kata pengantar - teknonatura.files.wordpress.com · web viewwrinkle (kerutan) diperlakukan...
Post on 09-Oct-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH TEKNOLOGI KOSMETIKA
KRIM ANTI KERUT (ANTI WRINKLE CREAM) MENGGUNAKAN
MINYAK BIJI KELOR (Moringa oleifera)
DISUSUN OLEH:
Kelompok 7
Nikolaus Yosep Maulana Turnip (19334726)
Pinesti (19334728)
Tedy Ria Atmaja (19334729)
Fitria Febri Eva Deni (19334730)
Asriyan Fasa (19334731)
Sela Dwi Agraini (19334732)
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Amelia Febriani, S. Farm.,MSi, Apt
Mata Kuliah: Teknologi Kosmetika (K)
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat, dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Teknologi Kosmetikayang berjudul“Antiwrinkle Krim”. Terima kasih kami ucapkan
kepada :
1. Amelia Febriani, S. Farm.,MSi, Apt selaku dosen pengampu mata kuliah
Teknologi Kosmetika.
2. Rekan- rekan yang memberikan masukkan dan saran kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna serta masih banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat
dinantikan guna penyempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami
maksud kami. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
serta bermanfaat bagi kami maupun pembaca. Semoga Tuhan senantiasa
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita semua.
Jakarta , Juli 2020
Tim Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
2.1 Krim...................................................................................................................................3
2.2 Pembuatan Krim ...............................................................................................................5
2.3 Evaluasi Mutu Krim .........................................................................................................5
2.4 Antioksidan ......................................................................................................................8
2.5 Kulit ..................................................................................................................................9
2.6 Manifestasi Penuaan Kulit ..........................................................................................12
2.7 Kulit Keriput (Skin Wrinkle) .......................................................................................12
2.8 Menurunnya Elastisitas Kulit (Skin Sagging) ...........................................................13
2.9 Kelor (Moringa oleifera) ..............................................................................................15
BAB III METODE DAN EVALUASI ...............................................................................17
3.1 Formulasi krim anti kerut dari minyak biji kelor .....................................................17
3.2 Cara pembuatan krim anti kerut dari minyak biji kelor ..........................................17
BAB III PENUTUP..............................................................................................................21
4.1 Kesimpulan.......................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada perkembangan peradaban manusia di zaman modern, hubungan antar
manusia semakin intens dan mudah dilakukan baik pada hubungan kerja, social
maupun budaya. Oleh karena itu penampilan kulit yang sehat, menarik, terlihat
muda dan cantik sangat dibutuhkan manusia untuk memperindah kulit wajahnya.
Wrinkle (kerutan) diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus
dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula, proses
pencegahan kerutan dapat mempetahankan fungsi organ tubuh agar tetap
optimal, sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan
penampilan dan kualitas hidupnya yang baik serta lebih muda dibandingkan
dengan usia sebenarnya
Penuaan dapat dilihat dengan tujuh tanda kunci seperti garis-garis halus dan
kerutan, perubahan warna dan tekstur kulit,permukaan kulit kusam, pori-pori
terlihat, Blotchiness, bintik-bintik penuaan dan Kekeringan. Di antara semua
tanda-tanda ini, penampilan garis-garis halus dan kerutan pada kulit adalah tanda
penuaan yang umum dan paling menonjol. Jadi krim kulit yang digunakan untuk
mencegah tanda-tanda penuaan juga disebut sebagai krim anti-kerut
(Antiwrinkle).
Salah satu penyebab kulit menjadi keriput adalah radikal bebas, spesies yang
mempunyai elektron tidak berpasangan sehingga sangat reaktif dan bersifat
merusak sel dan jaringan tubuh. Secara alami, radikal bebas terbentuk di
mitokondria pada setiap sel yang bertugas memproses glukosa dan oksigen
menjadi energi melalui reaksi enzimatik. Selain itu radikal bebas juga muncul
melalui pejanan UV, radiasi rendah, sinar elektromagnetik dan proses
pembakaran. Radikal bebas dapat dicegah dengan penggunaan antioksidan baik
sintetik ataupun alam. Contoh antioksidan sintetik adalah Butil Hidroksi Anisol
(BHA) dan Butil Hidroksi Toluen (BHT), sedangkan antioksidan alami dapat
diperoleh dari tanaman. Antioksidan sangat membantu untuk mencapai
pembersihan radikal bebas yang efisien, karena mereka saling menghilangkan
1
radikal bebas. Vitamin E, Vitamin C, asam lipoat, koenzim Q10, asam nikotinat,
dan glutation bebas menetralkan radikal dengan metode yang berbeda, dan
mereka saling melengkapi satu sama lain. Berdasarkan data ini, biji kelor
(Moringa oleifera) dipilih untuk mengevaluasi khasiat anti kerut dari minyak biji
yang kaya akan antioksidan. Formulasi yang disiapkan adalah herbal formulasi
yang dapat mengurangi efek samping dari formulasi yang dipasarkan
menggunakan bahan kimia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana formulasi krim anti kerut (antiwrinkle) menggunakan minyak biji
kelor?
