laporan akhir ekpd 2010 - sumsel - unsri
Post on 05-Dec-2014
1.996 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
i
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) tahun 2010 yang menganalisis kinerja daerah dalam mengimplementasikan agenda dan program pembangunan pembangunan nasional dalam RPJMN 2004-2009 sangat krusial, karena hasilnya dapat digunakan untuk menjadi arahan bagi penyesuaian dan pelaksanaan program pembangunan nasional yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010 – 2014. Keberhasilan pembangunan dan permasalahan yang masih ada dapat dijadikan pelajaran dan bahan masukan untuk memperbaiki proses pembangunan ke depan, sehingga dapat dihindari kesalahan yang sama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pembangunan daerah tetap merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sehingga program-program yang disusun oleh pemerintah daerah mesti relevan dengan program pembangunan nasional. Dengan kata lain keduanya harus saling mendukung. Pada pelaksanaan EKPD 2010 ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menetapkan agar Tim Evaluasi melakukan penyandingan antar program prioritas nasional dengan program prioritas daerah untuk dilihat relevansi antara keduanya.
Laporan akhir kegiatan EKPD 2010 ini memuat hasil analisis pada tiga agenda pembangunan melalui capaian indikator output dan outcome pembangunan di Wilayah Sumatera Selatan yang diukur dari indikator tingkat kriminalitas, pelayanan publik, demokrasi, pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi makro, investasi, infrastruktur, pertanian, kehutanan, kelautan, dan keseejahteraan sosial. Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 - 2009 dan evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014.
Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Kementerian Negara PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atas kepercayaannya kepada Universitas Sriwijaya untuk melaksanakan kegiatan EKPD di Sumatera Selatan. Semoga kerjasama yang baik ini dapat dilanjutkan di masa mendatang.
Palembang, Desember 2010
Rektor Universitas Sriwijaya
Prof. Dr. Badia Perizade, M.B.A.
KATA PENGANTAR
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
ii
Halaman
KATA PENGANTAR i
I. PENDAHULUAN I-1
A. Latar Belakang Evaluasi I-1
B. Tujuan dan Sasaran I-5
C. Keluaran I-6
II. HASIL PELAKSANAAN EVALUASI RPJMN 2008-2009 II-1
A. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai II-1
B. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis II-7
C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat II-16
III. RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD III-1
A. Pengantar III-1
B. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional III-2
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI IV-1
A. Kesimpulan IV-1
B. Rekomendasi IV-4
DAFTAR ISI
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
iii
Halaman
Tabel 2.1. Capaian Indikator Indeks Kriminalitas, Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
II-2
Tabel 2.2. Capaian Indikator Pelayanan Publik II-7
Tabel 2.3. Capaian Indikator Gender Development Index dan Gender Empowerment Meassurement
II-12
Tabel 2.4. Capaian Indikator Indeks Pembangunan Manusia II-16
Tabel 2.5. Capaian Indikator Pendidikan II-19
Tabel 2.6. Capaian Indikator Kesehatan II-27
Tabel 2.7. Capaian Indikator Keluarga Berencana II-31
Tabel 2.8. Capaian Indikator Ekonomi Makro II-34
Tabel 2.9. Capaian Indikator Investasi II-40
Tabel 2.10. Capaian Indikator Infrastruktur II-44
Tabel 2.11. Capaian Indikator Pertanian II-46
Tabel 2.12. Capaian Indikator Kehutanan II-53
Tabel 2.13 Rekapitulasi rencana kegiatan RHL secara vegetatif pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan
II-57
Tabel 2.14. Capaian Indikator Kelautan II-59
Tabel 2.15. Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial II-60
Tabel 3.1
Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional
III-2
DAFTAR TABEL
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
iv
Halaman
Gambar 2.1. Grafik Pencapaian Indikator Indeks Kriminalitas
II-2
Gambar 2.2.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
II-4
Gambar 2.3.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani Dibandingkan dengan yang Dilaporkan
II-8
Gambar 2.4.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Jumlah Kabupaten/ Kota yang Memiliki Peraturan Daerah Pelayanan Satu Atap
II-9
Gambar 2.5.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Instansi (SKPD) Kabupaten yang Memiliki Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
II-11
Gambar 2.6.
Grafik Pencapaian Indikator Gender Development Index (GDI)
II-13
Gambar 2.7.
Grafik Pencapaian Indikator Gender Empowerment Meassurement (GEM)
II-14
Gambar 2.8.
Grafik Pencapaian Indikator Indeks Pembangunan Manusia
II-17
Gambar 2.9.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
II-20
Gambar 2.10.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
II-21
Gambar 2.11.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Melek Aksara 15 Tahun Keatas
II-24
Gambar 2.12.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Kematian Bayi (AKB) II-27
DAFTAR GAMBAR
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
v
Halaman
Gambar 2.13.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penduduk ber-KB
II-30
Gambar 2.14.
Grafik Pencapaian Indikator Laju Pertumbuhan
Penduduk
II-31
Gambar 2.15. Grafik Pencapaian Indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi II-33
Gambar 2.16. Grafik Pencapaian Indikator Pendapatan per Kapita (dalam juta rupiah)
II-36
Gambar 2.17. Grafik Pencapaian Indikator Laju Inflasi II-37
Gambar 2.18.
Grafik Pencapaian Indikator Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
II-40
Gambar 2.19.
Grafik Pencapaian Indikator Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar)
II-41
Gambar 2.20. Grafik Pencapaian Indikator % Panjang Jalan Nasional II-43
Gambar 2.21.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan terhadap Lahan Kritis
II-53
Gambar 2.22.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penduduk Miskin
II-60
Gambar 2.23.
Grafik Pencapaian Indikator Tingkat Pengangguran Terbuka
II-60
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-1
A. Latar Belakang Evaluasi
Lima tahun telah berlalu pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dimotori oleh
Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009. Program-program pembangunan yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
pada periode tersebut telah pula dilaksanakan dalam berbagai bidang oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah bersama semua elemen masyarakat. Pemerintah telah
merencanakan secara serius dan komprehensif upaya untuk meningkatkan pembangunan
wilayah dan masyarakat Indonesia yang tentu pada pelaksanaannya di masing-masing
wilayah dijalankan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Jelas pula bahwa untuk
mencapai keberhasilan mesti memenuhi salah satu syarat terjadinya sinkronisasi dan
keterpaduan antara rencana pembangunan pusat dan daerah, meskipun setiap daerah
dapat memiliki agenda khusus spesifik daerah sesuai dengan potensi dan kondisi masing-
masing. Namun demikian, seluruh agenda, sasaran dan prioritas pembangunan nasional
yang telah dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 merupakan kebutuhan bersama
sehingga relevan dan sangat perlu untuk dilaksanakan seluruh daerah dengan
pengecualian satu atau beberapa aspek masalah dan program pembangunan dapat
dianggap tidak perlu menjadi perhatian serius pada daerah tertentu karena memang tidak
muncul permasalahannya di daerah tersebut.
Selanjutnya, yang mesti menjadi pertimbangan adalah bahwa pada hakekatnya
keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tingkat pertumbuhan atau peningkatan
kuantitatif aspek fisik variabel-variabel pembangunan tersebut seperti produksi output total
dan pendapatan per kapita, peningkatan jumlah konsumsi, infrastruktur, dan lain-lain.
Elemen kunci pembangunan adalah bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur ke arah
kemajuan. Hal ini berarti pula bagaimana partisipasi mereka dalam menikmati manfaat
1 PENDAHULUAN
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-2
dari hasil-hasil pembangunan secara lebih baik dan merata. Fenomena tersebut sedapat
mungkin diupayakan untuk disampaikan dalam laporan Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah 2010 di Provinsi Sumatera Selatan.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
sampai saat ini merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara
berkesinambungan dari kegiatan pembangunan sebelumnya, dimana sistem perencanaan
dengan penggunaan pola rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD)
yang sudah memasuki dua tahap yaitu tahap 2005-2008 dan tahap 2008-2013. Hal
tersebut dilakukan selain dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Provinsi
Sumatera Selatan, juga sebagai upaya mensinkronkannya dengan agenda pembangunan
yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
Pelaksanaan pembangunan di wilayah ini telah menghasilkan keberhasilan dalam banyak
hal, namun masih menyisakan masalah-masalah yang menghambat atau mengganggu
kelancaran proses pembangunan tersebut seperti kemiskinan, pengangguran dan
rendahnya pendapatan perkapita yang perlu diantisipasi dan segera dicarikan jalan
keluarnya. Sejauh mana isu-isu tersebut di atas yang telah memacu Provinsi Sumatera
Selatan untuk melaksanakan pembangunan dengan memprioritaskan peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui berbagai langkah strategis dan kebijakan pokok yang
disusunnya demi kepentingan kemajuan daerah maupun mendukung dan/atau sinkron
dengan agenda-agenda pembangunan dalam RPJMN perlu untuk dievaluasi secara
komprehensif.
Keberhasilan dan hambatan pembangunan tersebut sebagai ekspresi dari kinerja
pembangunan nasional dapat secara faktual diketahui dari hasil penilaian melalui evaluasi
yang dilakukan terhadap hasil pelaksanaan program-programnya di seluruh daerah,
termasuk di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sangat relevan karena, pembangunan
daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, dan pada
hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas
daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih baik dan kesejahteraan bagi
semua masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara luas untuk
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-3
menentukan kebijakan dan program pembangunan di daerah masing - masing. Oleh
karena itu sudah tentu pula keberhasilan pembangunan daerah akan menentukan
keberhasilan pembangunan nasional, dan kendala atau masalah yang terjadi juga
merupakan bagian dari hambatan pembangunan nasional tersebut. Untuk itulah mulai
tahun 2006 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melaksanakan
kegiatan evaluasi pembangunan daerah (EKPD) bekerja sama dengan perguruan tinggi di
seluruh wilayah provinsi di Indonesia, sehingga dapat diketahui sejauh mana kinerja
pembangunan setiap daerah provinsi dalam wilayah Republik Indonesia. Kinerja
pembangunan daerah yang dinilai berupa tingkat keberhasilan yang dicapai, keterkaitan
atau sinkronisasi dan sinergisme antara pembangunan daerah dan pembangunan
nasional, partisipasi elemen masyarakat, serta kendala dan hambatan yang dialami.
Tahun 2010 ini merupakan tahun ke lima pelaksanaan kegiatan EKPD yang untuk
Provinsi Sumatera Selatan bekerja sama dengan Tim dari Universitas Srwijaya.
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan, penetapan,
pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu
tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan. Peraturan
Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk
melakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanan RPJMN tersebut. Saat ini
telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010–2014. Siklus pembangunan jangka
menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama dengan siklus pembangunan 5
tahun di daerah. Sehingga penetapan RPJMN 2010-2014 ini tidak bersamaan waktunya
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini
menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD tidak selalu mengacu pada prioritas-
prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program
antara RPJMN dengan RPJMD Provinsi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-4
Dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Yang pertama
adalah evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian
keterkaitan antara RPJMD dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan dalam
evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-post untuk melihat
efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda
RPJMN 2004 - 2009 yaitu agenda Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai
pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis
indikator pencapaian. Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi
RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11
prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu juga
mengidentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-
2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah 1) Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola, 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan
Kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Investasi dan Iklim
Usaha, 8) Energi, 9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 10) Daerah
Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik, 11) Kebudayaan, Kreativitas dan
Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu 1) Kesejahteraan Rakyat lainnya, 2)
Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya, 3) Perekonomian lainnya.
Indikator kinerja dari tujuan/sasaran pembangunan daerah dalam EKPD 2010 ini
merupakan indikator dampak ( impact) yang pencapaiannya didukung melalui pencapaian
indikator hasil (outcome). Untuk menentukan indikator tersebut, parameter yang
digunakan diupayakan memenuhi memenuhi lima kaidah berikut:
• Specific. Indikator dapat diidentifikasi dengan jelas;
• Measurable. Jelas dan dapat diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati,
dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas dan biaya;
• Attainable. Dapat dicapai;
• Relevant. Mencerminkan keterkaitan secara langsung dan logis antara target output
dalam rangka mencapai target outcome yang ditetapkan; serta antara target outcome
dalam rangka mencapai target impact yang ditetapkan;
• Timely. Tepat Waktu.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-5
Setelah melalui pengelompokan dan pemilihan, serangkaian indikator-indikator yang
terpilih selanjutnya akan dijadikan patokan dalam melakukan pengukuran kinerja pada
tahapan selanjutnya.
Selanjutnya, tim melakukan pemilihan fokus analisis terhadap data yang dinilai cenderung
lebih tinggi atau cenderung lebih rendah” dengan data tahun sebelumnya untuk capaian
indikator tahun 2004, 2005, 2006, 2007 dan 2008, sedangkan capaian indikator 2008-
2009 dianalisis secara keseluruhan. Data pendukung dimasukkan ke dalam grafik
analisis.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada
perencanaan pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di daerah.
Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan pembangunan daerah. Pelaksanaan EKPD dilakukan secara
eksternal untuk memperoleh masukan yang lebih independen terhadap pelaksanaan
RPJMN di daerah. Berdasarkan hal tersebut, Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja
Pembangunan melaksanakan kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD)
yang bekerja sama dengan 33 Perguruan Tinggi selaku evaluator eksternal dan dibantu
oleh stakeholders daerah.
B. Tujuan dan Sasaran
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 di Provinsi Sumatera Selatan ini disusun
dengan tujuan:
1. Untuk melihat sejauhmana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat
memberikan kontribusi pada pembangunan di daerah;
2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program (outcome) dalam
RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi.
Sasaran yang diharapkan dari kegiatan ini meliputi:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
Provinsi Sumatera Selatan;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi Sumatera
Selatan dengan RPJMN 2010-2014.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
I-6
C. Keluaran
Keluaran dari evaluasi kinerja pembangunan daerah 2010 ini adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009
untuk Provinsi Sumatera Selatan;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMD Provinsi Sumatera Selatan
dengan RPJMN 2010- 2014.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-1
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI
Keamanan dan perdamaian nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan perwujudan dari salah satu tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini merupakan prasyarat bagi
terwujudnya tiga tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD tahun
1945. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, keamanan nasional NKRI yang mencakup
pertahanan negara, keamanan dalam negeri, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta
keamanan sosial baik secara langsung maupun tidak langsung sangat dipengaruhi oleh
dinamika politik, ekonomi, kesejahteraan, sosial, dan budaya di dalam negeri, serta
dinamika keamanan di kawasan regional dan internasional. Sasaran tujuan sebagaimana
ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945 dijabarkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Daerah (RPJPD), sehingga setiap Pencapaian
sasaran dapat diketahui dalam RPJMN disetiap Provinsi karena menjadi salah satu
agenda pembangunan di setiap wilayah di Indonesia.
Pencapaian agenda pembangunan Indonesia yang aman dan damai diukur dari tiga
indikator yang berkaitan dengan kondisi kriminalitas yang terjadi pada satu wilayah berikut
pelaksanaan penyelesaian dari kasus-kasus tersebut. Hasil capaian indikator dari
agenda tersebut berikut analisa dari pencapaian indikator disajikan pada Tabel 2.1
2 HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-2
A.1. Indikator Indeks Kriminalitas, Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
1.1. Capaian Indikator
Tabel 2.1. Capaian Indikator Indeks Kriminalitas, Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan
Konvensional dan Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas 3.251 911 5.284 6.512 4.649 4.695
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional 100 100 74
82
77 88
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
-
- - - - -
Sumber : Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, 2009
Berdasarkan data Tabel 2.1 di atas menunjukan bahwa tingkat kriminalitas yang
terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dalam lima tahun terakhir berfluktuasi yaitu tahun
2005 terjadi penurunan tingkat kriminalitas, bentuk tindak pidana yang terjadi mayoritas
berupa pencurian atau perampokan, namun pada tahun berikutnya (2006) meningkat
sangat tinggi, bentuk tindak pidana yang terjadi mayoritas berupa penganiayaan dan
penipuan. Pada tahun 2007, trend tindak pidana yang terjadi berupa
pencurian/perampokan demikian juga tahun 2008 dan 2009, tindak pidana
pencurian/perampokan dominan yang terjadi di masyarakat. Naik turun terjadinya tingkat
kriminalitas tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penegakan hukum
dirasakan masih rendah, hal disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran hukum
masyarakat, penegak hukum yang kurang profesional, dan masih tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan
pembangunan sektor hukum belum mencapai seperti apa yang dikehendaki dalam
RPJMD tahun 2005-2009.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-3
1.2. Analisis Pencapaian Indikator
1.2.1. Indeks Kriminalitas
Gambar 2.1. Grafik Pencapaian Indikator Indeks Kriminalitas
Indeks Kriminalitas
3,251
911
5,2846,512
4,649 4,695
2216 1626 979 1364 1195 1195
16361
11269 10951
32994
42286 42286
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Jum
lah Indeks Kriminalitas
Jumlah Tindak Pidana
Jumlah Pelanggaran
Grafik di atas menunjukan bahwa selama lima tahun terakhir tindak kriminalitas di
Provinsi Sumatera Selatan menunjukan perkembangan yang berfluktuasi. Penyebab
utama dari kondisi tersebut terutama kondisi ekstrim yang terjadi di tahun 2005 dimana
tindak pidana kriminal menurun drastis adalah sebagai dampak dari peningkatan
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Selain itu juga merupakan sebagai efek
positif dari membaiknya kondisi perekonomian, serta tingkat kesadaran hukum
masyarakat yang mulai meningkat, sehingga pembangunan daerah di bidang hukum juga
berjalan dengan baik. Namun demikian pada tahun-tahun berikutnya tindak kriminalitas
terus meningkat, sehingga pada tahun 2009 pemerintah mencanangkan pemberantasan
mafia hukum atau makelar kasus, dan Provinsi Sumatera Selatan termasuk daerah yang
cukup besar terjadinya tindak pidana (kriminalitas) di Indonesia. Sedangkan pada sisi lain
Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu bagian dari NKRI memiliki peranan yang
sangat penting dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian dalam kerangka
mewujudkan keamanan dan perdamaian nasional dan daerah. Berbagai indikator
pencapaian dapat diketahui dan dianalisis untuk melihat perwujudan keamanan dan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-4
perdamaian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RPJMD Provinsi Sumatera
Selatan diantaranya adalah indikator kriminalitas. Dari data yang disajikan pada Tabel 2.1
dan Gambar 2.1 terlihat bahwa dalam lima tahun terakhir (tahun 2004-2009) indeks
kriminalitas di Sumatera Selatan berkembang fluktuatif. Pada tahun 2004 berjumlah
3.251, tahun 2005 menurun menjadi 911, dan tahun 2006 naik menjadi 5.284 kasus,
tahun 2006 juga naik menjadi 6.512 kasus, namun tahun 2008 terjadi penurunan yaitu
4.649 kasus, namun tahun 2009 terjadi kenaikan kembali menjadi 4.695 kasus.
Dalam kegiatan penegakan hukum, ada beberapa faktor yang sangat
mempengaruhi, yaitu: 1) adanya peraturan perundang-undangan yang baik; 2) penegak
hukum yang baik; 3) tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi; 4) ada fasilitas
penunjang kegiatan penegakan hukum; dan 5) budaya hukum yangh baik. Berdasarkan
data statistik sebagaimana yang digambarkan di atas dan hasil pengamatan, ada
beberapa catatan yang dapat diketahui sebagai faktor penyebab indeks kriminalitas
berfluktuasi di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu:
1. Penegakan hukum belum optimal sebagaimana yang diharapkan.
2. Penegak hukum kurang konsisten menjalankan tugas dan fungsi, serta relatif
masih rendahnya profesionalisme penegak hukum dalam menjalankan fugasnya.
3. Masih banyak peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap
warga, seperti peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian atas warga
Desa Rengas, Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Dari informasi
yang didapatkan telah terjadi pelanggaran hukum oleh PT PN VII dimana lahan
seluas tidak kurang dari 1.529 Ha adalah milik warga berdasarkan keputusan
Mahkamah Agung pada 1996. Selanjutnya, telah terjadi kesepakatan antara
warga dan pihak PT PN VII dimana pihak perusahaan akan menyerahkan lahan
kepada masyarakat. Karenanya, dapat dipahami jika warga membersihkan lahan
dan mendirikan pondok-pondok yang tidak permanen di areal tersebut. Secara
sepihak pondok tersebut di robohkan oleh Pihak PTPN VII dengan dukungan
aparat kepolisian. Pada Jumat 4 Desember 2009, terjadi peristiwa kekerasan
oleh aparat kepolisian Brimob Polda Sumsel yang mengakibatkan belasan warga
menjadi korban kekerasan dan terkena luka tembak.
4. Masih terjadi kesenjangan sosial-ekonomi (kemerosotan perekonomian rakyat),
sehingga mendapatkan uang dengan melakukan kriminalitas masih terus
berlangsung.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-5
5. Kesadaran hukum sebagian masyarakat relatif masih rendah, hal ini ditunjukan
masih tingginya jumlah perbuatan kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat di
Provinsi Sumatera Selatan.
6. Persepsi masyarakat terhadap lembaga penegak hukum masih bersifat negatif
(masih kurang percaya), isu-isu mafia peradilan masih melekat pada benak
masyarakat.
7. Sosialisasi peraturan perundang-undangan dirasakan masih kurang.
Berbagai indikator di atas menunjukan bahwa apa yang menjadi tujuan
pembangunan hukum yang dimaksud dalam RPJMD belum tercapai sebagaimana yang
diharapkan, bahkan kecenderungan perbuatan tindak pidana (kriminalitas makin
meningkat), yang sekaligus mempengaruhi pencapaian pembangunan Indonesia yang
aman dan damai sebagaimana yang direncanakan dalam RPJMN.
1.2.2. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
Gambar 2.2. Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
Berdasarkan data pada Tabel 2.1. dan 2.2 menunjukan bahwa penyelesaian kasus
kejahatan konvensional terjadi naik turun selama lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu a. pengadilan tidak mampu menyelesaian semua kasus yang
terdaftar di Pengadilan, b. masih kurangnya jumlah SDM (hakim) di Pengadilan Negeri,
Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
100 100
7482 77
88
0
20
40
60
80
100
120
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Per
senta
se PersentasePenyelesaian KasusKejahatanKonvensional
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-6
c. masih kurangnya fasilitas pendukung pelaksanaan kegiatan peradilan, dan penegak
hukum masih belum profesional dalam menjalankan tugasnya, sehingga antara
kasus/perkara yang terdaftar dengan beban kerja tidak seimbang, yang menyebabkan
setiap tahun ratusan kasus tidak dapat terselesaikan. Sedangkan keberhasilan
penegakan hukum merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di sektor
hukum.
Tujuan pembangunan dapat tercapai apabila dapat menciptakan keamanan dan
perdamaian. Aman dan damai merupakan kunci sukses pencapaian sasaran
pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya dan Provinsi Sumatera Selatan pada
khususnya. Dalam setiap Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah telah
disusun indikator-indikator pencapaian tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya masih
terdapat berbagai faktor penghambat pencapaian sasaran pembangunan yang terjadi
berupa kejahatan (tindak pidana) yang terjadi dalam masyarakat. Berdasarkan data
statistik peristiwa kejahatan yang terjadi menunjukkan bahwa semua peristiwa kejahatan
yang terdata tersebut berbentuk kejahatan konvensional. Dalam kurun waktu 2004-2007
tindak kejahatan konvensional ini menunjukkan trend yang terus meningkat, dan mulai
menurun di tahun 2008, namun di tahun 2009 kembali meningkat.
Dari tindakan kejahatan konvensional yang terjadi tersebut, pada gambaran
penyelesaian kasusnya yang ditampilkan pada Gambar 2.2 menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu tahun 2004-2005 penyelesaian kasus kriminal dapat diselesaikan semua
oleh pengadilan (100%), sedangkan di tahun 2006, jumlah kasus kejahatan yang
diselesaikan sebanyak 3.921 (atau 74%), sisanya 36% disesaikan tahun berikutnya yaitu
2007. Tahun 2007, jumlah kasus yang dapat diselesaikan sebesar 82% yaitu tersisa 490
kasus. Tahun 2008, kasus yang dapat diselesaikan berjumlah 3596 kasus atau 77%, sisa
kasus yang tidak terselesaikan cukup banyak yaitu berjumlah 1044 kasus. Sedangkan
tahun 2009 jumlah kasus yang diselesaikan sekitar 88%, dimana tersisa kasus yang
belum selesai yaitu 540 kasus. Pada umumnya kasus-kasus kejahatan atau kriminalitas
yang dilaporkan berbentuk kasus konvensional semua dan tidak ada kasus kejahatan
transnasional yang dilaporkan.
Jika diteliti lebih mendalam, sejak tahun 2006, sebenarnya jumlah kasus kejahatan
yang terjadi cenderung menurun setiap tahun, hanya saja hampir setiap tahun semua
kasus kejahatan yang tangani oleh pengadilan tidak dapat terselesaikan semua, sehingga
sisa tahun sebelumnya menjadi pekerjaan tahun berikutnya dan seterusnya. Ini
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-7
menunjukan bahwa kinerja pengadilan belum optimal sebagaimana yang diharapkan. Hal
ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor penghambat, seperti masih kurangnya SDM di
pengadilan, sering terjadi penundaan persidangan yang disebabkan oleh berbagai alasan,
seperti kurang siapnya jaksa, pengacara, dan hakim, sehingga penundaan persidangan
merupakan hal biasa, serta penegak hukumnya kurang profesional dalam menangani
perkara kejahatan.
1.2.3. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
Tindak pidana transnasional atau kejahatan yang melintasi batas negara, meliputi:
1) dilakukan di lebih dari satu negara, 2) persiapan, perencanaan, pengarahan dan
pengawasan dilakukan di negara lain, 3) melibatkan organized criminal group dimana
kejahatan dilakukan di lebih satu negara, 4) berdampak serius pada negara lain.
