makalah hpu magister
Post on 21-Jan-2016
53 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara Indonesia berkewajiban dalam rangka mensejahterakan rakyatnya
sebagaimana amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 33
dan 34 UUD 1945 melakukan pembangunan di berbagai bidang termasuk di
bidang ekonomi dengan prinsip demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi
mengkehendaki setiap masyarakat diberikan kesempatan yang sama dalam
melakukan kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.
Setiap orang dalam melakukan kegiatan usahanya berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya masing-masing sehingga muncul perilaku untuk menunjang
kegiatan usahanya agar lebih baik dari kegiatan usaha lainnya untuk keuntungan
yang sebesar-besarnya, hal demikianlah yang menyebabkan persaingan
diantaranya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengaturan untuk memastikan agar
persaingan tersebut berlangsung secara sehat dan adil, dalam hal ini merujuk pada
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Salah satu perjanjian yang dilarang oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 agar
persaingan usaha tersebut berjalan denga sehat dan tidak menimbulkan praktik
monopoli adalah kartel. Kartel adalah tindakan yang dilakukan oleh beberapa
pelaku usaha untuk menghilangkan persaingan diantaranya. Kartel adalah bentuk
kejahatan ekonomi yang seringkali menjadi kontroversi, bukan hanya dampaknya
1
2
yang begitu luas terhadap masyarakat konsumen maupun produsen pesaingnya,
namun juga karena pembuktiannya yang sulit untuk disajikan secara rigid di mata
hukum. Siapapun yang mengenal dengan baik jenis kejahatan tersebut, pasti
mengetahui betap sulitnya menemukan hardcore evidence dari kartel dan dapat
dikatakan hampir mustahil untuk mendapatkannya karena pelaku usaha yang
melakukan kolusi tidak lagi melakukan cara konservatif yang dianggap tidak
aman dimana segala perjanjian harus dituangkan mentah-mentah di atas kertas
bertandatangan dan bermaterai.
Merujuk pada kasus kartel minyak goreng oleh 20 pelaku usaha yang telah
diputus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui putusan KPPU
Nomor 24/KPPU-I/2009 pada tanggal 4 Mei 2010 diputuskan ada price
pararelism harga minyak goreng curah dan kemasan dimana 20 produsen atau
pelaku usaha minyak goreng terlapor selama April-Desember 2008 melakukan
kartel harga dan merugikan masyarakat setidak-tidaknya Rp 1,27 triliun untuk
produk minyak goreng kemasan bermerk dan Rp 374,4 miliar untuk produk
munyak goreng curah. Dalam putusan tersebut turut serta menyebutkan suatu
bukti berupa indirect evidence, yaitu bukti tidak langsung yang tidak
membuktikan secara langsung telah terjadi kartel namun mengindikasikan ke arah
kartel berdasarkan analisis yang dilakukan. KPPU sering menggunakan indirect
evidence sebagai dasar menentukan adanya pelanggaran UU Nomor 5 Tahun
1999. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999, maka
indirect evidence tidak dapat dipersamakan dengan alat bukti petunjuk. Alat bukti
petunjuk umumnya diperlukan apabila alat bukti lain belum memenuhi batas
3
minimum pembuktian dan baru dapat digunakan setelah ada alat bukti saksi, surat,
dan keterangan pelaku usaha. Dengan kata lain, petunjuk merupakan alat bukti
yang bergantung kepada alat bukti lain. Jika tidak ada alat bukti lain yang
menunjukan adanya pelanggaran UU Nomor. 5 Tahun 1999, maka KPPU tidak
dapat menyatakan adanya petunjuk perlanggaran tersebut. Sedangkan indirect
evidence berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan alat bukti lain dan lebih
mengarah kepada dugaan, penafsiran atau interpretasi, dan logika..
Proses pembuktian dalam sebuah indikasi pelanggaran adalah alat bukti
materiil. Alat bukti materiil adalah kebenaran yang bersumber dari kaidah-kaidah
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hukum perdata yang
dicari adalah alat bukti formil. Pencarian alat bukti materiil untuk membuktikan
bahwa adanya akibat dari persaingan usaha tidak sehat tersebut, perlu keyakinan
KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melkaukan perbuatan yang
menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Keyakina tersebut didapat dengan cara memastikan alat bukti atas laporan atau
inisiatif KPPU terkait dugaan terjadinya kartel dengan cara melakukan penelitian,
pengawasan, penyelidikan, dan pemeriksaan. Dalam Pasal 42 UU Nomor 5
Tahun 1999 disebutkan ada lima alat bukti yang dapat digunakan bagi KPPU,
yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, dan
keterang pelaku usaha. Dalam KUHAP dan HIR alat bukti langsung merujuk pada
Pasal 184 dan 164.
