makalah masalah pengangguran ekonomi
Post on 11-Jun-2015
234.725 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Masalah Pengangguran di Indonesia
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas semester ganjil Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi
Oleh
Nama : Verdico Arief
NPM : 170110070078
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGOR
2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah yang berjudul “Masalah Pengangguran di Indonesia”
ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari pengangguran
terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan
dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Pengantar Ilmu
Ekonomi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan
prestasi di masa yang akan datang.
Jatinangor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................3
D. Metode Pengumpulan Data.........................................................................3
E. Sistematika Penulisan.................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran ................................................................................5
B. Masalah Pengangguran di Indonesia ..........................................................6
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia .......................................................13
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja......................16
E. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan ..............................................17
F. Dampak Pengangguran di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Asean........21
G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi
Pengangguran........................................................................................... 25
H. Data Pengangguran di Indonesia..............................................................32
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia..........................................32
2. Angka Pengangguran Menurut Umur.....................................................33
3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan....................33
4. Tabel Tingkat Pengangguran di Indonesia.............................................35
5. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran.........................37
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................44
B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia .............................................44
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................51
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997
membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu,
pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen.
Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada.
Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa
mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4
persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari
kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa
pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah
pengangguran.di.Indonesia.bertambah.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta.
Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002
(9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran
menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta),
penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah
penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta);
pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk
yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur
terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak diketahui jumlah
pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah banyak pengangguran, apalagi di tahun
2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah dan
mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis
mengambil rumusan masalah sebagai berikut
1. Apa pengertian definisi pengangguran
2. Apa yang menjadi masalah pengangguran di indonesia
3. Bagaimana keadaan pengangguran di Indonesia
4. Bagaimana keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Pengangguran mengakibatkan kemiskinan
6. Apa dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean
7. Apa janji realisasi Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran
8. Sajian data pengangguran di indonesia
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah yang berjudul ”Masalah Pengangguran
di Indonesia” adalah sebagai berikut:
1. Mengetahu Definisi Pengangguran
2. Mengetahui apa yang menjadi masalah pengangguran di Indonesia.
3. Mengetahui keadaan pengangguran d Indonesia
4. Mengetahui keadaan angkatan kerja dan kesempatan kerja
5. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari pengangguran.
6. Mengetahui dampak pengangguran di Indonesia terhadap pertumbuhan asean
7. Merealisasikan Industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran
8. Mengetahui data – data tentang pengangguran.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta
sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini,
penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama
browsing di Internet, kedua dengan membaca media cetak dan dengan
pengetahuan yang penulis miliki.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ”Masalah Pengangguran di Indonesia ini disusun dengan urutan
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan
Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari definisi
pengangguran, apa masalah pengangguran di indonesia , bagaimana keadaan
pengangguran di indonesia, bagaimana keadaan angkatan kerja dan keadaan
kesempatan kerja, kenapa pengangguran mengakibatkan kemiskinan , apa
dampak pengangguran di indonesia terhadap pertumbuhan asean, apa realisasi
industri untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, serta
penyajian data pengangguran di indonesia.
Bab III Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan solusi terhadap masalah
pengangguran di Indonesia.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis
gunakan untuk pembuatan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pengangguran
Definisi pengangguran secara teknis adalah semua orang dalam referensi
waktu tertentu, yaitu pada usia angkatan kerja yang tidak bekerja, baik dalam arti
mendapatkan upah atau bekerja mandiri, kemudian mencari pekerjaan, dalam
arti mempunyai kegiatan aktif dalam mencari kerja tersebut. Selain definisi di
atas masih banyak istilah arti definisi pengangguran diantaranya:
Definisi pengangguran menurut Sadono Sukirno
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam
angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
Definisi pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang
tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu
sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.
Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga
kerja
Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang
menghasilkan uang meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.
Definisi pengangguran menurut Menakertrans
Pengangguran adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan,
mempersiapkan suatu usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa
tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
B. Masalah Pengangguran di Indonesia
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan
adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-
masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan
jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam
persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi
pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran
dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat
menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP
dan pendapatan per kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah
"pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan
dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai
kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan
setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang
merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi
merupakan pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,
menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat
mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat
pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi
merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban
keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong
peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat
pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta
mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun
keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang
tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan
pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu
pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan
dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan usaha mikro
dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses,
pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang
mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota harus merupakan satu kesatuan yang saling
mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP), Mengingat
70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan
penanganan khusus secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan
kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional
Penanggulangan Pengangguran (GNPP) dengan mengerahkan semua unsur-
unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun kebijakan dan
strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah
satu tolok ukur kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam
perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah
pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang
diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima orang tokoh dari pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, perwakilan pengusaha, perwakilan perguruan tinggi,
menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli
Zainal; Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H.
Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T. Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P.
Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina Swadaya, LSM;
mereka adalah sebagian kecil dari para tokoh yang memandang masalah
ketenagakerjaan di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap
komponen bangsa.
Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk
membangun kepekaan dan kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah,
serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk
Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan
GNPP tersebut, menunjukan suatu kepedulian dari segenap komponen bangsa
terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya penanggulangan
pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan
semata fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
akan tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat
maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam
penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah
maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang
seluas-luasnya.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Februari 2004
yang lalu, Menakertrans Jacob Nuwa Wea dalam penjelasannya juga
berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan pengangguran di
Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah pengangguran;
keadaan angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang
akan dicapai. Dalam konteks ini kiranya paparan tersebut masih relevan untuk
diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa
pembukaan UUD 1945 mengamanatkan: “… untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa …”. Selanjutnya secara lebih konkrit pada
Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa : ” tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” dan pada Pasal 28
D ayat (2) menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Hal ini berarti, bahwa secara konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup, produktif dan remuneratif..
Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya
penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum
memenuhi harapan, serta mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi
Penanggulangan Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut
sertakan pihak-pihak terkait sedang menyusun konsepsi penanggulangan
pengangguran. Dalam proses penyusunan ini telah dilakukan beberapa kali
pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara
terbatas (Apindo dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan
beberapa Departemen dan Bappenas. ” Memperhatikan kompleksnya
permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut
masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak
yang lebih luas, antara lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan
sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat khususnya Komisi VII; masih
memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat
dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang
didukung oleh seluruh komponen masyarakat”, tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai
pertumbuhan ekonomi 6 persen, yang berlangsung selama enam bulan sejak
triwulan IV tahun 2004 hingga triwulan I tahun 2005, sebagai pertumbuhan tidak
berkualitas karena tak mampu menekan pengangguran yang malah naik 10,3
persen.
Pertumbuhan ekonomi itu dinilai semu karena kesejahteraan masyarakat
tidak semakin membaik. Hal itu tercermin dari munculnya kasus busung lapar di
beberapa lokasi.
Direktur Utama Indef M Fadhil Hasan mengungkapkan hal tersebut saat
memublikasikan Kajian Tengah Tahun 2005 di Jakarta, Rabu (3/8). ”Ini
merupakan anomali dalam perekonomian Indonesia,” ungkap Fadhil
menjelaskan.
Menurut dia, pertumbuhan semu itu terjadi karena kontribusi penggerak
ekonomi pada periode tersebut lebih disebabkan oleh berlangsungnya
penurunan impor sehingga ekspor bersih Indonesia seolah-olah membaik. Pada
triwulan I 2005 nilai impor menurun sebesar 0,49 persen dibandingkan dengan
impor triwulan IV tahun 2004.
”Selain itu, pertumbuhan ini tidak terjadi pada sektor yang menyerap
tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti pertanian, industri manufaktur, dan
sektor bangunan. Indeks Tendensi Bisnis menurun ke level pesimistis dari 113,5
di triwulan IV 2004 menjadi 98,93 pada triwulan I 2005,” kata Fadhil.
Sementara itu, Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan APBN
Semester I 2005 memperkirakan defisit APBN-P 2005 membengkak menjadi
satu persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp 26,2 triliun. Itu
berarti Rp 5,85 triliun lebih tinggi dari target APBN-P 2005 sebesar Rp 20,33
triliun atau 0,8 persen terhadap PDB.
Defisit itu terjadi karena selisih antara realisasi keuangan pemerintah
Semester I dan perkiraan Semester II 2005. Pemerintah memperkirakan
pendapatan negara dan hibah akan mencapai Rp 516,03 triliun atau lima persen
lebih tinggi dari target APBN-P 2005 senilai Rp 491,59 triliun. Sementara belanja
negara diperkirakan Rp 542,2 triliun atau 5,9 persen di atas target yang
ditetapkan APBN-P 2005.
C. Keadaan Pengangguran di Indonesia
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah
lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga
kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang
efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan
hubungan kerja, yang disebabkan antara lain; perusahaan yang
menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan
yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam
proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13
juta penganggur terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang
berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar (5.78 juta)
adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta
penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang
dari jam kerja normal 35 jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta
orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang bekerja pada jabatan yang lebih
rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan produktivitas
rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah
penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E
LIPI) memprediksi bahwa jumlahpengangguran tahun ini akan meningkat
menjadi 11,833 juta orang. Angka tersebut belum termasuk eks tenagakerja
Indonesia (TKI) yang kembali ke Tanah Air dari Malaysia dan pengangguran
akibat bencana tsunami di Aceh.
"Angka ini berbeda dengan yang dikeluarkan pemerintah yang
menyatakan pengangguran pada 2005 sekitar 9,9juta orang," kata Koordinator
P2E LIPI, Wijaya Adi, kepada wartawan di Jakarta kemarin.Menurut Wijaya,
tingginya angka pengangguran terkait dengan fenomena yang muncul pada
masa krisis, yaitupertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan konsumsi.
Padahal konsumsi tidak memberikan pengaruh kepada penyerapan tenaga
kerja. Bila sebelum krisis kenaikan pertumbuhan ekonomi 1 persen mampu
menyerap 400 ribu tenaga kerja, sekarang hanya menyerap 250 ribu tenaga
kerja.
Padahal dalam setahun, menurut dia, tambahan angkatan kerja mencapai
2,5 juta orang atau 12,5 juta orang selama lima tahun. Dengan target
pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5 persen, tenaga kerja yang dapat
diserap hanya 1,375 juta orang. "Tambahan pengangguran pada 2005 akan
berkisar pada angka 1,125 juta orang," ujarnya. "Ditambah stok penganggur
pada tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan jumlah penganggur pada 2005 akan
berkisar 11,833 juta orang."
Penelitian LIPI tersebut belum memperhitungkan pengangguran
pascatsunami di Aceh. Akibat bencana ini, boleh jadi angka pengangguran di
Indonesia akan lebih besar. Sebab, menurut Organisasi Buruh Internasional
(ILO), ada 600 ribu pengangguran pascabencana tersebut. ILO memperkirakan,
tingkat pengangguran di provinsi-provinsi yang terkena dampak bencana ini
diperkirakan 30 persen atau lebih, meningkat drastis dari tingkat 6,8 persen di
provinsi-provinsi tersebut sebelum tertimpa bencana (Koran Tempo, 24/1).
Wijaya membenarkan bila memperhitungkan eks TKI dan pascatsunami, angka
pengangguran bisa lebih besar lagi. "Perkiraan saya ada tambahan
pengangguran sekitar 500 ribu orang," tuturnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan, masalah ketenagakerjaan menjadi semakin
pelik karena setiap tahun upah buruh diwajibkan naik. Padahal penentuan upah
buruh tidak dikaitkan secara langsung dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam
batas tertentu, kata dia, hal itu akan menyebabkan biaya produksi meningkat dan
pada gilirannya akan mempengaruhi daya saing. Padahal di berbagai negara
pesaing Indonesia, seperti Vietnam, upah buruh relatif lebih rendah dengan
produktivitas tenaga kerja lebih tinggi atau sama. Menurut dia, jika persoalan ini
tidak diselesaikan, konflik antara pengusaha dan tenaga kerja akan tetap
berlanjut."Dalam jangka panjang hal ini akan merugikan," katanya, "sebab salah
satu pertimbangan hengkangnya investor ke luar negeri berkaitan dengan
masalah ketenagakerjaan.
D. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas
salah satunya dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di
Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh
angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain,
45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan
kerja.di.Indonesia.kualitasnya.masih.rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah
pengangguran tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002,
jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen
kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat
produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari
kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan
SLTP ke bawah. Ini menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah
bagi golongan berpendidikan rendah.
Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di
Indonesia mempunyai persyaratan kerja yang rendah dan memberikan imbalan
yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga kerja rendah.
E. Pengangguran Mengakibatkan Kemiskinan
Tanggal 17 Oktober lalu komunitas global baru saja merayakan hari anti
kemiskinan se-dunia. Akan tetapi di negeri ini, kemiskinan adalah simbol sosial
yang nyaris absolut dan tak terpecahkan. Sejak masa kolonial hingga saat ini,
predikat negeri miskin seakan sulit lepas dari bangsa yang potensi kandungan
kekayaan alamnya terkenal melimpah. Cerita pilu kemiskinan seakan kian
lengkap dengan terjadinya berbagai musibah alam dan bencana buatan: gempa
bumi, tsunami, lumpur panas Lapindo, dan kebakaran hutan yang diikuti kabut
asap. Kantung-kantung kemiskinan di negeri ini kian hari kian menyebar bak
virus ganas, mulai dari lapis masyarakat pedesaan, kaum urban perkotaan,
penganggur, hingga ke kampung-kampung nelayan.
Lepas dari perdebatan indikator yang digunakan, data kemiskinan di
negeri ini terus menunjukkan trend memburuk. Jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 17 persen dari populasi penduduk yang kini telah mencapai angka 220
juta jiwa. Menurut data resmi Susenas (BPS, 2006), jumlah penduduk miskin
meningkat dari 35,10 juta jiwa (15,97 persen) menjadi 29,05 juta jiwa (17,75
persen). Sementara jumlah penganggur menurut data Sakernas (BPS, 2006)
juga terus meningkat dari 10,9 juta jiwa (10,3 persen) pada Februari 2005
menjadi 11,1 juta jiwa (10,4 persen) pada Februari 2006.
Padahal, perang melawan kemiskinan sudah ditabuh sejak lama di negeri
ini. Di era Orde Baru, misalnya, pemerintah menggalang berbagai sarana dan
cara untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan fisik digenjot di berbagai
bidang, pertumbuhan ekonomi menjadi fokus perhatian, investasi asing
digalakkan, berbagai jenis skema kredit investasi kecil dan kredit modal kerja
digelar, bahkan utang luar negeri pun ditempuh sebagai alternatif untuk
menopang idea of progress bernama pembangunan. Akan tetapi, karena
keberpihakan ideologis pemerintah tak jelas, hasil pembangunan ala Orde Baru
itu tak bisa sepenuhnya bisa dirasakan rakyat lapis bawah. Yang terjadi, seluruh
angka-angka keberhasilan pembangunan yang digarap secara intens selama 30
tahun itu, rontok tersapu krisis ekonomi dan gejolak politik tahun 1998.
Meski pemerintahan terus berganti, kemiskinan tetap saja menjadi virus
endemis yang terus mendera rakyat. Secara empirik, data pemerintah
menunjukkan, 70 persen rakyat kita menggantungkan sumber penghidupannya
dari sektor ekonomi mikro berbasis sumber daya alam terbarukan. Di sektor
pertanian, petani kita telah sejak lama mengembangkan tanaman pangan,
holtikultura, perkebunan, dan peternakan. Di sektor kelautan dan perikanan,
nelayan kita sanggup mengembangkan perikanan budi daya, perikanan tangkap,
industri bioteknologi kelautan, dan non-conventional ocean resources.
Sementara di sektor kehutanan, masyarakat kita mampu mengoptimalkan
pengelolaan hutan alam, hutan tanaman industri, dan agroforestry.
Pada level teknis, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen
anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana
pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun parkir di Bank Indonesia.
Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah),
lebih dari Rp 40 triliun juga parkir dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Dana “menganggur” ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan
pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan
kemiskinan.
Pada level global, Indonesia juga telah masuk dalam kategori negara
yang paling gagal dalam pencapaian target-target Millenium Development Goals
(MDGs), sebuah komitmen global yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia
guna mengatasi masalah kemiskinan akut. Padahal, kucuran dana yang datang
dari World Bank, IMF, ADB, CGI, dan donor bilateral (baik dalam bentuk hibah
maupun utang) yang mengatasnamakan penanggulangan kemiskinan mencapi
angka puluhan milyar dolar. Di sini, komitmen melawan kemiskinan menjadi
patut dipertanyakan.
Contoh nyata melawan kemiskinan sebenarnya telah terbentang di depan
mata. Pada aras global, gerakan masyarakat sipil anti globalisasi-neoliberal
(sejak Seattle, Cancun, Hongkong, hingga Singapura) terus menyerukan ”Global
Call to Action Against Poverty”. Mereka dengan gamblang menunjukkan
berbagai metode dan aksi-aksi politik nyata guna melawan sumber-sumber
kemiskinan. Juga Ikhtiar seorang Muhammad Yunus, pemenang nobel
perdamaian 2006, yang mendesain model ”Bank Grameen” (dan fungsi
intermediasi)-nya sebagai solusi efektif memerangi kemiskinan di Bangladesh,
sejatinya bisa menjadi sumber inspirasi mutakhir bagi kita dalam melawan
kemiskinan.
Masalahnya sekarang, apakah para elite, politisi, dan birokat kita punya
keberpihakan ideologis untuk melawan kemiskinan? Adakah komitmen tegas
dari para penentu kebijakan negara untuk memberantas KKN secara radikal?
