konsep ibadah abdul qadir al -jailani...
Post on 21-Nov-2018
263 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIR AL-
ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
IRMANSYAH
NIM. 107043102190
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
i
KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB
SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh :
IRMANSYAH
NIM. 107043102190
Dibawah bimbingan
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP.196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435/2014
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2014-06-26
Irmansyah
iv
ABSTRAK
IRMANSYAH, NIM 107043102190. Konsep Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tinjauan
Maqashid Syari’ah Al-Syatibi. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH),
Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. Dibimbing oleh Bapak Dr. H. Muhammad
Taufiki, M.Ag (196511191998031002).
Isi vii + 68 halaman + 41 literatur.
Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang faqih sekaligus sufi, dalam buku sirr al-asrar beliau
bercerita tentang konsep ibadah yang mempunyai yang mempunyai dimensi syariat, tarekat dan
hakikat. Bagaimana kerangka teori maqashid syari’ah al-Syatibi meninjau konsep ibadah Abdul
Qadir al-Jailani.
Penelitian ini untuk menganalisis bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di
kitab Sirr – Al-Asrar dengan kerangka teori pemikiran al-Syatibi tentang maqashid -syari’ah dan
adakah kesesuaian praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan melakukan pendekatan
normatif filosofis. Adapun sumber data yang didapat melalui data primer dan data sekunder
dengan pengumpulan data melalui studi pustaka (Librari Reasearch), Data yang diperoleh
tersebut disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif
filosofis.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani yang
ditijau dari maqashid syari’ah al-syatibi mempunyai keseuaian dan mewujudkan maqashid
syari’ah.
Kata Kunci : Ibadah Abdul Qadir al-Jailani, maqashid syari’ah, al-Syatibi.
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d Tahun 2014.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat ilahi Rabbi, yang telah menurunkan cahaya ilmu-Nya, shalawat dan
salam semoga selalu tercurah ke hadirat Rasul pembawa cahaya Muhammad SAW. Di balik
terselesaikannya skripsi dengan judul “konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari
maqashid syariah al-syatibi”, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada :
1. Bapak H. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Hukum dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si, sebagai Sekretaris
Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya selama penulis menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran,
keramahan hati, dan nasehat-nasehat yang berharga yang telah bapak berikan.
vi
4. Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga ilmu ini memberikan
keberkahan bagi kita semua dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
5. Segenap pimpinan dan staf perpustakaa utama dan perpustakaan Fakultas Syari’ah Dan
Hukum yang telah memberikan fasilitasnya.
6. Kepada kedua orang tua yang penulis hormati dan cintai, penulis persembahkan skripsi ini
kepada ayahanda H.Zulkifli (alm) dan Ibunda Hj. Nurhasanah, yang telah membimbing dan
mendidik. Atas dukungan moril, materil, kesabaran, perhatian, cinta, keikhlasan serta kasih
sayang yang tiada habisnya, semoga Allah membalas dengan seluruh kebaikan, ananda sadar
bahwa semua yang kalian berikan tak akan mungkin tergantikan oleh apapun.
7. Untuk guru-guruku Ust. Cipta Bakti Gama, Lc, KH.Muhyidin, Ust.Syarif, Lc, Ust.
Muzammil al-hafidz, Ust.Zaenal muhtadi, al-hafidz, Ust. Ruslan, al-hafidz, Muhammad
Noer, Om Bagus, Ibu Ida farida, Ibu Sumarni, dan yang tak tersebutkan tanpa bimbingan
dan ilmu dari kalian, muridmu bukanlah apa-apa. Semoga Allah membalas dengan pahala
yang selalu mengalir.
8. Untuk teman-teman yang pernah hadir dalam hidupku fajar anugrah ramadhan, mahatir, cb
gama, ahmad jaelani, adnan syafi’i, akmal, andiyanto,iyus, syahiru, ujang, agus, syahirul,
irfan, maulana, irawan,khoirudin,septianto, prakoso bayu,gustar,adnan hanafi, wahyu ischan,
mulyani azam,rio sulaeman, zaenal ali muslim hidayat, subhan, arman, bimma, elvin
gunawan, aris, vera, maria, siti khoiriyah, ani rohimah,latifah nuzuli, nurhayati, jumiatun
diniah, betie febriana, teh dini retno utami, fikriyah, dan semua yang pernah kenal baik
semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada kehidupan kalian semua (Aamiin).
vii
9. Teman-teman seperjuangan jurusan PMF (Perbandingan Mazhab Fiqh) angkatan 2007 kelas
B, Kahfi Ust angkatan 10, forum diskusi LSIK gang solo ciputat, mahasantri nurul hikmah
angkatan 2010, multidimensi institute ciputat, LSIA bogor angkatan 2010, dan teman-teman
KKN 77 ceria cibitung kulon pamijahan.
10. Untuk istri tercinta yanah abdul hamid yang selalu memotivasi untuk menyelesaikan tugas
akhir ini, putriku tersayang naila khairina yang selalu membuat hatiku damai dengan melihat
senyum dan tawanya, semoga Allah selalu satukan kita sampai surga.
Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga selesainya skripsi ini,
semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik dan memperoleh balasan pahala
yang berlimpah ganda dari Allah Swt, (Aamiin) maka akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umunya.
Bogor, 5 Ramadhan 1435 H
2 juli 2014 M
viii
IRMANSYAH
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. . v
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Permasalahan ............................................................ 7
C. Tujuan ........................................................................................ 7
1. Tujuan Penelitian .............................................................. 7
2. Manfaat Penelitian ............................................................. 7
D. Kajian Pustaka Terdahulu ......................................................... 8
E. Metode Penelitian…………………………………………….. 10
F. Sistematika Penulisan…………………………………………. 10
BAB II AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID
SYARI’AH……………………… .................................................................. 12
A. Biografi al-Syatibi ................................................................... 12
1 kehidupan dan pendidikan al-Syatibi .................................... 10
2 Karya-karya .................................................................... 15
B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi..................................... 16
1. Pengertian Maqashid Syariah .............................................. 16
2. Dasar Maqashid Syariah ..................................................... 18
3. Pembagian Maqashid Syari’ah ............................................ 17
4. Syarat Memahami Maqashid Syari’ah ................................ 27
C. Maslahah adalah Maqashid Syari’ah ....................................... 28
x
BAB III ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM
SIRR AL-ASRAR ... ...................................................................................... 30
A. Biografi Abdul Qadir al-Jailani ................................................ 30
1. Kehidupan Dan Pendidikan .............................................. 30
2. Karya-karya ....................................................................... 33
B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas ............. 34
C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dalam Sirr Al-Asrar .. 36
1. Thaharah ............................................................................ 36
2. Shalat ................................................................................. 39
BAB IV ANALISA KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI
DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID
SYARIAH AL-SYATIBI……. ..................................................................... 44
A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqashid
syariah al-syatibi. .................................................................... 44
1. Thaharah ...................................................................... 47
2. Shalat ....................................................................... 54
B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dengan
Maqashid Syariah Al-Syatibi… ............................................... 58
1. Analisa Umum .................................................................... .. 59
Bab V PENUTUP………………… ............................................................ 65
5.1 Kesimpulan……. ..................................................................... 65
5.2 Saran ........................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ………………………. ................................... 67
LAMPIRAN
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang menekankan ketundukan secara total
pada Tuhan baik lahir maupun batin. Formalisasi sistem ketundukan
total ini kemudian dikemas dengan seperangkat panduan praktek
lahiriah yaitu syari’ah.1
Syari’ah adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan
kepada Allah,2 yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama
penciptaan manusia sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah az-
zariyat ayat 56.
Syari’ah adalah dimensi perundang-undangan dalam islam.
Ia adalh ketentuan yang ditetapkan oleh Syari’(Allah), melalui Rasul-
Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah atau larangan3
Dengan demikian tujuan Allah menciptakan jin dan manusia
adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini harus dilakukan
dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga
apapun yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk beribadah
kepada Allah swt semata.
1 M. Sa'i & Shohimun Faisol, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah
dalam Dakwah Islamiyah di Lombok, Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1 No.2, juni
2005, h. 4. 2 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006),
Cet.I, h.27 3 Kharisudin Aqid, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa
Naqsyabandiyah, (Surabaya, Dunia Ilmu, 1998), Cet I, h. 61
2
2
Di sisi lain, dipahami bahwa ibadah adalah perbuatan manusia
yang menunjukan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan
kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah. Adapun yang
memberi perintah untuk beribadah, adalah tiada lain kecuali Allah
swt. sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al-
Baqarah (2) : 21.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sasaran ibadah
hanyalah kepada Allah swt. Dengan kata lain, bahwa manusia
beribadah adalah untuk mengabdikan dirinya keada Allah sebagai
Tuhan yang telah menciptakan mereka.4
Ibadah yang diklasifikasikan kepada wadah syariah
mempunyai tujuan – tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid
syariah. Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata
yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian
maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan
pengertiannya secara bahasa (lughawi).
Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari
kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau
dimaksud. Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada,
yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat,
4 Suaidah, Idah, “Ibadah Dalam Al-Qur’an, Vol 1. No. 1(Oktober 2012): h. 169-170.
3
3
berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga diartikan dengan
menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).
Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as-
syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari asy-
syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak
pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan
alat. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai
mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a,
yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu
pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian
pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti
menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum
syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau
bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian,
yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga
awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.5
Jika Syari’ah adalah jalan maka pasti ada tujuan mengapa harus
melalui jalan ini dan maqashid syari’ah adalah tujuan hukum islam
yang harus dicapai. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
5 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Penerbit Pustaka Progressif, 1997., cet. 14, hal. 712.
4
4
al-Qur’an dan hadits – hadist Nabi sebagai sumber hukum utama
sehingga dapat dirumuskan hukum – hukum fiqh yang berorientasi
pada kemaslahatan.6
Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-
Nya tentang urusan agama, atau hukum yang ditetapkan dan
diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji,
zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan
kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Sebagaimana
firman Allah SWT (QS. al- Jatsiyah :18).
Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara
bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang
terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang
diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan
pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan
syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid
syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia
dan akhirat.7
Teori maqashid syari’ah sering diatribusikan kepada Umar Bin
Khattab. Al-Ghazali, melalui bimbingan al-Juwaini, mengembangkan
teori ini. Ditangan al-Syatibi, teori ini menjadi terkenal di seluruh
6 Ramin Abd. Wahid, Maqashid al-Syari'ah dan Penerapan Hak Asasi Manusia
dalam Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 1, Juni 2012, h.126 7 Rahmat Sadchalis, Maqashid asy-Syari’ah,
http://sadchalis15.wordpress.com/2013/09/09/maqashid-asy-syariah/, (diakses
15/02/2014)
5
5
dunia islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida
di Mesir, juga al-Maududi di India (kemudian Pakistan), mendorong
mengulas konsep maqashid secara agak mendalam.8
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
maqashid al Syari’ah adalah tujuan Allah sebagai Syari’ (Pembuat
Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hambaNya. Adapun inti
dari maqashid al Syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan
sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan
menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai
kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah
untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-
tujuan syara’9.
