kebutuhan tabungan sebagai sumber pembiayaan...
Post on 11-Nov-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
JURNAL PENELITIAN KUANTITATIF DIBIDANG ILMU EKONOMI STUDI
PEMBANGUNAN & ILMU MANAJEMEN STMT-TRISAKTI JAKARTA
JL.IPN No.2 Cipinang Besar Selatan, Jakarta 13410
Telp: (021) 856 9372, Fax: (021) 856 9340 LPMTL CENTER OF EXCELLENCE Email: lpmtl@stmt-trisakti.ac.id, Website: www.stmt-trisakti.ac.id
Judul Penelitian
KEBUTUHAN TABUNGAN SEBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN INDONESIA
O
l
e
h
AMRIZAL
Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti
Jakarta, November 2010
2
ABSTRACTS
The 1980s world economic crisis is not to be judged as the main cause of the
prolonged economic weakening until the present day. The most difficult crisis during the
preliminary stages of development in 1967 has been tremendously solved, so it did the
early year of 1982. The prolonged economic weakening began in 1998 right at the early
stage of development effort during the economic reformation era. However small the
influence of the New Regime (orde baru) is felt, the influence does exist, at least the
difficulty of the economic reformation era of development expenses accumulated as
capital formation and economic development.
The economic weakening that strikes the present economic reformation era, is
partially due to the unsuccessful of the New Regime (Orde baru) in arranging economy
by using the existing macroeconomic tool, The New Regime dream of reaching the Take
Off stage is closely related to the Oil Bonanza, Foreign Loan facilities as well as the ever
sustaining high trust level of foreign parties of providing fresh fund to Indonesia in the
past that is difficult to find during the present economic reformation era. The current
picture shows that Foreign parties is now merely focusing more on the overdue of foreign
debt returning of Indonesia, therefore it is quite logical if Indonesia is under extreme
pressure of foreign parties and IMF. The implementation of the present up-raising prices
policy is because Indonesia is in the middle of the extinction of fund and capital
formation for development expenses necessity.
The economic growth rate of Indonesian on mix economic era (1960-2009) for
the past 50 years Indonesia reach a sufficiently high level during the era of the New
regime (1969-1998) which decline drastically and even continue until the economic
reformation government era (1998-2009) which sharply decline in average annually.
Based on the research done on 1997-2002 it is clearly found that the economic growth
underwent a minus downfall in average annually. There is a slight progress of
improvement achieved during the era of economic reformation government (1998-2009)
during SBY terms of office compared to the era of economic reformation government of
(1997-2002) after the era of Megawati Soekarno Purti. However the economic control
and Indonsian development of the New Regime (ordebaru) (1969-1998) led by the late
Gen. Soeharto is far much better rather than both era of Megawati and SBY. The Overall
picture of time line shows that since the era Old Regime (ordelama) (1960-1969), the
New Regime (ordebaru) government era (1969-1998) and during the economic
reformation government era (1998-2009), the Indonesian economic growth has gone
through a sustainable down draft.
3
ABSTRAK
Krisis ekonomi dunia tahun 80-an tidak dapat dikatakan sebagai penyebab utama
terjadinya kelesuan ekonomi yang berkepanjangan hingga dewasa ini. Krisis terberat
ketika menghadapi permulaan usaha-usaha pembangunan tahun 1967 telah dapat diatasi
dengan gemilang, begitu juga dengan yang terjadi pada awal tahun 1982. Kelesuan
ekonomi yang berkepanjangan bermula tahun 1998 persis saat dimulai pula usaha
pembangunan era reformasi ekonomi. Bagaimanapun juga kecilnya pengaruh krisis
zaman ordebaru, maka pengaruhnya tetap ada, paling tidak sulitnya era reformasi
ekonomi menggali sumber pembiayaan pembangunan yang terakumulasi sebagai
pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi.
Kelesuan ekonomi yang melanda era reformasi ekonomi saat ini, sebagian
tersebab karena kurang berhasilnya ordebaru menata ekonomi dengan menggunakan
perangkat makroekonomi yang telah tersedia, mampunya ordebaru bercita-cita tinggal
landas tidak terlepas dari rezeki migas, kemudahan akan pinjaman luar negeri serta masih
percayanya pihak luar negeri mengucurkan dana ke Indonesia masalalu yang tidak
ditemui sekarang pada era reformasi ekonomi. Sekarang malahan pihak luar negeri
malahan terfokus kepada pengembalian utang luar negeri dari Indonesia yang telah jatuh
tempo, sehingga tidak heran negara Indonesia dibawah tekanan fihak asing dan IMF.
Terjadinya kebijaksanaan kenaikan harga yang menjulang tinggi sekarang diperkirakan
karena Indonesia berada pada kelangkaan dana dan pembentukan modal bagi pembiayaan
pembangunan.
Laju pertumbuhan ekonomi pada penelitian ekonomi Indonesia Era ekonomi
campuran (1960-2009) selama 50 tahun Indonesia membangun cukup tinggi dari era
pemerintahan ordebaru (1969-1998) yang mengalami penurunan yang cukup drastis, dan
malahan berlanjut hingga sampai ke era pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009)
yang merosot dengan tajam rata-rata setiap tahunnya. Dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan untuk tahun 1997-2002 bahwa pertumbuhan ekonomi mengalami nilai minus
secara rata-rata per tahun. Jadi ada sedikit kemajuan atau perbaikan yang dicapai pada
era pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009) zaman SBY dibanding dengan era
pemerintahan reformasi ekonomi (1997-2002) pasca Megawati Soekarno Purti
mengendalikan tampuk pemerintahan Indonesia. Bagaimanapun juga pengendalian
ekonomi dan pembangunan Indonsia era pemerintahan ordebaru (1969-1998) Almarhum
Jenderal Soeharto jauh lebih baik daripada kedua zaman Megawati dan SBY tersebut.
Secara keseluruhan, dari masa ke masa secara beruntun terhitung semenjak era
pemerintahan ordelama (1960-1969), era pemerintahan ordebaru (1969-1998) dan era
pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009), laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami pengendoran secara berkelanjutan.
4
1. PENDAHULUAN
Membuat perkiraan tentang perkembangan ekonomi Indonesia dalam jangka
panjang, misalnya sampai akhir abad ini, merupakan pekerjaan yang sulit. Banyak sekali
faktor yang tidak dapat diketahui secara pasti. Meramalkan sesuatu tidak banyak
faedahnya. Akan tetapi, membuat proyeksi-proyeksi, baik secara kuantitatif maupun
kualifitatif, banyak kegunaannya, untuk menjadi lebih sadar akan batas-batas serta
persyaratan-persyaratan potensi pembangunan, dan perkiraan demikian juga dapat
membantu perumusan kebijaksanaan bagi pemerintah dan badan-badan lain yang
berkepentingan.
Memang ada kalangan yang meragukan kualitas pembangunan ini, dan karena itu
pula meragukan keberhasilan pembangunan. Mereka juga menyayangkan pengurbanan
hak-hak serta kemerdekaan politik yang rupanya merupakan biaya kemajuan material
masyarakat. Soal kualitas dari kemajuan itu memang wajar dipertanyakan terus menerus,
di kupas dan di uji. kalau dapat, dengan fakta-fakta serta ukuran yang obyektif. Harus
kita sadari, bahwa semakin meningkat kemakmuran, semakin relevan pameo yang
mengatakan man cannot live by bread alone.
Banyak juga orang berpendapat bahwa kemantapan laju pertumbuhan Indonesia
belum betul-betul dapat diandalkan, belum cukup melembaga, walaupun sudah berjalan
puluhan tahun. Sejarah Republik Indonesia mengalami jangka waktu yang lebih lama
lagi yang dibarengi oleh kekacauan dan kekurang mantapan, dan kekuatan-kekuatan
demikian mungkin masih laten di bawah permukaan yang tampaknya tenang dan
tenteram. Juga ada perasaan umum, bahwa di bidang politik dan sosial perkembangannya
masih kurang memadai. Kurangnya keseimbangan antara hasil pembangunan ekonomi,
politik dan sosial ini, mungkin mengandung benih-benih kemungkinan keguncangan di
kemudian hari, yang akan mendorong mundur proses pembangunan ekonomi.
Kalau kemantapan dan kesinambungan dapat dipertahankan di masa yang akan
datang, maka banyak kemungkinan laju pembangunan akan berjalan terus, malahan ada
kemungkinan terjadinya akselerasi meningkatkan pendapatan maupun pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, kalau suatu keguncangan membuat mundurnya kestabilan politik,
maka momentum dan laju pembangunan juga dapat menurun, seolah-oleh si penderita
mengulangi penyakit lamanya.
Oleh karena itu setiap proyeksi perkembangan ekonomi harus mempunyai asumsi
mengenai perkembangan politik dan sosial. Secara implisit yang dimasukkan di sini
adalah asumsi bahwa dari segi politik dan sosial tidak akan terjadi gangguan-gangguan
yang mengguncangkan atau yang banyak menyulitkan perkembangan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang tergantung dari pengaruh-pengaruh dari
dalam negeri "inward looking" atau dalam masyarakatnya sendri, dan dari pengaruh luar
"outward looking" seperti konjungtur ekonomi negara-negara industri, perluasan
perdagangan internasional, keadaan pasar modal internasional, dan sebagainya.
Mengsiasati pengaruh akan perkembangan ekonomi dari dalam negeri (inward
looking) kita dihadapkan pada sebuah persoalan yang membutuhkan “pilihan alternatif
pengendalian ekonomi dalam hal pembentukan modal sebagai sumber pembiayaan
pembangunan” yang harus disesuaikan dengan “politik, sosial budaya, kultur, sejarah
dan orientasi pembangunan yang harus dijalankan” di negara ini. Sesuai pesan GBHN
bahwa proses pembiayaan pembangunan jangka panjang harus mampu dilakukan atas
5
kekuatan sendiri sedangkan bantuan luar negeri hanya sebagai pelengkap. Indikasi seperti
ini menghadapi kita kepada beberapa persoalan dan pilihan alternatif yang harus
ditindaklanjuti. Persoalan pertama yang membutuhkan pilihan alternatif tersebut adalah:
Mana yang lebih baik dipergunakan selaku sumber pembiayaan pembangunan, pajak atau
tabungan masyarakat?. Simposium internasional mengenai mobilisasi tabungan personal
di negara-negara sedang berkembang, yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa
di Jamaica (1980), mengambil kesimpulan bahwa: "...There was no simple formula to
determine the optimum relationship among government savings, business savings and
personal savings". Dengan nada yang sama Higgins menyatakan: "There is no simple or
general answer to this question" ( Hendra Esmara: 1987, h.11 ).
Peningkatan pajak akan merupakan trade-off terhadap kemungkinan kenaikan
tabungan. Peningkatan pajak yang terlalu tinggi akan dapat merugikan atau mengurangi
tabungan masyarakat, khususnya tabungan dunia usaha. Walaupun pajak akan dapat
memaksa masyarakat menciptakan tabungan melalui bentuk tabungan pemerintah tetapi
dilain pihak ia akan dapat mematikan inisiatif untuk menggerakan dunia usaha.
Sedemikian sulitnya menentukan pilihan antara pengerahan tabungan masyarakat dan
pemungutan pajak, maka dalam analisa jangka panjang kiranya tidak terdapat alternatif
lain, terkecuali melalui penekanan konsumsi secara umum. Hal yang jelas, baik
pendapatan maupun konsumsi yang tersisa setelah dipotong pajak tetap menjadi turun
Beberapa hasil penelitian telah menjawab pilihan alternatif tersebut, yaitu: bahwa
peningkatan tabungan selaku sumber pembiayaan pembangunan melalui pemupukan
tabungan masyarakat adalah dengan melakukan ekspansi kebijaksanaan moneter
(pengembangan pasar uang dan pasar modal) berdasarkan ability and willingness to save,
sedangkan pemungutan pajak hanya dapat terjadi dengan melakukan ekspansi
kebijaksanaan fiskal yang progressif berdasarkan ability to pay. Apabila persoalan
peningkatan tabungan masyarakat dan peningkatan pajak yang berkondisi trade-off ini
harus ditingkatkan secara serempak maka yang korban adalah konsumsi, artinya
Tabungan Domestik Bruto meningkat dan Konsumsi Domestik Bruto menurun secara
bersamaan. Adapun jawaban dengan tindakan semacam ini dengan nyata telah
menghadapkan kita pula persoalan baru kedua yang mendorong mundur proses
pembangunan ekonomi.
Masalah pembiayaan pembangunan mengandung penegertian yang luas sekali.
Kalau bicara masalah pembiayaan pembangunan, maka hubungannya adalah investasi
atau pembentukan modal dan sumber dari pembentukan modal adalah tabungan yang
diakumulasi dari dalam dan luar negeri sebagai suatu ciri khas ekonomi yang bersifat
terbuka. Pembentukan modal atau investasi selalu dianggap sebagai kunci dari
keberhasilan usaha-usaha pembangunan. Bila sekiranya investasi meningkat, dengan
sendirinya, dianggap bahwa laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat pula. Hal ini
akan dapat menaikan pendapatan perkapita. Bila ini terjadi, maka pembangunan dapat
dianggap berhasil. Sebaliknya, bila sekiranya investasi menurun maka hal ini akan
dianggap sebagai pertanda kurang baik bagi pembangunan negara yang bersangkutan.
Kita, disadari atau tidak, terpengaruh sekali oleh jalan pemikiran yang demikian ini
(Hendra Esmara: Ibid, h.27 )
Kebijakan pembangunan ekonomi suatu negara membutuhkan kenaikan secara
serempak semua variabel-variabel agregatif ekonomi termasuk Konsumsi bahkan Impor,
oleh karena disamping kedua variabel agregatif tersebut sebagai variabel tergantung
6
(dependent variable) yang naik turunnya tergantung oleh naik turunnya pendapatan
sebagai variabel independennya. Contoh lain yang menguatkan gagasan ini adalah “High
Mass Consumption” yaitu salah satu dari lima Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ala
W.W Rostow yang terakhir. Sedangkan “capital goods Import” sebagai modal produktif
yang mampu menggerakkan proses produksi dalam negeri dengan produktivitas tinggi.
Sejujurnya bahwa peningkatan tabungan dengan menekan konsumsi tidak
obahnya bagaikan “cetak gol bunuh diri”, maka melakukan ekspansi kebijaksanaan
moneter dan fiskal secara bersamaan melalui pengembangan pasar uang dan pasar modal
secara serempak adalah jawaban terakhirnya. Namun kebijakan pengendalian ekonomi
dengan cara ini membutuhkan aktivitas perdagangan luar negeri melakukan ekspor yang
dapat diharapkan sebagai motor utama penggerak proses pemulihan ekonomi nasional
(agar konsumsi tidak terlalu tertekan), sayangnya harapan ini sangat tidak mudah
diwujudkan (Tambunan, Tulus TH: Februari 2001, h 19), prihal seperti itu persis sama
pula halnya dengan “memangun tanpa inflasi” bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
(R.M Sandrum: 1983, h. 305).
Kemudian dilengkapi pula dengan orientasi pembangunan di Indonesia,
nampaknya terfokus kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat (rapid growth). Tindakan
semacam ini dengan nyata juga telah menghadapkan kita pula kepada persoalan baru
ketiga yang mengorbankan dua buah orientasi pembangunan Indonesia seperti
pemerataan dan kesempatan kerja. Beberapa hasil penelitian telah menyimpulkan, yaitu:
Orientasi pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka yang tumbuh
cepat adalah para konglomerat, hingga terjadinya jurang yang semakin melebar antara
“konglomerat dengan konglomelarat” atau terjadinya tingkat pemerataan pendapatan
yang semakin timpang (jauhnya perbedaan antara masyarakat kaya dengan yang miskin),
secara bersamaan terjadi pula kondisi kesempatan kerja yang semakin mengecil dan
banyaknya penganguran. Apabila dilakukan Orientasi pembangunan dengan alasan
pemerataan, maka yang rata adalah kemiskinan. Orientasi ekonomi semacam ini
berakibat menurunnya pertumbuhan ekonomi yang secara bersamaan menimbulkan
terjadinya PHK, oleh karena pembiayaan pilar-pilar produksi menjadi terabaikan.
Kemudian apabila dilakukan orientasi pembangunan dengan alasan kesempatan kerja
penuh (full-employment) dan kalau ini dipaksakan, maka yang terjadi tingkat inflasi
menjulang tinggi dan Utang LN semakin menebal. Orientasi ekonomi semacam ini
berakibat menurunnya pertumbuhan ekonomi yang secara bersamaan berakibat terjadinya
kondisi ekonomi biaya tinggi (high cost-economic) yang harus dibiayai oleh pinjaman
LN sebagai dana eksternal bagi pembiayaan pembangunan.
Agaknya kalau kita tidak salah menilai, bahwa ketiga-tiganya orientasi
pembangunan yang dimaksud sudah pernah dilakukan semuanya dalam mengendalikan
ekonomi nasional Indonesia oleh para pemimpin bangsa menurut era kepemimpinannya
masing-masing, antara lain: Era ordelama (Alm Soekarno) barangkali tidak perlu
dimasukan karena negara masih baru merdeka, namun orientasi ekonomi yang dijalankan
sepertinya adalah ketiga-tiganya secara serempak sehingga jalannya proses pembangunan
ekonomi menjadi tidak sempurna kalau dibaca dari kacamata sekarang. Era ordebaru
(Alm Soeharto & Bj Habibie), orientasi pembangunan yang dilakukan adalah
pertumbuhan ekonomi yang pesat (rapid growth) dan dizaman beliau inilah kita temui
banyak konglomerat. Era reformasi ekonomi (Alm Gusdur dan Hj. Megawati Soekarno
Putri), orientasi pembangunan yang dilakukan adalah pemerataan dan dizaman beliau
7
inilah pulalah kita temui banyaknya rakyat yang miskin, sedangkan Era reformasi
ekonomi (SBY) sepertinya ketiga orientasi pembangunan tersebut dilakukan secara
bersamaan sehingga baik pertumbuhan ekonomi, pemerataan bahkan kesempatan kerja
naik lamban secara bersamaan.
Rupanya pengendalian ekonomi yang baik agar terlepas dari semua persoalan
haruslah dijalankan dengan super kehati-hatian ibarat “menarik ramput dalam tepung,
rambut jangan putus dan tepung tidak berserakkan” semua bidang ada ahlinya dan
serahkan bidang-bidang tersebut kepada ahlinya masing-masing. Tukang potong rambut,
jelas tidak akan beres kalau dianya memotong rambutnya sendiri, dan begitu pula dengan
tukang sunatan tidak akan mampu pula menyunat dirinya sendiri, artinya bahwa
pengambil keputusan tidak boleh egoistis bakal menguasai kemapuan orang lain yang
diluar kemampuannya sendiri, takutnya kita salah perhitungan, diibaratkan kalau seorang
dokter salah suntik yang mati hanya satu orang dan kalau ekonom salah keputusan
mungkin yang mati adalah ribuan atau jutaan orang, bagaimana kalau pemimpin yang
salah melakukan kebijakan ekonomi maka yang mati mungkin puluhan juta orang. Jadi
baik pahala atau dosa yang besar tetap diperuntukan terhadap pimpinan yang besar pula
demikian selanjutnya.
