kitin & kitosan rudyanto kurniawan 12.70.0168 c3 unika soegijapranata
Post on 18-Jan-2016
24 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Acara III
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Rudyanto Kurniawan 12.70.0168
Kelompok: C3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan III (%)
C1 Kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
20 20 7,843
C2 Kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
32 33,333 17,500
C3 Kulitudang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
24 20 11,429
C4 Kulitudang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
41 16,667 11,763
C5 Kulitudang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
29 33,333 14,285
C6 Kulitudang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
35 28,571 11,765
Berdasarkan data dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa perlakuan yang diberikan
untuk setiap kelompok adalah berbeda. Dapat dilihat pada hasil pengamatan tersebut
hasil yang didapatkan juga berbeda, pada rendemen kitin I, didapatkan hasil yang paling
tinggi adalah pada kelompok C4 dengan perlakuan kulit udang + HCl 1 N + NaOH
3,5% + NaOH 50%, yaitu 41%, yang paling rendah adalah pada kelompok C1 dengan
perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 20%. Dapat
dilihat pada rendemen kitin II, ada persentase yang meningkat misalnya pada kelompok
C2 dan C5, dan ada juga yang menurun, pada kelompok C4 dan C6 dan bahkan ada
yang tetap, misalnya pada kelompok C1. Pada rendemen kitin II, yang paling tinggi
adalah kelompok C2 dan C5 yaitu 33,333%: dan yang paling rendah adalah kelompok
C4 yaitu 16,667%. Pada rendemen kitosan, didapatkan hasilnya menurun semua, yang
paling tinggi adalah pada kelompok C2 dengan perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N +
NaOH 3,5% + NaOH 40%, yaitu 17,500% dan yang paling rendah adalah kelompok C1
dengan perlakuan kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 7,843%.
Dapat disimpulkan bahwa setelah menjadi kitosan, persentase rendemen akan menurun,
1
2
dapat diasumsikan hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor. Dalam data tersebut,
tidak dapat dilihat pola perubahan pada masing – masing rendemen berdasarkan
perbedaan perlakuan terhadap masing – masing kulit udang yang diuji.
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan percobaan pembuatan Kitin kitosan dengan bahan dasar
kulit udang. Menurut Prabandari et al(2005) udang memiliki limbah yang banyak dan
perlu dimanfaatkan agar menjadi sesuatu yang lebih berguna. Hal tersebut dapat
dilakukan untuk mencegah pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan sekitar.
Limbah kulit udang dapat dimanfaatkan karena mengandung zat kitin dalam jumlah
yang cukup besar. Untuk udang dengan persentase kitin yang paling besar yaitu udang
windu, memiliki persentase kitin sebesar 99,1%. Proses pembuatan kitin kitosan
tidaklah terlalu susah, cukup sederhana dan sudah dapat menghasilkan kitin kitosan
dengan kualitas yang cukup baik. Menurut Muzzarelli (1985), kitin adalah biopolimer
yang berada dalam kulit udang yang memiliki unit N-asetil-D-glukosamin yang terikat
pada ikatan β 1,4. Kitin pada umumnya terbentuk sebagai kristal yang berwarna putih,
tidak berbau, tidak dapat larut dalam air dan tidak berasa. Kitin memiliki rumus molekul
(C8H13NO5)n. Ditambahkan juga dari pernyataan Shaikh et al(2011), kitosan adalah
polimer karbohidrat alami yang didapatkan dari deasetilasi kitin. Kitosan memiliki
rumur struktur 2-amino-2- deoxy-β- D-glucopyranose
Marganov (2003), kitin tergolong sebagai polisakarida glukosamin yang berantai lurus,
dan nama lainnya adalah β (1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-
Glukosamin). Kitin dapat diproses menjadi kitosan melalui proses deasetilasi. Menurut
Van Toan(2014), kitin kitosan dapat juga digunakan untuk kebutuhan biomedis seperti
untuk mengobati luka dan menjaga kesehatan kulit di Jepang. Menurut Ming et
al(2009), kitin dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu α-kitin, β-kitin dan γ-kitin. α-kitin
memiliki struktur rantai antiparalel, sedangkan β-kitin memiliki ikatan hidrogen rantai
paralel dan γ-kitin memiliki ikatan paralel dan antiparalel..Menurut Jiffy et al(2013),
kitin dapat ditemukan di dalam dinding sel fungi, eksoskeleton beberapa organisme
seperti crustaceans, arthropoda, serangga, moluska, dan sebagainya. Kitin dan kitosan
sudah banyak digunakan sebagai bahan tambah dalam industri, yaitu untuk
meningkatkan kualitas bahan pangan, meningkatkan umur simpan dalam bahan pangan.
