literasi: sebuah tinjauan...
Post on 07-Feb-2018
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LITERASI: Sebuah Tinjauan Kepustakaan Oleh Januarisdi
Fakultas Bahasa dan SeniUniversitas Negeri Padang
2014
2
Abstrak
Literasi yang selama ini difahami dangkal sebagai kemampuan membaca dan menulis ternyata telah melahirkan dampak serius terhadap kegemaran dan budaya baca. Dengan anggapan bahwa seseorang yang telah mengenal huruf (melek huruf) dan pandai menggabungkannya menjadi kata, frasa dan kalimat telah terlepas dari persoalan kebutahurufan/ kebutaaksaraan (illetaracy), kita telah terjerumus kedalam persoalan kronis, rendahnya tingkat kegemaran membaca dan tidak tumbuhnya budaya baca. Tulisan ini adalah tinjauan (review) terhadap berbagai literatur tentang literasi, baik buku, artikel ilmiah, maupun laporan penelitian. Tulisan ini bertujuan memberikan wawasan tentang literasi, dengan harapan muncul pikiran dan gagasan tentang bagaimana kita seharusny mencari solusi terkit rendahnya kegemaran membaca bangsa Indonesia. Disamping membahas tentang hakikat literasi dari perspektif ilmu psikologi dan ilmu sosial, tulisan ini juga mengangkat topik emergent literacy (literasi dini) dan Information Liteacy (Literasi Informasi).
1. Pendahuluan
Walaupun istilah literasi (literacy) sudah tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat kita,
khususnya para akademisi, pemahaman tentang literasi masih sangat beragam. Ada yang
melihat literasi sebagai sebuah konsep yang dikaitkan dengan kemampuan baca‐tulis, ada
yang melihat literasi sebagai konsep yang terkait dengan proses kognitif, ada yang melihat
literasi sebagai sebuah konsep yang terkait dengan aspek sosial, ada yang mengaitkan
literasi dengan ilmu perpustakaan dan informasi, ada yang melihat literasi sebagi konsep
ilmu kebahasaan, dan ada pula yang melihat literasi sebagai aspek berhubungan dengan
konsep pendidikan dan pembelajaran. Padangan‐pandangan tersebut tidak patut disalahkan
bila kita menyadari bahwa masing‐masing pakar melihat dari perspektif bidang ilmunya
masing‐masing. Akibatnya, terdapat rentangan keragaman definisi literasi yang sangat luas.
Peter Roberts, seorang guru besar pada Education Department, University of
Auckland, New Zealand, pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa selama lima puluh tahun
terakhir telah terdapat ratusan definisi literasi yang membuat kesulitan bagai pembuat
3
kebijakan dan praktisi memahami definisi yang paling tepat untuk kebutuhan mereka.
Rentangan diantara definisi ‘literacy’ dan ‘illiteracy’ sangat berkembang dalam kurun waktu
setengah abad tersebut, namun tidak ada kesepakatan diantara para pakar apa yang
sesungguhnya yang dimakasudkan dengan terminologi tersebut (Roberts, 1995). Konsepsi
awam dan definisi dari kamus masih memberikan ruang ambiguitas yang sangat lebar.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh para politisi, khsusnya di negara yang sedang berkembang
untuk mengklaim prestasi mereka dalam mengentaskan kebutaaksaraan (illetaracy), yang
mengakibatkan standar literasi kelihatan semakin menurun. Keadaan ini menginspirasikan
Robert untuk melahirkan judul karyanya “Defining Literacy: Paradise, Nightmare or Red
Herring?” yang diterbitkan oleh British Journal of Educational Studies, Vol. 43, No. 4 (Dec.,
1995), pp. 412‐43.
Sebagai usaha untuk keluar dari kerancuan pemahaman tentang literasi, berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerhati, ilmuan, pakar, asosiasi dan organisasi profesi untuk
melahirkan definisi istilah tersebut. Scribner (1984) berusaha meluruskan pemahaman
tentang literasi dengan melihat konsep literasi dari tiga perspektif, yang disebutnya sebagai
Literacy in Three Metophors (Literasi dalam Tiga Metapfora). Robert (1995) menggunakan
tiga pendekatan dalam mendefinisikan literasi: 1) pendekatan kuantitatif, 2) pendekatan
kualitatif, dan 3) pendekatan pluralis. Street dan Lefstein (2007) melakukan pemetaan
bidang literasi dengan lima wilayah: 1) makna literasi dalam tradisi yang berbeda, 2)
pemerolehan literasi (literacy acquisition), 3) konsekuensi literasi informasi, 4) literasi
sebagai praktik sosial, dan 5) literasi‐literasi baru.
Tulisan ini adalah sebuah sebuah tinjauan kepustakaan yang merupakan hasil analisis
terhadap berbagai karya yang membahas tentang literasi. Sistematisasi penyajian tulisan ini
4
didasarkan pada pendekatan yang dilakukan oleh beberapa pakar yang lebih dominan
membahas tentang literasi, antara lain Sylvia Scribner, City University of New York, Peter
Roberts, Education Department, University of Auckland, New Zealand, dan Brian V. Street
dan Adam Lefstein. Pada bagian awal tulisan ini, penulis me‐review (meninjau) berbagai
definisi literasi sebagai bahan brainstroming untuk memahi hakikat literasi. Pada bagain
berikutnya, tulisan ini memuat tinjauan tentang kajian dua perspektif yang berbeda: 1)
literasi literasi sebagai proses kognisi, dan 2) literasi sebagai pratek sosial. Dua topik yang
sedang ramai dibahas terkait konsep literasi, emergent literacy dan information literacy
dibahas pada bagin akhir tulisan ini.
2. Sulitnya Mendefinisikan Literasi
Secara leksikal, kata literasi didefinisian oleh beberapa kamus secara seragam—
kemampuan membaca dan menulis. Webster’s New World Dictionary of American English
(1988) umpamanya mendefinisikan literacy [n] sebagai “the state or quality of being
literate”. Secara lebih spesifik literacy didefinisikan sebagai “a) the ability to read and write,
b) knowledgeablity or capability. Sementara kata literate [adj] didefinisikan sebagai 1) able
to read and write (mampu membaca dan menulis), 2) well‐educated; having or showing
extensive knowledge, learning or culture (berpendidikan‐baik; memiliki atau
memperlihatkan pengetahuan, pembelajaran atau kebudayaan yang ekstensif), 3)
konowledgeable or capable (berpengatahuan atau mampu). Longman Dictionary of
American English (2007) secara lebih sederhana mendefinisikan kata literacy [n] sebagai
“the ability to read and write” (kemampuan membaca dan menulis). Sedangkan kata literate
[adj] juga didefinisikan sebagai “able to read and write” (mampu membaca dan menulis)
5
berlawanan makna dengan kata illiterate. Collins Concise Dictionary (2001) mendefinisika
kata literacy [n] sebagai 1 “the ability to rean and write” 2 the abilty to use language
proficiently. Cambridge Dictionary of American English (2000) mendefinisikan literacy [n]
sebagai “the ability to read and write”; a basic skill or knowledge of a subject. Webster’s
Third New Internationa Dictionary of English Language, mendefinisilan lireracy [n] sebagi
state of being literate. Sementara kata Literate [n] didefinisikan sebagai “instructed in
letters; educated, able to read and write; learned or literary person; one who can read and
write.”
Online Encyclopedia of Britannica mejelaskan literasi sebagai berikut: literacy, capacity to communicate using inscribed, printed, or electronic signs or symbols for representing language. Literacy is customarily contrasted with orality (oral tradition), which encompasses a broad set of strategies for communicating through oral and aural media. In real world situations, however, literate and oral modes of communication coexist and interact, not only within the same culture but also within the very same individual. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/343440/literacy
Namun demikian, kajian literasi ternyata tidak sesederhana apa yang didefnisikan
oleh kamus secara leksikal sebagai kemampuan baca‐tulis; tidak pula sedangkal apa yang
gambarkan oleh berbagai ensiklopedi sebagai tradisi yang dikontraskan dengan tradisi orasi.