Jika negara tak sanggup menyatakan perang terhadap kemiskinan, gagal dalam
memerangi korupsi, dan tetap malas melaksanakan agenda reformasi sebagai
perintah konstitusi, maka kemiskinan bangsa—yang di masa kolonial pernah
disebut ”nation van Koelis”—mungkin akan menjadi simbol abadi negeri ini.
F. Dampak Pengangguran Di Indonesia Terhadap Pertumbuhan Asean
Presiden menyatakan, besarnya tingkat pengangguran di Indonesia
merupakan masalah ketenagakerjaan yang paling mengkhawatirkan di kawasan
ASEAN, karena itu Presiden mengajak ASEAN menyimak lebih dekat kepada
persoalan ketenagakerjaan. "Pengangguran tak hanya menampilkan masalah
ekonomi tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan
politik yang pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan
akhirnya menjadi ketegangan dalam hubungan antarbangsa-bangsa di kawasan
ini," katanya saat membuka pertemuan ke-17 Menteri Tenaga kerja ASEAN di
Mataram, NTB, Kamis (8/5). Pertemuan internasional pertama di Mataram sejak
terjadinya tragedi bom Bali itu diikuti seluruh negara ASEAN, yakni tujuh menteri
tenaga kerja, satu menteri negara, dan dua deputy menteri. Selain itu juga diikuti
tiga wakil menteri dari negara mitra dialog dari China, Jepang, dan Korea
Selatan termasuk dari perwakilan Organisasi Buruh Internasional, serta dari
Sekretariat Jenderal ASEAN. Presiden menyebutkan pengangguran di Indonesia
hingga akhir tahun 2001 mencapai angka 8,1 persen. Bila itu yang menjadi tolok
ukur, maka angka itu paling menyimpan kekhawatiran di kawasan ASEAN.
"Angka tersebut lebih tinggi bila dibanding dengan realisasi pertumbuhan
ekonomi serta kemampuan kami dalam mengundang investasi," katanya. Dalam
konteks ASEAN, meluasnya situasi seperti itu jelas sangat mengkhawatirkan dan
sungguh memerlukan kewaspadaan.
Dari sudut pandang tersebut Kepala Negara mengajak para menteri
tenaga kerja ASEAN untuk menyimak lebih dekat persoalan ketenagakerjaan di
kawasan ASEAN. Presiden memahami pemulihan ekonomi yang besar
peranannya dalam penciptaan lapangan kerja akan sangat berkaitan dengan
kebijakan di banyak aspek, seperti fiskal, investasi, pembiayaan dan perbankan,
hukum dan keamanan. Sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, kata Megawati,
para pendahulu ASEAN telah bekerja keras membangun dasar-dasar kerjasama
dan solidaritas bangsa-bangsa di kawasan ini, dengan keyakinan bahwa hanya
dengan stabilitas politik dan keamanan di kawasan masing- masing dapat
membangun kehidupan yang sejahtera dan maju.
Dengan perkembangan dan kemajuan yang dialami saat ini, bangsa-
bangsa dan negara ASEAN telah semakin berubah menjadi masyarakat besar
yang kian terbuka. Sekecil apa pun perkembangan negatif yang terjadi di suatu
negara akan menjalar dan memberi pengaruh terhadap bangsa-bangsa lainnya
di kawasan. Presiden menggambarkan di Indonesia bahwa pemerintahannya
baru saja selesai memperbaiki pengaturan mengenai perlindungan dan
kesejahteraan tenaga kerja terutama soal pengupahan, jaminan sosial, PHK
ataupun mekanisme tripartit dan lain-lainnya dalam rangka penyeimbangan
antara hak dan kewajiban tenaga kerja dan pemberi kerja.
Presiden juga memberikan gambaran tentang ragam dan tingkat kesulitan
yang harus diatasi hampir oleh setiap negara anggota ASEAN dalam lima tahun
terakhir ini. Menurut Presiden, ada yang telah selesai menormalisasi keadaan
dan mulai bangkit lagi, ada yang sudah pada tahap akhir pemulihan, tetapi ada
juga yang masih harus bergulat dengan banyak persoalan baik yang lama
ataupun yang belakangan timbul sebagai dampak dari persoalan itu sendiri.
"Akhir-akhir ini jerih payah tadi malah mulai tampak memudar atau malah
tertimbun oleh kesulitan baru yang bersumber dari ancaman terorisme ataupun
wabah penyakit,” kata Megawati. Pertemuan Menaker ke-17 tersebut akan
berlangsung hingga 9 Mei 2003.Indonesia sebelumnya pernah menjadi tuan
rumah untuk pertemuan serupa yang pertama dan yang ketujuh. Sedangkan
pertemuan ke-16 tahun 2002 berlangsung di Laos, dan pertemuan ke 18 tahun
2004 direncanakan berlangsung di Brunei, tetapi belum diputuskan.
Pengangguran di Indonesia sudah menjadi ancaman di ASEAN
mengingat kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di kawasan Asia
Tenggara itu sudah mencapai 60 persen.
Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) , Haryono Darudono, di Medan, Jumat, mengatakan, tingginya
pengangguran menunjukkan Indonesia tidak menarik bagi investor sebagai
tempat investasi yang berakibat pada tidak berjalannya sektor riil.
Menurut dia, tidak menariknya Indonesia sebagai tempat investasi karena
dipicu banyak hal mulai dari infrastruktur yang tidak memadai hingga birokrasi
perizinan.yang.masih.berbelit.
"Bagaimana investor baru mau masuk atau pengusaha mengembangkan
investasinya kalau listrik dan gas sulit didapat seperti saat ini," katanya di sela-
sela.rapat.tahunan.Apindo.Sumut.
Dia tidak merinci data pengangguran di Asean, tapi di Indonesia
disebutkan sekitar 40 jutaan bahkan lebih karena tahun ini jumlahnya semakin
bertambah menyusul banyaknya industri yang melakukan PHK menyusul
kesulitan.gas.dan.listrik.
"Pemerintah diharapkan melakukan tindakan nyata untuk mengtasi angka
pengangguran itu karena pengangguran itu berdampak luas seperti kepada
tingginya.tingkatan.kriminilitas,"katanya.
