mahkamah konstitusi republik indonesia · korupsi di indonesia. kpk dibentuk melalui uu no. 30...
Post on 09-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
LAPORAN PENELITIAN
Tafsir Konstitusional Dalam Pengujian Undang-Undang
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tim Peneliti
Ketua Tim : Bisariyadi 19790103 200604 1 003
Anggota : Putria Gusti Asih 19840616 201012 2 002
Abdul Ghoffar 19800701 200712 1 001
PUSAT PENELITIAN, PENGKAJIAN PERKARA DAN PENGELOLAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
JAKARTA 2013
D A F T A R I S I
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 5
E. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran) 5
1. Tafsir Konstitusi 5
2. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 7
3. Tindak Pidana Korupsi 9
F. Metodologi Penelitian 12
G. Sistematika Penelitian 13
BAB II PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI 15
A. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Norma
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 18
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 18
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 29
B. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Tetap Memberlakukan
Norma Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 33
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-X/2012 33
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-X/2012 36
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 39
BAB III ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 43
A. Kontroversi Dihapuskannya Elemen “Sifat Melawan Hukum Secara
Materiil” 43
B. Penguatan Kelembagaan KPK Melalui Pemilihan Pimpinan Lembaga 59
C. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 75
BAB IV KESIMPULAN 108
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama
media massa lokal dan nasional. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran
hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Kata korupsi berasal dari Bahasa
Latin, corruptio yang berarti kemerosotan moral, perilaku jahat, kebusukan atau
kebobrokan (moral decay, wicked behaviour, putridity or rottenness).1 Lazimnya
korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan
pribadi, namun karena makin meluasnya swastanisasi diberbagai bidang, definisi
tersebut dirumuskan oleh Transparancy International secara luas menjadi abuse of
entrusted power for private gain. Dengan demikian korupsi adalah penyalahgunaan
kekuasaan yang diberikan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta untuk
keuntungan pribadi yang tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan tersebut, tetapi juga bagi anggota keluarganya dan
teman-temannya.2
Korupsi bukan hanya merupakan permasalahan moral tetapi juga permasalahan
multidimensional (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang menyebabkan banyak
ekses negatif. Dalam area politik, korupsi melemahkan nilai demokrasi dan good
governance dengan mengancam proses formal serta menghilangkan kepercayaan
1 Corruption and Human Rights: Making the Connection, International Council on Human Rights Policy, Versoix, Switzerland, 2009, hlm. 15.
2 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 2 dan 6.
terhadap pemerintah yang terpilih. Dalam pemilihan umum dan dalam badan
legislative, Korupsi juga mengurangi akuntabilitas dan reperesentasi dalam
pembuatan kebijakan. Sementara dalam bidang peradilan, korupsi menghambat the
rule of law. Sedangkan dalam bidang administrasi publik, korupsi menghasilkan
perbedaan perlakuan dalam pelayanan.3 Tidak hanya itu, dalam bidang ekonomi,
korupsi ditenggarai sebagai salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Bahkan beberapa penelitian mengatakan bahwa korupsi dianggap
melanggar HAM dan merupakan faktor yang secara tidak langsung menyebabkan
kemiskinan karena menghambat pembangunan ekonomi.
Penyebab terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi,
yaitu rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan
hidup dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin), budaya
malu yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan efek jera,
penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, dan
kurangnya pengawasan hukum.
Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi
budaya. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus korupsi di
Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari
183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Dalam upaya
pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun semua
elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi yang diberi
kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain Komisi Pemberantasan
3 A Handbook on Fighting Corruption, Technical Publication Series, Center for Democracy and Governance USAID, Washington, D.C., 1999, hlm. 5.
2
Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga peradilan. Adanya KPK
merupakan salah satu langkah berani pemerintah dalam usaha pemberantasan
korupsi di Indonesia.
KPK dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korupsi yakni pembentukan KPK merupakan langkah positif yang
dilakukan oleh pemerintah dan DPR sehingga kejahatan korupsi ini kembali ditakuti
olek koruptor yang semenjak dekade silam penegakan hukum mengalami krisis.
Dalam menangani kasus korupsi, yang harus disoroti adalah oknum pelaku dan
hukum. Kasus korupsi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
sehingga membawa dampak buruk pada nama instansi hingga pada pemerintah
dan negara. Hukum bertujuan untuk mengatur, dan tiap badan di pemerintahan
telah memiliki kewenangan hukum sesuai dengan perundangan yang ada. Namun,
banyak terjadi tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan oleh banyaknya
campur tangan politik buruk yang dibawa oleh oknum perorangan maupun instansi.
Masalah lain dalam upaya pemberantasan korupsi adalah mengenai legal
substance. Peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi terkadang juga memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya
korupsi. Sebab UU dibuat atas dasar pertarungan kepentingan politik di Parlemen.
Perbedaan persepsi dan pandangan terhadap suatu norma dalam peraturan
perundang-undangan terkait korupsi dapat melemahkan upaya pemberantasan
korupsi. Di sinilah pentingnya sebuah lembaga negara yang berwenang menguji
konstitusionalitasnya dengan UUD 1945.
3
Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, telah memeriksa
23 permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan korupsi, yaitu
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tentag Perubahan Atas Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini paling tidak Mahkamah telah menguji kurang
lebih 102 norma dalam undang-undang tentang korupsi. Dari 23 permohonan
pengujian undang-undang terkait korupsi tersebut, Mahkamah hanya mengabulkan
(atau mengabulkan sebagian) empat permohonan yang diajukan padanya. Lima
belas permohonan ditolak, dan sisanya tidak dapat diterima.
Oleh karena itulah, diperlukan sebuah penelitian yang mendalam mengenai
putusan-putusan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
tafsir konstitusional terhadap norma dalam undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi. Hal ini penting, meningat perkembangan hukum pemberantasan
korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari putusan-putusan MK khususnya
dalam pengujian undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Perkara pengujian undang-undang terkait pemberantasan tindak pidana korupsi
apa saja yang telah diuji di Mahkamah Konstitusi dan bagaimana tafsir
Mahkamah Konstitusi terhadap norma yang diuji dalam pengujian undang-
undang tersebut?
4
2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan
pembatalan norma dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui norma-norma yang masih dan tidak lagi berlaku berkaitan dengan
pengujian Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
sehubungan dengan pengujian Undang-Undang di Indonesia
2. Mengetahui kondisi (implementatif) pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya dalam hal tindak pidana korupsi. Selain itu, diharapkan juga bisa
bermafaat bagi para pemegang kebijakan politik hukum pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia serta dapat dijadikan sebagai referensi untuk
memperkaya wacana politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.
E. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran)
1. Tafsir Konstitusi
Mahkamah Konstitusi lahir setelah era reformasi. Tepatnya setelah perubahan
tahap tiga UUD 1945. Melalui Pasal 24C lembaga ini diberikan 4 kewenangan, yaitu
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
5
menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan
salah satu kewenangan utama MK. Peran MK dalam judicial review menjadi penting
karena bagaimanapun, suatu undang-undang berdasarkan proses
pembentukannya adalah sebuah produk politik. Dalam konteks ini, fungsi judicial
review oleh MK bukan saja berperan penting dalam menjaga agar produk politik
tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi melainkan juga dalam pengertian
yang lebih luas yaitu menerjemahkan institusi dan kerangka hukum yang
demokratis ke dalam realitas.4 Kewenangan Mahkamah dalam hal pengujian
undang-undang ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan penafsiran
konstitusi.
Istilah ‘penafsiran konstitusi’ merupakan terjemahan dari constitutional
Interpretation yang berbeda dengan ‘interpretation of statutes’ Penafsiran konstitusi
merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law.
Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah penafsiran yang digunakan
sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding) berdasarkan
konstitusi atau undangundang dasar yang digunakan atau berkembang dalam
4 Violaine Autherman dan Keith Henderson, dalam I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitetaraan MKRI, 2008, hlm 14.
6
praktik peradilan MK. Metode penafsiran diperlukan karena peraturan perundang-
undangan tidak seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak
membuka penafsiran lagi.5
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode
interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut: (1)
interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa; (2) interpretasi teleologis
atau sosiologis; (3) interpretasi sistematis atau logis; (4) interpretasi historis; (5)
interpretasi komparatif atau perbandingan; (6) interpretasi futuristis.6
Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan
oleh hakim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya.
Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan menggunakan satu
metode interpretasi konstitusi tertentu saja. Hakim memiliki kebebasan untuk
memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran konstitusi mana yang
diyakininya benar. Dengan demikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk
memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu.
2. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam lingkungan pengadilan, penggunaan istilah “putusan” dibandingkan dengan
“keputusan” untuk menunjuk pada produk hukum hakim yang dikeluarkan setelah
melalui proses peradilan lebih lazim digunakan. Istilah tersebut dirasa lebih tepat
digunakan mengingat sifat kekhususan lembaga peradilan dibandingkan sifat
5 http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/Penafsiran-Konstitusi.pdf 6Ibid.
7
pekerjaan lembaga-lembaga negara lainya.7 Putusan peradilan pada dasarnya
merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri
sengketa yang dihadapkan kepadanya.8
Berbeda dengan putusan peradilan yang berada dalam lingkup peradilan
Mahkamah Agung, Putusan peradilan konstitusi (MK) dalam konteks pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar pada dasarnya menguji
konsistensi dan koherensi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya
terhadap UUD 1945. Putusan MK tentang pengujian suatu undang-undang
terhadap UUD adalah merupakan sebuah produk hukum hakim konstitusi, yang
dapat menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian atau bahkan
keseluruhan dari undang-undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada dasarnya putusan yang dijatuhkan MK bersifat erga omnes. Hal ini terkait
dengan hakikat perkara yang diadili oleh MK. Objek putusan MK biasanya
menyangkut kepentingan bersama dan semua orang. Dalam pengujian undang-
undang misalnya, dimana UU sendiri mengikat secara umum kepada semua warga
negara, sehingga dengan dinyatakan tidak mengikatnya UU tersebut, maka
kekuatan hukum mengikat putusan tidak hanya berlaku terhadap pemohon, tetapi
juga terhadap semua warga negara.9 Selain itu putusan MK bersifat final dan
7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, 2005), hal. 278.
8 Maruarar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2010), hlm. 78. 9 Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua. Sebagai
contoh sebuah hak kepemilikan adalah sebuah hak erga omnes, dan karena itu dilaksanakan terhadap siapa pun yang melanggar hak itu. Sebuah hak erga omnes (a statutory right/ hak undang- undang) di sini dapat dibedakan dari hak yang timbul berdasarkan kontrak, yang hanya dilaksanakan terhadap pihak yang membuat kontrak (inter partes). Miftakhul huda, Erga Omnes, Majalah Konstitusi No. 45-Oktober 2010.
8
mengikat. Hal ini jelas dinyatakan dalam ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945.
Final, bermakna bahwa sejak dibacakan dalam persidangan, putusan MK
mempunyai kekuatan hukum tetap, sekaligus mengikat untuk dilaksanakan.
Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat
declaratoir, condemnatoir dan constitutif. Sifat putusan condemnatoir ini dapat
dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sedangkan
Putusan yang bersifat declaratoir nampak jelas dalam amar putusan pengujian
undangundang oleh MK. Lebih lanjut Maruar Siahaan, mengatakan bahwa setiap
putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-
undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat
constitutief. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan
hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Sehingga Putusan MK dalam pengujian undang-undang
bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan
hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. 10
3. Tindak Pidana Korupsi
Penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh ahli hukum berbeda-beda.
Ahli hukum memiliki penafsiran sendiri yang dimana penafsiran dari defenisi atau
10 Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon. Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Maruarar Siahan, Ibid. hlm. 240 – 242.
9
pengertian korupsi mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Tidak hanya ahli
hukum yang memiliki penafsiran yang berbeda terhadap defenisi ataupun
pengertian korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi memiliki penafsiran
yang berbeda-beda dalam menafsirkan dari defenisi atau pengertian korupsi. Ada
beberapa penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh beberapa ahli dan
Undang-Undang.
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau “Corruptus” yang berarti
kerusakan atau kebobrokan,atau dengan kata lain “Corruptio” juga berarti
perbuatan yang tidak baik, buruk curang, dapat disuap, tidak bermoral,
menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental, dan
hukum.11 Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan
kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh para
pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum, sedangkan
menurut norma-norma pemerintah adalah apabila hukum dilanggar atau apabila
melakukan tindakan tercela dalam bisnis.
Korupsi dalam Kamus Ilmiah populer mengandung pengertian kecurangan,
penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan sendiri,
pemalsuan.Yang menjadi landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini adalah: (a) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi; (b) Undang-Undang No. 28 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme; (c) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan
11 IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktek Bisnis Pemberdayaan Penegak Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi.. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 7-8. 35 Ibid., halaman 8. 36 Partantanto.P.A., Al Barry, M.D. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, halaman 375. 37 IGM. Nurdjana, Op.,Cit., halaman 10.
10
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan (d) Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana Korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
mencakup perbuatan-perbuatan sebagai berikut: secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU
No. 31 Tahun 1999). Undang-undang tersebut juga melarang orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999); memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
Korupsi bukan hanya masalah Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah seluruh
bangsa. Oleh sebab itu lahirlah United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC) dimana Indonesia sudah meratifikasi dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 2006. Beberapa Pengertian Korupsi berdasarkan UNCAC itu antara lain
adalah: (a) Penyuapan, Janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat
11
publik/swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik/swasta/
internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya
untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu
bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka
untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut; (b) Penggelapan,
penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional;
(c) Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.
F. Metodologi Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,
digunakan metode penelitian yuridis Normatif (hukum normatif), dengan
pendekatan pendekatan yuridis (pendekatan perundang-undangan),12 pendekatan
historis13 dan berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi permasalahan yang ada.
Pendekatan yuridis akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum
primer,14 bahan hukum sekunder15 dan bahan hukum tersier.16 Sumber Data/
Bahan Hukum Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data data
primer (primary data) dan sekunder (secondary data). Studi Kepustakaan terhadap
data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan
12 Peter Mahmud Marzuki menggunakan istilah pendekatan undang-undang (statute approach). Menurutnya, statute approach dilakukan untuk menelaah semuah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 93.
13 Pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Ibid., hal. 94.
14 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hokum yang mengikat, berupa; norma/kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, dan lain sebagainya. Valerine J.L. Kriekhof, dkk., “Metode Penelitian Hukum (Seri Buku Ajar),” Buku A, (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 27.
15 Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, yang berupa; buku, skripsi, thesis, dan lain-lain. Ibid, hal. 28.
16 Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder atau disebut juga sebagai bahan penunjang, yang berupa; Kamus, Eksiklopedi, Indeks, dan lain-lain. Ibid.
12
mencari dan mengumpulkan serta mengkaji peraturan perundang-undangan,
rancangan undang-undang, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan,
rancangan undang-undang, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan
makalah seminar yang berhubungan dengan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari
penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif
kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data
yang diperoleh dari penelitian pustaka mengenai, teori-teori, asas-asas, dan kaidah-
kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan.
G. Sistematika Penelitian
Adapun kerangka penelitian ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang Masalah
I. Rumusan Masalah
J. Tujuan Penelitian
K. Manfaat Penelitian
L. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran)
4. Tafsir Konstitusi
5. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
6. Tindak Pidana Korupsi
M. Metodologi Penelitian
13
N. Sistematika Penelitian
BAB II PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK
PIDANA KORUPSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI
C. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Norma Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi
1. PUTUSAN NOMOR 003/PUU-IV/2006
2. PUTUSAN NOMOR 5/PUU-IX/2011
D. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Tetap Memberlakukan Norma
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
4. PUTUSAN 39/PUU-X/2012
5. PUTUSAN 81/PUU-X/2012
6. PUTUSAN 31/PUU-X/2012
BAB III ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
D. Kontroversi Dihapuskannya Elemen “Sifat Melawan Hukum Secara Materiil”
E. Penguatan Kelembagaan KPK Melalui Pemilihan Pimpinan Lembaga
F. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
BAB IV KESIMPULAN
14
BAB II
PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa korupsi adalah kejahatan yang dimasukkan
dalam dikategorikan tindak pidana “luar biasa”. Disebut luar biasa karena umumnya
dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu
daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan punya dampak “merusak”
dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi
semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum biasa, terlebih jika
korupsi sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat.17
Oleh karenanya diperlukan sebuah lembaga penegak hukum yang tidak biasa untuk
menangani persoalan tersebut. di sinilah peran penting dari Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk pada tahun 2003 melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui UU tersebut, lembaga ini
diberikan kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan lembaga penegak
hukum sejenis, maka tidak heran jika KPK dijuluki lembaga superbody.
Kalau dirunut dari sejarah pembentukan KPK, lembaga ini lahir tidak terlepas dari politik
hukum pada masa itu, yaitu adanya delegitimasi lembaga penegak hukum yang telah
ada. Lembaga kepolisian dan kejaksaan kehilangan kepercayaan dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Kepolisian dan kejaksaan dinilai gagal dalam
17 Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya dan Tanzania), hlm. 5. Diambil dari acch.kpk.go.id/.../Komisi-Anti-Korupsi-di-Luar-Neger..., pada tanggal 22 Oktober 2013.
