kedudukan dan peran lembaga komisi yudisial...
Post on 07-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN DAN PERAN LEMBAGA KOMISI YUDISIAL
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA
SKRIPSI
DiajukanKepadaFakultasSyariahdanHukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
UntukMemenuhi Salah Satu
SyaratMemperoleh
GelarSarjana
Hukum
(S.H)
Oleh :
AHMAD MASYHUD
NIM: 1110048000063
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
v
ABSTRAK
AHMAD MASYHUD. NIM 1110048000063. KEDUDUKAN DAN
PERAN LEMBAGA KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN DI INDONESIA. Konsentrasi Hukum Kelembagaan
Negara, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016. 81 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui posisi semestinya lembaga komisi
yudisial dalam kaitannya dengan kedudukan serta perannya sebagai lembaga
pengawas eksternal dalam kekuasaan kehakiman dan analis terhadap kedudukan
rekomendasi sanksi dalam putusan komisi yudisial terhadap hakim serta urgensi
peranan sebuah lembaga pengawasan komisi yudisial dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pada pendekatan pada
aspek-aspek : norma-norma hukum, teori tentang pembagian kekuasaan,
pengawasan dalam perspektif hukum islam serta rekomendasi yang dikeluarkan
oleh komisi yudisial serta kedudukan dan peran lembaga komisi yudisial dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung adalah Komisi Yudisial sebagai supporting organ dan
Mahkamah Agung sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim
atau lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa
mengganggu kemandirian masing-masing. Kedudukan Komisi Yudisial sebagai
pengawas eksternal diharapkan bisa menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan
internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang dinilai kurang efektif seperti
adanya semangat untuk membela sesama hakim yang membawa konsekuensi
pada tidak obyektifnya pengawasan, serta kurangnya transparansi dana
kuntabilitas. Pengawasan internal tidak dapat memberikan kesempatan bagi
masyarakat untuk menyampaikan pengaduan dan masyarakat tidak dapat
mengakses pengawasan tersebut.
Kata Kunci : Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, Pengawasan Hakim
dalam Islam
Pembimbing : Prof. Dr. H A. Salman Maggalatung, SH, MH
Daftar Pustaka : 2001 sampai dengan 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat serta
salam penulis curahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan
saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Syaifuddin Hidayat, S.H., M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H.,
M.Hum., Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
3. Prof. Dr. H A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukan untuk memberi nasihat,
kritik, saran dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ipah Parihah, S.Ag., M.H, dosen penasehat akademik yang telah memberikan
nasehat dan arahan kepada penulis.
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi
ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Mangudin dan Ibunda Siti Suaibah, yang
telah memberikan segala dukungan, baik materil maupun immateril sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi S1.
7. Kakak Aji Andika Mufti, adik Ibnu Katsir, Dian Nur Afiah, Muhammad
Zahron, Toriqul Haq yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan studi S1.
8. Seluruh teman-teman program studi Ilmu Hukum angkatan 2010.
9. Keluarga Besar LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiwa
Islam), khususnya kepada Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Muhammad
Ainul Syamsu SH, MH., M. Isnur, S.Hi., M.Ali Fernandez, S.Hi, MH., Teuku
vii
Mahdar Ardian, S.Hi,MH., Ridho Akmal Nst, S.Sy, MH., Ihdi Karim Makin
Ara, SH, MH., dan Dewan Penasehat serta senior LKBHMI lainnya.
10. Adik-adik pengurus LKBHMI Pereode 2016-2017, khususnya M. Zaenuri,
Humaidi, Abd Qodir (Ucok), Santoso, Agustiar Hariri Lubis, Wahid
Syarifuddin Subekti, dan para pengurus lainnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta,6 Oktober 2016
Penulis
Ahmad Masyhud
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 9
D. TinjauanPustaka (Review) Terdahulu ........................................... 10
E. Kerangka Teori .............................................................................. 11
F. Metodologi Penelitian ................................................................... 16
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 19
BABII LANDASAN TEORI KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA ....... 21
A. Dasar Hukum Lembaga Komisi Yudisial Di Indonesia ................ 21
B. Sejarah, Tugas Pokok dan Fungsi Komisi Yudisial di Indonesia . 25
C. Pengawasan Hakim Dalam Perspektif Hukum Islam .................... 34
BAB III KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL PADA MAHKAMAH
AGUNG DALAM PENGAWASAN HAKIM DI
INDONESIA ..................................................................................... 43
A. Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial .................................... 43
ix
B. Contoh Rekomendasi Sanksi Komisi Yudisial Nomor :
0070/L/KY/II/2015 Terhadap Mahkamah Agung ....................... 45
C. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung ............... 49
BAB IV ANALISIS REKOMENDASI SANKSI SERTA
URGENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN DI INDONESIA ....................................... 63
A. Rekomendasi Sanksi oleh Komisi Yudisial Nomor :
0070/L/KY/II/2015 ....................................................................... 63
B. UrgensiPosisi Komisi Yudisial dalam Kekuasaan Kehakiman
Di Indonesia ................................................................................... 69
C. KedudukanKomisiYudisialDalamSistemKetatanegaraan Di
Indonesia ........................................................................................ 77
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 79
A. Kesimpulan .................................................................................... 79
B. Saran ............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan ketatanegaraan Indonesia sejak merdeka 17 Agustus
1945, telah mengalami pasang surut baik dalam gagasan, tatanan maupun
terapannya. Sejarah demokrasi pasca kemerdekaan oleh para ahli sering
dibagi kedalam beberapa waktu, yaitu masa demokrasi liberal (1945-
1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) dan demokrasi pancasila (1967-
sampai tumbangnya kekuasaan orde baru), secara historis dinamika itu
dapat dilihat fakta sejarah konstitusionalnya, bahwa di Indonesia pernah
diberlakukan beberapa konstitusi UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950,
UUD 1945 dan sekarang Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
tahun 1999-2002.
Dalam berbagai konstitusi itu Indonesia pernah mengalami atau
mencoba menjadi Negara Serikat (RIS) meskipun kemudian kembali
menjadi Republik Kesatuan, Indonesia pernah mengalami sistem
pemerintahan parlementer, demokrasi terpimpin dan pemerintahan
presidensil sampai sekarang. Gambaran dinamis tersebut menunjukkan
bahwa konstitusi selalu menjadi dasar dari perubahan ketatanegaraan
suatu negara.1
Ide pembentukan Komisi Yudisial sebenarnya sudah lama
muncul, untuk membuat rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan
1Ma’shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-
Undang Dasar1945, (Yogyakarta: Total Media, 2009), Cetakan ke-1, h. 1
2
Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1968 rencananya ingin dibentuk
Komisi Yudisial sekarang yang namanya Majelis Pertimbangan
Penelitian Hakim (MPPH). Tugas-tugas yang direncanakan untuk MPPH
waktu itu adalah memberi pertimbangan pada waktu pengambilan
keputusan terahir tentang saran-saran dan/atau usul-usul pengangkatan,
promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan atau hukuman jabatan
para hakim yang diajukan Mahkamah Agung (MA) atau juga menteri
Kehakiman. Seiring dengan gerakan reormasi tahun 1998 ide untuk
membentuk Komisi Yudisial muncul. Awalnya waktu reformasi itu
terjadi, MPR mengeluarkan ketetapan MPR RI No.X/MPR/1998 tentang
pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional. Salah satu isi Tap MPR tersebut adalah
pemisahan fungsi yudikatif (Kekuasaan Kehakiman) dari eksekutif.2
Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam
sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri,
netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu
menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan
keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang
dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Pentingnya akuntabilitas dalam kekuasaan kehakiman juga
mendorong lahirnya Komisi Yudisial. Kehadiran Komisi Yudisial dalam
sistem kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris”
2Buku saku Komisi Yudisial Untuk Keadilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2010), h.10.
3
demokrasi atau sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegak hukum.
Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya
amandemen konstitusi yang ditunjukan untuk membangun sistem check
and balances dalam sistem dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk
didalammya pada sub-sistem kekuasaan kehakiman.3
Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak
efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan
peradilan. Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain : (1) kualitas pengawas tidak memadai, (2)
Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya
kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan
pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4)
semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya
untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat rekasi
dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang
buruk itu, (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga
penegak hukum untuk menindak lanjuti hasil pengawasan.4
Pada dasarnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945
dilakukan untuk memperbaiki mekanisme Check and Balance di antara
3Bambang Wijdjoyanto, Komisi Yudisial : Checks and Balances – Dan Urgensi
Kewenangan Pengawasan, (artikel dalam Bunga rampai Refleksi Satu Tahun Komusi Yudisial,
2006), h. 111.
4Mas Achmad Santosa, artikel : Menjelang Pembukaan Komisi Yudisial, (Jakarta: dalam
harian Kompas tanggal 2 Maret 2005), h. 5.
4
Lembaga Negara pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
yang selama Orde Pemerintahan baik Orde Lama maupun Orde Baru
belum dapat terlaksana dengan baik. Khusus pada lembaga yudikatif
diusahakan ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali
terhadap hukum dan keadilan, maka kemudian dilakukan dengan
penyatuan atap Lembaga Peradilan pada Mahkamah Agung, yang
berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh
Mahkamah Agung.
Setiap kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan
(Mesbruik Van Recht) atau dilaksanakan sewenang-wenang (Arbitrary
willekeur) atau dilaksanakan dengan melampaui wewenang
(Detournement du Povoir). Hal ini dapat terjadi karena dua hal, pertama :
kekuasaan mengandung hak dan wewenang (Recht en bevoeg heid),
kedua : hak dan wewenang, memberi posisi lebih baik terhadap subjek
yang dituntut atau dalam hal ini pencari keadilan, setiap kekuasaan tanpa
mekanisme pengawasan secara cepat atau lambat kekuasaan tersebut
disalahgunakan, Baligante menyatakan “geen macht zonder toiziht” dan
John Emerichh Edward Dalberg-Acton menyatakan “power tends to
corrupts, and absolute power corrupts absolutely”.5
Komisi yudisial diharapkan menjadi lembaga yang mampu
melakukan control eksternal terhadap perilaku hakim dan lembaga
peradilan. Sedangkan Mahkamah Agung berperan melakukan
5Bagir Manan, Kedudukan Penegak Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta:
IKAHI Majalah Varia Peradilan No. 243, 2006), h. 4.
5
pengawasan internal atas lembaga peradilan. Dua lembaga ini
mempunyai tujuan yang sama yaitu mengembalikan hakim dan lembaga
peradilan sebagaimana harapan rakyat Indonesia.
Hakim dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman pada
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No.
047/KMA/SKB/IV/2009 garis miring 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim antara lain mengharuskan
Hakim memiliki perilaku yang amanah, adil dan memberikan kepastian
hokum. Sedangkan lembaga peradilan bukan hanya menjelma menjadi
menara mercusuar yang mampu menyoroti beragam aspek kehidupan
tanpa pernah berperan membangun kedekatan sosial.6
Pembentukan Komisi Yudisial yang juga merupakan konsekuensi
logis yang muncul dari penyatuan satu atap lembaga peradilan pada
Mahkamah Agung (MA). Ternyata penyatuan satu atap berpotensi
menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung.
Disamping itu kekhawatiran Mahkamah Agung tidak mampu
melaksanakan kewenangan administrative, personel, keuangan dan
organisasi pengadilan yang selama ini dilakukan oleh departemen
kehakiman. Bahkan, pandangan yang cukup pesimis menyatakan bahwa
Mahkamah Agung tidak mungkin dapat menjalankan fungsi yang
6Dodi Widodo Dkk, Menegakan Wibawa Hakim, Kerja Komisi Yudisial Mewujudkan
Perradilan Bersih dan Bermantabat, (Jakarta: Komisi Yudisial , 2010), h. 17
6
diemban dalam penyatuan satu atap secara baik karena mengurus dirinya
sendiri saja Mahkamah Agung tidak mampu.7
Sehingga pada sidang tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas
amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, lahirlah pasal 24 B
tentang Komisi Yudisial, lembaga Negara yang bersifat mandiri dan
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.8
Pasal 24 B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar NRI 1945
yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 mengamanatkan
terbentuknya lembaga yang disebut Komisi Yudisial. Lembaga ini
mempunyai peranan signifikan dalam rangka mengaktualisasikan
gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dari campur tangan
kekuasaan lain di luarnya dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary).9
Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang
bersifat penunjang (auxiliary organ) terhadap kekuasaan kehakiman,
berdasarkan UUD NRI 1945 Komisi Yudisial mempunyai kedudukan
yang sederajat dengan lembaga negara yang lain seperti presiden, DPR,
7Rifqi S. Assegaf, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), Cetakan ke- 4, h. 71.