Terdapat beberapa permasalahan yang timbul dengan penggunaan indirect
evidence dalam indikasi kartel. Pada pedoman pasal 11 Peraturan KPPU
4
menyebutkan bahwa KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat
bukti.1 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa satu alat bukti cukup untuk
menindaklanjuti laporan atau dugaan adanya indikasi kartel. Tentu hal tersebut
bertentangan dengan asas Hukum Acara Pidana yang menyatakan Unus testis
nullus testis yang mewajibkan terdapat dua alat bukti. Ketidaksesuaian antara
pembuktian tersebut menyebakan adanya ketidakpastian yang patut dicermati
oleh para jurist dalam menjalankan tugasnya.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Indirect Evidence berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999?
2. Apakah Indirect Evidence dapat digunakan oleh KPPU sebagai alat bukti
dalam adanya dugaan kartel di Indonesia?
3. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan untuk mengkaji masalah pada
penulisan ini mendasarkan pada conceptual approach dan statute approach.
Conceptual approach digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep dalam
hal hukum persaingan usaha yang lebih merujuk pada pendekatan hukum dan
ekonomi .2
1 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 4 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 11Tentang Kartel Berdasarkan UU No, 5 Tahun 1999, Copyright@KPPU, 2011, Hal 23.
2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2005. Hlm. 137.
5
Statue approach digunakan untuk memberi dasar pijakan dalam
berargumentasi yaitu merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan persaingan usaha serta prosedur berperkara dalam KPPU.3
Case approach digunakan untuk menjelaskan secara praksis suatu kasus
dalam hukum persaingan usaha dan penerapan peraturan perundang-undangan
dalam suatu kasus yang dalam hal ini mengambil kasus kartel minyak goreng
sesuai dengan putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009.
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
berupa bahan hukum primer yakni bahan hukum yang autoritatif artinya bahan
hukum yang dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas. Dalam hal ini adalah
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha
Bahwa selain sumber hukum primer, penulisan ini juga menggunakan
bahan hukum sekunder yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan.
Studi kepustakaan dilaksanakan dengan mempelajari buku-buku teks dan jurnal
hukum tentang sengketa penanaman modal asing maupun arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
Terdapat pula dalam penulisan ini menggunakan bahan-bahan yang
mempunyai relevansi dengan pokok permasalahan yaitu antara lain mempelajari
contoh-contoh sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase, serta menganaliasa
berita dan artikel di media cetak atau internet yang berkaitan dan bermanfaat
untuk menjawab rumusan masalah dalam penulisan ini.
6.3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
3 Ibid. Hlm. 96.
6
Dilakukan berdasar pada bahan hukum yang diperoleh dari sumber-
sumber yang digunakan yaitu sumber hukum primer, sekunder, serta bahan-bahan
lain yang relevan. Langkah selanjutnya dilakukan seleksi terhadap sumber bahan
hukum untuk diklasifikasi berdasarkan permasalahan yang ada dalam
pembahasan. Data-data yang diperoleh melalui bahan hukum digabungkan,
sehingga diperoleh gambaran yang spesifik mengenai permasalahan yang relevan
dengan bahasan dalam makalah.
Setelah pengklasifikasi dilakukan, terhadap semua bahan hukum diolah
sehingga diperoleh penajaman terrhadap bahan-bahan hukum yang ada. Setelah
penajaman tersebut, antar keduanya saling dikaitkan dan dilakukan penelahan
untuk mendapatkan penjabaran yag sistematis. Selanjutnya, materi-materi yang
diperoleh dalam pembahasan dipisah-pisahkan agar memudahkan dalam
mendapatkan pemahaman terhadap bahasan yang nantinya akan menghasilkan
suatu kesimpulan yang dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan terhadap
penulisan skripsi ini.