15
memberantas korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum maka pemerintah membentuk KPK sebagai sebuah
lembaga negara baru yang diharapkan dapat mengembalikan citra penegakan hukum
di Indonesia. Tingginya beban kerja lembaga yang telah ada sehingga diperlukan
lembaga baru sebagai pelengkap. Demi tercapainya pelayanan publik yang optimal
bagi masyarakat, maka pemerintah memandang perlu untuk membentuk lembaga baru,
dalam hal ini beban kerja kepolisian dan kejaksaan dianggap terlalu banyak sehingga
banyak terjadi tunggakan perkara.18
Sebagai langkah penyesuaian negara terhadap perkembangan sistem ketatanegaraan
dan tuntutan masyarakat perubahan sistem ketatanegaraan RI memaksa negara
melakukan reformasi dalam berbagai lini, termasuk reformasi kelembagaan. Beberapa
lembaga Non Struktural dibentuk untuk mengakomodir hal ini, termasuk penegakan
supremasi hukum, perbaikan citra pengadilan. Perkembangan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu yang diselenggarakan oleh organisasi pemerintahan yang
semakin kompleks, sehingga tidak dimungkinkan lagi dikelola secara regular dalam
organisasi yang bersangkutan. Dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance). Timbul pemikiran bahwa dengan dibentuknya lembaga-
lembaga tambahan yang bersifat non struktural akan lebih membuka peluang dalam
upaya menerapkan prinsip-prinsip good governance. Perlu disadari bahwa
pembentukan KPK beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia
18 Fitria, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai Lembaga Negara Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, diambil dari jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/.../976, pada tanggal 22 Oktober 2013.
16
dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa
dengan kewenangan yang luar biasa pula.19
Salah satu lembaga negara yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian
agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam
pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.20 Meski demikian, lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak masuk dalam UUD 194 .
Menurut Jimly Assiddiqie, lembaga-lembaga seperti KPK meski tidak secara eksplisit
disebut keberadaannya dalam UUD 1945, namun sejalan dengan prinsip Negara
Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lembaga-lembaga negara
tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
tatanegara (constitutional law). Apalagi, secara konstitusional keberadaanya dapat
dilacak berdasarkan perintah implisit ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sendiri
yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak
hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang, baik KPK maupun Kejaksaan,
dapat disebut memiliki “constitutional importance” sebagai lembaga-lembaga
konstitusional di luar UUD 1945.21
Lagi pula, kata Jimly Assiddiqie, seperti dikemukakan oleh A. V. Dicey22 ataupun C. F.
Strong, “constitutional law” itu sendiri tidak hanya bersumber pada hukum konstitusi
yang tertulis, tetapi juga berdasarkan berdasarkan konstitusi yang tidak tertulis. Yang
19 Ibid. 20 Ibid., hlm. 2. 21Jimly assiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945, Diambil dari www.jimly.com. Pada
tanggal 22 oktober 2013. 22 Albert Venn Dicey, The Laws of the Constitution, (ed. E.C.S. Wade), 10th edition, 1959.
17
dimaksud dengan “the laws of the constitution” dalam arti yang tertulispun tidak hanya
menyangkut teks undang-undang dasar, tetapi juga undang-undang tertulis juga dapat
menjadi sumber dalam hukum tatanegara (the sources of constitutional law)23. Oleh
karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan
Komnasham, meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, kedudukannya
tetap memiliki “constitutional importance” yang sama pentingnya dengan Kepolisian
Negara (POLRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kedudukan dan
kewenangannya secara khusus diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.24
Oleh karenanya tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih penting
daripada Kejaksaan Agung atau KPK hanya karena ketentuan mengenai Kepolisian
tercantum dalam UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dan
KPK sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Disinilah letak
pentingnya ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang membuka ruang bagi diakuinya
“badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman [yang]
diatur dalam undang-undang” sebagai lembaga-lembaga yang juga memiliki
“constitutional importance” seperti lembaga-lembaga lain yang keberadaannya disebut
secara eksplisit dalam UUD 1945.25
A. BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MEMBATALKAN NORMA
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
1. PUTUSAN NOMOR 003/PUU-IV/2006
23 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cetakan ke-2, Konpres, Jakarta, 2005. 24 Ibid. 25 Ibid.
18
Dalam permohonan ini, Pemohon terdakwa tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam:
1. Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana”;
2. Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHPidana”.
Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,
Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) UU
PTPK tersebut sangat bertentangan dengan atau melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Dalam hal ini kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai pengertian ganda. Pasal-
pasal yang dimohonkan untuk diuji secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) UU PTPK:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
“Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
19
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat"
sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan,
bukan dengan timbulnya akibat.”
b. Pasal 3 UU PTPK:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh
tahun) dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Penjelasan Pasal 3 UU PTPK:
”Kata “dapat” dalam ketentuan tersebut diartikan sama dalam dengan
Penjelasan Pasal 2”
Dengan demikian, menurut Pemohon adanya kata “dapat” pada kedua pasal
tersebut, baik pada Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU PTPK, mengakibatkan adanya
2 (dua) jenis tindak pidana korupsi yang terdapat di masing-masing pasal, yaitu:
20
a. Suatu tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara (kerugian negara sudah terjadi
secara riil dan nyata).
b. Suatu tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara (kerugian negara tidak terjadi).
Kedua tindak pidana korupsi tersebut menimbulkan akibat yang sangat berbeda dan
bahkan sangat bertolak belakang, sehingga seharusnya kedua tindak pidana tersebut
tidak boleh digabung dalam satu pasal, melainkan dibuat dalam pasal yang terpisah
dan berdiri sendiri-sendiri. Dengan digabungkannya kedua tindak pidana dalam satu
pasal menyebabkan kedua tindak pidana berbeda (yang merugikan negara dengan
yang tidak merugikan negara) diancam dengan hukuman yang sama. Seharusnya
besarnya ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi tersebut harus dibedakan
antara satu dengan yang lain. Artinya, terhadap tindak pidana korupsi yang telah
merugikan negara, ancaman hukumannya lebih berat dibandingkan dengan tindak
pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pemohon juga menguji Pasal 15 UU PTPK menyebutkan, “Setiap orang yang
melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, maka untuk
percobaan tindak pidana korupsi dalam kedua pasal tersebut disamakan ancaman
hukumannya, baik kepada tindak pidana korupsi yang telah nyata- nyata merugikan
negara maupun kepada tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara.
Ketentuan yang menyamakan ancaman hukuman tersebut, secara jelas telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi siapa saja yang dikenakan
21
dengan ancaman hukuman yang demikian, karena percobaan tindak pidana korupsi
dapat dihukum berat dan dimungkinkan dijatuhi pidana penjara lebih berat dari tindak
pidana (pokok) korupsi itu sendiri. Padahal dalam percobaan tindak tindak pidana
korupsi, perbuatannya sendiri belumlah selesai, apalagi akibatnya belum ada sama
sekali.
Dengan demikian jelas bahwa, selain menimbulkan berbagai penafsiran (multi tafsir),
Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan
Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) UU PTPK, bertentangan atau
melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 khususnya anak kalimat “kepastian hukum
yang adil”.
Dalam permohonan ini, Pemohon juga memohon putusan provisi berupa penghentian
sementara pemeriksaan atas diri Pemohon sebagai Terdakwa di Pengadilan Negeri
Jakarta Timur dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dalam registrasi
perkara Nomor 36/Pid/B/2006/ PN.JKT.TIM atau membuat rekomendasi yang
diperlukan yang sifatnya mengikat kepada lembaga negara lain yang terkait, yaitu
Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur melalui Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, untuk menangguhkan sementara proses
persidangan sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan ini. Hal
yang mendasari permohonan provisi tersebut adalah jika ternyata Mahkamah
mengabulkan permohonan ini, maka dasar dari Jaksa Penuntut Umum dan Majelis
Hakim untuk menuntut dan mengadili Terdakwa di pengadilan akan menjadi hilang.
Akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengikat ke depan (prospektif).
22
Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak akan mengikat terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa pemahaman kata “dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan
dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat”
menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur
perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan.
Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1)
tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa
”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak
pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup
dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya
akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang
menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana
korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara
tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan
keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat
dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti
tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas
akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu
23
mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat
atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa
bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan
memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah
terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai
delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik
formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi.
Hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang
bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena,
keberadaan kata ”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya
ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana
korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat
dijatuhi pidana.
Asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan
kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua
hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan
dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud
mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut
sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan
mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi,
secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi.
Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi,
24
yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah
dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam
analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.
Dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian
mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau
perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah
berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus
dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum
terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor
kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang
memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan
dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat
dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat”
dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam
praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma;
Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa ”dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian
hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally
constitutional).
Mengenai unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam Penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU PTPK yang tidak hanya mencakup formele wederrechtelijkheid melainkan juga
25
materiele wederrechtelijkheid, sehingga meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat
onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu
norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela
menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar
kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang
dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur
melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah
hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan
atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk
menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum,
meskipun hanya dilihat secara materiil.
Dengan demikian Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan
hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah
melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak
tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat
dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang
dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum
dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang
berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di
26
satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi
bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;
Padahal penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak
boleh: 1) mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan; 2)
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan
lebih lanjut 3) Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.
Merujuk pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakui dan melindungi hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang
pasti, yang dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang
dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan
akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu
peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada.
Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum,
yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa
atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga
karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege
stricta;
Sehingga menurut Mahkamah, konsep melawan hukum materiil (materiele
wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan,
kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma
keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu
lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang
27
melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai
sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam
kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan
dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang
mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini
mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Mengenai delik percobaan dalam Pasal 15 UU PTPK yang ancaman pidananya
disamakan dengan delik yang telah selesai (voltoid delict), Mahkamah berpendapat
bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan,
karena hal ini merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan
oleh sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang
berbunyi, “Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.
Rumusan Pasal 15 UU PTPK, merupakan pencerminan legal policy pembentuk
undang- undang, yang dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di
28
Indonesia telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan cara-
cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.
Dengan demikian dalam permohonan ini, Mahkamah mengabulkan hanya sepanjang
menyangkut permohonan atas Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi,
”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
bertentangan dengan UUD 1945;
2. PUTUSAN NOMOR 5/PUU-IX/2011
Dalam permohonan ini Para Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan
kejelasan tafsir masa jabatan pimpinan KPK pengganti dikaitkan dengan penerapan
Pasal 34 UU 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Permohonan ini diajukan Para Pemohon terkait dengan masa jabatan Busyro
Muqaddas yang pada saat itu telah dipilih oleh Komisi III DPR RI menggantikan
Antasari Azhar. DPR saat itu beranggapan bahwa masa jabatan Busyro sebagai
29
pimpinan KPK pengganti adalah satu tahun saja, meneruskan sisa masa jabatan
pimpinan KPK yang digantikannya. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR menyandarkan
tafsir masa jabatan pimpinan KPK pengganti pada Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 di
yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial. Sehingga bila
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 34, masa jabatan pimpinan pengganti KPK berakhir
secara bersamaan.
Menurut Para Pemohon penafsiran seperti itu berpotensi melanggar asas kemanfaatan
dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Seharusnya menurut
Para Pemohon ketentuan masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU
KPK harusnya berlaku tidak hanya terhadap pimpinan KPK akan tetapi juga kepada
pimpinan KPK pengganti. Hal itu sesuai dengan metode penafsiran sistematis, logis,
teleologis, dan analogis sebagaimana diuraikan dibawah ini:
− Masa jabatan Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KPK,
tidaklah terkait dengan klausul bekerja secara kolektif sebagaimana ketentuan
Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Penjelasan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK
menerangkan bahwa yang dimaksud dengan frasa “bekerja secara kolektif” mengacu
pada mekanisme pengambilan keputusan oleh para Pimpinan KPK yang tidak tepat
jika disamakan dengan masa jabatan Pimpinan KPK secara kolektif.
− Pemaknaan Pasal 33 ayat (1) mengenai pimpinan KPK pengganti juncto Pasal 34
mengenai masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun, harus dilakukan sesuai
dengan tujuan dan fungsinya dalam menjawab kebutuhan masyarakat atas
pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembatasan waktu bagi Pimpinan KPK
pengganti sepanjang waktu sisa Pimpinan KPK yang digantikannya hanya akan
30
menyebabkan ketidakefektifan pemberantasan korupsi karena pimpinan pengganti
tidak memiliki waktu yang cukup untuk merealisasikan visi dan misinya dalam
pemberantasan korupsi dan hanya akan mampu memenuhi formalitas pengisian
masa jabatan.
− Landasan pemikiran yang menyamakan masa jabatan Pimpinan KPK Pengganti
dengan masa jabatan anggota DPR pengganti dalam mekanisme pergantian
antarwaktu (PAW) adalah penafsiran keliru. Hal itu dikarenakan proses pergantian
anggota DPR melalui PAW berbeda dengan proses seleksi anggota DPR yang
masuk ke lembaga legislatif berdasarkan proses pemilihan umum langsung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 Sehingga
pergantian tersebut menyebabkan masa jabatan anggota DPR yang masuk
malalui mekanisme PAW hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari anggota DPR
yang digantikannya.
Dengan demikian menurut para Pemohon, UU KPK sama sekali tidak membedakan
masa jabatan Pimpinan KPK yang dipilih terlebih dahulu dengan masa jabatan
Pimpinan KPK yang digantikan, yakni sama-sama mempunyai masa jabatan empat
tahun.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa adanya perbedaan
penafsiran a n t a r a P a r a P e m o h o n d e n g a n D P R d a n P r e s i d e n
yang demikian menimbulkan persoalan konstitusional yang harus dinilai oleh
Mahkamah, yaitu penafsiran mana yang benar menurut konstitusi dalam rangka
menghormati, melindungi serta memenuhi prinsip kepastian hukum yang adil bagi
publik, bagi penyelenggara negara, bagi KPK, maupun bagi Pimpinan KPK yang
31
terpilih sebagai anggota pengganti Pimpinan KPK yang telah berhenti.
Menurut Mahkamah, penggantian anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi tidak
sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD yang tidak melalui
proses seleksi yang baru. Mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan
KPK dan hakim konstitusi pengganti dilakukan sama seperti mekanisme pemilihan dan
pengangkatan anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi yang diangkat secara
bersamaan pada awal periode. Oleh karena itu apabila masa jabatan anggota
pimpinan KPK dan hakim konstitusi pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan
anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi yang digantikannya, maka dari segi biaya
dan waktu, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
bagi masyarakat dan bagi anggota pimpinan KPK maupun hakim konstitusi pengganti
itu sendiri.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa anggota pimpinan KPK maupun hakim
konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota pimpinan KPK atau
hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin konsistensi dan
kesinambungan kinerja lembaga yang bersangkutan dalam melakukan tugas dan
wewenangnya. Penerapan pasal sisa masa jabatan pada anggota pimpinan KPK dan
hakim konstitusi pengganti menyebabkan dilanggarnya prinsip kepastian hukum yang
adil, prinsip proporsionalitas, prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum, prinsip
kemanfaatan, prinsip efisiensi dan kewajaran serta prinsip profesionalitas.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 34 UU KPK adalah
inkonstitusional secara bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai “Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara
32
bersamaan maupun bagi pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang
berhenti pada masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan.” Selain itu dalam permohonan ini Mahkamah juga
mengesampingkan Pasal 47 UU MK26 menerapkan asas retroaktif yang berarti
putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan menduduki Pimpinan
KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak terpilih.
E. BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG TETAP
MEMBERLAKUKAN NORMA UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
3. PUTUSAN 39/PUU-X/2012
Pemohon keberatan dengan pemberlakuan pidana minimal 4 (empat) tahun penjara
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Adanya ketentuan aquo mengakibatkan Pemohon harus dihukum dengan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun. Selain itu ketentuan tersebut menurut Pemohon: 1)
memasung Hakim pada peradilan umum disatu sisi untuk menghukum seseorang
selama 4 (empat) tahun, tanpa mempertibangkan proporsi perbuatannya; 2) memasung
Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut seseorang dengan pidana penjara minimal 4
26 Pasal 47 UU MK berbunyi: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Alasan diterapkannya asas retroaktif dalam putusan ini adalah didasarkan atas asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum. Alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan isi undang-undang berdasar penafsiran yang salah sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional dan karenanya harus dihentikan. Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang salah tersebut, saat mana mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional.
33
(empat) tahun, walaupun kualitas perbuatannya tidak sepadan; 3) memasung
seseorang untuk harus menjalani hukuman selama 4 (empat) tahun pidana penjara
walaupun tidak bersesuaian dengan perbuatannya.
Dengan demikian menurut Pemohon ketentuan tersebut melanggar hak konstitusional
Pemohon untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum dan kepentingannya
dilindungi sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, yakni setidak-
tidaknya mendapatkan kepastian hukum yang adil.
Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun KUHPidana tidak
mengenal dan mengatur aturan pidana minimum khusus, namun bukan berarti aturan
pidana minimum khusus tidak diperbolehkan, karena KUHPidana sendiri dalam Pasal
103 menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini
juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu perkecualian untuk delik-
delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan
masyarakat. Sebagai ukuran kuantitatif, dapat digunakan patokan bahwa delik-delik
yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun sajalah yang dapat diberi
ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan “sangat
berbahaya”. Patokan ini dalam hal-hal tertentu dapat diturunkan pada delik-delik yang
tergolong “berat” (penjara 4 sampai 7 tahun). Adapun mengenai lamanya minimum
khusus disesuaikan dengan sifat, hakikat dan kualitas atau bobot delik yang
bersangkutan.
