konsep etika dalam aliran wringin seto di desa soko
Post on 15-Oct-2021
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSEP ETIKA DALAM ALIRAN WRINGIN SETO
DI DESA SOKO KECAMATAN JEPON
KABUPATEN BLORA
PROVINSI JAWA TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh :
M Aminuddin
NIM: 1113032100078
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./ 2017 M.
iv
ABSTRAK
M. Aminuddin
Judul Skripsi : “ Konsep Etika dalam Aliran Wringin Seto di Desa Soko
Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah”
Pergaulan hidup diperlukan seperangkat aturan atau norma yang
digunakan untuk mengatur bagaimana semestinya manusia menjalin sebuah
hubungan dalam sebuah masyarakat. Seperangkat aturan tersebut menghasilkan
sikap saling menghormati, sopan santun, dan tata krama. Seperangkat aturan
tersebut sering kali dinamakan dengan etika. Etika adalah aturan atau norma yang
dipergunakan oleh masyarakat untuk mengambil langkah dalam menjalani
kehidupan agar berhasil dalam hidupnya.
Penelitian ini dilakukan di Blora Jawa Tengah di sebuah kelompok
masyarakat penganut aliran kepercayaan Wringin Seto. Penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan
pengumpulan dokumen-dokumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan
antropologis dan sosiologis. Keduanya berhubungan dengan perilaku individu
antara satu dengan lainya, antara kelompok dengan kelompok dan berkaitan
dengan pola keberagamaan seperti tradisi, ritual dan adat istiadat.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana etika dan implementasinya
dalam keseharian penganut Wringin Seto. Melalui wawancara dan observasi
diketahui bahwa etika dalam wringin seto terbagi menjadi tiga macam. Pertama,
etika berkeluarga. Keluarga adalah bagian dasar dari tolak ukur etika. Karena
fungsi keluarga sangat pokok untuk penanaman etika usia dini dengan menjalin
hubungan antara ayah, ibu dan anaknya. Kedua, etika bermasyrakat. Cakupan
sedikit melebar dari sebelumnya karena di sini setiap individu harus beretika
menurut pribadinya sendiri, mengatur hubungan antara satu sama lainya supaya
terciptanya hubungan yang harmonis di dalam sebuah masyrakat. Ketiga, etika
bernegara. Dalam hal ini etika sudah sangatlah meluas karena kita tidak disatukan
atas dasar ras, bahasa, budaya ataupun agama, tetapi atas dorongan rasa
nasionalisme terhadap bangsa.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT semata yang semoga
selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis. Segala syukur
senantiasa penulis panjatkan atas segala nikmat sehat dan beragam nikmat
lainnya. Dengan syukur kepada Allah Yang Maha Esa maka semoga menjadi
penghapus kesalahan dan ditambahkannya nikmat oleh Allah SWT. Berkat izin
dan karunia-Nya, penulis bisa mempersembahkan skripsi yang sederhana ini
sebagai syarat memperoleh gelar sarjana.
Tak lupa juga salam serta sholawat terus saya lantunkan secara spesial
teruntuk baginda Nabi Muhammad S.A.W semoga kelak kita termasuk umat yang
mendapat syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tentunya jauh dari kata sempurna
sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kemajuan pendidikan di masa yang akan datang. Selanjutnya dalam penulisan
skiripsi ini penulis banyak diberi bantuan oleh berbagai pihak. Terima kasih
penulis haturkan kepada:
1. Bapak, Ibu dan saudara-saudara penulis yang tidak pernah padam
dalam melimpahkan kasih sayangnya mulai dari kecil sampai
waktu yang tak terkira, semoga orang tua dan sanak saudara dari
penulis selalu mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT. Bapak
dan Ibu yang selalu memberikan semangat, motivasi, kasih sayang,
vi
dan doa yang tulus untuk kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat-Nya dan memberikan umur panjang pada
mereka.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Media Zainul Bahri, MA selaku Ketua Jurusan Studi Agama-
agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dra. Halimah SM, M. Ag Selaku Sekertaris Jurusan Studi Agama-
agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Dr. Hamid Nasuhi, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi, atas
kesabaran dan ketelitiannya dalam membimbing penulis. Beliau
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan
kesabaran dalam memberikan arahan, motivasi serta bimbingan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr. Ahmad Ridho, DESA, selaku Penasehat Akademik yang
memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan dengan baik.
8. Seluruh dosen diprogram Studi Agama-Agama yang telah
mendidik penulis dan mencurahkan segala ilmunya.
vii
9. Seluruh staf di Jurusan Studi Agama-Agama, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Kepala Desa Soko pak Mulyono dan mbak Sarti selaku perangkat
desa dan juga staff yang bertugas di Kelurahan Desa Soko
Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah dan
Rizqi Bachtiar yang menemani selama penelitian.
11. Ketua Pusat kekadangan Wringin Seto: Ign. Untung sadimin B. Sc.,
Penuntun Penerus : Eka Agus Tijana Budi, Penuntun Cabang
Rembang : Mbah Daman, Ketua Cabang Rembang: Pak Suroso
dan para anggota penghayat kepercayaan Wringin Seto.
12. Kepada sahabat IKAMARU, Kang Arif, Kang Purnomo, Kang
Salman, Kang Widodo, Kang Arifin, Ilham, Hakim beserta anggota
lainnya.
13. Untuk sahabat terdekat penulis Fahad Muhammad Al-Faruq,
Shawin Bugi Pangestu, Siti Kusniyatus Sayyidah, Oktavia
Damayanti, Achmad Teddy Anwar, Ismail Sholeh, Abuzar,
Saniman dan rekan-rekan Studi Agama-Agama kelas A dan B
angkatan 2013 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
14. Dan kepada semua orang yang mengajarkan penulis tentang
pelajaran dan perjalanan hidup, terima kasih atas ilmu dan
pengalaman yang diberikan.
Jakarta, 22 November 2017
M Aminuddin
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 9
C. Tujuan penelitian................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 9
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10
F. Metodologi Penelitian .......................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 16
BAB II SEJARAH ALIRAN KEPERCAYAAN WRINGIN SETO
A. Letak Geografis dan Demografis Desa Soko ....................................... 18
B. Aliran Kepercayaan dan Sejarahnya .................................................... 22
C. Riwayat Pendiri Wringin Seto ............................................................. 27
D. Persebaran Wringin Seto ...................................................................... 31
E. Lambang dan Makna Wringin Seto…………........………………..... 33
F. Tradisi Aliran Wringin Seto ................................................................ 38
BAB III KEPERCAYAAN ALIRAN WRINGIN SETO
A. Konsep Ketuhanan dalam Aliran Wringin Seto ................................... 42
B. Konsep Alam Semesta dalam Aliran Wringin Seto ............................. 45
ix
C. Konsep Manusia dalam Aliran Wringin Seto...................................... 47
D. Konsep Kesempurnaan dalam Aliran Wringin Seto............................ 50
E. Ritual-Ritual dalam Wringin Seto....................................................... 52
BAB IV KONSEP ETIKA DALAM ALIRAN WRINGIN SETO DAN
IMPLEMENTASINYA
A. Pengertian Etika ................................................................................... 59
B. Pandagangan Wringin Seto tentang Etika ............................................ 64
C. Penanaman Nilai Budi Luhur dalam Wringin Seto.............................. 67
D. Macam-Macam Etika dalam Wringin Seto..........………………….... 69
E. Contoh Sikap Pengimplementasian Ajaran Etika dalam Keseharian
Penganut Wringin Seto......................................................................... 72
F. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Etika dalam Wringin Seto.......... 73
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 74
B. Saran .................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 76
LAMPIRAN.................................................................................................... 80
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ...................................................................................................... 80
Surat Izin Penelitian ............................................................................ 80
Surat Bukti Penelitian dari Desa ......................................................... 81
Lampiran 2 ...................................................................................................... 82
Bukti Wawancara ................................................................................ 82
Lampiran 3 ...................................................................................................... 87
Pertanyaan Wawancara ....................................................................... 87
Lampiran 4 ...................................................................................................... 88
Hasil Wawancara Eka Agus Tijana Budi ........................................... 88
Hasil Wawancara Ign. Untung Sadimin B. Sc .................................... 90
Hasil Wawancara Pak Suroso .............................................................. 93
Hasil Wawancara Mbah Daman .......................................................... 95
Lampiran 5 ....................................................................................................... 98
Foto Kegiatan Lapangan ...................................................................... 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan agama menjadi hal menarik untuk diulas di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang semakin modern ini. Agama menjadi hal yang sangat
penting karena menjadi pedoman bagi setiap pemeluknya dalam era globalisasi.
Di satu sisi, agama memiliki peranan positif, di mana agama dinilai mampu
berperan sebagai pembangun dan kontrol sosial serta moral dalam kehidupan
manusia. Namun di sisi lain agama juga memiliki fungsi negatif, keberadaan
agama misalnya justru dijadikan sebagai dasar kebencian, ketidakadilan,
pembunuhan, kekerasan dan kejahatan-kejahatan lain oleh pihak-pihak yang
mengatasnamakan agama.
Manusia selalu diwarnai dengan kepercayaan terhadap Tuhan. Kebenaran
ungkapan ini dibuktikan dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai
kepercayaan dan agama yang dianut dan dipeluk oleh umat manusia (Homo
Sapiens) yang hidup dari masa pra sejarah sampai zaman modern ini.1
Kepercayaan manusia sangat beragam, begitu juga dalam kepercayaan
beragama. Banyak sekali jenis agama tersebar dalam kehidupan manusia. Selain
agama ada juga bentuk kepercayaan manusia dalam bentuk yang bisa dibilang
bukan sebagai agama atau sering disebut dengan istilah aliran kepercayaan,
penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan yang di Indonesia oleh Pemerintah
sudah diperhatikan dan mendapat pembinaan oleh Direktorat Pembinaan
1K. Sukarji, Agama-Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya (Bandung: CV
Angkasa, 2007), h. 38.
2
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan sejak tahun 1980.2
Menurut Dr. Harun Hadiwijono kemunculan aliran kebatinan di Indonesia
dipengaruhi oleh krisis moral yang terjadi pasca kemerdekaan. Aliran kebatinan
muncul ke permukaan dengan menawarkan solusi bagi bangsa Indonesia untuk
pembaruan moral menuju arah yang lebih baik seperti yang diterbitkan oleh BKKI
(Badan Kongres Kebatinan Indonesia) bertujuan atas dasar semangat “sepi ing
pamrih rame ing gawe, memayu hayuning bawono”. Secara garis besar
kesempurnaan hidup berada pada semangat cinta kasih untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia tanpa memandang agama dan kepercayaan,
membangkitkan budi pekerti luhur, meningkatkan kesucian jiwa, dan meyakini
bahwa nurani adalah dasar dalam segala aspek kehidupan.3
Keberadaan aliran kebatinan di Jawa tidaklah ada dengan sendirinya akan
tetapi harus dilihat bahwa pulau Jawa termasuk daerah tempat pertemuan
kebudayaan asli setempat dengan kebudayaan Hindu dan Islam. Sebelum orang-
orang Hindu datang, orang Jawa telah mempunyai kepercayaannya sendiri
sehingga bisa dikatakan bahwa kebatinan Jawa mempunyai 4 unsur, yaitu unsur-
unsur agama asli, unsur-unsur agama Hindhu dan Budha, unsur-unsur agama
Islam, dan pengolahan Jawa atas ketiga unsur tersebut.4 Jadi jika dilihat dari
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Teknis Pembinaan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebijaksanaan Teknis Operasional Direktorat
Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Jakarta:Depdikbud,1990),
h. v. 3Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 3.
4Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 12-13.
3
unsur-unsur pembangun kebatinan tersebut bisa diketahui bahwa lahirnya
kebatinan Jawa adalah proses sinkretisasi dari unsur-unsur tersebut.
Istilah “Kebatinan” tidak begitu disukai oleh para pengikutnya. Adapun
istiliah yang lebih disukai ialah “kepercayaan”, guna membedakannya dengan
agama.5 Keberadaan aliran kebatinan atau kepercayaan masyarakat sudah diakui
semenjak lama di Indonesia. Tercantum dalam GBHN tahun 1978, yang diwadahi
dalam sayap kata “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa”. Memang mayoritas
masyarakat beranggapan aliran kepercayaan bukan sebuah agama dan mungkin
tidak akan menjadi agama baru, tetapi dalam kenyataannya, aliran kebatinan telah
menjadi alternatif sebagai pelarian masyarakat yang lebih merasa aman untuk
tidak beragama.6
Kebatinan dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya suku
Jawa. Kebatinan yang merupakan hasil pemikiran dari angan-angan manusia
menimbulkan suatu aliran kepercayaan bagi penganutnya dengan melakukan
ritual-ritual tertentu dalam usaha mencapai ketenangan jiwa dan kesempurnaan
hidup.
M.M. Djojodiguna mengklasifikasikan aliran kebatinan menjadi empat
golongan. Pertama, golongan yang menggunakan ilmu gaib. Kedua, golongan
yang berusaha mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan. Ketiga, golongan
yang berniat mengenal dari mana asal hidup manusia ini dan ke mana hidup itu
5Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa, h. 9.
6Ranhip, Aliran-Aliran Kepercayaan (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1.
4
akhirnya. Keempat, golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia
ini.7
Dalam perkembangannya, di Jawa muncul banyak sekali aliran kebatinan
contohnya Pangestu, Subud, Sapta Dharma, Ki Ageng Surya Mentaram,
Paguyuban Sumarah, Bratakesawa, Wringin Seto dan lain-lain.
Aliran kebatinan mempunyai ajaran yang berkisar pada tiga kosep dasar
yaitu kosep Tuhan, konsep manusia dan konsep mistik. Mengenai konsep Tuhan
dalam aliran kebatinan umumnya sangat sederhana. Konsep ketuhanan hanya
dipahami sebatas Dzat yang menciptakan, mengatur, dan sumber segala sesuatu.
Tidak seperti konsep agama-agama yang sangat mendalam dan kompleks seperti
contohnya perbedabatan dalam Teologi kalam dan lain sebagainya. Konsep
manusia dalam aliran kebatinan mencakup jasmani dan rohani yang dikaitkan
dengan hubungan antara manusia dan Tuhan, yang salah satunya adalah
peningkatan rohani manusia agar dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan dengan
cara menekankan perilaku yang mengarah kepada perbuatan budi pekerti luhur
dan etika, menjauhkan dari perbuatan nafsu negatif, dan lebih memelihara
kesucian hati atau batin. Konsep mistik dalam aliran kebatinan berkaitan dengan
konsep manusia dalam aliran masing-masing yang tidak lepas dari unsur-unsur
sinkretisme.8
Salah satu aliran yang berada di tanah Jawa ialah Kekadhangan Wringin
Seto yang bertempat di puncak Bukti Soko, Desa Soko Kecamatan Jepon,
7Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 81. 8Sinkretisme adalah suatu proses percampuran dari berbagai paham-paham atau aliran-
aliran agama atau kepercayaan.
5
Kabupaten Blora Jawa Tengah. Organisasi Wringin Seto didirikan di Solo pada
tanggal 8 September 1895 Masehi. Pendirinya adalah Eyang Amiseno dan
Amiluhur, keduanya hidup pada tahun 1818 (1895 M) sampai 1915.9
Wringin Seto diambil dari dua kata yaitu Wringin, artinya pohon beringin
yang memiliki makna filosofi bahwa pohon beringin yang berukuran besar bisa
digunakan banyak orang tempat berteduh di bawahnya. Kata Wringin dalam nama
Wringin Seto menyimbolkan bahwa aliran kepercayaan Wringin Seto bisa
menjadi tempat perlindungan, bernaung, meminta pertolongan tanpa perduli
statusnya, agamanya, maupun latarbelakangnya tanpa harus beralih menjadi
penganut Wringin Seto, karena menjadi penganut Wringin Seto dikembalikan
pada pilihan masing-masing individu. Hal ini menandakan bahwa Wringin Seto
terbuka bagi siapa saja dan siap membantu mereka yang membutuhkan
pertolongan. Sedangkan Seto berarti putih, maknanya bergerak ke arah kebaikan
atau kesucian. Jadi Wringin Seto sebagai nama kekadhangan penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mengajak kepada yang berlindung
untuk mengenal, menghayati, dan mengamalkan ajaran ketuhanan.10
Wringin Seto mempunyai tiga ajaran utama secara garis besar, yaitu ajaran
teologi tentang Tuhan Yang Maha Esa, ajaran kosmologi yaitu tentang alam
semesta, dan ajaran tentang manusia.
9Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 1. 10
Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017.
6
Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ialah keyakinan tentang Tuhan
sebagai sebab pertama dari adanya sesuatu yang selamanya ada atau abadi, yang
hanya ada satu, yang merupakan asal muasal dan tujuan akhir segala sesuatu serta
tidak berubah, tidak terbatas, Dzat mutlak, dan sebagai pengatur ketertiban alam.
Dari penjelasan singkat tersebut bisa dipahami bahwa pemahaman Wringi Seto
tentang Tuhan sangatlah sederhana.11
Ajaran kosmologi Wringin Seto menjelaskan bahwa alam semesta dan
segala sesuatu yang ada di dalamnya dapat terjadi karena disebabkan oleh suatu
hal yang keberadaannya tidak disebabkan oleh hal yang lain atau bisa disebut
penyebab tersebut ialah Tuhan sebagai penyebab pertama yang tidak
disebabkan.12
Ajaran tentang manusia menurut Wringin Seto bahwa manusia adalah
entitas monopluralis yang majemuk tapi sarwa tunggal, bertubuh dan berjiwa,
berakal dan berkehendak. Manusia merupakan makhluk sosial yang berkedudukan
pribadi berdiri sendiri sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kebutuhan jasmani
dan rohani.13
Selain tiga konsep di atas, sebagaimana umumnya aliran kepercayaan juga
memiliki kegiatan ritual. Dalam hal ini, Wringin Seto mengajarkan tuntunan ritual
sebagai berikut: Pengelolaan tata laku dasar yaitu dengan cara mendaki puncak-
11
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 5. 12
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 9. 13
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 7.
7
puncak bukit, berziarah ke tempat-tempat para leluhur, dan latihan konsentrasi
dengan melakukan pernapasan dan pengosongan pikiran dengan cermat dan teliti.
Selain itu ada juga tata cara mandi khusus yang wajib dilakukan oleh para
penganut Wringin Seto dalam jam-jam tertentu dan hari-hari tertentu. Terdapat
juga upacara pujian yang biasa dilaksanakan setiap malam pada pukul 24.00 WIB
atau tengah malam.14
Dalam interaksi sosial, masyarakat Wringin Seto mempunyai ajaran
tersendiri dalam beretika yang disebut dengan tiga fungsi manusia. Sebagaimana
terdapat dalam buku pedoman moral Panca Budhi Barata:
1. Makhluk yang bermoral artinya Manusia berketuhanan yang maha Esa,
berdarma bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya sepenuh-penuhnya
bahkan seyakin-yakinnya dan selalu ingat dan taat kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Makhluk indidual artinya berdarma bakti kepada diri pribadi dan keluarga.
3. Makhluk sosial artinya manusia harus mengerti dengan sejelas jelasnya
bahwa manusi hidup di dunia ini atas welas asih-Nya dan kehendak-Nya
supaya menjadi masyarakat yang teratur harmonis dan berbakti kepada-
Nya.15
Sebagaimana ketiga gambaran manusia tersebut, maka Wringin Seto juga
menekankan ajaran bahwa etika sebagai cerminan budi luhur pada seseorang.
Sebagaimana orang Jawa pada umumnya, nilai etika akan memberi rambu-rambu
apakah tindakan orang Jawa sudah tepat atau tidak. Biasanya sikap dan tindakan
14
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Santi Aji Wigati Manusia Tanpa Berketuhanan
Tiadalah Ketentraman Hidup (Blora, Jawa Tengah), h. 61-62 15
Ign. Untung S, B. Sc., Pedoman Moral Panca Budhi Barata,(Blora:2005), h. 6.
8
yang dirasa tepat ditandai dengan timbulnya kenyamanan untuk masyarakat secara
umum, dan pihak yang terkait secara khusus.
Dalam kehidupan sehari-hari, etika adalah istilah yang acap kali kita
dengar. Hal ini karena etika dipandang sebagai peraturan kehidupan sehari-hari di
tengah masyarakat yang tak tertulis dan ditaati, meski tidak ada sanksi atau
hukuman bagi pelanggarnya. Dalam KBBI etika diartikan dalam tiga pengertian:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
tentang kewajiban moral (akhlaq).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut dalam masyarakat.16
Makna etika dalam masyarakat sangatlah kompleks. Etika meliputi sebuah
konstruksi sosial, budaya, keyakinan, dan pandangan hidup secara total. Bahkan
etika Jawa juga terkait dengan wawasan gender, usia, status, kedudukan, dan lain-
lain.17
Etika merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat Jawa, dan Kekadhangan Wringin Seto merupakan bagian dari
masyarakat Jawa dengan kepercayaannya tersendiri, sehingga melahirkan corak
etika yang dipengaruhi oleh kepercayaan mereka. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk meneliti konsep etika yang diajarkan dalam aliran Wringin Seto. Maka dari
itu, judul penelitian yang diangkat penulis adalah, “Konsep Etika dalam Aliran
Wringin Seto di Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah”.
16
K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 4. 17
Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam Menjalani
Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: NARASI, 2010), h. 13.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan agar penelitian ini lebih
fokus, penulis akan membatasi ruang lingkup pembahasan, yaitu bagaimana
konsep etika dalam aliran kepercayaan Wringin Seto. Sedang rumusan masalah,
penulis memfokuskan kepada masalah yaitu:
1. Bagaimana konsep etika menurut aliran Wringin Seto di Desa Soko
Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah?
2. Bagaimana pengimplementasian konsep etika Wringin Seto dalam
kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab masalah di atas:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep etika menurut aliran Wringin
Seto di Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah
2. Untuk mengetahui Bagaimana implementasi konsep etika dalam
keseharian Wringin Seto
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan untuk meraih gelar Sarjana Agama
(S.Ag) dalam Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin (UIN)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat teoritis
10
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
atau memperkaya konsep-konsep, teori-teori terhadap ilmu pengetahuan
dari hasil penelitian yang sesuai dengan bidang ilmu. Suatu penelitian
secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
memperkaya wawasan tentang etika dalam aliran Wringin Seto.
3. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat memahami tentang
ajaran etika menurut aliran Wringin Seto.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis hanya menemukan satu karya ilmiah dalam bentuk tesis yang
mengangkat objek kajian Wringin Seto. Tesis itu berjudul “Menjadi Manusia
Berketuhanan Melalui Wewarah Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap
Fungsi Institusi Agama Katolik dalam Usaha Pendalaman Penghayatan Umatnya
Berelasi dengan Yesus”. Tesis ini ditulis oleh Yuventius Fusi Nusantoro dari
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang tahun 2000. Dalam
penelitian tersebut dibahas tentang konsep mistik atau kajian esoteris menurut
Kekadhangan Wringin Seto yang dikomparasikan dengan ajaran esoteris dalam
Katolik. Yang di dalamnya membahas bagaimanakah Kekadhangan Wringin Seto
ini membantu para penghayatnya dalam memenuhi kerinduan sebagai manusia
untuk mencari Tuhan dan sejauh manakah agama Katolik dapat terilhami dari
Wringin Seto dalam usaha tersebut.
11
Perbedaan antara tesis tersebut dengan penelitian yang akan penulis
lakukan ialah penulis hanya akan melakukan penelitian tentang konsep etika
dalam ajaran kekadhangan yang diimplementasikan dalam keseharian mereka.
Persamaan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan tesis
tersebut ialah sama-sama memasukkan pembahasan tentang ajaran Wringin Seto
secara garis besar seperti konsep ketuhanan manusia dan kosmologi. Akan tetapi
dalam penelitian ini konsep etika akan lebih ditonjolkan sebagaimna judul yang
penulis angkat.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang peneliti ambil adalah penelitian lapangan
yang bersifat kualitatif. Penelitan kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.18
2. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan antropologis
dan sosiologis. Pendekatan ini lebih untuk melihat pengaruh agama dalam
kehidupan sosial masyarakat. Antropologi sosial agama berkaitan dengan
soal-soal upacara, kepercayaan, tindakan dan kebiasaan yang tetap
(everyday life) dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan, yang
menunjuk pada apa yang dianggap suci dan supernatural. sekarang
terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti
18
Lexy J. Meolong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), h. 4.
12
masyrakat primitif melainkan juga masyarakat yang komplek dan maju,
menganalisis simbolisme dalam agama dan mitos, serta mencoba
mengembangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan
mitos. Antropologi pada kajian agama memandang agama sebagai
fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya
tentang kebiasaan, peribadabatan dan kepercayaan dalam hubungan-
hubungan sosial.19
Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropologi dalam
meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan kebudayaan. Yaitu melihat
agama sebagai inti kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud
dalam kehidupan masyarakat.20
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori antropologi
Clifford Geertz yang menyatakan bahwa pendekatan antropologi adalah
penafsiran ilmiah yang dipesan dalam penelitian untuk mengartikan
kebudayaan melalui analisis sistematik, dan mempelajari makna
kemanusiaan dalam bentuk simbol-simbol. Segala bentuk upacara
keagamaan, dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya baik
berupa simbol, tindakan dan pikiran manusia dalam kehidupanya dalam
masyarakat, tidak lain adalah manifestasi kebudayaan.21
19
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 62. 20
U. Maman KH., M.SI, metodologi Penelitian Agama : Teori dan Praktik (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 94. 21
Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M. A, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa
Aulia, 2007), h. 97.
13
Pendekatan sosiologis yang dipakai dalam penelitian ini ialah
penelitian sosiologis dalam hal aspek sosial agama yang berkaitan dengan
kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan serta perilaku individu
dalam kelompok-kelompok tersebut. Dalam aspek kelompok dan lembaga
keagamaan yaitu menyangkut tentang sekte atau ormas keagamaan, maka
dalam penelitian ini berkaitan dengan objek kekadhangan Wringin Seto
sebagai kelompok penganut kepercayaan. Sedangkan aspek perilaku
individu dalam hubungannya dengan kelompok keagamaan yaitu tentang
perilaku individu yang dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya terkait
dengan simbol atau doktrik kepercayaan tertentu yang dalam penelitian ini
digunakan sebagai pendekatan untuk melihat gejala sosial dalam
kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh kepercayaan tertentu, salah
satunya adalah Wringin Seto yang akan penulis angkat dalam penelitian
ini.22
3. Sumber Data
A. Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh peneliti
dari hasil penelitian atau observasi lapangan pada lokasi
penelitian, serta dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan
secara resmi oleh Kekadhangan Wringin Seto. Data primer
diperoleh dari hasil pengamatan, pemahaman, dan wawancara
dengan masyarkat dan tokoh Wringin Seto.
22
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, h. 61.
14
B. Data sekunder adalah data penunjang data primer, data yang
diperoleh dari skirpsi, tesis, buku-buku, jurnal penelitian dan
buku-buku yang berhubungan dengan Wringin Seto.
4. Teknik Pengumpulan Data
A. Observasi
Observasi adalah salah satu metode utama yang terpenting
dalam penelitian sosial keagamaan terutama pada penelitian
kualitatif. Observasi merupakan metode pengumpulan data yang
paling alamiah dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam
dunia keilmuan tetapi juga di dalam berbagai aktifitas kehidupan.
Observasi bermakna umum yaitu pengamatan atau
penglihatan sedangkan secara khusus, dalam dunia penelitian
ilmiah, observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka
memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena
sosial keagamaan baik itu berupa kejadian-kejadian, benda maupun
simbol-simbol tertentu selama beberapa waktu tanpa
mempengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan melakukan
kegiatan pencatatan, perekaman pemotretan sebagai hasil temuan
data analisis.23
B. Interview atau Wawancara
Interview atau wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan cara tanya jawab yang dilakukan untuk
23
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, h, 167
15
mendapatkan hasil penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
data langsung dari sumber-sumber yang dianggap kompeten dan
memiliki informasi serta data-data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan di Blora
Jawa Tengah bertempat di pusat Wringin Seto.
C. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data yang didapat dari
dokumen-dokumen, catatan-catatan, video-video atau foto-foto
yang berkaitan dengan penyusunan skripsi.
D. Analisis Data
Analisis data yang penulis gunakan adalah metode
desktiptif analitik, yaitu metode yang dilakukan dengan cara
menguraikan sekaligus menganalisis data-data yang menjadi hasil
pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian. Metode
deskriptif lebih banyak berkaitan dengan kata-kata, di mana semua
data-data hasil penelitian diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa,
baik lisan maupun tulisan. Kemudian, data-data yang berbentuk
bahasa ini dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian sehingga
menghasilkan kesimpulan.24
Dengan mendeskripsikan dan menganalisa, penulis
berharap dapat memberikan gambaran secara maksimal atas objek
penelitian yang dikaji dan di dalami dalam penelitian ini. Hasil
24Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 337.
16
kajian dan penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk
narasi.
E. Teknik Penulisan
Penulis dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang
diterbitkan oleh Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan ini diajukan untuk memberikan sebuah gambaran
secara garis besar yang penulis kemukakan dalam tiap-tiap bab agar
mempermudah pembahasan. Skripsi ini akan disusun menjadi lima bab:
Bab I: Bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II: Bab ini akan menjelaskan tentang profil dan letak geografis
masyarakat Wringin Seto di Blora. Pada bab ini akan
dijelaskan tentang pengertian Wringin Seto, riwayat pendiri
ajaran Wringin Seto, sejarah singkat Wringin Seto, letak
geografis, demografis dan tradisi dalam aliran Wringin seto
di Blora.
17
BAB III: Bab ini akan membahas tentang kepercayaan penganut
penghayat Wringin Seto. Di antara pembahasan pada bab
ini adalah pembahasan ketuhanan menurut Wringin Seto,
konsep alam menurut Wringin Seto, Konsep manusia
menurut Wringin Seto, serta upacara dan ritual pada
penganut penghayat Wringin Seto.
BAB IV: Bab ini akan membahas tentang etika menurut ajaran
Wringin Seto. Pada bab ini akan dijelaskan konsep etika
dalam ajaran Wringin Seto, pandangan Wringin Seto
tentang etika, usaha dalam penanaman budi luhur,
pengimplementasian ajaran etika dalam Wringin Seto pada
kehidupan sehari-hari, dan konsekuensi bila tidak beretika.
BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
dari seluruh kajian dalam skripsi ini, dan saran-saran yang
sifatnya membangun dari penulis.
18
BAB II
SEJARAH ALIRAN KEPERCAYAAN WRINGIN SETO
A. Letak Geografis dan Demografis Desa Soko
A. Letak Geografis
Wringin Seto merupakan aliran kepercayaan yang berada di Puncak
Bukit Soko, tepatnya di Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Desa Soko berada di sebelah utara pusat Pemerintahan
Kecamatan Jepon berjarak 10 km dan sekitar 15 km dari pusat
Pemerintahan Kabupaten Blora dengan waktu tempuh sekitar 1 jam dengan
menggunkan kendaraan bermotor.1
Letak Desa Soko berada di atas Puncak Bukit Soko dengan batas
wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Waru
2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Jurangjero
3. Sebalah selatan berbatasan dengan Desa Jatirejo
4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tempuran.