Persoalan pertama, kedua dan ketiga semuanya mempunyai tujuan yang sama,
yaitu melakukan aktivitas “mobilisasi tabungan dan investasi” dan upaya memperkecil
terjadinya kesenjangan-kesenjangan ekonomi. Sejarah mencatat, negara yang tidak
mempunyai tabungan dalam negeri yang cukup untuk membiayai pertumbuhan ekonomi,
umumnya menutup kesenjangan pembiayaan pembangunannya dengan mencari sumber-
sumber dari luar negeri. Belajar dari sikap dan pengalaman beberapa negara eropah barat
yang sekarang dikenal sebagai negara maju, telah berhasil dengan pesat meningkatkan
aktivitas ekonominya melaui bantuan yang dikenal dengan sebutan “Marshall plan”
(Tambunan, Tulus TH: 2008, h 1) pascaperang dunia (PD) II pada dekade 1950-an
tersebut, telah membawa kita pula untuk lebih banyak melihat keluar "outward looking"
dibanding dengan melihat kedalam "inward looking".
Melalui orientasi demikian, maka kampanye untuk menarik modal asing lebih
ditekankan kepada tersedianya pasar dalam negeri yang cukup besar bagi produk yang
akan dihasilkan penanaman modal tersebut. Disamping itu ditekankan pula rendahnya
biaya produksi, terutama sekali rendahnya upah buruh, sebagai faktor yang akan
menguntungkan penanaman modal. Ini berarti usaha-usaha untuk menarik penanaman
modal asing lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Dengan
mempergunakan ukuran pendapatan per kapita sekaligus dapat dipecahkan dua
permasalahan pokok sekaligus. Kenaikan jumlah pendapatan dan kenaikan jumlah
penduduk. Dengan terjadinya kenaikan jumlah pendapatan perkapita, tersirat pula
didalamnya adanya keharusan laju kenaikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan
dengan laju kenaikan jumlah penduduk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
penghalang utama bagi pembangunan negara-negara sedang berkembang dan bahkan
menjadi semacam pola pemikiran adalah masalah kekurangan modal.
Berkembangnya pola pemikiran ini tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan
Marshall Plan didalam membangun kembali eropah sebagai kehancuran perang dunia
kedua, sehingga tidak begitu heran kalau pola pemikiran demikian ingin pula untuk
diterapkan pula terhadap negara-negara sedang berkembang. Bersamaan dengan itu
mengenai teori tahap-tahap pembangunan yang dikemukakan W.W Rostow bahwa
8
negara-negara maju sekarang tersebut telah menempuh lima tahap pembangunan, yaitu:
(1). Tahap masyarakat tradisionil, (2). Tahap prakondisi untuk tinggal landas, (3). Tahap
tinggal landas, (4). Tahap menuju kedewasaan dan (5). Tahap Konsumsi massa yang
tinggi.
Pengendalian ekonomi menghadapi kesenjangan-kesenjangan ekonomi seperti
“krisis sumber pembiayaan pembangunan” yang dapat berakibat laten terhadap
“Perubahan Stoks Modal” yang dipersiapkan menjadi terbatas dan mengalami
penurunan. Padahal oleh Keynes sendiri, bahwa Perubahan Stoks Modal tersebut
merupakan Investasi, secara sederhana investasi tersebut berasal dari tabungan dan
tabungan itu sendiri diperoleh dari pendapatan yang tidak dikonsumsi, sehingga dari
sudut penerimaan (income side), adalah merupakan sisa dari pendapatan yang tidak
dikonsumsi (J.M. Keynes: 1967, h.63 ), sebenarnya dan apabila dijalankan dengan super
hati-hati akan mendorong maju proses pembangunan ekonomi, dan sebaliknya bila
dijalankan dengan ketidak hati-hatian akan menimbulkan berbagai persoalan distorsi
ekonomi berkepanjangan yang mendorong mundur proses pembangunan ekonomi.
Pengendalian ekonomi dapat dilkukan dengan cermat untuk mencapai keberhasilan dan
beraktivitas “bagaikan baling-baling diatas bukit”, berputar kearah darimana kuat angin
yang datang. Artinya bila tidak mampu digerakkan dari aktivitas sumber dalam negeri,
maka boleh bernafas keluar badan yaitu digerakkan dari aktivitas sumber luar negeri.
Itulah sebabnya bahwa pengendalian ekonomi dilandasi dengan berbagai alasan
yang menyebutkan “kenapa pengalaman suatu negara dalam membangun ekonominya
berbeda dengan negara-negara lain”. Keadaan yang membedakan tersebut ternyata tidak
terlepas dari pengaruh sistem perekonomian atau orientasi pembangunan ekonomi yang
diterapkan, pembangunan infrastruktur fisik dan sosial yang dilakukan, dan tingkat
pembangunan yang telah dicapai pada masa lampau, yakni pada zaman penjajahan
“kolonialisasi”(Tambunan, Tulus TH: Agustus 2001, h. 17).
Secara umum bisa saja berkaitan dengan sejarah sebelum merdekanya negara
tersebut. Namun demikian kalau dipersempit gerak-gerik ekonomi masa lalu tersebut,
tentunya kondisi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya terjadi adalah setelah
diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan baru beberapa
tahun kemudian dilaksanakanlah kiat-kiat yang semangkin terarah bahkan terencana dan
dapat diperhitungkan pula kedalam berbagai era kepemimpinan yang meliputi pada tujuh
(7) periode, yakni: Pada tahun pertama Indonesia setelah merdeka (Agustus 1945-1950),
zaman pemerintahan ordelama (1950-1966), pemerintahan ordebaru (1966-Mei 1998),
Pemerintahan transisi (Mei 1998-November 1999), pemerintahan Gusdur (2000-2001),
pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004) dan pemerintahan SBY yang
dimulai tahun 2004-sekarang (Tambunan, Tulus TH: September 2003, h 2).
Khususnya pada tahun pertama Indonesia setelah merdeka keadaan ekonomi
sangat buruk sekali, kondisi yang memprihatinkan antara lain adalah defisit neraca
pembayaran dan defisit keuangan pemerintah yang sangat besar, ekonomi nasional boleh
dikatakan mengalami stagflasi1, tingkat inflasi sangat tinggi hingga mencapai lebih dari
500 % menjelang akhir era ordelama. Semua ini disebabkan oleh berbagai faktor 1 Pengertian stagflasi adalah stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti dengan tingkat inflasi yang
tinggi.
9
diantaranya adalah pendudukan Jepang2, perang dunia II, perang revolusi, dan
manajemen makro yang sangat jelek3.
Dari tahun 1949 hingga tahun 1956 pemerintah Indonesia menerapkan suatu
sistim politik yang disebut “demokrasi liberal”, setelah itu terjadi transisi ke sistim
politik yang disebut “demokrasi terpimpin”, yang berlangsung dari tahun 1957 hingga
1965. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada zaman demokrasi terpimpin kekuasaan
militer disaat almarhum presiden Soekarno menjabat sangatlah besar, sedangkan pada
periode demokrasi liberal kekuasaan ada ditangan sejumlah partai politik, dua
diantaranya partai yang paling besar diawaktu itu adalah Partai Masjumi dan Partai
Nasional Indonesia (Tambunan, Tulus TH: Op-cit, Agustus 2001, h. 18).
Dapat dikatakan bahwa Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat
demokratis pada periode 1949-1956 tersebut. Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukan
bahwa sistim politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran dan
perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya
ingin berkuasa, sering terjadi konflik antar partai politik. Konflik politik tersebut
berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk membentuk suatu
kabinet pemerintah yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya4.
Pada akhir bulan september 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai
puncaknya dengan terjadinya “kudeta yang gagal” dari Partai komunis Indonesia (PKI).
Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam
negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistim ekonomi yang dianut Indonesia pada
masa ordelama5.
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan ordebaru.
Barebeda dengan pemerintahan ordelama, dalam era ordebaru ini perhatian pemerintah
lebih ditujukan pada “peningkatan kesejahteraan masyarakat” lewat pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan ordebaru menjalin kembali hubungan baik
dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali
menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga dunia lainnya, seperti
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). 2 Pada zaman pendudukan jepang di Indonesia, kegiatan produksi yang mendukung kekuatan perang jepang
di Asia Tenggarasangat tinggi hingga terjadi eksploitasi, khususnya di sektor pertambangan (terutama
minyak bumi) dan sektor pertanian (terutama karet dan kayu). Sedangkan produksi barang-barang untuk
kebutuhan konsumsi nonmiliter didalam negeri terhenti karena semua faktor produksi , seperti kapital dan
tenaga kerja yang ada dikerahkan ke industri-industri untuk keperluan militer Jepang . 3 Lihat juga Glasburner (1971). 4 Pada masa politik demokrasi itu, tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur dari setiap kabinet hanya
sekitar 2 tahun. Waktu yang sangat pendek ini disertai dengan banyaknya keributan internal didalam kabinet tentu tidak memberi kesempatan maupun waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk
memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang pada saat itu, apalagi menyusun suatu
program pembangunan dan melaksanakannya. 5 Yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semi kapitalis, padahal sebenarnya perekonomian Indonesia
menurut UUD 1945 menganut suatu sistem yang yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau
koperasi berdasarkan ideologi Pancasila, meskipun dalam praktek sehari-hari pada era pemerintahan
ordebaru sekalipun hingga berlanjut ke era berikutnya yang ada sekarang bahwa pola perekonomian
nasional lebih cenderung memihak ke sistem kapitalis sebagaimana yang dianut USA dan negara-negara
industri maju lainnya, yang oleh karena pelaksanaannya tidak baik telah pula menyebabkan munculnya
berbagai kesenjangan distorsi ekonomi di tanah air yang sangat terasa pada saat setelah perekonomian
mengalami krisis.
10
Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan “pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi
di dalam negeri”. Sasaran dari kebijaksanaan tersebut terutama adalah untuk menekan
kembali tingkat inflasi, menguragi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan
kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor, yang sempat mengalami stagnasi pada masa
ordelama. Usaha pemerintah tersebut ditambah dengan rencana pembangunan lima tahun
secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh oleh negara-negara
Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia, IMF dan
ADB dibentuk suatu kelompok konsersium yang disebut IGGI beranggotakan sejumlah
negara maju termasuk Jepang dan Belanda dengan tujuan “membiayai pembangunan
ekonomi di Indonesia” Boleh dikatakan bahwa pada saat itu Indonesia sangat beruntung6.
Disadari atau tidak, sepanjang proses maupun aktivitas perekonomian mulai
menanjak bahwa pemanfaatan utang luar negeri atau bantuan luar negeri sebagai sumber
pembiayaan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan sosial. Bukan hanya di negara-negara sedang
berkembang (NSBs), termasuk Indonesia, bahkan dinegara-negara yang sekarang dikenal
sebagai negara maju secara bersamaan telah sependapat dengan motto terkenal pembawa
keberhasilan pesat peningkatan aktivitas ekonomi suatu negara tentang “pembangunan
kembali perekonomian negara-negara eropah barat pascaperang dunia (PD) II pada
dekade 1950-an melalui bantuan dana yang sangat besar dari USA yang terkenal dengan
sebutan “Marshall plan” (Tambunan, Tulus TH: 2008, h 1).
Bagi NSBs, yang perekonomiannya masih sangat tergantung pada
pinjaman/bantuan luar negeri, ekspor, khususnya produk-produk dengan nilai tambah
yang tinggi sangatlah penting. Khususnya Indonesia baru merasakan dampak negatif
daripada pinjman luar negeri tersebut ketika menghadapi berbagai krisis ekonomi
sehingga membuat negara ini nyaris bangkrut, ekspor diharapkan dapat menjadi motor
utama penggerak proses pemulihan ekonomi nasional. Sayangnya harapan ini sangat
tidak mudah diwujudkan (Tambunan, Tulus TH: Februari 2001, h 19). , karena dalam
jangka pendek pinjaman luar negeri meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dalam
jangka panjang berdampak negatif terhadap pertumbuhahn ekonomi suatu negara
(Voivodas, Contantin S: March 1973, h 347).
Untuk mempertajam analisis dan temuan-temuan empiris yang disesuaikan
dengan data-data yang tersedia tahun 1960 s/d 2009 adalah persis sama selama 50 tahun
Indonesia membangun., dimana dari ketujuh (7) periode yang digariskan diatas
dipersempit lagi menjadi empat (4) periode perhitungan saja, yaitu: Era ekonomi
campuran (1960-2009), era pemerintahan ordelama (1960-1969), era pemerintahan
ordebaru (1969-1998) dan era pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009)
Apakah sebenarnya yang dihadapi ekonomi Indonesia dewasa ini ?. Dengan
mengetahui permasalahan yang sebenarnya, tidaklah begitu sukar untuk mengatasi
kelesuan ekonomi yang berlangsung dewasa ini. Namun demikian, untuk mengetahui 6 Oleh karena dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan perubahan sistem politiknya secara
drastis , dari yang “pro” menjadi “anti” komunis, Indonesia dapat bantuan dana dari pihak barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sangat anti komunis dan sedang berusaha
secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas dimata kelompok dunia Barat.
Pada saat itu belum ada krisis utang luar negeri dari kelompok NSB seperti pada dekade 1980-an boleh
dikatakan bahwa perhatian Bank Dunia saat itu dapat dipusatkan sepenuhnya kepada Indonesia.
11
permasalahan itu sendiri tidaklah begitu mudah. Dalam beberapa hal, kita hanya
mengetahui sebahagian kecil saja dari permasalahan yang dihadapai. Berdasarkan
pengetahuan yang serba terbatas ini, dirumuskan kebijaksanaan ekonomi, yang dalam
banyak hal, kurang berhasil mengatasi kelesuan tersebut.
Banyak kalangan menganggap bahwa kebobrokan ekonomi selama era
pemerintahan reformasi disebabkan sebagai akibat tidak mampunya pemerintahan
ordebaru mengendalikan roda pembangunan selama masa kepemimpinannya. Paling
tidak ordebaru telah gagal mencapai era "terciptanya kerangka landasan bagi bangsa
Indonesia" yaitu berupa tinggal landas dengan runtunan janji dalam Pelita IV, Pelita V
bahkan hingga sampai pula pada Pelita VI yang telah lalu. Lebih pelak lagi bahwa
kegagalan pelaksanaan dan pengendalian ekonomi sekarang dikatakan tersebab karena
warisan suram masa lalu selama era pemerintahan ordebaru.
Ada istilah kuno yang kiranya dapat lebih dipopulerkan untuk masa-masa
sekarang “tiada gading yang tidak retak”, bagaimanapun juga gegalan mengatasi
kelesuan ekonomi yang terjadi semasa berlangsungnya ordebaru, tepatnya bermula
sekitar dasawarsa tahun 80-an disebabkan karena terjadinya Resesi ekonomi dunia.
Dengan terjadinya resesi tersebut, hingga minyak bumi dan juga komoditi non migas
lainnya menurun secara drastis. Penurunan harga ini telah menyebabkan pula terjadinya
penurunan penerimaan negara. Hal ini telah pula menyebabkan terjadinya penurunan
kemampuan penciptaan tabungan pemerintah, sehingga untuk pertama kalinya dalam
pemerintahan ordebaru Anggaran Pembangunan Negara menurun. Relevansi dari turunya
Anggaran Negara, disamping tabungan pemerintah telah turun dan telah merambah
kepada turunya Tabungan Domestik, Investasi, Pendapatan Nasional bahkan Laju
Pertumbuhan ekonomi secara serempak dan bersamaan turun secara drastis.
Dari dilematis resesi ekonomi dunia tersebut berbuntut pada Indonesia hinga pada
tahun 1982-1986 Indonesia mengalami masa Resesi Ekonomi. Selama masa tersebut
tidak terbilang banyaknya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah untuk menanggulangi
dilema tersebut dan yang sangat berkesan sekali tahun 1983 diadakan kebijaksanaan
“Deregulasi dan Derebiroktisasi” kemudian September 1986 diadakan Kebijaksanan
“Devaluasi Rupiah Terhadap Dollar”. Ditandai dengan devaluasi rupiah tersebut barulah
Indonesia keluar dari masa resesi ekonomi, pada tahun 1987 Indonesia mulai kembali
menyesuaikan diri terhadap globalisasi ekonomi dunia. Dilema ekonomi yang terjadi
berupa “Resesi Ekonomi” adalah pukulan terberat yang membuat gagalnya atau tidak
terpenuhinya cita-cita bangsa untuk tinggal landas pada Pelita IV dan tidaklah heran
kalau pemerintahan ordebaru masih ingin membuktikan cita-cita tersebut pada PelitaV
dan PelitaVI masih optimis akan terwujud…..sayang seribu kali sayang masyarakat sudah
naik pitam atas lamanya Soeharto memimpin negara ini hingga lengsernya soeharto tidak
terlepas pula sebagai akibat ketidakpuasan rakyat banyak.
Begitu masuknya peralihan pemerintah ordebaru ke Reformasi Ekonomi saat
mulainya BJ Habibie sebagai Presiden syah ketiga di Indonsia, dilema krisis
multidimensi mewarnai tanah air secara besar-besaran. Khusus krisis dibidang ekonomi
telah terjadi “Ketidakseimbangan Kurs Rupiah terhadap Dollar yang sangat mencolok
sekali” dimana tahun 1998 mencapai US $ 1 = Rp 17.000,- dan nama krisis ekonomi
yang sangat berkesan sekali dipikiran kita semua lebih akrab dikenal sebagai “Krismon”.
Pada saat dimulainya era pemerintahan reformansi ala Habibie Indonesia bagaikan
tenggelam kejurang yang sangat dalam sekali, masih terikat dengan krisis yang multi
12
dimensional, Indonesia mengalami “Keterpurukkan Ekonomi”. Reaksi bangsa pada
umumnya atas keterpurukan ekonomi yang demikian itu telah pula menimbulkan krisis
baru yang bernama “Krisis Ketidakpercayaan” terhadap para pemimpin dan pejabat-
pejabat negara yang mengendalikan kemudi negara ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan.
Disadari atau tidak masa membangun sudah berjalan cukup lama, harapan-
harapan masa lalu telah sirna dan hilang begitu saja, krisis demi krisis belum luput
dimata. Krisis yang sangat marak dan mewarnai tanah air semenjak era reformasi” adalah
“seringnya pemerintah mengambil kebijakan dibidang kenaikan Harga Migas, dan pada
Januari 2003 ini bukan hanya kenaikan harga Migas, akan tetapi berlanjut kepada
kenaikan Tarif Listrik dan Telepon”. Agaknya mungkin pula menjadi suatu catatan
penting bigi kita semua bahwa untuk pertama kali pemerintah terpaksa mengurungkan
niatnya “mencabut kembali buat sementara kebijakan yang telah diambil” oleh karena
ditentang masyarakat banyak.
Setelah lengsernya pemimpin ordebaru keadaan demi keadaan semakin hangat
menyelimuti bangsa yang selama ini tempaknya tenang dan tenteram saja. Partai politik
semakin banyak, pimpinan negara berganti dengan cepat sebelum habis masa jabatannya,
kesempatan kerja bagi rakyat banyak semakin sempit, pengangguran semakin bertambah,
jumlah penduduk semakin banyak, kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok semakin
menjulang tinggi “masyarakat hidup dalam pola ekonomi biaya tinggi”, asset penting
negara seperti Indosat terjual kepada negara asing.