Terkait ibadah, Abdul Qadir Al-Jailani yang juga di juluki
“Sulthanul-Auliya” ini mengupas tentang aspek lahir dan batin dari
ibadah seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat dan lain sebagainya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani telah menggambarkan secara lengkap
tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu Syari’ah yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah melalui penerapan praktis
8 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik,
(yogyakarta,nawesea,2007), cet. II, h.28 9 Doni Darmawan, Pendekatan Maqashid al-Syari’ah Dalam Memeriksa dan
Memutuskan Perkara, http://www.pa-sijunjung.go.id/-index/index-artikel/395-
pendekatan-maqashid-al-syariah-dalam-memeriksa-dan-memutuskan-perkara-oleh-
doni-dermawan-sag-mhi--1312.html. (diakses 15/02/2014)
6
6
dengan keharusan untuk menghayati hakikat serta tujuan dari
diterapkannya syariat.10
Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan
melihat belum adanya yang membahas tetang konsep ibadah Abdul
Qadir Al-Jailani dalam tinjauan Maqashid Syari’ah maka penulis
mencoba untuk mengangkat sebuah judul skripsi tentang “ KONSEP
IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM TINJAUAN
MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI ”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah salah satu upaya untuk mempermudah
pembatasan dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a) Bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau
dari teori maqahid syari’ah al-Syatibi.?
b) Adakah kesesuain praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani
dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.?
2. Pembatasan Masalah
10
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, (Ciputat, Salima, 2013), cet. II, h.xxiii
7
7
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini
dimaksudkan agar pembahasannya mengenai sasaran dan tidak
mengambang. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah
bersuci dan shalat pada buku Sirrul-Asrar karya Abdul Qadir al-Jailani
dalam Bab Ibadah.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kerangka teori al-Syatibi tentang
maqashid syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di
kitab Sirr – Al-Asrar.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Memperluas dan memperdalam wawasan ilmu pengetahuan
khususnya dibidang Syari’ah.
b. Memberikan kontribusi positif dengan tersedianya data
tentang pandangan Al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah dalam
konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar.
c. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan rujukan bagi
pengembangan khazanah keilmuan ke depan.
D. Kajian Pustaka Terdahulu
8
8
untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama maka
diperlukan tinjauan kajian pustaka terdahulu. Berdasarkan
pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa
sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam
penulisan skripsi ini, Penelitian seputar kitab sirr al-asrar abdul qadir
al-jailani bukanlah yang pertama dan sering ditemukan, hingga
penelitian ini disusun penulis menemukan skripsi yang terkait dengan
kitab sirr al-asrar yaitu :
pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama mukhamad ma’ruf
(04511779) konsentrasi aqidah dan filsafat UIN sunan kali jaga
yogyakarta dengan judul “Konsep Zikir Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
(Telaah Kitab Sirr Al-Asrar)” yang membahas tentang zikir menurut
abdul qadir al-jailani dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Pada skripsi di atas membahas tentang zikir dan dalam skripsi
diatas tidak menerangkan tentang konsep shalat ataupun bersuci
menurut abdul qadir al-jailani, sedangkan skripsi ini membahas
bersuci dan shalat menurut abdul qadir al-jailani.
Sedangkan penelitian mengenai konsep maqashid syariah al-
syatibi sudah sangat banyak dan sering ditemukan, penulis juga
menemukan skripsi tentang maqashid syariah yatiu :
Pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama asnawi (04350018)
konsentrasi ahwal syakhsiyah UIN sunan kali jaga yogyakarta dengan
judul “Tinjauan Maqashid Syariah Terhadap Perkawinan Beda
9
9
Agama” yang membahas kasus perkawinan beda agama dan
bagaimana tinjauan maqashid syariah.
Pada skripsi diatas objek bahasannya adalah nikah beda agama,
sedangkan skripsi ini membahas konsep bersuci dan shalat menurut
abdul qadir al-jailani, jadi disnilah letak perbedaan dengan skripsi
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif dengan
melakukan pendekatan deskriptif normatif filosofis. Penulis
menggunakan dokumentasi naskah dengan menelusuri buku-buku,
artikel, dan karya ilmiah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan
ini.
Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan
sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis,
dengan demikian penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian
deskriptif normatif filosofis. Adapun teknik penulisan, penulis
menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan untuk
mempermudah dalam memahami penulisan ini, penulis menyusun
sistematika penulisan sebagai berikut:
10
10
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan Bab pembukaan skripsi yang meliputi latar
belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : AL-SYATIBI DAN TEORINYA
TENTANG MAQASHID SYARI’AH
Bab ini menguraikan sosok Al-Syatibi meliputi biografi
intelektual serta karya-karyanya dan Maqashid Syari’ah menurut Al-
Syatibi.
BAB III : ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN
KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR
Bab ini membahas tentang sosok Abdul Qadir Al-Jailani yang
meliputi meliputi biografi intelektual serta karya-karyanya dan konsep
ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirr Al-Asrar.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP KONSEP
IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR
AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-
SYATIBI
Bab ini membahas analisa prinsip umum syariat-tarekat-hakikat
ibadah dilihat dari pandangan maqashid syariah al-syatibi dan analisa
aplikasi prinsip umum ibadah (bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji)
dalam sirr al-asrar.
11
11
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran.
12
12
BAB II
AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID
SYARI’AH
A. Biografi al-Syatibi
1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi
Beliau adalah Ibrahim bin Musa, bin Muhammad al-Lakhmi al
Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Syathibi,
yang dijuluki dengan al Imam al Allaamah (yang sangat dalam ilmu
pengetahuannya), al Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk
meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi
solusi), al Qudwah (yang pantas diikuti), al Hafizh (yang telah
menghafal dan menjaga ribuan hadits), dan Mujtahid (yang mampu
mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).1
al-Syatibi oleh banyak penulis sejarah diduga berada di Granada
pada masa pemerintahan Ismail ibn Farraj yang berkuasa tahun 713
H, Muhammad ibn Ismail yang berkuasa tahun 725 H, Abu Hajjaj
ibn Yusuf ibn Ismail berkuasa pada tahun 734 H dan Muhammad al-
Ghani bi Allah ibn Abi Hujjaj Yusuf tahun 755 H.2
1 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
(Jakarta, Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 15 2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (jakarta,
RajaGrafindo, 1996), Cet.I, h. 17
13
13
Di masa al-Syatibi, Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada, sehingga Granada pada
masa itu hampir dapat disamakan dengan Cordova di masa filosof
dan faqih ternama Ibn Rusyd (w.594 H/1198 M). Istana Hamra
yang didirikan oleh Muhammad ibn Ahmar sebagai bukti
kesamaannya dengan Cordova yang merupakan puncak kemegahan
arsitektur Islam di Spanyol.3
al-Syatibi Beliau menimba ilmu pengetahuan Arab dan
sebagainya dari beberapa Imam besar, diantaranya:
a. Ibnu al Fakhar al Albiri. al Imam yang sudah terkenal
mendapat kelapangan dari Allah dalam keilmuannya. Kalau
pun tidak mengambil guru lain yang memiliki spesialisasi lain,
niscaya ia telah cukup.
b. Abu al Qasim as-Sabthi. al Imam yang mulia, bapak ilmu lisan
(bahasa), yang juga menjadi pensyarah kitab Makshurah
Hazim.
c. asy-Syarif Abu Abdullah at Talmasani. al Imam al Muhaqqiq
yang terpandai pada masanya.
d. Abu Abdullah al Muqri. al Imam yang memiliki keluasan ilmu
pada masanya (menurut kesepakatan umum).
3 Sidik Tono, “Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut al-Syatibi”.
Al-Mawarid Edisi XIII. (t.p 2005): h. 104.
14
14
e. Quthb Ad-Dairah —Syaikh al Jalah—. Seorang pemimpin
yang dikenal dengan sebutan Abu Said bin Lub. Imam yang
mulia, penjelajah ilmu, dan mahir dalam berdiploma.
f. Ibnu Marzuq Al Jad. Ulama besar, AIMuhaqqiq, dan guru ilmu
ushul.
g. Abu Abdullah al Balansi. Ulama besar, ahli tafsir, dan
pengarang.
h. Abu Ja'far Asy-Syaquri al Haj yang memiliki keluasan ilmu,
penjelajah ilmu, mahir dalam berdiploma, dan orang-orang
yang selalu bersamanya dapat mengambil banyak manfaat
darinya.
i. Abu al Abbas al Qabab. Penghafal hadits dan ahli dalam ilmu
fikih.
j. Abu Abdullah al Hafar. Seorang mufti dan seorang ahli hadits.
Untuk ilmu yang akan ditimba, beliau selalu menyertai
gurunya hingga hari wafatnya.4
Disamping itu, al-Syatibi mendalami pula ilmu falak, mantiq,
debat dan sastra. Pengetahuan sastra ia terima dari Abu Bakar al-
Qarsyi al-Hasymi, salah seorang sastrawan Spanyol. Sebagai
seorang ulama, al-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan
pemerintah pada waktu itu dalam memecahkan permasalahan-
permasalahan keagamaan atau permasalahan kenegaraan yang
4 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
h. XViii
15
15
memerlukan tilikan keagamaan, ketokohan al-Syatibi sebagai
ilmuwan, disamping terlihat dari kegiatan belajar mengajar yang
diemban dan keterlibatannya dalam memberi respon terhadap
permasalahan keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin
keilmuan yang didalaminya, juga terlihat dari warisan karya-karya
ilmiah yg ditinggalkannya. al-Syatibi meninggal pada tahun 790 H.5
2. Karya-Karya
al-Syatibi banyak membuat karya-karya berharga diantaranya:
1. Syarah terhadap kitab Al-Khulashah fi An-Nahwi,
2. Kitab Al Muwafaqat yang hanya membahas tentang ilmu
ushul fikih, yang beliau beri nama Unwan At-Ta'rif bi Ushul
At-Taklif. Kitab berharga yang belum ada tandingannya, yang
sekaligus menunjukkan dan memantapkan posisinya sebagai
seorang imam.
3. Kitab Al-Ifadat wa Al-Irsyadat dicetak dalam dua buku.
4. Kitab Unwan Al It-Tifaq fi Ilmi AI Isytiqaq.
5. Kitab dasar mengenai ilmu nahwu. Hal ini telah beliau
sebutkan secara bersamaan dalam kitab Syarh Alffyah.6
5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 23-25.
6 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),
h. XX.