Sekretaris Umum DPD Apindo Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengatakan
di Sumut, tahun ini PHK terjadi pada ribuan tenaga kerja menyusul krisis listrik
dan gas yang masih berlanjut. PHK, katanya terbesar terjadi pada industri
sarungtangan karet dan keramik yang memang menggunakan atau memerlukan
gas dalam volume yang besar
G. Realisasi Industri Untuk Menyerap Tenaga Kerja dan Mengurangi
Pengangguran
Masa jaya Nusantara di bawah pemerintahan Sriwijaya dan Majapahit
mencatat perekonomian dan industri yang berpusat pada kekayaan alam, yakni
pertanian dan laut. Selepas lima abad, muncullah Republik Indonesia dengan
mimpi besar membangun industri maju, tetapi melupakan kemakmuran petani
dan nelayan. Perbagai peninggalan candi sebagai bukti kejayaan bangsa berikut
reliefnya, seperti simbol Yoni-Lingga, adalah pertanda kemajuan dan
kemakmuran masyarakat yang berbasis agraria. Demikian pula gambaran "Kapal
Borobudur" yang menggambarkan keakraban masyarakat Indonesia masa
lampau dengan lautan luas.
Sesungguhnya, kembali pada jati diri lewat pengembangan industri
berbasis lokal, yakni pertanian dan kelautan, adalah jawaban mutlak untuk
menyerap tenaga kerja yang melimpah sekaligus menyelamatkan perekonomian
nasional.
Kondisi riil membuktikan bahwa industri teknologi tinggi dikuasai negara
maju, sedangkan industri teknologi rendah (low technology intensity) dikuasai
China, Vietnam, dan negeri jiran lain yang baru berkembang. Praktis,
menghadapi persaingan yang tidak seimbang itu, Indonesia harus melakukan
renaisans (renaissance) atau gerakan kembali ke industri mula-mula di negeri ini,
yakni sektor pertanian dan kelautan. Selanjutnya barulah industri lainnya
berkembang, tetapi terkait atau berangkat dari pengembangan kedua sektor
tersebut. Pengamat ekonomi, Faisal Basri, menegaskan, dengan mencermati
sejarah masa silam tersebut, tentudeportasi massal ratusan ribu tenaga kerja
Indonesia (TKI) dari Malaysia tidak perlu terjadi. "Keberadaan TKI adalah ekses
dari kegagalan kebijakan lompatan industri. Tanpa memiliki basis industri
intensitas rendah yang kuat, kita langsung memaksakan diri bermain di sektor
intensitas teknologi tinggi, seperti pembuatan pesawat. Alhasil, semuanya gagal
dan telanjur menciptakan angkatan kerja yang meninggalkan kehidupan agraria
dan nelayan, tetapi tidak terserap dalam pasar kerja di perkotaan. Mereka ini
adalah korban kebijakan pembangunan yang kini dikenal sebagai TKI," Faisal
menjelaskan.
Dunia industri Indonesia dewasa ini menjadi potret kegagalan
industrialisasi, seperti terjadi di China pada dekade 1960-an akibat kebijakan
lompatan jauh ke depan ala Mao Ze Dong. Alih-alih mengikuti proses alamiah
perkembangan industri dari skala teknologi rendah, teknologi menengah, hingga
teknologi tinggi, Indonesia memaksakan diri "melompat" dari industri teknologi
rendah ke teknologi tinggi semasa BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan
Teknologi.
Ketika itu, Malaysia dan Thailand konsisten mempelajari agrobisnis di
Indonesia serta mengembangkannya untuk membangun perekonomian mereka.
Saat sama, Indonesia sempat mengalami surplus pangan, tetapi selanjutnya
lebih asyik membuat industri pesawat terbang yang bahkan tidak dilakukan oleh
Jepang. Hal serupa dialami Korea Selatan pada periode 1970-an akibat blunder
kebijakan industrialisasi oleh Park Chung-Hee dalam periode tersebut. Menurut
Faisal Basri, hanya industri baja saja yang dapat dikatakan berhasil ketika itu.
Namun, pemimpin Korea Selatan cepat menyadari kesalahan dan cepat
kembali mengikuti logika sehat dalam mengembangkan industri dengan kembali
ke titik awal, yakni mengukuhkan sektor pertanian- kelautan sebelummenapaki
industri teknologi menengah dan teknologi tinggi.
Mereka berangkat dari pemikiran logis, yakni mengembangkan sektor
padat karya, menghasilkan devisa, dan mendorong industri berbasis sumber
daya alam (resource-based industry). Kebijakan tersebut sangat berdasar karena
sektor pertanian dan perikanan serta budi daya laut bersifat padat karya (labour
intensive). Perlahan tetapi pasti, Korea Selatan berkembang menjadi raksasa
ekonomi. Skema tersebut mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan
devisa untuk membayar utang luar negeri, kemudian mengembangkan industri
ke skala intensitas menengah hingga teknologi tinggi.
Dewasa ini, seiring perkembangan ke industri teknologi canggih, Korea
Selatan meninggalkan industri seperti tekstil untuk produksi massal dan usaha
jenis tersebut melakukan relokasi ke China dan Vietnam. Hal tersebut
merupakan sebuah prestasi mengingat berdasar kondisi riil, daerah yang
sebetulnya potensial untuk industri adalah Korea Utara, sedangkan wilayah
Korea Selatan adalah sentra pertanian.
Namun, di Indonesia terjadi paradoks. Di saat terjadi fenomena teori
modernisasi berupa peralihan dari pertanian ke sektor industri dan jasa, justru
terjadi gerakan kembali ke desa akibat menyusutnya lapangan kerja di
perkotaan. Akan tetapi, tenaga kerja ini juga tidak terserap akibat rendahnya
produktivitas industri pertanian. Akibatnya, tenaga kerja tersebut berakhir
sebagai buruh migran di negeri jiran.