Luas wilayah berdasarkan Hak Pemilikan tanah dibagi menjadi 2
bagian
1. Tanah Hak Milik penduduk seluas 254,3 Ha
2. Tanah Hak Milik Desa seluas 1,9 Ha
1Data Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Jawa Tengah Bulan Mei 2017
19
Sedangkan luas wilayah Desa Soko Kecamatan Jepon sebagai berikut:
1. Luas Wilayah; 256,2 Ha
2. Tanah Sawah; 63,59 Ha
3. Tanah Tegalan; 112,11 Ha
4. Tanah Pekarangan; 14,5 Ha
5. Tanah Hutan; 60 Ha
6. Tanah Lain-lain; 6 Ha
PETA DESA SOKO KECAMATAN JEPON
20
B. Kondisi Demografis
No Dukuh RW RT
1 Jegolan 01 1
2 Karangasem 01 2
3 Banyubanger 01 3
4 Watumalang 01 4
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Desa Kelurahan Soko mempunyai
dukuh sebanyak 4 RT dan 1 RW yang masing-masing RT dipimpin oleh ketua RT
dan satu ketua RW.
Jumlah penduduk Desa / Kelurahan Soko berdasarakan laporan penduduk
bulan Mei 2017.
Penduduk berdasarkan umur
No Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 00 s/d 04 17 12 29
2 05 s/d 09 25 29 54
3 10 s/d 14 30 36 66
4 15 s/d 19 34 39 73
5 20 s/d 24 26 19 45
6 25 s/d 29 22 29 51
7 30 s/d 34 38 40 78
8 35 s/d 39 36 45 81
9 40 s/d 44 27 30 57
21
10 45 s/d 49 31 31 62
11 50 s/d 54 32 35 67
12 55 s/d 59 27 33 60
13 60 s/d 64 15 10 25
14 65 s/d 69 13 12 25
15 70 keatas 11 22 34
JUMLAH 384 422 806
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah penduduk berdasarkan
umur Kelurahan Soko adalah 806 jiwa, dengan rincihan penduduk laki-laki
berjumlah 384 jiwa dan perempuan berjumlah 422 jiwa.
Penduduk Berdasarkan Agama dan Aliran Kepercayaan
JENIS AGAMA JUMLAH
PENGANUT
RUMAH IBADAH
ISLAM 78 9
KRISTEN 18 1
ALIRAN
KEPERCAYAAN
6 1
Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
PEKERJAAN JUMLAH
Belum bekerja 99
Buruh harian lepas 1
22
Karyawan Swasta 15
Kepala Desa 1
Ibu Rumah Tangga 186
Pekerjaan lainya 1
Pelajar 154
Pembantu Rumah Tangga 2
Pendeta 2
Perangkat Desa 7
Pedagang 6
Petani 247
Pegawai Negri Sipil 8
Wirasawasta 77
Jika dilihat dari tabel di atas jumlah dengan mata pencaharian terbanyak
adalah petani, karena sebagian besar luas wilayah Desa Soko Kecamatan Jepon
merupakan ladang atau sawah.
B. Aliran Kepercayaan dan Sejarahnya
Bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang pluralistik dan berasaskan
Pancasila, tepatnya pada sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa. Gambaran
tersebut ditampakkan dalam bentuk keanekaragaman adat istiadat, bahasa, agama,
dan sebagainya.
Salah satu daerah di Indonesia yang menjadi tempat berkembangnya aliran
kebatinan adalah pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau yang terdapat banyak
kepercayaan yang tumbuh dan berkembang. Konsep teologi dan eskatologi yang
23
masuk ke tanah Jawa mempunyai peranan penting dalam munculnya kebatinan di
Indonesia.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara etimologi
mengandung arti menganggap benar, mengakui dengan kesungguhan serta
meyakini terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang mengatur kehidupan
alam semesta beserta isinya. Pemaknaan terhadap arti dari percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa hanya dapat diresapi dengan jalan penghayatan secara
mendalam.2
Dengan demikian aliran kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai kesadaran batin, rohani, atau kejiwaan
dalam bentuk perilaku budaya yang tidak terpisahkan dengan nilai leluhur budaya
bangsa.
Prof. Kamil Kartapradja menggolongkan aliran kepercayaan ke dalam dua
jenis3, yaitu:
1) Golongan kepercayaan yang sifatnya sederhana (tradisional) dan
animistis, yaitu golongan kepercayaan yang tidak mempunyai filosofi
dan tidak mempunyai ajaran mistik, sehingga kepercayaan yang diyakini
tersebut dinilai sederhana. Contoh di antaranya adalah kepercayaan
Parmalim dan Pelebegu di Tapanuli.
2) Golongan kepercayaan yang mempunyai ajaran filosofi dan juga ajaran
mistik. Sehingga sistem kepercayaannya jauh lebih kompleks dan
2Hertoto Basuki, Mengenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa laku hidup
dalam : Managemen Manunggaling Kawulo Gusti, (2013), h. 19. 3Kamil Kartapraja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia ( Jakarta; Yayasan
Masagung, 1985), h. 118.
24
mendalam dibanding kepercayaan yang tradisional. Dalam
perjalanannya, golongan kepercayaan ini lebih dikenal dengan golongan
kebatinan.
Menurut keputusan Direktur Jenderal Kebudayaan Nomor: 021/AI/1980,
definisi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbunyi: “Kepercayaan
terhadap Tuhan YME adalah budaya spiritual yang berunsurkan tuntunan luhur
dalam wujud perilaku, hukum, dan ilmu suci, yang dihayati oleh penganutnya
dengan hati nurani dalam kesadaran keyakinan terhadap Tuhan YME, dengan
membina keteguhan tekad dan kewaspadaan batin serta menghaluskan budi
pekerti dalam tata pergaulan menuju kebersihan jiwa dan kedewasaan rohani,
demi mencapai kesejahteraan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di alam yang
kekal.4
Dalam sarasehan penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tingkat
Nasional tahun 1981, penghayat kepercayaan mempunyai definisi tersendiri
bahwa “ kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah pernyataaan dan pelaksanaan
hubungan pribadi dengan Tuhan berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan
perilaku ketakwaan atau peribadatan serta pengamalan budi luhur”.5
Menurut Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) di Solo tahun 1956
menyatakan bahwa aliran kebatinan adalah sumber asas sila ketuhanan Yang
Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.6
4Hertoto Basuki, Mengenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa laku hidup
dalam : Managemen Manunggaling Kawulo Gusti , h. 24. 5Hertoto Basuki, Mengenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa laku hidup
dalam : Managemen Manunggaling Kawulo Gusti, h. 25. 6Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa, h.
85.
25
Sejarah aliran kepercayaan dimulai pada perkembangan kepercayaan asli
Indonesia yang bertemu dengan paham dari luar yang beragam. Agama asli di
Indonesia menurut antropologi dibagi menjadi dua. Pertama, agama asli sebagai
jenis murni terutama terdapat pada suku-suku bangsa yang dikenal dengan nama
Protomelayu. Kelompok ini meliputi suku-suku di wilayah Nias, Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi. Kedua, kelompok Deteromelayu. Kebudayaan dan
agama asli mereka pada umumnya terdapat dalam keadaan tercampur. Kelompok
Deteromelayu ini meliputi semua suku di wilayah Sumatra, Jawa, Madura,
Bawean, Bali, Lombok dan Sumbawa.7
Kemudian pada abad ke 6 masehi, Agama Hindu masuk ke Indonesia
dengan pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan dan kepercayaan.
Pengaruh terbesar dirasakan di wilayah Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan.
Sebelum kedatangan Hindu, masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan dan
kepercayaannya sendiri. Lalu kepercayaan asli tersebut melebur dengan
kepercayaan Hindu.8 Kemudian hasil percampuran keduanya lebih dikenal dengan
kebudayaan campuran Hindu Jawa.
Sedangkan munculnya kebatinan terjadi bersamaan dengan masuknya
Agama Islam di Indonesia atau lebih tepatnya ditandai dengan berdirinya kerajaan
Islam di Demak. Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 menjelaskan bahwa, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaanya tersebut. Dari UUD
tersebut, banyak aliran yang menerjemahkannya sebagai jaminan oleh negara
7Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta; Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981),
h. 29. 8Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa, h. 11.
26
akan kebatinan yang telah mereka yakini. Kondisi ini lantas menjadi faktor
munculnya berbagai aliran kebatinan baru seperti jamur di musim hujan. Artinya
di mana-mana muncul berbagai aliran kebatinan dengan bermacam-macam nama
yang disesuaikan dengan iklim dan selera lingkungannya.9
Harun Hadiwijono menjelaskan bahwa semenjak Indonesia
mendeklarasikan kemerdekaan, kemerosotan moral menjadi fokus permasalahan
yang mengecewakan banyak orang. Agama yang ada baik Islam, Kristen, Katolik
dan lainnya tidak terbukti sebagai benteng kekuatan moral tersebut. Hal ini
dipahami bahwa aliran kebatinan hadir sebagai respon atas ketidakberdayaan
agama dalam menanggulangi kemerosotan moral bangsa Indonesia. Bahkan di
Salatiga pada tahun 1960 sempat diadakan konferensi untuk membicarakan soal
kepribadian bangsa Indonesia dalam menemukan solusi dari kemerosotan moral
tersebut.10
Menurut M.M Djojodiguna, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi
empat golongan11
:
1. Golongan yang menggunakan ilmu ghaib
2. Golongan yang berusaha mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan
3. Golongan yang berniat mengenal dari mana asal hidup dan kemana itu
akhirnya pergi.
4. Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia ini.
9H. M. Danuwijoto B. A., Seluk Beluk Aliran Kebatianan (Semarang; Djaura Prop.
Djateng bhg. Aliran, 1970), h. 12. 10
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 2. 11
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa),
h. 81.
27
Beberapa contoh dari aliran kebatianan yang ada di Jawa contohnya
Pangestu, Subud, Sapta Dharma, Ki Ageng Surya Mentaram, Paguyuban
Sumarah, Bratakesawa, dan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah
Wringin Seto.
C. Riwayat Pendiri Wringin Seto
Organisasi Kekadangan Wringin Seto didirikan pada bulan Suro, tepatnya
tanggal 8 September tahun 1895 Masehi di Mergoyudan, jalan Kartisono, Solo,
Jawa Tengah. Kekadangan Wringin Seto ini bertempat di puncak Bukit Soko,
Desa Soko Kecamatan Jepon, yang beralamatkan di Jln. Ahmad Yani No. 56
Kabupaten Blora, Jawa Tengah.12
Ajaran Wringin Seto ini pertama kali didirikan oleh Eyang Amiseno dan
Amiluhur. Kedua eyang ini hidup pada tahun 1818(1895 M)-1915. Aliran ini bisa
terbentuk dikarenakan Eyang Amiseno dan Amiluhur mendapatkan wangsit pada
waktu sedang bertapa di Panca Garuda Gung yang sekarang ini dikenal dengan
nama Selo Pamundutan yaitu Gunung Lawu. Waktu sedang bertapa, mereka
mendengar suara gaib. Suara gaib “Writ-writing ngelmu laku nuju ing bebener” .
kemudian beliau mendengar suara gaib lagi “Wringin Seto”.13
Adapun tempat-tempat yang pernah dipakai kedua eyang ini untuk bertapa
di antaranya adalah14
:
12
Tim penyusun Depdikbud, Enksiklopedia Kekadhangan Wringin Seto Pusat Nasional
(Blora: Depdikbud, 2015 ), h. 1. 13
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 1. 14
Yuventius Fusi Nusantoro, Menjadi manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama Katolik Dalam Usaha
Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang, 2000, h. 15.
28
1. Daerah sekitar Gunung Lawu tepatnya Argo Dumiling, Argo Tiling,
Argo Pusoro, Argo Dalem, Sendang Derajad, Selo Pamundutan Cokro
Suryo, Sendang Kaputren, Telogo Kuning, dan gua-gua di sekitar
Gunung Lawu.
2. Parang Kusumo, Parang Tritis dan Gua Langse.
3. Gunung Srandil.
4. Derah sekitar Pegunungan Muria seperti Ukir Rahwatu, Puncak Songo
Likur, Sendang Buton, dan Candi Angin.
5. Gunung Tidar.
6. Gunung Bromo.
7. Gunung Mahameru.
Ajaran Kekadhangan Wringin Seto ini sebenarnya sudah lama adanya.
Namun ajaran Wringin Seto sebelumnya hanya di gethok tularkan (dari mulut ke
mulut saja) dengan bentuk wewarah atau yang dikenal dengan wejangan-
wejangan. Jadi pada saat itu, ajaran ini belum bisa dituangkan dalam bentuk
tertulis.15
Pengalaman kedua eyang tersebut kemudian dibagikan kepada orang-
orang dalam keraton Surakarta. Cara penyampaian wejangan dilakukan secara
perorangan dan dalam suasana khusyuk. Sang murid yang akan mendapat
wejangan itu duduk bersila di atas sebuah tikar, yang harus selalu baru setiap kali
hendak mendapatkan wejangan, sang pemberi wejangan duduk bersila di
hadapannya lalu kedua dahi mereka saling bertemu. Dalam suasana yang sangat
15
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 1.
29
sakral inilah sang murid mendapatkan wejangan. Murid-murid dari kedua eyang
ini antara lain adalah para wiku (penasehat raja), empu (pembuat senjata
kerajaan), dan dukun (tabib Jawa) yang berada di dalam keraton dan sekitarnya.16
Berdasarkan wangsit itulah kemudian Eyang Amiseno dan Amiluhur
sering memberikan nasihat-nasihat kepada murid-muridnya. Sebelum wafat
Eyang Amiluhur memanggil putranya, Djoyo Amiharjo untuk meneruskan apa
yang telah diajarkan oleh Eyang Amiseno dan Amiluhur. Djoyo Amiharjo diberi
tanggung jawab untuk meneruskan ajaran Wringin Seto dari kedua eyang
tersebut.17
Pada tahun 1915, Djoyo Amiharjo mulai aktif dalam memberikan ajaran
Wringin Seto kepada para pengikutnya. Djoyo Amiharjo memberikan ajarannya
melalui penghayatan bersama-sama dan pengamalan terhadap sesama melalui
komunikasi ritual. Setelah Djoyo Amiharjo wafat kemudian ajaran Wringin Seto
diteruskan oleh putranya yaitu Koesoema Soerodiningrat Soewardi. Sepeninggal
Eyang Koesoema Soerodiningrat Soewardi, ajaran diteruskan oleh putranya, Eka
Agus Tijana Budi dan Eka Distya Saputra.
Secara turun temurun dan bertahap, mulai dari Eyang Amiseno dan
Amiluhur yang menerima wangsit kemudian diteruskan oleh Djoyo Amiharjo
kemudian dipegang oleh sesepuh Koesoema Soerodiningrat Soewardi hingga
sekarang oleh kedua anaknya. Secara prinsip ajaran tidak berubah. Pada
16
Yuventius Fusi Nusantoro, Menjadi manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama Katolik Dalam Usaha
Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang, 2000, h. 17. 17
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 1-2.
30
hakikatnya Wringin Seto ini berisi ajaran mengenai ketuhanan YME, manusia,
dan mengenai alam semesta. Namun secara metode penyampaian, wejangan
Wringin Seto mengalami perubahan, terutama pada masa Koesoema
Soerodiningrat Soewardi yang menjadi penuntun. Saat ini, metode pengajaran
dilakukan secara massal dan sudah terbuka untuk umum, berbeda dengan
sebelumnya di mana yang mendapatkan wejangan hanya terbatas pada orang
tertentu.
Kekadangan Wringin Seto juga mempunyai susunan kepengurusan, yang
terdiri atas;
Penuntun perintis : Koesoema Soerodiningrat Soewardi
Penuntun Penerus : Eka Agus Tijana Budi dan Eka Distya Saputra
Wakil Penuntun I : Suparyanto, SE.
Wakil Penuntun II : Yp. Sukiyanto BA.
Ketua : Ign. Untung Sadimin B. Sc.
Wakil Ketua : Ahmad Djaswadi
Sekertaris : Budi Utomo. A. Md.
Bendahara : M. M maryuniati.
Sie Bidang Peningkatan Penghayatan : Dr. Supriyono
Sie Bidang Umum & Kewargaan : M. Sugeng sudiartono
Sie Bidang Pelestarian Budaya : Drs. Adhiyanto W. P.
