kualitatif (ringkasan buku)
Post on 13-Dec-2014
67 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PARADIGMA-PARADIGMA SOSIOLOGI
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan
untuk memahami teori- teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita
memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini
dikemukakan dan disaji kan peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan
Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat
membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial.
Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan
mengajukan peta filsafat dan teori sosial.1 Secara sederhana mereka mengelompokkan teori
sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang
berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan
analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai
aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk
memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam
perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada
tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali
unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma
sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: (1) Humanis Radikal, (2) srukturalis radikal,
(3) interpretatif dan (4) Fungsionalis. Ke empat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki
pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar
berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis
suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai
anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi
dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalam nya tersirat kesamaan
pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan
batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu,
berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah
menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat
yang didasar kan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara
mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk
memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan
sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan
pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat
dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang
pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari
humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut
di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan.
Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran
fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial,
kesepakatan, keterpaduan sosial, ke setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata
(empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis,
deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau
realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan
pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-
langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat
rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta
menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan,
harmoni, serta stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha me nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah
sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya.
Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya
Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial
terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat
dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam
ilmu alam. Menggunakan kias ilmu meka nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada
dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal
abad ke-20, mulai terjadi per geseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran
idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead.
Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum
objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias
mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per geseran
pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum
fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter jadi persentuhan
dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan
pemikiran objek tivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena
persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda
atau campuran dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya
fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya
sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin
memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari
kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat
dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul
karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka ber usaha
menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan
pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan- anggapan
dasar mereka masih tetap didasarkan pada pan dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu
dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama
sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekan kan sifat hakikat
rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat
fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan
radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen dekatan terhadap
ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan
ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilang kan atau
mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar
yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di kuasai atau
dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya
dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false
consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.
Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya
dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.
Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak
manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan
belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai
harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum
menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan
kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkit
kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam
paradigma humanis radikal.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan
perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang
mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan
akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-
bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen derung
realis, positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak
penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan -hubungan struktural
yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial
dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me nyeluruh. Penganut paradigma
strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa
kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih
tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan
epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang
menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas,
Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.
SUBYEKTIVIS
Keteraturan
Subyektivis
PARADIGMA
INTERPRETATIF (FENOMENOLOGI)
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
Keteraturan
Obyektivis
OBYEKTIVIS
Pertentangan
Subyektivis
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
Pertentangan
Obyektivis
Diagram 1
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
Epilog
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mem pengaruhi bagaimana seorang pemikir
sosial dalam mengem bangkan teori sosial. Misalnya saja, penganut paradigma inter pretatif atau
sosiologi fenomenologis akan mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda
dengan peng anut fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya
adalah mencoba memahami dan mendengar kan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial
lebih di utamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai metodologi
dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset observasi", untuk menangkap dan memahami
simbol-simbol kehendak masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandar kan pada paradigma positivisme,
mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa sosial" sehingga akan berpengaruh ketika
mereka berhadapan dengan masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial model
positivisme dan rekayasa sosial, ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya,
mereka diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat,
dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham positivisme tersebut. Mereka
memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan dan peneliti atau bahkan
tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas
nilai, dan birokrat atau negara dalam proses perubahan sosial berperan sebagai pengambil -
pengambil keputusan. Dengan demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori
perubahan sosialnya ber sifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma struktural akan
memahami masalah sosial dan mengajukan teori per ubahan sosial yang berbeda dibanding teori
yang diajukan para penganut fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi para penganut
paradigma kritis transformatif, teori perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang
melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke sistem yang
lebih adil. Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral,
dan untuk terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan lebih mudah bagi
kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori perubahan sosial dan
pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga
dapat memahami berbagai metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial
di akar rumput. Hal ini karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial
maupun pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh seseorang
atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang diyakini maupun yang
dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja mempengaruhi bagaimana suatu teori
sosial memberi makna terhadap realitas sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu
teoti sosial, bahkan mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu
organisasi melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori sosial
dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun pilihan
pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.
