kata pengantar - bappeda kota...
Post on 05-Feb-2018
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Kata Pengantar
Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur atas penerbitan Publikasi
”Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang
Tahun 2011”.
Bahasan pada publikasi ini memuat gambaran tingkat ketimpangan
pendapatan dan pola konsumsi penduduk di Kota Semarang. Untuk keperluan
tersebut, selain menggunakan hasil survei tahun 2011 juga dilengkapi dengan data
lain yang terkait dengan pokok bahasan.
Publikasi ini terwujud berkat kerjasama antara Badan Pusat Statistik Kota
Semarang dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang.
Kami telah mengupayakan untuk menyajikan publikasi ini sebaik-baiknya,
namun disadari mungkin masih terdapat kekurangan, untuk itu tanggapan serta
saran-saran dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga publikasi ini bermanfaat bagi evaluasi dan perencanaan
pembangunan di Kota Semarang.
KEPALA BAPPEDA
KOTA SEMARANG
BAMBANG HARYONO
Pembina Utama Muda
NIP. 19580410 198603 1 010
Semarang, 2012
KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK
KOTA SEMARANG
Dra. Hj. SITI SEDYATI, M.Si
Pembina Tk.I
NIP. 19570217 198303 2 001
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ...................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................ ii
Daftar Gambar ...................................................................................................... iii
Daftar Tabel .......................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ........................................................................................ 1
1.1. Latar belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan ......................................................................................... 2
1.3. Sistematika Penulisan ................................................................. 2
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 3
2.1. Teori Pareto ................................................................................ 3
2.2. Indeks Theil dan Indeks-L ......................................................... 4
2.3. Teori Gini Ratio .......................................................................... 5
2.4. Kriteria Bank Dunia ................................................................... 8
BAB III Metodologi .......................................................................................... 10
3.1. Sumber Data ............................................................................... 10
3.2. Konsep dan Definisi ................................................................... 10
3.3. Teknik Analisis ........................................................................... 11
BAB IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kota Semarang .................... 14
4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang 2007-2011 .. 14
4.2. Pola Konsumsi Rumahtangga .................................................... 16
4.3. Kesenjangan Distribusi Pendapatan ........................................... 22
a. Koefisien Gini ........................................................................ 22
b. Relatif Ineqauality (Kriteria Bank Dunia) ............................. 27
BAB V Penutup ................................................................................................ 30
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 30
5.2. Saran ........................................................................................... 31
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 18
Gambar 2. Rata-rata Pendapatan Per-kapita Sebulan Dirinci Menurut
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2011 ................................. 20
Gambar 3. Pola Konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 .................. 21
Gambar 4. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2011 .................................... 22
Gambar 5. Perkembangan dan Level Gini Ratio Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 24
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 15
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 15
Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah)
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 16
Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran perkapita Sebulan dan Komposisi
Konsumsi Penduduk Kota Semarang, tahun 2007 – 2011 ............... 17
Tabel 5. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk
Kota Semarang Tahun 2011 ............................................................. 19
Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 23
Tabel 7. Peringkat Gini Ratio Kab./Kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 – 2011 ........................................................................... 25
Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan
Kriteria Bank Dunia Tahun 2007 – 2011 ......................................... 28
BAB I PENDAHULUAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan
perekonomian di suatu wilayah, adalah pertumbuhan ekonomi dengan melihat
pertumbuhan PDRB. Secara lebih rinci sering pula diulas faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Sukirno, pertumbuhan Ekonomi
adalah suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu
perekonomian dalam satu tahun tertentu dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Karena pendapatan regional adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh
seluruh pelaku ekonomi dalam suatu wilayah, maka besar atau kecilnya pendapatan
regional dapat dilihat sebagai gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat di
wilayah yang bersangkutan. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang hanya
diukur dengan pendapatan regional belum tentu berkorelasi positif dengan
kesejahteraan masyarakatnya atau dapat dikatakan bahwa besarnya tingkat
pertumbuhan ekonomi, tidak memberikan gambaran bahwa seluruh penduduk yang
ada di wilayah tersebut meningkat kesejahteraannya. Sangat mungkin terjadi, ekonomi
meningkat pesat tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat.
Pengukuran atau evaluasi hasil pembangunan dirasa belum cukup apabila hanya
di ukur dengan pertumbuhan ekonomi melalui PDRB, diperlukan parameter lain yang
mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat terkait dengan distribusi
hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Publikasi ini memuat parameter penunjang
indikator pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan gambaran tentang: pemerataan
pendapatan (mengukur seberapa besar kesenjangan pendapatan antar penduduk)
sekaligus melihat perubahan pola konsumsi masyarakatnya di Kota Semarang tahun
2011.
BAB I PENDAHULUAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 2
1.2. Tujuan
Publikasi ini, bertujuan untuk memberikan gambaran pemerataan pendapatan dan
pola konsumsi penduduk di Kota Semarang pada tahun 2011. Series data dari publikasi
ini diharapkan dapat menjadi bahan monitoring dan evaluasi distribusi pendapatan di
Kota Semarang.
1.3. Sistematika Penulisan
Tulisan ini disusun dalam 5 (lima) Bab, yaitu :
Bab I Pendahuluan,
Berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka,
Berisi penjelasan beberapa teori tentang distribusi pendapatan.