8Buku saku Komisi Yudisial Untuk Keadilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik
Indonesia,2012), h.11.
9Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi
Pers, 2005), Cetakan ke-2, h. 123.
7
dan lembaga negara yang lain. Komisi Yudisial bukan merupakan pelaku
kekuasaan kehakiman, tetapi kewenangan yang berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman.10
Kewenangan untuk mengawasi para hakim ini masih bersifat
terlalu umum dalam artiannya, sehingga menimbulkan perbedaan
penafsiran yurisdiksi tugas pengawasan perilaku hakim. Mahkamah
Agung menganggap bahwa yang dimaksud pengawasan perilaku tidak
termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi putusan).
Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang
Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh Komisi
Yudisial dapat mengancam independensi hakim.
Adanya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal
yang ada dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak menjadi
hal yang mengikat bagi setiap hakim dikarenakan sudah adanya
pengawas internal oleh Mahkamah Agung yang mengikat dalam hal
administratif, kewenangan dan hal lembaga peradilan, sehingga tidak ada
suatu kewajiban bagi setiap hakim untuk memenuhi panggilan yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Dari paparan tersebut, membuktikan bahwa ada kesalahpahaman di
antara pihak - pihak tersebut. Maka berdasarkan permasalahan tersebut,
penulis ingin mengangkatnya kedalam suatu penulisan skripsi dengan
10
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), Cetakan ke-1, h. 10
8
judul : “Kedudukan Dan Peran Lembaga Komisi Yudisial Dalam
Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam skripsi ini berdasarkan latar belakang
yang telah dipaparkan di atas untuk mempermudah pembahasan dalam
penulisan skripsi ini, penulis membatasinya pada peran antara Komisi
Yudisial dengan Mahkamah Agung serta, kedudukan lembaga Komisi
Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Pembatasan masalah dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada
Komisi Yudisial secara kelembagaan pada saat ini agar dapat diketahui
apakah masih di perlukan atau tidak dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia berada dalam posisi yang dilematis karena sebagai lembaga
yang salah satunya mempunyai fungsi sebagai lembaga pengawas
eksternal lembaga peradilan, secara aturan kewenangannya di pandang
masih terlalu lemah karena keputusannya hanya sebagai bahan
pertimbangan untuk Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan
masalah sebagai berikut :
9
1. Bagaimana kedudukan dan peran Lembaga Komisi Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia ?
2. Bagaimana urgensi lembaga Komisi Yudisial dalam sistem
ketatanegaran di Indonesia ?
3. Bagaimana kedudukan rekomendasi sanksi Komisi Yudisial Nomor
: 0070/L/KY/II/2015 pada Mahkamah Agung ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan diatas.
Maka penelitian ini bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui kedudukan dan peran Lembaga Komisi Yudisial
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, serta
b. Untuk mengetahui urgensi lembaga Komisi Yudisial dalam sistem
ketatanegaran di Indonesia.
c. Untuk mengetahui kedudukan rekomendasi sanksi Komisi Yudisial
Nomor : 0070/L/KY/II/2015 pada Mahkamah Agung
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian adalah
sebagai berikut:
10
a. Sebagai acuan untuk menjawab dan mengetahui bagaimana
seharusnya keberadaan Lembaga Komisi Yudisial dalam sistem
Ketatanegaraan di Indonesia.
b. Bagi dunia pendidikan khususnya fakultas hukum dapat dijadikan
sebagai bahan referensi yang berguna untuk menambah wawasan
dan pengetahuan tentang masalah - masalah hukum yang ada
dalam masyarakat.
c. Menjadi referensi bagi perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka (Review) Terdahulu
Pengamatan penulis terhadap penelitian sebelumnya. yaitu :
NO Identitas Substansi Pembeda
1
2
Zulkifli, “Komisi
Yudisial Perspektif
Hukum Islam”,
(Yogyakarta, 2004).
Nur Ahsan Saifurrizal,
“Komisi Yudisial dalam
Tulisan tersebut
menjabarkan tentang
pandangan peradilan
islam terhadap Komisi
Yudisial tentang
pengangkatan dan
pengawasan hakim.
Skripsi ini menjelaskan
tentang Komisi Yudisial,
Disini penulis akan
membahas mengenai
kedudukan dan peran
Lembaga Komisi
Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan
di Indonesia dengan
mengutamakan pada
posisi dan kedudukan
11
3
Mengawasi Hakim
Perspektif Peradilan
Islam”
Masripattunnisa,”
Efektifitas Fungsi
Pengawasan Komisi
Yudisial Dalam
Mengawasi Hakim Dan
Pengaruhny Terhadap
Kekuasaan Kehakiman”
(UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014)
pengawasan hakim
dalam peradilan islam
dan juga menjelaskan
tentang Komisi Yudisial
dalam pengawasan
hakim perspektif hukum
islam.
Skripsi ini menjelaskan
mengenai efektifitas
fungsi pengawasan
Komisi Yudisial secara
umum serta
pengaruhnya terhadap
sistem kekuasaan
Kehakiman di Indonesia.
Komisi Yudisial yang
seharusnya. Dengan
diawali pembahasan
mengeni tinjauan
rekomendasi sanksi
KY Nomor :
0070/L/KY/II/2015
Pada Mahkamah
Agung tentang
pelanggaran Kode
Etik Hakim SR, serta
peran Komisi
Yudisial dalam
kekuasaan kehakiman
dan hubungannya
dengan Mahkamah
Agung.
E. Kerangka Teori
Kehadiran KY pada awal mulanya diharapkan mampu membangun
checks and balances dalam pilar kekuasaan kehakiman sebagai bagian tak
terpisah dari dua pilar lainnya (eksekutif dan legislatif). Pilar kekuasaan
kehakiman bagaimanapun juga merupakan perwujudan dari kedaulatan
12
rakyat dan supremasi hukum. Pemahaman tersebut erat kaitannya dengan
konsep negara hukum. Konsep negara hukum merupakan perpaduan yang
menghendaki kekuasaan negara ataupun kedaulatan harus dilaksanakan
sesuai hukum begitu pula sebaliknya.
Menurut A.V. Dicey, negara hukum menghendaki pemerintahan itu
kekuasaannya berada di bawah kendali aturan hukum (the rule of law),
terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu : 11
a. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di dalam negara adalah hukum/kedaulatan hukum.
b. Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum
bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam
kualifikasinya sebagai pejabat negara.
c. Constitusion based on individual rights artinya konstitusi itu bukan
merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi
manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan
bahwa hak asasi itu harus dilindungi.
John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori
pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi
kekuasaan legislative (kekuasaan membentuk Undang-Undang),
kekuasaan eksekutif (kekuasaan yang menjalankan Undang-Undang), serta
kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat
11
A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Introduction to the Study of
The Law of the Constitution, penerjemah Nurhadi, M.A (Bandung : Nusamedia, 2014), cetakan ke-
4, h. 251.
13
perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan
di luar negeri).12
Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan Negara terdiri
atas tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasan legislatif atau kekuasaan
membuat Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule
making function); kedua, kekuasaan Eksekutif atau kekuasaan
melaksanakan Undang-Undang (rule application function); ketiga,
kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-
Undang (rule adjudication function). Trias Politika adalah suatu prinsip
normative bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi
warga Negara lebih terjamin.13
Maka menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan
atau pengaruh-mempengaruhi antara kekuasaan yang satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu ajaran Montesquieu disebut pemisahan
kekuasaan.
Dalam kelembagaan negara, salah satu tujuan utama amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menata keseimbangan (cheeks
and balances) antar lembaga negara. Setiap lembaga baik legislatif,
12
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, ( Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2007), jilid II, h. 13.
13
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasa Ilmu Politik. Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia, 2008)
Cetakan Pertama, h. 281-282.
14
eksekutif dan yudikatif mengalami perubahan yang signifikan. Khusus
perubahan terhadap lembaga yudikatif dimaksudkan untuk menciptakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan salah satu prinsip
penting bagi Indonesia sebagai suatu Negara hukum. Prinsip ini
menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak
manapun dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman
kecuali terhadap hukum dan keadilan.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah menempatkan
Mahkamah Agung tidak lagi sebagai satu-satunya kekuasaan Kehakiman,
tetapi Mahkamah Agung hanya salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka, disamping Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman terlepas dari pengaruh-
pengaruh lainnya.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman).
15
Peradilan yang independen ini identik dengan kekuasaan
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam
bentuk apapun telah berusaha diwujudkan dengan pembentukan Komisi
Yudisial berdasarkan ketentuan pasal 24 B Undang-Undang Dasar 1945
dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang
menurut pasal 13 Undang-Undang tersebut Komisi Yudisial mempunyai
wewenang :
1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapat persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
4. Menjaga dan menegakan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim.
Sedangkan mekanisme judicial reviw di Indonesia dikenal 2 (dua)
tata cara judicial review, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi judicial review
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh
Mahkamah Agung judicial review peraturan per-Undang-Undangan
dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dimana judicial
review yang dilakukan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 C ayat (1)
16
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan
Kehakiman di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Dalam suatu penyusunan Karya Ilmiah maka penggunaan metode
merupakan suatu keharusan mutlak yang diperlukan karena disamping
untuk mempermudah penelitian juga sebagai cara kerja yang efektif dan
rasional guna mencapai penelitian yang optimal. Berikut pemaparannya
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga data
yang sudah terkumpul akan dianalisa guna memperoleh informasi yang
dapat digunakan untuk mengambil keputusan, serta menggunakan
penelitian pustaka atau library research,14
artinya penelitian yang
didasarkan pada data tertulis yang berasal dari buku, jurnal dan
sumber-sumber data tertulis lainnya yang berguna dan mendukung
penelitian ini. Penelusuran data yang obyeknya berupa penjelasan
terhadap Rekomendasi Sanksi KY Nomor : 0070/L/KY/II/2015 Pada
Mahkamah Agung terhadap pelanggaran Kode Etik Hakim SR serta
peran Komisi Yudisial Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004,
Undang-Undang No 18 Tahun 2011 dan Undang-Undang No 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. baik secara tertulis dan
14
Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research, (Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM 2008), Cet. Ke-3, h. 4
17
dijelaskan dalam kitab dan dan buku-buku secara eksplisit yang
berkaitan dengan Kedudukan dan peran Komisi Yudisial.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dan analitis, yaitu
mendeskripsikan atau memaparkan dan menjelaskan data-data yang
berkaitan erat tentang kedudukan dan peran Komisi Yudisial . Proses
ini dilakukan melalui penguraian dari data-data yang terkumpul, kajian
ini tidak melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau
membenarkan salah satu pemikiran atas produk pemikiran lain. Salah
atau benarnya dikembalikan kepada ahlinya.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Yuridis-Normatif,15
yaitu pendekatan untuk
memahami konsep tentang kedudukan dan peran Komisi Yudisial
Menurut Undang-Undang nomor 22 Tahun 2004, Undang-Undang No
18 Tahun 2011,Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman dan Aturan perUndang-Undangan lainnya yang
dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekatkan masalah yang diteliti
berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang sesuai dengan obyek
kajian.
15
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafida,
2009), Ed, -1, Cet. Ke-4 h. 17.