2. Bagaimana metode pembuatan krim anti kerut (antiwrinkle) menggunakan
minyak biji kelor?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mampu memahami bagaimana formulasi krim antiwrinkle
menggunakan minyak biji kelor?
2. Agar mahasiswa mampu memahami bagaimana metode pembuatan dan
evaluasi krim antiwrinkle menggunakan minyak biji kelor?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Krim
Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa padat berupa
emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari
60%. Krim ada dua tipe yaitu krim tipe minyak dalam air (M/A) dan tipe air
dalam minyak (A/M). Krim yang dapat dicuci dengan air (M/A) ditujukan untuk
penggunaan kosmetik dan estetika. Stabilitas krim akan rusak jika sistem
campurannya terganggu oleh perubahan suhu dan komposisi, misalnya adanya
penambahan salah satu fase secara berlebihan. Pengenceran krim hanya dapat
dilakukan dapat dilakukan dengan teknik aseptis. Krim yang sudah diencerkan
harus digunakan dalam waktu satu bulan. Bahan pengemulsi krim harus
disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Sebagai bahan
pengemulsi krim, dapat digunakan emulgid, lemak bulu domba, setasium,
setilalkohol, stearil alkohol, golongan sorbitan, polisorbat, PEG, dan sabun.
Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya adalah metilparaben (nipagin)
0,12-0,18% dan propilparaben (nipasol) 0,02-0,05%.
Krim dapat dibuat dengan cara melelehkan lemak, lemak dilebur di atas
penangas air, kemudian tambahkan bagian airnya dari zat pengemulsi. Setelah
itu, aduk sampai terbentuk suatu campuran yang berbentuk krim (Syamsuni,
2012). Kelebihan sediaan krim, yaitu mudah menyebar rata, praktis, mudah
dibersihkan atau dicuci, cara kerja berlangsung pada jaringan setempat, tidak
lengket terutama tipe m/a, memberikan rasa dingin (cold krim) berupa tipe a/m,
digunakan sebagai kosmetik, bahan untuk pemakaian topikal jumlah yang
diabsorpsi tidak cukup beracun. Sedangkan kekurangan sediaan krim, yaitu
susah dalam pembuatannya karena pembuatan krim harus dalam keadaan panas.
Gampang pecah disebabkan dalam pembuatan formula tidak 6 pas. Mudah
kering dan mudah rusak khususnya tipe a/m karena terganggu sistem campuran
3
terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan
penambahan salah satu fase secara berlebihan
Formula umum sediaan krim Formula umum suatu sediaan krim terdiri dari :
A. Bahan dasar
Krim mempunyai suatu emulsi minyak dalam air (M/A) atau air dalam
minyak (A/M).
1. Asam stearat
2. Adeps lanae
3. Paraffin liquid
4. Aquades
B. Bahan aktif
Bahan aktif yang biasanya terkandung dalam sediaan adalah bahan yang
larut dalam air, larut dalam minyak atau memberi efek lokal pada kulit.
C. Zat tambahan
Bahan tambahan yang sering digunakan untuk memberikan keadaan
yang lebih baik dari suatu krim. Bahan tambahan yang sering digunakan
adalah :
1. Zat pengemulsi
Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis dan
sifat krim yang dikehendaki, sebagai pengemulsi dapat digunakan
triethanolamin, emulgid, lemak bulu domba, setaseum, setil
alkohol, dan golongan sorbitol, polisorbat.
2. Zat pengawet
Mencegah timbulnya bau tengik dalam sediaan krim biasanya
ditambahkan antioksidan sebagai pengawet dapat digunakan
nipagin
3. Zat pewangi dan zat pewarna
Zat-zat lain berguna untuk meningkatkan daya tarik suatu krim
dan warna yang sebenarnya dari krim (Wasitaatmadja, 1997)
4
2.2 Pembuatan Krim
Pada umumnya krim dibuat dengan melelehkan bahan-bahan krim berupa lemak
pada suhu 70o C. Memanaskan bahan-bahan krim larut air pada suhu 70oC,
kemudian perlahan-lahan menuangkannya ke dalam lelehan lemak, diaduk
homogen hingga dingin (Depkes RI, 1985).
Pencampuran zat aktif sukar larut air ke dalam basis krim dilakukan dengan cara
menggerus zat aktif hingga menjadi halus kemudian dilakukan pengayakan
dengan nomor pengayak 100. Setelah itu mencampurkannya dengan basis krim
yang telah jadi (Anief, 2010).
Apabila zat aktif berupa ekstrak kental maka digerus dahulu dengan sedikit air.
Bila dalam resep terdapat gliserin dapat juga digerus dengan nya. Air yang
digunakan supaya dikurangkan pada basis (Anief, 2010)
.
2.3 Evaluasi Mutu Krim
Sediaan topikal, mata dan yang berhubungan dengan hidung, dalam kategori ini
adalah salep, krim, lotion, pasta, gel, dan aerosol non-material untuk kulit.
Preparasi topikal harus dievaluasi untuk penampilan, kejelasan warna,
homogenitas, bau, pH, kemampuan pensuspensi (untuk lotion), konsistensi,
viskositas, distribusi ukuran partikel (untuk suspensi, jika memungkinkan), uji
produk degradasi pengawet dan kandungan antioksidan (jika ada), batas
mikroba/sterilitas dan penurunan berat (jika perlu) (Asean Guideline On
Stability Study of Drug Product, 2005:5).
