kinetika desorpsi isotermal beta karoten
Post on 20-Jan-2016
161 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di
dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan
mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al Mujadilah (58) : 11)
Kupersembahkan karya ini untuk
Ibu, Bapak (Alm), Kakakku yang tercinta, dan semua keluarga yang kusayangi.
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT
DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL
Ringkasan
Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.
Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.
Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea). Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal mengikuti persamaan Chu dan Hashim (2001). Kesesuaian antara data percobaan dengan model ditentukan berdasarkan nilai koefisien
determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan heksan sebagai pembanding.
Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi 16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.
Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3
menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten.
ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE
BY USING ETHANOL
Summary
In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.
The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.
Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity between data and model was determined from coefficient determination (r2). Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.
Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77 µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.33 µg/mL in 16 minutes at
the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C, 0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23 µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.
Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3
minutes-1, 2.6 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10-
3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of isotherm desorption of crude palm olein beta karoten from attapulgite by using ethanol was 81.86 x 10-1 kcal/mol and by using hexane was 4.91 x 10-1 kcal/mol. It was studied that the performance of ethanol was lower compare to hexane in beta carotene desorption from attapulgite.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika
Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan
Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen
Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 30 Januari 2007
Yang membuat pernyataan,
Okiana Winarni F34102019
KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN
OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN
MENGGUNAKAN ETANOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
OKIANA WINARNI
F34102019
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga
Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu
memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.
2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk
penyempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.
4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal
Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina),
atas bantuan dan kebersamannya.
6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan
Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.
7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
Bogor, Januari 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1
B. TUJUAN .......................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
A. MINYAK KELAPA SAWIT ........................................................... 5
B. KAROTENOID ............................................................................... 7
C. BETA KAROTEN ........................................................................... 9
D. ADSORPSI-DESORPSI .................................................................. 10
E. PELARUT ........................................................................................ 10
F. ETANOL .......................................................................................... 12
G. ADSORBEN .................................................................................... 13
H. KINETIKA DESORPSI ................................................................... 16
III. METODOLOGI .................................................................................. 19
A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 19
B. METODE PENELITIAN ................................................................. 19
1. Tahapan Penelitian ...................................................................... 19 2. Prosedur Percobaan ..................................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT .............................. 23
B. KONDISI KESETIMBANGAN ..................................................... 24
C. KINETIKA DESORPSI ................................................................... 32 1. Konstanta Laju Desorpsi .............................................................. 32
iii
2. Energi Aktivasi ............................................................................ 37
D. SELEKTIVITAS DESORPSI .......................................................... 40
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 42
A. KESIMPULAN ................................................................................ 42
B. SARAN ............................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44
LAMPIRAN .................................................................................................... 47
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000 (Basiron, 2002) ............................................................................... 1
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (IUPAC, 2001) ....... 5 Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit
(PORIM, 1989) di dalam Muchtadi, 1992) .................................... 6 Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit (Zeb
dan Mehmood, 2004) ..................................................................... 7 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut (Adnan, 1997) ...................... 11
Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit (www.cnhymc.com, 2003) .............................................................................................. 15
Tabel 7. Karakteristik atapulgit (Lansbarkis, 2000) ..................................... 16
Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi ........... 22
Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit...................................................... 23
Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan ................................................................................ 26
Tabel 11. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan
koefisien determinasi (r2) desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan ...................................................................................... 35
Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar
dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan ................. 39 Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol
pada lama desorpsi 18 menit .......................................................... 41
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002) ................................................... 9
Gambar 2. Struktur molekul etanol (www.wikipedia.org, 2006) ................. 12 Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) .................................... 16 Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian .................................................. 20
Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi ................................................. 22 Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta
karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ....................... 24
Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta
karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ...................... 25
Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit
(Sirait, 2007) ............................................................................... 31 Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et
al., 1984) ..................................................................................... 31 Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ....................................................... 33
Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ...................................................... 34
Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
desorpsi dengan menggunakan etanol ......................................... 38 Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
desorpsi dengan menggunakan heksan ....................................... 38
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur penelitian ................................................................... 48
Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) .... 52 Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students ............ 57 Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) ................................................. 59 Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten ...... 60 Lampiran 6. Dokumentasi penelitian ............................................................ 60
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 26
Oktober 1984. Penulis adalah anak kedua dari dua
bersaudara dari pasangan Supanto (Alm) dan Sri Rahayu.
Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar di SDN Karanggeneng II. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1
Karanggeneng pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di
SMUN 2 Lamongan dan lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut
Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah
Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) periode 2006/2007.
Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik
“Mempelajari Sistem Pengawasan Mutu Full Cream Milk Powder (FCMP) di PT.
Sari Husada, Yogyakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis
melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Kinetika Desorpsi
Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan
Etanol”.
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak
nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan
lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10
tahun dan 20 tahun mendatang, volume perdagangan komoditas ini masih
akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak
mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak
hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini
adalah minyak sawit (Oil World, 2000 di dalam Suryadarma et al., 2006).
Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat. Indonesia
merupakan penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia dan
diprediksi menjadi penghasil minyak sawit utama dunia pada tahun 2010.
Perkembangan produksi minyak sawit dunia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000
Negara
Tahun (juta ton) Rata-rata laju
pertumbuhan per tahun
(%) (1990-2000)
1980 1990 1997 1998 1999 2000
Pantai
Gading 182 270 240 275 269 266 -0,1
Nigeria 433 580 680 690 720 740 2,5
Kolombia 74 226 441 422 475 524 8,8
Ekuador 37 120 203 200 220 250 7,6
Indonesia 691 2.413 5.380 5.006 5.900 6.950 11,2
Malaysia 2.576 6.095 9.069 8.320 10.554 10.840 5,9
Thailand 13 232 390 355 400 560 9,2
Papua
Nugini 35 154 575 215 270 296 7,4
Negara
lainnya 768 934 866 1.197 1.173 1.371 3,9
Total 4.804 11.014 17.844 16.680 19.981 21.797 7,1
Sumber: Basiron (2002)
2
Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94
persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang
jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol,
sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen
minor lainnya. Olein sawit kasar (crude palm olein) adalah minyak fraksi cair
berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi minyak
kelapa sawit (crude palm oil) dan belum mengalami proses pemurnian (SNI,
1998). Olein sawit kasar mengandung 680-760 µg/g karoten, lebih besar
dibandingkan dengan kandungan karoten dalam minyak sawit kasar, yaitu
630-700 µg/mL (Zeb dan Mehmood, 2004).
Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng,
beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar dihilangkan
bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng
menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena
konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak
goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten merupakan
bahan yang terkandung di dalam minyak sawit yang sangat berguna bagi
kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses
pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar
dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit.
Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar
memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi
minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini
digunakan atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan belakangan
ini menunjukkan bahwa karotenoid memiliki aktivitas anti kanker.
Desorpsi merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting
untuk dikaji dalam proses pemanfaatan beta karoten yang terkandung pada
olein sawit kasar. Desorpsi adalah proses pengambilan kembali suatu bahan
yang telah diserap oleh adsorben. Etanol dipilih sebagai eluen dalam
penelitian ini karena etanol relatif aman digunakan dalam industri. Hal
tersebut didukung oleh sifat etanol yang kurang berbahaya jika dibandingkan
dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak
3
sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak
berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan
jenis eluen yang dapat melarutkan karoten (Goodwin, 1976). Karoten juga
larut dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena,
kloroform, aseton, metanol, eter, dan petroleum eter. Pada penelitian ini,
heksan digunakan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi merupakan kajian
penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.
Minyak kelapa sawit memiliki kandungan karotenoid terbesar bila
dibandingkan dengan jenis minyak nabati yang lain. Beberapa jenis metode
perolehan kembali karotenoid berbasis minyak kelapa sawit telah
dikembangkan, antara lain saponifikasi, adsorbsi, ekstraksi pelarut efektif, dan
transesterifikasi, meliputi fase separasi dan distilasi ester. Transesterifikasi
hanya dapat digunakan dalam proses komersil (Baharin et al., 1998).
