laporan tutorial hematologi
Post on 28-Dec-2015
109 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
28
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan
menyusun laporan hasil diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Ni Kadek
Wilmayani sebagai tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan
diskusi ini. Kami juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut
berpartisipasi dan membantu kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-
kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena
kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat
menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Mataram, 17 Mei 2013
Penyusun
28
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………….... 3
1.1. Skenario………………………………………………………………... 3
1.2. Learning Objective (LO)……………..…………………………. ……. 3
1.3. Mind Map……………………………………………………………… 4
BAB II : PEMBAHASAN ………….………………………………………….. 5
BAB III : PENUTUP ……………………………………………………………27
Kesimpulan…………………………………………………………………..27
Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 28
28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. SKENARIO 4
Seorang wanita 34 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan lemas
tidak bertenaga. Ia merasakan ini sejak beberapa bulan terakhir dan tak kunjung
hilang walaupun ia sering mengkonsumsi vitamin yang dibelinya di apotek. Selain
itu ia juga mengeluh mudah lelah walaupun melakukan pekerjaan ringan dan
sering mengalami nyeri di persendiannya. Nafsu makannya juga menurun serta ia
sering mengalami demam. Namun dengan obat penurun panas, demamnya
mereda. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, terdapat ruam di
pipi kanan. Pasien mengaku tidak pernah menderita penyakit ini sebelumnya, dan
mengatakan pernah berobat beberapa kali ke dokter yang berbeda. Pada
pemeriksaan pertama ia didiagnosis mengalami radang sendi, namun beberapa
hari yang lalu oleh dokter yang berbeda ia didiagnosis mengalami anemia. Dokter
kemudian menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium, dari
pemeriksaan hematologi didapatkan hasil Hb. 7,2 gr/dl; Leukosit 3.200 sel/ mm3;
trombosit 90.000/ mm3 pada urinalisa didapatkan proteinuria +2, lainnya dalam
batas normal.
1.2. LEARNING OBJECTIVES
1. Systemic Lupus Erithematosus (epidemiologi, patofisiologi, faktor resiko,
manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis)
2. Diagnosis banding (patofisiologi, manifestasi klinis)
3. Analisis skenario
28
1.3. MIND MAP
Wanita, 34 tahun
Diagnosis Banding
Konsumsi vitamin tidak membaik
Dokter Umum
Px Fisik tambahan
KU : Lemas Bertenaga
RPS : Mudah lelah, nyeri perendian, nafsu makan menurun, demam
RPD : (-)
Anamnesis Lanjutan
Px Hemato: Hb. 7,2 gr/dl; Leukosit 3.200 sel/ mm3 ; trombosit 90.000/ mm3 ;
urinalisa proteinuria +2
Riwayat berobat dengan diagnosis berbeda
Px penunjang
Penegakan Diagnosis
Px Fisik : konjungtiva anemis, terdapat ruam di pipi kanan
SLE
Diagnosis Kerja
28
BAB II
PEMBAHASAN
1.4. SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)
1.1.1. Etiologi
Etiologi SLE masih belum diketahui, namun kemungkinan SLE
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UV, obat), yang berakibat pada terbentuknya limfosit T
dan limfosit B autoreaktif yang persisten.
1.1.2. Epidemiologi
Insidensi SLE lebih sering terjadi pada perempuan dengan usia
sesudah pubertas dan sebelum menopause. Perbandingan jumlah
perempuan dan laki-laki SLE antara 5-10:1. SLE lebih sering terjadi di
Amerika, Afrika, dan orang-orang keturunan China dan Jepang. Prevalensi
SLE di Amerika adalah 1:1.000 dengan rasio gender wanita dan laki-laki
antara 9-14:1. Data Tahun 2002 di Jakarta didapatkan 1,4% kasus SLE.
Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup wilayah Indonesia,
namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Mortalitas
akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
28
1.1.3. Patofisiologi
SLE adalah interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang
menghasilkan suatu respon imun yang abnormal. Beberapa mekanisme
yang mendasari SLE adalah:
Aktivasi inatte imunity oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun atau
RNA pada self-antigen
Menurunkan threshold respon imun adaptif oleh sel T dan sel B
Regulasi dan inhibisi sel T CD4+ dan CD8+ yang tidak efektif/aktif
Penurunan bersihan dari sel yang diappoptosis atau kompleks imun,
sehingga mengendap dijaringan dalam jangka waktu yang lebih lama.
SLE terkait dengan mutasi/kelainan pada gen penyandi antibodi
sehingga menyebabkannya mampu menghasilkan autoantibodi. Sedangkan
efek lingkungan lebih berperan kepada eksaserbasi penyakit sehingga
memunculkan manifestasi klinik.
28
Sel-sel yang terpapar lingkungan akan menyebabkan apoptosis sel
yang selanjutnya akan merangsang inflamasi yang nantinya dapat
mengaktifasi respon imun non-spesifik maupun spesifik. Aktivasi sel T
nantinya akan membentuk suatu autoantibodi. Atau rangsang luar
menyebabkan sel target mengekspresikan self-antigen yang dikenali sel
APC sebagai non-self sehingga mengaktivasi sel T autoreaktif dan
mengaktivasi kaskade autoimun. Pada tahap akhir, autoantibodi yang
terbentuk akan berikatan dengan self-antigen yang akan membentuk suatu
kompleks antigen-antibodi. Kompleks antigen-antobodi ini akan bertahan
lebih lama (karena penurunan clearance) sehingga terakumulasi dijaringan
membentuk suatu deposit yang dapat memunculkan gejala SLE tergantung
organ tempat deposit.
Pada penderita yang secara genetik menunjukkan predisposisi untuk
SLE dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan fungsi sel B, yang
dapat diinduksi berbagai hal, seperti sinar UV (radiasi matahari), infeksi
mikroba, obat-obatan dll. Manifestasi awal yang menetap adalah anergi
terhadap antigen umum. Diduga hal ini muncul karena adanya limfosit T
yang memiliki kepekaan terhadap infeksi oportunistik dan defisiensi
limfosit T penekan. Karena tidak adanya sel T penekan, terjadi hiperaktif
sel B sehingga produksi antibodi berlebihan melalui pembentukan BCGF
dan BCDF. Hiperaktifitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobinemia
pada darah tepi. Tapi, hal ini saja belum cukup untuk menjelaskan
manifestasi SLE. Pembentukan ANA atau anti-DNA juga membutuhkan
adanya kelainan gen yang menyebabkan sistem imun responsif terhadap
self-sntigen. Pembentukan ANA pada SLE ini kemudian akan berikatan
dengan self-antigen membentuk kompleks imun yang dapat mengaktifasi
komplemen yang berakibat kerusakan jaringan.
Hal-hal yang dapat menyulut gangguan pengendalian respons imun
pada penderita SLE contohnya adalah paparan sinar UV yang dapat
mempengaruhi sel Langerhans untuk memproduksi IL-1 yang merangsang
28
sel T CD4+ sehingga terjadi respon imun selular spontan pada daerah
tersebut. Infeksi juga dapat menyulut respon imun karena mampu
merangsang aktivasi makrofag dan monosit, serta penggunaan obat yang
dapat mengikat DNS misalnya isoniazid.
28
1.1.4. Manifestasi Klinis
Hampir semua SLE mempunyai nyeri sendi. Sendi yang sering terkena
adalah jari-jari, tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala umum
lainnya termasuk gelisah, malaise, rambut rontok, sensitifitas terhadap sinar
matahari, dan ruam kulit yang tampak seperti kupu-kupu (butterfly rash)
pada pipi dan jembatan hidung. Jika sistem saraf yang terkena maka
28
gejalanya adalah sakit kepala, kelainan kognitif, psikosis, resiko stroke,
kejang dan permasalahan pada penglihatan. Jika saluran pencernaan yang
terkena maka gejalanya nyeri perut, mual dan muntah. Jika pada jantung
dapat terjadi gejala aritmia. Sedangkan jika ginjal yang terkena maka dapat
terjadi proteinuria, hematuria.