Beberapa pengujian yang dilakukan dalam proses evaluasi mutu krim, antara
lain organoleptik, pH, daya sebar, penentuan ukuran droplet, dan aseptabilitas
sediaan (Widodo, 2013:173).
A. Organoleptik
Uji organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan alat
indera manusia sebagai alat ukur terhadap penilaian suatu produk. Indera
manusia adalah instrumen yang digunakan dalam analisis sensor, terdiri
dari indra penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan dan
pendengaran. Proses pengindraan terdiri dari tiga tahap, yaitu adanya
rangsangan terhadap indra oleh suatu benda, akan diteruskan oleh sel-sel
5
saraf dan datanya diproses oleh otak sehingga kita memperoleh kesan
tertentu terhadap benda tersebut (Setyaningsih; dkk, 2010:7). Penilaian
kualitas sensorik produk bisa dilakukan dengan melihat bentuk, ukuran,
kejernihan, kekeruhan, warna dan sifat-sifat permukaan dengan indera
penglihatan ( Setyaningsih; dkk, 2010:8). Bau dan aroma merupakan
sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan diperjelas
karena ragamnya yang begitu besar. Penciuman dapat dilakukan terhadap
produk secara langsung (Setyaningsih; dkk, 2010:9). Indera peraba
terdapat pada hampir semua permukaan tubuh, beberapa bagian seperti
rongga mulut, bibir, dan tangan lebih peka terhadap sentuhan. Untuk
menilai tekstur suatu produk dapat dilakukan perabaan menggunakan
ujung jari 10 tangan. Biasanya bahan yang akan dinilai diletakkan antara
permukaan ibu jari, telunjuk, atau jari tengah. Penilaian dilakukan
dengan menggosok-gosokkan jari tersebut ke bahan yang diuji diantara
kedua jari (Setyaningsih; dkk, 2010:11).
B. Uji pH
Semakin asam suatu bahan yang mengenai kulit dapat mengakibatkan
kulit menjadi kering, pecah-pecah, dan mudah terkena infeksi. Maka dari
itu sebaiknya pH kosmetik diusahakan sama atau sedekat mungkin
dengan pH fisiologis kulit yaitu antara 4,5-6,5. Kosmetik demikian
disebut kosmetik dengan “pH-balanced” (Tranggono dan Latifah,
2007:21). Evaluasi pH dilakukan dengan menggunakan alat bernama pH
meter. Karena pH meter hanya bekerja pada zat yang berbentuk larutan,
maka krim harus dibuat dalam bentuk larutan terlebih dahulu. Krim dan
air dicampur dengan perbandingan 60g:200ml air, kemudian diaduk
hingga homogen dan didiamkan agar mengendap. Setelah itu, pH airnya
diukur dengan pH meter. Nilai pH akan tertera pada layar pH meter
(Widodo, 2013:174).
C. Homogenitas
Sediaan diamati secara subjektif dengan cara mengoleskan sedikit krim
diatas kaca objek dan diamati susunan partikel yang terbentuk atau
6
ketidakhomogenan partikel terdispersi dalam krim yang terlihat pada
kaca objek (Depkes RI, 1979:33).
D. Daya sebar
Evaluasi ini dilakukan dengan cara sejumlah zat tertentu diletakkan di
atas kaca yang berskala. Kemudian, bagian atasnya diberi kaca yang
sama dan ditingkatkan bebannya, dengan diberi rentang waktu 1-2 menit.
Selanjutnya, diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban,
saat sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur)
(Widodo, 2013:174).
E. Penentuan ukuran droplet
Untuk menentukan ukuran droplet suatu sediaan krim, digunakan alat
biologi bernama mikroskop. Caranya, sediaan diletakkan pada gelas
objek, kemudian diperiksa adanya tetesan-tetesan fase dalam ukuran dan
penyebarannya (Widodo, 2013:174).
F. Viskositas
Kekentalan adalah suatu sifat cairan yang berhubungan erat dengan
hambatan untuk mengalir. Kekentalan didefinisikan sebagai gaya yang
diperlukan untuk menggerakkan secara berkesinambungan suatu
permukaan datar melewati permukaan datar lain dalam kondisi mapan
tertentu bila ruang diantara permukaan tersebut diisi dengan cairan yang
akan ditentukan kekentalannya. Satuan dasar kekentalan yaitu poise,
namun oleh karena kekentalan yang diukur umumnya merupakan harga
pecahan poise, maka lebih mudah digunakan satuan dasar sentipoise , 1
poise = 100 sentipoise (Depkes RI, 1995:1037). Metode yang umum
digunakan untuk pengukuran kekentalan meliputi penetapan waktu yang
dibutuhkan oleh sejumlah volume tertentu cairan untuk mengalir melalui
kapiler (Depkes RI, 1995: 1038). Metode pengukuran vikositas dapat
dilakukan dengan viskosimeter kapiler, viskosimeter bola jatuh dan
viskosimeter rotasi (Voigt, 1994: 90).
