literatur utk laporan
Post on 17-Feb-2015
73 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar ditengah masyarakat.
Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapisyakni:
1. Sub-sistem pengawasan Produsen
Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sangsi, baik administratif maupun pro-justisia.
2. Sub-sistem pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.
3. Sub-sistem pengawasan Pemerintah/Badan POM
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan "range" yang sangat luas.
Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk Badan POM yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.
Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.
1. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar Internasional.2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten.3. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di Berbagai Lini.4. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan
yang Berisiko Terhadap Kesehatan.5. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).
Halaman ke-1
1. Sasaran Strategis
Sasaran strategis selama lima tahun (2010-2014) adalah sebagai berikut :
a. Pengawasan obat dan makanan terlaksana secara efektif untuk melindungi konsumen di dalam dan di luar negeri dengan sistem yang tergolong terbaik di ASEAN.
b. Terwujudnya laboratorium pengawasan obat dan makanan yang modern dengan jaringan kerja di seluruh indonesia dengan kompetensi dan kapabilitas terunggul di ASEAN.
c. Meningkatnya kompetensi, kapabilitas dan jumlah modal insani yang unggul dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan.
d. Diterapkannya sistem manajemen mutu di semua unit kerja Badan POM.2. Arah Kebijakan dan Strategi
a. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional
Arah kebijakan dan strategi nasional bidang kesehatan yang menjadi acuan pembangunan bidang Pengawasan Obat dan Makanan.FOKUS 1 : PENINGKATAN KESEHATAN IBU, BAYI, BALITA DAN KELUARGA BERENCANAPeningkatan kesehatan ibu, bayi, balita dan Keluarga Berencana, melalui upaya yang menjamin produk Obat dan Makanan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu, yang digunakan dalam upaya :
o Peningkatan cakupan peserta KB aktif;o Pemberian makanan pemulihan bagi ibu hamil Kekurangan Energi
Kronis (KEK); dano Pencapaian cakupan imunisasi yang tinggi, merata dan berkualitas
pada bayi, anak sekolah dan Wanita Usia Subur (WUS).
FOKUS 2 : PERBAIKAN STATUS GIZI MASYARAKATPerbaikan status gizi masyarakat, melalui pengujian laboratorium terhadap sampel-sampel produk yang digunakan untuk upaya :
o Asupan zat gizi makro, dll, untuk memenuhi angka kecukupan gizi;o Surveilans pangan dan gizi;o Pemberian makanan pendamping ASI;o Fortifikasi;o Pemberian makanan pemulihan balita gizi-kurang; dano Penanggulangan gizi darurat.
FOKUS 3 : PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR SERTA PENYAKIT TIDAK MENULAR, DIIKUTI PENYEHATAN LINGKUNGANPengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan, melalui upaya pengawasan yang diarahkan untuk menurunkan proporsi Obat dan Makanan bermasalah di pasar, sebagai salah satu faktor risiko timbulnya penyakit.FOKUS 4 : PENINGKATAN KETERSEDIAAN, KETERJANGKAUAN, PEMERATAAN, MUTU DAN PENGGUNAAN OBAT SERTA PENGAWASAN OBAT DAN MAKANANPeningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat, serta pengawasan Obat dan Makanan, yang dilaksanakan melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan :
o Pengawasan produksi produk terapetik dan PKRT
o Pengawasan produk dan bahan berbahayao Pengawasan obat dan makanan di 31 Balai Besar/Balai POMo Pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian keamanan,
manfaat dan mutu obat dan makanan serta pembinaan laboratorium POM
o Standardisasi produk terapetik dan PKRTo Penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran di bidang obat dan
makanano Inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetik dan produk
komplemeno Inspeksi dan sertifikasi makanano Standardisasi obat tradisional, kosmetik dan produk komplemeno Standardisasi makanano Surveilan dan penyuluhan keamanan makanano Pengawasan distribusi produk terapetik dan PKRTo Pengawasan narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktifo Penilaian produk terapetik dan produk biologio Penilaian obat tradisional, kosmetik dan produk komplemeno Penilaian makanano Riset keamanan, khasiat, mutu obat dan makanano Pengembangan Obat Asli Indonesia
Halaman ke-2
b. Arah Kebijakan Strategi Badan POM
o Memperkuat Sistem Regulatori Pengawasan Obat dan Makanan
Sistem Pengawasan Obat dan Makanan diperkuat dengan mekanisme operasional dan infrastruktur yang andal dengan kapabilitas berkelas dunia(world class) dan menggunakan teknologi informasi yang modern Regulatori dan seluruh fungsi pengawasan, dilakukan revitalisasi yang diterapkan secara terintegrasi dan menyeluruh (comprehensive).
o Mewujdukan Laboratorium Badan POM yang Handal
Kapabilitas laboratorium Badan POM ditingkatkan terunggul di ASEAN dengan jaringan kerja (networking) nasional dan internasional. Cakupan dan parameter pengujian laboratorium, serta kompetensi personil laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan ditingkatkan dengan menerapkan Good Laboratory Practices secara konsisten serta mengembangkan sistem rujukan laboratorium nasional.
o Meningkatkan Kapasitas Manajemen Badan POM
Institusi Badan POM dikembangkan sebagai knowledge and learning organization yang kredibel, inovatif dan unggul. Pengembangan institusi berfokus terutama pada penguatan kompetensi, profesionalitas dan kapabilitas modal insani. Untuk itu dilakukan pendidikan dan pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan (continous training and education) yang dilaksanakan di dalam dan di luar negeri serta dengan membangun Pusat Pendidikan dan Pelatihan badan
POM.Implementasi Sistem Pengawasan Obat dan Makanan serta layanan publik oleh Badan POM dimantapkan dengan meningkatkan kapasitas menejemen dengan mutu penyelenggaraan kepemerintahan yang efektif dan efisien. Untuk itu dilakukan penerapan standar Reformasi Birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik secara menyeluruh dan konsisten.
o Memantapkan Jejaring Lintas Sektor dan Memberdayakan Masyarakat untuk Berperan Aktif dalam Pengawasan Obat dan Makanan
Pengawasan Obat dan Makanan lebih diperkuat dengan memantapkan jejaring kerjasama lintas sektor terkait di dalam negeri dan kerjasama bilateral maupun multilateral dengan berbagai institusi di luar negeri.Melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi dilakukan pemberdayaan kepada masyarakat luas agar mampu mencegah dan melindungi diri sendiri dari penggunaan Obat dan Makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
Halaman ke-3
c. Strategi
Arah kebijakan Badan POM dilakukan melalui tujuh (7) strategi, yaitu :
1. Strategi Pertama
Peningkatan intensitas pengawsan pre market Obat dan Makanan, untuk menjamin, khasiat/manfaat dan mutu produk, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Penapisan penilaian produk Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai antisipasi globalisasi, termasuk ACFTA.
b. Peningkatan pelayanan publik terkait pendaftaran produk Obat dan Makanan melalui online registration.
c. Pengawasan pengembangan vaksin baru produksi dalam negeri, untuk mempercepat pencapaian target Millenium Development Goals (MDG’s).
d. Peningkatan technical regulatory advice untuk pengembangan jamu, herbal standar dan fitofarmaka.
e. Pengawasan pengembangan teknologi pangan (PPRG, iradiasi), untuk perlindungan konsumen dan ketersediaan pangan.
f. Peningkatan pemenuhan GMP industri Obat dan Makanan dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing.
2. Strategi Kedua
Penguatan sistem, sarana, dan prasarana
laboratorium Obat dan Makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Pemantapan penerapan Quatity Management System dan persyaratanGood Laboratory Prictices (GLP) terkini.
b. Peningkatan sarana dan prasarana laboratorium di pusat dan daerah, sesuai dengan kemajuan IPTEK.
c. Pemenuhan peralatan laboratorium sesuai standar GLP terkini.
d. Peningkatan kompetensi SDM Laboratorium.
