laporan kemajuan hibah riset invensi udayana · laporan kemajuan hibah riset invensi udayana...
Post on 19-Oct-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Bidang Ungulan Ketahanan Pangan
Kode/Nama Bidang Ilmu 164/ Mekanisasi Pertanian
LAPORAN KEMAJUAN
HIBAH RISET INVENSI UDAYANA
Optimasi Sistem LEISA dan Pengembangan Model Bioremidiasi
Secara In-Situ Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.)
Varietas Granola
Dr. Ir. Yohanes Setiyo, MP. (NIDN 0016106307)
Prof. Dr. Ir. Ketut Budi Susrusa, M.S (0017085910)
Dr. Ir. Dewa Gede Mayun Permana, MS. (NIDN 0007115904)
Ir I Gusti Ayu Lani Triani, S.TP, M.Si (NIDN 0029057705)
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Juni 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
RINGKASAN iv
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus 2
1.3 Urgensi Penelitian 2
II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida) 4
2.2 Kesuburan Lahan Percobaan 7
2.3 Produktivitas Lahan Percobaan 9
III METODE PENELITIAN 10
3.1 Roadmap Penelitian 10
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 13
3.3 Bahan Penelitian 13
3.4 Prosedur Penelitian 13
3.4.1 Rancangan penelitian 13
3.4.2 Prosedur pengamatan parameter-parameter 16
3.5 Luaran Penelitian 19
3.6 Indikator Capaian Penelitian 19
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20
V RENCANA KEGIATAN SELANJUTNYA
VI KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA 22
Lampiran 1. Justifikasi anggaran penelitian 25
Lampiran 2. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas 29
Lampiran 3. Ketersediaan sarana dan prasarana penelitian 34
Lampiran 4. Biodata Ketua dan anggota tim 36
Lampiran 5. Surat Pernyataan Peneliti 49
RINGKASAN
Tujuan jangka panjang adalah model bioremidiasi secara in-situ menggunakan sistem
pertanian dengan sistem low external input on sustainable agriculture (LEISA) di lahan
pertanian budidaya kentang, sehingga kentang (Solanum Tuberosum L.) konsumsi yang
dihasilkan (1) meningkat, (2) berkualitas, (3) berdaya saing tinggi, dan (4) terjamin mutunya.
Ruang lingkup penelitian adalah (1) identifikasi reduksi cemaran insektisida dan fungisida,
(2) identifikasi efektifitas mikroba melakukan proses bioremediasi secara in-situ di lahan yang
dibudidayakan kentang konsumsi akibat penerapan sistem LEISA dan (3) optimasi kuantitas
dan kualitas kentang konsumsi yang dihasilkan.
Tahun 2015 penelitian difokuskan pada : (1) identifikasi tingkat cemaran pestisida di
lahan yang dibudidayakan kentang, (2) kajian laju degradasi residu pestisida oleh aktifitas
mikroba dalam proses bioremidiasi secara in-situ dan (3) kajian kualitas kentang sebagai
akibat implementasi sistem LEISA. Pengamatan tingkat cemaran pestisida dan kualitas umbi
kentang diamati secara periodik (tanaman kentang berumur : 1 bulan, 1.5 bulan, 2 bulan, 2.5
bulan dan 3 bulan). Kedua pengamatan dilakukan untuk mencari pola penerapan sistem LEISA
yang optimal mendukung proses bioremediasi dan menghasilkan kentang berkualitas.
Percobaan budidaya kentang dengan perlakuan dosis pemupukan kompos (10 ton/ha, 15 ton/ha,
20 ton/ha, dan 25 ton/ha) dikombinasikan dengan perlakuan jenis kompos (kotoran ayam dan
kotoran sapi) pada budidaya di musim kemarau dan penghujan, hal ini untuk mencari model
bioremediasi in-situ yang paling efektif dengan sistem LEISA yang optimal.
Kegiatan penelitian tahun 2016 difokuskan pada kajian sistem LEISA yang paling
optimal untuk peningkatan ketersediaan unsure hara dan optimasi produksi kentang.
Parameter-parameter penelitian adalah : (1) sifat psikokimia tanah, (2) sifat biologis tanah, (3)
perkembangan tanaman dan umbi kentang, (4) produktifitas lahan (jumlah kentang yang
dihasilkan tiap satuan luas) dan (5) kualitas umbi kentang (distribusi ukuran berat umbi, tingkat
cemaran pestisida pada umbi, dan prosentase umbi yang rusak/busuk).
Kegiatan penelitian 2017 adalah kajian dampak implementasi sistem LEISA dan model
bioremediasi in-situ pada : (1) efisiensi penggunaan sarana budidaya kentang (pupuk NPK dan
obat-obatan), (2) produktifitas lahan, (3) kualitas umbi kentang yang dihasilkan dan (4) analisa
ekonomi. Penelitian uji sistem LEISA dilakukan pada sepuluh petani kentang dengan luasan
budidaya masing-masing 200 m2, dan budidaya dilakukan di musim hujan dan kemarau.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan insektisida dan fungisida dalam budidaya kentang (Solanum Tuberosum L.)
varietas granola adalah untuk mereduksi gagal panen akibat serangan hama dan penyakit
tanaman, hal ini masih dilakukan petani Desa Candikuning Kab. Tabanan (Setiyo et al.,
2014). Petani kentang Desa Candikuning sangat intensif menggunakan fungisida jenis :
Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan
petani adalah Curacron dan Detacron. Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur
14 minggu setiap seminggunya disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut. Praktek
pemberantas hama dan penyakit tanaman tersebut mampu menekan susut hasil karena umbi
kentangakibat tanaman terserang penyakit layu batang (Setiyo et al., 2013).
Pemupukan menggunakan kompos adalah salah satu praktek budidaya yang baik
(Good Agriculture Practices atau GAP, praktek ini juga sesuai sistem low external input on
sustainable agriculture atau LEISA. Pada penelitian Strasnas 2013 dan 2014, mikroba yang
pada kompos memiliki kemampuan meningkatkan ketersediaan unsure hara makro sampai pada
tingkatan tinggi s/d sangat tinggi (Setiyo et al., 2014). Rasio karbon-nitrogen (C/N) di lahan
budidaya kentang granola menurun dari 10,5 – 12,6 (awal tanam kentang) menjadi 8,5 – 9,4
(saat panen), hal ini menunjukan bahwa mikroba pada kompos selama budidaya masih
melakukan perombakan unsure hara untuk penyusunan selnya.
Mikroba Pseudomonas luteola yang ada pada kompos pada pH netral memiliki
kemampuan mendegradasi residu fungisida dan insektisida organophosfat dengan tingkat
degradasi sebesar 85.44%, hal ini diiringi dengan tingkat pertumbuhan tertinggi yakni dengan
nilai absorbansi 1.752 (Setiyo et al., 2014). Selain itu, penggunaan pupuk organik kompos
kotoran sapi, kompos bokasi, kompos sampah kota dan kompos campuran mampu mereduksi
residu fungisida jenis Dithane M-45,konsentrasi residu pestisida di tanah 0.6 ppm di hari ke 35
menjadi 0.003 ppm (Setiyo et al., 2011).
Aplikasi sistem LEISA pada budidaya kentang berdampak pada (1) penurunan
konsentrasi residu fungisida (Setiyo et al., 2010); (2) perbaikan sifat fisik tanah (Arsa et al.,
2013); (3) peningkatan kesuburan lahan (Setiyo, et al., 2014) dan (4) peningkatan kualitas umbi
kentang konsumsi (Setiyo et al., 2014). Optimasi sistem LEISA yang dikombinasikan dengan
optimasi proses bioremediasi residu fungisida dan insektisida secara in-situ untuk
meningkatkan produktifitas dan kualitas kentang perlu kajian lebih lanjut.
1.2 Tujuan dan Manfaat Khusus
Tujuan khusus penelitian adalah optimasi penerapan sistem LEISA dan optimasi proses
bioremidiasi in-situ pada budidaya kentang varietas granola, sehingga hasil per satuan luas
optimal dan berkualitas. Tujuan dan manfaat lain dari penelitian adalah :
1. Peningkatan efektiifitas model bioremediasi residu fungisida dan insektisida pada
budidaya kentang akibat implementasi sistem LEISA, sehingga kentang yang dihasilkan
berkualitas dan terjamin mutunya.
2. Peningkatan ketersediaan unsure hara makro bagi tanaman kentang dengan tingkat
ketersediaan pada status tinggi sampai sangat tinggi atau lahan memiliki nilai kapasitas
tukar kation di atas 25 me/ 100 g.
3. Optimalisasi sistem LEISA pada budidaya untuk menghasilkan kentang konsumsi
berkualitas (kentang ukuran super di atas 20 % dan yang rusak di lahan kurang dari 5
%) dengan produksi persatuan luas lebih dari 30 ton/ha sesuai dengan standar Bapenas.
4. Secara ekonomi sistem LEISA lebih menguntungkan untuk diterapkan di budidaya
kentang.
1.3 Urgensi Penelitian
Isu-isu strategis nasional : (1) ketahanan dan kemanan pangan; (2) pertanian
berwawasan lingkungan dengan praktek baik dalam budidaya atau GAP; (3) penggunaan
pestisida yang berdampak pada pencemaran lahan; (4) kandungan bahan organik yang rendah
di lahan pertanian yang berdampak pada menurunnya daya tahan tanaman terhadap hama dan
penyakit; dan (5) kualitas dan daya saing hortikultura di bawah produk import menjadi
landasan pengembangan roadmapp penelitian di atas. Berlandaskan hal tersebut, maka pada
tahun 2007 sampai 2008 peneliti melakukan penelitian (1) pengembangan model proses
pengomposan dan (2) aplikasi kompos sebagai pupuk untuk peningkatan kesuburan lahan dan
perbaikan sifat fisik tanah
Praktek budidaya kentang belum menggunakan sistim penjaminan mutu, sebab
penggunaan fungisida dan insektisida masih menjadi andalan petani Candikuning Kec. Baturiti
Kab. Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al., 2009, pemberian kompos pada
demplot budidaya kentang sangat efektif mendukung proses bioremediasi residu fungisida.
