konsep partai oposisi dalam sistem pemerintahan …
Post on 31-Oct-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN STUDI
KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Proposal skripsi ini diajukan ke Fakultas Syari’ah Dan Hukum untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun Oleh :
DAMANHURI
105043101294
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2010
Damanhuri
NIM. 105043101294
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah
memberi nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, juga karena izin dan
ridha-Nya pula dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai dengan
yang diharapkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi
Muhammad saw., yang dengan kehadirannya telah memberikan pencerahan,
ketenangan dan kenyaman hidup manusia. Tak lupa kepada para sahabat,
keluarga dan orang-orang yang pernah mengikuti dan mentaati ajarannya
hingga akhir zaman.
Setelah melewati eaktu yang melelahkan, akhirnya dengan penuh
kesabaran dan penulis dapat menyelesaikan skripai ini. Semua ini tentunya
tidak menjadi sebuah kenyataan, tanpa bantuan dan keterkaitan semua
pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ayahanda H. Nara Somadan Ibunda Hj. Rosyidah, adalah orang tua
penulis yang dimuliakan, disayangi dan juga yang telah menemani
penulis sejak kecil baik suka maupun duka. Selama di dalam penulisan
skripsi ini beliau selalu memberikan semangat dengan kata-kata yang
membuat penulis semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini
hingga menjai Wisudawan.
2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Selaku Ketua jurusan
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki
Mag. Selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum.
5. Bapak Asep Saepudin Jahar MA, Ph.D sebagai dosen pembimbing
yang selalu memberikan masukan, arahan, dan kritikan yang
konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Pimpinan perpustakaan, baik perpustakaan pusat maupun fakultas yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan
berupa buku ataupun literatur lainnya sehingga memperoleh informasi.
7. Para dosen khususnya fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakart yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa perkuliahan berlangsung.
Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kepada
mereka yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis,
kecuali dengan doa. Semoga Allah membalas segala amal baik karena
sesungguhnya Dialah Tuhan satu-satunya tempat memohon dan
meminta.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini tidak
terlepas dari keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat
membutuhkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua
pihak. Semoga skripsi ini dapat menjadi amal bagi pengembangan
ii
iii
ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan bagi wacana keislaman.
Amin ya robbal ‘alamin
Penulis
Damanhuri
NIM. 105043101294
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...........................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................13
D. Metode Penelitian....................................................................13
E. Sistematika Penulisan..............................................................15
BAB II : BENTUK-BENTUK OPOSISI
A. Definisi Oposisi.......................................................................17
B. Oposisi Dalam Islam................................................................23
C. Oposisi dalam Sistem Parlementer...........................................27
D. Oposisi Dalam Sistem Presidensil...........................................30
BAB III : SEJARAH GERAKAN OPOSISI INDONESIA DAN ISLAM
A. Sejarah Gerakan Oposisi di Indonesia.....................................34
B. Sejarah Gerakan Oposisi di Pemerintahan Islam.....................43
BAB IV : KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN (STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF)
A. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Islam...........................................................................54
B. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Positif..........................................................................61
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Kedua Konsep..............69
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................71
B. Saran..............................................................................72
C. Daftar Pustaka.................................................................74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi saat ini merupakan kata yang sering menjadi perbincangan
berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat bawah sampai masyarakat kelas
elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan dan kaum profesional lainnya.
Pada berbagai kesempatan mulai dari obrolan warung kopi sampai dalam forum
ilmiah seperti seminar, lokakarya, diskusi publik dan sebagainya.
Semaraknya perbincangan tentang demokrasi semakin memberikan dorongan
kuat agar kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi. Wacana demokrasi seringkali dikaitkan dengan berbagai
persoalan. Karena itu demokrasi menjadi altenatif sistem nilai dalam berbagai
lapangan kehidupan manusia baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan
negara1.
Demokrasi mempunyai beberapa prinsip yang terdiri dari pluralisme,
persamaan dan kebebasan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan
bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama, pemikiran dan sebagainya
merupakan conditio sain qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakan). Sedangkan
prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat
biasa atau pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di
muka hukum dan pemerintahan. Begitupula dengan prinsip kebebasan yang
1 Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 161
1
2
menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan
menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebebasan merupakan salah satu
prinsip demokrasi yang harus dijalankan yaitu kebebasan menyampaikan pendapat
dan kebebasan membentuk suatu perserikatan seperti membentuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), membentuk organisasi kemahasiswaan bahkan membentuk
organisasi politik (partai politik) sekalipun. Kebebasan membentuk perserikatan
terutama partai politik, akan mampu menyerap dan sekaligus menyuarakan aspirasi
dan harapan-harapan yang diinginkan oleh segenap anggota masyarakat.
Penyerapan aspirasi masyarakat di negara besar seperti Indonesia yang terdiri
dari banyak pulau, suku, ras dan agama serta berbagai macam golongan yang terus
bermunculan seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu diperlukan banyak
penyerap aspirasi, dalam arti diperlukan banyak partai (multi partai) yang mampu
menyerap aspirasi mereka, dan tidak ada lagi warga masyarakat yang merasa
terkucilkan serta tidak diperhatikan pemerintah serta menepis isu-isu separatisme
yang mengancam integrasi bangsa ini.
Sistem demokrasi memberikan ruang tumbuhnya multi partai politik yang
bebas dalam mengemukakan dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat untuk
disampaikan kepada pemerintahan.2 Adanya multi partai politik mampu melakukan
kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita dan
keinginan masyarakat. Karena pemimpin pada dasarnya juga mempunyai
2Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 167
3
keterbatasan dalam hal pemikiran, pengelolaan dan kepemimpinan. Sehingga tidak
bisa dipungkiri juga dapat melakukan hal-hal yang keliru dalam mengelola bangsa ini
Sistem multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya
dan politik daripada sistem dwi-partai dan apalagi partai tunggal. Namun demikian
dalam sistem multi partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan
parlementer yang menitikberatkan kekusaan pada lembaga legislatif sehingga peranan
lembaga eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri,
sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Di lain fihak partai-
partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas oleh karena sewaktu-waktu
masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru.
Berbeda dengan sistim multi partai, dalam sistim dwi-partai sudah jelas letak
tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi partai. Di dalamnya ada partai
yang berkuasa (partai yang menang dalam pemilihan umum) yang berperan sebagai
pelaksana pemerintahan dan partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilihan
umum) yang berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition)
terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa sewaktu-waktu dapat bertukar tangan.3
Dalam pemilihan umum partai politik berkompetisi untuk mendapatkan
dukungan mayoritas rakyat. Karena itu ada partai yang mendapatkan suara dan
dukungan mayoritas dan ada yang mendapatkan dukungan minoritas. Partai politik
3 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 168
4
yang mendapat dukungan rakyat mayoritas berkesempatan memimpin pemerintahan,
sedangkan partai yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menentukan kebijakan
politiknya menjadi kelompok oposisi yakni berada di luar parlemen sebagai
penyeimbang pemerintah, sehingga akan timbul check and balance.
Keputusan menjadi golongan oposisi didasari oleh adanya perbedaan
pandangan dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan. Perbedaan pandangan
jangan dianggap sesuatu yang negatif yang dapat merusak dan menghambat jalannya
roda pemerintahan. Namun sebaliknya perbedaan pandangan tersebut akan
mengahasilkan banyak alternatif dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga
tidak terjadi lagi pemaksaan pandangan yang sudah jelas tidak tepat untuk diterapkan
Namun demikian menjadi oposisi bukan asal beda dan menempatkan serta
menganggap pemerintah secara sinis, lemah dan gagal. Oposisi bukan pula sekedar
menentang suatu kebijakan tanpa alasan dan landasan yang jelas dan tepat, melainkan
berdasar pada program-program yang telah direncanakan namun urung terlaksana
karena kalah dalam pemilihan umum. Maka untuk membuktikan kepada pemilih
bahwa mereka telah keliru dalam menentukan pilihan yaitu dengan membandingkan
antara perencanaannya dan realisasi yang dikerjakan oleh pemerintah yang sedang
berkuasa, dengan demikian maka terlihat jelas keunggulan masing-masing program,
sehingga pada pemilu berikutnya, pemilih dapat melihat kembali kualitas dan
kemampuan masing-masing kontestan berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan
yang telah dilalui.
Kemunculan oposisi tidak lepas dari tujuan berdirinya suatu negara, yaitu
5
untuk mensejahterakan rakyatnya, dan pemerintah diberi mandat serta wewenang
untuk mengatur dan menemukan cara yang tepat dan jitu menuju dan menjadi
sejahtera. Untuk itu berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk tujuan
kesejahteraan tersebut. Cara dan jalan itulah yang dibuat sehingga terbentuk suatu
sistem yang dapat diukur dan dievaluasi kendala, kelemahan, keberhasilan dan
kesuksesannya. Sistem yang digunakan untuk mewujudkan tujuan negara tersebut
tidak selamanya dapat berjalan baik, disana sini terserak berbagai kendala.
Penanganan kendala-kendala tersebut dapat memicu polemik, sehingga
memunculkan beragam model dan alternatif sistem lainnya, maka lahirlah sistem-
sistem baru, baik hasil modifikasi sistem lama maupun sistem yang sama sekali baru.
Pertarungan diantara sistem-sistem inilah yang melahirkan oposisi. Jadi oposisi
esensinya adalah perbedaan pandangan terhadap model pencapaian tujuan
kesejahteraan. Itulah sebabnya oposisi dikenal dalam sistem kepartaian, sebab partai
politiklah satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperjuangkan suatu
sistem terlaksana dan dijalankan.
Sistem-sistem ini menjadi platform partai yang dijadikan sebagai alat tawar
kepada pemilih agar mau memilih partai tersebut. Maka oposisi tidak serta merta
terjadi, namun memiliki landasan dan alasan kuat sehingga suatu partai politik
memilih menjadi oposisi. Begitu pula dengan koalisi, tidak sebatas pertemuan
kepentingan sesaat, melainkan adanya pertautan dan persinggungan platform yang
dianut oleh partai-partai politik.
Namun kenyataan, realisasi dan praktek oposisi terlihat bertolak belakang,
6
oposisi dan koalisi menjadi “abu-abu”, sehingga sulit menentukan apakah kekalahan
suatu partai menjadikannya secara otomatis sebagai oposisi, atau bersekutunya
beberapa partai menempatkannya sebagai teman koalisi, tentu sulit untuk
menjawabnya, masih perlu analisa dan telaah lebih mendalam.
Sebenarnya di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun, oposisi
tidak benar-benar diterapkan secara konsisten, mengingat paradigma dan aliran
politik yang dianut dan diterapkan relatif sama terutama dalam kebijakan ekonomi.
Tawaran yang diperjual belikan kepada konstituen tidak jauh berbeda, sehingga
siapapun yang berkuasa tidak akan ada perbedaan yang signifikan. Amerika Serikat
misalnya, sulit membedakan kebijakan Bush dengan Clinton, meskipun mereka
berasal dari partai yang berbeda, keduanya sama-sama mengidolakan liberalisme.
Begitu pula dengan kebijakannya terhadap politik luar negeri Amerika, tidak
jauh berbeda, penerapan standar ganda dilakukan oleh keduanya. Yang berbeda
mungkin hanya pendekatannya, soal motif dan tujuan akhirnya sama saja. Dalam
kasus Israel misalnya, di masa Clinton yang Demokrat tidak ada bedanya dengan
Bush yang Republik, begitu pula dalam kebijakan-kebijakan lainnya. Hal ini
menunjukkan dan menguatkan bahwa oposisi tidak benar-benar sanggup atau mampu
diterapkan di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun.4
Adanya oposisi adalah adanya pertarungan ideologi atau pemikiran-pemikiran
yang berbeda antara partai satu dengan partai yang lainnya. Pertarungan ini hanya
dimungkinkan, bila suatu negara memberi kebebasan kepada penganut paham
4 http.// www.michelleader.com
7
manapun untuk ikut bertanding. Dengan demikian dapat dilihat keunggulan dan
kelemahan masing-masing pihak. Tentu ide ini tidak mudah untuk dijalankan
mengingat banyaknya trauma sejarah terhadap pertarungan ideologi antar partai
politik tersebut, sehingga membuat banyak pihak menjadi paranoid, padahal bila
hukum ditempatkan sebagai wasit, maka tidak perlu ada kekhawatiran senantiasa
mengisi
Bagi masyarakat muslim Hukum Islam, dalam pengertian mewakili tatanan
konstitusional merupakan seperangkat nilai yang diterima oleh sebagian besar orang
dalam masyarakat politik sebagai sesuatu yang sah dan otoritatif. Oleh karena itu
kesadaran terhadap konstitusi merupakan unsur penting dalam memberikan landasan
bagi oposisi yang sah. Ia memberi dasar untuk menentang tindakan para pemimpin
atau menyarankan pembaruan itu tanpa perlu melakukan penggulingan pemerintahan
secara revolusioner yang banyak menimbulkan kehancuran-kehancuran dan bahkan
menumpahkan darah.5
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang demokratis, yang didasarkan pada
permusyawaratan dan penghargaan pada hak asasi manusia, hak material, dan hak
imaterial manusia yang tidak boleh dipaksakan dan ditindas. Oleh akrena itu setiap
anggota masyarakat itu berhak menyatakan pendapatnya, berhak berbeda
pendapatnya, berhak mengoreksi setiap pemimpin apakah dia pemimpin tinggi, raja,
presiden atau pemimpin tingkat rendah. Apakah dia pemimpin formal, seperti
5 John L.Esposito&John O. Voll Demokrasi di negara-negara muslim: problem dan
prospekDiterjemahkan oleh Rahmani Astuti dari Islam and Democracy, h. 50-51
8
presiden, raja, panglima atau pemimpin informal, seperti tokoh politik, tokoh
masyarakat, para ulama dan cendikiawan
Ini dinyatakan dalam firman Allah
“dan bermusyawarahlah di dalam semua urusan kamu”(ali imron: 159)
“dan di dalam urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka” (al-syura: 38)
“afdhalul jihad qoulal haqi ‘inda suthanin jaair” (hadits)
Dari ayat-ayat dan hadits di atas tegas bahwa setiap ummat itu berhak untuk
menyatakan yang benar, berhak untuk menyatakan keberatan jika dia merasa bahwa
dia tidak akan mampu melakukannya.