16
16
Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh ulama semasa al-
Syatibi, para pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam dan
cendikiawan-cendikiawan muslim akhir-akhir ini memberikan
gambaran awal bahwa al-Syatibi merupakan salah seorang ulama
yang telah meletakan dasar pengembangan pemikiran hukum Islam,
Ushul fiqh.7
B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi
1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Maqashid al-Syari’ah secara lughawi (bahasa), terdiri dari dua
kata yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid merupakan bentuk
jama’ dari kata maqshid yang berarti tujuan.8 Secara akar
bahasa, maqashid berasal dari kata ( َقَصَد ) qashada,( َيْقِصُد )
yaqshidu,( َقْصًدا ) qashdan, yang berarti Tujuan, Maksud, dan
Sengaja.9
Sedangkan syari’ah adalah peraturan-peraturan yang di ciptakan
Allah atau diciptakan pokok-pokoknya, agar manusia berpegang
7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 31.
8 Lihat Hans Wehr, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed)
(new york, spoken english service, 1976), h. 767 9 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Penerbit Pustaka Progressif, 1997), cet. 14, h. 1123.
17
17
padanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, saudara sesama
muslim, saudara sesama manusia, alam semesta dan kehidupan.10
Pada mulanya, istilah syariat mempunyai arti yang luas, tidak
hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan
segala yang diperintahkan Allah, menaati-Nya, beriman kepada
rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan dan segala sesuatu
yang membuat seseorang menjadi muslim sejati.11
Maqashid Syari’ah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat
Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam al-Syatibi
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat :
الشزيعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين هذه
والدنيا معا
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya
(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.12
Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan Syariat (aturan hukum)
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan
(jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa lebih mudah,
10
Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syariah, (jakarta, pustaka amani, 1966),
Cet.III, h. 5. 11
Hamka haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-
Muawafaqat, (t.t, Erlangga, 2007), Cet.I, h.14. 12
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,(Beirut, Ibrahim ibn Musa al-
Maliki, t.t) Jilid I, h. 3.
18
18
aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanya untuk kemaslahatan
manusia itu sendiri.13
al-Syatibi membagi maslahat ini pada tiga bagian penting yaitu
dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat
(pelengkap).14
Pertama daruriyyat yaitu sesuatu yang harus ada demi
kelangsungan hidup manusia, jika tidak ada makakehidupan manusia
akan hancur. kedua hajiyyat sesuatu yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup manusia jika tidak ada manusia tak akan hancur
tapi mengalami kesulitan, ketiga tahsiniat sesuatu yang
memperindah atau melngkapi.15
Penulis melihat maqashid syari’ah dimaknai tujuan Allah dan
Rasul-Nya dalam membuat hukum Islam. Tujuan ini bisa diketahui
dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alasan kuat bagi rumusan satu
hukum yang mempunyai visi pada kemaslahatan manusia.
2. Dasar Maqashid Syari’ah
Penekanan maqashid syari’ah yang dilakukan oleh al-Syatibi
secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang
13
Asmuni Mth, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn
2005.h. 167. 14
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,(Darul ibn Affan, Abu Ubaidah
Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 18.
15
Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumula Politik, (yogya,
nawesea, 2007) Cet.II, h.27-28.
19
19
menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah SWT mengandung
kemaslahatan.16
Ayat-ayat itu antara lain adalah berkaitan dengan pengutusan
Rasul dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 165 Allah SWT
berfirman:
(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini megisyaratakan bahwa Rasul-rasul yang diutus Allah
bukan hanya sekedar membawa peringatan tapi menyampaikan
maksud-maksud Tuhan.
Dalam surah al-Anbiya ayat 107 Allah SWT menegaskan:
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.
16
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah
Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.
20
20
Dalam ayat ini jelas sekali Tuhan mengutus Nabi Muhammad
Saw untuk memberi kemaslahatan bagi manusia dan seluruh alam.
Berkaitan dengan asal penciptaan, Allah SWT berfirman dalam
surah Hud ayat 7
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia
menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.17
Ketiga ayat diatas menunjukan pada kita bahwa semua yang
Tuhan ciptakan dan Tuhan turunkan berupa syariat adalah rahmat
sekaligus maslahat bagi manusia dan alam.
3. Pembagian Maqashid Syari’ah
Allah SWT mensyari’atkan hukum bertujuan memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik
di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui
taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber
hukum yang utama, Al-Qur’an dan Hadist. Dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan
17
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah
Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 12.
21
21
penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur yang harus dipelihara
dan diwujudkan.18
Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan,
manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik.19
Dalam usaha memperoleh gambaran utuh tentang teori
maqashid syari’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok
kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing yaitu20
:
1) Hifdz ad-Din (memelihara agama)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama peringkat daruriyyat, yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk
peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu.
Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah
eksistensi agama.
b. Memelihara agama peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, bermaksud menghindari kesulitan, seperti
shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang
bepergian. jika tidak dilaksanakan maka tidak mengancam
18
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997), Cet. 1, h.125. 19
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah
Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.
20
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997), Cet. 1, h.128-130
22
22
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
c. Memelihara agama peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap
Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di
luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat.21
2) Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)
Hak pertama dan utama yang diperhatikan islam adalah hak
hidup, maka tidak diherankan bila jiwa manusia dalam syariat
Allah sangat dimuliakan, harus dipelihara, dijaga,
dipertahankan.22
berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini
diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia.
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti
diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan
yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka
21
Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam
Pengembangan Hukum Islam Kontemporer” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.171. 22
Ahmad Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta, Amzah, 2009), Cet.II, h.
23.
23
23
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya
mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini
hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama
sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, atau
pun mempersulit kehidupan seseorang.23
3) Hifdz al-Aql (memelihara akal)
Akal mendapat penghargaan tinggi karena berkemampuan
untuk mengetahui maslahah sebagai tujuan syariat, Allah
menciptakan menciptakan manusia dalam keadaan tidak tahu
apa-apa. Kemudian Allah memberinya ilmu dan petunjuk untuk
kemaslahatannya di dunia dan akhirat.24
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti
diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini
tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti
dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu
dilakukan, maka tidak akan merusak akal,tetapi akan
23
Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172 24
Hamka Haq, Al-Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-
Muwafaqat,(t.t Erlangga, 2007) Cet.I, h. 109.
24
24
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan
pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket,
tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.25
4) Hifdz an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)
Pernikahan dalam islam merupakan hal yang sangat penting
karena sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan
manusia di atas bumi, sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya Saw,
menetapkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, berkaitan
pernikahan. 26
Islam ingin menjaga eksistensi keturunan atau kehormatan
dengan melarang zina, memerintahkan nikah dan melarang
menuduh zina tanpa bukti.
Islam juga mengharuskan orang tua memenuhi hak-hak
anak, misalnya hak mendapat perawatan yang layak dan pilihan
untuk menentukan fasilitas perawatan diserahkan kepada rasa
estetika dan kemampuan lokal.27
25
Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 26
Anita Masduki, “Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal”
Islamia III, No.5 (2010): h.99.
27
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh Vs hermeneutika : membaca islam dari kanada
dan amerika, (yogyakarta, nawesea, 2007) Cet.IV, h.51.
25
25
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat
kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, sepert
disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
disyari’atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan.28
5) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda)
Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam
kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terlepas darinya,
manusia termotivasi mencari harta untuk menjaga eksistensinya,
namun semua motivasi dibatasi tiga syarat, yaitu harta di cari
dengan halal, digunakan untuk hal-hal yang halal, dan harta
harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. 29
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti
syari’at tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan
28
Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 29
Ahmad Husain Jauhar, Maqashid Syariah), Cet.II, h. 167.
26
26
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya
aksistensi harta.
b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, sepert syari’at
tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak
dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti
ketentuan tentang menghindarkan diri dari tindak
penipuan dan pengecohan.30
maqashid al-daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima
unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas. maqashid al-
hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih
baik lagi, Sedangkan maqashid al-tahsiniyat dimaksudkan untuk
penyempurnaan lima unsur pokok.31
Pembagian-pembagian
tersebut di atas, sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci,
menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang
disyari’atkan oleh Allah SWT.
30
Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 31
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 72.
27
27
mas lah ah bersifat universal, berlaku umum dan abadi bagi
seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Mas lah ah yang
diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan
untuk kepentingan Allah. Namun demikian, manusia tidak boleh
menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan syariat Allah.32
4. Syarat-syarat dalam memahami Maqashid Syari’ah Bagi al-
Syatibi
Sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an. maqashid
syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu,
pemahaman dan penggaliannya memerlukan beberapa syarat.
Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang
dibutuhkan dalam rangka memahami maqashid syari’ah diantaranya
yaitu:
a. Memiliki pengetahuan bahasa arab
b. Memiliki pengetahuan tentang sunnah
c. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat33
Ketiga hal diatas harus dimiliki sebagai alat membedah
maqashid jika tidak tentu akan kesulitan untuk memahami maksud
dan tujuan Tuhan dalam al-Qur’an.
32 Hamka Haq, Al-Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-
Muwafaqat, Cet.I, h. 109. 33
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 74.
28
28
C. Maslahah adalah Maqashid Syari’ah
mas lah ah secara bahasa atau etimologi (bahasa arab) adalah
berarti kemanfaatan, kebaikan, kepentingan. Dalam bahasa Indonesia
sering ditulis dan disebut dengan kata maslahat (lawan kata dari
mafsadat) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan
(keselamatan), faedah, guna. Sedangakan kemaslahatan berarti
kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.34
Syari’ah Islam itu adalah syari’ah mashlahah. Norma hukum
yang dikandung teks-teks syari’ah pasti dapat mewujudkan
mas lah ah, sehingga tidak ada maslahah diluar petunjuk teks
syari’ah dan karena itu tidak ada pertentangan antara mashlahah dan
teks syari’ah.35
Adapun pengertian mas lah ah secara terminologi adalah
memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yaitu meliputi pemeliharaan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang
dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut
dikualifikasi sebagai mas lah ah.36
Sementara itu pembagian mas lah ah pada umumnya ulama
lebih dulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’
terhadapnya.
34
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang, UIN malang Press, 2007) Cet.
1, h.113. 35
Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli
2011): h.142. 36
Ibid.
29
29
Berdasarkan segi ada tidaknyan ketegasan justifikasi syara’
maslahah dibagi tiga yaitu :
1) al- mas lah ah al-mu’tabarah atau mu’atsirah yaitu mas lah ah
yang mendapat ketegasan justifikasi syara’ terhadap penerimaannya
atau mas lah ah yang secara khusus diakui oleh syara’.37
2) al- mas lah ah al-mursalah yaitu mas lah ah yang tidak
terdapat dalil syara’ yang secara khusus mengakui ataupun
menolaknya.
3) al- mas lah ah al-mulgha adalah mas lah ah yang terdapat
kesaksian syara’ yang membatalkannya (menolaknya),
mas lah ah mulgha ini batil artinya tidak dapat dijadikan hujjah
atau sumber hukum karena ia bertentangan dengan nash. 38
Sesungguhnya penilaian sesuatu itu mas lah ah atau tidak
adalah murni akal tetapi ulama membuat tiga katagori ini agar jelas
mana maslahat yang bisa di ambil dan yang tidak. Sehingga jelas
konsep mas lah ah ini tidak menabrak koridor-koridor yang
disepakati.