G. Konsistensi
Konsistensi bukanlah istilah yang dirumuskan dengan pasti, melainkan
hanya sebuah cara untuk mengkarakteristikkan sifat berulang, seperti
7
sifat lunak dari sediaan melalui angka ukur.Alat yang digunakan untuk
mengukurnya disebut penetrometer. (Voigt, 1994: 380).
H. Uji kesukaan
Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan). Disamping
penulis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya,
mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat
kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal “suka” dapat
mempunyai skala hedonik 12 seperti amat sangat suka, sangat suka, suka,
agak suka. Sebaliknya jika tanggapan itu “tidak suka” dapat mempunyai
skala hedonik seperti suka dan agak suka, terdapat tanggapannya yang
disebut sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka
(neither like nor dislike) (Setyaningsih; dkk, 2010:59).
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah salah satu senyawa yang dapat menetralkan dan meredam
radikal bebas dan menghambat terjadinya oksidasi pada sel sehingga
mengurangi terjadinya kerusakan sel, seperti penuaan dini (Heranani dan
Raharjo, 2005).
Radikal bebas menyerang membran dan merusak sel dimana dibutuhkan sistem
kekebalan tubuh untuk melawannya. Jika pembentukan radikal bebas dan
penyerangannya tidak dikendalikan maka dapat menyebabkan
terjadinyakerusakan sel. Kerusakan sel akibat radikal bebas ini dapat diamati
secara fisik, diantaranya seperti kulit kering, suram, kendur, dan kurangnya
kekenyalan.
Ada tiga macam mekanisme kerja antioksidan pada radikal bebas, yaitu
1. Antioksidan primer
Mampu mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan cara
memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi lebih stabil.
2. Antioksidan sekunder
8
Berperan mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa
radikal. Beberapa contohnya vitamin A (betakaroten), vitamin C, vitamin
E, dan senyawa fitokimia.
3. Antioksidan Tersier
Berperan dalam mekanisme biomolekuler seperti memperbaiki kerusakan
sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas.
2.5 Kulit
Kulit merupakan bagian tubuh utama yang diperhatikan dalam kecantikan kulit.
Kulit sendiri merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian
tubuh membungkus daging dan organ-organ didalamnya. Luas kulit pada
manusia rata-rata ± 2 meter persegi dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan
lemaknya dan 4 kg tanpa lemaknya atau 16% dari berat badan seseorang
(Kusantati, 2009).
Secara umum kulit mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai alat proteksi
tubuh dari benda luar, untuk melakukan absorbsi, antara lain absorbsi
air ,mineral, dan cahaya; alat ekskresi, untuk membantu pengaturan suhu tubuh,
tempat terjadinya pembentukan pigmen; tempat terjadinya proses pembentukan
vitamin D, dan tempat terjadinya keratinisasi atau pengelupasan kulit mati dan
pembentukan sel kulit baru.
2.2.1 Struktur kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu:
A. Kulit ari (epidermis )
Kulit epidermis merupakan bagian kulit paling luar yang paling sangat
diperhatikan dalam perawatan kulit. Ketebalan epidermis pada bagian
tubuh berbeda-beda, yang paling tebal terletak pada telapak tangan
dan kaki dan yang paling tipis terletak pada kelopak mata, pipi, dahi,
dan perut. Pada kulit epidermis terdapat 5 lapisan yaitu :
a. Lapisan tanduk ( stratum corneum )
Merupakan lapisan epidermis paling atas terdiri dari sel pipih,
tidak memiliki inti, tidak berwarna dan sedikit mengandung
air.
9
b. Lapisan bening ( stratum lucidum )
Lapisan ini terletak dibawah lapisan tanduk dan dianggap
sebagai penyambung lapisan tanduk dengan lapisan berbutir.
c. Lapisan berbutir ( stratum granulosum )
Tersusun oleh lapisan sel – sel berbentuk gumparan yang
mengandung butir-butir dalam protoplasma.
d. Lapisan bertaju ( stratum spinosum )
Sering disebut juga lapisan malphigi terdiri dari sel-sel yang
saling berhubungan dengan perantara jembatan protoplasma.
Diantara sel-sel taju terdapat celah antar sel halus yang
berguna untuk peredaran cairan jaringan ekstraseluler dan
pengantaran butir-butir melanin.
e. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale )
Merupakan lapisan paling bawah epidermis dibentuk oleh satu
baris sel, didalam lapisan benih terdapat pula sel-sel bening
(clear cells, melanoblas atau melanosit ) pembuat pigmen
melanin kulit (Kusantati, 2009).
B. Lapisan dermis
Merupakan lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari pada
epidermis terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen
selular, kelenjar, dan rambut. Lapisan ini terdiri atas :
a. Pars papilaris, yaitu bagian yang menonjol kedalam epidermis,
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikuler, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan
dengan subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin
dan retikulin (Wasitaatmadja, 1997).
C. Lapisan subkutan /hipodermis
Lapisan ini mengandung jaringan lemak, pembuluh darah dan limfa yang
sejajar dengan permukaan kulit. Jaringan ini berfungsi sebagai penyangga
dari benturan organ-organ tubuh bagian dalam serta berperan pula dalam
pengaturan suhu tubuh (Kusantati, 2009).
