makalah aqidah iman kepada allah
Post on 20-Jul-2015
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Iman kepada Allah SWT | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Aqidah Islam pada dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada para
Malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari
akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah
dijelaskankan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman dalam kitab
sucinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan
tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, para
Malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi…” ( QS. Al-Baqarah : 177).
Dalam masalah takdir, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut takdir (ukuran), dan perintah
Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 49-50).
Beriman kepada Allah SWT, berarti meyakini akan keberadaan-Nya, baik itu
wujud, sifat-sifat, maupun zat-Nya. Untuk meyakini itu semua, kita harus paham
mengenai Ma’rifatullah. Dan untuk mencapai kepada Ma’rifat Allah, Kita harus
mengetahui tentang segala ciptaannya, baik yang ada di Bumi maupun di Langit. Namun
hal yang perlu diketahui bahwa kita itu tidak akan dapat memahami tentang zat-Nya
Allah SWT, karena hal itu merupakan diluar akal manusia yang tidak bissa digambarkan.
Untuk itu kami akan memberikan sedikit penjelasan tentang Ilmu Ma’rifat tentang
Allah SWT, juga tentang pengertian nama-nama serta sifat-sifat yang ada pada-Nya, yang
insya Allah nantinya akan dapat membuat kita lebih paham lagi tentang Aqidah untuk
beriman kepada Allah SWT. Supaya kita tidak keliru tentang pengertian tersebut.
Iman kepada Allah SWT | 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ma’rifat Allah SWT
1. Pengertian Ma’rifat Allah SWT
Menurut Etimologi, kata Allāh (هللا ) berasal dari gabungan dari kata al- (sang)
dan ʾilāh (tuhan) sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini menyalahi bahasa
dan kaidah bahasa Arab. Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan
Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau kata sifat)
nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim
ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku
untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak.
Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau
al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah
adalah dua kata yang berlainan.
Makrifat kepada Allah swt. adalah makrifat yang seluhur-luhurnya, bahkan yang
semulia-mulianya sebab makrifat kepada Allah Taala itulah yang merupakan asas atau
fundamen berdirinya segala kehidupan kerohanian. Bahkan dari makrifat kepada Allah
Taala itu juga bercabang makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini,
seperti malaikat jin dan ruh. Juga dari makrifat kepada Allah itu pulalah timbul
makrifat perihal apa yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berakhir, juga
mengenai kehidupan di alam barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa
kebangkitan kembali dari kubur, hisab (perhitungan amal), pahala, siksa, surga dan
neraka.1
2. CARA BERMA’RIFAT
Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:
Dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah
Taala yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini.
1 Sayid Sabiq. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. PT Diponegoro: Bandung, 2010. Hal. 30
Iman kepada Allah SWT | 3
Dengan mengetahui nama-nama Allah Taala serta sifat-sifat-Nya.2
Dengan menggunakan akal pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati
nama-nama serta sifat-sifat Allah dari sudut lain, seseorang akan dapat bermakrifat
kepada Tuhan dan ia akan memperoleh petunjuk ke arah itu.
3. BERMAKRIFAT LEWAT PIKIRAN
Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa,
memikirkan dan mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang
pulalah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti
akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup. Allah Taala berfirman:
“Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja
yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau seorang-
seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S.
Saba:46)
Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka
menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan
ayat-ayat dan bukti-bukti tentang wujud dan kekuasaan Allah Ta’ala, maka orang
semacam itulah yang patut sekali mendapat cemoohan dan hinaan.3 Allah Taala
berfirman:
2 Ibid, hal. 31 3 Ibid, hal. 32
Iman kepada Allah SWT | 4
“Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan
manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan hatinya, mempunyai
mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi tidak
mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan
lebih sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)
4. BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN
Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan
menggunakan akal, dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki
bukanlah pemikiran secara tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu
dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas yang tertentu yang memang
merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat dicapai oleh akal manusia itu. Maka
yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan Allah Taala yakni
apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat manusia
dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan zat Allah
SWT, sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran manusia.
Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal
makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian
berpikir mengenai zat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat
mencapai keadaan hakikatnya.”
Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan
itu, tetapi sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang
terdapat di dalam alam akhirat.
5. TUJUAN PEMIKIRAN
Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan
berpikir ialah untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir
merenungkan dan menyelidiki, dengan demikian akal manusia akan sampai kepada
petunjuk yang memberikan penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan
kehidupan, sebab-sebab wujud alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-
hakikat segala sesuatu benda. Manakala hal-hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu
akan dapat merupakan cahaya terang untuk menyingkap persoalan siapa yang
Iman kepada Allah SWT | 5
sebenarnya menjadi maha pencipta dan pembentuk semuanya itu. Selanjutnya setelah
ini diperoleh maka dengan perlahan-lahan akan dicapai hakikat yang terbesar yaitu
bermakrifat kepada Allah Taala.4
Jadi kemakrifatan kepada Allah Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau
natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan bergerak terus, juga sebagai hasil dari
usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh cahaya yang terang-benderang.
Allah Taala berfirman:
“Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu pun tidak akan
memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)
B. Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya ‘nama’.
“Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti nama-nama yang
baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah
nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Misalnya: Ar
Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur, dan lain-lain.
Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam
bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala informasi yang
melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi benda” dalam bahasa arab
mencakup sifat benda itu sendiri, seperti besar kecilnya, tinggi rendahnya,
warnanya, keelokannya, dan lain-lain. Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa
saja yang dimilikinya, keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada
benda tersebut.
Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya,
kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi tentang
Allah.
Secara istilah syariat, tauhid asma dan sifat adalah pengakuan seorang
hamba tentang nama dan sifat Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam
4 Ibid, hal. 35
Iman kepada Allah SWT | 6
kitab-Nya ataupun dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
melakukan empat hal berikut:
1. Tahrif (menyimpangkan makna), yaitu mengubah atau mengganti makna yang
ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
2. Ta’thil (menolak), Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang
disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.
3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah), yaitu
menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh
Allah.
4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), Misalnya, berkeyakinan
bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy
seperti joki naik kuda.5 Allah berfirman,
ي س مك ء م هس و مس ل يس ب هس
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait
nama dan sifat Allah:
1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan
sunnah (hadits-hadits sahih).
2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.
Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam
dan Allah Maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Dan untuk
mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat zat
tersebut.
C. Kemustahilan mengetahui Zat Allah
Allah SWT telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur.
Anjuran ini ada dua macam:
5 Sa’id bin Ali bin Wahfi al -Qahthaniy, Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah,
Iman kepada Allah SWT | 7
Pertama, Anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat
disimak. Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat
meyakini kehebatan atau Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak
ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang.
Kedua, Anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-
Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan
keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah SWT.6
firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di
bumi.'" (Yunus: 101).
Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah swt yang dapat disaksikan dan
mentadabburi ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan
atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam, dengan
menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah
SWT, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), 'Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 191).
Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-
kirakan. Allah SWT. berfirman, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu."(Al-An'aam: 103).
Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, "Dan
tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash: 4). Oleh sebab itulah
melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-
Nya Yang Mahasuci.
Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan
tentang Allah. Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan
dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat,
"Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?" Pertanyaan itu
pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah
Pencipta bukan makhluk! Allah SWT berfirman, "Dia tidak beranak dan tiada pula
diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).
6 Syaikh Salim bin 'Ied al -Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah
Iman kepada Allah SWT | 8
Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-pemikiran syaitan ini, yaitu
mengikuti tata cara Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.:
1. Membaca surat Al-Ikhlash.
2. Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.
3. Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan
membaca isti'adzah.
4. Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.:
5. Memutus waswas dan menghentikan keraguannya.
Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati
penyakit waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal (perdebatan)
logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang bingung. Hendaklah
orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda Nabi, "Sesungguhnya hal itu
dapat menghilangkannya."
Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan
kepada Rasul-Nya, maka syaitan pasti lari.