6.4. Analisa Bahan Hukum
Berdasarkan pendekatan yang dilakukan, maka analisa yang digunakan
terhadap bahan hukum adalah dengan menggunakan metode deskriptif analitis,
yaitu metode pemaparan dan penafsiran bahan hukum, serta mengkaji
keeterkaitan dan konsistensi peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan permasalahan, kemudian bahan hukum tersebut disusun, diuraikan, dan
dikaji permasalahannya berdasarkan asas-asas hukum dan aturan-aturan hukum
7
yang berlaku untuk dikaji ketentuan dan konsistensi serta pelaksanaan dalam
praktiknya, kemudian ditarik kesimpulan.
8
1. Kedudukan Indirect Evidence Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999
Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia terdapat perbedaan antara
penggunaan pembuktian menurut hukum acar persaingan usaha, hukum acara
perdata, dan hukum acara pidana. Pembuktian adalah suatu tahapan di dalam
hukum untuk meneliti kebenaran atas suatu perkara hukum. Fokus penulis dalam
perbedaan ini terletak pada penggunaan alat bukti tidak langsung pada hukum
persaingan usaha terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Hukum
acara pidana secara tegas mengatur dalam pasal 184 KUHAP “alat bukti yang sah,
yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa”.
Hukum pembuktian di dalam sistem hukum acara pidana tidak dikenal adanya alat
bukti langsung dan tidak langsung. Di sisi lain hukum acara perdata dalam pasal
164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah, yaitu: bukti surat; bukti saksi; sangka;
pengakuan; sumpah. Pengelompokkan bukti tidak langsung dan bukti langsung
dijelaskan dalam buku M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Disebut bukti
langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan
persidangan”. “…..Pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang
diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di
persidangan”.3 Dilihat dari bentuk fisik tersebut maka yang menjadi alat bukti
tidak langsung menurut hukum acara perdata yaitu persangkaan, pengakuan dan
9
sumpah. Bentuk fisik ketiga alat bukti tidak langsung ini dapat dikatakan sebagai
suatu kesimpulan dari hak atau peristiwa yang terjadi di persidangan.
Berdasarkan Pasal 42 UU Nomor 5 tahun 1999 dalam hukum acara persaingan
usaha menyebutkan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat
dan/atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Kemudian terdapat
penjelasan alat bukti sebagaimana dalam Peraturan Komisi Nomor 1 tahun 2010
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara yang memberikan penjelasan mengenai
lima alat bukti tersebut. Adanya alat bukti petunjuk dan hal ini dinilai memberi
peluang bagi KPPU untuk menggunakan indirect evidence dalam melakukan
pembuktian terhadap perkara persaingan usaha. Peraturan tersebut turut
melegitimasi KPPU untuk menggunakan pembuktian berdasarkan keadaan atau
bukti tidak langsung dalam menjalankan pemeriksaan. Alat bukti petunjuk
menurut Peraturan Komisi tersebut adalah merupakan pengetahuan Majelis
Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Berbeda dengan
pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, indirect evidence merupakan bukti
yang tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi
kesepakatan antara pelaku usaha sehingga disesuaikan dengan pembuktian yang
dikenal dalam Hukum Acara Perdata digolongkan ke dalam bukti persangkaan
yang dilakukan oleh hakim. Bukti persangkaan adalah uraian yang dilakukan oleh
hakim dalam menarik kesimpulan dari fakta yang terbukti. Pasal 1915 HIR
menetukan persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan dari fakta yang terbukti
yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal ke arah peristiwa yang tidak terkenal.
10
Indirect evidence adalah bukti tidak langsung yang tidak dapat menjelaskan secara
terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha yang
biasanya digunakan sebagai bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Indirect
Evidence atau Circumstantial Evidence sendiri menurut Pedoman Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu bentuk bukti yang tidak langsung menyatakan
adanyan kesepakatan (harga, pasokan, pembagian wilayah). Dimana indirect
evidence juga dapat digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi atau
keadaan yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan.
“Circumstantial evidence (Indirect evidence) can be difficult to interpret, however. Economic evidence especially can be ambigous, consistent with either concerted or independent action. The better practice is to consider circumstantial evidence in a case as a whole, giving it cumulative effect, rather than on an item-by-item basis, and to subject economic evidence to careful economic analysis.4
Bentuk indirect evidence terdiri dari Bukti Komunikasi dan Bukti Ekonomi.