18
4. Teknik Pengumpulan Data
Penentuan metode pengumpulan data tergantung pada jenis dan
sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat
dilakukan dengan beberapa metode, baik yang bersifat alternative
maupun akumulatif yang saling melengkapi.16
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yang bersifat
tertulis terutama sumber primer, diantaranya : Rekomendasi Sanksi
KY Nomor : 0070/L/KY/II/2015 Pada Mahkamah Agung terhadap
pelanggaran Kode Etik Hakim SR, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
serta Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman dan peraturan perUndang-Undangan lainnya. Sedangkan
sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah : Buku-buku,
Jurnal dan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu cara yang dipakai untuk
menganalisa, menyusun menggunakan metode komparatif yaitu
menganalisa data yang berbeda dengan jalan membandingkan antara
beberapa peraturan yang berkaitan dengan kedudukan dan peran
lembaga komisi yudisial .
16
Cik Hasan Basri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
Bidang Agama Islam, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2001), cet. Ke-1, h. 65-66.
19
6. Teknik Penulisan
Adapun pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan Pedoman Penulisan skripsi, yang telah diterbitkan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelitian dan pembahasan yang optimal
maka pembahasannya harus dilakukan secara runtut, utuh dan sistematis.
Penyusun membagi pokok pembahasan skripsi ini kedalam lima bab.
Adapun sistematika pembahasan adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, tinjauannya untuk mengantarkan pada
pembahasan skripsi secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari tujuh sub
yang meliputi : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka (Review)
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Dalam bab ini ditekankan pada latar belakang masalah sebagai
pengantar pada pokok persoalan. Tidak kalah penting dalam bab ini
adalah kerangka teori. Melalui kerangka teori pembaca akan
mengetahui analisis apa yang digunakan penyusun dalam membedah
pokok masalah,
BAB II Landasan Teori Komisi Yudisial Di Indonesia, akan
diuraikan gambaran komisi yudisial di indonesia yaitu dengan sub
20
bahasan antara lain ; Dasar Hukum Lembaga Komisi Yudisial Di
Indonesia, Sejarah Komisi Yudisial di Indonesia, Tugas Pokok dan
Fungsi Komisi Yudisial di Indonesia, serta Pengawasan Hakim dalam
Perspekstif Hukum Islam.
BAB III Kedudukan Komisi Yudisial Pada Mahkamah Agung
Dalam Pengawasan Hakim Di Indonesi, dengan sub pembahasan
antara lain : Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial, Contoh
rekomendasi sanksi komisi yudisial no 0070/L/KY/II/2015 terhadap
Mahkamah Agung, serta hubungan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung.
BAB IV Analisis Rekomendasi Sanksi Serta Urgensi Komisi
Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia dengan rincian
pembahasan sebagai berikut : Rekomendasi sanksi oleh Komisi
Yudisial analisis, penyusun menganalisis Rekomendasi Komisi
Yudisial No 0070/L/KY/II/2015, Urgensi posisi Komisi Yudisial
dalam Kekuasaan kehakiman di Indonesia, serta kedudukan Komisi
Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
BAB V Penutup, dalam bab ini di kemukakan kesimpulan dari
bab-bab sebelumnya. Bab ini merupakan bab terahir yang diakhiri
dengan saran-saran untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai
Kedudukan dan Peran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
21
BAB II
LANDASAN TEORI KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA
A. Dasar Hukum Lembaga Komisi Yudisial Di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas
dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan
kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan salah satu badan
penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK.1 Sebagai
badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan
susunan badan penyelenggara negara yang lain.
Kekuasaan kehakiman yang terdiri atas kekuasaan kehakiman
tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan
penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada
susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah.
1Lihat Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1), Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998, tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. UU No.28
Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, Pasal 1 menyebutkan “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku”. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan UUD
1945 sebelum Perubahan, yang menyatakan bahwa ”yang sangat penting dalam pemerintahan dan
dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara Negara dan Pemimpin
pemerintahan”.
22
Sebagaimana susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, Komisi
Yudisial pada hakekatnya merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 24 A ayat (3) dan 24 B UUD 1945. Pasal 24A ayat
(3) menyatakarn : "Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden." Selanjutnya Pasal 24B
menyebutkan :
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan. dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
Undang-Undang."
Pembentukan Komisi Yudisial juga merupakan konsekuensi logis
yang muncul dari penyatuan satu atap lembaga peradilan pada MA. Ternyata
penyatuan satu atap berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman
oleh MA. Di samping itu dikhawatirkan MA tiduk mampu melaksanakan
kewenangan administrasi, personel, keuangan dan organisasi pengadilan yang
23
selama ini dilakukan oleh departemen kehakiman. Bahkan, pandangan yang
cukup pesimis menyatakan bahwa MA tidak mungkin dapat menjalankan
fungsi yang diemban dalam penyatuan satu atap secara baik karena mengurus
dirinya sendiri saja MA tidak mampu.2
Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia didasarkan pemikiran bahwa
hakim agung yang sudah duduk di Mahkamah Agung dan para hakim
merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan
menegakkan hukum dan keadilan, apalagi hakim yang sudah duduk pada
tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum
masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim
merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakan
peradilan yang handal dalam negara hukum. Melalui Komisi Yudisial ini,
diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan
rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian
keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilakunya.3
Sebagaimana Mahkamah Agung, Komisi Yudisial merupakan lembaga
Negara yang terbentuk setelah adanya amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat
mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan
2Rifqi S. Assegaf dikutip Sirajudie dan Zulkarnain. Komisi Yudisial dan
EksaminasjPubljk, (Bandung : citma Adiya Bakti, 2006), h. 71.
3Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara RI tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD
Negara RI tahun 1945, (Jakarta : Sekjen MPR RI, 2003), h. 195.
24
atau pengaruh kekuasaan lainnya.4
Dalam konteks ketatanegaraan Komisi Yudisial mempunyai peranan
yang sangat penting yaitu:
1. Mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui
pencalonan Hakim Agung.
2. Melakukan pengawasan terhadap Hakim yang transparan dan
partisipatif guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan cara:
1. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan calon Hakim Agung;
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.5
Sedangkan dalam melaksanakan kewenangan menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial
memiliki tugas melakukan pengawasan, terhadap pelaksanaan pengawasan
ini Komisi Yudisial dapat:
1. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
2. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan
dengan perilaku hakim.
3. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku
4Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen.
5Pasal 14 UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
25
hakim.
4. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku hakim.
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi
disampaikan kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Apabila dugaan Komisi Yudisial terbukti, artinya perilaku hakim
benar-benar menyimpang dari peraturan perUndang-Undangan, Komisi
Yudisial dapat mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Usul
penjatuhan sanksi dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara
atau pemberhentian yang bersifat mengikat.
B. Sejarah, Tugas Pokok dan Fungsi Komisi Yudisial di Indonesia
1. Sejarah Terbentuknya Komisi Yudisial
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat
digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana
pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan
Dewan Kehormatan Hakim (DKH). MPPH yang telah diwacanakan
sejak tahun 1968, berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil
keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang
berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian,
26
dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh
Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya, ide
tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi
muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi
perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan,
promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct)
bagi para hakim.
Pasal 24 B perubahan ketiga Undang-Undang NRI 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 mengamanatkan
terbentuknya lembaga yang disebut Komisi Yudisial. Lembaga ini
mempunyai peranan signifikan dalam rangka mengaktualisasikan
gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dari campur tangan
kekuasaan lain di luarnya dan tidak memihak (independent dan
impartial judiciary).6
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan
konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya,
dalam rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial,
6Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta : Konstituti
Pers, 2005), Cetakan ke-2, h. 123.
27
dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Meski pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 pada
13 Agustus 2004, namun kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak
terbentuknya organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan
pengucapan sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-
2010 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Periode tersebut dipimpin Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H.,
M.Hum, dan Wakil Ketua M. Thahir Saimima, S.H., M.Hum. Anggota
yang lain adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang
Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung), Zaenal Arifin,
S.H. (Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto,
S.H., L.LM. (Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr.
Chatamarrasjid Ais, S.H., M.H. (Alm) (Koordinator Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan Irawady Jonoes,
S.H. (Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan
Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskan hingga masa jabatan
berakhir. 7
Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi amanat untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
7http://www.komisiyudisial.go.id/statis-14-sejarah-pembentukan.html di akses pada 3
Januari 2016.
28
martabat, serta perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang
menyesakan dada.
Sebanyak 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji
materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam
pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim
konstitusi, putusan tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran
pemohon tidak pernah mengajukannya.
Anggota Komisi Yudisial Periode 2010-2015 yaitu
Prof.Dr.H.Eman Suparman, S.H.,M.H, H.Dr. Imam Anshori Saleh,
S.H.,M.Hum, Dr. Taufiqurrohman Syahuri,S.H.,M.H, Dr.Suparman
Marzuki,S.H.,M.Si, H.Dr.Abbas Said,S.H.,M.H, Dr. Jaja Ahmad Jayus,
S.H.,M.Hum, dan Dr. Ibrahim,S.H.,M.H.,LL.M. Proses suksesi
keanggotaan ini dilanjutkan dengan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Komisi Yudisial, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi Yudisial,
pada 30 Desember 2010. Hasilnya, Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H.,
M.H terpilih sebagai Ketua dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum
terpilih sebagai Wakil Ketua.
Anggota Komisi Yudisial Paruh I Periode 2015-2020 yaitu Dr.
Aidul Fitriciada Azhari, S.H.,M.Hum.(Ketua), Sukma Violetta,
S.H.,LL.M. (Wakil Ketua), Drs.H. Maradaman Harahap,S.H.,M.H.
(Ketua Bidang Rekrutmen Hakim), Dr. Jaja Ahmad Jayus,
29
S.H.,M.Hum. (Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi), Dr.
Sumartoyo,S.H.,M.Hum.(Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum,
Penelitian dan Pengembangan), Dr.Joko Sasmito,S.H.,M.H. (Ketua
Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim), Dr. Farid
Wajdi,S.H.,M.Hum.(Ketua Bidang Antar Lembaga dan Layanan
Informasi merangkap Juru Bicara).
Usaha untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial mulai membuahkan hasil dengan lahirnya
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
yang disahkan pada 9 November 2011. Kelahiran Undang – Undang ini
menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial.
Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi
Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Tugas Pokok dan Fungsi Komisi Yudisial
Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
yang menjabarkan tugas dan wewenang Komisi Yudisial melalui Pasal
30
13.Namun ketentuan mengenai Komisi Yudisial sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, berdasarkan pertimbangan
tersebut maka perlu membentuk Undang-Undang tentang perubahan
atas Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
a. Perbedaan tugas Komisi Yudisial menurut Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial.
Perbedaan tugas dalam Undang-Undang No. 22 tahun
2004 dalam hal tugas pengawasaan hakim tidak secara jelas dan
tegas menentukan siapa objek yang diawasi, instrumen apa yang
digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan.
hal itu dipandang menyebabkan semua ketentuan Undang-
Undang Komisi Yudisial tentang pengawasan menjadi kabur
(obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya serta dalam Penjabaran
konsep pengawasan itu sendiri dalam Undang-Undang Komisi
Yudisial menimbulkan ketidakpastian.
Maka dari itu dibentuklah Undang-Undang No. 18 Tahun
2011 perubahaan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004,
setelah adanya Undang- Undang No. 18 Tahun 2011 problematika
yang menyangkut tentang pengawasaan dapat terselesaikan,
31
dengan diubahya Pasal 20 yang menyangkut tentang pengawasaan
serta dihapusnya berbagai pasal-pasal yaitu: Pasal 21, 23 Dan
24. Serta Pasal 20 Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 dalam hal
tugas pengawasaan hakim lebih rinci dijelaskan mengenai tugas
pengawasan hakim.
b. Persamaan tugas Komisi Yudisial menurut Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2011.
