laporan resmi skill lab ii lbm i modul neurology.docx
Post on 13-Jan-2016
34 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I
MODUL NEUROLOGY & PSYCHIATRY
DISUSUN OLEH :
Dita Putri Widyantoro
31.211.0010
PRODI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
SKILL LAB
DISKUSI PENETAPAN FARMAKOTERAPI PEYAKIT STATUS EPILEPTIKUS PADA
ANAK
I. TUJUAN
• Agar pasien mendapatkan terapi yang tepat untuk penyakit status epileptikus.
• Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit status epileptikus.
• Agar mahasiswa mampu menentukan pengobatan dengan metode SOAP untuk
penyakit status epileptikus.
II. LANDASAN TEORI
Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000)
Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alcohol, atau mengalami cidera.
b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-
anak.
e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal.Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik).
Sering terjadi pada:
a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e. Tumor Otak
f. Kelainan pembuluh darah(Tarwoto, 2007)
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan
otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan
parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan
anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi
vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,
gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Patofisiologi
1. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebiha
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-
perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik
sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
Klasifikasi
1. Sawan Parsial adalah sawan – sawan yang berada dalam satu daerah cerebral
cortex. Ada tipe-tipe umum pada sawan parsial:
a. Sawan parsial sederhana
Anak dalam keadaan bangun dan terjaga. Gejala bervariasi tergantung pada
bagian apa dari otak yang terlibat. Gejala tersebut termasuk gerakan menyentak pada
salah satu bagian tubuh.Gejala emosional seperti ketakutan yang tidak jelas, muak
atau mencium bau yang tidak ada.
b. Sawan parsial kompleks
Dalam tipe ini anak kehilangan kesadaran akan sekeliling dan tidak responsif
ataupun hanya setengah responsif. Ada pandangan kosong, gerakan mengunyah,
menelan berkali-kali, atau aktifitas tidak beraturan lainnya. Mengikuti sawan anak
tidak mengingat akan apa yang telah terjadi. Anak menjadi bingung atau
mengucapkan kata-katanya secara ragu-ragu, berkeliling, mengmbil pakaiannya atau
mengulangi kata-kata atau frase yang tidak tepat.Gejala ini mirip dengan sawan
absence, tetapi diikuti dengan aktifitas yang tidak beraturan.
2. Sawan Umum melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi
tubuh bereaksi, terjadi kekakuan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti
dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik), disertai
dengan penurunan kesadaran. Sawan umum terdiri dari :
a. Sawan lena
b. Sawan tonik-klonik
c. Sawan tonik
d. Sawan klonik
e. Sawan mioklonik
f. Sawan atonik
g. Sawan tak tergolongkan
Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal, dengan
gejala motorik:
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar
meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi
sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). Dengan gejala psikis (gangguan
fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa
di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat
suatu fenomena tertentu, dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
Serangan parsial kompleks diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik
kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-
A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali
seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.
- Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme:
1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik)
2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher
atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
- Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
- Gangguan tonus yang lebih jelas.
- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
c. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
d. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah
dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga
terjadi pada anak.
e. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama
grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului
suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang
kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat
lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa
karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
g. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak
dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini
dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar
1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia >18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi
sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti
itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang.Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada
penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau
segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang
tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran
gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat
prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan
sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan
MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi
untuk pertama kalinya.
a. CT Scan, untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler
abnormal, gangguan degeneratif serebral
b. Magnetik resonance imaging (MRI)
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
5. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada
gusi, purpura, memar, pembengkakan.
Palpasi : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.
Perkusi : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.
Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.
6. Pemeriksaan psikologis dan psikiatris
Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang
rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku (bihaviour disorders), gangguan
emosi, hiperaktif.Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Hubungan antara
penderita dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat
proteksi berlebihan, rejeksi atau overanxiety. Bila perlu dapat diminta bantuan dari
psikolog atau psikiater.
III. URAIAN KASUS
Seorang siswa SD (6 tahun ) menderita TBC dan epilepsi general tonoc-clonic, tiba2
menjadi tidak responsif sewaktu dipanggil dan kejang, matanya berputar keatas dan
melotot, ibunya khawatir, dan mencoba menepuk-nepuk pipi dan menggoyangkan
bahu anak tersebut agar sadar, tapi bukannya sadar, wajah anak tersebut semakin
membiru (hipoksia) kemudian si ibu memanggi ambulan, ambulan tiba 10 menit
kemudian, dan anak tersebut masih kejang. Di dalam ambulan , anak tersebt ditolong
dengan oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kg, akan tetapi anak tersebut masih kejang
sampai di rumah sakit.
IV. PENYELESAIAN KASUS DENGAN METODE SOAP
(S) Subjective Identitas pasien : siswa SD (6 tahun )Keluhan pasien : tiba2 menjadi tidak responsif sewaktu dipanggil dan kejang, matanya berputar keatas dan melototRiwayat penyakit keluarga : - Riwayat penyakit penderita : TBC dan epilepsi general tonoc-clonicRiwayat pengobatan : -Kebiasaan/perilaku hidup : -
(O) ObjectiveData vital sign: -Data laboratorium: -
(A) AssesmentProblem medik : Status EpilepticusTerapi yg diperoleh : oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kgDRPDRPs yang ditemukan dalam kasus ini antara lain:1. Over dose : -2. Under Dose : -3. Pemilihan obat tidak tepat : - 4. Adverse Drug Reaction:
5. Interaksi obat :
6. obat tanpa indikasi : -7. indikasi tanpa obat : -8. kepatuhan (compliance) pasien : tidak diketahui
( P ) PlanPenetapan tujuan terapi :
Solusi dari problem DRPs: lorazepam di ganti phenitoin sebagai anticonvulsant (algoritma)
Pemilihan terapi farmakologi berdasarkan farmakoterapi rasional meliputi : 4T1W 1. Tepat Indikasi lorazepam
phenytoin
infus dextroseRehidrasi, penambah kalori secara parenteral, basic soln.