3. Strategi Ketiga
Peningkatan pengawasan post market Obat dan Makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Pemantapan sampling dan pengujian Obat dan Makanan, berdasarkanrisk based approaches.
b. Intensifikasi pemberantasan produk ilegal, termasuk produk palsu.
c. Perluasan cakupan pengawasan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), melalui operasionalisasi Mobil Laboratorium.
d. Pengawasan sarana post market sesuai dengan GMP dan GDP
e. Perkuatan pengawasan Post market kosmetik melalui audit kepatuhan dan evaluasi keamanan kosmetika
4. Strategi Keempat
Pemantapan regulasi dan standar di bidang pengawasan Obat dan Makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Penyelarasan regulasi terkait dengan perubahan lingkungan strategis di bidang pengawsan Obat dan Makanan.
b. Peningkatan penerapan standar Obat dan Makanan yang terharmonisasi.
5. Strategi Kelima
Pemantapan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang tindak pidana Obat dan Makanan, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Peningkatan kualitas dan kuantitas PPNS.b. Peningkatan pelaksanaan penyidikan
Obat dan Makanan.c. Peningkatan koordinasi dengan sektor
terkait dalam rangkaian CJS untuk sustainable law enforcement tindak pidana Obat dan Makanan.
6. Strategi Keenam
Perkuatan Institusi, diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Implementasi Reformasi Birokrasi Badan POM termasuk peningkatan pelayanan publik.
b. Perkuatan sistem pengelolaan data serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) termasuk strategi media komunikasi.
c. Perkuatan human capital management Badan POM.
d. Restrukturisasi Organisasi untuk menjawab tantangan perubahan lingkungan strategis.
e. Peningkatan dan penguatan peran dan fungsi Balai POM, Integrated Bottom Up Planning dan Quality System Evaluation.
f. Perkuatan legislasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
7. Strategi Ketujuh
Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor dalam Rangka Pembagian Peran Badan POM dengan Lintas Sektor terkait, yang diselenggarakan melalui fokus prioritas :
a. Pemantapan koordinasi pengawasan Obat dan Makanan.
b. Pemantapan Sistem Kerjasama Operasional Pengawasan Obat dan Makanan.
c. Peningkatan operasi terpadu pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Makanan
d. Perkuatan jejaring komunikasie. Pemantapan koordinasi pengembangan
jamu brand Indonesia, pengeintegrasian dengan pelayanan kesehatan
f. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE.
1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA
2. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan
termasuk klim pada label dan iklan di peredaran;
3. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang
tidak memenuhi syarat;
4. Penurunan kasus pencemaran pangan;
5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan
personil yang memadai;
6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak
terkait.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang
bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Menteri Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial.
Sekretariat Utama melaksanakan koordinasi perencanaan strategis dan organisasi,
pengembangan pegawai, pengelolaan keuangan, bantuan hukum dan legislasi, hubungan
masyarakat dan kerjasama internasional, serta akses masyarakat terhadap Badan POM
melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen yang menerima dan menindaklanjuti berbagai
pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan. Disamping itu dilakukan
pembinaan administratif beberapa Pusat yang ada di lingkungan Badan POM dan unit-unit
pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia..
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA melaksanakan penilaian dan evaluasi
khasiat, keamanan dan mutu obat, produk biologi dan alat kesehatan sebelum beredar di
Indonesia dan juga produk uji klinik. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran produk
terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Disamping itu melakukan
sertifikasi produk terapetik, inspeksi penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan
inspeksi penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik, inspeksi sarana produksi dan
distribusi, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Didukung oleh
antara lain Komite Nasional Penilai Obat Jadi, Komite Nasional Penilai Alat
Kesehatan dan Tim Penilai Periklanan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional
dan Suplemen Makanan.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemenmelaksanakan
penilaian dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan sebelum
beredar di Indonesia. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran obat tradisional,
kosmetik dan produk komplemen, termasuk penandaan dan periklanan. Penegakan hukum
dilakukan dengan inspeksi Cara Produksi yang Baik, sampling, penarikan produk, public
warning sampai pro justicia. Didukung oleh antara lain Tim Penilai Obat Tradisional dan Tim
Penilai Kosmetik.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya melaksanakan penilaian
dan evaluasi keamanan pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran
seperti pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya,
termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan berbahaya.
Disamping itu melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen dan distributor dibina untuk
menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB), Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik
(CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Disamping itu diselenggarakan surveilan,
penyuluhan dan informasi keamanan pangan dan bahan berbahaya. Didukung antara
lain Tim Penilai Keamanan Pangan.
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional melakukan pemeriksaan secara laboratorium,
pengembangan prosedur pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk
komplemen, pangan dan bahan bahan berbahaya. Disamping merupakan rujukan dari 26
(duapuluh enam) laboratorium pengawasan obat dan makanan di seluruh Indonesia, telah
diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, Badan Standardisasi Nasional tahun 1999
serta merupakan WHO Collaborating Center sejak 1986 dan anggota International
Certification Scheme. Selain ditunjang dengan laboratorium bioteknologi, laboratorium
baku pembanding, laboratorium kalibrasi serta laboratorium hewan percobaan, juga
didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih untuk analisis fisikokimia seperti
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Kromatografi Gas, Sektrofotometer Absorpsi Atom,
Spektrofotometer Infra Merah; analisis fisik seperti Alat Uji Disolusi Otomatis dan Smoking
Machine; analisis mikrobiologi dan biologi.
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan melaksanakan kegiatan penyelidikan dan penyidikan
terhadap perbuatan melawan hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika
dan zat adiktif, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen dan makanan serta
produk sejenis lainnya.
Pusat Riset Obat dan Makanan melaksanakan kegiatan di bidang riset toksikologi, keamanan
pangan dan produk terapetik.
Pusat Informasi Obat dan Makanan memberikan pelayanan informasi obat dan makanan,
informasi keracunan dan koordinasi kegiatan teknologi informasi Badan POM.
DIREKTORAT STANDARDISASIPRODUK PANGAN
Tugas
Direktorat Standardisasi Produk Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan
kembali ke atas
Dafatar Isi
Tugas Fungsi Susunan Organisasi
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan
Fungsi
Direktorat Standardisasi Produk Pangan menyelenggarakan fungsi :
1. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan2. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi pangan khusus3. penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang pengaturan dan standardisasi pangan olahan4. penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan5. koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi produk pangan6. evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan7. pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
kembali ke atas
Susunan Organisasi
Direktorat Standardisasi Produk Pangan Pangan terdiri dari :
1. Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan2. Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus3. Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan
kembali ke atas
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan menyelenggarakan fungsi :
1. penyusunan rencana dan program standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan2. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi bahan baku3. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi bahan tambahan pangan4. evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan
Subdirektorat Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan terdiri dari :
1. Seksi Standardisasi Bahan Baku2. Seksi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan
Seksi Standardisasi Bahan Baku mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi bahan baku
Seksi Standardisasi Bahan Tambahan Pangan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi bahan tambahan pangan
kembali ke atas
Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus
Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan khusus
Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus menyelenggarakan fungsi :
1. penyusunan rencana dan program standardisasi pangan khusus2. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan hasil rekayasa genetika dan iradiasi3. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi produk pangan fungsional4. evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi pangan khusus
Subdirektorat Standardisasi Pangan Khusus terdiri dari :
1. Seksi Standardisasi Pangan Hasil Rekayasa Genetika dan Iradiasi2. Seksi Standardisasi Produk Pangan Fungsional
Seksi Standardisasi Pangan Hasil Rekayasa Genetika dan Iradiasi mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi pangan hasil rekayasa genetika dan iradiasi
Seksi Standardisasi Produk Pangan Fungsional mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi produk pangan fungsional
kembali ke atas
Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan
Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan pelaksanaan pengaturan dan standardisasi pangan olahan
Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan menyelenggarakan fungsi :
1. penyusunan rencana dan program standardisasi pangan olahan2. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengaturan dan standardisasi produk pangan3. pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta penyusunan kodex pangan4. evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi pangan olahan5. pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Standardisasi Produk Pangan
Subdirektorat Standardisasi Pangan Olahan terdiri dari :