Organized criminal group memiliki karakteristik yaitu: 1) memiliki struktur grup, 2) terdiri
dari 3 orang atau lebih, 4) dibentuk untuk jangka waktu tertentu, 5) tujuan dari kejahatan
adalah melakukan kejahatan serius atau kejahatan yang diatur dalam konvensi, 6)
bertujuan mendapatkan uang atau keuntungan materil lainnya. Kriteria kejahatan serius
(serious crime) berdasarkan UNCATOC yaitu: 1) ditentukan oleh negara yang
bersangkutan sebagai kejahatan (serius), dan 2) diancam pidana penjara minimal 4
tahun. Sementara itu, UNCATOC mensyaratkan suatu negara mengatur empat jenis
kejahatan yaitu: 1) peran serta dalam criminal organized criminal group, 2) money
laundering, 3) korupsi, dan 4) obstruction of justice (misalnya pemberian alat bukti
maupun kesaksian padahal tidak diminta), property, illicit arms trafficking, aircraft
hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in
persons, trade in human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy,
infiltration of legal business, corruption. Berdasarkan kriteria di atas belum terdapat jenis
kejahatan transnasional dimaksud, semua bentuk kejahatan yang dilaporkan adalah
konvensional yang dilakukan di Sumatera Selatan.
1.3. Rekomendasi Kebijakan
Penciptaan rasa aman dan damai dalam hidup bermasyarakat merupakan
kewajiban pemerintah/negara selaku lembaga yang mempunyai kekuasaan/kewenangan
dan perlengkapan untuk mewujudkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Alat
negara tersebut merupakan penegak hukum (seperti: kepolisian, kejaksaan, dan hakim
serta pengacara/advocad) mempunyai kewajiban untuk memelihara keamanan dan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-8
perdamaian serta kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana penjara/kurungan
(khusus hakim) kepada pelaku kejahatan. Untuk mengoptimalkan peran penegak hukum
tersebut diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan :
1. Perencanaan yang progresif dan responsif, kinerja pembangunan menjadi lebih
optimal, karena mengoptimalkan sumberdaya manusia, baik kepolisian, jaksa
maupun hakim perlu ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitas
2. Guna menunjang pelaksanaan perencanaan tersebut, maka diperlukan juga
kebijakan pendukung yang mengarah pada perbaikan sistem peradilan.
B. MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS
Agenda pembangunan mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis adalah
agenda pembangunan yang berlandaskan dasar negara Pancasila dan pencapaian tujuan
negara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai salah satu agenda pembangunan nasional, pencapaian tujuan dari agenda ini
tentu saja harus dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Untuk melihat sejauhmana
pencapaian pembangunan nasional dengan agenda mewujudkan Indonesia yang adil dan
demokratis diperlukan indikator-indikator sebagai alat ukur yang mampu mewakilkan
pencapaian agenda ini. Pada evaluasi kinerja pembangunan daerah, indikator yang
digunakan untuk mengukur pencapaian perwujudan Indonesia yang adil dan demokratis
dilakukan melalui indikator pelayanan publik dengan tiga indikator hasil (output) dan
indikator demokrasi yang diukur dari dua indikator hasil (output). Hasil pencapaian dari
indikator-indikator yang digunakan tersebut disajikan pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.3
berikut analisis yang menyertainya, serta rekomendasi kebijakannya.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-9
B.1. Indikator Pelayanan Publik
1.1. Capaian Indikator
Tabel 2.2.
Capaian Indikator Pelayanan Publik
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
100 96,30 83,00 96,00
97,70
97,90
Persentase jumlah kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap
- 14,30 21,40 43,00 57,00 66,67
Persentase kabupaten yang memiliki pelaporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
73 73 93 93 93 100
Sumber : BPS Sumatera Selatan dan BPMD Sumsel, 2009.
Berdasarkan data pada tabel di atas menunjukan perkembangan peningkatan
yang cukup baik, terutama persentase penanganan tindak pidana korupsi, yaitu hampir
semua kasus yang dilaporkan ditangani atau diproses. Hal ini disebabkan oleh karena
program pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam sepuluh tahun
terakhir dan adanya desakan masyarakat untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Demikian juga halnya dengan persentase peningkatan penerbitan Peraturan Daerah
tentang pelayanan satu pintu terus meningkat. Hal ini disebabhkan oleh adanya program
pemerintah tentang peningkatan investasi baik dalam negeri maupun investor asing
melalui perbaikan sistem perizinan dan menghilangkan biaya tinggi. Dengan terbentuk
sistem perizinan satu pintu akan meningkatan jumlah investasi dan akan menghilangkan
biaya tinggi yang memberatkan investor. Sedangkan persentase pemerintah memiliki
pelaporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) juga terus meningkat. Hal ini disebabkan
oleh peraturan perundang-undangan yang mewjibkan bahwa setiap pemerintah
diwajibkan membuat laporan keuangan setiap tahun dengan baik dan benar, ternyata
untuk kabupaten dan kota di Provinsi sumatera Selatan telah diselaksanakan hampir
seluruh kabupaten dan kota yang memiliki predikat WDP (Wajar Dengan Pengecualian).
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-10
1.2. Analisis Pencapaian Indikator
1.2.1. Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani Dibandingkan dengan yang Dilaporkan
Gambar 2.3. Grafik Pencapaian Indikator Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani
Dibandingkan dengan yang Dilaporkan
Salah satu wujud dari sistem pemerintahan yang baik adalah suatu pemerintahan
yang memperhatikan dan responsif terhadap kehendak aspirasi masyarakat serta
melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut aspek
kepentingan masyarakat (kebijakan publik) baik yang diambil dalam forum legislatif
maupun eksekutif atau secara bersama-sama (kemitraaan sejajar) diantara kedua
institusi tersebut. Disamping itu lemahnya penguasaan subtansi kepemerintahaan yang
baik dari kalangan anggota dewan juga menyebabkan belum optimalnya fungsi legislasi,
pengawasan dan penganggaran secara optimal termasuk juga kapasitas pemerintahan
daerah pada umumnya masih rendah dengan ditandai oleh sebagai berikut: (1) masih
terbatasnya ketersediaan sumberdaya aparatur baik jumlah maupun kualitasnya; (2)
masih terbatasnya ketersediaan sumber-sumber pembiayaan yang memadai, baik yang
berasal dari kemampuan daerah (internal) maupun sumber-sumber dana dari luar daerah
(eksternal) dan terbatasnya kemampuan dalam pengelolaannya; (3) belum tersusunnya
kelembagaan perangkat daerah yang efektif; (4) belum terbangunnya sistem dan regulasi
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-11
tentang aparatur pemerintah daerah yang jelas dan tegas; (5) terbatasnya informasi
pembangunan kepada masyarakat dan adanya pertanggungjawaban pemerintah
terhadap pengelolaan keuangan pemerintah yang dilakukan secara transparansi.
Berdasarkan data yang terkumpul bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir
(2004-2009) terdapat perkembangan yang cukup baik, terutama penanganan terhadap
pencari keadilan dan penanganan kasus korupsi, dimana terdapat peningkatan
penanganan yang setiap tahun rata-rata 90% lebih, namun masih banyak putusan akhir
tidak menjatuhkan hukuman atau putusan bebas terhadap tersangka korupsi atau
putusan yang tidak seimbang dengan perbuatannya. Bila diuraikan secara rinci, maka
grafik pada Gambar 2.3 menunjukkan bahwa persentase jumlah kasus korupsi yang
tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan pada setiap tahunnya selama kurun
waktu 2004-2009 menunjukkan presentase penanganan yang cenderung berfluktuasi
setiap tahunnya. Tahun 2004 sampai 2006 menunjukkan penurunan, namun mulai tahun
2007 hingga tahun 2009 menunjukkan trend yang menggembirakan karena presentase
jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan menunjukkan
peningkatan hingga 97,90% di tahun 2009.
1.2.2. Persentase Jumlah Kabupaten/Kota yang Memiliki Peraturan Daerah
Pelayanan Satu Atap
Provinsi Sumatera Selatan termasuk pemerintah daerah yang cukup tanggap
menjalankan program pemerintah pusat tentang sistem pelayanan satu atap atau pintu,
dimana kabupaten/kota telah mulai membentuk dan membangun sistem pelayanan satu
pintu dengan diiringi menerbitkan peraturan tentang pelayanan satu pintu, sebagaimana
dijelaskan pada Gambar 2.4.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-12
Gambar 2.4. Grafik Pencapaian Indikator Persentase Jumlah Kabupaten/ Kota yang Memiliki Peraturan
Daerah Pelayanan Satu Atap
Berdasarkan grafik di atas menunjukan bahwa sistem pelayanan satu atap/pintu
merupakan salah satu indikator untuk meningkatkan jumlah investasi atau merupakan
daya tarik bagi investor, karena selama ini yang dirasakan para investor yang akan
menanamkan modalnya di Indonesia berokrasi perizinan sangat panjnag dan rumit serta
biaya tinggi, sehingga investor enggan mengembangkan bisnis di Indonesia. Dengan
adanya kebijakan perizinan terpadu satu atap/pintu dari pemerintah pusat, maka
pemerintah daerah diwajibkan menjalankan kebijakan tersebut dan harus menerbitkan
Perda sebagai aturan pelaksana UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pelayanan satu atap (one stop service) adalah kegiatan penyelenggaraan suatu
perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan sebagian
wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan dari lembaga atau
instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses
pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen
dilakukan dalam satu pintu dan atau satu atap.
Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 2.4 terlihat bahwa kegiatan
pelayanan publik terutama pembentukan pelayanan satu pintu setiap tahun terus
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-13
meningkat, dimana hampir setiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan telah
mendirikan unit/badan pelayanan satu pintu yaitu ada peningkatan setiap tahun lebih
kurang bertambah 10%-15%. Keberadaan kegiatan pelayanan satu pintu ini dimulai
tahun 2005 dengan Kabupaten Musi Banyuasin sebagai pelopor, yang selanjutnya terus
diikuti oleh kabupaten lainnya. Hingga tahun 2009 sebanyak 66,67% (10
kabupaten/kota) di Provinsi Sumatera Selatan yang telah melakukan kegiatan pelayanan
Publik dengan metoda satu pintu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran aparat
untuk memberikan pelayanan kepada publik secara optimal dan efisien semakin
meningkat. Hal ini dikarenakan tujuan dari penyelenggaraan pelayanan satu pintu ini
adalah :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan publik
2. Memberikan akses yang lebih luas lepada masyarakat untuk memperoleh
pelayanan publik
3. Menyederhanakan proses pengurusan perizinan dan non perizinan yang
terkait dengan kegiatan
4. Mempercepat proses pengurusan perizinan dan non perizinan
5. Memberikan informasi yang rinci dan jelas
Makin meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang menerapkan pelayanan satu
pintu dapat diartikan bahwa semakin meningkat juga keinginan dari kabupaten/kota
melalui infrastrukturnya mencapai tujuan penerapan pelayanan satu pintu seperti yang
diuraikan di atas. Namun demikian peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerapkan
ini tentu saja diharapkan juga diikuti dengan peningkatan perbaikan perangkat, sistem dan
infrastrukturnya yang terkait dengan peningkatan pelayanan satu atap tersebut.
1.2.3. Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Pelaporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa hampir semua kabupaten dan kota di provinsi
Sumatera Selatan menjalankan pelaporan akuntasi keuangan pemerintah, dimana
sebagian besar telah mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), ini
menunjukan bahwa ada perbaikan kinerja keuangan di kabupaten dan Kota di Provinsi
sumatera selatan dan kondisi ini dalam lima tahun terakhir terus meningkat jumlah
mendapatkan predikat WTP sebagaimana tertera pada gambar di bawah ini.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-14
Gambar 2.5. Grafik Pencapaian Indikator Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Pelaporan Wajar
Dengan Pengecualian (WDP)
Persentase Instansi (SKPD) Kabupaten yang memiliki pelaporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
73 73 73
93100
0
20
40
60
80
100
120
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
tase Persentase Instansi (SKPD)
Kabupaten yang memilikipelaporan Wajar DenganPengecualian (WDP)
Berdasarkan gambar di atas menunjukan bahwa persentase kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki predikat Wajar Dengan Pengecualian dalam
lima tahun terakhir terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti bahwa
pengelolaan keuangan yang baik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah daerah untuk menghindari tindak pidana korupsi dan optimalisasi APBD agar
sesuai dengan kinerja pemerintah dan sesuai dengan tujuan perencanaan yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan pendek serta Renstra. Selain itu
kegiatan pengelolaan keuangan sesuai dengan sistem anggaran berbasis kinerja yaitu
penggunaan keuangan sesuai dengan program kerja yang telah disusun dalam Renstra
Pemerintah daerah dan Kota. Oleh karena itu, pada saat laporan keuangan diperiksa BPK
dapat predikat WDP
Dari hasil laporan keuangan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
Selatan sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap tahunnya terus
terjadi peningkatan terhadap jumlah kabupaten/kota yang mendapat predikat ”Wajar
Dengan Pengecualian” (WDP). Pada tahun 2004 dari 14 kabupaten/kota yang mendapat
predikat WDP berjumlah 11 (79%) kabupaten/kota, sedangkan 3 (tiga) kabupaten belum,
seperti Oku Selatan, OKU Timur, dan OKU, karena OKU Selatan dan Timur serta
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-15
Kabupaten OKU baru dilakukan pemekaran kabupaten baru (OKU Selatan dan OKU
Timur) sehingga belum dapat dinilai laporan keuanganya. Pada tahun 2005, terdapat 10
Kabupaten/Kota yang mendapat WDP (71%), sedangkan 4 (empat) kabupaten mendapat
predikat ”Tidak Memberikan Pendapat” (TMP) yaitu Kabupaten Bayuasin, Kabupaten
Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten OKU Selatan. Tahun 2007-
2009 terdapat peningkatan yang sangat baik yaitu semua kabupaten/kota hasil
pemeriksaan BPK mendapat predikat WDP. Hal ini berarti selama tiga tahun terakhir
menunjukan perkembangan yang sangat baik dalam pengelolaan keuangan pemerintah
daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan. Faktor pendukung sehingga semua
kabupaten/kota mendapat predikat WDP adalah adanya keseriusan Pemda/Pemkot
dalam pengelolaan anggaran, telah adanya auditor intern dan adanya peningkatan
kuantitas dan kualitas auditor intern Pemda.
1.3. Rekomendasi Kebijakan
Perjuwudan rasa keadilan dan demokratis sangat berkaitan dengan pelayanan
publik pada masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapat keadilan dalam
berbagai kegiatan, seperti dalam proses peradilan, pelayanan publik dan keterbukaan
dalam pengelolaan anggaran belanja pemerintah daerah. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan rasa keadilan dan demokrasi tersebut, maka diperlukan kebijakan yang
mengarah pada :
1. Peningkatan peranan pemerintah dalam optimalisasi penyelesaian tindak pidana
2. Pembentukan unit/badan pelayanan terpadu satu pintu disetiap kabupaten/
3. Peningkatan transparansi pengelolaan keuangan pemerintah daerah dengan
menerbitkan Peraturan Daerah tentang Transparansi (Keterbukaan) informasi. Hal
ini penting untuk mengantisipasi perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat
atau pegawai yang ditugas pada pelayanan publik, pelaksana anggaran dan
penegak hukum yang memproses tindak pidana korupsi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-16
B.2. Indikator Demokrasi
2.1. Capaian Indikator
Tabel 2.3. Capaian Indikator Gender Development Index dan Gender Empowerment Meassurement
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Index (GDI)
55,50
58,50
59,2
59,7
59,8
63,8
Gender Empowerment Meassurement (GEM)
56,90 56,10 56,3 56,8 57,2 63,4
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
Pencapaian nyata dalam kesetaraan gender adalah dengan melihat seberapa jauh
upaya pemberdayaan terhadap perempuan, khususnya peningkatan peranan perempuan
dalam proses pembangunan. Capaian keberhasilan dalam pemberdayaan perempuan
dalam kurun waktu 2005-2009 hanya pada tahap penguatan dan sosialisasi.
Oleh karena itu, capaian seberapa besar Indeks Pemberdayaan Gender yang
dicapai daerah, mengalami kesulitan mendapatkan datanya, yang ada data kuantitatif
tahun 2004 dan 2005 dengan capaian indeks pembangunan gender sebesar 55,5
persen dan 58,6 persen dan meningkat menjadi 63,8 pada tahun 2009.
2.2. Analisis Pencapaian Indikator
2.2.1. Gender Development Index (GDI)
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-17
Gambar 2.6. Grafik Pencapaian Indikator Gender Development Index (GDI)
Pencapaian nyata dalam kesetaraan gender adalah dengan melihat seberapa jauh
upaya pemberdayaan terhadap perempuan, khususnya peningkatan peranan perempuan
dalam proses pembangunan. Capaian keberhasilan dalam pemberdayaan perempuan
dalam kurun waktu 2005-2009 hanya pada tahap penguatan dan sosialisasi. Oleh karena
itu, capaian seberapa besar Indeks Pemberdayaan Gender yang dicapai daerah belum
nampak data kuantitatifnya. Dari grafik pencapaian indikator yang disajikan pada Gambar
2.7 tersaji data kuantitatif tahun 2004 dan 2005 dengan capaian indeks pembangunan
gender sebesar 55,5 persen dan 58,6 persen dan meningkat menjadi 63,8 pada tahun
2009.
Sasaran pembangunan gender secara umum adalah peningkatan kualitas
kehidupan dan peran perempuan, adanya kesadaran, kepekaan dan kepedulian gender
dalam masyarakat di setiap aspek pembangunan, meningkatnya kesejahteraan
perempuaan, menurunnya kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, terjaminnya
keadilan gender dalam setiap proses kebijakan di semua tingkat pemerintahan serta
penegakan hukum.
Relevansi sasaran pembangunan dalam upaya pembangunan berwawasan
gender belum secara optimal diimplementasikan dalam kehidupan. Masih rendahnya
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-18
kualitas hidup dan peran perempuan terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi dan politik. Peran dan kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan
masih tertinggal dibandingkan laki-laki, karena pemahaman masyarakat dan program
pembangunan yang kurang peka terhadap gender. Keterlibatan perempuan dalam
jabatan publik juga masih rendah dan peranannnya dalam pengambilan keputusan
terutama bagi nasib perempuan itu sendiri belum optimal.
Efektifitas dalam pembangunan gender masih relatif rendah, hal ini dapat dilihat
dari masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan
masyarakat. Data kekerasan perempuan dalam rumah tangga tahun 2007 sebanyak 190
kasus atau 66,67 persen, kasus trafficing sebanyak 40 kasus dan pemerkosaan sebanyak
32 kasus. Data tahun 2009 mengalami kenaikan khususnya data kasus pemerkosaan
sebanyak 70 kasus. Kasus pemerkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, yaitu antara
ayah dengan anak perempuannya (incest). Kasus ini cenderung tidak diteruskan ke
pengadilan dengan alasan merupakan aib keluarga, sehingga diselesaikan secara
kekeluargaan.
Ada anggapan kekerasan dalam keluarga merupakan domain keluarga, bukan
menjadi urusan publik. Faktor yang mendorong kekerasan terhadap perempuan
dianggap sebagai urusan rumah-tangganya sendiri. Lemahnya kelembagaan dan jaringan
Pengarus Utamaan Gender termasuk di dalamnya mengenai ketersediaan data
mengenai lembaga atau individu yang berkomitmen dalam perlindungan perempuan.
Lemahnya PUG juga dapat dilihat dari hubungan pendidikan terhadap perempuan dan
banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, dan
diskriminatif terhadap perempuan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-19
2.2.2. Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Gambar 2.7. Grafik Pencapaian Indikator Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Data indikator GEM yang disajikan pada Gambar 2.7 menunjukkan tren pada
tahun 2004-2007 cenderung berfluktuasi dengan angka yang relatif berbeda tipis diangka
56. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan nilai GEM menjadi 57,2 dan terus meningkat di
tahun 2009 menjadi 63,4. Peningkatan angka nilai GEM karena ada peningkatan
indikator persentase wanita pekerja profesional dan wanita dalam angkatan kerja.
Namun demikian, kenyataannya dalam kehidupan terlihat bahwa kualitas hidup
dan peran perempuan terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik
masih tergolong rendah. Peran dan kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan
masih tertinggal dibandingkan laki-laki, karena pemahaman masyarakat dan program
pembangunan yang kurang peka terhadap gender. Keterlibatan perempuan dalam
jabatan publik juga masih rendah dan peranannnya dalam pengambilan keputusan
terutama bagi nasib perempuan itu sendiri belum optimal.
Jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan saja belum memenuhi kuota
30%. Dari sejumlah 616 orang anggota dewan hanya ada 5 % saja anggota dewan yang
berjenis kelamin perempuan. Kecuali PNS yang ratio antara laki-laki dan perempuan
relatif lebih besar PNS perempuan, namun dari segi menduduki jabatan, jumlah PNS laki-
laki justru yang banyak menduduki jabatan penting daripada perempuan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-20
Adanya kebutuhan ekonomi dan pertumbuhan industri yang semakin pesat,
mengharuskan perempuan untuk memasuki lapangan pekerjaan. Di pedesaan peranan
perempuan dalam menopang kelangsungan hidup keluarganya dan perekonomian desa
sangat besar, baik sebagai petani maupun sebagai pedagang kecil di pasar tradisional
dan pedagang keliling. Studi lapangan menunjukkan bahwa banyak pengusaha
perempuan yang mandiri dalam mengelola usahanya, baik usaha skala kecil maupun
usaha skala menengah.
2.3. Rekomendasi Kebijakan
Secara normatif kaum perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan
yang sama dengan kaum laki-laki di segala bidang, demikian pula keterlibatan dan
tanggung jawab dalam pembangunan dan tuntutan untuk berperan serta dalam
pembangunan. Namun demikian, masih relatif rendah peran, kedudukan, tanggung jawab
dan penghargaan yang diberikan kepada perempuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari data
kondisi di beberapa bidang dan sektor di Sumatera Selatan.
Perempuan merupakan sumberdaya potensial yang harus dikembangkan secara
maksimal, sehingga dapat berperan dalam proses di berbagai bidang pembangunan.
Untuk itu diperlukan beberapa kebijakan sebagai berikut :
1. Dalam upaya mempercepat proses pembangunan hendaknya pemerintah daerah
membuat kebijakan yang isinya bertujuan memberikan perhatian pada
peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan.
2. Dalam upaya peningkatan peran perempuan, hendaknya setiap perencanaan
pembangunan yang responsif gender, sebagai upaya mengatasi ketimpangan
gender. Adanya perencanaan yang responsif, kinerja pembangunan menjadi lebih
optimal, karena mengoptimalkan sumber daya manusia baik perempuan maupun
laki-laki akan meningkatkan produktifitas. Berarti apabila pembangunan
mengikutsertakan perempuan dan laki-laki dalam setiap proses dan tahapan,
maka implementasi pembangunan akan melaju dengan kekuatan sempurna.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-21
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pembangunan yang dilakukan
di Indonesia merupakan agenda pembangunan yang pengukuran keberhasilannya
menggunakan paling banyak indikator dibandingkan agenda pembangunan lainnya. Hal
ini tentu saja terkait dengan kompleksnya usaha yang harus dilakukan sebagai tolak ukur
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam evaluasi ini, terdapat 11 indikator
yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dengan agenda
meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti yang tersaji dalam uraian berikut ini.
C.1. Indikator Indeks Pembangunan Manusia
1.1. Capaian Indikator
Tabel 2.4.
Capaian Indikator Indeks Pembangunan Manusia
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia 69,60
72,20
71,09
71,40
72,05
72,53
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
Tren capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cenderung meningkat dari
tahun 2004 sampai tahun 2007, meskipun peningkatannya relatif rendah. Begitu juga tren
tahun 2008 sampai 2009 tidak jauh berbeda. Dilihat dari derajat kesehatan, nampaknya
tahun 2009 angka harapan hidup warga Sumatera Selatan rata-ratanya mencapai 70
tahun lebih, ini menunjukkan kapabilitas penduduk yang lebih baik. Hal ini juga
menunjukkan penurunan angka kematian bayi dan angka kematian ibu serta kondisi
kesehatan masyarakat yang baik. Namun rata-rata lama sekolah yang masih relatif
rendah atau belum tercapainya pendidikan dasar (wajib belajar 9 tahun). Dari 15
Kota/Kabupaten di Sumatera Selatan, hanya Kota Palembang yang telah memenuhi wajib
belajar 9 tahun. Selain itu untuk melihat keberhasilan program pendidikan dengan melihat
Angka Partisipasi Sekolah. Perkembangan Angka Partisipasi Sekolah disajikan pada tabel
2.5. dibawah ini.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-22
Tabel. 2.5. Angka Partisipasi Sekolah Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2004 - 2009
di Sumatera Selatan
No. Tahun Umur
7 - 12 13 - 15 16 - 18
1. 2004
95,75 80,65 50,32
2. 2005
96,44 81,49 51,21
3. 2006
96,84 83,43 52,77
4. 2007
97,36 84,32 53,71
5. 2008
97,89 84,95 54,84
6. 2009
98,43 85,59 55,96 Sumber : BPS - Sumsel
1.2. Analisis Pencapaian Indikator
1.2.2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Gambar 2.8. Grafik Pencapaian Indikator Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia
69.6 72.2 71.09 71.4 72.05
95.75 96.44 96.84 97.36 97.89
80.65 81.49 83.43 84.32 84.95
50.32 51.21 52.77 53.71 54.84
0
20
40
60
80
100
120
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Per
sen
tase
Indeks PembangunanManusia
Umur 7- 12 Tahun
Umur 13-15 tahun
Umur 16-18 Tahun
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-23
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menggambarkan capaian kinerja
pembangunan manusia di suatu wilayah. Kemajuan pembangunan sangat tergantung dari
komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar
penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Indeks Pembangunan
Manusia Sumatera Selatan ada kecenderungan meningkat selama kurun waktu dari 2004
sampai tahun 2009. Meskipun peningkatan kurang tajam, kemungkinan disebabkan oleh
dampak pemekaran daerah, sehingga pembangunan lebih diutamakan untuk memenuhi
infrastruktur perkantoran dan infrastruktur pendukungnya.