Salah satu Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit
membenarkan perlunya menata industri pertanian. Akan tetapi, dia menekankan,
industri manufaktur harus tetap mendapat perhatian. Pasalnya, sektor industri
yang masih tersisa ini juga harus diselamatkan karena semakin terpuruk akibat
persaingan dan terlebih lagi tekanan produk perundang-undangan pemerintah di
tingkat pusat serta daerah.
Kondisi riil saat ini ada persoalan mendasar yang menghambat upaya
menggerakkan sektor manufaktur, yakni tingginya biaya yang bersumber dari
aturan-aturan mengenai perburuhan. Pelbagai peraturan yang ada justru
semakin memberatkan dunia usaha. Padahal, pihak pengusaha tengah
berusaha mempertahankan pekerja tetap berada di sektor formal.
Peraturan yang justru semakin memberatkan pengusaha dan buruh itu
misalnya aturan mengenai pesangon yang terlalu besar dan Upah Minimum
Provinsi (UMP). Seharusnya, lanjut Anton Supit, terjadi perpindahan pekerja
informal ke sektor formal dalam kondisi normal. Apalagi jumlah tenaga kerja
informal di Indonesia menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah
mencapai 68-70 persen dari angkatan kerja. Kondisi ini pada akhirnya
mendorong pengusaha menghindari memiliki karyawan tetap. Mereka cenderung
menggunakan sistem kontrak yang memang tidak memberi jaminan
kelangsungan kerja bagi buruh. Faisal Basri membenarkan pendapat tersebut.
Menurut dia, beratnya komponen pajak dan peraturan ketenagakerjaan semakin
menghambat sisa-sisa industri manufaktur di Indonesia. Sebagai contoh, untuk
memecat tenaga kerja akan memunculkan biaya yang sangat tinggi bagi
pengusaha. Kebijakan perpajakan juga turut menyudutkan dunia usaha,
misalnya pajak yang harus ditanggung pabrik olahan mete jauh lebih besar
dibandingkan eksportir mete mentah.
Meski demikian, Anton Supit merasa optimistis dunia usaha di Indonesia
masih akan berkembang. Pasalnya, kondisi adanya pasar, kompetensi, dan
harga sebetulnya tetap dapat dipenuhi oleh sektor manufaktur. Direktur Tenaga
Kerja dan Analisa Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Bambang Widianto menanggapi situasi tersebut dengan
mengupayakan skema perundingan bipartit pekerja-pengusaha. Langkah
tersebut lebih efektif untuk mengatasi persoalan labour regulation cost sehingga
dunia usaha dapat diselamatkan.
Di lain pihak, kebijakan industri juga terus diarahkan untuk menyerap
angkatan kerja secara maksimal. Sasaran utamanya yakni menekan penganggur
hingga 5,1 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2009. Akan tetapi, Faisal
Basri bersikap pesimistis karena menilai pemerintah tidak serius dalam
menangani industri pertanian dan kelautan, seperti terlihat dalam Infrastructure
Summit awal tahun ini. Pembahasan tentang infrastruktur yang dilakukan
ternyata tidak menyentuh langsung atau menunjang sektor pertanian dan
kelautan. Yang menjadi perhatian adalah pembangkit listrik, jalan tol, dan
pelbagai proyek mercusuar lain. Proyek yang diusulkan ternyata tidak kompatibel
dengan sumber persoalan, yakni membangun sektor pertanian dan kelautan.
Usulan proyek yang ada justru mendukung proyek dan pabrik besar tanpa
menyentuh jejaring infrastruktur pertanian serta kelautan.
Faisal Basri menambahkan, salah satu penyebab kebijakan yang tidak
menyentuh persoalan adalah perilaku para politisi yang sebagian besar bukanlah
negarawan. Mereka hanya memikirkan kepentingan sesaat dengan menyetujui
atau mendukung proyek yang hasilnya dapat terlihat semasa jabatan mereka
tanpa memikirkan kesinambungan sebuah kebijakan. Apalagi membangun
industri dasar seperti pertanian dan kelautan merupakan pekerjaan jangka
panjang dalam dua atau tiga dasawarsa, seperti dialami Thailand dan Malaysia.
Padahal, jika para politisi jeli, lahan untuk mencari dukungan suara terbesar ada
di sektor pertanian dan kelautan. Namun, ketidakpekaan para elite atas
pembangunan dunia pertanian atau kelautan terlihat jelas dari pos jabatan
menteri di sektor pertanian, ketenagakerjaan ataupun usaha kecil dan menengah
yang tidak dipegang oleh partai berkuasa. Posisi tersebut dianggap pos "kering"
dibandingkan dengan, misalnya, jabatan menteri keuangan.
Sebagai contoh, semasa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hanya
pos menteri tenaga kerja yang diisi oleh kader Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Saat ini, tidak ada posisi menteri dari tiga sektor tersebut yang
dijabat oleh kader Partai Demokrat! Pengalaman sejarah kejayaan Sriwijaya dan
Majapahit tampaknya menjadi jawaban persoalan penyerapantenaga kerja dan
TKI. Bukankah istilah gemah ripah loh jinawi sempat dialami waktu itu ketika
pertanian dan laut menjadi sumber hidup negeri ini.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan
lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya,
umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru
masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan
ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara
optimal untuk memerangi pengangguran.
H. Data Pengangguran di Indonesia
1. Angka Pengangguran Terbuka di Indonesia
Salah satu jenis pengangguran yang bisa diukur dengan data Sakernas
adalah pengangguran terbuka dan setengah pengangguran. Kali ini Penulis
ingin mencoba membuat analisa sederhana dengan data terbaru yaitu Sakernas
2006 (Februari). Pengangguran terbuka artinya orang yang tidak bekerja dan
sedang mencari pekerjaan, sedang mempersiapkan usaha, sudah punya
pekerjaan tapi belum dimulai, dan orang yang merasa tidak mungkin mendapat
pekerjaan. Dalam analisa ini juga akan disinggung tentang gender, umur dan
wilayah (kota/desa).