Dan jika seseorang itu merasa bahwa ada kejanggalan atau kekurangan atau
kesalahan atau mengandung maksiat maka ummat wajib mengoreksinya. Dan jika
tidak mampu melakukannya dia boleh menyampaikan keberatannya, dan pimpinan
yang baik tidak akan memberati ummatnya di luar kemampuannya seperti ayat di
atas.
Sebaliknya jika ada kekeliruan, lupa atau kekurangan, maka setiap pemimpin
sangat mengharapkan koreks dan pendapat yang lebih baik dari orang yang
dipimpinnya. Pemimpin Islam itu selalu mengharapkan kritik dan koreksi yang
dicontohkan oleh Rasulullah di mana beliau selalu meminta pendapat dari ummat,
bahkan dari wanita yaitu istrinya, dia dapat menerima jika memang pendapat istrinya
tersebut lebih baik. Juga dari khalifaturasyidin banyak contoh di mana mereka sangat
mengharapkan koreksi dan kritik dari rakyatnya. Khalifah Abu Bakar di saat beliau
9
dibaiat, beliau berkata: “taatilah aku jika aku benar, dan koreksilah aku jika menurut
pendapat kalian aku keliru.”
Contoh di atas merupakan benang merah dari demokrasi dan ketulusan serta
kebesaran pemipin Islam di masa lampau, yang wajib menjadi teladan bagi kita di
masa ini. Akibat dari ada hak dan kewajiban di antara pemimpin dan ummat ini,
maka masyarakat Islam ditegakkan secara demokratis dan didukung dengan sukarela
dan tulus oleh ummatnya. Menjadikan masyarakat yang mempunyai disiplin yang
tinggi, yang masing-masing pihak mengerti tanggung jawab hak dan kewajiban
masing-masing.6
Pada masa “klasik “setelah wafatnya Nabi Muhammad dan meluasnya
ekspansi komunitas dan negara Islam gagasan mengenai konsensus (ijma’),
musyawarah (syura), dan ijtihad secara operasional didefinisikan. Selain itu,
dikembangkan pula konsep spesifik yang terkait dengan isu oposisi, yaitu
menyangkut perbedaan pendapat antar umat Islam. Oleh karena itu pada masa itu
pulalah didefinisikan mana perbedaan pendapat yang diperbolehkan dan mana yang
dianggap pembangkangan.
Islam menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah hidup yang islami
dan mewajibkan seorang pemimpin untuk melakukan musyawarah serta mewajibkan
umatnya untuk mengkritisi apa yang telah dilakukan pemimpinnya. Sebagaimana
menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai sebuah kewajiban yang harus
dijalankan, bahkan menjadikannya sebagai sebuah keutamaan jihad untuk
6 Ciri-ciri pemimpin menurut al-Qur’an, hal 58
10
mengatakan perkataan yang benar dihadapan pemimpin jahat.
Kewajiban tersebut harus diimplementasikan oleh partai politik khususnya
dalam pengelolaan sebuah negara. Karena penguasa seringkali dengan mudah
mematah kekuatan individu atau kelompok kecil dengan cara kekerasan atau tipu
daya. Namun sebaliknya ia akan sulit mematahkan kekuatan kelompok yang besar
dan terorganisir seperti partai politik yang mempunyai peran dalam segi kehidupan
dan pengaruh serta basis masa yang kuat di dalam masyarakat.7. Maka oleh karena itu
apabila ada kekeliruan atau terjadi keadaan statis dalam menjalankan pemerintahan,
partai politik harus cepat merespon hal tersebut dengan mengkritisi dan memberikan
masukan-masukan yang positif. .
Langkah oposisi partai politik tersebut akan membawa perubahan yang
signifikan bagi peningkatan kinerja pemerintahan dan berdampak pada terlaksananya
kesejahteraan serta kemakmuran yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh lapisan
masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Maka dengan demikian lagi-
lagi kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tersebut harus dijalankan dengan sungguh-
sungguh, jangan sampai diabaikan bahkan tidak dijalankan sama sekali.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akhirnya tertarik untuk meneliti
secara lebih jauh tentang permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang.
Sehingga penulis berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul
“KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ;
STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” 7 Yusuf Qordlowy, fiqh daulah fil Islam, h. 136
11
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Peran menjadi partai oposisi tidaklah mudah dan harus menghadapi berbagai
macam tantangan dan permasalahan, yang tidak akan pernah habis dibahas dalam
waktu yang singkat, dan tidak sedikit buku yang dijadikan referensi. Sesuai dengan
latar belakang yang telah dipaparkan di atas. Maka penulis membatasi masalah hanya
mengenai partai oposisi yaitu tentang peran oposisi partai politik terhadap langkah-
langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah, yang lebih ditekankan pada masalah
pendorongan pemerintah untuk memperbaiki serta meningkatkan mutu kinerjanya
dalam rangka membangun negara dan mensejahterakan seluruh warga negaranya.
Adapun berdasarkan uraian dari pembatasan masalah, maka perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengertian “Partai
Oposisi” yang diperankan partai politik terhadap pemerintah yang
sah.
2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif
terhadap konsep partai oposisi
3. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan
hukum positif mengenai konsep partai oposisi
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian disesuaikan pada perumusan masalah di atas yang
meliputi:
1. Dengan penelitian ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum
positif terhadap pengertian ”Partai Oposisi” yang diperankan partai politik
terhadap pemerintah yang sah.
2. Dengan penelitin ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum
positif tentang konsep partai oposisi
3. Dengan penelitian ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum
Islam dan hukum positif mengenai konsep partai oposisi
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan
dalam kajian ilmiah, antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan
khazanah keilmuwan di bidang hukum Islam terutama dalam hal hukum Islam
tentang bagaimana sebuah partai politik berperan sebagai oposisi dan
korelasinya terhadap peningkatan mutu kinerja pemerintahan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemecahan masalah bagi
kalangan akademisi khususnya di bidang siyasah (perpolitikan) agar dapat
menjawab permasalahan-permasalahan hukum terutama seputar oposisi partai
politik dalam segala bentuknya.
13
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini, yakni;
a. Jenis Penelitian
Melihat pada data-data yang diambil dalam skripsi ini, maka penelitian
skripsi ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, karena jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Dan jika dilihat dari segi tujuan penelitian ini, maka penelitian ini juga
termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu pemaparan data-data dalam satu
variabel.
Dan juga apabila dilihat dari segi tipe penelitian ini, maka penelitian
ini termasuk dalam penelitian normatif-doktriner-komparatif, yaitu penelitian
pada doktrin-doktrin hukum dan membandingkannya satu dengan yang lain.
b. Jenis dan Sumber Data
Ada dua jenis dan sumber yang dijadikan sebagai bahan pegambilan
data penelitian ini, yakni jenis data dari sumebr primer diambil dari undang-
undang hukum, yakni undang-undang tentang partai politik, dan hukum Islam.
Sedangkan sekundernya adalah penjelasan dan juga penafsiran terhadap
undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan objek penelitian,
serta referensi-referensi pendukung lainnya. Kedua jenis data tersebut diambil
langsung dari undang-undang dan buku-buku yang terkait dengan objek
penelitian.
14
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk jenis penelitian normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau
studi dokumenter, yakni dengan menelusuri bahan pustaka yang terkait
dengan peran partai oposisi dan korelasinya terhadap peningkatan mutu
kinerja pemerintah, baik itu dari hukum positif maupun hukum Islam yang
terkait dengan objek masalah yang dikaji dalam skripsi ini.
d. Teknik Pengolahan Data
Adapun teknik pengolahan data dalam skripsi ini dengan menggunakan teknik
deskriptif, yaitu setelah data-data tersebut terkumpul, maka langkah
selanjutnya adalah memaparkan data tersebut secara lengkap, urut, dan
teratur, dan setelah itu dilakukan analisis dengan mencermati setiap
pembahasan tema yang digarap.
e. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku-buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di fakultas syari’ah dan hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini penulis membaginya pada lima bab dan beberapa
sub bab, yakni:
BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan keguanaan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
15
BAB II: Pengertian partai oposisi dan partai opoisis menurut pandangan hukum
Islam serta tujuan dan pola oposisi
BAB III: Bentuk-bentuk oposisi dan strategi oposisi dalam mengkritisi
kebijakan yang tidak populis, yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu
oposisi parlementer, oposisi presidensiil, dan Kedudukan dan fungsi
partai oposisi dalam ketatanegaraan, yang terdiri dari dua sub bab,
partai oposisi dalam ketatanegaraan, fungsi partai sebagai oposisi
pemerintahan
BAB IV: Peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintahan
menurut hukum Islam dan hukum positif, yang terdiri dari beberapa
sub bab, yaitu peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja
pemerintah menurut hukum Islam, peran partai oposisi dalam
meningkatkan mutu kinerja pemerintah menurut hukum positif,
persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang peran partai oposisi
dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintah
BAB V: penutup yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
BENTUK-BENTUK OPOSISI
A. Definisi Oposisi
Secara etimologi oposisi berasal dari bahasa inggris opposition (opposites,
oppnore dalam bahasa latin) yang berarti memperhadapkan, membantah, dan
menyanggah1. Sedangkan secara terminology, oposisi adalah golongan atau partai
yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan2. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, oposisi diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan
mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan mayoritas yang berkuasa3.
Eep Saifullah Fatah mendefinisikan oposisi sebagai setiap ucapan atau
pebuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong
segala sesuatu yang sudah benar. Sehingga maksud dari beroposisi politik adalah
melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa
benar. Jadi oposisi bukanlah penentang an sich, oposisi bukan pula sekedar pihak
yang mengatakan ketidaksetujuan, oposisi bukanlah golongan atau partai yang hanya
teriak semata-mata, dan bukan pula kalangan yang melawan kekuasaan secara
membabi buta4.
Sementara itu menurut prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam bukunya “Dialog
Keterbukaan” menyatakan bahwa dalam Negara demokrasi yang sehat sangat
1 Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996) h. 754 2 Jhon McGill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, (Jakarta, Aribu Matra Mandiri, 1996)
h.154 3 Tim Penyusun Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka) h. 628 4 Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999) h. XI
17
18
diperlukan check and balance sebagai kekuatan pemantau dan pengimbang, sebab
dalam pandangan yang agak filosofis manusia tak mungkin selalu benar untuk
menjalankan check and balance secara formal di parlemen adalah partai oposisi.
Menurutnya juga, oposisi tidak berarti to oppose (menentang) tapi dalam oposisi
terkandung unsure to support (mendukung). Dalam pandangan Nurcholis oposisi
sangat berbeda dengan oppositionalisme adalah menentang sekedar menentang,
sangat subyektif dan bahkan ittikadnya kurang baik, seperti kebiasaan mendaftar
kesalahan orang lain. Sedangkan oposisi dalam semangat loyal, loyal kepada Negara,
loyal kepada cita-cita bersama dan bahkan kepada pemerintah pun dalam hal yang
jelas-jelas baik harus loyal5.