Indeks Pembangunan Manusia juga menjadi indikator kondisi dan mutu
sumberdaya manusia di Sumatera Selatan jika dikaitkan dengan tingkat kualitas
pendidikan formal rata-ratanya relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari indikator rata-rata
lama sekolah penduduk tahun 2005 sebesar 7,6 menjadi 7,7 pada tahun tahun 2007 dan
menjadi 8,1 tahun pada 2009. Ini artinya rata-rata pendidikan penduduk Sumatera Selatan
hanya sampai kelas 9 atau setingkat kelas 3 SLTP, belum memenuhi kebijakan Program
Wajib Belajar 9 tahun.
Selain itu untuk melihat keberhasilan program pendidikan dengan melihat Angka
Partisipasi Sekolah. Nampaknya tren APS setiap tahunnya mengalami peningkatan,
namun peningkatannya relatif kecil, kecuali untuk umur 16 – 18 tahun. Dalam kaitan
dengan deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) mentargetkan tahun 2015
pencapaian pendidikan dasar bagi semua anak laki-laki maupun perempuan sudah dapat
tuntas atau tercapai. Dengan demikian perlu dukungan pemerintah daerah untuk
meningkatkan kualitas manusia dengan meningkatkan anggaran pendidikan.
1.3. Rekomendasi Kebijakan
Paradigma penanggulangan kemiskinan harus dirubah menjadi paradigma bahwa
persoalan kemiskinan menjadi persoalan bersama dan multi pihak. Implikasi dari
pemikiran tersebut mendorong dalam mengimplementasikan program dan kegiatan
terhadap kurangnya keberhasilan penanggulangan kemiskinan antara lain: program
penanggulangan kemiskinan kurang berbasis pada warga miskin, posisi warga miskin
ditempatkan hanya sebagai obyek program, kesempatan untuk melibatkan warga miskin
dalam proses pengambilan keputusan dari mulai perencanaan program, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi cenderung diabaikan dan cenderung bersifat elitis, dalam
menyusun perencanaan maupun pelaksanaan program masih cenderung sektoral,
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-24
menentukan kriteria miskinpun masih sendiri-sendiri, berjalan sendiri-sendiri antar SKPD,
maupun pemerintah dengan LSM, dunia usaha dan kelompok peduli lainnya. Belum
terjadinya integrasi program dalam penanggulangan kemiskinan, yang dilakukan lebih
pada kegiatan karitatif sehingga cenderung tidak memandirikan masyarakat miskin.
Paradigma penanggulangan kemiskinan dilakukan secara sinergis dengan
menempatkan masyarakat miskin sebagai pelaku, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta manajemen pengendalian dalam keberlanjutan hasil
pembangunan.
Dampak pengangguran adalah tingkat angka kriminalitas mengalami kenaikan,
seperti meningkatnya tindak kejahatan pencurian, meskipun masih dalam kewajaran,
dalam pengertian tidak sampai meresahkan masyarakat dalam skala luas. Penyebab
pengangguran adalah ada kecenderungan bahwa arah pembangunan yang lebih menitih
beratkan pada bidang ekonomi saja, sehingga ukurannya adalah produktivitas dan
menggunakan teknologi tinggi dan padat modal, dan ada kecenderungan pengembangan
ekonomi tidak memiliki efek multiplier yang luas, sehingga akibatnya penyerapan tenaga
kerja relatif rendah. Oleh karena itu, kedepan arah kebijakan ketenagakerjaan diarahkan
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, dengan menciptakan investasi baru, menekan
laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan pembangunan sosial atau peningkatan
usaha kesejahteraan masyarakat.
Indeks Pembangunan Manusia setidaknya mencerminkan adanya pemanfaatan
hasil pembangunan ekonomi dan sosial yang dapat dinikmati seluruh penduduk Sumatera
Selatan. Dengan demikian, tinggi rendahnya IPM sebagai ukuran tingkat kesejahteraan
dan kualitas penduduknya. Implikasi dari rendahnya IPM akan berdampak pada
rendahnya investasi modal asing ke Indonesia, karena faktor rendahnya pendidikan.
Kendala utama peningkatan angka IPM adalah keterbatasan anggaran untuk
memenuhi hak dasar pendidikan warga masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk meningkatkan dan
memenuhi hak dasar warganya, dengan meningkatkan anggaran belanja untuk bidang
pendidikan dan kesehatan dan dilakukan secra konsisten dan berkelanjutan .
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-25
C.2. Indikator Pendidikan
2.1. Capaian Indikator
Kualitas masyarakat di Sumatera Selatan diukur dari pendidikan formal yang
ditamatkan penduduk relatif rendah, hanya pada tingkat pendidikan menengah, meskipun
angka melek huruf sudah mencapai 96,75 persen. Angka partisipasi murni berdasarkan
jenjang pendidikan tahun 2004 sampai tahun 2009, untuk tingkat pendidikan dasar,
khususnya sekolah dasar trennya cenderung naik, sedangkan untuk pendidikan setingkat
sekolah lanjutan pertama, trennya mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 persentase
APM naik dibandingkan pada tahun 2004, namun mengalami penurunan pada tahun
2006, dan pada tahun 2007 hampir tidak mengalami perubahan. Pada tahun 2008 dan
2009, mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Sedangkan angka partisipasi kasar pada tingkat pendidikan sekolah dasar
sederajat relatif tinggi telah mencapai angka 100 persen lebih sejak tahun 2004 sampai
tahun 2009, ini menunjukkan ada penduduk masuk sekolah dasar sebelum berumur 6
tahun. Disamping itu masih tingginya angka putus sekolah pada tingkat SD, SLTP
maupun SLTA, namun tahun 2009 sudah kurang dari 1 persen.
Tabel 2.6.
Capaian Indikator Pendidikan
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
87,18
89,16
93,01
92,69
93,10
94,05
Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
100,32 100,96 102,50 103,12 103,80 104,70
Rata-rata nilai akhir SMP/MTs 4,53 5,80 5,80 5,80 6,41 6,44Rata-rata nilai akhir SMA/SMK/MA 5,32 5,69 6,03 6,59 6,70 6,75Angka Putus Sekolah SD 0,93 0,90 0,84 0,74 0,65 0,45Angka Putus Sekolah SMP/MTs
1,67 1,63 1,60 1,45 1,15 0,86
Angka Putus Sekolah Menengah
1,42 1,31 1,25 1,16 1,16 1,04
Angka melek aksara 15 tahun keatas
95,70 95,90 96,03 95,59 96,66 96,75
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs 79,82 79,76 73,21 62,72 66,77 65,59Persentase jumlah guru yang layak mengajar di SMA
65,22 65,38 70,44 72,7 81,82 80,17
Sumber : BPS Sumsel dan Diknas Provinsi Sumatera Selattan, 2009
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-26
Indikator keberhasilan dari bidang pendidikan ini sifatnya relatif, disamping adanya
peningkatan, angka partisipasi sekolah, menurunnya buta aksara, tetapi juga ada bidang-
bidang yang perlu ditingkatkan, seperti program Wajib Belajar 9 tahun nampaknya masih
belum menjangkau sepenuhnya ke masyarakat. Persentase angka melek huruf penduduk
usia 15 tahun ke atas setiap tahunnya mengalami peningkatan dari tahun 2004 sampai
tahun 2006, namun tahun 2007 mengalami penurunan, dan tahun 2008 sampai 2009
mengalami kenaikan, tetapi persentase kenaikan setiap tahunnya relatif rendah. Hal ini
dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah pada jenjang tingkat sekolah dasar, yang
belum mencapai 100 persen setiap tahunnya.
2.2. Analisis Pencapaian Indikator 2.2.1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
Gambar 2.9.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
APM merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan MDGs dalam mengukur
pencapaian kesetaraan gender dibidang pendidikan. APM mengukur proporsi anak yang
bersekolah tepat waktu, yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan yaitu SD
untuk penduduk usia 7-12 tahun, SMP untuk penduduk usia 13-15 tahun,dan SMA untuk
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-27
penduduk usia 16-18 tahun. Pada jenjang pendidikan SD yang trend perkembangannya
digambarkan pada Gambar 2.9, capaian APM SD/MI di Sumatera Selatan untuk periode
tahun 2004-2006 menunjukkan peningkatan hingga 93,01 persen di tahun 2006. Namun
kemudian menurun di tahun 2007 dan kembali meningkat di tahun 2008 dan tahun 2009
bahkan lebih baik dari periode tahun 2004-2006. Dari capaian tersebut diketahui bahwa
tidak ada perbedaan pencapaian yang signifikan antara anak laki-laki dan anak
perempuan.
2.2.2. Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
Gambar 2.10. Grafik Pencapaian Indikator Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
Angka Partisipasi Kasar (SD/MI)
100.32100.96
102.5103.12
103.8
104.7
98
99
100
101
102
103
104
105
106
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Per
sen
tase
Angka PartisipasiKasar (SD/MI)
Indikator yang lain yang sering digunakan untuk mengukur pencapaian kesetaraan
gender pada bidang pendidikan adalah Angka Partisipasi Kasar (APK). APK menurut ”The
UN Guidelines Indicators for Monitoring the Millenium Development Goals”, angka ini lebih
baik daripada perbandingan jumlah absolute murid laki-laki dan perempuan. APK
diperlukan karena adanya perbedaan yang relatif besar antara jumlah penduduk
perempuan dan laki-laki, sehingga rasio jumlah siswa saja belum dapat menggambarkan
kesetaraan dan keadilan gender. APK juga digunakan, mengingat masih tingginya siswa
berusia lebih tua dari kelompok usia yang semestinya (overage), sehingga APM di tingkat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-28
SD, lebih rendah dibandingkan dengan APK. Gambar 2.10 menunjukkan bahwa APK
pada tingkat SD di Sumatera Selatan dalam kurun waktu 2004 - 2009 menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat yang kesemuanya berada pada angka di atas 100
persen. Melihat angka-angka tersebut dapat menjelaskan bahwa program wajib belajar 6
tahun telah di Sumatera Selatan telah tercapai, meskipun program wajib belajar 9 tahun
belum tercapai sepenuhnya di seluruh wilayah.
2.2.3. Rata-Rata Nilai Akhir SMP/MTs
Data yang disajikan pada Tabel 2.5 menunjukkan bahwa rata-rata nilai akhir
SMP/MTs di Sumatera Selatan dalam kurun waktu 2004-2009 menunjukkan
kecenderungan meningkat meskipun di tahun 2005-2007 tidak terjadi peningkatan namun
juga tidak terjadi penurunan, bertahan di angka yang sama yaitu 5,80. Tahun 2008 terjadi
peningkatan menjadi 6,41 dan di tahun 2009 kembali meningkat walaupun dengan nilai
peningkatan hanya 0,04 dari tahun sebelumnya, namun peningkatan itu tetap menjadi
satu kondisi yang menggembirakan karena mampu menjadi salah satu indikator
keberhasilan bidang pendidikan tingkat SMP/MTs di Sumatera Selatan. Oleh karena
letak geografis beberapa daerah di Sumatera Selatan yang merupakan perairan dan
terpencil, sehingga pada daerah yang kondisinya seperti tersebut ada kecenderungan
mempunyai nilai-nilai rata-rata yang lebih rendah daripada nilai diperkotaan. Namun
demikian, justru nilai tertinggi ujian negara tahun ajaran 2009/2010 yang lalu berasal dari
daerah, yaitu Kayuagung. Hambatan utama pendidikan pada tingkat SLTP pada
umumnya adalah jumlah sekolah yang belum merata, khususnya di daerah perairan dan
daerah terpencil.
2.2.4. Rata-rata Nilai Akhir SMA/SMK/MA
Rata-rata nilai akhir SMA/SMK/MA di Provinsi Sumatera Selatan seperti yang
disajikan pada Tabel 2.5 menunjukkan perkembangan nilai akhir yang terus meningkat
dan cenderung lebih baik setiap tahunnya selama kurun waktu 2004-2009. Dimulai tahun
2004, rerata nilai akhir SMA/SMK/MA di Sumatera Selatan berada pada angka 5,32,
kemudian meningkat di tahun 2005 menjadi 5,69 hingga tahun 2009 sudah berada di
angka 6,75. Peningkatan ini menunjukkan semakin tingginya perhatian pihak pelaksana
sekolah terhadap kualitas pendidikan siswanya serta juga meningkatnya kesadaran para
siswa untuk terus memperbaiki diri. Hal ini terlihat dari perkembangan sistem belajar di
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-29
sekolah, dimana setelah siswa berada di kelas akhir, rerata sekolah memberikan jam
tambahan untuk menambah pengetahuan siswa disamping sering mengadakan try out
untuk melatih siswa agar terlatih mengerjakan ujian akhir. Selain itu, semakin
menjamurnya lembaga-lembaga kursus (bimbingan belajar) turut memberikan sumbangan
dalam membantu siswa meningkatkan kualitas dirinya. Standar kelulusan yang dibuat
pemerintah setiap tahunnya juga turut memmacu motivasi siswa untuk tekun belajar agar
mampu melewati angka standar kelulusan yang telah dibuat tersebut.
2.2.5. Angka Putus Sekolah SD, SMP/MTs dan Sekolah Menengah
Angka putus sekolah di pada tingkat Sekolah dasar dari tahun 2004 - 2009
cenderung rata-ratanya kurang dari 1 persen. Trendnya cenderung menurun, meskipun
jika dilihat per daerah kabupaten/kota, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir angka putus
sekolah tingkat SD tertinggi yaitu 1,16 persen.
Namun untuk tingkat sekolah lanjutan menengah (SMP/MTs) dan atas (SMU) nilai
rata-ratanya masih di atas 1 persen. Meskipun pada tahun 2009 untuk tingkat SMP/PTs
sudah menurun menjadi 0,86 persen. Apabila dilihat angka putus sekolah per daerah
kabupaten/kota tingkat sekolah menengah atas masih ada yang di atas 2 persen.
Penyebab anak putus sekolah bervariasi, disamping faktor internal pada si anak dan
keluarganya dan faktor eksternal atau lingkungan. Faktor ekonomi keluarga bukan faktor
penyebab utama anak putus sekolah.
Ada perbedaan mendasar anak putus sekolah di wilayah perairan dan daerah
perkebunan (perkebunan sawit dan karet). Angka putus sekolah di tingkat sekolah dasar
di daerah perairan, seperti di Kecamatan Cengal Kabupaten Ogan Komering Ilir, angka
putus sekolah yang paling banyak, yaitu 553 anak pada tahun 2008/2009. Ketika
ditelusuri apa penyebab anak putus sekolah, ternyata sebagian orang tua memandang
dari segi ekonomi bahwa sekolah bukan jaminan hidup untuk masa depan. Karena
beberapa orang kaya dan terpandang di wilayah tersebut ternyata tidak lulus sekolah
dasar, tetapi secara ekonomi mampu. Justru beberapa anak yang telah lulus tingkat
sekolah menengah dan perguruan tinggi tidak atau belum bekerja. Hal ini dijadikan ukuran
bahwa sekolah kurang menjanjikan masa depan dilihat dari segi ekonomi.
Hal serupa juga ditemui pada beberapa anggota warga di daerah pinggiran
perkotaan, seperti Kecamatan Selangit di Kabupaten Musi Rawas. Oleh karena beberapa
lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang menganggur, dijadikan alasan
untuk tidak perlu menyekolahkan anak.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-30
Beberapa daerah yang sebagian besar mata pencaharian dari kebun karet
maupun pertanian, memandang sekolah sebagai hal penting tetapi membantu orang tua
juga merupakan kewajiban anak pada orang tua. Oleh karena itu, pada warga yang
bermatapencaharian tersebut, a kan mensyekolahkan anaknya pada siang hari, selepas
anak membantu pekerjaan orang tuanya di kebun pada pagi hari. Berbeda halnya dengan
beberapa daerah yang dekat dengan wilayah perkebunan sawit, karena ada kesempatan
bekerja sehingga anak lebih memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolah.
Sedangkan di wilayah perairan, karena kondisi jarak sekolah dengan tempat
tinggal yang melewati sungai, sehingga anak tidak sekolah. Ada kecenderungan di
wilayah perairan anak tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan SMP, karena jaraknya
jauh dan kesulitan transportasi.
Namun secara umum, bahwa kesadaran orangtua terhadap pentingnya
pendidikan masih relatif rendah. Hal ini cenderung pada orangtua yang pendidikan rendah
atau tidak tamat sekolah dasar. Anggapan mereka bahwa membantu pekerjaan orang
tua, dianggap sebagai sarana belajar untuk kehidupan masa depannya.
2.2.6. Angka Melek Aksara 15 Tahun Ke atas
Gambar 2.11.
Grafik Pencapaian Indikator Angka Melek Aksara 15 Tahun Keatas
Angka Melek Aksara 15 Tahun keatas
95.7 95.9 96.03 95.59 96.66 96.75
57.5
81.34
99.7 99.7
21.89 22.13035019 22.48 22.99 25.19 25.19
81.17 84.1
0
20
40
60
80
100
120
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
per
sen
tase
Indikator Utama AngkaMelek Aksara 15 tahunkeatas
Indikator PendukungJumlah SD
Indikator PendukungJumlah SLTP
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-31
Kualitas masyarakat di ukur dari pendidikan formal yang ditamatkan penduduk
relatif rendah, hanya pada tingkat pendidikan menengah, meskipun angka melek huruf
sudah mencapai 96,75 persen. Sedangkan dari indikator rata-rata lama sekolah dalam
Indeks Pembangunan Manusia di Sumatera Selatan, yaitu 72,3 tahun pada tahun 2009.
Meskipun indikator rata-rata lama sekolah di atas nasional (sebesar 7,3 tahun),
namun angka ini masih di bawah program wajar 9 tahun. Disamping itu, tingkat partisipasi
sekolah yang relatif rendah ini, sehingga tingkat pengangguran masih relatif tinggi.
Faktor penyebabnya adalah ada beberapa masyarakat memandang anak sebagai
aset ekonomi bagi orang tuanya, sehingga harus bekerja di usia masih dini, disamping
ketidak mampuan orang tuanya untuk membiayai sekolah anaknya. Faktor penyebab
lainnya adalah kondisi geografis, yaitu penduduk yang bertempat tinggal di wilayah
perairan, sehingga akses untuk sekolah relatif sulit, karena pengaruh transportasi.
2.2.7. Persentase Jumlah Guru yang Layak Mengajar SMP/MTs
Tabel 2.5 menunjukan bahwa persentase jumlah guru yang layak mengajar
SMP/MTs di Sumatera Selatan dalam kurun waktu 2004-2009 menunjukkan angka yang
berfluktuasi. Dalam kurun waktu tersebut, tahun 2004 menunjukkan persentase yang
tertinggi (79,82%), kemudian terus menurun hingga tahun 2007 menjadi 62,72%. Tahun
2008 terjadi kondisi yang menggembirakan karena meningkat menjadi 66,77% meskipun
masih lebih rendah dibanding tahun 2004, 2005 dan 2006. Di tahun 2009, kembali terjadi
penurunan dengan angka persentase menjadi 65,59.
Jika dibandingkan dengan guru yang layak mengajar di tingkat SD, kondisi guru
layak mengajar di SMP/MTs justru lebih baik. Fluktuasinya kelayakan guru mengajar ini,
karena beberapa daerah, ketika ada penambahan penerimaan tenaga guru, masih
menerima guru yang berpendidikan dari D-3.
2.2.8. Persentase Jumlah Guru yang Layak Mengajar Sekolah Menengah
Berbeda dengan perkembangan jumlah guru yang layak mengajar di tingkat SMP,
maka untuk tingkat SMA berdasarkan Tabel 2.5 menunjukkan perkembangan dengan
kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2004 persentase jumlah guru yang
layak mengajar di tingkat SMA berada pada angka 65,22%, kemudian terus meningkat
setiap tahunnya, hingga tahun 2009 menjadi 80,17%.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-32
Trend perkembangan yang lebih baik ini, karena penerimaan tenaga guru untuk
tingkat SM mensyaratkan lulusan strata satu. Bahkan beberapa guru telah memiliki gelar
strata dua. Beberapa persoalan guru di tingkat SM ini berkaitan dengan kelayakan
matapelajaran yang diajarkan. Umpama guru sejarah tetapi mengajar mapel Sosiologi.
Oleh karena itu, kelayakan guru mengajar disamping kelayakan pendidikan dan juga
kelayakan matapelajarannya.
2.3. Rekomendasi Kebijakan
Strategi kebijakan pendidikan ke depan lebih diarahkan untuk menuntaskan
program Wajar 9 tahun dan peningkatan pelayanan dan mutu pendidikan pada tingkat
pendidikan menengah. Dalam jangka panjang dilakukan strategi peningkatan pelayanan
dan mutu pendidikan tingkat pendidikan menengah. Oleh karena, sekolah gratis belum
tentu mendorong anak untuk melanjutkan sekolah, malah justru menjauhkan masyarakat
dengan sekolah. Dari hasil capaian indikator pada bidang pendidikan berikut hasil analisis
yang dilakukan, maka direkomendasikan beberapa kebijakan, yaitu :
1. Strategi kebijakan pendidikan yang harus diterapkan adalah peningkatan
mutu pendidik (sertifikasi guru),
2. Peningkatan sarana dan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan
pendidikan tingkat menengah,
3. Penjaminan mutu pendidikan agar mendorong anak lulus wajar 9 tahun
melanjutkan sekolah lebih lanjut dan mengurangi anak putus sekolah di
tingkat pendidikan menengah.
C.3. Indikator Kesehatan
3.1. Capaian Indikator
Di bidang kesehatan, masih relatif rendahnya derajat kesehatan masyarakat
Sumatera Selatan, hal ini terlihat pada angka mortalitas dan morbiditas, yaitu angka
kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan masih relatif cukup tinggi serta terkait
dengan prevalensi penyakit lainnya, seperti angka kesakitan malaria, TBC maupun
demam berdarah dengue yang mengalami peningkatan. Angka kematian bayi masih
cukup tinggi, trennya fluktuatif, tetapi naik dan turunnya relatif rendah. Seperti tahun 2005
meningkat, tetapi pada tahun 2006 menurun, tahun-tahun berikutnya mengalami naik
turun tetapi angkanya lebih besar dari tahun 2006.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-33
Sedangkan prevalensi gizi buruk sifatnya fluktuatif, tetapi kuantitasnya masih
relatif tinggi, karena dari tahun 2004 sampai tahun 2009, rata-ratanya masih di atas 1
persen. Ketika pemerintahan Orde Baru, peran Posyandu sangat membantu, salah
satunya untuk mengatasi gizi buruk, sehingga warga yang kekurangan gizi bisa langsung
ditangani.
Masalah lain adalah masih terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusinya
belum merata, mutu pelayanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan penduduk
miskin serta masih terbatasnya sarana-prasarana kesehatan.
Tabel 2.6.
Capaian Indikator Kesehatan
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Umur Harapan Hidup (UHH)
67,7 68,3 68,8 69,0 69,90 70,4
Angka Kematian Bayi (AKB) 34 46 40 44 49 43
Prevalensi Gizi buruk (%) 1,1 0,7 1,7 1,1 1,2 1,1
Prevalensi Gizi kurang (%) 8,56 6,43 10,83 11,34 10,78 10,45
Persentase tenaga kesehatan Perpenduduk 14,8 14,65 13,99 12,45 12,63 13,34
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
3.2. Analisis Pencapaian Indikator
3.2.1. Umur Harapan Hidup (UHH)
Umur harapan hidup yang disajikan perkembangannya pada Tabel 2.6 merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan kondisi kesehatan masyarakat. Perkembangan
umur harapan hidup di Sumatera Selatan yang tersaji pada Tabel 2.6 dalam kurun waktu
2004-2006 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan karena cenderung
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2004 berada pada angka 67,7, meningkat di tahun
2005 menjadi 68,3, dan semakin membaik di tahun-tahun berikutnya, hingga mencapai
angka 70,4 di tahun 2009. Perkembangan tingkat umur harapan hidup ini menunjukkan
semakin baiknya tingkat kesehatan masyarakat. Hal ini juga menunjukkan derajat
kesehatan yang semakin baik dan tingkat kapabilitas penduduk. Semakin lama harapan
hidup yang mampu dicapai merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatannya.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-34
3.2.2. Angka Kematian Bayi (AKB)
Gambar 2.12. Grafik Pencapaian Indikator Angka Kematian Bayi (AKB)
Salah satu indikator keberhasilan dari program kegiatan bidang kesehatan adalah
menurunnya angka kematian bayi. Tabel 2.6 yang menyajikan perkembangan kesehatan
masyarakat melalui beberapa indikator menunjukkan bahwa perkembangan angka
kematian bayi di Sumatera Selatan dalam periode waktu 2004-2009 cenderung
berfluktuasi. Di tahun 2004, angka kematian bayi berada pada angka 34, meningkat
cukup tinggi di tahun 2005 hingga menjadi 46, kemudian menurun lagi di tahun 2006 (40)
dan kembali meningkat di tahun 2007 dan 2008. Perkembangan yang cukup baik terlihat
di tahun 2009, karena terjadi kembali penurunan menjadi 43.