Berikut adalah tabel yang menyajikan tentang komponen yang terdapat di dalam
kitosan:
3
4
Kadar air 2,2%
Karbohidrat 82%
Mineral 0,7%
Protein 0,83%
Turbiditas 20,2 NTU
Water Binding Capacity 450%
Fat Binding Capacity 290%
Menurut Van Toan(2014), salah satu parameter penting untuk melihat kualitas kitin
kitosan adalah viskositas. Kualitas dari kitin kitosan dapat dilihat dari viskositasnya,
apabila viskositasnya semakin tinggi, maka kualitas kitin kitosan akan semakin baik.
Hal tersebut dapat dikuatkan dari pernyataan Tokura (2006), bahwa setiap harinya
viskositas kitosan akan menurun seiring dengan berkurangnya viskositasnya. Menurut
Suhardi (1992), di dalam kulit udang, kitin tidak berdiri sendiri namun menjadi suatu
gabungan antara kitin, dengan potein, garam anorganik dan pigmen. Kitin banyak
digunakan dalam industri pangan dan kosmetik, dan di dalam kitin terdapat enzim yang
merupakan bahan pendukung contohnya enzim lakatase, papain, kimotripsin, asam
fosfatase. Menurut Dunn et al(1997) kitosan merupakan produk turunan kitin yang
didapatkan melalui beberapa tahap pemrosesan. Sifat dari kitosan adalah dapat larut di
dalam asam asetat, asam sitrat, dan asam format. Selain itu kitosan dapat berperan
sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah industri, terutama limbah industri
yang mengandung protein tinggi. Selain itu, kitosan juga dapat digunakan untuk
mengontrol penyakit – penyakit yang timbul pasca panen. Kitosan dapat berperan
sebagai zat anti-mikrobial dan dapat memberikan pertahanan pada jaringan tumbuhan.
Dalam praktikum ini dilakukan percobaan dalam pembuatan kitosan yang diproses
mulai dari awal hingga akhir. Menurut Hargono et al (2008), tahap dalam pembuatan
kitosan umumnya melalui tahap pencucian, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan kadar mineral(CaCO3)
yang terlalu tinggi, deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein yang terlalu
tinggi dan terbentuk kitin, terakhir adalah deasetilasi bertujuan untuk mengurangi gugus
alkil pada kitin agar menjadi kitosan. Dalam praktikum ini, dilakukan langkah – langkah
tersebut untuk mendapatkan kitosan. Tahap awal yang dilakukan dalam praktikum ini
5
adalah diawali dengan pembuatan kitin(demineralisasi dan deproteinasi), yang diawali
dengan tahap pencucian. Pencucian dilakukan dengan mencuci limbah udang dengan air
mengalir, dan dikeringkan, kemudian dicuci dengan air panas 2 kali lalu dikeringkan
kembali. Menurut Astawan & Astawan (1988), pencucian dilakukan bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang masih menempel agar tidak menganggung proses
ekstraksi kitin. Lalu limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak
dengan ayakan 40-60 mesh. Menurut Bastaman(1989), pengancuran kulit udang
bertujuan untuk memperluas permukaan bahan agar reaksi dengan pelarut lebih cepat.
Kemudian, dilakukan proses demineralisasi dengan mencampur serbuk limbah udang
dengan HCl dengan perbandingan (10:1) dengan konsentrasi 0,75 N, 1 N dan 1,25 N.
Menurut Muzarelli(1997), penambahan HCl adalah untuk melarutkan garam – garam
inorgaik dan mineral di dalam udang, terutama CaCO3. Ditambahkan juga dari
pernyataan Bastaman(1989) bahwa penambahan HCl digunakan untuk merlarutkan
mineral yang terkandung di dalam kulit udang, karena mineral dalam kulit udang juga
cukup tinggi yaitu sekitar 30-50% dari berat kering kulit udang. Reaksi antara HCl dan
CaCO3 akan membentuk kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat yang larut
dalam air. Komponen mineral tersebut juga dapat dilarutkan dengan menggunakan
H2SO4 atau asam laktat. Kemudian dilakukan pengadukan pada suhu 90oC dan
dilakukan selama 1 jam. Setelah pengadukan, dilakukan pencucian sampai pH netral
dan dikeringkan di dalam oven selama 24 jam. Menurut Muzzarelli (1977) proses
pemanasan yang dilakukan pada tepung udang pada suhu 90o akan menghasilkan
senyawa pyrazine yang berguna sebagai penambah cita rasa. Sedangkan proses
pengadukan menurut pernyataan Bastaman (1989,) bertujuan untuk menjaga
homogenitas larutan tepung udang yang sedang diproses. Dan untuk pengeringan di
dalam oven, menurut Fellows(1990), bertujuan untuk mengeringkan dan mengurangi
kadar air yang ada di dalam bahan pangan yang dikeringkan untuk mencegah
pertumbuhan mikroorganisme mengingat bahwa air merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme yang baik.