1.1.1. Penegakan Diagnosis
Sejak pasien dengan SLE dapat memiliki berbagai gejala dan berbagai
kombinasi organ keterlibatan, tidak ada satu ujian yang menetapkan
diagnosis lupus sistemik. Untuk menegakkan diagnosis SLE hendaknya
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penunjang diagnosis yang
cermat sebab manifestasi SLE sangat luas, dan seringkali mirip dengan
penyakit lainnya. Untuk membantu dokter meningkatkan ketepatan
diagnosis dari SLE, 11 kriteria ditetapkan oleh American Association
rematik. Bila seseorang memiliki empat atau lebih kriteria ini, diagnosis
dari SLE sangat disarankan.
11 kriteria yang digunakan untuk diagnosis sistemik lupus
erythematosus (SLE) adalah :
Malar (melalui pipi dari wajah) "butterfly rash”,
Cakram ruam kulit (kemerahan dengan patchy hyperpigmentation dan
hypopigmentation yang dapat menyebabkan scarring ),
Photosensitivity (ruam kulit dalam reaksi sinar matahari [ultraungu
cahaya] eksposur),
Selaput lendir ulcer (ulcers spontan dari lapisan dari mulut, hidung
atau tenggorokan),
Arthritis (dua atau lebih bengkak, tender kaki dari sendi),
28
Birsam atau pericarditis (peradangan pada lapisan jaringan di sekitar
jantung atau paru-paru, biasanya dikaitkan dengan rasa sakit pada dada
bernapas atau perubahan posisi tubuh),
Ginjal abnormalities (abnormal jumlah urin protein atau rumpun dari
unsur selular disebut memuntahkan detectable dengan urinalisis),
Otak iritasi (manifestasi oleh serangan [ kejang ] dan / atau kejiwaan),
Darah-count abnormalities (rendah dianggap putih atau sel darah
merah, atau platelets, pada tes darah rutin),
Immunologic disorder (abnormal kekebalan termasuk anti-tes DNA
atau anti-Sm [Smith] antibodies, positif palsu untuk tes darah sipilis ,
anticardiolipin antibodies, lupus anticoagulant, atau test prep LE
positif), dan
Antinuclear antibodi (positif ANA tes antibodi [antinuclear antibodies
dalam darah]).
Di samping 11 kriteria, tes lainnya dapat membantu dalam
mengevaluasi pasien dengan SLE untuk menentukan kerasnya organ
keterlibatan. Ini termasuk pengujian rutin dari darah untuk mendeteksi
peradangan (misalnya, tes disebut sedimentasi menilai dan C-reaktif
protein), chemistry-tes darah, langsung analisis internal cairan tubuh, dan
jaringan biopsies. Abnormalitas dalam cairan tubuh dan jaringan sampel
(ginjal, kulit, dan syaraf biopsies) selanjutnya dapat mendukung diagnosis
dari SLE.
28
1.1.2. Penatalaksanaan
Karena sistemik, maka penyakit ini mempunyai manifestasi yang
sangat luas meliputi muskuloskeletal, kulit, ginjal, saluran cerna, hati dan
limpa, kelenjar getah bening, kelenjar parotis, dll. Oleh sebab itu terapi
yang diberikan juga sangat kompleks meliputi NSAID, kortikosteroid,
imunosupresan, antimalaria, alternatif lain seperti antibodi monoklonal,
anti-DNA, intravena gamaglobulin, dan lain-lain.
1.1.2.1. Pengobatan SLE
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala
penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan,
memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien,
memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit,
serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek
samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi
dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang
muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi
farmakologi.
1.1.2.1.1. Terapi Non-Farmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah
sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan
hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya
menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga
merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE.
Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE. Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung
vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi
sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan
menurunkan kadar antibodi anti-DNA. Penggunaan sunblock (SPF
28
15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE
sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang
terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.