Bab III Metodologi,
Mencakup sumber data, konsep dan definisi serta teknik analisis yang
digunakan dalam penulisan ini.
Bab IV Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kota Semarang 2011,
Berisi uraian ringkas tentang distribusi pendapatan dan Pola konsumsi di Kota
Semarang.
Bab V Penutup,
Berisi kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ketimpangan distribusi pendapatan tidak terlepas atau sangat erat hubungannya
dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua
negara di dunia. Menurut Kuncoro (1997), kemiskinan dapat ditinjau dari 2 sisi, yaitu :
pertama, kemiskinan absolute, dimana dengan pendekatan ini di identifikasikan jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. kedua, kemiskinan relatif,
yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan
pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif amat erat kaitannya dengan masalah
distribusi pendapatan.
Badan Pusat Statistik dalam "Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
2011", untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan tersebut telah muncul
beberapa teori maupun ukuran yang digunakan, antara lain :
2.1. Teori Pareto
Vilfredo Pareto (1897) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan
2009 (BPS, 2009), setelah melakukan penelitian mengenai distribusi pendapatan di
Eropa, mendapatkan bentuk kurvanya (untuk setiap negara) tidaklah mengikuti
distibusi normal, tapi mengikuti perumusan sebagai berikut:
A = Jumlah penduduk yang mempunyai pendapatan lebih besar daripada X
X = Tingkat pendapatan tertentu dari keluarga atau individu yang
bersangkutan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 4
N = Jumlah penduduk total
b = Parameter yang nilainya antara 1 dan 2
Berdasarkan hasil tersebut, Pareto, menyatakan bahwa akan selalu ditemui
ketimpangan dalam setiap negara, dimana kelompok penduduk yang terkaya
mendapatkan porsi yang terbanyak dari pendapatan nasional negaranya. Penemuannya
ini selanjutnya dikenal sebagai Pareto Law, yang menyatakan bahwa 20 persen
kelompok penduduk terkaya menikmati 80 % dari pendapatan nasional negaranya.
2.2. Indeks Theil dan Indeks -L
Ada sejumlah ukuran ketimpangan yang memenuhi semua kriteria bagi sebuah
ukuran ketimpangan yang baik. Diantaranya yang paling banyak digunakan adalah
Indeks Theil dan Indeks-L (ukuran deviasi log rata-rata). Kedua ukuran tersebut
masuk dalam famili ukuran ketimpangan "generalized enthropy". Rumus "generalized
enthropy" secara umum dapat ditulis sebagai berikut:
,
adalah rata-rata pendapatan (pengeluaran).
Nilai GE bervariasi antara 0 dan ∞ dengan 0 mewakili distribusi yang merata dan
nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat ketimpangan yang lebih tinggi. Parameter α
dalam kelompok ukuran GE mewakili penimbang yang diberikan pada jarak antara
pendapatan pada bagian yang berbeda dari distribusi pendapatan. Untuk nilai α yang
lebih rendah, GE lebih sensitif terhadap perubahan pada ekor bawah dari distribusi
(penduduk miskin), dan untuk nilai α yang lebih tinggi GE lebih sensitif terhadap
perubahan yang berakibat pada ekor atas dari distribusi (penduduk kaya).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 5
Nilai α yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1.
a) GE (1) disebut sebagai indeks Theil, yang dapat ditulis sebagai berikut :
GE(1) =
b) GE (0), juga dikenal dengan indeks-L, disebut ukuran deviasi log rata-rata
(mean log deviation) karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi dari
log (y) :
GE(0) =
2.3. Teori Gini Ratio
Koefisien gini adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus koefisien gini
adalah sebagai berikut :
G = Gini Ratio
Pi = Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i
Qi = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
Qi-1 = Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i-1
k = Banyaknya kelas pendapatan
Oshima menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah
pola pengeluaran suatu masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang atau
tinggi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 6
Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut :
a. Ketimpangan taraf rendah, bila G < 0,35
b. Ketimpangan taraf sedang, bila G antara 0,35 - 0,5
c. Ketimpangan taraf tinggi, bila G > 0,5
Nilai indeks Gini ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai Indeks Gini
menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai Indeks
Gini adalah nol maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi
pendapatan, sedangkan jika bernilai satu berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan
yang sempurna. Untuk publikasi resmi Indonesia oleh BPS, baik ukuran
ketidakmerataan pendapatan versi Bank Dunia maupun Indeks Gini, penghitungannya
menggunakan data pengeluaran.
Kurva Lorez
Keterangan:
- Sumbu OA menyatakan persentase jumlah penduduk
- Sumbu OC menyatakan persentase pendapatan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 7
Titik K pada kurva OKLB menunjukkan 40 persen jumlah penduduk menerima
pendapatan sebesar 10 persen total pendapatan. Sedang titik M pada kurva OMNB
menggambarkan bahwa 40 persen jumlah penduduk menerima bagian pendapatan
sebesar 17 persen dari total pendapatan. Berarti distribusi pendapatan yang digambarkan
oleh kurva OMNB lebih merata dari pada distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh
kurva OKLB.