Pemisahan karoten sawit dari Crude Palm Oil (CPO) dengan sistem
kromatografi adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben polimer
sintetik. Perolehan kembali karoten bervariasi dari 40-65 persen tergantung
pada kondisi kromatografi (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten dengan
adsorben sintetik diikuti ekstraksi pelarut dipengaruhi jenis adsorben,
kombinasi adsorben, rasio pelarut dan Crude Palm Oil (CPO) (Latip et al.,
2000). Perolehan kembali karoten 16 sampai 74 persen tergantung pada
kondisi proses, antara lain waktu adsorpsi, waktu ekstraksi isopropanol, suhu
proses adsorpsi dan ekstraksi pelarut, serta umur pakai adsorben (Latip et al.,
2001). Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Faktor
lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan
pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen
(Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan
meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Pada penelitian ini,
parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi
aktivasi (Ea) menunjukkan kinerja etanol dalam mendesorpsi beta karoten
olein sawit kasar dari atapulgit sebagai adsorben.
Penelitian yang dilakukan merupakan suatu upaya untuk
memanfaatkan beta karoten yang terkandung di dalam olein sawit kasar yang
4
selama ini dihilangkan dalam proses pemurnian minyak sawit kasar. Desorpsi
beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol
tersebut akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit yang akan
menguntungkan bagi industri minyak sawit.
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi
kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan etanol. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
menentukan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit
kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol, yaitu konstanta laju desorpsi
(kdes) dan energi aktivasi (Ea) sebagai dasar untuk desain proses. Heksan
digunakan sebagai eluen pembanding.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MINYAK KELAPA SAWIT
Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) atau CPO adalah minyak yang
diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guinensis
JACQ) yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut (Muchtadi, 1992).
Minyak sawit mengandung komponen trigliserida, mono dan digliserida.
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair. Hal ini bergantung dari komposisi
asam lemak yang menyusunnya. Minyak nabati yang berbentuk cair karena
mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau
asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak yang berbentuk
padat pada suhu kamar dikarenakan banyak mengandung asam lemak jenuh,
misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi
(Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit
Asam Lemak Atom C- Komposisi (%) Laurat C12:0 0,1 – 0,5 Miristat C14:0 0,9 – 1,4 Palmitat C16:0 38,2 – 42,9 Stearat C18:0 3,7 – 4,8 Oleat C18:1 39,8 – 43,9 Linoleat C18:2 10,4 – 13,4 Komponen lain - 0,1 – 0,6
Sumber : IUPAC (2001)
Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai
komposisi yang tetap. Kandungan karoten dalam minyak sawit dapat
mencapai 1000 µg/mL atau lebih, sedangkan kandungan tokoferol bervariasi
dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).
Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam
minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak kelapa sawit terdiri dari
minyak sawit kasar (CPO), olein, stearin, dan minyak inti sawit (PKO).
6
Stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks
refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada
olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak
dengan C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM, 1989 di dalam
Muchtadi, 1992).
Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit
Sifat
Jenis Minyak
sawit (CPO)
Olein Stearin Minyak inti sawit
(PKO) Titik cair (○C) Berat jenis (50○C /air 25○C ) Indeks refraksi (nD, 50○C ) Bilangan iod (Wijs) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bahan tak tersabunkan (%) Asam lemak (%) : C6 C8 C10 C12 C14 C16 C16=1 C18 C18=1 C18=2 C18=3 C20
34,2 0,892 1,455 53,3 195,7
0,5
0,2 1,1
44,0 0,1 4,5
39,2 10,1 0,4 0,4
21,6 0,902 1,459 58,0 198,0
0,5
0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4
44,5 0,882 1,477 21,6 193,0
0,2
0,3 1,5
65,0 0,2 5,0
21,3 6,5 0,4 0,4
27,3 0,902 1,451 17,1 145,0 0,3
0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8
2,0 15,1 2,7
Sumber: PORIM (1989) di dalam Muchtadi (1992)
Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan bahan pangan, industri
kosmetik, industri kimia dan industri pakan ternak. Kebutuhan minyak sawit
sebesar 90 persen digunakan untuk bahan pangan seperti minyak goreng,
margarin, shortening, pengganti lemak kokoa dan untuk kebutuhan industri
roti, cokelat, es krim, biskuit dan makanan ringan. Kebutuhan 10 persen dari
minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang menghasilkan
asam lemak, fatty alcohol, gliserin dan metil ester. Oleokimia digunakan pada
industri yang menghasilkan produk pangan dan lemak, sabun dan deterjen,
7
kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering,
polimer dan pelapis permukaan (coating) dan biofuel (Gelder, 2004).
B. KAROTENOID
Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan
merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid
terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang
berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa
minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit
diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan
Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit
Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/mL)
Minyak sawit kasar (CPO) 630-700
Olein sawit kasar 680-760
Stearin sawit kasar 380-540
Residual oil from fibre 4.000-6.000
Pengepresan kedua minyak sawit 1.800-2.400
Minyak sawit merah 500-700 Sumber: Zeb dan Mehmood (2004)
Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami
yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude
Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar
daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini
dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini
kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976).
Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut
dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena,
khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut
8
dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan
lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976).
Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan
dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur
oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60○C tidak mengakibatkan
dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama
pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan
pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang
menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis
karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan
menurun secara drastis pada suhu sekitar 180-210○C (Klaui dan Bauernfeind,
1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid
peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya
sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi
terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda
(Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).
Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak
jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal
ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila
dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan
terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi.
Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk
poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).
Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut
dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat
dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di
dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif,
yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk
asam) (Almatsier, 2002).
Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan
terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga
oksidasi yang terjadi pada minyak yang tengik. Karotenoid merupakan
9
prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat
di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai
provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang
terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002).
Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya,
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC),
HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan
pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama
menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976).
C. BETA KAROTEN
Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten,
beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten,
alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi
vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur
kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)
Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang
ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu
menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker
dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas
yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara
liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk
(www.apotik2000.net, 2006).
Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya
penumpukan flek pada arteri sehingga aliran darah, baik ke jantung maupun
10
ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu
meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein
(asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi.
Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan
menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam
jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh
dapat ditingkatkan (www.apotik2000.net, 2006).
Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten 30-60 mg per hari
selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam
tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif.
Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel
kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan
(www.apotik2000.net, 2006).
D. ADSORPSI-DESORPSI
Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk
menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik)
dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau
penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa
pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer,
1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan,
penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi,
pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan
cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995).
Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi
kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu
terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya
kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti
alkohol) (Adnan, 1997).
E. PELARUT
Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan
kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial
11
dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik
pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial
dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang
termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat
menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik
yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan
eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya
polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai
struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang
dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena
itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang
lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997).
Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara
sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan
dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi
pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari
zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang
digambarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut
Konstanta dielektrik Nama zat pelarut 1,890 2,023 2,238 2,284 4,340 4,806 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370
Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Etil eter Kloroform Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air
Sumber: Adnan (1997)
12
Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil
(keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar,
misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non
polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar
misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut
dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik
akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum,
kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh
jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah
ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang
rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya.
Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat
menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan
elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna.
Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang
terlalu lama (Adnan, 1997).
F. ETANOL
Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam
minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga
digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006).
H H | |
H - C - C - O - H | |
H H
Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006)
Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih
pada 78,5○C dan titik beku pada -114,5○C. Etanol digunakan sebagai bahan
anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai
desinfektan (etanol 70-85 persen). Larutan tersebut dapat membunuh
13
organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi
pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif
terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka
waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006).
Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai
pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah
terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks
dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat
volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan
Othmer, 1965).
G. ADSORBEN
Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas
permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk
karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya
berada dalam ukuran 200 – 1000 m2/g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003
– 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).
Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi
ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang
penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya,
adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm)
atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan
untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai
maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal
ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan
tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan
dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi
menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995).
Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina
adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan
mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non
polar. Proses adsorpsi yang dipengaruhi oleh sifat polaritas dari adsorben dan
14
solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang
bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat
polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti
itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997).
Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke
yang kecil adalah sebagai berikut.
1. Alumina
2. Charcoal (arang)
3. Silika gel
4. Magnesia
5. Kalium karbonat
6. Sukrosa
7. Serbuk pati
8. Serbuk selulosa
Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi
yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan
menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas
tersebut (Adnan, 1997).
Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan
kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri.
Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk
untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam
industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis
permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer,
1964).
Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium,
magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga
dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi
ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004).
Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti
polimerisasi (Swern, 1982), dan bahan penstabil warna (Michael dan Irene,
15
1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam
atapulgit disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit
Oksida Persentase (%)
SiO2 55,6-60,5
MgO2 10,7-11,35
Al2O2 9,0-10,1
Fe2O2 5,7-6,7
K2O2 0,96-1,30
MnO2 0,61
CaO2 0,42-1,95
TiO2 0,32-0,63
Na2O2 0,03-0,11
Komponen lain 10,53-11,80 Sumber : www.cnhymc.com (2003)
Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4.4H2O.
Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit
terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk
tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium
berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang
merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain
memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali
dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak
mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan
(Lansbarkis, 2000). Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 7.
16
Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989)
Tabel 7. Karakteristik atapulgit Nilai koloid (mL/15 g) 55-65
Volume ekspansi (mL/g) 4-6
Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500
Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) 25-50
Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170
pH 7,5-8,5
Warna Abu-abu
Specific gravity 32-37 Sumber: Lansbarkis (2000)
H. KINETIKA DESORPSI
Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam
hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang
diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat
dengan menurunnya pH. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat
menggantikan tembaga yang terikat pada sisi aktif rumput laut. Kemungkinan
17
terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi
desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan
waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai
konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi
dan laju pengadukan.
Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah :
qe = v1/m1 (Co-Ce)
qt = qe – v2/m2 x Ct
qt/qe = exp (-kdest)
qt/qe = θ exp (-kdest) + (1- θ)
ln qt/qe = -kdest + ln θ + (1-θ) (Wankasi et al., 2005)
Keterangan :
qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g)
qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu
(µg/g)
v1 = volume olein (mL)
m1 = massa adsorben (g)
Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/mL)
Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/mL)
v2 = volume eluen (mL)
m2 = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g)
Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu
(µg/mL)
θ = fraksi terdesorpsi
Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk
terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi
tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses
desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah :
k = Ae-Ea/RT
dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta
kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta
18
proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga
orientasi molekuler selama tumbukan.
19
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain olein
sawit kasar yang diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya Jakarta, atapulgit
yang diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey, etanol dan
heksan pro analys, beta karoten standar (Sigma-Aldrich C9750-56, Type I,
Synthetic, 95% UV, 1,6 juta IU vitamin A/g), dan alfa tokoferol standar
(Sigma-Aldrich T3251-56, Synthetic, 95% HPLC).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan
gelas (erlenmeyer, tabung reaksi, dan corong); peralatan ukur (pipet mikro,
pipet volumetrik, gelas ukur, termometer, spektrofotometer, High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), kolom Zorbax Sil (0,46 x 25
cm), fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v), laju alir 1 ml/menit
dan nilai absorbansi tokoferol adalah 292 nm, stopwatch dan timbangan); serta
peralatan pendukung (kertas saring, corong buchner, pompa vakum, filter inlet
dan shaker yang dilengkapi dengan waterbath dengan kecepatan 180 rpm dan
tiga kondisi suhu, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C).
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian
dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-
langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan
prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tatacara yang secara
teknis dikerjakan dalam setiap tahapan penelitian.
1. Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) Karakterisasi
adsorpsi atapulgit, (2) Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta
karoten di dalam etanol dan lama desorpsi), dan (3) Penentuan parameter
kinetika desorpsi (konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea))
20
beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian
a. Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit
Karakterisasi adsorpsi atapulgit yang dilakukan meliputi bentuk,
ukuran, warna visual atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta
karoten dan kapasitas adsorpsi atapulgit. Penentuan kapasitas adsorpsi
(qe) atapulgit dilakukan untuk menentukan jumlah beta karoten yang
dapat diadsorpsi oleh atapulgit secara optimal yang dinyatakan dalam
µg/mL (1 IU = 0,6 µg beta karoten). Kondisi yang digunakan adalah
kondisi adsorpsi optimum beta karoten yaitu dengan kecepatan
pengadukan 120 rpm pada suhu 60○C selama ± 3 jam. Atapulgit yang
telah mengadsorpsi beta karoten pada kondisi optimum ini digunakan
Mulai
Karakterisasi adsorpsi atapulgit
Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea)
Selesai
Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)
Selektivitas desorpsi
21
sebagai bahan untuk percobaan desorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi
atapulgit dapat dilihat pada Lampiran 1.
b. Penentuan Kondisi Kesetimbangan
Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara
lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol
(µg/mL) sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi
beta karoten di dalam etanol. Penentuan kondisi kesetimbangan
dilakukan pada tiga suhu desorpsi, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan
heksan sebagai eluen pembanding.
c. Penentuan Parameter Kinetika Desorpsi
Penentuan parameter kinetika dilakukan pada tiga suhu yang
berbeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Model kinetika
desorpsi diidentifikasi berdasarkan jenis perubahan nilai parameter
kinetika, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) yang diperoleh dari
persamaan Chu dan Hashim (2001). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)
diperoleh dari perpotongan garis linier dengan sumbu x yang merupakan
kemiringan dari hasil regresi linier dari persamaan Wankasi et al.,
(2005). Nilai θ diperoleh menggunakan alat bantu program Mathematica
5.2 for Students. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dapat
dilihat pada Lampiran 3.
2. Prosedur Percobaan
Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebanyak 7 g dan
350 mL etanol (1:50) disiapkan di dalam erlenmeyer berukuran 500 mL.
Perbandingan atapulgit:etanol (1:50) mengacu pada penelitian Chu dan
Hashim (2001) yang mendesorpsi vitamin E dari Palm Fatty Acid
Distillate (PFAD) dengan menggunakan silika. Selanjutnya, campuran
tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan kecepatan shaker 180
rpm. Percobaan tersebut dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda yaitu
40○C, 50○C, dan 60○C. Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang
diujikan yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12, 16, 18, 24, 40, 80, dan 140 menit. Sampel
22
yang telah diambil disaring untuk memisahkan antara atapulgit dengan
etanol, yang selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang
446 nm. Data hasil perhitungan percobaan desorpsi dapat dilihat pada
Lampiran 2. Diagram alir percobaan desorpsi dapat dilihat pada Gambar 5.
Kondisi percobaan untuk penentuan parameter kinetika desorpsi disajikan
pada Tabel 8.
Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi
Perlakuan Konstanta laju desorpsi (menit-1)
Energi aktivasi (kkal/mol) Eluen Suhu desorpsi
Etanol
40○C kdes 1
Ea 1 50○C kdes 2
60○C kdes 3
Heksan
40○C kdes 4
Ea 2 50○C kdes 5
60○C kdes 6
Mulai
Pencampuran 7 gram atapulgit dengan 350 mL etanol, kecepatan shaker 180 rpm
(40○C, 50○C, dan 60○C)
Selesai
Pengambilan sampel pada lama desorpsi tertentu (2-300 menit)
Analisis sampel
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT
Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat
fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit
Karakteristik
Sifat Sebelum
mengadsorpsi beta karoten
Setelah mengadsorpsi beta karoten
Bentuk Serbuk Gumpalan
Ukuran (mesh) 150 150
Warna visual Abu-abu Coklat gelap
qe (µg beta karoten/g atapulgit) 0 482,12
Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari
percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran
atapulgit dengan olein (1:3). Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut
disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk
atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk
gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan
sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh.
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna abu-
abu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna abu-
abu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna
atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada
Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta
karoten sebesar 482,12 µg/g. Nilai qe tersebut menunjukkan kapasitas
24
adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µg/g
selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk
percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit
kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.
B. KONDISI KESETIMBANGAN
Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi
dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama
desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen (µg/mL)
selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya
desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh
etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol.
Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan
konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai
kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. (1984), suatu keadaan
kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju
dan balik berlangsung pada laju yang sama.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Lama desorpsi [menit]
Kon
sent
rasi
bet
a ka
rote
n [µ
g/m
L]
Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten
selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)
25
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Lama desorpsi [menit]
Kon
sent
rasi
bet
a ka
rote
n [µ
g/m
L]
Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten
selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)
Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada
masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi
hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang
diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu
desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama
untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga
terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada
Gambar 7.
Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa
suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu
dan jenis eluen terhadap kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel 10.