Analisis ekonomi dimungkinkan dalam pembuktian kartel, analisis itu sendiri
berguna dalam menentukan motif dan akan memprediksi dampak dari suatu
perilaku (behavior). Analisis ekonomi dalam menentukan motif dan dampak
tersebut bagi terbagi atas analisis intensif yang bertujuan untuk melihat apakah
suatu perusahaan tertarik atau termotivasi untuk melakukan suatu perilaku yang
bersifat strategis, analisis kemampuan yang bertujuan untuk melihat apakah seuah
perusahaan mampu untuk melakukan perilaku strategis lebih besar dari dampak
positifnya. Pembuktian kartel juga harus memperhatikan apa yang disebut Plus
Factor,5 yang diantaranya terdiri dari analisa terhadap rasionalisasi penetapan
harga, analisa struktur pasar, analisa data kinerja, dan analisa penggunaan fasilitas
4 OECD, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief. 2007 5 Ningrum Natasya Sirait, Standart of proof Competition law Infringements: An economic
Law Analysis. Jakarta. 2012
11
kolusi. Dalam upaya pembuktian tidak seluruh alat analisa tambahan harus
dipenuhi. Komisi dapapt memutuskan bahwa alat analisa tertentu sudah cukup
digunakan untuk membuktikan pelanggaran dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
2. Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU sebagai alat bukti dalam
adanya dugaan kartel di Indonesia
Kartel pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang dilakukan pelaku usaha
satu dengan pelaku usaha lainnya untuk meniadakan persaingan diantara mereka.
Biasanya kartel dilakukan dengan cara mengatur produksi, distribusi dan harga.
Kartel dalam Pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 menetapkan, bahwa: Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan para pesainganya untuk mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Dilihat dari Pasal 11 tersebut KPPU menggunakan pendekatan Rule of
Reason yang merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas
persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan
tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.
Komisi membuat indikator awal untuk mengidentifikasi kartel di dalam
Pedoman Pasal 11 tentang kartel. Secara teori, ada beberapa faktor struktural
maupun perilaku. Sebagian indikator awal dalam melakukan identifikasi
eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu. Berikut merupakan cara bagi
12
KPPU untuk melakukan upaya menemukan alat bukti dalam indikasi terjadinya
kartel melalui metode analisis ekonomi yang berasal dari faktor struktural, yaitu:
a) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
b) Ukuran perusahaan
c) Homogenitas produk
d) Kontak multi pasar
e) Persediaan dan kapasitas produk
f) Keterkaitan kepemilikan
g) Kemudahan masuk pasar
h) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan
i) Kekuatan tawar pembeli (buyer power)
Kartel akan lebih mudah terjadi jika jumlah perusahaan yang tergabung tidak
banyak. Oleh Karena akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dan
pengawasan terhadap para pelaku usaha yang tergabung dalam kesepakatan untuk
melakukan kartel. Pendiri dan pelopornya adalah beberapa perusahaan yang
mempunyai ukuran setara. Biasanya koordinasi kartel dilakukan oleh perusahaan
yang memiliki kuasa atas pasar yang dimainkan dalam kartel semisal dalam pasar
kelompok minyak goreng. Pelaku usaha dengan modal yang tinggi serta
keunggulan atas penguasaan pasar menjadikan beberapa perusahaan yang
memiliki banyak anak perusahaan yang juga bergerak dibidang yang sama
memiliki kecendrungan untuk menguasai/mengendalikan pasar. Selain itu
perusahaan yang memiliki modal tinggi dapat dengan mudah melakukan
penguasaan pasar bersangkutan dikarenakan tidak mampunya pelaku usaha lain
dalam bersaing di pasar bersangkutan.
13
Produk dari para pelaku usaha sifatnya homogenitas/sejenis. Jika produk yang
diperjanjikan adalah suatu produk yang memiliki karakteristik yang memiliki
kecendrungan sama maka akan mudah melakukan kartel. Istilahnya produk yang
dimainkan adalah sejenis. Pemasaran yang luas akan menyebabkan para pelaku
usaha berkolaborasi walaupun tidak terdapat insentif atas perbuatan pelaku usaha
tersebut. Kolaborasi ini dimungkinkan untuk menguasai pasar dan
mengendalikannya demi keuntungan terbesar yang dapat diperoleh oleh pelaku
usaha.
Terdapat pasokan barang yang beredar dipasaran yang overstock atau
jumlah penawaran lebih tinggi dibandingkan permintaan menjadikan pelaku usaha
mudah terperangkap untuk menyepakati harga atas barang tersebut. Tingginya
tingkat persaingan menyebabkan masing-masing para pelaku usaha meningkatkan
produktivitas baik produksinya distribusi maupun hasil akhir dari barang/jasa.