Berdasarkan Pasal 13 huruf A Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2011
memiliki persamaan dalam hal tugas pengangkatan Hakim
Agung, adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial untuk melaksanakan tugas-tugasnya berkaitan dengan
pengangkatan Hakim Agung :
a) Melakukan pendaftaraan calon Hakim Agung
Dalam melakukan pendaftaraan calon Hakim Agung
keterlibatan Perguruan Tinggi juga sangat dibutuhkan
dalam melakukan pendaftaran Hakim Agung, selain itu juga
masyarakat sangat dibutuhkan juga dalam memberikan
informasi terhadap calon Hakim Agung seperti yang tertuang
dalam Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2004.
Selain itu juga Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat
juga dapat mengajukan usulan calon hakim, usulan calon
hakim yang diajukan oleh Mahkamah Agung dan badan
32
peradilan yaitu calon Hakim Karier sedangkan pemerintah dan
masyarakat calon Hakim Non Karier.
b) Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas)
hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon Hakim Agung,
Komisi Yudisial melakukan seleksi calon Hakim Agung yaitu:
seleksi administrasi, seleksi uji kelayakan, dan tes kesehatan,
kearifikasi dan wawancara.Untuk mengefektifitaskan proses
seleksi agar mendapatkan calon Hakim Agung yang sesuai
harapan, panitia seleksi harus memenuhi beberapa prinsip
prosedur seleksi yaitu:8
1. Trasparan, artinya kriteria dan proses seleksi harus
terbuka. Keterbukaan mengandung arti bahwa semua
criteria dan proses seleksi dapat diketahui dan diakses
dengan mudah oleh semua calon dan warga
masyarakat. Penetapan kriteria yang bisa diukur dan dinilai
oleh masyarakat juga perlu diperhatikan.
2. Akuntabel. artinya panitia seleksi dalam semia tahapan
seleksi mesti menggunakan metode dan tehnik seleksi
yang bisa dipertangunggjawabkan. Setiap tahapan seleksi
harus saling berhubungan dan memberikan pengaruh yang
8Al Muzammil Yusuf “ seleksi komisi yudisial harus menghasilkan hakimagung
yang reformasi “( Jakarta: Bulletin komisi yudisial, vol 2 februari 2007) h. 20.
33
signifikan pada tahap selanjutnya.
3. Fair dan bersih. artinya semua kandidat melewati
semua proses yang sama dan mendapatkan perlakuan
yang sama baik dalam memenuhi syarat administrasi
maupun pada tahap memenuhi syarat-syarat lainnya.
Dalam aspek bersih, Komisi Yudisial perlu memiliki
ketegesan terhadap calon-calon yang diketahui memiliki
cacat moral, sekalipun yang bersangkutan secara hukum
belum dapat dibuktikan cacat hukum.9
c) Menetapkan calon Hakim Agung
Setelah melakukan seleksi calon Hakim Agung
Kemudian Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3
(tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim
Agung, Penetapan calon Hakim Agung dilakukan dengan
pengambilan keputusan oleh Komisi Yudisial secara
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan dihadiri oleh
seluruh Anggota Komisi Yudisial dalam rapat pleno.
d) Mengajukan calon Hakim Agung kepada DPR
Komisi Yudisial mengajukan 3 (tiga) orang nama calon
hakim agung kepada DPR untuk setiap1 (satu) lowongan
9Al Muzammil Yusuf “ seleksi komisi yudisial harus menghasilkan hakimagung
yang reformasi “( Jakarta: Bulletin komisi yudisial, vol 2 februari 2007) h. 21.
34
Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada
Presiden. Selanjutnya, DPR akan menyelenggarakan proses
fit and propert test untuk memilih dan menetapkan Hakim
Agung yang terpilih. Proses ini paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak nama tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial.
Bagi mereka yang terpilih, Presiden akan mengangkat Hakim
Agung paling lama 14 (empat belas) hari sejak nama-nama
calon diajukan ke DPR.
C. Pengawasan Hakim Dalam Perspektif Hukum Islam.
Al-Qur‟an secara tekstual tidak menetapkan Negara dan cara bernegara
secara lengkap dan jelas, tetapi ide dasar tentang hidup bernegara dan
pemerintahan diungkapkan oleh al-Qur‟an, bahkan nama system
pemerintahannya pun disebutkan. Dari ide dasar itulah, fiqh siyasah
dikembangkan menjadi sebuah bidang pengetahuan yang membicarakan
politik dan bernegara (hukum tata Negara).10
Dalam fiqh siyasah, tiga kekuasaan ini disebut al-sultah al- tanfidhiyyah
yang berwenang menjalankan pemerintahan (eksekutif), al- sultah al-
tasyri’iyyah yang berwenang membentuk Undang-Undang (legislatif), dan
al-sultah al-qada’iyyah yang berkuasa mengadili setiap sengketa (yudikatif).
Tiga istilah cabang kekuasaan ini muncul pada masa kontemporer sebagai
dinamika pemikiran politik yang terus berkembang dalam merespon
10
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah ;Pengantar Ilmu Politik Islam,(Bandung; Pustaka
Setia, 2007), Edisi Pertama, h.13
35
perkembangan ketatanegaraan di Barat.11
Sedangkan menurut Abdul Kadir Audah, kekuasaan dalam negara
Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam
Negara Islam, yaitu:
1). Sultah Tanfizhiyyah (kekuasaan penyelenggara undang- undang),
2). Sultah Tasyri‟iyyah (kekuasaan pembuat Undang-Undang),
3). Sultah Qada‟iyyah (kekuasaan kehakiman).
4). Sultah Maliyyah (kekuasaan keuangan),
5). Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).
Al-Sultah al-Qada’iyyah yang berkuasa mengadili setiap sengketa
(peradilan) merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman
purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia merupakan sebuah
kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga
peradilan merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam
rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara.
Kontrol pengawasan merupakan satu instrumen penting yang harus ada
dalam membangun pemerintahan yang bersih dan baik. Kontrol bukan saja
dilakukan secara internal, oleh pemimpin kepada bawahannya, melainkan
juga eksternal oleh rakyat kepada aparat negaranya. Kesadaran dan
pemahaman akan pentingnya kontrol ini, haruslah dimiliki oleh segenap
pemimpin pemerintahan, para aparat di bawahnya, dan oleh segenap rakyat.
Semua orang harus menyadari bahwa keinginan untuk membangun
11
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Prespektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), cet ke- 1 h.126.
36
pemerintahan yang baik hanya dapat dicapai dengan bersama-sama
melakukan fungsi kontrolnya.
Berkaca kepada sejarah hidup Rasulullah saw melakukan pengawasan
yang benar-benar menyatu dalam kehidupan. Jika ada seseorang yang
melakukan kesalahan, maka pada saat itu juga Rasulullah saw menegurnya,
sehingga tidak ada kesalahan yang didiamkan oleh Rasulullah saw saat
itu. Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang wudlunya kurang baik, ia
langsung ditegur saat itu juga. Ketika ada seorang sahabat yang
shalatnya kurang baik, Rasulullah saw mengatakan: “Shalatlah anda karena
sesungguhnya anda adalah orang yang belum melaksanakan shalat”.12
Dalam hak mengawasi/mengontrol (Haq al-Muraqabah) terdapat suatu
lembaga menurut Abdul Qadhir Audah yaitu Sultah Muraqabah wa
Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat) kekuasaan ini lebih
melakukan pengawasan terhadap pemerintahan secara umum. Pimpinan
pemerintahan dalam konsepsi Islam, dipilih berdasarkan kualifikasi dan
spesifikasi tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi suatu jabatan
publik tersebut, selain memiliki syarat moral dan intelektual, adalah
kejujuran (amanah); kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam mengelola
pemerintahan dengan pengawasan-pengawasan dari kelompok
pemerintahannya (quwwah); dan keadilan (‘adalah) sebagai manifestasi
12
Didin Hafidhudin dan Henry Tanjung, Manajemen Syari’ah Dalam Praktek, (Jakarta:
Gema Insani, 2003), Cetakan ke-1, h . 159.
37
kesalehan.13
Penguasa dalam arti sempit ialah pemerintah atau penguasa seperti
khalifah, jika penguasa diartikan dalam arti luas bisa berupa penguasa atau
kepala pada suatu bidang tertentu misalnya hakim sebagai penguasa
dalam bidang peradilan. Dalam suatu peradilan terdapat seorang Qadhi
(hakim) yang mengurusi peradilan, Qadhi mempunyai tugas untuk
melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang Qadhi harus menjaga
segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan
yang dapat menjatuhkan martabatnya sebagai Qadhi. Qadhi tidak boleh
terpengaruh dengan keadaan di sekelilingnya atau tekanan dari siapa pun,
ia harus tetap tegar dari segala pengaruh dari pihak mana pun.14
Pemikiran-pemikiran tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik
digali selaras dan senafas dengan contoh- contoh yang bersumber utama dari
fiqh siyasah antara lain adalah: (1) asas amanah; (2) asas tanggung jawab (al-
mas‘uliyyah); (3) asas maslahat (al-maslahah); (4) asas pegawasan (al-
muraqabah). Syarat-syarat menjadi seorang Qadhi yaitu : islam, baligh,
berakal, merdeka, laki-laki, adil, mengenal hukum-hukum kitab dan Sunnah,
mengetahui ijma’, mengetahui perbedaan pendapat para ulama, mengetahui
jalan ijtihad, mengetahui literature Bahasa arab, mengetahui tafsir, mendengar,
melihat, bisa menulis, serta cerdas. Al- Tobary mengatakan hakim bisa
13
Rofi‟ Munawwar, Siyasah Syar’iyah: Etika Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti,
2005), Cetakan ke-2, h. 11
14
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta : Kencana
2007), Cetakan ke-1, h. 33.
38
perempuan dengan alasan, bahwa setiap orang bisa memutuskan sebuah
hukum, maka berhak menjadi hakim, kecuali hal yang dikhususkan oleh ijma’
yaitu masalah imamah al-Kubro.15
Pengawasan oleh masyarakat akan tumbuh apabila masyarakat hidup
dalam sebuah sistem yang menempatkan aktivitas pengawasan (baik kepada
penguasa maupun sesama warga) adalah sebuah aktivitas wajib lagi mulia.
Melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penguasa hukumnya adalah
wajib. Ketaatan kepada penguasa tidak berarti harus mendiamkan mereka.
Allah telah mewajibkan kepada kaum muslim untuk melakukan koreksi
kepada penguasa mereka. Perintah kepada mereka agar mengubah para
penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak rakyat,
mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan
rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan
selain hukum yang diturunkan oleh Allah, sebagaimana yang terdapat
dalam al-Qur‟an dan al-Hadits yang mengatakan:
Artinya : “ Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang
mengajak kepada kebaikan serta menyeru pada kemakrufan dan mencegah dari
kemungkaran” (QS. Ali Imran: 104).
Dalam kitab Shahih Muslim, hadits No.49, dari abi Sa‟id al-khudri yang
menyatakan, Rosulullah saw, bersabda:
15
Imam Al-Qodhi Abu Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid. h. 377.
39
ره بيده فان لم يستطع فبلسانو, فإن لم يستطع فبقلبو منكم من رأى منكرا ف لي غي . ) رواه المسلم (وذلك اضعف اإليمان
Artinya : “Siapa saja diantara kalian yang melihat kemunkaran, maka
hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka
dengan lisannya, apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah selemah-
lemahnya iman” (HR Muslim)16
.
. Hadis ini merupakan bentuk pengungkapan dalam rangka melakukan
koreksi terhadap para penguasa, serta menentang mereka yang zalim itu. Hal
lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada
setiap umatnya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya. Apabila setiap pihak
menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada
terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan
maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.
Di dalam Islam terutama dalam tatanegara Islam secara khusus tidak
menyebutkan lembaga yang mengatur tentang pengawasan terhadap hakim.
Namun, ada suatu yang identik dan diberikan kewenangan untuk mengawasi
perilaku hakim yang dikenal dengan sebutan Qadhi al-Qudhat . Adapun
pengertian, sejarah dan wewenang akan dijelaskan seperti berikut.