26
Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan
Perlakuan Konsentrasi beta
karoten pada kondisi kesetimbangan (µg/mL)
Lama tercapainya
kesetimbangan(menit)
Eluen Suhu desorpsi
Etanol
40○C 0,77 70
50○C 0,61 40
60○C 0,33 16
Heksan
40○C 0,61 21,5
50○C 0,40 12,5
60○C 0,23 10,5
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu
desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang
dapat didesorpsi oleh etanol. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C
paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi
pada suhu 60○C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol
0,77 µg/mL pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40
menit, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi 16 menit. Hal tersebut terjadi
karena semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan
atapulgit sehingga semakin sulit didesorpsi oleh etanol. Kuatnya ikatan antara
beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya kemiripan sifat
kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit
merupakan senyawa semi polar. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika
ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang
merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan
oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus
polar (Grim, 1989). Berdasarkan sifat ikatan-ikatan tersebut, atapulgit dapat
digolongkan sebagai senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan
semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam etanol
semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak
beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta
27
karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol dari atapulgit selama reaksi
berlangsung. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya
yang memiliki ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Oksidasi terjadi
secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester
dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Muchtadi, 1992). Oksidasi akan membuka
cincin β-ionon pada ujung molekul karoten sehingga menyebabkan kerusakan
aktifitas karoten tersebut sebagai provitamin A.
Selain itu, berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa
konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan
mengalami kecenderungan yang sama dengan proses desorpsi beta karoten
dengan menggunakan etanol. Semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan
semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh
heksan. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C paling lama dicapai
yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C,
masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,61 µg/mL
pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit,
dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit. Sebagaimana pada desorpsi
beta karoten dengan menggunakan etanol, semakin tinggi suhu, semakin kuat
ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit untuk
didesorpsi oleh heksan. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit
didukung oleh adanya persamaan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan
senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar.
Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta
karoten di dalam heksan semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu
desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga
semakin rendah jumlah beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan dari
atapulgit selama reaksi berlangsung.
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pada suhu desorpsi yang sama,
kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol
dicapai pada lama desorpsi yang relatif lama dan konsentrasi beta karoten di
dalam etanol relatif tinggi. Di lain pihak, kondisi kesetimbangan desorpsi beta
karoten dengan menggunakan heksan dicapai pada lama desorpsi yang lebih
28
cepat dan konsentrasi beta karoten di dalam heksan lebih rendah. Ini
menunjukkan bahwa etanol merupakan eluen yang lebih baik daripada heksan
dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit.
Kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan
lebih cepat dicapai disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh
daripada etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam heksan lebih
cepat tercapai daripada kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam
etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam eluen tercapai bila
laju penguraiannya sama dengan laju pembentukan kembali dari ion-ionnya
(sama dengan Ksp). Dalam keadaan kesetimbangan tersebut, konsentrasi ion-
ion beta karoten di dalam eluen tetap (larutan jenuh). Kejenuhan heksan yang
relatif cepat tersebut dapat pula disebabkan oleh heksan tidak hanya
mendesorpsi beta karoten tetapi bahan lain seperti asam lemak, kotoran, zat
warna bukan beta karoten, atau bahan-bahan lainnya.
Dalam proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari
atapulgit dengan menggunakan etanol diperoleh konsentrasi beta karoten lebih
besar daripada dengan menggunakan heksan. Hal tersebut disebabkan oleh
sifat heksan yang lebih cepat jenuh, sehingga kondisi kesetimbangan lebih
cepat dicapai. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi beta
karoten di dalam etanol yaitu adanya perbedaan waktu kereaktifan antara
etanol dan heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Heksan
lebih cepat reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai.
Sedangkan etanol membutuhkan waktu relatif lama untuk reaktif sehingga
kondisi kesetimbangan lebih lama dicapai. Selain itu, kondisi kesetimbangan
juga dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dalam hal ini atapulgit bersifat semi
polar, beta karoten bersifat non polar, dan etanol bersifat polar. Karena sifat
etanol yang polar dan sifat atapulgit yang semi polar, maka etanol dapat
berinteraksi dengan atapulgit sehingga lebih mudah melepaskan ikatan antara
atapulgit dengan beta karoten.
Pada desorpsi dengan menggunakan etanol maupun heksan, semakin
tinggi suhu desorpsi, semakin rendah konsentrasi beta karoten yang dapat
didesorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu reaksi menyebabkan
29
meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan, yaitu fraksi
molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga meningkatkan
terjadinya reaksi. Peningkatan terjadinya proses reaksi desorpsi ini selanjutnya
mengakibatkan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat.
Semakin cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi
kesetimbangan, menyebabkan konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi
oleh eluen semakin rendah pada kondisi kesetimbangan. Semakin rendah suhu
desorpsi, semakin meningkat konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada
kondisi kesetimbangan, mengindikasikan bahwa proses desorpsi tersebut
termasuk reaksi endoterm. Faktor penyebab yang lain yaitu meningkatnya
kecepatan difusi dengan meningkatnya suhu desorpsi, sehingga beta karoten
lebih cepat larut di dalam eluen. Difusi merupakan hasil gerakan tetap
molekul-molekul yang terjadi pada sembarang temperatur di atas nol mutlak
(Keenan et al.,1984).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2007), kondisi
kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit
dengan menggunakan isopropanol pada suhu 40○C paling lama dicapai, yang
diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C. Masing-
masing pada konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol 1,12 µg/mL pada
lama desorpsi 26 menit, 0,99 µg/mL pada lama desorpsi 19 menit, dan 0,82
µg/mL pada lama desorpsi 17,5 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol paling tinggi dibandingkan
dengan etanol dan heksan. Di lain pihak, proses desorpsi beta karoten dari
atapulgit dengan menggunakan etanol paling lama mencapai kondisi
kesetimbangan dibandingkan dengan menggunakan isopropanol dan heksan.
Atapulgit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung
silika, aluminium, dan magnesium. Atapulgit mengandung 55,6-60,5 persen
SiO2, 10,7-13,35 persen MgO2, dan 9,0-10,1 persen Al2O2. Silika berfungsi
sebagai agen pencegah terjadinya ikatan rangkap baru. Aluminium dan
magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi dan
bahan penstabil warna. Sifat tersebut sangat menguntungkan dalam proses
desorpsi beta karoten karena akan mencegah kerusakan struktur molekul beta
30
karoten sehingga tidak menurunkan aktivitas beta karoten sebagai provitamin
A.
Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih
aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang
relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang
sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang
menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup
dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat
melarutkan karoten.
Pada proses sebelumnya, yaitu adsorpsi isotermal beta karoten olein
sawit kasar dengan menggunakan atapulgit, beta karoten teradsorpsi secara
fisik dengan molekul atapulgit. Teori tentang pemucatan minyak secara
adsorpsi, bahwa proses adsorpsi pada suhu yang rendah, seperti pemucatan
(bleaching), lebih disebabkan oleh ikatan intermolekuler daripada
pembentukan ikatan kimia baru. Molekul yang terfisisorpsi tetap
mempertahankan identitasnya dan tidak menghasilkan pemutusan ikatan (Hui,
1996).
Ikatan yang terjadi antara beta karoten dengan atapulgit merupakan
ikatan van der Waals yang bersifat lemah sehingga ikatan tersebut mudah
diputuskan. Menurut Companion (1991), gaya van der Waals merupakan gaya
terlemah walaupun mungkin merupakan gaya yang paling universal.
Energinya sekitar 0,4 sampai 40 kJ/mol. Gaya tarik van der Walls adalah gaya
tarik yang lemah yang disebabkan oleh dipol imbasan sekejap, yang terjadi
antara semua molekul, bahkan juga molekul yang tak polar sekalipun (Keenan
et al., 1984).
Menurut Chu et al. (2004), silika yang terkandung di dalam atapulgit
mengandung material homogen. Silika dapat berikatan melalui dua tipe ikatan,
yaitu secara polar (energi tinggi) dan kurang polar (energi rendah). Ikatan
polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus hidroksil (Si-OH) yang
disebut silanol, sedangkan ikatan kurang polar merupakan ikatan antara silika
dengan oksigen (Si-O-Si) yang disebut siloksan. Beta karoten yang merupakan
molekul non polar diduga akan berikatan dengan gugus siloksan. Mekanisme
31
adsorpsi ini terjadi akibat beta karoten memiliki sifat sebagai proton aseptor,
sehingga cenderung menarik kation dari luar (Naibaho, 1983). Ikatan van der
Walls antara beta karoten dengan atapulgit ditunjukkan pada Gambar 8.
