laporan akhir penelitian universitas bakrie ...repository.bakrie.ac.id/3531/1/001. laporan...
Post on 05-Dec-2020
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
UNIVERSITAS BAKRIE
TAHUN 2019
Analisis Resepsi Khalayak Konsumen terhadap Kampanye
Komunikasi Lingkungan ‘Diet Kantong Plastik’
Ilmu Komunikasi
oleh
DIANINGTYAS M. PUTRI
PRIMA MULYASARI AGUSTINI
Dibiayai Oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UB
TAHUN ANGGARAN 2019
NO. KONTRAK: 371/SPK/LPP-UB/XII/2019
Universitas Bakrie
Kampus Kuningan Kawasan Epicentrum
Jl. HR Rasuna Said Kav. C-22, Jakarta, 12920
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN
TAHUN 2019
1. Judul Penelitian : Analisis Resepsi Khalayak Konsumen terhadap
Kampanye Komunikasi Lingkungan ‘Diet
Kantong Plastik’
2. Peneliti Utama
a. Nama Lengkap : Dianingtyas M. Putri
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Pangkat/Golongan/NIDN : Lektor/IIIC/0302128402
d. Bidang Keahlian : Psikologi Komunikasi, Resepsi Khalayak,
Kampanye Komunikasi
e. Program Studi : Ilmu Komunikasi
3. Tim Peneliti
No Nama Bidang Keahlian Program Studi
1 Dianingtyas M. Putri Psikologi Komunikasi,
Resepsi Khalayak,
Kampanye Komunikasi
Ilmu Komunikasi
2 Prima Mulyasari Agustini Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi
4. Jangka Waktu Penelitian dan Pendanaan
a. Jangka Waktu Penelitian yang Diusulkan : 6 (enam) bulan
b. Biaya Total yang Diusulkan : Rp 20,000,000,-
c. Biaya yang Disetujui : Rp 20,000,000,-
Jakarta, 8 Juli 2020
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengembangan
Peneliti Utama
(Deffi Ayu Puspito Sari, Ph.D.) (Dianingtyas M. Putri)
NIDN 0308078203 NIDN 0302128402
ii
ABSTRAK
Sebagai upaya untuk konservasi alam, pelestarian lingkungan, konsumsi berkelanjutan,
dan meminimalkan dampak perubahan iklim, maka mengurangi limbah plastik sangat
dibutuhkan. Sayangnya, sejauh ini upaya ini belum membuahkan hasil yang maksimal,
meskipun kampanye 'diet kantong plastik' semakin intensif. Penelitian ini akan
menganalisis bagaimana penerimaan (resepsi) khalayak konsumen terhadap kampanye
'diet kantong plastik', dan alasan mengapa konsumen/ pembeli mengabaikan atau bahkan
tidak peduli dengan kampanye tersebut. Menggunakan metode Focus Group Discussion
(FGD), penelitian ini akan berdiskusi dengan dua kelompok pembeli/ pembelanja yang
berbeda, yaitu pembeli reguler (Regular Shopper) dan pembeli non-reguler (Non-Regular
Shopper). Diskusi dibagi menjadi lima topik. Pertama, resepsi terhadap pesan-pesan
kampanye lingkungan 'diet kantong plastik'. Kedua, kebiasaan menggunakan tas belanja
plastik. Ketiga, kesadaran untuk menghindari penggunaan tas belanja plastik. Keempat,
kesadaran dan pengetahuan tentang kerusakan lingkungan akibat limbah plastik. Kelima,
hambatan dan potensi untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan. Hasil
menunjukkan beberapa alasan mengapa konsumen cenderung mengabaikan kampanye diet
tas plastik dan terus menggunakan tas belanja plastik. Pertama, alasan fungsional.
Konsumen mendapat manfaat dari mengumpulkan tas belanja plastik karena dapat
digunakan untuk keperluan lain. Kedua, alasan sosial. Dengan membawa tas belanja dari
merek supermarket terkenal, konsumen merasa bangga karena mereka mendapatkan
pengakuan sosial, meningkatkan 'kelas' di lingkungan sosial, dan membangun identitas
modern yang melekat pada citra diri mereka. Ketiga, alasan budaya. Konsumen
menganggap membawa tas belanjaan mereka dari rumah sebagai kemunduran zaman,
kuno, menyusahkan, tidak praktis, dan merusak 'gaya' mereka. Keempat, alasan struktural.
Berbagai pihak yang berkontribusi atau terlibat, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam membentuk perilaku menggunakan tas belanja plastik (seperti supermarket
dan pusat perbelanjaan) tidak sepenuh hati mengadopsi pola pikir dan menerapkan sistem
terintegrasi yang dapat mengkondisikan konsumen untuk secara alami beralih ke gaya
hidup belanja ramah lingkungan. Penelitian ini penting karena dapat menjadi referensi
iii
yang berguna, tidak hanya bagi penggiat kampanye atau produsen pesan kampanye dalam
mengevaluasi resepsi khalayak dan dampak kampanye, tetapi juga dapat berkontribusi
dalam pengembangan teori-teori resepsi atau penerimaan khalayak konsumen terhadap
kampanye-kampanye sosial, terutama dalam konteks komunikasi lingkungan. Di samping
itu, hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat sebagai materi pengajaran untuk matakuliah-
matakuliah di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie terkait Komunikasi Pemasaran
Sosial, Perilaku Konsumen, Studi Media dan Budaya, Metode Penelitian Sosial Kualitatif,
Etika Periklanan dan Hak-hak Konsumen, Tanggung Jawab Sosial Korporat dan Relasi
Komunitas, Strategi Public Relations Pemasaran, Komunikasi Massa, Audit Komunikasi,
dan Riset Media Massa.
Katakunci: resepsi khalayak, komunikasi lingkungan, kelestarian lingkungan, tas belanja
plastik, gaya hidup ramah lingkungan
iv
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan …………………………………………………………………….i
Abstrak ……………...…………………...…………………………………...……….… ii
Daftar Isi …………………………………………………………………….…………...iv
Daftar Gambar ……………………………..………………………………….…………vi
Bab 1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ………………………………………..………………………1
1.2.Tujuan Penelitian ……………………………………….….…………………3
1.3.Urgensi dan Manfaat Penelitian ……...……….……….….…………………..4
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Lingkungan ……………………..…..…………………………..6
2.2. Resepsi Khalayak ………………….…………………...………………..…...8
2.5. Kerangka Pemikiran ………………………..….…………………………....11
Bab 3. METODE PENELITIAN
3.1. Metode Pengumpulan Data ………………………………….……..……….13
3.2. Partisipan Penelitian …………………….………………...….…………….14
3.3. Analisis Data…………………………………………….…..………………14
Bab 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kebiasaan Menggunakan Tas Belanja Plastik ……………....……..……….17
4.2. Kesadaran Menghindari Penggunaan Tas Belanja Plastik.….…………...….18
4.3. Kesadaran akan Kerusakan Lingkungan Karena Limbah Plastik …..………19
4.4. Kemungkinan untuk Mengadopsi Gaya Hidup Ramah Lingkungan………..21
4.5. Penggunaan Kantong Plastik Belanja: Perspektif Pegawai Swalayan dan
Miniswalayan ……………………………………………………………….22
Bab 5. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan ……………... ………………………………….……..……….26
5.2. Saran …………….. …………………….………………...….…………….26
5.3. Keterbatasan ……………………………………………………….………..27
v
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….......………28
LAMPIRAN ……………………………………………………………………………. 31
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Resepsi khalayak konsumen terhadap kampanye komunikasi lingkungan
“Diet Kantong Plastik” …………………………………………………………..………….….. 12
Gambar 3.1. Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif ……………………..…………15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kampanye “Diet Kantong Plastik” sebagai bagian dari aktivitas komunikasi lingkungan
berpotensi meningkatkan kesadaran untuk konsumsi berkelanjutan (Horton & Doron, 2011) dan
konsumsi etis (Lury, 2011). Konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption) adalah
"penggunaan produk dan layanan dengan cara yang meminimalkan dampak pada lingkungan
sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi tidak hanya di masa kini tetapi juga untuk generasi
mendatang" (Gillaspy, 2018). Berbeda dari konsumsi etis yang cenderung mengonsumsi secara
berbeda dan etis, menurut Evans (2011), konsumsi berkelanjutan secara efektif menekankan
konsumsi yang ekonomis, dengan tujuan utama mengurangi intensitas sumber daya sistem
produksi-konsumsi. Namun keduanya sama dalam hal memperlakukan alam dan lingkungan
dengan baik dan bijaksana.
