lp puultrough 0o.docx
Post on 24-Dec-2015
225 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Nama : Rike khoirunnisa Npm : 1206322915
PULLTROUGH
a. Definisi
Salah satu tehnik tindakan pembedahan pada kasus Hirschsprung Disease
dengan pendekatan abdomino perineal dengan membuang lapisan mukosa
rectosigmoid dari lapisan seromuscular kemudian melakukan tarik terobos.
b. Ruang lingkup
Keadaan dimana terjadi daerah aganglion pada segmen tertentu dari system
gastrointestinal hampir 80% terjadi pada segmen rectosigmoid. Dengan gejala
klinis kembung, mekoneum keluar terlambat (> 24 jam awal kehidupan) dan
muntah pada anak lebih besar dengan riwayat konstipasi kronis.
c. Indikasi operasi
Gejala Klinis dan radiologi khas Hirschsprung Disease
Diperkuat dengan hasil patologi (biopsi suction dan atau all layer rectum)
tidak ditemukannya ganglion
d. Kontra indikasi operasi
Neonatus dengan kondisi enterokolitis
Kondisi umum Jelek
e. Diagnosis Banding
Intestinal Neural Displasia
Desmosis Colon
PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Meconeum Ileus
Meconeum Plug Sindrome
Small Lef Colon Sindrome
o Hipotiroid
o Prematuritas
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto abdomen
2. Biopsi rektal
Dengan menggunakan metode biopsi hisap untuk menemukan ada
tidaknya sel ganglion di submukosa dan pleksus saraf intermuskular,
dengan atau tanpa peningkatan jumlah sarat syaraf yang dapat
mendiagnosa adanya megacolon. Biopsi dilakukan tidak lebih dari 1 cm
dari garis pectinate karena secara normal sel ganglion paling banyak
terdapat di rektum distal dan kanal anal. Biopsi hisap juga dapat
memeriksa aktivitas enzim asetilkolinesterase (pada penyakit
hirschsprung, terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase)
3. Barium enema
Merupakan standar dalam menegakkan diagnosa hircshsprung dimana
akan dijumpai 3 tanda khas:
a.tampak daerah penyempitan di bagian rectum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
b. terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan kea
rah daerah dilatasi
c. terdapatnya daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
4. Manometri anorektal
Mempunyai 2 komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap
tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro serta sistem pencatat seperti
polygraph atau komputer.
Cara kerjanya yaitu dengan memasukkan balon ke dalam rektum. Tes ini
menggambarkan respon reflek tekanan spingter interna oleh distensi balon.
Pada kondisi normal, terjadi relaksasi spingter interna dan diikuti kontraksi
spingter eksterna. Tapi pada penderita hirschsprung spingter eksternal
dapat berkontraksi tapi spingter internalnya gagal berelaksasi.
Hasil yang spesifik bagi penderita hirschsprung :
1. Hiperaktivitas bagian yang dilatasi
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik pada bagian yang aganglionik
3. Sampling reflek tidak berkembang
Janin dengan kelainan hirschprung tidak dapat dideteksi melalui USG
g. Macam-macam prosedur Pull-Through
1. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini
diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun
1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum
ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan
anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini
enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung
rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson
melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut
prosedur Swenson I
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana
setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik,
puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di
bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi
parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak
mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi
enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II
kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur
Swenson I
2. Prosedur Duhamel.
Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi
prosedur Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi
kerusakan nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera
daerah pelvis. Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk
menghindari kerusakan tersebut dengan cara melakukan penarikan
kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian posterior rektum.
Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter
sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi
rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara
paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior
dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon
proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus.
Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan
kolon proksimal dengan cara menghindari regangan yang
berlebihan. Setelah segmen kolon yang aganglionik direseksi,
puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi
peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga
retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang
rektum dibebaskan.
Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat
sayatan endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini
segmen kolon proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar
melewati lubang anus dan dibiarkan bebas menggelantung
kemudian dilakukan anastomosis “end to side” setinggi sfingter ani
internus. Anastomosis dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem
Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah
terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum yang
tidak sempurna
3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).