δ+
Si O Si δ- tarik menarik δ+H
C C C δ- CH3
Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit
(Sirait, 2007)
Pada proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan
etanol, mekanisme reaksi yang diduga terjadi yaitu adanya ikatan hidrogen
antara molekul beta karoten dengan molekul etanol. Ikatan hidrogen adalah
ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan
atom elektronegatif pada molekul lain (Companion, 1991). Beta karoten
memiliki atom H yang merupakan daerah dimana terdapat gaya-gaya tarik
yang kuat untuk molekul etanol. Ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul
beta karoten dengan molekul etanol bersifat lebih kuat daripada ikatan van der
Waals antara molekul beta karoten dengan molekul atapulgit, sehingga ikatan
van der Waals tersebut mudah terputus. Pemutusan ikatan van der Waals
tersebut didukung oleh adanya proses shaking selama desorpsi berlangsung.
Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol dapat dilihat pada Gambar
9.
tarik menarik
δ+ .. δ- C H :O C2H5
H
Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol
(Keenan et al., 1984)
Adanya interaksi hidrofobik juga dapat menjelaskan mekanisme proses
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
32
menggunakan etanol. Interaksi hidrofobik merupakan interaksi antara
molekul-molekul non polar. Dalam hal ini beta karoten bersifat non polar dan
etanol memiliki gugus non polar yaitu gugus metil. Sifat yang dimiliki oleh
kedua molekul tersebut memungkinkan terjadinya interaksi hidrofobik.
C. KINETIKA DESORPSI
Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses desorpsi
karena penting untuk menentukan desain proses. Konstanta laju desorpsi (kdes)
merupakan paramater kinetika desorpsi yang menunjukkan laju desorpsi.
Energi aktivasi (Ea) merupakan parameter kinetika yang menunjukkan jumlah
energi yang dibutuhkan molekul-molekul untuk bereaksi.
1. Konstanta Laju Desorpsi
Penentuan laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit
dengan menggunakan etanol mengikuti laju perubahan konsentrasi
pereaksi, sehingga laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit
dengan menggunakan etanol ditentukan berdasarkan peningkatan
konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi
isotermal.
Kurva hubungan antara peningkatan konsentrasi beta karoten di
dalam etanol dengan lamanya desorpsi pada Gambar 6 merupakan data
percobaan yang digunakan untuk penentuan laju desorpsi isotermal beta
karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Regresi hubungan
antara lama desorpsi dengan ln qt/qe ditransformasikan menjadi bentuk
persamaan garis lurus (linier) sehingga diperoleh persamaan laju desorpsi.
Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) merupakan kemiringan dari regresi
linier tersebut.
Untuk menduga bentuk persamaan desorpsi beta karoten dari data
percobaan yang menunjukkan hubungan antara lama desorpsi dengan ln
qt/qe digunakan metoda kesesuaian dengan data percobaan, yaitu regresi.
Regresi merupakan persamaan matematik yang menduga hubungan antara
satu peubah bebas (dalam hal ini lama desorpsi) dengan satu peubah tak
33
bebas (dalam hal ini ln qt/qe). Ukuran untuk melihat tingkat kesesuaian
dengan data percobaan ditentukan berdasarkan koefisien determinasi (r2).
Kurva regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe untuk
persamaan desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan pada ketiga
suhu dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11.
-0.12
-0.10
-0.08
-0.06
-0.04
-0.02
0.000 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Lama desorpsi [menit]
ln q
t/qe
Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ( , suhu 40○C, ln qt/qe = -0,0010t – 0,0129, r2 = 0,9480; , suhu 50○C, ln qt/qe = -0,0016t – 0,0044, r2 = 0,9736; , suhu 60○C, ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009, r2 = 0,9805)
34
-0,08
-0,07
-0,06
-0,05
-0,04
-0,03
-0,02
-0,01
0,000 5 10 15 20 25 30
Lama desorpsi [menit]
ln q
t/qe
Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C, ln qt/qe = -0,0022t – 0,0183, r2 = 0,8114; , suhu 50○C, ln qt/qe = -0,0026t – 0,0091, r2 = 0,8570; , suhu 60○C, ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005, r2 = 0,9153)
Berdasarkan hasil regresi pada Gambar 10 dan 11 diperoleh
kemiringan dan nilai fraksi terdesorpsi (θ) dari masing-masing persamaan
desorpsi. Nilai kemiringan tersebut merupakan nilai konstanta laju
desorpsi (kdes). Semakin tinggi suhu desorpsi, maka nilai konstanta laju
desorpsi semakin tinggi pula. Nilai konstanta laju desorpsi yang semakin
tinggi ini menunjukkan adanya peningkatan laju desorpsi. Persamaan
desorpsi dan nilai koefisien determinasi pada desorpsi dengan
menggunakan etanol dan heksan pada ketiga suhu disajikan pada Tabel 11.
35
Tabel 11. Nilai konstanta laju laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan koefisien determinasi desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan
Perlakuan Konstanta
laju desorpsi (menit-1)
Fraksi terdesorpsi
(θ)
Koefisien determinasi
(r2) Eluen Suhu desorpsi
Etanol
40○C 1,0 x 10-3 0,8479 0,9480
50○C 1,6 x 10-3 0,9091 0,9736
60○C 2,2 x 10-3 0,9994 0,9805
Heksan
40○C 2,2 x 10-3 0,8207 0,8114
50○C 2,6 x 10-3 0,8711 0,8570
60○C 2,3 x 10-3 0,9997 0,9153
Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari
atapulgit dengan menggunakan etanol dilakukan pada tiga suhu yaitu suhu
40○C, 50○C, dan 60○C dengan heksan sebagai pembanding. Kinetika
desorpsi isotermal beta karoten pada ketiga suhu tersebut memberikan
persamaan linier yang berbeda.
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa nilai koefisien
determinasi (r2) pada persamaan desorpsi cenderung tinggi pada desorpsi
isotermal beta karoten dengan menggunakan etanol maupun heksan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data percobaan
dengan persamaan desorpsi tinggi.
Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit
dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3 menit-1
meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Nilai konstanta laju
desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60○C menjadi 2,2 x 10-3 menit-1.
Peningkatan suhu desorpsi berarti akan menyebabkan meningkatnya laju
desorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu desorpsi
menyebabkan meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten dan etanol
yang teraktifkan. Selain fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang
efektif, fraksi molekul dari beta karoten dan etanol yang teraktifkan juga
berarti fraksi molekul yang energi kinetiknya meningkat. Fraksi molekul
beta karoten dan etanol yang energi kinetiknya meningkat menyebabkan
36
meningkatnya laju desorpsi, yang kemudian berarti meningkatkan
konstanta laju desorpsi.
Nilai konstanta laju desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit
dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C sebesar 2,2 x 10-3 menit-1
meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Kenaikan konstanta
laju desorpsi tersebut menunjukkan laju reaksi yang meningkat dengan
meningkatnya suhu reaksi. Konstanta laju desorpsi menurun pada suhu
60○C menjadi 2,3 x 10-3 menit-1. Hal tersebut menunjukkan laju desorpsi
menurun yang kemungkinan disebabkan oleh etanol tidak hanya
mendesorpsi beta karoten tetapi juga senyawa lain seperti kotoran dan zat
warna lain. Kemungkinan lain yaitu adanya kerusakan beta karoten karena
oksidasi. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya
yang memiliki struktur ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi.
Walaupun demikian, nilai konstanta laju desorpsi beta karoten dari
atapulgit dengan menggunakan heksan tetap menunjukkan kecenderungan
meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi.
Berdasarkan Tabel 11 juga dapat diketahui nilai konstanta laju
desorpsi (kdes). Semakin meningkat suhu desorpsi, nilai konstanta laju
desorpsi (kdes) cenderung meningkat. Hal tersebut sesuai dengan
tercapainya kondisi kesetimbangan. Semakin tinggi konstanta laju desorpsi
(kdes), maka kondisi kesetimbangan semakin cepat tercapai. Begitu pula
sebaliknya. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan
heksan lebih tinggi daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan
menggunakan etanol. Tingginya nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan
menggunakan heksan tersebut sesuai dengan tercapainya kondisi
kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang lebih
cepat daripada desorpsi dengan menggunakan etanol.