Jenis dan dosis kompos yang diaplikasikan sebagai pupuk organik yang mendukung proses
bioremediasi pada budidaya kentang varietas granola sangat penting untuk dikaji lebi lanjut
untuk optimasi proses bioremediasi itu sediri.
Berdasarkan hasil penelitian Setiyo et al., 2009, pemberian kompos pada demplot
budidaya kentang sangat efektif mendukung proses bioremediasi residu pestisida. Identifikasi
awal mikroba yang ada pada kompos dari penelitian Setiyo et al., 2011 adalah kelompok adalah
Bacillus sp., Lactobacillus sp., Streptoccus sp., Pseudomomas sp. Trametes sp, Gigaspora spp.
(Arbuscular mycorrhizal fungi), Aspergillus sp., Trichoderma sp., Saccharomyces sp., dan
Rhizobium sp.
Selain itu, mikroba pada kompos juga memiliki kemampuannya mendegradasi bahan
organik menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman. sehingga dapat meningkatkan
kandungan unsure hara makro dan mikro di lahan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam
dan kotoran sapi dengan dosis 10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/ha menyebabkan
lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan terjadi peningkatan kandungan bahan
organic. Kandungan hara utama (karbon, nitrogen, phospat, kalium) dari plot-plot percobaan
setelah kentang di panen tetap pada level tinggi sampai sangat tinggi (Setiyo, et al., 2014).
Penggunaan kompos sebagai pupuk organik merupakan upaya implementasi sistem
LEISA, penerapan sistem ini dapat (1) meningkatkan proses perbaikan kesehatan lahan dengan
proses bioremediasi secara in-situ, (2) peningkatan kesuburan lahan dengan proses biodegradasi
kompos oleh mikroba menjadi unsure hara yang tersedia bagi tanaman, dan (3) perbaikan sifat
fisik tanah. Secara umum sistem LEISA akan secara tidak langsung mendukung program
swasembada dan ketahanan pangan yang dicanangkan oleh pemerintah RI terutama
peningkatan produktifitas dan kualitas hasil budidaya tanaman pangan. Optimalisasi sitem
LEISA dan bioremediasi secara in-situ di lahan budidaya kentang konsumsi perlu suatu kajian
secara mendalam.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioremidiasi Residu Pestisida (Fungisida dan Insektisida)
Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian selalu
berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak bahan-bahan kimia tersebut
dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahan bahan kimia pertanian yang disemprotkan
jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di
atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah
(Uehara, 1996).
Pestisida kelompok organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan
dan meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui
rantai makanan. Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh
yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, pestisida kelompok organofosfat antara
lain : Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, dan Gophacide (Sudarmo, 1991).Dalam
penerapan di bidang pertanian, kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran
sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut
mengakibatkan pencemaran lahan pertanian (Armes et al., 1995 dan Tengkano et al. 1992).
Menurut Vidali, 2001 bioremediasi adalah usaha perbaikan tanah dan air permukaan
dari residu pestisida atau senyawa rekalsitran lainnya dengan menggunakan jasa
mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan berasal dari tanah namun karena jumlahnya
masih terbatas sehingga masih perlu pengkayaan serta pengaktifan yang tergantung pada
tingkat rekalsitran senyawa yang dirombak (Sa’id, 1994). Menurut Katsivela, 2005 konsursium
mikroba yang mampu mendegradasi polutan pada tanah sangat terbatas.
Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Menurut Vidali, 2001 pestisida kelompok Atrazine, Carbaryl, Carbofuran, Coumphos,
Diazinon, Glycophosphate, Parathion, Profenofos, dan 2,4-D dapat diremidiasi oleh mikroba
dalam proses aerobik. Mikroba kelompok aerobik adalah Pseudomonas, Alcaligenes,
Sphingomonas, Rhodococcus, and Mycobacterium. Mikroba ini mendegradasi pestisida dan
hydrocarbons alkana dan polyaromatic. Pestisida adalah sumber hydrokarbon dan sumber
energi.
Pengomposan adalah salah satu teknik bioremidiasi secara in-situ, karena dengan
pengomposan mampu meningkatkan populasi mikroba dan mengatur suhu tanah sehingga
proses bioremidiasi optimal. Menurut Vidali, 2001 dengan pengomposan menghemat biaya
dalam penurunan residu pestisida secara in-situ. Indrayani (2006), melakukan penelitian
bioremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan pengomposan, hasil penelitian
adalah mikroorganime awal populasinya 108 sel g
-1 bahan kering, puncak populasi
mikroorganisme 1010 sel per g kering bahan organik. Mikrorganisme yang aktif pada proses
bioremidiasi adalah kelompok mesofilik jenis kapang dan bakteri selulotik dan populasinya
mencapai puncak di minggu ke dua.
Mikroba kelompok Bacillus menurut Irianto et al. (1998) berpotensi melakukan
bioremidiasi. Sebagai gambaran, dari 10 area terlindungi di Jawa seperti Taman Nasional
Ujung Kulon, Gede-Pangrango, Merubetiri dan Baluran didapatkan ratusan isolat. Masing-
masing isolat dapat dikembangkan untuk penelitian beragam aspek seperti enzim, produksi
senyawa antibiotik, kemampuan mengikat logam berat, dan potensinya untuk bioremidiasi.
Hasil penelitian Setiyo et al. 2011, residu pestisida di lahan hortikultura yang tidak
dipupuk kompos lebih lambat teremediasi dibandingkan dengan lahan yang dipupuk dengan
kompos. Gambar 1 adalah gambar akumulasi residu pestiisida yang dapat diremidiasi oleh
mikroba dalam proses bioremidiasi in-situ di lahan pertanian yang dibudidayakan hortikultura.
Pada penelitian ini introduksi mikroba dengan cara pemberian kompos di lahan yang
dibudidayakan hortikultura, karena kompos mengandung mikroba kelompok Pseudomonas.
a. Penyemprotan dosis tinggi
Penyemprotan dosis sedang
Gambar 1 Akumulasi residu pestisida yang teremediasi (Sumber Laporan Akhir Penelitian Strasnas
(Setiyo, et al, 2009))
Menurut Setiyo et al. (2009) penggunaan kompos sebagai pupuk organik pada tanaman
jahe merah juga dapat memperbaiki sifat fisik, dan sifat kimia tanah. Penelitian Sudyastuti
(2007) pada tanah pasiran yang dibudidayakan cabai, kompos juga dapat memperbaiki sifat
fisik, sifat kimia, sifat biologis dan bakan sifat thermis tanah. Hasil penelitian Setiyo, 2009
aplikasi kompos dengan dosis 10 ton/ha di zone perakaran tanaman jahe merah (0 – 20 cm)
menghasilkan : suhu (27 – 32 oC), pH ( 6,5 – 6,8), kadar air tanah (30 – 50 %) dan porositas
24.2 %. Menurut Sudiastuti, 2007, kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman cabai di daerah
pasiran yang dipupuk kompos di kedalaman 0 – 20 cm memiliki suhu (27,5 – 32,5 oC), dan
kadar air volumetrik (0,13 – 0,17). Suplai oksigen di zone perakaran pada lahan dengan
porositas merndekati ideal sangat baik, sehingga potensi berlangsungnya proses bioremediasi
mikrobial di zone perakaran juga berlangsung secara sempurna (Setiyo et al., 2009). Kondisi
lahan yang dipupuk dengan kompos dari hasil penelitian Setiyo dan Sudiatuti (2007) sesuai
dengan standar ideal untuk proses bioremidiasi in-situ yang ditetapkan oleh Vidali (2001).
Kompos dari kotoran sapi dan kotoran ayam yang diberikan pada lahan yang
dibudidayakan kentang mengandung mikroorganisme aktif antara 106.8 – 10
.8.5 cfu sedangkan
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu pengamatan, hari
Residu pestisida yang
terremidiasi, ppm
Lahan tidak dipupuk kompos
Lahan dipupuk kompos kotoran sapi
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 20 40 60 80
Waktu pengamatan, hari
Akumulasi residu pestisida
terremediasi, ppm
Lahan dipupuk kompos kotoran sapi
Lahan tidak dipupuk kompos
lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 10
cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan
pertanian kentang. Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2.
ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis
dan dactonil, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipu
kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil
penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada
proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara
Gambar 2 Populasi mikroba di lahan percobaan budidaya kentang
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo
Hasil skrining mikroba pada media
ppm profenofos mempunyai ciri
Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni
koloni tersebut baru mampu beradaptasi dengan media
mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa
kompleks yang terdapat dalam
dilihat pada Gambar 3 (Setiyo,
Gambar 3. Foto koloni yang tumbuh pada media selektif MSPY
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo
0.02.04.06.08.0
10.0P
op
ula
si,
x 1
00
00
0 c
fu
lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 10
cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan
Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2.
ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis
, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipu
kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil
penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada
proses bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara pengomposan.
Gambar 2 Populasi mikroba di lahan percobaan budidaya kentang (Sumber : Laporan akhir
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)
Hasil skrining mikroba pada media Mineral Salt Peptone Yeast yang mengandung 100
ppm profenofos mempunyai ciri-ciri seperti koloni bakteri yakni berlendir dan mengkilap.
Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni
koloni tersebut baru mampu beradaptasi dengan media Mineral Salt Peptone Yeast
mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa
kompleks yang terdapat dalam yeast ekstract. Foto koloni yang berbeda secara fisik dapat
(Setiyo, et al., 2014).