37
Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli
2011): h.143. 38
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, h. 129
30
30
BAB III
ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM
SIRR AL-ASRAR
A. Biografi Abdul Qadir Al-Jailani
1. Kehidupan dan Pendidikan Abdul Qadir al-Jailani
Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tanggal 1 Ramadhan tahun
470 Hijriah atau 1077 Masehi di Jailan, Persia. Ibunya seorang yang
saleh bernama Fatimah binti Abdullah al-Shama‟i al-Husayni ketika
melahirkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ibunya berusia 60 tahun,
suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita seumurnya.1
Nama ayah Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Shaleh Musa
bin Abdullah bin Musa al-jun bin Abdullah al-Mahdh bin Abu
Muhammad Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib
(suami dari Sayyidah Fathimah, putri Rasulullah saw).2
Ayahnya Abu Shaleh Musa adalah seorang yang sangat zuhud
dan rajin beribadah hingga beliau mendapat gelar dalam bahasa
persia dengan sebutan Jangki Dausat atau muhibb al-jadid yakni
orang yang mencintai jihad melawan hawa nafsu.3
1 Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia,( Jakarta, Prenada Media, 2005), Cet.2, h. 26 . 2 Syukron Maksum, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (yogyakarta,
mutiara media, 2014), Cet. I, H. 201. 3 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar ...Rasaning Rasa, (Ciputat, Salima,
2013), cet. II, h.xxv
31
31
Abdul Qadir al-Jailani tiba di Baghdad pada tahun 488 H, pada
saat beliau berusia 18 tahun. Tahun itu juga betepatan dengan
keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan
tugasnya mengajar di Universitas Nizhamiah, Baghdad. Sang imam
ternyata lebih memilih melakukan uzlah.4
Beliau (Abdul Qadir al-Jailani) kemudian sibuk dalam
mempelajari Al-Qur‟an sampai menguasainya. Lalu belajar fikih
serta memantapkan keilmuan beliau dalam bidang ushul fikih,
furu‟ul-fikh, dan ilmu khilaf.5
Beliau juga mempelajari hadist dan sibuk dengan mau‟idhah
sampai beliau mahir memberikan mau‟idhah. Beliau belajar ilmu
dari para ulama yang tersohor pada masanya. Di antara guru-guru
beliau adalah sebagai berikut.6
Ali bin Aqil Abul Wafa‟ bin Aqil (w. 513 H), Mahfudz bin
Ahmad bin Hasan Abul Khattab al-Kalwadzaniy (w. 510 H), Yahya
bin Ali bin Muhammad Abu Zakariya At-Tibriziy (w.502 H),
Muhammad bin Muhammad bin Husain Abul-Husain bin Abu ya‟la
al-Farra‟ (w.526 H), Habitullah bin Mubarak bin Musa Abul-Barakat
As-Saqhathy (w 509. H), Hammad bin Muslim Abu Abdillah Ad-
Dabbas Ar-Rahbiy (w.525 H), dan guru-gurnya yang lain.7
4 Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-
Jaylani, (Jakarta, Zaman, 2012), Cet. IV, h. 16. 5 Abdul Qadir Al-Jailani, Kitab Para Pencari Tuhan, (Yogyakarta, Citra Media
Pustaka, 2013), Cet. I, h. XV 6 Ibid., h.XV
7 Ibid, h.XVi
32
32
Selain itu pada umur 18 tahun beliau belajar di madrasah
Abu Said al-Makhzumi setelah 33 tahun belajar gurunya Abu Said
al-Makhzumi wafat dan menyerahkan madrasahnya kepada Abdul
Qadir al-Jailani, mulai saat itu, beliau memberikan kuliah di
madrasahnya. Beliau memberikan materi 3 kali dalam seminggu.
Beliau menguasai berbagai cabang ilmu dalam islam, mulai dari
ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Bahasa, Qira‟at, dan lain sebagainya.
Dalam hal fikih, beliau memberi fatwa menurut mazhab imam Asy-
Syafii dan Imam Ahmad ibn Hanbal.8
Ada dua jenis materi pembelajaran yang di sajikan Abdul Qadir
al-Jailani. Pertama materi pembelajaran tersetuktur yang mencakup
banyak ilmu pengetahuanb yang berhubungan dengan pendidikan
rohani dan ini sudah ada sejak sekolah didirikan, kedua materi
pembelajaran terkait tausiah dan dakwah umat yang rutin diadakan
dalm 3 sesi, (1). Jumat pagi (2) selasa sore (3) ahad pagi. Pada jumat
dan selasa di sekolah sedang ahad dilakukan di asrama.9
Murid – murid Abdul Qadir al-Jailani tak terhitung banyaknya
tapi ada beberapa muridnya yang menjadi bintang-bintang di dunia
keilmuan dan menjadi pelita ditengah-tengah umat. Diantarnya Al-
8 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxvi
9 Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-
Jaylani, h. 76.
33
33
Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali Hadhar Al-Qurasyi, Taqiyudin
Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur
Al-Maqdisi, dan Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin
Ahmad bin Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi.10
Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Aku telah
meneliti semua amal shaleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan
amal memberi makan.” Dan dikalangan kaum Sufi Abdul Qadir al-
Jailani diakui sosok yang menempati hierarki mistik yang tertinggi
(al-Ghawts al-A‟zham).11
Selain itu juga beliau dijuluki sebagai
Sulthan al-Auliya (pemimpin para wali) karena klaim beliau dan
pengakuan ulama-ulama sufi yang sezaman dengan beliau.
Abdul Qadir al-Jailani meninggal pada malam sabtu tanggal
delapan Rabi‟ul Akhir tahun 561 H setelah magrib jenazahnya
dikubur di sekolahannya setelah disaksikan oleh manusia yang tidak
terhitung jumlahnya. 12
Diceritakan dalam pengantar tafsir al-jailani bahwa Pada saat
itu, semua tanah lapang, jalan, pasar, penuh oleh lautan manusia,
sehingga tak mungkin pemakaman Syekh dapat dilakukan disiang
hari.
Kemudian ibnu an-Najjar berkata, “Syekh Abdul Qadir al-
Jailani wafat pada masa pemerintahan Al-Mustanjid Billah Abul
10
Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani,
(Jakarta, Darul Falah, 2003), Cet. I, h. 16 11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxv 12
Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h. 16.
34
34
Muzhaffar Yusuf bin Al-Muqtafa li-Amrillah bin Al-Mustazhhar
Billah al-Abbasi rahimahumullah.13
2. Karya – karya
1) Karya-Umum
Berikut adalah beberapa karya Abdul Qadir al-Jailani14
:
a. Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq,
b. Futuhul Ghaib,
c. Al-Fath ar-Rabbani,
d. Jalâ‟ Al-Khâthir,
e. Sirr Al- Asrâr,
f. Ar-Rasâil,
g. Mukhtasar „Ulûm Ad-dîn,
h. Ushûl Ad-dîn
i. Ushûl-As-Saba‟
j. Ash-Shalawât wa al-Aurâd
k. Al-Amr al-Muh kam
l. Tafsîr Al-Jailâni.
m. Asrâr-Al-Asrâr
n. Yawâqît al-H ikam dan masih banyak karya yang lainya.15
13
Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir Al-Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil
Jailani Al-Hasani), (Ciputat, Salima Publika, 2013), Cet I, h. X.
15 Ibid, h. ix
35
35
Dalam disertasi Said al-Qathani yang berjudul buku putih
Abdul Qadir al-Jailani dinyatakan bahwa Abdul Qadir al-Jailani
tidak mempunyai karya berupa buku karena beliau terlalu sibuk
mengajar dan memberi nasehat.
al-Qathani hanya menerima tiga buku yang ditulis oleh
murid-murid Abdul Qadir al-Jailani yaitu Al-Ghunyah li Thalibi
Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, dan Al-Fath ar-Rabbani.16
Dan
tidak menerima isi dalam ketiga kitab diatas jika berkaitan
dengan masalah aqidah dan suluk (tasawuf).
Sebenarnya buku-buku yang dinisbatkan Abdul Qadir al-
Jailani banyak ditulis oleh murid-murid beliau dan memang
banyak yang isinya adalah ceramah saat mengajar, tapi buku-
buku ini banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.
pada saat ini telah berdiri markaz al-Jailani yang
mengumpulkan manuskrip dari seluruh dunia serta melakukan
riset terhadap buku-buku Abdul Qadir al-Jailani dan empat belas
buku yang disebutkan diatas diakui oleh pimpinan markaz al-
jailnai yaitu Dr. Muhammad Fadhil jailani al-Hasani yang
dijadikan pengantar di buku Tafsir al-Jailani, yang berhasil
beliau tahkik.17
2) Kitab Sirr Al- Asrâr
16
Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.30-35. 17
Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani, h. ix-xxvi.
36
36
Dalam membaca buku ini secara singkat dapat dikatakan bahwa
buku ini menjelaskan hal-hal mendasar dari ajaran islam, seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji berdasarkan sudut pandang sufistik
(tasawuf).
Kitab yang ditulis Abdul Qadir al-Jailani di anggap sebagai
jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yang terkenal yaitu
Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq, Al-Fath Ar-Rabbani wa Al-
Faydh Ar-Rahmani dan Futuh Al-Ghaib.18
Adapun metode pengajaran dan penyampaian yang
digunakan dalam kitab sirrul asrar adalah metode bayani
(penjelasan), yakni dengan kata-kata yang tepat, ungkapan yang
mudah, seimbang dan jauh dari keruwetan. Sesuai dengan namanya
yaitu Sirrul Asrar, setidaknya 24 macam rahasia yang diungkapkan
Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini.19
B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas
Penulis melihat Abdul Qadir al-Jailani mempunyai cakrawala
berfikir yang unik dalam menjelaskan ajaran islam. Abdul Qadir al-
Jailani memandang realitas dunia ini tidak hanya secara fisik yang bisa
terindera saja tapi juga ada tingkatan alam-alam.
