kitin kitosan _aventio dega_13.70.0060_kloter d_unika soegijapranata
Post on 22-Jan-2016
27 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Aventio Dega
NIM :13.70.0060
Kelompok D1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK
SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCL 0,75 N; 1 N; dan 1,25
N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. DEMINERALISASI
1
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 meshdan ditimbang
2
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
3
1.2.2. DEPROTEINASI
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
4
1.2.3. DEASETILASI
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemenKitin
I (%)RendemenKitin
II (%)RendemenKitosan
(%)
D1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
32,14 25 48,25
D2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
32,14 31,38 39,43
D3HCl 1N + NaOH 50%
+ NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80
D4HCl1N + NaOH 50%
+ NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20
D5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%
29,17 32,73 39,14
Pada Tabel 1, dapat dilihat pada 3 rendemen yaitu, Rendemen Kitin I dari proses
demineralisasi, Rendemen Kitin II dari proses deproteinasi, dan Rendemen Kitosan dari
proses deasetilasi. Pada Rendemen Kitin I hasil tertinggi adalah kelompok D3 dengan nilai
36,84% dan terendah adalah kelompok D5 dengan nilai 29,17%. Pada Rendemen Kitin II
hasil tertinggi adalah kelompok D3 dengan nilai 45,71% dan terendah adalah kelompok D1
sebesar 25%. Untuk Rendemen Kitosan hasil tertinggi adlaah D1 dengan nilai 48,25% dan
terendah adalah kelompok D5 dengan nilai 39,14%.
5
3. PEMBAHASAN
Bahan yang paling populer digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan adalah
limbah udang (crustacea). Kulit udang menurut Berger et al (2004) cangkang dari
crustacean, misalnya udang, sering digunakan sebagai sumber bahan kitin dan
kitosan. Meskipun kulit udang memiliki kandungan lemak dan protein tinggi,
sayangnya jarang digunakan (Moeljanto, 1992). Padahal menurut Manjang (1993),
sumber kitin dan kitosan yang mudah diperoleh adalah kulit udang, bahkan perlu
dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk limbahnya. Kitin berwarna putih, tidak
elastis, keras, dan merupakan nitrogenous polysaccharide yang ditemukan pada
cangkang invertebrata. Kitin bersifat tidak larut air, sehingga penggunaannya terbatas
(Krissetiana, 2004).
Kitosan adalah turunan dari Kitin. Kitosan berbentuk padatan amorf berwarna
putih dengan struktur kristal yang tidak berubah dari bentuk awal kitin murni. Rantai
dari kitosan ini lebih pendek daripada rantai kitin yang digunakan untuk produksi
kitosan tersebut (Radhakumary et al., 2005). Kitosan memiliki karakteristik kimia
yaitu gugus amino reaktif, gugus hidroksil reaktif, poliamin linear, dan chelating
agent. Kitosan memiliki karakteristik biologi yaitu biocompatible (polimer alami,
tidak beracun dan aman, serta biodegradable bagi tubuh) dan bagi mamalia dan
mikroorganisme memiliki efek regeneratif, mempercepat pembentukan tulang,
spermicidal, hemeostatik, anti cholesteremic, anti tumor, fungistatik, menghilangkan
stres, dan imunoadjuvant (Dutta et al, 2004).
Pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini dilakukan melalui 3 tahapan
yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal ini sesuai oleh teori dari
Aranaz et al (2009) yang mengatakan bahwa proses produksi kitin dilakukan melalui
beberapa tahapan utama yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi (perubahan
menjadi kitosan).