Foto koloni yang tumbuh pada media selektif MSPY (Sumber : Laporan akhir
penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014)
0.02.04.06.08.0
10.0
Pemupukan Dengan Kompos
Bakteri
Kapang
Total Mikroba
lahan pertanian yang tidak dipupuk kompos hanya memiliki populasi mikroba aktif 101.9 – 10
5.9
cfu, selain itu nutrien yang ada pada kompos memperkaya jumlah nutrien yang ada pada lahan
Kondisi populasi mikroba seperti tertuang pada Gambar 2. Kedua kondisi
ini menjadi penyebab mikroorganisme di lahan aktif mengurai residu pestisida jenis acrobat
, namun karena populasi dan kandungan nutrien dilahan yang dipupuk kompos
kondisinya lebih baik maka kecepatan penguraian residupestisida juga lebih cepat. Hasil
penelitian ini memiliki kecenderungan yang sama dengan hasil penelitian Indrayani, 2006 pada
ngan cara pengomposan.
(Sumber : Laporan akhir
yang mengandung 100
ciri seperti koloni bakteri yakni berlendir dan mengkilap.
Koloni yang berbeda secara fisik berjumlah 8 koloni. Hal ini menunjukkan bahwa koloni-
Salt Peptone Yeast yang
mengandung profenofos. Koloni tersebut tumbuh dengan memanfaatkan senyawa-senyawa
. Foto koloni yang berbeda secara fisik dapat
(Sumber : Laporan akhir
Total Mikroba
2.2 Kesuburan Lahan Percobaan
Penambahan bahan organik berupa pupuk kompos akan berdampak pada peningkatan
kesuburan lahan selain itu juga memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah (
Sutanto, 2002 dan Setiyo et al. 2010). Perubahan sifat fisik tanah terutama pada struktur,
kemampuan tanah menanahan air bagi tanaman, dan porositas tanah. Menurut Sutedjo (2002)
tanah-tanah berat jika dipupuk dengan kompos akan menjadi lebih ringan, sedanglan tanah-
tanah ringan akan menjadi lebih baik strukturnya.
Perubahan sifat kimia tanah akibat pemupukan dengan kompos adalah pada
meningkatnya ketersediaan unsure hara mikro dan makro, meningkatnya kapasitas tukar kation
(KTK). Asam-asam yang dikandung kompos membantu proses pelapukan bahan menjadi
mineral-mineral tanah (Sutanto, 2002). Proses pelapukan material kompos menjadi mineral-
mineral berakibat pada perubahan pH tanah. Kenaikan pH karena ada demineralisasi bahan
organik terutama unsur mikro Mg2+, K
+, Ca
2+. Kation-kation ini akan berikatan dengan asam-
asam yang terbentuk selama proses demineralisasi (Setiyo et al, 2007).
Tabel 1. Kandungan N, P, K dan KTK Pada Plot Penelitian Pemupukan dengan kotoran ayam
(Sumber : Laporan akhir penelitian Strasnas 2014 (Setiyo et al, 2014))
Kode BULAN C/N
KTK,
me/100g
Keterangan kandungan hara utama
C N P K
A10M
1 10.02 27.35 S ST ST T
2 9.11 28.71 S ST ST T
3 9.63 29.00 S ST ST T
A15M
1 9.48 27.64 S ST ST T
2 9.15 25.16 S ST ST T
3 9.43 25.37 S ST ST T
A20M
1 10.00 22.97 S ST ST T
2 11.28 24.24 S ST ST T
3 10.73 23.84 S ST ST T
A25M
1 10.61 20.80 S ST ST T
2 8.54 26.61 S ST ST T
3 10.67 26.19 S ST ST T
KOM
1 12.64 24.64 S ST ST T
2 12.06 23.53 S ST ST T
3 10.74 23.11 S ST ST S
Berdasarkan data di Tabel 1 kandungan bahan bahan organic (pada sampel tanah yang
diambil dari plot-plot penelitian sebelum penanaman kentang dan setelah panen kentang
cenderung mengalami peningkatan. Penambahan pupuk kompos kotoran ayam dengan dosis
10 ton/ha, 15 ton/ha, 20 ton/ha dan 25 ton/hayang dikombinasikan dengan budidaya di lahan
ditutup mulsa plastic menyebabkan lahan semakin subur, karena pada semua plot percobaan
terjadi peningkatan kandungan bahan organic. Kompos kotoran ayam yang diberikan secara
kontinu selama tiga tahun terakhir dalam setiap tahapan budidaya mineral-mineral hasil
dekomposisinya tidak semua diserap oleh tanaman yang dibudidayakan termasuk tanaman
kentang (Setiyo, et al., 2014).
Menurut Sutedjo, 2002 pada pH 6,5 – 7,5 (pada kondisi reaksi netral) unsur-unsur hara
hasil dekomposisi kompos dan unsure-unsur dari pupuk NPK semua tersedia secara optimal
bagi tanaman kentang. Sisa kandungan hara C, N, P dan K merupakan hasil dari dekomposisi
kompos. Hal ini ditunjukan oleh nilai KTK di plot-plot percobaan yang bervariasi dari 23.11
sampai 29.0.
2.3 Produktivitas Lahan Percobaan
Hubungan antara dosis pemupukan kompos (kotoran ayam dan kotoran sapi) untuk
budidaya di lahan yang ditutup mulsa plastic hitam dan yang tidak ditutup mulsa plastic dengan
rerata total berat umbi kentang yang dihasilkan adalah seperti Gambar 3. Adanya
kecenderungan total produksi umbi kentang untuk perlakuan budidaya menggunakan mulsa
plastic lebih jumlahnya lebih sedikit dibandingkan total produksi pada perlakuan budidaya
menggunakan mulsa plastic hitam. Pada budidaya menggunakan mulsa plastic gulma, kadar air,
dan pH tanah selama masa budidaya dapat dikontrol (Setiyo et al., 2014).
Peningkatan penggunaan pupuk kompos kotoran sapi pada perlakuan budidaya
menggunakan mulsa plastic maupun tanpa mulsa plastic memiliki kecenderungan
meningkatnya jumlah produksi umbi kentang tiap pohon, kondisi ini berlawanan dengan
penggunaan pupuk kompos kotoran ayam. Kondisi ini diduga karena kotoran sapi lebih tersedia
dari pada kotoran ayam, karena kotoran sapi yang digunakan sudah terdekomposisi lebih dari 2
bulan, sedangkan kotoran ayam baru terfermentasi selama sebulan. Hasil sidik ragam pada
selang kepercayaan 1 % menunjukan bahwa dosis pemupukan berpengaruh tidak sangat nyata
terhadap total produksi umbi kentang untuk tiap pohonnya (Setiyo et al., 2014).
Gambar 3 Rerata berat umbi kentang yang dihasilkan tiap pohon
250
350
450
550
650
0 10 20 30
Re
rata
Be
rat
Um
bi
Ke
nta
ng
pe
r p
oh
on
, g
Dosis pupuk kompos, ton/ha
Kompos
Kotoran Sapi
dan Budidaya
Tanpa Mulsa
Plastik
Gambar 4 Rerata jumlah umbi kentang yang diproduksi tiap pohon
Jumlah umbi kentang yang dihasilkan pada semua perlakuan budidaya yang tertuang
pada Gambar 4 sudah sesuai dengan standar produktiivitas kentang bibit berkualitas, standar
produktivitas kentang bibit adalah 8 – 15 umbi per pohon, selain itu bibit. Perlakuan
pemupukan menggunakan kompos kotoran sapi pada budidaya penutupan lahan menggunakan
mulsa plastic menghasilkan jumlah umbi yang lebih banyak dibandingkan ketiga perlakuan
lainnya. Jumlah umbi kentang yang dihasilkan ini juga mendekati hasil penelitian Supartha et
al. 2012 pada budidaya di musim basah. Kondisi ketersediaan unsur hara yang didukung oleh
sifat psikokimia tanah yang baik menyebabkan jumlah umbi kentang menjadi lebih banyak.
Sifat psikokimia tanah meliputi porositas, struktur tanah, kadar air, pH, dan ketersediaan unsur
hara.
7
9
11
13
15
0 10 20 30Jum
lah
um
bi
ke
nta
ng
pe
r p
oh
on
Dosis pemupukan dengan kompos, ton/ha
Kompos
Kotoran Sapi
dan Budidaya
Tanpa Mulsa
Plastik
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Roadmap Penelitian
Gambar 5 Peta Jalan Penelitian
Untuk menghasilkan kentang konsumsi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi,
maka teknik budidaya mengikuti pola standar atau GAP dengan implementasi sistem LEISA
sangat dianjurkan. Oleh karena itu pada langkah selanjutnya peneliti merencanakan penelitian
dengan topik “Optimasi Sistem LEISA dan pengembanga Model Bioremediasi Secara In-Situ
Pada Budidaya Kentang (Solanum Tuberosum L.) Varietas Granola”.
2013-2014
Kajian Bioremidiasi
Residu Pestisida Se-
cara In-Situ Meng-
gunakan Proses
Pengomposan De-
ngan Beberapa Jenis
Kompos
2009
Publikasi
Ilmiah“Bioremidiasi
secara In-Situpada
lahan
tercemarpestisida
kelompok mankozeb
dengan mikroba dari
beberapa jenis
kompos” (Perhorti,
2010 – 2012
Penerapan Proses
Bioremidiasi Resi-du
Pestisida Secara In-
Situ Mengguna-kan
Proses Pengomposan
pada budidaya
kentang granola
Publikasi Ilmiah
(1) Optimalisasi
Proses Bioremi-diasi
Secara In-Situ Pada
lahan Tercemar
Kelom-pok
Mankozeb (Jurnal
Teknik Industri UM
Malang 2011)
(2) Bioremidiasi In-
Situ Lahan
Tercemar pestisida
oleh mikroba yang
ada pada kompos
(The excelence
Unud 2011)
-IbM Petani Bibit
Kentang Varietas
Granola-
-Pengembangan
Model Bioremediasi
In-situ menggunakan
mikroba dari kompos
untuk meningkatkan
produktivitas dan
daya saing
1) SOP dan GAP
dalam budidaya
hortikultura 2)
Publikasi Ilmiah:
(1) Publikasi di
Jurnal Karya UNUD
untuk anak bangsa
“Optimalisasi
Produktivitas
Kentang Bibit
Varietas Granola G3
Dengan Manipulasi
Dosis Pemupukan”
(2) Makalah Seminar
SENASTEK
2015 - 2017
Optimasi Sistem
LEISA dan
pengembanga
Model
Bioremediasi
Secara In-Situ
Pada Budidaya
Kentang
(Solanum
Tuberosum L.)