Apakah ini yang dinamakan “krisis mutidimensional”?, pemerintah tampaknya
semakin kasak kusuk mencari sumber dana Anggaran pembangunan Negara semakin
defisit berkepanjangan, sektor pemerintah, khususnya penerimaan dalam negari yang
bersumber dari penerimaan Pajak dan penerimaan non pajak semakin menjadi sektor
primadona pemerintah saat ini oleh karena sektor masyarakat dunia usaha dan perbankan
dan bahkan sektor luar negeri tidak bisa diharapkan lagi. Kenapa hal seperti ini sampai
terjadi ? “Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api!”
Sekarang kita kembali kepada permasalahan semula…Apakah memang krisis
ekonomi dunia atau kerungmampuan ordebaru mengendalikan negara yang dianggap
sebagai “kambing hitam” yang membuat terjadinya krisis ekonomi bekepanjangan di
Indonesia?. Mungkin Resesi ekonomi merupakan permasalahan, sebagaimana juga
halnya dengan negara-negara lainnya. Tetapi resesi, sebenarnya, merupakan sebahagian
dari permasalahan yang kita hadapi tersebut. Krisis ekonomi yang berkepanjangan itu
disebabkan oleh “Kelangkaan Sumber Pembiayaan Pembangunan” yang disebabkan oleh
banyak hal pula.
2. KRISIS SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Ketajaman perumusan permasalahan akan merupakan kunci dari keberhasilan
pembangunan itu sendiri. Hal ini terlihat dengan jelas ketika kita memulai usaha-usaha
pembangunan, dalam pemerintahan ordebaru, menjelang akhir dasawarsa enampuluhan.
Dengan tepat dikemukakan bahwa permasahan yang dihadapi selama puluhan tahun
dalam pemerintahan ordelama adalah:
Ekonomi diabadikan kepada politik. Prinsip-prinsip ekonomi yang rasionil diabaikan. Akibat langsung dari
hal ini adalah kemerosotan ekonomi yang dibarengi dengan proses Hyper inflasi yang semakin gawat.
Kekurangan terasa dibanyak bidang, seperti pangan, tekstil dan alat-alat produksi, spare parts, bahan baku
13
dan lain-lain. Sistem irigasi, perkebunan, pertambangan, pabrik, jaringan jalan, listrik, air minum, kereta
api, landasan penerbangan, pelabuhan dan fasilitas telekomunikasi praktis terbengkalai (Replita 1969/70-
1973/74: Jilid I, hal 11).
Dengan memperhatikan masalah tersebut, langkah-langkah kebijaksanaan
pembangunan yang diambil pemerintah ordebaru adalah:
Menghentikan Proses kemerosotan ekonomi dan membenahi landasan yang sehat bagi pertumbuhan
ekonomi yang wajar. Untuk memungkinkan ini diperlukan terlebih dahulu pengendalian laju inflasi dan usaha rehabilitasi ekonomi. Hanya apabila laju inflasi telah dapat dikendalikan dan suatu tingkat
rehabilitasi tercapai, barulah dapat diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya
kesempatan bagi peningkatan produksi (Repelita I, Ibid., h.13).
Inflasi yang tinggi dianggap merupakan musuh nomor satu pada waktu itu.
Pengalaman dimasa lampau ini telah menempatkan inflasi sebagai musuh nomor satu ,
dan ketakutan terhadap inflasi sedemikian besarnya, sehingga dalam hal-hal tertentu akan
dapat mengorbankan laju pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja.
Memangun tanpa inflasi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Namun jalan yang
ditempuh Indonesia dalam mengatasi inflasi tersebut dikemukakan secara tepat oleh
Sandrum sebagai berikut:
A more appropriate method of controlling an inflation in LDC without sacrificing economic growth is to
given an adequate amount of assistance to deal with the balance of payment deficit over a longer period of time. This was in fact, the approach followed by the IMF, in its assistance to Indonesia in the period 1966-
1968, which resulted in one of the most remarkable cases of the speedy control of inflation without
reducing the rate of growth and, in fact, raising it (R.M Sandrum: 1983, h. 305).
Kebijaksanaan ekonomi diwaktu itu tetap dilanjutkan dengan pesat. Rendahnya
tingkat inflasi telah dimungkinkan berkat pinjaman luar negeri….yang merupakan pula
tabungan eksternal. Pinjaman luar negeri ini, pada dasarnya, harus merupakan pelengkap
terhadap tabungan pemerintah. Namun demikian, pengalaman selama tiga dasawarsa
belakangan ini, memperlihatkan bahwa pinjaman luar negeri, sebenarnya, telah
menggantikan peranan tabungan pemerintah. Kesukaran-kesukaran dalam meningkatkan
tabungan pemerintah, melalui peningkatan penerimaan non-migas, telah menyebabkan
perhatian lebih terfokus kepada usaha-usaha peningkatan pinjaman luar negeri.
Baik kebijaksanaan fiskal maupun kebijaksanaan moneter waktu itu tidak
mendukung usaha-usaha untuk meningkatkan tabungan dalam negeri. Kemampuan
peningkatan tabungan pemerintah, meskipun meningkat dari 1,7 % menjadi 8,2 % selama
periode 1970-1983 dari PDB terutama terjadi karena pengaruh kenaikan penerimaan
pajak perseroan Migas. Pajak perseroan Migas tersebut, sebenarnya, bukanlah merupakan
penerimaan dari dalam negeri, tetapi merupakan Pajak yang dikenakan terhadap negara
konsumen. Ini berarti, peningkatan penerimaan pemerintah bukanlah disebabkan karena
tindakan-tindakan kebijaksanaan fiskal yang ketat tetapi semata-mata kerena kejadian
yang berada di luar ruang gerak kebijaksanaan fiskal.
Sebaliknya, kebijaksanaan fiskal dalam usaha peningkatan penerimaan
pemerintah diluar Migas juga tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Setidak-
tidaknya sampai akhir tahun 1983, tidak begitu heran apabila penerimaan dari sektor non-
migas menurun dari 8,5 % menjadi 6,7 % dari PDB selama periode yang sama.
Kemudian defisit Anggaran Belanja pemerintah pusat yang selalu ditutupi dengan
14
pinjaman luar negeri, telah pula menyebabkan usaha-usaha untuk meningkatkan
penerimaan dari sektor non-migas dianggap tidak begitu diperlukan. Pinjaman luar
negeri, telah meningkat dari 3,7 % menjadi 5,3 % dari PDB dalam periode yang sama.
Dampak peningkatan penerimaan pemerintah dari kenaikan harga Migas bukan saja
mempengaruhi penerimaan dari sektor diluar minyak bumi tetapi juga menurunkan usaha
peningkatan penerimaan asli pemerintah daerah. Defisit yang terjadi dalam Anggaran
Pemerintah Daerah selama ini ditutupi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat.
Kebijaksanaan fiskal pemerintah daerah, sebagaimana halnya pemerintah pusat tidak pula
mendukung usaha-usaha peningkatan disatu pihak, dan tabungan pemerintah daerah
dilain pihak.
Dapat dikatakan, bahwa terdapat semacam kesalahan teknis pertama yang pernah
dilakukan pemerintah selama ordebaru, adalah mengabaikan peranan kebijaksanaan
fiskal selaku suatu alat untuk menghimpun tabungan pemerintah. Pada dasarnya kita
tidak melakukan usaha apa-apa selama dasawarsa tujuhpuluhan, mengingat rezeki
minyak bumi yang cukup besar. Kita lupa bahwa keadaan yang demikian itu tidak akan
mungkin berlangsung terus, sehingga ketika harga minyak bumi mulai menurun barulah
mulai dilakukan usaha-usaha untuk mengadakan reformasi perpajakan, dan tindakan ini
dapat dianggap terlambat.
Kebijaksanaan moneter, sebagaimana halnya juga dengan kebijaksanaan fiskal,
paling tidak sebelum 1 Juni 1983 tidak pula mendorong terciptanya tabungan masyarakat
melalui sektor perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Selama kurun waktu
1970-1983 jumlah tabungan masyarakat, baik tabungan dunia usaha maupun rumah
tangga (termasuk usaha-usaha rumah tangga) telah meningkat dri 9,6 % menjadi 20,2 %
dari PDB. Sebaliknya, tabungan masyarakat yang dapat diserap sektor perbankan telah
dapat mencapai sekitar sepertiga dari seluruh tabungan masyarakat tersebut.
Sehubungan dngan potensi tabungan masyarakat tersebut, agar tersalur ke wadah
resmi tidak pula dianggap gampang. Paling tidak, pertama menjadikan arah pola ekonomi
“non-biaya tinggi”, kemudian kemudahan-kemudahan masyarakat menjangkau pasar
uang tersebut yang disertai dengan tingkat bunga yang menarik sehingga dengan cara
yang demikian itu berarti peranan pasar uang non formal dapat digalakkan. Pengalaman
masa lalu itu, paling tidak sampai 1 Juni 1983 masih besarnya gap antara pasar uang
informal dengan pasar uang formal. Kemudian pada pasar uang formal, masih terdapat
tingkat suku bunga yang kurang menggairahkan penabung. Disamping itu terdapat
anggapan bahwa petani miskin didaerah pedesaan tidak mempunyai kemampuan
menabung telah menyebabkan pasar uang formal atau yang terorganisir kurang menaruh
perhatian terhadap potensi yang terdapat didaerah pedesaan. Hal ini telah membuka
peluang yang lebih besar bagi pasar uang informal untuk memanfaatkan tabungan yang
terdapat di daerah pedesaan bagi keperluan petani-petani di daerah tersebut. Namun
demikian, tidak pula dapat dihindari bahwa suku bunga yang dikenakan bagi pemakaian
tabungan tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan suku bunga pasar uang formal.
Dibidang moneter sampai juni 1983, dapat dikatakan sebagai kesalahan yang
kedua, yaitu mengabaikan potensi tabungan masyarakat selaku sumber pembiayaan
pembangunan. Sebagaimana halnya dengan kebijaksanaan fiskal, deregulasi perbankan
yang diadakan pada tanggal 1 juni 1983 dapat pula dianggap terlambat.
Kemudian sehubungan masalah perdagangan luar negeri serta neraca
pembayaran, pada dasarnya “neraca perdagangan Indonsia” selalu surplus sebagaimana
15
halnya dengan APBN. Surplus yang terjadi tersebut sebagaian besar disebabkan karena
terjadinya kenaikan harga Migas selama dasawarsa tujuhpuluhan dan kurang
merefleksikan kenaikan kuantitas komoditi non-migas. Sebaliknya, tanpa Migas, neraca
perdagangan luar negeri Indonesia akan defisit.
Dengan terjadinya jumlah peningkatan penerimaan devisa yang cukup besar dari
sektor migas, perhatian terhadap usaha-usaha peningkatan ekspor non-migas menjadi
terabaikan. Walaupun terdapat langkah-langkah kearah itu, namun ekspor non-migas
lebih banyak dilakukan melalui subsidi ekspor yang tinggi, hal ini talah menyebabkan
ekspor komoditi non-migas tidak kompetitif untuk bersaing pada pasar luar negeri.
Adalah kesalahan yang ketiga telah dilakukan Indonesia yang kurang berhasil
memperluas dasar ekspor non-migas dimasa lampau.
Semua kita menyadari bahwa kondisi perekonomian berada dalam dilema yang
serba sulit. Namun demikian, tidaklah ada alasan untuk menuju kemasa depan gemilang,
dengan menjadikan keadaan masa lalu sebagai pelajaran. Proses ekonomi masih berjalan
ditanah air, masalah yang dihadapi banyak sekali ragamnya. Satu-satunya masa-masa
gemilang penyaluran aspirasi daerah yang telah lama ditunggu-tunggu daerah selama ini
telah dilakukan oleh pemerintah yaitu berupa “Otonomi Daerah”. Keberhasilan daerah
bagaimanapun juga adalah keberhasilan kita dan begitu juga sebaliknya kemunduran
daerah adalah bencana bagi kita semua. Tentang hasil daerah tersebut sampai saat ini
masih belum bisa dibaca oleh kacamata ekonomi, namun demikian, katakanlah
pemerintah pusat sebagai wasit, dan sementara itu hendaklah mencurahkan perhatian
kemasalah masa lalu, katakanlah “Belajar dari kesalahan”.
Dengan pengkajian ulang sekelumit perekonomian Indonesia masalalu dalam
kacamata menghadapi krisis demi krisis hingga terjadi sampai saat ini terungkap
beberapa kesalahan yang tidak terlihat selama ini. Dampak resesi yang mempengaruhi
Indonesia telah menyadarkan kita untuk tidak akan mengulanginya lagi, khususnya era
reformasi sekarang haruslah sangat mencermati, dan seandainya perhatian kurang
tercurah intuk itu, berarti seolah-olah “sipenderita akan mengulangi penyakit lamanya”.
Adapun kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan selama ini adalah sebagai berikut:
1. Mengabaikan peranan kebijaksanaan fiskal selaku suatu alat untuk
menghimpun tabungan pemerintah.
2. Kurang memanfaatkan potensi tabungan masyarakat selaku sumber
pembiayaan pembangunan.
3. Kurang berhasil memperluas dasar ekspor non-migas.
4. Membiarkan terjadinya ekonomi biaya tinggi.
5. Melakukan perbankan dan lembaga keuangan negara lainnya selaku jawatan
pemerintah.
6. Kurang memperhatikan pengaruh perkembangan ekonomi dunia terhadap
perekonomian Indonsia.
7. Mengabaikan potensi pembangunan daerah di dalam kerangka pembangunan
nasional.
8. Mengabaikan peranan dunia usaha swasta dalam proses pembangunan.
16
9. Masih terdapatnya keinginan untuk meneruskan peranan birokrasi
pemerintahan sebagai alat pengatur perekonomian Indonsia.
10. Kurang memperhatikan potensi sektor informal dan penciptaan perluasan
kesempatan kerja yang layak.
3. MASALAH INVESTASI DAN PERMINTAAN
Pembentukan modal atau Investasi selalu dianggap sebagai kunci dari
keberhasilan usaha-usaha pembangunan. Bila sekiranya investasi meningkat, dengan
sendirinya, dianggap bahwa laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat pula. Hal ini
akan dapat menaikan pendapatan per kapita. Bila ini terjadi maka pembangunan dapat
dianggap berhasil. Sebaliknya, bila sekiranya investasi menurun maka hal ini akan
dianggap sebagai pertanda yang kuarang baik bagi pembangunan negara yang
bersangkutan. Kita, sadari atau tidak, terpengaruh sekali oleh jalan pemikiran yang
demikian itu.
Pembentukan modal memang penting bagi usaha-usaha pembangunan. Tetapi
terjadinya pembentukan modal yang tinggi saja sudah dianggap sebagai keberhasilan
pembangunan, tidaklah tepat sama sekali. Pembangunan mengandung makna yang jauh
lebih luas dari sekedar pembentukan modal dan kenaikan pendapatan perkapita.
Pembangunan, pada dasarnya, mengandung pengertian terjadinya perubahan-perubahan
yang cukup mendasar dalam kehidupan masyarakat suatu negara sehingga masing-
masing merasa mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara tersebut (Hendra Esmara:
PT Gramedia, 1986, h..65).
Dalam mengkaji situasi ekonomi Filipina dalam masa resesi menjelang
berakhirnya kekuasaan presiden Marcos, mengingatkan kita kepada alasan-alasan yang
kita kemukakan dahulu ketika melihat kegagalan semasa ordelama (Emmanuel S. D
Dios: Univ of Philipines, 1984, h.123). Sebaliknya komite ekonomi Singapura telah pula
mengkaji ulang kelemahan-kelemahan yang dihadapi Singapura dalam perspektif resesi
dimasa lalu. Kelemahan-kelemahan ini sebelumnya tidak begitu kelihatan, sebagaimana
yang juga kita alami sekarang ini. Tetapi dengan terjadinya pukulan resesi tersebut, mulai
kita dapat memahami beberapa permasalahan yang selama ini pada ordebaru terabaikan
sama sekali.
Kelemahan-kelemahan ekonomi singapura, sebagaimana dikemukakan Komite
Ekonomi Singapura, terdapat tiga faktor utama:
1. Masalah struktural yang dihadapi oleh beberapa industri utama Singapura yang
berkaitan dengan sektor-sektor pengolahan minyak bumi dan Maritim.
2. Hilangnya daya saing internasional dan semakin menciutnya laba perusahaan di
Singapura….hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya upah buruh yang tidak
disertai oleh kenaikan produktivitas.
3. Kelemahan permintaan dalam negeri, bukan saja disebabkan karena anjloknya sektor
bangunan, tetapi juga disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah tabungan
nasional yang tidak dapat disalurkan kepada peluang-peluang investasi domestik yang
produktif (The Singapura Economy: 1986. H.46).