2. Angka Pengangguran Menurut Umur
Pengangguran di Indonesia sudah mencapai 11 juta (usia 15 tahun
keatas) dan 8.5 juta-nya penduduk usia 15-29 tahun. Seperti pada Histogram 1
di atas, menunjukan angka pengangguran terbuka (%) menurut umur (15 tahun
ke atas, 15-29 tahun dan 30-49 tahun). Terlihat jelas bahwa pengangguran
terbuka banyak terjadi di usia remaja 15 sampai 29 tahun (23%). Di usia
tersebut banyak sekali lulusan sekolah yang ingin mendapatkan pekerjaan, dari
yang baru lulus SMP, SMU maupun perguruan tinggi termasuk yang tidak
sekolah. Sangat masuk akal jika hal ini terjadi. Sedangkan untuk usia 30-49
tahun, jumlah penganggurannya tidak terlalu tinggi (hanya 4%). Angka
pengangguran terbuka penduduk usia lebih dari 15 tahun ke atas sekitar 10.4%.
Jika kita lihat, ternyata kaum perempuan-lah yang banyak sebagai penganggur
terbuka, sekitar 27.6% (usia 15-29 th) atau 13.7% (usia di atas 15 tahun). Hal-hal
yang menyebabkan fenomena ini antara lain masih adanya diskriminasi gender,
jenis pekerjaan yang tersedia kebanyakan untuk laki-laki. Hal-hal tersebut masih
perlu dianalisa lebih lanjut.
3. Angka Pengangguran Menurut Perkotaan atau Pedesaan
Kita semua sudah tahu bahwa sebagian besar pekerjaan tersedia lebih
banyak di perkotaan di pedesaan, sekaligus pekerjaan di perkotaan menjajikan
lebih banyak pendapatan. Inilah yang menyebabkan pencari kerja berbondong-
bondong ke perkotaan yang berakibat angka pengangguran terbuka di kota lebih
besar (13.3%) dibandingkan pedesaan (8.4%).
Histogram 2 menunjukan analisa di atas, selain itu yang menarik lagi
perempuan penganggur usia 15 tahun lebih di pedesaan hampir sama dengan
penganggur laki-laki di kota (waluapun nilainya lebih sedikit dibanding
perempuan penganggur di kota). Ini yang mungkin patut dicermati oleh
pemerintah yang ingin mengurangi pengangguran. Penciptaan lapangan
pekerjaan tidak hanya dilakukan di perkotaan, pedesaan-pun butuh kegiatan-
kegiatan yang mendatangkan pendapatan. Terutama lapangan pekerjaan yang
bisa memperdayakan perempuan yang ingin bekerja dan penghapusan
deskriminasi gender di bidang pekerjaan.
Catatan: Sumber data berasal dari data mentah SAKERNAS BPS Februari 2006 dan diolah kembali sesuai
kebutuhan tulisan ini.
4. Tabel Tingkat Pengangguran di Indonesia
Tabel 1. Pengangguran menurut umur di Indonesia
Golongan Umur Laki-Laki (ribuan) Perempuan (ribuan) Jumlah (ribuan)
15 - 24 2,712 2,071 4,783
25 - 34 3,171 3,350 6,521
35 - 44 3,047 3,542 6,589
45 - 54 2,631 2,577 5,208
55 + 3,251 2,115 5,367
Jumlah 14,812 13,655 28,467
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 2. Penganggur terbuka menurut kategori pengangguran
Kategori Pengangguran Laki-Laki (ribuan) Perempuan (ribuan) Jumlah (ribuan)
Mencari Pekerjaan 3,171 2,452 5,623
Mempersiapkan Usaha 49 65 114
Merasa Tidak Mungkin
Mendapat Pekerjaan
1,417 1,665 3,082
Sudah Bekerja tapi
Belum Mulai Bekerja
291 421 712
Jumlah 4,928 4,603 9,531
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 3. Pengangguran di Indonesia secara makro menurut pendidikan
Pendidikan Laki-Laki (ribuan) Perempuan (ribuan)
Jumlah (ribuan)
< SD 9,847 10,240 20,087
SMTP 2,809 1,951 4,761
SMTA 1,687 1,016 2,703
Diploma/Akademi 197 217 413
Universitas 272 232 504
Jumlah 14,812 13,655 28,467
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
Tabel 4. Total penganguran di Indonesia
Tahun Penduduk Penganggur
1999 179 juta jiwa 5,37 juta
2005 223 juta jiwa 11,15 juta
2020 (perkiraaan) 254 juta jiwa 20,3 juta
Sumber : Sakernas, DPR 2003 (Usman, 2004)
5. Peringkat Negara Berdasarkan Tingkat Pengangguran
Ranking berdasarentitas
Entitas Tingkat pengang
guran(%)
Sumber / tanggal dariinformasi
1 Monaco 0.00 20052 Andorra 0.00 perkiraan 1996.3 Norfolk Island (Australia) 0.004 Guernsey (United Kingdom) 0.90 March 2006 est.5 Azerbaijan 1.20 perkiraan 2006 .6 Iceland 1.30 perkiraan 2006 .7 Liechtenstein 1.30 September 20028 Isle of Man (United Kingdom) 1.50 perkiraan December 20069 Belarus 1.60 200510 Vanuatu 1.70 199911 Cuba 1.90 perkiraan 2006 .12 Gibraltar (Britania Raya) 2.00 perkiraan 2001 .13 Kiribati 2.00 perkiraan 1992.14 Vietnam 2.00 perkiraan 2006.