Sie Bidang generasi Muda : Kresno Andi C. & Eko Yulianto
31
Gambar: Sesepuh Eyang Koesoemo Soerodiningrat Soewardi
D. Persebaran Aliran Kepercayaan Wringin Seto
Awalnya aliran Wringin Seto didirikan oleh Eyang Amiseno dan
Amiluhur di kota Solo. Lalu kepemimpinan ini diteruskan oleh Djoyo Amiharjo di
kota yang sama. Setelah itu, barulah pada kepemimpinan Eyang Koesoema aliran
ini dikembangkan di kota lain, yaitu Blora. Hal ini dilakukan, karena pada waktu
yang sama, Eyang Koesoema bekerja di BRI Pusat yang berada di Blora.
Kelompok aliran kepercayaan Wringin Seto tersebar di beberapa daerah di Jawa
Tengah seperti sekitar Solo, Yogyakarta, Muntilan, Magelang, Rembang dan
sekitar jalan pantura.18
Penyebaran aliran ini tidak begitu pesat dikarenakan proses dan
metodenya yang masih sederhana. Hanya melalui mulut ke mulut dan terbatas
untuk yang bersedia ikut serta.
18
Wawancara Pribadi dengan Ign. Untung Sadimin B. Sc. (Ketua Umum Pusat Wringin
Seto di rumah yang berada di Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah) pada
tanggal 7 Agustus 2017.
32
Menurut Eka Agus Tijana Budi aliran ini terbagi menjadi dua golongan.
Pertama, golongan murni. Mereka masih berpegang pada ajaran orang-orang
terdahulu sebelum agama masuk ke pulau Jawa, dan masih mempertahankan
kebudayaan lokal yang diwarisi oleh leluhur. Kedua, golongan campuran. Mereka
yang beragama tapi tidak bisa meninggalkan budaya leluhur.19
Dalam mengembangkan ajaranya, Wringin Seto mendirikan padepokan
Wringin Seto di Sayuran Jepon. Anggota Wringin Seto diperkirakan sebanyak
24.000 orang.20
Peta Persebaran Penghayat Aliran Kepercayaan Kabupaten Blora
19Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017. 20
Tim Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi,
Enksiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2017 ), h. 680.
33
E. Lambang dan Makna Wringin Seto
Wringin Seto terdiri dari dua bentuk suku kata Wringin atau pohon
beringin yang memiliki arti bahwa siapa saja bisa berteduh tanpa pandang bulu
dan Seto suci atau putih berarti yang bermakna bergerak kearah kebaikan atau
kesucian. Jadi Wringin Seto ini merupakan nama kekadangan penghayat
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang mengamalkan ajaran
ketuhanan.
Wringin Seto mempunyai lambang berupa lingkaran yang di dalamnya
terdapat bintang lima dan di bawahnya terdapat manusia yang sedang manembah
yang disertai terdapat lingkaran tiga, dupa menyala dan tiga keris lurus.21
1) Bintang Lima
Bintang yang terletak di atas melambangkan ketuhanan Yang
Maha Esa, mempunyai arti asal/pusat dasar perilaku tata kehidupan yang
berasaskan Pancasila
2) Manusia yang sedang manembah (Mring Kang Kawoso).
Artinya bahwa manusia berkewajiban berperilaku sesuai dengan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Hanya kepada-Nya kita menyembah
dan memohon perlindungan. Manusia boleh atau tidak perlu manembah,
namun mereka tidak akan menemui kekuatan dan kedamaian seperti yang
mereka temui ketika mereka manembah.
21
Tim penyusun Depdikbud, Enksiklopedia Kekadhangan Wringin Seto Pusat Nasional,
h. 3.
34
3) Lingkaran Tiga.
Artinya bahwa dalam kehidupan ini dipengaruhi oleh tiga elemen
alam yang menjadi unsur utama dalam kehidupan ini, yaitu:
a) Tanah (bumi) asal muasal atau pembawaan.
b) Air perilaku ke arah ketentraman atau kedamaian.
c) Api perilaku kearah kekacauan, sifat ini bergantung pada yang
menggunakan bisa juga berarti menerangi ataupun
memusnahkan.
4) Warna Merah Putih
Warna tersebut melambangkan keberanian (merah) dan kesucian
(putih), di dalamnya keberanian harus memiliki dasar kesucian. Itulah
perilaku dari manusia manembah.
5) Warna Kuning Melingkar
Kuning di sini sebagai lambang kehidupan sejati. Orang
manembah harus menjaga kehiduapan sesama, saling menghormati dan
menghargai (tepa slira).
6) Warna Biru
Warna ini melambangkan cita-cita dari Wringin Seto yang
mengarah kedamaian pribadi dan masyarakat dunia (saindengaing
bawono).
35
7) Warna Hijau
Warna ini melambangkan cita-cita yang ditujukan ke arah Tata
Tentrem Kerta Raharja.
8) Tujuh Lengkungan
Tujuh lengkungan ini melambangkan tujuh tahapan kerohanian
yang perlu dipelajari (biasane laku ngelmu, iku srana laku).
9) Tiga Bukit
Melambangkan batu ujian yang harus didaki untuk mencapai
terjadinya suatu cita-cita, ada tiga fase:
a) Fase pertama: pada waktu akan dimulainya suatu ikhtiar
b) Fase kedua : selama melakukan ikhtiar
c) Fase ketiga: setelah melakukan ikhtiar, yaitu apakah ia mampu
menjaga kondisi yang telah dicapai selama ini.
10) Air Bergelombang
Melambangkan bahwa kenyataan hidup itu seperti air yang
bergelombang, yang merupakan mulut raksasa yang siap menelan siapa
saja yang bisa diombang – ambingkan dan ditenggelamkan.
36
11) Dupa Menyala
Melambangkan bahwa semangat itu harus tetap berkobar dalam
ikhtiar apapun jika ingin berhasil. Tanpa semangat yang tinggi hidup ini
tak akan bergairah.
12) Tiga Keris
Melambangkan pusaka tradisional yang merupakan piandel
(pegangan) bagi siapa saja yang mau memakainya. Jumlah tiga ini
menggambarkan nilai yang terkandung dalam piandel tersebut yaitu:
panembah (penyembah), pangucap (mulut), dan pakarti (tindakan).
Manusia akan memiliki nilai yang tinggi di hadapan Tuhan dan
masyarakat jika ia memelihara ketiga pusaka tadi.
Ketiga keris tersebut terletak di atas sesanti kekadangan, yang
berarti bahwa di dalam membina kekadangan juga harus didasarkan pada
dasar-dasar keluhuran agar terhindar suasana ketidakpuasan maupun
kekecewaan dalam kekadangan. Dasarnya ialah : ing ngarso sung tulada
(para pemimpin yang ada di depan haruslah memberi contoh), ing madya
mangun karsa (pemimpin haruslah membangkitkan semangat para warga
untuk bersama-sama menempuh suatu tujuan), tut wuri handayani
(pemimpin hendaknya memberi kekuatan dan dorongan).
37
13) Tulisan Kekadangan
Semangat kekadangan merupakan dasar dari organisasi, yakni
saling menghormati antar sesama warga yang berbeda pendapat, karena
tujuan yang hendak dicapai bersama adalah mengagungkan Tuhan Yang
Maha Esa.
14) Tulisan Wringin Seto
Wringin berarti pohon beringin yang menggambarkan bahwa
organisasi ini diharapkan dapat menjadi tempat bernaung bagi siapapun
tanpa kecuali. Seto (putih) yang berarti suci menggambarkan bahwa
kekadangan ini hendak mengajak para penganutnya untuk kembali kepada
kesusian bagi mereka yang banyak bertindak buruk dan jauh dari Tuhan
untuk berbuat baik dan kembali pada Tuhan sebagai lambang pensucian
diri dan senantiasa memlihara kesucian tersebut dengan cara mengenal,
menghayati dan mengamalkan ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
38
Gambar: Lambang dari Aliran Kepercayaan Wringin Seto
F. Tradisi Penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto
Ada beberapa tradisi yang sering dilakukan oleh aliran Wringin Seto
antara lain22
;
1. Suran
Tradisi suran ini tidak asing bagi orang-orang Jawa yang masih
mempertahankan budaya para leluhur. Bagi masyarakat Jawa bulan suro
sebagai awal tahun Jawa juga dianggap bulan yang sakral atau suci, bulan
yang tepat untuk melakukan renungan guna mendekatkan diri pada Yang
Maha Kuasa.
22
Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017.
39
Penganut Wringin Seto sendiri mempunyai serangkaian acara
untuk menyambut datangnya bulan suran ini dimulai dengan buka suran
(awal bulan Suro), 15 Suro (pertengahan bulan) dan tutup suran (akhir
bulan Suro). Awal dan akhir bulan meraka melakukan puasa dan di
tengah-tengah bulan di tanggal 15 Suro mengadakan berbagai acara.
Upacara tradisi dimulai dengan syukuran ambeng atau tumpeng dan doa
bersama yang didoakan oleh 7 keyakinan antara lain, 6 agama dan satu
keyakinan budaya lokal Wringin Seto. Setelah selasai didoakan ambeng
lainya diarak kirab atau kirab budaya mengelilingi sanggar lengkap
dengan pakaian adat Jawa beskap lengkap dengan blangkon yang kental
dengan tradisi Jawa.
Beberapa jenis sesaji yang biasanya disajikan dalam acara suran
atau acara khusus lainnya antara lain;
a. Sesaji berupa makanan yang dimasak; nasi ambeng atau
tumpeng, bubur merdeka merah putih, nasi gudangan dan
jajanan pasar
b. Sesaji berupa wewangian; minyak wangi dan dupa.
c. Sesaji berupa bunga; bunga panca lima (mawar, melati,
gading, kantil dan kenanga) bunga jambe, bungan kelapa
(manggar) dan bunga gantal (daun sirih, gambir, injot dan
tembakau)
d. Sesaji berupa buah-buahan; kelapa, pisang, jeruk bali, salak
dan nanas.
40
e. Palawija komplit; polo kependem (dalam tanah) kentang klici
hitam, wortel, ketela, dan kacang tanah. Polo gumandul
(menggantung) buncis, lombok, jagung dan padi.
f. Sesaji lainnya: daun alang-alang, tebu ulung, janur kuning, air
tawar, dan lain-lain.
2. Sarasehan
Tradisi ini dilakukan dalam satu bulan sekali yaitu pada hari Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon di kalender Jawa. Serasehan merupakan acara
rutin yang digunakan untuk sembahyang bersama, ajang silaturahmi dan
bertukar pikiran. Sarasehan terkadang berupa ceramah oleh pembimbing
atau penuntun.23
3. Tujuh Belasan
Tradisi tujuh belasan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya.
Acaranya di laksanakan di puncak Gunung Lawu yang tepatnya di
perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam pelaksanaannya orang-orang Wringin Seto menaiki Gunung
Lawu selama 9 hari tapi ada juga yang hanya 3 hari tergantung
kemampuan setiap individunya. Acara pembukaannya diawali dengan
pengibaran Sang Saka atau bendera Merah Putih. Diteruskan dengan doa
23
Wawancara Pribadi dengan Ign. Untung Sadimin B. Sc. (Ketua Umum Pusat Wringin
Seto di rumah yang berada di Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah) pada
tanggal 7 Agustus 2017.
41
bersama untuk para pahlawan yang telah gugur untuk merebut
kemerdekaan negara Indonesia.24
Acara tujuh belasan ini mempunyai makna untuk memupuk rasa
nasionalisme bagi warga Indonesia khusunya untuk penganut Wringin
Seto untuk menghargai dan meniru pengorbanan para pahlawan zaman
dahulu dalam mempertahankan bangsa Indonesia.
24
Wawancara Pribadi dengan Daman (Penuntun Wringin Seto Cabang Rembang di rumah
yang berada di Desa Waru Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah) pada tanggal 10 Agustus
2017.
42
BAB III
KEPERCAYAAN ALIRAN WRINGIN SETO
A. Konsep Ketuhanan dalam Aliran Wringin Seto
Dalam Wringin Seto konsep tentang ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan konsep dasar dari ajaran kekadangan ini. Segala sesuatu yang ada
merupakan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, atas kuasa-Nya dan wewenang-
Nya menunjukkan ciptaan-Nya seisi alam. Sehingga penganut Wringin Seto
percaya atas kekuasaan-Nya. Tuhan yang memberikan Sih-Nya (kasih sayang-
Nya) kepada seluruh manusia dan ciptaan-Nya sehingga seluruh Sih-Nya dapat
dinikmati di dalam kehidupan.1
Menurut ajaran Wringin Seto mengenai paham ketuhanan bahwa semua
yang hidup di Jagad Raya ini ada yang memberi hidup. Penganut Wringin Seto
menyebutnya sebagai Tuhan Yang Maha Hidup. Tuhan di dalam Wringin Seto
digambarkan Yang Maha Adil. Ia bertindak tanpa pilih kasih, Ia akan memberikan
hukuman bagi siapapun yang melakukan kesalahan.2
Tuhan atau Yang Maha Hidup mempunyai sifat-sifat antara lain
“wewarah nawa sapta ing jiwangga atas kuasa-Nya atas wewenang-Nya Tuhan
Yang Maha Esa” (sembilan wewarah, tujuh di jiwa raga atas kuasa-Nya dan atas
kehendak Tuhan Yang Maha Esa).
1Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 5. 2Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 5.
43
Sembilan wewarah tersebut adalah sebagai berikut:3
1. “Wulu urip uriping Kang Maha Nasa wus manunggal ing
jiwanggakuki” (bulu hidup-hidupnya Yang Maha Kuasa sudah
menyatu di dalam jiwa ragaku).
2. “Kulit rasa rasaning Kang Maha Resik wus manunggak ing
jiwanggakuki” (kulit rasa-rasanya Yang Maha Bersih sudah
menyatu di dalam jiwa ragaku).
3. “Getih sari sarining Kang Maha Ayem wus manunggal ing
jiwanggakuki” (Darah sari-sarinya Yang Maha Tenang sudah
manunggal di dalam jiwa ragaku).
4. “Otot daya dayaning Kang Maha Utami wus manunggal ing
jiwanggakuki” (Otot daya-dayanya Yang Maha Utama sudah
manunggal di dalam jiwa ragaku).
5. “Daging bantolo bantalaning Kang Maha Linuwih wus
manunggal ing jiwanggakuki” (Daging dunia-dunianya Yang
Maha Agung sudah menyatu di dalam jiwa ragaku).
6. “Balung tosing kukuh kinukuhing Kang Maha Tanpapilih Kasih
wus manunggal ing jiwanggakuki” (Tulang kokoh-kokohnya Yang
Maha Adil sudah menyatu di dalam di jiwa ragaku).
7. “Utek, saraf, sumsung, daya rasa sari sih asihing Kang Maha
Welas Asih wus manunggal ing jiwanggakuki”. (Sumsum otak
3Buku Saku Wringin Seto, 21 Desember 20015, h. 28
44
daya sari Sih-Nya Yang Maha Belas Kasih Sayang sudah menyatu
di dalam jiwa ragaku).
8. “Nylurupi rasa, resik, sukma, urip, tuking tumekane kang tanpa
ginantha, rasa, resik, sukma, urip, daya kwasaning Kang Murba
Amisesa, Jagad Ageng, Jagad Alit sawetahipun . . . . . ulun pasrah
jiwangga ulun, tuwin rasa saklimah, semanten ugi lampah ulun
setindak. Ulun muhun paukuman sedaya tumindak ulun ingkah
ulun sengaja lan mboten ulun sengaja. Ampun ngantos dateng run
temurun ulun nampi Sih paduko sampun ulun tanpi tanpa paduko
ulun mboten kawagang”. (Menyelami rasa, membersihkan sukma,
hidup, daya, dalam Kuasa Yang Ilahi, Dunia Besar dan Dunia
Kecil seisinya, hamba memasrahkan jiwa dan rasa seutuhnya,
demikian juga seluruh hidup hamba. Hamba mohon pengampunan
atas segala tindakan-tindakan hamba yang hamba lakukan secara
sengaja maupun yang tidak hamba sengaja. Janganlah kiranya
hukuman itu menimpa hamba turun temurun, kasih Tuhan telah
hamba terima secara berlimpah-limpah).