10
2.2.2. Fungsi kulit
Kulit memiliki berbagai fungsi bagi tubuh, diantaranya adalah
(Muliyawan dan Suriana, 2013):
A. Proteksi (pelindung)
Kulit berfungsi untuk melindungi organ-organ tubuh dari pengaruh
lingkungan luar. Misalnya sinar matahari, zat-zat kimia, perubahan
suhu, dan lain-lain.
B. Thermoregulasi (menjaga keseimbangan temperatur tubuh)
Kulit akan menjaga suhu tubuh agar tetap optimal. Keringat yang
keluar saat suhu udara panas berfungsi untuk mendinginkan tubuh.
Keluarnya keringat adalah salah satu mekanisme tubuh untuk menjaga
stabilitas temperatur.
C. Organ sekresi
Kulit juga berfungsi sebagai organ untuk melepaskan kelebihan air
dan zatzat lainnya, seperti NaCl, amonia, dan lain-lain.
D. Persepsi sensoris
Sebagai alat peraba, kulit akan bereaksi pada perbedaan suhu,
sentuhan, rasa sakit, dan tekanan.
E. Absorpsi
Beberapa zat tertentu bisa diserap masuk kedalam tubuh melalui kulit.
2.2.3 Jenis kulit
Menurut Wasitaatmadja (1997), ditinjau dari sudut pandang perawatan, kulit
terbagi atas tiga bagian:
A. Kulit normal
Merupakan kulit yang ideal yang sehat, tidak kusam dan mengkilat,
segar dan elastis dengan minyak dan kelembaban yang cukup.
B. Kulit berminyak
Kulit yang mempunyai kadar minyak dipermukaan kulit yang
berlebihan sehingga tampak mengkilap, kotor, kusam, biasanya pori-
pori kulit lebar sehingga kasar dan lengket.
C. Kulit kering
11
Kulit yang mempunyai lemak permukaan kulit yang kurang ataupun
sedikit lepas dan retak, kaku, tidak elastis dan terlihat kerutan.
2.6 Manifestasi Penuaan Kulit
Manifestasi klinis dari penuaan kulit kronologis meliputi xerosis, kendor,
keriput, lamban dan munculnya seborrheic keratosis dan cherry angioma. Relatif
sedikit terjadi perubahan ketebalan di epidermis, bentuk keratinosit dan kohesi
korneosit, dan terjadi banyak kehilangan melanosit dan sel Langerhans.
Perubahan kulit yang besar pada penuaan kulit kronologis terlihat pada
dermoepidermal junction yang memperlihatkan perataan rete ridges yang
menyebabkan reduksi kontak antara epidermis dan dermis menyebabkan reduksi
pertukaran nutrien dan metabolit diantara kedua kompartemen ini (Vierkötter
and Krutmann, 2012).
Dermis tampak hiposelular dengan lebih sedikit fibroblas dan sel mast dan
hilangnya volume dermis. Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan
bahwa serabut kolagen menjadi longgar dan terjadi peningkatan moderat dan
penebalan serabut elastis dengan resorpsi sebagian besar serabut sub-epidermis.
Selain itu, terjadi penurunan jumlah pembuluh darah dermis, pemendekan
capillary loop, dan penurunan densitas Pacinian corpuscles dan Meissner’s
corspuscles, yakni organ ujung kulit yang bertanggung jawab terhadap persepsi
tekanan dan sentuhan ringan. Kehilangan inervasi sensorik dan otonom yang
melibatkan epidermis maupun dermis (Vierkötter and Krutmann, 2012).
2.7 Kulit Keriput (Skin Wrinkle)
Faktor intrinsik yang mempengaruhi struktur wajah dan turut menyebabkan
pembentukan keriput muka meliputi perubahan otot ekspresi, hilangnya lemak
subkutan, gaya gravitasi persisten dan hilangnya tulang dan cartilago muka.
Garis ekspresi terjadi sebagai akibat dari traksi berulang yang dikerahkan oleh
otot muka yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan lipatan yang dalam
pada dahi dan diantara alis mata, sekitar lekuk mata (periorbital) dan pada
lipatan nasolabial (Yaar and Gilchrest, 2007).
12
Gambar 1.
Kulit Keriput (Skin wrinkle), panah hitam menunjukkan keriput. (Yaar and
Gilchrest, 2007)
Secara histologis, untai jaringan konektif tebal hipodermis yang mengandung sel
otot terdapat dibawah keriput. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa seiring
penuaan, terjadi perubahan pada struktur musculoaponeurosis yang
mengakibatkan peningkatan kelemasan dan menyebabkan pembesaran keriput
ekspresi tertentu seperti keriput pada lipatan nasolabial. Seperti otot yang
ditandai dengan striae, otot muka juga menunjukkan akumulasi “pigmen umur”
yakni lipofuscin, suatu petanda kerusakan selular, dan pemburukan otot seiring
umur yang diperburuk oleh berkurangnya kontrol neuromuskular ini ikut
menyebabkan pembentukan keriput (Yaar and Gilchrest, 2007).