Selain itu, perlu juga terapi edukasi untuk penderita SLE,
butir-butirnya ialah sebagai berikut :
Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
Tipe dari masing-masing penyakit lupus dan perangai dari
masing-masing tipe tersebut.
Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama
yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis,
istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mangatasi infeksi
secepatnya, maupun pemakaian kontrasepsi.
Pengenalan masalah aspek psikologis : bagaimana pemahaman
diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma
psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan
pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian.
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini,
adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam
pemasyarakatan SLE.
1.1.2.1.2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan
sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE
tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita
SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
1.1.1.1.1.1. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan
termasuk salisilat dan NSAID yang lain. NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
28
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2
serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat
rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,
serta tumor necrosing factor (TNF) sedangkan COX-1 merupakan
enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel
endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal. Efek
samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser,
nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib
merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung
dan perdarahan menurun hingga 50%.
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi
pasien terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan
biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai
2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih
NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan
lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat
digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul.
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk
pengobatan demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang
digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80
mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang
dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE
yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi
melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin
28
dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar,
atau susu untuk mengurangi efek samping pada saluran cerna.
Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar 80-100% dari
dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi
metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan
luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang
lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit. Apirin
diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1%
dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis
melalui urin
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID
dapat menghambat prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang
merupakan vasodilator kuat yang disintesa di dalam medula dan
glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta
ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis
prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan
aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat
menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia. Oleh karena itu
penggunaan NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga
lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat merusak mukosa
gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan
sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara
langsung. Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak
barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam
lambung dan menyebabkan ulserasi. Karena efek samping tersebut di
atas maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat
gastroprotektif.
1.1.2.1.2.1. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau
sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak
menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme
28
aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi
prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta
pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal
terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit
pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang baik
maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan
sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dihentikan
sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien
kambuh setelah 3 tahun penghentian obat.
Obat malaria yang sering digunakan adalah :
1. Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga
tidak dianjurkan pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis
yang digunakan 150 mg (250 mg klorokuin fosfat) per hari. Efek
samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas (keratopati dan
retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya
diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus
(absorpsi meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh,
mengikat sel-sel yang mengandung melanin yang terdapat dalam
kulit dan mata, 50% – 65% terikat dengan protein plasma. Diekskresi
secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi diekskresi dalam
feses.
2. Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg
hidroksiklorokuin sulfat). Efek samping yang terjadi sama dengan
klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi. Didistribusikan ke
dalam air susu ibu (ASI).
28
3. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID
atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien
yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau
subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal
atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja
sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang
mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak
terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien,
prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang
bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek
imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu
siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari
makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan
sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme,
dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE
adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan
memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE
umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6
hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian
jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon
dalam bentuk intravena (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama
beberapa minggu.
28
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien
menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun
pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum
kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik
pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar
komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1
sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis,
abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan
respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason
karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan
diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai
maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala
yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit
terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah
menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2
minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-
day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang
perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis
prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi
alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-
pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar
(contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat
dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar
selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan
untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi
lebih efektif untuk mengontrol gejala.
28
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan
diabetes melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring
terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan
obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan
salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga
terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan
peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil
dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada
pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan
suplemen kalsium dan vitamin D.
4. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan
merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja
dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan
dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan
penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi
sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya
neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara
rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu
diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute
pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi
remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA,
serum kreatinin dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga
dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang
dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis
28
yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari
penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Obat ini mengalami absorpsi sebesar 74 ± 22% dari dosis oral.
Siklofosfamid dimetabolisme oleh hepatic microsomal mixed-
function oxidase menjadi bahan yang aktif. Obat ini mempunyai
ikatan dengan protein plasma sebesar 13%, sedangkan
metabolitnya 50%. Eliminasi melalui ginjal untuk obat dalam bentuk
utuh sebesar 6,5 ± 4,3% dan 60% dalam bentuk metabolit (t1/2 7,4 ±
4 jam). Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah
mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah
dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita
yang produktif dan penurunan produksi sperma.