D. Pembagian Sifat-sifat Allah Ta’ala
Sifat-sifat Allah terdiri dari tiga macam, yaitu:
1. Sifat Wajib
Sifat wajib bagi Allah ialah sifat-sifat yang wajib (pasti) ada pada-Nya,
sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sifat ALLAH itu ada 20 sifat. Dari 20 itu
dibagi pula menjadi empat bagian yaitu:
1. Sifat Nafsiyah, artinya sifat-sifat ALLAH yang dengan sifat itu dapat
membuktikan zat ALLAH SWT. Sifat Nafsiyah yang dimaksud ialah sifat Al-
Wujud.
2. Sifat Salbiyah, artinya sifat yang menafikan. Sifat ini menafikan atau tidak
menerima sifat yang tidak mungkin dan tidak layak bagi Tuhan.
Adapun yang termasuk dalam sifat Salbiyah ialah : Al-Qidam, Al-Baqa,, Al-
Mukhalafatuhu Lilhawadits, Al-Qiyamuhu binafsih dan Al-Wahdaniyah.
3. Sifat Ma'ani, artinya sifat ma'na. Sifat ini berlainan dengan sifat Salbiyah, ia
memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat tersebut. Adapun sifat Ma'ani itu
adalah : Al-Qudrah, Al-Iradah, Al-Ilmu, Al-Hayah, As-Sama', Al-Bashar dan Al-
Kalam. Jadi sifat Ma'ani itu ada tujuh sifat.
Iman kepada Allah SWT | 9
4. Sifat Ma'nawiyah, yaitu sifat yang lazim atau memastikan sifat Ma'ani diatas.
Tiap- tiap ada sifat ma'nawi tentu ada sifat ma'ani dan oleh karena sifat ma'ani tadi
ada tujuh, maka sifat ma'nawiyah ada tujuh pula.
Sifat - sifat ALLAH yang dua puluh tersebut diantaranya ada yang mempunyai
Ta'luq, ada yang tidak. Ta'luq artinya perhubungan suatu sifat dengan keadaan suatu
keadaan yang lain. Misalnya sifat ilmu harus berhubungan dengan apa yang diketahui.
Ta'luq terbagi atas dua macam yaitu Ta'luq Tanjizi dan Ta'luq Azali.
Ta'luq Tanjizi, artinya menunaikan. Misalnya perhubungan ilmu dengan segala apa
yang diwujudkan sekarang ini.
Ta'luq Azali, artinya purbakala, menurut ilmu Tuhan. Misalnya perhubungan ilmu
tuhan dengan segala apa yang belum terbukti pada kita sekarang ini, tegasnya
belum wujud.
2. Sifat Mustahil
Disamping sifat - sifat yang wajib, ada lagi sifat yang mustahil bagi ALLAH yaitu
sebagai lawan daripada sifat yang wajib, banyaknya ada dua puluh yaitu :
1. Al-'Adam sebagai lawan dari wujud. Artinya tidak ada jadi mustahillah oleh
ALLAH itu tidak ada.
2. Al-Hudusts artinya baru, jadi mustahillah bagi ALLAH itu zat yang baru, wajiblah
baginya Qidam.
3. Al-Fana artinya lenyap, jadi mustahillah ALLAH itu lenyap atau tidak kekal.
Tetapi wajiblah baginya Baqa atau kekal abadi.
4. Al-Mumatsalah artinya serupa dengan apa yang baru (selain ALLAH), tetapi
wajiblah bagi ALLAH bersifat Mukhalafah lil Hawadits atau tidak menyerupai
dengan segala apa yang baru.
5. 'Adamulqiyami Binafsihi Al-Ikhtiaju Lighairihi artinya mustahil ALLAH itu tidak
berdiri dengan sendirinya (berhajat dengan yang lain).
6. Atta'addud artinya berbilang. Jadi mustahil ALLAH itu berbilang atau lebih dari
satu.
7. Al-'Ajuz, sifat ini lawan dari sifat Qudrah yang berarti lemah. Jadi mustahil
ALLAH itu lemah, tetapi wajib bagi-Nya bersifat Qudrah atau kuasa.
8. Al-Mukrah ( Al-Karohah ), artinya terpaksa atau dipaksa.
Iman kepada Allah SWT | 10
9. Al-Jehlu, artinya mustahil ALLAH itu bodoh atau tidak mengerti suatu perkara
yang bagaimanapun keadaannya, tetapi wajib bagi ALLAH Ilmu atau mengetahui
segala apa saja.