Pencapaian hasil ini di dukung oleh kesadaran masyarakat yang telah
memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Tahun 2008 misalnya sekitar 48,78 % dari total
penduduk Sumatera Selatan telah memanfaatkan pelayanan kesehatan di tingkat
Puskesmas, dan kesadaran masyarakat, khususnya dalam proses persalinan telah
memanfaatkan jasa tenaga medis, meskipun capaiannya baru sekitar 83%.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-35
3.2.3. Prevalensi Gizi buruk (%)
Prevalensi gizi buruk merupakan salah satu indikator yang menunjukkan
bagaimana perkembangan status gizi pada masyarakat. Tabel 2.6 menunjukkan bahwa
perkembangan gizi buruk di Sumatera Selatan dalam periode 2004-2009 cenderung
berfluktuasi. Dimulai dengan 1,1% pada tahun 2004, menurun di tahun 2005 menjadi
0,7%, namun kembali meningkat di tahun 2006, kemudian kembali menurun di tahun
2007 dan 2009, dengan angka persentase yang sama pada tahun 2004 yaitu 1,1%
Prevalensi gizi buruk ini berkaitan dengan perkembangan kondisi perekonomian
masyarakat. Dengan adanya krisis ekonomi yang lalu dan krisi global berpengaruh pada
penurunan gizi buruk di masyarakat. Ketika zaman Orde Baru, peran Posyandu sangat
penting dalam memantau kesehatan ibu dan anak, sehingga ketika ada bayi atau anak
mengalami gizi buruk lebih cepat mendapat perhatian. Era reformasi nampaknya peran
Posyandu agak melemah dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga
kurang dapat memantau kesehtan ibu dan anak termasuk anak-anak yang mengalami gizi
buruk.
3.2.4. Prevalensi Gizi kurang (%)
Pada capaian indikator prevalensi gizi kurang yang disajikan pada Tabel 2.6
menunjukkan pola perkembangan yang relatif sama dengan indikator prevalensi gizi
buruk. Pada periode 2004-2009 menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi setiap
tahunnya, dimulai pada angka 8,56 pada tahun 2004, kemudian menurun di tahun 2005
(6,43). Selanjutnya kembali meningkat di tahun 2006 dan 2007 menjadi 11,34. Pada
tahun 2008 dan 2009 menunjukkan perkembangan yang cukup baik, dimana terjadi
penurunan angka prevalensi gizi kurang hingga berada pada angka persentase sebasar
10,45 di tahun 2009.
Nampaknya kondisi perekonomian nasional, mempunyai pengaruh positif terhadap
penurunan gizi kurang. Begitu juga masalah kemiskinan, ada korelasi positif dengan gizi
kurang pada masyarakat. Masih lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga. Kondisi
lemahnya ekonomi keluarga mempengaruhi daya beli termasuk kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Keluarga miskin pada umumnya tidak memiliki akses
dan bersifat pasif dalam berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas diri dan keluarga dan
pada gilirannya akan semakin memperburuk keadaan sosial ekonomi keluarga miskin
tersebut, akibatnya kekurangan gizi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-36
3.2.5. Persentase Tenaga Kesehatan Perpenduduk
Persentase tenaga kesehatan penduduk diukur dari jumlah tenaga kesehatan
yang ada dibandingkan dengan jumlah penduduk setiap tahunnya. Tenaga kesehatan
yang dimaksud dalam perhitungan ini terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dokter
gigi maupun tenaga kebidanan dan keperawatan. Dari data yang disajikan pada Tabel
2.6 menunjukkan bahwa rasio antara tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk
tergolong masih cukup rendah. Dokter umum misalnya satu dokter umum menangani
sekitar 14.456 orang. Begitu juga sebaran dokter, khususnya dokter spesialis dan dokter
gigi belum merata, masih terkonsentrasi di perkotaan.
3.3. Rekomendasi Kebijakan
Indikator keberhasilan dari program kegiatan bidang kesehatan antara lain
menurunnya angka kematian ibu melahirkan, meskipun masih diatas rata-rata,
menurunnya angka kematian bayi, meningkatnya umur harapan hidup, meningkatnya
proporsi keluarga yang hidup secara bersih dan sehat dan menurunnya persentase balita
dengan gizi buruk, menurunnya prevalensi angka kesakitan malaria, TB dan demam
berdarah.
Masih perlunya peningkatan jangkauan pelayanan dan mutu pelayanan
kesehatan. Hal ini akan tercapai jika program pembangunan kesehatan diarahkan sesuai
orientasi pengembangan program kesehatan secara terpadu. Strateginya adalah
peningkatan jangkauan pelayanan kesehatan sampai pada masyarakat di daerah
terpencil. Konsekuensi dari hal ini diperlukan peningkatan sumber daya kesehatan,
sarana-prasarana, asuransi kesehatan yang terjangkau dan mutu kualitas pelayanan
kesehatan.
C.4. Indikator Keluarga Berencana
4.1. Capaian Indikator
Di bidang keluarga berencana, bahwa peningkatan kualitas penduduk merupakan
langkah yang penting dalam melaksanakan dan mencapai pembangunan yang
berkelanjutan. Karakteristik pembangunan antara lain dilaksanakan melalui pengendalian
pertumbuhan penduduk dan pengembangan kualitas penduduk melalui perwujudan
keluarga kecil yang berkualitas. Program Keluarga Berencana dapat berhasil karena
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-37
ditopang oleh kemajuan pendidikan, peningkatan mobilitas penduduk, bertambahnya
wanita dalam angkatan kerja, dan lain-lain. Namun demikian masalah internalisasi
motivasi melaksanakan KB tampaknya belum optimal.
Indikator hasil capaian sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 tren mengalami
peningkatan dan tahun sesudahnya yaitu dari tahun 2007 sampai 2009 trennya menurun.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Selatan trennya dari tahun 2004
meningkat di atas rata-rata nasional 1,5, namun sejak tahun 2007 sampai 2009
mengalami penurunan.
Tabel 2.7.
Capaian Indikator Keluarga Berencana
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase penduduk ber-KB (Contraceptive Prevalence Rate) 68,1 68,2 68,54
64,7
63,58 62,43
Laju pertumbuhan penduduk 1,65 1,89 2,13 1,74 1,45 1,38
Total Fertility Rate (TFR) 2,3 2,3 2,3 2,3 2,2 2,2
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
4.2. Analisis Pencapaian Indikator
4.2.1. Persentase penduduk ber-KB (Contraceptive Prevalence Rate)
Saat ini belum semua fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat melayani KB
dan kesehatan reproduksi. Disamping itu, masih banyak pasangan usia subur yang
menggunakan kontrasepsi yang kurang efektif dan efisien untuk jangka panjang.
Nampaknya partisipasi pria dalam ber KB masih rendah, hal ini dapat dilihat dari jumlah
peserta KB aktif yang menggunakan kontrasepsi MOP dan kondom masih relatif kecil,
yaitu 1,55 % tahun 2005, sekitar 1,79 % tahun 2006 dan 2,21 tahun 2007. Hal ini
disebabkan keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki juga oleh
keterbatasan pengetahuan mereka akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta
kesetaraan keadilan gender.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-38
Gambar 2.13. Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penduduk ber-KB
Demikian pula, penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi masih belum
mantap dalam aspek kesetaraan dan keadilan gender. Dari sebanyak 265 Puskesmas,
hanya 96 Puskesmas atau 36,23 persen yang memberikan pelayanan kesehatan
reproduksi terpadu dan 88 Puskesmas atau 24,29 persen memberikan kesehatan
reproduksi remaja. Sedangkan angka unmetneed yang menggambarkan besaran angka
PUS yang bukan peserta KB/tidak menggunakan salah satu kontrasepsi dan tidak ingin
memiliki anak lagi trennya mengalami kenaikan sejak tahun 2005 sekitar 20,39 persen
menjadi 16,58 persen tahun 2009.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-39
4.2.2. Laju Pertumbuhan Penduduk
Gambar 2.14.
Grafik Pencapaian Indikator Laju Pertumbuhan Penduduk
Laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Selatan menunjukkan perkembangan
yang cukup baik sejak tahun 2007 hingga tahun 2009 dikarenakan menunjukkan
kecenderungan menurun dibandingkan perkembangan di kurun waktu 2004-2006. Faktor
yang menentukan laju pertumbuhan penduduk, karena faktor kelahiran ada kemungkinan
terkait dengan pelimpahan urusan Keluarga Berencana yang tadinya urusan pusat
menjadi urusan daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Implikasinya pada
implementasi program perencanaan KB yang dilaksanakan oleh daerah tidak atau belum
optimal, khususnya dalam pendanaan dan penyediaan fasilitas KB.
4.2.3. Total Fertility Rate (TFR)
Jumlah penduduk di Sumatera Selatan dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada
tahun 2005 jumlah penduduk Sumatera Selatan mencapai 6.625.837 jiwa, meningkat
sebesar 274.055 jiwa tahun 2006 dan menjadi 7.019.964 jiwa tahun 2009 dengan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,38 persen per tahun.
Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk adalah tingkat
kelahiran. Angka kelahiran kasar (curde birth rate) di Sumatera Selatan tahun 2005
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-40
mencapai 27,93 per 1000 penduduk, terjadi penurunan meskipun tidak terlalu besar
menjadi 25,71 pada tahun 2006 dan tahun 2007 menjadi 29,31 per seribu penduduk.
.Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional, sedangkan untuk
angka Total Fertility Rate(TFR) pada tahun 2005 sebesar 2,57 ditahun 2006 turun menjadi
2,27 dan menjadi 2,42 pada tahun 2007 dan menjadi 2,19 pada tahun 2009, dibandingkan
dengan nasional, TFR Sumatera Selatan masih relatif lebih rendah. Penurunan TFR
terjadi karena meningkatnya penggunaan alat kontrasepsi.
4.3. Rekomendasi Kebijakan
Penduduk merupakan aspek utama dalam suatu proses perencanaan
pembangunan, sebab pada dasarnya penduduk merupakan subjek dan objek
pembangunan, atau dalam arti semua yang dijabarkan dalam suatu ruang kegiatan
adalah sebagai cermin dari tingkat kepentingan penduduk yang harus dipenuhi untuk
masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan demikian kegiatan terhadap aspek
kependudukan ini merupakan perencanaan yang mendasar untuk menyusun suatu
rencana pengembangan dan penyusunan rencana pembangunan. Arah kebijakan
program kependudukan dan keluarga berencana di daerah sesuai dengan arah kebijakan
secara nasional, hanya capaian pelaksanaan kependudukan yang masih relatif belum
optimal.
C.5. Indikator Ekonomi Makro
5.1. Capaian Indikator
Tabel 2.8. Capaian Indikator Ekonomi Makro
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan ekonomi (%) 4,63 4,84 5,20
5,84
5,10 4,12
Persentase ekspor terhadap PDRB
14,54 19,98 18,15 16,14 16,58 17,86
Persentase output Manufaktur terhadap PDRB
17,76
17,74
17,76
23,03
23,06
22,85
Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah)
8,24 10,25 11,81 13,30
15,90
18,98
Laju Inflasi
8,94
18,92
8,44
8,21
8,45
8,12
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-41
5.2. Analisis Pencapaian Indikator
5.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
Gambar 2.15. Grafik Pencapaian Indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Sumatera Selatan pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan
sebesar 4,1 persen, melambat dibanding tahun 2008 yang tumbuh sebesar 5,1 persen.
Nilai PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp 60,4 triliun,
sedangkan pada tahun 2008 sebesar Rp 58,1 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga
berlaku, PDRB Sumatera Selatan tahun 2009 naik sebesar Rp 3,3 triliun, dari Rp 133,3
triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp 136,6 triliun pada tahun 2009. Selama tahun
2009, hampir semua sektor ekonomi yang membentuk PDRB Sumatera Selatan
mengalami perlambatan pertumbuhan, kecuali sektor pertambangan dan penggalian dan
sektor bangunan. Dampak krisis yang terajadi di triwulan IV 2008 merupakan penyebab
utama terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Selatan walaupun arah
perbaikan ekonomi telah dirasakan pada triwulan IV 2009 ini. Turunnya permintaan dunia
dan harga komoditi industri perkebunan yaitu karet dan kelapa sawit juga berdampak
kepada melambatnya produksi di sektor pertanian dan sektor perdagangan terutama
eskpor luar negeri Sumatera Selatan. Namun pada triwulan IV 2009 perekonomian dunia
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-42
dan nasional mulai mengalami pemulihan, di Sumatera Selatan ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan ekspor luar negeri Sumatera Selatan dan adanya kenaikan harga
yang signifikan terhadap komoditi perkebunan. Secara berurut sektor-sektor yang
mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009; sektor pertanian
tumbuh 3,1 melambat dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh 4,1 persen. Sektor
industri pengolahan tumbuh 2,1 persen lebih rendah dibanding tahun 2008 yang tumbuh
3,4 persen. Sektor listrik, gas Berita Resmi Statistik No.09/02/16/Th. XII, 10 Februari 2010
dan air bersih tumbuh melambat dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen. Sektor perdagangan
hotel dan restoran juga tumbuh melambat dari 6,9 persen menjadi 3,1 persen. Sektor
angkutan dan komunikasi merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu
tumbuh 13,8 persen namun bila dibanding tahun 2008 pertumbuhan tersebut lebih
rendah. Sektor jasa-jasa tumbuh dari 11,4 tahun 2008 menjadi 9,4 persen.
Dilihat dari sisi besarnya sumbangan masing-masing sektor dalam menciptakan
laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan selama tahun 2009, tiga sektor yang
memberikan sumbangan terbesar adalah sektor jasa-jasa, sektor pengangkutan dan
komunikasi, dan sektor pertanian. Masing-masing memberikan kontribusi sebesar 0,8
persen, 0,7 persen dan 0,6 persen.
Berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi sektoral di Sumatera Selatan dapat
dilihat bahwa beberapa sektor dengan laju pertumbuhan tinggi antara lain sektor
pengangkutan dan transportasi (13,92%), sektor jasa-jasa (11,35%), dan sektor
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (8,63%). Beberapa sektor unggulan tumbuh
relatif moderat yaitu sektor pertambangan dan penggalian (1,53%), sektor pertanian
(4,09%), sektor industri pengolahan (3,42%), dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
(7,06%).
Selanjutnya, struktur ekonomi Sumatera Selatan masih didominasi oleh empat
sektor unggulan yaitu sektor pertambangan dan penggalian (23,44%), sektor pertanian
(19,92%), sektor industri pengolahan (17,45%), dan sektor perdagangan, hotel dan
restoran (13,95%). Ini berarti bahwa perubahan struktur ekonomi Sumatera Selatan belum
terlihat dalam periode 2004-2009.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-43
5.2.2. Persentase Ekspor Terhadap PDRB
Kegiatan ekspor Sumatera Selatan mengalami pertumbuhan relatif baik pada
tahun 2004-2005 yang ditandai dengan rasio ekspor terhadap PDRB sebesar 14,54% dan
19,98%. Periode 2006-2007, rasionya mengalami penurunan yaitu sebesar 18,15% dan
16,14%, periode 2008-2009 masing-masing mengalami peningkatan yaitu sebesar
16,58% dan 17,86%. Pergerakan ekspor ini tampaknya fluktuatif dan sangat tergantung
dari ‘volatilitas’ harga komoditi unggulan Sumatera Selatan. Apresiasi nilai mata uang
rupiah terhadap mata uang mitra dagang juga mempengaruhi nilai ekspor Indonesia.
Aktivitas industri pengolahan Sumatera Selatan masih diwarnai oleh
perkembangan industri pengolahan yang berbasis pada sektor primer. Rasio output
industri pengolahan terhadap PDRB tahun 2004, 2005, dan 2006 masing-masing sebesar
17,76%, 17,74%, dan 17,76% sedangkan tahahun 2007, 2008, dan 2009 masing-masing
sebesar 23,03%, 23,06% dan 22,85%. Peningkatan rasio output industri pengolahan
Sumatera Selatan periode 2007-2009 dibanding periode 2004-2006 ini disebabkan
adanya penggalakkan industri olahan.
5.2.3. Persentase Output Manufaktur terhadap PDRB
Jika mengamati perkembangan persentase output manufaktur terhadap PDRB di
Sumatera Selatan periode 2004-2009 cukup menggembirakan. Tahun 2004, kontribusi
sebesar 17,76% dan relatif konstan samapi dengan 2006. Tahun 2007 dan 2008
bertambah menjadi sebesar 23,03% dan 23,06% tampaknya periode terjadi akselerasi
cukup signifikan. Sementara itu, dampak krisis keuangan global berpengaruh terhadap
produksi manufaktur Sumatera Selatan yang tampaknya sedikit menurun dibanding tahun
2008 sehingga kontribusinya sebesar 22,85%. Capaian produksi manufaktur Sumatera
Selatan belum optimal, hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan infratsruktur yang terbatas,
produktivitas yang tumbuh sangat moderat, penggunaan teknologi belum mendongkrat
produktivitas, dan tingkat efisiensi dan efektivitas pengolahan bahan baku produksi masih
relatif rendah.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-44
5.2.4. Pendapatan per Kapita
Gambar 2.16.
Grafik Pencapaian Indikator Pendapatan per Kapita (dalam juta rupiah)
Pertambahan daya beli masyarakat Sumatera Selatan dicerminkan oleh
pendapatan perkapita. Kenaikan pendapatan perkapita riel relatif moderat dengan laju
inflasi yang menggerogoti daya beli tersebut. Atas dasar harga berlaku, pendapatan
perkapita masyarakat tahun 2004 sebesar Rp8,24 juta, dan meningkat cukup besar tahun
2009 sebesar Rp18,98 juta atau tumbuh rata-rata sebesar 18,16 % pertahun.
Peningkatan pendapatan perkapita ini sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi
daerah yang , sebagian besar didominasi oleh sektor pertambangan, sektor pertanian,
sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Beberapa
subsektor yang memberikan kontribusi relative tinggi antara lain subsektor perkebunan
karet dan kelapa sawit, subsektor pertambangan batubara, subsektor perdagangan besar,
dan subsektor industri pengolahan yang berbahan baku sektor primer.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-45
5.2.5. Laju Inflasi
Gambar 2.17.
Grafik Pencapaian Indikator Laju Inflasi
Laju inflasi di Sumatera Selatan tercermin oleh tingkat inflasi yang terjadi di Kota
Palembang. Laju inflasi tahun 2004 sebesar 8,94% (y-oy) dan inflasi tertinggi terjadi tahun
2005 sebesar 18,92% oleh karena adanya kenaikan harga-harga terutama dorongan
harga minyak bumi. Laju inflasi tahun 2006-2009 tampaknya lebih baik berada pada level
di bawah dua dijit, yaitu berkisar di atas angka 8%. Laju inflasi ini berada di atas laju
inflasi nasional sehingga laju inflasi di Sumatera Selatan berada pada level di atas rata-
rata nasional. Laju inflasi cenderung mulai meningkat seiring dengan lonjakan harga
‘volatile foods’, walaupun ‘core inflation’ tetap stabil di tingkat yang rendah. Laju inflasi
tahunan Kota Palembang pada trwulan II 2010 sebesar 3,62% (y-o-y) atau meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada semester II 2010 diperkirakan terjadi kenaikan
harga secara moderat karena kenaikan TDL walaupun kenaikan harga ‘volatile foods’
diperkirakan akan melambat. Hal ini akan diikuti dengan kenaikan harga-harga lainnya
akibat perayaan hari besar keagamaan dan liburan akhir tahun.
Berkembangnya perekonomian daerah menjadi basis kegiatan ekonomi lainnya.
Aktivitas perbankan tumbuh meyakinkan bersamaan dengan penurunan suku bunga yang
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-46
mengindikasikan penurunan resiko aktivitas pinjaman perbankan. Potensi
penghimpunan DPK mengalami peningkatan sebesar 20% dan pemberian kredit semakin
meningkat sebesar 19,50% (yoy). Sementara itu, penyaluran kredit atau pembiayaan juga
mengalami peningkatan sebesar 24,03% (yoy). Sebagai informasi bahwa tingkat Non-
Performing Loan (NPL) gross bank umum pada triwulan II 2010 sebesar 2,35%, menurun
dibandingkan kondisi tahun sebelumnya.
5.3. Rekomendasi Kebijakan
Provinsi Sumatera Selatan akan terus memacu pembangunannya, terutama untuk
mempersiapkan menjadi tuan rumah SEAGAMES 2011. Agenda pembangunan
infrastruktur ekonomi dan fasilitas publik, seperti jalan, jembatan, dan energi terus
dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan, pemerataan, dan aksesibilitas masyarakat.
Program pembangunan ekonomi akan sinergi dengan program-program pembangunan
sektor lainnya, terutama program pendidikan dan kesehatan ‘gratis’ bagi yang kurang
mampu.
Laju kenaikan permintaan agregat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi
daerah, terutama peningkatan konsumsi masyarakat dan investasi swasta. Belanja
konsumsi masyarakat meningkat seiring dengan ekspektasi perbaikan ekonomi regional
dan global. Terjadinya ekspansi belanja pemerintah daerah ditandai transfer dana
pemerintah ke daerah semakin besar untuk memperbaiki disparitas antardaerah.
Demikian halnya, peningkatan kegiatan ekspor dan impor cenderung pesat, terutama
upaya yang berkaitan dengan peningkatan kualitas produksi komoditi unggulan daerah.
Momentum terjadinya apresiasi rupiah dan stabilitas sistem pembayaran yang
kondusif akan menimbulkan dampak positif terhadap suku bunga perbankan yang akan
terkoreksi oleh inflasi. Oleh karena laju inflasi akan terdongkrak oleh kenaikan tarif dasar
listrik, harga bahan makanan, dan kualitas infrastruktur sebagai prasarana distribusi
barang-barang sampai ke konsumen.
C.6. Indikator Investasi
Perkembangan ekonomi daerah seirama dengan pertumbuhan ekonomi nasional,
hal ini terlihat dari besaran indikator memiliki karakteristik yang relatif sama. Berarti
kebijakan pembangunan ekonomi nasional dapat diterjemahkan dan diimplementasikan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-47
sesuai kondisi dan situasi di Sumatera Selatan. Sinergitas pembangunan ekonomi dalam
periode 2004-2009 tercermin dari pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, kegiatan ekspor-
impor, peningkatan pendapatan perkapita, dan peningkatan produk industri manufaktur.
6.1. Capaian Indikator
Tabel 2.9. Capaian Indikator Investasi
Indikator Hasil (Output)
Capaian per tahun
2005 2006 2007 2008 2009 Nilai Rencana PMA yang disetujui (juta Rp)
12.410.638,19
16.946.221,17 190.852.809,04
234.345.853,68 235.394.758,28
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
24.557.893
138.526.240 267.582.721
517.334.348
517.334.348
Nilai Rencana PMDN yang disetujui (Rp)
2.988.332.081.720
3.706.558.102.442 8.435.950.145.44212.813.469.895.442 38.502.634.195.632
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp)
1.789.141.600.528
2.131.056.454.713 2.754.315.220.713 3.003.560.730.713
3.478.465.491.827
Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja PMA (jiwa)
232
2.054 3.145 5.214
5.226
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
6.2. Analisis Pencapaian Indikator
6.2.1. Nilai Rencana PMA yang disetujui
Capaian indikator dari nilai rencana PMA yang disetujui yang disajikan pada Tabel
2.9 menunjukkan kecenderungan meningkat. Kegairahan dan daya tarik Sumatera
Selatan menjadi tujuan investasi sangat menjanjikan, terutama adanya promosi-promosi
kegiatan pembangunan daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun
2005 dan 2006 rencana investasi PMA yang disetujui sebesar Rp 12,41 trilyun dan 16,95
trilyun meningkat tajam untuk tahun 2007, 2008, 2009 masing-masing sebesar Rp 190,85
trilyun, Rp 234,34 trilyun, dan Rp 235,39 trilyun.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-48
6.2.2. Nilai Realisasi Investasi PMA
Gambar 2.18.
Grafik Pencapaian Indikator Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
Nilai Realisasi Investasi PMA
12,410,638,190,000
234,345,853,680,000235,394,758,280,000
16,946,221,170,000
190,852,809,040,000
245,578,930,0001,385,262,400,000
2,675,827,210,000 5,173,383,480,000
5,173,383,480,000
0
50,000,000,000,000
100,000,000,000,000
150,000,000,000,000
200,000,000,000,000
250,000,000,000,000
2004 2005 2006 2007 2008
Tahun
Nila
i Nilai Rencana PMAyang disetujui
Nilai RealisasiInvestasi PMA
Realisasi investasi di Sumatera Selatan yang tercatat adalah investasi PMA tahun
2005 sebesar Rp 245,58 milyar dan meningkat pada tahun 2009 sebesar Rp 5,17 trilyun.
Jika disimak rasio realisasi terhadap target rencana investasi PMA adalah sebesar 1,98%
(2005), 8,17% (2006), 1,40% (2007), 2,21% (2008), dan 0,02% (2009). Implikasi dari
rasio antara realisasi terhadap rencana investasi yang disetujui di Sumatera Selatan ini
terlihat bahwa: (1) realisasi investasi PMA relatif kecil dan fluktuatif, ini mengindikasikan
adanya kekurang-berhasilan daerah dalam memfasilitasi kegiatan investasi asing,
terutama ketersediaan infrastruktur dan (2) ini mengindikasikan bahwa keberadaan
pelayanan terpadu satu pintu belum berfungsi secara optimal sehingga proses perizinan
terkesan masih birokratis.
6.2.3. Nilai Rencana PMDN yang Disetujui
Kegiatan investasi dalam negeri di Sumatera Selatan baik rencana maupun
realisasinya cenderung meningkat. Beberapa sektor unggulan di Sumatera Selatan
masih menjadi daya tarik para investor dalam melakukan penanaman modal, seperti
subsektor perkebunan karet, kelapa sawit, dan kopi; subsektor pertambangan batubara;
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-49
subsektor perdagangan besar; dan subsektor industri pengolahan yang berbahan baku
sektor primer. Tabel 2.9 menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2004-2009, nilai
rencana PMDN yang disetujui terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2009
nilai rencana PMDN yang disetujui mencapai nilai Rp..502.634.195.632.