1. Pengertian Qadhi al-Qudhat
Secara bahasa, Qadhi al-Qudhat terdiri dari dua kata, yakni:
.yang artinya : hakimnya para hakim قاضى dan قضاة
Sedangkan menurut istilah, Qadhi al-Qudhat bisa diartikan
sebagai Hakim Mahkamah Agung. Al-Qadha adalah Al-Ikhbar bi al-
16
Al-Hafizh Zaki Al-Din „Abd Al-„Azim Al-Mundziri, Shahih Muslim, (Beirut : 2008),
edisi terbaru cetakan 1, h. 37.
40
Hukm al-syar’i ‘ala sab’i al-‘ilzam (pemberitahuan tentang suatu
hukum syariat yang bersifat mengikat). Abu abdillah menjelaskan
bahwa yang dimaksud ikhbar itu boleh disalah fahami sebagai ikhbar
lawan dari insya’ yang berkemungkinan benar atau dusta, maksudnya
merupakan perintah Qadhi tentang suatu hukum syariat yang bersifat
mengikat.17
Tak lepas dari kewenangan untuk menjaga kehormatan
(pengawasan) para hakim Qadhi al-Qudhat juga bisa disepadankan
dengan Komisi Yudisial.
2. Wewenang Qadhi al-Qudhat
Qadhi al-Qudhat selain bertugas mengangkat hakim-hakim juga
berwenang memecat hakim dan menerima permintaan hakim yang
ingin mengundurkan diri, juga mengurusi urusan administrasi. Qadhi
al-Qudhat juga memberikan pengawasan kepada para hakim
bawahannya. Tugas dari institusi ini juga meneliti keputusan-
keputusan hakim-hakim di bawahnya bahkan mempunyai hak untuk
membatalkan keputusan hakim-hakim di daerah, sekilas memang
seperti peran Mahkamah Agung. Tetapi dalam hal mengawasi hakim
terdapat lembaga tersendiri di Indonesia yaitu Komisi Yudisial selain
megawasi para hakim Mahkamah Agung, Komisi Yudisial juga
mengawasi para hakim Mahkamah Konstitusi meskipun masih
17
Al-Qadhi Taqiyyuddin An-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, diperluas dan dirinci
oleh Syaikh Abd Al-Qadhim Zallum, min mansyurat Hizb Al-Tahrir, (mu'tamadah ; 2002) cet vi,
h. 182.
41
banyak kontroversi dalam wewenang mekanisme pengawasannya.
Tugas dan wewenang para Qadhi al-Qudhat dapat dirincikan
sebagai berikut:
1. Mengangkat Qadhi dan pejabat-pejabat peradilan bagi yang
dipandang mampu, baik yang menjabat di pemerintahan jauh
ataupun dekat.
2. Berwenang untuk memecat Qadhi di bawahnya.
3. Menyelesaikan Qadhi yang mengundurkan dirinya dari jabatan
yang dia emban jika memang dipandang membawa maslahat.
4. Mengawasi hal ihwal para Qadhi.
5. Meneliti putusan-putusan Qadhi dan meninjau kembali putusan-
putusan tersebut.
6. Mengawasi tingkah laku Qadhi di tengah-tengah masyarakat.
7. Mengawasi pada segi administratif dan pengawasan terhadap fatwa.
8. Berwenang untuk membatalkan suatu putusan hakim.
Selain mempunyai tugas dan wewenang Qadhi al-Qudhat juga
mempunyai hak, yaitu: 18
1. Qadhi al-Qudhat mempunyai hak mengundurkan diri dari jabatannya
jika dipandang maslahat.
2. Qadhi al-Qudhat mempunyai hak untuk ditetapkan atau diangkat
oleh khalifah.
Qadhi al-Qudhat selain bertugas mengangkat hakim-hakim juga
berwenang memecat hakim dan mengundurkan diri, dan mengurusi
urusan administrasi. Qadhi al-Qudhat juga memberikan pengawasan
kepada para hakim bawahannya. Sebagai lembaga yang diberikan
kewenangan oleh khalifah dalam mengawasi hakim, sekilas juga
peran ini mirip dengan Komisi Yudisisal, tentunya Qadhi al-Qudhat
18
Teungku Muhammad Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Semarang
: Pustaka Rizki Putra, 2001), Cetakan ke-2, h. 52.
42
harus mengawasi hal ihwal para Qadhi dan mengawasi tingkah laku
Qadhi di tengah-tengah masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari ketentuan-
ketentuan dari Etika Profesi Hakim („Adabul Qadhi) sebagai ukuran
dalam mengawasi. „Adabul Qadhi adalah tingkah laku yang baik dan
terpuji yang yang harus dilaksanakan seorang qadhi dalam
berinteraksi sesama manusia dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa „adabul Qadhi perbuatan
yang patut dilaksanakan oleh seorang Qadhi baik di dalam mahkamah
maupun di luar mahkamah.
Di luar mahkamah seorang Qadhi tidak seharusnya ia bergaul
bebas dengan masyarakat di sekelilingnya atau berjalan-berjalan
dengan mereka melainkan hanya sekedar perlunya saja. Seorang Qadhi
juga tidak dibenarkan bersenda gurau secara berlebihan, hal ini akan
menjatuhkan martabat dan wibawanya sebagai Qadhi. Seorang Qadhi
juga tidak dibenarkan berjalan-jalan di pasar sendirian, jika hendak
membeli sesuatu yang diperlukannya sebaiknya ia pergi bersama
dengan pembantu-pembantunya. Juga seorang Qadhi tidak seharusnya
membeli barang-barang dari kenalannya, karena dikhawatirkan
hatinya akan cenderung terikat dengan kenalannya itu.19
19
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta : Kencana
2007), Cetakan ke-1, h . 33-34.
43
BAB III
KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG
DALAM PENGAWASAN HAKIM DI INDONESIA
A. Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial
Komisi Yudisial sebagai organ konstitusional (constitutionally based
power) yang diharapkan dapat membereskan persoalan pengawasan hakim
selain berwenang mengusulkan pengangkaran hakim agung harus menerima
kenyataan pahir bahwa wewenang pengawasan tidak dapat
diimplementasikan sesuai amanat konstitusi setelah Mahkamah Konstitusi
menyatakan inkonstitusionalitas payung hukum wewenang pengawasan
Komisi Yudisial yang tertuang dalam pasal 20 sampai pasal 25 Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa segala
ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan
harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid).1 Sebagaimana diketahui, ketentuan-ketentuan
yang diputus bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 oleh MK itu
merupakan pasal-pasal inti UU Komisi Yudisial sehingga mengakibatkan :
1. Hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya harus di
awasi Komisi Yudisial.
2. Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan.
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006.
44
Dengan demikian, berdasarkan putusan tersebut, saat ini tidak lagi
ketentuan peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi yang
mengharuskan adanya pengawasan eksternal hakim.
Dalam pasal 24B UUDNRI 1945 lebih menempatkan Komisi Yudisial
sebagai (watcdog) yang hanya didesain untuk mencari kesalahan hakim
daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing patner) yang selain mencari
kesalahan juga bisa memberikan penghargaan terhadap prestasi, bahkan
memperjuangkan kesejahteraannya. Selain mengusulkan pengangkatan hakim
agung, pasal 24B UUDNRI 1945 hanya memberikan kewenangan kepada
Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan itu diterjemahkan menjadi
bentuk pengawasan yang di desain secara tidak maksimal oleh Undang-
undang Komisi Yudisial, sehingga akhirnya dinyatakan bertentangan dengan
UUDNRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUDNRI 1945 sebagai
lembaga tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati
karena integritas dan kualitasnya rule of law dapat sungguh-sungguh
ditegakan sebagaimana mestinya. Tegaknya rule of law itu justru merupakan
prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi yang hendak
dibangun sistem konstitusional UUDNRI 1945. Demokrasi tidak mungkin
45
tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan kehormatan,
kewibawaan dan kepercayaannya.2
Kedudukan Komisi Yudisial ini dapat dikatakan sangant penting.
Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, secara fungsional,
perannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan
kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code
of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagipula
komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan, keluhuran martabat dan
perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan
kehakiman secara institusional.
B. Contoh Rekomendasi Sanksi Komisi Yudisial Nomor :
0070/L/KY/II/2015 Terhadap Mahkamah Agung
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Praperadilan
Nomor : 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel dalam putusannya memutuskan:3
Dalam Eksepsi
I. Menolak Eksepsi Termohon (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk
seluruhnya
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian;
2Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Revormasi,
cet.ke-2 (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), h, 158.
3Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Praperadilan Nomor :
04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
46
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sprin.Dik-
03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon
(Drs. Budi Gunawan,SH.,Msi.,) sebagai Tersangka oleh Temohon
terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a
atau b, pasal 5 ayat (2), pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan
tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penetapan aquo
tidak mempunyai kekuatan mengikat ;
3. Menyatakan penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait
peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka
terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a
atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
1 ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan
oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan
mengikat;
4. Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan
oleh Termohon adalah tidak sah ;
47
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon ;
6. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar nihil ;
7. Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya.
Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari SENIN, tanggal 16
FEBRUARI 2015, oleh : H. SARPIN RIZALDI, SH.,MH., Hakim
Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, putusan tersebut
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
Hakim tersebut dengan dibantu oleh ; AYU TRIANA LISTIATI, SH., MH.,
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut, dengan dihadiri oleh
Kuasa Pemohon serta Kuasa Termohon.
Atas dasar putusan tersebut Komisi Yudisial menganggap bahwa telah
ada pelanggaran Kode Etik yang telah dilakukan oleh H. Sarpin Rizaldi,
S.H.,M.H. sebagai Hakim dalam Perkara tersebut. Bahwa dalam putusan
Nomor : 0070/L/KY/II/2015, telah memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim dan mengambil putusan terhadap Terlapor atas
Nama H. Sarpin Rizaldi, S.H.,M.H. dengan jabatan sebagai hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Yang selanjutnya disebut terlapor yang bertindak
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Praperadilan Nomor :
04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015.
Dalam amar putusan Komisi Yudisial memutuskan : 4
4Komisi Yudisial Republik Indonesia. Petikan Putusan Nomor :0070/L/KY/II/2015.
48
1. Menyatakan pokok laporan pelapor yang pertama termasuk dalam
ranah teknis yudisial sehingga meneruskan pokok laporan ini kepada
Mahkamah Agung RI supaya dapat di tindak lanjuti seseuai dengan
kewenangannya.
2. Menyatakan Terlapor sdr. H. Sarpin Rizaldi, S.H.,M.H., terbukti
melanggar Angka 2 butir 1 poin (1), Angka 2 butir 2 poin (1) huruf a,
Angka 3 butir 2 poin (2) dan Angka 3 butir 2 poin (5), Angka 4 butir
2, Angka 8, Angka 9 poin 2, dan Angka 10 Surat Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim jo. Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pasal 6
ayat (3) huruf a, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (3) huruf f, Pasal 7 ayat
(3) huruf g, Pasal 8 ayat 2 huruf b, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 13 ayat (4), dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial
Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
3. Menjatuhkan sanksi sedang berupa Hakim Non Palu selama 6 (enam)
Bulan.
4. Menyatakan Bukti Pendukung Laporan Masyarakat yang telah
terdaftar dalam register Nomor 0070/L/KY/II/2015 di simpan sebagai
arsip Komisi Yudisial RI.
49
Demikian diputuskan dalam siding Pleno Komisi Yudisial RI,
bertempat di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 30 Juni 2015 dihadiri oleh 7
(tujuh) orang Anggota Komisi Yudisial RI, yaitu Dr. Suparman Marzuki,
S.H.,M.Si., sebagai Ketua merangkap Anggota, dan Dr.H.Abbas Said,
S.H., M.Hum., Dr.H. Eman Suparman S.H.,M.H., Dr. H.Imam Anshori
Saleh.,S.H.,M.Hum., Dr.Taufiqurrohman Syahuri,S.H.,M.H., Dr.Jaja
Ahmad Jayus,S.H.,M.Hum., dan Dr.H.Ibrahim,S.H.,M.H.,L.LM., masing-
masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Nur Agus
Susanto,S.H.,M.M., sebagai Sekertaris Pengganti.
C. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung Dalam Hal
Pengawasan Hakim di Indonesia
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi
lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian
kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk
menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu
kekuasaan yang merdeka dan bersifat imparsial (independent dan impartial
judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip
akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika.
50
Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para
hakim itu sendiri.5
Dalam Konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah
satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih,
sehingga siapapun pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi.
Melihat pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang
bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan wewenang.6
Ada tiga hal yang menjadi obyek pengawasan terhadap kinerja hakim
yaitu :7
a. Pengawasan bidang teknis peradilan atau teknis yustisial
Yang dimaksud dengan teknis peradilan adalah segala sesuatu
yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana terlaksananya putusan
tersebut. Jadi tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah adanya
peningkatan kualitas putusan hakim.
b. Pengawasan bidang administrasi peradilan
Sedang yang dimaksud dengan administrasi peradilan adalah
5A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Refeormasi Peradilan ( Jakarta: ELSAM, 2004),
Cetakan ke-1, h. 13-14.
6Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, ) Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2006), h. 207.
7MARI, Pedoman Perilaku Hakim (code of landnet), (Jakarta: MARI, 2004), h. 80- 81.
51
segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan lembaga
pengadilan. Administrasi peradilan disini harus dipisahkan dengan
administrasi umum yang tidak ada sangkutpautnya dengan suatu
perkara di lembaga pengadilan tersebut. Administrasi peradilan erat
kaitannya terhadap teknis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak
akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan diabaikan.
c. Pengawasan terhadap perbuatan pejabat peradilan
Pengawasan model ketiga ini adalah pengawasan terhadap
tingkah laku perbuatan (pekerjaan) pejabat pengadilan dan para
hakim panitera, yang mengurangi kewajaran jalannya peradilan
dilakukan berdasarkan temuan-temuan, penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan,
baik yang dikemukakan atas dasar laporan hasil pengawasan
internal maupun atas laporan masyarakat media massa, dan lain-lain
pengawasan internal.
Sedangkan kewenangannya untuk menjaga dan menegakan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilakuhakim, Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam
rangka menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku
hakum. Tugas melaksanakan pengawasan Komisi Yudisial selanjutnya
dijabarkan dalam pasal 22 UU No 18 Tahun 2011 Perubahan atas UU No
22 Tahun 2004, yaitu :
52
(1) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat
dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Untuk melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data
kepada Badan Peradilan dan/atau Hakim.
(3) Pimpinan Badan Peradilan dan/atau Hakim wajib memberikan
keterangan atau data yang diminta oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi
Yudisial diterima.
(4) Apabila Badan Peradilan dan/atau Hakim belum memberikan
keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Komisi Yudisial meminta keterangan dan/atau data
tersebut melalui pimpinan Mahkamah Agung.
(5) Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada Badan Peradilan
dan/atau Hakim untuk memberikan keterangan atau data
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi
Yudisial.
(6) Apabila permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, pimpinan Badan
53
Peradilan atau Hakim yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai
dengan peraturan perUndang-Undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud padaayat (1) diatur dengan Peraturan
Komisi Yudisial.
Hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai
main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih
tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa
mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20
dalam Undang-Undang yang sama,dinyatakan bahwa dalam melaksanakan
wewenang tersebut Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Dalam hal hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yaitu
meliputi :
1. Hubungan kewibawaan yang formal
Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan
antara MA dan KY dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3)
UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan
hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
2. Hubungan Kemitraan (Partnership)
54
Hubungan kemitraan (partnership).adalah hubungan kerjasama
antara MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama namun pada ruang
lingkup yang berbeda, bahwa MA memiliki wewenang dalam sistem
pengawasan secara internal sedangkan KY memilki wewenang dalam
sistem pegawasan secara eksternal.
a. Sistem pengawasan secara internal yang menjadi kewenangan Mahkamah
Agung :
Selanjutnya, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menguraikan bentuk-
bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung
berikut ini :
1. Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua linkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya.
3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan tekhnis
peradilan dari semua lingkungan peradilan.
55
4. Memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dipandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkingan peradilan.
Selain sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini,
Mahkamah Agung juga memiliki fungsi pengawasan dalam lingkup
kekuasaan kehakiman. Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas
tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara. Dari ketentuan di atas terlihat bahwa yang harus
diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechtsgang)
dengan tujuan agar pengadilan-pengadilan menyelenggarakan proses
peradilan dengan seksama dan sewajarnya.8
b. Sistem pengawasan secara eksternal yang menjadi tanggung jawab Komisi
Yudisial.
Dalam pengawasan eksternal Komisi Yudisial sebagai berikut :
1. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
2. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim;
3. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim
4. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar
8Suyuthi, Wildan. “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama”
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan. ( Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), Cetakan Pertama, h. 79
56
kode etik perilaku hakim;
Bahwa dalam rumusan ketentuan pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 hasil
perubahan ketiga dapat menimbulkan kontroversi tersendiri di kemudian hari.
Di situ dirumuskan dengan sangant jelas : “Komisi Yudisial bersifat mandiri
dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”. Artinya, tugas pertama komisi ini adalah
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan tugas keduanya adalah menjaga
dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Karena tugas pertama dikaitkan dengan Hakim Agung dan tugas kedua
dengan Hakim saja, maka dalam hal ini artinya yaitu Komisi Yudisial bertugas
(preventif) dan menegakan (korektif dan represif) kehormatan, keluhuran
martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim
harus dijaga dan ditegakan kehormatannya, keluhuran martabat dan
perilakunya mencakup hakim agung, hakim pengadilan umum, pengadilan
agama, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer termasuk hakim
konstitusi.
Beberapa kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan
perilaku hakim dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011.
1. Pengawasan Etika dan Perilaku Hakim
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku
hakim.
b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran
57
kode etik dan/atau pedoman pelaporan hakim.
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim.
e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang dan/atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
2. Penyadapan
Untuk mendukung dan memperkuat pelaksanaan tugas yang
bersifat represif dapat meminta bantuan aparat penegak hokum
untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam
merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode
etik dan/atau pedoman perilaku hakim. Penyadapan ini merupakan
kewenangan baru bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi
pengawasannya. Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan
menyadap telepon hakim secara langsung. Komisi Yudisial hanya
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK,
Kepolisian dan kejaksaan yang memiliki kewenangan tarsebut
karena mengingat Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak
hukum dalam kapasitas pro-justicia.9
9Rishan, Idul. Komisi Yudisial “ Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”. (Jakarta
: Genta Press, 2013), Edisi Pertama, h. 109-110.
58
3. Rekomendasi Sanksi
Pelaksanaan sanksi sering terjadi kontroversi, sekarang
ditegaskan dalam Undang-Undang. Jika putusan Komisi Yudisial
di diamkan dalam waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib
dilaksanakan Mahkamah Agung. Dahulu memang harus ditentukan
oleh Mahkamah Agung, sekarang tidak lagi. Jadi ketika Komisi
Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi hakim, Mahkamah
Agung harus mengikuti. Jika rekomendasi tersebut tidak
dilaksanakan dalam waktu 60 hari, maka rekomendasi tersebut
otomatis berlaku.10
4. Sanksi Terperinci
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial mengatur sanksi lebih variatif yaitu:
a) Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan
pernyataan tidak puas secara tertulis.
b) Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling
lama satu tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama
satu tahun, penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun
dan hakim non palu paling lama enam bulan., dan,
c) Sanksi berat, yaitu pembebasan dari jabatan structural, hakim
non palu lebih dari enam bulan sampai dengan dua tahun,
pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak
10
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “ Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”. (Jakarta
: Genta Press, 2013), Edisi Pertama, h. 111
59
pensiun, dan pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk
sanksi ini sudah diatur melalui proses Majlis Kehormatan
Hakim.
5. Bidang Seleksi Hakim
Komisi Yudisial kini bukan lagi hanya menyeleksi hakim
agung, tetapi juga hakim ad hoc di Mahkamah Agung, karena itulah
Komisi Yudisial bertanggung jawab untuk menghasilkan hakim ad
hoc yang berkualitas (Pasal 13 huruf (a) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial).
6. Peningkatan Kapasitas Hakim dan Kesejahteraan Hakim
Dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Komisi Yudisial lebih memperhatikan aspek-aspek
kebutuhan dan kepentingan hakim sehingga dalam melaksanakan
tugasnya, hakim dapat menjaga wibawa dan kehormatannya demi
menghindari tindakan atau sikap yang dapat melanggar etika,
perilaku hakim, sampai dengan penyalahgunaan wewenang.
7. Penghubung di Daerah
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai
dengan kebutuhan, dimana dalam penjelasannya, lembaga
penghubung ini bertugas untuk membantu melaksanakan tugas
Komisi Yudisial.
Meskipun lembaga ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman,
60
tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat
dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini
adalah jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakan
kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu
Komisi Yudisial.11
Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat(4) UUD 1945,
dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1
ditegaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana
dimaksud UUD 1945. Lebih lanjut Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi
Yudisial merupakan kembaga yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanan
kewenangannya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lainnya.
Pengawasan terhadap perilaku hakim adalah bagian kepentingan
publik yang tidak bisa diabaikan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
diberi kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang kemudian direvisi
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap
11
Jimli Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi
Press, 2011), , cet. Ke 2 h. 199.
61
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.12
Di dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman dipaparkan ketentuan pengawasan
Mahkamah Agung sebagai berikut :
1. Pengawasan tertinggi terhadap penyelesaian peradilan pada semua
badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
2. Selain pengawasan sebagaimana dimaksud ayat 1, Mahkamah Agung
melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan.
3. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung
4. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksan dan memutus perkara.
Adanya mekanisnme pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung yang dijabarkan dalam Pasal 22 E ayat (2) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial khususnya dalam
hal pengawasan terhadap perilaku hakim. Demi menunjang fungsi pasal
tersebut perlu diupayakan membangun sinergi pengawasan hakim baik
melalui control item yang dilakukan Mahkamah Agung maupun Kontrol
12
Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara),
(Jakarta: Kompas, 2008), Cetakan ke-1, h. 31.
62
eksternal yang dilakukan Komisi Yudisial dengan beberapa pemikiran
sebagai berikut :
a) Saling Menghormati
Komisi yudisial harus menunjukab penghargaan terhadap Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sebaliknya, Mahkamah Agung
harus memandang Komisi Yudisial adalah mitra untuk mencapai reformasi
peradilan.
b) Saling Percaya
Dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Komisi Yudisial, harus dibangun rasa saling percara antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan fungsi
pengawasan. Untuk itu kedepannya Komisi Yudisial dapat melakukan
pendekatan secara kultural dengan Mahkamah Agung yakni keselarasan
dalam menghayati pandangan sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari pentingnya transparansi dan akuntabilitas di pengadilan.
Sehingga kedepan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dapat
membangun bersama sinergi pengawasan hakim dalam penerapan
Undang-Undang Komisi Yudisial.13
13
Rishan Idul. Komisi Yudisial, Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, (Jakarta:
Genta Press, 2013), Edisi Pertama, h. 147.
63
BAB IV
ANALISIS REKOMENDASI SANKSI SERTA URGENSI KOMISI
YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA
A. Rekomendasi Sanksi Nomor : 0070/L/KY/II/2015.
Rekomendasi sanksi yang di keluarkan oleh Komisi Yudisial
terhadap H. Sarpin Rizaldi, S.H., M.H selaku Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan bahwa Hakim Sarpin melanggar ketentuan yang prinsipil
sewaktu memeriksa dan mengadili perkara Komjen Budi Gunawan yaitu,
tidak teliti dalam mengutip keterangan ahli yang dijadikan pertimbangan
dalam memutus. “Sehingga yang disampaikan ahli bertentangan dengan
yang dimuat hakim dalam putusannya. Tidak teliti menuliskan identitas
ahli, dengan menyebut Prof Sidharta sebagai ahli hukum pidana, padahal
yang bersangkutan ahli filsafat hukum.