10. Al-Mautu , artinya mati. Mustahil ALLAH itu mati, tetapi wajib ALLAH itu Hayat
atau hidup.
11. Al-Asummu, artinya Tuli atau pekak. Jadi mustahil ALLAH itu pekak. Tetapi
wajib baginya Sama' atau mendengar apa saja.
12. Al-A'ma, artinya buta. Mustahil kalau ALLAH itu buta tetapi wajib bagi-Nya
Bashar atau melihat.
13. Al-Bukmu, artinya bisu. Mustahil kalau ALLAH itu bisu, tetapi wajiblah ALLAH
itu Kalam atau berkata-kata.
14. Kaunuhu artinya keadaan-Nya atau berkeadaan.
15. 'Ajizan artinya yang lemah, tidak berkuasa lawan dari sifat kaunuhu Qadiran.
16. Makrurah (Karihah) artinya Yang terpaksa, lawannya sifat kaunuhu Muridun.
17. Jahilan artinya yang bodoh, lawannya sifat kaunuhu 'Aliman.
18. Mayyitan artinya yang mati, lawannya sifat kaunuhu Hayyan.
19. Ashamm artinya yang tuli, lawannya kaunuhu Sami'an.
20. A'ma artinya yang bisu, lawannya kaunuhu Mutakalliman.
Itulah sifat yang mustahil bagi ALLAH. Artinya sifat - sifat yang tidak dapat
diterima oleh akal adanya bagi ALLAH. Pembahasan secara lebih mendalam akan
dientry di lain kesempatan.
3. Sifat Jaiz
Disamping sifat yang wajib dan mustahil tersebut diatas, terdapat pula sifat yang jaiz
bagi ALLAH yaitu : “Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu”, artinya memperbuat
sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak memperbuatnya. Maksudnya Allah itu
berwenang untuk menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak sesuai dengan
kehendak-Nya.
Bahwa ALLAH bebas berbuat, artinya perbuatan ALLAH terhadap makhluknya itu
boleh diperbuat-Nya dan boleh pula tidak. Maksudnya ALLAH tidak wajib
membuatnya dan tidak pula Mustahil kalau tidak membuatnya.
Iman kepada Allah SWT | 11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beriman kepada Allah adalah meyakini akan keberadaan Allah, baik berupa
nama, sifat serta zat-Nya Allah SWT. Ma’rifat merupakan ciri utama seseorang yang
telah meyakini akan adanya Allah, dari Ilmu ma’rifat itulah seseorang dapat memahami
tentang kekuasaan dan keberadaan-Nya. Melalui pemikiran, seseorang akan dapat
mengerti tentang Ma’rifat Allah SWT. Namun satu hal yang harus diketahui bahwa
seseorang tidak akan mampu memahami tentang zat-Nya Allah SWT, karena hal itu
merupakan diluar akal manusia.
Asma’ul husna berarti nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga
istilah “asma’ul husna” bagi Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah,
baik dan terpuji yang menjadi milik Allah. Sedangkan sifat-sifat Allah mencakup
perbuatannya, kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala
informasi tentang Allah.
Sifat-sifat Allah dibagi menjadi 3 sifat, Wajib, Mustahil dan Jaiz. Sifat
wajib terdiri dari 20 sifat, sifat mustahil merupakan kebalikan dari keduapuluh
sifat wajib tersebut, dan sifat jaiz adalah sifat yang
B. Kritik dan Saran
Apabila dalam makalah kami terdapat salah, baik dari ucapan maupun tulisan,
agar sekiranya saudara dapat memakluminya. Kritik serta saran dari kalian akan sangat
berarti untuk kami sebagai bahan evaluasi nanti, agar kami dapat memperbaiki kesalahan-
kesalahan kami.
Iman kepada Allah SWT | 12
DAFTAR PUSTAKA
Sayid Sabiq. Aqidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. PT Diponegoro: Bandung,
2010
Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-
Nabawiyyah
Sa’id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy, Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang
Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah,
top related