Salah satu kampanye untuk konsumsi yang berkelanjutan dan etis adalah Gerakan
Indonesia untuk Diet Kantong Plastik (GIDKP), yaitu gerakan nasional untuk mendorong orang
untuk lebih bijak dalam menggunakan kantong plastik. Gerakan ini menanggapi kasus ledakan di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwi Gajah pada 2005 di Kota Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat,
yang menewaskan 157 orang. Tanah longsor yang disebabkan oleh ledakan menghancurkan desa
Cilimus dan Kampung Pojok dalam jarak sekitar satu kilometer dari TPA Leuwi Gajah (Nugraha,
2011). Gerakan ini diprakarsai bersama oleh PT. Greneration Indonesia, PT. Daun Plus (Leaf Plus),
PT. Monica Hijau Lestari (The Body Shop Indonesia), Change.org, Institut Ciliwung, Earth Hour
Indonesia, Indorelawan, Kreasi Daur Ulang, Si Dalang, Tiza Mafira dan Joko Arif pada 2013.
Strategi gerakan ini diidentifikasi dalam tiga pendekatan (Kurniadi & Hizasalasi, 2017), yaitu
peraturan (melalui gerakan #payforplastic berhasil mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
peraturan tentang penggunaan kantong plastik), pendidikan (dengan menggabungkan metode
presentasi, diskusi kelompok, pemutaran film lingkungan dan membuat karya daur ulang dari
bahan bekas), dan fasilitasi (dengan mengundang bisnis ritel di Indonesia untuk mengambil peran
aktif dalam kampanye untuk mengurangi penggunaan kantong plastik ketika konsumen
berbelanja).
2
Komunitas pecinta lingkungan di Indonesia rupanya tidak sendirian, karena kampanye
serupa (walaupun dengan nama berbeda) juga telah menyebar di banyak negara seperti Malaysia
(Asmuni, Hussin, Khalili, & Zain, 2015), Afghanistan (Tolonews, 2016), Thailand (Xinhua, 2018)
dan banyak negara lain. Faktanya, sekarang setiap 3 Juli dirayakan secara internasional sebagai hari
tanpa kantong plastik. Beberapa merek dan organisasi juga mengkampanyekan kesadaran untuk
mengurangi limbah plastik melalui iklan yang menarik, terutama sampah plastik di laut yang
semakin mengkhawatirkan karena mengancam kehidupan laut, seperti yang dilakukan oleh Fairy
('Ocean Plastic Bottle'), Adidas (' Ocean Plastic Shoes '), Tempat Pembuatan Bir Air Asin (' Cincin
enam bungkus yang dapat dimakan '), Green Peace (' Dead Whale '), dan Surfrider Foundation ('
Apa yang ada di Samudra masuk ke dalam diri Anda ') (Cuco, 2017).
Saat ini semakin banyak negara menerapkan larangan penggunaan kantong plastik dalam
upaya untuk mengendalikan pencemaran lingkungan. Kantong plastik biasanya terbuat dari bahan
polietilen densitas rendah yang merupakan termoplastik dari monomer etilena. Itu dibuat secara
tidak sengaja di sebuah pabrik kimia di Northwich, Inggris pada tahun 1933 dan diam-diam
digunakan oleh Militer Inggris dalam Perang Dunia II. Kantong plastik one-piece kemudian
dirancang oleh Sten Gustaf Thulin dan dipatenkan oleh Celloplast, sebuah perusahaan Swedia pada
tahun 1965 (Kiprop, 2018). Pada 1970-an, belanja tas plastik kemudian menjadi populer karena
toko dan supermarket dibagikan secara gratis untuk menarik lebih banyak pelanggan, dan sekarang
diperkirakan satu triliun kantong plastik diproduksi setahun.
Pada tahun 1997, Charles Moore, seorang pelaut dan peneliti, mengejutkan dunia dengan
penemuan Great Pacific Garbage Patch, yang mengumpulkan sejumlah besar sampah plastik di laut
yang membuat masyarakat sadar dan memicu kemarahan global. Sejak itu, kantong plastik telah
disalahkan karena menyebabkan kematian hewan laut seperti kura-kura yang secara tidak sadar
mengkonsumsi kantong plastik dengan anggapan mereka adalah ubur-ubur (Kiprop, 2018). Ini
mengarah pada kampanye global untuk mendorong kebijakan pemerintah di 60 negara untuk
mengontrol penggunaan kantong plastik termasuk larangan total pada kantong plastik, peningkatan
pajak pada kantong plastik, dan mendorong warga negara untuk menghindari penggunaan kantong
plastik melalui kampanye lingkungan.
Sementara upaya untuk mengurangi polusi kantong plastik telah lama dilakukan, menurut
Xanthos & Walker (2017), banyak negara masih kurang dalam strategi implementasi. Tidak
mengherankan, meskipun peraturan telah dikeluarkan, beberapa penelitian juga mengakui insentif
moneter dapat meningkatkan kegiatan daur ulang rumah tangga (Agamuthu, Fauziah, Khidzir, &
Aiza, 2007), tetapi penelitian Delistavrou (1999) menemukan bahwa partisipasi konsumen di
3
negara berkembang masih di bawah standar yang diharapkan. Ini dibuktikan oleh penelitian Afroz,
Rahman, Masud & Akhtar (2017) bahwa hanya 35% atau kurang dari setengah responden rumah
tangga di Malaysia yang bersedia berpartisipasi dalam kampanye.
Demikian juga di Indonesia, meskipun kampanye diet kantong plastik semakin intensif,
namun belum memberikan hasil maksimal. Data terbaru dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia
(INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan
kontributor sampah plastik terbesar kedua di dunia dengan limbah plastik mencapai 64 juta ton /
tahun di mana 3,2 juta ton dibuang ke laut. Jumlah kantong plastik yang dibuang ke lingkungan
adalah 10 miliar keping per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik, sedangkan menurut
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Susi Pudjiastuti, sampah plastik yang dibuang ke laut
dapat dipecah menjadi kecil partikel yang disebut mikroplastik dengan ukuran 0,3-5 milimeter, dan
mikroplastik sangat mudah dikonsumsi oleh hewan laut (Puspita & Patnistik, 2018).
Karena itu, penelitian ini bertujuan menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan
konsumen mengabaikan kampanye gencar diet tas plastik dan tetap menggunakan tas belanja
plastik dalam kegiatan belanja sehari-hari mereka. Secara spesifik, penelitian ini akan menjawab
pertanyaan:
1) Bagaimana penerimaan (resepsi) konsumen terhadap kampanye komunikasi lingkungan
Diet Kantong Plastik?
2) Bagaimana kebiasaan konsumen dalam menggunakan tas belanja plastik?
3) Sejauh mana konsumen sadar akan pentingnya mengurangi penggunaan tas belanja
plastik?
4) Sejauh mana kesadaran dan pengetahuan konsumen terkait kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh limbah plastik?
5) Apa saja kendala, faktor-faktor penyebab keengganan konsumen, dan potensi atau
kemungkinan konsumen untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan termasuk
menghindari penggunaan kantong belanja plastik?
1.2.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memahami penerimaan (resepsi) dan interpretasi khalayak
konsumen terhadap kampanye komunikasi lingkungan “Diet Kantong Plastik”. Tak hanya
4
itu, penelitian ini juga berusaha menyelidiki latar belakang dan kebiasaan konsumen dalam
menggunakan tas belanja plastik di gerai-gerai ritel modern. Berkaitan dengan ini, maka
tujuan lain adalah mengetahui tingkat kesadaran konsumen dalam menghindari
penggunaan tas belanja plastik, termasuk hambatan/ kendala, dan faktor-faktor yang
menyebabkan keengganan konsumen untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan
kantong/ tas belanja plastik setiap kali belanja di gerai-gerai ritel moderen.
Di samping itu, penelitian ini juga akan menelusuri lebih lanjut tentang
pengetahuan dan kesadaran konsumen tentang bahaya yang ditimbulkan bagi lingkungan
oleh sampah plastik. Terakhir, penelitian ini bertujuan mengeksplorasi potensi dan
hambatan/ kendala tindakan konsumen dalam mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan,
termasuk gaya hidup diet kantong plastik atau menghindari penggunaan tas belanja
kantong plastik setiap belanja di gerai-gerai ritel moderen.