17
Tabel 1 . PENGGUNAAN PDB, TABUNGAN, STOKS MODAL DAN
PERUBAHAN PENDAPATAN, TAHUN 1960-2009
( Diperhitungkan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 )
Total Tabungan Stoks Investasi Nisbah PDB PDB Tab Dom Perubahan Pert'buhan
Konsumsi Domestik Modal Bruto Modal Tahun Tahun PDB Ekonomi
Bruto Bruto Lalu Lalu
Tahun Ct St Kt It ICOR Yt Yt-1 St-1 Yt YtYt
1960 103566.8 60262.5 10608.6 10608.6 0.065 163829.3 0.0 0.0 163829.3 0.0
1961 110851.9 64668.4 228788.4 15239.1 1.303 175520.3 163829.3 60262.5 11691.0 0.071
1962 119807.2 57363.6 1487404.5 13856.9 8.395 177170.9 175520.3 64668.4 1650.6 0.009
1963 111878.5 56473.4 -201858.2 10574.1 -1.199 168351.9 177170.9 57363.6 -8818.9 -0.050
1964 116507.3 63937.4 179440.3 12025.4 0.994 180444.7 168351.9 56473.4 12092.7 0.072
1965 117437.1 68219.5 445600.2 12509.2 2.400 185656.6 180444.7 63937.4 5211.9 0.029
1966 117525.9 69739.4 1637199.6 14064.2 8.743 187265.3 185656.6 68219.5 1608.7 0.009
1967 127204.0 62218.5 1007394.9 11472.5 5.318 189422.5 187265.3 69739.4 2157.2 0.012
1968 139933.7 70863.3 138361.6 14029.7 0.656 210797.0 189422.5 62218.5 21374.5 0.113
1969 148468.7 81510.7 216260.9 18038.2 0.940 229979.4 210797.0 70863.3 19182.4 0.091
1970 151827.1 100263.8 273413.3 23981.8 1.085 252090.9 229979.4 81510.7 22111.5 0.096
1971 164271.7 114886.3 299370.3 29026.9 1.072 279158.0 252090.9 100263.8 27067.1 0.107
1972 154912.4 138514.1 710630.3 34555.8 2.422 293426.5 279158.0 114886.3 14268.5 0.051
1973 177878.3 171644.3 251912.7 40430.3 0.721 349522.6 293426.5 138514.1 56096.1 0.191
1974 196641.0 171796.9 938759.4 48195.1 2.548 368437.9 349522.6 171644.3 18915.3 0.054
1975 210411.8 154903.4 -6461286.8 55230.3 -17.687 365315.2 368437.9 171796.9 -3122.7 -0.008
1976 223792.8 173890.4 719286.7 58543.7 1.809 397683.2 365315.2 154903.4 32367.9 0.089
1977 241651.1 209151.5 575883.1 67858.0 1.277 450802.6 397683.2 173890.4 53119.4 0.134
1978 262161.8 208760.6 1827521.5 78079.4 3.881 470922.4 450802.6 209151.5 20119.8 0.045
1979 297750.3 195991.0 1764092.1 81530.1 3.573 493741.4 470922.4 208760.6 22819.0 0.048
1980 334778.0 177189.0 2722683.4 96925.7 5.318 511967.1 493741.4 195991.0 18225.7 0.037
1981 387442.3 140741.9 3508384.9 107719.4 6.642 528184.1 511967.1 177189.0 16217.1 0.032
1982 403156.1 106835.9 -3412160.2 121716.1 -6.691 509992.0 528184.1 140741.9 -18192.1 -0.034
1983 428378.9 102620.7 3317255.2 131238.0 6.247 530999.6 509992.0 106835.9 21007.5 0.041
1984 465085.9 106299.6 1790491.8 126553.2 3.134 571385.5 530999.6 102620.7 40385.9 0.076
1985 473931.6 71466.1 -2847437.0 135678.5 -5.221 545397.6 571385.5 106299.6 -25987.8 -0.045
1986 484692.5 107669.3 1868873.0 148169.6 3.155 592361.8 545397.6 71466.1 46964.1 0.086
1987 498365.1 154569.4 1684785.3 156297.5 2.580 652934.5 592361.8 107669.3 60572.7 0.102
1988 520188.5 247195.6 1168745.7 174309.6 1.523 767384.0 652934.5 154569.4 114449.5 0.175
1989 546383.9 271216.2 3217247.0 197599.8 3.935 817600.1 767384.0 247195.6 50216.1 0.065
1990 594994.8 238808.6 11650152.4 226397.2 13.972 833803.4 817600.1 271216.2 16203.3 0.020
1991 638211.8 278649.2 2662235.3 241169.4 2.904 916861.0 833803.4 238808.6 83057.6 0.100
1992 659067.2 320223.1 3969924.7 253080.8 4.054 979290.3 916861.0 278649.2 62429.3 0.068
1993 692091.5 339032.1 5321010.8 267480.9 5.160 1031123.7 979290.3 320223.1 51833.4 0.053
1994 741079.0 340384.5 6536817.7 304274.8 6.044 1081463.5 1031123.7 339032.1 50339.8 0.049
1995 823537.5 332729.3 5361529.7 346857.7 4.637 1156266.8 1081463.5 340384.5 74803.3 0.069
1996 896751.0 412369.0 3401857.7 397201.9 2.599 1309120.0 1156266.8 332729.3 152853.3 0.132
1997 959124.0 418729.2 8644684.0 431234.2 6.274 1377853.3 1309120.0 412369.0 68733.3 0.053
1998 890755.8 397917.1 -4174539.1 288891.8 -3.239 1288672.9 1377853.3 418729.2 -89180.4 -0.065
1999 916040.7 352183.6 ####### 241609.7 -11.815 1268224.2 1288672.9 397917.1 -20448.7 -0.016
2000 947578.0 455336.4 2873540.8 275881.2 2.048 1402914.4 1268224.2 352183.6 134690.2 0.106
2001 984382.0 458602.6 10579890.8 293792.7 7.332 1442984.6 1402914.4 455336.4 40070.2 0.029
2002 1031083.2 474133.2 7439627.1 307584.6 4.943 1505216.4 1442984.6 458602.6 62231.8 0.043
2003 1077997.5 499173.8 6782385.2 309431.1 4.300 1577171.3 1505216.4 474133.2 71954.9 0.048
2004 1130357.7 526159.2 7408615.3 354865.7 4.472 1656516.9 1577171.3 499173.8 79345.6 0.050
2005 1178430.7 572384.5 7306034.7 393500.5 4.173 1750815.2 1656516.9 526159.2 94298.3 0.057
2006 1224491.8 622634.9 7742799.0 403719.2 4.192 1847126.7 1750815.2 572384.5 96311.5 0.055
2007 1284156.7 680170.6 7397389.6 441361.5 3.766 1964327.3 1847126.7 622634.9 117200.6 0.063
2008* 1360488.0 721827.9 8713331.1 493716.5 4.184 2082315.9 1964327.3 680170.6 117988.6 0.060
2009** 1444918.9 732057.6 11731546.9 510118.1 5.389 2176976.5 2082315.9 721827.9 94660.6 0.045
2010
Sumber: Diolah oleh penulis dari:
1). Biro Pusat Statistik, Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta 2006.
2). Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1988/1989.
3). BPS, Pendapatan Nasional Indonesia ( Tabel-Tabel Pokok ), Tahun 1983-1988 (1983 s/d 1985), Tahun 1986-1987 (1986), Tuhun 1987-1992 (1987 s/d 1989).
4). BPS, Pendapatan Nasional Indonesia ( Tabel-Tabel Pokok ), Tuhun 1997-2000 (1997 s/d 1998), Tahun 1999-2002 (1999), Tuhun 2000-2003 (2000)
5). BPS, Pendapatan Nasional Indonesia ( Tabel-Tabel Pokok ), Tahun 2001-2004 (2001 s/d 2002)
Keterangan: *. Angka sementara/Preliminary figures
**. Angka sangat sementara/Very Preliminary figures
#). "Perubahan Stock (change in Stock)" merupakan Sisa/Residual, dannama lainnya adalah "Perubahan Inventory (Change in Inventories)" yang bersamaan
dengan item baru yang disebut sebagai "Diskrepansi Statistik" (statistical Discrepancy" yang merupakan angka koreksi dalam menentukan Sisa/Residual
18
Walaupun kelemahan-kelemahan ini ditutupi dengan melakukan investasi besar-
besaran dalam sektor bangunan, namun usaha ini dapat dinilai gagal oleh pemerintah
Singapura. Bukan saja pembangunan sektor bangunan menjadi terlalu berkelebihan tetapi
juga menyalurkan investasi ke sektor ini dianggap sebagai “misallocation”. Tindakan
yang keliru ini, akhirnya lebih mempertajam permasalahan yang dihadapi Singapura.
Dengan demikian, bukan saja jumlah investasi yang penting, akan tetapi
komposisi investasi tersebut dianggap jauh lebih penting lagi. Sebaliknya bagi kita
Indonesia, kelihatannya jumlah investasi jauh lebih penting dibanding komposisi
investasi itu sendiri. Dari pengalaman masa lalu Singapura dan Fhilippine agaknya dapat
ditarik pula kesimpulan untuk pada mana dapat pula diterapkan kepada lapangan usaha
ekonomi atau sektor ekonomi Indonsia seperti sektor Pertanian, Industri dan Jasa-jasa
yang tengah berlangsung dewasa ini sesuai dengan rencana atau target-target yang telah
digariskan sebelumnya melalui konsep perencanaan pembangunan Indonesia sekarang.
Meskipun penerapan komposisi investasi tersebut mendapat halangan besar ditengah
sulitnya mengakumulasi sumber pembiayaan dan pembentukan modal atau investasi bagi
pembiayaan pembangunan, secara cermat yang sedikit tersebut boleh jadi suatu saat akan
perlahan-lahan akan membukit.
4. PENDEKATAN PENELITIAN
Pendapat ahli ekonomi kenamaan J.M Keynes sangat populer sekali dan hampir
seluruh negara menggunakan konsep tersebut. Beberapa Keynesian lainnya (yang
merupakan kelanjutan teori Keynes ) dalam hal pertumbuhan ekonomi seperti Harrod-
Domar, konsep teori W.W Rostow yang menyangkut dengan tahap-tahap pembangunan
hingga sampai pada konsep teori W. Arthur Lewis dalam bidang perencanaan
pembangunan, secara disadari atau tidak, telah terjadi pada setiap negara baik negara
maju, maupun negara berkembang. (Hendra Esmara: 1985, h.56 ).
Bukan berarti bahwa setiap negara akan mengikuti tahap-tahap pembangunan a la
Rostow. Sebenarnya tidak ada satu negarapun yang akan mengikuti langkah-langkah
negara-negara lain dalam proses pembangunannya. Sebagai penyebabnya adalah visi dan
misi negara bersangkutan, yang oleh karenanya setiap negara memerlukan semacam
“madel makro” tertentu yang berbeda dengan negara lainnya sesuai “kultur bahkan
sejarah” negara tersebut (Simon Kuznets: 1981, h.7) bahkan masih terkait dan tidak
terlepas pula dari pengaruh sistem perekonomian atau orientasi pembangunan ekonomi
yang diterapkan melalui pembangunan infrastruktur fisik, sosial dan tingkat
pembangunan yang telah dicapai pada masa lampau, yakni pada zaman penjajahan
“kolonialisasi”(Tambunan, Tulus TH: Agustus 2001, h. 17). Bagaimanapun juga pola
pola pemikiran Rostow mengenai periode kritis dalam tahap tinggal landas (Take-off)
telah mempengaruhi pola pemikiran negara-negara berkembang hinnga saat ini (Hendra
Esmara: 1985, h.56 ).
Bahkan Rostow sendiri ketika diminta tanggapannya mengenai masalah masalah
ini, mengemukakan sebagai berikut: "I suspect that the widespread and continuing
interest in The Stages among economists in developing word stems from the fact that its
structure can be recognizably linked to the phenomena they see about them and the
problems they must try to solve from day to day in their societies" ( Meier, Gerald M and
Dudley Seers: 1984, h.237 ).
19
Kiranya adalah cukup beralasan apabila Benjamin Higgins berpendapat bahwa
konsep Rostow akan tetap dipergunakan sebagai kerangka berfikir di dalam ilmu
ekonomi pembangunan, No matter how critical Rostow's collegues mey be of his system,
his terminology is here to stay. The expressions, "The Take-off and "Self-Subtained
Growth" are thoroughly entrenched in the the literature, and will continue to be by
development economists ( Benjamin Higgins: 1968, h.186 ).
Menurut teori tahap-tahap pembangunan yang dikemukakan Rostow bahwa
negara-negara maju sekarang tersebut telah menempuh lima tahap pembangunan, yaitu:
(1). Tahap masyarakat tradisionil, (2). Tahap prakondisi untuk tinggal landas, (3). Tahap
tinggal landas, (4). Tahap menuju kedewasaan dan (5). Tahap Konsumsi massa yang
tinggi. Diantaranya dari kelima tahap tersebut, maka tahap yang paling kritis adalah tahap
tinggal landas. Tahap kritis ini akan dapat dilalui apabila “tingkat tabungan dan investasi
telah mampu mencapai antara 5 % sampai 10 % ( ≈ 12 % ) dari pendapatan nasional”,
melalui dua pra-syarat harus dipenuhi, yaitu: Selain daripada tercapainya kondisi
“Steady-State Growth” dan pelaksanaan pembangunan harus mampu dilakukan tanpa
memperoleh "pinjaman lunak", dan telah dapat tumbuh dan berkembang atas kekuatan
sendiri atau menurut istilah Rostow "the take-off into self substained growth", yang
harus dipenuhi secara bersamaan.
Istilah tinggal landas ini, walaupun dalam pengertian yang berbeda dengan W.W.
Rostow telah terdapat pula dalam GBHN, disadari atau tidak Indonesia pernah
menerapkan secara serius konsep teori Rostow ini, belajar dari pengalaman negara
maju yang telah berhasil dan paling tidak Indonesia menggunakan pada era ordebaru
selama 6 kali Repelita. Khususnya pelaksanaan teori ini berlangsung sejak “awal
Repelita 1969- telah lengser mei 1998”. Apakah bagi Indonesia menggunakan konsep
teori tersebut “sebagai kerangka berfikir di dalam ilmu ekonomi pembangunan
Indonesia” sebagaimana alasan Benjamin Higgins ataukah hanya sekedar mengukur
prestasi ekonomi sejauh mana upaya pengendalian pembangunan telah dilaksanakan,
prestasi yang telah dicapai, bahkan mungkin atau tidaknya Indonesia akan mampu
mewujudnya cita-cita-cita bangsa dimasa mendatang secara bersama-sama mampu sejajar
dengan negara-negara maju sekarang.
Bertitik tolah dari permasahan tersebut, yang jelas langkah-langkah ini tidak dapat
dilepaskan dari usaha-usaha pengkajian ulang kembali ekonomi yang telah terjadi semasa
ordebaru dan dilanjutkan kepada pengujian kemampuan usaha-usaha pembangunan
seperti yang digariskan dalam tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ala GBHN tempo dulu
versi W.W Rostow untuk empat (4) periode perhitungan saja, yaitu: Era ekonomi
campuran (1960-2009), era pemerintahan ordelama (1960-1969), era pemerintahan
ordebaru (1969-1998) dan era pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009).
5. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Perkembangan ekonomi suatu negara biasanya ditandai oleh besar atau kecilnya
pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Secara singkat pertumbuhan ekonomi adalah
proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, yaitu melihat bagaimana suatu
perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya pada
perubahan atau perkembangan itu sendiri ( Boediono: 1982, h.1). Hal ini terlihat dengan
20
banyaknya gagasan untuk memonitor atau mengukur hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai, ukuran yang selama ini biasa dipergunakan adalah dengan pendapatan nasional
atau GNP (Hendra Esmara: 1982, h.155).
Pencapaian besarnya GNP tersebut membutuhkan sejumlah investasi yang besar
dalam tiap-tiap periode pembangunan. Oleh Keynes, Investasi tersebut merupakan stock
of capital, secara sederhana investasi tersebut berasal dari tabungan dan tabungan itu
sendiri diperoleh dari pendapatan yang tidak dikonsumsi, sehingga dari sudut penerimaan
(income side), adalah merupakan sisa dari pendapatan yang tidak dikonsumsi (J.M.
Keynes: 1967, h.63 ).
Pada umumnya lebih kurang sekitar 75 % dari pendapatan nasional suatu negara
digunakan untuk konsumsi masyarakat atau rumah tangga yang dimaksud, sehingga
sisanya sejumlah 25 % akan merupakan tabungan. Dengan demikian, bahwa besar
kecilnya tabungan ditentukan oleh pendapatan. Namun demikian, tidak pula seluruh
pendapatan yang tersisa menjadi tabungan secara aggregat ( menyeluruh ) tersebut akan
tersalur menjadi investasi bagi pembiayaan pembangunan, dan untuk kasus demikian
diperlukan semacam penelitian.
Seorang ahli ekonomi barat yang termashur seperti Simon Kuznet, menyatakan
bahwa banyak ilmu pengetahuan didasarkan pada suatu kumpulan pengetahuan diskriptif
dan pada pengukuran empiris sangat membuhtuhkan pengetahuan tentang ketepatan yang
dapat dipercayai (Simon Kuznets: 1981, h.7). Namun demikian, kitapun juga tidak boleh
terlalu terikat dengan suatu teori saja , sehingga untuk kontek penelitian di Indonesia
diperlukan suatu model makro yang mempengaruhi tabungan tersebut.Khususnya
mengenai analisa pendapatan, banyak dijabarkan oleh beberapa ahli ekonomi setelah
Keynes seperti analisa pendapatan melalui siklus hidup oleh A.Ando, R.Brumberg dan F.
Modigliani. Kemudian pendekatan Permanent Income oleh Milton Friedman, Relative
Income oleh J.S. Duesemberry dan lain sebagainya (Kuncoro, Mudrajad: 1987, h25).
.Seiring dengan tujuan demikian, maka dalam penelitian ini akan dicoba pula mengukur
kondisi ekonomi Indonesia dalam pencapaian Steady-State Growth yang menggunakan
data nasional Indonesia meliputi tahun 1960-2009.
6. PEMBENTUKAN MODEL DAN METODOLOGI 6.1. Pembentukan Model
Dewasa ini hampir tidak ada negara yang mempunyai sistem ekonomi yang sama
sekali tertutup, tanpa adanya hubungan dengan negara luar. Pada Umumnya sistem
ekonomi suatu negara adalah terbuka. Namun demikian, model ekonomi secara makro
ada yang menyatakan ekonomi tertutup dan ekonomi terbuka, ini dimaksudkan agar
dalam penelitian ekonomi bahwa perekonomian lebih dapat disederhanakan dalam
perhitungan, sehingga dikenal pula dengan ekonomi dua sektor, tiga sektor dan empat
sektor, model makro keseimbangan ekonomi terbuka adalah sebagai berikut:
A = C + I + G + ( X – M ) ( 1 )
Y = C + S + ( T – R ) ( 2 )
A = Y ( ... Aggregate, Demand = Supply ) ( 3 )
21
I + G + X = S + ( T - R ) + M ( 4 )
I + X = S + M ( 5 )
St = It ( 6 )
St = Sh + Sg = It ( 7 )
St = Sh + Mt = It ( 8 )
Dalam versi pertumbuhan ekonomi, model sederhana Keynes tersebut dirobah oleh
Harrod-Domar yang menganalisis adanya hungan antara tabungan dengan modal sebagai
berikut (Michael P. Todaro: 1977, h.65):
St = s Yt ( 9 )
It = Kt (10 )
Kt/ Yt = k ( 11 )
atau Kt / Yt = k ( 12 )
Yt/ Yt = s/k ( 13 )
Selainnya itu, khusus dalam penaksiran stok modal atau modal (capital), dimana modal
adalah Kt = k Yt atau Kt = k Yt dan It = Kt, sehingga k tersebut ditulis sebagai
k = It / Yt ( 14 )
St = -C + s Yt ( 15 )
Kt = K + k Yt-1 ( 16 )
Tabungan adalah bagian pendapatan yang tidak dikonsumsi dan merupakan fungsi dari
pendapatan, Menurut definisi lainya, bahwa perubahan tabungan sama dengan tabungan
tahun t dikurangi tabungan tahun sebelumnya, yang dapat ditulis sebagai berikut dalam
bentuk:
St = St - St-1 ( 17 )
Untuk menentukannya berapa besarnya perubahan tabungan, dimisalkan bahwa jumlah
tabungan yang diinginkan pada tahun t adalah St*. Asumsi bahwa hubungan antara St*
dengan St mempunyai persyaratan sebagai berikut:
St = h ( S*t - St-1 = 1 ) ( 18 )
dimana ha merupakan faktor penyesuaian antara keinginan dan kenyataan yang nilainya
terletak antara Nol dan Satu ( 0 < ha < 1 ). Jika h = 1 maka St = S*t, akan tetapi jika
h = 0 maka St = 0. Apabila dari kedua persamaan diatas dilakukan subsitusi, yaitu
persamaan (17) disubsitusikan kedalam persamaan (18) dan anggap bahwa S*t/ Yt =
a, maka diperoleh:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Y t ( 19 )
Untuk menentukan berapa besarnya kebutuhan tabungan sebagai tingkat investasi
produktif dalam pembiayaan pembangunan, sehingga pada hakekatnya tingkat kebutuhan
22
tabungan tersebut dapat mencapai kondisi Steady-state growth yang dirumuskan sebagai
berikut
St/Yt = ha g / ( g + h ) ( 20 )
dimana, h = h1: h1 = MPS
= s
= s (1- t) + t
= s (1- t) + m
Masing-masing h1 = MPS untuk analisa ekonomi dua sektor, tiga sektor dan empat
sektor antara lain harus memberikan hasil yang sama.