34
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan
ancaman pidana minimum khusus menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum
sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Pada dasarnya penetapan
atau pencantuman lamanya ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum
khusus maupun dalam bentuk pidana maksimum khusus merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang. Frasa “... pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun”
dalam pasal yang dimohonkan pengujian merupakan opened legal policy pembentuk
Undang-Undang, yang tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari norma
konstitusi, karena tindak pidana korupsi di Indonesia termasuk tindak pidana yang luar
biasa (extraordinary crime) karena telah terjadi secara meluas dan sistematis yang
membahayakan sendi- sendi kehidupan negara, sehingga dibutuhkan cara-cara yang
luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.
Selain itu, pencantuman pidana minimum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999,
sebenarnya menekankan pada aspek pencegahan dan upaya shock therapy bagi
masyarakat luas yang didasarkan pada adanya keinginan kuat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi yang telah sedemikian meluas dan sistematis, dan
memberikan peringatan kepada semua orang untuk tidak melakukan tindak pidana
korupsi, serta untuk mencegah terjadinya potensi kerugian negara baik secara kualitatif
maupun kuantitatif.
Unsur-unsur tindak pidana dari Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 dengan sengaja
dimaksudkan untuk menjangkau seluruh pelaku tindak pidana korupsi baik perbuatan
yang dilakukan perseorangan maupun oleh korporasi. Hal demikian dimaksudkan untuk
35
menimbulkan efek jera baik terhadap pelaku maupun terhadap seluruh warga
masyarakat. Terlepas dari berapa pun jumlah yang dikorupsi, asal telah memenuhi
unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 adalah merupakan tindak kejahatan yang
jelas merugikan kepentingan publik. Oleh karena itu, tidak relevan jika Pemohon
mengaitkan pidana yang dijatuhkan kepadanya dengan pidana yang dijatuhkan kepada
para pelaku tindak pidana lainnya, karena tindak pidana tersebut berbeda dengan
perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Pemohon. Dengan demikian,
frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam Pasal 2 ayat (1) UU
31/1999, sudah tepat, dan tidak dapat ditafsirkan lain selain bunyi frasa itu sendiri
karena salah satu sifat hukum pidana yang menuntut kepastian hukum.
4. PUTUSAN 81/PUU-X/2012
Dalam permohonan ini, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memberi
intreprestasi terhadap Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3),
dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU KPK). Hal ini dimohonkan terkait dengan dugaan korupsi Simulator
SIM yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
Menurut Pemohon, norma yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4)
serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU KPK merupakan norma yang tidak
mencerminkan asas ketertiban dan asas kepastian hukum. Norma tersebut juga
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena KPK dibentuk berdasarkan
Pasal 2 UU KPK, sementara Kepolisian dinyatakan secara tegas dalam Pasal 30 ayat
(4) UUD 1945 dan Kejaksaan dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
36
Sehingga secara kelembagaan Kepolisian dan Kejaksaan yang dibentuk berdasarkan
UUD 1945 lebih tinggi daripada KPK yang hanya dibentuk oleh Undang-Undang.
Lebih lanjut menurut Pemohon, KPK tidak boleh memiliki kewenangan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman termasuk
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Kewenangan KPK yang seperti itu
selain tidak disebutkan dalam UUD 1945 juga akan bertentangan dengan Pasal 13
huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Kepolisian dan
Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, juga
penuntutan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan KUHAP dan peraturan
perundang-undangan lainnya seperti yang termuat.
Dengan diberinya kewenangan kepada KPK sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1),
(2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU KPK, maka akan
menimbulkan kerusakan sistem hukum dan rusaknya sistem penyelenggaraan
pemerintahan dan tidak menutup kemungkinan dapat mengancam stabilitas nasional.
Selain itu, kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1),
(2), (3), dan (4) UU KPK menyebabkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga
penegak hukum dan konflik antar lembaga penegak hukum sehingga menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan berpotensi melanggar kepastian hukum.
37
Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa baik Pembukaan dan
beberapa pasal UUD 1945 serta konsiderans Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki tujuan sejalan, yakni hendak
mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera yang terhambat karena
adanya tindak pidana korupsi, sehingga tindak pidana korupsi harus diberantas. Tindak
pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang pemberantasannya pun
harus dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu, institusi yang diberi kewenangan
untuk memberantasnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disebut KPK) oleh Pasal 2 UU 30/2002, diberikan kewenangan luar biasa
dalam hal melakukan supervisi dan koordinasi dalam penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi. Bahkan KPK juga diberi kewenangan untuk
melakukan penyadapan pembicaraan seseorang dan tidak boleh mengeluarkan SP3.
Menurut Mahkamah, Pasal 8 UU 30/2002 sudah tertib dan memenuhi kepastian
hukum. Begitu juga dengan Pasal 50 UU 30/2002 yang sudah jelas maksudnya.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terjadinya dualisme dalam
penanganan tindak pidana korupsi yang oleh Pemohon didalilkan bahwa adanya
dualisme tersebut merugikan hak konstitusional advokat karena Pemohon
menghadapi ketidakpastian dan ketidakadilan dalam penanganan perkara korupsi,
menurut Mahkamah, meskipun terdapat dualisme namun keduanya tidaklah
tumpangtindih karena masing-masing institusi tetap dapat menjalankan
kewenangannya dan untuk menghilangkan ketidakpastian dan ketidakadilan tersebut
KPK diberikan kewenangan khusus untuk melakukan supervisi dan koordinasi.
38
Dalam kaitan ini, maka yang menjadi dasar adalah hubungan antara lex specialis dan
lex generalis.
5. PUTUSAN 31/PUU-X/2012
Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak
konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dituntut berdasarkan Pasal
6 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam kasus Pemohon,
KPK mendasarkan kerugian negara yang dihitung oleh BPKP, padahal seharusnya
menurut Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, Badan yang bertugas dan berwenang
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara serta menilai
dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara adalah BPK.
Bahwa kedudukan BPKP sebagai bagian dari Pemerintah, tidak lagi berfungsi dan
berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara serta
menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga tidak berwenang
memeriksa indikasi penyimpangan yang merugikan negara yang dilakukan BUMN,
dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan Pemerintah.
Seharusnya ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 23E serta Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945. Atau jika terdapat tafsir lain maka haruslah dinyatakan badan lain
itu dapat melakukan perhitungan, penilaian, dan penetapan kerugian negara,
39
apabila mendapatkan delegasi/mandat atau penugasan dari BPK sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
BPK dan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Pemeriksa
dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK.
Pemohon juga mengajukan Permohonan Provisi yang memohon agar Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk menghentikan, atau menunda pengadilan perkara
dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Pemohon sebagai Terdakwa dan
mencabut, atau menunda pelaksanaan Surat Keputusan yang melarang Pemohon
bepergian ke luar negeri. Juga memohon agar putusan Mahkamah dapat diberlakukan
secara surut (retroaktif).
Terhadap permohonan provisi Pemohon, Mahkamah berpendapat permohonan
putusan provisi a quo tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan
pokok permohonan a quo dengan alasan: (i) dalam pengujian Undang-Undang (judicial
review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus
konkret seperti memerintahkan KPK untuk menghentikan atau menunda pemeriksaan
perkara di Mahkamah Agung dan mencabut atau menunda berlakunya surat
pencegahan; (ii) putusan Mahkamah tentang norma dalam perkara Pengujian Undang-
Undang (judicial review) bersifat erga omnes; (iii) putusan Mahkamah bersifat
prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang; Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
40
Terhadap pokok permohonan, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji oleh
Pemohon, yaitu Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 UU KPK mengatur mengenai
tugas KPK untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 6 huruf a tersebut kemudian
dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 7 UU KPK. Cakupan dan sifat dari tindak pidana
korupsi yang berkaitan dengan konsep “merugikan keuangan negara” serta berkaitan
dengan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang diterima karena
jabatan atau kedudukan pejabat pemerintahan sangat terkait dengan pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itulah koordinasi dengan instansi lain
merupakan hal yang penting. Menurut Mahkamah, tugas koordinasi adalah tugas yang
seharusnya dimiliki KPK dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas pemberantasan
tindak pidana korupsi, sehingga fungsi yang demikian tidak dapat dianggap
bertentangan dengan konstitusi. Di dalam beberapa putusan Mahkamah telah
dinyatakan bahwa keberadaan KPK dengan semua fungsi dan wewenangnya adalah
konstitusional, sehingga setiap upaya koordinasi untuk mengefektifkan fungsi dan
wewenang tersebut adalah konstitusional.
Tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi seperti BPKP dan BPK telah jelas
diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak perlu disebutkan lebih
lanjut dalam penjelasan UU KPK. KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan
BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan
dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar
temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta
bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan
41
itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari
perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan
kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang
ditanganinya.
Mengenai sah atau tidak sahnya LPHKKN yang digunakan oleh KPK sebagai dasar
penetapan penyidikan yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP tidak berkaitan langsung
dengan konstitusionalitas norma yang mengatur tugas KPK untuk berkoordinasi dengan
instansi-instansi lainnya. KPK sebagai salah satu pelaku dari sistem peradilan
korupsi memiliki kewenangan diskresioner untuk meminta dan menggunakan informasi
tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi atau pihak-
pihak lain yang terkait untuk kepentingan penyidikan. Mengenai terbukti atau tidak
terbuktinya kerugian negara yang disebutkan dalam LPHKKN atau sah-tidak sahnya
LPHKKN tersebut tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya.
Dengan perkataan lain, walaupun KPK memiliki kewenangan diskresioner untuk
menggunakan informasi tentang kerugian negara dalam bentuk LPHKKN dari BPKP
atau BPK dalam penyidikan, digunakan atau tidaknya informasi tersebut dalam
pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim yang mengadili perkara.
Penyebutan instansi BPKP maupun instansi lainnya dalam Penjelasan Pasal 6 UU KPK
tanpa menyebut dan membatasi wewenang dari masing-masing instansi tersebut tidak
dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain
itu, permohonan Pemohon yang menginginkan agar KPK tidak lagi diperbolehkan
untuk berkoordinasi dengan BPKP justru akan melemahkan pelaksanaan fungsi dan
kewenangan KPK.
42
BAB III
ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. KONTROVERSI DIHAPUSKANNYA ELEMEN “SIFAT MELAWAN HUKUM
SECARA MATERIIL”
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 telah
memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 yang
berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materiil bertentangan
dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat.
Penjelasan Pasal 2ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 jo. UU nomor 20 tahun 2001
menyebutkan, "Yang dimaksud dengan secara melawan hukum" dalam pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana"
Putusan ini mendulang kontroversi, baik dari segi formal maupun substansi. Yang
dimaksud dari sisi formal adalah bahwa dalam putusan ini, Majelis hakim
mempertimbangkan dan memutus norma yang tidak diajukan dalam permohonan.
Dalam praktek dan pengalaman empiris MK dalam memeriksa dan memutus perkara
pengujian Undang-Undang terhadap UUD, putusan yang mempertimbangkan norma
yang tidak diajukan dalam permohonan seperti dalam putusan nomor 003/PUU-IV/2006
ini bukanlah yang pertama. Telah ada beberapa contoh kasus dimana MK memutus
43
norma yang tidak diajukan dalam permohonan. Hal ini memunculkan perdebatan di
kalangan akademis. Tidak hanya itu, perdebatan pun berada dalam tingkat kebijakan di
parlemen. Rupanya, model putusan MK yang memutus apa yang tidak diminta oleh
pemohon dipahami oleh sebagian besar anggota legislatif sebagai tindakan yang
melanggar mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Model putusan ini
dianggap sebagai bentuk upaya MK untuk memperbesar wilayah kewenangan yang
telah dibatasi oleh konstitusi. Parlemen melihat kecenderungan MK untuk menjadi
lembaga super dengan mengatasnamakan Konstitusi. Oleh karena itu, parlemen
menerbitkan UU perubahan UU MK (UU nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan UU
nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Akan tetapi upaya parlemen
untuk membatasi kewenangan MK pun kandas di tangan Mahkamah Konstitusi melalui
uji materi norma pengaturan tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis hakim
berpendapat bahwa upaya MK untuk menafsirkan dan menegakkan konstitusi tidak
dibatasi dengan pengaturan yang diatur atas kesepakatan Parlemen dan Eksekutif
melalui penerbitan UU yang normanya berada dibawah UUD. Terlepas dari kontroversi
putusan MK yang memutus norma yang tidak diajukan dalam permohonan, kajian yang
lebih dalam dari pembahasan ini akan dititik beratkan pada sisi substantif putusan yang
tidak kalah kontroversialnya.
Alasan Hukum Pembatalan Norma Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31
Tahun 1999
Pembatalan keberlakuan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 jo. UU
nomor 20 tahun 2001 pada putusan nomor 003/PUU-IV/2006 berdampak pada
44
dihapuskannya sifat melawan hukum secara materiil dalam tindak pidana korupsi.
Sebagian kalangan akademisi menganggap bahwa putusan MK mengurangi eksistensi
roh penegakan hukum pidana, karena majelis hakim hanya akan melihat sisi sifat
melawan hukum secara formil dalam memeriksa kasus tindak pidana korupsi. Putusan
MK berdampak pada dihilangkannya dimensi perbuatan melawan hukum materil dalam
pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi. Jadi, ajaran sifat melawan hukum yang
dianut dalam tindak pidana korupsi hanyalah sifat melawan hukum formil dimana setiap
perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi rumusan
yang disebutkan dalam undang-undang.
Menurut MK, penjelasan pasal 2 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 menimbulkan norma
baru dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Suatu perbuatan tindak pidana korupsi
yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil dalam pengertian
bersifat omvetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat,
yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela
sehingga telah melanggar kepatutan, kehati- hatian dan keharusan dalam masyarakat
maka dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang
dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rectsgevoel),
norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah
cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya
dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis penjelasan UU tersebut telah
melahirkan norma baru karena digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal
untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.
45
Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan
hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang
dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum
dalam hukum pidana (wederechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang
berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di
satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi
bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Dikaji dari praktik pembentukan
perundang-undangan yang baik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk
menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan
norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma
yang dijelaskan.
Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan penjelasan berfungsi sebagai
tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam
batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih
lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas nonna batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan norma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan
sebagai dasar hukum untuk peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan
46
dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan
perundang- undangan yang bersangkutan.
Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam
kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor
20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan
melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana
diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas
tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat
dituntut dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang tertulis (lex scripta)
yang telah ada terlebih dahulu.
Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum,
yang harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau
akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga
karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege
stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele
wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk merumuskan secermat dan
serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau
yang dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot.
Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele
wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dengan ukuran
kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu
norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari
47
satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa
yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui
sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal
dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat
pertama UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang
tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai
frasa "Yang dimaksud dengan secara melawan hukum" dalam pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana", adalah bertentangan dengan 1UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dengan demikian, perbuatan melawan hukum materiil menjadi mati
suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.
Praktek Pengadilan
Pendapat para pakar mengenai secara melawan hukum sebagai unsur delik atau
bukan, tidak ada kata sepakat atau tidak tidak bulat, sebagian berpendapat, apabila
pada rumusan suatu delik dimuat unsur secara melawan hukum, unsur tersebut harus
dibuktikan, dan sebaliknya apabila tidak dirumuskan, tidak perlu dibuktikan. Hal ini
merupakan pendapat yang menganut paham formal. Berbeda dengan yang menganut
48
paham materiil, yang menyatakan bahwa meskipun tidak dirumuskan, unsur melawan
hukum perlu dibuktikan.
Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum
dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum
tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan
hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan delik,
maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka
penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru
dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam norma delik, menghendaki
penelitian apakah tindakan ini bersifat melawan hukum atau tidak.
Sebaliknya para sarjana berpandangan material tentang bersifat melawan hukum,
mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik
dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari
hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum,
tidak hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi,
yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain bersifat
melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan
dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat. Atau lebih tepat jika diartikan
dengan tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita
masyarakat.
Secara historis, konsepsi melawan hukum terumus dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
undang Tindak Pidana Korupsi sebelum dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah
Konstitusi, bukan tidak mungkin muncul sebagai upaya yang “progresif” dalam rangka
49
pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menyebar pada berbagai lapisan
sosial di Indonesia, sehingga pembentuk undang-undang memilih konsep melawan
hukum dalam pemgertian materiil yang positif meskipun tidak memperoleh “dukungan’
secara teori atau doktrin hukum pidana. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun
1999 menganut ajaran sifat melawan hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep
yang luas tersebut, maka penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim.
Dikaji dari praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan
melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit
pula ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materiil pasca putusan
Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding)
baik bersifat progresif maupun konservatif. Pada dimensi ini maka Hakim melakukan
pembentukan hukum dengan menetapkan peraturan secara konkrit (law in concreto)
atau tegasnya merupakan suatu proses konkritisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum (law in abstracto) dengan mengingat peristiwa konkrit.
Ada beberapa kemungkinan terhadap implementasi dari perbuatan melawan hukum
secara materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUUIV/2006 dalam
penerapannya di pengadilan umum, yaitu:
(1) Secara normatif pengertian ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menjadi tidak jelas implementasinya. Di satu
sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi ada
dalam kenyataan di masyarakat akan tetapi di sisi lain secara normatif tidak
diatur dalam perundang-undangan.
50
(2) Dalam yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yang dianut sejak lama dalam
praktik peradilan, Mahkamah Agung R1 telah menerapkan adanya perbuatan
melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif (Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor:
81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) maupun fungsi positf (Putusan Mahkamah
Agung R1 Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 1571K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995).