3.1. Demineralisasi
Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan mineral pada kulit udang. Metode
ini diawali dengan limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan,
kemudian dicuci dua kali dengan air panas dan kembali dikeringkan. Setelah itu
6
7
dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh (masing-
masing kelompok 10 gram) agar memperluas permukaan partikel. Proses
penghancuran berguna untuk meningkatkan luas permukaan partikel sehingga kontak
dengan pelarut dapat menjadi maksimal (Prasetyo, 2006). Kemudian dicampur HCl
dengan perbandingan 10 : 1. Untuk kelompok D1 dan D2 ditambahkan HCl 0,75 N,
untuk kelompok D3 dan D4 ditambahkan HCl 1 N dan untuk kelompok D5
ditambahkan HCl 1,25 N. Larutan HCl (asam encer) digunakan untuk melarutkan
mineral pada kulit udang, terutama kalsium karbonat (Burrows et al, 2007). Alasan
penggunaan HCL konsentrasi rendah adalah apabila bila HCL tersisa, maka dapat
dengan mudah dinetralkan dengan NaOH yang sifatnya basa sehingga dapat
menghasilkan garam yang merupakan flavouring agent (Prasetyo, 2006).
Setelah proses penambahan HCl, selanjutnya kitin tersebut dipanaskan pada
suhu 80oC dengan diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan selama 1 jam ini bertujuan
agar mineral cepat rusak. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan
dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari foam atau gelembung
sebagai hasil dari pemisahan mineral selama proses demineralisasi (Puspawati et al.,
2010). Sesudah itu dilakukan pencucian hingga pH netral. Kitin harus didinginkan
dahulu sebelum dicuci tujuannya supaya kitin dapat mengendap sehingga tidak
terbuang saat pencucian berulang kali (Rogers, 1986). Pencucian hingga pH netral
juga dapat mempercepat penghilangan mineral dan mencegah terjadi degradasi
produk yang disebabkan oleh gugus amino bebas (Suptijah, 2004). Pengukuran pH
dilakukan menggunakan kertas lakmus dengan ditempelkan pada kitin saat proses
pengeringan. Setelah pHnya netral, lalu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.
Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan pada Rendemen Kitin I
kelompok D3 mendapatkan nilai rendemen tertinggi sebesar 36,84% dengan bahan
HCl 1 N. Sedangkan kelompok dengan rendemen terkecil adalah kelompok D5
sebesar 29,17% dengan bahan HCl 1,25N. Menurut Suptijah (2004), penambahan
asam pada konsentrasi yang sesuai, dapat melarutkan mineral secara sempurna.
Sehingga semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan seharusnya
menghasilkan rendemen kitin I yang semakin besar. Tapi hasil yang didapatkan tidak
sesuai dengan pustaka yang ada, dimana HCl konsentrasi tertinggi kelompok D5
yakni 1,25 N justru mendapatkan nilai terkecil. Hal ini disebabkan pengadukan yang
8
dilakukan secara manual sehingga kurang konstan ketika pemanasan berlangsung
padahal pengadukan yang konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna
dengan kulit udang (Kaunas, 1984). Ketidaksesuaian hasil dapat juga disebabkan
karena terdapat rendemen kitin yang hilang ketika dilakukan pencucian dan
penyaringan. Selain itu, menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi
sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi karena pada proses deproteinasi dapat terjadi
kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral.
3.2. Deproteinasi
Tujuan dari tahap ini adalah pemisahan protein dan kitin. Deproteinasi
dilakukan dengan tepung hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% (6 : 1)
lalu diaduk selama 1 jam dengan dipanaskan hot plate pada suhu 80oC. Penambahan
NaOH berfungsi untuk melarutkan protein hasil dari tahap demineralisasi (Reece et
al, 2003). Pengadukan untuk menghomogenkan panas pada larutan supaya derajat
deproteinasi meningkat tanpa terjadi kegosongan (Rogers, 1986). Penggunaan
perbandingan NaOH 6:1 dan pengadukan yang bertujuan mempercepat proses
deproteinasi (Abun et al, 2006).
Sesudah kitin tersebut dipanaskan dan diaduk, lalu kitin tersebut disaring,
didinginkan, dan dicuci hingga pHnya netral. Tujuan pendinginan adalah agar kitin
mengendap di bagian bawah sehingga tidak hilang saat dicuci berulang kali.