2.8 Menurunnya Elastisitas Kulit (Skin Sagging)
Gaya gravitasi yang terus bekerja terhadap tubuh mempengaruh elastisitas kulit,
mempengaruhi distribusi jaringan lunak muka sehingga menyebabkan
pengenduran kulit. Elastisitas kulit wajah adalah kemampuan kulit wajah untuk
kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Elastisitas kulit sangat terkait
dengan jumlah serabut elastin dan kolagen. Elastisitas kulit menurun seiring
dengan penuaan. Ketika kulit menjadi semakin kendur seiring usia dan penopang
jaringan lunak berkurang, gaya gravitasi juga menjadi faktor penting. Gravitasi
mengerahkan gaya mekanik yang menarik kulit muka sehingga mengakibatkan
pembentukan kulit yang kendur dan lentur. Seiring penuaan, lemak memang
menyusut dari area muka tertentu yang meliputi dahi, daerah preorbital, buccal,
13
temporal dan perioral. Sebaliknya, terjadi peningkatan bagian besar jaringan
lemak secara menyolok pada area lain yang meliputi daerah submental, pipi
bawah, dan lipatan nasolabial dan area lateral pipi. Berbeda dari tampilan muka
muda yang lemaknya tersebar secara difuse, pada kulit muka yang menua lemak
cenderung terakumulasi dalam kantong wajah, dan kemudian ketika kelebihan
lemak ini terkena gaya gravitasi, maka kulit menjadi kendur (Porcheron et al.,
2014).
Tulang muka memperlihatkan penurunan massa seiring usia, resorpsi tulang
sangat mempengaruhi rahang bawah, rahang atas dan tulang frontal. Hilangnya
tulang pada area ini membuat kulit muka semakin kendor dan turut
menyebabkan hilangnya batas antara kontur rahang dan leher yang begitu jelas
pada individu dewasa muda (Yaar and Gilchrest, 2007). Kulit individu tua juga
memperlihatkan sederetan garis permukaan halus yang hilang secara khas ketika
kulit diregangkan. Secara histologis, epidermis terlihat atrofik sebagai akibat
dari penurunan laju pergantian epidermis. Terjadi resorpsi jaringan serabut
elastis pada area sub-epidermis, dan dermis reticulum memperlihatkan ‘bundel’
kolagen atrofik. Pada dermis, fibroblas yang tersisa terlihat berkerut (Yaar and
Gilchrest, 2007).
Gambar 2.
Menurunnya Elastistas Kulit Leher atau Kulit Kendur (Skin Sagging) Panah
hitam menunjukkan kulit kendur (Yaar and Gilchrest, 2007)
14
2.9 Kelor (Moringa oleifera)
Tanaman kelor di Indonesia dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat
Sulawesi menyebutnya kero, wori, kelo, atau keloro. Orang-orang Madura
menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut kelor. Di Aceh disebut
murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumbawa disebut kawona.
Sedangkan orang-orang Minang mengenalnya dengan nama munggai (Krisnadi,
2010).
Kelor awalnya banyak tumbuh di India, namun kini kelor banyak ditemukan di
daerah beriklim tropis (Grubben, 2004). Pada beberapa Negara kelor dikenal
dengan sebutan benzolive, drumstick tree, kelor, marango, mlonge, mulangay,
nebeday, sajihan, dan sajna (Fahey, 2005).
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman kelor (Moringa oleifera)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Sub kelas : Dialypetalae
Ordo : Rhoeadales (Brassicales)
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera
(Rollof et al, 2009)
Gambar 3.
Biji Kelor
15
Tanaman kelor juga memiliki kandungan fenolik yang terbukti efektif berperan
sebagai antioksidan. Efek antioksidan yang dimiliki tanaman kelor memiliki
efek yang lebih baik daripada Vitamin E secara in vitro dan menghambat
peroksidasi lemak dengan cara memecah rantai peroxyl radical. Fenolik juga
secara langsung menghapus reactive oxygen species (ROS) seperti hidroksil,
superoksida dan peroksinitrit (Chumark et al., 2007)
16
BAB III
METODE DAN EVALUASI
3.1 Formulasi krim anti kerut dari minyak biji kelor
Minyak biji kelor 2%
Asam stearat 6%
Setil Alkohol 6%
Parafin cair 6,6%
Gliserin 3%
Metil paraben 0,02%
Propilen glikol 30%
Air ad 100%
3.2 Cara pembuatan krim anti kerut dari minyak biji kelor
1. Pengemulsi (asam stearat) dan komponen larut minyak lainnya (Cetyl
alkohol, parafin cair) dilarutkan dalam fase minyak (Bagian A) dan
dipanaskan hingga 75 ° C.
2. Pengawet dan komponen larut air lainnya (Metilparaben, Gliserol, Propilen
glikol, ekstrak etanol biji kelor dilarutkan dalam fase air (Bagian B) dan
dipanaskan hingga 75 ° C.
3. Setelah pemanasan, fase berair ditambahkan dalam bagian-bagian ke fase
minyak dengan pengadukan terus menerus sampai pendinginan pengemulsi
terjadi.
4. Krim yang sudah jadi di evaluasi
3.3 Evaluasi
Evaluasi sediaan yang dilakukan meliputi penentuan pH, viskositas, tes
pewarnaan, homogenitas, penampilan, jenis apusan, penghilangan,uji iritasi dan
analisis stabilitas dengan cycling test.