Kemudian dilakukan proses deproteinasi dengan menambahkan NaOH 3,5% dengan
perbandingan (6:1). Menurut Johnson & Peterson (1974), prinsip dasar dari deproteinasi
adalah untuk memisahkan kitin dengan protein. Ditambahkan juga dari pernyataan
6
Bastaman(1989), deproteinasi bertujuan untuk memisahkan ikatan yang mengikat
protein dengan kitin dengan menambahkan NaOH pada konsentrasi antara 2-3%.
Ditambahkan juga dari pernyataan Martinou et al (1995) , bahwa larutan NaOH akan
mengubah konformasi dari kristalin kitin yang rapat, sehingga enzim akan lebih mudah
untuk penetrasi agar proses deasetilasi polimer dapat berjalan dengan baik. Menurut
Rogers (1986), larutan NaOH akan terionisasi di dalam air kemudian terbentuk ion
natrium dan ion hidroksida. Pada tahapan ini, asam akan mendorong ion hidroksida
dengan ion hidrogen bereaksi dan membentuk molekul air atau H2O. Kemudian
dilakukan pengadukan selama 1 jam sambil dipanaskan pada suhu 90oC. Kemudian
dilakukan pencucian dengan kain saring sampai didapatkan pH netral. Kemudian dioven
selama 24 jam dan hasil yang didapatkan adalah berupa kitin. Menurut Rogers (1986),
pemanasan pada suhu 90oC dalam proses deproteinasi adalah untuk menguapkan air dan
untuk mengkonsentrasikan NaOH, dan pengadukan dilakukan agar NaOH yang
digunakan lebih cepat bereaksi dengan kulit udang hasil deminerealisasi dan menjaga
agar proses deproteinasi dapat berjalan dengan baik. Proses pencucian akan
mempengaruhi sifat penggembungan kitin terhadap basa.
Terakhir yang dilakukan adalah deasetilasi. Deasetilasi merupakan proses yang
melibatkan pengubahan gugus asetil (-NHCOCH3) yang terdapat pada kitin untuk
menjadi gugu amina (NH2) pada NaOH pekat dengan persentase cukup tinggi Berikut
adalah reaksi yang terjadi dalam reaksi deasetilasi:
(C8H13NO5)n+ NaOH =>(C6H11NO2)n + CH3COONa.
Mastuti (2005)
Pada tahap ini, pertama kitin ditambahkan dengan NaOH pada persentase yang berbeda,
40%, 50% dan 60% dengan perbandingan (20:1). Menurut Rochima et al(1991)
penambahan NaOH dalam deasetilasi adalah bertujuan untuk mereduksi air, memutus
ikatan antara atom N(nitrogen) dengan gugus karboksil. Struktur kitin cukup tebal dan
kuat sehingga dapat mengatasi masalah yang biasa timbul pada masalah senyawa gugus
N-asetil. Menurut Martinou et al(2005),penggunaan NaOH pada konsentrasi ¿ 40%
akan mengasilkan rendemen pada kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi. Pada
tahapan tersebut, gugus fungsional amino(-NH3+) akan mensubstisuti gugus asetil kitin
7
dalam sistem larutan dan menjadi semakin aktif.. Kemudian dilakukan pengadukan
selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
pemanasan pada suhu 90oC selama 1 jam, kemudian disaring dan dicuci sampai pH
netral. Lalu dioven selama 24 jam dan didapatkan kitosan. Menurut Puspawati et al
(2010) pemanasan dapat menaikkan derajat deasetilasi, maka tujuan dari proses
pemanasan tersebut adalah agar didapatkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang
tinggi. Menurut Rogers(1986), pendinginan yang dilakukan selama 30 menit adalah
bertujuan untuk mengendapkan kitosan secara maksimal pada bagian bawah.
