kekuatan2 dlm persalinan
Post on 14-Jan-2016
217 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
HIS
His adalah gelombang kontraksi ritmis otot polos dinding uterus yang dimulai
dari daerah fundus uteri di mana tuba falopii memasuki dinding uterus, awal
gelombang tersebut didapat dari ‘pacemaker’ yang terdapat di dinding uterus daerah
tersebut.
His dapat terjadi sebagai akibat dari :
1. Kerja hormon oksitosin
2. Regangan dinding uterus oleh isi konsepsi
3. Rangsangan terhadap pleksus saraf Frankenhauser yang tertekan massa konsepsi.
Kontraksi uterus/His yang normal karena otot-otot polos rahim bekerja
dengan baik dan sempurna mempunyai sifat-sifat :
- Kontraksi simetris (Kontraksi simultan simetris di seluruh uterus)
- Fundus dominan (Kekuatan terbesar (dominasi) di daerah fundus)
- Relaksasi(Terdapat periode relaksasi di antara dua periode kontraksi)
- Involuntir : terjadi di luar kehendak
- Intermitten : terjadi secara berkala (berselang-seling)
- Terasa sakit
- Terkoordinasi
- Kadang dapat dipengaruhi dari luar secara fisik, kimia dan psikis.
1
Perubahan-perubahan akibat his :
a. Pada uterus dan servik
Uterus teraba keras/padat karena kontraksi. Tekanan hidrostatis air ketuban dan
tekanan intrauterin naik serta menyebabkan serviks menjadi mendatar (effacement)
dan terbuka (dilatasi).
b. Pada ibu
Rasa nyeri karena iskemia rahim dan kontraksi rahim. Juga ada kenaikan nadi
dan tekanan darah.
c. Pada janin
Pertukaran oksigen pada sirkulasi utero-plasenter kurang, maka timbul hipoksia
janin. Denyut jantung janin melambat (bradikardi) dan kurang jelas didengar karena
adanya iskemia fisiologis.
Dalam melakukan observasi pada ibu – ibu bersalin hal – hal yang harus
diperhatikan dari his:
1. Frekuensi his : Jumlah his dalam waktu tertentu biasanya permenit atau
persepuluh menit.
2. Intensitas his : Kekuatan his diukurr dalam mmHg. intensitas dan frekuensi
kontraksi uterus bervariasi selama persalinan, semakin meningkat waktu
persalinan semakin maju. Telah diketahui bahwa aktifitas uterus bertambah besar
jika wanita tersebut berjalan – jalan sewaktu persalinan masih dini.
3. Durasi atau lama his : Lamanya setiap his berlangsung diukur dengan detik,
misalnya selama 40 detik.
2
4. Datangnya his : Apakah datangnya sering, teratur atau tidak.
5. Interval : Jarak antara his satu dengan his berikutnya, misalnya his datang tiap 2
sampe 3 menit
6. Aktivitas his : Frekuensi x amplitudo diukur dengan unit Montevideo.
Pembagian his:
1. His pendahuluan : his tidak kuat dan tidak teratur
2. His pembukaan (Kala I) : menyebabkan pembukaan serviks, semakin kuat,
teratur dan sakit
3. His pengeluaran (His mengedan)(Kala II) : untuk mengeluarkan janin ; sangat
kuat, simetris, terkoordinir dan lama ;koordinasi bersama antara kontraksi otot
perut, diafragma dan ligament
4. His pelepasan uri (Kala III) : kontraksi sedang untuk melepaskan dan melahirkan
plasenta
5. His pengiring (Kala IV) : kontraksi lemah, masih sedikit nyeri, terjadi pengecilan
rahim dalam beberapa jam atau hari.
Kontraksi Braxton Hicks (His Palsu)
His palsu adalah kontraksi uterus yang tidak efisien atau spasme usus,
kandung kencing dan otot-otot dinding perut yang terasa nyeri. His palsu timbul
beberapa hari sampai satu bulan sebelum kehamilan cukup bulan. His palsu dapat
merugikan yaitu dengan membuat lelah pasien sehingga pada waktu persalinan
sungguhan mulai pasien berada dalam kondisi yang jelek, baik fisik maupun mental.