Pada prinsipnya tehnik ini adalah merupakan diseksi ekstramukosa
rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia
ani letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah
irigasi rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik.
( Kartono, 2004 )
Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal,
dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien
terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen
pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter
Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium
kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi
dan direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi
pada kolon distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan
dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong
kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat
insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang berganglion
kemudian ditarik kedistal melewati cerobong endorektal. Sisa
kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong setelah 21 hari.
4. Prosedur Boley.
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan
kolon terlebih dulu ( Kartono, 2004 ).
5. Prosedur Rehbein.
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian
dilakukan anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion
dengan sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Tehnik ini sering menimbulkan obstipasi akibat
sisa rektum yang aganglionik masih panjang.
6. Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra
pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding
posterior rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut
miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1 cm satu strip
dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea
dentata sampai daerah yang berganglion.
7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah
dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan
povidon-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm
diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa
yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal.
Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai
melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa
mukosa (Tore, 2000 ).
Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi
lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal,
feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar
abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi
enterokolitis, konsipasi dan striktur anastomosis.
Pesiapan preoperasi :
Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita, adanya kelainan
bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin, albumin dan pemeriksaan
rontgen dievaluasi secara cermat untuk menentukan ada tidaknya kontraindikasi
pembedahan dan pembiusan. Bila ada dehidrasi, sepsis, gangguan eletrolit,
enterokolitis, anemia atau gangguan asam basa tubuh semuanya harus dikoreksi
terlebih dahulu. Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan pipa
rektum dan kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed
consent dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi,
lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila terjadi
komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi .
Jalannya operasi :
Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung dan kateter.
Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath yang sesuai dengan
umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi pasien tertelungkup Rochadi,
2007).
Setelah dilakukan desinfeksi pada daerah anogluteal kemudian daerah operasi
ditutup doek steril. Irisan pertama dimulai dengan irisan kulit intergluteal
dilanjutkan membuka lapisan-lapisan otot yang menyusun “muscle complex”
secara tumpul dan tajam sehingga terlihat dinding rektum. Lapisan otot dinding
rektum dibuka memanjang sampai terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan
operasi. Identifikasi daerah setinggi linea dentata dilakukan dengan cara
memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm
proksimal linea dentata sampai zone transisi yang ditandai dengan adanya
perubahan diameter dinding rektum. Agar supaya tidak melukai mukosa rektum
maka setelah mukosa menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari
mukosa dengan cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah
terpisah dari mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm
dilepaskan dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini
dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan hematoksilin-
eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner.
Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti semula dengan
benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang plain cat-gut 2/0 dan
lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl 3/0. Dipasang pipa rektum
untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan operasi .
Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprung’s Disease ini dilakukan satu
tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull –through.
Perawatan pasca operasi :
Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila ada indikasi
dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit (ICU) untuk pengamatan pasca
operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah
kembali normal dan kateter dilepas pada hari kedua perawatan. Antibiotik
diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Pengawasan yang teliti pada daerah
perineum untuk mencegah terjadinya infeksi dengan melihat ada tidaknya eritema
atau selulitis. Untuk mencegah ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari kasa
betadin diganti untuk menutup irisan operasi. Apabila tidak ada komplikasi
penderita dapat dipulangkan pada hari ke empat pasca operasi. Dilatasi anorektal
dimulai pada hari ke tujuh pasca operasi dengan menggunakan busi hegar nomer
enam, mula-mula dikerjakan di poliklinik dan kemudian dilanjutkan dirumah.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya striktur. Apabila terjadi
enterokolitis maka diperlukan tindakan pencucian rektum, pemberian antibiotik
dan suspensi kaolin-pekti.