Dalam ilmu politik definisi oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau
pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan
pemerintahan. Oposisi bukanlah musuh, melainkan mitra tanding (counter player)
dalam percaturan politik, sebagaimana diidentifikasi oleh ghita Lonesca dan Isabel de
Madriaga dalam opposition (1982) – oposisi hadir sebagai pemerhati, pengontrol, dan
evaluator perilaku dan kinerja pemerintah
Dalam wacana politik, oposisi ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kultural dan
aspek struktural. Pada aspek kultural menekankan bahwa oposisi sudah menjadi
sebuah kebutuhan mutlak dalam membangun bangsa kedepan yang lebih baik.
5 Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.7
19
Mencermati bukan sekedar turut menyaksikan apa saja yang berlalu didepan mata,
akan tetapi siap-siaga untuk melakukan counter discourse atau gelar wacana
tandingan, dialog, kampanye publik, dan lain sebagainya.
Perilaku beroposisi seperti ini dapat diperankan oleh siapa saja dan kapan
saja. Sedangkan dalam aspek struktural, oposisi dimaknai dengan mengkritisi
kebijakan pemerintah yang berkuasa, namun dengan tidak banyak memproduksi aksi
positif, cukup dengan menolak tegas secara moral kebijakan tersebut, untuk
selanjutnya menunggu perkembangan yang akan berlaku. Dengan bahasa lain
merupakan oposisi yang miskin strategi dan miskin program, (menurut penulis) persis
sama dengan kondisi gerakan oposisi di Indonesia6
Oposisi dalam ilmu politik tidak terlepas dari perkembangan partisipasi yang
lebih luas dalam proses politik. Menurut Myron Weiner partisipasi disebabkan oleh
lima hal. Pertama: modernisasi, komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi
yang meningkat, penyebaran baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan
proses demokrasi yang berdaulat. Bentuk kebebasan dalam bingkai pluralisme
menuntut partai untuk andil dalam kekuasaan. Kedua, perubahan struktur sosial.
Ketiga, pengaruh kaum intelektual dan komunikasi era modern yang memunculkan
6 http://ashlf.comH. Aries Sugi Hartono, S.H. H. Aries Sugi Hartono, S.H., oposisi semu di Indonesia, diakses
pada tgl 9 maret 2010
20
ide-ide egaliterianisme, nasionalisme, demokrasi, pluralisme ke dalam masyrakat
umum. Keempat, konflik antar kelompok pemimpin politik. Kelima, keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.7
Partisipasi ini sebagai usaha terorganisasi dari para warga negara untuk
mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan. Untuk menilai partisipasi politik
dapat dilihat dalam dua tolak ukur, yaitu pengetahuan dan penghayatan terhadap
politik yang mereka miliki. Diantaranya hak dan kewajiban warga negara.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan partisipasi itu diperlukan sistem
politik yang demokratis meliputi dua suasana kehidupan. Suasana kehidupan yang
konstitusional (supra struktur) dan kehidupan politik rakyat sebagai kekuatan politik
sosial dalam masyarakat (infra struktur). Infra struktur politik di sebuah negara
mempunyai lima komponen, meliputi:partai politik (political party), kelompok
kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi
politik (political communication group), dan tokoh politik (political figure). Pola
partisipasi politik dapat diklasifikasikan dalam dua pola. Yaitu pola konvensional
sebagai bentuk partisipasi yang umum dala demokrasi modern, meliputi aktivitas
pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye dan bergabung dalam kelompok
kepentingan.
Sedangkan partispasi politik non konvensional adalah pengajuan petisi,
demonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan terhadap harta benda atau
manusia dan revolusi. Partisipasi dapat terealisasi dengan dibentuknya partai politik
7 Tim Kanisius,Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), h. 945
21
sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan komunikasi, sosialisasi dan
rekrutmen politik, fungsi lainnya sebagai pengatur konflik.
Kekuasaan dalam politik berbentuk hubungan, dalam arti ada pihak yang
memberi perintah dan ada pula pihak yang diperintah, sehingga ada pengaruh dalam
menjalankan kekuasaan. Kekuasaan politik merupakan kekuasaan sosial yang
fokusnya ditunjukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang
mempunyai hak mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan, ada dua macam
kekuasaan politik. Yakni, kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara seperti
lembaga-lembaga pemerintah: DPR, presiden dan yudikatif. Kekuasaan sosial dalam
bentuk asosiasi-asosiasi dan aliran yang bersifat politik, maka untuk mengimbangi
agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dalam satu badan. Ada pembagian kekuasaan
dalam negara atau lebih dikenal dengan doktrin trias politica.8
Badan legislatif adalah lembaga yang mewakili aspirasi dari masyrakat yang
dipilih dalam pemilu. DPR menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan
dengan jalan menentukan kebijakan dan menuangkan dalam undang-undang.
Perwakilan-perwakilan partai ini mempunyai wewenang dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat yang legal. Adapun tugas penting dari anggota legislatif adalah:
1. Menentukan kebijaksanaan dan membuat undang-undang. Untuk itu DPR
diberi hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang
yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.
8 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 135
22
2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan bada
eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk
menyelenggarakan tugas ini badan legislatif diberikan hak-hak kontrol
khusus, diantaranya adalah hak bertanya, interpelasi, anggket dan mosi.
Maka format oposisi dalam bentuk ajaran mengimbangi kekuasaan (check and
balance)9 negara yang diletakan dalam kerangka konstitusi. Format oposisi ini biasa
dilakukan oleh partai politik yang menginginkan perubahan atau mengkritisi kinerja
pemerintahan. Konstitusi mutlak merupakan kata akhir dan perwujudan legitimasi,
penyimpangan terhadap konstitusi berarti melampaui batas mandat politik. Pada
konteks ini oposisi dapat disebut sebagai sistem kontrol konstitusi.
Sistem check and balance merupakan sebuah mekanisme untuk mampu
mengoreksi dan meluruskan sebuah pemerintahan serta mendorong pertumbuhan ke
arah yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap pengekangan kebebasan dan pencekalan
dalam mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap
tuntutan sebuah falsafah sebuah negara atau hak asasi manusia. Peran oposisi partai
politik sangat penting untuk mengawasi dan mengimbangi kekuasaan secara
konsisten, objektif dan berpegang pada kebenaran. Serta berpihak pada kepentingan
rakyat banyak. Adanya oposisi di parlemen akan mempersempit kemugkinan
terjadinya tiranisme dan otoriterianisme.
9 Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.13
23
.
B. Oposisi Dalam Islam
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik sekalipun,
agar manusia tidak tersesat dan selalu berada pada jalan yang telah digariskan-Nya.
Ketika seorang pengkaji mengamati nash-nash yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan sunnah Nabi Saw serta dalam berbagai khazanah pemikiran Islam yang
disampaikan pada masa Khulafaur Rasyidin menemukan bahwa secara keseluruhan,
wacana Islam memerintah dan mengajak kaum muslim untuk beroposisi. Di samping
itu mendorong ummat untuk melakukan reformasi, bahkan bersikap menentang jika
keadaannya menghendaki demikian.
Fokus pokok oposisi tercermin dalam kewajiban yang dibebankan syari’at
kepada seluruh manusia untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Menurut Imam Hamid Al-Ghazali
dalam kitab ihya ‘ulumuddin, hal itu merupakan kutub terbesar agama10.
Kewajiban tersebut, dalam praktiknya, dewasa ini telah dihapus, bahkan
hanya difokuskan dalam masalah moral saja. Tetapi menurut pengalaman pahit kaum
muslim dan menurut kebanyakan ulama, kewajiban ini merupakan istilah politik pada
peringkat pertama. Ia juga merupakan substansi pokok untuk proses perubahan, baik
10 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 132
24
itu dalam skala individu, kelompok, maupun ummat secara keseluruhan.
Suatu amalan yang sangat penting dalam menjalankan suatu roda
pemerintahan bagi mereka yang mendapatkan amanah dari ummat adalah
melaksanakannya dengan baik, dan sebaik-baiknya ummat adalah yang berani
memperingatkan dan mengkritisi suatu kekeliruan yang dilakukan oleh kepala negara.
Karena itu, suatu bentuk kritikan (oposisi) bukan hanya sekedar hak, tetapi bahkan
merupakan kewajiban menurut syari’at
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa sebagai muslim kita senantiasa dituntut untuk
taat kepada Allah, rasul dan para pemimpin kita, tetapi kesepakatan itu segera disusul
dengan satu klausul politik selama para penguasa tidak menyeleweng. Artinya, ketika
para pemimpin melakukan perbuatan maksiat (kepada allah dan Rasul-nya), maka
tidak ada ketaatan lagi kepadanya. Dalam konteks ini, umat diperkenankan bahkan
diharuskan untuk senantiasa melakukan kritik terhadap para pemimpinya.
Sehingga dalam pandangan Islam, oposisi tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan
suatu pemerintahan ataupun mengganggu pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi
bersikap tegas, tidak kompromi terhadap kedzaliman, sikap tegas ini mengandung
konsekuensi berani mengatakan “tidak” jika salah dan berani mengatakan “benar”
jika memang benar adanya. Atas dasar inilah, maka termasuk bagian tegas ini adalah
tidak malu mendukung kebijakan pemerintah jika dipandang tepat, dan sebaliknya
tidak takut untuk mengkritik suatu kebijakan jika dipandang salah.
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penyimpangan terhadap hak rakyat,
pelanggaran terhadap penuanaian amanat rakyat. Penyimpangan dari keadilan dan
25
menghilangkan kebebasan manusia, maka diperlukan partai politik atau kelompok
yang independen yang mengawasi jalannya pemerintahan di dalam birokrasi untuk
selalu objektif dalam menilai setiap kebijakan yang dibuat.
Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam
ada lembaga perwakilan rakyat yang lebih dikenal dengan majelis umat (ahl halli wal
aqdi). Tugas dari majelis umat ini membaiat kepala negara sebagai bentuk dari
kontrak sosial, ini tidaklah bersifat mutlak dan permanen, tetapi bersifat bersyarat
yang bergantung pada para penguasa dalam menjalankan kontrak sosial yang
disepakati sesuai atau tidak dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan berdasarkan
agama.
Adapun tugas lain dari lembaga ini adalah (1) memberikan saran kepada
khalifah. Dalam hal ini pendapatnya bersifat mengikat (wajib dilaksanakan oleh
khalifah); (2) dalam masalah disiplin, finansial, pasukan dan politik luar negeri,
khalifah berhak merujuk kepada majelis untuk meminta pendapatnya dan bersikap
sesuai dengan pandangannya, tetapi tidak mengikat; (3) majelis mempunyai hak
untuk mengoreksi khalifah atas seluruh tindakan yang selama ini terjadi di negara; (4)
majelis umat berhak untuk menampakan ketidaksetujuannya terhadap para Muawin,
Wali dan Amil; (5) kaum muslimin yang menjadi anggota mejelis umat, berhak untuk
membatasi calon yang akan menjadi khalifah.
Dari fungsi majelis umat, maka hak dan kebebasan beroposisi merupakan
produk alami dari kebebasan pemdapat, keadilan dan kesetaraan. Produk alami ini
adalah kaidah-kaidah dasar dari sistem pemerintahan Islam, yang berarti bahwa
26
dalam hukum Islam menerima munculnya oposisi dan melindunginya. Dalam sejarah
Islam permulaan dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukan bahwa Nabi
memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk berbicara dan mengemukakan
pendapat mereka.
Hal ini tampak dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang beliau
laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Beliau mengembangkan
kebebasan pendapat di kalangan para sahabatnya. Kegemaran Nabi Muhammad
bermusyawarah dengan para sahabatnya mengindikasikan bahwa Nabi mengakui
kebebasan berfikir dan berpendapat, dan sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu
sebagai suatu nilai yang bermanfaat11.
Islam telah menjadikannya sebagai tugas Muslim dan Muslimat untuk
membentuk masyarakkat yang sehat, yang bersih dari korupsi dan perbuatan tercela
dan untuk selalu berkelakuan baik dan menghindari kezhaliman. Tugas ini dituangkan
dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar, menyeru orang kejalan kebajikan dan
mencegah ketidakadilan adalah tanggung jawab bersama dari negara dan rakyat.
Sutau pemerintahan Islam tidak bisa bersikap netral berkenaan dengan kondisi moral
religius dari masyarakat.
Syariat islam telah menetapkan peemulaan muasyawarah dan menjadikannya
salah satu pondasi dari hukum dan politik yang tidak mempunyai perincian,
pembatasan, serta formulasinya bagi ummat islam. Al-qur’an belum
memformulasikannya dan Rasul juga belum memberikan tata aturan yang khusus dari
11 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta, 1988) h. 75-76
27
musyawarah itu sendiri, karena musyawarah merupakan hal yang di dalamnya
terdapat perubahan sudut pandang dan perubahan pada generasi yang
menjalankannya, serta kemajuan masyarakat. Oleh karena itu apabila ditetapkan
aturan yang baku terhadap musyawarah, maka akan mempersempit pemahaman
musyawarah bagi mereka. Ini secara sengaja ditinggalkan tanpa aturan baku agar
menjadi rahmat bagi sekalian manusia
C. Oposisi dalam Sistem Parlementer
Dalam konsep trias politica, kekuasaan dibagi menjadi tiga; pertama,
kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan dan ketiga kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias politica adalah prinsip
yang normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa.12
Sebelum lebih jauh berbicara tentang oposisi dalam sistem parlementer
penulis akan menguraikan lebih dahulu tentang sistem parlementer. Pertama, dalam
sistem parlementer, parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui pemilihan umum.