1.4.1. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-
90% pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup
yang hampir normal. SLE ada dua yaitu mild dan yang merusak fungsi
organ tubuh.
Pasien yang tidak bereaksi dengan terapi standar akan cepat
menyebabkan kegagalan organ dan meninggal. Banyak pasien dalam
keadaan remisi dengan sedikt atau tidak ada masalah dan relaps, ketika
inflamasi aktif dan menyebabkan kemerahan (ruam). Keselamatan dari SLE
meningkat dari 40% tahun 1950an jadi 90% dalam 10 tahun. Ini disebabkan
diagnostik dini, pengobatan lebih awal, meningkatkan terapi. Banyak
pasien remisi dan tidak memerlukan pengobatan. Pada suatu studi 667
pasien, diperkirakan 25% mencapai remisi terakhir pada tahun terakhir.
Remisi juga terlihat pada orang yang mengalami penyakit ginjal parah.
Orang hamil juga bisa melahirkan bayi normal jika tidak ada penyakit
ginjal parah dan penyakit jantung.
28
Rehabilitasi Pada Pasien SLE
Terapi fisik untuk menurunkan rasa sakit, kejang, inflamasi, dan
meningkatkan pergerakan sendi.
Latihan aerob
Latihan isometrik
Latihan isotonik
Latihan kekuatan
Latihan pernafasan
Terapi bekerja
Terapi bicara
Terapi rekreasi
1.2. DIAGNOSIS BANDING
1.4.2. Atritis Reumatoid
1.2.1.1. Patogenesis
Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial akibat faktor genetik,
yang melakukan proses fagositosis menyerang sinovium menghasilkan
enzim – enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi
edema proliferasi membran sinovial yang mengakibatkan adanya
pelepasan kolagenesa dan produksi lisozim oleh fagosit yang
mengakibatkan terjadinya erosi sendi dan periartikularis tekanan sendi
distensi serta putusnya kapsula & ligamentum. Kemudian terjadi
pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan dan
akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan menghancurkan
tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi.
PathwayBakteri, mikroplasma, virus
28
1.2.1.2. Manifestasi Klinis
Menginfeksi sendi
Proses fagositosis menyerang sinovium
Edema proliferasi membran sinovial
Produksi lisozimPelepasan kolagenesa
Cemas
Terjadi proses autoimundalam jaringan sinovial
Faktor genetik
Terjadi erosi sendi dan periartikularis Tekanan sendiDistensi Putusnya kapsula & ligamentum
Pembengkakan Gejala-Gejala Konstitusional
Kekakuan di pagi hari Deformitas
Membentuk pannus
Menghancurkan tulang rawan
Menghilangkan permukaan sendiyang mengganggu gerak sendi
1.Gangguan rasa nyaman
2.Gangguan mobilitas fisik 4.Gangguan
perawatan diri
3.Gangguan citra tubuh
Situasi berubah 5.Kurang informasi
28
Manifestasi klinis yang timbul sesuai dengan tahapan dan keparahan
dari penyakit AR itu sendiri. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema,
dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang klasik. Seringkali
dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan.
Artritis sering diawali dengan timbulnya rasa sakit serta lemah pada
sendi tangan dan pinggang. Juga disertai bengkak dan kadang terjadi
peradangan, tetapi sering tiba-tiba hilang.
Pola karakteristik dari persendian yang terkena :
- Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan
kaki.
- Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul,
siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular.
- Biasanya akut, bilateral, dan simetris.
- Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku
pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
- Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.
Beberapa gejala klinis yang kerap kali terjadi pada para penderita atritis
reumatoid ini, yakni :
- Gejala-Gejala Konstitusional.
Beberapa gejala tersebut meliputi lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Bahkan terkadang kelelahan yang sangat
hebat.
- Poliatritis Simetris.