PARADIGMA DAN PERANNYA DALAM MEMBENTUK
TEORI PERUBAHAN SOSIAL1
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai berbagai aliran ideologi
dan keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan kritik pembangunan, maka terlebih
dahulu dalam bagian ini diuraikan dan dijelas kan mengenai apa latar belakang yang
mempengaruhi ter bentuknya teori-teori tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat
mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma
(paradigm). Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pem bahasan untuk
memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana suatu
paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuk nya teori-teori perubahan
sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai masalah paradigma ini perlu dilakukan
mengingat pentingnya paradigma dalam membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis
seseorang. Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan
objektif, melainkan salah satunya ber gantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun,
sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab pertanyaan dasar apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang. Namun,
pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran yang akan diuraikan
berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru setelah Thomas Khun
menulis karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun
menjelaskan tentang model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya
disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori
ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka
referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu
melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian,
penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya.
Oleh karena itu, untuk memahami berkembang maupun runtuh nya suatu teori perubahan sosial
dan pembangunan erat kaitan nya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-
masing yang menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan pengertian paradigma
yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai "a world view, a
general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world"2 Dengan
demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi
teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran.
Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk
memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.3 Paradigma merupakan
tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru ke kuatan sebuah paradigma terletak
pada kemampuannya mem bentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat se suatu, apa
yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa
metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebalik nya, mempengaruhi
apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.4 Oleh karena itu, jika
ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang sama, atau mem baca ayat dari sebuah kitab suci
yang sama, akan menghasil kan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang
berbeda pula. Paradigma pulalah yang akan mempenga ruhi pandangan seseorang tentang apa
yang "adil dan yang tidak adil", bahkan paradigma mempengaruhi pandangan seseorang ataupun
teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki prempuan
pada suatu masyarakat, atau hubungan antara majikan dan buruh, oleh suatu paradigma
pemikiran disebutkan sebagai "harmonis saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh
paradigma yang lain, akan dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun
bahkan dianggap eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan
membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan
alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya
bukanlah karena urusan "salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang
lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain
lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan
dan kekuasaan (power) dari peng ikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena
paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang dikalahkan".5 Demikian
halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran teori perubahan sosial
maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan
sosial yang ber sangkutan untuk memenangkannya. Dengan demikian, domi nasi atau
berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori
tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya
dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya
dengan kebenar an teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa dan bagai mana kita harus
memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana paradigma
mempengaruhi tercipta nya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang proses pergantian paradigma
menurutnya berjalan secara revolusioner. Dengan kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui
pergantian, paradigma lama mati dan diganti oleh paradigma baru. Pen jelasan mengenai
pergantian paradigma ini sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi
berbagai fenomena yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama telah terjadi
pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu menggantikan
posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan.
Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang terjadi. Namun, dalam per kembangan ilmu-
ilmu sosial menunjukkan kecenderungan se makin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau
bahkan terjadi dialog antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori
pada dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori untuk
menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah berkembang setelah berdialog dengan semakin
canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi penguatan gejala dimana teori-teori sosial yang
bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang ke arah penyesuaian diri terhadap kritik.
Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik
perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam
Marxisme, se suatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran Marx
pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya maraknya
perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat
lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan
paham dan teori kapitalisme dalam perkembangannya hingga se perti saat ini justru belajar dan
mendapat keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme
sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang diperlukan dalam
memahami para digma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial
seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma
dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi,
keadilan sosial dan transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori per ubahan
sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya
teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan
berakibat pada penciptaan emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang
secara mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan sosial
adalah suatu pemihakan dan ber dasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Pertanyaan yang
penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita
diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi,
masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk
dapat dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya
adalah kepada siapa atau kepada apa pe mihakan tersebut diabdikan.6 Untuk menjawab
persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar
bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial maupun pembangunan.
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial, termasuk di dalamnya
teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta
pendekatan yang telah dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan
beberapa model paradigma dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan
paradigma sosial yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen
Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah dengan mengikuti tokoh pemikir
pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta paradigma sosio
logi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979).
Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma ilmu-ilmu sosial
menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu sudut perbedaan paradigma
dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya membagi paradigma ilmu sosial dalam
pembagian yang se cara sederhana dapat dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat
dibedakan menjadi tiga paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge. Dalam perspektif paradigma
'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objek
nya. Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya
adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari
pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran
filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu
alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi,
melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme
berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan
saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial
harus didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan
selalu menganut hukum ilmiah yang ber sifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan
diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.
Sebutan "kaum positivist" berkesan sentimen dan me rupakan diskursus yang di dalamnya
memuat suatu strategi daripada mengacu pada pengertian bahasa yang mendalam dan bermanfaat
untuk menjelaskan kata positif lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk
mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-
adukkan dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya. Pendirian
epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang
digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu
sosial positivistik, pada dasamya meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu
alam menghadapi objek studi mereka yakni benda dan fenomena alam. Per bedaan utamanya
terletak pada istilah yang digunakan dan objek yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah
benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau manusia
seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial dapat dibuktikan
kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laborato rium, meskipun sering terjadi
hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis
(membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis (membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang
tatanan sosial, sependapat bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana
pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpu Ian pengetahuan atau penghapusan
atas hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan para digma positivisme lebih mensyaratkan
sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan teknik kajian mereka. Di antara
banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu
sosial dan peneliti an sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial
bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif,
rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial juga harus mampu menjaga
jarak (detachment) terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di
mana saja dan kapan saja.
Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma positivisme, kita dapat memahaminya
melalui pendirian teori -teori anti-positivisme. Meskipun epistemologis kaum antipositivis
beragam jenisnya, semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa
yang terjadi pada suatu tatanan sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua
tatanan atau peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan
orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak
kedudukan sebagai 'peneliti dan pengamat' atau pengembang masyarakat ahli luar seperti
layaknya keduduk an kaum positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan 'memasuki'
kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku
dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial, betapa
pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu
pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengetahuan objektif.
Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua tradisi pemikiran besar yang
mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial selama lebih dari dua ratus tahun terakhir,
yakni pertikaian antara postivisme dan idealisme Jerman. Aliran ini mewakili pandangan yang
berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa
kemanusiaan. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam
ontologinya, epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik menge nai sifat manusia dan
nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah tradisi "idealisme Jerman". Aliran ini
menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru
pada "ruh" atau gagas an". Oleh karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di mana sifat
subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian
ilmu alam.
Kedua, adalah paradigma interpretative. Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif
ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah
mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya
fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-
aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbeda an anggapan
dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma
interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu
sosial dan penelitian sosial dalam para digma ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara
sungguh- sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenom enology dan
hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami.
Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri".
Namun dalam paradigma ini penge tahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang membebas
kan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi
kalangan antropolog.
Ketiga, adalah paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/ emancipatory
knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk
membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu
sosial yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa
ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral.
Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara
berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial
dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif
atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam
pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya
perenungan tentang morali tas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial
begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka
paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan
sosial. ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam
perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi
objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak
mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli,
perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini
dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.
Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menem patkan rakyat sebagai subjek utama
perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan pen ciptaan
maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik
terhadap perkembangan participatory research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena
pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu
sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan
kontribusinya. Pemikiran tersebut mempenga ruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan
pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun teori.
Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang
tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan
kritik terhadap paradigma domi nasi dan interpretasi.
Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami dan menyadari
segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori perubahan sosial dan kritik
terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus utama pembahasan-pembahasan dalam
berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya.
Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi
Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpenga ruh dalam perkembangan dan kajian
teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma
yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the
Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang
menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan
membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement
Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by Walking
(1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia
pendidikan yakni mengenai para digma perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh
Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa
sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang
disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang
membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya, ekonomi, dan
politik yang lebih luas.
Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai
conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu
sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut
proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui
mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang
halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehuma nisasi tidak
selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya
adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menya darinya. Bahkan,
kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir,
ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan
diterima oleh golongan yang didomi nasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan,
sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan
tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struk tur yang
bersifat hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada
pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.7 Tema pokok gagasan Freire pada
dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidik an adalah "proses memanusiakan
manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses
'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng
proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire men jelaskan proses dehumanisasi
tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri
mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical
consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical
consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana diuraikan sebagai berikut.8
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang
tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya.
Misalnya saja suatu teori yang percaya akan adanya masyara kat miskin yang tidak mampu,
kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih
mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masya rakat dengan faktor-faktor di luar
manusia, baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis
teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses
analisis teori sosial tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik.
Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud tidak
memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur ter hadap satu permasalahan
masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada
mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi setiap kon sepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai "Kesadaran Naif". Keadaan yang dikategorikan
dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah
masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap
sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat
miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni
mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan',
dan seterusnya.9 Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan, akan
menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang
tidak memper tanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah
baik dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas
teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi
dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai
paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat
transformatif.
Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek
sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the
victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan
budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Para digma kritis
dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi
'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis
bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori
sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesem patan agar masyarakat
terlibat dalam suatu proses dialog "pen ciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih
baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai ke sadaran transformatif.
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat
memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan. Dengan
demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam
epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif,
karena bukan struktur yang lebih di persoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya
bersifat reformatif. Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas
dalam bab berikutnya dalam pers pektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan
merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain dapat
digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori per ubahan sosial
dan teori-teori pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para
praktisi pengembangan masyarakat ataupun pemberdayaan masya rakat di akar rumput. Banyak
praktisi pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di
masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang men dominasi pemikiran dan analisis para
praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi program mereka.
Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan program "pemberdayaan
masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap "masalah kemiskin an" masyarakat
bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda
dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk
transformasi sosial.
Hand-Out 01
FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL
SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL1
Prawacana
Sudah lama dirasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoretis dari kalangan
akademisi yang mem bicarakan teori perubahan sosial maupun paradigma pem bangunan dan
dunia para praktisi perubahan sosial untuk keadilan sosial (social justice) yang bekerja di dalam
berbagai aksi maupun proyek perubahan sosial bersama kelompok- kelompok marginal seperti
kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesan, maupun anak jalanan serta
masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani dialog antara
teori dan praktik perubahan sosial di akar rumput, maka suatu refleksi kritis ini
disistematisasikan dan dinarasikan sebagai bahan yang memfasilitasi terjadinya perenungan dan
pembangkitan kesadaran kritis para teoritisi maupun praktisi lapangan. Se bagai suatu refleksi,
tulisan ini tidak berpretensi menjadi acuan teoretik mengenai teori perubahan sosial. Tulisan ini
ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik ideologi terhadap
proses dan teori perubahan sosial, bukan ditulis dari hasil studi akademik dari kalangan
universitas, melainkan lebih banyak refleksi dari aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan
yang diperoleh secara tidak sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan dengan berbagai
program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun demikian, tulisan ini memang tidak dimaksud untuk memberikan uraian teoretik
tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi, lebih didasarkan pada refleksi
terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis pergerakan sosial di
Indonesia, untuk merefleksikan kaitan teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan pro
gram-program pemberdayaan mayarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan
ketimpangan dalam dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan
pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai kesempatan luas
untuk mem baca, membahas, dan mendiskusikan paradigma dan berbagai teori pembangunan di
dalam lingkungan universitas, semen tara mereka yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis
sosial dan organisasi sosial kemasyarakatan yang terjun ke masya rakat untuk melakukan aksi
sosial, tetapi tidak memiliki ke sempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di univer
sitas. Dengan demikian, tulisan ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan bahan
bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan teori pem bangunan,
juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan bahwa urusan ideologi,
paradigma, dan teori perubahan sosial hanya patut dan khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol
oleh kalangan akademisi dan birokrasi, dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa.
Dengan kata lain, tulisan ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk
menjembatani jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial di
univeritas.