Kedua, anggota dan pemimpin kabinet dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan
fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar atau seluruh anggot kabinet
12 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 151
28
biasanya juga menjadi anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda,
yakni legiaslatid dan eksekutif. Ketiga, kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat
dukungan mayoritas dari parlemen. Hal ini berarti perlemen dapat menjatuhkan
kabinet manakala mayoritas parlemen memberikan mosi tidak percaya kepada
kabinet. Keempat, manakala kebijakan tidak mendapat dukungan, parlemen dapat
membubarkan kabinet lalu membentuk kabinet yang baru.13
Kebanyakan oposisi berjalan dengan baik dalam sistem parlementer. Oposisi
biasanya dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu. Oposisi dilakukan dalam
rangka check and balance terhadap pemerintah. Partai oposisi dalam
implementasinya, membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet) sebagai pengontrol
terhadap kinerja kabinet. Apabila salah satu dari menteri mengeluarkan kebijakan
yang tidak populis atau tidak berpihak pada rakyat, maka kabinet bayangan akan
mengontrol maupun menolak kebijakan atau membuat kebijakan yang berbeda
dengan yang dikeluarkan oleh menteri terkait. Misalnya, jika yang mengeluarkan
kebijakan itu menteri keuangan, maka menteri keuangan dari partai oposisi kebinet
bayangan pun mengeluarkan kebijakan tandingan.
Dalam sistem parlementer, seorang perdana menteri sangat mudah untuk
dijatuhkan oleh parlemen karena yang memilih perdana menteri adalah legislatif.
Dalam sistem yang menggunakan dwi partai, oposisi lebih jelas peranannya dalam
mengontrol pemerintah, dan begitupula pemerintah akan lebih mudah dalam
mengendalikan wakil-wakilnya di parlemen. Tapi jika menggunakan multi partai dan
13 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1999, h. 170
29
tidak ada single majority (pemenang utama) maka partai-partai akan berkoalisi untuk
mendapatkan jabatan perdana menteri, sedangkan yang kalah dalam pemilihan
perdana menteri sudah otomatis menjadi partai oposisi. Seperti di Jerman, Partai Uni
Demokrat Kristen (Christlich Demokratische Union Deutschlands) dan Partai Uni
Sosial Kristen (Christlich Soziale Union) adalah dua parpol oposisi terhadap kanselir
Jerman, Gerhard Schroeder dari Partai Sosialis Demokrat Jerman (Sozial
Demokratische Partei Deutschlands) yang tengah berkuasa dengan koalisinya, Partai
Hijau (Bundnis 90 Die Grunen). Partai Uni Demokrat Kristen dan Partai Uni Sosial
Kristen bersama partai oposisi lainnya, Partai Demokrat Liberal (Freier
Demokratische Partei) misalnya, selalu mengkritik kinerja pemerintah dari segala
sisi. Jadi, jika di kabinet Schroeder terdapat menteri luar negeri dengan segala
kinerjanya, di partai oposisi juga memiliki orang yang berperan sebagai menteri luar
negeri bayangan yang tugasnya mengkaji segala bentuk kebijakan luar negeri
Schroeder.14
Pengalaman di Indonesia menganut sistem ini ketika awal-awal kemerdekaan
menjadikan perpolitikan Indonesia kacau dan tidak stabil karena seringkali sebuah
kabinet dijatuhkan, sehingga menyebabkan arah pembangunan bangsa tidak berjalan
karena energi para elitnya habis untuk mengurusi politik.
14 Y.W. Nugroho, “Oposisi dalam sistem presidensial, mungkinkah?”, Diakses pada tanggal 7
Oktober 2010 dari http://www. Suara pembaruan.com
30
D. Oposisi dalam Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial sangat
jauh berbeda. Kalau dalam sistem presidensial kepala negara dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan yang ditentukan, sedangkan sistem parlementer kepala
negara dipilih oleh legislatif.
Negara yang sering dijadikan rujukan dalam menggunakan sistem presidensial
adalah negara Amerika Serikat yang kemudian ditiru dan dimodifikasi oleh negara-
negara lain termasuk Indonesia. Sistem pemerintahan Amerika dirumuskan dalam
sistem pemerintahannya yang berbentuk presidensial.
Diantara ciri-ciri pemerintahan yang menggunakan sistem presidensial adalah,
pertama, kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas
pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, dari pada dalam kabinet
parlementer, tetapi siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih
jelas dalam kabinet parlementer dibandingkan dengan kabinet presidensial. Kedua,
kebijakan yang bersifat komfrehensif jarang dapat dibuat karena legislatif dan
eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan
kemungkinan kedua badan ini didominasi oleh partai yang berbeda. Ketiga, jabatan
kepala pemerintahan dan jabatan kepala negara berada dalam satu tangan. Keempat,
legislatif bukan tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari
berbagai sumber termasuk legislatif.15
15 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 171
31
Oposisi dalam sistem negara presidensial seperti Amerika tidak terlalu
kelihatan, antara partai oposisi dan partai pemerintah, karena menerapkan sistem
bipartisan yang memungkinkan pemerintah didukung dua partai yang bersaing dalam
pemilihan umum. Sistem bipartisan juga memungkinkan presiden terpilih dapat
mengisi anggota kabinetnya dengan seorang yang berasal dari partai yang berlainan.
Hal ini pernah dilakukan oleh presiden Bill Clinton yang berasal dari partai demokrat
yang memilih William Cohen, yang berasal dari partai republik, sebagai menteri
pertahanan.16
Dalam sistem presidensial, teradapat satu cara yang bisa digunakan oleh pihak
oposisi untuk menanyakan langsung mengenai satu pertanggung jawaban dari
pemerintah tentang suatu kasus. Cara ini merupakan cara formal yang diatur oleh
undang-undang sebagai sarana komunikasi yang sah, yang bisa digunakan pihak
oposisi di parlemen terhadap pemerintah. Mekanisme impeachement merupakan
mekanisme pendakwaan atau pemanggilan untuk pertanggungjawaban. Tidak jarang
melalui mekanisme ini, seorang presiden dapat diturunkan dari jabatannya.17
Sistem presidensial yang ada di Amerika, mekanisme impeachement sulit
diterapkan karena di negara ini menerapkan Fixed Term, yakni empat tahun untuk
Amerika, atau lima tahun untuk Indonesia. Dalam skandal terbesar presiden AS,
yakni skandal Watergate oleh presiden Richard Milhous Nixon, mekanisme
impeachement tidak digunakan, karena Nixon sudah mengundurkan diri.
16 Rahmat Bahari, “oposisi dan bipartisan”, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 dari
http//www. Kompas.com 17 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 176
32
Impeachement pernah digunakan lagi ketika muncul skandal Monica Lewinsky oleh
presiden Bill Clinton, yang dalam keputusan akhirnya dimenangkan oleh kubu yang
menghendaki Bill Clinton tetap meneruskan jabatan sampai selesai. Dalam
pemahaman demokrasi di Amerika Serikat, pemerintah yang sedang berkuasa
memang dibuat agar tidak mudah untuk digoyang atau bahkan dijatuhkan sekalipun.
Karena memang impeachement adalah sejatinya sebuah mekanisme yang merupakan
pilihan terakhir yang diterapkan dalam kasus khusus (extraordinary case).
Tapi, dalam sejarah perpolitikan sistem presidensial di Indonesia hanya sekali
impeachement pernah dilakukan oleh parlemen kepada presiden, yaitu ketika presiden
KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), karena memang presiden melakukan
pelanggaran yang sangat parah dalam pandangan parlemen yaitu terkena kasus dana
bulogate. Jatuhnya presiden KH. Abdurahman Wahid sah secara konstitusi, karena
telah melanggar UUD 1945 hasil amandemen yang menyebutkan bahwa
“pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden” (pasal 17 A UUD
amandemen ketiga).
Di luar itu, presiden tidak mungkin bisa dijatuhkan, karena mekanismenya
sudah jelas dan hukuman terhadap presiden akan dilakukan oleh rakyat yang mungkin
tidak akan lagi memilihnya pada pencalonan masa jabatan berikutnya.
Dalam sistem presidensial di Amerika Serikat maupun di negara kita yang
menggunakan sistem presidensial bukan tidak ada oposisi, tapi memang sistem
33
presidensial dibuat agar seorang pemimpin dalam rangka menjalankan tugasnya bisa
sampai selesai. Oposisi dalam sistem presidensial sebenarnya lebih berarti
mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap semua kebijakan yang dibuat
eksekutif.
Di dalam pemerintahan yang demokratis, biasanya sistem yang diikuti adalah
demokrasi preesidensial atau demokrasi parlementer. Di negara-negara demokrasi di
dunia ini, lebih banyak yang mengikuti demokrasi parlementer dari pada presidensial.
Menurut Austin Rahney, yang dikutif Miftah Toha, di dunia ini hanya 15 negara yang
mengikuti demokrasi presidensial sedangkan yang mengikuti sistem parlementer ada
110 negara.18 Kebanyakan negara yang menganut sistem presidensial adalah negara
dunia ketiga atau dalam sistem politiknya belum mapan seperti Filipina kecuali
Amerika Serikat sebagai pengecualian.
18 Miftah Toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, h. 36
BAB III
Sejarah Gerakan Oposisi Indonesia dan Islam
A. Sejarah Gerakan Oposisi di Indonesia
Gerak pemuda memang tak luput dari gejolak ambisi untuk merubah dan
mengganti suasana yang suram, gelap serta memilukan. Khususnya para mahasiswa
yang terus berjuang tanpa henti melakukan gerakan-gerakan revolusioner dari awal
masa kemerdekaan hingga saat ini. Perlawanan terhadap rezim-rezim otoriter Orde
Lama dan Orde Baru yang penuh dengan halangan dan rintangan, bahkan nyawa
sekalipun.
Sejarah mencatat pada Juni 1966-Maret 1967 Mahasiswa Indonesia berada di
garis depan dalam kampanye melawan presiden Soekarno yang masih berkuasa.
Merasa memiliki tugas sejarah, dengan dukungan yang kuat, Mahasiswa Indonesia
memimpin perjuangan angkatan ’66 – paling tidak di Bandung – terhadap Soekarno,
kepala negara yang kekuasaannya mulai pudar. Posisi maksimal yang diambil
Mahasiswa Indonesia sejalan dengan posisi Divisi Siliwangi, walaupun sering lebih
jauh dari posisi yang diambil Soeharto dan orang-orang di sekelilingnya. Sikap yang
terlalu hati-hati dan mederat dari yang terakhir ini tak luput dari kritik Mahasiswa
Indonesia.1
1 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan dan konsolidasi
OrBa 1966-1974 diterjemahkan oleh Nasir Tamara, Jakarta, LP3ES, 1989, h. 46
34
35
Serangan terhadap Soekarno dilakukan melalui tulisan-tulisan di Mahasiswa
Indonesia dan juga lewat aksi-aksi melalui Badan Kerjasama Pers dan Kesatuan Aksi.
Organisasi ini, didirikan tak lama setelah Mahasiswa Indonesia lahir, terdiri dari
kasatuan aksi-kesatuan aksi dan koran-koran Bandung. Langkah yang harus diambil
pers agar dapat mencapai cita-cita Orde Baru dengan cara lebih baik didiskusikan
secara teratur di bawah pimpinan Rahman Tolleng. Mahasiswa Indonesia berhasil
memperkuat lobi Orde Baru berkat dukungan pers daerah dalam tingkatan lokal
(Jawa Barat) dengan menyelenggarakan satu kampanye terhadap Soekarno.
Kampanye yang mereka lakukan dalam koran itu sendiri berlangsung melalui
beberapa tahap yang makin lama makin memperlihatkan sikap lebih keras.
MPRS juga melakukan sidang paripurna untuk mensahkan berbagai tindakan
yang memperlemah kedudukan Soekarno. Sementera jalan-jalan raya di ibukota dan
Bandung diduduki berbagai gerakan pemuda, atas namanya atau atas nama-nama
kesatuan aksi, Mahasiswa Indonesia menyerang kewibawaan dan politik presiden:
“Cabut keputusan MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945”, ‘Jabatan presiden
seumur hidup inkonstitusional’. Bahwa Soekarno adalah pencipta Pancasila
dipertanyakan.