1.3.Urgensi Penelitian
Maraknya pemberitaan tentang dampak buruk lingkungan dari sampah-sampah
plastik yang berserak di muka bumi (misalnya sampah plastik di laut yang menyebabkan
punahnya beberapa biota laut), menjadikan penelitian ini sangat penting dalam melihat
kesadaran konsumen terkait isu ini. Kampanye Diet Kantong Plastik yang diinisiasi oleh
beberapa aktivis lingkungan dan beberapa perusahaan, tidak serta-merta mendapat respon
positif atau tindakan nyata dari masyarakat, dalam hal ini konsumen pengguna kantong
plastik. Sehingga, memahami kendala/ hambatan, potensi gaya hidup ramah lingkungan,
pengetahuan, kesadaran, dan resepsi khalayak konsumen pengguna kantong belanja plastik
dapat menjadi referensi penting, tidak hanya bagi penggiat kampanye atau produsen pesan
kampanye, tetapi juga dapat berkontribusi dalam pengembangan teori-teori resepsi atau
penerimaan khalayak konsumen terhadap kampanye-kampanye social, khususnya
kampanye komunikasi lingkungan.
Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat sebagai materi pengajaran
untuk matakuliah-matakuliah Komunikasi Pemasaran Sosial, Perilaku Konsumen, Studi
Media dan Budaya, Metode Penelitian Sosial Kualitatif, Etika Periklanan dan Hak-hak
5
Konsumen, Tanggung Jawab Sosial Korporat dan Relasi Komunitas, Strategi Public
Relations Pemasaran, Komunikasi Massa, Audit Komunikasi, dan Riset Media Massa.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Lingkungan
Nitzch mendefinisikan komunikasi lingkungan sebagai "kegiatan yang
direncanakan, yang tujuannya adalah untuk berkontribusi pada peningkatan konservasi
sumber daya dan praktik-praktik sensitif lingkungan dalam masyarakat" (Nitzch, 2000:
222). Sebagai bidang kajian baru, masih banyak yang harus diluruskan mengenai topik ini,
tetapi Cox (2006) memberikan pandangan yang baik tentang apa itu komunikasi
Lingkungan. Cox menyebut komunikasi lingkungan sebagai disiplin pragmatis dan
konstitutif. Pragmatis dikarenakan “berhubungan dengan fakta, mendidik, mengingatkan,
membujuk, memobilisasi dan membantu menyelesaikan masalah lingkungan” (Cox, 2006:
12). Kampanye advokasi adalah contoh dari pragmatisme ini; melalui kampanye yang
terstruktur memungkinkan untuk menarik perhatian publik pada masalah lingkungan atau
mendorong partisipasi.
Sementara bagian konstitutif membantu warga untuk memahami masalah
lingkungan serta membantu untuk memperoleh pengetahuan. Bagi Cox, mengapa
komunikasi lingkungan selalu bersifat konstitutif ketika kita mengomunikasikan masalah
lingkungan, hal ini dikarenakan komunikasi lingkungan memengaruhi keyakinan dan
gagasan target. Menurut Cox, “Studi tentang komunikasi lingkungan menyelidiki dinamika
komunikasi manusia --ucapan, seni, simbol, pertunjukan jalanan, media, dan kampanye--
yang membentuk pemahaman kita tentang masalah alam dan lingkungan. Ini juga termasuk
dalam mempelajari peristiwa-peristiwa di mana warga negara biasa, kelompok lingkungan,
jurnalis, ilmuwan, perusahaan, dan lainnya berusaha untuk mempengaruhi keputusan yang
mempengaruhi lingkungan” (Cox, 2006: 29).
Sementara itu, gerakan lingkungan berawal dari respons terhadap meningkatnya
tingkat polusi asap di atmosfer selama Revolusi Industri. Munculnya pabrik-pabrik besar
7
dan pertumbuhan konsumsi batu bara yang terus meningkat secara bersamaan
memunculkan tingkat polusi udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di pusat-pusat
industry. Setelah tahun 1900, volume besar pembuangan bahan kimia industri menambah
jumlah limbah manusia yang tidak diolah (Fleming, 2006). Di bawah tekanan politik yang
meningkat dari kelas menengah perkotaan, hukum lingkungan moderen berskala besar
pertama datang dalam bentuk Tindakan Alkali Inggris, disahkan pada tahun 1863, untuk
mengatur polusi udara yang merusak (gas asam klorida) yang dikeluarkan oleh proses
Leblanc --digunakan untuk menghasilkan soda abu.
Komunikasi lingkungan terkelompok pada dua ranah, yakni ranah komunikasi
lingkungan manusia dan komunikasi lingkungan alam. Komunikasi lingkungan manusia,
sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan jenis tindakan simbolis yang melayani dua
fungsi yakni pragmatis dan konstitutif. Pragmatis karena membantu individu dan
organisasi untuk mencapai tujuan dan melakukan berbagai hal melalui komunikasi.
Contohnya termasuk mendidik, mengingatkan, membujuk, dan berkolaborasi. Dan
konstitutif karena membantu membentuk pemahaman manusia tentang masalah
lingkungan, diri mereka sendiri, dan alam. Contohnya termasuk nilai-nilai, sikap, dan
ideologi mengenai masalah alam dan lingkungan.
Adapun komunikasi lingkungan alam terjadi ketika tanaman benar-benar
berkomunikasi dalam ekosistem. "Sebuah tanaman yang terluka pada satu daun oleh
serangga yang menggigit dapat memperingatkan daun lainnya untuk memulai respons
pertahanan antisipatif." (Toyota, 2018: 774). Lebih lanjut, ahli biologi tanaman telah
menemukan bahwa ketika daun dimakan , ia memperingatkan dedaunan lain dengan
menggunakan beberapa sinyal yang sama seperti binatang. Para ahli biologi ini mulai
mengungkap misteri lama tentang bagaimana berbagai bagian tanaman berkomunikasi satu
sama lain (Pennisi, 2018).
Penelitian ini fokus pada ranah komunikasi lingkungan manusia, terutama pada
fungsi pragmatis terkait kampanye pelestarian lingkungan dalam hal penggunaan tas
belanja plastik dalam konsumsi manusia.
8
2.2. Resepsi Khalayak
Sukses-tidaknya komunikasi dan kampanye lingkungan salah satunya dipengaruhi
oleh aspek resepsi khalayak (publik). Stuart Hall adalah pendukung teori Resepsi Khalayak
(Davis, 2004) yang mana merupakan pengembangan dan penginian teori-teori resepsi
sebelumnya. Sebagai hasilnya, Hall mengembangkan model komunikasi Encoding dan
Decoding. Bertentangan dengan kepercayaan sebelumnya, Hall tidak berpikir bahasa dan
komunikasi semudah itu dimengerti seperti ketukan di bahu. Gagasan tentang resepsi
khalayak sebelumnya, prosesnya terlalu sederhana.
Hall mencoba membangun hubungan antara pengirim dan penerima dan
menyatakan bahwa ada sejumlah langkah yang berperan dalam mengirim dan menerima
pesan. Selama proses tersebut, Hall berpikir bahwa khalayak penerima memainkan peran
besar dalam keberhasilan pengiriman. Hall menyatakan bahwa “Bahasa dan media tidak
mencerminkan yang asli, tetapi hanya membangun sesuatu yang serupa atas nama
[merepresentasikan] kita. Jadi, bahkan dengan bahasa dasar, kata-kata hanyalah objek yang
dibuat untuk mengirim dunia 3 dimensi ke dalam bidang 2 dimensi (Procter, 2004). Ini
berbeda dari teori-teori sebelumnya karena banyak ide masa lalu mendiskreditkan khalayak
dalam proses penerimaan pesan. Namun, dengan teori Hall, adalah mungkin bagi khalayak
untuk mengubah makna pesan agar sesuai dengan konteks sosial mereka. Akibatnya, Hall
memasukkan dua proses: pengodean (encoding) dan penguraian kata (decoding) dan
menyatakan bahwa pesan yang dikodekan oleh komunikator/ penulis/ pengirim pesan
belum tentu pesan yang akan diterjemahkan oleh pembaca/ penonton/ penerima pesan.
Pengkodean (encoding) adalah pengiriman pesan sehingga orang lain dapat
memahaminya. Harus ada aturan atau simbol yang dibagikan, dan penting bagi pengirim
untuk memikirkan audiensnya dan bagaimana mereka akan menafsirkan pesan tersebut.
Selama pembuatan pesan, pengirim menggunakan isyarat verbal, tanda, dan bahasa tubuh
yang dia percaya orang atau kelompok yang menerima pesan akan mengerti (Hall, 1973).
Meskipun orang yang mengirim pesan mungkin percaya bahwa pesan mereka jelas, Hall
percaya bahwa maknanya tidak tetap, meskipun dibuat bersama dengan pesannya (Davis,
2004). Karena proses pengkodean biasanya merupakan hasil dari satu pengirim, hanya
ideologi dan kepercayaan pengirim yang terkandung untuk dikodekan (Davis, 2004).