1. Seksi Standardisasi Produk Pangan2. Seksi Kodex Pangan3. Seksi Tata Operasional.
Seksi Standardisasi Produk Pangan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan pengaturan dan standardisasi produk pangan
Seksi Kodex Pangan mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penyusunan kodex pangan
Seksi Tata Operasional mempunyai tugas melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Standardisasi Produk Pangan
Menggunakan Bahan Tambahan Pangan Sehat Sesuai isi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia. Sedangkan persyaratan keamanan pangan adalah standar dan
ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari
kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.Sanitasi
pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan
berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman,
peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
Dalam hygiene sanitasi makanan, kita mengenal istilah bahan tambahan pangan. Bahan
tambahan pangan merupakan bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan
merupakan bagian dari bahan baku pangan, ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet,
penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental.
Terdapat beberapa tujuan utama pemberian bahan tambahan pangan, antara lain :
1. Mengawetkan pangan
2. Membentuk pangan
3. Memberikan warna
4. Meningkatkan kualitas pangan
5. Menghemat biaya
6. Memperbaiki tekstur
7. Meningkatkan cita rasa
Keamanan Pangan
1. Meningkatkan stabilitas
Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur penggunaaan bahan
tambahan makanan termasuk zat pewarna makanan. Penggolongkan bahan tambahan
Pangan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, meliputi :
1. Pewarna
2. Pemanis buatan
3. Pengawet
4. Antioksidan
5. Anti kempal
6. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa
7. Pengatur keasaman
8. Pemutih dan pematang tepung
9. Pengemulsi, pemantap dan pengental
10. Pengeras
11. Sekuestran
Terkait dengan pewarna makanan, fungsi zat ini dalam makanan antara lain: memberi
kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna,
menutupi perubahan warna selama proses pengolahan, serta mengatasi perubahan
warna selama penyimpanan.
Penting untk kita catat, bahwa terdapat pewarna terlarang dan berbahaya untuk
makanan, karena memang fungsinya bukan untuk makanan, yaitu Metanil Yellow dan
Rhodamin B. Sedangkan pewarna alami yang diizinkan sesuai Permenkes RI No.
722/Menkes/Per/IX/88, antara lain Karamel, Beta-karoten, Klorofil, dan Kurkumin.
Namun sebagaimana kita keahui, di sekitar kita masih banyak dijumpai
penyalahgunaan zat pewarna termasuk pada industri makanan khususnya pada skala
rumah tangga. Beberapa penyebab dimungkinkan menjadi alasannya, diantaranya
terkait ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, atau harga zat
pewarna kimia industri yang relatif jauh lebih murah dan menarik dibandingkan dengan
zat pewarna untuk pangan.
Beberapa faktor yang dipertimbangkan sebagai dasar penentuan mutu bahan makanan
antara lain cita rasa, warna, tektur dan nilai gizinya di samping tedapat faktor lain yaitu
sifat mikrobiologis. Namun warna makanan biasanya menjadi faktor pertama yang
dipertimbangkan sebelum faktor-faktor lain. Kita (misalnya) banyak belajar tentang hal
ini pada acara Master Chef Indonesia yang disiarkan salah satu televisi nasional kita.
Banyak kenyataan yang menunjukkan kepada kita, suatu bahan makanan yang dinilai
bergizi, enak, dan tekturnya sangat baik tidak akan bernilai konsumtif jika memiliki
warna yang kurang menarik. Warna makanan juga menjadi salah satu indikator
kesegaran, kematangan bahan, serta kualitas percampuran dan pengolahan.
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu bahan memiliki
warna yaitu adanya Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan. Kita
dapat menyebutnya dengan klorofil yang bewarna hijau, karoten bewarna jingga, dan
mioglobin bewarna merah pada daging. Kita juga dapat mengamati terjadinya beberapa
perubahan warna karena faktor reaksi kimia dan fisika di sekitar kita, seperti reaksi
karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan yang membentuk warna coklat. Reaksi
antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna hitam atau coklat
gelap (seperti pada biskuit kadaluarsa).
Pada dasarnya tujuan pemberian warna pada makanan adalah supaya makanan dan
minuman menarik bagi konsumen. Juga menghindari pemalsuan hasil suatu pabrik,
serta menjaga keseragaman produk. Saat ini di pasaran banyak kita jumpai zat pewarna
yang sengaja ditambahkan (alami maupun sintetik). Dan seringkali penggunaanya tidak
sesuai ketentuan sehingga bermasalah bagi kesehatan.
Menurut BBPOM (2006), secara medis, pewarna sintetis yang bersifat toksik dapat
menimbulkan berbagai reaksi seperti kanker hati atau gangguan fungsi hati, kanker
kandung kemih atau saluran kemih, iritasi pada kulit, iritasi pada saluran nafas dan lain
sebagainya. Sedangkan bahan pewarna sintetis yang telah dihasilkan oleh para ahli
berasal dari cool- tar. Banyak dari pewarna tersebut bersifat toksik karena penggunaan
yang tidak pada tempatnya atau penggunaan yang berlebihan.Menurut Winarno (1984),
hal yang mungkin memberi dampak negatif tersebut akan terjadi jika :
1. Bahan pewarna sintetis ini di makan dalam jumlah kecil dan berulang.
2. Bahan pewarna sintetis ini di makan dalam jangka waktu yang lama.
3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu
tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari¬hari
dan keadaan fisik.
4. Berbagai lapisan masyarakat yang menggunakan bahan pewarna sintetis secara
berlebihan.
5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang.
6. Bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan
Sebetulnya di level laboratorium, terdapat metode untuk mengukur warna suatu bahan,
dengan menggunakan alat yang disebut kolorimeter, spektofotometer, atau alat khusus
lainnya yang dirancang untuk mengukur warna. Akan tetapi alat tersebut biasanya
terbatas pada penggunaan untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir
atau waran hasil ekstrasi. Untuk bahan bukan cairan atau padatan, warna bahan dapat
diukur dengan membandingkannya terhadap suatau warna standar. Cara tersebut
dikenal dengan metode spot test. Cara pengukuran warna yang lebih teliti diukur
dengan menggunakan komponen warna dalam besaran value, hue dan chroma. Nilau
value menunjukkan gelap terangnya. Nilai hue mewakili panjang gelombang yang
dominan sehingga dapat menetukan waran apa yang terkandung, sedangkan chroma
menunjukkan intensitas warna suatu bahan. Ketiga kompenen ini diukur dengan
menggunakan alat khusus yang mengukur nilai khromatisitas permukaan suatu bahan
(Winarno, 1984).Namun ditingkat masyarakat, prosedur ini jauh api dari panggang.
Menjadi tugas pemerintah sebagai regulator distribusi pangan untuk menjamin
keamanan pangan bagi masyarakat. Dan sebagai praktisi public health, kita dapat
berkontribusi didalamnya dengan berbagai cara dan level keterlibatan.
LEMBARAN-NEGARAREPUBLIK INDONESIA
No. 99, 1996 PERDAGANGAN. PANGAN. PERTANIAN. KESEHATAN. (Penjelasan dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANGP A N G A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional;
b. bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional;
d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada butir a, butir b, dan butir c, serta untuk mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif di bidang pangan, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pangan;
Mengingat:Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
DENGAN PERSETUJUANDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
2. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
3. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
4. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
5. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan.
6. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apa pun dalam rangka produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan.
7. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.
8. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh imbalan.
9. Sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
10. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
11. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.
12. Rekayasa genetika pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.
13. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman.
14. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
15. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.
16. Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan.
17. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak.
Pasal 2
Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Pasal 3
Tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah:
a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;b. terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; danc. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
BAB IIKEAMANAN PANGAN
Bagian PertamaSanitasi Pangan
Pasal 4
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.
Pasal 5
(1) Sarana dan atau prasarana yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.
(2) Penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan serta penggunaan sarana dan prasarana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan persyaratan sanitasi.
Pasal 6
Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib:
a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia;
b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; danc. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan
sanitasi.
Pasal 7
Orang perseorangan yang menangani secara langsung dan atau berada langsung dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.
Pasal 8
Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.
Pasal 9
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KeduaBahan Tambahan Pangan
Pasal 10(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan
yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam
kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 11
Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.
Pasal 12
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KetigaRekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Pasal 13(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain
dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.
(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam
kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
Pasal 14
(1) Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan berdasarkan izin Pemerintah.(2) Proses perizinan penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi pangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau
metode iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja, dan kelestarian lingkungan.
Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KeempatKemasan Pangan
Pasal 16(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai kemasan pangan yang
dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.(2) Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau
pencemaran.(3) Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu
yang diperdagangkan.
Pasal 17
Bahan yang akan digunakan sebagai kemasan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya bagi pangan yang diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim
dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
Pasal 19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KelimaJaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium
Pasal 20(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis
pangan yang diproduksi.(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Peme rintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu
diuji secara laboratoris sebelum peredarannya.(3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah
memperoleh akreditasi dari Pemerintah.(4) Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
dan diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Bagian KeenamPangan TercemarPasal 21
Setiap orang dilarang mengedarkan:
a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit
atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;e. pangan yang sudah kedaluwarsa.
Pasal 22
Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan, Pemerintah:
a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan;
b. mengatur dan atau menetapkan persyaratan bagi peng gunaan cara, metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia;
c. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam mem produksi peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian pangan.
Pasal 23
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IIIMUTU DAN GIZI PANGAN
Bagian PertamaMutu Pangan
Pasal 24
(1) Pemerintah menetapkan standar mutu pangan.(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu
pangan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 25
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan.(2) Persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterapkan secara bertahap berdasarkan jenis pangan
dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.
Pasal 26
Setiap orang dilarang memperdagangkan:
a. pangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), apabila tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya;
b. pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan;c. pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Bagian KeduaGizi Pangan
Pasal 27
(1) Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi bagi perbaikan status gizi masyarakat.(2) Untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan
khusus mengenai komposisi pangan.(3) Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan persyarat an bagi
perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan.(4) Setiap orang yang memproduksi pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), wajib memenuhi persyaratan tentang
gizi yang ditetapkan.
Pasal 28
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.
(2) Pangan olahan tertentu serta tata cara pengolahan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 29
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IVLABEL DAN IKLAN PANGAN
Pasal 30(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.(3)
Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan.
Pasal 31
(1) Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, ditulis atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat.
(2) Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin.
(3) Penggunaan istilah asing, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya, atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri.
Pasal 32
Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan.
Pasal 33
(1) Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau per nyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.
(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Pasal 34
(1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
(2) Label tentang pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi, anak berumur di bawah lima tahun, dan ibu yang sedang hamil atau menyusui wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap kesehatan manusia.
Pasal 35
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VPEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA
Pasal 36(1) Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.(2) Setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia
pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 37
Terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bahwa:
a.pangan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
b. pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan atauc. pangan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya.
Pasal 38
Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan.
Pasal 39
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan label, dan atau gizi pangan.
Pasal 40
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI TANGGUNG JAWAB INDUSTRI PANGANPasal 41
(1) Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut.
(2) Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.
(4) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.
(5) Besarnya ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setinggi-tingginya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan.
Pasal 42
Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) tidak diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia, ketentuan dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (5) diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
Pasal 43
(1) Dalam hal kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit, Pemerintah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
(2) Gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan untuk kepentingan orang yang mengalami kerugian dan atau musibah.
Pasal 44
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIIKETAHANAN PANGAN
Pasal 45
(1) Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan.(2) Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pasal 46
Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pemerintah:
a. menyelenggarakan, membina, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional;
b. menyelenggarakan, mengatur, dan atau mengkoordinasikan segala upaya atau kegiatan dalam rangka penyediaan, pengadaan, dan atau penyaluran pangan tertentu yang bersifat pokok;
c. menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan penganekaragaman pangan;d. mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan
atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan.
Pasal 47
(1) Cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, terdiri atas: a. cadangan pangan Pemerintah; b. cadangan pangan masyarakat.(2) Cadangan pangan Pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat
dan ketersediaan pangan, serta dengan meng antisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat.(3) Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a. mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat
perdesaan, perkotaan, propinsi, dan nasional; b. mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam
mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional.
Pasal 48
Untuk mencegah dan atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut.
Pasal 49
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya: a. pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
b.untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta penganekaragaman pangan;
c. untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan organisasi profesi di bidang pangan; d. untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau pengembangan teknologi di bidang pangan; e. penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan; f. pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai dengan kepentingan nasional;
g.untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan tradisional.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 50
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIIIPERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 51
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perse orangan yang mengkonsumsi pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Pasal 52
Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan.
BAB IXPENGAWASAN
Pasal 53(1) Untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat
dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.(2) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berwenang:
a.
memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengang kutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan;
b.menghentikan, memeriksa, dan menegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;
d.memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain sejenis.
Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah.
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa: a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat
risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XKETENTUAN PIDANA
Pasal 55
Barangsiapa dengan sengaja:
a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e;
e. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang diwajibkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a;f. memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 26 huruf b;g. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf c;h. mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan, sebagai mana
dimaksud dalam Pasal 32; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barangsiapa karena kelalaiannya:
a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e; dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Pasal 57
Ancaman pidana atas pelanggaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta Pasal 56, ditambah seperempat apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiga apabila menimbulkan kematian.
Pasal 58
Barangsiapa:
a. menggunakan suatu bahan sebagai bahan tambahan pangan dan mengedarkan pangan tersebut secara berten tangan dengan ketentuan dalam Pasal 11;
b. mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika, tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
c. menggunakan iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);d. menggunakan suatu bahan sebagai kemasan pangan untuk diedarkan secara bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 17;e. membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan memperdagangkannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1);f. mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan tanpa lebih dahulu diuji secara laboratoris, sebagaimana dimak sud dalam
Pasal 20 ayat (2);g. memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratan tentang gizi pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (4);
h. memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31;
i. memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diper dagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2);
j memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);
.k. memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2);
l. menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).
Pasal 59
Barangsiapa:
a. tidak meyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia, atau tidak menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala, atau tidak menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
b. tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;c. tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3);d. tidak menyelenggarakan sistem jaminan mutu yang ditetapkan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk
diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);e. tidak memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2); meskipun telah
diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta rupiah).
BAB XI PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN Pasal 60
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang pangan kepada Pemerintah Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas pembantuan di bidang pangan.(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 61
(1) Dalam hal terjadi keadaan kekurangan pangan yang sangat mendesak, Pemerintah dapat mengesampingkan untuk sementara waktu ketentuan Undang-undang ini tentang persyaratan keamanan pangan, label, mutu, dan atau persyaratan gizi pangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap memperhatikan keselamatan dan terjaminnya kesehatan masyarakat.
Pasal 62
Bilamana dipandang perlu, Pemerintah dapat menunjuk instansi untuk mengkoordinasikan terlaksananya Undang-undang ini.
Pasal 63
Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya tidak berlaku bagi pangan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh kalangan rumah tangga.