Pencucian berulang kali disertai penyaringan bertujuan untuk membuat pH menjadi
netral. Proses ini akan mempengaruhi sifat penggembungan dari kitin dengan alkali
(NaOH). Hal ini akan mengakibatkan efisiensi proses hidrolisis basa pada gugus
asetamida pada rantai kitin akan optimal (Rogers, 1986). Selain itu, menurut Angka &
Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi karena
pada proses deproteinasi dapat terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak
mineral.
Pada hasil pengamatan Rendemen Kitin II kelompok D3 mendapatkan hasil
terbesar lagi yaitu 45,71% dan kelompok D1 mendapatkan hasil terendah yaitu 25%.
Data yang diperoleh kurang valid, seharusnya pada tahap rendemen II ini rendemen
yang dihasilkan lebih rendah daripada rendemen I dikarenakan proses penambahan
senyawa alkali lebih banyak dimana seharusnya banyak komponen yang terpecah
9
pula, tetapi hasil menunjukkan bahwa ada kelompok yang nilai rendemen II nya justru
meningkat. Kelarutan protein dan mineral pada suasana basa akan lebih besar jika
dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal ini dikarenakan larutan basa
seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
larutan asam seperti HCl (Fennema, 1985). Kesalahan ini disebabkan karena
pengadukan dilakukan secara kurang konstan sehingga larutan NaOH tidak bereaksi
sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984).
Faktor lain yang mempengaruhi kualitas kitin adalah tahapan dan kondisi proses yang di
dalamnya termasuk suhu pengeringan yang digunakan, lamanya proses pengolahan,
konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin (Laila &
Hendri, 2008)
3.3. Deasetilasi (Pengubahan menjadi Kitosan)
Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitosan dengan lepasnya gugus asetil
pada kitin. Kitin hasil deproteinasi ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi
40% untuk kelompok D1 dan D2, NaOH 50% untuk kelompok D3 dan D4, sedangkan
konsentrasi 60% untuk kelompok D5. Kemudian diaduk selama 1 jam dengan
pemanasan dengan hot plate pada suhu 80oC. Penambahan NaOH dan pemanasan
dengan suhu 80oC akan menyebabkan molekul kitin berpisah atau lepas gugus
asetilnya (CH3CHO-) (Reece et al, 2003). Ramadhan et al. (2010) juga menambahkan
bahwa transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deasetilasi
pelepasan gugus asetil pada kitin dan diubah menjadi gugus amina yang ada pada
kitosan.
Setelah itu, campuran tersebut didinginkan agar bubuk kitosan mengendap
pada bagian bawah sehingga hilang atau terbuang saat dicuci berulang kali. Kemudian
kitosan dicuci berulang kali dengan air mengalir sambil disaring hingga pH menjadi
netral. Pencucian hingga pH netral menetralkan kitosan yang bersifat basa dari NaOH,
serta mengurangi penurunan atau degradasi karena asetil yang tidak terlepas secara
sempurna. Tahap selanjutnya yaitu dioven pada suhu 70oC selama 24 jam untuk
menguapkan air yang masih tersisa atau tidak tersaring (Rogers, 1986; Suptijah,
2004). Hasil yang didapatkan adalah kitosan yang berwarna kuning orange. Hal ini
sesuai dengan pernyataam Ramadhan et al. (2010) bahwa setelah proses pengeringan
10
tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih
kekuningan.
Kitosan adalah senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan,
dimana kitosan dapat berguna sebagai zat antimikrobia. Hal ini dikarenakan kitosan
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan dipengaruhi oleh
konsentrasi dari pelarut yang digunakan untuk melarutkan kitosan ini dimana
antimikroba yang menggunakan kitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan
dari berbagai macam kapang dan bakteri (Cahyaningrum, 2007).