Berbagai tes bisa dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran antiwinkle adalah:
Pengukuran skor kerut, evaluasi histologis, percobaan invitro, Kemanjuran
17
Hydrating dan Anti-Wrinkle, Pewarnaan, tes Anti-kerut pada tikus sehat
menggunakan jejak silikon, Penilaian instrumental menggunakan tewameter
MPA 5, kelembaban kulit dan TEWL, Evaluasi Permukaan Kulit Hidup (SELS),
volume dan energi yang dapat dipelajari menggunakan Visioscan® VC 98 /
software SELS 2000. Dalam penelitian ini, metode berikut digunakan untuk
mengevaluasi kemanjuran formulasi anti kerut. Studi kemanjuran Anti kerut
menggunakan model hewan dengan analisis Foto dan dengan metode
Pewarnaan. Empat-tikus tak berbulu betina berumur seminggu (SKH-1) dengan
berat 17-24 g diperoleh dari Indian Institute of ToxicologyPenelitian Lucknow.
Tikus memiliki akses gratis ke makanan dan air dan digunakan di ruang ber-AC
(23) ± 2 ° C dan kelembaban 50 ± 10% dengan siklus 12 jam terang / 12 jam
gelap) selama 1 minggu sebelum studi anti kerut in vivo.
Pertama, hewan-hewan yang diteliti dikenakan radiasi UVB pada dosis
suberythemal untuk 2 minggu di 345 nm yang akan menghasilkan kerutan yang
ditandai 8,9,10 . Analisis topografi kulit dilakukan pada permukaan kulit tikus
sebelum dan sesudah perawatan untuk mengukur efektivitas M. Olifera . Kulit
yang sama areanya diperiksa sebelum proses (Hari 0) dan setelah proses (Hari 1,
Hari 7, Hari 15 dan Hari 30), dengan mengambil foto dan juga dengan observasi
di bawah kaca pembesar (Leica M LZIII, augment 1OX) dengan cahaya putih.
Tikus dibagi menjadi dua kelompok, tikus jantan dan tikus betina, dengan
perbandingan 50:50. Tes dilakukan pada kondisi lingkungan antara 23-25ºC dan
kelembaban relatif 60%. Dua jenis uji coba telah dilakukan:
1. Telah diteliti apakah kedua formulasi dapat mempengaruhi kandungan
air.
2. Evaluasi kerutan, dalam studi jangka pendek dan jangka panjang.
Uji coba jangka pendek:
Formula diterapkan untuk setiap 12 jam dan pengukuran dilakukan pada akhir
24j am setelah aplikasi.
Uji coba jangka panjang:
Untuk melakukan ini, subjek dirawat dengan krim selama satu bulan, dua kali
sehari. Evaluasi kandungan air pada kulit ditentukan setelah 24 jam, 7, 15, 21
dan 30 hari. Dalam penelitian ini hanya evaluasi kerut yang dilakukan dalam
18
studi jangka panjang. Penampilan kulit tergantung pada kondisi umumnya, dan
khususnya tingkat pelembabnya, karena ini mengatur elastisitas, fleksibilitas dan
kehalusan kulit. Integritas matriks ekstraseluler, terutama serat kolagen, adalah
penting untuk memastikan bahwa epidermis melekat erat pada dermis. Telah
disarankan bahwa kerusakan serat-serat kolagen, pada persatuan dermis-
epidermis, melemahkannya, yang akhirnya mengarah kepenampilan keriput.
Dalam kerutan ekspresi, kontraksi otot menyebabkan kontraksi fibroblas dan
dengan ini kontraksi serat kolagen terjadi dan bahkan kemunduran ekstra seluler
matriks juga terjadi di daerah yang terkena. Akibatnya, sifat menghidrasi semua
komponen matriks akan terpengaruh. Krim anti-kerut harus mampu merilekskan
fibroblas, yang akan menguraikan kolagen dan matriks elastin, yang dapat
menentukan dalam mencegah kerusakan fungsi kolagen, seperti tampungan air.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan mengurangi kerut,
pelembapan yang lebih besar tercapai. Foto-foto kerutan pada tikus jantan dan
betina, masing-masing, diambil pada awal danhingga 30 hari perawatan. Dalam
foto-foto itu, dimungkinkan untuk mengamati formulasi yang diteliti apakah
meningkatkan penampilan keriput atau tidak. Setelah 30 hari perawatan dengan
preparat topikal, foto-foto diamati. Tidak ada perubahan kulit pada hewan
kelompok 1 . Pada kelompok 2 (kontrol negatif, saline dengan radiasi UV) tebal
dan keriput yang dalam diamati. Sebaliknya, kelompok 3 (kontrol positif, Resist
Intensive Wrinkle-Repair Retinol Serum dengan radiasi UV) menunjukkan skor
anti-kerut yang lebih baik. Kelompok 4 (Formulasi Krim Minyak Biji Kelor
dengan radiasi UV) menunjukkan hasil yang halus dan memperbaiki permukaan
kulit.