Hakim Sarpin, lanjutnya, juga bersikap menantang bahkan
cenderung arogan lantaran tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KY.
Padahal pemanggilan itu penting karena memberikan kesempatan terhadap
Sarpin untuk menyampaikan klarifikasinya. “Dia malah menantang ’kalau
berani KY datang ke PN Jakarta Selatan’.
Komisi Yudisial tidak mencampuri teknis yudisial terkait objek
praperadilan penetapan tersangka karena hal itu diserahkan sepenuhnya
kepada MA. Hakim Sarpin Rizaldi berani menerobos ketentuan
perundang-undangan dengan menerima penetapan tersangka sebagai objek
64
praperadilan. Sikap tersebut menuai kontroversi mengingat penetapan
tersangka bukan objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP. Saat perkara Komjen Budi Gunawan bergulir, Mahkamah
Konstitusi (MK) belum memperluas objek praperadilan. Hakim Sarpin
mengabulkan sebagian permohonan Komjen Budi Gunawan dengan
menyatakan yang bersangkutan bukan subjek hukum KPK karena
ditersangkakan dengan kapasitasnya sebagai Karobinkar.
Dengan pertimbangan yang tersebut diatas, pihak Komisi Yudisial
telah menjatuhkan rekomendasi sanksi skorsing nonpalu selama 6 bulan
kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Jaksel Sarpin Rizaldi terkait dugaan
pelanggaran kode etik sewaktu mengadili perkara praperadilan yang
dimohonkan Komjen Budi Gunawan. Dalam putusannya Komisi Yudisial
menjelaskan bahwa Sdr. Sarpin Rizaldi terbukti melanggar ketentuan
sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (2) huruf a “Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan
menghindari perbuatan yang menimbulkan kesan tercela”.
Pasal 6 ayat (3) huruf a “ hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus
mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga
hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah,
warisan, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau fasilitas dari:
1. Advokat;
2. Penuntut;
3. Orang yang sedang diadili;
65
4. Pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili;
5. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau
kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan
yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau
mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam
menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang
ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau
dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas
peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam
kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar
keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya sesuai adat
istiadat yang berlaku, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (lima
ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah
sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 7 ayat (1) “ Berperilaku arif dan bijaksana bermakna mampu
bertidak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik
norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun
kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta
mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan
bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas,
mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan
santun.
66
Pasal 7 ayat (3) huruf f “ Hakim tidak boleh memberi keterangan atau
pendapat mengenai substansi suatu perkara diluar proses persidangan
pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun
perkara lain”.
Pasal 7 ayat (3) huruf g “Hakim tidak boleh memberi keterangan,
pendapat,komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu
perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun”.
Pasal 8 ayat 2 huruf b “ Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak
patutu dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain
yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan
Badan Peradilan”.
Pasal 12 ayat (1) “Berperilaku disiplin bermakna ketaatan pada norma-
norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk
mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan”.
Pasal 12 ayat (2) “Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang tertib didalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan
berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak
menyalahgunakan amanah yang dipercayakan padanya”.
Pasal 13 ayat (4) “Dalam penerapan berperilaku rendah hati, hakim tidak
boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari
popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga”.
67
Pasal 14 ayat (1) “Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi
oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan
kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan,
keterampilan dan wawasan luas”.
Dan Pasal 14 ayat (2) “Sikap professional akan mendorong terbentuknya
pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan,
serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien”.
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Menurut penulis Komosi Yuisial juga tidak
tidak hanya menjaga integritas para hakim, tapi juga diperlukan upaya
untuk mengubah sistem kepemimpinan. Dan atau lebih penting lagi,
komisi yusidisial dapat berkolaborasi dengan anggota legislatif dalam
mengubah dan memperbaiki peraturan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak
rekomendasi sanksi yang diusulkan Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) hakim
Sarpin Rizaldi ketika memutus praperadilanKomjen (Pol) Budi Gunawan.
MA menganggap rekomendasi sanksi KY terhadap Hakim Sarpin dinilai
melanggar sejumlah prinsip KEPPH tidak beralasan. “Jawaban kami
68
sudah kami kirim ke KY, surat jawaban kami hasil keputusan pimpinan
MA yang solid,” ujar Ketua Mahkamah Agung, HM Hatta Ali.
Dia tegaskan rekomendasi KY yang mengusulkan hakim Sarpin
dinonpalukan selama enam bulan tidak beralasan. Materi objek
pemeriksaan KY yang dituduhkan terhadap Sarpin sudah memasuki
wilayah teknis yudisial. “Intinya, apa yang dituduhkan Sarpin
menyangkut teknis yudisial yang bukan pelanggaran,” kata dia.
Menurutnya, teknis yudisial bukanlah objek pemeriksaan yang menjadi
kewenangan KY untuk menelusuri dugaan pelanggaran KEPPH. “Kita
sudah tahu teknis yudisial adalah masalah independensi yang tidak boleh
diintervensi siapapun. Saya saja ketua (MA) tidak boleh mencampuri
independensi hakim di bawahnya.
Mahkamah Agung, kata Hatta, tidak menemukan bentuk
pelanggaran baik bersifat teknis atau nonteknis. “Semuanya sudah kami
jawab pada 13 Agustus 2015, bisa tanya KY. Kita tidak menemukan
pelanggaran sama sekali,” tegasnya. Terpisah, Komisioner KY Imam
Anshori Saleh mengakui surat jawaban MA baru saja diterima KY.
“Katanya sudah masuk dan rekomendasinya ditolak. Kita tidak bisa
komentari dulu karena saya akan baca dulu,” kata Imam.1
Apabila surat jawaban MA benar-benar menolak surat
rekomendasi KY sebelumnya proses kasus dugaan pelanggaran hakim
Sarpin selesai. “Tidak ada lagi karena yang melaksanakan MA. Kalau MA
1http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d569e272c6c/ma-tolak-rekomendasi-
sanksi-hakim-sarpin diakses pada 2 februari 2016
69
tidak melaksanakan ya selesai,” katanya. Meski dalam UU No. 18 Tahun
2011 tentang Komisi Yudisial ada ketentuan kalau terjadi perbedaan
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial maka dilakukan
pemeriksaan bersama. Namun, ketentuan itu hingga kini tidak bisa
dilaksanakan. “Meski ada mekanisme pemeriksaan bersama, tetapi ini
tidak bisa dilaksanakan”.
B. Urgensi Posisi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Di
Indonesia
Posisi Komisi Yudisial dalam terminologi territorial division of
power masuk dalam ranah capital divission of power, yang dengan
demikian posisi Komisi Yudisial dengan lembaga negara lainnya (seperti
Presiden, MPR, DPR,DPD, BPK, MA, dan MK) dalam posisi horisontal/
sederajat dan hanya dipisahkan secara fungsi.
Pada dasarnya pembentukan lembaga-lembaga Negara baru dalam
konteks transisi demokrasi di Indonesia menjadi kelaziman berdasarkan
semakin tingginya tuntutan dari masyarakat sipil terhadap struktur
ketatanegaraan yang diharuskan memperhatikan konsep-konsep mengenai
hak asasi dan demokrasi. Salah satu contoh adalah pembentukan komisi-
komisi yang disebut juga dengan lembaga-lembaga Negara (independen).
Perkembangan pembentukan lembaga yang bersifat komisi itu sangat
pesat sepanjang reformasi, dengan mengingat lembaga-lembaga Negara
yang ada tercemar oleh korupsi, kolusi dan nepotisme.
70
Pembentukan lembaga-lembaga Negara baru yang independen dan
lepas dari structural kenegaraan yang telah ada merupakan jawaban dan
cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Belum terungkapnya kasus
korupsi serta maraknya kasus mafia peradilan semakin mengindikasikan
belum kuatnya komitmen pemerintah untuk menegakkan konsep Negara
hukum sebagaimana yang telah dicita-citakan.2
Pembentukan Komisi Yudisial di sebuah Negara dengan segenap
kewenangan yang diberikan kepadanya tentu sangat ditentukan oleh
berbagai macam faktor yang mempengaruhi. Oleh karena itu, tidak ada
kesamaan Komisi Yudisial di suatu Negara dengan Komisi Yudisial
dinegara lain. Terkait hal itu, beberapa persoalan yang berkaitan dengan
kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan, fungsi Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawasan, dan mekanisme pengawasan
Komisi Yudisial harus mendapatkan penjelasan yang memadai. Pada titik
ini penulis ingin mengemukakan beberapa hal terkait dengan penguatan
Komisi Yudisial di masa yang akan datang.
Pertama, dalam perspektif hukum tata Negara, secara
kelembagaan, Komisi Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang
memiliki keunikan jika dibandingkan komisi yang lain. Berbeda dengan
komisi-komisi yang lain, kewengan Komisi Yudisial diberikan langsung
oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yaitu pasal 24B, serta
Komisi Yudisial secara tegas tanpa keraguan merupakan bagian dari
2A. Ahsin Thohari , “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, (Jakarta: Jentera, 2006), Edisi 12 Tahun III, h. 33.
71
kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai palaku
kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX
kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945.
Kedua, Pengaturan Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar
NRI Tahun 1945 itu tidak lepas dari adanya upaya untuk memperkuat
kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai
konsekuensi logis dari dianutnya paham Negara hukum yang salah
satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim agung yang
kredibel dan menjaga kontinuitas para hakim yang bertugas dilapangan
untuk tetap memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur,adil,
serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam kerangka
inilah pasal 24B perubahan ketiga yang ditetapkan pada tanggal 9
November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang
disebut Komisi Yudisial.
Dalam rangka menciptakan lembaga peradilan yang berwibawa
dan sekaligus untuk memberikan landasan hukum yang kuat maka Komisi
Yudisial secara langsung duatur dalam Undang-Undang NRI Tahun 1945
Pasal 24B sebagai lembaga Negara yang bersifat mandiri. Yaitu dengan
memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan
checks and balances didalam lembaga peradilan. Komisi Yudisial
memiliki peranan yang penting dalam rangka mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeja melalui pencalonan hakim agung serta
72
pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
menegakan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi
pengawasan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya merupakan
upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang
lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar
para hakim menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Oleh karena itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi
Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya
komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan
wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman
sesuai dengan Kode Etik, code of conduct hakim dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Disinilah sesungguhnya letak peran
penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum
di Indonesia.
Pengaturan Komisi Yudisial dalam konstitusi dianggap tepat,
mengingat ide dasar dari pembentukan Komisi Yudisial adalah bahwa
pengadilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup (judicial
corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai
nilai-nilai keadilan, seperti memperdagangkan perkara yang terjadi secara
sistematis, sehingga muncul istilah “mafia peradilan”. Praktik-praktik
tersebut semakin menggejala ketika pengawasan internal tidak mampu
mengendalikannya dengan semaksimal mungkin. Oleh karaena itu,
73
Komisi Yudisial kemudian dibentuk untuk mengembangkan system
pengawasan eksternal.
Kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara mempunyai
peranan penting yang secara tidak langsung pasti akan berpengaruh
terhadap upaya pembanguanan sisitem peradilan yang bauk yang dapat
dipercaya dan terbebas dari praktek KKN serta masalah-masalah mafia
peradilan. Maka keberhasilan Komisi Yudisial dalam menjalankan
tugasnya juga penting dalam memberantas mafia peradilan. Oleh karena
itu dibutuhkan pimpinan dan abggota Komisi Yudisial yang benar-benar
terkualifikasi dan memiliki integritas untuk menjalankan tugas Komisi
Yudisial ini dengan baik. Maka dalam seleksi pimpinan Komisi Yudisial
sebaiknya panitia seleksi dan DPR benar-benar serius dalam melakukan
pemilihan calon pimpinan Komisi Yudisial, calon pimpinan Komisi
yudisial harus benar-benar orang yang terseleksu karena kualitas dan
integritasnya bukan karena ada kepentingan-kepentingan lain.3
Pada prinsipnya ada dua wewenang yang diberikan Undang-
Undang Dasar NRI Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial bukan
wewenang ketatanegaraan karena tidak dalam kedudukan yang bertindak
untuk dan atas nama Negara. Selain tidak konstitutif, wewenang-
wewenang tersebut merupakan wewenang penunjang alat perlengkapan
Negara yang lain (Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Presiden). Karena bukan wewenang yang bersifat ketatanegaraan maka
3A. Ahsin Thohari , “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, (Jakarta: Jentera, 2006), Edisi 12 Tahun III h. 13-14.