Konsekuensinya, akan muncul polarisasi pemikiran bahwa Mahkamah Agung
ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang
walaupun tidak diatur dalam UU. Aspek tindak pidana korupsi dianggap sebagai
perbuatan tercela tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman
sesuai norma yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan tetap
mempergunakan parameter asas keadilan.
(3) Dikaji dari perspektif kebijakan pidana maka hakim selaku pemegang kebijakan
aplikatif harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hakim
tidaklah harus berarti selalu menjadi penyambung lidah atau corong UU
(bousche de la loi/mouth of the laws). Hakim harus dapat menerapkan dan
mengimplementasikan peraturan, meskipun masih bersifat abstrak, terhadap
kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada
pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi
secara formal (perbuatan melawan hukum formal) tidak ada, akan tetapi di sisi
51
lainnya secara materiil (perbuatan melawan hukum materril) ada maka hakim
sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami dan menghayati norma-
norma hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Oleh karenanya, di dalam praktik peradilan khususnya terhadap penanganan perkara-
perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung ada yang
menerapkan perbuatan melawan hukum materil sebagaimana putusan Mahkamah
Konstitusi dan tidak sedikit pula yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum
materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan
hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif.27 Dari sekian banyak
putusan MA yang tetap menerapkan sifat perbuatan hukum materiil pasca putusan MK
adalah
a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007
atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi,
b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006
atas nama terdakwa Hamdani Amin,
c. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006
atas nama terdakwa Rusadi Kantaprawira.
d. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2608 K/Pid/2006 atas nama Terdakwa
Ahmad Rojadi
e. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 131 PK/Pid/2006 atas nama terdakwa Drs.
H. Dharmono K. Lawi
27 Johanes Brata Wijaya, SH, Makna sifat Melawan Hukum Dalam Perkara Pidana Korupsi : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005 – 2011,Laporan penelitian litbangdiklatkumdil mahkamah Agung RI, September 2013.
52
f. Putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa
John Darwin
Ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung
dengan melakukan suatu penemuan hukum terhadap tetap diterapkannya perbuatan
melawan hukum materiil sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan
Pasal 2 ayat (l) UUNomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
Majelis hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi, ketentuan yang dimaksud dengan unsur "melawan hukum" menjadi tidak
jelas rumusannya. Oleh karena itu berdasarkan doctrine "Sens-Clair" (la doctrine du
senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan, "Hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat", karena menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004,
"Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya". Selain itu juga Hakim dalam mencari
makna "melawan hukum" seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang
bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit.
Sebagaimana disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya
sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam
masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans
hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum
warga masyarakatnya yang merupakan "hukum dalam makna sebenarnya". Konklusi
53
dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, "apabila kita memperhatikan
UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja menunjukan banyak kekurangan-
kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan
peradilan. Oleh karenanya, UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan
sendiri maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu
ketentuan. Hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis,
secara sistimatis atau secara sosiologis, atau dengan cara memperbandingkan hukum.
Selain itu, Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur "secara
melawan hukum" memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang
berpendapat bahwa unsur "secara melawan hukum" dalam tindak pidana korupsi
adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan negatifnya.
Dalam pertimbangan ini, Majelis hakim berpedoman pada:
a. Tujuan diperluasnya unsur ”perbuatan melawan hukum”, yang tidak dalam
pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil,
adalah untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu
perbuatan yang pandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara
materil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak
pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil
b. Butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI. Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar
diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan
melawan hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang
diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada
54
pokoknya berbunyi ”maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang
sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului
suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan
sarana ”melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang
pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya;
c. bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan
Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275 K/Pid/1983, untuk
pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan
hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela
dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur
asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat;
Majelis Hakim MA beralasan yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum
formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta trakat yang tepat digunakan oleh
Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya. Yurisprudensi tentang makna
perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan
pedoman untuk terbinanya konsisten penerapannya dalam perkara-perkara tindak
pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum
yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam praktik peradilan, melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung RI telah memberikan
nuansa baru perbuatan melawan hukum secara materiil. Mahkamah Agung melakukan
55
perluasan makna perbuatan melawan hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor. 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi
(kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei
1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) dimana
Mahkamah Agung berpendapat bahwa
“…suatu tindakan dapat dianggap sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga
berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara
penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa”
Selain itu, yurisprudensi Mahkamah Agung pada Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983
tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian
diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli
1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995)
secara tegas menyatakan pengertian "melawan hukum" tidk hanya diidentikan sebagai
"melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”. Dalam putusan tersebut, Majelis
hakim berpendapat bahwa
“…penafsiran terhadap sebutan "melawan hukum" tidak tepat, jika hal itu hanya
dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri
tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya akan tetapi sesuai
pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur
berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat
umum menurut kepatutan dalam masyarakat."
56
Lebih lanjut, pertimbangan Majelis hakim mengemukakan pendapat
"… bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-
perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima
fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan
maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau
wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah
merupakan "perbuatan melawan hukum", karena menurut kepatutan perbuatan
itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan
hati masyarakat banyak"
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap
sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan
masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan
itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi positif. Konklusi dari
apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI
memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum
materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif.
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 adalah bahwa
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengenal lagi perbuatan melawan hukum materiil. Oleh
sebab itu, terdapat kekosongan norma hukum terhadap eksistensi pengaturan
perbuatan melawan hukum materiil. Di satu sisi, perbuatan melawan hukum materiil
tidak dikenal lagi dalam norma hukum yang mengatur tindak pidana korupsi di
Indonesia khususnya dalam ketentuan hukum positif Indonesia, akan tetapi di sisi
57
lainnya ternyata perbuatan melawan hukum materiil eksistensinya tetap ada dan terjadi
dalam praktik peradilan. Praktik peradilan terhadap perbuatan melawan hukum materiil
dalam tindak pidana korupsi adalah melalui penafsiran hukum tetap mempergunakan
dan menerapkan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)
dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat pada Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H. Fahrani
Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus
2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi
Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor
91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan
Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April
2008 atas nama terdakwa Prayitno. Oleh karena itu, hendaknya kebijakan legislasi
dalam pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi masa mendatang (ius
constituendum) merumuskan kembali tentang formulasi pasal yang mengatur perbuatan
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi
sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum (recht-zekerheids) pada kasus
tindak pidana korupsi in-concreto.
Korupsi sedang kita berantas karena telah menyengsarakan bangsa dan negara
Indonesia ini, oleh siapapun dan dimanapun perbuatan korupsi dilakukan, tanpa
memandang hukum adat atau kebiasaan setempat atau hukum yang tidak tertulis,
sebab menurut hukum apapun korupsi adalah perbuatan yang tercela, dan tidak patut.
Karena itu tidak salah apabila pembuat undang-undang menegaskan kembali bahwa
58
korupsi adalah perbuatan tidak patut dan tercela seperti telah dikukuhkan dalam
yurisprudensi Indonesia , antara lain Putusan MA RI No. 275K/Pid/1982.
Putusan MK No.003/PUU-IV/2006, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi,
sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial tidak mengubah isi UU
yang dimohon. Namun, terdapat keuntungan yang dapat diambil dari putusan ini yaitu
dala hal pembuktian. Dalam bidang hukum pembuktian, Jaksa Penuntut Umum cukup
membuktikan unsur melawan hukum ini secara formal. Cara yang dapat ditempuh
adalah menghadirkan ahli yang dapat menyatakan bahwa terdapat kerugian negara
atau perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berarti bahwa pekerjaan BPK, atau BPKP harus diterima hakim sebagai pembuktian
yang tidak boleh diragukan, karena tidak dapat diterima lagi alasan pembenar tidak
tertulis lainnya, kecuali yang terdapat dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Dan tata cara pembuktian terbalik yang dianut oleh UU PTPK adalah
satu-satunya cara yang dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa.
Walaupun demikian perlu ditegaskan kembali bahwa pemberantasan tindak pidana
korupsi tetap saja dibutuhkan ‘komitmen’ semua pihak, negara, pemerintah, penegak
hukum, masyarakat, dan semua elemen bangsa.
2. PENGUATAN KELEMBAGAAN KPK MELALUI PEMILIHAN PIMPINAN
LEMBAGA
Setelah melihat bagaimana lembaga atau Komisi Anti Korupsi di berbagai negara,
maka jelas terlihat bahwa independensi adalah harga mati untuk keberlangsungan
lembaga anti rasuah tersebut. Dalam sejarah pemberantasan korupsi bangsa ini,
59
lembaga pemberantas koruptor selalu berakhir tragis. Pada era orde lama, misalnya,
masa Kabinet Djuanda, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), yang
dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni M. Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Para pejabat yang korup melawan. Dan, Paran pun berakhir.28
Pada 1963, Pemerintah menunjuk kembali A. H. Nasution untuk memimpin
pemberanatasan korupsi dengan lembaga baru yang dikenal dengan sebutan Operasi
Budhi. Operasi dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio
kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
dengan diketuai oleh Presiden Soekarno. Oleh beberapa sejarawan dikatakan bahwa
lahirnya lembaga ini menjadi awal macetnya pemberantasan korupsi di masa Orde
Lama. 29
Keinginan kembali berkobar pada masa awal Orde Baru. Melalui pidato kenegaraan
pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama yang dinilai
tidak mampu memberantas korupsi. Kemudian Soeharto Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat.
Komite ini pun bubar. Ketika Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Operasi ini
pun segera lenyap.30
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi kembali digalakkan oleh B.J. Habibie
dengan mengeluarkan UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN. Untuk mendukung itu, BJ Habibie membentuk berbagai komisi atau
28 Abdul Ghoffar, Menambah Nyawa KPK, Harian Pikiran Rakyat Bandung, Agustus 2011. 29 Ibid. 30 Ibid.
60
badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, dan
Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP 19/2000. Tetapi PP ini
dicabut oleh MA melalui mekanisme judicial review, dan akhirnya bubar. Nasib serupa
juga dialami oleh KPKPN. Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas
KPKPN melebur masuk ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).31
Belajar dari sejarah kelam tersebut, harus ada semangat dari semua pihak untuk
menyelamatkan KPK. Di lihat dari sudut ketatanegaran, sedikitnya ada tiga lembaga
negara yang mempunyai tanggung jawab langsung untuk membuat politik hukum yang
menguatkan KPK. Lembaga tersebut adalah Presiden dan DPR yang mempunyai
kewenangan untuk membuat Undang-Undang, serta Mahkamah Konstitusi yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap UU.
Dari ketiga lembaga negara tersebut, peran Mahkamah Konstitusi tidak bisa
disepelekan. Sebab lembaga negara ini mempunyai kewenangan konstitusional untuk
memberi tafsir akhir atas konstitusi. Bahkan oleh banyak pakar, tafsir yang dikeluarkan
oleh mahkamah konstitusi adalah setara dengan konstitusi itu sendiri. Bahkan putusan
dari lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi, sejatinya adalah konstitusi yang
hidup (living constitution).
David A. Strauss untuk memulai penulisan bukunya, The Living Constitution (2010),
mengatakan apa yang dimaksud the living constitution adalah notabene dalam
prakteknya sebagian besar mengacu pada putusan-putusan hakim. Menurutnya,
pijakan yang dijadikan oleh hakim dalam memutus adalah berdasar dari hukum umum,
hukum yang tidak tertulis, yang dibangun dari preseden dan tradisi yang menumpuk
31 Ibid.
61
dari waktu ke waktu. Preseden tersebut memungkinkan ruang untuk adaptasi dan
perubahan, tetapi hanya dalam batas tertentu dan hanya dengan cara yang berakar
pada masa lalu. Dengan demikian, dipastikan tidak akan ada hakim, yang karena
kepentingan peribadinya, akan memasukkan ide-ide pribadi tanpa didasarkan pada
hukum yang tidak tertulis yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.32
Dengan demikian, maka peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga independensi
KPK, dilihat dari sudut pandang hukum tata negara, sangatlah besar. Peran tersebut
bisa dilihat dari putusan-putusan MK dalam membuat peta politik hukum
pemberantasan korupsi, khusunya dalam mengawal lembaga anti rasuah KPK.
Peran besar tersebut rupanya disadari betul oleh MK. Sejak Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk pada tahun 2003 melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga tersebut tidak sepi dari
“godaan.” Misalnya, melalui pengujian UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam 10
tahun usianya, UU yang mengatur lembaga ini diuji berkali-kali keabsahannya di
Mahkamah Konstitusi (MK).33 Dari sekian banyak pengujian tersebut, kalau ditelusuri
putusan MK selalu memberi nyawa baru bagi KPK. Artinya, terhadap permohonan yang
dinilaih melemahkan KPK maka permohonan tersebut ditolek. Sebaliknya, terhadap
permohonan yang dinilai memperkuat KPK, maka permohonan tersebut dikabulkan.
Salah satu putusan yang dianggap menguatkan KPK untuk semakin menjaga
independensinya adalah putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-
32 David A. Strauss, The Living Constitution, (New York: Oxford University Press,2010), hlm. 1. Lihat juga Abdul Ghoffar, Konstitusi yang Bernyawa, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2011.
33 Satu Dekade UU KPK, 14 Kali Diuji Materi, diunduh dari http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politisiana&i=36943-Satu%20Dekade%20UU%20KPK,%2014%20Kali%20Diuji%20Materi, pada tanggal 23 Oktober 2013.
62
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap UUD 1945 pada Juni 2011 yang lalu.
Putusan tersebut terkait dengan masa jabatan pimpinan pengganti di KPK, apakah
meneruskan masa jabatan, atau masa jabatannya 4 tahun. Bermula dari permohonan
Feri Amsari dan kawan-kawan, yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi yang mendalilkan bahwa masa jabatan “lanjutan” tersebut bertentangan
dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, DPR menyandarkan tafsir masa jabatan
Pimpinan Pengganti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 21 ayat
(5) UU KPK, di mana Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial. Sehingga
ketentuan Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa Pimpinan Pengganti KPK berakhir secara
bersamaan. Untuk itu, Pengganti Pimpinan KPK terpilih hanya melanjutkan sisa masa
jabatan saja, yakni sisa masa jabatan Tahun 2007-2011 atau kurang lebih satu tahun.
Para Pemohon juga mendalilkan terdapat kesalahan tafsir atas ketentuan Pasal 34 UU
KPK tersebut. Hal demikian, dapat menimbulkan kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di depan hukum”.
Akibat penafsiran yang keliru oleh DPR, menurut para Pemohon, terhadap ketentuan
Pasal 34 UU KPK telah menyebabkan pimpinan pengganti KPK terpilih, yakni Dr.
Busyro Muqoddas, SH. MH, hanya menjabat selama satu tahun. Hal demikian telah
mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan Pimpinan
Pengganti KPK terpilih. Ketidakpastian masa jabatan tersebut juga berdampak pada
63
efektivitas kerja Pimpinan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan
sekaligus berpotensi melemahkan agenda pemberantasan korupsi oleh KPK yang
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Ketentuan masa jabatan Pimpinan Pengganti KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 UU KPK, menurut para Pemohon, seharusnya dimaknai tidak hanya terhadap
Pimpinan KPK akan tetapi juga kepada Pimpinan Pengganti KPK. Hal itu sesuai
dengan metode penafsiran sistematis, logis, teleologis, dan analogis atau setidak-
tidaknya tafsir terhadap ketentuan Pasal 34 UU KPK telah melanggar asas
kemanfaatan maupun asas kepastian hukum.
Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, MK memulai pendapat hukumnya
dengan mengajukan pertanyaan “apakah secara konstitusional masa jabatan anggota
Pimpinan KPK yang menggantikan anggota yang telah berhenti menurut Pasal 34 UU
KPK hanya meneruskan masa jabatan pimpinan yang digantikan atau mendapatkan
masa jabatan yang penuh selama empat tahun?”
Sebelum menjawab pertanyaan atau persoalan tersebut, MK terlebih dahulu
menyampaikan fakta hukum bahwa DPR RI dan Presiden menentukan masa jabatan
anggota yang mengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatannya adalah
hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari Pimpinan KPK yang digantinya. Dalam
menentukan masa jabatan pimpinan pengganti tersebut, DPR RI mendasarkan pada
penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bekerja
secara kolektif kolegial, sehingga ketentuan Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa
Pimpinan KPK berhenti secara bersamaan. Dengan demikian, Pimpinan pengganti
64
yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya hanya
bertindak sebagai pengganti antarwaktu, karena itu hanya melanjutkan masa jabatan
anggota pimpinan yang digantikan itu.
Namun pada sisi lain, para Pemohon merujuk pada Pasal 34 UU KPK yang
menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4
(empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, yang
menurut para Pemohon masa jabatan empat tahun bagi Pimpinan KPK, adalah
merupakan masa jabatan yang berlaku baik terhadap Pimpinan yang diangkat secara
bersamaan sejak awal maupun Pimpinan yang menggantikan Pimpinan yang berhenti
pada saat masa jabatannya.
Terkait hal tersebut, menurut MK, DPR dan Presiden dapat saja melakukan penafsiran
terhadap suatu ketentuan Undang-Undang dalam rangka implementasi dari Undang-
Undang tersebut. Akan tetapi, MK pun berwenang menilai konstitusionalitas penafsiran
suatu norma Undang-Undang yang dilaksanakan baik oleh DPR maupun Presiden,
apabila penafsiran itu mengakibatkan terancamnya penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara serta dalam rangka menjamin
dilaksanakannya amanat dan norma-norma konstitusi dengan benar. Hal itu tidaklah
berarti bahwa MK telah keluar dari kewenangannya menguji pertentangan norma
Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana secara tekstual dinyatakan dalam
Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”, terkandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara oleh organ-
organ negara harus berdasarkan konstitusi. Dengan dasar itulah negara Indonesia
65
merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan konstitusional, yang dalam
pelaksanaannya dibentuk MK Konstitusi untuk mengawal dan menjamin bahwa sistem
konstitusional tersebut berjalan.
Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga
peradilan konstitusi yang mengawal norma konstitusi supaya berjalan dengan benar
agar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konstitusi, MK di samping
membaca dan memahami teks konstitusi, juga berkewajiban untuk menggali dan
menemukan nilai dan dasar-dasar filosofis yang terkandung dalam konstitusi untuk
memutuskan setiap persoalan yang dihadapkan di MK. Dalam hal ini, apabila MK
menemukan penafsiran norma Undang-Undang yang bertentangan, menyimpang
dan/atau tidak sesuai dengan norma dan semangat konstitusi, maka berdasarkan
fungsi, tugas, dan kewenangannya untuk mengawal konstitusi, MK berwenang untuk
menilai konstitusionalitas penafsiran dari suatu norma Undang-Undang. Oleh karena
itu, dalam menilai permohonan para Pemohon tersebut, MK harus juga menilai
penafsiran ketentuan Undang-Undang tersebut pada tingkat implementasi untuk
menjamin penyelenggaraan negara berdasarkan sistem konstitusional yang dianut oleh
UUD 1945.
Menurut MK, ketentuan Pasal 34 UU KPK sendiri sudah sangat jelas dan tegas bahwa
masa jabatan Pimpinan KPK adalah empat tahun, dan hal itu tidak menimbulkan
persoalan konstitusionalitas. Akan tetapi, ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut menjadi
persoalan konstitusional ketika DPR dan Presiden menafsirkan bahwa ketentuan Pasal
34 UU KPK tersebut tidak berlaku untuk semua anggota Pimpinan KPK dan hanya
berlaku untuk Pimpinan KPK yang diangkat secara bersamaan lima orang sejak awal
66
periode, sedangkan bagi pimpinan yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti
dalam masa jabatannya, hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang
digantikannya. DPR dan Presiden, mendasarkan penafsirannya pada ketentuan Pasal
21 ayat (5) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif, sehingga
lima anggota Pimpinan KPK itu dimaknai secara kolektif menjabat satu periode empat
tahun. Dalam hal ini, menurut DPR dan Presiden, jika ada anggota Pimpinan KPK yang
berhenti dalam masa jabatannya maka diganti oleh anggota pengganti yang hanya
melanjutkan masa jabatan sisa dari masa jabatan anggota yang digantikan.
Penafsiran DPR dan Presiden tersebut didasari pula pada ketentuan Pasal 33 ayat (1)
dan ayat (2) UU KPK yang secara tekstual menyebutkan anggota pengganti Pimpinan
KPK untuk menggantikan anggota yang berhenti dalam masa jabatannya. Penafsiran
tersebut dipersoalkan oleh para Pemohon, karena penafsiran seperti itu mengakibatkan
tidak jelasnya makna Pasal 34 UU KPK sehingga melanggar prinsip-prinsip konstitusi
yaitu antara lain prinsip kepastian hukum yang adil yang harus dihormati, dilindungi,
dan dipenuhi menurut konstitusi. Menurut para Pemohon sesuai Pasal 34 UU KPK
masa jabatan anggota pengganti adalah empat tahun, tidak hanya menjabat sisa masa
jabatan anggota yang diganti. Menurut MK, dengan adanya perbedaan penafsiran yang
demikian menimbulkan persoalan konstitusional yang harus dinilai oleh MK, yaitu
penafsiran mana yang benar menurut konstitusi dalam rangka menghormati, melindungi
serta memenuhi prinsip kepastian hukum yang adil bagi publik, bagi penyelenggara
negara, bagi KPK, maupun bagi Pimpinan KPK yang terpilih sebagai anggota pengganti
Pimpinan KPK yang telah berhenti. Apabila MK tidak memberikan kepastian terhadap
penafsiran masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti tersebut maka persoalan
67
penggantian Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatannya tetap akan menjadi
perdebatan yang terus akan muncul ketika terjadi penggantian anggota Pimpinan KPK
pada masa mendatang yang justru bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang
adil yang dijamin oleh konstitusi.
Menurut MK, menguji konstitusionalitas penafsiran yang benar atas norma ketentuan
Pasal 34 Undang-Undang tersebut , MK mendasarkan pada prinsip-prinsip umum yang
terkandung dalam konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan
dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan umum. Prinsip-
prinsip tersebut, adalah merupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konstitusi
dan menjadi semangat keberadaan sebuah negara yang berdasar pada sistem
konstitusional. Di samping itu, prinsip-prinsip tersebut juga ditegaskan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
sebagai penjabaran Pasal 22A UUD 1945 yaitu dalam Pasal 6 yang menguraikan asas
materi muatan undang-undang yang harus memenuhi asas, antara lain: keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta asas ketertiban dan
kepastian hukum. Asas-asas demikian juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK, mekanisme pemilihan anggota
pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan dilakukan sama dengan
mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan yang diangkat secara
68
bersamaan pada awal periode. Proses seleksi ini memakan waktu yang lama dan biaya
yang cukup tinggi karena paling tidak melibatkan pembentukan panitia seleksi, proses
pendaftaran yang dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan proses
publikasi di media, dan setelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksi
dilanjutkan pada pengumuman kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan
yang seterusnya diserahkan di DPR untuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui
mekanisme fit and proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebut
dipandang perlu, mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan KPK, terutama apabila
dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa pemilihan dan seleksi Pimpinan KPK pengganti
yang demikian apabila dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu
keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki
masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil bagi
masyarakat, karena negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar serta para
penyelenggara negara yang melakukan proses seleksi menghabiskan waktu yang
cukup panjang hanya untuk memilih seorang anggota pengganti yang menduduki sisa
masa jabatan satu tahun.
Menurut MK, keadilan masyarakat adalah sumber nilai konstitusi tertinggi yang harus
menjadi dasar penilaian MK, karena keadilan konstitusi tidak lain dari keadilan bagi
constituent yaitu keadilan bagi rakyat yang membentuk dan menyepakati konstitusi.
Keadilan masyarakat ini menjadi sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip
konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan
melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi
69
partisipatoris. Menurut MK, penafsiran demikian juga, menimbulkan ketidakadilan bagi
seseorang yang terpilih sebagai anggota pengganti yang berjuang serta menghabiskan
banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih menjadi anggota
Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa
masa jabatan anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan
anggota pimpinan yang terpilih secara bersamaan pada awal periode yang
menjalankan masa jabatan penuh empat tahun, padahal anggota pengganti menjalani
segala proses seleksi dan syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip
perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan
pemerintahan [vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD
1945].
MK juga berpendapat, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa
jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip
kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai
kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti
menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan
biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal
itu, benar-benar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar.
Menurut MK, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya
menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan
maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang
panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota
pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada
70
pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan
KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya,
seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal
217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD
yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa
masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan,
”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan
anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip
kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang
mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang
sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara
bersamaan, menurut MK, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama
dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu
anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan
dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang
digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan
melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya
melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut MK, hal itu
menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan
sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian
masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat
ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara
bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal
71
34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk
menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin
konstitusi.
Selain itu, menurut MK, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan
wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan
kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta
melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh
institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK
sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam
melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara
profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut MK, KPK tidak akan
maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan
berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin
kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersamasama
mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti
serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi
penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa
jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Terkait keberlakuan putusan MK khusus dalam perkara ini, MK berpendapat bahwa
meskipun menurut Pasal 47 UU MK, putusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif),
namun demi asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum
maka untuk kasus-kasus tertentu MK dapat memberlakukan putusannya secara surut
72
(retroaktif). Hal ini sudah menjadi yurisprudensi yang tertuang dalam Putusan MK
Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi
landasan penetapan anggota-anggota DPR periode 2009-2014 terutama berkaitan
dengan penetapan anggota DPR berdasar perhitungan Tahap III yang semula telah
ditetapkan secara salah oleh KPU. Alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara
khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan
isi undang-undang berdasar penafsiran yang salah sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional dan karenanya harus dihentikan.
Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau
secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang salah tersebut, saat mana mulai
timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional seperti terlihat dalam perkara
tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam masa transisi
sebagai akibat dari putusan ini, terkait dengan jabatan Pimpinan KPK pengganti (yang
baru terpilih), maka putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan
menduduki Pimpinan KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak
terpilih.
Dengan demikian, MK berpendapat bahwa Pasal 34 UU KPK adalah inkonstitusional
secara bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai
bahwa Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara bersamaan
maupun bagi pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada
masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan.34
34 Lihat Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, yang diucapkan pada 20 Juni 2011.
73
Dari uraian pertimbangan Putusan MK tersebut, jelas terlihat bagaimana politik hukum
yang dibangun oleh MK dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurut peneliti ada
beberapa catatan terkait dengan politik hukum tersebut.
Pertama, MK membuat garis yang jelas terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi
yang nyata-nyata telah menghancurkan negara. Kedua, atas kesadaran itu kemudian
MK, dengan kewenangan yang dimilikinya, ingin agar lembaga anti rasuah tersebut
benar-benar menjadi lembaga yang independent. Baik independent dalam membuat
keputusan maupun independen dari “terkaman” institusi lain.
Ketiga, untuk membantu menjaga independensi KPK, MK dalam putusan ini mengubah
mekanisme pengisian jabatan para pemimpinnya. Diakui atau tidak, pengisian jabatan
pimpinan KPK, terutama dalam hal pergantian antar waktu, sangat berpotensi terhadap
keberlangsungan lembaga tersebut. Model yang selama ini dipakai adalah, jika terdapat
pimpinan KPK yang kosong ditengah masa jabatan, maka DPR akan melakukan seleksi
untuk mengisi kekosongan tersebut. Seseorang yang kemudian dinyatakan lolos oleh
DPR akan melanjutkan masa tugas dari orang yang dibantikan, bukan menjabat selama
4 tahun penuh.
Mekanisme seperti ini, menurut peneliti, setidaknya ada dua kelemahan. Pertama, tidak
adanya kebersinambungan antara pimpinan KPK dengan periode sebelumnya, karena
pimpinan KPK akan diganti setiap 4 tahun sekali. Syukur kelau ternyata ada pimpinan
KPK yang lama terpilih lagi, tetapi kalau tidak ada, maka pimpinan KPK akan disi oleh
orang-orang yang baru. Belajar dari pengalaman selama ini, belum ada cerita bahwa
pemimpin KPK terpilih dua kali periode. Meskipun ada beberapa yang mencalonkan diri
lagi, tetapi tidak terpilih, seperti Chandra Hamzah.
74
Kedua, akan “memotongh garis” hutang budi dengan lembaga pemilihnya karena masa
jabatan pimpinan KPK bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Bisa terjadi misalnya,
separuh dari pimpinan KPK adalah produk hasil pemilihan anggota DPR periode
sebelumnya, sementara selebihnya dipilih oleh DPR periode sekarang. Dengan
demikian, akan memutus mata rantai hutang budi.
Oleh karenanya, putusan MK terkait dengan masa jabatan bagi pimpinan KPK yang
dipilih untuk masa jabatan “antar waktu”, menurut peneliti, sangat bermanfaat dalam
menebalkan garis perang terhadap para koruptor.
3. EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Implikasi putusan MK atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup mendasar dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah mengenai keberadaan pengadilan
korupsi. Dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Pasal 53 UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur
bahwa “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945. Pertimbangan MK adalah bahwa pembentukan pengadilan-
pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan
peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan.
Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945
mengandung arti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus
75
dilakukan dengan UU. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi
dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan
khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat
tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini,
antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di
lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha
negara”. Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah
tercantum dalam Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi
ketentuan Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan
Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya berbunyi,
“Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-
masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-
badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan
Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah
peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara
pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan
76
adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan,
misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan
lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan
Undang-undang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang”
yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di
bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain
selain undang-undang.
Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun
demikian MK memandang bahwa peralihan dampak hukum dari putusan harus
smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak
putusan diucapkan.
Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur lembaga kekuasaan
kehakiman di Indoesia telah berubah.
Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan Korupsi dan KPK
(bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena jika dalam waktu tiga
tahun pemerintah dan DPR gagal melahirkan Undang-Undang Pengadilan Korupsi
maka perkara korupsi akan diadili di pengadilan biasa, yang selama ini telah melahirkan
77
putusan-putusan kontroversial. Itu berarti pada 19 Desember 2009 sudah harus ada
Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana
korupsi. Jika pada tanggal itu tak terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada sekarang
kehilangan dasar hukumnya. Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang karena tidak
adanya Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam
memberantas korupsi pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara
preventif dan melakukan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan
represif dari KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi ke pengadilan korupsi
lah yang selama ini menjadi pusat apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada
pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian
dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
tetapi putusannya tidak langsung berlaku dan masih memberi kesempatan tiga tahun
lagi.
Berbagai komentar muncul menyikapi putusan MK. Pengacara senior Adnan Buyung
Nasution menilai, putusan MK bukan saja rancu, tetapi betul-betul bertolak belakang
dalam substansi. Di satu pihak membatalkan Pengadilan Tipikor, tetapi di pihak lain
memberi waktu tiga tahun. Gubernur Lemhanas Muladi menilai, putusan MK yang
memberikan batas waktu tiga tahun merupakan putusan yang ganjil.35
Sedangkan Guru Besar tata negara Indriyanto Seno Adji menilai, putusan MK tersebut
telah membuat KPK kehilangan rohnya. Pasalnya, ujung pemeriksaan KPK adalah
pemeriksaan di Pengadilan Ad Hoc Tipikor. Aturan yang membawahi Pengadilan
Tipikor sangat penting karena menyangkut eksistensi KPK serta proses pemeriksaan
35 Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, Penelitian untuk PUSLITBANG, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL. JAKARTA, 2011
78
yang telah, sedang, dan akan dilakukan KPK. Kritik terhadap putusan MK juga datang
dari pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Fajrul Falaakh. Ia menilai,
putusan MK sebenarnya telah keluar dari fatsun. Putusan MK yang memberikan jangka
waktu tiga tahun pun dinilai tidak relevan.36
Komentar berbeda disampaikan oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas
Saldi Isra. Saldi menilai, putusan MK memang merupakan putusan transisi yang lebih
mengedepankan soal kemanfaatan dengan tetap menjamin kepastian hukum. Putusan
MK juga bernilai positif, yaitu terbukanya kesempatan membuat aturan untuk
memperkuat hakim tindak pidana korupsi. Komentar senada disampaikan pakar hukum
tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana. Denny berpendapat,
vonis MK terhadap UU KPK merupakan terobosan hukum yang dilakukan MK. Putusan
MK mengandung semangat toleransi antikorupsi yang patut diapresiasi.37
Apabila kita melihat putusan MK, sekilas memang terkesan kontradiktif. Di satu sisi,
pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945. Di sisi lain, pasal tersebut dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum
mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan
diucapkan.
Ada baiknya kalau kita kembali melihat latar belakang didirikannya KPK. Pendirian KPK
dimaksudkan sebagai upaya terobosan bagi langkah-langkah pemberantasan korupsi,
mengingat lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi
dinilai tidak berfungsi (konsideran Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi). Keputusan politik ini didasari suatu pertimbangan
36 Ibid 37 Ibid
79
bahwa korupsi sudah bukan lagi kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar
biasa. Selain itu, korupsi sudah dianggap merugikan hak-hak mendasar yang diatur
dalam ECOSOC, itu artinya melanggar hak-hak konstitusi rakyat. Karena itu,
pemberantasan korupsi juga memerlukan lembaga dengan kewenangan besar dan
dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula, wujudnya adalah dibentuk KPK.
Melengkapi kekhususan KPK, dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
yang khusus bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi
yang penuntutannya diajukan oleh KPK.
Adalah ironis apabila MK sebagai lembaga yang didirikan dengan semangat dan
landasan moral yang sama dengan KPK, yakni menghadirkan perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara, dalam praktiknya ternyata menghadapi persoalan yang
saling melemahkan satu sama lain. Namun, apakah benar bahwa MK melakukan hal
tersebut dalam kasus pembatalan keberadaan dasar hukum Pengadilan Tipikor? Kita
harus melihat secara jernih putusan MK. Hukum normatif mungkin saja memiliki logika
dan aturan tersendiri dalam memutus perkara-perkara yang dihadapinya, tetapi nurani
masyarakat dan nilai-nilai keadilan kiranya juga merupakan hal mendasar yang harus
dipertimbangkan. Ini sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis,
perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara
sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Keputusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang KPK
bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang memberikan
kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang menyatakan,
“Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
80
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur dengan
undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti pembentukan
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang.
Putusan di atas dibuat MK untuk menghindari dualisme sistem peradilan, walaupun
sebenarnya masih banyak UU lain yang menerapkan hal serupa. Pembentukan
Mahkamah Pelayaran, Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial, dan Peradilan
Pelanggaran HAM Berat, beberapa contoh sistem peradilan yang berada dalam UU
seperti keberadaan pengadilan Tipikor di dalam UU KPK.
