Putusan MA Reg. 449/pid/1984 tanggal 2 September 1988,
menyatakan bahwa MA atas dasr pendapatnya sendiri
bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan
murni, harus menerima permohonan kasasi tersebut.
5. Putusan MA Reg. No. 449K/Pid/1984 tanggal 8 Mei 1985
menyatakan bahwa seharusnya terhadap putusan bebas
yang dijatuhkan PN itu, jaksa langsung mengajukan
permohonan kasasi ke MA.
Sesuai dengan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, bahwa pemeriksaan
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak,
dalam hal ini jaksa penuntut umum guna menentukan :
1. Apakah suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
tidak sebagaimana mestinya.
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang.
3. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Berdasarkan surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut
umum, maka prespektif hakim Pengadilan Negeri Singkawang dalam
menilai putusan bebas murni adalah sebagai berikut :
1. Bahwa hakim dalam mengambil putusan didasarkan pada
keterangan saksi a de charge yang mempunyai keterangan saling
bertentangan dan memiliki penilaian diri sendiri, sehingga hal
tersebut tidak bisa diartikan sebagai alat bukti;
2. Bahwa hakim menilai para terdakwa tidak terbukti memenuhi
unsur eksploitasi ekonomi dan seksual anak dalam Pasal 88
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
3. Bahwa hakim menilai para terdakwa dalam pemalsuan dokumen-
dokumen hanya berperan sebagai mak comblang/makelar, karena
yang membuat dokumen-dokumen tersebut adalah pihak ketiga.
Dengan dasar pertimbangan hakim diatas, maka hakim menyatakan
para terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan hakim
melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut
umum serta membebaskan terdakwa dari dakwaan (vrijspraak). Maka
dalam hal ini hakim menilai putusan tersebut adalah putusan bebas murni.
Berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan
Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW, maka jaksa penuntut
umum menilai hakim telah salah menerapkan hukum dalam melakukan
penafsiran unsur-unsur pasal yang didakwakan, dengan penilaian sebagai
berikut :
1. Bahwa hakim dalam menafsirkan unsur eksploitasi yang terurai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002
didasarkan atas keterangan para saksi a de charge yang
mempunyai keterangan yang saling bertentangan dan memiliki
penilaian saling berdiri sendiri serta pengakuan terdakwa saja,
tidak dikaitkan dengan alat bukti lain;
2. Bahwa unsur dakwaan yang didakwakan adalah bersifat alternatif
yakni adanya unsur eksploitasi ekonomi dan seksual anak yang
ada dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP sudah terbukti
tercakup juga didalamnya adalah perolehan keuntungan yang
diperoleh para terdakwa dengan menggunakan sarana-sarana
identitas yang dipalsukan, bahwa terhadap kegiatan para
terdakwa memberikan sejumlah uang kepada korban dengan
keharusan untuk menikah tanpa mengetahui pasangan termasuk
juga lingkup eksploitasi, karena faktanya para terdakwa
mengancam korban apabila tidak mau mengikuti kemauan para
terdakwa diharuskan mengganti kerugian sebesar Rp
40.000.000,- (empat puluh juta rupiah), kemudian tanpa
sepengetahuan korban kelengkapan yang menyangkut identitas
telah dipersiapkan oleh para terdakwa dengan menyuruh para
ketiga yang kesemua dokumen tersebut dipalsukan pembuatnya;
3. Hakim tidak mengakaitkan perbutan para terdakwa dengan unsur
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 yang didakwakan oleh jaksa penuntut
umum.
Berdasarkan penilaian jaksa penuntut umum di atas, maka putusan
Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW, merupakan
putusan bebas tidak murni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Berdasarkan permohonan kasasi yang jaksa penuntut umum,
putusan hakim Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
1. Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa ternyata Pemohon
Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut
adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena
Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan
yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana
letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut;
2. Menimbang, bahwa di samping itu Mahkamah Agung
berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak dapat
melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri dengan telah melampui batas wewenangnya, oleh
karena itu permohonan kasasi Jaksa/Penuntut
Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-
undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak
dapat diterima;
3. Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi
Jaksa/Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dan
para Terdakwa tetap dibebaskan, maka biaya perkara
dibebankan kepada Negara;
4. Memperhatikan Undang-Undang No.4 Tahun 2004,
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang
No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 dan pera turan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Kesimpulan dari kasus di atas putusan bebas murni adalah keliru,
karena hakim Pengadilan Negeri Singkawang dalam menjatuhkan
putusan didasarkan hanya pada penilaian kesaksian yang berdiri sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dan keterangan terdakwa saja, hakim tidak memperhatikan alat bukti lain.