Semua itu dilakukan untuk menarik konsumen untuk membeli barang/jasa dari
pelaku usaha. Kondisi tersebut merupakan kondisi normal dalam sebuah
persaingan. Namun kecurangan pelaku usaha oleh karena tingginya tingkat
persaingan diantara mereka menjadikan pelaku usaha tidak ingin menerima
kerugian dari kemungkinan kelebihan pasokan barang ataupun kesulitan mencari
pembeli di dalam pasar. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan para pelaku usaha
secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan kesepakatankesepakatan kartel.
Kemudian keterkaitan minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pelaku usaha
untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku diantara perusahaan
yang mereka kendalikan. Pelaku usaha minoritas sudah tentu mengikuti arah pasar
14
oleh karena ketidakmampuan didalam bersaing dari para pelaku usaha mayoritas.
Hal ini demi memaksimalkan keuntungan bagi para pelaku usaha. Selain itu
inelastisnya permintaan dan kestabilan pertumbuhan memudahkan para pelaku
usaha untuk melakukan kartel karena dapat dengan mudah diprediksikan tingkat
produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan para pelaku
usaha. Tidak berpengaruhnya harga atas permintaan pasar menjadikan pelaku
usaha juga dengan tenang melakukan perjanjian kartel. Pembeli akan tetap
membeli/memakai produk walaupun dengan harga yang tinggi oleh karena
kebutuhan dan tidak tersedianya barang substitusi atau pengganti atas barang/jasa
yang dibutuhkan konsumen.
Indikator struktural terakhir dalam mendeteksi awal terjadinya kartel yaitu
kekuatan tawar pembeli. Pembeli yang memiliki posisi tawar yang kuat akan
mampu melemahkan sistem perkartelan karena pembeli akan mudah mencari
penjual yang mau memasok dalam harga rendah sehingga kartel dengan
sendirinya dapat bubar disebabkan ketidakpatuhan atas kesepakatan kartel dan
ketidakefektifan aturan kartel diantara para pelaku usaha tersebut. Pelemahan
kartel ini dapat terjadi oleh karena kuatnya pengaruh pembeli atas daya tawar
suatu barang. Pelaku usaha akan lebih sulit melakukan koordinasi dan
penyesuaian harga akan barang/jasa mereka. kesepakatan-kesepatan yang telah
ada dapat dengan sendirinya menjadi tidak efektif.
Kartel dapat dideteksi dengan cara melihat perilaku dari para pelaku usaha
yang saling memberikan informasi dan transparansi diantara mereka. Biasanya
para pelaku usaha berusaha untuk menyimpan hal-hal yang menjadi rahasia
15
keberhasilan perusahaan dalam mendapatkan pembeli/konsumen. Namun dalam
kartel tidak diperlukan cara khusus untuk mendapatkan konsumen/pembeli. Oleh
karena ketidakhadiran dari persaingan yang sesungguhnya diantara pelaku usaha
menjadikan pelaku usaha merasa aman akan laba dari perusahaan. Peran asosiasi
biasanya juga penting dalam hal pertukaran informasi. Asosiasi dapat digunakan
sebagai media yang mengatasnamakan asosiasi namun didalamnya terdapat
pertukaran informasi dan transparansi harga, jumlah produksi dan pemasaran.
Tindakan yang menurut KPPU merupakan hal yang melanggar ketentuan dari UU
Nomor 5 tahun 1999 dapat disamarkan oleh adanya pertemuan-pertemuan yang
mengatasnamakan asosiasi dagang. Oleh karena itu, dapat menjadi riskan dalam
menentukan apakah memang terjadi kesepakatan atau tidak. Pembuktian adanya
kesepakatan harus meyakinkan Perilaku lainnya yaitu peraturan harga dan kontrak
yang patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi
kartel.
Peraturan tentang harga dan kontrak bahwa benar adanya telah terjadi
kesepakatan diantara pelaku usaha untuk melakukan penetapan harga atau
perjanjian akan itu yang harus dilakukan penyelidikan dan pembuktian. Perjanjian
dapat melalui alat bukti tertulis maupun tidak tertulis. Alat bukti tertulis ini berupa
surat ataupun dokumen sedangkan perjanjian tidak tertulis ini dapat melalui bukti
komunikasi, bukti adanya pertemuanpertemuan. Kesepakatan tersebut pada
umumnya dilakukan secara tertutup atau diam-diam, sehingga seringkali KPPU
menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan adanya kartel.