Kelemahan Gini Ratio adalah besarnya nilai gini ratio tidak bisa menjelaskan
letak ketimpangannya. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dengan membuat kurva
OMNB yang nilai Gini Rationya dibuat sama dengan kurva OKLB. Dalam kurva (yang
diarsir) golongan bawah lebih menderita dibandingkan kurva OMNB karena persentase
yang diterima oleh 40 persen penduduk hanya 10 persen pendapatan, sedang pada kurva
OKLB 40 persen penduduk menerima bagian 17 persen dari total pendapatan. Untuk
mengatasi kelemahan ini para pakar menganjurkan agar ukuran ini dilengkapi dengan
ukuran lain seperti Kriteria Bank Dunia, sehingga diketahui keadaan penduduk kelas
bawah atau kelas atas yang timpang.
Daimon dan Thorbecke (1999:5) dalam Analisis dan Penghitungan Tingkat
Kemiskinan 2009 (BPS, 2009) berpendapat bahwa penurunan ketimpangan (perbaikan
distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan bertambahnya insiden kemiskinan
kecuali jika terdapat dua aspek yang mendasari inkonsistensi tersebut.
a. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari kelas terendah meningkat secara
drastis sebagai akibat krisis.
b. Kedua, merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam
pengukuran kemiskinan dan indikator ketimpangan.
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:
a. Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa
jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak akan
berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
b. Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence). Jika
penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi
lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 8
c. Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya,
seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini
juga memenuhi hal ini.
d. Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan dari
si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi
kriteria ini.
Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat :
a. Dapat didekomposisi
Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat didekomposisi (dipecah)
menurut kelompok penduduk atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain.
Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat aditif antar kelompok.
Yakni nilai total Koefisien Gini dari suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah
nilai Indeks Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).
b. Dapat diuji secara statistik
Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan indeks antar waktu. Hal
ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval (selang)
kepercayaan umumnya dapat dibentuk.
2.4. Kriteria Bank Dunia
Bank Dunia, dalam upaya mengukur ketimpangan pendapatan,
membagipenduduk menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan rendah, kelompok 40 persen penduduk berpendapatan menengah, dan
kelompok 20 persen penduduk berpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan
ditentukan berdasarkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh kelompok 40
persen penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut:
a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan rendah lebih kecil dari 12 persen, maka dikatakan terdapat
ketimpangan pendapatan tinggi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 9
b. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan rendah antara 12 persen sampai dengan 17 persen, maka
dikatakan terdapat ketimpangan pendapatan moderat/sedang/menengah.
c. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok 40 persen penduduk
berpendapatan rendah lebih besar dari 17 persen, maka dikatakan terdapat
ketimpangan pendapatan rendah.
BAB III METODOLOGI
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 10
BAB III
METODOLOGI
3.1. Sumber Data
Distribusi pendapatan penduduk 2011 dihitung berdasarkan data hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2011 yang pengumpulan datanya
dilakukan melalui wawancara tatap muka antara petugas survei dengan responden.
3.2. Konsep dan Definisi
Konsep dan definisi yang dipakai pada Susenas 2011 yang terkait diantaranya :
Rumah tangga
Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan
dari satu dapur dalam pengertian bahwa kebutuhan sehari-hari diurus bersama-sama
menjadi satu.
Anggota Rumah Tangga / Penduduk
Anggota Rumah Tangga (ART) / penduduk adalah orang yang biasanya tinggal
di suatu rumah tangga, baik yang berada di dalam rumah tangga waktu pencacahan
maupun sementara tidak ada. Yang bepergian walaupun kurang dari enambulan tetapi
dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih, tidak
dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di rumah tangga enam bulan atau
lebih atau yang telah tinggal di dalam rumah tangga kurang dari enam bulan tetapi
berniat tinggal enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART.
BAB III METODOLOGI
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 11
Pengeluaran
Pengeluaran rumah tangga sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan
rumah tangga untuk konsumsi rumahtangga. Konsumsi rumahtangga dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu konsumsi makanan dan bukan/non makanan (perumahan,
aneka barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak dan
asuransi, dan keperluan untuk pesta dan upacara). Konsumsi tersebut tanpa
memperhatikan asal barang (membeli atau hasil sendiri atau pemberian) dan terbatas
pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk
konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha rumah tangga atau diberikan kepada
pihak lain.
Pendapatan
Pendapatan adalah penerimaan berupa uang maupun barang yang diterima atau
dihasilkan. Namun disadari, bahwa informasi pendapatan ini tidak seperti yang
diharapkan, dimana banyak responden cenderung memberikan informasi pendapatan
yang tidak sebenarnya. Oleh sebab itu, data pendapatan sendiri diperkirakan dari data
pengeluaran dengan asumsi bahwa pengeluaran masyarakat merupakan gambaran
dari pendapatan mereka.
3.3. Teknik Analisis
Teori atau ukuran-ukuran yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Gini
Ratio dan Kriteria Bank Dunia. Sedangkan untuk data pendapatan didekati dengan data
pengeluaran (konsumsi) rumah tangga.