Nilai θ menunjukkan nilai fraksi yang dapat didesorpsi dalam
reaksi tersebut. Nilai θ diperoleh dari nilai intershape menggunakan
program Mathematica 5.2 for Students. Berdasarkan Tabel 11 juga dapat
dilihat bahwa nilai konstanta laju desorpsi (kdes) yang cenderung
meningkat diikuti oleh peningkatan nilai fraksi terdesorpsi (θ). Hal
37
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wankasi et al.
(2005), semakin cepat laju desorpsi, maka semakin tinggi nilai fraksi
terdesorpsi karena laju desorpsi semakin cepat pula. Nilai fraksi
terdesorpsi pada desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol
cenderung lebih besar dari pada nilai fraksi terdesorpsi dengan
menggunakan heksan pada masing-masing suhu. Hal tersebut sesuai
dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen yang dapat didesorpsi,
dimana konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan
menggunakan etanol lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi beta
karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan menggunakan heksan.
Pada masing-masing eluen yang digunakan nilai fraksi terdesorpsi
meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi. Hal tersebut karena
peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya fraksi molekul
dari beta karoten yang teraktifkan. Fraksi molekul yang menghasilkan
tumbukan yang efektif tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi
beta karoten yang terdesorpsi oleh eluen sehingga meningkatkan nilai
fraksi terdesorpsi.
2. Energi Aktivasi
Penentuan nilai konstanta laju desorpsi yang dilakukan pada
kondisi tiga suhu desorpsi yang berbeda selanjutnya digunakan untuk
mendapatkan energi aktivasi (Ea) reaksi desorpsi isotermal beta karoten
olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Untuk
mendapatkan energi aktivasi dari nilai konstanta laju desorpsi pada tiga
suhu desorpsi tersebut digunakan persamaan Arrhenius. Persamaan
Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan Svante Arrhenius
(1889) yang mengkuantitatifkan hubungan antara suhu reaksi dan energi
aktivasi dengan konstanta laju reaksi. Persamaan Arrhenius tersebut
kemudian dimodifikasi, sehingga menghasilkan bentuk persamaan garis
lurus (linier). Oleh karena itu, untuk menduga persamaan dari konstanta
laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi digunakan regresi linier. Regresi
linier merupakan persamaan persamaan matematik yang menduga
38
hubungan antara satu peubah bebas (dalam hal ini suhu desorpsi) dengan
satu peubah tak bebas (dalam hal ini konstanta laju desorpsi), dimana
hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Kurva regresi
linier hubungan antara suhu desorpsi (T) dengan konstanta laju desorpsi
(kdes) dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
-7,00
-6,90
-6,80
-6,70
-6,60
-6,50
-6,40
-6,30
-6,20
-6,10
-6,000,00295 0,00300 0,00305 0,00310 0,00315 0,00320 0,00325
1/T
ln k
des
Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
desorpsi dengan menggunakan etanol (r2 = 0,9914; kemiringan = 4119,67)
-6,14
-6,12
-6,10
-6,08
-6,06
-6,04
-6,02
-6,00
-5,98
-5,96
-5,940,00295 0,00300 0,00305 0,00310 0,00315 0,00320 0,00325
1/T
ln k
des
Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada
desorpsi dengan menggunakan heksan (r2 = 0,0751; kemiringan = 247,38)
39
Berdasarkan kemiringan dari persamaan hasil regresi linier pada
Gambar 12 dan 13 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan
dikalikan dengan konstanta gas (R). Nilai koefisien determinasi (r2) pada
desorpsi dengan menggunakan heksan relatif kecil, sehingga nilai
kesalahan (error) relatif tinggi. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta
karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan
heksan pada tiga kondisi suhu desorpsi disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan
Eluen Energi aktivasi (kkal/mol)
Etanol 81,86 x 10-1
Heksan 4,91 x 10-1
Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan
untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Energi aktivasi
tersebut harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi
aktivasi juga kemudian berarti energi yang harus disimpan dalam spesies
antara (intermediate species), yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk
selama tumbukan molekul. Spesies antara ada dalam waktu singkat, dan
kemudian terurai, dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal (tidak terjadi
reaksi), atau menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Dalam hal ini, ikatan
van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit pada proses adsorpsi
meregang mendekati putus. Hanya molekul-molekul beta karoten dan
etanol yang memiliki energi kinetik yang melebihi energi aktivasi yang
kemudian mampu bereaksi. Molekul-molekul tersebut yang disebut
sebagai fraksi yang teraktifkan, yang kemudian berikatan hidrogen pada
proses desorpsi.
Semakin meningkat suhu desorpsi yang digunakan, maka laju
desorpsi juga semakin meningkat karena jumlah fraksi molekul yang
teraktifkan meningkat. Peningkatan laju reaksi juga dapat dilakukan
dengan menurunkan energi aktivasi. Semakin rendah energi aktivasi,
40
semakin besar fraksi molekul yang teraktifkan dan semakin cepat reaksi
berlangsung.
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa energi aktivasi
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan etanol lebih besar (81,86 x 10-1 menit-1) daripada desorpsi
beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan
(4,91 x 10-1 menit-1). Hal tersebut berarti heksan lebih mudah bereaksi
dengan beta karoten daripada etanol. Selain itu, jumlah fraksi molekul
yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol lebih sedikit
dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Rendahnya jumlah
fraksi molekul yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol
tersebut menyebabkan rendahnya laju desorpsi yang dapat dilihat pada
nilai konstanta laju desorpsi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan
desorpsi menggunakan heksan. Selanjutnya, berdasarkan Tabel 12 dapat
dikatakan bahwa desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari
atapulgit dengan menggunakan etanol berjalan lebih lambat dibandingkan
dengan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit
dengan menggunakan heksan.
D. SELEKTIVITAS DESORPSI
Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit
dengan menggunakan heksan dilakukan dalam penelitian ini sebagai
pembanding. Heksan dipilih sebagai eluen dalam proses desorpsi karena
hanya dengan menggunakan heksan, alfa tokoferol terdeteksi pada High
Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sedangkan alfa tokoferol pada
percobaan desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol dan isopropanol
tidak terdeteksi pada High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Desorpsi isotermal alfa tokoferol olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan heksan tersebut dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan
60○C. Perbandingan jumlah perolehan (recovery) beta karoten dengan alfa
tokoferol pada lama desorpsi 18 menit disajikan pada Tabel 13.
41
Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol pada lama desorpsi 18 menit
Perlakuan Perolehan
beta karoten (recovery)(µg)
Perolehan alfa tokoferol (recovery) (µg) Suhu desorpsi Eluen
40○C Etanol 140 a
Heksan 171,5 793,38
50○C Etanol 101,5 a
Heksan 119 987,57
60○C Etanol 112 a
Heksan 70 664,43 a: tidak terdeteksi
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa pada lama desorpsi yang
sama, yaitu 18 menit, konsentrasi alfa tokoferol yang dapat didesorpsi jauh
lebih besar daripada beta karoten. Hal tersebut menunjukkan bahwa heksan
lebih bagus dalam mendesorpsi alfa tokoferol dibandingkan beta karoten.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit
kasar dengan menggunakan eluen etanol pada suhu 40○C paling lama dicapai
yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C,
masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL pada lama desorpsi
70 menit, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40 menit, dan 0,33 µg/mL pada
lama desorpsi 16 menit.
Pada desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit
dengan menggunakan eluen heksan, kondisi kesetimbangan desorpsi pada
suhu 40○C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan
desorpsi pada suhu 60○C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten 0,61
µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5
menit, dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit. Kondisi kesetimbangan
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dipengaruhi
oleh suhu desorpsi dan jenis eluen yang digunakan.
Konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan etanol
meningkat cepat dan kondisi kesetimbangan tercapai dalam waktu yang relatif
lama, sedangkan konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan
menggunakan heksan meningkat relatif lambat dan kondisi kesetimbangan
tercapai dalam waktu yang relatif lebih cepat.
Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit
kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x
10-3 menit-1 meningkat menjadi 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C. Nilai
konstanta laju desorpsi ini kembali meningkat pada suhu 60○C menjadi 2,2 x
10-3 menit-1. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein
sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C
sebesar 2,2 x 10-3 menit-1 meningkat menjadi 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu
50○C, dan pada suhu 60○C menurun menjadi 2,5 x 10-3 menit-1.