BAB XIIIKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan tentang pangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal 4 Nopember 1996PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T ODiundangkan di Jakartapada tanggal 4 Nopember 1996MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA
ttdM O E R D I O N O
AbouT_FoOdMANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
Dewasa ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibatnya
persainganpun semakin tajam. Dunia bisnis sebagai salah satu bagiannya juga mengalami hal
yang sama. Perusahaan-perusahaan yang dahulu bersaing hanya pada tingkat local atau
regional, kini harus pula bersaing dengan perusahaan dari seluruh dunia. Hanya perusahaan
yang mampu menghasilkan barang atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat bersaing
dalam pasar global.
Demikian halnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi pangan, apabila
ingin memiliki keunggulan dalam skala global, maka perusahaan-perusahaan tersebut harus
mampu melakukan setiap pekerjaan secara lebih baik dalam rangka menghasilkan produk
pangan berkualitas tinggi dengan harga yang wajar dan bersaing. Hal ini berarti agar
perusahan atau industri pangan mampu bersaing secara global diperlukan kemampuan
mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman (tidak membahayakan), sehat dan
bermanfaat bagi konsumen.
Dalam krisis moneter seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang mempunyai
peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk
hasil pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan
produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional.
Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata merupakan
industri yang rapuh karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai
dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor
tersebut.
Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini
sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena
di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing
dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam
sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya
pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan.
Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% – 10,23% pangan
yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan
bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan
yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang
tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai
persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi
persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% – 8,75%. Penggunaan bahan tambahan
makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena
jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada
minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang
memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis
yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6%
mengandung siklamat.
Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna
berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada
produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng,
tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02%
menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan
sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan
jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu
dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi
produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer,
penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP)
serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh
produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga
menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan
(TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar
19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari
rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C.
Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice
(GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan
dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% – 44,29%
sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan. Selain itu, masih kurangnya
pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya
konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan
bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang
tercantum pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan
sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen
pangan.
Untuk itu, kesadaran semua pihak untuk meningkatkan manajemen mutu dan
keamanan pangan sangatlah penting. Tidak bisa hanya menyerahkan tanggung jawab kepada
pemerintah atau pihak produsen saja akn tetapi semua pihak termasuk konsumen punya andil
cukup penting dalam meningkatkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di
Indonesia.
TINJAUAN ASPEK MUTU DALAM KEGIATAN
INDUSTRI PANGAN
2.1. Teknologi dan Industri Pangan
Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan
mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri
untuk memenuhi permintaan konsumen. Teknologi pangan diharapkan berperan dalam
perancangan produk, pengawasan bahan baku, pengolahan, tindak pengawetan yang
diperlukan, pengemasan, penyimpanan, dan distribusi produk sampai ke konsumen. Industri
pangan merupakan industri yang mengolah hasil–hasil pertanian sampai menjadi produk yang
siap dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, industri pangan lebih berkiprah pada
bagian hilir dari proses pembuatan produk tersebut. Menurut Wirakartakusumah dan Syah
(1990), fungsi utama suatu industri pangan adalah untuk menyelamatkan, menyebarluaskan,
dan meningkatkan nilai tambah produk–produk hasil pertanian secara efektif dan efisien.
Titik tolak kegiatan suatu usaha industri pangan harus berdasarkan pada permintaan
konsumen akan suatu produk pangan. Komsumen akan selalu menuntut suatu produk yang
aman, berkualitas/bermutu, praktis/mudah untuk disiapkan dan disajikan, serta enak rasanya
dengan harga yang terjangkau. Pertumbuhan industri pangan yang pesat akan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap produk–produk pangan dengan mutu terjamin dan
harga yang bersaing. Di samping itu, pengembangan sektor industri pangan akan dapat
memperluas kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah serta menambah devisa negara.
Wirakartakusumah dan Syah (1990) menyatakan bahwa industri pangan di Indonesia secara
umum dibagi menjadi industri kecil dan industri besar. Indstri pangan kecil biasanya masih
menggunakan cara–cara tradisional dan bersifat padat karya, sedangkan industri pangan besar
lebih modern dan padat modal. Pada garis besarnya, aspek–aspek yang harus diperhatikan
dalam industri pangan adalah aspek teknologi, penyebaran lokasi, penyerapan tenaga kerja,
produksi, ekspor dan peningkatan mutu. Peran serta teknologi harus selalu didampingi kajian
ekonomis yang terkait dengan faktor mutu. Walaupun faktor mutu akan menambah biaya
produksi, peningkatan biaya mutu diimbangi dengan peningkatan penerimaan oleh
konsumen. Di samping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen, pengendalian
mutu yang efektif akan mengurangi tingkat resiko rusak atau susut.
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam hal pengawasan
mutu industri pangan dapat berakibat fatal terhadap kesehatan konsumen dan kelangsungan
industri pangan yang bersangkutan. Contohnya, seperti kasus biskuit beracun pada tahun
1989. Akibat ketedoran tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus ditutup. Penolakan
beberapa jenis makanan olahan yang diekspor ke luar negeri juga menunjukkan bahwa
pengawasan mutu masih belum dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, perkembangan
teknologi yang pesat diikuti dengan pertumbuhan industri yang cepat harus didukung oleh
sistem pengawasan mutu yang baik.
2.2. Konsep Mutu
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang
beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut
produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal ini digunakan
konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan (1989) dalam Hubeis (1994)
berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk
yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama
sifat organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai kepuasan
(kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan
produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu berdasarkan ISO/DIS 8402–1992 didefinsilkan
sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses,
organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan
yang telah ditentukan.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua
kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran,
bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi
dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan
keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya
ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri
organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk
pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut
standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan
bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung
bakteri Eschericia coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk ke dalam produk.
Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal, yaitu gagasan konsep produk, setelah
persyaratan–persyaratan konsumen diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini
harus dilanjutkan melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah
pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini karena upaya–
upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih sering mengarah kepada
kegiatan–kegiatan inspeksi serta memperbaiki cacat dan kegagalan selama proses produksi.
Bidang–bidang fungsional dan kegiatan yang terlibat dalam pendekatan terpadu terhadap
sistem mutu disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lingkaran Mutu
2.3. Good Manufacturing Practices (GMP)
Dewasa ini, kesadaran konsumen pada pangan adalah memberikan perhatian terhadap nilai
gizi dan keamanan pangan yang dikonsumsi. Faktor keamanan pangan berkaitan dengan
tercemar tidaknya pangan oleh cemaran mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang
membahayakan kesehatan. Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman
bagi kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di laboratorium saja, tetapi
juga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan,
atau penerapan sistem produksi pangan yang baik (GMP- Good Manufacturing Practices)
dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP- Hazard Analysis and Critical
Control Point).
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing
Practices (GMP) adalah suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar
produsen memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen. Dengan menerapkan CPMB
diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman
dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga
konsumen global (Fardiaz, 1997).
Menurut Fardiaz (1997), dua hal yang berkaitan dengan penerapan CPMB di industri pangan
adalah CCP dan HACCP. Critical Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah
setiap titip, tahap atau prosedur dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak
terkendali dapat menimbulkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada
setiap tahap proses mulai dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan
penanganan ingredien, pengolahan, pengemasan, distribusi sampai dikonsumsi oleh
konsumen. Limit kritis (critical limit) adalah toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi
untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis,
kimia maupun fisik. Limit kritis pada CCP menunjukkan batas keamanan.