Berdasarkan hasil pengamatan yang ada dalam praktikum ini, dapat dilihat adanya hasil
yang berbeda – beda satu sama lain, pada rendemen kitin I, didapatkan hasil yang paling
tinggi adalah pada kelompok C4 dengan perlakuan kulit udang + HCl 1 N + NaOH
3,5% + NaOH 50%, yaitu 41%, yang paling rendah adalah pada kelompok C1 dengan
perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 20%. Dapat
dilihat pada rendemen kitin II, ada persentase yang meningkat misalnya pada kelompok
C2 dan C5, dan ada juga yang menurun, pada kelompok C4 dan C6 dan bahkan ada
yang tetap, misalnya pada kelompok C1. Pada rendemen kitin II, yang paling tinggi
adalah kelompok C2 dan C5 yaitu 33,333%: dan yang paling rendah adalah kelompok
C4 yaitu 16,667%. Pada rendemen kitosan, didapatkan hasilnya menurun semua, yang
paling tinggi adalah pada kelompok C2 dengan perlakuan kulit udang + HCl 0,75 N +
NaOH 3,5% + NaOH 40%, yaitu 17,500% dan yang paling rendah adalah kelompok C1
dengan perlakuan kulitudang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu 7,843%.
Dapat disimpulkan bahwa setelah menjadi kitosan, persentase rendemen akan menurun,
dapat diasumsikan hal tersebut terjadi karena ada beberapa faktor. Dalam data tersebut,
tidak dapat dilihat pola perubahan pada masing – masing rendemen berdasarkan
perbedaan perlakuan terhadap masing – masing kulit udang yang diuji. Hasil dalam
praktikum ini tidak sesuai dengan teori Johnson dan Peterson (1974), bahwa dengan
semakin tingginya konsentrasi asam maka rendemen kitin yang didapatkan akan
menjadi semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena dengan semakin tingginya
konsentrasi asam dan basa maka ikatan protein dan mineral dengan kitin akan semakin
mudah dilepaskan dan didapatkan kitin dengan rendemen yang semakin besar. Hal yang
sama juga berlaku untuk kitosan. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya beberapa
8
kemungkinan salah satunya adalah menurut Fennema (1985), kitin yang dihasilkan bisa
jadi menghasilkan hasil yang kurang maksimal, salah satunya adalah karena
deproteinasi yang tidak sempurna, salah satunya adalah saat penetralan dan pencucian
dengan air, dan ada komponen yang terbuang bersama dengan air atau bisa jadi masih
ada mineral yang tertinggal saat demineralisasi yang mengganggu proses deproteinasi.
Ketidaksesuaian juga dapat terjadi karena pernyataan Hong et al(1989), bahwa apabila
penggunaan basa pada rendemen kitosan semakin tinggi, maka rendemen kitosan akan
menjadi semakin rendah yang disebabkan oleh adanya depolimerisasi rantai kitosan.
Depolimerisasi tersebut akan menyebabkan menurunnya berat molekul kitosan.
Menurut Johnson & Peniston (1982), suhu sangat mempengaruhi berat molekul kitin
dan kitosan, karena dapat memecah ikatan polimer dalam kitin dan kitosan. Sehingga
dapat diasumsikan bahwa ikatan polimer pecah karena penggunaan suhu hotplate yang
terlalu tinggi. Adapun salah satu solusi yang bisa kita lakukan. Menurut Angka &
Suhartono (2000) demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah dilakukan ekstraksi
protein, karena apabila proses demineralisasi dilakukan sebelum ekstraksi protein, maka
dapat terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral yang mengganggu
proses deproteinasi.
3. KESIMPULAN
Kitin dapat dihasilkan dari penggunaan kulit udang
Kitin dapat ditemukan di dalam cangkang hewan moluska, arthropoda, serangga
Kitosan merupakan produk turunan hasil deasetilasi kitin
Kualitas kitin dapat dilihat dari viskositasnya yang terus menurun dari waktu ke
waktu
Dalam pembuatan kitosan diawali dengan pembuatan kitin yang meliputi proses
demineralisasi dan deproteinasi
Untuk membuat kitosan, dilakukan deasetilasi kitin.
Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral dengan menggunakan
HCl
Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dengan menggunakan
NaOH
Deasetilasi dilakukan untuk membentuk kitosan dengan menggunakan NaOH
berkonsentrasi tinggi
Demineralisasi yang tidak sempurna akan mengganggu proses deproteinasi
Ada baiknya jika proses demineralisasi dilakukan setelah deproteinasi.
Semarang, 15 September 2014 Asisten dosenStella Gunawan
Rudyanto Kurniawan12.70.0168
9
4. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB.
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.