3
Jenis – jenis Kelainan His
Reynold (1948) menegaskan bahwa kontraksi uterus pada persalinan normal
ditandai oleh aktivitas miometrium dengan kekuatan paling besar terletak di fundus
(fundus dominant) dan berkurang kearah serviks. Kelainan pada “tenaga” merupakan
aktivitas uterus yang tidak efektif dalam mendapatkan kemajuan persalinan yang
normal. Kerja uterus yang tidak efektif ditandai oleh satu atau dua hal, hipotoni
dengan pola kontraksi normal tetapi tekanannya rendah, atau hipertonik dengan pola
kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan tekanan tinggi.
Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas uterus normal selama persalinan
ditunjukkan dengan ciri – ciri :
1. Kekuatan kontraksi lebih besar di fundus dibandingkan dengan bagian tengah
uterus atau bagian yang lebih rendah.
2. Nilai rata – rata kekuatan kontraksi lebih besar dari 24 mmHg (pada fase aktif)
tekanan sering meningkat hingga 40 sampai 60 mmHg.
3. Kontraksi terjadi secara teratur di bagian – bagian berbeda di uterus.
4. Tekanan basal istirahat uterus diantara 12 sampai 15 mmHg.
5. Frekuensi kontraksi meningkat dari sekali setiap 3 – 5 menit hingga sekali setiap
2 – 3 menit selama fase akif.
6. Waktu kontraksi yang efektif pada persalinan mendekati 60 detik.
7. Irama dengan tenaga kontraksinya regular
4
Berdasarkan hal ini, dapat didefinisikan dua jenis disfungsi uterus yaitu
disfungsi uterus hipotonik atau inersia uteri dan disfungsi uteri kedua disebut
incoordinate uterine dysfunction.
Inersia uteri
Di sini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan
lebih dahulu daripada bagian – bagian lain, peranan fundus tetap menonjol.
Kelainannya terletak dalam hal bahwa kontraksi uterus lebih aman, singkat, dan
jarang daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik, dan rasa nyeri tidak
seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak banyak bahaya, baik bagi ibu
maupun bagi janin, kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama, dalam hal ini
morbiditas ibu dan mortalitas janin meningkat. Keadaan ini dinamakan inersia uteri
primer atau hypotonic uterine contraction. Kalau timbul setelah berlangsungnya his
kuat untuk waktu yang lama, hal itu dinamakan inersia uteri sekunder. Karena dewasa
ini persalinan tidak dibiarkan berlangsung begitu lama sehingga dapat menimbulkan
kelelahan pada otot uterus, maka inersia uterus sekunder seperti digambarkan diatas
jarang ditemukan kecuali pada wanita yang tidak diberi pengawasan baik dalam
waktu persalinan. Dalam menghadapi inersia uteri harus diadakan penilaian yang
seksama untuk menetukan sikap yang harus diambil. Jangan dilakukan tindakan yang
tergesa – gesa untuk mempercepat lahirnya janin. Tidak dapat diberika waktu yang
pasti, yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk membuat diagnosis inersia uteri,
atau untuk memulai terapi aktif.
5
Diagnosis inersia uteri paling sulit ditegakkan pada fase laten, untuk hal ini
diperlukan adanya pengalaman, kontraksi uterus yang disertai rasa nyeri, tidak cukup
untuk membuat diagnosis bahwa persalinan sudah mulai, untuk sampai kepada
kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat dari kontraksi tersebut
terjadi perubahan pada serviks, yakni pendataran dan/atau pembukaan. Kesalahan
yang sering dibuat ialah mengobati seorang penderita untuk inersia uteri, pada
persalinan belum mulai (false labour).
Incoordinate uterine action
Dalam hal ini sifat his berubah. Tonus uterus otot meningkat, juga diluar his,
dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada sinkronisasi antara
kontraksi bagian – bagiannya. Tidak ada koordinasi antara kontraksi bagian atas,
tengah, dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
Disamping itu tonus otot uterus yang meningkat menyebabkan rasa nyeri yang lebih
keras dan lama bagi ibu dan menyebabkan hipoksia dalam janin. His jenis ini juga
disebut uncoordinated hypertonic uterine contraction. Kadang – kadang dalam
persalinan lama dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini
menyebabkan kelainan spasmus sirkuler setempat, sehingga terjadi pemyempitan
kavum uteri pada tempat itu. Ini dinamakan lingkaran kotraksi atau lingkaran
kostriksi. Secara teori lingkaran ini dapat diketahui dengan pemeriksaan dalam,
kecuali pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat dimasukkn kedalam kavum
uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum lengkap, biasanya sulit mengenal
kelainan ini dengan pasti. Adakalanya persalinan tidak maju karena kelainan pada
6
serviks yang dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini bias primer atau sekunder.