9
Akibatnya, bisa ada beberapa distorsi ketika pesan diterima. Di sini, ideologi penerima akan
dominan, dinegosiasikan, atau beroposisi.
Penguraian suatu pesan (decoding) didefinisikan sebagai seberapa efektif seseorang
dapat menerima (meresepsi) dan memahami suatu pesan. Ini bisa merupakan hasil dari
pesan verbal meski tidak selalu. Bisa berupa gambar atau media, emosi, atau bahkan bahasa
tubuh. Misalnya, jika seseorang berbicara lebih keras, wajahnya merah, berteriak, dan
menggunakan lebih banyak gerakan tangan, dapat disimpulkan bahwa mungkin ia marah.
Decoding, menurut Hall, adalah bagian terpenting dari proses. Ini dinilai baru karena
banyak teori lain sebelumnya tidak fokus pada semuanya [dari proses pengiriman hingga
penerimaaan] (Procter, 2004).
Setelah sinyal-sinyal dikirim, khalayak, atau penerima komunikasi, menerima
dalam bentuk pesan, tanda dan isyarat yang telah dipra-kode (Hall, 1973). Namun, tidak
pernah hanya ada satu pesan yang diterima. Akibatnya, khalayak harus menambahkan
makna dan membangun kembali atau menciptakan kembali pesan (Hall, 1973). Terlepas
apakah pengiriman pesan bersifat one-on-one (komunikasi interpersonal) atau one-on-many
(komunikasi massa/ kampanye), decoding adalah semua tentang menerima, menyerap, dan
memahami informasi yang sedang disampaikan.
Agar proses berhasil, pesan yang diterima, atau diterjemahkan harus pesan yang
tepat yang telah dikodekan dan kemudian menghasilkan proses atau tindakan yang sesuai.
Contohnya adalah seorang ibu meminta anak-anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah
mereka dan anak-anak mematuhi atau menanggapi bahwa mereka sudah selesai. Ketika
pesan seperti ini diterima dan dipahami, Hall menyebut ini sebagai bacaan pilihan karena
itu yang dipercaya atau dipahami oleh penyandi (Hall, 1973). Dimungkinkan dalam proses
decoding untuk menghasilkan pesan yang sama sekali berbeda dari apa yang dikirim, dan
ini adalah ketika distorsi atau miskomunikasi terjadi (Procter, 2004). Di sini, Hall
menyatakan bahwa sirkulasi pesan tidak pernah transparan dan makna berubah sebagai hasil
dari banyak faktor berbeda seperti usia, suasana hati, jenis kelamin, pengalaman, latar
belakang dan kedudukan ekonomi, yang membuat khalayak memahami pesan dengan cara
yang berbeda (Hall, 1973) .
Ada empat tahap untuk proses komunikasi Hall (Pillai, 1992). Pertama adalah
produksi. Tahap produksi sama dengan pengkodean pesan dan penting untuk
10
mempertimbangkan masyarakat dan asumsi khalayak yang dituju. Tahap kedua adalah
tahap sirkulasi. Tahap sirkulasi sebanding dengan pengiriman pesan. Bagaimana orang
memahami atau menggunakan pesan itu penting di sini dan menentukan tahap kesuksesan
selanjutnya. Karena pengiriman dan pengiriman memiliki pengaruh pada tindakan atau
tanggapan khalayak, sirkulasi ikut bertanggung jawab atas reaksi khalayak. Jika sebuah
pesan berhasil mencapai targetnya, maka sirkulasi berhasil.
Tahap ketiga dari proses komunikasi adalah tahap penggunaan. Agar pesan berhasil
di sini, pengirim harus menyertakan konten atau sinyal yang membangkitkan khalayak
untuk menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu dengan pesan yang diberikan kepada
mereka. Penting untuk mengirim pesan yang dapat dimengerti namun bermakna yang
menyebabkan pemirsa berpikir.
Tahap terakhir adalah tahap reproduksi. Ini terjadi langsung setelah khalayak
menafsirkan pesan dan merupakan respons atau reaksi yang mereka miliki terhadap pesan
tersebut. Bagi Hall, ini adalah tahap ketika orang keluar dan melakukan sesuatu atau
mengambil tindakan. Bergantung pada bagaimana pengaruhnya terhadap mereka, dalam
hal-hal seperti iklan atau kampanye misalnya, itu akan meyakinkan seseorang untuk
melakukan sesuatu seperti membeli produk (iklan), atau melakukan apa yang dianjurkan
(kampanye).
Kita terus dikelilingi oleh gambar dan teks yang seharusnya memicu reaksi. Hall
menyatakan bahwa kita harus mengakui bahwa bentuk diskursif dari pesan memiliki posisi
istimewa dalam pertukaran komunikatif, dan bahwa momen-momen 'encoding' dan
'decoding,' meskipun 'relatif otonom' dalam kaitannya dengan proses komunikatif sebagai
keseluruhan, merupakan momen yang menentukan (Hall, 1973). Hall berpendapat bahwa
meskipun media dikodekan dengan satu makna, kita masing-masing berinteraksi dengan
media kita dengan cara yang berbeda. Akibatnya, teori Hall juga menyatakan bahwa ada
tiga posisi berbeda yang dapat diambil seseorang ketika mendekode pesan: dominan,
dinegosiasikan, dan oposisi (Hall, 1980).
Dalam posisi dominan, pesan produser pesan (penulis, agensi iklan, tim kampanye,
dan lain-lain) berhasil disampaikan, dan khalayak konsumen pesan memiliki "pemikiran
dominan," berinteraksi, menerima, dan memahami pesan yang dimaksud dari suatu media.
Biasanya tidak ada kesalahpahaman, dan penerima seringkali memiliki ideologi dan
11
keyakinan yang sama. Agar ini berhasil, pesan harus jelas, dan ketika ini terjadi, pesan itu
dianggap positif karena pesan produsen berhasil dikirim dan diterima.
Posisi lain yang mungkin adalah posisi yang dinegosiasikan. Ini adalah audiens
yang bereaksi dengan campuran penerimaan dan penolakan. Di sini, khalayak memahami
teks dan tidak setuju atau tidak setuju sepenuhnya, tetapi ada kemungkinan bahwa pendapat
mereka berbeda, pada bagian-bagian tertentu. Biasanya mereka melakukan ini karena
mereka melihat apa yang ingin disampaikan pengirim, tetapi mereka memegang interpretasi
dan pandangan mereka sendiri pada bagian lain atau membuat aturan dan skenario sendiri.
Jenis posisi decoding terakhir adalah pandangan oposisi. Di sini, khalayak
memahami teks sebagaimana dimaksud oleh pembuat encoding, namun sepenuhnya
menolak pesan yang disampaikan. Sebaliknya, mereka mengubah dan menambahkan
makna mereka sendiri, yang biasanya berlawanan dengan apa yang pengirim maksudkan
dan berlawanan dengan pemikiran atau pandangan dominan. Seringkali, hal ini karena tidak
berhubungan dengan mereka, struktur tidak mencerminkan masyarakat mereka,
kontroversial, atau mereka hanya tidak setuju sehingga mereka tidak memahaminya dalam
pengertian yang sama. Singkatnya, proses encoding dan decoding jauh lebih kompleks
daripada pengiriman dan penerimaan pesan yang sederhana. Setiap langkah memiliki
signifikansinya sendiri dan sangat penting untuk proses, dan tanpa itu, komunikasi dan
kampanye apapun tidak akan berhasil.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kampanye komunikasi lingkungan “Diet Kantong Plastik” menyasar khalayak konsumen,
khususnya yang kerap menggunakan kantong belanja plastic untuk memberikan kesadaran
akan dampak buruk dari sampah plastik, sehingga konsumen mau mengubah kebiasaan dan
gaya hidup belanja tanpa kantong plastik. Namun demikian, kampanye tidak seragam
diresepsi oleh khalayak konsumen, karena kode-kode dimaknai secara dominan,
dinegosiasikan, atau bersifat oposisi. Hal ini terkait dengan perilaku, kebiasaan dan
pengetahuan khalayak konsumen yang juga beragam. Karena itu, untuk melihat hasil dari
kampanye yang berdampak pada perubahan gaya hidup konsumen, maka perlu memahami
faktor-faktor kendala, tantangan, dan potensi dari kebiasaan dan pengetahuan konsumen
12
terkait dampak buruk sampah plastik, dan benefit dari gaya hidup ramah lingkungan yang
akan diadopsi.