Apalagi KPPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan atau
16
penyitaan dokumen terkait kesepakatan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya Jadi kartel yang dilakukan secara diam-diam ini dapat diketahui dengan
melakukan serangkaian kegiatan penelusuran secara metode analisis ekonomi.
Variable, daftar harga, kinerja perusahaan, laporan keuangan dan seluruh unsur
kegiatan perusahaan akan ditelusuri oleh KPPU. Seluruh data perusahaan tersebut
kemudian dianalisis apakah benar ada pelanggaran kartel maupun pelanggaran
terhadap UU Nomor 5 tahun 1999. Jika telah terbukti atas hasil penyelidikan
melalui analisis ekonomi ini KPPU berupaya untuk mendapatkan serangkaian alat
bukti lainnya. Oleh karena alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti satu-satunya. Perkembangan selanjutnya apabila tidak ditemukan alat
bukti lain yang dapat menyatakan bahwa para pelaku usaha tersebut bersalah
maka jikalau sudah pada tahap pemeriksaan lanjutan maka putusan KPPU akan
memberikan putusan tidak bersalah seperti halnya putusan tentang perkara semen
dengan putusan perkara nomor 1/KPPU-I/2010. Perkara Terkait dugaan adanya
kartel dalam industri semen di Indonesia ternyata tidak terbukti. Dasar
pertimbangan yang menyebabkan KPPU memutuskan bahwa tidak terjadinya
dugaan praktek pelanggaran tentang kartel berdasarkan hal berikut:
1. Tidak terdapat dampak yang merugikan bagi negara dan konsumen;
2. Tidak terdapat perbedaan harga yang signifikan ditingkat pabrik dan
tingkat ritel;
3. Tidak adanya bukti bahwa telah terjadi pengaturan pasokan.
Kartel menjadi sulit dideteksi karena pada faktanya perusahaan yang berkolusi
berusaha menyembunyikan perjanjian diantara mereka dalam rangka menghindari
17
hukum. Jarang sekali dan naïf tentunya apabila pelaku usaha secara terang-
terangan membuat perjanjian diantara mereka, membuat dokumen hukum,
mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian untuk melakukan
suatu pelanggaran hukum. Dari hasil analisis kepustakaan yang dilakukan oleh
penulis terdapat pendekatan ekonomi sebelum memulai penyelidikan dan metode
secara ekonomi yang digunakan KPPU untuk memeriksa kasus kartel. Pemilihan
pendekatan ekonomi untuk memulai penyelidikan ini memiliki beberapa
metodologi pendeteksian kartel sebagai berikut:
1) Metodologi dengan seleksi random;
2) Metodologi yang bergantung pada indikator individu;
3) Metodologi yang otomatis (an automated methodology);
4) Metodologi menitoring pasar secara permananen.
Terdapat dua metode secara ekonomi yang juga biasa ditemukan didalam
literature, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-
down menyaring beberapa sektor untuk mengidentifikasi industri yang cenderung
kolusi.
Metode analisis ekonomi tersebut diatas digunakan untuk menganalisis
pembuktian kartel dengan menggunakan alat bukti tidak langsung atau indirect
evidence. Penggunaannya dengan membuktikan adanya hubungan antara fakta
ekonomi satu dengan fakta ekonomi lainnya. Terlihatlah sebuah bukti kartel yang
utuh sampai dengan jumlah kerugian yang diderita masyakat. Kartel tidak hanya
dapat merugikan konsumen secara materiil. Lebih jauh lagi akibat dari kartel
dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak
18
kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang
menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat. Selain itu kartel dapat
menyebabkan tidak bekerjanya sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya secara efisien/berdaya
guna penuh. Penjelasan mengenai bagaimana kartel dapat terjadi, dalam situasi
apa dan akibat apa yang dapat ditimbulkan dari kartel dibawah ini penulis
memberikan dua buah contoh putusan yang menggunakan bukti tidak langsung
sebagai alat bukti tambahan penguat dari alat-alat bukti lainnya.. Putusan nomor
24/KPPU-I/2009 untuk putusan Industri minyak goreng sawit di Indonesia.