Literasi mencakup berbagai disiplin ilmu mulai dari psikologi, sosiologi, antropologi,
pendidikan, politik, sampai linguistik. Karena hakikatnya yang multidisipliner, definisi literasi
menjadi sangat bervarisasi berdasarkan sudut pandang keilmuan masing‐masing pakar yang
mendefinisikannya. Akibatnya, literasi menjadi sebuah terminologi yang sangat rancu
(ambigious) dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
6
Literasi, sebagai mana dijelaskan oleh Blake dan Blake (2002), berasal dari kata
litteratus (Bahasa Latin) yang bermakna “a learned person” (seorang yang terpelajar). Pada
Abad Pertengahan, litteratus bermakna orang yang pandai membaca saja; kemampuan
menulis tidak tercakup dalam makna terminologi tersebut karena kemampuan menulis
bukan suatu yang sederhana yang bisa dimiliki oleh setiap orang. Ketrampilan menulis
hanya dimiliki orang‐orang tertentu yang memiliki ketrampilan tinggi dalam menggunakan
tinta dan bahan cair lainnya untuk menulis diatas bahan langka dan berharga seperti kulit
domba. Pengertian litteratus mencakup kemampuan menulis disamping kemampuan
membaca baru didefiniksan pada abad ke‐16. Sekarang, literasi merujuk pada membaca dan
menulis tingkat rendah yang disebut juga dengan istilah “pragmatic literacy”; kemampuan
membaca pada tingkat yang lebih tinggi tingkat normal sering disebut dengan istilah
“cultured literacy”.
Sejak pertengahan sampai akhir abad ke‐20 perdebatan konsep literasi mengalami
masa yang paling hangat. Karena begitu tajamnya polemik tentang literasi, Stanovick dan
Stanovick (1995) menggunakan istilah “Literacy Wars” (Perang Literasi). Kaum psikologi
eksperimental melihat literasi sebagai kajian yang terkait dengan coding (pengkodean) teks
yang melibatkan proses yang bersifat perseptual (phonological dan graphic), struktur kata
(morphological), dan ketrampilan penulisan teknis (spelling). Dengan merujuk Stanovich
(1986) dan Bryant (1990), Rasool (2002) mengungkapkan bahwa signifikansi dari perspektif
ini adalah “proses kognitif yang melandasi membaca dan menulis tentang bagaimana
membaca”. Bagi mereka, mengajar literasi adalah mengajarkan ketrampilan membaca dan
menulis. Hasil literasi, dari perspektif ini, diukur dalam bentuk akusisi ketrampilan dan
keuntungan sosial dan personal yang diperoleh dari kondisi seseorang yang literate.
7
Kemampuan membaca dan menulis dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam
meningkatkan dan mengembangkan ‘peluang hidup’ seseorang.
Berbeda dari pakar psikologi eksperimental, pakar psikolinguistik menegaskan
pandangan mereka bahwa ada tiga sistem bahasa yang berinteraksi dalam bahasa tulis:
graphonic (pola bunyi dan huruf), sytactic (pola kalimat), dan semantic (pola makna).
Pembca membangun makna pada saat membaca dengan memanggil kembali pengetahuan
dan pembelajaran yang sudah pernah terjadi sebelumnya untuk memahami teks (Goodman,
1986:83‐9). Dengan tegas Goodman (1986) menekankan bahwa anak‐anak belajar
membaca dengan cara membaca. Dengan demikian, sebagaimana disimpulkan oleh Rasool
(2002), literasi didefinisikan dalam artian tingkat kedalaman makna yang dihasilkan dari
hubungan antara orang dengan teks, strategi linguistik, dan pengetahuan budaya yang
digunakan sebagai kunci untuk masuk kedalam makna yang melengket pada teks tersebut.
Pengembang teori ‘New Literacy Studies’, seperti Street B. V., Barton D, Ivanic R, dan
Stephen K, memfokuskan kajian mereka tentang literasi pada aspek sociocultural
(sosiobudaya). Mereka melihat literasi sebagai sebuah kerangka analisis konseptual yang
tidak terlepas dari kajian‐kajian sosial termasuk kajian antropologi sosial, sosiologi, dan
sosioloinguistik. Mereka memasukkan kajaian tentang organisasi, sistem konseptual,
struktur politik, dan proses ekonomi kedalam kajian literasi. Mereka menekankan bahwa
kajian literasi adalah sebuah proses yang berlansung dalam konteks sosial dan budaya.
Rasool (2002) melihat bahwa kajian tentang literasi mencakup berbagai displin ilmu
sehingga literasi disebutnya sebagai sebuah bounded discourse (wacana yang saling terkait).
Displin‐disiplin ilmu tersebut adalah experiemntal behavioral psychology, cognitive
8
psychology, social psychology, psycholinguisitcs, sociolingistics, dan social anthropology.
Setiap disiplin ilmu tersebut memiliki fokus dan pendekatan penelitian yang berbeda‐beda
sehingga masing‐masing melahirkan hakikat makna literasi yang berbeda pula. Experiemntal
psychology berfokus pada individu, proses persepsi, pengetahuan logografis, kesiagaan
fonologis (phonological awareness), ketrampilan menulis teknis, pendekodean teks (text
decoding), literasi fungsional, dan metode instruksional. Cognitive psychology berfokus pada
individu dan kelompok, dampak literasi terhadap perkembangan intelektual, dan
ketrampilan berfikir abstrak. Social psychology berfokus pada kelompok masyarakat,
perbedaan antara budaya oral dan literasi, ditekankan pada perkembangan kognitif dan
kesadaran dalam kaitannya dengan hubungan sosial dalam dunia luar, seperti aspek ideologi
dan politik. Psycholinguistics berfokus pada individu, proses membaca dan menulis,
hubungan internal antara proses perseptual, sistem ortografis dan pengetahuan siswa
tentang bahasa. Sosiolinguistics berfokus pada individu dan kelompok, bentuk dan fungsi
yang berbeda bahasa lisan dan bahasa tulis, bilingalisme, multilingualisme, diskurse dan
register subjek, dan competensi komunikasi. Sedangkan social anthropology berfokus pada
kelompok orang, interpretasi konsekuensi sosial literasi, dan perubahan sosial.
Scribner (1984) mengungkapkan bahwa respon para cendikiawan dan peneliti
terhadap ambigutas pemahaman tentang literasi telah merambas lebih jauh ke persoalan
pendefinisian dan pengukuran konsep. Walaupun upaya untuk memperkenalkan
pendekatan pendefinisian terminologi “literacy” sudah banyak dilakukan dan menjadi
definisi payung, kesepakatan antara para ilmuan dan peneliti ini belum kelihatan.
Kontroversi definisonal ini, tendas Scribner (1984), tidak hanya memiliki signifikansi
akademis, tapi juga persoalan sosial yang lebih jauh. Setiap formulasi jawaban tentang
9
pertanyaan “apa yang dimakasudkan dengan literasi” selalu mengacu ke evaluasi cakupan
masalah dan tujuan yang berbeda untuk program‐program yang bertujuan membentuk
masyarakat yang “literate”. Definisi literasi telah membentuk persepsi masyarakat terhadap
individu yang dikategorikan “literate” dan “illiterate” atau “nonliterate”, yang pada
gilirannya mempengaruhi substansi dan model program pendidikan.
Kerancuan definisi ”literacy”, menurut Robert (1995), tidak hanya berdampak pada
analisis dan kajian ilmiah saja, tapi juga pada kebijakan politik. Para politisi, khsususnya di
negara berkembang sering menggunakan definisi yang rancu ini, dan dengan menggunakan
angka‐angka statistik yang telah dimanipulasi, untuk mengelabui prestasi mereka yang
sesungguhnya dalam program literasi. Pada masa itu, tidak ada definsi leterasi yang benar‐
benar akurat; yang ada hanya perdebatan untuk mendefinsikan terminologi “literate” dan
“illiterate”, yang pada dasarnya bertujuan politis. Mendefinisikan literacyi kemampuan
memabaca dan menulis ternyata tidak cukup menyentuh persoalan yang sesungguhnya.
Pertnayaan terkait apa yang dibaca dan ditulis, berapa banyak yang dibaca dan ditulis,
setingkat apa kemampuan membaca dan menulis seseorang untuk dinyatakan literate
(melek huruf) masih belum terjawab.
Scribner (1984) menyatakan bahwa sebagian besar tujuan upaya penjelasan makna
“literacy” berdasarkan pada konsepsi literasi sebagai sebuah atribut individual. Para ilmuan
menggambarkan literasi sebagai kemampuan individual; padahal, fakta yang lebih akurat
adalah bahwa literasi merupakan sebuah prestasi sosial. Ia memberikan argumen bahwa
idividu tanpa sistem penulisan tidak akan menjadi literate; seorang anak atau dewasa
menangkap makna simbol tertulis bukan melalui interaksi personal dengan objek fisik, tapi
melibatkan interaksi sosial. Literasi adalah sebuah hasil transimisi budaya. Kemampuan
10
literasi diperoleh oleh seseorang melalui partasi seseorang dalam aktivitas yang terorganisir
secara sosial dengan bahasa tulis.