9. “Tumpakku rasa, obahku sukma; jumangkahku urip”.
(Landasanku rasa, gerakku sukma; langkahku hidup).
Dalam Wewarah Nawa Sapta Ing Jiwangga di atas dari sembilan wewarah
tersebut ada tujuh di antaranya yang terdapat dalam diri manusia. Dan dari
wewarah tersebut mampu membantu manusia lebih dekat dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan tujuh wewarah yang ada dalam diri manusia membantu
45
manusia semakin mengenal Tuhan Yang Maha Esa dengan merenungkan
keberadaan dirinya sendiri, dari bulu, kulit, darah, dan sebagainya.4
Penganut Wringin Seto mempunyai pandangan bahwa Tuhan Yang Maha
Esa itu adalah satu, ada di mana-mana, abadi, dan seluruh alam ini merupakan
ciptaan oleh-Nya. Tuhan Yang Maha Esa itu kekal dan tidak dapat digambarkan
perwujudan-Nya, Ia merupakan asal dan tujuan dari segala yang ada.5
Tuhan Yang Maha Esa adalah Maha Kuasa kepastian kehendak-Nya, tiada
satupun yang dapat menggagalkan-Nya. Tuhan adalah Esa, tiada yang dapat
menandingi-Nya. Tuhan adalah Kang Murba Amisesa Kwasaning Jagad lan
seisine (Tuhan adalah Yang Maha Ilahi yang menguasai bumi dan seisinya).6
B. Konsep Alam Semesta dalam Aliran Wringin Seto
Alam semesta dan segala sesuatunya ada, karena ada yang menyebabkan.
Segala sesuatunya adalah pemberian dari Sang Pencipta, pusat dari alam semesta
ini sendiri adalah Tuhan, yang memberikan penghidupan, keseimbangan, dan
kestabilan.
4Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017. 5Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 6. 6Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 7.
46
Dalam Wringin Seto mengenai konsep alam terbagi menjadi 4 kategori
sebagai berikut7:
Pertama, kejadian menjelaskan tentang bagaimana Wringin Seto
menjelaskan tentang asal usul terjadinya alam semesta. Konsep terjadinya segala
sesuatu dalam Wringin Seto bermula dari air. Air yang bergulir (bergerak) akan
menimbulkan angin, air dan angin yang bergabung sehingga menimbulkan api-
daya-terang. Gabungan dari air, angin dan api akan menimbulkan wujud atau
bentuk. Sedangkan air yang pada mulanya itu melayang-layang terbawa api ber-
bapak angkasa dan ber-ibu bumi.
Kedua, bahwa alam semesta memiliki hubungan dan keterkaitan antara
satu sama lain. Hal itu dalam Wringin Seto bisa dilihat dari sudut pandang
teologis dan sains, secara teologi bahwa Wringin Seto mempunyai paham
kesatuan dengan Tuhan. Sedangkan sains bahwa setiap materi yang ada dalam
alam semesta itu memiliki keterkaitan satu sama lain dengan peran yang berbeda
yang menunjang keteraturan alam semesta.
Ketiga, keharmonisan dan keteraturan. Manusia dan alam harus bisa
menjalin hubungan yang harmonis artinya manusia tidak boleh merusak alam
karena itu akan berdampak pada manusia sendiri. Alam semesta dalam Wringin
Seto dianggap sebagai saudara. Sedangkan alam mempunyai keteraturan seperti
7Yuventius Fusi Nusantoro, Menjadi Manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama Katolik Dalam Usaha
Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang, 2000, h. 24.
47
layaknya sebuah mesin, keteraturan tersebut yang membuat alam semesta ini tetap
dalam keseimbangan.
Keempat, alam menuju kesempurnaan. Konsep alam ini memiliki kaitan
dengan proses menuju kesempurnaan dalam Wringin Seto ketika seseorang
berperilaku buruk dia akan mengalami netes yaitu lahir ke alam berwujud benda
mati atau hewan. Ketika berbuat baik dia lahir ke alam manusia dan lahir sebagai
manusia.
C. Konsep Manusia dalam Aliran Wringin Seto
Konsep manusia dalam Wringin Seto memilki kesamaan dengan
karakteristik konsep manusia Jawa pada umumnya, seperti bahwa dalam tubuh
manusia ada unsur jiwa, nyawa, sukma, atau roh. Pada umumnya diakui ketika
manusia hidup berarti dalam tubuh jasmaninya ada jiwa.8
Dalam konsep jiwa manusia dalam Wringin Seto unsur halus dalam urip
manusia itu ada tiga. Pertama, nyawa. Merupakan bagian dari manusia yang
sepenuhnya merupakan hasil kerja otak, rasio, atau nafsu. Kedua, sukma. Bagian
dari jiwa manusia yang memiliki kecenderungan mengarah kepada Yang Maha
Hidup, namun masih tercampur dengan nafsu. Ketiga, rasa. Unsur manusia yang
paling tinggi yang tidak tercampur lagi oleh nafsu dan akan langsung kembali
menuju Sang Pemberi Hidup. Sedangkan unsur badan, nyawa, sukma yang masih
8Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, h. 87
48
terikat kepada nafsu, harus menumpuh proses kesempurnaan untuk kembali pada
Sang Pemberi Hidup.9
Sedangkan badan jasmani atau kasar dari manusia terjadi karena
bertemunya air, api, angin. Dari unsur semesta tadi sebenarnya manusia berasal,
karena manusia berbentuk wujud yakni raga, yang merupakan hasil perpaduan
dari air, api dan angin.
Dalam Wringin Seto manusia mempunyai struktur-struktur. Karena
manusia adalah makhluk yang beraga dan berjiwa. Struktur manusia terdiri dari:10
1. Kebuk (Paru-paru)
2. Jantung (Jantung)
3. Ati (Hati)
4. Rempelu (Empedu)
5. Waduk (Lambung)
6. Asih (Pangkreas)
7. Kendangan wates perangan nginggil lan ngandap (Diafragma)
8. Usus alit (Usus Kecil)
9. Ginjal sepasang (Ginjal)
10. Usus agung (Usus Besar)
11. Usus pugak (Usus Buntu)
9Yuventius Fusi Nusantoro, Menjadi Manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama Katolik Dalam Usaha
Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang, 2000, h 28 10
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 7.
49
12. Bol (Rektum)
13. Peh (Kandung Kemih)
14. Puser (Pusar)
Manusia dalam adat Jawa umumnya bersifat fatalistik, yaitu bahwa
manusia merancang hidupnya tapi Tuhanlah yang menentukan. Sikap fatalistik ini
sangat merata dalam masyarakat Jawa. Walau terdapat juga pendapat lain yang
mengatakan nasib manusia berada di tangan manusia sendiri, tak kan bisa tercapai
sesuatu dalm hidupnya bila ia tidak berusaha sendiri mencapainya.11
Dalam Wringin seto juga dikenal konsep kehendak manusia yaitu bahwa
manusia merupakan makhluk yang berkehendak karsa atau menentukkan
keinginannya sendiri. Manusia menciptakan sesuatu yang memenuhi hasrat
hidupnya sebagai pemenuhan kehidupan. Manusia berbudi untuk menentukkan
baik dan buruk. Tujuan dari berkehendak karsa ialah untuk memenuhi hasrat
hidupnya memperoleh suatu yang telah diputuskan oleh akal budinya.12
Berarti
Wringin Seto mempunyai prinsip bahwa manusia menentukkan arah hidupnya
sendiri sesuai dengan kemauannya sendiri setelah itu manusia kembali kepada
sifat pembawaan asli hidupnya dari sumber hidup yang mutlak, yakni kodrat
Tuhan yang menjiwai jiwa manusia.
Manusia berkomunikasi dengan Tuhan, alam dan dirinya sendiri melalui
keheningan jiwa. Manusia dalam hal mencari keheningan jiwa selalu mencari
11
Drs. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta; Inti Idayu Press, 1984), h. 26. 12
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 8
50
ketinggian yang tertinggi, itulah sebabnya keheningan jiwa selalu berhubungan
dengan Tuhan. Tanpa berketuhanan manusia tidak mungkin mencapai keheningan
jiwa. Segala yang ada dalam manusia dan apa yang dimilikinya ini hanyalah
sekedar titipan dari Sang Pemberi Hidup. Manusia harus berjuang untuk sadar
atau eling bahwa segala sesuatunya adalah milik Sang Pemberi Hidup.13
D. Konsep Kesempurnaan dalam Aliran Wringin Seto
Dalam Wringin Seto mengajarakan tentang konsep kesempurnaan yang
berkaitan dengan pencapaian manusia melalui tingkah lakunya selama di dunia.
Dalam proses mencapai kesempurnaan seseorang diharuskan untuk bisa
mengendalikan hasratnya tentang harta, kenikmatan dan kekuasaan. Hal itu bisa
dilakukan dengan melakukan latihan-latihan spiritual Wringin Seto yang dibantu
dengan bertapa maupun berpuasa.14
Selain itu manusia harus memiliki keyakinan, bahwa yang mengisi jiwa
raganya merupakan titipan dari Tuhan semata. Sehingga manusia dituntut untuk
menyerahkan jiwa raga sepenuhnya kepada Tuhan, untuk bisa bersatu dengan
Tuhan.
Dalam kehidupan Wringin Seto menuju kesempurnaan diperlukan sikap-
sikap seperti mawas diri, agar tidak melakukan hal-hal yang tercela, berbudi
13
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 9. 14
Yuventius Fusi Nusantoro, Menjadi manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama Katolik Dalam Usaha
Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana Malang, 2000, h. 30.
51
luhur, memperhalus budi pekerti yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan
baik dengan sesama manusia dan alam, serta membina kebersihan jiwa atau
meningkatkan keheningan jiwa. Dalam proses pembersihan jiwa bagi orang yang
memiliki harta yang berlebih harus menganggap bahwa harta tersebut merupakan
titipan dan tidak boleh menyembah harta. Sedangkan bagi orang tidak memiliki
cukup harta, hendaklah berpasrah diri dan menerima ketentuan dari Yang Maha
Kuasa agar bisa hidup tentram dan tidak selalu merasa kekurangan terhadap apa
yang diberikan oleh Tuhan.15
Dalam pemahaman Wringin Seto tentang konsep kesempurnaan mereka
menyakini bahwa yang mengalami proses kesempurnaan ialah unsur-unsur non
ragawi yang bersifat langgeng seperti urip, nyawa, sukma, dan rasa. Untuk rasa,
tidak akan mengalami proses pemurniaan dalam kesempurnaan karena rasa
merupakan unsur terlembut dan terhalus dalam manusia yang akan secara
langsung bersatu dengan Tuhan. Sedangkan ketiga unsur lainya yaitu urip nyawa
dan sukma harus mengalami proses pemurniaan melalui perilaku hidup sehari-
sehari ketika masih menjadi satu dengan unsur ragawi.
Dalam proses pemurniaan menuju kesempurnaan Wringin Seto akan
melewati proses-proses yang ditentukan oleh perilaku manusia sehari-hari yaitu:16
15
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 11 16
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 10
52
1. Netes = pada tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah
manusia yang sudah mati harus kembali atau meraga di hewan,
batu, kayu, jin, setan, dan sebagainya.
2. Nitis = pada tingkatan ini proses menuju kesempurnaan. Manusia
yang sudah mati harus meraga kembali ke alamnya manusia dan
meneruskan perjuangannya.
3. Natas = pada tingkatan ini merupakan puncak dari kesempurnaan.
Manusia yang sudah mati tidak meraga lagi tidak ditemui lagi jalan
apalagi impian karena sudah menyatu dengan Yang Maha Hidup.
E. Ritual-Ritual dalam Wringin Seto
Ritual merupakan serangkain kegiatan yang dilakukan untuk jalan
simbolis. Ritual dilaksanakan menurut suatu agama atau kepercayaan bisa juga
berdasarkan tradisi dari suatu komunitas. Kegiatan yang dilakukan selama ritual
biasanya sudah ditentukan, diatur dan tidak boleh dilaksanakan secara
sembarangan.
Pedoman menjadi hal penting dalam melaksanakan sebuah ritual yang
harus dimiliki setiap manusia yang akan melakukan manembah kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sebelum melaksanakan manembah kepada Tuhan Yang Maha
Esa diperlukan aturan-aturan yang harus dipatuhi sewaktu seseorang akan
53
melaksanakan manembah. Bagi penganut aliran Wringin Seto mereka mempunyai
aturan tersendiri antara lain:17
1. Membersihkan badan dari kotoran-kotoran yang melekat, misalnya
dengan mandi terlebih dahulu.
2. Apabila selesai melakukan hubungan suami istri, mereka harus mandi
keramas terlebih dahulu yang disertai niat dalam hati memohon
disucikan lahir dan batin. Suci lahir dalam arti raga yang bersih dan
suci batin dalam arti bersih dari ingatan nafsu sewaktu bersetubuh
yang memungkinkan masih terlintas dalam ingatan.
3. Badan atau raga dalam keadaan bersih ataupun dirasakan masih dalam
kondisi yang bersih.
4. Pakaian bebas tapi diusahakan jangan memakai yang terlalu kotor,
pakaian harus sopan dan pantas.
5. Tempat untuk melaksanakan penghayatan diusahakan yang bersih,
tidak boleh di tempat yang kotor.
6. Untuk manembah atau bersembahyang khusus digunakan
kelengkapan bunga setaman, dupa, minyak wangi, kemenyan, air dan
lain-lain.
Selain harus memenuhi aturan-aturan sewaktu seseorang akan
melaksanakan manembah, ada juga pola perilaku penghayatan antara lain:18
17
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 12 18
Buku Saku Wringin Seto, 21 Desember 2015, h. 10
54
1) Sebelum melakukan penghayatan, mandi bersih dan tidak memaksa
kondisi badan.
2) Pakaian ritual;
a) Pakain rapi, bersih dan sopan.
b) Pakaian adat tertentu (hari yang khusus)
3) Tempat ritual, bisa di sembarang tempat asal bersih, sanggar Wringin
Sari dan tempatnya harus sunyi.
4) Sikapnya ritual anggota tubuh:
a) Ada variasi antara berdiri dan duduk atau duduk bersila
b) Memejamkan mata.
c) Kedua tangan dilipat saling bertumpu (bersedakap)
d) Tangan bersembah di hidung (ada kalanya)
e) Tangan bersembah di dada (ada kalanya)
f) Ada kalanya kepala menghadap keatas
g) Tangan juga bisa dalam keadaan bebas
h) Sikap kepala menunduk
i) Badan dan seluruh anggota badan dalam keadaan kendor
j) Jika anggota badan kurang, cukup disederhanakan.
5) Arah dalam penghayatan dapat menghadap ke utara, timur, selatan,
dan barat atau arahnya bebas.
6) Pemantapan ritual rohani:
a) Melakukan puasa, rialat pati geni (tidak boleh terkena cahaya
selama 3 hari dan tidak makan dan minum)
55
b) Menjalankan tapa brata (bertapa), kebebasan setiap individual
c) Mencegah makan dan minum tertentu
d) Mengurangi tidur
e) Merendam diri di air.
Setelah semua persiapan tersebut terpenuhi barulah bersembahyang dan
ucapan manembahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah:
“Gusti kang kwasaning jagad seisine, kami
hamba titah-Mu, bersimpuh bersujud di
hadapan-Mu dengan penuh kerendahan hati”.
“Titah jiwa ragaku, tiada berdaya apapun
tanpa perkenaan-Mu segala apa yang ada kini
padaku, sesungguhnya tiada padaku hanya
anugerah yang adi mulia dan Sih Gusti Yang
Maha Luhung”.
“ampunkan semua kekhilafan titah jiwa
ragaku di dalam mengemban tugas dalam
gumelar inu (alam seutuhnya beserta isinya).
Tunjukkan kami selalu dalam jalan yang
terang selama-lamanya”.