Distosia servikalis dikatakan primer jika serviks tidak membuka karena tidak
mengadakan relaksasi berhubungan dengan incoordinate uterine action. Penderita
biasanya seorang primigravida. Kala I menjadi lama, dan dapat diraba jalan serviks
yang kaku. Kalau keadaan ini dibiarkan, maka tekanan kepala uterus terus – menerus
akan menyebabkan nekrosis jaringan serviks dan dapat mengakibatkan lepasnya
bagian tengah serviks secara sirkuler. Distosia servikalis sekunder disebabkan oleh
kelainan organic pada serviks, misalnya karena jaringan parut atau karena karsinoma.
Dengan his kuat serviks bias robek, dan robekan ini dapat menjalar kebagian bawah
uterus. Oleh karena itu setiap wanita yang pernah mengalami operasi pada serviks,
selalu diawasi persalinannya di rumah sakit.
His terlampau kuat
His terlampau kuat atau juga disebut hypertonic uterine contraction.
Walaupun pada golongan incoordinated hypertonic uterine contraction bukan
merupakan penyebab distosia, namun hal ini dibahas karena merupakan kelainan his.
His yag terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan selesai dalam waktu
yang singkat. Partus yang sudah selesai kurang dari tiga jam, dinamakan partus
presipitatus : sifat his normal, tonus otot diluar his juga biasa, kelainan terletak pada
kekuatan his. Bahaya partus presipitatus bagi ibu ialah terjadinya perlukaan luas pada
jalan lahir, khususnya serviks uteri, vagina dan perineum, sedangkan bayi bias
mengalami perdarahan dalam tengkorak karena bagian tersebut mengalami tekanan
kuat dalam waktu yang singkat.
7
Batas antara bagian atas dan segmen bawah atau lingkaran retraksi menjadi
sangat jelas dan meninggi. Dalam keadaan demikian lingkaran dinamakan lingkaran
retraksi patologik atau lingkaran Bandl. Ligamentum rotundum menjadi tegang
secara lebih jelas teraba, penderita merasa nyeri terus – menerus dan menjadi gelisah.
Akhirnya, apabila tidak diberi pertolongan, regangan segmen bawah uterus
melampaui kekuatan jaringan dan terjadilah rupture uteri.
Etiologi
Kelainan his pertama kali ditemukan pada primigravida, khususnya
primigravida tua. Pada multipara banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia
uteri. Faktor herediter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Satu
sebab yang penting dalam kelainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian
bawah janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti misalnya
kelainan letak janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Peregangan rahim yang
berlebihan pada kehamilan ganda maupun hidramnion juga dapat merupakan
penyebab datri inersia uteri yang murni. Akhirnya gangguan dalam pembentukan
uterus pada masa embrional, misalnya uterus bikornis unikollis, dapat pula
menyebabkan kelainan itu. Akan tetapi pada sebagian besar kasus, kurang lebih
separuhnya, penyebab inersia uteri ini tidak diketahui.
Hypertonic uterine contraction dan incoordinated uterine contraction sering
terjadi bersama – sama yang ditandai dengan peningkatan tekanan uterus, kontraksi
yang tidak sinkron dan peningkatan tonus otot di segmen bawah rahim serta frekuensi
kontraksi yang menjadi lebih sering. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan
8
solutio plasenta, penggunaan oksitosin yang berlebihan, disproporsi sefalopelvik dan
malpresentasi janin.