Kampanye anti Soekarno baru tampil secara terang-terangan pada tanggal 17
Agustus 1966. Pada hari itu Soekarno mengucapkan sebuah pidato berjudul “Jangan
sekali-kali melupakan sejarah” yang terkenal dengan singkatan “Jas Merah”. Dalam
36
pidato ini Soekarno mengkritik keputusan-keputusan yang diambil MPRS dan
menganggap bahwa Surat Perintah 11 Maret tidaklah berarti pengalihan kekuasaan,
tapi hanya pengalihan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk memelihara
keamanan.
Pidato yang dianggap sebagai provokasi ini melahirkan reaksi keras. Di Bandung
misalnya, pidato itu dianggap sebagai biang keladi keributan tanggal 19 Agustus
1966 ketika sekelompok orang bersenjata dan berseragam hitam yang dijuluki
gerombolan liar Gestapu ASU menyerang Markas Besar KAMI dan KAPPI sehingga
Julius Usman, mahasiswa Universitas Katolik Parahiyangan tersebut, meninggal
dunia, dan limabelas orang lainnya menderita luka-luka. Deklarasi KAMI diterbitkan:
“Bung Karno tak dipercayai lagi, sabotase terhadap program Kabinet Ampera”.
Pada bulan September serangan tehadap Soekarno diteruskan dengan
menggunakan fakta-fakta yang didapat dari proses pengusutan Jusuf Muda dalam.
Mantan Menteri Bank Sentral ini dituduh telah memberikan dana negara kepada
presiden untuk membiayai sejumlah aksi politiknya. Mahasiswa Indonesia
melangkah lebih jauh dan menulis di halaman pertama: “BK harus ke Mahmilub,
terlibat subversi dan beri angin Gestapu”. Soekarno juga dianggap sebagai “Benteng
37
pertahanan terakhir Orde Lama”. Bahkan Mahasiswa Indonesia menyatakan bahwa
Soekarno “Terlibat dalam kudeta Gestapu/PKI”.2
Kampanye anti Soekarno memasuki fase terakhir. Dalam pasal pertama Tritura
yang baru diumumkan, menuntut supaya ‘arsitek Orde Lama’ dipecat. Tanggal 29
Januari, berbagai defile dilancarkan oleh kesatuan aksi-kesatuan aksi di Bandung.
Mahasiswa Indonesia mengutip salah satu slogan yang dibawa demonstran:
“Meskipun langit runtuh kami menuntut Soekarno diadili”. Tanggal 5 Februari, koran
Bandung itu menuntut “agar Soekarno ditahan bila perlu untuk pemeriksaan”.
Tanggal 12, Mahasiswa Indonesia mengumumkan bahwa DPRGR – setelah
menambah anggotanya sebanyak 108 orang telah mensahkan satu resolusi yang
meminta MPRS mengakhiri tugas Soekarno dan mengajukannya ke pengadilan.
Kejadian-kejadian berlangsung dengan cepat. Menurut Rosihan Anwar: ‘tanggal
10 sampai 13 Februari para panglima ke 4 Angkatan Bersenjata berunding secara
maraton dengan Presiden untuk meyakinkannya menerima salah satu dari usul yang
diajukan’. Perundingan itu gagal karena Soekarno menolak untuk menyerah. Dengan
demikian hanya pilihan pertama yang dapat diambil.
Penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto terjadi tanggal 20 Februari.
Namun kesatuan aksi-kesatuan aksi di Jawa Barat tidaklah puas, sebab Soekarno
masih menggondol gelar Presiden. Rosihan Anwar mengkritik dipertahankannya
2 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan dan konsolidasi OrBa 1966-1974 diterjemahkan oleh Nasir Tamara, Jakarta, LP3ES, 1989, h.49
38
Soekarno sebagai Presiden karena meskipun tanpa kekuasaan, ia akan dapat
memulihkan kembali kekuasaannya a fortiori bila ia tak diadili.
Pada dasarnya Soekarno adalah seorang yang selalu mencoba untuk
mempertahankan diri, meski tampak dengan jelas gejala bahwa ia sudah tidak mampu
lagi mengerahkan dukungan rakyat, dengan rasa penuh keyakinan ia buresaha untuk
meyakinkan rakyat bahwa ia masih tetap berkuasa dan tidak dapat dipaksa-paksa oleh
siapa pun juga. Oleh sebab itu, Soekarno mencoba untuk memenuhi “Tritura” yang
kemudian dituntut oleh mahasiswa dan masyarakat lainnya, akan tetappi Soekarno
malah menyerang dan menantang tuntutan dan aksi mereka.
Ini juga kesalahan Soekarno yang tidak mau berusaha untuk mengendalikan
gerakan mahasiswa dengan membujuk atau setidak-tidaknya pura-pura berpikir setuju
kepada kekuatan yang terus menerus berdemonstrasi. Tetapi dalam kenyataannya
Presiden justeru malah menyerang balik demonstran sambil mengejek mereka dengan
sepatah peribahasa Belanda secara terbuka dalam salah satu pidatonya: “kip zonder
kop” yang artinya “ayam tanpa kepala”. Tetapi, kemudian ternyata bahwa ayam tanpa
kepala itu akhirnya memiliki kepala, dan malah semakin berani. Sehingga membuat
Soekarno tidak aman berada di Jakarta, dengan kemudian menuduh mahasiswa
dipersenjatai dan ditunggangi oleh militer. Semakin kuatnya tekanan dan merasa
terdesak, militer pun mendesak dengan paksa pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno
menandatangani Supersemar sebagai surat perintah kekuasaan yang diberikan kepada
39
Jenderal Soeharto untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
pemerintahan.3 Kelicikan Soekarno kemudian dibalas oleh militer yang saat itu
memiliki banyak dukungan dengan memaksa presiden menandatangani Surat
Perintah 11 Maret “Supersemar”.
Menyusul naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, seluruh oposisi hancur.
Dengan dibubarkannya PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya, tidak ada lagi
organisasi berbasis massa yang kritis terhadap pemerintahan yang didominasi militer
ini. Kelompok kelas mengengah Muslim maupun yang lebih berorientasi sekular
mendukung apa yang dinamakan Orde Baru, seperti juga banyak aktivis mahasiswa.
Tetapi, segera menjadi jelas bahwa kelompok komunis bukanlah satu-satunya
kelompok yang mendapatkan derita dari pemerintah yang baru. Sejak para pemimpin
baru mencoba mengontrol seluruh masyarakatdan mencegah berkembangnya setiap
bentuk organisasi independen, banyak aktivis kelas menengah menjadi sadar dan
mulai mengkritik rezim. Sejak 1970 hingga januari 1972, protes-protes dialamatkan
pada tindak korupsi, khususnya yang terjadi di dalam perusahaan minyak milik
negara, Pertamina. Proyek Taman Mini Indonesia yang disponsori oleh istri presiden
merupakan target berikutnya. Pada Januari 1972, pemerintah menindas protes-protes
tersebut dengan menangkapi para pemimpin mahasiswa maupun editor surat kabar.
3 Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-
S/PKI, Jakarta, Mediakita, 2006, h. 53
40
Banyak aktivis kelas menengah mengambil pendekatan yang lebih moderat dan
kurang konfrontatif. Mereka mendirikan LSM-LSM yang menangani isu-isu
pembanunan, perempuan, lingkungan, dan sebagainya. Disebabkan profil politik
mereka yang rendah, mereka berusaha meloloskan diri dari bentuk-bentuk penindasan
yang lebih agar bisa melanjutkan upaya advokasi mereka. Aktivis-aktivis mahasiswa
yang lebih radikal tidak puas dengan pendekatan moderat LSM-LSM itu. Pada tahun
1974, satu generasi baru aktivis mahasiswa menggalang demonstrasi untuk
memprotes kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan dominasi modal Jepang di
Indonesia. Mereka dipengaruhi oleh teori kemandirian dan barangkali juga oleh
demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di Thailand, yang megakibatkan berakhirnya
rezim militer di sana pada Oktober 1973. Protes mahasiswa ini kelihatannya
didukung oleh unsur-unsur militer. Pemimpin mahasiswa Hariman Siregar mengakui
mengantongi dukungan dari sejumlah pengusaha Indonesia. Menyusul demonstrasi
dan kerusuhan 15 Januari itu (Insiden Malari), beberapa pemimpin mahasiswa, di
antaranya Hariman Siregar dipenjarakan.
Pada 1977 dan 1978, lagi-lagi mahasiswa berdemonstrasi menentang rezin Orde
Baru. Sekalipun demokrasi dan hak asasi manusia bukan merupakan konsep kunci
gerakan mahasiswa ini yang memfokuskan pada kritik terhadap kebijakan
pembangunan dan militerisme. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an terjadi pula
kerusuhan buruh. Gelombang pemogokan melanda wilayah perindustrian di Jakarta,
tetapi setelah adanya intervensi militer frekuensinya menurun tajam. Perjuangan
41
buruh waktu itu tidak erat terkait dengan protes-protes mahasiswa dan kelas
menengah lainnya4
Rezim Orde Baru telah memperlihatkan kecenderungan untuk mengasingkan
beberapa mantan pendukungnya. Banyak pejabat tinggi dan politisi menjadi kecewa
terhadap pemerintahan Soeharto. Beberapa telah disingkirkan dari kekuasaan karena
perselisihan pribadi dengan Soeharto atau karena Soeharto percaya bahwa mereka
melangkah terlalu jauh dalam menggapai ambisi politik mereka sendiri. Perselisihan
kadang-kadang terkait dengan politik kekuasaan murni pada tingkat elite, tetapi
terdapat pula pertengkaran mendasar dalam masalah kebijakan.
Banyak aktor elite yang kecewa memilih untuk bungkam, tetapi sebagian dari
mereka membentuk sejenis oposisi. Mereka biasanya disisihkan dari kehiodupan elite
dan mengalami hantaman pada bisnis mereka dan pembatasan pada kebebasan
mereka berekspresi dan hak mereka untuk melakukan perjalanan ke luar negeri.
Sebagian kecil berakhir di penjara, tetapi biasanya mereka tidak dikenai jenis
penindasan kejam yang sama dengan orang-orang dari strata sosial rendah
Para pembangkang elite yang paling aktif dan terpandang adalah mereka yang
dikaitkan dengan Petisi 50. Sejak 1980 kelompok ini telah menulis lebih dari 170
surat kepada parlemen, pemerintah, dan lain-lain, guna menyerukan reformasi politik.
4 Anders Uhlin, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the “Third wave of
Democratization”: the Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998, h. 91
42
Petisi 50 merupakan bagian dari oposisi moderat di Indonesia. Slamet Bratanata
pernah menegaskan bahwa dia dan anggota-anggota lain Petisi 50 “tidak hanya
moderat tetapi juga merupakan juru bicara bagi nilai-nilai tengah-kanan” (Borsuk
1992). Argumen dasar mereka adalah bahwa Soeharto sendiri, dan bukan mereka,
yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Anggota-anggota Petisi 50 adalah
antikomunis yang teguh, tetapi mereka sering menekankan kebutuhan akan
kesetaraan ekonomi dan sebagian dari tuntutan reformasi politik dan ekonomi mereka
memiliki karakteristik demokratis sosial.
Pada April 1991, unsur-unsur elite intelektual membentuk kelompok
prodemokrasi demokrat lain, Forum Demokrasi. Empat puluh lima intelektual
terkemuka mendirikan forum ini, sebagian sebagai reaksi atas dibredelnya tabloid
Monitor yang didakwa mencemarkan Islam ketika menerbitkan sebuah jajak pendapat
umum yang di dalamnya Nabi Muhammad ada di urutan sebelas. Serangan massa
yang tidak pernah dihukum terhadap majalah itu dan penangkapan atas editornya
mengguncang minoritas non-muslim, dan memperlihatkan pada mereka bahwa
kecenderungan Islam fundamentalis masih ada di Indonesia. Para pendiri forum juga
diilhami oleh tulisan dan aktifitas Valvac Havel di Cekoslovakia.5
5 Anders Uhlin, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the “Third wave of
Democratization”: the Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998, h. 96
43
B. Sejarah Gerakan Oposisi di Pemerintahan Islam
Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi
dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai
respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok
berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan
(aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik
yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada
kelompok Status-Quo.