3.4 Hasil
Krim yang diformulasikan dievaluasi untuk berbagai tes evaluasi fisik in vitro
diruangan dan suhu dipercepat hingga 20 hari dan diuji pada berbagai interval.
Formulasi menunjukkan pH 6.0-6.3 dalam suhu kamar dan pH 5,8 - 6,0 pada 40
° C. Krim yang diformulasikan menunjukkan homogenitas yang baik, dapat
menyebar dengan baik, tidak ada perubahan warna dan emolien, tidak
berminyak, dan mudah dihilangkan. Krim minyak biji kelor tidak menunjukkan
19
kemerahan, edema, peradangan dan iritasi selama studi iritasi. Formulasi aman
digunakan untuk kulit dan dipilih untuk studi in vivo lebih lanjut
Tikus tidak berbulu (SKH-1) digunakan untuk studi efisiensi anti-kerut in vivo .
Kulitnya keriput diinduksi oleh radiasi UVB pada 365 nm. Skor anti-kerut
diamati secara visual dengan mengambil foto sebelum perawatan. Setelah 30
hari perawatan dengan formulasi dan standar, skor kerut, jumlah kerutan dan
ukuran keriput diamati secara mikroskopis dan juga dalam foto-foto dan
hasilnya ditabulasi. Pemeriksaan histologis spesimen kulit diwarnai oleh asam
Pinkus'orcein-Giemsametode. Krim minyak biji kelor menunjukkan efek
perlindungan yang lebih baik.
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Formulasi krim anti kerut (antiwrinkle) menggunakan minyak biji kelor
menunjukkan homogenitas yang baik, dapat menyebar dengan baik, tidak ada
perubahan warna dan emolien, tidak berminyak, dan mudah dihilangkan. Krim
minyak biji kelor tidak menunjukkan kemerahan, edema, peradangan dan iritasi
selama studi iritasi. Formulasi aman digunakan untuk kulit dan dipilih untuk
studi in vivo lebih lanjut.
2. Pembuatan krim anti kerut (antiwrinkle) dengan minyak biji kelor menggunakan
metode pengemulsi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. https://stifar.ac.id/ojs/index.php/MFI/article/download/93/74 , diakses pada
tanggal 04 Juli 2020 pukul 13:31 WIB.
2. https://jurnal.ugm.ac.id/TradMedJ/article/download/8214/6368 , diakses pada
tanggal 04 Juli 2020 pukul 13:49 WIB.
3. Duraivel et al. 2014. Formulation and evaluation of Antiwrinkle activity of Krim
and Nano emulsion of Moringa oleifera seed oil. IOSR Journal of Pharmacy and
Biological Sciences (IOSR-JPBS Volume 9.
4. Syamsuni. 2012. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta. Buku
Kedokteran EGC
5. Wasitaatmadja, 1997, Penuntun Kosmetik Medik, Universitas Indonesia,
Jakarta.
6. Ditjen POM. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen.
Kesehatan RI.
7. Anief, M. (2010). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
8. Anonim, 2005, ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product, ASEAN,
Filipina
9. Tranggono, R.I., dan Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
10. Widodo, Hendra.(2013). Ilmu Meracik Obat untuk Apoteker. Yogyakarta:
DMedika
11. Setyaningsih, Dwi, Anton Apriyantono, dan Maya Puspita Sari. 2010. Analisis.
Sensori untuk Industri Pangan dan Argo. Bogor: IPB Press.
12. Ditjen POM. RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
13. Voigt, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi Kelima. Penerjemah:
Soendani Noerono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
14. Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Depkes RI
22
15. Hernani dan Raharjo, M., 2005, Tanaman Berkhasiat Antioksidan, Cetakan I,.
Penebar Swadaya, Jakarta
16. Kusantati H dkk. 2008. Tata Kecantikan Kulit untuk SMK Jilid 3. Jakarta :
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
17. Muliyawan, D., dan Suriana, N. (2013). A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: PT
Elex. Media Komputindo
18. Vierkötter, A. & Krutmann, J. Environmental influences on skin aging and
ethnic-specific manifestations. Dermatoendocrinol
19. Yaar, M & Gilchrest, BA, Photoaging : Mechanism, Prevention and Therapy.
British Journal of Dermatology, Vol. 157, 2007
20. Porcheron, A., Latreille, J., Jdid, R., Tschachler, E., Morizot, F. Influence of
skin ageing features on Chinese women’s perception of facial age and
attractiveness. International Journal of Cosmetic Science, 2014;36:p.312–320.
21. Krisnadi, A.D. 2010. Kelorr Super Nutrisi. Blora: Pusat Informasi dan
Pengembangan Tanaman Kelor Indonesia
22. Fahey, J.W. 2005. Moringa oleifera: A review of the Medical Evidence for Its
Nutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1.USA: Trees for
Live Journal
23. Roloff A, H Weisgerber, U Lang, et al, 2009, Moringa oleifera Lam,.
Enzyklopädie der Holzgewächse, vol. 40
24. Chumark P et al. 2007. The in vitro and ex vivo antioxidant properties,
hypolipidaemic and antiatherosclerotic activities of water extract of
Moringa oleifera Lam, Leaves, Journal of Ethnopharmacology 116 (2008)
23
top related