Riset ini akan mengeksplorasi tidak hanya bagaimana khalayak konsumen meresepsi dan
memaknai pesan-pesan kampanye ‘Diet Kantong Plastik’ tetapi juga memahami kebiasaan,
pengetahuan, kendala, tantangan, dan potensi konsumen untuk mengadopsi gaya hidup
ramah lingkungan yang dimulai dari perilaku menghindari penggunaan kantong plastik
untuk keperluan belanja sehari-hari. Secara sederhana, kerangka pemikiran penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Resepsi khalayak konsumen terhadap kampanye komunikasi lingkungan “Diet
Kantong Plastik”
BAB III
13
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode Diskusi Kelompok Fokus (FGD) untuk memahami
resepsi khalayak konsumen terhadap kampanye Diet Kantong Plastik dan latar belakang
keengganan konsumen untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan tas belanja plastik. Dua
kelompok FGD yang akan berpartisipasi adalah partisipan dari kelompok pembelanja reguler
(Regular Shopper--RS) terdiri dari 5 (lima) partisipan dan kelompok pembelanja non-reguler (Non-
Regular Shopper --NRS) sebanyak 5 (lima) partisipan). Hal ini dikarenakan sasaran atau target
kampanye Diet Kantong Plastik adalah konsumen pembelanja di gerai-gerai ritel modern.
Kami mengkategorikan partisipan sebagai RS dengan kriteria berikut: 1) berbelanja secara
teratur di supermarket atau minimarket setidaknya sekali seminggu, 2) suka berbelanja, walaupun
hanya belanja window, dan menikmati suasana toko atau pusat perbelanjaan termasuk barang-
barang di memajang di dalamnya, atau 3) memiliki program belanja untuk kebutuhan rumah tangga
secara rutin dengan jadwal tertentu sehingga mereka memiliki anggaran yang memadai setiap
bulan.
Kelompok FGD kedua adalah partisipan dari kelompok pembelanja tidak tetap (NRS).
NRS di sini berarti memiliki karakter atau kebiasaan berbelanja yang bertentangan dengan RS,
termasuk:
1) tidak secara rutin berbelanja di supermarket atau minimarket, hanya berbelanja sesuai
kebutuhan, dan terkadang berbelanja di warung pinggir jalan,
2) tidak suka belanja, termasuk windows shopping , atau menghabiskan waktu lama di
toko atau pusat perbelanjaan,
3) tidak memiliki anggaran tetap untuk berbelanja dan rencana belanja yang pasti.,
sehingga jumlah dana yang dihabiskan untuk berbelanja berfluktuasi.
3.2. Partisipan dan Sampling Penelitian
14
Perekrutan peserta penelitian dilakukan dengan beberapa metode, yaitu 1) menyebarkan
Call for Participant penelitian melalui jaringan media sosial (WA, Facebook, dan Line), 2)
rekrutmen dengan teknik convenience sampling, yaitu meminta konsumen yang berbelanja di
supermarket untuk menjadi partisipan, dan 3) perekrutan dengan teknik snow ball sampling melalui
informasi dari peserta atau kerabat yang ada yang memenuhi kriteria sebagai informan penelitian.
Mengacu pada tujuan penelitian, kriteria informan (peserta) dari penelitian ini adalah:
Tahu kampanye tentang mengurangi penggunaan tas belanja plastik.
Pernah atau sering berbelanja di supermarket atau pusat perbelanjaan
Pernah atau sering menggunakan tas belanja plastik
Untuk mendapatkan informasi yang obyektif, dalam setiap kelompok, kami mendiskusikan topik
dengan panduan diskusi yang sama, termasuk:
1) resepsi dan interpretasi partisipan terhadap pesan kampanye Diet Kantong Plastik
2) kebiasaan menggunakan tas belanja plastik,
3) kesadaran menghindari penggunaan tas belanja plastik
4) kesadaran akan kerusakan lingkungan akibat limbah plastik, dan
5) kemungkinan untuk mengadopsi gaya hidup yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Dari hasil rekrutmen sementara, penelitian ini menyiapkan 2 (dua) sampel kelompok diskusi
terfokus yakni Regular Shopper (RS) dan kelompok Non-Regular Shopper (NRS) sebagai berikut:
Tabel 1. Deskripsi sampel partisipan
Jenis kelamin Usia Pekerjaan Status Pengeluaran/bln.*
Regular Shoppers RS-1 F 25 Emp. Mr. 5
RS-2 F 28 Hw. Mr. 6
RS-3 F 33 Buss. Dv. 5
RS-4 M 28 Emp. Sg. 4
RS-5 M 20 Stu. Sg. 1
Non-Regular Shoppers NRS-1 M 19 Stu. Sg. 1.5
NRS-2 F 23 Emp. Sg. 3
NRS-3 M 24 Emp. Sg. 5
NRS-4 F 21 Emp. Sg. 2.5
NRS-5 M 28 Buss. Mr. 8 Notes: F=Female/Wanita, M=Male/Pria, Stu.=Student/Pelajar, Emp.=Employee/Karyawan, Buss.=businessman/pengusaha,
hw=housewife/ibu rumahtangga, Sg.=single/bujang, Mr.=married/menikah, Dv.=divorce/cerai, bln.=month, *dalam juta.
Sementara itu, untuk mendapatkan insights dari sudut pandang yang berbeda, penelitian ini
mewawancarai informan triangulator, yakni 1 orang pegawai miniswalayan Indomaret (Dara, 21
15
tahun), 1 orang pegawai miniswalayan Alfamart minimarket (Agung, 19 tahun), dan 1 orang
pegawai swalayan Giant (Citra, kasir, 23 tahun).
3.3. Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif, sebagaimana dikemukakan dalam
penelitian Wijaya (2015), mengikuti alur sebagai berikut:
- Seleksi: memilah-milah informasi atau data yang berguna dan relevan sesuai
tujuan penelitian
- Kategorisasi: mengelompokkan informasi atau data sesuai isu-isu kunci yang
diteliti serta temuan unik
- Validasi: melakukan triangulasi atau konfirmasi melalui metode
intersubyektivitas (antarsumber dan narasumber) dan intertekstualitas
(antarteks, wacana dan tanda)
- Teorisasi: mendialogkan hasil temuan dengan teori, konsep dan hasil-hasil riset
sebelumnya untuk menemukan teori atau konsep baru (yang berbeda dari teori-
teori sebelumnya)
- Proposisi: memformulasikan temuan utama riset dalam bentuk model konsep
atau pernyataan teoretis
Proses dari tahap kategorisasi hingga teorisasi merupakan tahap kunci dalam
analisis data, karena tahap dan proses tersebut merupakan mesin utama interpretasi dan
refleksi yang menjadi ciri khas dari penelitian kualitatif. Selain itu, ketiga tahap utama
tersebut berlangsung tidak simultan dan deterministik, dalam arti, kadang dilakukan tidak
secara berurut dan kaku, namun dapat berulang dari teorisasi kembali ke kategorisasi dan
validasi atau sebaliknya, tergantung temuan unik atau good insights/ insightful insights dari
hasil penelitian, sebelum insights tersebut diformulasikan dalam bentuk model/ kerangka
konsep baru atau pernyataan teoretis baru (Wijaya, 2015).
Jika digambarkan, maka proses analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:
16
Gambar 3.1. Proses Analisis Data Penelitian Kualitatif
(Sumber: Wijaya, 2015)
BAB IV
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kebiasaan Menggunakan Tas Belanja Plastik
Menggunakan tas belanja plastik adalah kebiasaan konsumen berbelanja atau pusat
perbelanjaan di Indonesia. Selain praktis, bahannya juga tahan lama dan kuat. Itu sebabnya
RS-2 selalu mengandalkan tas belanja plastik setiap kali berbelanja.
Saya bahkan mengumpulkan tas belanja plastik. Biasanya setelah
digunakan, jika masih bagus, saya lipat rapi dan kemudian saya taruh di
kotak khusus di gudang. Saat dibutuhkan, dapat digunakan untuk
membungkus atau membawa sesuatu, misalnya, makanan, untuk tetangga
atau saudara yang datang ke rumah (RS-2, 11/02/2020, Jakarta).
Pengakuan RS-2 menunjukkan bahwa tas belanja plastik bekas memiliki manfaat
'lain' bagi konsumen untuk kebutuhan sehari-hari mereka di rumah. RS -5, seorang siswa
yang tinggal di asrama, bahkan menyimpan tas belanja plastik untuk digunakan sebagai
tempat sampah sehingga sampah tidak berserakan, "... seperti pelapis di dalam tempat
sampah, jadi jika sampahnya penuh, mudah untuk memasukkannya ke tempat sampah,
"RS-5 menjelaskan.