6.2. Metodologi
Metodologi yang hendak dibuat menyangkut dengan metode pengujian secara
statistik, dan uraian tersebut kiranya tidak perlu terlalu ditonjolkan, sehingan analisis
statistik yang diperlihatkan secara umum masing berdasarkan (19), (15) dan (16) yang
dalam bentuk fungsi sebagai berikut:
St = f ( St-1 , Yt , Ui ) ( 21 )
St = f ( Yt , Ui ) ( 22 )
Kt = f ( Yt-1 , Ui ) ( 23 )
dimana: Ct = Konsumsi masyarakat pada tahun t
G = Government expenditure
It = Investasi bruto tahun t
Xt = Ekspor barang-barang dan jasa-jasa tahun t
Mt = Impor barang-barang dan jasa-jasa tahun t
Tt = Penerimaan Pajak tahun t
R = Transfer payment
St = Perubahan Tabungan ( Domestic Saving ) pada tahun t
St = Tabungan tahun t
St-1 = Tabungan tahun t-1 (sebelumnya)
Yt = Produk Domestik Bruto tahun t
Yd = Pendapatan Disposibel tahun t
Yt = Perubahan Produk Domestik Bruto
Kt = Stok Modal (Capital Stock)
C, K = Constant (autonomous Consumption and Capital)
ha = Faktor penyesuaian antara keinginan kemampuan menabung.
h = Perbandingan/ rasio antara tabungan yang diinginkan dengan
pendapatan nasional.
a = Angka (ratio) antara tabungan yang diinginkan dengan
perubahan pendapatan nasional
k = Incremental Capital Output Ratio
23
c = Marginal Propensity to Consume
s = Marginal Propensity to Save
g = Rate of Growth ( % ).
0 < ha < 1 MPC + MPS = 1 APC + APS = 1
7. PENEMUAN EMPIRIS DAN ANALISIS PERHITUNGAN
7.1. Pengujian Empiris
Berikut ini adalah hasil pengjian beberapa fungsi yang berhubungan dengan
persamaan (25) yang menjadi tofik penelitian dan interprestasi dari koefisien hasil
estimasi antara lain setelah dirobah kedalam bentuk fungsi jangka panjang akan dapat
digunakan untuk memperkirakan kebutuhan investasi produktif bagi pembiayaan
pembangunan Indonesia serta untuk menaksir ukuran tinggal landas ( take-off ), mampu
atau tidaknya menelusuri konsep W.W Rostow tersebut. Hasil estimasi yang dilakukan
sesuai dengan periode penelitian yang meliputi empat (4) periode perhitungan saja, yaitu:
Era ekonomi campuran (1960-2009), era pemerintahan ordelama (1960-1969), era
pemerintahan ordebaru (1969-1998) dan era pemerintahan reformasi ekonomi (1998-
2009) dengan hasil pengujian pada umumnya cukup significant statistik sebagaimana
dapat dilihat pada tabel 2.
Secara statistik pada umumnya hasil estimasi yang dilakukan adalah significant
pada taraf kepercayaan ( Significant level) = 1 % atau atau pada taraf keyakinan
(confidence level ) 1- = 99 % sebagaimana yang dapat dilihat bahwa masing-
masingnya Ttest > T-table. Sementara itu Ftest dari hampir semua fungsi yang diestimasi
pada umumnya besar dan berada diatas F-table yang juga pada = 1 %. Begitu juga
dengan uji statistk Durbin-Watson yang significant pada taraf kepercayaan yang sama.
Disamping itu koefisien determinasi dan korelasi terhadap hampir semua hasil estimasi
telah memperlihatkan hubungan yang begitu kuat secara statistik. Dengan demikian,
kiranya dalam pengujian statistik terhadap hampir semua hasil estimasi tersebut tidaklah
diragukan lagi kebenarannya.
7.2. Hasil Perhitungan Kebutuhan Investasi
Sesuai dengan metodologi yang telah dibuat perlu kiranya melakukan studi
empiris dengan metode pengujian secara statistik, terutama untuk mengukur kondisi
ekonomi Indonesia dalam pencapaian Steady-State Growth yang menggunakan data
nasional Indonesia sebagaimana yang telah tersedia. Dalam analisis perhitungan ini,
dimana studi empiris akan mempertajam analisa, khususnya dapat mengetahi sejauh
mana kemampuan menabung mampu menciptakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Didalam keadaan nyata, banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya tabungan
didalam masyarakat. Sebagaimana definisi Keynes menyatakan bahwa tabungan adalah
bagian dari pendapatan periode tertentu yang tidak habis dikonsumsi pada periode
bersangkutan, dan dibidang lainya bahwa tabungan tahun t adalah sama dengan tabungan
tahun t-1 ditambah perubahan pendapatan.
24
Tabel 2: Hasil Pengujian Empiris Tabungan Dan Stoks Modal Jangka Pendek
Persamaan SE R2 R R2 F D-W
Tahun 1960-2009: St = -3381.6 + 0.968598 St-1 + 0.590243 Yt 17775.5 0.992 0.996 0.992 2885.074 0.009
S(bi): (0.015206) (0.057611) t(bi): (63.69779) (10.24528)
St = -370.6 + 0.322174 Yt 38674.6 0.961 0.980 0.960 1180.863 0.303
S(bi): (0.009375) t(bi): (34.36368)
Kt = -831920.5 + 4.385107 Yt-1 3971262.6 0.285 0.534 0.270 19.129 1.480 S(bi): (1.002611) t(bi): (4.37369)
Tahun 1960-1969: St = 3746.9 + 0.936536 St-1 + 0.349832 Yt 4822.529 0.674 0.821 0.581 7.238 0.211 S(bi): (0.248631) (0.102534) t(bi): (3.766774) (3.411831)
St = 3117.4 + 0.334013 Yt 3542.8 0.799 0.894 0.774 31.794 1.786 S(bi): (0.059236) t(bi): (5.638652) Kt = 22765.8 + 3.003764 Yt-1 648395.9 0.078 0.278 -0.038 0.673 2.145 S(bi): (3.662734) t(bi): (0.820088)
Tahun 1969-1998: St = 11420.0 + 0.055066 St-1 + 0.822959 Yt 31824.0 0.913 0.955 0.906 141.064 0.038 S(bi): (0.041987) (0.136187) t(bi): (1.311494) (6.042847)
St = 23595.4 + 0.279551 Yt 44197.6 0.825 0.908 0.819 132.269 0.294 S(bi): (0.024307) S(bi): (0.024307) Kt = -1061040.3 + 4.733006 Yt-1 3301418.6 0.185 0.430 0.155 6.341 2.003 S(bi): (1.879599) t(bi): (2.518093)
Tahun 1998-2009: St = 42162.5 + 0.892142 St-1 + 0.592977 Yt 20190.7 0.979 0.989 0.974 207.577 2.767 S(bi): (0.060231) (0.107407) t(bi): (14.81210) (5.520856)
St = -140427.2 + 0.409637 Yt 15171.5 0.987 0.993 0.985 741.225 2.282 S(bi): (0.015046) t(bi): (27.22544) Kt = -21642375.0 + 16.620862 Yt-1 6291211.3 0.353 0.594 0.288 5.455 1.273 S(bi): (7.116020) t(bi): (2.335696)
Sumber: Diperhitungkan oleh penulis dari data Tabel 1.
25
Tabel 3: HASIL PERHITUNGAN PERKIRAAN KEBUTUHAN INVESTASI
DARI FUNGSI REGRESI JANGKA PENJANG
Tahun 1960-2009:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Yt St = s Yt Kt = k Y t-1
= 0.968598 St-1 + 0.590243 Yt = 0.322174 Yt = 4.385107 Yt-1
dimana, h = 0.031402 a = 18.796351 s = 0.322174 k = 4.385107 g (%) = 0.07347
St/Yt = hag / ( g + h ) = 0.4135055
Tahun 1960-1969:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Yt St = s Yt Kt = k Y t-1
= 0.936536 St-1 + 0.349832 Yt = 0.334013 Yt = 3.003764 Yt-1
dimana, h = 0.063464 a = 5.51229 s = 0.334013 k = 3.003764 g (%) = 0.111198
St/Yt = hag / ( g + h ) = 0.110406
Tahun 1969-1998:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Yt St = s Yt Kt = k Y t-1
= 0.055066 St-1 + 0.822959 Yt = 0.279551 Yt = 4.733006 Yt-1
dimana, h = 0.944934 a = 0.8709169 s = 0.279551 k = 4.733006 g (%) = 0.0590642
St/Yt = hag / ( g + h ) = 0.0484138
Tahun 1998-2009:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Yt St = s Yt Kt = k Y t-1
= 0.892142 St-1 + 0.592977 Yt = 0.409637 Yt = 16.620862 Yt-1
dimana, h = 0.107858 a = 5.4977563 s = 0.409637 k = 16.620862 g (%) = 0.024646
St/Yt = hag / ( g + h ) = 0.2227195
Tahun 1997-2002 [(….. Terkutip Era Reformasi Ekonomi Pasca Megawati **)
]:
St = ( 1 - h ) St-1 + ha Yt St = s Yt Kt = k Y t-1
= 1.120 St-1 + 1.162 Yt = 0.129 Yt = -327.6 Yt-1
dimana, h = -0.120 a = -9.683 s = 0.129 k = -327.6 g (%) = -0.000394
St/Yt = hag / ( g + h ) = 0.00380
Sumber: Diperhitungkan Oleh Penulis dari Tabel 2.
**) Penelitian ini dilakukan oleh “DR.Meirinaldi, SE, MM dan Amrizal”, Lihat: “Refleksi Ekonomi
Indonesia Setelah 34 Tahun Membangun: Diantara Kekuatan Dan Kelemahan”, Jurnal Ekonomi
(Jurnal Ilmiah Kuartalan FE-UNBOR Volume XXIII, edisi Februari 2007).
26
Persoalan yang tengah dihadapi adalah besarnya perubahan tabungan. Untuk
menaksir jumlah tabungan pada tahun t tersebut perlu dilakukan analisis empiris yang
mempunyai pendekatan; bahwa tabungan tahun t jangka panjang yang dipengaruhi oleh
tabungan tahun t-1 dan perubahan pendapatan. Relefansi hubungan teori tabungan
Keynes dengan teori agregat Harrod-Domar sebagaimana yang diungkapkan Hendra
Esmara, bahwa laju pertumbuhan ekonomi akan berlangsung secara mantap apabila
dapat diciptakan investasi melalui perkiraan Incremental Capital Output Ratio (ICOR),
dan konsep ini kelihatanya mempengaruhi kondisi-kondisi tinggal landas ( take-off )
Walt Whiman Rostow. Melalui konsep demikian, kiranya sudah tidak mengherankan pula
bahwa kesenjangan yang terjadi antara pemupukan tabungan dan investasi bagi
pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan dapat diperkirakan secara tegas dalam aspek
yang menilai antara keinginan dan kemampuan dalam menelusuri pembangunan.
Pada bagian ini yang akan ditelusuri adalah jumlah kebutuhan tabungan yang
tersalur sebagai investasi produktif bagi pembiayaan pembangunan Indonesia.
Mengangkut dengan investasi, istilah produktif dimaksudkan sebagai "tingkat tabungan
jangka panjang" yang tercapai bersamaan tingkat pencapaian laju pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Investasi produktif adalah sejumlah investasi atau tingkat investasi yang
benar-benar berperan sebagai pembiayaan pembangunan, dan menaikan pendapatan
melalui produktivitas dan menaikan pertumbuhan ekonomi. Berikut ini, “hasil
perhitungan kebutuhan investasi” dengan periode penelitian yang sama sebagaimana
dapat dilihat pada tabel 3.
Hubungan analisis “antar-inter koefisien hasil estimasi”. Penerapan konsep teori
Rostow tersebut secara bersamaan terkait kuat dengan teori pertumbuhan ekonomi yang
dipaparkan Harrod-Domar terhadap ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Tahap
kritis iyang harus dilalui apabila “tingkat tabungan dan investasi telah mampu mencapai
antara 5 % sampai 10 % ( ≈ 12 % ) dari pendapatan nasional”. Pada pengukuran
tersebut baru hanya sebatas pengukuran prasyarat utama pencapaian kondisi Steady-State
Growth dan prasyarat keduanya dibidang The take-off into self-substained growth
yang juga harus dipenuhi secara bersamaan, dan disimpulkan sebagai berikut:
(1) Tingkat Kebutuhan Tabungan yang tercipta sebagai Investasi produktif adalah
sebesar 0.413505 atau 41.35 % terhadap Pendapatan Nasional Indonesia dan laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah sebesar 0.073470 atau 7.35% rata-rata
setiap tahun untuk periode perhitungan “era ekonomi campuran” 1960-2009,
sehingga kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi Nasional Indonesia
“tercapai”.
(2) Tingkat Kebutuhan Tabungan yang tercipta sebagai Investasi produktif adalah
sebesar 0.110406 atau 11.04 % terhadap Pendapatan Nasional Indonesia dan laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah sebesar 0.111198 atau 11.12 % rata-rata
setiap tahun untuk periode perhitungan “era pemerintahan ordelama” 1960-1969,
sehingga kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi Nasional Indonesia
“tercapai”.
27
(3) Tingkat Kebutuhan Tabungan yang tercipta sebagai Investasi produktif adalah
sebesar 0.0484138 atau 4.84 % terhadap Pendapatan Nasional Indonesia dan laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah sebesar 0.0590642 atau 5.91 % rata-rata
setiap tahun untuk periode perhitungan “era pemerintahan ordebaru” 1969-1998,
sehingga kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi Nasional Indonesia
“tercapai”.
(4) Tingkat Kebutuhan Tabungan yang tercipta sebagai Investasi produktif adalah
sebesar 0.2227195 atau 22.27 % terhadap Pendapatan Nasional Indonesia dan laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah sebesar 0.024646 atau 2.47 % rata-rata
setiap tahun untuk periode perhitungan “era pemerintahan reformasi ekonomi”
1998-2009 pada zaman SBY yang tengah mengendalikan tampuk pemerintahan
Indonesia, sehingga kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi Nasional
Indonesia “tercapai”.
Tahun 1997-2002 (….. Terkutip Era Reformasi Ekonomi Pasca Megawati):
(5) Tingkat Kebutuhan Tabungan yang tercipta sebagai Investasi produktif adalah
sebesar 0.00380 atau 0.38 % terhadap Pendapatan Nasional Indonesia dan laju
pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah sebesar -0.000394 atau minus 0.039 %
rata-rata setiap tahun untuk periode perhitungan “era pemerintahan reformasi
ekonomi” 1997-2002 pasca Megawati Soekarno Purti mengendalikan tampuk
pemerintahan Indonesia, sehingga kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi
Nasional Indonesia “tidak tercapai”.
Kalau saja diperbandingkan: Pada era reformasi ekonomi tahun 1998-2009 pada
zaman SBY yang tengah mengendalikan tampuk pemerintahan Indonesia sekarang,
tingkat kebutuhan tabungan terhadap pendapatan nasional masih cukup tinggi yaitu
sebesar 22.27 % rata-rata per tahun dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
rendah sebesar 2.47 % rata-rata pertahun. Dengan masih cukup tingginya nilai kebutuhan
tabungan berarti dapat dinyatakan “bahwa Indonesia masih cukup mampu melanjutkan
pembangunannya”. Sementara dari hasil penelitian yang pernah dilakukan pada era
reformasi ekonomi tahun 1997-2002 disaat Megawati Soekarno Purti mengendalikan
tampuk pemerintahan Indonesia, dimana “pertumbuhan ekonomi Indonesia” yang
mampu dicapai adalah sebesar -0,000394 atau minus 0.039 % rata-rata pertahun dengan
tingkat kebutuhan tabungan terhadap pendapatan nasional sebesar 0.00380 atau sebesar
0.38 % rata-rata per tahun. Dengan sangat rendahnya nilai kebutuhan tabungan yang
berarti dapat pula dinyatakan bahwa Indonesia sangat tidak mampu melanjutkan
pembangunannya”(Meirinaldi, SE, MM, DR dan Amrizal: 2007, h.226).
Meskipun pertumbuhan ekonomi sudah cukup tinggi, maka belum tentu jumlah
tabungan berarti sudah mantap dan demikian juga halnya dengan investasi. Ada asumsi
yang mungkin tidak pernah dipopulerkan dalam masyarakat, yaitu dari segi sumber
investasi tersebut. Dari informasi para ahli ekonomi selama ini telah dapat dimengerti
atau disimpulkan, dimana Indonesia dalam menggalakkan upaya pembangunan yang
cepat dan dengan mengeterapkan jalur pembangunan "rapid growth" dimana sumber
pembiayaan pembangunan telah nyata-nyata menggantungkan harapan pada dana luar
negeri capital inflows.
28
Tabel 4 : FUNGSI TABUNGAN JANGKA PANJANG INDONESIA DIBANDING
NEGARA LAIN DAN PERKIRAAN KEBUTUHAN TABUNGAN
Taksiran Nilai
Growth Rate (%)
Negara 1-h ha h a 4 5 6 7
Brazil 0.859 0.592 0.141 4.19 0.131 0.155 0.177 0.214
[13.32] [3.35]
Costa Rica 0.715 0.819 0.249 3.58 0.123 0.149 0.173 0.217
[10.57] [40.66]
Israel 0.959 0.24 0.041 0.09 0.012 0.013 0.014 0.016
[9.56] [0.25]
Philippines 0.828 0.667 0.172 3.94 0.128 0.153 0.175 0.215
[17.55] [5.39]
Taiwan 0.772 0.779 0.228 3.42 0.116 0.14 0.163 0.202
[5.30] [2.56]
Indonesia *):
Tahun: 1960-2009 0.968598 0.590243 0.031402 18.79635 0.330659 0.362548 0.387460 0.407458
[63.69779] [10.24528]
1960-1969 0.936536 0.349832 0.063464 5.51229 0.135248 0.154160 0.170008 0.183482
[3.766774] [3.411831]
1969-1998 0.055066 0.822959 0.944934 0.870917 0.033422 0.041357 0.049135 0.056759
[1.311494] [6.042847]
1998-2009 0.892142 0.592977 0.107858 5.497756 0.160418 0.187820 0.211957 0.233379
[14.81210] [5.520856]
Sumber : Heff, Nathaniel H. dan Kasuo Sato (1975), "A Simultaneous Equations Model of Saving in
Developing Countries", Journal of Political Economy, 83(b).
Catatan: *). Khusus untuk Indonesia dihitung oleh penulis untuk data periode tahun 1960-2009.