Permasalahan-Permasalahan Pembedahan
Permasalahan pembedahan yang sering dijumpai adalah masalah komplikasi
pasca bedah. Kebocoran anastomosis, stenosis, gangguan fungsi sfingter
ani ,enterokolitis serta mortalitas masih merupakan permasalahan yang serius.
Komplikasi yang timbul dalam 4 minggu pertama merupakan komplikasi dini
pasca bedah. Prosedur bedah manapun yang dipilih mempunyai kecenderungan
untuk menimbulkan komplikasi. Usia pada saat pembedahan, keadaan umum
prabedah, prosedur bedah yang digunakan, ketrampilan dan pengalaman ahli
bedah, antibiotika yang dipakai serta perawatan pasca bedah sangat berpengaruh
untuk terjadinya komplikasi. Lebih muda usia pasien serta keadaan umum
praoperasi yang kurang optimal umumnya lebih sering mengalami komplikasi
(Rehbein, 1966; Langer, 2005).
Prosedur –prosedur operasi tersebut dapat menyebabkan trauma pada persarafan
traktus genitourinarius dan otot-otot dasar panggul yang akan mengakibatkan
masalah pada traktus urinarius bagian bawah. Inkontinensia urin yang terjadi
setelah operasi dengan prosedur Rehbein 5,4%, prosedur Swenson 10,4%,
prosedur Soave 15,3% dan prosedur Duhamel 14,3%.
Perawatan Pasca Operasi.
Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal,
sedangkan kateter dilepas pada hari kedua pasca operasi. Antibiotik dapat
diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Perhatian khusus ditujukan pada daerah
perineum untuk terjadinya eritema dan selulitis yang dapat merupakan tanda awal
dari kebocoran anastomosis.
Dilatasi anorektal dapat dilakukan tiga minggu setelah operasi. Pada penderita
neonatus dilatasi anorektal dapat dilakukan dengan insersi Hegar dilator nomer 6-
7 yang dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya striktur
anastomosis. Irigasi anorektal dapat dilakukan tiga bulan setelah operasi untuk
mencegah enterokolitis.
Beberapa pasien mendapatkan fungsi usus yang normal setelah dilakukan operasi,
akan tetapi pada reseksi usus yang panjang dapat tejadi buang air besar yang
frekwen dan berair sehingga menyebabkan ekskoriasis pada perineum. Pada kasus
yang demikian loperamid dapat diberikan untuk menurunkan frekwensi buang air
besar. Untuk agar feses menjadi padat dapat diberikan kaolin-pectin.
Hartman et al (2006) meneliti masalah fisik dan psikososial penderita penyakit
Hirschsprung yang telah dilakukan operasi dan menyarankan pengamatan pada
inkontinensi feses, inkontinensi urin, konstipasi dan disfungsi sex. Perawatan
pasca operasi yang disarankan adalah dilatasi anus, pemberian laxatif, enema, diet
dan toilet. Perawatan medis harus dilakukan bersama perawatan paramedis yaitu
fisioterapi, pengobatan psikososial dan konsultasi diet.
Masalah keperawatan
1. Risiko tinggi infeksi
2. Kurang volume cairan
3. Gangguan pola nafas
4. Risiko tinggi integritas kulit
Intervensi keperawatan
Perawatan prabedah
1. Pantau status nutrisi anak sebelum pembedahan
a. Beri makanan tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat (sayur
dan buah segar), rendah sisa
b. Gunakan rute makan alternatif jika pasien tidak dapat minum per
oral
c. Kaji asupan dan haluaran secara cermat setiap 8 jam
d. Timbang berat badannya setiap hari.