Kepraktisan dan daya tahan material membuat konsumen merasa menyesal
membuangnya. Hal yang berbeda diungkapkan oleh RS-1 yang mengaku menyukai tas
belanja plastik tidak hanya karena kepraktisan dan kekuatan bahan tetapi juga tampilannya.
Apalagi jika desainnya 'imut', sangat menyenangkan untuk membawanya.
Kami merasa bahwa orang lain tahu bahwa kami baru saja berbelanja di
supermarket. Ada rasa bangga, keren. (RS-1, 11/02/2020, Jakarta).
Ini menunjukkan bahwa faktor identitas adalah salah satu alasan untuk penggunaan
tas belanja plastik, karena belanja merupakan saluran penting dalam konstruksi identitas
18
(Lury, 2011), yang dikapitalisasi oleh pengusaha dalam merek bisnis mereka (Wijaya dkk,
2016), dan kemudian menjadi strategi gaya hidup konsumen (Gerke, 2000).
4.2. Kesadaran Menghindari Penggunaan Tas Belanja Plastik
Dari diskusi dengan semua peserta, hampir semua tahu tentang kampanye untuk
mengurangi penggunaan tas belanja plastik. Terlepas dari media online dan media sosial,
kebanyakan dari mereka tahu dari poster di supermarket atau pusat perbelanjaan, serta dari
pengalaman ketika membayar di kasir karena ada biaya tambahan untuk tas belanja plastik.
... tapi kasir tidak menjelaskan mengapa kami harus membeli tas belanja
plastik, padahal sebelumnya gratis. Ketika ditanya, mereka hanya menjawab
bahwa itu adalah peraturan baru dari pemerintah. Oke, karena itu aturan
pemerintah, kami patuhi, tidak ada pilihan lain (RS-3, 11/02/2020, Jakarta)
Penjelasan ini memberikan wawasan bahwa upaya aktif staf supermarket atau
minimarket diperlukan untuk menjelaskan mengapa peraturan pemerintah dibuat dan
diterapkan. Pemahaman tentang penyelamatan lingkungan, dampak buruk limbah plastik,
dan pentingnya partisipasi dari semua pihak termasuk konsumen untuk terlibat dalam
kampanye juga harus dibagikan oleh staf supermarket dan minimarket, terutama kasir,
yang pekerjaannya memainkan peran langsung dalam mendistribusikan belanja plastik tas
untuk konsumen. Pendapat menarik lainnya diungkapkan oleh NRS -5:
Tidak ada gunanya berkampanye jika supermarket masih menyediakan tas
belanja plastik, meskipun itu hanya sebagai pilihan. Menurut pendapat saya,
supermarket harus menyediakan tas belanja dari bahan ramah lingkungan
seperti kertas, daripada memberikan konsumen pilihan untuk membayar
biaya tambahan untuk tas belanja plastik atau membawa tas belanja reuse
mereka dari rumah. 200 Rupiah tidak seberapa dibandingkan dengan
ketidaknyamanan membawa tas belanja Anda (NRS- 5, 15/02/2020,
Jakarta).
19
Pendapat NRS-5 disetujui oleh hampir semua peserta, termasuk mereka yang berasal
dari kelompok pembelanja reguler (walaupun dengan pengungkapan yang berbeda),
terutama terkait dengan kesediaan mereka untuk membayar Rp 200 kantong belanja plastik
daripada repot membawa tas belanjaan mereka. Selain itu,
... apakah kita harus kembali ke zaman nenek moyang kita yang pergi ke
pasar tradisional sambil membawa tas belanja di tangan dengan gaya
waddling ... Ugh, sungguh kuno! Lagi pula, tas belanja yang sering dijual
terpisah di supermarket biasanya besar, melipatnya sulit terutama ketika
terburu-buru, sangat tidak praktis, dan merusak gaya! (RS- 1, 11/02/2020,
Jakarta).
Dapat dilihat bahwa, dari ungkapan-ungkapan ini, diperlukan upaya radikal baik
secara puitis maupun politis untuk berhasil dalam kampanye untuk mengurangi
penggunaan tas belanja plastik. Puitis, ide-ide kreatif dalam menggerakkan konsumen
secara besar-besaran untuk mengubah gaya hidup dari tidak peduli untuk peduli terhadap
kelestarian lingkungan. Secara politis, supermarket harus membebaskan diri sepenuhnya
dari penggunaan tas belanja plastik. Jangan memberikan pilihan biaya tambahan atau
meminta konsumen untuk membawa tas belanja mereka, tetapi supermarket harus
menyediakan tas belanja pengganti gratis dari bahan ramah lingkungan.
4.3. Kesadaran akan Kerusakan Lingkungan Karena Limbah Plastik
Selain konsumen enggan membawa tas belanjaan mereka karena berbagai alasan,
mereka juga memberikan beragam tanggapan terhadap kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh sampah plastik. NRS-4 mengaku telah membaca berita tentang seekor
paus yang ketika perutnya dibelah, ternyata penuh dengan sampah plastik.
Awalnya sedih membacanya, juga sempat ragu apakah itu nyata atau
bohong, karena di media sosial sekarang ada banyak berita yang meragukan,
atau dibesar-besarkan untuk tujuan sensasional. Logikanya, mungkinkah
ikan bertahan lama dengan makan plastik? Ikan itu seharusnya sudah lama
mati, sejak mereka pertama kali mengkonsumsi plastik. Karena plastik
20
memang berbahaya. Toh, lihat gambarnya, sudah waktunya memikirkan
nasib hewan-hewan itu yang tidak tahu apa-apa tetapi menerima
konsekuensi buruk dari tindakan manusia (NRS-4, 15/02/2020, Jakarta).
Pengalaman lain diungkapkan oleh NRS-1, yang mengklaim telah melihat
serangkaian gambar naratif yang menceritakan bagaimana beberapa hewan laut
terperangkap oleh sampah plastik. Baginya, fakta (jika itu benar dan nyata) sangat
menyedihkan. Namun, NRS-1 berpendapat bahwa jika dia sendiri yang mengambil
tindakan untuk mencegah limbah plastik, itu akan berdampak kecil pada lingkungan,
karena untuk sampai pada tahap di mana laut bersih dari limbah plastik, "gerakan
pencegahan harus dilakukan bersama dan secara besar-besaran, "kata NRS-1.
Pendapat ini ditentang oleh NRS-2 yang melihat bahwa upaya pencegahan tidak
harus menunggu tindakan kolektif, tetapi dapat dimulai dari diri sendiri secara individu.
Kesadaran bukanlah ide besar yang harus dieksekusi dalam skala besar,
karena kesadaran bisa menjadi ide kecil yang dimulai dari langkah kecil dan
sederhana. Saya kira kita semua menghasilkan sampah plastik karena
berbagai keperluan sehari-hari menggunakan bahan plastik. Sekarang, yang
harus kita lakukan adalah memperlakukannya dengan bijak (NRS-2,
15/02/2020, Jakarta).
Pernyataan ini mendukung Shavo (2010) yang menekankan bahwa peran individu
tidak boleh dikecualikan dalam perubahan sosial, termasuk masalah lingkungan dan
perubahan iklim. Penelitian Evans et al. (Evans, Welch, & Swaffield, 2017) juga
menemukan pentingnya tanggung jawab individu sebagai konsumen, yang kemudian
memicu rasa tanggung jawab bersama dan didistribusikan.
Sementara itu, dalam diskusi kelompok lain, RS-4 mengungkapkan tidak pernah
berpikir untuk melakukan tindakan heroik seperti yang dilakukan aktivis lingkungan,
karena menurutnya, "menjaga diri sendiri saja sudah membuat kita pusing, apalagi ingin
mengurus lingkungan, "mengakui RS-4. Namun, dia setuju bahwa setiap orang harus
21
menjaga lingkungan mereka, tetapi dengan syarat bahwa "itu dilakukan bersama sehingga
hasilnya optimal," RS-4 menjelaskan dengan mantap.
4.4. Kemungkinan untuk Mengadopsi Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Pertanyaannya kemudian menjadi: apakah konsumen mengubah gaya hidup mereka
untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan tas belanja plastik? Untuk pembeli non-
reguler, ini bukan masalah penting karena berbelanja bukan ritual wajib atau bagian dari
kesenangan mereka. Tidak seperti pembeli reguler yang memiliki banyak pertimbangan
dan 'persyaratan'.