“Limpahkan pengayoman pada jiwa ragaku
beserta keluargaku sampai semua
keturunannya, dan tak lupa sesama hidup”.
56
Atas Kuasa-Mu Ini diucapkan berkali-
kali dan semakin
banyak makin lebih
baik
Atas Kemuliaan-Mu
Atas Keagungan-Mu
Selain persiapan dari sembahyang Wringin Seto punya tata waktu dan doa
tersendiri yang diucapkan pada jam-jam tertentu antara lain sebagai berikut:19
1. Siang (jam 12.00 s/d 14.00), matahari tepat di tengah atau semua
bayangan persis di tengah samapai tidak terlihat oleh mata. Doanya:
“Terima kasih ya Tuhan Yang Maha Esa, atas wewenang-Mu, atas
pengayoman-Mu, semua dari sari alam seutuhnya, yang lewat sang
surya adalah manunggal di jiwa raga hamba-Mu, atas Sih-Mu, atas
kemuliaan-Mu, yang melimpah Engkau berikan pada hamba-Mu. Ya
Tuhan Yang Maha Esa selama-lamanya.”
2. Sore (jam 17.00 s/d 18.00). Doanya: “Terima kasih ya Tuhan atas
kuasa-Mu, atas kewenangan-Mu yang telah engkau limpahkan kepada
hamba-Mu dan kehidupan sealam raya ini. Semoga para leluhur dan
bangsa-bangsa lain mendapat pepadang-Mu, bimbing-Mu. Ya Tuhan
Yang Maha Esa selama-lamanya.”
3. Malam (jam 24.00 s/d 02.00), ketika rasa dingin di kulit sudah
muncul. Doa di tengah malam untuk permohonan pribadi, doa untuk
19
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 13
57
bangsa dan negara. Doanya: “Ada api berupa putih, arahnya dari
timur, musnah segala penyakit dan semua pembuat kejelekan lebur
sirna tak ada yang berani, tinggallah yang mudah dicipta, mudah-
mudah dari kehendak Tuhan Yang Esa cara mencari sandang
pangan,” (diucapkan dengan bati sebanyak 3x).
Dilanjutkan dengan doa: “Ada api dari selatan berupa merah,
rupanya api dalam bentuk tunung, santet, penyakit ayan, gila, tuli,
gudhing, panas, pusing, segala penyakit sirna dari dayanya api,
tertiup Lesung Gung, kalap di Samudra Gung, yang kesemuanya sirna
dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa, terdapatlah sehat wal afiat,
panjang umur mudah mencari sandang dan pangan siang dan malam,
terlaksanalah semua sampai seturun-turun keanak cucu.” (diucapkan
dengan batin sebanyak 3x).
Dilanjutkan dengan doa: “Ada api dari barat kuning warnanya,
lenyaplah semua yang membuat segala gangguang penyakit, dari
daya api semua dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Terdapatlah
kesehatannya, panjang umurnya, mudah mencari sandang dan
pangan dari beberapa tujuan sampai seturun-turun ke anak cucu.”
Dilanjutkan dengan doa: “Ada api dari utara berupa hitam warnanya,
api segala macam tenung, santet, gila, ayan, pusing, pilek, panas,
jemper, lumpuh, tuli, gudhing, segala goda rencana, sirna dari
dayanya api, tertiup Lesus Gung kalap di Samudera Gung, segala
macam penyakit sirna tanpa jadi, sirna-sirna semua. Atas kuasa-Nya
58
Tuhan Yang Maha Esa terdapatlah kesehatan, panjang umur, muda
mencari sandang pangan siang dan malam, mudah mencari
kepandaian seturun-turunnya sampai ke anak cucu, mudah-mudah
sarinya mudah dari kuasa-Nya Tuhan Yang Maha Esa.” (diucapkan
dengan batin 3x).
Dilanjutkan dengan doa: “Ada api dari tengah hamanca warna
nyalanya, smarap-smarap memenuhi jagad raya, banyaknya dhedho
penyakit, tenung, santet, ayan, gila, segala macam gangguan
musnahlah, semua sirna tanpa membekas dari dayanya api yang di
tengah. Semua serba mudah mencari sandang pangan, panjang umur,
lepas dari banyaknya bahaya, semua kehendak Tuhan Yang Maha
Esa.” (diucapkan dengan batik 3x).
Tata waktu sembahyang yang paling utama adalah dua waktu yaitu di jam
antara 12:00 s/d 14:00 dan 24:00 s/d 02:00. Pada waktu itu matahari tepat berada
di atas kita, dan pada waktu jam malam tersebut adalah malam yang sunyi sangat
mudah mengatur konsentrasi untuk meditasi.20
Tujuan akhir dari penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah
ketika bertemunya antara sifat Kawulo dan sifat Gusti atau manusia dengan
Tuhan. Dalam pertemuan kedua sifat ini manusia atau Kawulo memperoleh
kebahagiaan yang tiada banding dan tidak bisa dicapai dalam sistem nilai
keduniaan.
20
Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017.
59
BAB IV
KONSEP ETIKA DALAM ALIRAN WRINGIN SETO
A. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti ethos, kata ethos
mempumyai banyak arti di antaranya tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat,
watak, perasaan, sikap dan cara berpikir.1
K. Bertens menjelaskan dalam bukunya mengenai etika, bahwa etika
mempunyai tiga arti yang bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Baru
(Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1998) yaitu2:
1. Etika sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk,
tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq).
2. Sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq.
3. Sebagai nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Sedangkan Benny H. Hoed menjelaskan bahwa etika dalam hati manusia
yang harus mempertimbangkan baik dan buruk yang menjadi pedoman berpikir
dan berperilaku dalam interaksi sosial, itulah yang menjadi dasar etika. Maka dari
itu etika bersifat subjektif jauh di dalam perasaan manusia.3
1K. Bertens, Etika, h. 4.
2K. Bertens, Etika, h. 5.
3Benny H. Hoed, semiotika dan dinamika budaya (Depok; Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia), h. 143.
60
Masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dari etika, dapat dikatakan etika
merupakan panduan atau hukum tidak tertulis yang mengatur kehidupan di
masyarakat Jawa dalam segala aspek kehidupan.
Franz Magnis Suseno mengartikan etika sebagai keseluruhan norma, dan
penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk
mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Etika
mempunyai arti di mana seseorang harus bisa menjaga sikap, membawa diri dan
tindakan-tindakan apa saja yang harus dikembangkan agar hidup sebagai manusia
yang berhasil. Kategori manusia yang berhasil di sini maksudnya ialah
memperoleh kenikmatan sebanyak-banyaknya, pengakuan oleh masyarakat,
kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kewajiban mutlak, dan sebagainya yang
merupakan pencapaian dari mengikuti norma-norma atau etika yang berlaku.4
Dalam teori etika Jawa Franz Magnis Suseno didasari oleh beberapa
prinsip yang menjadi pilar dalam etika. Magniz Suseno mengambil pola kaidah
Hildred Greetzt dalam teorinya mengenai etika Jawa dalam ruang lingkup
kemasyarakatan Jawa. Kaidah pertama, ialah prinsip keharmonisan yang
menuntun setiap manusia agar bersikap ramah hingga tidak sampai menimbulkan
konflik atau prinsip kerukunan yang bertujuan untuk mempertahankan masyrakat
dalam keadaan harmonis. Prinsip rukun dalam etika Jawa artinya suatu kondisi di
mana semua pihak berada dalam keadaan damai, gotong royong, saling nerimo,
dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun atau keharmonisan diciptakan dengan
4Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984), h. 6.
61
cara menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara
pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial terlihat selaras dan baik.5
Kaidah kedua, yang memainkan peranan besar dalam etika berinteraksi
masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Maksudnya, setiap orang dalam berbicara
dan pembawaan diri harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya. Tatanan sosial dalam masyarakat Jawa
mempunyai peran penting, artinya satu sama lain harus saling menghormati. Sikap
hormat tersebut menjaga stabilitas kedudukan sosial Jawa dengan tidak
melakukan tindakan-tindakan kurag sopan, ambisius, persaingan, dalam mengejar
persaingan sosial. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak
meresapi seluruh kehidupan orang Jawa, karena dalam kebiasaan Jawa tidak ada
kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa
sekaligus memperlihatkan bagaimana menafsirkan kedudukan sosial kita
dibandingkan dengan dia.6
Dalam etika masyarakat Jawa bisa dibedakan menjadi dua golongan.
Pertama, yaitu etika atau tata nilai kesatriaan dan kepriyaian. Etika orang yang
bergerak dalam lingkungan istana dan pangreh praja terutama golongan bupati
dan kalangan sastrawan yang bermutu tingi. Corak etika seperti ini memang asli,
tetapi cukup dipengaruhi agama Hindu Indonesia. Kedua, merupakan etika atau
tata nilai masyarakat desa yang berkaitan dengan hidup pertanian. Corak etika asli
5Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,
h. 38. 6Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,
h. 60.
62
tanpa pengaruh yang berarti dari corak Hindu dan Islam. Etika yang kedua ini
lebih bersifat sosiosentris atau kolektif maksudnya menjamin kesatuan
masyarakat.7
Etika Jawa memiliki konsep luas meliputi sebuah konstruksi sosial,
budaya, keyakinan, dan pandangan hidup secara total. Bahkan etika Jawa juga
mencakup wawasan gender, tua muda, senior junior, atasan bawahan, dan lain-
lain.8
Pada masyarakat, etika dapat dikatakan sebagai tolak ukur kesalehan
seseorang atau patokan seseorang berbudi luhur dan berbudi pekerti atau tidak.
Bagi yang melanggar etika Jawa yang berlaku di suatu masyarakat maka ada
sebuah bentuk hukuman dalam etika Jawa, berupa tindakan, sikap, dan juga kata-
kata lisan. Hukuman semacam ini jauh lebih parah akibatnya dibandingkan
hukuman tertulis. Karena sifatnya mengambang atau tidak ditentukan batas
waktunya.9
Pada tahun 1955 dalam kongres BKKI pertama, etika kebatinan
dirumuskan sebagai sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana.
Dua elemen pertama dari rumusan itu berpadu menjadi sebuah ujaran kejawen
7Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, h. 222.
8Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa; Pedoman Beretika dalam Menjalani
Kehidupan Sehari-hari, h. 13. 9Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa; Pedoman Beretika dalam Menjalani
Kehidupan Sehari-hari, h. 16.
63
yang sering terdengar dan kemungkinan bisa diterima merata di seluruh Pulau
Jawa. Elemen ketiga bisa dibaca sebagai “memperindah dunia”.10
Elemen pertama, kata sepi ing pamrih bisa diterjemahkan menjadi “tidak
mementingkan diri sendiri, tidak dikendalikan oleh hasrat demi keuntungan
sendiri. Ujaran tersebut dimaksudkan untuk mengontrol secara sadar nafsu
seseorang sebab nafsu-nafsu tersebut mencegah pencapaian hati yang tenang.
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, pamrih sering disebut dengan kepentingan
diri sendiri atau mementingkan diri. Dari sudut pandang masyarakat Jawa, diri,
raga, dan ambisi pribadi harus diatasi karena semua itu adalah penghalang jalan
menuju pencapaian. Jika rintangan-rintangan tersebut bisa disingkirkan maka
dalam diri seseorang akan muncul sikap belas kasih terhadap orang lain dan
kepada seluruh umat manusia.11
Elemen kedua, rame ing gawe diterjemahkan sebagai “aktif melakukan
perbuatan baik untuk kemaslahatan semua orang”. Rame bisa diterjemahkan
sebagai aktif atau penuh semangat, tetapi kata gawe merujuk pada kerja yang
berarti persinggahan dalam kehidupan. Dengan demikian kata itu menjadi “abdi
yang baik”, dengan setia dan aktif melakukan tugas dalam tatanan kehidupan
sosial.12
Elemen ketiga dari rumusuan itu, Memayu hayuning bawana diartikan
dengan menghias “menghias dunia” yang artinya ialah suatu usaha atau suatu
10
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 65. 11
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, h. 66. 12
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, h. 66.
64
kewajiban manusia untuk menata, memelihara, memperbaiki dunia tempat di
mana mereka hidup, dengan prinsip meminimalisirkan terjadinya kejahatan dan
menegakkan prinsip keadilan dan kejujuran.13
B. Pandangan Wringin Seto tentang Etika
Etika Wringin Seto lebih ditekankan kepada penanaman nilai-nilai budi
luhur dan ajaran kesadaran moral sebagai bentuk upaya untuk memberikan
rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat bagi aliran Wringin Seto. Etika
dituangkan dalam bentuk wewarah-wewarah berbahasa Jawa yang didasarkan
kepada ajaran Wringin Seto yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai budi
luhur dan budi pekerti dalam pribadi setiap penganut Wringin Seto:14
1. “Writ-writing ngelmu nuju ing bebener”, artinya sulit-sulitnya ilmu
menuju kebenaran, bahwa kebenaran itu adalah hanya satu milik
Yang Maha Hidup.
2. “Nangisa sak banter-bantermu nganti sak indenging bawana,
eluhmu nganti ngebaki jagad raya, nanging ora ono godong, ora
ono angin kemrisik kena pireng apa maneh kutu-kutu alang ataga
(sakenging penguripan ora ono kang ngrungokake)”, artinya: bahwa
tangis yang ada di dalam hati manusia merupakan serah diri total
kepada Sang Maha Pencipta.
13
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, h. 67. 14
Koesoema Soerodiningrat Soewardi, Naskah Pemaparan Budaya Spiritual Organisasi
Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel Gondaria Cisarua, Bogor Jawa
Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991, h. 22.
65
3. “Gusti iku sambetan Nalika sira nandang kesengsaraan lan pujinen
yen sira lagi nampa kanugrahaning pengeran”, artinya memohonlah
kepada Tuhan Yang Maha Esa jikalau engkau sedang sengsara dan
memuji syukur kepada Tuhan apabila engkau diberi anugerah.
4. “Dadio wong kang luhur bebudene”, artinya jadilah orang yang
berbudi luhur.
5. “Sing sapa gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh welas
kamg linuwih gedhe ketimbang apa kang wis ditindakake”, artinya
barang siapa suka atau membuat senang orang lain, ia akan
mendapat balasan yang lebih banyak dari apa yang ia lakukan.
6. “Titikane aluhur,alusing bebuden lan legawane ati”, artinya
tandanya orang luhur, budinya halus dan berhati ikhlas.
7. “Sing sopo gelem ngelakoni kebecikan lan uga gelem lelaku iku ing
tembe bakal tampa nugrahaing pengeran”, artinya barang siapa suka
menjalankan kebaikan dan suka menjalankan tapa brata (prihatin)
kelak mendapat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
8. “Aja lali marang penggawe becik, jalaran penggawe becik iku
minangka dalane mulya sira”, artinya jangan melupakan perbuatan
yang baik sebab perbuatan baik itu lantaran kemuliaanmu.
9. “Wong tuo kudu minulang kang prayoga marang putra wayahe”,
artinya orang tua harus mengajarkan yang baik kepada anak
cucunya.
66
10. “Sing sapa seneng ngerusak ketentramaning liyan bakal dibendu
dening Pengeran lan diwelehke dening tumindake dewe”, artinya
barang siapa senang merusak ketentraman orang lain, akan mendapat
hukuman dari Tuhan Yang Yang Maha Esa dan hukuman itu
sebagian dari perbuatan dirinya sendiri.
Selain etika yang dituangkan dalam wewarah-wewarah Wringin Seto juga
mempunyai lima pedoman yang tertuang dalam Paugeran (pedoman moral) Panca
Budhi Barata:15
1. Penghayat kepercayaan adalah manusia berketuhanan Yang Maha
Esa serta menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Bangsa dan
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Penghayat kepercayaan adalah manusia susila berbudi pekerti luhur
penuh cinta kasih terhadap sesama titah serta membela kejujuran dan
kebenaran serta keadilan.
3. Penghayat kepercayaan adalah manusia teladan baik ucapan,
tindakan maupun dalam kehidupan sehari-hari dan seterusnya.