Perbedaan sudut pandang dalam memahami makna sentral literasi mendorong
Scribner untuk melihat literasi dari tiga sudut pandang—literacy in three metaphores:
literasi sebagai adaptasi, literasi sebagai kekuasaan, dan literasi sebagai sebagai sebuah
bentuk harga diri. Masing‐masing metafora tersebut berakar dari asumsi tersendiri tentang
motivasi sosial terhadap literasi—hakikat praktik literasi yang telah ada, dan penilaian
tentang praktik yang mana yang dianggap penting bagi pengembangan individu dan sosial.
Dalam metafora pertama, literasi sebagai adaptasi, Scribner (1984) menempatkan
literasi dalam konsep yang menekankan nilai‐nilai pragmatis sehingga seseorang bisa
berahan hidup (survive) dalam sebuah lingkungan. Dalam metafora ini, pemahaman literasi
dikaitkan dengan terminologi “functional literacy” (literasi fungsional), yakni tingkat
profisiensi yang diperlukan untuk bisa berkinerja efektif dalam setting masyarakat tertentu.
Literasi fungsional berkaitan dengan tuntutan untuk mampu berperan efektif dalam
kehidupan sehari‐hari, seperti dalam pekerjaan, dalam lingkungan sosial, dalam kehidupan
ekonomi dan sebagainya. Untuk efektif dalam pekerjaan sebagai seorang pengemudi,
umpmanya, seseorang harus memiliki tingkat profisiensi tertentu terkait dengan peraturan
dan etika berlalu lintas, dan penunjuk menjalankan kenderaan bermotor.
Metafora kedua, literasi sebagai kekuasaan, menekankan hubungan antara literasi
dengan prestasi kelompok atau masyarakat tertentu. Literasi dikaitkan dengan upaya
mempertahankan hegemoni dan dominasi kelompok masyarakat tertentu atas kelompok
yang lain yang menjadi basis partisipasi sosial dan politis. Scribner (1984) menekankan
11
bahwa pada masa kontemporer sekarang ini, ekspansi literasi sering dipandang sebagai alat
bagi kelompok masyarkat miskin dan lemah secara politik untuk mengklaim posisi merka
dalam pergaulan dunia. Simposium Internasional untuk Literasi yang diadakan di Persepolis
Iran mendorong pemerintah di semua negara untuk mempertimbangkan literasi sebagai
sebuah intrumen untuk melakukan perubahan dan liberasi umat manusia. Paulo Freire
(1970) sebagaimana dikutip oleh Scribner (194) mengungkapkan bahwa pendidikan literasi
menciptakan kesadaran kritis dimana masyarakat bisa menganalisis kondisi keberadaanya
secara sosial dan terlibat dalam tindakan‐tindakan yang efektif untuk menjadi warga negara
yang baik.
Dalam metafora ketiga, literasi sebagai salvation dan sebagai sebuah bentuk harga
diri, literasi dikatikan dengan fenomena yang menempatkan orang‐orang yang literate pada
kehormatan tertentu. Orang yang mampu membaca dan menghafal kitab suci, seperti Bible
untuk yang agana Kristen, Al‐Qur’an untuk yang beragama Islam dinilai memiliki
kehormatan dan dianggap literate dan suci. Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa
dalam metofora ini, orang yang mampu membca kitab suici, seperti Al‐Quran, dengan
pengucapan yang sempurna, bahkan menghafalnya tetap mendapat tempat terhormat
dalam masyarakat tertentu, walaupun ia tidak memahami ayat‐ayata tersebut dan Bahasa
Arab. Ringkasnya, dari perspektif metafora ini, literasi dipandang sebagai atribut
kehormatan seseorang dalam masyarakat.
Pemebrian atribut kekuasaan khusus kepada mereka yang literate sebenarnya
berakar dari masa Yunani dan Romawi kuno. Plato dan Aristoteles membedakan antara “the
man of letters” yang memiliki tradisi baca‐tulis dari “the man of poet” yang memiliki tradisi
oral. Dalam perspektif humanisme Barat, literateness (keaksaraan) dianggap besinonim
12
dengan being cultured (berbudaya), sebuah terminologi yang digunakan untuk merujuk
kepada seseorang yang bayak tahu tentang muatan dan tekhnik ilmu pegetahuan, seni, dan
kemanusian karena ketrlibatan mereka secara historis. Dalam konsep literacy‐as‐a‐ state‐of‐
grace, kekuasaan dan funsionalitas literasi tidak terkait dengan parameter kekuasaan
politik; orang yang literate memperoleh kebermaknaan hidup dari partisipasi intelektual,
estetika, dan srpiritual yang mereka ekpresikan melalui penciptaan karya kemanuasian yang
didesiminasikan melalui tulisan.
Selain itu, usaha untuk memecahkan masalah kesulitan mendefinsikan literasi
dilakukan oleh Robet (1995) dengan menggunakan tiga pendekatan dalam mendefinisikan
literacy: pendekatan kuantitatif, pendekatan kualitatif dan pendekatan pluralis. Dengan
pendekatan kuantitatif, seseorang akan dinyatakan literate bila ia telah menepuh masa
persekolah tertentu, atau telah lulus uji kemampuan membaca setingkat orang yang telah
menempuh lama masa sekolah tersebut. Selain itu, pendekatan kuantitiatif menggunakan
usia baca (reading ages) untuk mendefinisikan literasi. Setiap negara menentapkan tingkat
usia baca yang berbeda‐beda. Ameriaka Serikat, umpanya, menentapkan usia baca kurang
dari tujuh tahun; Inggris menentapkan usia baca sembilan tahun. Berbada dari itu, degan
pendekatan kualitatif, pendefinisian istilah literacy tidak menggunakan angka‐angka seperti
“lama masa persekolahan” dan “usia baca”, tapi menekankan pada gamabaran atau dimensi
yag lebih umum terkait literasi. Umpamanya, Tuinman (1978: 299) mendefinisikan literacy
sebagai kemampuan untuk berhubungan secara cerdas dengan informasi simbolik terekam
secara mandiri. Harman (1987:96) mendefinikan literacy sebagai sebuah gabungan
ketrampilan teknis yang memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan tertentu
dimana dia hudup dan berperan. Selain itu, Tilley (1984:13) mendefinisikan literacy sebagai
13
kompentensi yang digunakan oleh setiap orang kedalam usaha memahami dan
menggunakan apa yang ia baca, dan mengungkapkan apa yang dia maksud dalam
tulisannya, sehingga ia bsa terlibat secara efektif dalam aktivitas yang harus ia lakukan.
Wells (1990:14) mendefinisikan literacy sebagai memiliki kemampuan untuk menggunakan
berbagai jenis teks secara tepat untuk memperkuat tindakan, rasa dan pikiran dalam kontek
aktivitas yang jelas. Ranema (1976:167) mendefinisikan literacy bukan sebagai memiliki
ketrampilan tekhnis membaca dan menulis, tapi memulai jurney dari kesadaran primer
sampai ke kesadaran kritis. Sementara itu, dengan pendekatan pluralis, literacy didefinisikan
dengan berbagai format sesuai sudut pandang yang melihatnya; format yang paling dasar
adalah format yang berasal multilpe mode of literacy (mode literasi berganda) seperti
survival literacy, ketrampilan literasi yang diperlukan untuk survive (bertahan hidup) dalam
dalam masyarakat tekhnologi medern (Shanahan, 1979), social literacy, ketrampilan
berkomunikasi, dan kemampuan untuk berdialog dan serta merefleksi secara kritis dan
informed action (Diehm, 1984), cultural literacy, memiliki informasi dasar yang diperlukan
untuk berkembang dalam dunia modern (Hirsch, 1987, p. xiii), basic literacy, ketrampilan
print‐decoding dasar minimal, functional literacy, kemampuan berinteraksi dengan tuntutan
politis, legal, komersial, dan akupasional dalam kehidupan sehari‐hari, higher‐order literacy,
mampu memecahkan masalah multi‐step secara mandiri, dan critical literacy, transformasi
melalui refleksi, tindakan, dan desosialisasi (Shor, 1986, p. 189).