Sedangkan putusan lanjutan yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No.30/2002 tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga
tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada
aspek manfaat. Hal itu dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh MK;
Pertama, akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup
mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang
sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan
hukum. Kedua, putusan yang diambil oleh MK jangan sampai menyebabkan timbulnya
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan
dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, putusan MK
jangan sampai pula menimbulkan implikasi melemahnya semangat (disinsentive)
pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat
Indonesia. Keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan
kelembagaan pengadilan khusus yang diperlukan untuk itu, tidak dapat diselesaikan
seketika sehingga dibutuhkan waktu yang cukup.
81
Sebenarnya putusan MK dapat berhenti sampai pernyataan bahwa pasal 53 UU
No.53/2002 bertentangan dengan UUD 1945, seperti yang dilakukan oleh salah satu
hakim MK. Tetapi, mengapa MK justeru tetap memelihara keberadaan Pengadilan
Tipikor sampai tiga tahun pasca putusan?
Dari kacamata kepastian hukum, putusan MK dapat diinterpretasikan berpotensi
menimbulkan persoalan baru yang belum pernah terjadi dalam praktek hukum di
Indonesia, yakni dualisme kekuatan hukum atas vonis bagi orang yang dijerat dengan
UU KPK. Dampak lain yang timbul adalah keraguan masyarakat terhadap sepak terjang
KPK. Walaupun KPK masih bisa melakukan penyelidikan, penyidikan dan mengajukan
penuntutan, tetapi pengadilan Tipikor sudah dinyatakan cacat konstitusi.
Namun, apabila kita melihat dari kacamata kemanfaatan, putusan MK memberi waktu
tiga tahun kepada pengadilan Tipikor untuk tetap bekerja merupakan ijtihad dalam
sistem hukum kita. Arti umum ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh
untuk memutuskan suatu perkara yang sulit atau masih multitafsir dengan
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Empat alasan yang dikemukakan
MK dapat dilihat didasari suatu pertimbangan bahwa korupsi sudah bukan lagi
kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, MK tidak
serta merta memberlakukan pembatalan pengadilan Tipikor yang dapat mengganggu
jalannya pemberantasan korupsi, namun MK memberi waktu tiga tahun untuk
melakukan proses peralihan yang mulus (smooth transition) sampai terbentuknya
aturan yang baru.
Sedangkan secara konstitusional, putusan MK mencoba meletakkan tujuan negara
sebagai muara penegakkan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi. Apabila
82
yang terjadi putusan MK menghambat pembelaaan hak-hak konstitusi rakyat, maka
putusan MK justeru akan inkonstitusional. Masuknya asas manfaat dengan
pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan politik dalam putusan MK, akan
memberikan legitimasi konstitusional bagi KPK dan Pengadilan Tipikor untuk menjadi
instrumen penegakan hukum dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur dan
sejahtera seperti yang termaktub di dalam konstitusi.
Apabila kita sepakat bahwa korupsi sudah bukan lagi kejahatan biasa, melainkan
merupakan kejahatan luar biasa, maka aspek kepastian hukum harus tetap dijaga.
Namun, memadukan aspek kepastian hukum dan aspek kemanfaatan demi mencapai
keadilan masyarakat harus diusahakan dengan sangat oleh seluruh penegak hukum.
Dalam hal ini MK melalui ijtihadnya mencoba untuk melangkah terlebih dahulu. Apabila
ijtihad MK benar maka nilainya dua, tetapi apabila salah masih mendapatkan nilai satu.
Persoalan pro kontra terhadap putusan MK dapat kita lihat sebagai usaha bersama
dalam proses demokrasi, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi.
Subtansi Pasal 53 adalah bahwa terdapat dualisme pengadilan yang mengadili perkara
korupsi, yakni peradilan umum (PN) dan peradilan khusus (Pengadilan Tipikor yang
secara struktural juga beradilan di bawah lingkungan peradilan umum). Keadaan
demikian dinyatakan ada diskriminasi di depan hukum, yang tidak sejalan
(inkonstitusional) dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. MK memutuskan, Pasal 53 UU
KPK bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan standar ganda peradilan
korupsi antara peradilan umum yang dilakukan PN dan Pengadilan Tipikor. Tetapi MK
tidak menyatakan eksistensi Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. MK
83
hanya memutuskan agar dasar hukum Pengadilan Tipikor diperkuat dengan membuat
UU baru. MK juga menentukan waktu paling lama tiga tahun setelah putusan MK ini
harus sudah ada UU Pengadilan Tipikor yang baru. Pengadilan Tipikor merupakan
Pengadilan yang menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan penyelenggara
Negara. Tidak itu saja, Pengadilan ini juga diharapkan akan memupus kecurigaan
bahwa dalam perkara tipikor majelis hakim kurang objektif dan selalu memenangkan
pihak JPU KPK dan merugikan kepentingan terdakwa.
Pengadilan Tipikor sebagai lembaga ad hoc pemberantasan korupsi telah berhasil
mewujudkan harapan masyarakat dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus
korupsi. Sayangnya tujuan praktis pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut dianulir
oleh Mahkamah Konstitusi.
Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sebagai sebuah pengadilan khusus, Pengadilan Tipikor
berinduk pada Pengadilan Negeri (PN) dalam hal ini PN Jakarta Pusat.
Tak hanya Pengadilan Tipikor, tiga pengadilan khusus lain juga berinduk di PN Jakarta
Pusat. Antara lain Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM dan Pengadilan Hubungan
Industrial. Karena itu, jabatan ketua pengadilan khusus itu, termasuk Pengadilan
Tipikor, juga dipegang oleh Ketua PN Jakarta Pusat. Meski berkedudukan di Jakarta,
namun Pengadilan Tipikor mempunyai yurisdiksi untuk menerima dan memutus perkara
korupsi di seluruh Indonesia yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada perkembangannya, keberadaan Pengadilan Tipikor akan mengalami perubahan.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal
84
19 Desember 2006, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan UU tersendiri, paling
lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK itu.
Sebenarnya tidak ada satu pun amar putusan MK yang menyatakan bahwa Pengadilan
Tipikor harus dihapus. Dianulirnya keberadaan Pengadilan Tipikor disebabkan karena
perumus undang-undang tidak mampu merumuskan Pengadilan Tipikor secara
profesional. Terbukti, keberadaan Pengadilan Tipikor hanya ’’dicantelkan” dalam satu
pasal di Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Putusan MK menyatakan keberadaan Pengadilan Tipikor berdasarkan Pasal 53
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945, khususnya
Pasal 24 A ayat (5),yang menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara
Mahkamah Agung,dan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Dari kalangan pemerintah,yang dikomandani Andi Hamzah,secara tegas mengatakan
bahwa ke depan mereka akan menghapuskan Pengadilan Tipikor dan meniadakan
hakim ad hoc korupsi. Alasannya,PengadilanTipikor dan hakim ad hoc menimbulkan
dualisme pengadilan dalam suatu lingkungan peradilan yang sama. Terhadap wacana
ini,muncul perlawanan.Beberapa LSM dan gerakan mahasiswa yang concern terhadap
pemberantasan korupsi melakukan aksi penolakan.ICW menarik diri dari tim pembahas
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi versi pemerintah bergabung dalam
koalisi LSM lainnya.
Munculnya dualisme ’’ideologi” menyangkut eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi
di masa mendatang menarik untuk dicermati. Pada dasarnya, dualisme ini muncul dari
sebuah ketidaksepakatan empiris dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pemberantasan korupsi. Termasuk di dalamnya para pelaku korupsi itu sendiri. Atas
85
dasar ini, perdebatan tentang eksistensi Pengadilan Tipikor ke depan seharusnya tidak
lagi didasarkan kepada kajian-kajian teoritis, tetapi lebih kepada aspek aplikatif dan
manfaat yang dihasilkan dari keberadaan Pengadilan Tipikor selama ini.
Harus diakui bahwa keberadaan Pengadilan Tipikor telah membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari sisi prestasi,
Pengadilan Tipikor terbukti lebih ’’cerdas’’ dalam menjerat para koruptor dibandingkan
dengan pengadilan umum.Hampir semua perkara yang ditangani oleh Pengadilan
Tipikor berujung dengan dihukumnya terdakwa.Jelas hal ini membawa manfaat bagi
negara, yakni kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan korupsi bisa
’’dikembalikan’’.
Dualisme ideologi ini pada akhirnya akan bermuara kepada politik (kebijakan) hukum
pidana. Poin penting dalam menentukan kebijakan hukum pidana adalah harus adanya
kesadaran dan kesengajaan dalam mempergunakan kebijakan hukum pidana.Menurut
pendapat Prof Sudarto, hal itu harus didasarkan pada penilaian dan melakukan
pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Pendekatan rasional merupakan
pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan.Dari sekian
banyak alternatif yang ada, mempertahankan Pengadilan Tipikor merupakan pilihan
yang paling rasional.
Dalam konteks pembentukan Pengadilan Tipikor, pendekatan rasional pemberantasan
korupsi dapat dilihat dalam konsideran menimbang huruf b, Undang-Undang No 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Faktanya, pengadilan
86
umum secara substansial belum mampu berbuat lebih baik dari pada Pengadilan
Tipikor. Dengan dicantumkannya Pasal 53 tentang Pengadilan Tipikor dalam Undang-
Undang KPK, nyata terlihat pilihan pemberantasan korupsi melalui peradilan ad
hocmerupakan pilihan yang didasari kesadaran dan kesengajaan agar penegakan
hukum pemberantasan korupsi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Berkaca pada pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh negara-negara lain, seperti
China, tindakan-tindakan luar biasa (extraordinary action) dalam pemberantasan
korupsi sangat diperlukan.Secara faktual tindak pidana korupsi merupakan kejahatan
yang extraordinary pula. Atas dasar ini maka ’’dualisme’’ Pengadilan Tipikor sebaiknya
diletakkan dalam kerangka extraordinary action pemberantasan korupsi.
Apabila kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara
judicial review UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekilas
memang terkesan kontradiktif. Di satu sisi, pasal 53 UU No.30/2002 tentang
keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi. Di sisi lain, pasal tersebut dinyatakan tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak
putusan diucapkan.
Ada baiknya kalau kita kembali melihat latar belakang didirikannya KPK. Pendirian KPK
melalui keputusan politik yang didasari suatu pertimbangan bahwa korupsi sudah bukan
lagi kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu, korupsi
sudah dianggap merugikan hak-hak dasar yang diatur dalam ECOSOC, itu artinya
sama dengan melanggar hak-hak konstitusi rakyat. Karena itu, pemberantasan korupsi
memerlukan lembaga khusus dengan kewenangan besar, wujudnya adalah KPK.
87
Melengkapi kekhususan KPK, dibentuk Pengadilan Tipikor yang khusus bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya
diajukan oleh KPK.
Ironis, apabila MK sebagai lembaga yang didirikan dengan semangat dan landasan
moral yang sama dengan KPK dan Pengadilan Tipikor, yakni menghadirkan perbaikan
kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam praktiknya saling melemahkan satu sama
lain. Tetapi, apakah benar bahwa putusan MK yang menyatakan Pengadilan Tipikor
melanggar konstitusi dimaksudkan untuk menghapus keberadaan Pengadilan Tipikor?
Kita harus melihat secara jernih putusan MK. Hukum formil mungkin saja memiliki
logika dan aturan tersendiri dalam memutus perkara-perkara yang dihadapinya, tetapi
nurani masyarakat dan nilai-nilai keadilan kiranya juga merupakan hal mendasar yang
harus dipertimbangkan. Ini sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara
filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum;
dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Putusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang Pengadilan
Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang
memberikan kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang
ditafsirkan MK bahwa pembentukan badan peradilan di bawah MA harus dilakukan
dengan undang-undang. Artinya, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan undang-
undang tersendiri, bukan di dalam UU KPK seperti saat ini. Walaupun saat ini
sebenarnya masih ada UU lain yang menerapkan hal serupa, seperti; Peradilan
Perselisihan Hubungan Industrial dan Peradilan Pelanggaran HAM Berat.
88
Sedangkan putusan lanjutan yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No.30/2002 tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga
tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada
aspek manfaat. Hal itu dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh MK;
Pertama, agar proses peradilan Tipikor tidak terganggu atau tidak macet. Kedua, agar
tidak menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat
mengacaukan penanganan perkara tipikor. Ketiga, agar tidak memperlemah semangat
(disinsentive) pemberantasan korupsi. Keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU
KPK dan penataan kelembagaan pengadilan khusus.
Apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus? Pertanyaan ini terkesan sederhana.
Tapi apakah benar sesederhana itu? Berikut penjelasan pasal 15 ayat 1 UU No. 4/2004
menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan pengadilan khusus:
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain,
adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,
pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di
lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Dari penjelasan tersebut terlihat ternyata UU 4/2004 tidak memberikan definisi apa
yang dimaksud dengan pengadilan khusus namun hanya memberikan contoh-contoh
dari pengadilan khusus itu sendiri, yang mana semua contoh pengadilan ’khusus’
tersebut sebenarnya telah ada sebelum UU 4/2004 itu sendiri lahir. Pengadilan Anak
diatur melalui UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga diatur
melalui Perpu No. 1 Tahun 1998, Pengadilan HAM diatur melalui UU No. 26 Tahun
89
2000, Pengadilan Hubungan Industrial diatur melalui UU No. 2 Tahun 2004 dan
Pengadilan Pajak diatur melalui UU No. 14 Tahun 2002. Selain pengadilan-pengadilan
tersebut terdapat satu pengadilan lagi yang dinyatakan sebagai pengadilan khusus,
yaitu Peradilan Syari’ah.
Dengan pendefinisian suatu konsep dengan memberikan contoh-contoh dari sesuatu
yang telah ada sebelumnya maka sangatlah logis jika yang dimaksud dengan konsep
tersebut dapat dilihat dari persamaan diantara contoh-contoh yang diberikan. Jika
ditelusuri dari masing-masing undang-undang yang melandasi pengadilan-pengadilan
yang disebutkan baik dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 maupun pasal 15 ayat 2
sebenarnya hanya terdapat satu kesamaan yang menghubungkan pengadilan-
pengadilan ’khusus’, yaitu pengadilan tersebut memiliki nama tertentu yang dinyatakan
dalam undang-undangnya. Mengapa demikian?
Secara sekilas memang terlihat bahwa terdapat setidaknya dua persamaan lainnya
yang menghubungkan antara pengadilan-pengadilan ’khusus’, yaitu adanya hakim
khusus dan kompentensi khusus. Persamaan ini sebenarnya tidak terdapat pada
semua pengadilan yang disebut pada pasal 15. Pengadilan yang dalam undang-
undanganya diatur adanya hakim khusus baik berupa hakim ad hoc maupun hakim
(karir) yang memiliki kualifikasi khusus, hanya terdapat pada Pengadilan Anak,
Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI).
Untuk Pengadilan Pajak dalam undang-undangnya memang disebutkan kriteria-kriteria
hakim (Bab II Bagian Kedua UU 14/2002), akan tetapi khusus mengenai hakim
pengadilan pajak sebenarnya tidak dapat dipersamakan dengan hakim-hakim
90
pengadilan khusus lainnya. Lebih jauh lagi kedudukan Pengadilan Pajak (dan juga
Peradilan Syari’ah) sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan pengadilan-pengadilan
’khusus’ yang disebut dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 UU 4/2004. Kedudukan
Pengadilan Pajak lebih tepat disejajarkan dengan Peradilan Umum, Agama, Tata
Usaha Negara maupun Militer, sehingga dengan demikian hakim pengadilan pajak
setara dengan hakim pengadilan negeri, dan lainnya, atau dengan kata lain hakim-
hakim yang disebutkan dalam dalam pasal 8 UU Pengadilan Pajak sebenarnya
merupakan hakim ’umum’ itu sendiri, walaupun tidak seperti hakim ’karir’ pada
umumnya yang masa jabataannya ditentukan berdasarkan usia pensiun, hakim
pengadilan pajak dibatasi dengan masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat
diangkat lagi untuk 1 kali masa jabatan.
Pengadilan Pajak dinyatakan sebagai pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya baru pada tahun 2004, yaitu
melalui penjelasan pasal 15 ayat 1 itu sendiri. Sejak awal pengadilan ini sebenarnya
memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri yang sejajar
dengan 4 lingkungan peradilan yang telah ada. Indikasi bahwa pengadilan ini
sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri
yaitu pertama dari tidak dicantumkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN
dalam bagian konsideran mengingatnya, walaupun dua undang-undang yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman, yaitu UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 tentang
Mahkamah Agung secara tegas dicantumkan. Kedua, dalam pasal 5 ayat 2 UU 14/2002
dinyatakan bahwa Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan
Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, padahal pada saat itu departemen yang
91
membawahi lingkungan peradilan Tata Usaha Negara adalah Departemen
Kehakiman. Ketiga, dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa putusan
pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain…dst. Jika UU 14/2002 merupakan
pengadilan yang berada di lingkungan peradilan TUN maka tentunya dalam penjelasan
pasal 33 ayat 1 tersebut cukup hanya menyebutkan bahwa putusan pengadilan pajak
tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN. Selain itu indikasi bahwa
Pengadilan Pajak sedari awal memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan
peradilan tersendiri juga dinyatakan oleh anggota MPR/DPR Zein Badjebber yang
merupakan anggota PAH I Badan Pekerja MPR. Pada saat pembahasan amandemen
konstitusi khususnya mengenai bab Kekuasan Kehakiman Zein Badjeber menyatakan:
…”Kami ingin mengkaji kembali bersama Tim Ahli, apakah hal-hal tersebut
sesuai dengan kebutuhan negara kita sehingga nantinya dan sekarang ini di
DPR sedang dibicarakan adanya Badan Peradilan Pajak yang menghendaki
merupakan lingkungan peradilan tersendiri, yang menurut kami bertentangan
dengan Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.