Fardiaz (1997) menyatakan bahwa Hazard Analysis and Critical Control
Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah suatu analisis
yang dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses untuk menentukan komponen, kondisi
atau tahap proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk
menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
HACCP merupakan suatu sistem pengawasan yang bersifat mencegah (preventif) terhadap
kemungkinan terjadinya keracunan atau penyakit melalui makanan. Menurut Hadiwihardjo
(1998), sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting dalam pengawasan dan
pengendalian mutu produk pangan, yaitu : (1) keamanan pangan (food safety), yaitu aspek-
aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan
kebersihan pangan (whole-someness), merupakan karakteristik produk atau proses dalam
kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3) kecurangan
ekonomi (economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan
konsumen. Tindakan ini antara lain meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan
tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label, “overglazing” dan jumlah
yang kurang dalam kemasan.
Konsep HACCP dapat dan harus diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan,
salah satunya adalah dalam industri pangan. Hubeis (1997) berpendapat bahwa penerapan
GMP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu pangan sehingga dapat
dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan
menciptakan kepuasan bagi konsumen.
2.4. Ruang Lingkup Pengawasan Mutu Pangan
Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan dengan
dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran
produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pengawasan mutu karena
hanya produk hasil industri yang bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu
masyarakat konsumen. Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat
berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri, makin
kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya.
Demikian pula, semakin maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin
kompleks kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena
itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina
produksi dan perdagangan produk pangan.
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek kebijaksanaan,
standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan
(Soekarto, 1990). Hubeis (1997) menyatakan bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan
untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan
tersebut. Hal ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat
toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan
pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk
memuaskan konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan
/industri yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan
standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian),
serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha. Menurut Hubeis
(1997), jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan dengan
bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap orang yang berada di dalam maupun di luar bidang
produksi. Jaminan mutu didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan
diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya
diri) dan empathy (keramahtamahan). Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu
program menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi penanganan,
pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk untuk menghasilkan produk
dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang
baik, sehingga jaminan mutu secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh
produk akhir..
Pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan yang dilakukan
berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik.
Di samping menggunakan analisis mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin
canggih, pengawasan mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian
secara inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan
kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik yang
berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan dengan agama dan
kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
2.5. Keterkaitan pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajerial
dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan dan distribusi komoditas.
Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan semata-mata masalah penerapan ilmu dan
teknologi, melainkan juga terkait dengan bidang-bidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain,
yaitu kebijaksanaan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi serta aspek
hukum dan perundang-undangan. Keterkaitan pengawasan mutu pangan dengan kegiatan
ekonomi, kepentingan konsumen, pemerintahan dan lain-lain seperti yang disajikan pada
Gambar 2.
Pada Gambar 2, terlihat bahwa pengawasan mutu pangan di satu pihak melayani berbagai
kegiatan ekonomi dan di lain pihak memerlukan dukungan pemerintah dan insentif ekonomi,
serta dibutuhkan masyarakat. Campur tangan pemerintah diperlukan agar mutu dapat terbina
dengan tertib karena jika terjadi penyimpangan atau penipuan mutu, masyarakat yang
dirugikan. Campur tangan pemerintah dapat berwujud kebijaksanaan atau peraturan-
peraturan, terciptanya sistem standarisasi nasional, dilaksanakannya pengawasan mutu secara
nasional, dan dilakukan tindakan hukum bagi yang melanggar ketentuan. Kegiatan yang
dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan terhadap penerapan
peraturan perundang-undangan pangan Codex Alimentarius Commision (CAC) disebut Food
Control, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing industri dalam
mengendalikan mutu dan keamanan produknya sendiri disebut Food Quality Control
Gambar 2. Keterkaitan Pengawasan Mutu pada Berbagai Kegiatan Ekonomi dan Kehidupan
Masyarakat
Pengawasan mutu juga bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi. Macam-macam kegiatan
ekonomi seperti pengawasan mutu pangan berperan atau terkait ialah dalam keseluruhan
industri pertanian yang menggarap produk pangan dari industri usaha produksi bahan pangan,
sarana produksi pertanian, industri pengolahan pangan dan pemasaran komoditas pangan.
Pengawasan mutu pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat dalam melayani
kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan konsumen. Pengawasan mutu
pangan juga melindungi konsumen terhadap penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga
keamanan konsumen terhadap kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang
berbahaya, beracun dan mengandung penyakit.
Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola pengelolaan dalam industri.
Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian
atau satuan kerja dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan yang maju, pengendalian
mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Penelitian dan pengembangan (R&D)
diperlukan untuk mengembangkan sistem standardisasi mutu perusahaan maupun dalam
kaitannya dengan analisis mutu dan pengendalian proses secara rutin. Dalam kaitan dengan
produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar mutu produksi nasional berkembang sehingga
dapat menghasilkan produk yang aman serta mampu memenuhi kebutuhan dan tidak
mengecewakan masyarakat konsumen. Bagian pemasaran juga harus melaksanakan fungsi
pengawasan mutu menurut bidangnya. Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang
sangat erat antarsatuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu tujuan,
yaitu mutu produk yang terbaik.
2.6. Penerapan Sistem Manajemen Mutu
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai bagian dari
industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis memiliki mata rantai
yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer – (pengangkutan) –
pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut
diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar
jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali
inspeksi pada tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan
pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan, produksi dan
produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu bukan sekedar masalah
pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu barang (product
quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan total quality
management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO seri 9000
(sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004, dan yang terbaru yaitu ISO
22000.
Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah dokumen
yang menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis
tertentu (Jaelani, 1993 dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang diperlukan adalah yang diakui
sebagai alat penjamin terhadap dapat diterimanya suatu produk/jasa tersebut (Hubeis, 1997).
Upaya ini sangat diperlukan karena Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat
dengan negara-negara lain yang menghasilkan barang yang sama atau sejenis. Hal ini juga
perlu disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan ASEAN sekarang ini dan
di kawasan Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta perubahan menuju perdagangan
global dan terjadinya regionalisasi seperti di Eropa dan Amerika Utara.
HACCP adalah pedoman untuk mengidentifikasi bahaya yang mungkin terjadi pada semua
proses produksi (dari tahap produksi primer sampai ditangan konsumen). Dengan kata lain
HACCP ini, di Indonesia bertujuan untuk menjamin keamanan pangan. Dengan
diidentifikasinya semua tahapan produksi, sehingga bisa diminimalisasi kontaminasi bahaya.
Bahaya disini bisa disebabkan oleh zat kimia, kontaminasi mikro/bakteri (biologi), atau zat
asing (fisik, bisa berupa pecahan kaca atau lain sebagainya).
Penerapan dan pendokumentasian HACCP lebih simple dibandingkan ISO. Tapi
HACCP punya tahapan tertentu. Sebelum penerapan HACCP, pabrik (perusahaan) harus
sudah menjalankan GMP dan SSOP dengan baik. Untuk kalangan pabrik tentu sudah tidak
asing lagi, apa itu GMP. Skedar berbagi saja, GMP kependekan dari GOOD
MANUFACTURING PRACTICES. Atau Cara2 berproduksi dengan baik. GMP ini panduan
mendetail dan harus mencakup semua proses produksi, mulai dari ketertiban karyawan, Pest
Control (pengendalian hama), Fasilitas gudang, Kelengkapan rancangan gedung, keamanan,
kesehatan, dan keselamatan kerja.