Sehubungan dengan pendekatan pluralis, Rasool (2002) mengungkapkan bahwa
literasi merupakan kajian yang bersifat multidimensional karena ia padang sebagai alat
untuk berbagai tujuan, seperti sosial, ekonomi, ideologi dan plitik. Tujuan sosial terkait
dengan praktik leterasi dalam kehidupan sehari‐hari seperti membaca untuk tujuan
14
informasi, belajar, kesenangan, rekreasi dan keagamaan. Tujuan ekonomis dapat dilihat
dari hubungan ketrampilan literasi dengan pengetahuan yang diperlukan oleh seseorang
dalam menjalankan tugasnya dalam dunia kerja. Tujuan politis literasi mengacu pada praktik
literasi yang berlangsung didalam lingkungan dimana orang terlibat dalam berbagai peran
sebagai warga negara, aktivis atau anggota masyarakat yang membuat mereka memperoleh
posisi tertentu dalam hubungannya dengan dunia sosial. Tujuan idelogi literasi terkait
dengan nilai, asumsi, keyakinan dan harapan yang membuat kerangka wacana literasi dalam
konteks sosial tertentu.
Persoalan lain yang menarik untuk ditinjau dalam hal kajian literasi adalah polemik
antara penganut aliran autonomous dan multidiciplinary. Kelompok yang menganut aliran
autonomous menganggap bahwa kajian literasi kajian yang terkait dengan proses kognisi
berdiri sendiri. Ilmuan seperti Goddy (1987), Langer (1987), Barnes (2004), Reid (2011),
Seong dkk (2011) dan Wolf (2012) adalah beberapa dari sekian banyak ilmuan yang
memandang bahwa literasi adalah kajian yang hanya terkait dengan proses kognisi manusia.
Sementara David Barton, Mary Halimton, Roz Ivanic, Allan Luke dan Brain V Street dan
Scribner mempertahankan pandangan mereka untuk menganggap bahwa literasi adalah
kajian yang bersifat multidisipliner, yang mencakup berbagai bidang kajian.
3. Literasi sebagai Proses Kognisi
Salah satu disiplin ilmu yang sangat intensif membahas tenang literasi adalah
psikologi, khusunya cognitive science. Berbagai penelitian dan tulisan tenang literasi yang
dikaitkan dengan fungsi kognisi telah memperkaya cakrawala kajian literasi. Barnes (2004),
15
umpamanya, meneliti hubungan anatara literasi dengan kognisi pada orang tua
berpendidikan baik. Dari hasil penelitian terhadap 664 orang yang berumur 65 keatas,
mereka menyimpulkan bahwa literasi sangat berhubungan dengan fungsi kognitif pada
semua ranah kognitif (cognitive domaints) pada orang tua berpendidikan baik. Jauh sebelum
itu, Nelson dan McKenna. (1975) telah mengungkapkan bahwa kemampuan membaca kata
sangat berkorelasi dengan intelegensi secara umum pada orang dewasa yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Wolf dkk. (2012) mengungkapkan bahwa health literacy sangat berkorelasi dengan
kemampuan kognitif fluid dan crystalized. Fluid ability adalah kemampuan kognitif yang
terkait dengan pengolahan informasi aktif dimana pengetahuan terdahulu relatif sedikit
membantu. Kemampuan kognitif ini mencakup processing speed, working memory,
inductive reasoning, long‐term memory, dan prospective memory. Sementara crystalized
ability (verbal ability) adalah kemampuan kognitif yang tersimpan dalam memori jangka
panjang atau general backgroud knoledge. Dari hasil penelitan yang melibatkan 882 orang
(berbahasa Inggris) yang berusia anatara 55 sampai 74 tahun, mereka menyimpulkan:
the most common measures used in health literacy studies are detecting individual differences in cognitive abilities, which may predict one’s capacity to engage in self‐care and achieve desirable health outcomes. Future interventions should respond to all of the cognitive demands patients face in managing health, beyond reading and numeracy.
Berbeda dari apa yang selama ini fahamai, Langer (1987) melihat literasi bukan
sebagi serangkain ketrampilan (skills); ia menandaskan bahwa literasi adalah sebuah
aktivitas—sebuah cara berfikir. Lterasi adalah aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan
bertujuan. Orang membaca, menulis, berbicara dan befikir tentang gagasan dan informasi
yang nyata dalam rangka menuangkan dan memperluas apa yang mereka ketahui, untuk
16
berkomunikasi dengan orang lain, menyajikan pendapat, dan untuk mengerti dan
dimengerti. Dalam melakukan ini, mereka kadang‐kadang membaca dan menulis, kadang‐
kadang berbicara tentang apa yang mereka baca dan tulis, dan kadang‐kadang berbicara
tentang ide yang menggunakan cara berfikir dan reasoning yang barangkali mereka gunakan
juga pada saat mereka terlibat langsung dalam aktivitas berbasis teks secara langsung.
Pertanyaan yang menarik untuk dibahas adalah “Apakah literasi mengubah cara
berfikir manusia?” Dari sekian banyak pakar yang membahas tentang literasi dan kognisi,
David R. Olson adalah ilmuan yang paling tegas yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan langsung antara literasi dengan perkembangan intelektual. Ia mengungkapkan
bahwa tidak cukup bukti, koherensi, dan substansi yang mendukung thesis “pengaruh
kognitif literasi”. Dalam buku yang yang berjudul “Literacy, Language and Learning: The
Nature and Consequences of Reading and Writing” Olson menegaskan bahwa literasi tidak
berpengaruh langsung terhadap perubahan intelektual dan sosial. Pada bagain Pendahuluan
buku yang diedit oleh David R. Olson, Nancy Torraca, dan Angela Hilyard tersebut, Olson
mengungkapkan:
What matters is what people do with literacy, not what literacy does to people. Literacy does not cause a new mode of thought, but having a written record may permit people to do something they could not do before ‐ such as look back, study, interpret, and so on. Similarly, literacy does not cause social change, modernization, or industrialization. But being able to read and write may be vital to playing certain roles in an industrial society and completely irrelevant to other roles in a traditional society. Literacy is important for what it permits people to achieve their goals or to bring new goals into view. (Olson I985:15)
Persoalannya adalah apa yang dilakukan orang dengan literasi, bukan apa yang dilakukan litersi terhadap orang. Literasi tidak menyebabkan mode pemikiran baru, tapi memperoleh rekord tulisan dapat membantu orang melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelumnya—seperti melihat kebelakang, belajar, menafsikan, dan sebagainya. Sama dengan itu, literasi tidak menyebabkan perubahan sosial, modernisasi dan industrialisasi. Namun demikian, mampu membaca dan menulis menjadi penting utuk memaikan peran tertentu dalam
17
masyarakat industri dan sangat tidak relevan dengan peran lain dalam masyarakat tradisional. Litrasi sangat penting karena ia membantu orang mencapai tujuanya atau nenjelaskan tujuan baru mereka. (Olson I985:15)
Selain Olson, Scribner dan Cole (1978) juga menolak thesis yang menyatakan bahwa
literasi mempengaruhi kemapuan kognitif secara umum. Dari sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap masyarakat Vai (Liberia), mereka menyimpukan bahwa tidak ada bukti
bahwa tulisan meningkatkan kemampuan mental secara umum (general mental abilities’.
Diungkapkan bahwa tidak ada superioritas dalam hal memori secara umum diantara siswa
yang belajar dan menghafal Al‐Qur’an; masyarakat Vai yang literate juga tidak memiliki
kelibahan ketrampilan berbahasa. Ringkasnya, mereka tidak menemukan pengaruh kognitif
literasi dalam pada masyarakat Vai.
Namun demikian, pandangan yang meyakini bahwa literasi memiliki pengaruh yang
berarti dalam kemampuan kognitif tidak sedikit. Goddy (1987) mengungkapkan bahwa
perkembangan sistem penulisan yang semakin mudah (dalam arti bahan dan simbol yang
digunakan) mempengaruhi semua bentuk kemajuan mayarakat. Dalam masyarakat yang
mengembangkan tradisi oral, tradisi kebudayaan ditransmisikan komunikasi tatap muka
sehingga perubahan muatan budaya terjadi karena proses kelupaan atau tranformasi bagian
kebudayaan yang tidak perlu atau perlu dihilangkan. Sebaliknya, dalam masyarakat literasi,
informasi dan kebudayaan disampaikan melalui rekord permanen, sehingga memungkin
terjadi pertanyaan, proses penafsiran dan pemahaman yang memicu skeptisme atau
keraguan. Keraguan ini tidak hanya dalam hal legenga masa lalu, tapi semua alam semesta
secara keseluruhan. Dengan demikian tradisi intelektual logika muncul dan menjadi
fenomena yang semakin berkembang. Goody (1987) menegaskan bahwa pengaruh literasi
18
seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Yunani tapi juga pada perbedaan intelektual
antara masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks.