Terutama terjadi pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan
namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diatrodial dapat terserang.
- Kekakuan di pagi hari.
Kejadian ini terjadi selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini
berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoatritis, yang biasanya
28
hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari
satu jam.
- Atritis Erosif.
Atritis erosif merupakaan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di
tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
- Deformitas.
Kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas boutonniere dan leher angsa. Pada kaki terdapat protrusi
(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal.
- Nodula-Nodula Reumatoid.
Nodula-nodula reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan
pada sekitar sepertiga penderita dewasa. Lokasi tersering yakni di
daerah sepanjang sendi sikut atau sepanjang permukaan ekstensor
lengan. Nodul ini merupakan tanda bahwa penyakit tersebut aktif.
- Manifestasi Ekstraartikuler.
a. Kulit Nodula subkutan Vaskulitis, bercak-bercak coklat lesi-lesi
ekimotik
b. Jantung
Perikarditis Temponade Pericardium. Lesi peradangan
miokardium dan katup jantung
c. Paru-paru
Pleuritis dengan atau tanpa efusi peradangan paru-paru
d. Mata terjadi skleritis
e. Syaraf
Neuropati perifer sindrom kompresi perifer (sindrom
terowongan kapal, neuropati syaraf ulnaris, paralisis peronealis.
28
Ansietas
Intoleransi Aktivitas
1.1.1. Fibromialgia
1.1.1.1. Patogenesis
Faktor genetik dan faktor risiko lainnya
Polimorfisme pada gen serotonin transporter dan katekolamin o-metil transferase
Gangguan metabolisme dan transpor monoamine neurotransmitter
Serotonin dan norepinefrin
Penurunan kadar serotonin dan norepinefrin
Penurunan sensitivitas sistem proses nyeri
Penurunan ambang nyeri Penurunan produksi melatonin
Gangguan rasa nyaman : nyeri Hyperalgia dan allodynia Gangguan pola tidur
Kelelahan
1.1.1.2. Manifestasi Klinis
Individu dengan FMS bisa menunjukkan manifestasi klinis seperti :
1. Nyeri muskuloskeletal (hyperalgesia dan allodynia)
2. Kaku otot
3. Kelelahan
28
4. Gangguan pola tidur
5. Kesulitan menelan
6. Irritable bowel syndrome
7. Gangguan emosional (depresi dan ansietas)
8. Gangguan kognitif
ANALISIS SKENARIO
Wanita 34 tahun
Studi epidemiologi menunjukan bahwa wanita lebih sering dari laki-laki
dengan perbandingan 5,5:1 dan sering pada wanita usia subur.
Lemas tidak bertenaga
Karena kurangnya nutrisi akibat destruksi sel darah merah yang di tandai
dengan menurunnya kadar Hb pd pemeriksaan hematologi.
Mengkonsumsi vitamin namun tidak ada respon
Viamin hanya mengobati gejala saja, kemungkinan ada penyakit yang
mendasari sehingga tetap menimbulkan gejala lemas.
Mudah lelah
Destruksi sel darah merah sehingga perfusi oksigen kurang karena Hb turun
Berdasarkan hasil analisis skenario, dapat disimpulkan bahwa pasien dengan
keluhan seperti di atas dapat didiagnosis sebagai SLE (Systemic Lupus
Erythematosus) dengan derajat sedang berdasarkan kriteria diagnosis untuk SLE
dan pembagian derajat SLE menurut berat-ringannya gejala yang ditimbulkan.
28
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang
banyak menyerang perempuan pada usia produktif dengan rasio cukup besar
dibandingkan dengan laki-laki. SLE sendiri terbagi menjadi ringan, sedang, dan
berat yang memiliki perbedaan dalam manifastasi klinis yang dialami dan
memiliki pengobatan yang berbeda pada setiap tingkatan dari SLE tersebut.
28
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo dkk 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II&III Edisi IV,
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Temprano KK 2013, Rheumatoid Arthritis [Internet], [Accessed 15 May 2013].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview.
top related