Penatalaksanaan
Dalam menghadapi persalinan lama oleh sebab apapun, keadaan wanita yang
bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah di ukur tiap empat jam,
bias lebih sering dilakukan jika terdapat gejala preeclampsia. Denyut jantung janin
dicatat dalam setengah jam dalam kala I dan lebih sering pada kala II. Kemungkinan
dehidrasi dan asidosis harus mendapat perhatian sepernuhnya. Karena pada
persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk melakukan tindakan pembedahan
dengan narcosis, hendaknya tidak diberikan makanan biasa melainkan dalam bentuk
cairan. Sebaiknya diberikan infuse larutan glukosa 5% dan larutan NaCl isotonic
secara intravena berganti – ganti. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan
pethidin 50 mg yang dapat diulangi; pada permulaan kala I dapat diberikan 10 mg
morfin. Pemeriksaan dalam perlu dilakukan, akan tetapi harus selalu disadari bahwa
setiap pemeriksaan dalam megandung bahaya infeksi. Apabila persalinan berlangsung
24 jam tanpa kemajuan yang berarti, perlu diadakan penilaian terhadap keadaan
pasien. Selain penilaian keadaan umum, perlu ditetapkan apakah persalinan benar –
benar sudaj mulai atau masih dalam tingkat false labour, apakah ada inersia uteri atau
incoordinate uterine action; dan apakah tidak ada disproporsi sefalopelvik biarpun
ringan. Untuk menetapkan hal terakhir ini, jika perlu dilakukan pelvimetri
roentgenologik atau MRI. Apabila serviks sudah terbuka sedikit – dikitnya 3 cm,
dapat diambil kesimpulan bahwa persalinan dapat dimulai.
9
Dalam menentukan sikap lebih lanjut apakah ketuban sudah pecah atau
belum. Apabila ketuban sudah pecah, maka keputusan untuk menyelesaikan
persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya infeksi.
Sebaiknya dalam 24 jam setelah ketuban pecah sudah dapat diambil keputusan
apakah perlu dilakukan seksio sesaria dalam waktu singkat, atau persalinan dapat
dibiarkan berlangsung terus.
Inersia uteri. Dahulu selalu diajarkan bahwa menunggu merupakan sikap
terbaik dalam menghadapi inersia uteri selama ketuban masih utuh. Pendapat ini
diikuti karena resiko yang menyertai tindakan pembedahan saat itu. Akan tetapi saat
ini disadari bahwa terlalu lama menunggu dapat meningkatkan resiko kematian
janin.1 Jika tidak ada kontraindikasi pemberian oxytocin adalah pilihan pertama untuk
inersia uteri karena oxytocin merupakan terapi yang efektif dan aman.
Setelah diagnosa inersia uterine ditetapkan, harus diperiksa keadaan serviks,
presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan
panggul. Kemudian haris disusun rencana menghadapi persalinan yang lamban ini.
Bila terdapat disproporsi sefalopelvik yang berarti, sebaiknya diambil keputusan
untuk melakukan seksio sesaria. Jika tidak ada dapat diambil langkah lain. Sementara
itu keadaan umum penderita diperbaiki, vesica urinaria serta rectum dikosongkan.
Apabila kepala atau bokong janin sudah masuk ke panggul, penderita disuruh
berjalan – jalan. Tindakan sederhana ini kadang – kadang menyebabkan his menjadi
kuat, dan selanjutnya persalinan menjadi lancar. Pada waktu pemeriksaan dalam,
ketuban boleh dipecahkan. Memang sesudah tindakan ini persalinan tidak boleh
10
berlangsung lama, namun hal tersebut dapat dibenarkan karena dapat merangsang his,
dan dengan demikian dapat mempercepat jalannya persalinan.
Kontraksi hipotonik mempunyai respon yang baik terhadap pemberian
oksitosin.5 Jika diobati dengan oksitosin, 5 satuan oksitosin dimasukkan ke dalam
larutan glukosa 5% dan diberikan secara infus intravena dengan kecepatan kira – kira
12 tetes per menit, yang perlahan – lahan dapat dinaikkan sampai kira – kira 40 tetes,
tergantung pada hasilnya.1,8,9,10 Kalau 40 tetes tidak membawa hasil yang diharapkan,
maka tidak banyak gunanya untuk memberika oksitosin dalam dosis yang lebih
tinggi. Bila infus oksitosin diberikan, penderita harus diawasi dengan ketat dan tidak
boleh ditinggalkan. Kekuatan dan kecepatan his, keadaan dan denyut janin harus
diperhatikan dengan teliti. Infuse harus dihentikan jika kontraksi uterus berlangsung
lebih dari 60 detik, atau jika denyut jantung kanin menjadi cepat atau lambat.