Selian itu, Akinnaso (1981) juga melihat pengaruh literasi terhadap kemampuan
kognitif. Perkembangan sitem penulisan dan penyebaran literasi telah menyebabkan
bermunculannya pengetahuan dan tekhnologi yang secara sistematis mempengaruhi
hakikat struktur kognitif, linguistik, dan sosial yang telah ada, dan mengarah ke
perkembagan secara gradual kedalam potensi kognitif dan linguistik manusia; literasi telah
melahirkan struktur kognitif baru.
4. Literasi sebagai Praktek Sosial
Selain dari perspektif psikologi, khususnya kajian kognisi, literasi juga banyak dibahas
dari perspektif ilmu sosial. Pendekatan ini banyak dipengaruhi dan didukung oleh perspektif
kajian etnografis yang berseberangan dari perpektif psikologi ekperimental yang cenderung
bersifat individualis. David Barton, Mary Halimton, Roz Ivanic, Allan Luke dan Brain V Street
adalah beberapa dari ilmuan yang menudukung pendekatan kajian literasi dari perpektif
sosiologi dan konteks budaya. Secara umum mereka meyakini bahwa literasi adalah sebuah
praktik sosial; mereka menolak model “autonomousí” literasi yang memandang masyrakat
yang bertradisi literate dan bertradisi oral berbeda secara kognitif.
Scribner (1984) mengeritik bahwa selama ini literasi terlalu dipandang sebagai
atribut individual. Faktanya adalah bahwa literasi adalah sebuah pencaian sosial; literasi
adalah sebuah hasil transimisi budaya. Seorang anak atau orang dewasa tidak menmperoleh
makna simbol tulisan melalui interaksi personal dengan objek fisik yang melekat padanya.
19
Kemampuan literasi diperoleh seseorang dari partisipasi dalam aktivitas yang terorganisir
secara sosial dengan bahasa tulis. Scribner menegaskan bahwa seseorang dalam
masyarakat tanpa sistem tulisan tidak mungkin akan menjadi literate. Dengan demikian
dapat difahami bahwa walaupun proses literasi belangsung didalam sistem kognisi
seseorang, namun literasi tumbuh dan berkembanga dalam lingkungan sosial.
Scribner (1984) menggambarkan literasi dalam tiga metafora: 1) literasi sebagai
adaptasi, 2) literasi sebagai kekuasaan (literacy as power), dan 3) literasi sebagai state of
grace (sebagai sebuah kehormatan). Dalam hal metafora pertama, literasi sebagai adaptasi,
literasi dilihat sebagai konsep nilai pragmatis kehidupan manusia sehari‐hari. Literasi adalah
kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai anggota sebuah masyarakat untuk
mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Dalam menjalan kehidpan sehari‐hari, seperti
pergi ke pasar, menjalankan mobil, menggunakan alat‐alat rumah tangga, bahkan
menggunakan tekhnologi terkini seorang memerlukan kemampuan membaca dan
memahami tulisan. Konsep literasi ini dikenal juga dengan litersi fungsional (functional
litercy)—literasi yang ditekankan pada keefektifan seseorang dalam menjalankan tugasnya
sehari‐hari, baik sebagai diri sendiri, anggota keluarga, dan masyarakat.
Dari metafora litersi sebagai sebagai kekuasaan (literacy as power), literasi dilihat
sebagai alat potensial untuk meraih dan mempertahankan hegemoni dalam kelompok
sosial. Literasi adalah instrumen yang sering digunakan untuk menentukan kelas
masyarakat; orang‐orang yang mampu membaca dan menulis diangap sebagai kelompok
yang memiliki kelas lebih tinggi daripada kelompok yang tidak mampu membaca dan
menulis. Orang‐orang yang tidak mampu membaca dan menulis akan menemui kesulitan,
bahkan tidak memiliki peluang untuk mengkases kekuasaan ekonomi dan pilitik. Oleh
20
karena itu, menurut Scribner (1984), Gerakan ke arah transformasi realitas sosial muncul
menjadi efektif dalam membawa semua rakyat untuk berpartisipasi dalam aktivitas literasi
modern di beberapa negara di berbagai belahan dunia.
Pada metafora ketiga, literasi sebagai kehormatan, kajian lierasi ditekan pada
pandangan bahwa literasi sebagai suatu yang membawa kehotmatan khusus terhadap
seseorang. Orang yang literate (pandai baca tulis) sering ditempatkan posisi yang lebih
terhormat dari pada orang yang tidak mampu membaca dan menulis. Dalam berbagai
masyarakat yang berbasis agama, kemampuan membaca dan menghafal kitap suci agama,
seperti Al‐Quran, Injil, dan kita agama laiannya, selalu membawa seseorang untuk menjadi
lebih terhormat. Scribner (1984) mengungkapkan bahwa Tradisi keagamaan yang lebh tua—
Hebric dan Islam juga telah berperan secara tradisional dalam menghargai dan
menghormati bahasa tertulis sebagai kekuasaan dan kehormatan besar. “Ini adalah sebuah
kitab yang sempurna, tiada keraguan didalamnya,” sebuah kutipan ayat dalam Qur’an.
Menghafal Qur’an—memasukkan kata‐kata Qur’an secara literal kedalam otak dan
menjadikan ayat‐ayat tersebut menjadi bagian dirimu—secara simultan merupkan proses
untuk menjadi melek (literatei) dan suci.
Dalam sebuah studi, Verhoeven dan Vermeer (2006) meneliti pengaruh variasi sosio‐
budaya terhadap prestasi literasi anak‐anak kelas 3 sampai kelas 6 di Nederlands. Mereka
mengumpul data dari 1091 anak‐anak asli Belanda, 753 orang anak‐anak yang berasal dari
latar belakang bekas colonial Belanda, dan 580 anak‐anak yang berasal dari latar belakang
Mediterranea. Hasil peneltian mereka meperlihatkan bahwa anak‐anak non‐native (tidak
asli Belanda) tertinggal dari teman mereka yang native (asli Belanda) dalam semua tugas,
walupun perbedaan dalam kemampuan memahami tugas‐tugas tertulisa relatif kecil. Anak‐
21
anak yang bersal latar belakang Mediterrania mendapat skor secara signifikan rendah dari
anak‐anak ex‐kolonial tugas‐tugas literasi membaca tapi relatif sama dalam tugas‐tugas
decoding dan menulis. Untuk kedua kelompok anak‐anak dari asli dan non‐asli, struktur
faktor latar belakang yang sama ditemukan mempengaruhi prestasi literasi mereka. Mereka
menemukan bahwa tingkat dan status etnis secara konsisten menjadi faktor prediksi untuk
skor Word Decoding (penafsiran kode), Literasi Membaca, dan Menulis Teks. Selain itu,
status sosi‐ekonomi mempengaruhi Literasi Membaca dan variabel jenis kelamin
mempengaruhi Ketrampilan menulis.
5. Emergent Literasi (Literasi Dini)
Topik lain dari kajian literasi yang sangat banyak mendapat perhatian ilmuan adalah
emergent literacy—literasi yang muncul secara alamiah pada anak‐anak usia dini sebelum
mereka mengenal simbol‐simbol tulisan dan sebelum mereka mampu melakukan
conventional reading (membaca konvensional). Konsep literasi ini telah ramai dibahas di
kalangan akademisi (seperti, Alington, Oka & Paris, Stanovich, Brown, Palincsar, & Purcell)
pada dekade 1980an. Pada dekade 1990an ilmuwan seperti Cunningham, Dow‐
Ehrensberger, Echols, Morrison, Smith, Stanovich, West, Zehr, masih terus mengangkat isu
emergent literacy dengan penekanan dan bahsan yang semakin tajam. Bahkan pada tahu
2000an peniliti seperti Anthony, J. L., & Lonigan, C. J. masih aktif mengkaji persoalan ini.