43
Energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar
dari atapulgit dengan menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol. Nilai
tersebut lebih besar daripada energi aktivasi (Ea) desorpsi isotermal beta
karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan yaitu
4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih tinggi,
kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta
karoten. Pada lama dan suhu desorpsi yang sama, konsentrasi alfa tokoferol
yang dapat didesorpsi oleh eluen heksan lebih besar daripada beta karoten. Hal
tersebut menunjukkan bahwa heksan lebih bagus dalam mendesorpsi alfa
tokoferol.
B. SARAN
Beta karoten merupakan bahan yang mudah rusak oleh cahaya dan
oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi kondisi percobaan agar
bahan tidak mengalami kontak dengan cahaya dan oksigen. Selain itu,
perbandingan antara atapulgit dengan etanol perlu ditingkatkan agar diperoleh
konsentrasi beta karoten yang lebih besar. Penelitian lanjutan tentang
pemekatan larutan beta karoten dalam etanol juga perlu dilakukan sehingga
diperoleh konsentrat beta karoten yang hanya mengandung sedikit residu
etanol.
44
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta.
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Baharin, B. S., K. A. Rahman, M. I. A. Karim, T. Oyaizu, K. Tanaka, Y. Tanaka dan S. Takagi. 1998. Separation of Palm Carotene from Crude Palm Oil by Adsorbtion Chromatography with A Synthetic Polymer Adsorbent. Vol 75, No. 3.
Basiron, Y. 2002. Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospects. Oil
Palm Industry Economic Journal. Vol. 2, No. 1. Malaysian Palm Oil Board.
Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, dan E. Schneiter. 1995.
Teknologi Kimia Bagian 2. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Chu, B. S., B. S. Baharin, Y. B. C. Man, dan S. Y. Quek. 2004. Separation of
Vitamin E from Palm Fatty Acid Distillate Using Silica. III. Batch Desorption Study. Journal of Food Engineering 64. 1-7.
Chu, K. H. dan M. A. Hashim. 2001. Desorption of Copper from Polyvinyl
Alcohol-Immobilized Seaweed Biomass. Acta Biotechnol. 21 (2001) 4, 295-306.
Companion, A. L. 1991. Ikatan Kimia. Penerbit ITB. Bandung. Day Jr., R. A. dan A. L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Penerbit
Erlangga. Jakarta. Gelder, V. J. W. 2004. Greasy Palms: European Buyers of Indonesian Palm Oil.
Friends of Earth Ltd. London. Goodwin, T. W. 1976. Chemistry & Biochemistry of Plant Pigments. II, Second
Edition. Academic Press. New York. Grim, R. E. 1968. Clay Minerology. McGraw-Hill Inc. Amerikat Serikat. Hugo, M. 1997. Meningkatkan Konsentrasi Beta Karoten Minyak Kelapa Sawit
Kasar dengan Teknik Saponifikasi dan Diversifikasi Tingkat Polaritas Pelarut. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.
45
Hui, Y.H. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 5th Edition Volume 4 Edible Oil and Fat Product: Processing Technology. John Wiley & Sons. Amerika Serikat.
IUPAC. 2001. Lexicon of Lipid Nutrition (IUPAC Technical Report). Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 4, pp. 685-744.
Keenan, C. W., D. C. Kleinfelter, dan J. H. Wood. 1984. Kimia untuk Universitas.
Penerbit Erlangga. Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press.
Jakarta. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1963. Encyclopedia of Chemical Technology
Second Edition. Vol. 1. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.
Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology
Second Edition. Vol. 5. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.
Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1965. Encyclopedia of Chemical Technology
Second Edition. Vol. 8. Interscience Publishers, A Division of John Wiley & Sons, Inc. New York.
Lansbarkis. 2000. Attapulgite Clay. www.atb.com (18 Agustus 2006). Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man dan R. A. Rahman. 2000. Evaluation
of Different Types of Synthetic Adsorbents for Carotene Extraction from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 77, No. 12.
Latip, R. A., B. S. Baharin, Y. B. Che Man, dan R. A. Rahman. 2001. Effect of
Adsorption and Solvent Extraction Process on the Percentage of Carotene Extracted from Crude Palm Oil. JAOCS, Vol. 78, No. 1.
Maulana, F. 2004. Model Persamaan Matematika Parameter Kualitas Produk
Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Campuran Atapulgit dan Natrium Bisulfat. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.
Muchtadi, T. R. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit
(Elaeis gieneensis jacca) dalam Rangka Optimalisasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Pro Vitamin A. Disertasi. Direktorat Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Naibaho, P. M. 1983. Pemisahan Karotena (provitamin A) Minyak Sawit dengan
Metoda Adsorbsi, Disertasi, FPS, IPB. Bogor.
46
Novinda. 1995. Studi Penentuan Formulasi Pelarut Kimia untuk Pemekatan Beta Karoten Minyak Sawit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.
Nur, H. M. A., M. S. Saeni, Z. A. Mas’ud, L. K. Darusman, S. S. Achmadi,
Purwantiningsih, Z. Fatma, G. Syahbirin, D. Saprudin, Risnayeti, A. Sjachriza, D. Sajuthi, L. Ambarsari, B. Marita, Aryeti, M. Sjachri, Djarot S. H., dan K. Sutriah. 2002. Kimia Dasar II. Jurusan Kimia. FMIPA-IPB. Bogor.
Saputra, V. 1996. Formulasi Produk Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak
Sawit Merah. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. Sirait, K. E. E. 2007. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar
dari Atapulgit. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor. SNI. 1998. Crude Palm Olein (01-0016-1998). Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
Suryadarma P., S. Raharja, dan I. A. Kartika. 2006. Rekayasa Proses Pemisahan dan Pemurnian Vitamin A dan E dari Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO) di Industri Pemurnian Minyak Goreng Sawit. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan IPB. Bogor.
Swern, D. 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products 4th Edition Volume 2.
John Wiley & Sons. Amerika Serikat. Wankasi, D., M. Horsfall Jnr dan A. I. Spiff. 2005. Desorption of Pb2+ and Cu2+
from Nipa Palm (Nypa fructicans Wurmb) Biomass. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp. 923-927.
www.apotik2000.net. 2006 (16 Agustus 2006). www.cnhymc.com. 2003 (18 Agustus 2006). Yuliarti, E. 2007. Kinetika Desorpsi Isotermal β-Karoten Olein Sawit Kasar dari
Atapulgit dengan Menggunakan Isopropanol. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.
Zeb, A. dan S. Mehmood. 2004. Carotenoids Contents from Various Sources and
Their Potential Health Applications. Pakistan Journal of Nutrition 3 (3): 199-204.
Zuna, S. U. 2004. Dehidrasi Minyak Jarak dengan Katalis Atapulgit untuk
Menghasilkan Pelumas Dasar Rolling Oil. Skripsi. FATETA-IPB. Bogor.
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Prosedur penelitian
a. Pembuatan kurva standar
Kurva standar yang digunakan adalah kurva standar beta karoten
dalam etanol dan heksan. Beta karoten standar dan alfa tokoferol standar
masing-masing 0,0005 g dicampur dan dilarutkan ke dalam etanol dan heksan,
kemudian ditera dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya dibuat beberapa
konsentrasi larutan beta karoten dalam etanol dan heksan, dan diukur secara
spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0
Konsentrasi beta karoten [µg/mL]
Nila
i abs
orba
nsi
Gambar kurva standar beta karoten dalam etanol (y = 0,1558x, r2 = 0,9961)
49
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0Konsentrasi beta karoten [µg/mL]
Nila
i abs
orba
nsi
Gambar kurva standar beta karoten dalam heksan (y = 0,3129x, r2 = 0,9938)
b. Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit
Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit merupakan penelitian terdahulu
sebelum percobaan desorpsi dilakukan. Atapulgit sebanyak 300 g dan 900 mL
olein (1:3) disiapkan di dalam suatu reaktor berpengaduk dengan kapasitas 2 L.
Reaksi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 120 rpm dan suhu 60○C.
Pengambilan sampel dilakukan pada masing-masing waktu yang diujikan yaitu
1, 3, 5, 7, 9, 12, 15, 18, 21, 26, 36, 51, 71, 101, 131, dan 171 menit. Selanjutnya
sampel disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum
untuk memisahkan antara atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten
dengan olein. Olein yang telah diadsorpsi beta karotennya diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 446 nm.