GMP harus diimplementasikan untuk semua bagian termasuk Processing Area,
Logistik dan Area Penyimpanan (Gudang), Laboratorium, Manufacturing Area,
Maintenance&Engineering, dan manajemen. Semua harus satu kata. Semua bagian harus
secara komitmen dan konsisten mengimplementasikan GMP ini. Oleh sebab itu untuk
memantau implementasi GMP dilapangan perlu dilakukan audit. Audit ini bisa dibagi
menjadi audit internal dan eksternal. Audit internal berasal dari auditor yang ditunjuk dan
diberi kewenangan untuk mengaudit pabrik tersebut. Audit internal ini bisa berasal dari
gabungan karyawan dari berbagi bagian/departemen. Diharapkan audit internal ini bisa
mengevaluasi dan memberi masukan kepada pihak yang bertanggungjwab di
pabrik(perusahaan tsb). Masukan dari auditor internal ini bisa dijadikan acuan untuk diadakan
perubahan kebijakan. Manfaat dari auditor internal ini adalah jika ada temuan bisa dibahas
secara internal pabrik dan tidak perlu sampai banyak pihak tahu. Auditor internal bisa tidak
efektif dalam mengauditnya karena akan bersikap subyektif.
Kesubyektifan ini bisa diganti dengan diadakannya audit eksternal. Auditor eksternal bisa
dari berbagai macam institusi baik milik pemerintah maupun milik swasta. Tapi ada syarat
dalam memilih auditor eksternal, yaitu: institusi auditor eksternal tersebut harus memiliki
akses ke KAN (Komite Akreditasi Nasional). Sudah banyak institusi yang bisa dijadikan
auditor eksternal, salah satunya yang sudah terkenal adalah SGS. Selain GMP ada satu lagi
pedoman yang harus diterapkan, yaitu SSOP. SSOP adalah kependekan dari Sanitation
Standard Operating Procedures.
Tujuan HACCP
Umum
: Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus
keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food borne disease”).
Khusus :
Mengevaluasi cara produksi makanan. Bahaya ?
Memperbaiki cara produksi makanan. Critical process
Memantau & mengevaluasi penanganan, pengolahan, sanitasi
Meningkatkan inspeksi mandiri
Kegunaan HACCP
Mencegah penarikan makanan
·
Meningkatkan jaminan Food Safety
· Pembenahan & “pembersihan” unit pengolahan (produksi)
Mencegah kehilangan konsumen / menurunnya pasien
Meningkatkan kepercayaan konsumen / pasien
Mencegah pemborosan beaya
Prinsip HACCP :
Identifikasi bahaya
Penetapan CCP
Penetapan batas / limit kritis
Pemantauan CCP
Tindakan koreksi thd penyimpangan
Verifikasi
Dokumentasi
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan
Pangan
Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan
analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun
strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk
pangan yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik
maupun global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman,
serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO
14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1).
Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang
menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan
pangan yaitu GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling
Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution
Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).
Tabel 3 Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri
dan konsumen.
PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH INDUSTRIKONSUM
EN
o
P
enyelidikan dan penyedikan kasus
Biaya penyelidikan dan
o
Pena
rikan produk
Penutupan pabrik
Kerugian Penelusuran penyebab Kehilangan pasar dan
pelanggan Kehilangan kepercayaan
konsumen (domestik dan internasional)
Administrasi asuransio
Biaya dan waktu rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen)
Penuntutan konsumen
Biaya pengobatan dan rehabilitasi
Kehilangan pendapatan dan produktivitas
Sakit, pend
analisis Kehilangan
Produktivitas Penurunan ekspor Biaya sosial sekuriti Penganguran
eritaan dan mungkin kematian
Kehilangan waktu
Biaya penuntutan/pelaporan
Konsep Implementasi Quality System dan Safety
SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
KEKUATANKELEMAHAN PELUANG
ANCAMAN
Perkembangan industri pangan yang semakin pesat
Tersedianya UU Pangan dan Peraturan
Tersedianya sistem
Produk pangan didominasi oleh industri kecil/rumah tangga
Kualitas SDM belum memadai
Kelembaga
Globalisasi produk agroindustri
Persaingan internasional yang semakin ketat
Peraturan dan kesepakatan internasional
manajemen mutu dan keamanan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GRP, ISO 9000, ISO 14000 ,dll)
an koordinasi belum terpadu
Penguasaan Iptek yang masih lemah
Keterbatasan dan sumber dana
Kepedulian produsen dan konsumen masih rendah
Keterbatasan infrastruktur (laboratorium, peraturan, pedoman, standar)
(WTO/TBT, SPS, dll)
KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM
PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
(Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)
IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN
Gambar 4. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 5. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional
Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan
distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri
dan konsumen dalam pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
PEMERINTAH
INDUSTRI
(Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer)
KONSUMEN
MASYARAKAT
o
Penyusunan kebijaksanaan strategi, program dan peraturan
Pelakasanaan program
Pemasyarakatan UU Pangan dan peraturan
Pengawasan dan low enforcement
Pengumpulan informasi
Pengembangan Iptek dan penelitian
Pengembangan SDM (pengawas pangan, penyuluh pangan, industri)
Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen
Penyelidikan dan penyedikan kasus penyimpangan mutu
Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll)
Pengawasan mutu dan keamanan produk
Penerapan teknologi yang
o
Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan
Praktek penanganan dan pengolahan pangan yang baik (GCP)
Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan
dan keamanan pangan
tepat (aman, ramah lingkungan, dll)
Pengembangan SDM (manager, supervisor, pekerja pengolah pangan)
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Gambar 6. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan
Secara teknis dalam rangka upaya mempertahankan kualitas produk pangan, dilakukan
upaya-upaya sebagai berikut:
1. Dokumentasi Sistem Mutu
Perusahaan harus membangun dan mempertahankan suatu sistem mutu tertulis
(terdokumentasi), dengan pengertian hal ini akan menjamin produk-produknya sesuai
dengan persyaratan tertentu. Sistem mutu tertulis ini membuat jaminan mutu bersifat
lebih melembaga sebab dokumentasi ini dilakukan menyeluruh terhadap pedoman,
prosedur dan instruksi kerja.
Sistem mutu tertulis bukan sekedar merupakan sesuatu yang diinginkan saja tetapi harus
dikerjakan di lapangan. Sistem mutu terdiri dari manual, prosedur, instruksi kerja, format-
format dan record. Penulisan sistem mutu sebaiknya melibatkan semua karyawan karena
mereka nantinya yang akan mengerjakan dan hasil kerjanya mempengaruhi mutu produk
yang dihasilkan perusahaan.
2. Pengendalian Rancangan
Mutu produk sejak awal tergantung kepada rancangan produk tersebut. Tanpa
merancang mutu kedalam suatu produk, akan sulit mencapai mutu tersebut selama produksi.
Tujuan utama seorang perancang adalah menciptakan suatu produk yang dapat memuaskan
kebutuhan pelanggan secara penuh yang dapat diproduksi pada tingkat harga yang bersaing.
Dengan demikian, proses perancangan yang meliputi perencanaan, verifikasi, kaji ulang,
perubahan dan dokumentasi menjadi sangat penting, terutama untuk produk-produk yang
mempunyai rancangan rumit dan memerlukan ketelitian.
3. Pengendalian Dokumen
Dalam penerapan sistem standar jaminan mutu, perusahaan dituntut untuk menyusun dan
memelihara prosedur pengendalian semua dokumen dan data yang berkaitan dengan sistem
mutu. Tujuan pengendalian dokumen adalah untuk memastikan bahwa para pelaksana tugas
sadar akan adanya dokumen-dokumen yang mengatur tugas mereka. Perusahaan harus
menjamin seluruh dokumen tersedia pada titik-titik dimana mereka dibutuhkan.
4. Pengendalian Pembelian
Pembelian bahan hampir seluruhnya berdampak kepada mutu produk akhir sehingga
harus dikendalikan dengan baik. Perusahaan harus memastikan bahwa semua bahan dan jasa
yang diperoleh dari sumber-sumber di luar perusahaan memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
5. Pengendalian Produk yang Dipasok Pembeli
Adakalanya pembeli produk kita, mensyaratkan penggunaan produknya untuk diguna-
kan dalam rangka memenuhi persyaratan kontrak. Perusahaan bertanggung jawab terhadap
pencegahan kerusakan pemeliharaan, penyimpangan, penanganan dan penggunaannya selama
barang tersebut dalam tanggung jawabnya.