Ketika berbagai keberatan terhadap Usman secara bertahap semakin intensif,
beberapa lelaki berdiri dihadapan Usman di mesjid dan mengajukan keberatan
kepadanya. Usman terpaksa menggunakan kekerasan untuk menentang mereka, dan
perbuatannya ini pada gilirannya menyebabkan terpicunya bentrokan yang lebih
parah di pihak mereka. Pada saat yang sama, kondisi berubah sedemikian rupa
sehingga Usman tidak bisa melanjutkan pembicaraannya. Maka ia pun turun dari
mimbar dan Sahl bin Hunaif yang memimpin shalat jum’at pada waktu itu.6
Ketika itu pula orang-orang Mesir mengadukan persoalan-persoalan yang
mereka hadapi dan mereka merasa dizhalimi oleh Abdullah bin Abi Sarah (Gubernur
Mesir). Usman kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abi Sarah dan dia
memperingatkannya dengan peringatan yang sangat keras. Namun Abu Sarah tidak
6 Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al-Huda, 2006, h. 257
44
mau menerima apa yang diperingatkan oleh Usman. Dia bahkan memukul orang-
orang Mesir yang diutus oleh Usman dan membunuhnya.7
Ketika keberatan terhadap Usman semakin tajam, beberapa penduduk Kufah
dan Mesir berangkat menuju Madinah atas permintaan para sahabat, seiring dengan
munculnya protes terhadap para penguasa Bani Umayyah di kota-kota tersebut.
Rombongan ini dipimpin oleh Abdurahman bin Udais Balawi yang merupakan salah
satu dari mereka yang bersumpah setia kepada keluarganya, dengan Muhammad bin
Abi Hudzaifah. Ibnu Syubbah juga menyampaikan surat yang ditulis oleh bangsa
Mesir kepada Usman sebelum menuju ke Madinah. Mereka memberitahukan tentang
wajibnya mewujudkan perintah-perintah ketuhanan, yang berhubungan dengan ayat-
ayat al-Qur’an, “kalian ini mengaku berhak ditaati oleh kami, sedangkan menurut al-
Qur’an, ketaatan kepada orang yang tidak taat kepada Allah tidak diperbolehkan. Jika
kau taat kepada Allah, konsekuensinya, kami akan segera mengetahui bahwa kau
telah berencana melenyapkan diri.”
Usman mengutus Ammar ke sana untuk menenangkan orang-orang Mesir itu.
Namun ia tidak sadar bahwa Ammar sendiri setelah dikirim ke Mesir justru
mendorong penduduk untuk menentang Usman. Setelah pengusiran Ammar,
beberapa orang ingat ada sekita 400 hingga 700 orang datang ke Madinah.
Rombongan ini mendatangi Usman dan wakilnya dan mengajukan permintaan-
7 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa diterjemahkan oleh Samson Rahman, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2001, h.181
45
permintaannya sebagai berikut: pertama, mengembalikan orang-orang yang
diasingkan; kedua, membayar hak-hak orang miskin; ketiga, bertindak berdasarkan
al-Qur’an dan hak-hak orang miskin. Usman bertaubat secara formal kepada mereka
dan memperingatkan mereka untuk menghindari perpecahan. Berkaitan dengan
kesepakatan Usman, sebuah perjanjian bersama dituliskan antara Usman dan Imam
Ali yang ditunjuk sebagai duta antara penduduk dan Khalifah. Lima kalimat
disebutkan dalam perjanjian ini. Tiga di antaranya telah disebutkan di atas. Yang
keempat adalah menerapkan keadilan dalam mendistribusikan dan mempekerjakan
orang yang cukup layak dan kuat untuk menangani masalah-masalah ini.8
Selanjutnya pada masa pemerintahan Ali penuh dengan tantangan dan gejolak
kekerasan. Kejadian-kejadian itu tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya, yaitu
terbunuhnya Khalifah Utsman. Umat Islam terpecah belah penuh dengan permusuhan
dan saling menjatuhkan. Ali berhadapan dengan kelompok Muawiyah yang didukung
penduduk Syam, para pengikut Thalhah dan Zubair, orang-orang Khawarij dan
kelompok lain yang merasa dikecewakan. Semua itu membuat pemerintahan Ali
makin tidak stabil. Belum lagi dengan sejumlah gerakan lokal yang tidak hanya
bertujuan untuk merongrong kepemimpinan Ali tetapi juga bisa menghancurkan
sendi-sendi Islam.
Penentangan terhadap Ali dimulai sejak terbunuhnya Utsman. Pada saat itu,
kaum oposan mengambil kesempatan dengan dalih dituntaskannya kasus
8 Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al-Huda, 2006, h.259
46
pembunuhan terhadap Utsman. Tuntutan itu hanya sekedar tameng. Karena terbukti
mereka sendiri tidak mencintai Utsman. Bahkan sebagian di antaranya pernah
melakukan penentangan terhadap kepemimpinan Utsman. Perbedaan pendapat
semakin meruncing ketika kaum oposan didukung oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Puncak dari segala perbedaan pendapat itu adalah terjadinya perang Jamal. Sebuah
tragedi yang menelan 13.000 korban dari kedua belah pihak.
Tantangan selanjutnya, Ali berhadapan dengan kelompok ekstrim khawarij
yang berpusat di Hutara. Sebagian mereka bisa disadarkan oleh Abdullah bin Abbas
yang diutus Ali untuk melakukan pendekatan. Namun tidak sedikit di antaranya yang
makin membangkang. Mereka melakukan tindakan makar di Naharwan, dan
membunuh Abdullah bin Khobab Al-Arof. Ali berusaha melakukan perlawanan
sehingga Naharwan berubah menjadi medan pertempuran.
Terdapat perbedaan pokok antara gerakan oposisi pada masa Utsman dengan
gerakan oposisi kaum Khawarij. Unsur oposan yang melawan Utsman berasal dari
berbagai wilayah kekuasaan, bukan hanya dari satu golongan tertentu. Sedangkan
oposisi Khawarij adalah oposisi partai, oposisi madzhab dengan segala atributnya,
yang kemudian berkembang menjadi “ideologi” tersendiri.
Kaum Khawarij memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya secara lahiriah,
tanpa melihat maksud dan tujuan yang lebih mendalam. Sehingga sering lepas dari
47
kaidah beroposisi yang benar, yang mengutamakan musyawarah menuju Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.9
Selanjutnya pada masa Bani Umayyah yang bersistem pemerintahan yang
monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik
ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah,
pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua
gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh
Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul
Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup
lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi
kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan
Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada
kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali
dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian
Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz
membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.
Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi
politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di
9 Jabir Qumihah, beroposisi menurut Islam, jakarta, gema insani press, 1991, h.107
48
Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh
kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan
Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons
atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh
Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan
bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.
Abdul Malik bin Marwan seorang khalifah Umawiyah mengirim utusan
kepada gubernur Madinah untuk mengambil sumpah orang-orang agar membaiat dua
orang anaknya, yaitu Walid dan Sulaiman, sepeniggalnya sebagai khalifah. Tetapi
Sa’id bin Musayyab menolak baiat tersebut. Sa’id berkali-kali diperintahkan agar
mencabut penolakannya. Ia pun tetap bersikeras memegang pendapatnya itu sampai
ia dicambuk enam puluh kali cambukan, namun ia tetap menolak baiat tersebut.
Kemudian Sa’id bin Musayyab dipanggil untuk diberi uang tiga puluh ribu
dirham, sebagai hadiah dari gubernur, tetapi ia menolaknya seraya berucap, “saya
tidak membutuhkan hadiah itu dan juga apa yang ada pada Bani Marwan sampai aku
bertemu Allah SWT., lalu Allah mengadili antara saya dan mereka.”10
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah
terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat
10 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 137
49
dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin
Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang
yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Umar bin Hubairah salah seorang pembantu (Gubernur) Yazid bin Abdul
Malik, khalifah Umawi. Pada suatu hari, Umar bin Hhubairah memanggil Hasan Al-
Bashri, Ibnu Sirin, dan Sya’bi, ia mengatakan kepada mereka, “Amirul mukminin
telah memberikan tugas kepadaku, apabila aku melaksanakannya, aku takut akan
agamaku. Tetapi, apabila aku tidak melaksanakannya, aku atakut akan diriku
(nyawaku).” Kemudian Asy-Sya’bi ban Ibnu Sirin memberikan pengarahan secara
lembut. Sedangkan Hasan Al-Bashri mengatakan kepadanya, “Wahai Ibnu Hubairah,
takutlah kepada Allah dalam mengabdi kepada Yazid. Janganlah takut kepada Yazid
dalam mengabdi kepada Allah. Wahai Ibnu Hubairah, sesungguhnya Allah akan
mencegahmu dari yazid, sedangkan Yazid tidak bisa mencegahmu dari Allah. Wahai
Ibnu Hubairah, sesungguhnya tidak ada ketaatan bagi seorang makhluk untuk berbuat
maksiat kepada Allah. Apabila surat Yazid sesuai dengan Kitab Allah, maka
laksanakanlah, dan bila bertentangan, janganlah kamu melaksanakannya. Allah Swt
lebih layak untuk kamu taati dari pada Yazid, dan Kitab-Nya lebih layak untuk
engkau laksanakan dari pada kitab Yazid.” Kemuadian Ibnu Hubairah berkata,
“Syaikh ini telah membuatku percaya.”
50
Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh
Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang
dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada
kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah
juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-
aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh
gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai
gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter
keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah
menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan,
hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan
posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi
gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.
Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena. Pertama,
struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan
oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin
Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu
kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan
dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat
51
memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan
berpengaruh besar.
Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas
dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi
politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi
dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat
legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi
menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga
memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian.
Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih detil dan
mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu dijadikan
hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan menjadikan sejarah
tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.
Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu politik, yaitu
pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior (Budiardjo, 1993: 17)1.
Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis, sejarah telah banyak memberi
kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola
kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang
politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang melatarbelakanginya.
52
Dalam diskursus politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi karena
pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku orang-orang
terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyyah, misalnya,
kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran politik Islam yang
ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi
pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai
‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan sosial-
politik pada era tersebut (Ralliby, 1960).
Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana publik
juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara khilafah yang
dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil sampel pada konsep
khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah.
Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari
sejarah umat Islam di era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu
saja dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi
kesinambungan antara sejarah dan masa depan.
Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel
penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah. Peristiwa-peristiwa yang
tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori kita ketika ada aktor
intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak dalam peristiwa tersebut.
53
Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat
sebuah peristiwa penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa
tersebut, yaitu peristiwa tahkim
Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif yang
berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah. Peran Amr bin
Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan Muawiyah
atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa “history is story of
great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang besar)4.
Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami
menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan
pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang berkuasa
pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi ketatanegaraan pada
era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu sentralistik serta istana-
sentris.11
Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas
persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan Islam
di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas sejarah
Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.
11 http://kammikomsatugm.wordpress.com diakses pada tanggal 23 Agusttus 2010
54
BAB IV
KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
(STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)
A. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Islam
Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok)
dan masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah ditentukan
dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan partai politik.
Partai politik pertama kali berkembang di negara-negara Eropa Barat pada
akhir abad ke 18 dan abad ke 19. Munculnya partai politik merupakan upaya dari
kelompok tertentu yang berada di luar lingkungan politik untuk bersaing
memperebutkan kekuasaan atau jabatan pemerintahan dalam rangka untuk dapat ikut
mengendalikan kebijakan pemerintah.1
Keberadaan partai politik di kalangan intelektual Muslim merupakan suatu hal
yang masih terbilang kontroversial. Di antara intelektual Muslim yang tidak setuju
dengan keberadaan partai politik adalah Hasan al-Banna, menurutnya, partai politik
lebih mendapatkan legitimasinya ketika partai politik yangg ada di Mesir tidak lebih
1 Aay Muhammad Furkon, PKS Ideologi Dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta, Teraju, 2004, h. 62
54
55
dan tidak bukan dari sekedar sebuah partai politik ‘karbitan’ dari pada sungguhan.
Kemunculan berbagai partai politik di Mesir lebih didorong oleh inisiatif pribadi, dari
pada kepentingan nasional. Karena itu, Al-Banna menilai jika memang pada
kenyataannya sistem multi partai malah membuat umat jadi terpecah belah, terjadi
perselisihan, dan permusuhan, maka jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun menurut Yusuf Qardlawy pandangan Al-Banna tentang partai politik tersebut
di atas merupakan sebuah pandangan kenyataan politik yang terjadi di Mesir pada
waktu itu saja.
Karakteristik partai politik Islam: pertama, partai politik Islam biasanya
concern terhadap perjuangan dan kepentingan politik masyarakat muslim serta
berusaha untuk mempertahankan dan memelihara segala hak dan kewajiban
masyarakat muslim. Kedua, partai itu secara resmi mengadopsi Islam (ideologi
keislaman), yakni harus mengakui Islam – baik dari segi akidah maupun syariat – dan
tidak memusuhi atau mengingkarinya, meskipun dalam partai diperbolehkan
melakukan ijtihad dalam memahami Islam dengan menggunakan paradigma
ilmiahyang telah ditetapkan. Dan tidak bekerja untuk kepentingan pihak yang
memusuhi Islam dan umatnya.2 Ketiga, partai Islam menggunakan simbol-simbol
yang identik atau secara dekat diasosiasikan dengan Islam.3
2 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 236 3 AM Fatwa, Satu Islam Multi Partai, Bandung, Mizan, 2000, h. 13
56
Satu ciri yang mengemuka dari partai Islam lainnya berupa penggunaan istilah
Dewan Syura yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip Syura sebagai warisan
sistem pemerintahan Islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh
Khulafaur Rasyidin sebagai acuan politik Islam.