Bastaman S. (1989). Studies on degradation and extraction pf chitin and chitosan from Prawn shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
Hargono, Abdullah dan Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57.
Hartati, F. K.; T. Susanto; S. Rakhmadiono; dan L. Adi. (2002). Faktor-faktor yang Bepengaruh Terhadap Tahap Deproteinasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Biosain 2(1) April 2002.
Jiffy Paul P, Sharmila Jesline J.W & K. Mohan (2013) Development of chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The Manjang, Y., 1993, Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Khitosan, JurnalPenelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan, http://rudyct.topcities.com/pps702_7103 4/marganof.htm., 15 Desember 2007.
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydr Res273:235-242.
Mastuti W, Endang. (2005). Pengaruh Konsentrasi NaOH dan Suhu Pada Proses DeasetilasiI Khitin dari Udang. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/j-kim-4-1-12.pdf.
10
11
Md. Monarul Islama, Shah Md. Masumb, M. Mahbubur Rahmana, Md. Ashraful Islam Mollab, A. A. Shaikhc, S.K. Roya (2011) Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties
Ming-Tsung Yen a, Joan-Hwa Yang b, Jeng-Leun Mauc,(2009) Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells
Muzzarelli, R.A.A., (1985), ”Chitin in the Polysaccharides”, vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego.
Muzzarelli, RAA. (1997). Depolymerization of chitins and chitosans with hemicellulase, lysozyme, papain, and lipases. Di Dalam RAA. Muzzarelli dan MG Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc, Grottamare.
Nguyen Van Toan. (2014).Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Preatreatment
Nguyen Van Toan. (2014). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials.
No H.K dan S.P. Meyers. (1997). Preparation of chitin and chitosan. Di Dalam R.A.A. Muzzarelli dan M.G. Peter (ed). Chitin Handbook. European Chitin Soc., Grottamare
Prabandari, R.; A. Mangalik; J. Achmad; dan Agustina. (2005). Pengaruh Waktu Perebusan dari Dua Jenis Udang yang Berbeda Terhadap Kualitas Tepung Limbah Udang Putih (Peneus indicus) dan Udang Windu (Penaeus monodon). EnviroScieniteae 1 (1): 24-28.
Puspawati & Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Kosentrasi NaOH. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/j-kim-4-1-12.pdf.
Rochima, Emma; Sugiyono; Dahrul Syah; and M.T.Suhartono. (2004). Derajat Deasetilasi Kitosan Hasil Reaksi Enzimatis Kitin Deasetilase Isolat Bacillus papandayan K29-14. http:// resources .unpad. ac .id / unpad –content / uploads / publikasi_dosen/Makalah-1.Derajat....pdf.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Tokura (2006). Material Science of Chitin and Chitosan. Kodansha, Tokyo
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus perhitungan :
Rendemen kitin I = beratkeringb erat basah I
x 100%
Rendemen kitin II = beratkitinb erat basah II
x 100%
Rendemen kitosan = beratkitosanbera t basah III
x 100%
Hasil perhitungan:
Kelompok C1
Rendemen Kitin I = Berat KeringBerat Basah I
×100 %= 210
×100 %=20 %
Rendemen Kitin II = Berat Kitin
Berat Basah II×100 %=0,5
2,5×100 %=20 %
Rendemen Kitosan = Berat Kitosan
Berat Basah III× 100 %=0,4
5,1× 100 %=7,843 %
Kelompok C2
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,210
x 100 %=32 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,33 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100%=0,7
4x100 %=17,5%
Kelompok C3
Rendemen Kitin I¿beratkeringberatbasah I
x 100 %=2,410
x 100 %=24 %
12
13
Rendemen Kitin II¿beratkitin
beratbasahIIx100%=0,5
2,5x100 %=20 %
Rendemen Kitosan¿beratkitosan
beratbasah IIIx100 %=0,4
3,5x100 %=11,429 %
Kelompok C4
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=4,110
x100 %=41 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,4
2,4x100 %=16,66 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,2
1,7x 100 %=11,764 %
Kelompok C5
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=2,910
x100 %=29 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=1
3x100 %=33,333 %
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,5
3,5x 100 %=14,285 %
Kelompok C6
Rendemen Kitin I¿berat keringberat basah I
x 100 %=3,510
x100 %=35 %
Rendemen Kitin II¿berat kitin
berat basah IIx100 %=0,8
2,8x 100 %=28,571%
Rendemen Kitosan ¿berat kitosan
berat basah IIIx100 %=0,4
3,4x100 %=11,765 %
5.2. Jurnal
5.3. Laporan sementara
top related