Selain itu, semangat penulisan tulisan ini juga didorong oleh adanya gejala timbulnya kerancuan
teoretik dan para digmatik dari banyak aktivis lapangan. Yang dimaksudkan dengan kerancuan
teoretik ini adalah persoalan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja untuk melakukan
perubahan sosial di lapangan, yakni para pekerja sosial masyarakat, baik kalangan aktivis
lapangan ornop maupun tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoretik
dan visi ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas praktis
sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang dipraktikkannya tersebut secara
teoretik bertolak belakang dengan tujuan yang mereka cita -citakan. Dengan demikian, tuntutan
akan perlunya pema haman mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang
mereka jadikan pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani masalah-masalah
kemasyarakat an semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai perubahan
sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi
sosial menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal sementara itu bercita-cita melakukan
pemberdayaan masyarakat. Demi kian halnya dalam merencanakan, menyusun, dan menetap kan
program pengembangan masyarakat, maupun dalam mengevaluasi kegiatan tersebut.
Kegiatannya banyak men cerminkan anti-pemberdayaan masyarakat. Ketidakjelasan visi dan
teori ini tidak saja telah melahirkan inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi
juga telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial,
yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya
demokrati sasi ekonomi, politik, budaya, gender, serta aspek sosial lainnya.
Gejala kerancuan teoretik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis sosial di lapangan
mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori 'mainstream' per ubahan sosial
pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya di kalangan aktivis sosial telah
timbul kesadar an akan perlunya secara kritis mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta
implikasinya terhadap metodologi dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis sosial
untuk memahami berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik
dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan tulisan teori perubahan sosial ini.
Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan tulisan ini didorong untuk
memenuhi kebutuhan bacaan teoretis dan memfasilitasi perdebatan teoretik bagi mereka yang
bekerja di lapangan. Secara umum tulisan ini merupakan pengkajian teoretis dan mendasar,
membahas kerangka ideologi, paradigma, dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan
mampu memacu pembaca untuk me refleksikan kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideo
logi dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu tulisan ini juga merupakan refleksi kritik
terhadap posisi teoretik berbagai teori yang dominan tentang perubahan sosial dan pembangun
an. Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal teoretik bagi pembaca, khususnya yang terlibat
dalam proses per ubahan sosial dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan
sosial. Terakhir, secara khusus tulisan ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong
mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori per ubahan sosial sebagai bagian
dari aktivitas lapangan sehari- hari.
Sebuah Refleksi Teoretik bagi Aktivis Sosial
Maksud terutama penyusunan tulisan ini adalah dalam rangka memfasilitasi para praktisi untuk
melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini
didasarkan pada asumsi bahwa seorang aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam
memperjuang kan "social justice", politik dan ekonomi yang demokratis, serta pengembangan
masyarakat menuju masyarakat adil sejah tera sangat membutuhkan teori sebagai acuan, refleksi,
maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasar nya tidak sekedar memberi makna
terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahimya kesadaran dan pe mahaman
terhadap suatu realitas sosial. Akan tetapi, teori sosial juga bertugas untuk "mengubah realitas
sosial" yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut
masih diperdebatkan. Tanpa disadari setiap pekerja dan aktivis sosial seperti guru, akivis sosial,
wartawan, dan pemimpin agama terlibat dalam pertarungan teoretis secara nyata. Pertarungan
tersebut berupa penerapan teori dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial
juga memiliki dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu
sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga mengubahnya.
Berbagai teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya lahir tidak saja dalam rangka pertarungan
memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga berimplikasi pada perubahan sosial
karena pada dasamya perubahan sosial dibangun di atas pemahaman teoretik dan suatu teori
sangat berpengaruh dalam membentuk suatu program aksi di lapangan. Meskipun pada realitas
sosial yang sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan
akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja dalam melihat
hubungan 'buruh-majikan' satu teori me lihatnya sebagai hubungan yang 'saling menguntungkan',
tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoretik ini,
bagaimana suatu perubahan hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan.