Disamping itu, bahwa apa yang telah diamanatkan GBHN "upaya pembangunan
yang semakin bertumpu pada kemampuan sendiri dicamkan hanya sebagai hiasan kata
belaka, dengan demikian tidak mustahil kiranya baik sektor swasta maupun sektor
pemerintah dalam kontek tata ekonomi nasional menanggung hutang yang besar terhadap
luar negeri, alhasil baik neraca pembayaran maupun anggaran negara mengalami posisi
29
yang kritis sepanjang tahun dan perdagangan luar negeri ternyata juga tidak mantap
ditelusuri.
Alasan yang menguatkan hasil penelitian ini sebagaimana dapat dilihat dimana
terlalu jauh perbedaan antara MPS dengan nilai h berupa perbandingan atau rasio antara
tabungan yang diinginkan dengan pendapatan. Sedangkan tingkat kebutuhan tabungan
terhadap pendapatan nasional adalah masih cukup tinggi yaitu sebesar 22.27 % rata-rata
per tahun dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup rendah sebesar 2.47 % rata-rata
pertahun pada era reformasi ekonomi tahun 1998-2009. Tingginya nilai kebutuhan
tabungan berarti menyatakan “bahwa Indonesia mampu melanjutkan pembangunannya”.
Hal yang sangat menarik dalam penelitian ini alalah bahwa nilai h yang cukup
besar bagi Indonesia, yaitu sebesar 94.49 % rata-rata pertahun pada era ordebaru tahun
1969-1998 dan malahan melebihi nilai h negara Taiwan yang bernilai 0.228 atau 22,8 %
rata-rata setiap tahunnya nilai a bagi negara Taiwan adalah sebesar 3.42 sedangkan
Indonesia mempunyai nilai a yang dinilai sangat kecil yaitu sebesar 0.87. Dalam
kenyataannya Indonesia tidak dapat langsung disamakan dengan negara Taiwan. Negara
seperti Taiwan tersebut adalah negara NICs dan sektor perekonomiannya jauh lebih
mantap dari Indonesia karena mereka lebih banyak menikmati rembesan kemajuan yang
dicapai Jepang akibat kedua negara agak bertetangga dan ditambahkan pula Taiwan telah
cukup lama memperdayakan sumber daya manusianya (lihat Tabel 4).
Dari segi nilai a untuk Indonesia adalah sangat besar untuk semua periode
perhitungan terkeali era pemerintahan ordebaru (1969-1998) apabila dibanding dengan
beberapa negara seperti Brazil, Costa Rica, Philippina dan Taiwan. Artinya Indonesia
adalah sangat unggul terkecuali terkecuali terhadap negara Israel. Besarnya nilai a
tersebut memberikan indikasi bahwa “proses penyesuaian antara tabungan yang
diharapkan dengan tabungan yang terjadi adalah jauh lebih cepat dibanding dengan
negara-negara lain tersebut”. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa St = A At* dimana At*
adalah jumlah kekayaan ( assets ) yang diharapkan, maka St*/Yt = A At*/Yt. Untuk kasus
di Indonsia oleh karena besarnya nilai a menunjukan pula bahwa besar pula rasio
kekayaan yang diinginkan terhadap pendapatan. Memang tidak dapat dipungkiri suatu
negara miskin atau hampir seluruh pendapatan tergunakan untuk pemenuhan konsumsi
atau kondisi yang dihadapi negara tersebut boleh dikatakan dengan apa yang disebut
“subsistence level” hingga hampir atau nyaris tidak ada pendapatan yang tersisa untuk
tabungan, maka negara demikian mempunyai hasrat konsumsi yang tinggi sekali,
sehingga antara keinginan menabung ( willingness to save ) menjadi bertolak belakang
dengan kemampuan menabung ( ability to save ).
Nampaknya Indonesia memerlukan tabungan yang sedikit lebih kecil dari pada
Taiwan. Agaknya, perbedaan kebutuhan ini dapat dijelaskan bahwa Taiwan boleh
dikatakan lebih baik ekonomi yang dimilikinya dan termasuk sebagai negara kelompok
NICs dengan sektor industrinya sangat memperbesar tabungan dan pendapatannya
selama ini. Sedangka Indonesia, upaya dan kemapuan mobilisasi tabungan tidak mantap.
Upaya pengingkatan tabungan lebih sering menghendaki melalui pengorbanan konsumsi
secara besar-besaran, dan sektor Industri dan tidak secerah di Taiwan.
30
8. KESIMPULAN
Hampir semua Negara-negara Sedang Berkembang (NSBs) sangat rentan dengan
terjadinya berbagai dilema ekonomi hingga berujung kepada berbagai kesenjangan-
kesenjangan ekonomi seperti sering terjadinya “krisis sumber pembiayaan
pembangunan” sehingga “Perubahan Stoks Modal” yang dipersiapkan menjadi terbatas
dan mengalami penurunan. Dampak negatif penurunan pembentukan modal biasanya
akan bermuara terhadap penurunan produktivitas ekonomi yang akselerasinya jelas
menurunkan pendapatan (produksi) nasional hingga menurunkan pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat.
Bagi NSBs, yang perekonomiannya masih sangat tergantung pada
pinjaman/bantuan luar negeri, ekspor, khususnya produk-produk dengan nilai tambah
yang tinggi sangatlah penting. Khususnya Indonesia baru merasakan dampak negatif
daripada pinjman luar negeri tersebut ketika menghadapi berbagai krisis ekonomi pasca
berakhirnya era ordebaru sehingga membuat negara ini nyaris bangkrut. Berbagai distorsi
ekonomi yang dihadapi diwaktu itu tertumpu kepada pinjaman luar negeri jangka panjang
yang ternyata berdampak negatif terhadap pertumbuhahn ekonomi Indonesia. Agaknya
Indonesia lupa akan sebuah penelitian pembangunan ekonomi terhadap beberapa NSBs,
dimana: dalam jangka pendek pinjaman luar negeri meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap pertumbuhahn ekonomi suatu
negara (Voivodas, Contantin S: March 1973, h 347). Salah satu pemulihan yang cukup
dasyat untuk menyikapi distorsi ekonomi seperti itu yang juga terlupakan adalah ekspor
yang dapat diharapkan sebagai motor utama penggerak proses pemulihan ekonomi
nasional, sayangnya harapan ini sangat tidak mudah diwujudkan (Tambunan, Tulus TH:
Februari 2001, h 19).
Krisis ekonomi dunia adalah sebagian dari masalah keterpurukan ekonomi
Indonesia yang yang dialami dewasa ini. Kekurangmampuan ordebaru mengendalikan
roda pembangunan selama ini, meski punya pengaruh, namun tidak dapat dianggap
sebagai kambing hitamnya. Semua kesenjangan ekonomi, krisis ekonomi bahkan sampai
kepada keterpurukan ekonomi yang dialamai sekarang, kekurangmampuan dalam
pengendalian roda pembangunan hingga bermuara kepada terjadinya distorsi ekonomi
dalam berbagai ukuran “hanya sebuah masalah kecil” kekilafan ordebaru yang tidak
perlu dibesar-besarkan, kuman yang jauh diseberang lautan tidak sementinya harus
terlihat sementara gajah dipelupuk mata sendiri tidak nampak. Bagaimanapun juga
ordebaru telah terbukti memberi perubahan besar Indonesia dari kelompok negara under-
developing yang miskin menjadi kelompok negara developing countries yang
berpendapatan menengah. Disamping itu, beberapa krisis ekonomi dunia yang
berpengaruh selama ordebaru berkuasa telah dapat ditanggulangi walau belum sempurna
sebagaimana yang diharapkan. Kesan terbaik yang “harus dikenang sepanjang masa”,
bahwa pengendalian ekonomi dan pembangunan Indonsia era pemerintahan ordebaru
(1969-1998) Almarhum Jenderal Soeharto sangat jauh lebih baik (The best President of
others) daripada “kesemua era dan kepemimpinan Indonesia” selama ini.
Kesan yang paling tidak bisa dilupakan adalah sempatnya ordebaru punya cita-
cita tinggal landas (Take-off) dan kegagalan tinggal landas semata-mata hanya tersebab
karena utang luar negeri yang banyak demi pembangunan. Namun demikian, upaya
pencapai tinngal landas (take-off) tidaklah mudah, tidak cukup hanya sekedar mampunya
31
mencapai kondisi “Steady-State Growth”, ada pra-syarat lain yang juga harus dipenuhi,
yaitu pelaksanaan pembangunan harus mampu dilakukan tanpa memperoleh "pinjaman
lunak", dan telah dapat tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri atau menurut
istilah Rostow "The take-off into self-substained growth" yang harus dipenuhi secara
bersamaan. Dengan demikian, yang juga terlupakan adalah pengendalian beberapa
kebijaksanaan makro ekonomi yang seringkali saling bertolakbelakang, kurang
menyikapi antara rencana dengan realisasi serta prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu
kurang mengkaitkan antara rencana tinggal landas dengan besarnya tumpukan hutang
luar negeri selama ini.
Perjalanan panjang ekonomi Indonesia dengan rentang waktu 1960-2009 yang
persis selama 50 tahun Indonesia membangun. Pengendalian ekonomi dengan berbagai
kebijaksanaan makro dan upaya mengatasi krisis demi krisis Terlepas dari serius atau
tidaknya Indonesia menggunakan konsep teori ala Rostow, apakah digunakan hanya
“sebagai kerangka berfikir saja” dalam pengendalian pembangunan Indonesia
sebagaimana alasan Benjamin Higgins ataukah untuk tujuan tertentu untuk mengukur
prestasi ekonomi sejauh mana upaya pengendalian pembangunan telah dilaksanakan,
prestasi yang telah dicapai, bahkan mungkin atau tidaknya Indonesia akan mampu
mewujudnya cita-cita-cita bangsa dimasa mendatang secara bersama-sama mampu sejajar
dengan negara-negara maju sekarang, dimana aktivitas pembangunan berlangsung dalam
jangka panjang dengan hasil sebagai berikut.
1) Pada umumnya: Era ekonomi campuran (1960-2009), era pemerintahan ordelama
(1960-1969), era pemerintahan ordebaru (1969-1998) dan era pemerintahan reformasi
ekonomi (1998-2009) pada zaman SBY sekarang yang tengah mengendalikan tampuk
pemerintahan Indonesia “telah berhasil” mencapai kondisi “Steady-State Growth”
terhadap Ekonomi Nasional Indonesia, sehingga dapat dipastikan melalui konsep
teori W.W Rostow ini, dimana “masih cukup tingginya nilai kebutuhan tabungan”
berarti dapat dinyatakan bahwa Indonesia masih mampu melanjutkan
pembangunannya”
Tahun 1997-2002 (….. Terkutip Era Reformasi Ekonomi Pasca Megawati):
2) Khususnya pada “era pemerintahan reformasi ekonomi” (1997-2002) disaat
Megawati Soekarno Purti mengendalikan tampuk pemerintahan Indonesia, “tidak
berhasil alias gagal” mencapai kondisi “Steady-State Growth” terhadap Ekonomi
Nasional Indonesia, sehingga dapat dipastikan melalui konsep teori W.W Rostow ini,
dengan “sangat rendahnya nilai kebutuhan tabungan” yang berarti dapat pula
dinyatakan bahwa Indonesia sangat tidak mampu melanjutkan pembangunannya”
Dengan demikian, ada sedikit kemajuan atau perbaikan yang dicapai pada era
pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009) zaman SBY dibanding dengan era
pemerintahan reformasi ekonomi (1997-2002) pasca Megawati Soekarno Purti
mengendalikan tampuk pemerinthan Indonesia. Bagaimanapun juga pengendalian
ekonomi dan pembangunan Indonsia era pemerintahan ordebaru (1969-1998) Almarhum
Jenderal Soeharto jauh lebih baik daripada kedua zaman Megawati dan SBY tersebut.
Secara keseluruhan, dari masa ke masa secara beruntun terhitung semenjak era
pemerintahan ordelama (1960-1969), era pemerintahan ordebaru (1969-1998) dan era
pemerintahan reformasi ekonomi (1998-2009), laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
32
mengalami pengendoran secara berkelanjutan. Agaknya “jauh panggang daripada api”
bahwa era reformasi ekonomi untuk bercita-cita pula mencapai tinggal landas
sebagaimana yang telah dilakukan semasa ordebaru. Meskipun demikian adanya, era
reformasi ekonomi zaman SBY tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan perbaikan-
perbaikan ekonomi ke tahun-tahun berikutnya meskipun secara berangsur-angsur kerena
telah adanya perubahan yang positif. Hendaknya orientasi mengarah ke “outward
looking” berdasarkan pengalaman negara maju serta negara lainnya yang menjadi
pembanding serta pengelaman ekonomi Indonesia pada masa lampau.
9. DAFTAR PUSTAKA
1. Esmara, Hendra.,"Politik Perencanaan Pembangunan : Teori, Kebijaksanaan dan
Prospek" (Padang: Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Perencanaan
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Andalas pada rapat senat terbuka, 27
Juli 1985).
2. _________________dkk., "Beberapa Indikator Pembangunan Indonesia" dalam
Masyarakat Indonesia, Tahun ke-IX, No.2, 1982.
3. ________________,"Ekonomi Indonesia Dalam Transisi" (Padang: Pusat Penelitian
Universitas Andalas, 1987).
4. Heff, Nathaniel H. dan Kasuo Sato (1975). "A Simultaneous Equations Model of
Saving in Developing Countries". Jurnal of Political Economy, 83 (b).
5. Higgins, Benjamin., " Economic Development: Problems, Principles and Policies
(New York: W.W. Norton & Company, Revised edition 1968 ).
6. Kuncoro, Mudrajad., "Dampak Arus Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dan Tabungan Domestik", Prisma 9 (Jakarta: LP3ES, 1987).
7. Meier, Gerald M and Dudley Seers ( editor )., "Pioneers in Development" ( New
York: Oxford University Press, 1984 ).
8. Meirinaldi, SE, MM, DR dan Amrizal, “Refleksi Ekonomi Indonesia Setelah 34
Tahun Membangun: Diantara Kekuatan Dan Kelemahan”, Jurnal Ekonomi (jurnal
ilmiah kuartalan FE-UNBOR Volume XXIII, edisi Februari 2007)
9. Michael P. Todaro, "Economics For Developing World" ( London: Longman Group
Limited, 1977).
10. R.M Sandrum, “Development Economic: A Framework for Analysis and Policy”
(New York: John Wiley & Sons, 1983).
11. Simon Kuznet, "Economic Growth of Nation", dalam Teori Ekonomi Dan
Penerapannya di Asia ( Gramedia: Jakarta, 1981).
12. Tambunan, Tulus Tahi Hamonangan., Pembangunan Ekonomi & Utang Luar
Negeri:Rajawali Press, Jakarta 2008
13. Tambunan, Tulus TH Dr., Perekonomian Indonesia Teori Dan Temuan Empiris:
Ghalia Indonesia Jakarta, Agustus 2001.
14. Tambunan, Tulus., Perdagangan Internasional Dan Neraca Pembanyaran Teori Dan
Temuan Empiris: PT Pustaka LP3ES Indonesia Jakarta, Februari 2001.
15. Tambunan, Tulus TH Dr., Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting:
Ghalia Indonesia Jakarta, September 2003
16. Voivodas, Contantin S. "Export, Foreign Capital Inflow and Economic Growth",
Journal of International Economics, (Feb,1972).
33
17. Emmanuel S. De Dios (editor), An Analysis of the Philippine Economic Crisis
(Quezon City: Univ of The Philippine Press, 1984).
18. Michael P. Todaro dan Stephen, C Smith, Pembangunan Ekonomi, edisi kesembilan:
Erlangga, Jakarta 2006.
19. Report of Economic Committee, The Singapura Economy: New Direction
(Singapura: Ministry of trade & Industry, February 1986)
Tambahan:
20. Adisasmita, Rahardjo., Dasar-dasar Ekonomi Transportasi:Graha Ilmu, Yokyakarta,
Mei 2010
21. Basri, Faisal,. Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan
Indonesia: Erlangga, Jakarta 2002
22. Deliarnov., Perkembangan Pemikiran Ekonomi, edisi ketiga: Rajawali Press, Jakarta
2010
23. Johnston, J., (1972). Economietric Methods, Mc Graw-Hill Kogakusa, Ltd., Tokyo.
24. J. Supranto., (1981). Metode Ramalan Kwantitatif Untuk Perencanaan, Jakarta,
Gramedia.
25. Sanusi, Bachrawi., Pengantar Ekonomi Pembangunan: PT Rineka Cipta Jakarta,
Februari 2004
Data-Data Resmi Ekonomi Indonesia:
I. Data Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Indonesia: Sumber:
1). Republik Indonesia, Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, 1969/70-1973/74.
2). ______________ , Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua, 1974/75-1978/79
(Jakarta: Departemen Penerangan RI), Buku I.
3). ______________ , Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga, 1979/80-1983/84
(Jakarta: Departemen Penerangan RI), Buku I.
4). ______________ , Rencana Pembangunan Lima Tahun Keempat, 1984/85-1988/89
(Jakarta: Departemen Penerangan RI), Buku I.
5). ______________ , Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima, 1989/90-1993/94
(Jakarta: Departemen Penerangan RI), Buku I.
6). ______________ , Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam, 1994/95-1998/99
(Jakarta: Departemen Penerangan RI), Buku I.
II. Data Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia: Sumber:
8). Bank Indonesia, Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Januari 1973
9). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Maret 1973
10). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume XIII, No 5, Mei 1980.
11). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume XV, No 4, April 1982.
12). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume VII, No 3, Maret 1983.
13). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume XIX, No 3, Maret 1986.
14). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume XX, No 4, April 1987.
15). ____________ , Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, Volume XX, No 3, Maret 1988.
16). ____________ , Laporan Tahunan 1988/89
34
III. Data Statistik Indonesia:
Sumber
17). Biro Pusat Statistik , Statistik Indonesia (Statistik tahunan 1974/75)
18). _______________ , Statistik Indonesia 1975.
19). _______________ , Statistik Indonesia 1977-80.
20). _______________ , Statistik Indonesia 1980/81.
21). _______________ , Statistik Indonesia 1982.
22). _______________ , Statistik Indonesia 1984.
23). _______________ , Statistik Indonesia 1983-1986 (Tabel-Tabel Pokok).
IV. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia:
Sumber: 24) Biro Pusat Statistik, Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta 2006, Realisasi Penggunaan
Produk Domestik Bruto untuk tahun 1960-2004.
25) Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
1988/1989. Realisasi Penggunaan PDB, APBN, Neraca Pembayaran tahun 1960-1973
26) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok),Tahun 1983-1988. 27) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok),Tahun 1986-1987.
28) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok),Tuhun 1987-1992.
29) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok ),Tuhun 1993-1995.
30) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok), Tahun 1994- 1997.
31) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok), Tahun 1996-1999.
32) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok), Tuhun 1997-2000.
33) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia (Tabel-Tabel Pokok), Tuhun 2000-2003.
34) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia ( Tabel-Tabel Pokok ), Tahun 2001-2004.
35) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia "National Income of Indonesia" 2002-2005.
36) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia "National Income of Indonesia" 2004-2007.