Gini Ratio
Angka Gini Ratio terletak antara 0 - 1 dan apabila angka ini makin mendekati 0
(nol) berarti semakin rendah tingkat ketimpangannya. Sebaliknya apabila angka ini
BAB III METODOLOGI
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 12
semakin mendekati 1 (satu) berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan (jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin lebar).
Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
0,00 < G < 0,35 → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah
0,35 < G < 0,50 → pemerataan / ketimpangan sedang
G > 0,50 → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi
Kriteria Bank Dunia
Pada prinsipnya Kriteria Bank Dunia membagi penduduk ke dalam 3 (tiga)
kelompok pendapatan yaitu 40 persen kelompok penduduk berpendapatan rendah, 40
persen kelompok penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen kelompok
berpendapatan tinggi. Pengelompokan seperti ini pada dasarnya sama dengan
menggunakan cara desil (decile) yaitu 40 persen pertama sama dengan desil ke-4; 40
persen kedua sama dengan desil ke-8 dan 20 persen terakhir adalah desil ke-10.
Dalam menentukan besarnya desil ke-i digunakan rumus :
i = 1, 2, 3, ... 10
ni = Persentase ke-i
Di = Desil ke-i
Qb = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sebelum Di
Qa = Persen kumulatif dari kelas pendapatan sesudah Di
Pb = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sebelum Di
Pa = Persen kumulatif dari jumlah penduduk sesudah Di
BAB III METODOLOGI
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 13
Kriteria ketimpangan diukur berdasarkan bagian pendapatan yang
diterima kelompok berpendapatan rendah. Jika bagian pendapatan yang diterima
kelompok ini :
Kurang dari 12 persen → pemerataan rendah / ketimpangan tinggi
12 persen - 17 persen → pemerataan / ketimpangan sedang
Di atas 17 persen → pemerataan tinggi / ketimpangan rendah
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 14
BAB IV
KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
KOTA SEMARANG
4.1. Gambaran Umum Perekonomian Kota Semarang Tahun 2007 - 2011
Salah satu konsekuensi dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan
adalah ketimpangan distribusi pendapatan.
Dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto pada tahun 2011 mencapai
48.461.410 juta rupiah dan Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun ( 2007-2011)
mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5 % (lihat Tabel 1 dan 2) maka dapat dikatakan
ekonomi makro kota semarang menunjukan perkembangan yang cukup baik selama
lima tahun tersebut.
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian kota semarang,
pendapatan masyarakat yang terlihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
kapita juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun . Tercatat PDRB per kapita
pada tahun 2011 mencapai 31.101.850,41 juta rupiah atau 11,51% lebih tinggi dari
tahun 2010 yang mencapai 27.891.154,90 juta rupiah.
Ketersediaan data pendapatan perkapita untuk daerah di Indonesia secara
umum dapat dikatakan tidak tersedia, oleh karena itu pengukuran kesejahteraan
masyarakat suatau wilayah umumnya didekati dengan dua pendekatan pendapatan
yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran
Konsumsi Perkapita. Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan
pendapatan riil penduduk akan tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan
gambaran pendapatan penduduk untuk dapat menjadi indikator kesejahteraan
masyarakat suatu wilayah.
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 15
Tingkat pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan ekonomi wilayah
tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang bermukim di wilayah tersebut,
jadi wilayah yang mempunyai nilai PDRB tinggi belum tentu memiliki PDRB
perkapita yang tinggi bila jumlah penduduk wilayah tersebut besar jumlahnya.
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (Juta rupiah) Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011
Tahun Atas Dasar
Harga Berlaku
Atas Dasar
Harga Konstan 2000
Tahun 2007 30.515.737 18.142.640
Tahun 2008 34.541.219 19.156.814
Tahun 2009 38.465.017 20.180.578
Tahun 2010 43.398.191 21.365.818
Tahun 2011 48.461.410 22.736.136
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011
Tahun Atas Dasar
Harga Berlaku
Atas Dasar
Harga Konstan 2000
Tahun 2007 14,62 5,98
Tahun 2008 14,62 5,98
Tahun 2009 11,36 5,34
Tahun 2010 12,83 5,87
Tahun 2011 11,67 6,41
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 16
Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita (Rupiah) Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011
Tahun Atas Dasar
Harga Berlaku
Atas Dasar
Harga Konstan 2000
Tahun 2007 20.359.935,97 12.104.672,14
Tahun 2008 22.749.525,61 12.617.054,36
Tahun 2009 25.010.837,45 13.121.875,16
Tahun 2010 27.891.154,90 13.731.386,57
Tahun 2011 31.101.850,41 14.591.731,86
4.2. Pola Konsumsi Rumah tangga
Konsumsi perkapita dapat digunakan sebagi pendekatan pendapatan
perkapita sehingga informasi mengenai Pengeluaran rumah tangga merupakan
salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan
penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari
pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan.
Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap
makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang
bukan makanan pada umumnya lebih tinggi tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada
kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai
titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan barang bukan makanan ,ditabung atau diinvestasikan.
Dengan demikian, pola pengeluaran dapat dipakai sebagai salah satu alat untuk
mengukur tingkat kesejahteraan penduduk, dimana perubahan komposisinya
digunakan sebagai petunjuk perubahan tingkat kesejahteraan.