6.2.4. Nilai realisasi investasi PMDN
Gambar 2.19. Grafik Pencapaian Indikator Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar)
Realisasi PMDN di Sumatera Selatan tahun 2005 sebesar Rp 1,79 trilyun dan
meningkat di tahun 2009 menjadi sebesar Rp 3,48 trilyun. Jika disimak rasio realisasi
terhadap target rencana investasi PMA adalah sebesar 1,98% (2005), 8,17% (2006),
1,40% (2007), 2,21% (2008), dan 0,02% (2009). Untuk PMDN adalah sebesar 59,87%
(2005), 57,49% (2006), 32,65% (2007), 23,44% (2008), dan 9,03% (2009). Implikasi dari
rasio antara realisasi terhadap rencana investasi yang disetujui di Sumatera Selatan ini
terlihat bahwa: (1) realisasi investasi PMA relatif kecil dan fluktuatif, ini mengindikasikan
adanya kekurang-berhasilan daerah dalam memfasilitasi kegiatan investasi asing,
terutama ketersediaan infrastruktur; (2) realisasi investasi PMDN rasionya cenderung
menurun, hal ini terlihat bahwa upaya daerah untuk merealisasi rencana investasi PMDN
belum optimal; dan (3) ini mengindikasikan bahwa keberadaan pelayanan terpadu satu
pintu belum berfungsi secara optimal sehingga proses perizinan terkesan masih birokratis.
Nilai Realisasi Investasi PMDN
2,988,332,081,7203,706,558,102,442
8,435,950,145,44212,813,469,895,442
38,502,634,195,6323,478,465,491,827
3,003,560,730,713
2,754,315,220,713
2,131,056,454,7131,789,141,600,528
0
5,000,000,000,000
10,000,000,000,000
15,000,000,000,000
20,000,000,000,000
25,000,000,000,000
30,000,000,000,000
35,000,000,000,000
40,000,000,000,000
45,000,000,000,000
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Nila
i (R
p) Nilai Rencana
PMDN yangdisetujuiNilai RealisasiPMDN
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-50
6.2.5. Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja PMA
Realisasi penyerapan tenaga kerja dengan adanya investasi PMA cenderung
meningkat yaitu tahun 2005 sebesar 232 jiwa dan meningkat untuk tahun 2006 dan 2007
masing-masing sebesar 2.054 jiwa dan 3.145 jiwa, dan bertambah pula untuk tahun 2008
dan 2009 adalah sebesar 5.214 jiwa dan 5.226 jiwa. Perkembangan ini menunjukkan
bahwa PMA yang dilakukan di Sumatera Selatan cukup tinggi kontribusinya dalam
mengatasi angka pengangguran sekaligus menunjukkan bahwa tenag kerja lokal cukup
memiliki potensi untuk dipekerjakan. Namun sayangnya belum terdata distribusi
penyerapan tenaga kerja tersebut berdasarkan tingkatan level manajemen pekerja.
6.3. Rekomendasi Kebijakan
Pertumbuhan investasi PMA dan PMDN di Sumatera Selatan cenderung
meningkat berarti membutuhkan optimalisasi fungsi pelayanan terpadu satu atap yang
telah dioperasikan beberapa waktu yang lalu. Ketersediaan infrastruktur dan fasilitas
publik yang memadai sangat penting sebagai daya tarik investor untuk merealisasikan
investasinya di berbagai sektor ekonomi. Beberapa kendala yang dihadapi oleh dunia
usaha masih terdapat beberapa faktor yang dinilai kurang kondusif dalam kegiatan
investasi dan pengembangan dunia usaha, antara lain: (1) masih terbatasnya pasokan
energi berupa listrik, (2) birokrasi dan banyaknya jenis perizinan belum disatukan dalam
pelayanan terpadu satu atap, (3) tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang masih
relatif tinggi, terutama bagi UKM, (4) belum adanya pembatasan transaksi di dalam negeri
yang menggunakan valuta asing, (5) kondisi keamanan di pelabuhan laut dan bandar
udara yang rawan, (6) ketentuan perpajakan bagi PMA yang dinilai tidak efisien, dan (7)
belum adanya single identity yang berlaku bagi dunia usaha serta adanya intervensi dari
pihak eksternal terhadap operasional perusahaan.
C.7. Indikator Infrastruktur
7.1. Capaian Indikator
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-51
Tabel 2.10. Capaian Indikator Infrastruktur
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
% Panjang jalan nasional dalam kondisi :
Baik Sedang Buruk
401,784419,497327,872
401,784419,497327,872
401,784440,472311,478
582,650368,960244,040
883,490 396,020 34,490
863,445436,70021,670
% Panjang jalan provinsi dalam kondisi
Baik Sedang Buruk
215,72 747,52 661,75
274,82 820,58 653,09
335,00 672,70 740,79
337,00 674,09 737,50
579,05 631,05 538,49
654,05 610,05 484,49
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
7.2. Analisis Pencapaian Indikator Infrastruktur
7.2.1. Persentase Panjang Jalan Nasional dalam Kondisi Baik, Sedang, Buruk
Gambar 2.20.
Grafik Pencapaian Indikator % Panjang Jalan Nasional
Persentase Panjang Jalan Nasional Dalam Kondisi Baik, Sedang, Buruk
401.784 401.784 401.784
582.65
883.49 863.445
419.497 419.497 440.472368.96 396.02 436.7
327.872 327.872 311.478244.04
34.49 21.670
200
400
600
800
1000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Km
Baik
Sedang
Buruk
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-52
Dalam menghitung indikator outcome tingkat pembangunan ekonomi diperlukan
tiga indikator yaitu ekonomi makro, investasi dan infrastruktur.
Indikator infrastruktur:
Panjang jalan nasional indikator panjang jalan nasional =
Panjang jalan provinsi
% penambahan jalan provinsi
Dari Tabel 2.10 terlihat bahwa terjadi peningkatan panjang jalan baik jalan nasional
maupun jalan provinsi. Tahun 2005, panjang jalan nasional untuk kondisi baik mencapai
1149.153 km dan sampai dengan tahun 2010 telah mencapai 1321.815 km demikian juga
panjang jalan provinsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana kondisi jalan
baik selalu bertambah tiap tahunnya. Dari grafik dapat dilihat juga bahwa panjang jalan
nasional dengan kondisi baik meningkat dari tahun ke tahun dan kondisi jalan buruk
menurun dari tahun ke tahun.
7.2.2. Persentase Panjang Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik, Sedang, Buruk
Dari data yang disajikan pada Tabel 2.10 terlihat bahwa bahwa panjang jalan
provinsi dengan kondisi baik meningkat dari tahun ke tahun dan kondisi jalan buruk
menurun dari tahun ke tahun. Perkembangan ini menunjukkan perhatian pemerintah
untuk sarana transportasi ini cukup baik. Hal ini berkaitan juga dengan wilayah Sumatera
Selatan yang merupakan wilayah perlintasan antar provinsi, sehingga kondisi jalan
provinsi sangat berpengaruh terhadap kelancaran hubungan transportasi antar provinsi.
7.3. Rekomendasi Kebijakan
Dari kondisi jalan yang membaik serta meningkatnya kegiatan perekonomian dan
pembangunan di Sumater selatan untuk setiap tahunnya, maka kondisi geografis wilayah
menjadi pertimbangan yang penting untuk mengembangkan infrastruktur dalam rangka
efisiensi biaya pembangunan, pemerliharaan infrastruktur dan biaya transportasi itu
sendiri. Satu hal yang penting juga bahwa dalam penyusunan program dan kegiatan
berbasis skala prioritas, tentu prioritas pertama ditujukan pada pembangunan infrastruktur
dan penyediaan sarana transportasi pada daerah sentra produksi unggulan utama
provinsi Sumatera Selatan, sehingga upaya pengembangan ekonomi komoditas unggulan
utama tersebut dapat berjalan dengan lancar.Kelancaran hubungan transportasi antar
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-53
provinsi dapat menjadi prioritas berikutnya, karena dengan sarana infrastruktur yang baik
akan membuka perekonomian antar provinsi berkembang.
C.8. Indikator Pertanian
8.1. Capaian Indikator
Tabel 2.11. Capaian Indikator Pertanian
Indikator Hasil (Output)
Capaian per tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun
-
-
-
100,00
101,39
99,18
PDRB Sektor Pertanian (juta rupiah)
12.495.630 14.358.881
17.300.120
20.080.335
22.965.527
23.800.000
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
8.2. Analisis Pencapaian Indikator
8.2.1. Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun
Nilai Tukar Petani (Farmers Term of Trade) adalah suatu indikator pengukur
kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian dengan barang dan jasa yang
diperlukan petani untuk konsumsi rumahtangganya dan untuk keperluan dalam
memproduksi produk pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan
indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam
persentase). Interpretasi nilai NTP, apabila NTP lebih besar dari 100, menunjukkan
bahwa petani mengalami peningkatan daya beli oleh karena kenaikan harga produksi
lebih besar dari kenaikan harga input produksi dan konsumsi rumahtangganya. Apabila
NTP sama dengan 100, berarti petani mengalami impas, yaitu kenaikan atau penurunan
harga produksinya sama dengan persentase kenaikan atau penurunan harga input
produksi dan konsumsi rumahtangga petani. Selanjutnya, apabila NTP lebih kecil dari
100, menunjukkan bahwa petani mengalami defisit atau penurunan daya belinya, oleh
karena kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga
input produksi dan konsumsi rumahtangganya.
Dari Tabel 2.11 terlihat bahwa data nilai tukar petani yang tersedia adalah data
tiga tahun terakhir (2007-2009) dan tidak ditampilkan NTP tahun 2004-2006. Hal ini
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-54
dikarenakan, mulai tahun 2008, BPS melakukan perubahan tahun dasar dari tahun dasar
1993 menjadi tahun dasar 2007 (2007=100). Perubahan tahun dasar ini dilakukan oleh
karena adanya perubahan pola produksi, struktur biaya, pola konsumsi rumahtangga dan
struktur geografis (pemekaran wilayah) antara kondisi pada tahun dasar 1993 dengan
kondisi saat ini. Kondisi tersebut dapat melemahkan nilai kepekaan terhadap informasi
tentang kesejahteraan petani, apabila masih menggunakan tahun dasar 1993. Oleh
karena itu, pada tahun 2007 dilakukan penyusunan paket komoditas dan pemutahiran
diagram timbang NTP untuk mengganti tahun dasar yang lama. Selanjutnya, dalam
rangka peningkatan kualitas sajian, NTP dengan tahun dasar 2007 diperluas ruang
lingkup dan cakupan sub sektornya, yaitu sub sektor Tanaman Pangan (Padi dan
Palawija), sub sektor Hortikultura, sub sektor Tanaman Perkebunan Rakyat, sub sektor
Peternakan dan sub sektor Perikanan. Dengan demikian penyajian NTP berdasarkan
masing-masing sub sektor, yaitu Nilai Tukar Petani Padi dan Palawija, Nilai Tukar Petani
Hortikultura, Nilai Tukar Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (Pekebun), Nilai Tukar
Peternak dan Nilai Tukar Nelayan.
NTP yang dipantau setiap bulannya menunjukkan angka yang cukup berfluktuasi.
Penurunan NTP umumnya terjadi ketika panen raya, namun naik kembali pada waktu
sesudahnya. Fenomena lain dari penurunan NTP juga tergambar manakala Pemerintah
mengeluarkan kebijakan, seperti menaikkan harga BBM yang berdampak terhadap
naiknya berbagai barang kebutuhan di masyarakat. Tak terkecuali, petanipun ikut
merasakan dampak kebijakan pemerintah tersebut. Sementara kenaikan NTP umumnya
disebabkan karena harga komoditas hasil tanaman bahan makanan maupun hasil
tanaman perkebunan rakyat naik. Meskipun demikian, fluktuasi harga komoditas
konsumsi rumahtangga dan biaya produksi serta penambahan barang modal juga
mempengaruhi tinggi rendahnya NTP. Berdasarkan hasil pemantauan harga-harga
pedesaan di 39 kecamatan yang tersebar di 11 kabupaten di Sumatera Selatan, NTP di
Sumatera Selatan pada tahun 2008 sebesar 101,39. Angka ini menunjukkan daya beli
petani secara umum sudah lebih baik dibandingkan dengan daya beli pada tahun dasar
2007 yang ditunjukkan dengan nilai NTP di atas 100 persen. NTP tahun 2008 tersebut
berasal dari perbandingan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) terhadap Indeks Harga
yang dibayar Petani (Ib).
Pantauan NTP setiap bulan di tahun 2009 dari rerata NTP petani padi dan
palawija, petani hortikultura, petani tanaman perkebunan rakyat (pekebun), peternak dan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-55
nelayan menunjukkan angka yang berfluktuasi, dan hasil perhitungan rerata dalam
setahun menunjukkan bahwa di tahun 2009 terjadi penurunan NTP dibandingkan tahun
2008, yaitu menjadi sebesar 99,18. Penurunan nilai NTP di tahun 2009 tersebut terjadi
karena indeks harga yang diterima petani secara umum mengalami penurunan. Artinya
indeks harga yang diterima petani dari produksi usahataninya lebih rendah dari indeks
harga yang dibayar petani untuk pengeluaran akan barang dan jasa yang dikonsumsi
petani, baik untuk konsumsi rumahtangganya maupun untuk biaya produksinya.
Penurunan tersebut sebenarnya tidak terjadi pada keseluruhan petani secara
umum, melainkan hanya terjadi di kelompok petani tertentu berdasarkan pengelompokkan
komoditi, namun karena diambil rerata secara keseluruhan, maka hasilnya menunjukkan
angka penurunan. Kelompok petani yang mengalami penurunan NTP tersebut
diantaranya adalah NTP petani hortikultura. Komoditas hortikultura meliputi sayur-
sayuran dan buah-buahan, dimana pada tahun 2009 indeks harga komoditas sayur-
sayuran mengalami peningkatan sebesar 1,78 persen, sedangkan indeks harga buah-
buahan turun 0,49 persen. Sementara itu, indeks harga yang dibayar petani hortikultura
pada di tahun 2009 juga turun sebesar 0,03 persen, terutama karena naiknya indeks
biaya produksi sebesar 0,19 persen sebagai akibat naiknya pengeluaran upah buruh tani
sebesar 1,06 persen.
Pada kelompok pekebun, terlihat perkembangan nilai tukar pekebun selama
setahun terakhir cenderung berfluktuasi. Penurunan nilai tukar pekebun yang terjadi sejak
bulan Oktober 2008 berlanjut hingga pertengahan tahun 2009 dengan nilai tukarnya di
bawah 100. Hal ini menunjukkan bahwa pekebun di Sumatera Selatan selama beberapa
bulan terakhir ini mengalami defisit yang cukup tinggi. Krisis keuangan global tampaknya
masih berdampak pada komoditi andalan Sumatera Selatan, yang ditandai dengan
rendahnya harga komoditi karet, kelapa sawit dan kopi secara global, sehingga sangat
dirasakan para petani di Sumatera Selatan. Pantauan di bulan-bulan akhir tahun 2009
menunjukkan bahwa nilai tukar pekebun pada bulan Nopember 2009 masih mengalami
defisit, yaitu sebesar 86,19 persen. Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, nilai
tukar pekebun bulan Nopember 2009 mengalami penurunan sebesar 1,24 persen.
Indeks Harga yang Diterima Petani Tanaman Perkebunan Rakyat (pekebun) pada bulan
Nopember 2009 sebesar 102,84 atau turun sebesar 1,07 persen dibanding bulan Oktober
2009. Komoditas perkebunan yang menyebabkan penurunan indeks harga yang diterima
pekebun adalah karet dan kopi biji kering. Sementara itu, indeks harga yang dibayar
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-56
petani pekebun pada bulan Nopember 2009 naik sebesar 0,17 persen yang disebabkan
oleh karena naiknya indeks harga konsumsi rumahtangga petani sebesar 0,22 persen.
Untuk sub sektor peternakan terdiri atas ternak besar, ternak kecil, unggas dan
hasil ternak, pada akhir tahun 2009, bulan November 2009 menghasilkan nilai tukar
peternak sebesar 105,53 persen, atau naik 0,45 persen dibandingkan bulan Oktober
2009. Besarnya nilai tukar peternak tersebut menunjukkan bahwa peternak di Sumatera
Selatan masih relatif sejahtera dibandingkan tahun dasar 2007. Pada bulan Nopember
2009, indeks harga yang diterima peternak sebesar 120,95 atau naik 0,52 persen
dibandingkan indeks harga yang diterima pada bulan Oktober 2009. Kenaikan tertinggi
dari indeks harga yang diterima peternak berasal dari ternak kecil dengan kenaikan
sebesar 3,72 persen. Indeks harga ternak besar, unggas dan hasil ternak bulan
Nopember 2009 masing-masing naik sebesar 0,16; 0,15 dan 0,14 persen. Selanjutnya,
indeks harga yang dibayar peternak pada bulan Nopember 2009 hanya naik sebesar 0,07
persen, terutama dari indeks konsumsi rumahtangganya yang naik 0,13 persen.
Sub sektor terakhir adalah Perikanan, yang terdiri atas usaha penangkapan ikan
dan usaha budidaya perikanan. Perkembangan Nilai Tukar Nelayan (NTN) selama
setahun ini cukup berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim.
NTN pada bulan Nopember 2009 mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,17 persen.
Peningkatan NTN ini disebabkan karena kenaikan indeks harga yang diterima nelayan,
terutama dari hasil budidaya perikanan. Indeks harga yang diterima nelayan pada bulan
Nopember 2009 sebesar 134,60 berasal dari usaha penangkapan dengan indeks harga
sebesar 145,16; dan dari usaha budidaya dengan indeks harga sebesar 108,14. Indeks
harga dari usaha budidaya perikanan naik sebesar 0,88 persen, sementara dari usaha
penangkapan tidak mengalami perubahan harga. Selanjutnya, indeks harga yang dibayar
nelayan pada bulan Nopember 2009 sebesar 117,36 atau naik sebesar 0,03 persen
dibandingkan bulan sebelumnya. Indeks harga tersebut berasal dari indeks harga
konsumsi rumahtangga nelayan yang mengalami peningkatan sebesar 0,05 persen, dan
dari indeks biaya produksi dan penambahan modal yang tidak mengalami perubahan.
8.2.2. PDRB Sektor Pertanian
PDRB sektor pertanian yang disajikan pada Tabel 2.11 menurut sektor atas dasar
harga berlaku menunjukkan peranannya terhadap perekonomian Sumatera Selatan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-57
Dalam periode waktu 2004-2009 terdata bahwa PDRB sektor pertanian setiap
tahunnya terus mengalami peningkatan. Hingga tahun 2009 menjadi
Rp.23.800.000.000.000,-. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa sektor pertanian
memang merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusi penting. Pada tahun 2009
perekonomian Provinsi Sumatera Selatan masih didominasi oleh sektor primer yaitu
sektor pertanian dan sektor pertambangan & penggalian, hal ini ditunjukkan oleh
kontribusi sektor primer yang mencapai 39,1. persen meningkat jika dibandingkan periode
sebelumnya yang sebesar 37,2 persen
8.3. Rekomendasi Kebijakan
Dari hasil analisis terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani yang cenderung
menunjukkan kondisi yang berfluktuasi bahkan pada tahun terakhir (2009), NTP di
Provinsi Sumatera Selatan mengarah pada kondisi cenderung menurun, maka
direkomendasikan beberapa kebijakan sebagai berikut :
1. Mengingat turunnya NTP petani di tahun 2009 sebagai akibat dari tingginya
harga faktor produksi yang harus mereka keluarkan yang diikuti meningkatnya
harga kebutuhan konsumsi petani, maka untuk permasalahan ini
direkomendasikan perlunya kebijakan untuk melakukan tindak lanjut
pengimplementasian hasil riset di bidang input yang efisien dan ramah
lingkungan seperti pelaksanaan pertanian organik. Selain itu juga patut
dilakukan tindak lanjut implementasi hasil riset bidang produksi dan pengolahan
pangan berbahan baku lokal yang telah dilakukan pada beberapa lembaga
penelitian dan perguruan tinggi lokal di Sumatera Selatan oleh pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota agar dapat dimanfaatkan secara luas oleh
masyarakat, sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani.
2. Perlu dirumuskan jenis riset dan pengembangan teknologi untuk menghasilkan
berbagai benih/bibit, pupuk, pengendali OPT dan lain-lain, termasuk untuk
menghasilkan sistem kelembagaan yang konsisten bagi pengembangan
komoditi.
3. Perlu kebijakan yang khusus mengatur tataniaga dan distribusi input produksi
yang lebih menjamin ketersediaan input produksi pagi petani untuk melengkapi
kebijakan yang ada. Hal tersebut diperlukan karena siklus produksi usaha di
bidang pertanian tidak dapat dipercepat atau diperlambat karena harus
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-58
mengikuti proses biologis yang alami. Demikian juga masa tanam yang harus
mengikuti musim yang tepat. Akibatnya kebutuhan input produksi harus tersedia
pada saat yang telah ditentukan. Bila tidak sesuai dengan waktu pada saat
dibutuhkan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang akhirnya
mempengaruhi produksi.
4. Perlu sinkronisasi kebijakan provinsi dan kabupaten/kota dalam meningkatkan
infrastruktur di lingkungan usaha pertanian. Hal ini penting mengingat pada
masa mendatang, pencetakan lahan pertanian baik sawah maupun lahan kering
mesti disertai dengan membangun infrastruktur yang menjadi satu kesatuan
dalam paket pencetakan sawah atau lahan pertanian lainnya. Perlunya kegiatan
tersebut dilakukan karena usaha pertanian pada umumnya berada di perdesaan
yang biasanya fasilitas dan infrastrukturnya sangat terbatas. Oleh karena itu
bagi usahatani yang umumnya berada diperdesaan perlu ditingkatkan
infrastrukturnya baik jalan, irigasi, pasar, jaringan komunikasi dan lainnya.
5. Perlu kebijakan akses pinjaman modal dengan beban bunga atau biaya modal
yang wajar bagi petani, seperti pengembangan lembaga keuangan mikro,
koperasi dan perbankan yang yang sudah ada yang dapat dijangkau baik dari
sisi bunga maupun persyaratannya dan ini perlu insentif pembiayaan dari APBD
provinsi dan kabupaten/kota. Campur tangan pemerintah diperlukan di sini
sehubungan dengan keengganan dari sektor keuangan formal dalam
memberikan kredit ke bidang pertanian karena tingginya resiko usaha, tidak
adanya atau keterbatasan agunan tambahan, masih sedikitnya pihak yang
bersedia menjadi penjamin (avalist) dan masa angsuran yang mengikuti siklus
panen. Hal tersebut jika dibiarkan saja dapat berakibat petani akan terlilit oleh
sistem ijon yang dapat mengurangi pendapatan petani.
6. Perlu kebijakan pembiayaan dengan insentif pada besaran bunga dari APBD
kepada investor yang berminat di bidang pertanian baik dari sisi alsintan, input
produksi, distribusi, pasar dan pengolahan produk turunan dari produk pertanian.
Apabila industri atau usaha skala besar ini tewujud, maka usahatani pada tingkat
on farm akan terangkat karena ada jaminan pasokan input produksi dan atau
ada jaminan pasar yang akan menyerap hasil produksi pertanian.
7. Pada kegiatan pemasaran, perlu kebijakan pemasaran bersama yang bersifat
saling mendukung dan melengkapi antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota maupun antar pemerintah kabupaten/kota. Hal ini
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-59
penting untuk dirumuskan agar terdapat sinergi upaya untuk memperlancar
pemasaran komoditi dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat
petani, pekebun, peternak maupun petani ikan/ nelayan, mencapai ketahanan
pangan maupun komoditi bernilai ekonomi tinggi (komersial).
8. Kerjasama dalam kegiatan promosi juga perlu disusun baik antar provinsi dan
kabuparten/kota, maupun dengan pihak perusahaan BUMN/BUMD maupun
swasta untuk memperkuat memperluas jangkauan pemasaran dan
mengefisienkan biaya. Kerjasama ini dapat diwujudkan dengan pembuatan
website bersama pemerintah provinsi/kabupaten dan perusahaan-perusahaan
tersebut secara langsung atau interlink untuk mempromosikan dan memasarkan
produksi unggulan Sumatera Selatan.
9. Perlu kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM di bidang pertanian karena
permasalahan lingkungan dan keamanan pangan dimasa mendatang menjadi
issu yang sangat diperhatikan oleh masyarakat seperti permasalahan pupuk
bersubsidi, pertanian organik dan persaingan global yang akan berpengaruh
langsung terhadap kelangsungan usaha pertanian. Menghadapi permasalahan
dan persaingan tersebut mau tidak mau kualitas petani kita harus ditingkatkan
baik dari pengetahuannya maupun keterampilannya.
10. Perlu kebijakan pengembangan pertanian terpadu di setiap kabupaten/kota
karena peningkatan pendapatan dan efisiensi usahatani merupakan salah satu
tujuan pembangunan pertanian dan selama ini usahatani yang dilakukan bersifat
monokultur belum terjadi integrasi antara tanaman, hewan dan usaha lain yang
bersifat simbiose mutualistik. Untuk meningkatkan pendapatan dan efisiensi
dapat dilakukan sistem usahatani terpadu, antara lain sistem integrasi kelapa
sawit dan sapi, kambing dan tanaman kopi, tanaman padi/jagung, ikan dan
ternak ayam dan lain-lain. Dengan usahatani terpadu yang mutualistik akan
terjadi pengurangan biaya produksi karena input produksi usaha jenis tertentu
dapat diperoleh dari produksi sampingan atau limbah dari jenis usaha atau
komoditas yang lain, demikian juga sebaliknya, misalnya pupuk organik dan
bahan pakan ternak. Selain itu penerapan usaha terpadu tersebut dapat
meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan pendapatan usahatani.