2. Persiapkan bayi dan anak secara emosional untuk menghadap pembedahan
3. Pantau status klinik prabedah
a. Pantau TTV tiap 2 jam bila perlu
b. Pantau asupan dan haluaran
c. Observasi tanda dan gejala perforasi usus
1) Muntah
2) Peningkatan nyeri tekan
3) Distensi abdomen
4) Iritabilitas
5) Gawat pernafasan (dispnea)
d. Pantau adanya tanda-tanda enterokolitis
e. Ukur lingkaran perut setiap 4 jam (untuk mengkaji distensi
abdomen)
4. Pantau reaksi bayi terhadap persiapan prabedah
a. Enema sampai bersih ( untuk membersihkan usus sebelum
pembedahan)
b. Pasang selang IV
c. Pasang kateter Foley
d. Obat prabedah
e. Uji diagnostik
f. Dekompresi lambung dan usus ( NGT atau selang rektal)
g. Puasa selama 12 jam sebelum operasi
Perawatan pascabedah
1. Pantau dan laporkan status pascabedah anak
a. Auskultasi kembali adanya bising usus
b. Pantau TTV tiap 2 jam sampai stabil, kemudian setiap 4 jam
( tergantung protocol RS)
c. Pantau adanya distensi abdomen ( pertahankan kepatenan NGT)
2. Pantau status hidrasi anak ( tergantung status anak dan protokol RS)
a. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
b. Ukur dan catat drainase nasogastrik
c. Ukur dan catat drainase kolostomi
d. Ukur dan catat drainase kateter Foley
e. Pantau infuse IV (jumlah, kecepatan, infiltrasi)
f. Observasi adanya gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia
atau hipokalemia)
3. Observasi dan laporkan adanya tanda-tanda komplikasi
a. Obstruksi usus karena perlengketan, volvulus, atau infusupsi
b. Kebocoran pada anastomosis
c. Sepsis
d. Fistula
e. Enterokolitis
f. Frekuensi defekasi
g. Konstipasi
h. Perdarahan
i. Kambuhnya gejala
4. Usahakan kembalinya peristaltic
a. Perhatikan kepatenan NGT
b. Irigasi dengan air garam normal setiap 4 jam dan bila perlu
5. Tingkatkan dan pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
a. Catat asupan per rute (IV, oral)
b. Catat haluaran per rute ( urin, feses, emesis, stoma)
c. Konsultasikan dengan dokter jika terdapat ketidakcocokan
6. Atasi atau kurangi nyeri dan ketidaknyamanan
a. Pertahankan kepatenan NGT
b. Pertahankan posisi yang nyaman
c. Pantau respon anak terhadap pemberian obat
7. Cegah infeksi
a. Pantau tempat insisi
b. Berikan perawatan kateter Foley setiap pergantian dinas
c. Ganti balutan bila perlu (perianal dan kolostomi)
d. Rujuk pada pedoman prosedur institusi untuk perawatan yang
berhubungan dengan prosedur tertentu
e. Ganti popok dengan sering untuk menghindari kontaminasi feses
8. Lakukan intervensi yang spesifik untuk prosedur; rujuk pada prosedur
institusi
9. Beri dukungan emosi pada anak dan keluarga
Referensi
Adele, Pillitteri. 1995. Maternal and Child Health Nursing : Care of the
Childbearing and Childbearing Family 2nd ed. Philadelphia: J.B Lippincott
company
Behrman, R. E. 1992. Nelson Textbook of Pediatric 14th edition. Philadelphia :
W.B Saunders
Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri : alih bahasa Tambayong ;
editor edisi Bahasa Indonesia, Sari Kurnianingsih-Ed.3. Jakarta : EGC
Bullock, B. L. 1996. Pathophysiology Adaptations and Alterations in Function. 4th
ed. Philadelphia : Lippincott
Copstead, L. C and Banasih S. L. 2005. Pathophysiology 3rd edition. St Louise :
Elsevier Saunders
Hockenberry, Marilyn J et all. 2003. Wong’s Nursing Care of Infants and children
7th ed. St Louise : Mosby. Inc
Leifer, G. 1999. Thompson’s Introduction to Maternity and Pediatric Nursing. 3rd
ed. Philadelphia : W.B Saunders Company
Mc Cance, K. L and Huether. S. E. 1998. Pathophysiology the Biologic. Basic for
Disease in Adult and Children. Philadelphia : Mosby
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : FKUI
Tortora, Gerard. J. 1996. Principles of anatomy and Physiology. 8th,ed. Newyork :
Harpercollins
top related