Varietas Granola
1.Buku GAP
Budidaya kentang
bibit varietas
granola
2.Publikasi ilmiah
3. HAKI
Luaran
Luaran
Luaran
Luaran
Pengembangan
good
agriculture
practices
(GAP)
3.2 Metode Penelitian
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015-2017. Tempat penelitian plot budidaya
kentang di lahan milik Bp Wayan Ada di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti Kabupaten
Tabanan, Propinsi Bali. Analisis tanah bertempat di Lab. Sumber Daya Alam PS. Teknik
Pertanian, pengamatan mikroba di Lab. Bioindustri PS. Teknologi Industri Pertanian
3.2.2. Bahan Penelitian
Bahan untuk penelitian di demoplot adalah : benih tanaman (kentang, brokoli, bawang
pre), kompos kotoran ayam terfermentasi 21 hari, dan pestisida. Zat kimia yang digunakan
untuk analisis C-organik, K2O, N-organik, P2O5 dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dari
sampah dan kompos adalah K2Cr2O7, Fe2SO4, H2SO4, CuSO4, Na2SO4, NaOH, HCl, NH4OH,
Na2SO5, BaCl2, alkohol 80%, aquades, dan NH4-asetat. Bahan untuk uji perkembangbiakan
bakteri dan kapang pada proses pengomposan adalah nutrient agar (NA), aquades, potato
dextrose agar (PDA). Bahan – bahan kimia untuk analis aktivitas mikroba adalah : NaCl faali,
Alkohol, Supernatan, KH2PO4, K2HPO4, MgSO4.7H2O, NaCl, CaCl2.2 H2O, FeSO4. 7H2O,
yeast extract, Bacto agar, Flourescent Diacetance Assay (FDA), larutan buffer fosfat, aseton,
Na2MoO4 dan NaWO2.
3.2.3 Alat-alat
Kolom gelas, pendingin balik, labu, “mantleheater”, corong pemisah, timbangan
analitik, inkubator, “autoclave”, oven, freezer, lemari pendingin,“laminarflow”, “shaker
waterbath”, pHmeter, magnetic stirrer, sentrifuge vortex, stopwatch, penangasair,
spektrofotometer, mikroskopelektron, sequencer, PCR, elektroforesis, “gas chromatography”:
GC-FID, GC-SCD/GC-FPD, GC-MS, HPLC, Instalasi biodesulfurisasi proses kontinyu,
fermentor dan alat-alat gelas.
3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian secara keseluruhan digambarkan pada Gambar 6, sedangkan
Gambar 7 merupakan detail diagram alir penelitian tahun ke-1.
Optimalisasi sistem LEISA dengan manipulasi dosis pupuk kompos (10 – 25
ton/ha) dan budidaya di musim hujan serta kemarau
Pengamatan Konsentrasi Residu Pestisida
(Proses Bioremediasi Secara In-Situ)
Sistem LEISA yang optimum untuk
proses bioremediasi secara in-situ
Analisis Data
Uji Sistem LEISA dan proses bioremediasi secara
in-situ pada budidaya kentang
Penelitian
Tahun I
Pengamatan Mikroba
Yang Aktif Dalam
Proses Bioremediasi
Pengamatan Kuantitas dan
kulitas umbi kentang
konsumsi yang dihasilkan
GAP Budidaya Kentang Konsumsi Varietas
Ganola
Pengamatan keterse-
diaan N, P, K, C-or-ganik,
dan KTK di lahan
Gambar 6 Diagram alir penelitian keseluruhan
selesai
Penelitian
Tahun 2
Pengamatan Kualitas Kentang
mulai
Uji Sistem LEISA untuk efektifitas penggunaan sarana produksi pupuk
kimia dan obat-obatan, uji sitem dilakukan di lahan 10 petani kentang
Pengamatan keterse-diaan N, P,
K, C-or-ganik, dan KTK di lahan
Pengamatan Kuantitas dan kulitas umbi
kentang konsumsi yang dihasilkan
Efektifitas sistem LEISA pada budidaya kentang
konsumsi yang berpenjaminan mutu Penelitian
Tahun 3
mulai
Mulai umur 30 hari, setiap seminggu tanaman disemprot dengan fungisida
jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane M45 dengan dosis sedang
Selesai
Gambar 7 Diagram alir penelitian tahun ke-1
Budidaya kentang granola kelompok G3 pada demoplot
ukuran 10 m x 10 m dengan perlakuan : dosis pengomposan (10, 15, 20 dan
25 ton/ha), jenis kompos (kotoran ayam, kotoran sapi), dan waktu budidaya
(musim hujan, dan kemarau)
Pengamatan produktifitas umbi
kentang persatuan luas, diambil 10
sampel dengan luas sampel 1m2
Analisis residu pestisida di tanah,
umbi kentang dan tanaman
Pengambilan sampel tanah,
tanaman dan umbi kentang
Analisa Keandalan Sistem LEISA untuk proses bioremediasi secara in situ dan
menghasilkan umbi kentang berkualitas
Sistem LEISA yang optimal untuk proses bioremediasi residu
insektisida dan fungisida secara in-situ
Inkubasi selama 3 hari Pengamatan pertumbuhan dan
kesehatan tanaman setiap 2 minggu
dengan sampel 20 tanaman per plot
Pengamatan perkembangan umbi
kentang setiap 2 minggu dengan
sampel 20 tanaman per plot
Pengamatan perkembangan umbi
kentang setiap 2 minggu dengan
sampel 20 tanaman per plot
1.Konsentrasi residu fungisida dan
insektisida di lahan, di tanaman dan di
umbi kentang.
2.Laju proses bioremediasi
Produktifitas dan kualitas
umbi kentang
Pengamatan kualitas
umbi kentang selama
penyimpanan 2 bulan
3.4 Sistimatika Kegiatan
Gambar 8. Diagram sistimatika kegiatan
3.4 Rancangan percobaan
Penelitian tahun ke-1 dengan perlakuan : (1) dosis pemupukan dengan kompos yang
dikombinasikan dengan pemupukan dengan NPK majemuk dosis 250 ton/ha, (2) jenis kompos
yang digunakan dan (3) musim tanam. Dosis pemupukan dengan kompos digunakan empat
level, yaitu 15 ton/ha, 17.5 ton/ha, 20 ton/ha dan 22.5 ton/ha. B Jenis kompos yang digunakan
adalah kompos kotoran ayam dan kompos kotoran sapi dengan musim tanam musim kemarau
Optimasi Sistem
LEISA dan
pengembanga
Model
Bioremediasi
Secara In-Situ
Pada Budidaya
Kentang
(Solanum
Tuberosum L.)
Varietas Granola
Sumber Daya
Tahapan Penelitian
(2)uji keandalan proses bioremediasi
residu pestisida secara in-situ
(1) identifikasi
cemaran pestisida
(3)optimasidosis penggunaan
kompos yang efektif medukung
proses bioremediasi (4)pengembangan proses
bioremi-diasi in situ (5)optimalisasi produktivitas
dan kualitas kentang
(2)Analis tingkat cemaran residu
pestisida (Lani Triani, S.TP, M.Si
+ mhs PS. TIP)
(3)Analis kualitas
kentang (Dr. I
D.G. Mayun P. +
mahasiswa FTP)
(1)pengembangan proses
bioremi-diasi di lahan (Dr.
Yohanes Setiyo + mhs S2 PS.
Kimia)
Lahan Bpk Wayan Ada (Desa
Candikuning) dan alat
budidaya untuk budidaya
kentang
Bibit kentang, kompos,
pestisida, mulsa
plastik, pupuk NPK
Laboratorium Bioindustri
(Glassware, inkubator,
cawan petri, shaker, ruang
isolatasi, spektrofoto meter,
autoclub)
NA, PDA, aquadest,
KH2PO4,MgSO4.7H2O, NaCl,
Na2Mo O4, NaWO2. Bakto
peptone, dan yeast extract,
buffer fosfat, larutan FDA,
aseton
Sampel tanah dan
kompos
Laboratorium Kimia Analitik
(GC, Shaker, glassware)
Acetonitril,
Na2SO4 anhidrat
granuler,
petroleum eter,
heksan, metanol,
Laboratorium Teknik
Pascapanen (timbangan
analitik, chromameter, tektur
analiser, cold storage)
Sampel
kentang
Bahan-bahan Laboratorium dan peralatan
Mitra Bpk
Wayan Ada
(Juni s/d Agustus) dan musim hujan (Oktober s/d Desember). Setiap unit percobaan diulang 3
kali, sehingga secara keseluruhan ada 51 unit percobaan.Setiap unit percobaan berukuran 5 m
x 10 m.
Tanaman kentang di plot-plot percobaan dipelihara pertumbuhannya dan disemprot
dengan insektisida dan fungisida. Fungisida jenis : Daconil, Akrobat, Atracol, dan Dithane
M45, sedangkan kelompok insektisida yang digunakan adalah Curacron dan Detacron.
Tanaman kentang yang berumur 2 minggu sampai umur 14 minggu setiap seminggu tanaman
disemprot campuran fungisida dan insektisida tersebut.