6. ldentifikasi Produk dan Kemampuan Telusur
Identifikasi suatu produk dan prosedur penelusuran produk merupakan persyaratan
penting sistem mutu untuk keperluan identifikasi produk dan mencegah tercampur selama
proses, menjamin hanya bahan yang memenuhi syarat yang digunakan, membantu analisis
kegagalan dan melakukan tindakan koreksi, memungkinkan penarikan produk cacat/rusak
dari pasar serta untuk memungkinkan penggunaan bahan yang tidak tahan lama digunakan
dengan prinsip FIFO (First In First Out).
7. Pengendalian Proses
Pengendalian proses dalam sistem standar jaminan mutu mencakup seluruh faktor
yang berdampak terhadap proses seperti parameter proses, peralatan, bahan, personil dan
kondisi lingkungan proses.
8. Inspeksi dan Pengujian
Meskipun penekanan pengendalian mutu telah beralih pada kegiatan-kegiatan
pencegahan dalam tahap sebelum produksi (perancangan, rekayasa proses dan pembelian)
inspeksi dengan intensitas tertentu tidak dapat dihindari dalam sistem mutu.
9. Inspeksi, Pengukuran dan Peralatan Uji
Pengukuran atau kegiatan pengujian bermanfaat jika hasil pengukuran dapat
diandalkan. Untuk itu alat pengukur atau alat uji harus memenuhi kecermatan dan konsistensi
jika dioperasikan pada kondisi yang biasa digunakan.
10. lnspeksi dan Status Pengujian
Tujuan utama sistem mutu adalah untuk memastikan hanya produk-produk yang
memenuhi spesifikasi sesuai kesepakatan yang dikirim ke pelanggan. Sering dalam suatu
pabrik yang besar, produk yang memenuhi spesifikasi, yang belum diperiksa dan yang tidak
memenuhi spesifikasi berada pada tempat yang berdekatan sehingga mungkin bercampur.
Dengan demikian status inspeksi suatu produk harus jelas yaitu :
produk belum diperiksa
produk sudah diperiksa dan diterima
produk sudah diperiksa tetapi ditolak
11. Pengendalian Produk yang Tidak Sesuai
Dalam sistem produksi harus dapat disingkirkan produk-produk yang tidak sesuai.
Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai prosedur tertulis
untuk mencegah terkirimnya produk-produk yang tidak sesuai kepada konsumen. Jika produk
yang tidak sesuai terdeteksi pada tahap produksi, prosedur yang ada harus tidak membiarkan
produk tersebut diproses lebih lanjut.
12. Tindakan Koreksi
Setiap kegiatan atau sistem operasi dapat saja menyimpang dari kondisi operasi standar
(prosedur) karena berbagai alasan sehingga menghasilkan produk yang tidak sesuai. Sistem
standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai sistem institusional untuk
memonitor kegiatan produksi atau proses. Jika ketidaksesuaian diketahui, tindakan koreksi
harus dilakukan segera agar sistem operasi kembali kepada standar.
13. Penanganan, Penyimpanan, Pengemasan dan Pengiriman
Perusahaan manufaktur terlibat dengan berbagai bahan dan produk, baik dalam bentuk
bahan mentah, produk antara untuk di proses lagi maupun produk jadi. Adalah sangat penting
menjamin bahwa mutu dari semua bahan dan produk tersebut tidak terpengaruh oleh
penyimpanan yang kondisinya kurang baik, penanganan yang tidak tepat, pengemasan yang
tidak memadai dan prosedur pengiriman yang salah.
14. Catatan-Catatan Mutu
Perusahaan harus menyusun dan memelihara prosedur untuk identifikasi pengumpulan.
pembuatan indeks, pengarsipan, penyimpanan dan disposisi catatan mutu. Catatan mutu
memberikan bukti obyektif bahwa mutu produk yang disyaratkan telah dicapai dan berbagai
unsur sistem mutu telah dilaksanakan dengan efektif.
15. Audit Mutu Internal
Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan suatu perusahaan untuk melembagakan
suatu audit sistematis terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan mutu, untuk
mengetahui apakah prosedur dan instruksi memenuhi persyaratan standar .Perusahaan juga
harus bisa mendemonstrasikan bahwa semua operasi dan kegiatan dilaksanakan sesuai
prosedur tertulis dan semua tujuan sistem mutu telah dicapai.
16. Pelatihan dan Motivasi
Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan kebutuhan pelatihan harus
diidentifikasi dengan cermat dan menyiapkan prosedur untuk melaksanakan pelatihan semua
personil yang kegiatannya berkaitan dengan mutu.SukaBe the first to like this.
Tinggalkan Sebuah Komentar »
Belum ada komentar.
Umpan RSS untuk komentar-komentar pada tulisan ini. URI Lacak Balik
Tinggalkan Balasan
Blog Stats
o 186,958 hits
Klik tertinggio flickr.com/photos/8785878… o flickr.com/photos/7735681… o flickr.com/photos/1994434…
Halamano About o BUDIDAYA ANEKA TANAMAN MENGKUDU o CaMPuR_aJaH DeyH o Ciri-ciri Rusaknya Ikan Kaleng o ENERGI PAKAN PADA TERNAK o FERMENTASI SUBSTRAT PADAT o GONDOKUREM o INDUSTRI NON KAYU o Karekteristik Pegalengan Ikan o MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN o MotTo_HidUp o MotTo_HidUp o OBAT TRADISIONAL DAN PEMANFAATANNYA o PENGARUH CUACA, IKLIM dan TANAMAN o Pengaruh tingkat konsumsi BBM masyarakat terhadap cadangan
ENERGI nasional o PENGERTIAN DAN PROSES PRODUKSI o PERACUNAN MAKANAN DAN INFEKSI MAKANAN o PERTANIAN ORGANIK o POLIMER-POLIMER SEMI-SINTETIK o PROBLEMATIK EKONOMI MAHASISIWA o PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN o REAKSI SAPONIFIKASI PADA PROSES PEMBUATAN SABUN o TEKNOLOGI BUDIDAYA ORGANIK o TekNoLoGi_PerTaNiaN
Februari 2013S S R K J S M
« Jun 1 2 3
Februari 2013S S R K J S M
4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 16 1718 19 20 21 22 23 2425 26 27 28
Arsipo Juni 2007
Blogrollo AbouT_FoOd o WordPress.com o WordPress.org
Metao Daftar o Masuk o RSS Entri o RSS Komentar o Blog pada WordPress.com .
Pencarian untuk:
Tulisan Terkinio WeLcoMe To My BLoG…..
Tag Kategori
o Uncategorized
Komentar Terakhir
dincilz on POLIMER-POLIMER SEMI-SINT…
yprawira on REAKSI SAPONIFIKASI PADA PROSE…
yprawira on WeLcoMe To My BLoG……
yprawira on BUDIDAYA ANEKA TANAMAN ME…
Cari
yprawira on REAKSI SAPONIFIKASI PADA PROSE…
Uncategorized
telusuri dan lihat sesukamu !!!!!o PENGERTIAN DAN PROSES PRODUKSI o REAKSI SAPONIFIKASI PADA PROSES PEMBUATAN SABUN o PENGARUH CUACA, IKLIM dan TANAMAN o POLIMER-POLIMER SEMI-SINTETIK o PERTANIAN ORGANIK o OBAT TRADISIONAL DAN PEMANFAATANNYA o MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN o BUDIDAYA ANEKA TANAMAN MENGKUDU o PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN o FERMENTASI SUBSTRAT PADAT
Flickr Photos
More Photos
Tema: Banana Smoothie. Blog pada WordPress.com.
Ikuti
Follow “AbouT_FoOd”
Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com
Sign me up
top related