Pada hasil pengamatan rendemen Kitosan didapatkan hasil sama seperti
rendemen I yakni tertinggi kelompok D3 sebesar 46,80% dan terendah kelompok D5
sebesar 39,14%. Penambahan NaOH akan mengakibatkan terjadinya pemecahan atau
depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan
menurun (Hong et al., 1989). Derajat deasetilasinya menentukan kualitas dari produk
kitosan yang dihasilkan dimana derajat deasetilasi pada proses pembuatan kitosan ini
dipengaruhi oleh kualitas dan jenis bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses
yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, waktu, dan suhu) (Suhardi, 1992). Menurut
teori Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006), makin tinggi konsentrasi NaOH yang
digunakan, maka rendemen kitosan juga semakin besar karena proses ekstrak kitosan
semakin sempurna. Hasil yang didapatkan pada praktikum kurang sesuai, karena bila
ditinjau dari pustaka seharusnya kelompok D5 lah yang menghasilkan rendemen
terbanyak. Hal ini disebabkan oleh pengadukan yang dilakukan secara manual
sehingga kurang konstan ketika pemanasan berlangsung padahal pengadukan yang
konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas,
1984). Beberapa parameter yang mempengaruhi karakteristik kitosan yang terbentuk
yaitu derajat deasetilasi dan berat molekulnya yang mewakili proporsi unit deasetilasi.
Reacetylation dapat menurunkan derajat deasetilasi dari kitosan, sedangkan berat
molekul dapat diturunkan dengan depolymerisation (Berger et al, 2004).
Pada jurnal “DEVELOPMENT OF CHITOSAN BASED ACTIVE FILM TO
EXTEND THE SHELF LIFE OF MINIMALLY PROCESSED FISH” (Jiffy Paul P.
Et al, 2013) dikatakan bahwa kitin dan kitosan digunakan sebagai kemasan makanan
11
karena sifatnya yang ramah lingkungan, biodegradable, tahan lama, kuat, dan
memiliki aktivitas antimikroba. Maka dari itu dilakukan percobaan untuk membuat
film aktif dari chitosan, dimana hasilnya adalah film tanpa perlu menggunakan
penambahan zat antimikroba karena zat ini sudah ada dalam kitosan itu sendiri
sehingga penggunaannya lebih menguntungkan.
Pada jurnal “Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer
obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known
source” (S. G. Zaku et al, 2011) dikatakan bahwa kitin merupakan polisakarida amino
alami yang jumlahnya hampir sama dengan selulosa di alam. Dimana banyak industri
memanfaatkan kitin untuk berbagai tujuan. Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi
kitin dari sisik dari ikan carp. Dimana analisanya dilakukan dengan X-ray
diffractometry, SEM, dan mineral melalui spektrofotometri.
Pada jurnal “Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface
Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities”
(Masayuku Ishihara et al, 2015) dikatakan bahwa spherical silver nano partikel dapat
diperoleh dari pemotongan glass powder yang mengandung silver dengan gula. Pada
percobaan dilakukan pencampuran kitin kitosan dengan spherical silver partikel nano
tadi pada pH 7,3; dimana hasilnya adalah campuran ini dapat membasmi virus
walaupun yang beraktivitas rendah atau ringan. Tetapi setidaknya campuran ini dapat
berguna untuk antimikroba dan antiinfeksi.
Pada jurnal “Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma
plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India” (D.
Sakthivel et al, 2015) dikatakan bahwa ditemukan senyawa antimikrobia dari kitosan
yang diambil dari kepiting mangrove Sesama plicatum. Hasilnya kitosan dari ekstrak
kepiting jenis ini memiliki aktivitas antimikroba yang bagus, sehingga dapat
digunakan untuk berbagai industri seperti kesehatan, farmasi, agrikultural,
bioteknologi industri, dll.
Pada jurnal “Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell”
(Abdulwadud Abdulkarim et al, 2013) dikatakan bahwa dilakukan ekstraksi kitin dan kitosan
dari mussel shell, yang dilakukan berdasarkan fenomena banyaknya limbah crustacea di
12
sungai. Pada ekstraksi ini dilakukan 3 tahap seperti yang dilakukan praktikum ini yaitu
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi, namun dengan penambahan pretreatment
diawal. Hasilnya mussel shell mengandung kitin sebanyak 21,32% dan mineral sebanyak
51,62%.