Seharusnya Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi tersebut,
dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran dan keadilan hukum.
Karena pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, merupakan upaya untuk
mencegah adanya kesewenang-wenangan dari pengadilan tingkat pertama
dan kekhilafan hakim tingkat pertama karena hakikatnya manusia tidak
luput dari kekhilafan, meskipun hakim telah berupaya maksimal untuk
cermat dan teliti.
2. Implikasi Yuridis Terhadap Perspektif Putusan Bebas Murni Yang
Didasarkan Pada Kesaksian Yang Berdiri Sendiri Pada Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1034K/Pid.Sus/2008.
a. Perspektif jaksa penuntut umum
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW, yang amar putusannya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa I Phang Kui Fa alias Lina alias Moi
Ce dan Terdakwa II Chia Djiu Djun alias A Jung tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam dakwaan
Jaksa Penuntut Umum;
2. Membebaskan para Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan
tersebut (vrijspraak);
3. Memulihkkan hak-hak para Terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya;
4. Memerintahkan para Terdakwa dikeluarkan dari dalam
tahanan;
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Singkawang diatas,
jaksa penuntut umum menilai putusan tersebut bukan merupakan
putusan bebas murni, karena hakim dalam mengambil putusan hanya
didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri, tidak dikaitkan
dengan alat bukti lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Sesuai dengan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, bahwa
pemeriksaan kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan para pihak, guna menetukan :
1. Apakah suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
2. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang.
3. Apakah benar pengadilan telah melampui batas
weweanangnya.
Sesuai Pasal 253 ayat (1) KUHAP diatas, jaksa penuntut
umum menilai hakim dalam mengambil putusan tidak sesuai dengan
tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
memperhatikan undang-undang tentang pembuktian, karena hakim
dalam mengambil putusan hanya didasarkan pada kesaksian yang
berdiri sendiri tidak dikaitkan dengan alat bukti lain.
Putusan hakim yang membebaskan terdakwa dinilia jaksa
penuntut umum salah, menurut jaksa penuntut umum putusan
tersebut bukan merupakan putusan bebas murni. Berdasar pada
Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983
dan Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang kasasi terhadap putusan
bebas maka jaksa penutut umum mengajukan upaya hukum kasasi.
Kesimpulan dari kasus diatas jaksa penutut umum menilai
putusan Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW
bukan merupakan putusan bebas murni, karena hakim dalam
mengambil putusan hanya didasarkan pada kesaksian yang berdiri
sendiri tidak memperhatikan alat bukti lain. Dengan alasan tersebut
jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum kasasi dengan tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
agar Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi
memeriksa kembali putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW yang membebaskan terdakwa.
b. Perspektif hakim Mahkamah Agung
Dengan melihat permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa
penuntut umum yang isinya sebagai berikut :
1. Pembuktian yang dilakukan judex facti terhadap
kesalahan Terdakwa didasarkan atas keterangan saksi -
saksi berdiri sendiri;
2. Pembuktian yang didasarkan pada pengakuan terdakwa:
angan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain;
3. Judex Facti tidak mengaitkan perbutan para Terdakwa
dengan unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum;
Hakim Mahkamah Agung menilai pembuktian jaksa penuntut
umum dalam permohonan kasasi yang diajukan tidak bisa
membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas yang tidak murni,
karena jaksa penuntut umum tidak dapat mengajukan alasan-alasan
yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat
tidak murni dari putusan bebas tersebut.
Jaksa penuntut umum dinilai oleh hakim Mahkamah Agung
tidak bisa membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri
Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan yang bebas
murni, berdasarkan Pasal 244 KUHAP maka permohonan kasasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
jaksa penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima (ditolak)
Mahkamah Agung.
Dikarenakan permohonan kasasi yang diajukan jaksa
penuntut umum tidak dapat diterima Mahkamah Agung, berakibat
hukum putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW. Maka putusan
hakim Pengadilan Negeri Singkawang adalah putusan bebas murni.