11. Perlu kebijakan untuk mempercepat pengembangan agroindustri di
kabupaten/kota yang memiliki potensi komoditas pangan yang melimpah dan
efisien dalam memproduksinya. Hal tersebut diperlukan mengingat sebagian
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-60
besar usaha di bidang pertanian secara luas hanya berkutat di on farm. Padahal
komoditas tersebut dapat diolah untuk menciptakan nilai tambah, penyerapan
tenaga kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu dengan adanya
agroindustri yang dapat mengolah produk primer menjadi ptoduk turunannya
akan menjamin kepastian pasar bagi petani dan harga akan relatif stabil.
Agroindustri tersebut tentunya dapat berbahan baku lokal seperti beras, jagung,
ubi kayu, CPO, kelapa, nenas, pisang, daging sapi, daging ayam, ikan dan lain-
lain.
C.9. Indikator Kehutanan
9.1 Capaian Indikator
Tabel 2.12.
Capaian Indikator Kehutanan
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase luas Lahan Rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
1,03
0,93
0,83
0,26
0,26
0,25
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
9.2. Analisis Pencapaian Indikator
9.2.1. Persentase luas Lahan Rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-61
Gambar 2.21. Grafik Pencapaian Indikator Persentase luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan terhadap
Lahan Kritis
Masih luasnya lahan kritis atau potensial kritis di Provinsi Sumatera Selatan
berdasarkan data BPDAS Musi pada tahun 2009 tercatat lahan kategori kritis seluas
3.439.632,73 hektar dan kategori sangat kritis seluas 208.507,77 hektar. Kondisi ini
ternyata berdampak negatif cukup besar terhadap kelestarian lingkungan dan
keseimbangan ekosistem. Peningkatan lahan kritis juga memicu terjadinya bencana alam
seperti banjir, tanah longsor maupun kekeringan. Data menunjukkan bahwa secara total
di luar dan dalam kawasan hutan di provinsi Sumatera Selatan belum dihasilkan
penurunan signifikan total luasan lahan kritis dari tahun 2008 (3.061.153,60 hektar)
menjadi 3.035.457 hektar di tahun 2009.l Walaupun sebenarnya jika dicermati bahwa
lahan kritis di luar kawasan hutan yang meningkat dari 1.380.860,60 hektar (2008)
menjadi 2.745.434 hektar pada tahun 2009. Sebaliknya di dalam kawasan hutan sendiri
telah berhasil dilakukan penurunan lahan kritis dari 1.680.293 hektar (tahun 2008)
menjadi 290.023 pada tahun 2009. Ini menunjukkan bahwa telah nyata tercatat
keberhasilan Sumatera Selatan dalam mengatasi timbulnya lahan kritis di kawasan hutan.
Peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan bertujuan untuk
meningkatkan fungsi dan daya dukung sumber daya hutan dengan berbagai upaya
seperti pemantapan kawasan hutan melalui pemantapan tata batas dan penetapan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), optimalisasi hutan produksi, serta peningkatan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-62
fungsi dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Disamping itu, peningkatan
konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan ditujukan untuk meningkatkan konservasi
keanekaragaman hayati dan perlindungan hutan. Terjadinya deforestasi dan degradasi
hutan di Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh eberapa faktor utama, yaitu:
Kebakaran dan perambahan hutan; Illegal loging dan illegal trading didorong oleh adanya
permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainnya di pasar lokal, nasional dan
global; Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan,
pemukiman, dsb; Adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui
pinjam pakai kawasan hutan; dan Pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan
prinsip-prinsip PHL.
Walaupun demikian berbagai tindakan nyata telah dilakukan dalam upaya
menjawab dua kebijakan strategis sektor kehutanan, yaitu : (i) Pengembangan hutan
tanaman , dan (ii) Rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam upaya pemanfataan potensi
sumberdaya hutan, Provinsi Sumatera Selatan telah membentuk KPHP (Kesatuan
Pengelolaan Hutan produksi,. Selain itu di sektor ini telah dilakukan perencanaan dan
pengembangan Hutan kemasyarakatan; Pelepasan Kawasan hutan lindung Pantai Air
Telang untuk kebutuhan pembangunan pelabuhan samudra Tanjung Api-api; pengukuhan
dan penatagunaan hutan; Inventarisasi sumberdaya hutan tingkat provinsi, dan
Pendampingan studi kelayakan pengadaan peta lanskap Tanjung Api-Api.
Implementasi program perencanaan dan pengembangan hutan dilakukan melalui
beberapa kegiatan, antara lain; In house training perencanaan teknis dan SIG Kehutanan;
Pembuatan sistem Informasi Perencanaan dan pengendalian Kehutanan; Monitoring,
Evaluasi dan Pelaporan.
Program peningkatan pemasaran hasil produksi pertanian/kehutanan diterapkan
melalui kegiatan: Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); Kegiatan
pengendalian peredaran hasil hutan; Perluasan akses layanan informasi pemasaran hasil
hutan; Penyelidikan kasus peredaran hasil hutan; dan Fasilitasi Forum Rimbawan.
Pemantauan titik merupakan bagian pengelolaan penanggulangan kebakaran
lahan/hutan dan kebun yang terpantau yang dilaksanakan oleh Forest Fire Prevention and
Control Project (FFPCP) kerjasama Indonesia dengan Uni Eropa. Hasil pemantauan titik
panas ini akan sangat berguna bagi pihak-pihak terkait dan masyarakat untuk segera
secara bersama menindaklanjuti penanggulangannya. Namun demikian belum optimalnya
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-63
penurunan areal kebakaran hutan juga dipengaruhi oleh faktor iklim, khususnya selama
tahun 2009 terjadi kemarau yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini memicu berlangsungnya kebakaran lebih lama dan lebih meluas.
Tabel 2.13.
Rekapitulasi rencana kegiatan RHL secara vegetatif pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.
No Kab/Kota Luar Kawasan (Ha) Dalam Kawasan (Ha) Total (Ha)
Fungsi Budaya Fungsi Lindung
HK HL HP
1 Musi rawas 327.030.453 64.476.636 711.253 121.786 52.592.272 444.932.400
2 Banyuasin 196.952.020 65.806.362 61.643.796 1.348.352 27.829.372 353.579.902
3 OKI 222.818.239 14.484.672 5.622.828 13.232.188 251.670.624 507.828.551
4 Empat Lawang 76.245.290 38.465.703 1.269.560 9.897.520 36.798 125.854.871
5 Lubuk Linggau 11.997.191 7.552.843 289.909 166.126 96.162 20.102.231
6 OKU Timur 107.383.367 18.762.322 - - - 124.145.689
7 OKU 99.675.573 29.249.240 - 92.515.263 22.189.416 243.629.492
8 Ogan Ilir 87.715.167 10.461.408 - - 664.545 98.841.120
9 Muara Enim 311.755.725 79.587.491 2.185.402 57.840.198 18.772.840 470.141.656
10 Lahat 128.434.411 71.420.094 11.193.391 11.175.488 2.038.685 224.262.069
11 OKU Selatan 156.452.689 49.954.964 9.546.341 123.179.476 14.202.571 353.336.041
12 Pagar Alam 16.144.292 8.535.778 - 26.866.954 - 51.547.024
13 Palembang 9.372.041 1.764.217 - - - 11.136.258
14 Prabumulih 29.083.713 4.617.262 - - - 33.700.975
15 Musi Banyuasin
375.383.445 97.365.663 32.431 41.452 114.471.734 587.294.725
Total (Ha) 2.156.443.616 500.504.655 92.494.911 19.693.756 411.012 180.950.410
Sumber RTk RHL, 2009
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-64
9.3. Rekomendasi Kebijakan
1. Dibutuhkan koordinasi yang sinergis antara semua pihak yaitu : pemerintah
(pusat, propvnsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa); BUMN/BUMD dan
swasta (LSM,organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan dan lain-lain).
Koordinasi juga harus terjalin antara instansi yang menangani sektor kehutanan
di kabupaten/kota dan Bappeda di Wilayah DAS Musi.
2. Secara rekapitulasi maka rekomendasi Rehabilitasi hutan dan lahan di dalam
wilayah DAS Musi disajikan pada Tabel 2.13. Dengan telah disusunnya
Rencana Teknis ini maka kabupaten kota dalam DAS Wilayah Musi diharapkan
mematuhi kesepakatan demi keberhasilan target Rehabilitasi Hutan dan Lahan
di Provinsi Sumatera Selatan.
3. Diperlukan sistem kelembagaan yang kuat dengan pembentukan Kesatuan
Pengelola Hutan (KPH), karena melalui pembangunan KPH sebetulnya
diharapkan akan dapat dicapai sasaran- sasaran sebagai berikut: (1)
Mengurangi degradasi hutan; (2) Tercapainya PHL; (3) Meningkatnya
kesejahteraan masyarakat lokal; (4) Stabilisasi penyediaan hasil hutan; (5)
Mengembangkan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan; (6)
Percepatan rehabilitasi dan reforestasi; (7) Memfasilitasi akses pada pasar
karbon. Mengingat luasnya wilayah hutan yang ada maka diusulkan dapat
dibentuk 24 KPH di Provinsi Sumatera Selatan (baru ditetapkan 20 unit KPH).
Proses ini telah dimulai sejak tahun 2006 dengan telah dilakukan berbagai
persiapan berupa sosialisasi/konsultasi publik, penyusunan rencana kegiatan
dan peningkatan kualitas SDM. Sampai dengan akhir tahun 2009 telah
dilanjutkan dengan Penyusunan Rancangan Pembangunan KPHL Model di
beberapa Kabupaten antara lain: Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan;
Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten Banyuasin.
4. Penyediaan alokasi APBN pada Program Kebun Bibit Rakyat yang baru terbatas
kepada pemberian bibit untuk persemaian (213 unit persemaian atau setara
dengan 26.625 hektar) yang akan dilaksanakan oleh 14 kabupaten/kota di
wilayah Provinsi Sumatera Selatan harus diikuti dengan peningkatan peranserta
masyarakat. Pembangunan Kebun Bibit Desa dan bantuan bibit tanaman
kehutanan dan tanaman buah-buahan kepada masyarakat memerlukan
pendekatan persuasif kepada masyarakat berupa pendampingan berkelanjutan
sehingga masyarakat bertanggung jawab atas kawasan hutan di
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-65
sekitarnya. Pengawasan tindakan ilegal di kawasan hutan harus melibatkan
masyarakat secara penuh dengan insentif berupa alokasi dana program
berbasis masyarakat.
5. Pembangunan hutan tanaman melalui analisis ekonomi yang valid akan
membuat masyarakat berpindah pola mata pencahariannya. Hal ini perlu
ditunjang dengan pemantapan status kawasan hutan dan hutan tanaman
sehingga dapat mencegah terjadinya konflik lahan. Selain itu pembangunan
Hutan Desa; Hutan Kemasyarakatan; Hutan Tanaman Industri; dan Restorasi
Ekosistem direkomendasikan untuk terus ditingkatkan.
6. Rehabilitasi pada Daerah Hulu yang berfungsi sebagai wilayah tangkapan air
harus terus ditingkatkan. Untuk itu harus dikembangkan model Pengelolaan
DAS Terpadu yang berarti harus adanya keterpaduan dari berbagai sektor
sesuai tugas dan kewenangannya dengan berpedoman kepada tata ruang dan
master plan pengelolaan sesuai karakteristik DAS.
7. Pengendalian kebakaran hutan yang memang juga dipicu oleh perubahan iklim
harus melibatkan masyarakat agar “melek” akan resiko lingkungan.
Pendampingan oleh LSM yang peduli lingkungan diharapkan dapat
menghasilkan output lebih baik dibandingkan pendampingan oleh aparatur
pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut maka alokasi dana harus
dipersiapkan secara transparan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya
manusia.
8. Tahun 2010-2014 merupakan tahun kerja keras bagi sektor kehutanan RI. Hal
ini terkait dengan kontrak kinerja Menteri Kehutanan RI yang memiliki target
dalam peningkatan rehabilitasi seluas 500.000 ha/tahun disamping sektor
kehutanan untuk menurunkan 14 % emisi gas rumah kaca melalui penanaman
pohon. Untuk itu diperlukan peningkatan Indeks Penutupan Lahan (IPL) dalam
rangka mengurangi erosi (surface run off) pada pengelolaan hutan dan lahan.
Berbagai kegiatan seprti OMOT (One Man One Tree) jangan hanya bersifat
seremonial aparatur pemerintah, tetapi harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat pemelihara.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-66
C.10. Indikator Kelautan
10.1 Capaian Indikator
Tabel 2.14. Capaian Indikator Kelautan
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah tindak pidana Perikanan
- - - - - -
Luas kawasan Konservasi Laut (juta ha)
93,44 92,49 93,16 93,30 93,55 93,81
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
10.2. Analisis Pencapaian Indikator
10.2.1. Jumlah tindak pidana perikanan
Indikator kelautan yang berkaitan dengan jumlah tindak pidana perikanan belum
didapat datanya. Dari hasil telusur data diketahui bahwa tidak ada catatan jumlah tindak
pidana perikanan. Data yang tersedia adalah data yang berkaitan dengan tindak pidana
yang dilakukan di laut dan di sungai seperti perampokan nelayan dan penumpang kapal di
laut maupun disungai.
10.2.2. Luas kawasan Konservasi Laut (juta ha)
Luas kawasan konservasi laut berdasarkan Tabel 2.14 menunjukkan
perkembangan yang cenderung meningkat. Peningkatan mulai terlihat sejak tahun 2005,
yang berawal seluas 92,49 juta hektar, meningkat menjadi 93,16 di tahun 2006, dan
selanjutnya meningkat terus walaupun dengan angka peningkatan yang relatif rendah,
hingga berada pada angka 93,81 juta hektar di tahun 2009.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-67
10.3. Rekomendasi Kebijakan
Provinsi Sumatera Selatan merupakan wilayah yang secara geografis bukanlah
wilayah kelautan. Sebelum Provinsi Kepualauan Bangka Belitung memisahkan diri dari
Provinsi Sumatera Selatan dengan membentuk provinsi sendiri, wilayah kelautan menjadi
bagian dari fokus pembangunan, namun setelah Provinsi Babel menjadi provinsi sendiri,
otomatis bidang kelautan menjadi bagian potensi Provinsi Babel, sehingga potensi ini
tidak menjadi perhatian utama di Sumatera Selatan.
C.11. Indikator Kesejahteraan Sosial
11.1 Capaian Indikator
Tabel 2.15. Capaian Indikator Kesejahteraan Sosial
Indikator Hasil (Output) Capaian per tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penduduk Miskin 20,92 21,01 20,99 19,15 17,67 16,28
Tingkat Pengangguran Terbuka
8,37 12,82 9,33 9,34 8,10 7,86
Sumber : BPS Sumatera Selatan, 2009
Kondisi kemiskinan di Sumatera Selatan, berdasarkan data laporan BPS Provinsi
Sumatera Selatan pada tahun 2004 tercatat sebesar 1.379.346 jiwa dan menjadi
1.429.000 jiwa pada tahun 2005 dan mengalami penurunan menjadi 1.342.137 jiwa pada
tahun 2008, serta tahun 2009 diperkirakan menjadi 1.339.812 jiwa atau 18,60 persen.
Data jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan, diberlakukannya program
SLT angka kemiskinan meningkat secara signifikan, hal tersebut dibuktikan dengan angka
kemiskinan hasil pendataan BPS tahun 2004 sebesar 20.92 % menjadi 31,75 % dari
jumlah penduduk Sumatera Selatan 2005. Pada tahun 2006 jumlah angka kemiskinan
mengalami kenaikan. Jumlah Kartu Kompensasi BBM (KKB) yang telah dibagikan
melalui program SLT sebanyak 482.805 KKB sedangkan jumlah rumah tangga miskin
tambahan berdasarkan laporan posko sebanyak 392.562 rumah tangga. Daerah kantong-
kantong kemiskinan petanya meluas seiring dengan bertambahnya penduduk miskin.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-68
Namun berdasarkan data angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS dan
Pemerintah Sumatera Selatan, jumlah angka kemiskinan setiap tahunnya mengalami
penurunan. Tahun 2006 jumlah penduduk miskin naik menjadi sebanyak 1.429.000 jiwa
atau 21,01 persen dan pada tahun 2007 penduduk miskin di wilayah perkotaan
mengalami kenaikan, dan sebaliknya di perdesaan mengalami penurunan, meskipun
secara total mengalami penurunan dan menjadi 1.331.800 jiwa, atau 19,15 persen. Tahun
2009 menurun menjadi 18,60 persen.
11.2. Analisis Pencapaian Indikator
11.2.1. Persentase Penduduk Miskin
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 2004-2009 berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Pada periode 2004-2005 jumlah penduduk miskin meningkat dari 20,92%
menjadi 21,01%. Perkembangan cukup baik terjadi pada kurun waktu 2006 hingga tahun
2009, dimana persentase penduduk miskin di Sumatera Selatan terus menurun hingga
mencapai angka 16,28 di tahun 2009.
Gambar 2.22.
Grafik Pencapaian Indikator Persentase Penduduk Miskin
Persentase Penduduk Miskin
20.92 21.01 20.9919.15
17.67 16.28
12.82 12.829.33
9.348.11
7.88
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Per
sen
tase
PersentasePenduduk Miskin
TingkatPengangguran
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-69
Masalah ketenagakerjaan masih merupakan fenomena pelik, karena masih
tingginya angka pengangguran. Meskipun sejak tahun 2005 tren angka pengangguran
terbuka mengalami penurunan. Tahun 2005 sebesar 12,82 persen menjadi 8,89 persen
tahun 2009. Di perkotaan jumlah penganggur terbuka lebih besar dibandingkan dengan
di pedesaan.
Gambar 2.23. Grafik Pencapaian Indikator Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat Pengangguran Terbuka
70.96 69.64 69.03 69.26 69.49 69.53
61.86 63.14 62.58 62.95 63.31 63.4
8.3712.82
9.33 9.34 8.1 7.86
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun
Pe
rse
nta
se
Tingkat PartisipasiAngkatan Kerja
Persentase Pendudukyang Bekerja
Tingkat Pengangguran
Berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2005, tingkat pengangguran terbuka yang
tertinggi adalah lulusan sekolah menengah umum yaitu 13,95 persen, diikuti lulusan SLTP
sederajat sebesar 11,78 persen dan tamatan perguruan tinggi sebesar 10,81 persen.
Sedangkan berdasarkan tingkat umur, penganggur terbuka terbesar terdapat pada
kelompok usia muda ( 15-19 tahun ) yaitu 31,78 persen dan umur 20 – 24 tahun sebesar
21,66 persen pada tahun 2005.
Menciutnya lapangan kerja formal yang mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor formal telah mengalami penciutan sehingga
terjadi pengurangan yang cukup signifikan terhadap jumlah pekerja. Disisi lain sektor
informal terus mengalami pertumbuhan. Meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal
ini disebabkan banyak pekerja yang tidak mampu ditampung di sektor formal sehingga
mereka beralih ke sektor informal. Apabila kondisi ini dibiarkan maka akan berdampak
pada semakin tertekannya sektor informal dan menimbulkan pengangguran terselubung.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-70
Tabel: 2.16 Kondisi Capaian Ketenagakerjaan tahun 2005-2009
Provinsi Sumatera Selatan
No. Kelompok 2005 2006 2007 2008 2009
1 Penduduk yang Bekerja 2.917.818 3.021.938 3.057.518 3.118.505 3.208.006
2 Penduduk yang menganggur 429.113 310.851 314.814 312.578 312.833
3 Angkatan Kerja 3.346.931 3.332.789 3.373.332 3.431.083 3.520.839
4 Bukan Angkatan kerja 1.369.643 1.452.881 1.511.816 1.493.839 1.546.061
5 Penduduk Usia Kerja 4.716.574 4.785.670 4.885.148 4.953.900 5.066.900
6 Tingkat Pengangguran 12,82 9,33 9,34 8.11 7,88
7 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)
70,96 69,64 69,03 69.26 69.49
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Selatan
Disamping itu, masih banyaknya pekerja yang bekerja dilapangan kerja yang
kurang produktif. Akibatnya semakin banyaknya jumlah pekerja yang bekerja disektor
informal menyebabkan sektor ini menjadi kurang produktif dan berakibat pada rendahnya
pendapatan akibatnya pekerja rawan jatuh dibawah garis kemiskinan (near poor).
Disamping itu terjadi fenomena dimana semakin meningkatnya jumlah setengah
pengangguran khususnya disektor informal dan sektor pertanian. Masih rendahnya upah
tenaga kerja. Rendahnya upah tenaga kerja sangat mempengaruhi produktivitas pekerja
itu sendiri. Kebijakan upah minimum yang diterapkan oleh pemerintah belum sepenuhnya
memenuhi standar kebutuhan hidup minimum (KHM). Kondisi demikian tidak jauh
berbeda dengan tahun-tahun berikutnya meskipun terjadi perbaikan upah minimum
Provinsi. Namun demikian tingkat upah minimum tersebut tidak mampu memenuhi
seluruh kebutuhan hidup minimum pekerja. Ironisnya, kondisi ini berlaku pada sektor
yang padat karya dan banyak melibatkan pekerja-pekerja yang umumnya kondisi
ekonominya berada pada garis kemiskinan, sehingga dengan sendirinya tidak mampu
untuk meningkatkan produktivitasnya. Hal ini diperparah lagi dengan masih adanya
perusahaan-perusahaan yang belum sepenuhnya menerapkan kebijakan upah minimum
dan lalai memenuhi hak-hak normatif pekerja. Akibatnya hubungan industrial antara
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-71
pekerja dengan pengusaha menjadi tidak harmonis dan banyak tuntutan-tuntutan pekerja
yang berakibat pada terhambatnya proses produksi perusahaan.
Masih rendahnya kualitas tingkat keterampilan tenaga kerja. Kualitas pekerja di
Sumatera Selatan antara lain dapat dilihat pada tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Tingkat pendidikan angkatan kerja Sumatera Selatan pada tahun 2004, sebagian besar
adalah tamatan SMU ke bawah yaitu sebesar 89 persen. Sedangkan bagi lulusan
perguruan tinggi (diploma dan sarjana) hanya sebesar 2,55 persen. Tahun 2005,
sebagian besar penduduk usia kerja sebesar 76,66 persen hanya berpendidikan SLTP ke
bawah, pendidikan setingkat SLTA sebesar 19,65 persen dan pendidikan lebih tinggi dari
SLTA sebesar 3,69 persen.
Rendahnya kualitas pekerja di Sumatera Selatan tidak hanya terjadi pada pekerja
yang berpendidikan menengah kebawah tetapi terjadi pula pada pekerja yang
berpendidikan diploma atau sarjana. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengangguran
tamatan pendidikan tinggi memiliki proporsi yang cukup besar yaitu 4,06 persen untuk
tamatan diploma dan 3,51 persen untuk yang bergelar sarjana. Rendahnya keterampilan
pekerja tersebut lebih disebabkan sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada muatan
keterampilan. Namun hasil Susenas memperlihatkan bahwa penduduk yang bekerja tidak
sepenuhnya bekerja, karena masih ada penduduk yang bekerja memiliki jam kerja yang
relative pendek yaitu kurang dari 35 jam per minggunya, sehingga dianggap sebagai
setengah menganggur.
12.3. Rekomendasi Kebijakan
Paradigma penanggulangan kemiskinan harus dirubah menjadi paradigma bahwa
persoalan kemiskinan menjadi persoalan bersama dan multi pihak. Implikasi dari
pemikiran tersebut mendorong dalam mengimplementasikan program dan kegiatan
terhadap kurangnya keberhasilan penanggulangan kemiskinan antara lain: program
penanggulangan kemiskinan kurang berbasis pada warga miskin, posisi warga miskin
ditempatkan hanya sebagai obyek program, kesempatan untuk melibatkan warga miskin
dalam proses pengambilan keputusan dari mulai perencanaan program, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi cenderung diabaikan dan cenderung bersifat elitis, dalam
menyusun perencanaan maupun pelaksanaan program masih cenderung sektoral,
menentukan kriteria miskinpun masih sendiri-sendiri, berjalan sendiri-sendiri antar SKPD,
maupun pemerintah dengan LSM, dunia usaha dan kelompok peduli lainnya. Belum
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-72
terjadinya integrasi program dalam penanggulangan kemiskinan, yang dilakukan lebih
pada kegiatan karitatif sehingga cenderung tidak memandirikan masyarakat miskin.
Paradigma penanggulangan kemiskinan dilakukan secara sinergis dengan menempatkan
masyarakat miskin sebagai pelaku, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi serta manajemen pengendalian dalam keberlanjutan hasil pembangunan.