3.4.1 Prosedur pengamatan parameter-parameter
1. Konsentrasi residu pestisida di lahan
Kadar residu di lahan, di tanaman dan di umbi kentang diukur Gas Chromatografi (GC)
dengan standart Mancozeb murni yang diperoleh dari PT. Tanindo Subur Prima. Pengambilan
sampel tanah, tanaman dan umbi kentang dilakukan setelah penyemprotan 3 hari. Pengambilan
sampel dilakukan dengan mengambil sampel secara diagonal dengan lima titik pengambilan.
Ekstraksi sampel dilakukan secara langsung, langkah ini dilakukan sesuai dengan sifat pestisida
yang tidak stabil dan mudah hilang pada sampel yang akan dihitung secara kuantitatif.
Pengujian dengan GC melalui tahapan: penyaringan, pemurnian dan injeksi ke dalam
kolom. Pada Proses penyaringan, sample tanah ditimbang sebanyak 250 gram dan ditambahkan
Acetonitril serta 5 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kemudian diblender dan disaring. Proses
selanjutnya adalah memasukkan sebanyak 93 ml filtrat dalam corong pisah yang berisi 100 ml
petroleum eter, dikocok selama 5 menit, dan membuang lapisan air yang terpisah pada bagian
bawah. Pada sisa larutan ditambahkan 200 ml Na2SO4 2 %, dikocok selama 2 menit, dan
membuang lagi sisa air yang terpisah. Pada corong biasa diberi glass wool dan Na2SO4 anhidrat
granuler pada lapisan atas dan kemidian zat dilewatkan pada corong untuk disaring, kemudian
selanjutnya adalah proses pemurnian.
Pada proses pemurnian glass wool ditempatkan pada bagian bawah kolom kromatografi
dan ditambahkan 1.6 gram fluoricyl serta 1.6 gram Na2SO4 anhidrat granuler, kolom dicuci
dengan 50 ml heksan, kemudian dengan 50 ml metanol, dan membuang cairan pencuci. Elusi
dengan 11 ml heksan, ditampung masing-masing dalam labu erlemeyer dan diuapkan sampai
0.5 ml di atas water bath. Sampel yang telah diuapkan di atas water bath diambil sebanyak 10
mikroliter dengan menggunakan syringe, kemudian di injeksikan ke dalam kolom melalui
septum secara bersamaan dengan menekan tombol start. Diagram kromatogram yang terbentuk
dapat diamati di layar monitor, sedangkan perhitungan nilai kuantitatif residu yang terdapat
pada sampel menggunakan rumus :
µg/L (ppm) = ExFxG
AxBxCxD
(3.1)
Dimana :
A : Konsentrasi larutan standart pestisida (µg/ µl)
B : Tinggi puncak hasil pemurnian (mm)
C : Volume akhir hasil ekstraksi (µl)
D : Faktor pengenceran (bila ada)
E : Tinggi puncak larutan standart (mm)
F : Volume hasil pemurnian yang disuntikkan ( µl)
G : Volume atau berat dari contoh atau spesimen yang di ekstrak (ml atau gram).
2. Produktifitas Tanaman
Produktifitas tanaman diukur dengan cara mengamati total produksi tiap satuan luas
(1 m2) dan total umbi per pohon. Jumlah sampel untuk pengamatan total jumlah umbi adalah 20
batang untuk setiap plot, sedang pengamatan total produksi diambil 5 sampel untuk tiap plot.
3. Kualitas Produksi
Parameter kualitas produksi adalah (1) prosentase umbi yang busuk atau rusak selama
penyimpanan, dan (2) distribusi berat umbi berdasarkan berat per umbi (Kelas B (berat 30-60
g), A/B (berat 60 – 100 g), A (berat 100 – 200 g), dan super (berat lebih dari 200 g). Pengamtan
distribusi berat umbi berdasarkan kelas dilakukan dengan mengambil sampel 20 pohon dan
kemudian umbinya ditimbang. Sedangkan prosestase umbi kentang yang rusak atau busuk
dihitung berdasar umbi yang rusak.
4. Analisis Mikroba
Mikroba yang dianalisis adalah kelompok bakteri, karena pada penelitian sebelumnya
populasi kapang lebih kecil dari populasi bakteri.
a. Pengambilan sampel tanah
Pengambilan sampel tanah pada masing-masing demplot dilakukan pada 5 titik sampel
setelah 3 hari dari waktu penyemprotan pestisida, kedalaman pengambilan adalah 0 -10 cm.
Pengambilan sampel dengan soil range sample dengan posisi titik-titik pengambilan sampel
menyilang dan jarak antar titik 1 m.
b. Pengenceran
Setiap 1 g sampel ditambahkan dengan 9 ml NaCl faali (0.85 %) ke dalam tabung
reaksi. Larutan ini pengencerannya 10-1 dan pengenceran dilakukan sampai 10
-9. Setiap kali
melakuan pengenceran larutan dihomoginisasi menggunakan vortek.
c. Populasi Bakteri (TPC)
Setiap 0.1 ml larutan untuk pengenceran 10-4 sampai 10
-9 dituang ke media PCA
menggunakan ependorf dari stip steril. Selanjutnya larutan disebar dengan sprider yang telah
dicelupkan pad alkhohol dan dipanaskan. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 48
jam. Koloni yang dihitung hanya yang berjumlah 30 – 300 koloni.
Pembuatan PCA dengan melarutkan 15 g agar, 1 g dextrosa, 5 tripton, 1.5 g yeast ke
dalam 1000 ml aquadest. Larutan tersebut dipanaskan sambil diaduk dengan magnetic stirer
sampai mendidih dan homogen. Selanjutnya larutan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121
oC selama 15 menit. Setelah agak dingin dituangkan ke dalam cawan petri steril ± 15 – 20 ml
dan didinginkan. Setelah padat cawan petri ditutup dalam posisi terbalik.
5. Kesuburan lahan
1) Penetapan karbon organik dengan metode AOAC 1995.
Sampel tanah diambil dari demplot pada kedalaman 0 – 10 cm dan sampel kemudian
dikeringkan sampai kadar air mendekati titik kesetimbangan (EMC). Prosedur penetapan C-
organik adalah :
Duplo 0.5 g media tanah kering udara yang lolos saringan 0.5 mm (gunakan sampel 1 g
jika kandungan karbon organik < 1 %), kemudian ditempatkan pada erlenmeyer 500 ml. Duplo
ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 sambil erlenmeyer digoyang perlahan, kemudian ditambahkan 20
ml H2SO4 pekat dengan gelas ukur di ruang asam sambil digoyang.
Campuran dibiarkan di ruang asam selama 30 menit supaya dingin, kemudian larutan
diencerkan dengan 100 ml air bebas ion/destilata dan ditambahkan tetes indikator ferroin 0.025
M. Larutan dititrasi dengan FeSO4 0.5 M sampai larutan tetap berwarna merah anggur. Blangko
ditetapkan seperti prosesur di atas, tetapi tidak menggunakan sampel.
(me K2Cr2O7 – me FeSO4) x 0.003 x f x 100
% C organik = _____________________________________ (3.2)
BKM
F = 1.33, me = N x V dengan N = normalitas, V = volume; BKM = bobot kering oven
sampel tanah
% bahan organik = % C organik x 1.724 (3.3)
2) Kadar Nitrogen organik
Sampel tanah kering diambil 500 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 25
ml. Sampel ditambah 1.9 g campuran Se, CuSO4 dan Na2SO4, kemudian sampel ditambahkan 5
ml H2SO4 pekat ke dalam labu, kemudian digoyang secara perlahan agar sampel basah, dan
dijaga agar sampel tidak memercik kedinding labu. Sampel yang sudah dimasukan labu
ditambah 5 tetes parafin cair, kemudian labu dipanasi di kamar asam dengn api kecil dan secara
perlahan api diperbesar, sehingga diperoleh cairan berwarna hijau atau biru. Dipanaskan 15
menit lagi kemudian didinginkan.
Sampel ditambahkan air sebanyak 50 ml, goyangkan sebentar kemudian isi labu
dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi. Bahan cairan di labu destilasi tidak boleh
melebihi ½ dari isi labu. Kedalam labu destilasi ditambahkan 5 ml NaOH 50 %, dilakukan
destilasi, tampung hasil destilasi ke dalam erlenmeyer 125 ml yang telah diisi campuran 100 ml
H3BO4 4 % dan 5 tetes indikator Conway. Isi deatilat 100 ml.
Distilat dititrasi dengan HCl yang sudah dibakukan sampai terjadi perubahan warna
hijau menjadi merah. Lakukan penetapan blangko seperti prosedur di atas
Isi HCl (contoh – blangko) x N HCl x 14 x 100
Kadar N % = _________________________________________ (3.4)
Bobot Sampel (mg)
3) Kadar K2O dengan metode AOAC, 1995.
Hasil saringan pada cara kerja penetapan kapasitas tukar kation diambil 1 ml, dan dimasukan
pada tabung reaksi kemudian diencerkan menjadi 10 kali lipat (mungkin bisa lebih encer).
Sampel kemudian dimasukan kedalam tabung pengukur (terbuat dari plastik) dan diukur
dengan alat ukur foto nyala dengan filter K, namun bila larutan masih terlalu pekat pengenceran
kedua perlu dilakukan dengan air. Kadar K ditetapkan dari larutan baku, dan juga ditetapkan
blangko.