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 17
Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi
Penduduk Tahun 2007 – 2011
Tahun
Rata-Rata
Pengeluaran Per-
kapita sebulan (Rp)
Persentase
Makanan Non Makanan
Tahun 2007 436.905 41,62 58,38
Tahun 2008 605.051 43,45 56,55
Tahun 2009 619.672 42,50 57,50
Tahun 2010 654.535 43,42 56,58
Tahun 2011 749.403 40,75 59,25
Secara umum pergerakan yang terjadi dari tahun 2007 ke tahun 2011 terlihat
bahwa konsumsi non makanan mendominasi struktur konsumsi penduduk Kota
Semarang. Bila melihat komposisi pola konsumsi masyarakat Kota Semarang Tahun
2007 – 2011 terlihat bahwa pengeluaran konsumsi untuk makanan tahun 2007 ke
tahun 2011 bergerak dari 41,62 persen menjadi 40,75 persen dan konsumsi non
makanan bergerak dari 58,38 persen menjadi 59,25 persen, secara teoritis komposisi
pola konsumsi dapat dikatakan bahwa masyarakat Kota Semarang mengalami
peningkatan kesejahteraan.
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 18
Gambar 1. Komposisi Konsumsi Penduduk Kota Semarang
Tahun 2007 – 2011
Bila dilihat dari nominalnya rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk
kota semarang pada tahun 2007 mencapai 436.905 rupiah bergerak secara signifikan
mencapai hampir dua kali lipat pada tahun 2011 yaitu 749.403 rupiah. Perumahan dan
fasilitas rumah tangga juga makanan dan minuman jadi mendapat porsi tertinggi
masing-masing 20% dan 18% di tahun 2011. Disusul aneka barang dan jasa sebesar
11 %, padi-padian 6%, pendidikan 5%, telur dan susu juga tembakau dan sirih masing
masing 4%. Sisanya dibawah 3%.
Pengeluaran perkapita kota semarang pada tahun 2011 sebesar Rp 749.403
terbagi sebesar Rp 305.346 untuk pengeluaran makanan dan Rp 444.056 untuk
pengeluaran non makanan. Makanan dan minuman jadi mendapat porsi terbesar
36,70% dari rata-rata pengeluaran makanan. Empat komoditas dengan porsi terbesar
selanjutnya padi-padian (11,62%), telur dan susu (8,23%), tembakau dan sirih
(7,64%), dan sayur-sayuran (6,47%).
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tahun 2011 Tahun 2010 Tahun 2009 Tahun 2008 Tahun 2007
40.75 43.42 42.5 43.45 41.62
59.25 56.58 57.5 56.55 58.38
Non Makanan Makanan
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 19
Sedangkan rata-rata pengeluaran non makanan dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 40,50%. Selanjutnya
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan aneka barang dan jasa 38,78%, dan
barang tahan lama 8,29%, sisanya pajak,pungutan dan asuransi, pakaian,alaskaki,dan
tutup kepala, juga keperluan pesta dan upacara masing – masing kurang dari 5%.
Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Perkapita Sebulan dan Komposisi Konsumsi
Penduduk Tahun 2007 – 2011
Jenis Pengeluaran
Makanan Persen
Jenis Pengeluaran Non
Makanan Persen
(1) (2) (3) (4)
Padi-padian 11,62 Perumahan dan Fasilitas
Rumahtangga 40,50
Umbi-umbian 0,36 Aneka Barang dan Jasa 38,78
Ikan/udang/cumi/kerang 5,04 - Kesehatan 6,32
Daging 4,59 - Pendidikan 10,99
Telurdan Susu 8,23 - Lainnya 21,48
Sayur-sayuran 6,47 Pakaian, Alas kaki dan Tutup
Kepala 4,19
Kacang-kacangan 3,32 Barang Tahan Lama 8,29
Buah-buahan 6,23 Pajak, Pungutan dan
Asuransi 4,39
Minyakdan Lemak 3,26 Keperluan Pestadan
Upacara/Kenduri 3,84
Bahan Minuman 3,14
Bumbu-bumbuan 1,43
Konsumsi Lainnya 1,96
Makanan dan Minuman Jadi 36,70
Tembakau dan sirih 7,64
Total 100,00 100,00
Rata-Rata Pengeluaran
Makanan (Rp.) 305,346
Rata-Rata Pengeluaran
Non Makanan (Rp.) 444,056
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 20
Dibandingkan dengan kabupaten atau kota lain di jawa tengah maka rata-rata
pendapatan per kapita sebulan kota semarang menduduki peringkat ke dua setelah
kota salatiga, sedangkan peringkat ke tiga dan keempat berturut turut dicapai kota
surakarta dan kota magelang.