Dampak pengangguran adalah tingkat angka kriminalitas mengalami kenaikan,
seperti meningkatnya tindak kejahatan pencurian, meskipun masih dalam kewajaran,
dalam pengertian tidak sampai meresahkan masyarakat dalam skala luas. Penyebab
pengangguran adalah ada kecenderungan bahwa arah pembangunan yang lebih menitih
beratkan pada bidang ekonomi saja, sehingga ukurannya adalah produktivitas dan
menggunakan teknologi tinggi dan padat modal, dan ada kecenderungan pengembangan
ekonomi tidak memiliki efek multiplier yang luas, sehingga akibatnya penyerapan tenaga
kerja relatif rendah. Oleh karena itu, kedepan arah kebijakan ketenagakerjaan diarahkan
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, dengan menciptakan investasi baru, menekan
laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan pembangunan sosial atau peningkatan
usaha kesejahteraan masyarakat.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan program pembangunan Nasional di
Provinsi Sumatera Selatan yang merujuk pada RPJMN 2004-2009 dlama koridor tiiga
agenda pembangunan dapat disimpulkan beberapa hal berikut :
1. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai
Penciptaan rasa aman dan damai dalam hidup bermasyarakat yang merupakan
kewajiban pemerintah/negara telah dilaksanakan relatif baik selama lima tahun terakhir
oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di wilayah Sumatera Selatan. Alat negara
sebagai penegak hukum seperti: kepolisian, kejaksaan, dan hakim, dibantu pengacara
trlah melaksanakan kewajibananya untuk memelihara keamanan dan perdamaian, serta
menjatuhkan sanksi pidana penjara/kurungan kepada pelaku kejahatan. Namun untuk
mengoptimalkan peran penegak hukum tersebut diperlukan kebijakan yang berkaitan
dengan perencanaan yang progresif dan responsif dengan mengoptimalkan sumber daya
manusia penegak hukum. Selain itu diperlukan juga kebijakan pendukung yang
mengarah pada perbaikan sistem peradilan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-73
2. Agenda Pembangunan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Peningkatan dan perbaikan sistem pelayanan publik bagi masyarakat secara
perlahan telah menumbuhkan rasa keadilan dan demokratis di Sumatera Selatan.
Masyarakat mempunyai hak untuk mendapat keadilan dalam berbagai kegiatan, seperti
dalam proses peradilan, pelayanan publik dan keterbukaan dalam pengelolaan anggaran
belanja pemerintah daerah. Untuk mebuat kinerja dalam aspek ini lebih baik masih
diperlukan peningkatan peranan pemerintah dalam optimalisasi penyelesaian tindak
pidana, pembentukan unit/badan pelayanan terpadu satu pintu disetiap kabupaten/kota,
dan peningkatan transparansi pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
Hak, kewajiban dan kesempatan yang sama bagi kaum perempuan dan laki-laki
untuk berperan dalam kegiatan pembangunan di segala bidang di Sumatera Selatan
tampaknya masih relatif bias terhadap kepentingan kaum laki-laki. Untuk itu masih
diperlukan kebijakan dan program pemberdayaan SDM perempuan sehingga dapat
berperan lebih banyak dan seimbang dalam proses di berbagai bidang pembangunan,
dan pengembangan perencanaan pembangunan yang responsif gender.
3. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat telah diupayakan oleh Pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan dengan berbagai program pembangunannya, yang kinerjanya
dicerminkan dari menurunnya angka kemiskinan, penurunan angka pengangguran,
peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan maupun IPM, membaiknya kondisi
kesehatan, peningkatan pendapatan masyarakat, dan lain-lain. Namun demikian masih
terdapat peluang untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
peenyusunan perencanaan maupun pelaksanaan program yang terpadu antar sektor
maupun antara pemerintah dengan masyarakat.
Selain itu pelayanan penddidikan dan kesehatan masih perlu ditingkatkan melalui
pengembangan program bidang-bidang tersebut secara terpadu., antara lain peningkatan
jangkauan pelayanan pendidikan dan kesehatan sampai pada masyarakat di daerah
terpencil. Untuk itu tentu perlu peningkatan sumber daya kesehatan, sarana-prasarana,
asuransi kesehatan yang terjangkau dan mutu kualitas pelayanan kesehatan.
Pertumbuhan investasi PMA dan PMDN di Sumatera Selatan yang cenderung
meningkat membutuhkan optimalisasi fungsi pelayanan terpadu satu atap yang telah
dioperasikan beberapa waktu yang lalu. Ketersediaan infrastruktur dan fasilitas publik
yang memadai sangat penting sebagai daya tarik investor untuk merealisasikan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-74
investasinya di berbagai sektor ekonomi, antara lain pasokan energi gas dan listrik,
perbaikan infrastruktur transportasi, pembenahan birokasi perizinan, penetapan suku
bunga pinjaman perbankan yang wajar pembatasan transaksi di dalam negeri yang
menggunakan valuta asing, perbaikan kondisi keamanan di pelabuhan laut dan bandar
udara, perpajakan bagi PMA yang efisien, penerapansingle identity yang berlaku bagi
dunia usaha serta adanya intervensi dari pihak eksternal terhadap operasional
perusahaan.
Masih diperlukan upaya menstabilkan dan meningkatkan Nilai Tukar Petani sebagai
indikator kesejahteraan ekonomi mereka melalui kebijakan penerapan hasil riset di bidang
input yang efisien dan ramah lingkungan seperti pelaksanaan pertanian organik;
penerapan hasil riset bidang produksi dan pengolahan pangan berbahan baku lokal;
kebijakan yang khusus mengatur tataniaga dan distribusi input produksi yang lebih
menjamin ketersediaan input produksi pagi petani untuk melengkapi kebijakan yang ada;
sinkronisasi kebijakan provinsi dan kabupaten/kota dalam meningkatkan infrastruktur di
lingkungan usaha pertanian; kebijakan akses pinjaman modal dengan beban bunga atau
biaya modal yang wajar bagi petani; kebijakan pembiayaan dengan insentif pada besaran
bunga dari APBD kepada investor yang berminat di bidang pertanian baik dari sisi
alsintan, input produksi, distribusi, pasar dan pengolahan produk turunan dari produk
pertanian; kebijakan pemasaran bersama yang bersifat saling mendukung dan
melengkapi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota maupun antar
pemerintah kabupaten/kota. kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM di bidang
pertanian karena permasalahan lingkungan dan keamanan pangan; kebijakan
pengembangan pertanian terpadu di setiap kabupaten/kota karena peningkatan
pendapatan dan efisiensi usahatani merupakan salah satu tujuan pembangunan pertanian
dan selama ini usahatani yang dilakukan bersifat monokultur belum terjadi integrasi antara
tanaman, hewan dan usaha lain yang bersifat simbiose mutualistik; kebijakan untuk
mempercepat pengembangan agroindustri di kabupaten/kota yang memiliki potensi
komoditas pangan yang melimpah dan efisien dalam memproduksinya.
Untuk meningkatkan pelestarian lingkungan dalam pembangunan perlu koordinasi
yang sinergis antara semua pihak yaitu : pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan dan desa); BUMN/BUMD dan swasta (LSM,organisasi masyarakat, organisasi
kepemudaan dan lain-lain). Koordinasi juga harus terjalin antara instansi yang menangani
sektor kehutanan di kabupaten/kota dan Bappeda di Wilayah DAS Musi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
II-75
Kecenderungan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Sumatera
Selatan menunjukkan membaiknya kinerja pembangunan bidang tersebut di provinsi ini,
yang sebabkan terbukanya kesempatan kerja dalam beberapa sektor seperti perkebunan,
pembangunan infrastruktur dan perumahan, pertambangan dan sektor informal. Namun
demikian, masih diperlukan upaya untuk menerapkan upaya terpadu dalam
menanggulangi kedua masalah tersebut secara terpadu, tepat sasaran dan bersifat
komprehensif sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-1
A. Pengantar
Penyelenggaraan pembangunan nasional akan berjalan lancar dan mencapai
sukses apabila dilaksanakan secara sinergis, terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik
secara horizontal dan vertikal mulai dari perencanaannya, pelaksanaan, pemantauan
hingga evaluasinya. Dapat dilihat bahwa hal krusial pertama yang mesti diperhatikan
adalah pada aspek perencanaan. Penyusunan rencana agenda pembangunan nasional
dilihat dalam konteks hubungan horizontal adalah sejauh mana dapat mencerminkan
adanya sinergi, integrasi, dan koordinasi lintas kementerian, sementara dalam konteks
vertikal, bagaimana hal itu terjadi antar rencana pembangunan nasional dan rencana
pembangunan daerah.
Upaya mengkaji relevansi antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD
adalah sangat tepat dan perlu didukung penuh karena dari hasilnya berbagai pihak dapat
melihat dan menilai ada atau tidaknya kaitan yang erat antara agenda yang menjadi
rencana pembangunan nasional dengan agenda yang menjadi rencana pembangunan di
masing-masing provinsi. Dengan kata lain apakah rencana pembangunan setiap provinsi
mendukung dan/atau relevan dengan rencana pembangunan nasional, karena menurut
aturannya RPJMD mesti mengacu pada RPJMN. Tentu yang menjadi persoalan adalah
adanya perbedaan kurun waktu RPJMN dan RPJMD. Apabila RPJMD yang ada saat ini
mempunyai kurun waktu yang sama dengan RPJMN, yaitu tahun 2010 – 2014, menilai
relevansi atau dukungan program pembangunan provinsi terhadap pembangunan
nasional cukup tepat. Akan tetapi jika masa berlaku RPJMD mendahului RPJMN,
misalnya untuk kasus Sumatera Selatan yang RPJMD-nya untuk kurun waktu 2008 –
2013 dan mengacu pada RPJMN 2004 – 2009, maka boleh jadi relatif sedikit program
yang relevan, sinkron ataupun mendukung program prioritas nasional. Untuk kepentingan
3 RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-2
percepatan kemajuan pembangunan nasional, patut dipertimbangkan untuk melakukan
upaya menjaga konsistensi RPJMD yang selalu mengacu pada RPJMN terbaru. Hal
tersebut berimplikasi politis bagi dilakukannya pemilihan seluruh kepala daerah secara
serentak, bersamaan dengan atau segera setelah pemilihan presiden dan wakil presiden.
Manfaat besar lainnya adalah terjadinya efisiensi dana untuk kegiatan pemilihan tersebut.
B. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional
Tabel 3.1
Prioritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional
No. RPJMN 2010-2014 RPJMD Provinsi SumselTahun 2008 - 2013
Analisis Kualitatif*)
Penjelasanterhadap Analisis Kualitatif
Prioritas Pembangunan
Program Aksi PrioritasPembangunan
Program
1. PRIORITAS 1. REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA
Otonomi Daerah; Penataan otonomi daerah melalui
Penghentian/ pembatasan pemekaran wilayah;
Peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan danaperimbangan daerah;
Penyempur-naan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan masih mengusulkan pemekaran dua Kabupaten (Muara Enim dan Musi rawas)
Provinsi Sumsel dalam RPJMD 2008 - 2013 belum memprioritas-kan efesiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan pusat dan daerah
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-3
Regulasi;
Percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah peraturan daerah selambat-lambatnya 2011;
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Provinsi Sum-sel dalam RPJMDbelum memprioritas-kan perce-patan harmo-nisasi dan sinkronisasi perundang-undangan pusat dan daerah
Sinergi Antara Pusat dan Daerah;
Penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Membangun pemerintahan yang amanah berdasarkan prinsip demokratis, berkeadilan, jujur dan bertanggungjawab, serta akuntabel
Program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah/ wakil kepala perah.
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional.
Program yang ada di Sumsel terkait dengan prioritas sinergi antara pusat dan daerah ini tidak secara langsung ditujukan untuk mensinergi-kan pusat dan daerah, namun rincian program ini menunjukkan bahwa peningkatan pelayanan ini dilakukan untuk semua pihak yg memerlukan pelayan daerah termasuk pelayanan kepada pusat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-4
Penegakan Hukum;
Peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum
Membina toleransi dan keserasian dalam kehidupan beragama, pada bagian urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
Program pemberda-yaan masyara-kat untuk menjaga ketertiban dan keamanan
Program peningkat-an keamanan dan kenya-manan lingkungan.
Program pemeliha-raan kantrantib-mas dan pencega-han tindak kriminal
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Pada RPJMD Sumsel, program yang berkaitan dengan penegakan hukum termasuk sebagai salah satu prioritas, artinya selaras dengan program nasional, namun pada RPJMD Sumsel lebih difokuskan pada pemberdaya-an masya-rakat yang bertujuan mendukung integrasi dan integritas penerapan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-5
Data Kependudukan;
Penetapan Nomor Induk Kependuduk-an (NIK) dan pengembang-an Sistem Informasi dan Administrasi Kependuduk-an (SIAK) dengan aplikasi pertama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011.
- - Tidak ada program daerah yang spesifik mendu-kung prioritas/ program nasional
Program kependudu-kan realisasi-nya di tingkat kota/kab sehingga bukan menjadi program prioritas di tingkat provinsi. Disamping itu laju pertumbu-han di Sumsel masih di bawah nasional.
2. PRIORITAS 2.
PENDIDIKAN
Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar
APM pendidikan setingkat SMP
Angka Partisipasi Kasar (APK) pendi-dikan setingkat SMA
Pemantapan/rasionalisasi Implementasi BOS,
Program Pengemba-ngan Pendidikan
Program pendidikan anak usia dini.
Program wajib belajar pendidikan 9 tahun
Program pendidikan menengah
Program pendidikan non formal
Program pendidikan luar biasa
Ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Program prioritas di Sumatera Selatan, hanya bersifat umum, peningkatan mutu, pelayanan dan meningkat-kan mutu pendidikan serta meningkatkan mutu pendidik serta mening-katkan rata-rata lama sekolah.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-6
Penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambatnya 2012 dan
Penyediaan sambungan internet ber-content pendidikan ke sekolah tingkat menengah selambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar;
Program pendidikan mutu pendidik dan tenaga pendidikan
Program manaje-men pelayanan pendidikan
Akses Pendidikan Tinggi;
Peningkatan APK pendidikan Tinggi
Program Pengemba-ngan Pendidikan
Mengem-bangkan pendanaan khusus APBD untuk beasiswa nasional dan internasional bagi putra-putri berprestasi Sumatera Selatan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Secara khusus tidak ada program yang ditujukan untuk peningkatan APK pendidikan tinggi. Program prioritas untuk menyelesai-kan program wajib belajar 9 tahun menuju program pendidikan 12 tahun.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-7
Metodologi
Penerapan metodologi pendidikan yang tidak lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test),
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Secara spesifik tidak ada program ini, hanya dalam program prioritas disebutkan peningkatan mutu pendidikan
Pengelolaan
Pemberdaya-an peran kepala sekolah sebagai manajer sistem pendidikan yang unggul,
Revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality assurance,
Mendorong aktivasi peran Komite Sekolah untuk menjamin keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pembelajaran, dan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten
Program Pengemba-ngan Pendidikan
Program Manajemen Pelayanan Pendidikan.
Ada program daerah yang mendu- kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Secara khu-sus program itu tidak ada. Oleh karena peran Komite Sekolah ha- nya membantu operasional sekolah be-lum menjadi agen penja-min mutu pendidikan dan mendo-rong pengem-bangan mua-tan lokal termasuk kebudayaan lokal.
Kurikulum
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-8
Penataan ulang kurikulum sekolah
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Secara spesifik tidak ada, karena kebijakan kurikulum berasal dari pusat. Daerah hanya membuat kurikulum muatan lokal
Kualitas
Peningkatan kualitas guru, pengelolaan dan layanan sekolah
Program Pengemba-ngan Pendidikan
Program Pendidikan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan.
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Program ini secara umum di dukung daerah, dengan diberikan kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
3 PRIORITAS 3 :
KESEHATAN
Kesehatan Masyarakat;
Pelaksanaan program kesehatan preventif terpadu
Program peningkatan kesehatan masyarakat
Program pencega-han dan penang-gulangan penyakit menular
Ada prog-ram dae-rah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Program prioritas kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Oleh karena di Sumsel angka
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-9
kematian bayi, angka kematian Ibu dan preva-lensi penyakit masih relatif tinggi, sehingga bagaimana upaya menurunkan hal tersebut.
Keluarga Berencana
Peningkatan
kualitas dan jangkauan layanan KB melalui 23.500 klinik pemerintah dan swasta selama 2010-2014;
Program peningkatan kesehatan masyarakat
Peningkat-an jumlah dan kualitas jaringan KB
Penguatan kelemba-gaan jaringan KB
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Masyarakat miskin masih belum siap kemandirian keluarga berencana dan belum meratanya jangkauan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan program gratis KB pada masyarakat miskin dan jangkauan pelayanannya.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-10
Obat
Pemberlakuan Daftar Obat Esensial Nasional sebagai dasar pengadaan obat di seluruh Indonesia dan pembatasan harga obat generik bermerek pada 2010;
Program upaya Kesehatan masyara-kat
Program pengawa-san obat dan makanan
Program obat dan perbekalan kesehatan
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Persepsi masyarakat terhadap obat adalah mahal. Harga obat seolah-olah ditentukan oleh apotik atau penjual obat. Harga obat dianggap tidak transparan, ditentukan sepihak oleh apotik.
Asuransi Kesehatan Nasional:
Penerapan Asuransi Kesehatan Nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100% pada 2011 dan diperluas secara bertahap untuk keluarga Indonesia lainnya antara 2012-2014
Program Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Asuransi kesehatan sudah diberlakukan dan ada program kesehatan gratis bagi masyarakat tudak mampu oleh pemerintah Sumatera Selatan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-11
4 PRIORITAS 4 : PENANGGU-LANGAN KEMISKINAN
Bantuan Sosial Terpadu:
Integrasi program perlindungan sosial berbasis keluarga yang mencakup program Bantuan Langsung Tunai, Bantuan pangan, jaminan sosial bidang kesehatan, beasiswa bagi anak keluarga berpendapa-tan rendah, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Parenting Education mulai 2010 dan program keluarga harapan diperluas menjadi program nasional mulai 2011—2012;
Program Pemberda-yaan,pelayanan dan rehabilitasi kesejahtera-an sosial bagi penyandang masalah kesejahtera-an sosial
Meningkat-kan dan memera-takan pem-bangunan menuju kese-jahteraan yang bermartabat
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Beberapa program yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat meliputi sekolah gratis hingga tingkat SLTA, kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Bantuan sosial lainnya adalah dengan melakukan pemberdaya-an, penyu-luhan dan rehabilitasi penyandang masalah kesejahteraan sosial, seperti KAT, anak terlantar, anak jalanan, usia lanjut, dan lainnya
.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-12
PNPM Mandiri
Penambahan anggaran PNPM Mandiri
-
- Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan maupun Pedesaan dilaksanakan di tingkat kota/kab, sehingga pro-gram dan dana pendamping kegiatan ini ada di kota/kab.
Kredit Usaha Rakyat (KUR):
Pelaksanaan penyempurnaan mekanisme penyaluran KUR mulai 2010 dan perluasan cakupan KUR mulai 2011;
Penguatan kemitraan antara industri besar dengan industri kecil yg memper-erat industri yang terinte-grasi.
Pengem-bangan keterkaitan industri hulu dan hilir.
Program Pengem-bangan Lembaga Ekonomi Masyara-kat
Program pengem-bangan kewira-usahaan & keunggulan kompetitif
Program pening-katan kualitas kelemba-gaan koperasi
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Dalam upaya penguatan ekonomi masyarakat, pemerintah daerah memberikan modal bagi usaha koperasi dan UKM.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-13
Program peningkat-an kegia-tan usaha koperasi
Program perkuatan permoda-lan usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK)
Program Pening-katan Pemasa-ran Hasil UMKMK
Tim Penang-gulangan Kemiskinan:
Revitalisasi Komite Nasional Penanggulang-an Kemiskinan di bawah koordinasi Wakil Presiden
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Oleh karena komite ini kebijakan dari pusat, sehingga tidak dicantumkan dalam program prioritas. Namun masing-masing kota/kab telah terbentuk komite tersebut dan dokumen SPKD
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-14
Prioritas daerah yang tidak ada di prioritas nasional
Pemerata-an dan perluasan akses pendidikan melalui sekolah gratis
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing melalui pengembangan fasilitas, penyedia-an sarana pendidi-kan, pem-biayaan pendidikan dan peningkat-an kese-jahteraan guru
Prioritas daerah yang tidak ada di prioritas nasional.
Indikator capaian RJMN lebih detail, ukurannya jelas. Sedangkan RJMD Sumatera Selatan cenderung masih bersifat umum. Misalnya, capaian indikator dalam prioritas pendidikan ukurannya pada APK, APM, hal ini jelas ukurannya. Berbeda pada RPJMD, masih umum. Seperti peningkatan mutu melalui pengembangan sekolah bertaraf internasonal. Indikator capaian mutu pendidikan ukurannya apa, hal ini tidak jelas dalam RPJMD.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-15
5 PRIORITAS 5 : PROGRAM AKSI DIBIDANG PANGAN
Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian:
Penataan regulasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian,
Pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar;
- - Tidak ada program daerah yang relevan prioritas/ program nasional
Secara spesifik, program ini belum menjadi prioritas RPJMD Sumsel, namun beberapa program lain mengarah pada prioritas ini
Infrastruktur:
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-16
Pembangunan dan pemeliharaan sarana transportasi dan angkutan,pengairan, jaringan listrik,serta teknologi komunikasi dan sistem informasi nasional yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemampuan pemasaran-nya;
Membangun pertanian pangan dan perkebunan berskala teknis dan ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan penerapan teknologi tepat guna
Program pengembangan dan pengelola-an jaring-an irigasi
Program Pemba-ngunan Infrastruk-tur Pedesaan
Program Pemba-ngunan Jalan dan Jembatan.
Program Peningkat-an pema-saran produk pertanian
Program pening-atan produksi dan produktivi-tas perke-bunan.
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Program pembangunan yg berkaitan dengan infrastruktur di Sumsel selaras (mendukung) program nasional. Program-program tersebut difokuskan di pedesaan guna memperlancar kegiatan pertanian dari penanaman sampai pemasaran
Penelitian dan Pengembangan:
Peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil peneilitian
Membangun pertanian pangan dan perkebunan berskala teknis dan ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan
Program Pening-katan Ketahanan pangan pertanian/ perkebu-nan.
Program lumbung pangan
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Secara khusus keselarasan tersebut belum terlihat secara spesifik, namun namun dalam rincian pelaksanaan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-17
lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi;
penerapan teknologi tepat guna
Program pengembangan sentra-sentra produksi tanaman pangan dan horti
Program peningkat-an produksi dan produktivi-tas tanaman pangan dan horti-kultura
Program pengembangan perbeni-han perke-bunan
program-program yg tertera di RPJMD Sumsel ini telah terangkum bagian yg difokuskan untuk pelaksanaan penelitian dan pengembang-an pertanian melalui program-program kajian dan penelitian pada setiap jenis program tersebut
Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi:
Dorongan untuk investasi pangan, pertanian, dan industri pedesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah,penyediaan pembiayaan yang terjangkau.
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Belum menjadi pioritas pada RPJMD Sumsel
Pangan dan Gizi:
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-18
Peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan melalui peningkatan pola pangan harapan;
Membangun pertanian pangan dan perkebunan berskala teknis dan ekonomis dengan infrastruktur yang cukup dan penerapan teknologi tepat guna
Program pening-katan ketahanan pangan pertanian/ perkebu-nan.
Program lumbung pangan
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Program tersebut merupakan bagian dari program ketahanan pangan dan juga bagian dari pelaksanaan program lumbung pangan di Sumsel
Adaptasi Perubahan Iklim:
Pengambilan langkah-langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim.
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Belum menjadi prioritas dalam RPJMD Sumsel
6 PRIORITAS 6:
INFRASTRUK-TUR
Tanah dan tata ruang:
Konsolidasi kebijakan penanganan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Belum menjadi prioritas dalam RPJMD Sumsel
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-19
Perhubungan:
Pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antarmoda dan antarpulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda dan penurunan tingkat kecelakaan transportasi sehingga pada 2014 lebih kecil dari 50% keadaan saat ini;
Mendayagunakan sumberdaya pertambangan dan energi (fosil dan terbarukan) dengan cerdas, arif, dan bijaksana demi kepentingan masyarakat luas
Program Pembangun-an Jalan dan Jembatan
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Program pembangunan jalan dan jembatan yg diprogramkan di RPJMD Sumsel ini salah satunya ditujukan untuk penyediaan sarana transportasi yg memadai antar provinsi
Pengendalian banjir:
Penyelesaian pembangunan prasarana pengendalian banjir
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
-
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-20
Transportasi perkotaan:
Perbaikan sistem dan jaringan transportasi di 4 kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan)
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
-
7 PRIORITAS 7 :
IKLIM INVESTASI DAN IKLIM USAHA
Kepastian hukum:
Reformasi regulasi secara bertahap di tingkat nasional dan daerah
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
-
Kebijakan ketenagakerja-an:
Sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha dalam rangka memperluas penciptaan lapangan kerja.
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-21
8 PRIORITAS 8 :
ENERGI
Energi alternatif:
Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif geothermal sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014
- Program pe-ngembangan pemanfaatan energi baru dan terbarukan
Ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Program pembangunan disusun secara umum untuk peningkatan ketersediaan listrik wilayah dan desa, dan secara spesifik disusun dalam program aksi oleh SKPD
Hasil ikutan dan turunan minyak bumi/gas:
Revitalisasi industri pengolah hasil ikutan/ turunan minyak bumi dan gas sebagai bahan baku industri tekstil, pupuk dan industri hilir lainnya;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Masih dianggap sebagai program nasional yang dilaksanakan Pemerintah Pusat
Konversi menuju penggunaan gas:
Perluasan program konversi minyak tanah ke gas sehingga mencakup 42 juta Kepala Keluarga pada 2010;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Hal itu sementara ini dianggap sebagai program nasional yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-22
Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perkotaan di Palembang, Surabaya, dan Denpasar.
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Pemerintah Kota Palembang telah merealisasi-kan penggunaan gas alam untuk rumah tangga
9 PRIORITAS 9 : LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA
Perubahan iklim:
Peningkatan keberdayaan pengelolaan lahan
gambut
Program Pemanfa-atan Potensi Sumber Daya Hutan
Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Program masih bersifat umum dan pada tahun 2010 baru akan dimulai gerakan mitigasi dampak perubahan iklim.
Peningkatan hasil rehabilitasi seluas 500,000 ha pertahun
Rehabilitasi hutan dan lahan
Program Optimalisasi Pemanfaa-tan Hutan Produksi
Ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Mengembangkan Hutan Tanaman Industri; Hutan Tanaman Rakyat, Kebun Rakyat maupun Kebun Desa untuk meningkatkan hasil reboisasi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-23
Penekanan laju deforestasi secara sungguh-sungguh
Rehabilitasi hutan dan lahan serta Pengendalian kebakaran hutan serta mencegah terjadinya illegal loging
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Program pengenda-lian kebakaran
Program pengeta-tan pengawasan illegal loging
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional.