50
Tabel data hasil perhitungan Co-Ce
t [menit] absorbansi spektrofotometer Ce (µg/mL) Co-Ce (µg/mL) 0 1,2800 409,0764 0,0000 1 0,9525 304,4104 104,6660 3 0,8975 286,8329 122,2435 5 0,8450 270,0543 139,0221 7 0,9050 289,2298 119,8466 9 0,8950 286,0339 123,0425
12 0,8500 271,6523 137,4241 15 0,8575 274,0492 135,0272 18 0,7790 248,9613 160,1151 21 0,7840 250,5593 158,5171 26 0,7660 244,8066 164,2698 36 0,6750 215,7239 193,3525 51 0,6070 193,9917 215,0847 71 0,6020 192,3937 216,6827
101 0,5330 170,3420 238,7344 131 0,5210 166,5069 242,5695 171 0,4620 147,6510 261,4254
Keterangan :
v1 = 900 mL
m1 = 300 g
Co = 409,0764 µg/mL
Persamaan kurva standar x = y/0,3129
Data hasil perhitungan Co–Ce di atas dirata-rata sehingga diperoleh nilai rata-
rata Co-Ce = 160,707 µg/mL
qe = v1/m1 (Co-Ce)
qe = 900/300 (160,707)
qe = 482,12 µg/g
Contoh perhitungan qt pada lama desorpsi 2 menit (eluen etanol, suhu 40○C) :
qe = 482,12 µg/g
v2 = 350 mL
m2 = 7 g
Ct = 0,1123 µg/mL
51
qt = qe – v2/m2 x Ct
qt = 482,12 – 350/7 x 0,1123
qt = 476,51 µg/g
52
Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001)
a. Eluen etanol
Keterangan :
qe = 482,12 µg/g v2 = 350 mL m2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0,1558
1. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0175 0,1123 476,51 0,988 -0,012 4 0,0220 0,1412 475,06 0,985 -0,015 6 0,0295 0,1893 472,65 0,980 -0,020 8 0,0380 0,2439 469,93 0,975 -0,026
10 0,0380 0,2439 469,93 0,975 -0,026 12 0,0485 0,3113 466,56 0,968 -0,033 14 0,0655 0,4204 461,10 0,956 -0,045 16 0,0620 0,3979 462,22 0,959 -0,042 18 0,0630 0,4044 461,90 0,958 -0,043 24 0,0640 0,4108 461,58 0,957 -0,044 40 0,0825 0,5295 455,65 0,945 -0,056 80 0,1310 0,8408 440,08 0,913 -0,091
140 0,1100 0,7060 446,82 0,927 -0,076
53
2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 50○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0160 0,1027 476,99 0,989 -0,011 4 0,0175 0,1123 476,51 0,988 -0,012 6 0,0190 0,1220 476,02 0,987 -0,013 8 0,0265 0,1701 473,62 0,982 -0,018
10 0,0260 0,1669 473,78 0,983 -0,017 12 0,0365 0,2343 470,41 0,976 -0,025 14 0,0480 0,3081 466,72 0,968 -0,032 16 0,0400 0,2567 469,28 0,973 -0,027 18 0,0455 0,2920 467,52 0,970 -0,031 24 0,0630 0,4044 461,90 0,958 -0,043 40 0,0965 0,6194 451,15 0,936 -0,066 80 0,0940 0,6033 451,95 0,937 -0,065
140 0,0990 0,6354 450,35 0,934 -0,068
54
3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol pada suhu 60○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0080 0,0513 479,55 0,995 -0,005 4 0,0100 0,0642 478,91 0,993 -0,007 6 0,0200 0,1284 475,70 0,987 -0,013 8 0,0210 0,1348 475,38 0,986 -0,014
10 0,0290 0,1861 472,81 0,981 -0,019 12 0,0410 0,2632 468,96 0,973 -0,028 14 0,0450 0,2888 467,68 0,970 -0,030 16 0,0535 0,3434 464,95 0,964 -0,036 18 0,0500 0,3209 466,08 0,967 -0,034 24 0,0505 0,3241 465,92 0,966 -0,034 40 0,0545 0,3498 464,63 0,964 -0,037 80 0,0605 0,3883 462,71 0,960 -0,041
55
b. Eluen heksan
Keterangan :
qe = 482,12 µg/g v2 = 350 mL m2 = 7 g Persamaan kurva standar x = y/0,3129
1. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 40○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer Konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0975 0,3116 466,54 0,968 -0,033 4 0,1055 0,3372 465,26 0,965 -0,036 6 0,1175 0,3755 463,35 0,961 -0,040 8 0,1325 0,4235 460,95 0,956 -0,045
10 0,1290 0,4123 461,51 0,957 -0,044 12 0,1365 0,4362 460,31 0,955 -0,046 14 0,1405 0,4490 459,67 0,953 -0,048 16 0,1585 0,5066 456,79 0,947 -0,054 18 0,1545 0,4938 457,43 0,949 -0,053 24 0,2025 0,6472 449,76 0,933 -0,069 30 0,1780 0,5689 453,68 0,941 -0,061
56
2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 50○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0530 0,1694 473,65 0,982 -0,018 4 0,0740 0,2365 470,30 0,975 -0,025 6 0,0860 0,2748 468,38 0,971 -0,029 8 0,1200 0,3835 462,95 0,960 -0,041
10 0,1375 0,4394 460,15 0,954 -0,047 12 0,1290 0,4123 461,51 0,957 -0,044 14 0,1185 0,3787 463,19 0,961 -0,040
3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 60○C
t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe 0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000 2 0,0155 0,0495 479,64 0,995 -0,005 4 0,0275 0,0879 477,73 0,991 -0,009 6 0,0260 0,0831 477,97 0,991 -0,009 8 0,0640 0,2045 471,89 0,979 -0,021
10 0,0690 0,2205 471,10 0,977 -0,023 12 0,0885 0,2828 467,98 0,971 -0,030 14 0,0735 0,2349 470,38 0,976 -0,025
57
Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan program Mathematica 5.2 for Students
a. Eluen etanol
1. Suhu 40○C
ln qt/qe = -0,0010t – 0,0129
Solve[Log[θ]-θ -1.0129,θ]
InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values
may be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.847859},{θ→1.16934}}
2. Suhu 50○C
ln qt/qe = -0,0016t – 0,0044
Solve[Log[θ]-θ -1.0044,θ]
InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values
may be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.909102},{θ→1.09676}}
3. Suhu 60○C
ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009
Solve[Log[θ]-θ -0.9991,θ]
InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values
may be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.9994 -0.0424243 ™}}
58
b. Eluen heksan
1. Suhu 40○C
ln qt/qe = -0,0022t – 0,0183
Solve[Log[θ]-θ -1.0183,θ]
InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values
may be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.820689},{θ→1.2037}}
2. Suhu 50○C
ln qt/qe = -0,0026t – 0,0091
Solve[Log[θ]-θ -1.0091,θ] InverseFunction ::ifun :
Inverse functions are being used . Valuesmay be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.87109},{θ→1.14104}}
3. Suhu 60○C
ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005
Solve[Log[θ]-θ -0.9995,θ]
InverseFunction ::ifun : Inverse functions are being used . Values
may be lost for multivalued inverses . More…
Solve ::ifun : Inverse functions are being used by Solve , so some
solutions may not be found ; use Reducefor complete solution information . More…
{{θ→0.999667 -0.0316219 ™}}
59
Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea)
Regresi linier untuk menentukan Ea:
kdes = Ae-Ea/RT
ln kdes = -(Ea/RT) + ln A
ln kdes = -(1/T)(Ea/R) + ln A
Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k disajikan pada gambar berikut
Gambar regresi linier hubungan 1/T dengan ln kdes
Contoh perhitungan energi aktivasi pada eluen etanol :
Ea/R = 4119,6665
R = 1,987 kal/mol K
Ea = 4119,6665 x 1,987
Ea = 8,186 kkal/mol
Kemiringan = -Ea/R
1/T
ln kdes
60
Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten
Gambar atapulgit sebelum (kiri) dan setelah (kanan) mengadsorpsi beta karoten
Lampiran 6. Dokumentasi penelitian
Gambar spektrofotometer 20D+
61
Gambar High Performance Liquid Chromatography (HPLC), detektor ultraviolet (UV), kolom Zorbax Sil dengan ukuran 250 x 4,6 mm.
Gambar shaker yang dilengkapi dengan waterbath
top related