Dalam anggaran dasar partai Islam menyebutkan bahwa partai dibentuk
dengan dua tujuan: pertama, menegakan kedaulatan negara dan agama Islam. Kedua,
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan4
Dalam menjalankan aksi perjuangannya partai sebuah partai oposisi Islam
harus memiliki prinsip-prinsip di antaranya: pertama, prinsip persamaan, yakni:
persamaan dalam kehidupan sosial, persamaan hak membela diri, persamaan
tanggung jawab dalam menjalankan kehidupan bernegara, persamaan hak dalam
memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan, persamaan hak mengatur kehidupan
ekonomi. Implementasi prinsip persamaan dalam hukum Islam pada hakikatnya
bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan martabat serta
dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Prinsip persamaan juga
akan menimbulkan sikap kepedulian dan tolong-menolong, yaitu ikut serta
mewujudkan kehidupan bernegara yang baik. Oleh karena itu partai oposisi sebagai
kekuatan penyeimbang harus menanamkan prinsip ini, agar bersikap peduli dan mau
berperan serta (memberi kritik dan saran) kepada pemerintah.
4 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta,
Paramadina, 1997, h. 71
57
Kedua, prinsip keadilan, menuntut agar partai oposisi bersikap adil dalam
menentang para pelaku kejahatan khususnya para penguasa. Sebab sebuah partai
oposisi Islam yang membiarkan atau menutup-nutupi para penguasa yang melakukan
kejahatan dan dosa, merupakan cerminan sikap yang tidak adil. Partai oposisi yang
adil menentang siapa saja yang melakukan kejahatan agar ketidakadilan tidak
merajalela.
Ketiga, prinsip musyawarah, tanpa musyawarah persamaan dan adil itu
mustahil dapat dipenuhi, karena di dalam musyawarah semua peserta memiliki
persamaan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan
masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan. Nabi Muhammad sebagai
contoh teladan sebagai kepala negara telah membudayakan praktek musyawarah di
kalangan para sahabatnya. Sejarah membuktikan bahwa beliau seringkali
bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta saran dan pendapat mereka
dalam soal kemasyarakatan dan kenegaraan. Keempat, prinsip terakhir yaitu prinsip
amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini merupakan prinsip utama partai oposisi, karena
dengan prinsip ini sebuah partai oposisi Islam diwajibkan mempunyai kepedulian
sosial, baik untuk tugas amar ma’ruf maupun tugas nahi munkar.5
Di samping harus memiliki prinsip-prinsip tersebut di atas sebuah partai
oposisi Islam juga harus diisi oleh para ulama, cendekiawan (kaum reformis). Karena
5 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1994, h. 262
58
para ulama dan para cendekia adalah orang-orang yang mampu menggerakan partai
oposisi Islam sesuai dengan arah dan tujuannya. Mereka mampu menyampaikan
dengan baik aspirasi serta keluhan yang dirasakan masyarakat pada umumnya.
Seperti contoh tindakan para ulama terdahulu terhadap para penguasa. Diriwayatkan
bahwa Hisyam bin Abdul Malik sedang mengerjakan haji, lalu ia berkata, “Hadapkan
kepadaku seorang sahabat Nabi Saw.!” Lalu dikatakan kepadanya, “Mereka semua
telah wafat!” ia berkata lagi “Dari para tabi’in”. Kemudian dihadapkan kepadanya
Thawus Al-Yamani. Lalu Thawus mengahadap kepadanya, dia melepas dan
meletakan sandalnya di tepi karpet seraya mengucapkan, “Assalamu’alaika ya
Hisyam”. Setelah itu ia duduk di hadapanya, dan mengatakan, “Bagaimana kabar
Anda, wahai Hisyam?” maka Hisyam pun sangat marah sampai ia bermaksud untuk
membunuhnya. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Anda berada di tanah
Allah dan Rasul-Nya dan Anda tidak boleh berbuat seperti itu.” Maka Hisyam
berkata kepada Thawus, “apa yang menyebabkan kamu berbuat seperti itu?” lalu
Thawus balik bertanya, “Apa yang telah aku perbuat?” kemudian Hisyam
mengutarakan apa yang telah menyebabkannya marah sehingga mengatakan, “Kamu
tidak menyebut kepadaku dengan sebutan Amirul Mukminin ketika mengucapkan
salam kepadaku” Thawus pun segera menjawab, “tidak semua orang rela dengan
kepemimpinanmu, sedang aku tidak suka berdusta.”
Dalam kisah lain diceritakan bahwa Abu Ja’far Al-Manshur, Khalifah kedua
Bani Abbas memanggil Sufyan Tsauri, katanya, “Wahai Abu Abdillah, berikanlah
59
nasihat kepadaku!” lalu Sufyan menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak
mengerjakan apa-apa yang telah engkau ketahui, lalu apakah aku akan menasihatimu
atas apa-apa yang tidak engkau ketahui?” Kemudian Al-Manshur bertanya, “apa yang
mencegahmu untuk datang kepadaku?” Sufyan pun menjawab, “Allah Swt telah
berfirman, ‘Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka” (QS Hud : 113)
Penduduk Bashrah juga berjanji kepada Al-Manshur bahwa mereka tidak akan
berontak terhadapnya. Apabila mereka melanggarnya, maka boleh dibunuh.
Kemudian mereka melanggar janji mereka dan melakukan pemberontakan
terhadapnya. Al-Manshur bermaksud menerapkan apa yang telah mereka janjikan
kepadanya. Lalu ia bertanya kepada Abu Hanifah An-Nu’man tentang masalah itu.
Maka Abu Hanifah menjawab, “Mereka telah memberikan syarat atas apa yang tidak
mereka miliki, dan kamu telah memberikan syarat kepada mereka atas apa yang tidak
kamu miliki. Apabila kamu membunuh mereka, maka kamu telah melakukan apa
yang tidak dihalalkan.”6
6Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h.139
60
Jelaslah bagi kita tentang keberadaan partai oposisi yang bekerja untuk Islam,
yaitu dengan syarat:
1. Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin,
khususnya para ulama dan cendikiawan Muslim
2. Partai oposisi haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar
keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal tolak
dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. partai oposisi harus menggunakan prinsip persamaan, keadilan,
musyawarah, dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perjuangannya.
4. Partai oposisi harus beraktivitas menyeru kepada yang ma’ruf
(melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah
pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi
munkar inilah bagian terpenting dari keberadaan partai oposisi
tersebut dalam masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa
(‘muhasabah lil Hukam’) serta menyampaikan nasehat kepadanya
apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan
dan penyelewengan terhadap syariat Islam (misalnya bersikap
zhalim, fasik dan lain-lain).
61
B. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Positif
Partai adalah simbol kesadaran kolektif kelompok-kelompok masyarakat akan
hak-hak mereka di dalam kehidupan negara modern. Barangkali tidak seorang pun
tokoh pergerakan yang tidak dibesarkan melalui partai, dan sebaliknya hampir tidak
ada tokoh kebangsaan kita yang tidak membesarkan partai sebagai alat perjuangan
menentang represi politik-ekonomi kolonial di satu pihak dan meraih kemerdekaan
nasional di pihak lain.7
Partai-partai politik di dalam format politik Orde Baru tentulah tidak bisa
dianggap sama dengan partai-partai yang dikenal di dalam sistem demokarasi pada
umumnya, lebih khusus lagi demokrasi Barat. Perbedaannya terletak pada kuatnya
faktor pemerintah dalam membentuk performance dan citra diri partai dalam
kehidupan politik nasional. Seperti diketahui, faktor pemerintah itu tidak hanya hadir
ketika partai-partai harus dilahirkan dalam bentuk ‘baru’ (melalui fusi), atau ketika
partai-partai membutuhkan pengakuan dan legalitas, atau tatkala ideologi nasional
Pancasila harus diterima sebagai satu-satunya asas, tetapi juga dalam persoalan-
persoalan yang niscaya merupakan masalah intern mereka sendiri. Adanya kebijakan
pembinaan politik atas partai adalah jelas dari kuatnya faktor pemerintah itu. (demito
h. 73)
7 Adi Sasono dkk. Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam OrBa,
Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1998, h.89
62
Dengan demikian, maka mungkinkah partai-partai politik kita di dalam format
politik yang berlaku dewasa ini bisa mandiri? Kalau mandiri didefinisikan sebagai
kondisi di mana OPP bisa menentukan identitas maupun kebaradaannya secara bebas
tanpa campur tangan pihak luar, khususnya birokrasi, maka hampir dipastikan tidak
mungkin. Ini berarti bahwa kemandirian dalam pengertian tulisan ini adalah
“kemandirian terbatas” di mana faktor pemerintah tetap hadir karena memang tidak
bisa dipisahkan sepenuhnya dalam pertumbuhan dan keberadaan partai politik di
dalam format politik yang berlaku.
Pelembagaan oposisi adalah proyek demokrasi yang seharusnya dibangun,
menyusul ambruknya sebuah rezim otoriter. Gunanya aadalah agar masa transisi
menuju demokrasi dapat dipakai secara efektif untuk mencegah rekonsolidasi sisa-
sisa rezim lama, dan sebaliknya mempercepat pelembagaan demokrasi yang baru
diperoleh itu. Pengalaman dari negara-negara yang pernah dan sedang mengalami
masa transisi menunjukan, ambruknya sebuah rezim otoriter tidak dengan sendirinya
mengakhiri jaringan kekuasaan dari rezim itu. Kekacauan politik karena terbukanya
pintu kebebasan, sering menjadi alasan kembalinya kekuatan inti rezim lama untuk
memanipulasi kecemasan publik, dengan menawarkan ulang ideologi stabilitas dan
keamanan sebagai kunci pengendalian situasi. Apalagi bila pemerintahan yang baru
merupakan hasil kompromi pragmatis yang ikut didukung oleh sisa-sisa kekuatan
rezim lama.8
8 Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001, h. 15
63
Seburuk apapun wajah partai keberadaannya sangat penting, ia harus tetap ada
dan harus terus memperbaiki diri. Pengalaman di berbagai negara membuktikan hal
tersebut. Di Pkaistan misalnya, pada era pemerintahan Ayub Khan, 1958, di mana ia
membubarkan parlemen demi menjaga stabilitas. Akan tetapi setelah sistem
kepartaian dihilangkan yang terjadi justru otoriterianisme, sehingga membuat
presiden Khan mencabut keputusannya. Indonesia juga mengalami hal yang sama,
saat Presiden Soekarno membubarkan parlemen melalui dekrit Presiden 1959. Tetapi
yang terjadi setelah itu justru kondisi politik yang tidak sehat. Ini membuktikan,
partai tetaplah diperlukan. Hanya saja, kita mengharapkan setelah sepuluh tahun
reformasi, partai juga melakukan transformasi menuju partai modern yang dapat
mewakili rakyat secara nyata. Dan itu hanya dapat diraih salah satunya melalui
rekrutmen politik yang sehat.9
Partai oposisi harus mempunyai ideologi, karena ideologi dapat digunakan
sebagai identitas atau karakteristik suatu partai politik, sehingga semua orang –
terutama para pemilih yang berhak memberikan suara – dapat dengan mudah
membedakannya dengan partai politik lain. Dalam kaitan ini, ideologi adalah basis
sistem nilai dan faham yang menjelaskan mengapa suatu partai politik harus ada.