4. Penghayat kepercayaan adalah manusia karyawan yang berlandaskan
tekad suci “sepi ing pamrih, rame ing gawe, demi memayu hayuning
bawana seisinya.
5. Penghayat kepercayaan adalah manusia kerta yang membina
terwujudnya ketentraman, kerukunan dan kebahagiaan/ karahayon
15
Buku Saku Wringin Seto, 21 Desember 2015, h. 1.
67
lahir dan batin menurut masing-masing yang dianut, bebas dan
merdeka batin dan lahirnya selama-lamanya.
C. Penanaman Nilai Budi Luhur dalam Wringin Seto
Dalam pembahasan etika Wringin Seto maka tidak bisa lepas dari
bagaimana usaha penganut Wringin Seto dalam membentuk karakter budi luhur
kepada setiap penganutnya. Menurut mbah Daman, pembentukan karakter budi
luhur sangat penting bagi para penganut Wringin Seto sebagai sebuah modal
dalam beretika. Beliau menjelaskan bahwa etika Wringin Seto merupakan
seperangkat aturan yang menjadi rambu-rambu dalam berprilaku, dan aturan
tersebut berpotensi dilanggar atau tidak ditaati. Maka dari itu pembentukan
manusia yang berbudi luhur sangat penting agar etika yang berlaku tidak hanya
menjadi slogan atau hiasan belaka namun bisa ditaati dan dilaksanakan dengan
penuh kesadaran oleh para penganut Wringin Seto itu sendiri.16
Usaha-usaha yang dilaksanakan untuk menanamkan sifat budi luhur
kepada para penganut Wringin Seto adalah:
a. Ceramah, dilaksanakan di sanggar Wringin Sari.17
b. Pertemuan berkala, mengumpulkan para anggotanya atau yang
ditunjuk sebagai pengurus untuk membicarakan masalah-masalah yang
16
Wawancara Pribadi dengan Mbah Daman (Penuntun Wringin Seto Cabang Rembang di
rumah yang berada di Desa Waru Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah) pada tanggal 10
Agustus 2017. 17
Sanggar Wringin Sari merupakan tempat untuk berkumul atau bisa disebut sebagai aula
perkumpulan untuk membahas ceramaah-ceramaah atau sekedar tempat berkumpulnya acara-
acara.
68
menyangkut kepentingan anggota penghayat Wringin Seto dan
kepentingan masyarakat luas.
c. Berdoa bersama (menekung dalam keheningan jiwa ) di waktu malam.
Keheningan merupakan keadaan batin yang jernih dan bersih, sikap
pasrah secara total pikiran, perasaan, kemauan, sehingga mampu
merasakan dan memancarakan cahaya cinta kasih Tuhan Yang Maha
Esa yang berada dalam dirinya di tengah-tengah sesama hidup.
d. Mengajarkan Tirakat. Menurut penuturan pak Agus, Setiap penganut
Wringin Seto selalu melakukan tirakat, yaitu menahan hawa nafsu
dalam bentuk berpuasa atau "tarakan" atau mengurang-ngurangi hal
yang biasa dilakukan contohnya ketika tradisi Suran berpuasa selama 3
hari dan tarakan mengurangi makan atau megurangi jam tidur untuk
mendapatkan ketenangan dan memohon kepada Tuhan untuk diberikan
kemudahan dalam melakukan tujuan tertentu dan mencapai tingkatan
hidup yang lebih baik.18
Pembentukan budi luhur diarahkan agar para penganut Wringin Seto
mempunyai sifat-sifat yang mengarah kepada kesadaran etika di antaranya, gemar
menolong terhadap sesama, berhati sabar, setia atau taat kepada kewajiban yang
dibebankan jujur dan segala sesuatu perbuatan harus selalu didasarkan rasa taqwa
dan eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
18
Wawancara Pribadi dengan Eka Agus Tijana Budi (Penuntun Penerus Wringin Seto di
Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah) pada tanggal 2 Agustus 2017.
69
D. Macam-Macam Etika dalam Wringin Seto
1) Etika terhadap Keluarga
Menurut mbah Daman, wong tuwa kudu mulang kang prayoga
marang putra wayahe. Artinya, sebagai orang tua harus mendidik yang
baik terhadap anak dan cucunya. Makna tersebut diwujudkan dalam sikap
dan perilaku yang selalu memberi petuah-petuah dan teladan kepada anak
cucunya. Dan sikap tersebut diterapkan dalam hubungan yang terkecil
antara orang tua dan anaknya.19
Dalam membina kehidupan rumah tangga hubungan antara ayah,
ibu dan anak harus saling menghormati satu sama lain, dan di dalam
Wringin Seto ketika sudah membangun rumah tangga mereka tidak boleh
bercerai.
2) Etika bermasyarakat
Wringin Seto mempunyai konsep etika bermasyrakat yang
mengatur tentang pergaulan dalam kehidupan sosial serta bagaimana
perlakuan terhadap orang lain. Menurut Ign. Untung selaku ketua umum
pusat “Mardiko Ing Salabeting Kamardikan”. Artinya setiap manusia
mereka mempunyai kemerdekaannya masing-masing. Sebagai manusia kita
harus memanusiakan manusia (ngewongke uwong), tidak boleh membeda-
19
Wawancara Pribadi dengan Mbah Daman (Penuntun Wringin Seto Cabang Rembang di
rumah yang berada di Desa Waru Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah) pada tanggal 10
Agustus 2017.
70
bedakan dalam bermasyarakat karena manusia merupakan ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.20
Ada tiga poin penting dalam mengatur etika pergaulan dalam
masyarakat Wringin Seto daintaranya;
1. Panembah kepada Sang Pencipta artrinya etika Wringin Seto
dalam pergaulan masyarakat ditanamkan nilai-nilai ketuhanan
dengan harapan menciptakan rasa takut akan pelanggaran
terhadap norma-norma masyarakat sekitar maupun norma yang
berlaku untuk Wringin Seto.
2. Pangucap (lisan) ada ungkapan “awake dewe kui iso
ngomong, neng nek ngomong nganggo waton”. Artinya kita
bisa berucap, tapi kalau berucap harus memakai norma. Jadi
setiap perkataan yang keluar dari mulut haruslah dengan kata-
kata yang pantas dan sopan untuk didengarkan oleh orang lain.
3. Pakarti (tindakan) dalam Wringin Seto ada ungkapan yang
berbunyi “JARKONI” “iso ngujar ora iso ngelakoni”.
Artinya jadi orang jangan hanya bisa berbicara saja, tanpa
dibarengi dengan tindakan yang nyata. Juga jangan jadi orang
yang sukanya nyuruh-nyuruh saja tanpa sebuah tindakan
nyata.
20
Wawancara Pribadi dengan Ign. Untung Sadimin B. Sc. (Ketua Umum Pusat Wringin
Seto di rumah yang berada di Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah) pada
tanggal 7 Agustus 2017.
71
Dalam Etika bermasyarakat selanjutnya terdapat konsep asah, asih,
dan asuh. Konsep tersebut merupakan suasana saling mencintai (asih),
saling membelajarkan (asah) dan saling menolong (asuh) adalah kondisi
yang menjadikan hubungan manusia antara satu dengan yang lainya
menjalin kerukunan dalam rangka mewujudkan rasa sejahtera bersama.
Sikap dan perilaku adanya sebuah kebersamaan, keterbukaan dan saling
menerima diterapkan dalam hubungan seseorang dengan orang lain.
3) Etika bernegara
Dalam etika bernegara Wringin Seto menerapakan suatu kesadaran
atau yang mereka sebut sebagai rasa eling (ingat). Rasa eling ini secara
umum merupakan sebuah kesadaran akan sebuah tanggung jawab terhadap
orang tua, guru, pemerintah, bangsa, dan negara sebagai suatu totalitas dan
bentuk loyalitas terhadap negara. Keharusan adanya rasa eling merupakan
sebuah kesamaan, yaitu dalam segi orangnya sama, batinya sama, rasanya
sama, dan kerjanya sama. Jika manusia memperhatikan unsur tentang
kesamaan tersebut, maka secara tidak langsung akan terjalin hidup yang
damai, rukun, dan tentram bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyrakat,
dan bagi kehidupan berbangsan dan bernegara. Menurut penuturan pak
Suruso yang berkaitan dengan etika bernegara masyarakat Wringin Seto
memandang bahwa perbedaan masyarakat Indonesia adalah suatu hal yang
harus dipandang sebagai pemersatu bangsa bukan malah sebaliknya.
72
Pancasila merupakan patokan utama untuk menentukan etika penganut
Wringin Seto dalam bernegara.21
E. Contoh Sikap Pengimplementasian Ajaran Etika dalam Keseharian
Penganut Wringin Seto
Beberapa contoh pengimplementasian ajaran etika Wringin Seto yang
berkaitan dengan keluarga, masyarakat dan bernegara. Menurut penuturan
keempat narasumber dan penemuan lapangan penulis beberapa contoh tersebut
yaitu antara lain;
1. Menurut penuturan dari pak Untung bahwa percerain di antara
penganut Wringin Seto sangat sedikit.
2. Anak-anak muda penganut Wringin Seto sangat sopan terhadap
orang tua mereka, seperti gaya bicara halus, tindak tanduknya
sopan, tidak membangkan, serta mentaati apa yang diperintahkan
oleh orang yang lebih tua.
3. Penganut Wringin Seto sangat ramah terhadap pendatang dari
luar, seperti keramahan mereka terhadap penulis dan peneliti
lainnya dan juga banyak anak-anak SMA yang mengambil
dokumentasi untuk dijadikan tugas sekolah.
4. Penulis melihat bahwa penganut Wringin Seto ramah terhadap
masyarakat setempat.
21
Wawancara Pribadi dengan Pak Suroso (Ketua Cabang Rembang Wringin Seto di
rumah yang berada di Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah) pada
tanggal 14 Agustus 2017.
73
5. Penulis juga melihat ciri khas penganut Wringin Seto adalah
adanya rasa nasionalisme, ini dibuktikan dengan setiap menjelang
kemerdekaan para penganut Wringin Seto berkumpul guna
upacara pengibaran Bendera Merah Putih.
F. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Etika dalam Wringin Seto
Menurut penuturan keempat narasumber, penulis menyimpulkan bahwa
bagi penganut aliran Wringin Seto konsekuensi pelanggaran etika bersifat
individual dengan usaha-usaha penanaman budi luhur. Penganut Wringin Seto
sendiri tidak mempunyai hukuman berupa fisik bagi pelanggaran etika yang
dilanggar oleh penganutnya. Tugas yang harus dilakukan antara sesama penganut
Wringin Seto adalah saling mengingatkan ketika ada salah satu penganut
melakukan pelanggaran etika.
Ketika seorang penganut melakukan pelanggaran terhadap etika maka
hukuman yang akan diterima adalah balasan atas perbuatan apa yang diperbuat.
Seperti yang terdapat dalam ungkapan yang sering dipakai penganut Wringin Seto
"ngunduh woheng pakarti" artinya di dalam perbuatan apa yang dilakukan itu
adalah buah yang nantinya kita peroleh. Maksud dari ungkapan tersebut ialah
kebaikan akan mendapatkan kebaikan dan kejelekan akan mendapat balasan yang
setimpal, entah dari mana asalnya atau siapa yang menjadi perantara dari buah
perbuatannya, yang pasti semua akan ada akibatnya sesuai apa yang diperbuat.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis akan memaparkan sebuah kesimpulan yang kiranya merupakan
seluruh dari isi tulisan ini. Permasalahan yang mendasari tulisan ini adalah
bagaimana konsep etika dalam aliran Wringin Seto di Desa Soko Blora Jawa
Tengah. Pembahasan mengenai etika adalah bagian dari kemanusiaan. Etika
merupakan cerminan budi luhur. Dasarnya, dimulai dari Wejangan atau Wewarah
berbahasa Jawa yang inti dari semua itu adalah berbuat baik, menjauhi perbuatan
yang buruk, dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Hidup. Setelah dibekali
dasar etika, penghayat akan ditanamkan ketaataan melalui ceramaah dari
penasehat, pertemuan berkala, dan mengajarkan tirakat. Sehingga akan
melahirkan kesadaran etika di antaranya gemar menolong, sabar, jujur, rasa ingat
kepada Yang Maha Hidup.
Penganut Wringin Seto mengimplementasikan etika dalam keseharian
berupa etika terhadap keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Ketiga etika
tersebut melahirkan sikap harmonis, ramah tamah, sopan santun, memiliki rasa
nasionalisme terhadap bangsa. dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Konsekuensi pelanggaran etika dalam Wringin Seto lebih ditekankan kepada
keyakinan akan adanya balasan yang setimpal kepada orang yang melanggar.
Namun dalam etika Wringin Seto tidak terdapat hukuman yang tertulis.
75
B. Saran
Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan pengetahuan baru,
khususnya dalam aliran kepercayaan yang masih belum didengar oleh banyak
orang dan juga dan memberikan rujukan tentang konsep etika aliran Wringin Seto
di Desa Soko Blora Jawa Tengah.
Penulis berharap pada pihak Fakultas Ushuluddin menyediakan buku-buku
mengenai aliran kepercayaan Wringin Seto, dan saran untuk penulis lainnya
harap meneruskan tulisan tentang Aliran Wringin Seto.
76
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah M. A, Agama dalam Ilmu Perbandingan . Bandung: Nuansa Aulia,
2007.
Basuki, Hertoto, Mengenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa laku
hidup dalam : Managemen Manunggaling Kawulo Gusti 2013.
Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Buku Saku Wringin Seto, 21 Desember 20015.
Danuwijoto B. A., H. M. Seluk Beluk Aliran Kebatianan. Semarang: Djaura Prop.
Djateng bhg. Aliran, 1970.
Data Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Jawa Tengah Bulan Mei
2017.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Teknis Pembinaan Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebijaksanaan Teknis
Operasional Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Depdikbud, 1990.
Endraswara, Suwardi, Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam
Menjalani Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: NARASI, 2010.
Hadiwijono, Harun. Kebatinan dan Injil. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Hadiwijono, Harun. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta:
Sinar Harapan, 1983.
Hardjowirogo, Drs. Marbangun. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Budaya. Depok: fakultas ilmu
pengetahuan budaya universitas Indonesia.
77
Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai Kebatinan
Jawa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Kartapraja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Masagung, 1985.
K, Sukarji. Agama-Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya,
Bandung: CV Angkasa, 2007.
Maman KH., M.SI, U. Metodologi Penelitian Agama : Teori dan Praktik. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Meolong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LkiS, 2001.
Nusantoro, Yuventius Fusi. Menjadi manusia Berketuhanan Melalui Wewarah
Kekadhangan Wringin Seto Refleksi Terhadap Fungsi Institusi Agama
Katolik Dalam Usaha Pendalaman Penghayatan Umatnya Berealisasi
Dengan Yesus, Tesis, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Malang, 2000.
Ranhip, Aliran-Aliran Kepercayaan. Surabaya:Pustaka Progresif, 1997.
Ratna, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Soewardi, Koesoema Soerodiningrat. Naskah Pemaparan Budaya Spiritual
Organisasi Wringin Seto,Penyajian Pemaparan Budaya Spiritual di Hotel
Gondaria Cisarua, Bogor Jawa Barat Tanggal 3 S.D 5 Desember 1991.
78
Soewardi, Koesoema Soerodiningrat. Santi Aji Wigati Manusia Tanpa
Berketuhanan Tiadalah Ketentraman Hidup, Blora Jawa Tengah.
Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1981.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003.
Suseno, Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984.
Tim penyusun Depdikbud. Enksiklopedia Kekadhangan Wringin Seto Pusat
Nasional, Blora: depdikbud, 2015.
Tim Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi,
Enksiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Untung S, B. Sc, Ign., Pedoman Moral Panca Budhi Barata, Blora, 2005.
79
Wawancara:
Eka Agus Tijana Budi (Penuntut Penurus Aliran Kepercayaan Kekadangan
Wringin Seto Pusat Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah yang
merupakan putra dari Koesoema Soerodiningrat Soewardi).