37) Biro Pusat Statistik, Pendapatan Nasional Indonesia "National Income of Indonesia" 2006-2009.
V. Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DKI Jakarta:
Sumber: 38) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Tahun 1971-1977
39) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Tahun 1975-1979
40) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Tahun 1975-1982
41) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1983-1989
42) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1988-1993
43) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1993-1996 44) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1995-1998
45) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1997-2000
46) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 1999-2002.
47) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 2000-2004
48) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 2001-2005
49) Pendapatan Regional Propinsi-propinsi di Indonesia Menurut LU Tahun 2004-2008
VI. Data Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia:
Sumber:
50) Dalam Hendra Esmara "Ekonomi Indonesia Dalam Transisi", Pusat Penelitian Unand
Padang, 1987 untuk tahun 1969/70-1984/85, Diperhitungkan dari Nota Keuangan
RAPBN Tahun 1986/1987
51) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Februari 1999,
untuk tahun 1985/86-1990/91
35
52) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Juli 1999,
untuk tahun 1991/92-1994/95
53) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Desember
2001, untuk tahun 1995/96-1999/2000
54) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Desember
2005, untuk tahun 2000/01-2003/04
55) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", September
2009, untuk tahun 2004/05-2009/10
VII. Data Realisasi APBN Indonesia:
56) Bank Indonesia, Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia, beberapa tahun penerbitan;
Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, edisi Juli 1998.
57) Dalam Hendra Esmara "Ekonomi Indonesia Dalam Transisi", Pusat Penelitian Unand
Padang, 1987 untuk tahun 1969/70-1984/85, iperhitungkan dari Nota Keuangan
RAPBN Tahun 1986/1987.
58) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Februari 1999,
untuk tahun 1985/86-1990/91.
59) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Juli 1999,
untuk tahun 1991/92-1994/95.
60) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Desember
2001, untuk tahun 1995/96-1999/00
61) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", Desember
2005, untuk tahun 2000/01-2003/04.
62) Badan Pusat Statistik, "Indikator Ekonomi: Buletin Statistik Bulanan", September
2009, untuk tahun 2004/05-2009/10.
VIII. Data Ekonomi Indonesia Lainnya:
63) Jumlah Penduduk DKI Jakarta diolah dari "Pembagian dari PDRB Harga berlaku
dengan PDRB Perkapita harga berlaku"
64) Badan Pusat Statistik Jakarta-Indonesia, "Kurs Valuta Asing Dan harga emas di
Jakarta 1998, Rata-tara Kurs Jual Beberapa Valuta Asing Tahun 1950-1979" dan
berbagai tahun penerbitan 2001 s/d 2009 Sedangkan untuk tahun 1999 dikutip dari
"Indikator Ekonomi Juli 1988" dan 2006 s/d 2008 dari "Indikator Ekonomi
September 2009".
36
9. LAMPIRAN DATA:
9.1. Data Asli Terkait Pendapatan Nasional Indonesia 1960-2009
9.1.1. Data Neraca Pembayaran Indonesia ( Dalam US Juta ) Tabel 1.1: Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 1960/61 - 1973/74
Tabel 1.2: Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 1969/70 - 2086/87
Tabel 1.3: Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 1969/70 - 2009/10
Tabel 1.3a: Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 2008/09 - 2009/10
Tabel 1 : Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 1960/61 - 2009/10
9.1.2. Data APBN, Atas Dasar Harga Berlaku ( Dalam Rp Milyar) Tabel 2.1: REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1960/61-1973/74
Tabel 2.2: REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1969/70-1997/98
Tabel 2 : REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1960/61-2009/10
9.1.3. Data Pendapatan Nasional Indonesia, Atas Dasar Harga Berlaku Tabel 3.1: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1960-1973 Tabel 3.2: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1973-1983 Tabel 3.3: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1969-1983 Tabel 3.4: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1983-1993 Tabel 3.5: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1993-2005 Tabel 3.6: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1993-2000 Tabel 3.7: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 2000-2005
Tabel 3.8: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 2000-2009 Tabel 3 : REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1960-2009
9.1.4. Data Pendapatan Nasional Indonesia, Atas Dasar Harga Konstan Tabel 4.1: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1960-1973 Tabel 4.2: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1973-1983 Tabel 4.3: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1969-1983 Tabel 4.4: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1983-1993 Tabel 4.5: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1993-2003 Tabel 4.6: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1993-2000
Tabel 4.7: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 2000-2005 Tabel 4.8: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 2000-2009
9.1.5. Data PDRB DKI Jakarta, PDB Indonesia Terkait LU Transportasi & Komunikasi (Harga Berlaku)
IKHTISAR 1: PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI DKI JAKARTA, TAHUN 1969-2008
IKHTISAR 1: PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA, TAHUN 1969-2009
9.1.6. Data Makro Ekonomi Indonesia: BOP, APBN Dan PDB IKHTISAR 1: Realisasi Neraca Pembayaran Indonesia, 1960/61 - 2009/10
IKHTISAR 2: REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1960/61-2006/10
IKHTISAR 3: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1960-2010
Merobah Data Asli Pendapatan Nasional 1960-2009 (menggunakan Shifting Index) Tabel 4a: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN (1960 = 100) Tabel 4b: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN (1973 = 100) Tabel 4c: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN (1983 = 100) Tabel 4d: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN (1993 = 100)
IKHTISAR 4 (Tabel 4): REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN (2000 = 100)
Data PDB Indonesia Setelah melakukan Shifting Index ( Tahun 2000 = 100) IKHTISAR 4: REALISASI PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, TAHUN 1960-2010
IKHTISAR 5: PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA, TAHUN 1969 - 2009
IKHTISAR 6: AGREGATIF MAKRO EKONOMI INDONESIA, TAHUN 1960-2009
37
Komposisi Investasi, Sumber Pembiayaan Dan Akseleritas Ekonomi Nasional
9.1.7. Penggunaan Data-Data Nasional Olahan “Lintas Ekonomi Nasional” Tabel 1. PENGGUNAAN PDB, TABUNGAN, STOKS MODAL DAN PERUBAHAN PENDAPATAN, TAHUN 1960-2009 (Diperhitungkan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000)
Tabel 2. Enambelas (16) Buah Hasil Estimasi Lintas Ekonomi Nasional Tabel 2.1a. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Panjang, 1960-2009 Tabel 2.1b. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Pendek, 1960-2009
Tabel 2.1c. Hasil Estimasi Fungsi Stoks Modal Jangka Pendek, 1960-2009
Tabel 2.1d. Hasil Estimasi Fungsi Konsumsi Jangka Pendek, 1960-2009
Tabel 2.2a. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Panjang, 1960-1969
Tabel 2.2b. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Pendek, 1960-1969
Tabel 2.2c. Hasil Estimasi Fungsi Stoks Modal Jangka Pendek, 1960-1969
Tabel 2.2d. Hasil Estimasi Fungsi Konsumsi Jangka Pendek, 1960-1969
Tabel 2.3a. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Panjang, 1969-1998
Tabel 2.3b. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Pendek, 1969-1998
Tabel 2.3c. Hasil Estimasi Fungsi Stoks Modal Jangka Pendek, 1969-1998 Tabel 2.3d. Hasil Estimasi Fungsi Konsumsi Jangka Pendek, 1969-1998
Tabel 2.4a. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Panjang, 1998-2009
Tabel 2.4b. Hasil Estimasi Fungsi Tabungan Jangka Pendek, 1998-2009
Tabel 2.4c. Hasil Estimasi Fungsi Stoks Modal Jangka Pendek, 1998-2009
Tabel 2.4d. Hasil Estimasi Fungsi Konsumsi Jangka Pendek, 1998-2009
Tabel 3: HASIL PERHITUNGAN PERKIRAAN KEBUTUHAN INVESTASI
DARI FUNGSI REGRESI JANGKA PENJANG
Tabel 4: FUNGSI TABUNGAN JANGKA PANJANG INDONESIA DIBANDING
NEGARA LAIN DAN PERKIRAAN KEBUTUHAN TABUNGAN
9.2. Data Asli Terkait Produksi Nasional Indonesia 1960-2009
9.2.1. Data Produksi Nasional Indonesia, Atas Dasar Harga Berlaku Tabel 3.1: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1960-1973 Tabel 3.2: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1973-1983 Tabel 3.3: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1969-1983 Tabel 3.4: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1983-1993 Tabel 3.5: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1993-2005 Tabel 3.6: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1993-2000 Tabel 3.7: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 2000-2005 Tabel 3.8: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 2000-2009
Tabel 3 : PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1960-2009
9.2.2. Data Produksi Nasional Indonesia, Atas Dasar Harga Konstan Tabel 4.1: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1960-1973 Tabel 4.2: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1973-1983 Tabel 4.3: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1969-1983 Tabel 4.4: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1983-1993 Tabel 4.5: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1993-2005 Tabel 4.6: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 1993-2000 Tabel 4.7: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 2000-2005 Tabel 4.8: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN 2000-2009
38
Merobah Data Asli Produksi Nasional 1960-2009 (menggunakan Shifting Index) Tabel 5a: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN (1960 = 100) Tabel 5b: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN (1973 = 100) Tabel 5c: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN (1983 = 100) Tabel 5d: PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN (1993 = 100)
(Tabel 5): PRODUKSI LAPANGAN USAHA EKONOMI, TAHUN (2000 = 100)
------+++++------
Cara paling Mudah Meng-unduh (Downloads) secara GRATIS sejumlah TULISAN ILMIAH Dalam bentuk Files PDF sebagai berikut:
39
Daftar TULISAN ILMIAH Untuk PERGURUAN TINGGI, Terdiri:
Bidang UMUM: ILMU EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN
JURNAL PENELITIAN Kuantitatif, BUKU AJAR MODUL SOAL DAN
PEMECAHAN SOAL, BUKU TEKS, Laporan Hasil & Jurnal Hasil
Penelitian Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI, LAPORAN HASIL
& Jurnal Hasil Penelitian SURVEY Dibidang Manajemen Transportasi
10 Macam Hasil Pegembangan KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Penelitian Survey dari 5 Hasil Penelitian SURVEY.
Dan Didapatkan 10 Contoh/Bentuk PROPOSAL PENELITIAN KUANTITATIF
Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI, termasuk 5 Proposal (Draft Hibah
DIKTI) Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI 2009 s/d 2016
12 Contoh/Bentuk PROPOSAL PENELITIAN SURVEY Dibidang MANAJEMEN
TRANSPORTASI 2014 s/d 2017
I. Bidang UMUM: ILMU EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN, Serta
Jurusan Terkait Bidang EKONOMI:
02 27 Jurnal Penelitian Kuantitatif TAHAP I to KOPTIS Wilayah III Jakarta Files: 003 01 Perspektif Ekonomi Indonesia Dalam satu tahap pembangunan Jangka Panjang
004 02 Analisis Fungsi Tabungan Indonesia: Pengujian Model Hipotesa Pendapatan Permanen
005 03 Expor Kommoditi Primer Pulau Sumatera Lamam Perdagangan Luar Negeri Indonesia
006 04 Ekspor Dan Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus Indonesia 1969-1994 007 05 Pekiraan Pembentukan Modal Di Indonesia
008 06 Kebijaksanaan Deregulasi Perbankan Dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Di Indonesia
009 07 Instabilitas Perdagangan Luar Negeri Indonesia
010 08 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dan Ketergantungan Terhadap Dana Luar Negeri
011 09 Sumber Pertumbuhan Ekonomi Diantara Modal Dan Tabungan
012 10 Pengukuran Kondisi Ekonomi Indonesia Dan Pencapaian Stedy-State Growth
013 11 Modal Asing Swasta Dan Pembentukan Investasi Produktif Dalam Pembiayaan Pembangunan
014 12 Trade-Off Antara Penerimaan Pajak Dan Kemampuan Menabung Masyarakat
015 13 Mobilisasi Tabungan Dan Investasi suatu Ekonomi Terbuka: Studi Kasus Indonesia 1969-1995
016 14 Pengaruh Pendapatan Permanen Dalam Pembentukan Tabungan
017 15 Peranan Ekspor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
018 16 Analisis Fungsi Konsumsi Indonesia Dengan Pendapatan Permanen 019 17 Pembiayaan Ekonomi Dalam Negeri Diantara Keinginan Dan Kenyataan
020 18 Sektor Perdagangan Luar Negeri Indonesia Dan Pengaruhnya Terhadap Kegiatan Ekonomi
021 19 Reformasi Kebijaksanaan Makro Dan Pengaruh Ekonomi Sektor Terbuka
022 20 Keseimbangan Pendapatan Nasional: Investasi Dan Sumber Pembiayaan Ekonomi
023 21 Analisis Pengaruh Pembentukan Tabungan Suatu Ekonomi Terbuka
024 22 Pengaruh Aliran Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Pembentukan Tabungan
025 23 Perkiraan Kebutuhan Investasi Dan Pengukuran Tinggal Landas
026 24 Kemampuan Pembentukan Modal Domestik: Sektor Pemerintah Dan Masyarakat
027 25 Prestasi Ekonomi Indonesia Dan Akumulasi Sumber Pembiayaan Pembangunan
028 26 Kualitas Pembangunan Ekonomi Indonesia Dan Dilema Ketergantungan Sumber Dana
029 27 Investasi Dan Pembiayaan Ekonomi Jangka Panjang Indonesia
40
004 34 Jurnal Penelitian Kuantitatif TAHAP II to STMT Trisakti Files: 030 01 Standar Ukuran Tinggal Landas Perekonomian Suatu Negara
031 02 Pembentukan Modal Domestik Bruto Sektor Pemerintah Dan Masyarakat
032 03 Pembentukan Tabungan Dan Pembiayaa Ekonomi Jangka Panjang Indonesia
033 04 Prestasi Ekonomi Indonesia Dan Pencapaian Steady-State Growth
034 05 Aliran Modal Asing Swasta Dalam Pembentukan Investasi Produktif
035 06 Fungsi Konsumsi Dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Permanen 036 07 Pendapatan Permanen Dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Tabungan
037 08 Pengujian Model Tabungan Indonesia Dengan Hipotesa Pendapatan Permanen
038 09 Kebutuhan Tabungan Dan Sumber Pembiayaan Ekonomi Indonesia
039 10 Sumber-Sumber Pembentukan Investasi: Trade-Off Antara Pajak Dan Tabungan
040 11 Aggregate Expenditre Ekonomi Sektoral (Kajian Perhitungan Ekonomi 3 Sektor)
041 12 Sumber-Sumber Pembentukan Investasi Dalam Struktur Ekonomi Terbuka
042 13 Aggregate Expendiure Ekonomi Sektoral (Kajian Perhitungan Ekonomi 4 Sektor)
043 14 Pengaruh Sektor Perdagangan Luar Negeri Terhadap Aktivitas Ekonomi Indonesia
044 15 Aliran Modal Asing Dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Pembentukan Tabungan
045 16 Penafsiran Tingkat effisiensi Marginal Ekonomi Indonesia Dan Prakiraan Pembentukan Modal
046 17 Sumber-Sumber Pembentukan Investasi Dalam Struktur Ekonomi Sederhana
047 18 Aggregate Expenditure Ekonomi Sektoral (Kajian Perhitungan Ekonomi 2 Sektor) 048 19 Pembentukan Modal Domestik Bruto Dan Ketergantungan Terhadap Sumber Dana
049 20 Prestasi Ekonomi Dan Indeks Instabilitas Sektor Perdangan Luar Negeri Indonesia
050 21 Model Makro Keseimbangan Agregatif Pembentukan Tabungan Dan Investasi
051 22 Expor Kommoditi Primer Dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Pulau Sumatera
052 23 Konstribusi Ekspor Dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
053 24 Pengaruh Variabel-variabel Agregatif Terhadap Pembentukan Tabungan Dan Pendapatan
054 25 Pengembangan Sumber Pembiayaan Pembangunan Yang Semakin Bertumpu Pada
Kemampuan Sendiri
055 26 Pengembangan Instrumen Kebijaksanaan makro Terhadap Pembentukan Investasi Dan Pendapatan
056 27 Kebutuhan Tabungan Dan Pembentukan Investasi Produktif Bagi Pembiayaan Pembangunan
057 28 Pengaruh Ekspor Terhadap Pendapatan Nasional Dan Pertumbuhan Ekonomi 058 29 Pengaruh Deregulasi Perbankan Bidang Ekspor Terhadap Devisa Pendapatan Nasional
059 30 Aliran Dana Luar Negeri Di Indonesia Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
060 31 Strategi Indonesia Dan Manajemen Pembentukan Modal Bagi Peningkatan Pendapatan Masyarakat
061 32 Manajemen Perdagangan Internasional Pengurangan Distorsi Ekonomi Pasca Seleksi