Dalam putusan tersebut turut mencantumkan adanya indirect evidence
yang menjadi alat bukti dugaan adanya kartel diantara pelaku usaha produsen
minyak goreng curah dan kemasan yang ditemukan selama tahap pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan. Pentunjuk yang digunakan berupa Bukti
Komunikasi dan Bukti Ekonomi, pada bukti komunikasi dapat berupa fakta
adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat
substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Dalam perkara tersebut
pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung
dilakukan oleh para Terlapor pada tangga 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari
2009. Bahkan dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas atara lain
mengenai harga, kapasitas, produksi, dan struktur biaya produksi. Kemudian pada
Bukti Ekonomi terdapat dua bukti yang terkait dengan struktur dan perilaku.
Dalam perkara tersebut, industri minyak goreng baik curah maupun kemasan
memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha
19
(oligopoli). Adapun bukti ekonomi berupa perilaku terecermin adanya price
parralelism yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi
dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi
antar pesaing melalui asosiasi.
Pada putusan tersebut juga mencantumkan kasus dari luar negeri yang juga
menggunakan alat bukti berupa indirect evidence, yaitu Kasus Steel Cartel
(Brazil) dimana dalam kasus tersebut, Brazil’s Council for Economic Defence
(CADE) menemukan adanya kartel tanpa adanya bukti langsung bahwa
perusahaan melakukan koordinasi untuk menaikkan harga. Pada kasus ini CADE
menyatakan bahwa perilaku kartel dapat dibuktikan hanya berdasarkan bukti
ekonomi, ketika tidak ditemukan adanya penjelasan rasional. Kenyataannya,
CADE memutuskan para pihak dinyatakan bersalah berdasarkan price parallelism
dan faktor-faktor lainnya seperti penggunaan bukti pertemuan diantara perusahaan
tersebut untuk membicarakan permasalahan diantara mereka sebelum
permasalahan tersebut disampaikan kepada Pemerintah. Kemudian ditambah
dengan Kasus Sao Paulo Airlines (Brazil) dimana pada kasus ini, investigasi yang
dilakukan menyimpulkan adanya price parallelism dan juga adanya pertukaran
informasi diantara perusahaan pesaing melalui sistem komputerisasi pencatatan
harga yang dilakukan oleh perusahaan yang mempublikasikan tarif pesawat
(ATPCO). Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh CADE terdapat 3 (tiga)
faktor yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan penetapan
harga yaitu price parallism, pertemuan para pemimpin perusahaan, dan adanya
media untuk melakukan korrdinasi harga. Dengan bukti tersebut kemudian
20
Majelis Komisi menilai komunikasi dan/atau koordinasi dengan didukung bukti
ekonomi tersebut dapat diaktegorikan sebagai perjanjian yang dilakukan oleh
antar pelaku usaha yang bersaing dalam hal ini para Terlapor untuk menetapkan
harga minyak goreng yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama. Baha dengan demikian, unsur Perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama terpenuhi.
21
KESIMPULAN
1. Kedudukan Indirect Evidence dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dikategorikan sebagai bukti petunjuk. Jika dikategorikan dalam
Hukum Acara Perdata maka tergolong bukti persangkaan. Penggunaan
Indirect Evidence tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditunjang
dengan data dan informasi ekonomi yang bersifat ekstensif.
2. Menurut pengaturan dalam Peraturan Komisi Nomor 4 tahun 2010 tentang
Pedoman Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang bukti tidak
langsung, yang dapat digunakan sebagai alat bukti tidak langsung yaitu
melalui analisis ekonomi melalui faktor struktural dan faktor perilaku.
Faktor struktural mencangkup tingkat konsentrsi dan jumlah perusahaan;
ukuran perusahaan; homogenitas produk; kontak multi pasar; persediaan dan
kapasitas produksi; keterkaitan kepemilikan; kemudahaan masuk pasar;
karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan; kekuatan tawar
pembeli. Sedangkan untuk faktor perilaku berdasarkan transparansi dan
pertukaran informasi, dan peraturan harga dan kontrak. lat bukti tidak
langsung selain dengan penggunaan melalui analisis faktor struktural dan
faktor perilaku dilakukan dengan cara pendekatan ekonomi. Penggunaan
indirect evidence telah dilakukan oleh KPPU dalam putusan Nomor. 24?
KPPU-I/2009 tentang Kartel Industri Minyak Goreng di Indonesia.
top related