Kesimpulan dari kasus diatas Mahkamah Agung menilai
jaksa penutut umum tidak bisa membuktikan bahwa putusan
Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah
putusan bebas murni. Permohonan kasasi yang diajukan jaksa
penuntut umum tidak diterima (ditolak) Mahkamah Agung, maka
putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Singkawang. Dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas murni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pada kajian bab-bab terdahulu yang telah dilakukan oleh
penulis, dan pembahasan yang telah dilakukan. Penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kajian perspektif putusan bebas murni antara Jaksa Penuntut Umum dan
Hakim dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor.
1034K/Pid.Sus/2008, menunjukan dua sisi yang berbeda disatu sisi Jaksa
Penuntut Umum menilai Hakim Pengadilan Negeri Singkawang telah
salah menerapkan hukum dalam melakukan penafsiran unsur-unsur pasal
yang didakwakan, jaksa penuntut umum menilai bahwa hakim dalam
menilai unsur pasal yang didakwakan jaksa penutut umum hanya
berdasarkan atas kesaksian yang berdiri sendiri dan keterangan terdakwa
saja, tidak dikaitkan dengan alat bukti yang lain, hakim juga tidak
mengkaitkan perbuatan terdakwa dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berdasarkan penilaian jaksa penuntut umum tersebut, maka Putusan
Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW tersebut
adalah putusan bebas tidak murni.
Berbeda dengan jaksa penuntut umum, hakim Mahkamah Agung
menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas murni, karena jaksa
penuntut umum dipandang tidak bisa membuktikan bahwa Putusan
Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW merupakan
pembebasan yang tidak murni, maka hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dalam hal ini peneliti berpendapat putusan Pengadilan Negeri
Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas murni
adalah salah. Seharusnya Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi
tersebut, dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran dan keadilan
hukum. Karena pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, merupakan
upaya untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dari pengadilan
tingkat pertama dan kekhilafan hakim tingkat pertama karena hakikatnya
manusia tidak luput dari kekhilafan, meskipun hakim telah berupaya
maksimal untuk cermat dan teliti.
2. Mengenai implikasi yuridis terhadap perspektif putusan bebas yang
didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri pada kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor. 1034K/Pid.Sus/2008, dapat ditemukan dua
implikasi : a). Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi terhadap putusan
Pengadilan Negeri Singkawang No.236/Pid.B/2007/PN.SKW yang
membebaskan terdakwa, jaksa penuntut umum menilai pembebasan
tersebut tidak murni karena hakim dalam mengambil putusan hanya
didasarkan pada kesaksian yang berdiri sendiri tidak dikaitkan dengan alat
bukti lain. b). Mahkamah Agung menilai jaksa penutut umum tidak bisa
membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri Singkawang
No.236/Pid.B/2007/PN.SKW adalah putusan bebas murni. Permohonan
kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum tidak diterima (ditolak)
Mahkamah Agung, maka putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Singkawang.
Dalam hal ini penulis berpendapat seharusnya Mahkamah Agung
menerima permohonan kasasi jaksa penuntut umum, hal ini bertujuan
untuk membuktikan kebenaran dan keadilan hukum. Karena pengajuan
kasasi terhadap putusan bebas, merupakan upaya untuk mencegah adanya
kesewenang-wenangan dari pengadilan tingkat pertama dan kekhilafan
hakim tingkat pertama karena hakikatnya manusia tidak luput dari
kekhilafan, meskipun hakim telah berupaya maksimal untuk cermat dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
teliti.
B. Saran
Dalam konteks kasus seperti yang telah dibahas dimuka, penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Diperlukan gelar perkara berkenaan dengan kasus-kasus yang
membuka potensi bagi hakim pengadilan untuk mengeluarkan putusan
bebas. Dalam hal ini hakim harus lebih teliti dan cermat dalam
pemeriksaan perkara pidana.
2. Terhadap putusan bebas, hendaklah dilakukan eksaminasi jaksa
penuntut umum sehingga mampu mengkritisi karena bisa jadi putusan
tersebut bukan merupakan putusan bebas murni.
3. Apabila dalam proses persidangan terdapat keterangan saksi yang
berdiri sendiri maka hakim harus mencari hubungan antara keterangan
saksi-saksi yang disampaikan dalam persidangan agar dapat
membenarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu sehingga bisa
menjadi alat bukti yang sah. Apabila keterangan beberapa saksi yang
disampaikan dalam persidangan tidak ada hubungan sehingga tidak
bisa membenarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu maka
keterangan saksi tersebut merupakan kesaksian tunggal, maka hakim
harus mencari alat bukti lain agar prinsip batas minimum pembuktian
bisa terpenuhi sesuai dengan Pasal 183 KUHAP.
top related