Sebagian besar penelitian tentang emergent literacy dikembangkan berdasarkan pada
prinsip teoritis Vygotsky (1978) yang menyatakan bahwa anak‐anak belajar melalui mediasi
orang lain yang kompeten.
22
Walaupun banyak pakar mengemukan definisi emergent literacy, penekanan mereka
tidak kelihatan terlalu berbeda. Sulzby, (1989), Sulzby & Teale (1991) Teale & Sulzby (1986)
menjelaskan bahwa emergent literacy meliputi ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang
dianggap sebagai cikal bakal kemunculan dan perkembangan menuju format membaca dan
menulis konvensioanl. Dari perspektif lain, emergent literacy dilihat sebagai suatu yang
mengisyaratkan tidak adanya pemisahan yang jelas antara membaca dan prabaca (Lonigan,
2000). Whitehurst & Lonigan, (1998) menjelaskan bahwa terminologi “emergent literacy”
telah digunkan untuk mengungkapkan bahwan gagasan terkait pemerolehan literasi dini
dikontualisasikan sebagi sebuah kontinum perkembangan manusia, yang dimulai pada masa
paling dini kehidupan seorang anak, dan bukan fenomen one‐or‐none yang dimulai ketika
anak‐anak masuk sekolah.
Emergent Literacy adalah prose perkembangan kemampuan membaca seorang anak
yang berawal dari masa sebelum ia mengenal simbol‐simbol huruf. Ketika seorang anak kecil
menjadikan buku sebagai mainan, memperhatikan gambar dalam buku, berprilaku seperti
orang (berpura‐pura) membaca buku, dan bercerita kepada orang lain tentang isi buku,
pada saat itulah emergent literacy sebenarnya sedang tumbuh. Kualitas sikap dan prilaku
anak‐anak terhadap buku berkembang secara signifikan melalui interaksi sosial dengan
orang lain yang dekat dengan mereka. Ilmuan banyak meniliti tentang emergent reading,
seperti Doake (1985), Holdaway (1979), Otto (1991), dan Sulzby (1991), menyatakan bahwa
prilaku berpura‐pura membaca adalah sebuah cara anak‐anak mengeksplorasi literasi
sebagai aktivitas berbahasa yang bersifat holistik. Sebelum anak‐anak mulai memperhatikan
tulisan, mereka telah mengintegrasikan pengetahuan tentang simbol alfabet kedalam sitem
makna yang telah ada dalam otaknya dengan menggunakan petunjuk visual (seperti
23
gambar), dan memori mereka terhadap konteks yang pernah mereka dengar melalui bahasa
naratif (Sulzby 1985).
Bagi sebagian anak, langkah awal pengenalan emergent literasi berlangsung di
rumah dan dipermantap di taman‐kanak dan sekolah; sementara bagi sebagian yang lain,
tahap‐tahap perkembangan emergent literacy berlangsung di pusat penitipan anak atau
pendidikan anak usia dini, taman‐kanak, dan sekolah, kemudian mendapat penguatan
dalam lingkungan keluarga. Namun demikian, menurut Graves et.al. (2011), bagi semua
anak‐anak emergent literacy adalah sebuah masa bagi mereka untuk memperoleh berbagai
temuan tentang bunyi bahasa, bentuk kata, dan keguaan buku. Dalam proses ini, anak‐anak
mulai mempelajari bagaimana mengingat dan mengeja kata sambil mengeksplorasi sistem
alfabet. Anak‐anak mulai mempelajari tentang buku dan bagaimana buku disusun untuk
mendaptkan informasi dan menikmati cerita. Terkahir, anak‐anak mulai menjelajahi
pemahaman, dan belajar bagaimana memahami dan melahirkan bahasa tertulis.
Dari hasil peneltiannya terhadap beberapa orang anak yang berusi anatara 2 sampai
5 tahun, Dooley (2010) melaporkan bahwa perkembangan emergent literasi pada anak usia
dini melalui empat fase: 1) Fase books as prop 2) Fase Book as Invitation, 3) Fase Book as
Script, dan 4) Fase Book as Text. Secara ringkas, ciri prilaku anak‐anak dan rentangan usia
dimana prilaku tersebut teramati, dapat dilihat pada tabel berikut.
Fase Interaksi Anak degan Buku
Fase Ciri‐ciri Rentangan Usia Book as Prop • Buku diperlakukan seperti mainan lain seperti balok‐
balok plastik, boneka, mobil‐mobilan (seperti dilempar, didorong, dibuang, dll)
• Buku menyatu dengan mainan lain sebagai maian • Sedikit perhatian terhadap isi buku secara topikal (yakni
buku=buku) atau isi buku secara topikal dilihat sebagai buku (umpamanya buku=kereta api)
Awal usia 2 sampai awal usia 3 tahun
24
Book as Invitation
• Perhatian terhadap isi buku (terkait topik) • Perhatian terhadap gambar • Mengingat tulisan cetak secara terbatas
Akhir usia 2 sampai usia 3 tahun
Book aas Script • Perhatian terhadap isi buku • Perhatian terhadap gambar • Suara dan mimik gestur baca keras intonasi, tekanan
(seperti guru bermain) • Menyadari tulisan cetak, tapi teks terpisah tidak bisa
dibaca • Gambar digunakan sebagai petunjuk menebak naskah
Awal usia 3 sampai 4 tahun
Book as Text • Perhatian terhadap isi • Perhatian terhadap gambar dan tulisan • Konsep tulisan tercetak mulai (seperti beberapa indikasi
penyebutan kata‐demi‐kata atau menunjuk kata‐demi‐kata)
• Hampir membaca tulisan (hampir bisa membaca tanpa gambar, tapa beberapa bunyi awal perlu diingatkan untuk meperbaiki kesalahan.
Akhir usia 3 sampai 5 tahun
Sunber: Dooley (2010)
6. Information Literacy
Trend isu tentang literasi yang paling banyak mendapat perhatian kalangan pustakawan dan
pakar ilmu informasi akhir‐akhir ini adalah literasi informasi (information liteacy). Berbagai
negara seperti Amerika Serikta, Inggris, Autralia, India bahkan Singapura, Malaysia dan
Thailand telah gencar melakukan gerakan literasi informasi di negara negara mereka
masing‐masing. Berbagai model dan modul telah diperkenalkan, seperti the Big‐six, the
Seven Pilar, Scope and Sequence, the Empower 8, Model Alberta, SMMMART B, dan
Kuhlthau Model. Banyak tulisan, penelitian, dan kegitan seminar lokakarya, dan sejenisnya
telah dilakukan di berbagai belahan dunia membahas tentang usgensi literasi informasi bagi
masyarakat pasca modern (post‐modern society).
Sejak pertema diperkenal oleh Patricia Breivik melalui karyanya yang berjudul
Information Literacy: Revolution in the Library pada tahun 1980, isu literasi informasi
mendapat perhatian dariberbagai kalangan, khsusnya ilmuan perpustakan dan informasi.
25
Sepanjang dekade 1980an, Breivik memperkenalkan model dan program literasi informasi
yang sangat inspiratif dalam berbagai kesempatan seminar, lokakarya dan artikel ilmiah. Ia
menandasakan bahwa, pada dasarnya, literasi informasi bukan isu yang terkait dengan
pendidikan pemakai perpustakaan (library intruction), tapi lebih dekat dengan konsep
proses pebelajaran, khsusnya pembelajaran sepanjang hayat (life‐long learning). Satu
dekade berikutnya, pada tahun 1998, Brevick memperluas cakupan bahasannya tentang
literasi informasi melalui bukunya yang berjudul Student Learning in the Information Age.
Phoenix, Ariz.: American Council on Education/Oryx, 1998. Dalam buku ini ia mendefnisi
ulang literasi informasi dengan memasukkan konsep pembelajaran berbasis‐sumbe
(resource‐based leaarning), peneltian undergraduate, pembelajaran jasa (service learningi),
dan pembelajaran berbasi –masalah (problem‐based learning).
Sejauh ini, ada dua pendekatan pemahaman terhadap literasi informasi: pertama,
pendekatan yang memebrikan penekanan pada disiplin ilmu kepustakawanan dan
informasi, dan kedua adalah penekanan yang melihat literasi informasi sebagai inti proses
pembelajaran. Pendekatan pertama mencakup lima aspek ketrampilan terkait informasi: 1)
perumusan kebutuhan informasi, 2) pengidentifikasian sumber informasi, 3) penggunaan
strategi pencarian informasi, 4) pemerolehan informasi, dan 5) evaluasi sumber informasi.