Menghentikan infuse umumnya akan memperbaiki keadaan.1 Bagaimanapun juga
sebelum pemberian oksitosin diagnose cephalopelvic disproportion dan malpresentasi
janin harus disingkirkan karena sangat berbahaya memberikan oksitosin pada panggul
sempit dan pada adanya regangan segmen bawah uterus.5 Demikian pula, oksitosin
jangan diberikan pada grandamultipara dan kepada penderita yang telah mengalami
seksio sesarea atau miomektomi, karena memudahkan terjadinya rupture uteri. Pada
penderita dengan partus lama dan dengan gejala – gejala dehidrasi dan asidosis, di
samping pemberian oksitosin dengan jalan infus intravena gejala – gejala tersebut
perlu diatasi.
11
Maksud pemberian oksitosin ialah memperbaiki his, sehingga serviks dapat
membuka. Satu cirri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak dalam
waktu singkat. Oleh karena itu tidak ada gunanya untuk memberika oksitosin berlarut
– larut. Sebaiknya oksitosin dibrikan beberapa jam saja; kalau ternya tidak ada
kemajuan, pemberiannya dapat dihentikan, agar pasien dapat beristirahat. Kemudian
dicoba lagi untuk beberapa jam; jika masih tidak ada kemajuan, lebih baik dilakukan
seksio sesarea. Oksitosin yang diberikan dengan suntikan intramuskuler dapat
menimbulkan incoordinate uterine action. Tetapi ada kalanya terutama dalam kala II,
hanya diperlukan sedikit penambahan kekuatan his agar persalinan dapat diakhiri.
Seringkali pemberian 0,5 satuan oksitosin intramuscular sudah cukup untuk memberi
efek pada pasien. Oksitosin merupakan obat yang sangatkuat, yang dahulu dengan
pemberian sekaligus dalam dosis besar sering menyebabkan kematian janin karena
kontraksi uterus terlalu kuat dan lama, dan dapat menyebabkan pula timbulnya
rupture uteri. Pemberian intravena dengan jalan infus (intravenous drip) dengan
pembarian sedikit demi sedikit dapat memberi efek yang lebih terkontrol daripada
diberikan langsung dalam dosis besar sehingga aman bagi pasien dengan penentuan
indikasi, pelaksanaan, dan pengawasan dilakukan dengan baik.
His terlalu kuat. Pada partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan
karena biasanya bayi sudah lahir tanpa ada seorang yang menolong. Jika seorang
wanita mengalami partus presipitatus, kemungkinan besar kejadian ini akan berulang
pada persalinan berikutnya. Karena itu ibu hamil sebaiknya dirawat sebelum
persalinan, sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan
12
keadaan diawasi dengan cermat, dan episiotomy dilakukan pada waktu yang tepat
untuk menghindari terjadinya rupture uteri. Dalam keadaan demikian janin harus
segera dilahirkan dengan cara memberikan trauma sedikit – dikitnya bagi ibu dan
anak.
Incoordinate uterine action. Kelainan ini hanya dapat diobati dengan cara
simptomatik karena belum ada obat yang dapat memperbaiki koordinasi fungsional
antara bagian – bagian uterus. Usaha yang dapat dilakukan ialah mengurangi tonus
otot (tokolitik) dan mengurangi ketakutan penderita. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian analgetika, seperti morphin, pethidin dan lain – lain. Akan tetapi
persalinan tidak boleh berlangsung berlarut – larut. Apalagi kalau ketuban sudah
pecah. Dalam hal ini pada pembukaan belum lengkap perlu dipertimbangkan seksio
sesarea. Loingkaran konstriksi dalam kala I biasanya tidak diketahui, kecuali kalau
lingkaran ini terdapat dibawah kepala anak sehingga dapat diraba melalui kanalis
servikalis. Apabila lingkaran konnstriksi dalam kala I dapat dibuat persalinan harus
diselesaikan dengan seksio sesarea. Biasanya lingkaran konstriksi dalam kala II baru
diketahui setelah usaha melahirkan janin dengan cunam gagal. Dengan tangan yang
dimasukkan kedalam kavum uteri untuk mencari sebab kegagalan cunam, lingkaran
konstriksi mungkin dapat diraba. Dengan narkosis dalam, lingkaran tersebut kadang –
kadang dapat dihilangkan, dan janin dapat dilahirkan dengan cunam. Apabila
tindakan ini gagal dan janin masih hidup, terpaksa dilakukan seksio sesarea.
13
TUGAS JANUARI 2015
KELAINAN PADA HIS DAN PENATALAKSANAANNYA
OLEH
WA ODE LINDA IKA WAHYUNI DIMI
110 208 029
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
14
top related