Penyusunan Rtk RHL DAS telah dilakukan dan diimplemen-tasikan tahun 2010.
Meningkat-kan keterlibatan masyarakat dalam mencegah kebakaran hutan.
Telah dilakukan pengawasan ketat untuk mencegah illegal loging
Pengendalian Kerusakan Lingkungan:
Penurunan beban pencemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa pada 2010 dan terus berlanjut;
Produk hukum pengendali-an lingkungan
Program Pengenda-lian dan Pengru-sakan Lingkung-an
Program Perlindungan dan Konserva-si SDA
Program pengem-bangan kinerja pengelola-an air minum dan air limbah
Program kinerja pengelola-an persampahan.
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional.
Telah diterapkan insentif dan disinsentif thd industri (Proper) dan rutin dilakukan pemantauan dan pembinaan industri yg melanggar peraturan kelas air (PerGub) yang diterbitkan pada tahun 2005.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-24
Sistem Peringatan Dini:
Penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) dan Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya, serta Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) pada 2013;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Belum menjadi prioritas pembangunan di Sumatera Selatan, karena tidak termasuk daerah yang rawan terserang ombak Tsunami, namun tetap rawan terhadap banjir lokal akibat anomali iklim dan cuaca
Penanggulang-an bencana:
Peningkatan kemampuan penanggulang-an bencana
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Prgram tersebut belum menjadi prioritas pembangunan di Sumatera Selatan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-25
10 PRIORITAS 10
DAERAH TERDEPAN, TERLUAR , TERTINGGAL DAN PASCA KONFLIK
Kebijakan:
Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Belum menjadi prioritas pembangunan di Sumsel
Keutuhan wilayah:
Penyelesaian pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Sumatera Selatan tidak berada di daerah perbatasan dengan negara-negara tersebut.
Daerah tertinggal:
Pengentasan paling lambat 2014.
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional
Belum menjadi prioritas pembangunan di Sumatera Selatan, nampaknya dianggap cukup dengan program pemerintah pusat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-26
11 PRIORITAS 11:
KEBUDAYAAN, KREATIFITAS, DAN INOVASI TEKNOLOGI
Perawatan:
Penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya,
Mengem-bangkan dan membina budaya daerah yang berakar pada nilai-nilai luhur "Simbur Cahaya",
Program Pengem-bangan Nilai Budaya.
Program Pengelolahan Kekayaan Budaya.
Program Pengelola-an Keraga-man Budaya
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional.
Program yang berkaitan dengan kebudayaan di Provinsi Sumatera Selatan juga menjadi salah satu program prioritas, namun pada RPJMD Sumsel, prioritasnya difokuskan pada jenis/nilai budayanya bukan kepada sarana fisik dari budaya
Revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia ditargetkan sebelum Oktober 2011;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional.
Program ini belum menjadi dalam pembangunan di Sumatera Selatan untuk RPJMD 2008-2013
Sarana:
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-27
Penyediaan sarana yang memadai bagi pengembang-an, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten selambat-lambatnya Oktober 2012;
- - Tidak ada program daerah yang mendu-kung prioritas/ program nasional.
Program ini pada RPJMD Sumsel belum menjadi program prioritas, namun bukan berarti tidak memperha-tikan budaya, hanya saja belum menjadi prioritas untuk periode 2008-2013.
Kebijakan:
Peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya;
- Program Pengembangan Kerjasama Pengelola-han Kekayaan Budaya
Ada program daerah yang mendu-kung sepenuh-nya prioritas/ program nasional.
Program prioritas di Sumsel yang berkaitan dengan program ini difokuskan pada pengembang-an kerjasama. Program ini turut mendukung program nasional karena ini adalah salah satu bentuk perhatian pemprov untuk perkembang-an budaya di daerah ini.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-28
Inovasi teknologi:
Peningkatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup pengelolaan sumber daya maritim menuju ketahanan energi, pangan, dan antisipasi perubahan iklim; dan pengembang-an penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda.
- - Tidak ada program daerah yang relevan dengan prioritas/ program nasional.
Program pengelolaan sumberdaya maritim nampaknya bukan menjadi program prioritas pada RPJMD Sumsel mengingat Sumsel sendiri bukanlah wilayah yang memiliki sumberdaya maritim yang besar.
Prioritas daerah yang tak ada di prioritas nasional
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-29
PRIORITAS DAERAH : PENDIDIKAN
Prioritas daerah yang tidak ada di prioritas nasional.
Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan melalui Sekolah Gratis,
Meningkat-kan akses masyarakat terhadap pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang bermutu
Prioritas daerah yang tidak ada di prioritas nasional.
Indikator capaian RJMN lebih detail, ukurannya jelas. Sedangkan RJMD Sumatera Selatan cenderung masih bersifat umum.
pengem- bangan fasilitas, penyediaan sarana pendidikan, pembiayaan pendidikan dan peningkatan kesejahteraan guru
Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing melalui pengembang-an sekolah bertaraf internasional.
melalui pengembangan fasilitas dan sarana pendidikan baku, pembiayaan pendidikan dan kesejahtera-an guru.
Misalnya, capaian indikator dalam perioritas pendidikan ukurannya pada APK, APM, hal ini jelas ukurannya. Berbeda pada RPJMD, masih umum. Seperti peningkatan mutu melalui pengembang-an sekolah bertaraf internasonal. Indikator capaian mutu pendidikan ukurannya apa, hal ini tidak jelas dalam RPJMD.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-30
C. Rekomendasi
1. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi
Sejauh ini RPJMD Provinsi Sumatera Selatan 2008 – 2013 telah disusun dengan
skala prioritas yang memperhatikan kondisi dan potensi wilayah dan merujuk pada
RPJMN 2004 – 2009. Selain itu, strategi, arah kebijakan dan program pembangunan
Sumatera Selatan dalam RPJMD tersebut sebagian besar sesuai yang disusun dalam
RPJM yang baru (2010 – 2014).
Provinsi Sumsel dalam RKP 2011 hingga 2013 dan dalam RPJMD 2013-2018
perlu memprioritaskan pembangunan yg berkaitan langsung dengan perimbangan pusat
dan daerah, dan mekanisme efisiensi pemanfaatan dana pembangunan. Hal lain yang
juga penting adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam RPJMD-nya ke depan
mesti memprioritaskan percepatan harmonisasi dan sinkronisasi perundang-undangan
pusat dan daerah, bukan malah mennetapkan peraturan daerah yang bertentangan
dengan peraturan pemerintah.
Perlu dimasukkan penataan ulang kurikulum sekolah untuk program pendidikan
SD, SLTP dan SLTA dalam rencana kerja pembangunan (RKP) pada tahun 2011 -2013
dan dalam RPJMD 2013 -2018 di Sumatera Selatan seperti yang telah tercantum pada
prioritas pembangunan pendidikan dalam RPJMN 2010 – 2014 agar dapat mempercepat
laju peningkatan kulitas SDM melalui pendidikan formal. Cukup relevan pula apabila di
dalam RPJMD direncanakan pembentukan Komite Daerah untuk penanggulangan
kemiskinan dan kelaparan.
Sejalan dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang lahan pertanian
berkelanjutan perlu disusun rencana penyusunan peraturan daerah tentang implementasi
kepastian hukum atas lahan pertanian dan pengembangan areal pertanian baru seluas
potensi yang ada, penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar;
Dengan makin meningkatnya potensi bencana alam seperti banjir, longsor dan
gempa bumi, selain adanya program pusat, perlu diprogramkan oleh Pemerintah
Sumatera Selatan dengan lebih serius mengenai peningkatan kemampuan
penanggulangan bencana oleh tenaga lokal. Selain itu dengan kondisi anomali iklim dan
cuaca yang makin meningkat yang berpotensi menyebabkan penurunan bahkan
kegagalan produksi pangan, perlu disusun program untuk mengantispasi dan mengatasi
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-31
kemungkinan terjadinya masalah terseburt, bukan hanya kepentingan masyarakat dalam
wilayah sendiri tetapi juga untuk membantu wilayah lain karena Sumatera Selatan dikenal
sebagai salah satu sentra produksi pangan.
Meskipun sumberdaya maritim nampaknya bukan menjadi program prioritas pada
RPJMD Sumsel mengingat Sumsel sendiri bukanlah wilayah yang memiliki sumberdaya
maritim yang besar, sejalan dengan realisasi pembangunan pelabuhan laut Tanjung Api-
Api yang akan membuka akses ke laut di Pantai Timur provinsi ini, perlu disusun program
pengelolaan sumberdaya maritim pada RKP Sumatera Selatan 2011 – 2013 dan RPJMD
yang akan datang.
Dari pencermatan yang dilakukan, masih terdapat kecenderungan bahwa
Pemerintah Daerah Sumatera Selatan masih belum konsekuen dan konsisten
melaksanakan program-program prioritas yang telah tercantum dalam RPJMD-nya. Hal
ini ditunjukkan oleh masih terjadinya penyusunan RKP SKPD yang masih mementingkan
kepentingan sektoralnya, dan kurang memperhatikan azaz keterpaduan dan efektifitas
program bersama dalam melaksanakan program nasional. Oleh karena itu dalam RPJMD
yang akan datang, hal tersebut perlu dipertegas dengan menetapkan program
pendukung sektoral langsung di bawah dan terkait dengan program prioritas.
2. Rekomendasi Terhadap RPJMN
Potensi Sumatera Selatan yang masih besar dalam peningkatan pembangunan
energi dan pertanian, terutama tanaman pangan dan perkebunan yang dapat berperan
besar memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional memerlukan perhatian yang
lebih serius dan terintegrasi antara pusat dan daerah. Untuk itu wajar apabila disusun
program aksi yang lebih intensif dan berkelanjutan untuk lebih mengembangkan
pembangunan dua sektor tersebut pada tahun mendatang. Selain itu kondisi infrastruktur
jalan yang berperan penting bagi kelancaran arus pasokan input, pemasaran komoditi dan
pengangkutan bahan baku energi di wilayah ini masih perlu ditingkatkan baik secara
kuantitas, atau paling tidak kulitasnya. Oleh sebab itu masih diperlukan program aksi
pembangunan (termasuk alokasi anggarannya) infrastruktur jalan jalan nasional, provinsi
dan kabupaten/kota. Tentu prioritas pertama ditujukan pada pembangunan infrastruktur
dan penyediaan sarana transportasi pada daerah sentra produksi unggulan utama
provinsi Sumatera Selatan, sehingga upaya pengembangan ekonomi komoditas unggulan
utama tersebut dapat berjalan dengan lancar. Kelancaran hubungan transportasi antar
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
III-32
provinsi dapat menjadi prioritas berikutnya, karena dengan sarana infrastruktur yang baik
akan membuka perekonomian antar provinsi berkembang.
Masih terdapat beberapa program penting antar kementerian yang sebenarnya
dapat dilaksanakan secara terpadu di lapangan, namun tetap sesuai dengan tupoksinya
masing-masing, akan efektif pelaksanaan dan hasilnya. Misalnya dalam masalah
pemantapan ketahanan pangan, programnya tidak hanya menjadi tanggung jawab
Kementerian Pertanian, melainkan juga Kementerian Dalam Negeri, Kuangan, Sosial dan
lain-lain. Dalam hal ini mungkin perlu dilakukan pembahasan lingkup masyarakat/lembaga
sasaran yang akan diberdayakan sehingga mereka memperoleh pembinaan secara
komprehensif dan tuntas dalam jangka waktu tertentu yang cukup. Dengan demikian
program-program aksi yang bersifat parsial dapat diminimalkan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-1
A. Kesimpulan
Hasil pelaksanaan pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan selama kurun
waktu 2004 hingga tahun 2009 secara keseluruhan telah menampakkan kemajuan dalam
menjawab tantangan/permasalahan utama yang disebabkan oleh beberapa faktor
pendukung seperti kemampuan pemerintah dan masyarakat membuat kondisi wilayah
menjadi kondusif, perhatian banyak pihak terhadap aspek penting yang mesti menjadi
prioritas. Namun masih terdapat pula permasalahan yang mesti diatasi lebih lanjut pada
periode pembangunan selanjutnya secara lebih serius, terpadu dan komprehensif. Secara
spesifik berdasarkan tiga agenda pembangunan nasional yang dikaji dapat disimpulkan :
1. Untuk agenda pembangunan mewujudkan Indonesia yang aman dan damai yang
diukur dari indikator indeks kriminalitas dan penyelesaian kasus kejahatan
konvensional dan kejahatan transnasional, perkembangannya di Sumatera
Selatan masih menunjukkan kondisi yang berfluktuasi sebagai akibat dari proses
penegakkan hukum dan tingkat konsistensi aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya belum optimal, serta turut didukung akibat dari tingkat
kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat yang cenderung tinggi serta kesadaran
hukum sebagian masyarakat yang relatif masih rendah.
2. Untuk agenda pembangunan mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis
yang diukur dari indikator pelayanan publik dan demokrasi perkembangannya di
Sumatera Selatan sangat relevan dengan tujuan pembangunan nasional, dan
tingkat efektivitasnya juga lebih baik dibandingkan perkembangan rata-rata
nasional :
Pelayanan publik yang diukur dari penyelesaian kasus korupsi,
kabupaten/kota yang memiliki pelayanan satu atap dan SKPD
provinsi/kabupaten yang memiliki pelaporan wajar tanpa pengecualian
menunjukkan tingkat persentase perkembangan yang meningkat
4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-2
menggambarkan keseriusan pemerintah melalui aparat pelaksana dalam
menangani kasus korupsi, dan melayani kebutuhan masyarakat secara
efektif dan efisien, meskipun perlu lebih baik lagi pengelolaannya pada
masa mendatang;
Untuk tingkat demokrasi, perkembangannya di Sumatera Selatan cukup
tinggi sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, dengan tren yang
membaik dalam kurun beberapa tahun terakhir. Kesadaran masyarakat
akan pentingnya hidup berdemokrasi yang salah satunya dicirikan oleh
meningkatnya kesetaraan gender yang diukur dari peningkatan angka
Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Meassurement (GEM) walaupun dengan laju peningkatan yang masih
cenderung yang konstan, namun telah memberikan arti toleransi
demokrasi yang telah mengedepankan kesetaraan laki-laki dan
perempuan, namun kedepan masih perlu mendapat perhatian yang lebih
serius mengingat kesetaraan tersebut belum terjadi secara merata di
segala bidang pembangunan.
3. Untuk agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, tren perkembangannya relatif
meningkat hingga tahun 2009, yang menunjukkan terdapatnya perbaikan tingkat
kesejahteraan rakyat di Sumatera Selatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh :
Perkembangan tingkat kualitas sumberdaya manusia di provinsi ini
mengalami peningkatan, ditunjang oleh angka IPM, angka partisipasi
sekolah, dan nilai kelulusan yang menaik, serta angka putus sekolah yang
cenderung turun. Akan tetapi tren capaiannya mengalami fluktuasi dimana
salah satunya akibat kontribusi menurunnya persentase jumlah guru yang
layak mengajar pada tingkat SMP, meskipun dalam jumlah mutlak dan total
jumlah gurunya bertambah.
Perkembangan kondisi kesehatan masyarakat yang membaik setiap
tahunnya yang ditunjukkan dari meningkatnya angka harapan hidup yang
menggambarkan semakin baiknya tingkat dan derajat kesehatan
masyarakat, walaupun dari indikator angka kematian bayi masih
berfluktuasi namun pada tahun terakhir telah menunjukkan fluktuasi yang
cenderung menurun, dan kondisi yang sama juga ditunjukkan dari kondisi
perkembangan gizi buruk dan gizi kurang yang masih berfluktuasi namun
di tahun terkahir menunjukkan kecenderungan fluktuasi yang menurun.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-3
Namun satu hal yang menjadi catatan dan perlu mendapat perhatian pada
bidang kesehatan di Sumatera Selatan adalah bahwa rasio antara tenaga
kesehatan dengan jumlah penduduk tergolong masih cukup rendah, artinya
penambahan tenaga kesehatan masih perlu menjadi fokus perhatian
pembangunan setiap tahunnya.
Perkembangan pelaksanaan program Keluarga Berencana walaupun bila
dilihat dari persentase penduduk ber KB masih rendah dan dengan
kecenderungan perkembangan menurun, namun dilihat dari laju
pertumbuhan penduduk telah menunjukkan perkembangan yang cukup
baik yang terlihat dari tren penurunan hingga tahun 2009 dan
perkembangan TFR yang juga menunjukkan tren penurunan walaupun
dengan angka penurunan yang relatif masih rendah, sehingga ke depan
masih perlu mendapat perhatian.
Perkembangan kondisi ekonomi makro cukup baik, ditunjukkan dari
penurunan angka persentase ekspor terhadap PDRB, yang mengalami
pertumbuhan cukup baik meskipun masih berfluktuasi karena sangat
tergantung dari ‘volatilitas’ harga komoditi unggulan Sumatera Selatan nilai
mata uang rupiah terhadap mata uang mitra dagang. Namun pada kondisi
makro ini masih perlu mendapat perhatian mengingat ditinjau dari angka
pertumbuhan ekonomi di tahun 2009 menunjukkan perlambatan
pertumbuhan dan laju inflasi yang berada di atas laju inflasi nasional.
Perkembangan Investasi menunjukkan perkembangan yang lebih tinggi
dibandingkan rata-rata nasional yang disebabkan adanya kenaikan yang
drastis pada investasi PMA meskipun kinerja ekonomi makronya sejalan
dengan kondisi rerata perekonomian nasional. Namun dari sisi efektivitas,
terjadi fluktuasi tren capaian indikator outcome pembangunan ekonomi
provinsi ini akibat fluktuasi laju penanaman modal yang menunjukkan
kurangnya konsistensi dalam memelihara pembangunan ekonomi tersebut,
Perkembangan infrastruktur menunjukkan tren perkembangan yang baik
yang tergambar dari perkembangan panjang jalan nasional dan provinsi
dengan kondisi baik meningkat dari tahun ke tahun dan kondisi jalan buruk
menurun dari tahun ke tahun. Perkembangan ini menunjukkan perhatian
pemerintah baik pusat maupun daerah untuk sarana transportasi tersebut
cukup baik
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-4
Perkembangan pembangunan bidang pertanian, kehutanan dan kelautan
secara keseluruhan menunjukkan perkembangan ke arah peningkatan
yang baik, yang tercermin dari PDRB sektor pertanian setiap tahunnya
terus mengalami peningkatan, meskipun pada bidang kehutanan dan
kelautan masih perlu mendapat perhatian serius. Perkembangan
pengelolaan sumberdaya alam yang relevan lebih baik dibandingkan rata-
rata tingkat nasional, namun tingkat efektifitas pencegahan kerusakan
sumberdaya alam lain masih relatif rendah yang ditunjukkan dengan masih
meningkatnnya lahan kritis dan lahan sangat kritis, sementara
perkembangan rehabilitasi lahan belum mampu mengejar laju peningkatan
lahan kritis tersebut.
Perkembangan kesejahteraan sosial menunjukkan arah perkembangan
cukup baik yang tercermin dari menurunnya angka persentase penduduk
miskin dan tingkat pengangguran terbuka. Namun demikian perhatian
cukup besar masih perlu diberikan pada perkembangan kesejahteraan
sosial ke depan mengingat angka kemiskinan dan pengangguran tersebut
masih tergolong pada nilai angka yang masih tinggi.
B. Rekomendasi
Dari hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan
selama kurun waktu 2004 hingga tahun 2009 yang dilakukan terhadap tiga agenda
pembangunan dan evaluasi terhadap sinkronisasi dari RPJMN dan RPJMD Provinsi
Sumatera Selatan, maka dapat diberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Diperlukan perencanaan yang progresif dan responsif dalam pelaksanaan
penegakkan hukum dan perbaikan sistem peradilan melalui optimalisasi
sumberdaya manusia, baik kepolisian, jaksa maupun hakim secara kuantitas
maupun kualitas.
2. Untuk mewujudkan rasa keadilan dan demokrasi perlu dilakukan peningkatan
peranan pemerintah dalam optimalisasi penyelesaian tindak pidana, pembentukan
unit/badan pelayanan terpadu satu pintu disetiap kabupaten dan peningkatan
transparansi pengelolaan keuangan pemerintah daerah dengan menerbitkan
Peraturan Daerah tentgang Transparansi (Keterbukaan) informasi.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-5
3. Dalam upaya peningkatan peran perempuan, hendaknya setiap perencanaan
pembangunan lebih responsif pada kesetaraan gender, sebagai upaya mengatasi
ketimpangan gender karena mengoptimalkan sumber daya manusia baik
perempuan maupun laki-laki akan meningkatkan produktifitas. Dengan kata lain,
apabila pembangunan mengikutsertakan perempuan dan laki-laki dalam setiap
proses dan tahapan, maka implementasi pembangunan akan melaju dengan
kekuatan sempurna.
4. Dalam usaha penurunan angka kemiskinan dan kurang berhasilnya program
penanggulangan kemiskinan maka perlu dilakukan perubahan terhadap
paradigma penanggulangan kemiskinan menjadi paradigma bahwa persoalan
kemiskinan menjadi persoalan bersama dan multi pihak, sehingga program
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan ke depan harus berbasis pada warga
miskin, posisi warga miskin ditempatkan tidak hanya sebagai obyek program,
pelaksanaan kegiatan antar sektor (SKPD) berjalan secara sinkron dan
terintegrasi.
5. Dalam usaha menuntaskan program Wajar 9 tahun dan peningkatan pelayanan
dan mutu pendidikan, maka diperlukan strategi kebijakan pendidikan yang
mengarah pada peningkatan mutu pendidik (sertifikasi guru), peningkatan sarana
dan prasarana yang diperlukan bagi pelaksanaan pendidikan tingkat, penjaminan
mutu pendidikan agar mendorong anak lulus wajar 9 tahun melanjutkan sekolah
lebih lanjut dan mengurangi anak putus sekolah di tingkat pendidikan menengah.
6. Guna optimalisasi peningkatan kesehatan masyarakat maka diperlukan
peningkatan jangkauan pelayanan kesehatan sampai pada masyarakat di daerah
terpencil. Konsekuensi dari hal ini diperlukan peningkatan sumber daya
kesehatan, sarana-prasarana, asuransi kesehatan yang terjangkau dan mutu
kualitas pelayanan kesehatan.
7. Untuk terus memacu pembangunan di Sumatera Selatan, terutama untuk
mempersiapkan menjadi tuan rumah SEAGAMES 2011 maka agenda
pembangunan infrastruktur ekonomi dan fasilitas publik, seperti jalan, jembatan,
dan energi harus terus dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan, pemerataan,
dan aksesibilitas masyarakat dan bersinergi dengan dengan program-program
pembangunan sektor lainnya, terutama program pendidikan dan kesehatan ‘gratis’
bagi yang kurang mampu.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-6
8. Untuk peningkatan pertumbuhan investasi PMA dan PMDN maka diperlukan
optimalisasi fungsi pelayanan terpadu satu atap, ketersediaan infrastruktur dan
fasilitas publik yang memadai, penambahan pasokan energi berupa listrik,
rasionalisasi tingkat suku bunga pinjaman perbankan terutama bagi UKM,
pembatasan transaksi di dalam negeri yang menggunakan valuta asing,
peningkatan kondisi keamanan di pelabuhan laut dan bandar udara yang rawan,,
efisiensi ketentuan perpajakan bagi PMA, pemberlakuan single identity bagi dunia
usaha serta membatasi intervensi dari pihak eksternal terhadap operasional
perusahaan.
9. Guna mendukung peningkatan laju perekonomian wilayah, maka dalam
pembangunan infrastruktur dengan skala prioritas maka prioritas pertama
ditujukan pada pembangunan infrastruktur dan penyediaan sarana transportasi
pada daerah sentra produksi unggulan utama provinsi Sumatera Selatan,
sehingga upaya pengembangan ekonomi komoditas unggulan utama tersebut
dapat berjalan dengan lancar.
10. Mengingat turunnya NTP petani di tahun 2009 sebagai akibat dari tingginya harga
faktor produksi yang harus mereka keluarkan yang diikuti meningkatnya harga
kebutuhan konsumsi petani, maka direkomendasikan untuk dilakukan tindak lanjut
pengimplementasian hasil riset di bidang input yang efisien dan ramah lingkungan
seperti pelaksanaan pertanian organi, tindak lanjut implementasi hasil riset bidang
produksi dan pengolahan pangan berbahan baku lokal agar dapat dimanfaatkan
secara luas oleh masyarakat, sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani.
11. Dalam bidang kehutanan dibutuhkan koordinasi yang sinergis antara semua pihak
yaitu : pemerintah (pusat, propvinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa);
BUMN/BUMD dan swasta (LSM,organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan
dan lain-lain). Koordinasi juga harus terjalin antara instansi yang menangani sektor
kehutanan di kabupaten/kota dan Bappeda di Wilayah DAS Musi.
12. Paradigma penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara sinergis dengan
menempatkan masyarakat miskin sebagai pelaku, yang berarti disertakan dalam
tim dan sistem yang terpadu dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta manajemen pengendalian dalam keberlanjutan hasil
pembangunan.
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sumatera Selatan, 2010
IV-7
13. Kondisi peningkatan anomali iklim dan cuaca yang diperkirakan akan
menimbulkan banjir di banyak wilayah dan mengancam produksi pangan perlu
direspon dengan cepat dengan menerapkan program-program untuk
mengantisipasi bencana banjir dan pencarian alternatif untuk meningkatkan atau
minimal mempertahankan produksi pangan seperti dalam kondisi normal.
top related