Pendekatan kedua, yang didukung pakar ilmu informasi dan psikologi (seperti James W.
Murcam dan Patricia Breivik), melihat literasi informasi sebagai proses yang dimulai dari
pemerolehan data yang takterorganisasi, menjadi data yang terorganisisasi (informasi),
sampai ke penciptaan pengetahuan baru (Januarisdi, 2012).
26
Secara umum literasi informasi didefinisikan oleh Humes (2003) sebagai kemampuan
seseorang untuk mengakses, mengevaluasi, mengorganisasikan, dan menggunakan
informasi dari berbagai sumber. Gilton (1994) secara tegas mengungkapkan bahwa literasi
informasi tidak identik dengan litersi komputer (computer literacy), yang menghendaki
seseorang memiliki ketrampilan menggunakan hardware dan software komputer. Literasi
informasi bukan pula literasi perpustakaan (library literacy), yang menuntut seseorang
trampil menggunakan koleksi dan jasa perpustakaan. Namun demikian, kedua literasi
tersebut berhubungan yang sangat erat dengan litrasi informasi. Gilton menegaskan bahwa
literasi informasi lebih dari sekadar kemampuan mengakses informasi dan pengetahun
dengan bantuan tekhnologi; literasi informasi mencakup kualitas pengalaman belajar.
Literasi informasi bukan hanya sekadar ketrampilan menelusur informasi dan menggunakan
sumber‐sumber referensi, karena itu semua adalah persoalan tekhnis; literasi informasi
pada dasrnya adalah tujuan sesungguhnya yang hendak dicapai oleh pelajar. Darch et al.
(1997) mengimbuhkan bahwa literasi informasi menuntut kesadaran tentang bagaimana
sistem informasi bekerja, hubungan dinamis antara kebutuhan informasi tertentu dengan
sumber informasi dan saluran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Owen (1996) dalam Langford (1998), mengungkapkan bahwa literasi informasi
merupakan kapasitas untuk menguji berbagai gagasan karena kita memiliki kemampuan
mengakses dan menggunkan informasi secara efektif. Ia kemudian memperluas cakupan
literasi informasi dengan menambahkan bahwa dibalik peningkatan ketrampilan belajar dan
meneliti, literasi informasi berperan memberikan kemampuan atau kekuatan (empower),
menemukan dan bertindak terhadap informasi tersebut. Literasi informasi merupakan alat
penguatan personal (personal empowerment) untuk semua orang, bukan hanya anak‐anak
27
sekolah dan mahsiswa; literasi informasi mencakup pembelajaran mandiri dan terarah
sendiri (self‐directed learning), pembelajaran yang saling berketergantungan
(interdependent learning); dan literasi informasi mencakup upaya memperkaya dan
menghidupkan pembelajaran sepanjang‐hayat (life‐long learning).
Secara lebih komprehensif, literasi informasi juga mencakup sikap dan integritas
akademik seseorang terhadap informasi tersebut. Reed (2007) membagi literasi informasi
atas empat fokus: 1) memulai dan menyelesaikan proses penelitian, 2) tekhnik penelusuran,
3) evaluasi materi yang ditemukan, dan 4) integritas akademik terhadap informasi yang
digunaka. Fokus area pertama mencakup pengetahuan tentang lokasi bahan, sumber untuk
memilih topik, dan kualitas bahan yang dibutuhkan. Pengetahuan dan ketrampilan yang
harus dimiliki dalam area ini antara lain adalah cara menemukan topik yang hendak ditulis
atau diteliti, pengetahuan tempat penelusuran jurnal dan buku, pengetahuan tentang peran
layanan referensi (reference desk), pengetahuan tentang jumlah dan keragaman pangkalan
data yang digunkan. Pengetahuan dan ketrampilan yang perlu dimiliki pada area fokus
kedua adalah ketrampilan tekhnik penelusuran seperti penggunaan operator Boolean (AND
dan OR), dan truncation (pemotongan kata), tekhnik penelusuran yang efsien, pengecekan
semua pilihan untuk artikel, penemuan informasi dalam buku (seperti indeks subjeks), dan
penemunan informasi bibliografis dalam buku. Pada fokus area ketiga, seseorang harus
memiliki pengetahuan dan ketrampilan terkait jenis terbitan, penelusuran melalui Internet,
dan tinjauan sejawat (peer review). Sedangkan pada fokus area terakhir, seseorang harus
mampu menyitir (membuat sitasi) secara benar, menghindari pelanggaran/ pencideraan
integritas akademik, dan mengetahui sistem sitasi dan gaya penulisan bibliografi (seperti
MLA dan APA).
28
Dalam format yang lebih formal, American Library Association (ALA) mendefinisikan
literasi informasi sebagai serangkain kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk
menyadari bila informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan,
mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. Dijelaskan lebih
jauh bahwa untuk menjadi information literate (melek informasi), seseorang harus mampu
menyadari kapan informasi dibutuhkan dan mempunyai kemampuan menemukan,
mengevaluasi, dan secra efektif menggunakan informasi yang dibutuhkan tersebut. Dengan
demikian, orang yang melek informasi adalah mereka yang telah belajar bagaimana belajar.
Mereka tahu bagaimana belajar karena mereka mengetahui bagaimana ilmu pengetahuan
diorganisasikan, bagaimana menemukan, dan bagaimana menggunakan informasi tersebut
dengan cara yang martabat. Mereka adalah orang yang siap untuk belajar sepanjang hayat,
karena mereka dapat menemukan informasi yang diperlukan untuk berbagai tugas atau
keputusan di tangan.
Pada dasarnya literasi informasi berfungsi sebagai alat pencapaian prestasi
akademik. Namun dalam konteks yang lebih luas, literasi informasi mencakup keberhasilan
seseorang dalam kehiduan yang lebih luas. Prestasi akademik yang dicapai dengan
dukungan literasi informasi adalah tujuan antara, bukan tujuan akhir yang sebenarnya dari
sebuah kehidupan. Cyntia (1999) mengungkapkan bahwa persoalan literasi informasi bukan
untuk membawa para ilmuan untuk lebih cepat mencapai tujuan akademik mereka, tapi
untuk menjamin bahwa para sarjana yang dihasilkan oleh lembaga akademik bisa berfungsi
dalam dunia kerja Era Informasi. Dunia kerja dalam kehiduapan sosial era informasi
menuntut setiap orang untuk menjadi pelajar sepanjang hayat (life‐long learners). Dengan
demikian literasi informasi bukan hanya persoalan yang terkait dengan persekolahan dan
29
perkuliahan formal, tapi terakit dengan isu kehidupan yang sebenarnya jauh lebih luas dari
pada sekadar persekolahan dan perkuliahan.
7. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa literasi bukan kajian yang hanya terkait dengan
persoalan kemampuan membaca dan menulis. Walauun penganut aliran autonomous
menyakini bahwa literasi adalah kajian yang terkait dengan sistem dan proses kognisi
manusia, literasi ternyata menyangkut berbagai displin ilmu seperti psikologi eksperimental,
psikolinguistiks, antropilogi, sosiologi, ilmu budaya, politik, pendidikan dan ilmu informasi
dan perpustakaan. Dengan demikian, secara umum kita bisa mengelompokkan kajian literasi
kedalam dua perspektif: 1) perspektif kajian psikologi, dan 2) perspektif kajian sosial. Dari
perpektif kajian psikologi, khsusnya cognitive science, literasi dipandang sebagai sebuah
proses, atau aktivitas berfikir yang sangat kompleks. Pandangan ini menilai bahwa
perkembangan literasi telah berlangsung sejak manusia lahir dan membangun sebuah garis
kontinum sampai akhir khayatnya. Sementara dari perspektif kajian ilmu sosial, literasi
dipandang sebagai hasil dari proses interkasi sosial. Dari perspektif ini, kita menyakini
bahwa perkembangan literasi tidak pernah terlepas dari lingkungan sosial. Anak‐anak usia
dini menumbuhkan dan mengembangkan emergent literacy mereka melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sejawatnya.