Larutan baku yang mempunyai konsentrasi 0, 0.05, 0.1, 0.2, 0.4 dan 0.5 me K/liter (sudah
tersedia) diukur dengan alat ukur fotonyala. Nilai kadar K dihitung dengan persamaan :
Kadar K (me/100 g) = kadar K dalam larutan (me/l) x fp x 2 x (100 + KA)/100 x 10-1 (3.4)
4). Penentuan Kadar P2O5
Larutan pengekstrak (P-A) yaitu : Larutan baku (HCL 0.25 N + HF 1.5 N) : 54 ml HF
48 % + 600 ml air. Larutan ditambahkan NH4OH sampai pH = 7.0. Larutan ditambahkan 108
ml HCl pekat dan diencerkan menjadi satu liter. Larutan untuk bekerja (larutan Bray 1 atau P-
A) : (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N) : larutan 20 ml larutan P-A menjadi satu liter atau : 1.11 g
NH4F + 4.16 ml HCl 6 N per liter.
Larutan pewarna (P-B). NH4-molibdat 3.8 g dilarutkan dalam 300 ml H2O pada suhu
60 oC kemudian didinginkan. Asam asorbat 5.0 gdilarutkan dalam 500 ml H2O dan
ditambahkan 75 ml HCl pekat, kemudian ditambahkan larutan molibdat dan diencerkan sampai
menjadi satu liter.
Larutan Pewarna (P-C) : Serbuk pereduksi baku ditumbuk dan dicampur dengan 2.5 g atau 1-
amino-2naftol-4sulfanat, 5.0 g Na2SO3 dan 146 g Na2SO5 di dalam lubang porselin Serbuk
pereduksi sejumlah 8 g dilarutkan di dalam 50 ml air panas dan dibiarkan 12 sampai 16 jam
sebelum dipakai dan . diganti setiap 3 minggu.
Metode Bray no 1. Sampel tanah sebanyak 1.5 g dimasukan kedalam labu ekstrasi
dan kemudian ditambahkan 15 ml larutan P-A, sampel dikocok 15 menit dengan mesin
pengocok kemudian disaring. Sampel tersebut dipipet sejumlah 5 ml dan kemudian dimasukan
kedalam tabung reaksi/kuvet, kemudian ditambahkan 5 ml larutan P-B dan 5 tetes larutan
pereduksi P-C, setelah 15 menit dikocok kemudian dibaca kerapatan optik dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 mµ.
Penetapan K menggunakan alat ukur fotonyala dengan cara memipet sejumlah hasil
penyaringan sampel. Satu seri larutan baku dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm P.
Larutan ini dibuat dari larutan baku yang larutan Bray no 1 di dalam labu takar 50 ml. Diambil
5ml larutan baku dan dimasukan ketabung reaksi, kemudian ditambahkan 5 ml P-B dan 5 tetes
P-C dan seterusnya sampai sesuai dengan metode yang diuraikan untuk penetapan contoh.
Dibuat kurva baku dengan ppm P sebagai sumbu X dan % T atau A sebagai sumbu Y.
P sampel (ppm) = P dalam larutan (ppm) x10 x (100 +KA)/100 (3.5)
5) Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Sampel tanah kering ukuran 2 mm Ditimbang 5 g dan dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuse 100 ml. Sampel ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc pH 7.0 dan kemudian diaduk
sampai merata, kemudian dibiarkan selama 24 jam. Sampel diaduk kembali kemudian
disentrifuse selama 10 – 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrat ditampung di dalam
labu takar.penambahan NH4OAc pH 7.0 diulangi sampai 4 kali lagi. Setiap penambahan
diaduk sampai merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi kedalam labu ukur 100 ml
sampai tanda tera. Ekstrak ini digunakan di dalam penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat
dipertukarkan serta untuk penetapan kejenuhan basa.
Pencucian NH4+ ditambahkan 20 ml alkhohol 80 % ke dalam tabung sentrifuse yang
berisi endapan sampel, diaduk sampai merata, disentrifuse, didekantasi dan filtratnya dibuang.
Pencucian NH4 dengan alkohol ini dilakukan sampai sekitar 7 kali sampai bebas NH4. Hal ini
diketahui dengan cara menambahkan beberapa tetes pereaksi Nester pada filtrat tersebut.
Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4+.
Sampel yang bebas dari ion NH4+ dipindahkan secara kuantitatif dari tabung
sentrifuse ke dalam labu didih. Kemudian ditambahkan air 450 ml, ditambahkan beberapa butir
batu didih, 5 – 6 tetes parafin cair dan 20 ml NaOH 50 % kemudian didestilasi. Destilat
ditampung dalam erlenmeyer 250 ml yang sudah berisi 25ml H2SO4 0.1 N dan 5 – 6 tetes
indikator Conway. Destilasi dihentikan jika destilat mencapai 150 ml. Kelebihan asam dititrasi
dengan NaOH 0.1 N, titik akhir titrasi dicapai jika warna berubah menjadi hijau. Distilasi
blangko
KTK (me/100 g) = ovenhsetelahdiBeratconto
xNNaOHmlsampelmlblangko )( −
(3.6)
BAB IV. RESULT AND DISCUSSION
4.1 Field Condition For Experiment
Field for experiment implementation LEISA system were classificated with three group,
that were (1) field for cultivation organic potato at Mr. Runca, (2) new field for potato
cultivation at Mr. Ngurah and (3) field used for potato planting more than three years at Mr.
Mesir and Mr. Suwendra field’s. Before potato planting phisycal and chemical soil
characteristic described by (1) pH 6.2 – 6.8, (2) organic material content 3.2 – 5.2 %, (3) soil
porosity 31 – 42 %, moisture content at field capacity was 30 – 43 % w.b.
Mr. Suwendra and Mr. Mesir field’s were better than MR. Runca and Mr. Ngurah
field’s, because this field used fertilizes compost more than three years very intensively,
compost from chicken manure with dose 15 – 25 ton/ha was used every horticulture planting.
In the other, field at Candikuning village was content non pathogen microbe with population
5.58 x 105 to 7.2 x 10
7, this microbe population was better than population microbe at Mr.
Runca field and at Mr. Ngurah field. Non pathogen microbe caused decomposition compost
become to simple mineral so esay absorbed by root potato plants.
Implementation LEISA system by potato farmer at Baturiti caused (1) improve soil
phisyc characteristic, (2) increasing non pathogen microbe and soil fertility, (3) stabilization
soil pH. LEISA system at potato cultivation could decreased using chemical fertilizer and
pestiside on potato planting.
5.2 Potato Plant Growing at LEISA System
Potato tuber granola variety class G3 used at experiment cultivation by implementation
LEISA system was very good criterion, potato tuber from breeder farmer in Malang Regency
was sertificate by government. Potato tuber had (1) number potato tuber rusak/busuk less than
2 %, (2) apical height was 0.5 – 1 cm, (3) weight of tuber 30 – 60 g and (4) perkembangan
tunas apical menjadi tanaman yang gagal kurang dari 3 %. Average weight of tumber was 43,7
± 2,12 g, average number of apical was 2 ± 1 with height 0,5 ± 0,3 cm.
Number potato plant dead from 20 sample at three week was 1 plant and at twelve week
become to 2 ± 1 plant. At LEISA system dose of compost fertilizer could decrease number
plant dead because desease, but number plant with low growing was 1 – 3 planting every 20
sample plant and at 6 week this plant would same height with other plant. Micro and macro
nutrient at compost would supported potato plant growing early at 4 week after planting.
Relationship between old of plant and height of potato plant described at Figure 9.
Figure 9 Relationship between old of plant and height of potato plant
At 10 week potato plant with height
1,2 mm, this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to
growing, but at week 9 rapidly of growing was decreasing because generative phase would
early and potato tuber was incrase. Increasing
Figure 10 Relationship between compost dose with increasing tuber
Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight
of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).
Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting
number tuber was 9 ± 2 and weight
5.3 Soil Physical Properties
5.3.1 Soil Structure
Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone
amorphous colloidal materials
are known as andisols. Andoso
fraction and 10 – 20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because
0
10
20
30
40
50
0T
ing
gi
Ta
na
ma
n
Ke
nta
ng
, cm
0
200
400
600
800
1000
1200
15
Pro
du
ksi
pe
r
po
ho
n, g
/po
ho
n
Relationship between old of plant and height of potato plant
At 10 week potato plant with height was 44,69 ± 0,05 cm and plant diameter was
this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to
rapidly of growing was decreasing because generative phase would
early and potato tuber was incrase. Increasing potato tuber at LEISA system saw at Figure 10.
Relationship between compost dose with increasing tuber
Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight
of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).
Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting
number tuber was 9 ± 2 and weight each tuber was more than 100 g.
Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone
materials or did not structure. In the USDA soil taxonomy
Andosol soil consist of 50 – 70 % sand fraction, 30
20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because
5 10 15
Minggu Ke
Dosis Kompos 15
ton/ha
Dosis Kompos 17.5
ton/ha
Dosis Kompos 20
ton/ha
Dosis Kompos 22.5
ton/ha
17.5 20 22.5 25
Dosis Kompos ton/ha
Minggu Ke 7
Minggu Ke 9
Minggu Ke 11
Minggu Ke 13
Relationship between old of plant and height of potato plant
and plant diameter was 5,5 ±
this condition saw at Figure 10. At vegetative fase growing (week 0 to 8) was linier
rapidly of growing was decreasing because generative phase would
potato tuber at LEISA system saw at Figure 10.
Relationship between compost dose with increasing tuber
Figure 10 described linierity between age of plant with weight of potato tuber. Weight
of tuber depended on dose of compost as fertilizer (compost from cow and chicken manure).
Dose compost fertilizing more than 20 ton/ha was efficient for potato planting, because
Kind of soil at Candikuning field was classed in andosol with soil at root zone
USDA soil taxonomy, andosols
70 % sand fraction, 30 – 50 % dust
20 clay fraction, fertilizing by compost increased dust fraction because
Dosis Kompos 17.5
Dosis Kompos 22.5
Minggu Ke 7
Minggu Ke 9
Minggu Ke 11
Minggu Ke 13
compost produced mineral-mineral such as Fe, Cu, Mg, Al, Ca, and Mn by decomposition
process (Setiyo et al., 2009).