Selain itu, ideologi merupakan basis perjuangan atau cita-cita yang ingin dicapai
suatu partai politik. Dengan demikian, ideologi seharusnya melekat pada kehadiran
suatu partai politik. Agar dapat dikatakan sebagai penganut ideologi tertentu, suatu
9 Zaenal A. Budiono, Demokrasi Bukan Basa-Basi, Jakarta, DCSC Publishing, 2008, h. 100
64
sistem nilai, kepercayaan, dan norma harus tercermin dalam semua aspek organisasi
partai politik bersangkutan.10
Ideologi partai politik adalah dimensi yang kompleks. Untuk menganalis
ideologi partai politik dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, dari isi orasi, figur
yang ditonjolkan, visi dan misi partai, strategi partai, struktur organisasi, media
komunikasi, dan isu-isu politik yang ditawarkan kepada publik. Bahkan bukan hanya
itu, ideologi partai politik pun dapat dicermati melalui hal-hal yang bersifat non-
organisasional alias individual seperti cara berpakaian, bahasa tubuh dan karakter
fungsionaris partai serta kandidat yang akan diusung. Sedangkan ideologi politik
memayungi organisasi partai politik secara keseluruhan termasuk perilaku-perilaku
yang muncul di dalamnya. (firmanzah 107)
Menurut pasal 9 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan
bahwa “Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pancasila sebagai dasar
ideologi kebangsaan partai, khususnya partai oposisi. Karena Pancasila adalah
identitas kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultur “masyarakat Indonesia”, atas
mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila
dianggap sebagai perangkat nilai yang mampu menjadi perekat sosial sekaligus
10 Firmanzah Ph.D, Mengelola Partai Politik Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik Di
Era Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008, h. 105
65
referensi ideal yang seharusnya dipelihara dan diperjuangkan dalam bidang sosial,
politik, dan budaya.11
Selain harus mempunyai ideologi sebagai ciri dan identitas suatu partai. Partai
oposisi juga harus mempunyai konstituen, pendukung atau orang-orang yang
diwakilinya. Keberadaan sebuah partai politik tidak luput dari pendukung, khususnya
partai oposisi yang siap bekerja untuk memperjuangkan aspirasi dan tuntutan
masyarakat yang diwakilinya. Menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Pasal 8
ayat (1) huruf b – e menyebutkan bahwa:
“Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan;
d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota;”
Bagaimana pun persyaratan ini menjadi penting untuk dipenuhi, karena
bagaimana mungkin sebuah partai yang menyatakan oposisi terhadap pemerintah
dapat menyalurkan tuntutan kalau tidak mempunyai konstituen yang jelas. Suatu hal
yang sangat tidak diinginkan seperti pelanggaran persyaratan ini. Seperti contoh
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) .Lembaga tertinggi pemutus sengketa
11 As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta, LP3ES, 2009, h. 53
66
konstitusi itu mengabulkan gugatan Koalisi Partai Masa depan partai-partai yang tak
lolos pemilu 2009-dengan membatalkan pasal 316 d UU 10 Tahun 2008 tentang
pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Konsekuensi dari putusan MK ini adalah 9
parpol kontestan pemilu 2009 dianggap menyalahi konstitusi. Sehingga apa pun kelak
hasil pemilu 2009 dengan sendirinya dapat dianggap melanggar UUD 1945. Karena
kesembilan partai tersebut tidak memenuhi electoral threshold (ET) pemilu 2004
tetapi memiliki kursi di parlemen.12
Yang tak kalah pentingnya partai oposisi juga harus mempunyai fungsi dan tujuan
yang jelas. Dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
dinyatakan bahwa: “Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; dan
c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
12 Zaenal A. Budiono, Demokrasi Bukan Basa-Basi, Jakarta, DCSC Publishing, 2008, h. 87
67
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan secara konstitusional.
Pasal 11
(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara
Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan
negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme
demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.”
Fungsinya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan. Diharapkan benar-benar
mampu menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan serta aturan-aturan yang
sesuai dengan keinginan masyarakat, juga mampu mendesak pemerintah untuk
merubah segala kebijakan serta aturan yang tidak mereka inginkan.
Selain itu, dalam memperjuangkan fungsi dan tujuannya partai oposisi juga
harus memiliki keanggotaan dan kepemimpinan yang mampu menggerakannya
dengan baik. Tentang keanggotan partai UU Parpol No. 2 Tahun 2008 pasal 14 ayat
(1) menyebutkan bahwa : “Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai
Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.”
68
Yang terakhir sebagai hal utama dalam perjuangan oposisinya partai oposisi
harus memakai dua prinsip sebagai berikut: pertama, prinsip musyawarah yang
tertera dalam pembukaan UUD 1945 Alinea Ke-4 yang menjadi salah sila juga dalam
Pancasila yaitu sila ke 4 yang berbunyi:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan”
Prinsip musyawarah menjadi acuan utama bagi pergerakan partai oposisi.
Dengan musyawarah partai oposisi dapat merundingkan serta membahas segala
permasalahan politik dengan pemerintah. Persolaan yang dihadapi jangan sekali
diselesaikan dengan jalan kekerasan, karena sekali-kali ia hanya merugikan semua
pihak
Kedua, prinsip keadilan, keadilan adalah menempatkan segala sesuatu sesuai
porsinya (proporsional). Segala bentuk kritikan, tuntutan itu harus disampaikan
secara berkeadilan, jangan sampai dilebih-lebihkan dan jangan juga dikurangi. Jika
hal demikian dilakukan oleh partai oposisi, maka akan menjadi bumerang sendiri bagi
partai oposisi. Karena dianggap tidak adil dalam menuntut setiap kesalahan yang
dilakukan pemerintah.
69
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Kedua Konsep
Terdapat beberapa persamaan yang dapat kita lihat dari paparan di atas antara
kedua konsep ini. Di antaranya:
1. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam bahwa sebuah partai
oposisi harus memiliki prinsip musyawarah dan keadilan dalam
perjuangannya. Sama halnya dengan hukum positif kita yang menerapkan
kedua prinsip ini dalam perjuangannya.
2. dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam bahwa sebuah partai
oposisi mempunyai prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sama halnya
dengan konsep partai oposisi menurut hukum positif kita yang berfungsi
sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan membentuk kebijakan.
Sedangkan terdapat beberapa perbedaan yang kita lihat dari paparan di atas
antara kedua konsep ini. Di antaranya:
1. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam ideologi partai adalah
Islam yang mempunyai nilai-nilai universal yang sangat luhur, dan
kompleks bagi segala bidang kehidupan. Sedangkan konsep partai oposisi
menurut hukum positif melandaskan ideologinya pada Pancasila yang
hanya mengandung sebahagian nilai Islam yang diadopsinya, dan masih
banyak kekurangan di dalamnya.
2. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam kenggotaan partai
oposisi harus diutamakan para ulama dan para cendikia muslim yang
70
dapat merumuskan serta menyampaikan segala aspirasi dan tuntutan lebih
baik dan lebih terarah. Sedangkan konsep partai oposisi menurut hukum
positif kita keanggotaan partai sudah dapat diisi dengan warga negara
yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah. Tanpa
mengutamakan para cendikia dan ilmuwan. Sehingga dikhawatirkan akan
terjadi kesalaharahan dalam menyampaikan segala aspirasi serta tuntutan
masyarakat, karena tidak memikirkan secara matang metode serta jalan
yang diambil dalam melaksanakannya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kekuasaan pemerintahan adalah amanah yang dipercayakan umat kepada
seorang atau beberapa orang yang mampu menjaga dan melaksanakannya dengan
baik. Namun sediakalanya amanah itu tak sepenuhnya diberikan tanpa ada prasyarat
yang harus dijalankan. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sebuah
penyelewengan amanah yang telah dipercayakan tersebut.
Dari adanya prasyarat tersebut di atas membuka peluang bagi adanya sebuah
kelompok atau golongan yang mampu mengawasi, serta mau memberikan solusi agar
prsyarat tersebut dapat silaksanakan dengan baik. Golongan tersebut biasa disebut
golongan oposisi atau partai oposisi. Istilah oposisi ini sekilas terluhat mempunyai
arti “negatif”, namun dalam arti sebenarnya oposisi mempunyai arti yang sangat
mulia. Oposisi mempunyai artri mengontrol, mengawasi, mengkritik, dan bahkan ia
mempunyai arti lain seperti apa yang dikemukakan oleh CakNur yaitu to support atau
mampu mendukung para penguasa untuk mampu menjalankan pemerintahan dengan
baik.
Dalam pandangan hukum Islam oposisi yang dilakukan partai politik
merupakan sebuah keharusan karena partai adalah sebuah golongan atau Ummah
yang mempunyai kapasitas serta basis kekuatan masa yang mendukungnya, sehingga
71
72
dengan itu partai yang beroposisi tidak mudah untuk dipatahkan oleh tipu daya serta
pemaksaan para penguasa. Demikian juga dalam hukum positif kita, nilai-nilai
oposisi yang terkandung di dalamnya pun dimanfaatkan oleh partai politik yang
merupakan sebuah elemen penting bangsa ini, baik dalam pemilihan seorang kepala
negara hingga produk kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan.
Namun demikian hukum Islam mempunyai nilai-nilai yang lebih kompleks
dibanding hukum positif kita, meskipun produk hukum positif kita pun sedikit-
banyak juga mengambil dari nilai-nilai hukum Islam seperti musyawarah, keadilan,
serta dasar ketuhanan dalam menjalankan pemerintahannya.
B. Saran
Menjadi golongan oposisi mungkin bukan hal yang mudah, langkah dan
perbuatan selalu dicurigai, menuai kontroversi serta tak sedikit hujatan yang
terdengar oleh mereka yang beroposisi. Namun demikian dibalik itu Allah
menjanjikan sebuah keberkahan dan karunia bagi yang menjalankannya.
Dengan adanya partai oposisi diharapkan agar mampu mengontrol
berjalannya pemerintahan, sehingga tidak terjerumus kepada penyelewengan
kekuasaan. Karena seperti kata adagium “kekuasaan condong pada penyelewengan
dan kekuasan yang absolut akan berakibat pada penyelewengan yang merajalela”.
Dan diharapkan juga agar partai oposisi mampu memberikan alternatif kebijakan
73
yang membangung sehingga dapat terwujud sebuah pemerintahan yang berkeadilan
dan mampu mensejahterakan warga negaranya. Wassalam
74
Daftar Pustaka
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996) h. 754
John McGill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, (Jakarta, Aribu Matra
Mandiri, 1996) h.154
Tim Penyusun Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai
Pustaka) h. 628
Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,
1999) h. XI
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.7
Tim Kanisius,Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), hal, 945
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , hal. 132
H. Zainal Abidin Ahmad, konsepi negara bermoral menurut Imam Al-
Ghazali, Jakarta, bulan bintang, 1975, hal. 230-232
J. Suyuti Pulungan, prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam madinah
ditinjau dari pandangan al-qur’an, jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994, hal. 208, 250-
253 1 Jabir Qumihah, beroposisi menurut Islam, jakarta, gema insani press, 1991,
hal. 38-39
Dr. Nurcholis Madjid, Cita-cita politik Islam Pra Reformasi, Jakarta,
Paramadina, 1999, hal. 190-191
Abul A’la al-Maududi, khilafah dan kerajaan diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir dari al-khilafah wal-mulk, Bandung, Mizan, 1996, hal. 115-116
Dr. Yusuf Qardhawi, meluruskan dikotomi agama&politik bantahan tuntas
terhadap sekularisme dan liberalisme diterjemahkan oleh khoirul amru Harahap dari
Ad-Din wa As-Siyasah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008, hal. 194-200
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta, 1988) h. 75-76
75
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989)
hal. 135
Drs. H. Inu Kencana Syafi’i, Al-qur’an dan Ilmu Politik, Rineke Cipta,
Jakarta, 1996, hal. 163
Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, hal. 161
John L.Esposito&John O. Voll Demokrasi di negara-negara muslim: problem
dan prospekDiterjemahkan oleh Rahmani Astuti dari Islam and Democracy, hal. 50-
51
Yusuf Qordlowy, fiqh daulah fil Islam, hal. 136
David E. Apter, politik modernisasi. Terj, (jakarta, Gra,edia Press, 1967),
hal. 204
Miriam Budiarjo, partisipasi dan partai politik (jakarta, obor 1998), hal. 138
Arbi Sanit, Reformasi politik,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), h. 174-75
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto,(Jakarta, LP3ES,
2003), hal. 222
Dr. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah konsepsi kekuasaan politik dalam al-
qur’an, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 74-75
Muhammad Furkon, Aay, PKS Ideologi Dan Praksis Politik Kaum Muda
Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta, Teraju, 2004,
Fatwa, AM, Satu Islam Multi Partai, Bandung, Mizan, 2000
Ihza Mahendra, Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik
Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
Sasono, Adi dkk., Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam
OrBa, Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1998
Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001
76
A. Budiono, Zaenal, Demokrasi Bukan Basa‐Basi, Jakarta, DCSC Publishing,
2008
Said Ali, As’ad, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta,
LP3ES, 2009
Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan
dan konsolidasi OrBa 1966‐1974
Djarot, Eros, Siapa Sebenarnya Soeharto, fakta dan Kesaksian Para Pelaku
Sejarah G‐30‐S/PKI, Jakarta, Mediakita, 2006
Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the
“Third wave of Democratization”: the Indonesian Pro‐Democracy Movement in a
Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998
Ja’fariyan, Rasul, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al‐Huda, 2006
As‐Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa diterjemahkan oleh Samson Rahman,
Jakarta, Pustaka Al‐Kautsar, 2001
http://kammikomsatugm.wordpress.com diakses pada tanggal 23 Agusttus
2010
http.// www.michelleader.com diakses pada tanggal 7 Agustus 2010
http://www.bundestag.de/ Konsensus dan disensus dalam parlemen
Jerman, diakses pada tanggal 15 april 2010
http://ashlf.comH. Aries Sugi Hartono, S.H. H. Aries Sugi Hartono, S.H.,
oposisi semu di Indonesia, diakses pada tgl 9 maret 2010
top related