30
REFERENSI Akinnaso, F. Niyi (1981) The Consequences of Literacy in Pragmatic and Theoretical
Perspectives. Anthropology & Education Quarterly, Vol. 12, No. 3 (Autumn, 1981), pp. 163‐200 URL: http://www.jstor.org/stable/3216330. dikases: 02/04/2014 23:07
Allington, R. L. (1984). Content, coverage, and contextual reading in reading groups. Journal of Reading Behavior, 16, 85—96.
American Library Association Presidential Committee on Information Literacy. 1989. Final Report. Washington, DC.
Barnes, Deborah E et.al (2004). The Relationship Between Literacy and Cognition in Well‐Educated Elders The Journals of Gerontology; 59A, 4; ProQuestpg. 390
Barton, David, Halimton, dan Ivanic, Mary Roz (2000). Situated Literacy: Theorizing Reading and Writing in Context. London: Routledge. http://books.google.com/books?isbn=1134624220
Blake dan Blake (2002). Literacy and Learning: a Reference Handbook. By Brett Elizabeth Blake and Robert W. Blake. Californi: ABC‐CLIO, Inc., 2002.
Brown, A. L., Palincsar, A. S., & Purcell, L. (1986). Poor readers: Teach, don't label. In U. Neisser (Ed.), The school achievement of minority children: New perspectives (pp. 105‐143). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Collins Concise Dictionary (2001). New Delhi: HarperCollins Publishing. Darch, C., Karelse, C., and Underwood, P. 1997. Alternative Routes on the Super Highway.
Independent Online‐Higher Education Review. Independent Educational Media. Doake, D. (1985). Reading‐like behavior: Its role in learning to read. In A. Jaggar & M. Smith‐
Burke (Eds.), Observing the language learner. Newark, DE & Urbana, IL: International Reading Association and National Council of Teachers of English.
Dooley, Caitlin McMunn (2010). Young Children's Approaches to Books: The Emergence of Comprehension. The Reading Teacher, Vol. 64, No. 2 (OCTOBER 2010), pp. 120‐130 URL: http://www.jstor.org/stable/20780291. diakses: 25/04/2014 00:2
Doyle, Brooke Graham and Wendie Bramwell (2006). Promoting Emergent Literacy and Social‐Emotional Learning through Dialogic Reading. The Reading Teacher, Vol. 59, No. 6 (Mar., 2006), pp. 554‐564 URL: http://www.jstor.org/stable/20204388. diakses pada: 06/05/2014 23:57
Gilton, Donna (1994). A World of Difference: Preparing For Information Literacy Instruction for Diverse Groups. MultiCultural Review. V. 3 no. 3 (September, 1994) pp. 54‐62.
Goody, Jack and Watt, Ian (1963). The Consequences of Literacy. Comparative Studies in Society and History, Vol. 5, No. 3 (Apr., 1963), pp. 304‐345 URL: http://www.jstor.org/stable/177651 dikses: 02/04/2014 22:54
Graves, Mechael et.al. (2011). Teaching Reading in 21th Century: Motivating All Learners. Boston: Pearson.
Harman, D. (1987). Illiteracy: a National Dilemma. New York: Cambridge University Press. Holdaway, D. (1979). The Foundations of literacy. Auckland, New Zealand: Ashton Scholastic. Humes, Barbara (2003). Understanding Information Literacy. Published by the US Federal
government. Nelson M.E. dan McKenna P. (1975) The use of current reading ability in the assessment of
Dementia. Br J Soc Clin Psychology . vol. 14:259‐267.
31
Langer, J. A. (1987) A sociocognitive perspective on literacy. In J. A. LANGER (ed) Language, Literacy and Culture: Issues of Society and Schooling. New Jersey: Norwood.
Lonigan, Christopher J., et.al. ( 2000). Development of Emergent Literacy and Early Reading Skills in Preschool Children: Evidence From a Latent‐Variable Longitudinal Study. Developmental Psychology, Vol. 36, No. 5, 596‐613
Longman Dictionary of American English (2007). Harlow, England: Pearson Education Limmited.
Olson, David R. Nancy Torrance, Angela Hildyard (1985) Literacy, Language and Learning:The Nature and Consequences of Reading and Writing Cambridge University Press, http://www.books.google.com/books?isbn=0521319129
Oka, E., & Paris, S. (1986). Patterns of motivation and reading skills in underachieving children. In S. Ceci (Ed.), Handbook of cognitive, social, and neuropsychological aspects of learning disabilities (Vol. 2). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Online Ensyclopaedia Britannica. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/343440/literacy
Otto, B. (1991). Informal assessment of emergent reading behaviors through observation of assisted and independent story‐ book interactions. Paper presented at the annual meeting of the International Reading Association, Las Vegas, NV.
Rassool, Naz (1999). Literacy for Sustainable Development in the Age of Information. Philadelphia: Language and Education Library. http://books.google.com/books?isbn=1853594326
Reed, M., Kinder, D. & Farnum, C. (2007) Collaboration between Librarians and Teaching Faculty to Teach Information Literacy at One Ontario University: Experiences and Outcomes” Journal of information literacy, 1 (3), http://jil.lboro.ac.uk/ojs/index.php/JIL/article/view/RA‐V1‐I3‐2007‐3.
Reid, Jennifer (2011).The vowel house: a cognitive approach to vowels for literacy and speechInternational Psychogeriatrics 23:4, 593–3–601
Roberts, Peter (1995). Defining Literacy: Paradise, Nightmare or Red Herring?. British Journal of Educational Studies, Vol. 43, No. 4 pp. 412‐432 URL: http://www.jstor.org/stable/3121809 . http://www.jstor.org/stable/3121809. diakses: 02/12/2012 23:13.
Seong Hye Choi et.al (2011). Validation of the Literacy Independent Cognitive Assessment. International Psychogeriatrics, 23:4, 593–3–601
Scribner, S. And Cole M (1978). Unpackaging Literacy. Social Science Information, 17 (1) 19‐39.
Scribner, Sylvia (1984). Literacy in Three Metaphors. American Journal of Education, Vol. 93, No. 1, pp. 6‐21. URL: http://www.jstor.org/stable/1085087
Stanovich, K. E. (1988). Explaining the differences between the dyslexic and the garden‐variety poor reader: The phonological‐core variabledifference model. Journal of Learning Disabilities, 21, 590‐612.
Stanovich, K. E. (1992). Speculations on the causes and consequences of individual differences in early reading acquisition. In P. B. Gough, L. C. Ehri, & R. Treiman (Eds.), Reading acquisition (pp. 307‐342). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Stanovich, K. E., Cunningham, A. E., & Cramer, B. B. (1984). Assessing phonological awareness in kindergarten children: Issues of task comparability. Journal of Experimental Child Psychology, 38, 175‐190.
32
Stanovich, K. E., & Siegel, L. S. (1994). Phenotypic performance profile of children with reading disabilities: A regression‐based test of the phonological‐core variable‐difference model. Journal of Educational Psychology, 86, 24‐53.
Street, Brian V. Literacy: An advanced Resource Book. New York: Routledge. Sulzby, E. (1986). Writing and reading: Signs of oral and written language organization in the
young child. In W. H. Teale & E. Sulzby (Eds.), Emergent literacy: Reading and writing (pp. 50‐87). Norwood, NJ: Ablex.
Sulzby, E., & Teale, W. (1991). Emergent literacy. In R. Barr, M. Kamil, P. Mosenthal, & P. Pearson (Eds.), Handbook of reading research (Vol. 2, pp. 727‐758). New York: Longman.
Teale, W. H., & Sulzby, E. (Eds.). (1986). Emergent literacy: Writing and reading. Norwood, NJ: Ablex
Tilley, C. M. (1984) Australian public libraries, the library association of Australia, and literacy, Australian. Journal of Adult Education, 24 (2), 13‐20.
Tuinman, J. J. (1978) From the editor. Journal of Reading Behaviour, 10 (3), 229‐ 231. Verhoev, Ludo dan Vermeer, Anne (2006). Sociocultural Variation In Literacy Achievement.
British Journal of Educational Studies, Vol. 54, No. 2, Pp 189‐211 Webster’s New World Dictionary of American English. Third College Edition. New York:
Simon and Schuster, 1988 Wells, G. (1990) Creating the conditions to encourage literate thinking, Educational
Leadership, March, 13‐17. Whitehurst, G. J., & Lonigan, C. J. (1998). Child development and emergent literacy. Child
Development, 69, 848‐872. Wolf, Michael S. (2012). Literacy, Cognitive Function, and Health: Results of the LitCog Study
top related