Chiken and cow manure compost fertilized on potatoes cultivation with dose 15 – 25
ton/ha could increased content of organic material in the soil. At 2009th total organic material
on Candikuning field was 3.6 % and at 2014th it was increased become to 6.2 % (Setiyo et al.,
2014). Macro nutrition mineral such as C-organic, N-organic , P2O and K2O on potatoes
cultivation was not all absorbed by potatoes root, so that after harvested some of macro mineral
increased number of organic materials (Arsa et al., 2013).
5.2.2 Soil porosity
Porosity of the soil from the application of LEISA systems on potato cultivation was
presented at Figure 1 and Figure 3. Compost with doses 15 to 25 tonnes / ha were used in
LEISA systems could improved soil porosity become more than 50%, these results was closed
to the research results by Hicliklenton et al., 2001; Arsa et al., 2013; and Setiyo et al., 2009.
Fertilization using compost dose of 25 tonnes / ha was the best treatment in an attempt to
improve the soil porosity, chicken manure compost altered the soil porosity from 41.52 ± 0.4 %
become 46.98 ± 2.1 % and cow manure compost was change the soil porosity from 60.06 ±
2.06 % become 62.83 ± 2:08 %.
The relationship between the dose of compost to the soil porosity amount presented by
the equation y = 0.953x + 38.95 with r = 0.99 (fertilizing used chicken manure compost) and y
= 1.110x + 18:56 with r = 0.97 (fertilizing used cow manure compost). Fertilizing with compost
research on the cultivation of some types of horticulture was resulted the maximum dose of
fertilizer was 40% of the volume of soil (Setiyo et al 2009).
Compost of chicken manure composed of components: bran, leftover feed and faeces.
The Chemical elements of the chaff was 50% cellulose, 25 -30% lignin, and 15 to 20% silica
(Ismail and Waliuddin, 1996), whereas the components of cow dung compost was cellulose 15-
l6%, l0-30% hemicellulose, lignin 5-3%, 5-40% protein, mineral matter (ash) 3-5% (Sutanto,
2002). Hemicellulose, lignin and silica decomposed more difficult than the other components, .
so that this element would increased the number of macro pores at the soil, especially at the
root zone.
y = 0.953x + 38.95
R² = 0.995y = 1.110x + 18.56
R² = 0.947
30
35
40
45
50
55
60
65
12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5
To
tal P
ore
At
So
il,
%
Chicken Manure
Compost
cow manure
Compost
Linear (Chicken
Manure Compost)
Linear (cow manure
Compost)
Figure 11 Soil porosity at Candikuning was fertilized by chiken and cow manure
compost
Figure 12 Relation between dose fertilizing with soil porosity
Table 2 Number micro and macro pore on soil before planting and after potatoes
harvesting
Parameter Dose of Compost From Chicken
Manure, ton/ha
Dose of Compost From Cow
Manure ,ton/ha
15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25
Number macro pore before
potatoes planting, % 13.5 15.4 15.8 17.1 18.4 3.2 3.4 4.1 4.4 6.8
Number macro pore after
potatoes harvesting, % 13.0 14.2 15.1 16.3 17.4 2.5 3.1 3.6 4.1 4.6
Number micro pore before
potatoes planting, % 39.6 40.3 42.6 42.9 44.4 31.3 35.7 37.1 37.7 40.2
Number micro pore after
potatoes harvesting, % 37.0 37.7 40.3 41.2 41.8 30.9 34.2 37.0 37.4 39.8
Decomposition of compost into simple minerals was decreased the amount of macro
and micro pores at the soil. Number micro porosity on LEISA system application research was
70.7 ± 2.1 % to 74.5 ± 1.2 % (fertilizing used cow manure compost) and 85.5 ± 1.1 % to 91.3.5
± 1.4 % (fertilizing used chicken manure compost). On good soil micro-porosity was 60% of
the entire porosity, so soil at Baturiti field classified at good soil. After potatoes harvesting,
number micro pore on the soil improved 0.02 ± 0.01 % to 4.1 ± 0.5 %.
5.3.3 Water holding capacity at root zone
Field capacity and permanent wilting point moisture content, and water holding capasity
resulted from this research expressed on Table 3. Increasing pore micro on the soil at root zone
caused field capacity moisture content increased too, field capacity moisture content for potato
cultivation fertilized with compost dose of 15-25 tonnes / ha varies from 30.5 ± 1.2 % w.b to
40.9 ± 1.8 % w.b. Moisture content at permanent wilting point was at 8.2 ± 3.4 to– 9.7 ± 2.9 %
w.b. Micro pore at potatoes root zone absorbed capillary and hygroscopic water, but macro
10
20
30
40
50
60
70
10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 32.5
So
il P
oro
sity
, %
Dose fertilizing with compost, tonnes/ha
PORI MACRO, %
PORI MICRO, %
TOTAL PORI, %
pore did not absorbed it. The field capacity moisture content at root zone witch fertilizing by
chicken manure compost greater than root zone fertilizing by cow manure compost (Sutedjo,
2002; Setiyo, et al., 2009; Arsa, et al., 2013; Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014; Rosen et
al., 1993 and Giusquiani et al., 1995; Setiyo et al., 2015).
Table 3. Moisture content at field capacity, permanent wilting point, and water availability for
plant (Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014 and Setiyo et al. 2015)
Parameter of soil moisture
content
Dose of Compost From Chicken
Manure, ton/ha
Dose of Compost From Cow
Manure ,ton/ha
15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25
Field Capasity Moisture Content,
% w.b 31.8 32.0 35.4 37.7 40.9 30.5 33.5 35.3 36.9 38.0
Permanent wilting point
moisture content, % w.b 8.2 8.5 8.2 9.7 9.0 8.2 8.5 8.3 8.4 8.4
Water holding capasity, % w.b 23.7 23.6 27.2 28.0 31.9 22.3 25.0 27.0 28.5 29.6
Moisture content at one month
after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3
Moisture content at two month
after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3
Moisture content at three
month after planting, % w.b 15.7 16.6 22.3 23.3 23.7 22.7 24.5 24.6 24.4 26.3
Relation between dose of compost fertilizing with water holding capacity was wrote by
equation y = 0.832x + 10.24 with r = 0.95 and y = 0.724x + 12, with r = 0.98. The increase in
water-holding capacity of the soil was 0.7 - 0.8% w.b if the dose compost was increased by one
tonne / ha (Sutedjo, 2002; Setiyo, et al., 2009; Arsa, et al., 2013; Setiyo et al., 2013; Setiyo et
al., 2014; Rosen et al., 1993 and Giusquiani et al., 1995). Potatoes plants irrigated with 200 cc
water every two week on dry climate cultivation. If evapotranspiration rate of potatoes plant
was 0.5 to 0.6 cm/day, the moisture content of the soil was between permanent wilting point
and field capacity.
Figure 12 Relation soil water holding capacity with dose of compost fertilizer
5.4 Soil Chemical Properties
y = 0.832x + 10.24
R² = 0.912
y = 0.724x + 12
R² = 0.970
20
22
24
26
28
30
32
34
12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5
Wa
ter
Ho
ldin
g C
ap
asi
ty A
t
Po
tato
es
Th
e R
oo
t Z
on
e,
%
w.b
Dose Of Compost Fertilizer, ton/ha
Chicken manure
compost
Cow Manure Compost
Linear (Chicken manure
compost)
Linear (Chicken manure
compost)
Soil fertility parameters on the cultivation of potatoes was shown in Table 2, number
micro and macro nutrients at the soil was influenced compost doses used as fertilizer. Results
of the study for all treatments showed the amount of soil organic matter content more than 5%
with the cation exchange capacity 23.95 ± 0.7 to 29.0 ± 1.1 me / 100g at pH 6.7 to 6.92.
Increasing dose compost used as fertilizer resulted increasing content of organic material at soil
exspecialy root zone, dose compost 15 to 25 ton/ha and NPK 250 kg/ha could increased total
organic material at soil become to 5.3 – 8.2 %. Compost from cow manure better than compost
from chicken manure quality, because this compost at each level dose could repaired soil
fertility and cat ion exchange faster than the other compost at same dose. According
Musnamar (2002), the minimum limit of organic materials eligible for farm land was 5%.
Table 4. Content C-organic, N-organic, P2O5 , K2O, Ca, Mg, Fe, Al and Cation exchange
capasity for potatoes cultivation fertilized by chicken and cow manure compost
(Setiyo, et al., 2013 and Setiyo et al., 2014)
Parametrs soil
fertility at potatoes
root zone
Compost of chicken manure
fertilized dose, ton/ha
Compost of cow manure fertilized dose,
ton/ha
15 17.5 20 22.5 25 15 17.5 20 22.5 25
Content of C-
organic, % 4.62 4.62 4.83 4.87 4.91 4.2 4.2 4.37 4.23 5.02
Content of N-
organic, % 0.4 0.43 0.45 0.45 0.46 0.36 0.36 0.36 0.4 0.4
Content of P2O5, ppm 786 786 774 792 814.4 840.4 840.4 729.4 802 841.6
Content of K2O, ppm 500 500 656 666 601.2 429.2 429.2 473.3 477 455.5
Content of Ca mg/kg 1562 1782 1854 1888 4660 630 1060 1188 1286 1435 Content of Mg,
mg/kg 168 204 208 286 1164 82 123.2 168.2 204 286
Content of Fe, mg/kg 61.5 120 188 1204 1892 1204 1204 1892 2121 2569
Content of Al, mg/kg 308 5387 5387 12946 17526 12946 14340 17526 19618 22306
Soil pH 6.73 6.79 6.81 6.91 6.87 6.7 6.72 6.83 6.9 6.92
Cation Exchange
Capasity, me/100g 25.3 24.4 23.8 26.19 27.1 23.95 24.89 25.17 27.2 29
Acid humid at compost at neutral pH accelerated decomposition process carbohidrat,
celullosa, hemicelollosa, lignin, protein and other become to simple mineral (Sutanto, 2002),
demineralization of compost produced unsure CO2, H2O, Energy, Mg2+, K
+, Al
+, Fe
+2, and
Ca2+. This cations bounded with acid along demineralization process (Setiyo et al, 2007). At
neutral pH micro and macro nutrients are easily absorbed by the roots of potato plants.