14 Tahun 1970…”
Selain pengadilan pajak, Peradilan Syari’ah khususnya konsep peradilan syari’ah yang
berjalan pada saat dibahasnya UU No. 4 Tahun 2004 juga sebenarnya tidak mengenal
konsep hakim khusus. Dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang menjadi landasan hukum
Peradilan/Mahkamah Syai’ah bahkan tidak terdapat pengaturan sama sekali mengenai
hakim dari pengadilan tersebut kecuali dalam pasal 26 ayat 3 UU 18/2001 yang
menyatakan bahwa Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh
92
Presiden atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur
NAD dan Ketua MA. Pengaturan lebih jauh mengenai hakim mahkamah syariah ini,
termasuk keberadaan hakim ad hoc baru terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, undang-undang yang lahir dua tahun setelah lahirnya UU
No. 4 Tahun 2004. Selain itu, seperti halnya Pengadilan Pajak, Peradilan Syari’ah ini
sepertinya pada awalnya juga tidak dimaksudkan sebagai suatu pengadilan khusus,
tetapi sebuah badan peradilan khusus sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 UU
No. 14 Tahun 1970. Hal ini terlihat dari selain tidak disebutkannya lingkungan peradilan
yang membawahinya, juga terlihat dalam pasal 27 yang menyatakan bahwa sengketa
wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan
lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama
dan tingkat terakhir. Peradilan Syari’ah baru benar-benar masuk dalam suatu
lingkungan peradilan pada tahun 2006 dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun
2006. Berbeda dengan Pasal 15 ayat 2 yang menyatakan bahwa Peradilan Syari’at
masuk dalam dua lingkungan peradilan, dalam UU No. 11/2006 dinyatakan bahwa
peradilan ini masuk dalam lingkungan peradilan agama saja.
Mungkin terkesan terlalu tidak masuk akal jika pada akhirnya yang dimaksud dengan
pengadilan khusus hanyalah pengadilan yang diberikan nama tertentu oleh undang-
undang yang mengaturnya, namun jika bukan sekedar bernama yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah apa lagi yang bisa kita jadikan parameter untuk menilai
suatu pengadilan merupakan pengadilan khusus atau bukan? Adanya hakim ad hoc?
Parameter ini juga tampaknya tidak begitu valid, selain tidak semua pengadilan ‘khusus’
memiliki hakim ad hoc, seperti pengadilan anak dan pengadilan ekonomi, hakim ad hoc
93
juga sebenarnya bukan ‘monopoli’ dari pengadilan ‘khusus’ itu sendiri mengingat hal ini
juga terdapat dalam Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Parameter berikutnya yang bisa kita pakai mungkin kembali dengan menggunakan
parameter adanya hakim khusus –dengan asumsi bahwa pembuat UU No. 4/2004
bermaksud ‘memerintahkan’ agar undang-undang yang menjadi dasar hukum dari
pengadilan pajak maupun peradilan syari’ah untuk segera diubah[9], kini yang menjadi
pertanyaan adalah, bagaimana dengan ‘pengadilan’ yang mengadili perkara pemilu
yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPRD dan DPD? Dalam undang-undang tersebut memang tidak disebutkan adanya
pengadilan yang ‘bernama’, misalnya Pengadilan Pemilu, namun dalam pasal 254 ayat
2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa sidang pemeriksaan perkara pidana
Pemilu sebagaimana dilakukan oleh hakim khusus. Apakah dengan demikian dapat
dikatakan bahwa selain pengadilan khusus yang disebut dalam UU 4/2004 (dan
Pengadilan Perikanan yang diatur dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan) terdapat
pengadilan khusus Pemilu?
Penggunaan istilah ‘pengadilan khusus’ sebenarnya dimulai pada tahun 1998, tepatnya
dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Tentang Kepailitan
yang menjadi landasan hukum dari pengadilan niaga yang kemudian disahkan menjadi
undang-undang melalui UU No. 4 Tahun 1998. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam
konsideran Menimbang huruf f yang selengkapnya berbunyi:
bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-
piutang tersebut diatas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara
adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan
94
Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan
memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di
bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya;
Jika dilihat dari penjelasan umumnya sebenarnya pengadilan ini merupakan bentuk
pengkhususan yang dimungkinkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 UU
tersebut dinyatakan Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan
peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu
dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan
Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara
perdata, maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya
dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas,
Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.
UU No. 14/1970 sendiri tidak menjelaskan lebih jauh maksud dari dimungkinkannya
pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) itu sendiri, apakah yang dimaksud
pengkhususan tersebut adalah pengkhususan atau penyimpangan dari hukum acara
yang berlaku umum dari hukum acara yang berlaku bagi masing-masing lingkungan
peradilan atau bidang perkara atau termasuk misalnya membentuk pengadilan
95
tersendiri. Sebagaimana halnya pasal penjelasan pasal 15 UU No. 4/2004, penjelasan
pasal 10 ayat 1 UU 14/1970 juga hanya memberikan contoh dari pengadilan-pengadilan
yang merupakan bentuk pengkhususan itu sendiri dimana pada saat itu setidaknya
memang telah ada salah satu dari tiga contoh pengadilan yang disebutkan, yaitu
pengadilan ekonomi (UU Drt No. 7/1955).
Ketidakjelasan maksud pembuat undang-undang juga ditemukan dalam UU No. 19
Tahun 1964 yang juga mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Hanya saja dalam UU
ini tidak disebutkan baik istilah pengadilan khusus maupun pengkhususan, penjelasan
pasal 7 UU ini langsung menyebutkan bahwa peradilan umum antara lain Pengadilan
Ekonomi, Pengadilan Subversi, dan Pengadilan Korupsi, sementara Peradilan Tata
Usaha Negara antara lain meliputi juga Peradilan Kepegawaian, yang saat itu telah
dinyatakan dalam UU No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kepegawaian.
Penggunaan istilah pengadilan khusus sendiri tak jarang ‘tertukar’ dengan
istilahperadilan khusus. Pengadilan Niaga sendiri yang pada bagian konsideran
menimbangnya disebut sebagai pengadilan khusus, namun dalam penjelasan
umumnya justru dinyatakan sebagai peradilan khusus.
Penjelasan umum Perpu No. 1/1998… Ketujuh, penegasan dan pembentukan
peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum.
Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan Hakim-hakim yang dengan
demikian juga akan bertugas secara khusus…dst
Istilah peradilan khusus sendiri memang terdapat dalam UU No. 14/1970. Selain dari
penjelasan pasal 10 ayat 1 yang menyebutkan Peradilan Militer, Agama, maupun Tata
96
Usaha Negara sebagai peradilan khusus, dalam pasal 13 nya juga dinyatakan bahwa
Badan-badan Peradilan khusus disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada,
hanya dapat diadakan dengan Undang-undang. Ketentuan pasal 13 ini memang
seakan menyiratkan bahwa disamping 4 badan peradilan yang disebut dalam pasal 10
dapat dibentuk badan peradilan lainnya. Hal ini tampaknya menjadi salah satu faktor
yang membuat persepsi bahwa pengadilan-pengadilan khusus yang saat itu baru
dibentuk seperti pengadilan niaga dan HAM seperti sebuah badan peradilan
sebagaimana halnya peradilan umum, terlebih setelah akhirnya lingkungan peradilan
dibatasi pada konstitusi tak lama kemudian ternyata UU Pengadilan Pajak (14/2002)
tetap membuat pengadilan ini sebagai lingkungan peradilan tersendiri bukan dibawah
lingkungan peradilan TUN sebagaimana sebelumnya disepakati oleh MPR.[12] Adanya
perbedaan persepsi terhadap kedudukan pengadilan-pengadilan khusus (yang tidak
semuanya dinyatakan dalam undang-undangnya sebagai pengadilan khusus) serta
‘kekeliruan’ UU No. 14/2002 tersebut tampaknya yang melandasi perubahan rumusan
pengaturan penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 15 UU 4/2004 seperti yang
ada saat ini. Atau dengan kata lain, pengaturan pasal 15 UU No. 4/2004 sebagaimana
halnya penjelasan pasal 7 UU No. 19/1964 dan penjelasan pasal 10 UU No. 14/1970
lebih didasari pada pertimbangan memperjelas kedudukan pengadilan-pengadilan
‘bernama’ yang telah ada dibanding memberikan kerangka hukum bagi pengaturan
dimasa mendatang.
Sorotan publik atas lambatnya DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi kian gencar. Hampir habisnya usia Pengadilan Tipikor yang ada saat ini telah
menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat bahwa hal ini merupakan
97
masa berakhirnya era pemberantasan korupsi. Dapat dikatakan Pengadilan Tipikor
merupakan satu-satunya pengadilan khusus atau ‘ bernama’ yang mendapatkan
sorotan begitu besar dibandingkan pengadilan-pengadilan khusus yang ada lainnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuatnya berbeda baik dari pengadilan
khusus lainnya maupun dari pengadilan lainnya yang juga memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan mengadili perkara korupsi?
Jika melihat pada pengaturan yang ada mengenai pengadilan Tipikor ini, khususnya
yang ada dalam Bab VII UU No. 30 Tahun 2002 yang menjadi landasan dari pengadilan
ini sebenarnya tidak ada pengaturan yang berbeda dari penanganan perkara korupsi
pada umumnya, mengingat pada dasarnya pengkhususan hukum acara bagi perkara
tindak pidana korupsi sebenarnya terdapat dalam UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001
yang juga berlaku bagi perkara korupsi yang diadili pada pengadilan biasa. Satu hal
yang secara signifikan membedakan pengadilan ini dengan ‘pengadilan tipikor biasa’
sebenarnya hanyalah pengaturan mengenai komposisi hakim yang berwenang
mengadilinya, dimana dalam pengadilan ini terdapat hakim ad hoc yang komposisinya
lebih besar dari hakim biasa atau karir.
Pengadilan Tipikor bukan bagian dari keluarbiasaan, tetapi hanya merupakan bagian
dari kekhususan. Konteks keluarbiasaan dalam pemberantasan korupsi menurutnya
tidak berarti harus memiliki berbagai kekhususan, misalnya harus ada Penyidikan
Khusus Korupsi, Penuntutan Umum Korupsi, dan Pengadilan Khusus Korupsi.
Pernyataan ini seakan menafikan bagaimana sejarah terbentuknya KPK sebagai trigger
mechanism dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
98
Konsekuensi negara menetapkan korupsi sebagai extraordinary crime adalah harus
adanya instrumen extrameasure. Artinya, diperlukan langkah-langkah ekstra untuk
memberantas korupsi dalam bentuk sistem yang luar biasa dan berbeda dengan sistem
yang telah ada. Instrumen dimaksud mencakup aspek peraturan perundang-undangan,
aspek kelembagaan, maupun infrastruktur yang harus disediakan. Bentuk kongkritnya
adalah adanya Undang-Undang Tipikor dan dibentuknya KPK yang di dalam Undang-
Undangnya mengamanatkan pembentukan pengadilan Tipikor.
Artinya, pengadilan Tipikor pun dibentuk menurut logika kerangka sistem yang
terintegrasi dalam sistem peradilan korupsi. Logika ini didasarkan atas pemahaman,
bahwa pengadilan Tipikor sebagai pintu terakhir penanganan kasus tipikor tentu harus
turut memiliki semangat antikorupsi. Jika perkara tipikor yang diperiksa KPK hanya
untuk diserahkan kepada pengadilan umum, maka keluarbiasaan dan kekhususan
tipikor menjadi hilang. Alasannya, pengadilan Tipikor dibentuk karena pengadilan umum
tidak dapat bekerja optimal dan marak dengan mafia peradilan. Belajar dari motto
pengadilan di Inggris yang menyatakan, “berikan aku hakim yang baik, meski di
tanganku ada hukum yang buruk”. Hal itu sangat relevan mengingat keluarbiasaan dari
sistem pemberantasan korupsi justeru akan ditemukan dalam Pengadilan Tipikor.
Bahkan, keberadaan pengadilan Tipikor harus ditunjang oleh sistem peradilan yang luar
biasa dan khusus. Ketersediaan hukum acara khusus yang berbeda dengan KUHAP
sangat diperlukan. Hal itu bukan berarti tidak menjunjung tinggi asas-asas dalam
KUHAP, namun justeru menempatkan hukum tidak hanya sebatas pengertian formil,
melainkan harus diletakkan pula di dalam konteks kemanfaatan dan keadilan. Oleh
99
karena itu, pembentukan pengadilan Tipikor harus diletakkan di dalam usaha bersama
untuk membentuk sistem peradilan pidana secara terintegrasi.
Saat ini, setiap elemen negara seharusnya bergerak bersama di dalam usaha
pemberantasan korupsi. Tak luput, para penegak hukum. Pengadilan adalah salah satu
institusi penegak hukum di Indonesia. Demikian halnya pengadilan Tipikor, yang
eksistensinya semakin ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas
dasar hukum pembentukannya yang masih perlu dibenahi, namun fungsi dan
kewengannya adalah konstitusional.
Lolosnya setiap tuntutan KPK dalam pengadilan Tipikor bukan sekedar adanya prinsip
kehati-hatian dari KPK di dalam mengajukan tuntutan, tetapi ditunjang oleh kecermatan
pengadilan Tipikor dalam melakukan pemeriksaan setiap perkara yang ditangani. Fakta
dan bukti-bukti yang ditemukan selama proses pemeriksaan di pengadilan tentu
menjadi pertimbangan bagi para hakim untuk membuat putusan yang seadil-adilnya.
Jika akhirnya tuntutan diterima, tentu bukan karena KPK dan pengadilan Tipikor
berkonspirasi untuk menghukum orang secara sembarangan. Sebaliknya, KPK terbukti
sudah mengoptimalkan fungsinya di dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.
Sementara pengadilan Tipikor sudah menggali kebenaran untuk membangun
keyakinan majelis hakim dalam mengambil putusan. Hal itu membuktikan bahwa KPK
dan pengadilan Tipikor telah melakukan tugasnya di dalam mengadili perkara korupsi
sesuai dengan pertimbangan hukum formal dan material serta memenuhi asas
kemanfaatan dan keadilan.
Tindakan berani dan progresif hakim Tipikor selama ini di dalam menangani kasus
korupsi ternyata mendapat penilaian yang berbeda dari penulis. Penulis menilai, bahwa
100
para hakim menjadi lebih pandai menghukum daripada mengadili termasuk
mengorupsikan berbagai masalah konflik sipil, bisnis, dan administratif yang terjadi di
masyarakat. Penilaian tersebut dapat dikatakan tendensius dan sebagai bentuk
penghakiman hakim tipikor. Dapat dikatakan demikian, mengingat penulis tidak
mengemukakan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Penulis hanya
memberikan satu data mengenai putusan pengadilan Tipikor dalam kasus penunjukan
langsung di Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Daan Dimara. Tentu saja hal itu tidak
cukup dijadikan alasan penulis untuk menarik kesimpulan. Apalagi, penulis bertindak
sebagai pembela salah satu pihak yang ada hubungannya dengan kasus korupsi di
KPU yang besar kemungkinan menimbulkan conflict of interest.
Putusan MK tidak dalam konteks meniadakan eksistensi pengadilan Tipikor.
Konsekuensi lain dari putusan MK adalah bahwa sistem administrasi dan manajemen
pengadilan Tipikor justeru harus ditata sedemikian rupa agar mendukung percepatan
pemberantasan korupsi. Bukan justeru disatukan dan disamakan dengan sistem yang
selama ini kita pertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya.
Secara tegas MK pun memandatkan penataan sistem pemberantasan korupsi, dengan
merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait, yakni UU KPK dan UU
Tipikor. Tidak untuk meniadakan salah satu kewenangan KPK yang justeru
memperkuat sistem peradilan korupsi. Jika meniadakan pengadilan Tipikor dan
mengalihkan penuntutan tipikor pada kejaksaan dinilai sebagai langkah maju, maka dari
sudut penegakan hukum hal ini tidak tepat. Apabila penulis mengabaikan putusan MK
dengan sengaja, hal itu dapat diartikan mengabaikan penegakan hukum itu sendiri.
101
Meniadakan pengadilan Tipikor dan mengamputasi kewenangan KPK merupakan
bentuk lain dari memotong nadi pemberantasan korupsi.
Pekerjaan rumah penting pasca putusan MK yang harus secepatnya dilakukan oleh
pemerintah dan DPR adalah menyusun RUU Pengadilan Tipikor. Sedangkan LSM,
praktisi dan akademisi seharusnya memberikan masukan yang berharga bukan
memunculkan kontroversi yang tidak produktif. Akhirnya, benar dan salahnya
pernyataan Ketua KPK tidak serta merta dapat dijadikan alasan oleh penulis untuk
menghakimi KPK, apalagi mendorong pembubaran pengadilan Tipikor.
Pemerintah bersama DPR berwenang membuat UU, sementara MK berwenang untuk
membatalkan UU. UU No.30/2002 adalah produk pemerintah bersama DPR dan
ternyata pasal 53 UU.30/2002 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh MK.
Putusan MK bersifat final dan mengikat merupakan sebuah fakta yang harus diterima
oleh semua pihak, terutama lembaga-lembaga penegak hukum.
Pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi itu, ada banyak kalangan yang merasa
pesimis, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor dapat dibuat sesuai batas
penetapan waktu itu. Jika tertunda maka ada sejumlah Implikasi yang sangat serius
karena: (1) Jika Rancangan Undang-undang gagal ditetapkan menjadi undang-undang
pada waktu yang telah ditetapkan, maka pemerintah harus menerbitkan Perpu
mengganti undang-undang. Penggunaan cara seperti ini menimbulkan kerumitan
tertentu karena kemudian juga harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat yang disertasi alasan yang mensyaratkan adanya kondisi darurat. (2) Meskipun
jika pengesahan Rancangan Undang-Undang melampaui batas waktu yang ditetapkan,
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dengan sendirinya bubar, tetapi penanganan
102
perkara kasus korupsi akan dikembalikan pada pengadilan umum. Kondisi ini dianggap
sebagai “lonceng kematian” bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi menjadi
dianggap sebagai kasus biasa (ordinary) dan bukan lagi sebagai kasus yang luar biasa
(extraordinary).
Fakta atas keadaan ini menjadi awal dari berakhirnya riwayat pemberantasan korupsi di
Indonesia. Konsekuensi lain jika rancangan ini tidak berhasil diselesaikan, fungsi dan
out come Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu lembaga yang melakukan
pemberantasan korupsi, khususnya pada tindakan represif akan menjadi terbatas.
Kalau menangani perkara, maka perkara itu akan diserahkan ke polisi. Dan jika sudah
sampai pada penuntutan, perkara itu akan dilimpahkan pada pengadilan negeri
(umum), dan “fungsinya” akan lebih berorientasi pada pencegahan, tidak ada
penindakan”. Pelimpahan perkara ke pengadilan umum itulah yang dikhawatirkan
karena selama ini, hukuman yang diberikan oleh pengadilan negeri pada umumnya
sangat ringan, dan bahkan punya kecenderungan, sebagiannya di bebaskan. Fakta ini
akan berbeda jika dibandingkan dengan putusan di Pengadilan Tipikor. Menurut catatan
Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2005-juni 2008 ada sekitar 1184
terdakwa kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan umum, dan ada sekitar 450
terdakwa divonis bebas. Keadaan sebaliknya ada di Pengadilan Tipikor, sebagian besar
atau hampir tidak ada terdakwa korupsi yang diadili di Pengadilan Tipikor dinyatakan
lolos dari tuntutan korupsi (tanpa pandang bulu). Sebagian besar putusan yang
dijatuhkan atau vonis pengadilan, rata-rata selama 5 (lima) tahun dan/atau sebagian
besarnya sesuai tuntutan dan cenderung melebihi tuntutan yang ada. Misalnya, dalam
kasus korupsi besar yang diungkap: Abdullah Puteh, yang dituntut 8 tahun, akhirnya
103
dihukum 10 tahun; Nazaruddin Sjamsuddin yang dituntut 8 tahun 5 bulan, ternyata
divonis 7 tahun penjara; Rakhimin Dahuri dituntut 6 tahun, divonis 7 tahun; Rusdihardjo
dituntut 2 tahun 6 bulan, divonis 2 tahun; Urip Tri Gunawan di tuntut 15 tahun, divonis
20 tahun; Mulya W Kusuma dituntut 3 tahun, divonis 2 tahun 7 bulan, Syaukani H.R
dituntut 7 tahun divonis 18 bulan; Irawady Yunus dituntut 6 tahun, divonis 8 tahun;
Artalyta Suryani dituntut 5 tahun, divonis 5 tahun dan Burhanuddin Abdullah dituntut 8
tahun divonis 5 tahun.
Tidak mengherankan jika pengadilan Tipikor, “dianggap” sebagai arena bagi “para
algojo” untuk mengeksekusi, siapa saja yang di bawa masuk kedalamnya. Semuanya
itu telah menunjukkan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan yang paling
serius dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada Rancangan
Undang-Undang ini juga dikemukakan, setiap perkara korupsi harus disidangkan di
Pengadilan Khusus Tndak Pidana Korupsi. Dengan kata lain, jika Rancangan Undang-
Undang sudah disaahkan, maka semua kasus korupsi akan diadili di Pengadilan Tipikor
ini. Pemeriksaan perkara di Pengadilan Tipikor juga akan ditangani dengan waktu yang
telah ditentukan, misalnya, tidak lebih dari 120 (seratus dua puluh) hari (atau 90 hari).
Fakta ini menegaskan, secara teoritik Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi berisikan dorongan sistematis aagar pemberantasan korupsi dilakukan secara
lebih strukutral dan radikal.
Dari seluruh pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, paling tidak ada beberapa pasal “panas” yang menimbulkan
perdebatan di kalangan masyarakat. Adapun pasal-pasal dimaksud, yaitu antara lain:
(1) perlu tidaknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini ada di setiap kabupaten, (2)
104
pengangkatan hakim, (3) serta komposisi hakim ad-hoc dan karier dalam majelis hakim
kasus korupsi.
Sebelum dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, kinerja
Pengadilan Tipikor layak diberi apresiasi. Sejak 2004 sampai 2009, dari sedikitnya 68
terdakwa korupsi yang diproses oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, semuanya
dinyatakan bersalah dan dihukum penjara atau belum ada koruptor yang divonis bebas.
Vonis yang dijatuhkan ketika hanya ada satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
Jakarta itu cukup memberi efek jera terhadap koruptor dengan hukuman rata-rata 3-4
tahun penjara. Memang tidak semua vonis bebas dapat dikatakan bermasalah.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga tidak adil jika menghukum pelaku yang
sungguh-sungguh tak bersalah. Karena itu, putusan bebas atas terdakwa korupsi harus
dinilai secara obyektif sejak proses persidangan hingga putusan hakim dibacakan.
Aspek integritas hakim juga tidak boleh dilupakan untuk ditelusuri. Semua pihak
sebaiknya tidak boleh mengabaikan adanya indikasi mafia peradilan, yang dapat
mengakibatkan terdakwa kasus korupsi dibebaskan. Misalkan saja hakim Syarifuddin,
yang membebaskan terdakwa korupsi Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu
nonaktif, yang akhirnya tertangkap oleh KPK dalam kasus suap dan pemerasan. Selain
Syarifuddin, dalam lima tahun terakhir sudah empat hakim lainnya ditangkap oleh
penegak hukum karena terlibat praktek mafia peradilan.
Meskipun dilematis, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sudah
suatu keniscayaan. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya
pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak
105
pidana korupsi. Kasus korupsi yang diadili bukan hanya yang diajukan oleh KPK, tapi
juga dari pihak Kejaksaan.
Regulasi ini juga mengamanatkan paling lama dua tahun Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi harus dibentuk di semua ibu kota provinsi. Per April 2011, Mahkamah Agung
telah membentuk 14 Pengadilan Tipikor di daerah. Munculnya vonis bebas di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai sebagai lampu kuning bagi upaya
pemberantasan korupsi. Semua pihak harus berhati-hati terhadap upaya pelemahan
pada kinerja pemberantasan korupsi, termasuk melalui Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
KPK dan Kejaksaan sebaiknya juga perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja di
bidang penuntutan. Evaluasi dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kelemahan dalam
surat dakwaan, proses pembuktian dan penuntutan yang diajukan oleh jaksa KPK.
Proses ini penting agar menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan perilaku hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Apalagi Komisi
Yudisial, melalui regulasi terbaru, telah memiliki kewenangan melakukan penyadapan
terhadap hakim yang dicurigai. Ketika ada indikasi penyuapan terhadap hakim, maka
proses selanjutnya adalah melibatkan KPK untuk menangkap pelaku.
Mahkamah Agung, sebagai atasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, perlu
mengevaluasi kembali semua hakim Tipikor yang telah berdinas. MA juga harus
memperketat proses seleksi calon hakim Tindak Pidana Korupsi untuk ditempatkan di
pengadilan antikorupsi lain yang belum terbentuk. Lembaga ini juga tidak perlu ragu
melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan proses seleksi dan menelusuri rekam
106
jejak yang bersangkutan. Calon hakim yang memiliki integritas diragukan atau bahkan
buruk sudah selayaknya tidak diterima.
Langkah-langkah tersebut penting dilakukan agar eksistensi Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, sebagai benteng terakhir antikorupsi, tidak terancam oleh mafia peradilan.
Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan
masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para
koruptor.
Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan
masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para
koruptor
107
BAB IV
KESIMPULAN
Korupsi merupakan penyakit kronis yang diidap oleh bangsa Indonesia. Untuk dapat
mengobati penyakit tersebut diperlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary
measure) yang harus dilakukan oleh Negara. Namun Negara, melalui lembaga-
lembaga penegak hukum, bukanlah menjadi pihak satu-satunya yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan langkah-langkah pemberantasan korupsi ini.
Seluruh pihak penyelenggara Negara maupun rakyat selaku shareholder dan
pemangku kedaulatan tertinggi juga berpartisipasi dalam upaya memberantas dan
membumihanguskan korupsi.
Permasalahannya adalah pelaku korupsi juga tidak tinggal diam. Seringkali, pelaku
korupsi melakukan perlawanan dengan menyerang balik lembaga-lembaga penegak
hukum. Permasalahan hukum tercampur aduk dengan masalah politik. Persoalan
makin pelik. Permasalahan korupsi yang terjadi diranah hukum juga acap ditelusuri
hingga akarnya untuk mencari legitimasi konstitusionalnya. Adalah Mahkamah
Konstitusi menjadi ajang terakhir untuk menyelesaikan polemik masalah korupsi.
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945, telah memeriksa 23 permohonan pengujian undang-
undang yang berkaitan dengan korupsi, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Tentag Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang
108
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini paling tidak Mahkamah
telah menguji kurang lebih 102 norma dalam undang-undang tentang korupsi. Dari 23
permohonan pengujian undang-undang terkait korupsi tersebut, Mahkamah hanya
mengabulkan (atau mengabulkan sebagian) empat permohonan yang diajukan
padanya. Lima belas permohonan ditolak, dan sisanya tidak dapat diterima.
Setelah memetakan perkara-perkara pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh MK, masalah muncul dalam kaitannya
dengan putusan yang mengabulkan permohonan pemohon. Dengan kata lain, putusan
MK mematalkan keberlakuan suatu norma yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. Permasalahan yang kerap muncul dalam setiap putusan MK adalah dalam hal
implementasi atau pelaksnaannya. Karakteristik dasar putusan MK yang hanya
menggantungkan pada sifat kepatuhan lembaga-lembaga terkait untuk melaksanakan
putusan MK menjadi salah satu unsur pemicu masalah. Hal serupa ditemukan pada
putusan-putusan MK yang membatalkan norma UU tindak pidana korupsi.
Dengan dibatalkannya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi,
kontroversi muncul berkaitan dengan kepatuhan dari Mahkamah Agung dan lembaga
peradilan yang berada dibawahnya untuk menyelaraskan isi putusannya dengan
Putusan MK. Putusan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sering kali tidak
menyesuaikan dengan pertimbangan hukum pendapat putusan MK nomor 003/PUU-
IV/2006. Mahkamah Agung tetap pada yurisprudensinya yang mempertimbangkan
unsur sifat melawan hukum materiil pada perkara-perkara korupsi. Salah satu putusan
MA yang menjadi titik balik bagi MA untuk konsisten dengan yurisprudensinya adlah
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas
109
nama terdakwa Rusadi Kantaprawira. Setelah putusan ini, sebagian besar putusan MA
maupun lembaga peradilan umum lainnya tetap berpegang pada yurisprudensi dengan
mempertimbangkan sifat melawan hukum materiil untuk mengadili kasus korupsi.
Meskipun ada beberapa putusan lembaga peradilan umum yang patuh pada putusan
MK dengan hanya melihat pada sifat melawan hukum formil saja. Putusan MK
No.003/PUU-IV/2006 sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial
tidak mengubah isi UU yang dimohon. Keuntungannya adah bahwa dalam bidang
hukum pembuktian, Jaksa Penuntut Umum cukup membuktikan unsur melawan hukum
ini secara formal. Sehingga tuduhan korupsi itu dapat segara disidangkan dimuka
peradilan.
Dalah hal penguatan KPK untuk semakin menjaga independensinya, MK memutus
perkara Nomor 5/PUU-IX/2011. Penguatan dimaksud adalah dalam konteks
penggantian Pimpinan KPK yang tidak selayaknya diganti serentak. Akan menjadi lebih
proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK
diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD
1945].
Pasal 34 UU KPK, menurut pertimbangan MK adalah inkonstitusional secara bersyarat,
yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan KPK
baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara bersamaan maupun bagi pimpinan
pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya adalah
empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
110
Dari uraian pertimbangan Putusan MK tersebut, jelas terlihat bagaimana politik hukum
yang dibangun oleh MK dalam upaya pemberantasan korupsi. MK membuat garis yang
jelas terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang nyata-nyata telah
menghancurkan negara. Atas kesadaran itu, MK ingin agar lembaga anti rasuah
tersebut benar-benar menjadi lembaga yang independen. Untuk membantu menjaga
independensi KPK, MK dalam putusan ini mengubah mekanisme pengisian jabatan
para pemimpinnya. Diakui atau tidak, pengisian jabatan pimpinan KPK, terutama dalam
hal pergantian antar waktu, sangat berpotensi terhadap keberlangsungan lembaga
tersebut. Model yang selama ini dipakai adalah, jika terdapat pimpinan KPK yang
kosong ditengah masa jabatan, maka DPR akan melakukan seleksi untuk mengisi
kekosongan tersebut. Seseorang yang kemudian dinyatakan lolos oleh DPR akan
melanjutkan masa tugas dari orang yang dibantikan, bukan menjabat selama 4 tahun
penuh. Putusan MK terkait dengan masa jabatan bagi pimpinan KPK yang dipilih untuk
masa jabatan “antar waktu”, sangat bermanfaat dalam menebalkan garis perang
terhadap para koruptor.
Kontroversi terakhir adalah Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memutus
mengenai keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi. Konsekuensi negara
menetapkan korupsi sebagai extraordinary crime adalah harus adanya instrumen
extrameasure. Bentuk kongkritnya adalah adanya Undang-Undang Tipikor dan
dibentuknya KPK yang di dalam Undang-Undangnya mengamanatkan pembentukan
pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor dibentuk menurut logika kerangka sistem yang
terintegrasi dalam sistem peradilan korupsi. Logika ini didasarkan atas pemahaman,
bahwa pengadilan Tipikor sebagai pintu terakhir penanganan kasus tipikor tentu harus
111
turut memiliki semangat antikorupsi. Jika perkara tipikor yang diperiksa KPK hanya
untuk diserahkan kepada pengadilan umum, maka keluarbiasaan dan kekhususan
tipikor menjadi hilang.
Pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi, ada banyak kalangan yang merasa
pesimis, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor dapat dibuat sesuai batas
penetapan waktu 3 (tiga) tahun pasca putusan dibacakan. Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya diterbitkan yang
menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Kasus
korupsi yang diadili bukan hanya yang diajukan oleh KPK, tapi juga dari pihak
Kejaksaan. Regulasi ini juga mengamanatkan paling lama dua tahun Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi harus dibentuk di semua ibu kota provinsi. Pembentukan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi di daerah sudah suatu keniscayaan. Munculnya vonis bebas di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah harus dimaknai sebagai lampu kuning
bagi upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak harus berhati-hati terhadap upaya
pelemahan pada kinerja pemberantasan korupsi, termasuk melalui Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. KPK dan Kejaksaan sebaiknya juga perlu melakukan evaluasi terhadap
kinerja di bidang penuntutan. Evaluasi dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kelemahan
dalam surat dakwaan, proses pembuktian dan penuntutan yang diajukan oleh jaksa
KPK. Proses ini penting agar menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi di masa
mendatang.
112
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Albert Venn Dicey, The Laws of the Constitution, (ed. E.C.S. Wade), 10th edition, 1959.
Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006
Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) Tahun 1950 sampai dengan 1977,Bandung: Bina Cipta, 1978
David A. Strauss, The Living Constitution, (New York: Oxford University Press,2010), hlm. 1. Lihat juga Abdul Ghoffar, Konstitusi yang Bernyawa, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2011.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cetakan ke-2, Konpres, Jakarta, 2005.
Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung: PT Grafiti, 2009.
LIPI. Kajian Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kemitraan dan LIPI, Jakarta, 2008.
M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Pradya Paramita, 1982.
Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi.Jakarta: LP3ES dan Obor, 1995.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya, 2005
Onghokham, Tradisi dan Korupsi dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES dan Obor, 1995)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005)
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Bandung: Bina Cipta, 1991
Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, Penelitian untuk Puslitbang, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta, 2011
Valerine J.L. Kriekhof, dkk., “Metode Penelitian Hukum (Seri Buku Ajar),” Buku A, (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000)
Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta: Ichtiar, 1974
Internet dan Artikel:
Abdul Ghoffar, Menambah Nyawa KPK, Harian Pikiran Rakyat Bandung, Agustus 2011.
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya dan Tanzania). acch.kpk.go.id/.../Komisi-Anti-Korupsi-di-Luar-Neger..., pada tanggal 22 Oktober 2013.
Fitria, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai Lembaga Negara Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, diambil dari jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/.../976, pada tanggal 22 Oktober 2013.
Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945, www.jimly.com.
Satu Dekade UU KPK, 14 Kali Diuji Materi, diunduh dari http://www.politikindonesia.com/, pada tanggal 23 Oktober 2013.
Emerson Yuntho, “Polemik Pengadilan Tipikor”, Republika, 14 November 2011
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan :
Indonesia, Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
iv
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi,
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin,
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Rusadi Kantaprawira.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2608 K/Pid/2006 atas nama Terdakwa Ahmad Rojadi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 131 PK/Pid/2006 atas nama terdakwa Drs. H. Dharmono K. Lawi
v
top related