Gambar 2. Rata-rata Pendapatan Per-kapita sebulan dirinci menurut
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2011
433,180
473,229
389,565
347,809
409,988
479,418
473,537
334,552
468,479
456,126
509,177
411,265
545,611
472,822
395,469
342,738
372,746
418,353
491,856
424,344
478,830
522,280
438,172
488,708
372,351
458,152
304,991
406,959
422,801
653,780
661,399
799,422
749,403
424,670
614,203
452,840
0 200,000 400,000 600,000 800,000
Kab. Cilacap
Kab. Banyumas
Kab. Purbalingga
Kab. Banjarnegara
Kab. Kebumen
Kab. Purworejo
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Boyolali
Kab. Klaten
Kab. Sukoharjo
Kab. Wonogiri
Kab. Karanganyar
Kab. Sragen
Kab. Grobogan
Kab. Blora
Kab. Rembang
Kab. Pati
Kab. Kudus
Kab. Jepara
Kab. Demak
Kab. Semarang
Kab. Temanggung
Kab. Kendal
Kab. Batang
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. legal
Kab. Brebes
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kota legal
Provinsi Jawa Tengah
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 21
Gambar 3. Pola Konsumsi Makanan dan Non Makanan Penduduk
Kota Semarang Tahun 2011
Padi-padian6%
Umbi-umbian0%
Ikan/udang/cumi/kerang
3%
Daging2%
Telurdan Susu4%
Sayur-sayuran3%
Kacang-kacangan2%
Buah-buahan3%
Minyakdan Lemak2%
Bahan Minuman2%
Bumbu-bumbuan
1%
Konsumsi Lainnya
1%Makanan dan Minuman
Jadi18%
Tembakau dan sirih
4%
Perumahan dan Fasilitas Rumahtangga
20%
Kesehatan3%
Pendidikan5%
Aneka Barang dan Jasa Lainnya
11%
Pakaian, Alas kaki dan Tutup Kepala
2% Barang Tahan Lama
4%
Pajak, Pungutan dan Asuransi
2%
Keperluan Pesta dan Upacara/Kenduri
2%
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 22
4.3. Kesenjangan distribusi Pendapatan
a. Koefisien Gini (Gini Ratio)
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang penting
karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Tingginya
ketimpangan pendapatan atau kemiskinan relatif, berarti kebijakan pembangunan
belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk
menilai ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0 sampai
dengan 1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis
kemerataan sempurna dengan luas area di bawah kurva Lorenz.
Gambar 4. Koefisien Gini Kota Semarang Tahun 2011
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 23
Koefisien Gini berikut ini didasarkan data SUSENAS mengenai pengeluaran
rumah tangga di Kota Semarang tahun 2007-2011.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh angka Koefisien Gini untuk seluruh
rumah tangga sampel pada tahun 2007 sebesar 0,3014. Hal ini berarti bahwa
ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Semarang pada tahun 2007 dikategorikan
sebagai tingkat “ketimpangan rendah”. Hal ini berarti bahwa dari sampel rumah
tangga penerima pendapatan, memperoleh sekitar 30,14 persen dari total
pendapatan daerah tahun 2007. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka
distribusi pendapatan di Kota Semarang pada tahun 2007 termasuk kategori
ketimpangan rendah.
Tabel 6. Koefisien Gini Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2007 – 2011
Tahun Kota Semarang Jawa Tengah
Tahun 2007 0,3014 0,2525
Tahun 2008 0,2649 0,3033
Tahun 2009 0,3710 0,2833
Tahun 2010 0,3224 0,2908
Tahun 2011 0,3545 0,3462
Selanjutnya pada tahun 2008 indeks gini dikota semarang tercatat 0,2649. Hal ini
merupakan indeks gini terendah selama kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan dilihat
dari rangking kota semarang menduduki peringkat 16 dari 35 kabupaten/ kota di provinsi
jawa tengah. Peringkat terbaik bagi kota semarang selama kurun waktu 2007 – 2011.
Berbeda dengan tahun berikutnya, pada tahun 2009 indeks gini tercatat sebesar 0,3710
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 24
yang merupakan nilai terbesar dalam kurun lima tahun terakhir. Hal ini berarti tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan kota semarang menembus batas ketimpangan sedang.
Peringkat dari indeks gini pada tahun 2009 tercatat terendah yaitu ke 35 dari seluruh
kabupaten/kota di provinsi jawa tengah, hal ini mengulang kejadian seperti pada tahun
2007. Sedangkan indeks gini pada tahun 2010 dan 2011 berfluktuasi, berturut-turut
tercatat sebesar 0,3224 dan 0,3545. Dimana pada tahun 2010 ketimpangan distribusi
pendapatan kota semarang menurun kembali pada level ketimpangan rendah, namun di
tahun 2011 kembali menembus level ketimpangan sedang. Rangking indek gini yang
dicapai pada dua tahun terakhir ini ternyata lebih rendah dari tahun 2009, yaitu 32 dan 29
dari 35 kabupaten/kota se provinsi jawa tengah.