Ign. Untung Sadimin B. Sc (Ketua Umum Pusat Aliran Kepercayaan Kekadangan
Wringin Seto Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah).
Pak Suroso (Ketua Cabang Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah Aliran
Kepercayaan Kekadangan Wringin Seto Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah).
Mbah Daman (Paranpara atau Penuntut Cabang Kabupaten Rembang Provinsi
Jawa Tengah Aliran Kepercayaan Kekadangan Wringin Seto Kabupaten
Blora Provinsi Jawa Tengah).
Mbak Sarti (Perangkat Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi
Jawa Tengah).
Pak Mulyono (Kepala Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Provinsi
Jawa Tengah).
80
Lampiran 1 : Surat Bukti Penelitian
81
82
Lampiran 2 : Surat Bukti Wawancara
83
84
85
86
87
Lampiran 3 : Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana tantangan ketika mendirikan Aliran Kepercayaan Wringin
Seto?
2. Dimana saja persebaran penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
3. Bentuk tradisi apa saja yang rutin dilakukan?
4. Bagaimana bentuk tradisi tersebut?
5. Apa ada konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
6. Tertuang dalam apa etika Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
7. Seperti apa konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
8. Dalam bentuk apa sanksi pelanggaran etika menurut Aliran Kepercayaan
Wringin Seto?
9. Bagaimana penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari?
10. Bagaimana penganut Wringin Seto memandang tentang etika?
88
Lampiran 4 : Hasil wawancara
Nama Eka Agus Tijana Budi
Jabatan Penuntut Penurus Aliran Kepercayaan Kekadangan
Wringin Seto Pusat Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah yang merupakan putera dari Koesoema
Soerodiningrat Soewardi
Tanggal
Wawancara
02 Agustus 2017
Tempat
Wawancara
Pusat Wringin Seto di Desa Soko Kecamatan Jepon
Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
1. Bagaimana tantangan ketika mendirikan Aliran Kepercayaan Wringin
Seto?
Belum banyak yang mengetahui aliran ini, selain itu juga dari segi lokasi
kekadangan ini jauh dari pusat kota Blora.
2. Dimana saja persebaran penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Sekitar Solo, Yogyakarta dan Wilayah Pantura.
3. Bentuk tradisi apa saja yang rutin dilakukan?
Suran, Sarasehan dan Tujuh Belasan
4. Bagaimana bentuk tradisi tersebut?
Suran tradisi ini dilakukan satu tahun sekali pada bulan Suro dalam
kalender Jawa.
89
Sarasehan ini merupakan tradisi untuk berkumpul yang dilakukan setiap
bulan pada hari selasa kliwon dan jumat kliwon.
Tujuh Bealasan tradisi khas dari Wringin seto, menaiki Gunung Lawu 9
hari.
5. Apa ada konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Iya, ada.
6. Tertuang dalam apa etika Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Tertuang dalam Panca Budhi Barata di dalam buku saku.
7. Seperti apa konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Etika Wringin Seto terbagi ke dalam 3 macam. Pertama, Etika berkeluarga
di mana antara bapak, ibuk dan anak harus saling menghargai satu sama
lain. Kedua, etika bermasyarakat bahwa kita manusia hidup saling
berdekatan dan saling membutuhkan jadi harus saling bahu membahu
dalam masyarakat. Ketiga, etika bernegara ini merupakan etika khas,
karen Wringin Seto merupakan aliran kepercayaan yang sangat nasionalis.
Masyarakat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan susah jadi kita harus
menghargai jasa para Pahlawan.
8. Dalam bentuk apa sanksi pelanggaran etika menurut Aliran Kepercayaan
Wringin Seto?
Tidak ada sanksi bagi pelanggaran etika, karena etika adalah buah dari diri
kita sendiri, jadi apa yang kita lakukan itulah apa yang nantinya kita
dapatkan.
9. Bagaimana penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari?
90
Di dalam keseharian manusia itu sangatlah penting menggunakan etika,
dan penerapan dalam keseharian ramaah terhadap orang-orang yang akan
melakukan penelitian di Wringin Seto, bertingkah laku baik terhadap
sesama dan beda kepercayaan.
10. Bagaimana penganut Wringin Seto memandang tentang etika?
Pandangan etika sangatlah penting karena kehidupan haruslah diatur
norma-norma tentang bagaimana seharusnya kita bermsyarakat. Dan juga
etika haruslah dijalankan dalam keseharian bukan hanya sebagai rambu-
rambu dalam kehidupan.
Nama Ign. Untung Sadimin B. Sc
Jabatan Ketua Umum Pusat Aliran Kepercayaan Kekadangan
Wringin Seto Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah.
Tanggal
Wawancara
07 Agustus 2017
Tempat
Wawancara
Kediaman Pak untung Desa Seso Kecamatan Jepon
Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
1. Bagaimana tantangan ketika mendirikan Aliran Kepercayaan Wringin
Seto?
91
Memang belum banyak yang mengetahui aliran ini, persebaranya juga
hanya dalam lingkup kadang saja.
2. Dimana saja persebaran penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Persebarannya di sekitar Solo karena mulanya aliran ini dibawa oleh
Eyang Amiseno dan Amiluhur setelahnya diteruskan oleh Djoyo Amiharjo
dan kemudian sesepuh penerus Eyang Koesoema Soerodiningrat Soewardi
dan saat ini diteruskan oleh kedua anaknya Eka Agus Tijana Budi dan Eka
Distya Saputra.
3. Bentuk tradisi apa saja yang rutin dilakukan?
Ada 3 tradisi yang rutin dilakukan, yang sifatnya bulanan seperti sarasehan
dan tahunan Suran atau Suroan dan Tujuh Belasan.
4. Bagaimana bentuk tradisi tersebut?
Ritual yang bersifat bulanan ini di hari selasa kliwon dan jum’at kliwon,
ini berupa doa bersama, bentuk bertukar pikiran atau musyawarah.
Ritual tahunan Suran acara yang sangat meriah mengundang masyrakat
untuk berbondong turut serta dalam acara ini, dan Tujuh Belasan menaiki
Gunung Lawu selama 9 meninggalkan keluarga untuk memupuk rasa
nasionalisme berdoa di atas puncak Gunung.
5. Apa ada konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Ada kosep etika karena etika sangatlah penting bagi kehidupan
bermasyarakat khususnya masrakat Jawa.
6. Tertuang dalam apa etika Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
92
Ini ada di dalam buku saku yang dibacakan setiap akan melaksanakan
acara, yaitu Panca Budhi Barata supaya penghayat senantiasa ingat
pedoman pedoman dalam beretika.
7. Seperti apa konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Etika dalam berkeluarga ya harus saling menghargai satu sama lain dan
dalam membina kekeluargaan tidak boleh bercerai, dalam masyarakat
setiap orang kan punya “Mardiko ing salabeting kamardikan” artinya
setiap orang mempunyai kemerdekaan masing-masing. jadi kita harus
memanusiakan manusia saling menghormati satu dengan lainya dan tidak
boleh membeda-bedakan. Dalam pergaulan juga ada 3 prinsip. Pertama,
panembah atau hubungan kepada Sang Pencipta. Kedua, Pangucap atau
ucapan. artinya kalau berbicara harus menggunakan norma. Ketiga, Pakarti
atau tindakan, artinya harus dilakukan jangan hanya bisa berucap tanpa
sebuah tindakan. Memegang juga konsep kebhinekaan.
8. Dalam bentuk apa sanksi pelanggaran etika menurut Aliran Kepercayaan
Wringin Seto?
Tidak ada sanksi karena etika merupakan cerminan langsung bagi diri kita
sendiri maka dari itu dia yang menanam dia pula yang menuai hasil
tersebut, dan itu adalah prinsip dari Wringin Seto. Jadi ketika seseorang
bernasib kurang baik itu dari dirinya sendiri, dari sikap penembahnya,
pangucapnya, dan pakartinya. Tugas penuntun antara satu dengan lainya
harus saling mengingatkan ketika ada kekeliruan.
9. Bagaimana penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari?
93
Penerapan keseharianya dalam beretika, secara kekeluargaan antara ayah,
ibu dan anak saling melengkapi dan tidak ada percerain di dalam rumah
tangga, dan penerapan kepada masyarakat, prinsip yang dipegang adalah
perilaku jujur, adil dan kesejahteraan.
10. Bagaimana penganut Wringin Seto memandang tentang etika?
Etika merupakan sebuah prinsip bagi kehidupan khususnya bagi
masyarakat Jawa sendiri, etika itu harus dijalankan bukan dipikirkan dan
setiap perkataan haruslah ada norma-normanya.
Nama Pak Suroso
Jabatan Ketua Cabang Kabupaten Rembang Provinsi Jawa
Tengah Aliran Kepercayaan Kekadangan Wringin
Seto Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah.
Tanggal
Wawancara
14 Agustus 2017
Tempat
Wawancara
Kediaman Pak Suroso di Desa Gegunung Wetan
Kabupaten Rembang
1. Bagaimana tantangan ketika mendirikan Aliran Kepercayaan Wringin
Seto?
Hanya sekitar kadang Wringin Seto.
2. Dimana saja persebaran penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
94
Persebarannya di sekitaran Jawa Tengah.
3. Bentuk tradisi apa saja yang rutin dilakukan?
Sarasehan, Tujuh Belasan dan Suran.
4. Bagaimana bentuk tradisi tersebut?
Sarasehan setiap selasa kliwon dan jumat kliwon yang diadakan di sanggar
yang di Blora, seperti ceramaah atau informasi menganai Wringin Seto.
Tujuh Belasan ini ditujukan memupuk rasa nasionalisme dengan cara
pengibaran bendera di atas Gunung Lawu dan merenung atas apa yang kita
lakukan setiap harinya serta berdoa untuk diri kita, untuk pendiri dan
untuk bangsa Indonesia.
Suran acra tahunan pada bulan Suro dalam kalender Jawa.
5. Apa ada konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Iya ada.
6. Tertuang dalam apa etika Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Tertuang dalam Panca Budhi Barata yang pada setiap acara selalu
dibacakan supaya antar anggota dan lainya terus mengingat pedoman ini.
7. Seperti apa konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Etika keluarga yang mengatur hubungan keluarga, etika berkehidupan atau
bermasyarakat mengatur hubungan masyrakat dan kenegaraan yang
berpatokan Pancasila
8. Dalam bentuk apa sanksi pelanggaran etika menurut Aliran Kepercayaan
Wringin Seto?
95
Dalam Wringin Seto sendiri tidak sanksi berupa tindakan langsung hanya
saja sebagai sesama anggota harus saling mengingatkan ketika ada salah
satu lalai dalam pedoman beretika.
9. Bagaimana penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari?
Didalam lingkup terkecil dahulu adalah dalam keluarga haruslah saling
menghargai, yang lebih tua memberi contoh kepada yang lebih muda.
Kepada sekitar saling tolong menolong. Jadi pribadi yang tegas tidak
boleh berubah-ubah dalam perkataan.
10. Bagaimana penganut Wringin Seto memandang tentang etika?
Ajaran atau pandangan etika sangatlah penting dan ini harus ditanamkan
sejak dini untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari.
Nama Mbah Daman
Jabatan Paranpara atau Penuntut Cabang Kabupaten
Rembang Provinsi Jawa Tengah Aliran Kepercayaan
Kekadangan Wringin Seto Kabupaten Blora Provinsi
Jawa Tengah
Tanggal
Wawancara
10 Agustus 2017
Tempat
Wawancara
Kediaman Mbah Daman Desa Waru Kabupaten
Rembang
96
1. Bagaimana tantangan ketika mendirikan Aliran Kepercayaan Wringin
Seto?
Nggeh ingkang ngertos mawon, dadose nggeh mboten roto. iya yang tau
saja, jadi kurang bisa merata.
2. Dimana saja persebaran penganut Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Persebaranipun niki nggeh Tuban, Semarang, Boyolali, sejawi hampir
wonten isine sedoyo. Sejawa hampir ada isinya semua.
3. Bentuk tradisi apa saja yang rutin dilakukan?
Seloso kliwonan kaleh jumat kliwon, Suronan atau Suran, kaleh pitulasan.
4. Bagaimana bentuk tradisi tersebut?
Ingkang Seloso kaleh Jumat niku nggeh pitutur ngoten niki dongo sareng-
sareng, Suran nggeh jawi ngoteniku lan pitulasan nggeh roso hormat
kaleh pejuang lan Bongso. Selasa dan jumat kliwon kumpul-kumpul dan
doa bersama, suran tradisi Jawa umumnya, dan Tujuh Belasan wujud rasa
nasonalisme terhadap para pahlawan dan bangsa kita.
5. Apa ada konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Nggeh Wonten, Iya Ada.
6. Tertuang dalam apa etika Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
Panca Budhi Barata
7. Seperti apa konsep etika dalam Aliran Kepercayaan Wringin Seto?
sapa gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh welas kamg linuwih
gedhe ketimbang apa kang wis ditindakake. Siapa saja yang membuat
97
orang lain bahagia, dia akan mendapat balasan yang lebih baik dari apa
yang dilakukannya
8. Dalam bentuk apa sanksi pelanggaran etika menurut Aliran Kepercayaan
Wringin Seto?
Moral niku nggeh ngundoh woh ing pakerti, dadine apik eleke nggeh
ingkang ngunduh awake piyambak. Jadi baik buruk apa yang dilakukan
tergantung dari apa yang diperbuat.
9. Bagaimana penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari?
Niki kann kulo tiang sepuh dadose kagem panutan, nek tumindak yow
tumindak seng apik, nek ngomong kui seng jujur. Sebagai orang tua
menjadi contoh bagi anak cucunya, ucapan juga harus yang baik-baik,
kepada siapa saja harus baik, harus jujur.
10. Bagaimana penganut Wringin Seto memandang tentang etika?
“Opo-opo kui nek ora dilakoni yo gak ngarah tok”, nek ilmu kan
dipelajari tapi yen laku kan dilakoni. Apapaun ketika hanya dalam ucapan
tidak akan kesampaian tanpa sebuah tindakan, jadi maksudnya etika butuh
sebuah penerapan bukan hanya sebuah pelajaran.
98
Lampiran 5 : Foto Kegiatan Lapangan
Foto 1: Kelurahan Soko Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Jawa Tengah
Foto 2: Pintu Masuk Kekadangan Wringin Seto Blora Jawa Tengah
99
Foto 3: Pintu Gerbang Kekadangan Wringin Seto
Foto 4: Wadah Kang Tansah Pinayungan
100
Foto 5: Penurunan Bendera Merah Putih
Foto 6: Kondisi bagian dalam dari Sasono Hangudi Sembah Raosing Gesang
101
Foto 7: Aula Banyu Mili
Foto 8: Pertapaan Sanggar Agung
102
Foto 9: Pertapaan Sanggar Melok
Foto 10: Pertapaan Pamelengan
103
Foto 11: Pertapaan Sanggar Atas
Foto 12: Jalan Menuju Atas pucak atau ke Makam Pendiri Wringin Seto
104
Foto 13: Tugu Pancasila
Foto 14: Tiang Bendera 18 Meter (Tugu Garudagung) dan Makam Pendiri
Wringin Seto
105
Foto 15: Gedung Pusaka
Foto 16: Makam Keluarga Kadang Wringin Seto
106
Foto 17: Penurunan Bendera di atas puncak bukit
Foto 18: Foto Bersama pak Agus Penerus Pendiri Wringin Seto
107
Foto 19: Bukti Wawancara dengan Pak Untung Ketua Umum Pusat
Foto 20: Bukti Wawancara dengan Pak Suroso Ketua Cabang Rembang
108
Foto 21: Bukti Wawancara dengan Mbah Daman Penuntun Cabang Rembang
Foto 22: Bukti Wawancara dengan Pak Agus pendiri Penerus
109
Foto 23: Bukti Wawancara dengan Pak Mulyono (Lurah) dan Mbak Sarti
(Perangkat Desa)
Foto 24: Bukti bahwa peneliti benar-benar telah melakukan penelitian secara
langsung
top related