Dalam kitab Sirr Al- Asrâr dijelaskan manusia yang terdiri dari
jasad serta ruh dan sesungguhnya ruh-ruh itu berasal dari Nur
18
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxi 19
ibid
37
37
Muhammad di alam lahut selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam
terendah ke dalam jasad-jasad manusia.20
Proses turunnya ruh setelah diciptakan di alam lahut, kemudian
diturunkan ke alam jabarut. Lalu disana ia dibalut dengan cahaya
jabarut sebagai pakaian antara dua haram (dua tempat antara dimensi
ketuhanan dan dimensi makhluk, di alam kabir). Ruh dilapisan kedua
ini disebut Ruh Sulthani. Lalu diturunkan lagi ke alam Malakut dan
dibalut cahaya Malakut kemudian disebut Ruh Ruwani. Kemudian
diturunkan ke alam Mulki dan dibalut cahaya Mulki. Ruh dilapisan
keempat inilah yang disebut Ruh Jismani. Selanjutnya Allah
menciptakan jasad-jasad sebagaimana firman Allah (QS. Thâha [20] :
55), setelah tercipta jasad-jasad Allah SWT memerintahkan Ruh (di
alam Mulki tadi) agar masuk ke dalam jasad-jasad itu dan Ruh pun
masuk kedalamnya.21
Abdul Qadir al-Jailani melihat bahwa kehidupan ini sesungguhnya
ada hirarki transendental dari alam Mulki, alam Malakut, alam Jabarut,
dan alam Lahut (negeri asal), dan sesungguhnya cakrawala pengetahuan
tentang hirarki ini bisa di capai dengan menjalankan syariat, tariqat dan
hakikat.
C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr Al-Asrar
20
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. 10
21 Ibid, h. 13-14.
38
38
Dalam penelitian ini penulis mencoba menelaah kitab sirrul asrar
khususnya pada bab tentang ibadah yaitu konsep thaharah dan shalat.
Pada kitab Sirr Al-Asrar Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang
thaharah (bersuci) dan shalat menurut syari‟at dan tarekat.
1. Thaharah
Bersuci ada dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci
secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan menggunakan
air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat, talqin,
membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu syari‟at
batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui
wudhunya.22
Setiap memperbaharui whudu akan menghapuskan dosa-
dosanya, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artnya : “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Apabila seorang hamba muslim atau mukmin
berwudhu, lalu membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya
segala dosa-dosa karena penglihatan matanya bersama dengan air
atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua
tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya segala dosa-dosa
karena perbuatan kedua tangannya bersama dengan air atau
bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya
maka keluarlah dari kedua kakinya segala dosa-dosa yang ditempuh
oleh kedua kakinya bersama dengan air atau bersama tetes air yang
22
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.
39
39
terakhir sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa”
(HR.Muslim)23
Bila wudhu batin batal karena melakukan amalan yang tercela
dan akhlak yang hina, seperti (dosa kalbu yakni) sombong, „ujub
(berbangga diri), hasad (dengki), hiqd (dendam), mengumpat,
mengadu-adu, dan bohong atau dosa badan, seperti dosa mata,
telinga, tangan, dan kaki. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artinya : “Kedua mata dapat berzina, kedua tangan dapat berzina,
& kemaluan membenarkannya atau menolaknya.”(HR.Ahmad).24
Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang
ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan
memperbarui inabah (kembali kepada Allah) yakni dengan
menyesali semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta
menghancurkan dosa-dosa tersebut langsung dari batinnya.
Bagi Abdul Qadir al-Jailani Seorang ahli makrifat harus selalu
menjaga tobatnya dari dosa-dosa yang merusak tadi, agar shalatnya
menjadi sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT ,
23
Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī,
Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.148. 24
Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, (Kairo, Yayasan
Cordova, t.t), juz II, hlm. 344.
40
40
Artinya :“Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu kepada setiap
hamba yang selalu kembali kepada Allah dengan bertobat dan
memelihara semua peraturan-peraturannya. ” (QS. Qaf (50): 32).
Jika wudhu lahir dan shalat lahir mempunyai waktu tertentu
setiap satu hari satu malam, maka wudhu batin dan shalat batin
waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.25
Penulis melihat dari hasil perpaduan wudhu lahir dan batin
akan meghasilkan buah yaitu akhlak seperti lebih rendah hati, lebih
beradab, sehingga ada peningkatan dari hari ke hari. Itulah buahnya
sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah. Sebab, justru di
hadapan Allah kita semakin menundukan kepala, karena semua ini
adalah pemberian-Nya, kalau bukan karena pemberian-Nya
bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.
2. Shalat
Shalat menurut Syariat adalah ibadah yang sudah sangat
dikenal yaitu ucapan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan
takbir dan diakhiri dengan ucapan salam.26
Shalat memeiliki beberapa persyaratan yang harus dilakukan
sebelumnya, yaitu: bersuci dengan air yang suci, dengan pakaian
25
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169. 26
Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, Tafsir Hasan Al-Banna, (Jakarta, Suara
Agung, 2010), cet. 1, h. 134
41
41
yang suci, bertempat di tempat yang suci, menghadap kiblat, niat, dan
telah masuk pada waktunya.27
Maksud shalat syari‟at, yang disebutkan dalam Al-Qur‟an ini,
“Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha
(yang di tengah).” (QS. Al-Baqarah (2): 238)
Ialah shalat yang rukun-rukunnya berkaitan dengan gerakan
anggota badan yang lahir, seperti berdiri, membaca ayat atau surah,
rukuk, sujud, dan mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Makanya
Allah SWT menggabungkan dengan lafadz jamak “shalawat”
(beberapa shalat) sebagai isyarat akan shalat syari‟at yang lima
waktu.
Adapun shalat tarekat adalah shalatnya kalbu dan itu dilakukan
tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan
pada ayat di atas dalam kalimat, “Shalat Wustha.” Maksud dari
shalat al-wustha yaitu shalat kalbu karena hati berada di tengah (al-
wasth) badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; juga
yang menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.
Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW,
27
Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Muslim Sejati : menyelami jalan tasawuf
(suluk) menjadi kekasih Allah, (jogjakarta, Bening, 2010), Cet.I, h.13
42
42
Artinya :“Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari
Allah, Allah membolak-baliknya sesuai dengan kehendak-Nya.”
(HR. Muslim)28
Maksud dari dua jari Allah SWT ialah dua sifat Allah, yaitu
sifat Maha Memaksa (Al-Qahhar) dan sifat Maha Lembut (Al-
Lathif). Dari ayat dan hadits di atas diketahui bahwa shalat yang
pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu dilupakan, maka
rusaklah shalat kalbu dan shalat jawarih-nya. 29
Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat
(berdialog) dengan Tuhannya. Sedangkan, alat untuk munajat adalah
kalbu. Bila kalbu lupa maka “batallah” shalat kalbu sekaligus shalat
badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain
mengikutinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Artinya :“Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal
daging. Bila ia baik, kekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk,
sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati. ” (HR.Al-Bukhari)30
Shalat syari‟at sebagaimana diketahui secara fiqh mempunyai
waktu tertentu, dalam satu hari satu malam wajib dikerjakan lima
kali. Dan, shalat syari‟at ini sunahnya dilakukan di masjid secara
28
Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī,
Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz 8, hlm.51. 29
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.174. 30
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-
Bukhari , al-Jami‟ al-Shahih (Kairo, Darul Aswab, 1987), juz 1, h. 20.
43
43
berjamaah, menghadap ka‟bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa
riya‟ dan sum‟ah.
Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas
waktu. Masjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan
memadu kesucian batin untuk menyibukkan diri dengan asma-asma
tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam kalbu
untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya ialah Al-Hadhrah Al-
Ahadiyah (fase tertinggi dari maqam ruh) yakni hadirat Allah yang
Maha Tunggal dan Keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki.
Selamanya, kalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini.31
Dalam menjalankan shalat tarekat ini, kalbu tidak boleh tidur
dan tidak boleh mati. Ia selalu punya kegiatan, saat tidur maupun
terjaga. Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya kalbu tanpa suara,
tanpa berdiri dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat
tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa
siaga dengan ucapan, “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu
kami memohon pertolongan,” dan mengikuti Nabi Muhammad
SAW karena begitulah keadaan Nabi.32
Al-Qadhi di dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Ayat ini
merupakan isyarat tentang kalbu seorang ahli makrifat kepada Allah,
yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al-Hadrah Ahadiyah
31
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175. 32
Ibid
44
44
(fase tertinggi dari maqam ruh). Ini, sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW,”
Artinya : “Para Nabi dan para wali selalu shalat di alam kuburnya,
seperti halnya mereka shalat di rumahnya.” (HR. Al-Bazzar)33
Abdul Qadir al-Jailani mengartikan, mereka selalu sibuk
bermunajat pada Allah SWT karena hatinya yang hidup.
Bagi Abdul Qadir al-Jailani Bila dua shalat syari‟at dan shalat
tarekat ini telah berpadu secara lahir dan batin, maka sempurnalah
shalat itu dan pahalanya pun sangat besar. Pahalanya berupa Al-
Qurbah (dekat dengan Allah) yang diraih oleh shalat ruhaniahnya
dan pahala derajat (surga) yang diraih oleh shalat badannya. Maka
orang yang melakukan shalat seperti ini berarti ia lahiriahnya ahli
ibadah, dan batinnya „arif billah (makrifat kepada Allah). Dan, bila
shalat tarekatnya tak mampu menghidupkan kalbu, maka nilainya
berkurang dan pahalanya pun hanya derajat (surga), tidak mendapat
pahala Al-Qurbah.34
33
al-Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakrin Ahmad ibn Abdi al-Kholiqi al-Basharyi
Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, (Madinah, Maktabah Ulum wal Hikmah, 2009), juz
13, h.62. 34
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.
45
45
BAB IV
ANALISIS TERHADAP KONSEP IBADAH ABDUL
QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR
DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI
A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Ditinjau Dari Teori
Maqashid Syari’ah Al-Syatibi
Penulis berpendapat bahwa pandangan Abdul Qadir al-Jailani tentang
hakikat ibadah adalah untuk menuju realitas tertinggi, bukan hanya
sekedar melaksanakan saja sebagaimana tata cara yang diperintahkan dan
menjauhi yang dilarang, sebagai balasannya nanti mendapat kenikmatan-
kenikmatan ragawi di akhirat.
Bagi Abdul Qadir al-Jailani ibadah itu bukan hanya melaksanakan
sesuai dengan Nabi Muhammad Saw laksanakan, tetapi ada aspek batin
yang dengan itu kita dapat meraih realitas tertinggi. Dan ini bisa di capai
dengan melatih diri meninggalkan hawa nafsu serta melakukan kegiatan
ruhaniyah dengan tujuan ridha Allah tanpa riya (ingin dipuji orang) dan
sum‟ah (mencari kemasyhuran).1
Cakrawala berpikir Abdul Qadir al-Jailani yang memandang bahwa
aspek syariat, tarekat, dan hakikat sebagai jalan menuju realitas
1 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar ...Rasaning Rasa, (Ciputat, Salima, 2013), cet. II,
h.23.
46
46
tertinggilah yang menjadikannya mempunyai cara pandangan yang mampu
menemukan rahasia dari sebuah ibadah yang diperintahkan Allah Swt.