Gambar 5. Perkembangan dan Level Gini Kota Semarang Tahun 2007 – 2011
00.05
0.10.15
0.20.25
0.30.35
0.40.45
0.50.55
0.60.65
0.70.75
0.80.85
0.90.95
1
Tahun 2011 Tahun 2010 Tahun 2009 Tahun 2008 Tahun 2007
TINGGI
RENDAH
SEDANG
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 25
Hasil perhitungan Koefisien Gini Kota Semarang selama periode 2007-2011
menunjukkan bahwa Indeks Gini di Kota Semarang selalu lebih tinggi
dibandingkan provinsi Jawatengah kecuali pada tahun 2008. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa selama periode 2007-2011 kesenjangan distribusi pendapatan
di Kota Semarang relatif lebih tinggi dibandingkan provinsi Jawatengah. Selanjutnya
pada periode 2009 dan 2011, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kota
Semarang dalam tingkat “ketimpangan sedang”. Sementara distribusi pendapatan di
provinsi Jawatengah tahun 2009 dan 2011 tetap berada dalam tingkat ketimpangan
rendah. Fluktuasi indeks gini yang terjadi di provinsi jawa tengah selama lima tahun
terakhir cenderung mengalami peningkatan walaupun masih dalam level ketimpangan
distribusi pendapatan rendah. Namun hal ini selayaknya menjadi perhatian bagi
pemerintah provinsi jawa tengah, khususnya dalam memperhatikan jumlah penduduk
miskin. Konsekwensi yang sama juga berlaku untuk kota semarang, dimana indeks gini
yang telah mencapai level ketimpangan distribusi pendapatan sedang.
Tabel 7. Peringkat Nilai Gini Ratio Kabupaten / Kota di wilayah Provinsi
Jawa Tengah
Kabupaten / Kota
Rangking
Tahun
2011
Rangking
Tahun
2010
Rangking
Tahun
2009
Rangking
Tahun
2008
Rangking
Tahun
2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Kab. Cilacap 8 14 25 4 32
2 Kab. Banyumas 28 34 34 35 24
3 Kab. Purbalingga 6 8 24 6 30
4 Kab. Banjarnegara 30 16 17 27 26
5 Kab. Kebumen 21 4 9 19 20
6 Kab. Purworejo 31 28 30 20 18
7 Kab. Wonosobo 25 13 10 29 15
8 Kab. Magelang 11 12 19 30 31
9 Kab. Boyolali 32 19 21 25 2
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 26
Kabupaten / Kota
Rangking
Tahun
2011
Rangking
Tahun
2010
Rangking
Tahun
2009
Rangking
Tahun
2008
Rangking
Tahun
2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
10 Kab. Klaten 12 15 7 31 8
11 Kab. Sukoharjo 16 29 14 3 4
12 Kab. Wonogiri 27 27 31 23 25
13 Kab. Karanganyar 34 26 33 26 3
14 Kab. Sragen 24 21 12 22 29
15 Kab. Grobogan 13 24 8 15 13
16 Kab. Blora 19 17 15 34 28
17 Kab. Rembang 2 1 2 32 9
18 Kab. Pati 7 11 20 28 11
19 Kab. Kudus 26 10 13 2 22
20 Kab. Jepara 14 2 3 21 17
21 Kab. Demak 10 9 5 5 21
22 Kab. Semarang 17 22 18 18 6
23 Kab. Temanggung 35 20 27 11 23
24 Kab. Kendal 33 18 28 12 7
25 Kab. Batang 3 23 23 9 1
26 Kab. Pekalongan 5 6 1 7 14
27 Kab. Pemalang 1 3 4 1 16
28 Kab. Tegal 4 30 22 10 5
29 Kab. Brebes 20 5 6 14 12
30 Kota Magelang 22 31 29 13 27
31 Kota Surakarta 18 33 26 17 10
32 Kota Salatiga 23 35 32 33 34
33 Kota Semarang 29 32 35 16 35
34 Kota Pekalongan 9 25 16 8 33
35 Kota Tegal 15 7 11 24 19
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 27
b. Relatif Ineqauality (Kriteria Bank Dunia)
Pola distribusi pendapatan masyarakat yang didasarkan pada hasil
perhitungan indeks gini hanya bisa menggambarkan tingkat pemerataan
pendapatan secara umum, tetapi belum menjelaskan besarnya porsi yang
diterima oleh kelompok berpendapatan rendah/miskin dari keseluruhan
pendapatan wilayah. Dengan menggunakan ukuran yang dikembangkan oleh Pusat
Penelitian Bank Dunia dan Lembaga Studi Pembangunan Universitas Sussex, kita
akan mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai masalah ketidakadilan
(inequality) melalui indikator yang disebut relative inequality atau biasa disebut
dengan kriteria Bank Dunia. Relative Inequality diartikan sebagai ketimpangan dalam
distribusi pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan masyarakat.
Berdasarkan hasil penghitungan ketimpangan distribusi pendapatan Kota
Semarang berdasarkan pendekatan Kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa
secara umum tingkat kesenjangan distribusi pendapatan di Kota Semarang selama
lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2007 – 2011 berada pada kategori tingkat
ketimpangan rendah (low inequality). Ini ditunjukan oleh porsi pendapatan yang
diterima oleh kelompok 40 % dari penduduk berpendapatan rendah, berkisar
antara 18.15 persen hingga 24.68 persen, yang berarti lebih tinggi dari ambang
batas 17 persen pendapatan, dan berada dalam kriteria low inequality dalam kriteria
Bank dunia.