Saya masih membayangkan betapa sulitnya itu. Kecuali supermarket ingin
mengganti kantong plastik dengan bahan lain, saya hanya setuju, karena
mereka memang harus menyediakan fasilitas tas belanja gratis sebagai
bagian dari layanan mereka (RS-2, 11/02/2020, Jakarta).
Dapat dimengerti bahwa RS-2 tampaknya 'menuntut' peran yang adil dengan
supermarket sebagai penyedia layanan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kepercayaan pada keadilan (termasuk perlakuan supermarket terhadap konsumen) bisa
sangat kuat dalam mendorong perilaku prososial (Horton & Doron, 2011), tidak terkecuali
dalam hal pro-lingkungan. Sementara itu, NRS-3 menyadari bahwa mengubah perilaku itu
tidak mudah tetapi bisa dilakukan asalkan ada kesadaran dan motivasi yang kuat.
Kesadaran dan motivasi adalah variabel yang paling dominan dalam mengubah perilaku
dan preferensi konsumen (Suharyanti, Wijaya & Rostika). Selain itu, NRS-3 mengakui
bahwa kesadaran dan motivasi yang kuat tidak hanya berdampak pada diri sendiri tetapi
juga dapat mempengaruhi orang lain dan lingkungan. Itu adalah dasar bagi NRS-3 untuk
menerapkan gaya hidup pro-lingkungan dan konsumsi ramah lingkungan.
Sekarang, saya sering menggunakan sepeda atau menggunakan transportasi
umum daripada kendaraan pribadi. Selain hemat, itu juga bisa mengurangi
polusi. Saya juga mulai terbiasa untuk tidak membuang sampah
sembarangan, dan hei, saya juga pecinta alam dan pecinta binatang. Saya
punya anjing yang sehat dan hidup di rumah (NRS-3, 15/02/2020, Jakarta).
22
Menariknya, tidak seperti penelitian Salehi, dkk (2015), penelitian ini menemukan
bahwa konsumen pria cenderung merespons lebih cepat dan langsung menyatakan
kesiapan untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan dibandingkan dengan konsumen
wanita yang cenderung memiliki banyak pertimbangan dan menyatakan sejumlah
'persyaratan'. Sedangkan penelitian Salehi et al. menunjukkan bahwa wanita cenderung
lebih mudah untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan yang terkait dengan masalah
perubahan iklim karena mereka lebih sabar dan peduli. Tampaknya ini terjadi pada tingkat
kasih sayang, bukan pada tingkat tindakan. Karena secara emosional, peserta perempuan
dalam penelitian ini memang lebih ekspresif daripada laki-laki dalam menafsirkan
konsekuensi tragis dari kerusakan lingkungan terkait dengan penggunaan tas belanja
plastik, tetapi dalam hal keinginan untuk mengubah gaya hidup, peserta laki-laki lebih
praktis, sedangkan peserta perempuan cenderung enggan meninggalkan 'zona nyaman'
dengan tas belanja plastik.
4.5. Penggunaan Kantong Plastik Belanja: Perspektif Pegawai Swalayan dan
Miniswalayan
Penelitian ini juga menggali informasi dari perspektif staf atau pegawai swalayan
dan miniswalayan, yakni Dara (pegawai miniswalayan Indomaret, 21 tahun), (Agung, pegawai
miniswalayan Alfamart, 19 tahun), dan Citra (kasir swalayan Giant, 23 tahun). Wawancara
dilakukan untuk mengetahui: 1) pandangan pribadi tentang kampanye “plastic bag diet”,
2) pengalaman terkait perilaku konsumen yang mereka layani, 3) ekspektasi terkait
kebiasaan dan gaya hidup penggunaan tas belanja daur ulang atau ramah lingkungan.
Agung misalnya, melihat kampanye “plastic bag diet” sebagai sesuatu yang positif, karena
bisa mengurangi sampah-sampah plastik. Sementara Dara melihatnya sebagai upaya
pemerintah untuk membatasi masyarakat agar tidak terlalu banyak menggunakan benda-
benda dari plastik yang tidak bisa didaur ulang. Citra melihatnya sebagai bentuk semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan gaya hidup belanja yang ramah lingkungan.
Akan tetapi, bagi Agung, hal ini sebuah tantangan tersendiri bagi pegawai seperti dirinya.
23
Karena, biarpun pendapat pribadinya mengatakan setuju, tapi dia tunduk pada peraturan
perusahaan.
Kalo saya sih emang setuju banget dengan kampanye itu. Tapi kalo ditanya gimana
penerapannya di lapangan, saya manut sama maunya perusahaan. Takutnya, kalo
saya asal larang, nanti mengurangi pelanggan yang mau beli di sini, kan nggak enak
juga. Tapi kalo perusahaan udah mengijinkan, saya pasti manut (Agung, 19 tahun).
Alfamart tempat bekerja Agung memang baru belakangan menerapkan batasan
penggunaan kantong belanja plastik dengan mengenakan biaya tambahan kepada
konsumen, sejak ada aturan pemerintah tentang larangan penggunaan kantong plastic.
Cuma, menurut Citra, kasir Giant yang sudah lama menerapkan aturan serupa, “kadang
kasihan juga ke pembeli kalau lupa membawa kantong belanja sendiri. Makanya Giant
sediakan dua pilihan, beli tas belanja yang dapat dipakai ulang, atau membayar biaya
tambahan untuk kantong belanja plastik” (Citra, 23 tahun). Ke depannya, Citra berharap
kesadaran masyarakat semakin meningkat, sehingga perusahaannya tidak perlu lagi
memberikan pilihan tersebut.
Sementara itu, Dara melihat bahwa konsumen masih banyak yang tidak patuh. Entah
itu pura-pura lupa atau sengaja tidak membawa kantong belanja sendiri. “Khususnya
banyak yang cowok-cowok, mungkin malu,” aku Dara (21 tahun). Karena itu Indomaret
tetap menyediakan kantong plastik untuk mereka yang tidak membawa kantong belanja
sendiri dari rumah. Adapun Agung memiliki pengalaman unik ketika berhadapan dengan
perilaku konsumen. “Saking nggak mau rugi bayar kantong plastik, konsumen
menggendong sendiri barang-barang belanjaannya untuk dibawa ke mobil di parkiran.
Akhirnya saya bantu cariin dus bekas buat nampung barang-barangnya” (Agung, 19 tahun).
Pengalaman ini, menurut agung, membuatnya berpikir bahwa ada konsumen yang memang
“nggak mau rugi” dan “lebih baik repot” tapi juga “nggak mau repot bawa-bawa kantong
belanja sendiri”.
Citra berharap bahwa kesadaran masyarakat meningkat, dan penggunaan kantong
belanja pastik menurun. Namun dia tidak bisa memastikan apakah perusahaannya akan
menyetop penuh penyediaan kantong belanja plastic atau tidak. Karena sejauh
pengamatannya, konsumen masih membutuhkannya, sementara perusahaannya adalah
24
perusahaan jasa yang tugasnya melayani pelanggan (customer). Sulit bagi perusahaannya
jika bukan dari kesadaran konsumen sendiri. Demikian pula dengan Dara yang berpendapat
bahwa, sebagai pegawai, kadang dia bingung bagaimana sebaiknya untuk mendukung
kampanye. Di satu sisi, dia harus melayani dan memuaskan pelanggan, tapi di sisi lain dia
juga punya tanggung jawab untuk mendukung pengurangan penggunaan kantong belanja
plastik. Yang bisa dia lakukan hanya menghimbau kepada pelanggan, itu pun dengan cara
yang sangat halus, karena “…takut membuat mereka tersinggung” (Dara, 21 Tahun). Tak
heran, mengapa kampanye “plastic bag diet” dapat dianggap belum mencapai titik
keberhasilan, karena adanya berbagai kendala, baik psikologis, social, kultural, dan dari
sisi struktural lembaga-lembaga yang berwenang atau sistem, baik pemerintah maupun
swasta.
25
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Ada beberapa alasan mengapa konsumen cenderung mengabaikan kampanye diet tas
plastik dan terus menggunakan tas belanja plastik. Pertama, alasan fungsional. Konsumen
mendapat manfaat dari mengumpulkan tas belanja plastik karena dapat digunakan untuk
keperluan lain. Kedua, alasan sosial. Dengan membawa tas belanja dari merek supermarket
terkenal, konsumen merasa bangga karena mereka mendapatkan pengakuan sosial,
meningkatkan 'kelas' di lingkungan sosial, dan membangun identitas modern yang melekat
pada citra diri mereka. Ketiga, alasan budaya. Konsumen menganggap membawa tas
belanjaan mereka dari rumah sebagai kemunduran zaman, kuno, menyusahkan, tidak
praktis, dan merusak 'gaya' mereka. Keempat, alasan struktural. Berbagai pihak yang
berkontribusi atau terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk
perilaku menggunakan tas belanja plastik (seperti supermarket dan pusat perbelanjaan)
tidak sepenuh hati mengadopsi pola pikir dan menerapkan sistem terintegrasi yang dapat
mengkondisikan konsumen untuk secara alami beralih ke gaya hidup belanja ramah
lingkungan. Alasan ekonomi dengan membebankan biaya tambahan untuk tas belanja
plastik membuat konsumen merasa 'rugi', terbukti tidak efektif dalam mengubah perilaku
dan gaya hidup konsumen.