"Rekayasa sosial" yang oleh satu teori dianggap sebagai ke harusan pendekatan, tetapi oleh teori
lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan 'penindasan' dari ilmuwan sosial
terhadap masyarakat. Perbedaan asumsi tersebut tidak saja mempengaruhi berbagai metode
penelitian dan pendidikan sosial, tetapi juga membawa perbedaan visi dan orientasi hubungan
antara ilmuwan sosial dan masyarakat dalam proses perubahan sosial. Dengan demikian, teori
sosial membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang mereka
lakukan serta kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan
teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat, seorang aktivis
tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi, tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang sesungguh
nya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan selalu dihadapkan pada
pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dan keadilan;
antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi, dan seterusnya. Dalam kaitan
itulah teori sangat membantu memahami relasi sosial secara kritis.
Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif yang
melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang digolongkan pada "teori
sosial regulasi" berhadapan dengan teori-teori sosial emansipatori atau juga yang dikenal dengan
kritis. Teori sosial regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabdi pada stabilitas,
pertumbuhan, dan pembangunan, bersifat objektif serta secara politik netral dan bebas nilai.
Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya
sebagai obyek pembangunan mereka. Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah
'rekayasa sosial' yang menempatkan masyarakat se bagai obyek para ahli, direncanakan,
diarahkan, dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera yang mengontrol. Teori sosial telah
menciptakan birokrasinya: di mana teoretisi memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan
praktisi dan masyarakat. Dalam hubungan ini aktivis sosial lapangan dan masyarakat hanya
diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoretis secara kritis.
Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan penyadaran kritis masyarakat
terhadap sistem dan struktur sosial 'dehumanisasi' yang membunuh kemanusiaan. Gramsci
menyebut proses ini sebagaj upaya counter hegemoni. Proses dehumanisasi tersebut
terselenggara melalui meka nisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui
cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan
dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural misalnya,
pada dasarnya adalah suatu bentuk ke kerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya.
Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang,
cara berpikir, ideologi, kebudayaan, bahkan 'selera' golongan yang mendominasi telah
dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang di dominasi. Dengan begitu kegiatan sosial
bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa yang
steril, tetapi merupakan kegiatan politik meng hadapi sistem dan struktur yang bersifat
hegemonik.
Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak
memihak, netral, objektif, serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan
tersendiri, atau paling tidak ikut me langgengkan ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas
dan netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak
mungkin pernah netral. Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau
sarat dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu. Teori ilmu-
ilmu sosial, ter masuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan dalam paradigma
kritis ini selalu memihak dan mengabdi demi kepentingan tertentu. Masalahnya, kepada
golongan yang mana suatu teori sosial harus mengabdi. Itulah makanya, dalam pandangan ini,
teori sosial dan praktik pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat
berada pada suatu sistem dan struktur sosial yang tidak adil dan dalam proses 'dehumanisasi',
ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral karena ikut melanggengkan
ketidakadilan.
Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas, hakikat, dan
tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus netral, tidak memihak, ataukah
harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti golongan lemah. Namun, dalam perspektif
teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan
tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses
pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan
struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni
terciptanya hubungan (struktur) yang baru dan lebih baik. De ngan kata lain, dalam prespektif
teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang
termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan
kesadaran, baik bagi golongan menindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa mereka
telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial harus membangkitkan kesadaran
kritis. baik bagi yang men dominasi maupun yang didominasi, untuk perubahan menuju
terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni
suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, dan tanpa
kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang
telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas.
Teori Perubahan Sosial dan Teori Pembangunan: Suatu Penjelasan
Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya
adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan
kehidupan ekonomi, politik, budaya, infra struktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan
pemahaman seperti itu, 'pembangunan' disejajarkan dengan kata "perubah an sosial". Bagi
penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga membutuhkan
keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme,
ataupun pembangunan model Indonesia, dan seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori
pembangun an berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi
pandangan yang menguasai hampir setiap dis kursus mengenai perubahan sosial.
Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari asumsi
bahwa kata 'pem bangunan' itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu
paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam
pandangan yang disebut terakhir ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat
netral, melainkan suatu "aliran" dan ke yakinan ideologis dan teoretis serta praktik mengenai per
ubahan sosial. Dengan demikian, dalam pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan
sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial. Ber samaan
dengan teori pembangunan terdapat teori-teori per ubahan sosial lainnya seperti sosialisme,
dependensia, ataupun teori lain. Oleh karena itulah banyak orang menamakan teori
pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism). Dengan demikian pengertian
seperi ini menolak teori-teori, seperti teori pembangunan berbasis rakyat, atau teori inte grated
rural development, atau bahkan pembangunan berke lanjutan (sustainable development) dan
merupakan alternatif dari pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi
pembangunanisme.
Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya lebih memfokus kan pembahasan mengenai seluk-
beluk paradigma dan teori perubahan sosial, yakni teori tentang bagaimana suatu masya rakat
berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan tersebut. Dengan demikian, teori dan kritik
terhadap pem bangunan yang banyak dibahas dalam tulisan ini nanti, dalam hubungan ini
dipahami dan diletakkan sebagai salah satu ideologi dan teori serta salah satu bentuk dari teori
perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu dari teori perubahan sosial yang akan dibahas
adalah teori pembangunan. Sebagai salah satu dari berbagai teori perubahan sosial, teori
pembangunan, dewasa ini telah menjadi mainstream dan teori yang paling dominan mengenai
perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang
luar biasa, karena sebuah gagasan dan teori begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat
manusia secara global, ter utama di bagian dunia yang disebut sebagai "dunia ketiga". Gagasan
dan teori pembangunan, bagi banyak orang bahkan mirip 'agama baru' yakni menjanjikan
harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbela kangan bagi
berjuta-juta rakyat di dunia ketiga.
Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan digunakan sebagai visi,
teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua negara, khususnya dunia ketiga,
dengan setelah diterjemahkannya ke dalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai
dengan bahasa lokal di masing-masing negara. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, kata
ini disamakan dengan kata dessarollo. Bahkan, di negara yang belum memiliki bahasa nasional
seperti Filipina, misalnya, kata yang digunakan untuk me lokalkan 'development' adalah dalam
tiga bahasa daerah utama, yakni pang-unlad untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo
adalah Pag-uswag, dan dalam bahasa Ilocano menjadi progreso. Di Indonesia, kata development
diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan
munculnya pemerintah an orde baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata 'pem bangunan' juga
menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak
pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata 'pembangunan', mes kipun kata
'pembangunan' sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata
pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan discourse-de velopment
yang dikembangkan oleh negara negara Barat. Uraian berikut mencoba melakukan penyelidikan
secara kritis ter hadap discourse development, yang menjadi sumber dari dis kursus
'pembangunan' di Indonesia. Oleh karena itu, perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan
tinjauan dari segi bahasa, tetapi mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan discourse
development, dan bagaimana development disebar-serapkan ke dunia ketiga, serta hubungannya
dengan diskursus 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer orde baru, yakni suatu
pemerintahan militer selama 32 tahun, yakni sejak militer Indonesia mengambil alih kekuasaan
Presiden Sukarno tahun 1967 hingga kejatuhan rezim militer ini oleh suatu revolusi sosial tahun
1998.
Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengerti an dasarnya, pembangunan merupakan
suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali di gunakan dalam
konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna
dengan kata pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi.
Dari kata-kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah
lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada konteks siapa yang
menggunakannya dan untuk kepen tingan apa, uraian mengenai pengertian pembangunan akan
dilihat dari konteks sejarah bagaimana istilah tersebut di kembangkan.
Pertanyaan dasarnya adalah apakah konsep "pembangun an" itu adalah suatu kategori tersendiri,
atau jenis dari suatu yeng lebih besar. Dalam tulisan ini penulis meletakkan pem bangunan
sebagai suatu teori dibawah payung teori perubah an sosial. Dengan kata lain, salah satu bahasan
dalam ilmu -ilmu sosial adalah masalah perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan
perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi sosialistik dan kapitalistik, dan
dimensi -dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial tersebut adalah teori pembangunan.
Lambat-laun, pembangunan sebagai teori berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideo logi,
bahkan menjadi suatu paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan
pembangunan oleh para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan
sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dinamakan kabinet selama
kekuasaan orde baru dibawah presiden Suharto.
top related