Dengan memperhatikan adanya perubahan porsi pendapatan yang diterima oleh
40 persen kelompok rumah tangga berpendapatan rendah selama periode 2007-
2011 menunjukkan kondisi yang fluktuatif. Tahun 2007 kelompok ini menikmati
sekitar 20,65 persen dari bagian pendapatan regional, kemudian pada tahun 2008
meningkat menjadi 24,68 persen. Sementara tiga tahun berikutnya (2009-2011), porsi
pendapatan yang dinikmati oleh golongan rumah tangga berpendapatan rendah ini
semakin menurun. Hal ini berarti bahwa meskipun tingkat ketimpangannya masih
dalam kategori rendah, namun dari tahun ketahun menunjukkan kecenderungan
peningkatan ketimpangan pendapatan masyarakat. Kondisi ini harus mendapat
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 28
perhatian serius dari pemeritah daerah, bila ada keinginan untuk menurunkan
proporsi penduduk miskin dimasa depan. Masalah ketimpangan distribusi
pendapatan antar waktu dan antar wilayah akan selalu menjadi perhatian dan
menarik untuk diamati, karena merupakan bagian dari konsekwensi pertumbuhan
ekonomi disuatu wilayah yang tidak akan pernah hilang.
Tabel 8. Ketimpangan Pendapatan di Kota Semarang Berdasarkan Kriteria
Bank Dunia Tahun 2007 – 2011
Tahun
Kriteria Bank Dunia
40 % Rendah 40 % Menengah 20 % Tinggi
Tahun 2007 20,65 39,44 39,91
Tahun 2008 24,68 36,87 38,45
Tahun 2009 18,81 34,46 46,73
Tahun 2010 21,68 35,13 43,19
Tahun 2011 18,15 36,27 45,58
Dengan kriteria Bank Dunia secara umum tidak terlihat adanya ketimpangan
pendapatan dikota semarang, hal ini ditunjukkan oleh persentase pendapatan
kelompok 40% berpendapatan terendah yang berada di atas 17 %. Namun terjadi
kecenderungan penurunan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 (24,68 -
18,15). Kondisi yang sama diperlihatkan oleh koefisien Gini yang menunjukkan
ketimpangan yang semakin meningkat dari Tahun 2008 sampai dengan 2011. Hal
ini ditunjukkan Koefisien Gini dari 0,2469 pada tahun 2008 dan terus meningkat
hingga mencapai 0,3545 pada tahun 2011. Berarti secara total kedua ukuran ini
memberikan hasil dengan kecenderungan yang hampir sama, yaitu sejak tahun
2008 ketimpangan distribusi pendapatan di kota semarang selama periode lima
tahun terakhir cenderung meningkat, namun masih pada level yang rendah. Tetapi
BAB IV KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 29
ukuran Gini Ratio periode 2009 dan 2011 berada pada level sedang. Untuk kota
semarang kedua ukuran ketimpangan ini hampir tidak memperlihatkan perbedaan
yang berarti, namun Koefisien Gini cenderung fluktuatif pada level ketimpangan
pendapatan yang rendah hinga sedang. Untuk provinsi jawa tengah, ukuran
koefisien gini berfluktuatif, levelnya masih dalam posisi ketimpangan rendah namun
secara perlahan bergerak pada posisi menuju ketimpangan distribusi pendapatan
sedang yang dimulai pada tahun 2009 sampai dengan 2011. Hasil pengukuran
tersebut menunjukkan ketimpangan yang tetap rendah dan berada dalam posisi
yang belum menghawatirkan, namun indikasi kecenderungannya selama periode
2007 – 2011 perlu untuk lebih dicermati.
BAB V PENUTUP
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 30
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan :
1. Koefisien gini Kota Semarang selama kurun waktu lima tahun terakhir
(2007 – 2011) mengalami fluktuasi dari posisi ketimpangan distribusi
pendapatan rendah hingga sedang.
2. Koefisien gini provinsi jawa tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir
(2007 – 2011) stabil dalam posisi ketimpangan distribusi pendapatan rendah.
3. Koefisien gini kota semarang dan provinsi jawa tengah selama kurun waktu
lima tahun terakhir (2007 – 2011) mengalami fase dari posisi ketimpangan
distribusi pendapatan rendah menuju ketimpangan distribusi pendapatan
sedang. Hal ini berarti terjadi kesenjangan distribusi pendapatan yang
semakin melebar.
4. Menurut kriteria bank dunia persentase pendapatan yang diterima oleh
kelompok 40% berpendapatan terendah kota semarang berada di atas 17 %,
namun tetap memiliki fase yang tidak berbeda dengan apa yang ditunjukan
oleh koefisien gini.
BAB V PENUTUP
Pemerataan Pendapatan dan Pola konsumsi Penduduk Kota Semarang Tahun 2011 31
5.2. Saran-saran
1. Pertumbuhan ekonomi Kota Semarang yang terus meningkat tetapi tidak
diimbangi dengan kecenderungan tingkat pemerataan pendapatan yang
tinggi atau ketimpangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat
terutama dalam tiga tahun terakhir perlu diwaspadai. Progaram-program
pengentasan kemiskinan harus terus dilanjutkan dan diperketat
pengawasannya. Hal ini untuk menghindari kebocoran /tidak tepat sasaran.
2. Jumlah penduduk miskin dan kantong kemiskinan di Kota Semarang harus
mendapat perhatian khusus. Dengan memperhatikan dan memetakan potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada didaerah tersebut
akan mempercepat proses pengentasan kemiskinan yang pada akhirnya akan
memperkecil tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.
top related