74
Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara tidak termasuk alat
perlengkapan Negara.
Hal ini sekaligus membedakan kedudukan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstituti disatu pihak dengan Komisi Yudisial dipihak lain.
Atas dasar wewenang yang diberikan Undang-Undang Dasar NRI 1945,
Komisi Yudisial secara fungsional adalah “auxiliary agency” atau
“auxiliary agent” Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam
menegakan disiplin dan etika hakim. Dengan demikian, hubungan antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi disatu pihak dengan Komisi
Yudisial di lain pihak bukanlah termasuk hubungan ketatanegaraan
sehingga tidak bersifat staatrechtelijk, melainkan sebagai hubungan
atributif yang bersifat menunjang dan bersifat aministrasi belaka.
Komisi Yudisial sebagai institusi yang berwenang mengawasi
tingkah laku hakim, pejabat dan peradilan memiliki fungsi yang sangat
penting dalam memberantas mafia peradilan. Ketegasan dan konsistensi
institusi ini sangat jelas untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan
tumbuh dalam lembaga peradilan. Sikap ini sangat didambakan rakyat
Indonesia mengingat penegakan keadilan semuanya bertumpu pada
tangan hakim.4
Konsekuensi logis sebuah Negara hukum yang telah dipilih
Indonesia berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Salah satu lembaga yang
4Yohanes Usfunan, “Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yuisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2005), h. 194
75
memiliki peranan yang sangat urgent dan mutlak diperlukan dalam
struktur Negara modern dan mewadahi salah satu komponen dalam
Negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang bebas, mandiri dan
bertanggung jawab. Kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai lembaga
pengontrol terhadap berlakunya hukum ini sehingga mutlak diperlukan
suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang tidak hanya sekedar ada,
memiliki fasilitas yang muncul tetapi lebih dari itu juga harus
bersyaratkan sebuah predikat yang bersih dan berwibawa dalam rangka
mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.
Cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak
mungkin tercapai hanya dengan membiarkan perdilan berjalan sendiri
tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas
dan peran mewujudkan kekuasaan yang merdeka melalui pengusulan
hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta terhadap perilaku hakim demi
tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Komisi Yudisial.5
Dengan demikian, keberadaan Komisi Yudisial sangat penting,
selain karena merupakan amanat dari konstitusi, juga di dasarkan
penegasan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum.
Sebagai sebuah Negara yang berdasarkan hukum dituntut adanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri bebas dari pengaruh
5Lihat konsideran huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi
Yudisial
76
pihak manapun, dan ini sebenarnya merupakan cita-cita yang bersifat
universal sebagaimana diputuskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-
Bangsa ke-7 tentang The Prevention of Crime an the Treatment of
Offenders. Dalam sebuah salah satu kesimpulan penelitian terhadap
Komisi Yudisial di beberapa Negara Uni Eropa, Wim Voerman, ahli
hukum belanda, mengemukakan bahwa insentif yang penting untuk
mendirikan Komisi Yudisial di hampir semua Negara yang diteliti adalah
untuk memajukan independensi peradialan.6
Disinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi
Yudisial dalam upaya penegakan hukum di indonesua. Pengawasan oleh
Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan
hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sungguh-sungguh
didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi
kode etik profesi hakim. Apabila hakim agung dan hakim menjalankan
tugas dan wewenangnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang
bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak hanya
mendukung terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga
mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sehingga
supremasi hukum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
6Wim Voermans, Komisi Yudisial Di Beberapa Negara Uni Eropa, terjemahan dari judul
aslinya “Councils For The judiciary In EU Countries” (Jakarta:LeIP, The Asia Foundation dan
USAID, 2002) h. 137.
77
C. Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Sisitem Ketatanegaraan Di
Indonesia.
Kewenangan Komisi Yudisial sesuai Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 dalam hal pengawasan hakim lebih menitik beratkan peran
Komisi Yudisial dalam pengawasan yang bersifat represif dibanding peran
yang bersifat preventif dalam rangka menjaga dan menegakan keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Seharusnya peran pengawasan yang
dimiliki oleh Komisi Yudisial berimbang antara pengawasan represif dan
preventif.
Kedudukan Komisi Yudisial dalam hal ini tidak memiliki peran
yang signifikan dalam hal pengawasan hakim, dikarenakan posisi Komisi
Yudisial hanya sebagai pengawas eksternal dalam kekuasaan kehakiman
serta tidak mempunyai aturan yang mengikat bagi para hakim untuk
mematuhinya.
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim,
sesuai dengan wewenang dan tugas dalam pasal 13 huruf (b) Komisi
Yudisial mempunyai wewenang dalam menegakan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Usul penjatuhan sanksu
merupakan implementasi fungsi pengawasan yang bersifat represif, artiya
Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menentukan dan menilai hakim
yang melakukan terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat
menciderai kehormatan, keluhuran dan martabat hakim.
78
Implikasi dari pengaturan pasal ini membawa konsekuensi
terhadap pimpinan badan peradilan Mahkamah Agung untuk melakukan
fungsi peradilan sebagai wujid tindak lanjut implementasi pengawasan
eksternal. Sebagaimana untuk menunjang mekanisme pengawasan Komisi
Yudisial dalam melaksanakn kontrol eksternal.
Adapun sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran
terhadap kode etik atau pedoman perilaku hakim adalah; sanksi ringan,
sanksi sedang, sanksi berat. Sehingga ini menunjukan efsien peran dari
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas Kode Etik Hakim di
Indonesia. Karena Komisi Yudisial sebagai pengontrol dan penyeimbang
(checks and balances) kekuasaan kehakiman, diharapkan mampu
menjamin terciptanya perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga
hakim-hakim yang bertugas di lapangan agar tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai profesionalisme yang melekat padanya.
Akan tetapi keberadaan Komisi Yudisial hanya sebagai lembaga
yang berwenang sebatas memberikan rekomendasi terhadap Mahkamah
Agung atas apa yang telah menjadi keputusan dari Komisi Yudisial seperti
halnya dalam kasus Hakim H. Sarpin Rizaldi, S.H., M.H dalam putusan
nomor 007/L/KY/II/2015 yang ditolak oleh Mahkamah Agung.
Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan tersendiri untuk
melakukan eksekusi terhadap putusannya sendiri dikarenakan tidak ada
kewajiban ataupun aturan untuk para hakim agar mematuhi putusan
Komisi Yudisial.
79
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan penulis di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Komisi Yudisial sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 dalam hal pengawasan hakim lebih menitik beratkan peran
Komisi Yudisial dalam pengawasan yang bersifat represif dibanding
peran yang bersifat preventif dalam rangka menjaga dan menegakan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kedudukan Komisi Yudisial
dalam hal ini tidak memiliki peran yang signifikan dalam hal
pengawasan hakim, dikarenakan posisi Komisi Yudisial hanya sebagai
pengawas eksternal dalam kekuasaan kehakiman serta tidak mempunyai
aturan yang mengikat bagi para hakim untuk mematuhinya. Serta, Peran
Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal diharapkan bisa menutupi
kelemahan-kelemahan pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung yang dinilai kurang efektif seperti adanya semangat
untuk membela sesama hakim yang membawa konsekuensi pada tidak
obyektifnya pengawasan, serta kurangnya transparansi dan
akuntabilitas. Pengawasan internal tidak dapat memberikan kesempatan
bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan dan masyarakat tidak
dapat mengakses pengawasan tersebut.
80
2. Urgensi dari Komisi Yudisial dalam upaya penegakan hukum di
indonesua. Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya
bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa
keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim.
Apabila hakim agung dan hakim menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang
bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak
hanya mendukung terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi
juga mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa,
sehingga supremasi hukum dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
3. Dalam putusan nomor :007/L/KY/II/2015 yang ditolak oleh Mahkamah
Agung. Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan tersendiri
untuk melakukan eksekusi terhadap putusannya sendiri dikarenakan
tidak ada kewajiban ataupun aturan untuk para hakim agar mematuhi
putusan Komisi Yudisial.
B. Saran
1. Bagi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung seharusnya diperlukan
adanya aturan yang mengatur tentang adanya sanksi bagi lembaga
81
yang bersangkutan dalam hal ini adalah Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial jika salah satu pihak melanggar ketentuan peraturan
bersama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Untuk Mahkamah Agung diharapkan agar kedudukan Komisi
Yudisial sebagai pengawas eksternal dalam kekuasaan kehakiman
memiliki kekuatan hukum mengikat bagi setiap hakim agar dapat
tunduk dan patuh secara struktural terhadap Komisi Yudisial dalam
hal untuk sama-sama menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.
3. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk merevisi Undang-
Undang Tentang Komisi Yudisial agar diperkuat kewenangannya
sebagai pengawas eksternal dalam kekuasaan kehakiman.
82
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Mundziri, Al-Hafizh, Zaki, Al-Dinm, „Abd, Al-„Azim, Shahih Muslim, Beirut :,
2008 .
Assegaf, Rifqi S. Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta,
Konstitusi Pers. 2005
-------------. Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Konstitusi Press, 2006.
-------------. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta,
PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
--------------. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke 2, Jakarta,
Konstitusi Press, 2011.
Asshiddiqie, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasa Ilmu Politik. Edisi Revisi, Cetakan Pertama. Jakarta:
Gramedia, 2008.
Buku Pedoman Perilaku Hakim yang disusun oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 2006.
Buku saku, Komisi Yudisial Untuk Keadilan, Jakarta, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2010.
83
Hasan, Basri Cik. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
Bidang Agama Islam, cet. Ke-1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.
Hafidhudin, Didin dan Henry Tanjung. Manajemen Syari’ah Dalam Praktek, Jakarta:
Gema Insani, 2003.
Thohari, A. Ahsin. Komisi Yudisial & Refeormasi Peradilan, Jakarta: ELSAM,
2004.
-------------. “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, Jakarta, Jentera, 2006.
Idul, Rishan. Komisi Yudisial “ Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”.
Jakarta, Genta Press, 2013.
Kusnardi Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum tentang Negara Indonesia,
Jakarta : Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (code of landnet), MARI, Jakarta,
2004.
Ma‟shum, Ahmad. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar1945, Yogyakarta,Total Media, 2009.
Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Jakarta : Kencana,
2007.
Manan, Bagir. Kedudukan penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan RI”,Majalah
Varia Peradilan Nomor 243, Februari, 2006.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Prespektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Syamsudin, Amir. Integritas Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara),
Jakarta, Kompas, 2008.
Usfunan, Yohanes. Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yuisial, Jakarta, Komisi Yudisial RI, 2005.
-------------------. Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
84
Yudisial, Jakarta, Komisi Yudisial RI, 2006.
Voermans, Wim. Komisi Yudisial Di Beberapa Negara Uni Eropa, terjemahan dari
judul aslinya “Councils For The judiciary In EU Countries”, Jakarta:LeIP,
The Asia Foundation dan USAID, 2002.
Wildan, Suyuthi. Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim
dan Makalah Berkaitan. Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2006.
Yusuf, Al, Muzammil. seleksi komisi yudisial harus menghasilkan hakimagung
yang reformasi , Jakarta: Bulletin komisi yudisial, 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No.28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang-undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUUIV/2006.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Praperadilan Nomor :
04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. Petikan Putusan Nomor : 0070/L/KY/II/2015
tentang Rekomendasi Sanksi Komisi Yudisial.
85
INTERNET
http://www.komisiyudisial.go.id/statis-14-sejarah-pembentukan.html.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d569e272c6c/ma-tolak-rekomendasi-
sanksi-hakim-sarpin.
top related