2. Tepat Dosis lorazepam
phenytoin
infus dextrose
3. Tepat Obat lorazepam
Sedatif hipnotik dengan onset pendek efek dan paruh relatif panjang; dengan meningkatkan aksi gamma-aminobutyric acid (GABA), yang merupakan neurotransmitter inhibisi utama dalam otak, lorazepam dapat menekan semua tingkat SSP, termasuk pembentukan limbic dan reticular phenytoin
Meningkatkan Na + penghabisan atau penurunan Na + masuknya dari membran neuron di korteks motorik; menstabilkan membran neuronal Memperlambat kecepatan konduksi
4. Tepat Pasien lorazepam
phenytoin
5. Waspada terhadap efek samping obat lorazepamSedation, Dizziness, Unsteadiness, Weakness, Fatigue, Drowsiness, Amnesia, Confusion, Disorientation, Depression, Suicidal ideation/attempt. Vertigo. Ataxia, Sleep apnea, Asthenia, Extrapyramidal symptoms, Respiratory depression, Tremor, Convulsions/seizures, Visual disturbances, Dysarthria, Hypotension, Blood dyscrasias, Change in libido, Impotence, Jaundice, Increased bilirubin, Increased liver transaminases, Increase in ALP, Hypersensitivity reactions, Nausea, Constipation, Change in appetite, Paradoxical reactions (anxiety, excitation, agitation, hostility, aggression, rage) phenytoin
Drowsiness, Fatigue, Ataxia, Irritability, Headache, Restlessness, Slurred speech, Nervousness, Nystagmus, Dizziness, Vertigo, Dysarthria, Paresthesia, Rash
Terapi Non Farmakologi:Tanda-tanda vital harus dinilai, saluran udara yang memadai dan dilindungi harus ditetapkan, ventilasi harus dijaga, dan oxygen harus diberikan. Sering arteri penentuan gas darah harus dilakukan untuk menilai asidosis metabolik, yang harus diobati dengan natrium bikarbonat jika pH kurang dari 7,2. Bantuan ventilasi harus digunakan untuk mengoreksi asidosis pernafasan. Beberapa pasien mungkin terus memiliki kejang listrik di tidak adanya manifestasi klinis bermotor. Bagi mereka yang terus telah mengubah kesadaran setelah kontrol klinis kejang mereka, sebuah EEG harus dilakukan. Meskipun hipoglikemia merupakan penyebab yang jarang dari GCSE, orang dewasa harus diberikan 50 mL larutan dekstrosa 50%, dan anak-anak harus menerima 1 mL / kg dari dekstrosa solution.7 25%, Karena Wernicke encephalopathy dapat berkembang pada pecandu alkohol, orang dewasa harus menerima IV tiamin (100 mg) sebelum glucose. Serum konsentrasi glukosa harus ditentukan untuk menilai kebutuhan suplementasi lebih lanjut.Monitoring
Obat yang digunakan :
phenytoin infus dextro
V. PEMBAHASAN
Status epileptikus merupakan kejang umum yang terjadi selama 5 menit atay lebih
atau kejadian kejang 2x atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua kejadian
tersebut. Penyebab dari status epileptikus adalah antiepileptikus potensi rendan dan
penyakit serebrocakular. Tapi dapat juga disebabkan oleh hipoglikemia, hipoksemia,
trauma, adanya infeksi seperti meningitis, abses otak. Namun, pada kasus di atas
penyebab dari status epileptikus yaitu penggunaan obat TBC yaitu isoniazid.
Pada kasus di atas pasien mendapatkan terapi lorazepam namun kejang- kejang
masih berlanjut sampai pasien tiba di murah sakit, tugas seorang farmasis pada kasus
tersebut yaitu mengidektifikasi penggunaan lorazepam. Lorazepam merupakan lini
pertama untuk kejang, namun pada kasus ini lorazepam tidak menimbulkan efek yang
di inginkan yaitu sebagai anticonvulsant, sehingga perlu penggantian obat. Obat yang
di pilih yaitu phenytoin dengan load dose yaitu 15-20 mg/kg secara iv perlahan.
Untuk obat isoniazid tetap dapat diberikan karena obat TBC jika dihentikan makan
pengobatannya perlu di ulangi dari awal. Untuk isoniazid dapat diberikan secara
peroral. Lalu pantau interaksi kedua obat tersebut.
VI. KESIMPULAN
Isoniazid dapat memicu terjadinya penyakit status epileptikus
Evidence based lorazepam sebagai lini pertama anticonvulsant bila tidak terjdi
efek yang diinginkan maka dapat di ganti dengan phenytoin.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.
Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;
83:415-19.
Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am
2001;48:683-94.
top related