Konsep Abdul Qadir al-Jailani tentang hakikat ibadah sesungguhnya
merealisasikan semua mas lah ah yang dijelaskan oleh al-Syatibi dan
membaginya ke dalam tingkatan – tingkatan. Sebagaimana kita ketahui
konsep mas lah ah di bagi tiga dari segi ketegasan justifikasi syara‟; bagian
pertama mas lah ah mu‟tabarah (yang diterima syara‟), kedua mas lah ah
mulgah (yang ditolak syara‟), ketiga mas lah ah mursalah (tidak tegas
diterima atau ditolak syara‟).2
Kemudian secara tingkatan di bagi tiga bagian; yang pertama
daruriyyah (primer/wajib ada), yang kedua hajiyyah (sekunder/kebutuhan
untuk menghindarkan kesulitan), yang ketiga tahsiniyyah
(tertier/keindahan). Jika dirinci kepada kasus hukum yang detail (fiqh)
akan terlihat klasifikasi maslahah seperti daruriyyah mu‟tabarah,
daruriyyah mulghah, hajiyyah mu‟tabarah dan lain sebagainya.
Sebagai contoh daruriyyah mu‟tabarah adalah kebolehan memakan
bangkai jika tidak ada makanan lain atau dalam kondis yang darurat, jika
tidak makan bangkai akan mati. Hal ini merealisasikan penjagaan terhadap
jiwa atau hidz an-nafs.
2 Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011):
h.143.
47
47
Dalam kasus daruriyyah mulgha bisa di ambil contoh riba, mengapa
ada larangan mengambil riba pada al-qur’an seperti pada surat al-Baqarah
ayat 275-281, jika dilihat maqashid larangan mengambil riba jelas hifdz
al-mal tapi sekarang riba adalah salah satu bentuk sistem perbankan,
sehingga bunga bank dianggap sebagai mas lah ah juga dengan alasan hifdz
al-mal. Meskipun ini daruriyyah tetapi termasuk mulgha karena larangan
di ayat diatas dan juga fatwa MUI no.1 tahun 2004 tentang keharaman
bunga bank.
Contoh kasus daruriyyah mursala adalah lampu lalulintas di jalan raya
yang berfungsi sebagai pengatur lalulintas kendaraan sehingga tidak
terjadi kecelakaan dan terwujudnya tertib lalulintas. Disisi lain lampu
lalulintas ini mewujudkan maqashid syari‟ah yaitu hifdz nafs yaitu
menghindarkan kecelakaan maut bagi pengguna jalan, selain itu
sebenarnya aspek hajiyyah dan tahsiniyyah juga terwujud. Seperti dari sisi
hajiyyah mempermudah transfortasi dan tahsiniyyah memperindah tata
kota.
Kasus hajiyah mu‟tabarah adalah diperbolehkannya tidak berpuasa di
bulan ramadhan bagi musafir, ini adalah bentuk kemudahan untuk
menghilangkan kesulitan. Selain itu juga ada contoh hajiyyah yang lain
seperti diperbolehkannya penggunaan hand phone pada saat ini adalah
bentuk menghilangkan kesulitan dan mendatangkan kemudahan.
48
48
Contoh kasus tahsiniyyah mu‟tabarah adalah anjuran memperbanyak
amalan sunnah, selain berfungsi melengkapi amalan wajib. Amalan
sunnah juga menjadi penghias untuk memperindah amalan wajib. Selain
itu juga tahsiniyyah ini memperindah sekaligus sebagai adab seperti shalat
memakai pakaian yang bersih dan wangi, walaupun sebenarnya sah – sah
saja memakai pakaian bau dan kucel ketika shalat tapi tentu kurang indah
dan kurang beradab.
Berikut ini uraian konsep thaharah dan shalat menurut Abdul Qadir al-
Jailani ditinjau dari teori maqashid syari‟ah al-Syatibi.
1. Thaharah
a. Berdasarkan kategori daruriyyah
Islam mensyari’atkan thaharah (bersuci), di sana dianjurkan
beberapa hal yang dapat menyempurnakannya3. Berdasarkan aspek
daruriyyat, bagi al-Syatibi kemaslahatannya adalah memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan. Kalau tidak melaksanakan
thaharah maka shalat menjadi tidak sah. Karena thaharah merupakan
syarat sahnya shalat.
Dalam kitab sirrul asrar Abdul Qadir al-Jailani membagi
thaharah (bersuci) menjadi dua macam yakni bersuci secara lahir; dan
bersuci secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan
menggunakan air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat,
3 Abdul Wahab Khalaf, Ulum Ushul Fiqh, (Kairo, Maktabah Ad-da’wah,t.t), juz I, h.
205.
49
49
talqin, membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu
syari‟ah batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib
memperbaharui wudhunya.
Pandangan Abdul Qadir al-Jailani mengenai thaharah secara
batin ini bisa mewujudkan maqashid syari‟ah yang lain. Sebagai
contoh hifdz aql, kita bisa melihat orang-orang sufilah yang pada
kenyataannya bisa mengapresiasi rasionalitas, orang-orang yang terlalu
tekstual mereka akan melihat agama ini bertentangan dengan
rasionalitas dan agama sering mengekang eksplorasi rasionalitas
karena dianggap sudah selesai pada masa lalu.
Dalam hal thaharah atau bersuci kita bisa lihat manusia yang
mensucikan batinnya dan mencapai drajat kesempurnaan dirinya
(hakikat) dia tidak akan mungkin melakukan dosa. Seperti membunuh
orang lain dan ini secara tidak langsung mewujudkan maqashid
syari‟ah yang dharuriyyah yaitu hifdz ad-din. Apalagi wudhu batin ini
waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.4
Pada saat kita bisa melihat kenapa orang – orang banyak yang
menjalankan syari‟ah tapi orang-orang itu masih korupsi. Secara fiqh
orang-orang tadi melanggar hukum amanah tentang menunaikan hak
orang lain sehingga dia korupsi. Tapi secara batin mereka melakukan
aktivitas seperti itu karena mereka belum mencapai drajat
melaksanakan ibadah itu secara hakikat tapi ibadahnya orang-orang
4 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, (Ciputat, Salima, 2013), cet. II, h.170
50
50
awam atau ibadahnya para pebisnis yang hanya menginginkan uang di
akhirat, perempuan dan kenikamatan ragawi lainnya di akhirat. Bukan
ibadah yang ingin mencapai realitas yang lebih tinggi dari drajat
mereka yang sekarang.
Dalam kitab sirr al-asrar dikatakan bila wudhu batin batal
karena melakukan amalan yang tercela dan akhlak yang hina, seperti
(dosa kalbu yakni) sombong, „ujub (berbangga diri), hasad (dengki),
hiqd (dendam), mengumpat, mengadu-adu, dan bohong atau dosa
badan, seperti dosa mata, telinga, tangan, dan kaki.5
Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang
ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan
memperbarui inabah (kembali kepada Allah) yakni dengan menyesali
semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta menghancurkan dosa-
dosa tersebut langsung dari batinnya.6
Dilihat dari kerangka pemikiran al-Syatibi, konsep thaharah
Abdul Qadir al-Jailani dalam tarekat dan hakekat tidak bertentangan
dan malah merealisasikan aspek maqashid syari‟ah yang lain. Jika
dilihat secara daruriyyah konsep Abdul Qadir al-Jailani tidak
menjadikan wudhunya batal secara syariat. Selain itu dalam
hubungannya dengan syari’ah terdapat cukup banyak ayat.
Diantaranya dapat dihubungkan dengan masalah wudhu. Sebagaimana
firman Allah dalam surah al-maidah ayat 6 yaitu:
5 Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169-170
6 Ibid.h.169
51
51
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.(QS : Al-maidah : 6).
b. Berdasarkan kategori hajiyyat
Abdul Qadir al-Jailani berpendapat bahwa bersuci ada dua
macam yakni bersuci secara lahir dan bersuci secara batin. Bersuci
secara lahir mengunakan air dan bersuci secara batin dengan tobat.7
Dalam menjalankan thaharah dibutuhkan alat. Diantaranya
yaitu air mutlak, yaitu air yang suci dan mensucikan , seperti mata
air, air hujan, air sungai, air zamzam, dan air laut8, berdasarkan
dalil-dalil berikut.
7 Ibid. h.169.
8 Sayid Sabiq, fiqh as-sunnah,(Beirut, Darul Kutub, t.t)juz 1, h.18.
52
52
Artinya : “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.”
(Al-Furqan: 48). Dan Rasulullah saw. Bersabda :
Artinya : ”Sesungguhnya air itu suci tidak dinajiskan oleh
sesuatu” (HR Abu Daud).9
Dalam kategori hajiyyah ini yaitu melaksanakan ketentuan
agama, dengan maksud menghindari kesulitan. Maka apabila tidak
ditemukannya air boleh menggunakan tanah yang suci, atau pasir,
atau batu, atau tanah berair.
Rasulullah saw. bersabda,
“Dijadikan bumi itu sabagai masjid dan suci bagiku.” (HR
Bukhori)10
.
Tanah dijadikan sebagai alat thaharah jika tidak ada air, atau
tidak bisa menggunakan air karena sakit, dan karena sebab lain.
Allah berfirman,
9 Abu Dawud Sulayman ibn al-Ashʿath al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Daud,
(Beirut, Darul Kutub, t.t), juz I, h. 25 10
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-
Bukhari , Al-Jami‟ As-Shahih, (Kairo, Darul Aswab, 1987), juz I, h.119.
53
53
Artinya : “…kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka
bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.” (An-Nisa: 43).
Di sisi ini krangka teori al-Syatibi melihat Abdul Qadir al-
Jailani sejalan dengannya, karena konsep Abdul Qadir al-Jailani
secara tidak langsung mewujudkan maqashid syari‟ah yang
lainnya.
Dalam kitab sirr-al-asrar dijelaskan bahwa bersuci atau wudhu
secara batin adalah dengan bertobat dan wudhu ini batal jika
melakukan amalan-amalan tercela.11
Secara tidak langsung konsep
bersuci Abdul Qadir al-Jailani mewujudkan maqashid syari‟ah,
kita lihat orang yang selalu mensucikan hatinya dari dendam,
dengki dan sifat buruk lainnya tentu orang seperti itu tidak akan
melakukan pembunuhan sehingga terwujudlah hifdz nafs.
Orang yang selalu mensucikan hatinya ketika dia diberi amanah
jabatan dia tak akan mungkin berbohong atau korupsi maka dengan
begitu akan terwujudlah hifdz mal.
Dalam realitas keseharian sering kali orang yang menghadapi
persoalan dalam hidupnya merasa itu sulit padahal sesungguhnya
apapun yang terjadi dalam hidup ini bisa dilihat sulit ataupun bisa
dilihat mudah, sedangkan dia melihatnya sebagai kesulitan karena
ada permasalahan dalam hatinya. Dengan mewujudkan aspek batin
dari ibadah-ibadah itu, orang bisa menghilangkan berbagai
11
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.
54
54
penyakit hatinya seperti galau, sedih dan pikiran-pikiran yang tidak
riil yang ada dalam benaknya yang memperbesar atau
mendramatisir suatu persoalan yang sebenarnya sederhana.