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah udang (crustacea).
Kitin berwarna putih, tidak elastis, keras, dan merupakan nitrogenous polysaccharide.
Kitosan merupakan hasil dari deasetilasi kitin.
Kitosan berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal yang tidak
berubah dari bentuk awal kitin murni.
Pembuatan kitin dan kitosan dilakukan melalui 3 tahap utama yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi.
Demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral pada kulit udang.
Deproteinasi adalah proses memisahkan kitin dan protein.
Deasetilasi adalah proses lepasnya gugus asetil pada kitin sehingga menghasilkan kitosan.
HCl berfungsi untuk melarutkan kalsium karbonat pada kulit udang.
Pencucian hingga pH netral berfungsi untuk mempercepat hilangnya mineral dan protein.
Penambahan NaOH mempercepat proses deproteinasi.
Penambahan NaOH dan pemanasan menyebabkan lepasnya gugus asetil dari kitin
membentuk kitosan.
NaOH memiliki aktivitas hidrolisis lebih tinggi daripada HCL, sehingga rendemen II lebih
tinggi dari rendemen I.
Makin tinggi konsentrasi larutan, menghasilkan rendemen yang semakin besar pula.
kitosan digunakan dalam industri pangan sebagai zat antimikrobia karena mengandung
lisozim dan gugus amino polisakarida.
Semarang, 24 Oktober 2015 Asisten Dosen : Tjan, Ivana Chandra
Aventio Dega13.70.0060
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, Abdulwadud et al. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil and Environmental Research ISSN 2222-1719 (Paper) ISSN 2222-2863 (Online) Vol.3, No.2, 2013.
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf. Diakses 24 Oktober 2015.
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. (2009).Functional Characterization of Kitin and Kitosan.Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.
Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. (2004). Structure and Interactions in Covalently and Ionically CrosslinkedKitosan Hydrogels for Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And Biopharmaceutics 57 (2004) 19–34.
Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103-111, 2007.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Kitin and Kitosan : Chemistry, Properties, and Applications. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol.63, January 2004, pp 20-31.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
14
15
Ishihara, Masayuku et al. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. Int. J. Mol. Sci. 2015, 16.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.
Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
P., Jiffy Paul et al. (2013). DEVELOPMENT OF CHITOSAN BASED ACTIVE FILM TO EXTEND THE SHELF LIFE OF MINIMALLY PROCESSED FISH. Department of Biotechnology, Udaya School of Engineering, Vellamodi, Tamil Nadu, India.
Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Reece, C., dan Mitchell. (2003).Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Sakthivel, D. Et al. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. Human Journals Research Article August 2015 Vol.:4, Issue:1
16
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.
Zaku, S. G. Et al. (2011). Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 - 483, August, 2011.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = beratkitin
beratbasa h II×100 %
Rendemen Chitosan = beratkitosan
beratbasa h III×100 %
Kelompok D1
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14 %
Rendemen Chitin II = 28
× 100 %
= 25 %
Rendemen Chitosan = 1,523,15
×100 %
= 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14%
Rendemen Chitin II = 2,046,5
× 100 %
= 31,38 %
Rendemen Chitosan = 1,383,5
×100 %
= 39,43 %
Kelompok D3
Rendemen Chitin I = 3,59,5
× 100 %
= 36,84 %
Rendemen Chitin II = 1,63,5
×100 %
= 45,71 %
Rendemen Chitosan = 1,172,5
× 100 %
= 46,80 %
17
18
Kelompok D4
Rendemen Chitin I = 4
11,5× 100 %
= 34,78 %
Rendemen Chitin II = 1,74,5
× 100 %
= 37,78 %
Rendemen Chitosan = 0,982,5
× 100 %
= 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I = 3,512
×100 %
= 29,17 %
Rendemen Chitin II = 1,85,5
×100 %
= 32,73 %
Rendemen Chitosan = 1,373,5
× 100 %
= 39,14 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
top related