5.2. Saran
Karena itu, kami menyarankan strategi yang lebih radikal untuk keberhasilan
kampanye diet kantong plastik, baik secara puitis maupun politis. Puitis, berupa ide-ide
kreatif dalam menggerakkan konsumen secara besar-besaran untuk mengubah gaya hidup
dari tidak peduli untuk peduli terhadap kelestarian lingkungan. Secara politis, bahwa
supermarket harus membebaskan diri sepenuhnya dari penggunaan tas belanja plastik.
26
Jangan memberikan opsi biaya tambahan atau meminta konsumen untuk membawa tas
belanjaan mereka, tetapi supermarket harus menyediakan tas belanja pengganti gratis dari
bahan ramah lingkungan.
5.3. Keterbatasan
Penelitian ini tidak sempurna. Ada beberapa keterbatasan yang menjadi kendala
dan kekurangan. Pertama, situasi pandemi Covid-19 membuat beberapa langkah penelitian
tidak dapat terlaksana secara sempurna seperti yang direncanakan. Kendala seperti
pembatasan untuk melakukan perkumpulan dan anjuran menghindari kerumunan
sementara penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data FGD, tentu merupakan
sebuah tantangan. Padahal, persiapan telah dilaksanakan. Alhasil, beberapa sesi diskusi
dilanjutkan lewat daring. Walaupun tidak mengubah dan mengganggu esensi dan tujuan
penelitian, namun diskusi dan wawancara lewat daring memiliki beberapa keterbatasan
yang tidak dimilika jika melalui luring, seperti observasi ekspresi, gesture dan perilaku
selama diskusi. Dengan demikian, penelitian menyandarkan semata-mata dari hasil
wawancara kepada partisipan.
Kedua, penelitian ini hanya melibatkan sepuluh partisipan diskusi. Tentu akan lebih
representatif jika melibatkan lebih banyak partisipan dengan berbagai latar belakang.
Namun demikian, dari jawaban-jawaban partisipan, terlihat cukup insightful. Beberapa
jawaban bahkan tak terduga, sehingga penelitian ini sangat berarti dan penting untuk
menjadi rujukan, bukan hanya bagi masyarakat dan kalangan akademisi, tetapi juga bagi
pembuat kebijakan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Afroz, R., Rahman, A., Masud, M. M., Akhtar, R. (2017) "The knowledge, awareness,
attitude and motivational analysis of plastic waste and household perspective in
Malaysia", Environmental Science and Pollution Research. DOI:10.1007/s11356-
016-7942-0
Agamuthu, P., Fauziah, S. H., Khidzir, K. M., Aiza, A. N. (2007) "Sustainable waste
management-Asian perspectives", In Proceedings of the inter- national conference
on sustainable solid waste management Vol. 5 (p. 15).
Asmuni, S., Hussin, N. B., Khalili, J. M., Zain, Z. M. (2015) "Public Participation and
Effectiveness of the no Plastic Bag Day Program in Malaysia", Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 168, 328–340. DOI:10.1016/j.sbspro.2014.10.238
Cox, J. Robert. (2010). Environmental Communication And The Public Sphere. Thousand
Oaks, CA: Sage Publications
Cuco (2017) "Let’s Reduce Plastic In Our Oceans: The 5 Most Inspiring Campaigns That
Fight Plastic Pollution",. Retrieved August 23, 2019, from
https://www.cucocreative.co.uk/thoughts/lets-reduce-plastic-in-our-oceans-the-5-
most-inspiring-campaigns-that-fight-plastic-pollution/
Davis, Helen (2004). Understanding Stuart Hall. London: Sage
Delistavrou, A. (1999) Consumers’ recycling behaviour in Thessaloniki, Greece.
University of Stirling, Scotland.
Evans, D. (2011) "Thrifty, green or frugal: Reflections on sustainable consumption in a
changing economic climate", Geoforum, 42(5), 550–557.
Fleming, James R. & Knorr, Bethany R. (2006). History of the Clean Air Act. American
Meteorological Society. Tersedia di: https://www.ametsoc.org/sloan/cleanair/
Gillaspy, R. (2018) Sustainable Consumption: Definition and Complexities. Retrieved
from https://study.com/academy/lesson/sustainable-consumption-definition-and-
complexities.html
Hall, Stuart (1973). Encoding and Decoding in the Television Discourse. Centre for
Cultural Studies, University of Birmingham.
Hall, Stuart (1980). “Encoding/decoding.” in Doothy Hobson, Andrew Lowe, Paul Willis,
28
Culture, Media, Language, 128–138.
Hartley, John (2012). Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concepts.
London: Routledge.
Horton, T., Doron, N. (2011) Climate change and sustainable consumption: what do the
public think is fair Joseph Rowntree Foundation. Retrieved from
http://www.jrf.org.uk/sites/files/jrf/sustainability-attitudes-fairness-full.pdf
Kiprop, J. (2018) "Which Countries Have Banned Plastic Bags?",. Retrieved August 29,
2019, from https://www.worldatlas.com/articles/which-countries-have-banned-
plastic-bags.html
Kurniadi, H., Hizasalasi, M. (2017) "Strategi Kampanye Diet Kantong Plastik Oleh
Gidkp Di Indonesia", In 2th Celscitech-UMRI 2017 (pp. 73–78). LP2M-UMRI.
Lury, C. (2011) Consumer Culture. Cambridge: Polity Press.
Nightingale, Virginia (2011). The Handbook of Media Audiences. London: John Wiley &
Sons.
Nugraha, P. (2011, February 21) "Leuwi Gajah, Kami Takkan Lupa..", Kompas.Com.
Retrieved from
https://regional.kompas.com/read/2011/02/21/20382467/Leuwigajah.Kami.Takkan.
Lupa
Pennisi, Elizabeth (2018-09-13). "Plants communicate distress using their own kind of
nervous system". Science. American Association for the Advancement of Science.
Retrieved 2019-08-13
Pillai, Poonam (1992). Rereading Stuart Hall’s encoding/decoding model. Communication
Theory, 2(3): 221-233.
Procter, James (2004). Stuart Hall. NY: Psychology Press.
Puspita, S., Patnistik, E. (2018) "Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua
di Dunia", Kompas.Com. Retrieved from
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/08/19/21151811/indonesia-
penyumbang-sampah-plastik-terbesar-kedua-di-dunia.
Tolonews (2016) "“Say No To Plastic Bags” Campaign Launched",. Retrieved August
25, 2019, from https://www.tolonews.com/afghanistan/say-no-plastic-bags-
campaign-launched
29
Toyota, Masatsugu, et al. (2018). Glutamate Triggers Long-Distance, Calcium-Based
Plant Defense Signaling. Science, 361(6407), 1112–1115.,
doi:10.1126/science.aat774
Wijaya, B. S. (2015). From Selection to Proposition: Qualitative Data Analysis Model
and Method. Journal Communication Spectrum: Indonesian Journal of
Communication and Culture, 5(1), 1-12
Xanthos, D., Walker, T. R. (2017) "International policies to reduce plastic marine
pollution from single-use plastics (plastic bags and microbeads): A review", Marine
Pollution Bulletin, 118(1–2), 17–26. DOI:10.1016/j.marpolbul.2017.02.048
Xinhua (2018) "Thailand launches ‘no plastic bag’ campaign",. Retrieved August 27,
2019, from https://www.khmertimeskh.com/556080/thailand-launches-no-plastic-
bag-campaign/
30
Lampiran 1.
LUARAN DAN HASIL DISEMINASI PENELITIAN
No. Judul Jurnal/ Prosiding Status
1. Why do People Ignore the ‘Plastic
Bag Diet’ Campaign? An
Indonesian Consumers
Perspective
Prosiding 4th The
International Conference
of Climate Change
(ICCC) 2019
Sudah
dipresentasikan
di konferensi
internasional
2. Barriers and Opportunities of
‘Plastic Bag Diet’ Campaign in
Indonesia
Journal Communication
Spectrum (S-3)
Submitted
top related