Dengan terwujudnya aspek tarekat dan hakikat dalam ibadah
maka rasa sedih, galau, berlebih-lebihan dalam merespon persoalan
(lebay) itu tidak akan terjadi Seseorang yang selalu mensucikan
hatinya dengan wudhu lahir dan batin maka dia akan
menghilangkan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya karena semua
kesulitan itu akan selalu di lihat dengan sederhana dan ini
mewujudkan maqashid syari‟ah kategori hajiyyah.
c. Berdasarkan kategori tahsiniyyah
Dalam kitab sirr al-asrar dijelaskan cara memperbaharui
bersuci atau wudhu batin adalah dengan tobat yang ikhlas dari
semua dosa kalbu dan badan, dengan memperbaharui inâbah
(kembali kepada Allah) dengan menyesali semua dosa dan
memohon ampunan.12
Dari sini kita bisa melihat bahwa tobat tadi
secara tidak langsung melengkapi atau meperindah akhlak
seseorang yang menjalankan bersuci secara lahir batin tadi, maka
ini sejalan dengan maqashid syari‟ah kategori tahsiniyyah.
Kategori tahsiniyyah adalah kemaslahatan yang bersifat
perbaikan, kelengkapan atau keindahan, kemaslahatan ini
dibutuhkan untuk menambah nilai moral dan etika. Jika
12
Ibid, h.169-170.
55
55
dilaksanakan akan menyampaikan manusia kepada muru‟ah dan
berjalan diatas jalan yang lebih baik.13
Dalam upaya mengikuti petunjuk agama guna menjunjung
tinggi martabat manusia, kehormatan, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajiban kepada Allah SWT. Misalnya berhias atau
memakai sabun ketika bersuci. Hal ini apabila tidak dilakukan
tidak akan merusak kategori daruriyyah dan hajiyyah, karena
fungsinya hanya pelengkap.
Salah satu bentuk terwujudnya maqashid syari‟ah tahsiniyyah
ini adalah terjaganya kehormatan seseorang, Jika seseorang selalu
mensucikan batinnya dengan wudhu secara lahir dan batin dia tidak
akan gila hormat tapi akan bersikap rendah hati karena bagi dia
dirinya bukanlah apa-apa hanya manusia yang kadang tergoda
untuk melakukan dosa dan maksiat sehingga dia selalu ingin
membersihkan hati dan raganya, orang lain juga akan lebih
menghormati orang yang rendah hati ketimbang orang yang gila
hormat.
2. Shalat
a. Berdasarkan kategori daruriyyah
Shalat adalah salah satu ibadah yang di wajibkan Allah Swt
yang mana jika shalat ini tidak ditegakkan akan mengancam
13
Ahmad Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, (Jakarta, Amzah, 2010)Cet. II, h.xvi.
56
56
eksistensi agama atau menghancurkan agama, maka dari itu shalat
adalah tiangnya agama sebagaimana hadis nabi ;
Artinya : Pokok masalah adalah Islam, tiangnya adalah
shalat, dan puncaknya adalah jihad.(HR.Tirmidzi)14
Menurut Abdul Qadir al-Jailani jika seseorang sudah bisa
memadukan antara shalat syariat dan shalat tarekat secara lahir dan
batin maka dia akan mampu mencapai kesempurnaan.15
Sesungguhnya dengan pencapaian drajat kesempurnaan diri
atau hakikat secara tidak langsung akan meciptakan atau
mewujudkan maqashid syari‟ah yang lain. Sebagai contoh hifdz
aql kita bisa melihat orang-orang sufilah yang pada kenyataannya
bisa mengapresiasi rasionalitas, orang-orang yang terlalu tekstual
mereka akan melihat agama ini bertentangan dengan rasionalitas
dan agama sering mengekang eksplorasi rasionalitas karena
dianggap sudah selesai pada masa lalu.
Sedangkan dengan pemahaman Abdul Qadir al-jailani dan
sufi lainya justru mereka faham dimana posisi suatu teks itu.
Bahwa teks itu ada lahir dan batinnya, bahwa penafsiran terhadap
teks itu sebetulnya berhubungan dengan cakrawala seseorang yang
menafsirkan. Orang yang punya pengalaman hakikat dia bisa
14
Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak at-Tirmizi,, Sunan
at-Tirmidzi (t.p, t.t),juz 10, h. 101. 15
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.177.
57
57
mengetahui aspek-aspek batin, tentang hakikat dari suatu teks.
Dengan seperti ini para sufi terbukti bisa mengapresiasi filsafat dan
sains. Sehingga dengan seperti itu hifdz aql juga terwujud.
Hadis diatas menegaskan bahwa shalat itu adalah tiang
agama jadi runtuhnya shalat runtuhlah agama, ini bukan sekedar
retorika untuk mengatakan shalat itu penting. tapi dalam
pandangan hakikat memang shalat itu jika bisa direalisasikan aspek
batinnya akan mengantarkan orang kepada hakikat.
Ada sebuah ungkapan bahwa shalat itu mi‟rajnya orang
beriman.16
bahwa shalat itu bisa mengantarkan kita pada realitas
yang sebenarnya. dengan terealisasinya aspek hakikat dari ibadah
makna hadis nabi shalat adalah tiang agama menjadi lebih bisa di
fahami, karena orang-orang yang sampai pada hakikatlah yang bisa
menjadi tonggak-tonggak agama. Dan agama bisa lebih dimengerti
tujuannya.
Berdasarkan analisa, penulis menilai kerangka teori al-
Syatibi dalam memandang konsep shalat Abdul Qadir al-Jailani
secara tidak langsung mewujudkan maqashid syari‟ah. Dalam
kerangka teori al-Syatibi shalat itu memelihara agama. Hal ini
masuk dalam peringkat daruriyyah, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer
atau kepentingan pokok seperti melaksanakan shalat lima waktu.
16
Beberapa sumber mengatakan as-shalatu mi’rajul muslim adalah hadis tapi penulis belum menemukan matan hadis tersebut.
58
58
Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi
agama.
b. Berdasarkan kategori hajiyyah
Kebutuhan hajiyyah ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder,
dimana jika tidak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam
menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya
hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul al-Wahhab
Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam
terhadap kebutuhan ini.17
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyari’atkan beberapa
hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat
kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Kebolehan
menjamak dan meng-qasar shalat bagi orang yang bepergian
adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyyah ini.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit
bagi orang yang melakukannya.
Dalam kitab sirr al-asrar Abdul Qadir al-Jailani
menuturkan bahwa shalat tarekat yang dilakukan dengan hidupnya
kalbu dan orang yang menjalankannya akan selalu berhadapan
17
Abdul Wahab Khalaf, Ulum Ushul Fiqh, (Kairo, Maktabah Ad-da’wah,t.t), juz I, h. 206.
59
59
dengan Allah Swt dan senantiasa berucap “kepada-Mu kami
beribadah dan kepada –Mu kami meminta pertolongan”.18
Kita lihat orang yang bisa melaksanakan shalat tarekat ini
akan menjadikan hatinya tenang dan selalu ingat kepada Allah Swt
sehingga tidak menghalangi dia untuk beribadah kepada Allah dan
mempermudah dia berbuat baik kepada manusia dan alam, karena
hanya orang yang mempunyai hati yang baiklah yang bisa
melakukannya.
c. Berdasarkan kategori tahsiniyyat
Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap
Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar
shalat, membersihkan badan,memakai wewangian, pakaian, dan
tempat.
Dalam kitab sirr al-asrar dijelaskan bahwa orang yang
melakukan shalat tarekat mereka akan selalu sibuk bermunajat
kepada Allah Swt karena hatinya hidup. Pada kehidupan sehari-
hari orang-orang seperti inilah yang bisa dengan mudah
mewujudkan keindahan akhlak, dia akan mudah untuk memaafkan,
memberikan senyum, bahkan jika dia di hina dia taka akan
membalas karena hatinya lebih sibuk bermunjat kepada Allah Swt
18
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.176.
60
60
dari pada membalas sesuatu yang hanya akan memalingkan hatinya
dari Allah Swt dan ini mewujudkan maqashid syari‟ah kategori
tahsiniyyah.
B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dengan
Maqashid Syari’ah
1. Analisa Umum
Penulis memandang bahwa praktik ibadah Abdul Qadir al-
Jailani itu sesuai dengan maqashid syari‟ah karena tidak
bertentangan dengan konsep maqashid syari’ah al-Syatibi bahkan
secara tidak lagsung merealisasikan maqashid syari‟ah.
Jika dilihat dari kerangka teori al-Syatibi bahwa di balik
ajaran agama itu ada tujuan-tujuan sebagaimana akar kata syari‟ah
itu sendiri yang berarti jalan untuk mengantarkan kita pada tujuan.
al-Syatibi dan Abdul Qadir al-Jailani keduanya sama-sama
mencari tujuan itu.
al-Syatibi membatasi penelitiannya pada aspek fiqh dan
ushul fiqh sedangakan Abdul Qadir al-Jailani sebagai faqih yang
sufi dia mencoba menambahkan pengalaman sufistik itu untuk
melengkapi analisa-analisa fiqh tanpa mengabaikannya dan setelah
di elaborasi lebih jauh konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani secara
tidak langsung mewujudkan maqashid syari‟ah.
61
61
Jika kita lihat kasus thaharah di atas dimana kita bisa
melihat thaharah secara batin itu berkesesuaian dengan maqashid
syari‟ah dimana orang yang suci secara lahir dan batin dia tidak
mungkin hati terbersit untuk melakukan dosa karena hatinya
terjaga. Dan ini merealisasikan hifdz ad-din.
Jika kita melihat orang yang tetap berbohong, menipu,
korupsi dan melakukan dosa yang lain, padahal setiap hari dia
bersuci atau berwudhu, mungkin hatinya tidak di ikutsertakan
bersuci ketika dia berwudhu. Dalam bersuci, wudhu itu simbol
membersihkan semua kegiatan kita yang diungkapkan dalam
mulut, tangan, wajah, kepala dan kaki. kemudian jika mata melihat
aurat tentu akan berdosa tapi apakah wudhunya batal. secara syariat
jelas tidak batal tapi secara tarekat dan hakekat batal sehingga
harus bersuci kembali dalam bentuk tobat.
Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : dari abu hurairah Rasulullah Saw bersabda
“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menyebabkan Allah
menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat
seseorang,mereka berkata : mau wahai Rasulullah, beliau bersabda
: yaitu : Sempurnakanlah wudhu pada saat-saat enggan,
memperbanyak langkah ke masjid, menunggu waktu shalat setelah
shalat. Itulah ikatan yang kokoh”. (HR. Muslim).19
19
Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī,
Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.151.