Aliran Dana Luar Negeri
062 33 Manajemen Perbankan Pasca Deregulasi Dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Di Indonesia
063 34 Refleksi Ekonomi Indonesia Setelah 34 Tahun Membangun: Diantara Kekuatan Dan Kelemahan
005 10 BUKU AJAR, MODUL SOAL DAN PEMECAHAN Files: 064 01 BUKU AJAR Pengantar Teori Ekonomi
065 02 MODUL SOAL DAN PEMECAHAN Pengantar Teori Ekonomi
066 03 BUKU AJAR Teori Ekonomi 067 04 BUKU AJAR Ekonomi Pembangunan
068 05 BUKU AJAR Pengantar Ekonomi Mikro
069 06 BUKU AJAR Ekonomi Makro Perthitungan Pend Nasional
070 07 BUKU AJAR Teori Ekonomi Mikro
071 08 MODUL SOAL DAN PEMECAHAN Teori Ekonomi Mikro
073 09 BUKU AJAR Ekonomi Manajerial
074 10 MODUL SOAL DAN PEMECAHAN Ekonomi Manajerial
41
II. PENELITIAN KUANTITATIF Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI 006 3 VERSI Teks Book EKO MANAJERIALPernah Disumbang ke DIKTI Dan Dikirim Ke USA File 075 01 Buku Teks 681h EKONOMI MANAJERIAL Dengan Fungsi Hasil Estimasi
Atau 075 01 EKONOMI MANAJERIAL Penerapan Konsep-Konsep Mikro Ekonomi Dengan Fungsi
Hasil Estimasi
File 076 02 Buku Teks 301h EKONOMI MANAJERIAL Dengan Fungsi Non-Estimasi
Atau 076 02 EKONOMI MANAJERIAL Penerapan Konsep-Konsep Mikro Ekonomi Dengan Fungsi
Non-Estimasi
File 077 03 Buku Teks 509h EKO MANAJERIAL TRANSPORTASI Dengan Fungsi Non-Estimasi
Atau 077 03 EKONOMI MANAJERIALTRANSPORTASI Penerapan Konsep Mikro Ekonomi Dalam Bisnis Transportasi Dengan Fungsi Non-Estimasi
File 078 Ringkasan Isi Dan Surat Menyurat Pengiriman 3 Teks Book EKO MANAJERIAL Ke USA
Atau 078 Request for Coop in Publishing 3 Text Books in MANAGERIAL ECONOMICS to The USA
Subject: Request for Cooperation in Publishing Text Books in MANAGERIAL
ECONOMICS: Application of Microeconomic Concepts Using Estimation
Result Function (242 halaman)
008 3 Jurnal Penelitian Kuantitatif PROFESIONAL Ilmu Ekonomi 2010 Files: 079 01 Evaluasi Ekonomi Indonesia di Era Pembangunan Berkelanjutan
080 02 Evaluasi Ekonomi 50 Tahun Indonesia Membangaun 081 03 Kebutuhan Tabungan Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan Indonesia
009 4 Jurnal Penelitian Kuantitatif PROFESIONAL Ilmu Ekonomi 2012 Files: 082 01 Pengembangan Ekonomi Dan Pengaruh POLIIK Di Era Kepemimpinan INDONESIA
083 02 Prestasi Ekonomi INDONESIA Jangka Panjang Dan Pencapaian Kondisi STEADY-
STATE GROWTH
084 03 Perkiraan Kebutuhan Tabungan Bagi Target Pertumbuhan Ekonomi Yang Hendak Dicapai
085 04 Pengendalian Ekonomi Ditengah Ancaman Krisis Dan Dilema Keterbatasan Sumber
Pembiayaan Yang Salaing Trade-Off
010 4 Laporan Penelitian Kuantitatif MANAJEMEN TRANSPORTASI 2010 File 086 01 Laporan HASIL PENELITIAN Kuantitatif 72h Dibidang TRANSPORTASI DARAT 2010
Atau 086 01 Kebutuhan Investasi Produktif Dan Pengembangan Produksi Jasa Angkutan Jalan Raya Di
Indonesia
File 087 02 Jurnal HASIL PENELITIAN Kuantitatif 18h Dibidang TRANSPORTASI DARAT 2010
Atau 087 02 Kebutuhan Investasi Produktif Dan Pengembangan Produksi Jasa Angkutan Jalan Raya Di
Indonesia
File 088 03 Laporan HASIL PENELITIAN Kuantitatif 77h Dibidang TRANSPORTASI LAUT 2010 Atau 088 03 Produksi Jasa Angkutan Laut Indonesia Dan Akseleritas Pendapatan Nasional
File 089 04 Jurnal HASIL PENELITIAN Kuantitatif 18h Dibidang TRANSPORTASI LAUT 2010
Atau 089 04 Produksi Jasa Angkutan Laut Indonesia Dan Akseleritas Pendapatan Nasional
42
011 3 Proposal P3M PENELITIAN Kuantitatif MANJEMEN TRANSPORTASI,Tahun 2010 File 090 01 Draft Proposal 21h Penelitian P3M MTD STMT Angkutan Jalan Raya DKI 2010
Atau 090 01 Kepadatan Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya Di DKI Jakarta: Trade off Antara Penguna
Kendaraan Pribadi Dan Umum
(Studi Kasus: Penerapan Konsep Slutsky’s Theorem, TE = SE + IE)
File 091 02 Draft Proposal 26h Penelitian P3M MTL STMT Faktor Produksi PT PELNI 2010 atau 091 02 Pengaruh Beberapa Faktor Produksi Terhadap Produksi PT PELNI
(Studi Kasus: Penerapan Konsep Production Isoquant, TO = SE + OE)
File 092 03 Draft Proposal 25h Penelitian P3M MTU STMT Jumlah Alat Angkut Yang Sepadan 2010
atau 092 03 Penentuan Jumlah Alat Angkut Yang Sepadan Dengan Arus Penumpang Jakarta-Ujung
Pandang
012 14 Proposal PENELITIAN Kuantitatif MANAJEMEN TRANSPORTASI, Tahun 2011 File 093 01 Proposal 11h Produksi Jasa Angkutan Udara Indonesia 2011
Atau 093 01 Produksi Jasa Angkutan Udara Indonesia Dan Investasi Produktif Yang Diperlukan
File 094 02 Proposal 10h Jasa Angkutan Rel 2011
Atau 094 02 Menasionalisasikan Jasa Angkutan Rel Dan Investasi Yang Dibutuhkan
File 095 03 Proposal 11h Produktivitas Dan Produksi Jasa Angkutan KAI 2011
Atau 095 03 Produktivitas Dan Produksi Jasa Angkutan Kereta Api Indonesia
File 096 04 Proposal 11h Angkutan Pelayaran Antar Pulau Indonesia 2011
Atau 096 04 Angkutan Pelayaran Antar Pulau Dalam Wililayah Teritorial Indonesia
File 097 05 Proposal 12h Produksi Jasa Angkutan Udara Penerbangan Domestik 2011
Atau 097 05 Produksi Jasa Angk Udara Komersial Penerbangan Domestik
File 098 06 Proposal 12h Pengembangan Jasa Angkutan Pelayaran Antar Pulau 2011
Atau 098 06 Pengembangan Jasa Angkutan Pelayaran Antar Pulau Indonesia
File 099 07 Proposal 14h Usaha Jasa Angkutan Udara Pada Penerbangan Domestik 2011
Atau 099 07 Usaha Jasa Angkutan Udara Pada Penerbangan Domestik
File 100 08 Proposal 11h Utilitas Penumpang Pengguna Jasa Pelayaran Antar Pulau 2011
Atau 100 08 Utilitas Penumpang Pengguna Jasa Pelayaran Antar Pulau
File 101 09 Proposal 13h Angkutan Penumpang Udara Pada Penerbangan Domestik 2011
Atau 101 09 Angkutan Penumpang Udara Pada Penerbangan Domestik
File 102 10 Proposal 15h Angkutan Penumpang Dom Dan Trade off Antara Laut dan Udara 2011
Atau 102 10 Angkutan Penumpang Dom Dan Trade off Antara Laut dan Udara
File 103 11 Proposal 14h Kebutuhan Modal Pert Produksi Angkutan Udara Luar Negeri 2011
Atau 103 11 Kebutuhan Modal Pertumbuhan Produksi Angkutan Udara Luar Negeri
File 104 12 Proposal 12h Pengembangan Produksi Jasa Angkutan KAI 2011
Atau 104 12 Pengembangan Produksi Jasa Angkutan Kereta Api Indonesia
File 105 13 Proposal 15h Angkutan Kargo Pelayaran Antar Pulau Dan Penerbangan Dom 2011
Atau 105 13 Angkutan Kargo Pelayaran Antar Pulau Dan Penerbangan Domestik
File 106 14 Proposal 12h Produksi Angkutan Kargo Udara penerbangan Internasional 2011 Atau 106 14 Produksi Angkutan Kargo Udara penerbangan Internasional
43
10 Contoh PROPOSAL PENELITIAN KUANTITATIF Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI
013 5 CONTOH Hibah (Proposal DIKTI) Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI 2009 -2016 File 107 01 Draf Hibah Kompetensi TAHAP 1 44h dgn Ir PRASAD TITA MM to DIKTI 2009
Atau 107 01 Analisis Pertambahan Pengguna Kendaraan Bermotor Roda Dua Dan Kepemilikan Mobil
Pribadi Di Jakarta
File 108 02 Draft Hibah Kompetensi 47h dgn PROF ERYUS To DIKTI 2010
Atau 108 02 Kepadatan Lalin Angkutan Jalan Raya Di DKI Jakarta Trade off Antara Peng Kend Pribadi
Dan Umum
File 109 03 Draft Hibah Kompetensi 51h dgn PROF HANANTO to DIKTI 2010
Atau 109 03 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PT PELNI
File 110 04 Draft Hibah Kompetensi 51h dgn PROF DIRK KOLEANGAN to DIKTI 2010
Atau 110 04 Penentuan Jumlah Alat Angkut Yang Sepadan Dengan Arus Penumpang JAKARTA-
UJUNG PANDANG
File 111 05 Draft Hibah PRODUK TERAPAN 67h dgn Dr HUSNI HASAN to DIKTI 2016
Atau 111 05 Analisis Penentuan Tarif Angkut Dua Jasa Angk Penumpang Udara Dan Laut Rute
JAKARTA-UJUNG PANDANG
014 3 CONTOH Proposal PENELITIAN Kuantitatif MANJEMEN TRANSPORTASI,Tahun 2014 File 112 01 Proposal Penelitian P3M MTL 13h Angk Pelayaran Antar Pulau PT PELNI 2014
Atau 112 01 PENGEMBANGAN PRODUKSI ANGKUTAN PELAYARAN DI INDONESIA
File 113 02 Proposal Penelitian P3M MTD 15h Effisiensi Produktivitas Jasa Angk PT KAI 2014
Atau 113 02 TINGKAT EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS JASA ANGKUTAN KERETA API
INDONESIA
File 114 03 Proposal Penelitian P3M MTU 21h Kebutuhan Modal Angk Penerb Domestik 2014
Atau 114 03 KEBUTUHAN MODAL DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI ANGKUTAN
PENERBANGAN DOMESTIK
015 2 CONTOH Proposal PENELITIAN Kuantitatif MANJEMEN TRANSPORTASI,
Tahun 2017, Sedang Digarap File 115 01 Proposal Terpadu P3M 28h atau Analisis Trade-Off Antara MTL Dengan MTU 2017
Atau 115 01 Pengembangan Produksi Jasa Angkutan Pelayaran Antar Pulau Dan Penerbangan
Domestik Indonesia: Trade-off Antara Angkutan Laut Dan Udara
File 116 02 Proposal Penelitian P3M 22h Dibidang TRANPORTASI UDARA Luar Negeri 2017
Atau 116 02 KEBUTUHAN MODAL DAN PERTUMBUHAN PRODUKSI ANGKUTAN UDARA
LUAR NEGERI
44
III. PENELITIAN SURVEY Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI 016 5 LAPORAN HASIL PENELITIAN SURVEY Dibidang MANJEMEN TRANSPORTASI 2014-2017
File 117 01 Laporan HASIL PENELITIAN 375h Kereta Api Ekonomi Lokal Purwakarta 2014
Atau 117 01 LOYALITAS PELANGGAN JASA ANGKUTAN KERETA API EKONOMI LOKAL
PURWAKARTA
File 118 02 Laporan HASIL PENELITIAN 147h PERUM DAMRI 2015 Atau 118 02 Analisis Kepuasan Konsumen Jasa Transportasi Perum Damri Dalam Meningkatkan
Loyalitas Pelanggan
File 120 03 Laporan HASIL PENELITIAN 172h PT MAYASARI BAKTI 2016
Atau 120 03 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Dan Dampaknya Thd
Keunggulan Bersaing Jasa Angk Mayasari Bakti
File 122 04 Laporan HASIL PENELITIAN 165h GARUDA INDONESIA 2016
Atau 122 04 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan
Domestik GIA Di Bandara Soeta
File 124 05 Laporan HASIL PENELITIAN 353h Kereta Api PATAS Purwakarta 2017 Atau 124 05 ANALISIS KUALITAS PELAYANAN TRANSPORTASI KERETA API PATAS
PURWAKARTA
017 5 Jurnal HASIL PENELITIAN SURVEY Dibidang MANJEMEN TRANSPORTASI 2014-2017 File 125 01 Jurnal HASIL PENELITIAN 41h Kereta Api Ekonomi Lokal Purwakarta 2014
Atau 125 01 LOYALITAS PELANGGAN JASA ANGKUTAN KERETA API EKONOMI LOKAL
PURWAKARTA
File 126 02 Jurnal HASIL PENELITIAN 35h PERUM DAMRI 2015
Atau 126 02 Analisis Kepuasan Konsumen Jasa Transportasi Perum Damri Dalam Meningkatkan
Loyalitas Pelanggan
File 128 03 Jurnal HASIL PENELITIAN 38h PT MAYASARI BAKTI 2016
Atau 128 03 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Dan Dampaknya Thd
Keunggulan Bersaing Jasa Angk Mayasari Bakti
File 130 04 Jurnal HASIL PENELITIAN 36h GARUDA INDONESIA 2016
Atau 130 04 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan
Domestik GIA Di Bandara Soeta
File 132 05 Jurnal HASIL PENELITIAN 40h Kereta Api PATAS Purwakarta 2017
Atau 132 05 ANALISIS KUALITAS PELAYANAN TRANSPORTASI KERETA API PATAS
PURWAKARTA
018 10 Macam Prediksi Pengembangan MODEL & KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Penelitian Survey
Files: 133 01 KA Eko Lokal Purwakarta 2014 20h KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt 134 02 KA Eko Lokal Purwakarta 2014 23h KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Panjang Alt
135 03 PERUM DAMRI 2015 15h KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
136 04 Jurnal HASIL PENELITIAN PERUM DAMRI 2015 24h
137 05 Jurnal HASIL PENELITIAN Kereta Api Ekonomi Lokal Purwakarta 2014 30h
138 06 Jurnal HASIL PENELITIAN PT MAYASARI BAKTI 2016 31h
139 07 PT MAYASARI BAKTI 2016 19h KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
140 08 Jurnal HASIL PENELITIAN GARUDA INDONESIA 2016 31h
141 09 PT GARUDA INDONESIA 2016 19h KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
142 10 Jurnal HASIL PENELITIAN KA PATAS Purwakarta 2017 30h
45
12 BUAH BENTUK PROPOSAL PENELITIAN SURVEY Dibidang MANAJEMEN TRANSPORTASI
019 6 Contoh Proposal PENELITIAN SURVEY Dibidang Manajemen Transportasi 2014-2017 File 143 01 Proposal 21h KERETA API EKONOMI LOKAL PURWAKARTA 2014
Atau 143 01 LOYALITAS PELANGGAN JASA ANGKUTAN KERETA API EKONOMI LOKAL
PURWAKARTA
File 144 02 Proposal 18h PERUM DAMRI 2015
Atau 144 02 Analisis Kepuasan Konsumen Jasa Transportasi Perum Damri Dalam Meningkatkan
Loyalitas Pelanggan
File 145 03 Proposal 17h PERUM DAMRI Dgn KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
Atau 145 03 Analisis Kepuasan Konsumen Jasa Transportasi Perum Damri Dalam Meningkatkan
Loyalitas Pelanggan
File 146 04 Proposal 28h Keunggulan Bersaing PT MAYASARI BAKTI 2016
Atau 146 04 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Dan Dampaknya Terhadap
Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Mayasari Bakti
File 148 05 Proposal 28h Keunggulan Bersaing GARUDA INDONESIA 2016
Atau 148 05 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan
Domestik GIA Di Bandara Soeta
File 150 06 Proposal 27h KERETA API PATAS PURWAKARTA 2017
Atau 150 06 ANALISIS KUALITAS PELAYANAN TRANSPORTASI KERETA API PATAS
PURWAKARTA
020 2 Contoh Proposal PENELITIAN SURVEY Hasil Pengembangan Model 2016 File 151 01 Proposal 33h Keunggulan Bersaing GARUDA INDONESIA 2016 dengan MODEL &
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
Atau 151 01 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan Domestik GIA Di Bandara Soeta
File 152 02 Proposal 26h Keunggulan Bersaing PT MAYASARI BAKTI 2016 dengan MODEL &
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
Atau 152 02 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Loyalitas Konsumen Dan Dampaknya Terhadap
Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Mayasari Bakti
021 2 Contoh Proposal Baru PENELITIAN SURVEY Dibidang Manajemen Transportasi 2017 File 153 01 Proposal 30h Keunggulan Bersaing LION AIR GROUP 2017
Atau 153 01 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan Domestik LION AIR GROUP Di Bandara Soeta
File 154 02 Proposal 30h Keunggulan Bersainng TRANSJAKARTA 2017
Atau 154 02 Faktor Yang Mempengaruhi Keunggulan Bersaing Dan Implikasinya Terhadap Loyalitas
Konssumen Jasa Angkutan Transjakarta
File 155 01 Proposal 30h Keunggulan Bersaing LION AIR GROUP 2017 dengan MODEL &
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
Atau 155 01 Analisis Kualitas Pelayanan Dan Keunggulan Bersaing Jasa Angkutan Penerbangan
Domestik LION AIR GROUP Di Bandara Soeta
File 156 02 Proposal 30h Keunggulan Bersainng TRANSJAKARTA 2017 dengan MODEL &
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pendek Alt
Atau 156 02 Faktor Yang Mempengaruhi Keunggulan Bersaing Dan Implikasinya Terhadap Loyalitas
Konssumen Jasa Angkutan Transjakarta
46
Biasanya untuk mendapatkan sebuah TULISAN ILMIAH adalah secara kebetulan
didalam DOMAIN Google atau Bilamana sudah mengetahui judul TULISAN
ILMIAH tersebut cukup dengan menulis judul tersebut ke dalam Google dan akan
keluar TULISAN ILMIAH yang dimaksud.
KIAT CERDIK MEMBUAT TULISAN ILMIAH, dan sebagai langkah utama adalah
dengan cara Mengkoleksi sejumlah TULISAN ILMIAH yang akan berperan sebagai
MATERI PEMBANDING dengan MATERI YANG DIBUAT. Paling tidak agar
mengatahui bagaimana penyusunan MODEL & KERANGKA PEMIKIRAN
TEORITIS yang dibuat penulis lain. Selain bisa memperkuat “pondasi ilmiah” bahkan
juga memperkokoh “Kemampuan ilmiah” agar lebih mudah menyelesaikan berbagai
bentuk/beranekaragam Persoalan Ilmiah pada PENELITIAN KUANTITATIF Dibidang
MANAJEMEN TRANSPORTASI maupun PENELITIAN SURVEY Dibidang
MANAJEMEN TRANSPORTASI. Tentunya sebagai langkah berikutnya adalah
Meng-unduh (Downloads) sebanyak mungkin TULISAN ILMIAH dari penulis lain atau Meng-unduh secara keseluruhan TULISAN ILMIAH yang dibuat dalam File PDF
(pada posisi jumlah sekarang) sebagaimana tercantum dalam Lembaran Informasi, terkecuali TULISAN ILMIAH yang terdapat dalam kurung sebanyak 22 Files (hanya
bisa didapatkan melalui Email langsung dengan sejumlah harga tertentu yang disajikan
dalam sebuah Daftar Harga).
Ketentuan: Gantilah Lembaran Informasi (Daftar TULISAN ILMIAH yang disisipkan dalam wujud File PDF) menjadi (Daftar TULISAN ILMIAH yang dibuat dalam File DOCUMENTS),
sehingga didapatkan sebuah File DOCUMENTS yang berisikan Daftar dari semua tulisan
ilmiah yang disusun oleh Amrizal.
Selanjutnya, dengan cara memasukan/menuliskan 000 Daftar Tulisan Ilmiah Amrizal
ke dalam Google, maka akan didapatkan sebuah File DOCUMENTS yang berisi Daftar
TULISAN ILMIAH tersebut, dengan contoh berikut:
Google 000 Daftar Tulisan Ilmiah Amrizal Cari
Adapun tujuan selanjutnya agar lebih leluasa/Mudah meng-unduh (Downloads)
keseluruhan TULISAN ILMIAH yang dibuat dalam PDF (pada posisi jumlah sekarang),
cukup dengan cara meng-Copy masing-masing Nomor urut beserta nama file tersebut
ke dalam Google.
Diistilahkan dalam tanda petik “pada posisi jumlah sekarang” oleh karena posisi/jumlah
files PDF yang disajikan dalam Daftar TULISAN ILMIAH dapat berubah pada saat-saat
tertentu seiring dengan perjalanan waktu.......
-------- Jakarta, 14 September 2017--------
top related