5.5 Field Productivity
The relationship between the long implementation LEISA systems, the dose of fertilizer
with compost and potato productivity was presented in Table 5. Increasing dose of compost
fertilizer followed by an increasing production every plant and every unit area, the highest
production achieved at dose of fertilizer was 25 tons / ha with 3 years implementation LEISA
systems and this production reached 34 ± 1.3 tons / ha or 1303 ± 105 g / tree. Each potato
plants produce 11 ± 2 pieces tuber. Soil fertility, soil physical properties and the microclimate
on potatoes cultivation by implementation LEISA system were optimum, potatoes production
was optimal at fertilizing with dose more than 20 ton/ha and implementation LEISA system
more than 3 years.
Figure 13 Relation between dose fertilizer with potatoes production
If fertilizing dose increased so area production would increased too, equation
relationship dose of fertilizer with production wrotte y = 0.584x + 19.14 with r = 0,94 (Three
Years LEISA System Implementation) and y = 0.244x + 14.54 with r = 0,79 (New LEISA
System Implementation). LEISA system LEISA applicated for 3 years on the cultivation of
potatoes was enough to improve physical properties and soil fertility, especially at the rooting
zone (Setiyo et al., 2013; Setiyo et al., 2014). Implementation LEISA system by Candikuning
farmers increased production from 17 ton/ha for 2010th (Supartha et al., 2012) become to : (1)
22 ± 1.6 ton/ha at 2011th (Setiyo et al., 2012) , (2) 25 ± 2.1 ton/ha at 2012
th (Arsa et al., 2013)
(3) 29.2 ± 2.6 ton/ha at 2014 (Setiyo et al., 2014), and (4) 34 ± 1.3 tons / ha at 2015. Famers
used seed potatoes granola variety class G3 – G5, this seed certificated by government and it
cultivated on dry climate.
Tabel 3 Potatoes production at field that implementation LEISA System
Productivity of potatoes at new
field that fertilizing with compost
Productivity of potatoes at field that
fertilizing with compost along 3 years
15 17,5 20 22,5 25 15 17,5 20 22,5 25
Total production
each plant, g 531 742 757 757
531 1088 1100 1125 1225 1303
Total production,
ton/ha 14.0 19.6 20.0 20.0
14.0 28.7 29.0 29.7 32.3 34.3
Number potatoes
each plant 9.4 10.9 8.60 8.60
9.4 10.8 14.3 11.1 12.2 15.9
Table 4 Potatoes quality at new field that fertilizing with compost and at field that fertilizing with
compost along 3 years
y = 0.244x + 14.54
R² = 0.663
y = 0.584x + 19.14
R² = 0.897
12.50
15.00
17.50
20.00
22.50
25.00
27.50
30.00
32.50
35.00
10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5
Pro
du
ctio
n,
ton
/ha
Dose fertilizer, ton/ha
New LEISA System
Implementation
Three Years LEISA
System Imlementation
Linear (New LEISA
System
Implementation)
Linear (Three Years
LEISA System
Imlementation)
Potatoes Class
Number of potatoes at new field
that fertilizing with compost
Number of potatoes at field that
fertilizing with compost along 3
years
15 17,5 20 22,5 25 15 17,5 20 22,5 25
Super (Weight > 200 g), % 3.1 11.4 9.1 0.0 3.8 11.0 12.5 17.0 19.8 22.2
A (Weight 100 – 200 g), % 45.7 49.2 56.8 48.2 29.4 64.7 55.6 44.2 53.3 47.6
A/B (Weight 61 – 100 g), % 32.7 25.4 19.1 25.4 31.9 20.5 21.3 27.6 18.1 15.5
B (Weight 30 – 60 g), % 15.3 10.2 10.7 21.6 25.3 4.5 7.9 8.6 6.8 9.3
Small Class (Weight < 30 g), % 3.2 3.8 4.3 4.9 13.4 2.2 2.8 2.7 2.0 5.4
Repairing potatoes production on cultivation by LEISA followed with repairing
potatoes quality. Number potatoes production based on class quality described with Table 4.
Potatoes super class with weight more than 200 g/potatoes increased from 0 ± 0 % (2011th,
Setiyo et al., 2012) become to 50.1 ± 2.1 % (2014
th, Setiyo et al., 2014). Content organic
mineral more than 6 % at the root zone soil for potatoes cultivation with cat ion change
capacity 21.90 to 29.00 me/100 g at neutral pH was an optimum condition for potatoes plant
absorb nutrient. Nutrients processed on leaf become to carbohydrate and save as potatoes seed
by photosynthesis process.
Number potatoes damage becaused by plant disease decreased from 7.3 ± 1.1 %
(2011th, Setiyo et al.
, 2012) become to 3.1 ± 0.8 % (2014
th, Setiyo et al., 2014). Fertilizing at
potatoes cultivation by compost improved in-situ bioremediation process pesticide residual and
decreased potatoes plant disease (Setiyo et al., 2011).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Sistim LEISA mampu memperbaiki sifat fisik dan sifat biologi tanah serta kesuburan
lahan budidaya kentang varietas granola G3. Dosis pemupukan dengan kompos kotoran ayam
maupun kotoran sapi yang baik adalah 20 – 25 ton/ha.
6.2 Saran
Kajian lebih mendalam dampak sistim LEISA pada kulaitas umbi kentang untuk bibit
yang paling tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W. S. 2009. Konservasi Sumber Daya Alam Guna Menunjang Revitalisasi
Pertanian Bali. Seminar Nasional “Revitalisasi Sektor Pertanian di Bali”, Universitas
Udayana 18 September 2009. Denpasar.
Armes, N.J., D.R. Jadhav, dan P.A. Lonergan. 1995. Insecticide resistance in Helicoverpa
(Hubner): status and prospects for its management in India. p. 522- 533. In Constable,
G.A. dan N.W. Forrester (Eds.) Challenging the future: Proceedings of the World Cotton
Conference I, Brisbane, Australia, February 14- 17 1994. CSIRO, Melbourne.
Arsa, W. 2013. Kajian relevansi Sifat Psikokimia Tanah Pada Kualitas dan Produktifitas
Kentang. Skripsi FTP Universitas Udayana. Badung-Bali.
Indrayani, N. 2006. Bioiremediasi lahan tercemar profenofos secara ex-situ dengan cara
pengomposan. [Thesis}. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Katsivela, E, E.R.B. Moore, D. Maroukli, C. Stro¨ mpl, D. Pieper & N. Kalogerakis. 2005.
Bacterial community dynamics during in-situ bioremediation of petroleum waste
sludge in landfarming sites.Journal Biodegradation Vol 16: pp 169–180.
Sa’id, E.G., 1994. Dampak Negatif Pestisida, Sebuah Catatan bagi Kita Semua. Agrotek, Vol.
2(1). IPB, Bogor, hal 71-72.
Setiyo, Y., Hadi K.P, Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S, 2007. Pengembangan Model Simulasi
Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol
30 (1) Januari 2007. Bogor.
Setiyo, Y. 2009. Aplikasi Kompos Dari Sampah Kota Sebagai Pupuk Organik Untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jahe Merah. Disajikan di Seminar Nasional
Basic Science VI Tanggal 21 Februari 2009 di Universitas Barawijaya, Malang.
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2010. Bioremediasi In-Situ Pada Lahan
Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb Dengan Mikroba Dari Beberapa Jenis
Kompos (Seminar Nasional Perhorti, Universitas Udayana)
Setiyo, Y., Suparta U., Tika W., dan Gunadya, IBP. 2011.Optimasi Proses Bioremediasi Secara
in-Situ Pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb. Jurnal
Teknologi Industri Universitas Muhamadiyah Malang, ISSN 1978-1431. Vol 12 No :
1 pg : 53-58, Februari 2011.
Setiyo, Y., I BW Gunam, Sumiyati, dan Manuntun Manurung. 2013. Optimalisasi Produktivitas
Kentang Bibit Varietas Granola G3 Dengan Manipulasi Dosis Pemupukan. KARYA
UNUD UNTUK ANAK BANGSA 2013 ISBN : 578-602-7774-76-0. Universitas
Udayana
Setiyo et al., 2014. Kajian Populasi Mikroba Pada Proses Bioremediasi Secara In-Situ Di
Lahan Budidaya Kentang. Prosiding SENASTEK ……..
Sudarmo, S., 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal 15-33.
Sudyastuti, T dan Setyawan, N. 2007. Sifat thermal tanah pasiran pantai dengan pemberian
bahan pengkondisi tanah dan biomikro pada budidaya tanaman cabai (capsicum
annuum). Prosiding seminar nasional teknik pertanian – yogyakarta 2007
Supartha U., Y. Setiyo, I Ketut Budi Sususra, IB Gunadnya, Ida Ayu Astarini. 2012.
Pengembangan Usaha Pertanian HortikulturaDataran Tinggi Untuk Mendukung
Daya Saing Produk di Era pasar Global Melalui Kemitraan Perguruan Tinggi,
Pengusaha dan Pemerintah Daerah. Laporan Hi-Link 2010-2012, Universitas
Udayana. Denpasar
Suwanto, A., 2002. Mikroorganisme Untuk Biokontrol : Strategi Penelitian dan Penerapannya
Dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor, hal 40-46.
Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992. Dampak negatif insektisida terhadap
musuh alami pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama
Terpadu. Kerjasama Program Nasional PHT, BAPPENAS dengan Faperta-IPB. 29 p.
Vidali, M.2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem., Vol. 73, No. 7, pp. 1163–1172
top related