62
62
Coba kita renungkan kenapa kita dianjurkan untuk selalu
suci (menjaga wudhu), bukan hanya karena kita siap selalu
beribadah tapi juga agar menjadikan hati kita suci setiap saat. Dan
islam mengajarkan sehari minimal lima kali kita bersuci sebelum
menghadap Allah. Ini bisa ditangkap kesan bahwa sesungguhnya
Allah menginginkan kita beribadah dengan raga dan hati yang suci
agar bisa dekat dengan-Nya dan selalu terjaga dari maksiat.
Karena sudah sangat jelas kebersihan diri sebagian dari
iman Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : Abu Malik al-Asy’ari, Rasulullah bersabda:
“Kebersihan itu sebagian dari iman. Membaca al-hamdulillah
(pahalanya) memenuhi mizan(timbangan). Membaca subhanallah
walhamdulillah (pahalanya) memenuhi antara langit dan bumi.
Shalat itu adalah nur (sinar), sedekah itu adalah burhan (bukti),
sabar itu adalah dhiya’ (cahaya), al-Qur’an adalah hujjah (dalil)
untukmu dan untuk membelamu. Setiap pagi akan ada orang yang
menjual dirinya (mencari hidup bermanfaat) dan ada pula yang
membinasakannya (tidak mau mencari hidup bermanfaat/
menjatuhkan diri kepada dosa)”. (H.R Muslim)20
Tobat yang dilakukan untuk mensucikan kembali kalbu
yang ternoda oleh dosa kalbu dan dosa badan, menjadi pelengkap
yang memperindah akhlak seseorang sehingga dia akan selalu
teringat pada Allah Swt dan berhati-hati terhadap dosa.
20
Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī,
Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.140.
63
63
Dalam kasus shalat diatas kita bisa melihat kesesuaian
konsep shalat syariat dan shalat tarekat Abdul Qadir al-Jailani
dengan maqashid syari‟ah al-Syatibi. Orang yang shalat syariat dan
shalat tarekat telah berpadu secara lahir dan batin maka dia akan
mencapai hakikat realitas tertinggi dan mengenal Allah Swt.
Disitulah kalbunya akan hidup sehingga hikmah dari shalat yang
salah satunya mencegah kemungkaran bisa terwujud. Ini pula yang
mewujudkan maqashid syari’ah hifdz ad-din dimana shalat itu
adalah tiang agama akan terwujud oleh orang-orang yang sampai
pada drajat ini.
Dalam konsep shalat syariat mempunyai waktu tertentu,
dalam satu hari satu malam wajib dikerjkan lima kali. Dan, shalat
syariat ini sunahnya dilakukan di mesjid secara berjamaah,
menghadap ka’bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa riya’dan
sum’ah. Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa
batas waktu. Mesjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah
dengan memadu kesucian batin untuk meyibukkan diri dengan
asma – asma tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu
di dalam kalbu untuk sampai kepada Allah SWT.21
Orang yang mampu mencapai drajat hakikat dan
merealisasikan aspek hakikat dari ibadah, maka makna hadis shalat
tiang agama menjadi lebih bisa di fahami, karena orang-orang yang
21
Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175.
64
64
sampai pada hakikatlah yang bisa menjadi tonggak-tonggak agama.
Dan agama bisa lebih dimengerti tujuannya, bukan hanya sekedar
dogma.
Ibadah yang tidak difahami aspek hakikatnya, tampak
seperti dogma dari hegemoni orang-orang tertentu yang memaksa
orang lain untuk menyetujui pernyataan-pernyataan saja bukan
realitas.
Agama yang seperti ini banyak sudah dicampakkan oleh
masyarakat modern yang sudah mulai mengerti adanya kebejatan
dari orang-orang yang menghegemoni itu, namun masyarakat
modern mencoba mencari alternatif tapi tidak menemukannya,
padahal tafsiran para sufilah yang mampu menjadi alternatif bagi
masyarakat modern saat ini sekaligus merealisasikan maqashid
syari‟ah.
.
65
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa :
1. Pertama Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang yang faqih dan juga
memiliki pengalaman sufistik dia mempunyai cakrawala berfikir
bahwa tujuan ibadah atau hakikat ibadah adalah menuju realitas
tertinggi bukan hanya sekedar melaksanakan atau memenuhi
kewajiban saja. Abdul Qadir al-Jailani mengklaim bahwa agama
mempunyai aspek lahir dan batin. Aspek lahir adalah syariat,
sedangkan aspek batin adalah tarekat dan hakekat. Semua aturan
ibadah mempunyai aspek syariat, tarekat dan hakekat. Dilihat dari
kerangka teori al-Syatibi Konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani
tentang hakikat ibadah sesungguhnya merealisasikan maqashid
syari’ah.
2. praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani itu sesuai dengan maqashid
syari’ah karena tidak bertentangan dengan konsep maqashid syari’ah
al-Syatibi bahkan secara tidak lagsung merealisasikan maqashid
syari’ah. Jika dilihat dari kerangka teori al-Syatibi bahwa di balik
ajaran agama itu ada tujuan-tujuan sebagaimana akar kata syari’ah itu
66
66
sendiri yang berarti jalan untuk mengantarkan kita pada tujuan. al-
Syatibi dan Abdul Qadir al-Jailani keduanya sama-sama mencari
tujuan itu. al-Syatibi membatasi penelitiannya pada aspek fiqh dan
ushul fiqh sedangakan Abdul Qadir al-Jailani sebagai faqih yang sufi
dia mencoba menambahkan pengalaman sufistik itu untuk melengkapi
analisa-analisa fiqh tanpa mengabaikannya dan setelah di elaborasi
lebih jauh konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani secara tidak langsung
mewujudkan maqashid syari’ah.
.
B. Saran
Penulis menyarankan bahwa untuk mengetahui lebih lengkap
seperti apa tentang konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab
Sirrul Asrar diperlukan kajian lebih dalam dan langsung mengkaji
kitab tersebut. Penulis hanya menganalisis konsep Ibadah Abdul Qadir
al-Jailani dalam tinjauan maqashid syari’ah al-Syatibi tentang
thaharah dan shalat, sehingga selanjutnya diperlukan juga penelitian
tentang konsep ibadah yang lainnya seperti zakat, puasa dan haji.
67
67
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna , Ahmad Saiful Islam Hasan, Tafsir Hasan Al-Banna, cet. 1, Jakarta, Suara
Agung, 2010.
Al-Bazzar al-Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakrin Ahmad ibn Abdi al-Kholiqi al-
Basharyi, Musnad al-Bazzar, Madinah, Maktabah Ulum wal Hikmah, 2009, juz
13.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Jilid I, Beirut, Ibrahim ibn Musa al-
Maliki, t.t.
Asy-Syathibi, Imam, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah), Cet. I,
Jakarta, Pustaka Azzam, 2006.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam Jilid I, Darul ibn Affan, Abu Ubaidah
Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t.
At-Tirmizi, Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak, Sunan at-Tirmidzi
(t.p, t.t),juz 10,.
Al-Qathani , Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Cet. I, Jakarta,
Darul Falah, 2003.
al-munawwir , Ahmad warson, al-munawwir kamus arab-indonesia, cet 14 Surabaya,
pustaka progressif, 1997.
Abu Dawud Sulayman ibn al-Ashʿ ath al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut,
Darul Kutub, t.t), juz I,.
Ahmad al-Syami ,Shaih, terjemah Mawaa’izh al-Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani, Cet.
IV, Jakarta, Zaman, 2012.
Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Kairo, Yayasan Cordova, t.t,
juz II.
Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 juli 2011.
Aqid, Kharisudin, Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa
Naqshabandiyah, , cet 1, Surabaya, dunia ilmu,1998.
68
68
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi,
Al-Jami’ As-Shahih, Kairo, Darul Aswab, 1987, juz I.
Darmawan, Doni, “Pendekatan Maqashid al-Syari’ah Dalam Memeriksa dan
Memutuskan Perkara”,artikel diakses 15 februari 2014 dari http://www.pa-
sijunjung.go.id/-index/index-artikel/395-pendekatan-maqashid-al-syariah-dalam-
memeriksa-dan-memutuskan-perkara-oleh-doni-dermawan-sag-mhi--1312.html.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997.
Haq, Hamka, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muawafaqat,
Cet.I, t.t, Erlangga, 2007.
Idah, Suaidh, Ibadah Dalam Al-Qur’an, vol.1, no 1 oktober 2012.
Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, Cet.I , jakarta,
RajaGrafindo, 1996.
Jauhar, Ahmad Husain, Maqashid Syariah, Jakarta, Amzah, 2009, Cet.II, h. 23.
Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Taswuf, Cet 1,Jakarta, Erlangga, 2006.
Khalaf, Abdul Wahab, Ulum Ushul Fiqh, Kairo, Maktabah Ad-da’wah,t.t, juz I.
Muslim, Abū al-Ḥusayn ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih
Muslim, Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t, juz I
Masduki, Anita “Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal” Islamia III,
No.5 2010.
Mth, Asmuni, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn 2005.
Muis, Mahfuk , Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam Pengembangan
Hukum Islam Kontemporer, Ahkam XI, No.2 juli 2011.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Cet.2, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Maksum, Syukron, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Cet. I, yogyakarta,
mutiara media, 2014.
Qadir Al-Jailani, Abdul, Kitab Para Pencari Tuhan, Cet. I, Yogyakarta, Citra Media
Pustaka, 2013.
69
69
Qadir al-Jailani , Abdul, Tafsir Al-Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil Jailani Al-
Hasani), Cet I, Ciputat, Salima Publika, 2013.
Qadir Al-Jailani, Abdul, Rahasia Muslim Sejati : menyelami jalan tasawuf (suluk)
menjadi kekasih Allah, CET.1, jogjakarta, Bening, 2010.
Qadir al-Jailani, Abdul, Sirrul – Asrar, Ciputat, Salima, cet. II, 2013.
Sayid Sabiq, fiqh as-sunnah, Beirut, Darul Kutub, t.t, juz 1,.
Syaltut, Mahmud, Islam Akidah dan Syariah, Cet.III, jakarta, pustaka amani, 1966.
Shohimun Faisol dan Muhammad Sa’I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Dan
Naqshabandiyah Dalam Dakwah Islam Di Lombok, jurnal penelitian keislaman,
Vol. 1 No. 02 juni 2005.
Sadchalis, Rahmat, Maqashid asy-Syari’ah, artikel diakses 15 februari 2014 dari
http://sadchalis15.wordpress.com/2013/09/09/maqashid-asy-syariah/.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, Malang, UIN malang Press, 2007.
Tono, Sidik, Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut al-Syatibi. Al-Mawarid
Edisi XIII. 2005
Wahid, Ramin Abd, Maqashid Al-Syari’ah Dan Penerapan Hak Asasi Manusia Dalam
Masyarakat Islam, vol 15 no 1 2012.
Wahyudi,Yudian, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, cet. II yogyakarta,
nawesea, 2007.
Wehr, Hans, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed), new york,
spoken english service, 1976.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Vs hermeneutika : membaca islam dari kanada dan
amerika, Cet.IV, yogyakarta, nawesea, 2007.
top related