15 Papua New Guinea 2.00 200416 Bermuda 2.10 perkiraan 2004.17 Thailand 2.10 perkiraan 2006.18 Faroe Islands (Denmark) 2.10 200619 Jersey (United Kingdom) 2.20 perkiraan 2006.20 Kuwait 2.20 perkiraan 2004.21 United Arab Emirates 2.40 200122 Laos 2.40 perkiraan 2005.23 Bangladesh 2.50 perkiraan 2006.24 Bhutan 2.50 200425 Cambodia 2.50 perkiraan 2000.26 Singapore 2.70 perkiraan 2006.27 Ukraine 2.70 200628 United Kingdom 2.90 perkiraan 2006.29 Uzbekistan 3.00 200630 Guatemala 3.20 perkiraan 2005.31 Qatar 3.20 perkiraan 2006.32 Mexico 3.20 perkiraan 2006.33 South Korea 3.30 perkiraan December 2006 .34 Mongolia 3.30 2005
35 Switzerland 3.30 perkiraan 2006.
36 Malaysia 3.50 perkiraan 2006.37 Norway 3.50 perkiraan 2006.38 British Virgin Islands (United Kingdom) 3.60 199739 Lithuania 3.70 perkiraan 2006.40 Denmark 3.80 perkiraan 2006.41 Nicaragua 3.80 perkiraan 2006.42 New Zealand 3.80 perkiraan 2006.43 San Marino 3.80 200444 Northern Mariana Islands (United States) 3.90 200145 Taiwan 3.90 perkiraan 2006.46 Brunei 4.00 200647 Japan 4.10 perkiraan 2006.48 Macau (China) 4.10 200549 Luxembourg 4.10 perkiraan 2006.50 China 4.20 200551 Palau 4.20 perkiraan 2005.52 Ireland 4.30 perkiraan 2006.53 Cayman Islands (United Kingdom) 4.40 200454 Estonia 4.50 200655 Saint Kitts and Nevis 4.50 1997
56 United States 4.80 perkiraan 2006.57 Australia 4.90 perkiraan 2006.58 Austria 4.90 perkiraan 2006.59 Hong Kong (China) 4.90 perkiraan 2006.60 Namibia 5.30 perkiraan 2006.61 Cyprus 5.5062 Netherlands 5.50 perkiraan 2006.63 Cyprus 5.6064 Sweden 5.60 perkiraan 2006.65 Nigeria 5.80 perkiraan 2006.66 El Salvador 6.00 perkiraan 2006.67 Montserrat (United Kingdom) 6.00 perkiraan 1998.68 Romania 6.10 perkiraan 2006.69 Virgin Islands (United States) 6.20 200470 Canada 6.40 perkiraan 2006.71 Latvia 6.50 perkiraan December 2006.72 Pakistan 6.50 perkiraan 2006.73 Costa Rica 6.60 perkiraan 2006.74 Russia 6.60 perkiraan 2006.75 Italy 6.80 perkiraan 2006.76 Malta 6.80 perkiraan 2005.77 Aruba (Netherlands) 6.90 perkiraan 2005 .78 Finland 7.00 perkiraan 2006.79 Trinidad and Tobago 7.00 perkiraan 2006.80 Germany 7.10 perkiraan 2006.81 Peru 7.20 perkiraan 2006.82 Moldova 7.30 perkiraan 2005.83 Armenia 7.40 perkiraan November 2006.84 Kazakhstan 7.40 perkiraan 2006.85 Hungary 7.40 perkiraan 2006 .86 Sri Lanka 7.60 perkiraan 2006.87 Portugal 7.60 perkiraan 200688 Israel 7.60 perkiraan January 2007.89 Fiji 7.60 199990 Morocco 7.70 perkiraan 2006 .91 Bolivia 7.80 perkiraan 2006 .92 India 7.80 perkiraan 2006 .93 Chile 7.80 200694 Philippines 7.90 perkiraan 2006.95 Anguilla (United Kingdom) 8.00 200296 Central African Republic 8.00 perkiraan 2001 .
97 Belgium 8.10 perkiraan 2006.
98 Spain 8.10 perkiraan Oktober 2006.99 Czech Republic 8.40 perkiraan 2006 .— European Union 8.50 perkiraan 2006 .100 France 8.70 perkiraan December 2006 .101 Panama 8.80 perkiraan 2006.102 Venezuela 8.90 perkiraan October 2006 .103 Greece 9.20 perkiraan 2006 .104 Greenland (Denmark) 9.30 perkiraan 2005 .105 Belize 9.40 2006106 Paraguay 9.40 perkiraan 2005.107 Mauritius 9.40 perkiraan 2006 .108 Suriname 9.50 2004109 Brazil 9.60 perkiraan 2006 .110 Bulgaria 9.60 perkiraan 2006 .111 Slovenia 9.60 perkiraan 2006 .112 Turks and Caicos Islands (United Kingdom) 10.00 perkiraan 1997.113 Argentina 10.20 perkiraan kuarter ke 3, 2006 114 Turkey 10.20 perkiraan 2006.115 Slovakia 10.20 perkiraan 2006.116 Myanmar 10.20 perkiraan 2006.117 Bahamas 10.20 perkiraan 2005 .118 Egypt 10.30 perkiraan 2006.119 Saint Pierre and Miquelon (France) 10.30 1999120 Ecuador 10.60 perkiraan 2006.121 Barbados 10.70 perkiraan 2003 .122 Uruguay 10.80 perkiraan 2006.123 Antigua and Barbuda 11.00 perkiraan 2001 .124 Colombia 11.10 perkiraan 2006.125 Jamaica 11.30 perkiraan 2006 .126 Guam (United States) 11.40 perkiraan 2002 .127 French Polynesia (France) 11.70 2005128 Niue (New Zealand) 12.00 2001129 Tajikistan 12.00 perkiraan 2004.130 Puerto Rico (United States) 12.00 2002131 Grenada 12.50 2000132 Syria 12.50 perkiraan 2005 .133 Indonesia 12.50 perkiraan 2006 .134 Georgia 12.60 perkiraan 2004.135 Côte d'Ivoire 13.00 1998136 Saudi Arabia 13.00 perkiraan 2004 .
137 Tonga 13.00perkiraan Tahun anggaran 03/04 .
138 Cook Islands (New Zealand) 13.10 2005139 Albania 13.80 perkiraan September 2006 .140 Tunisia 13.90 perkiraan 2006 .141 Saint Helena (United Kingdom) 14.00 perkiraan 1998.142 Mali 14.60 perkiraan 2001.143 Poland 14.90 perkiraan November 2006.144 Bahrain 15.00 perkiraan 2005 .145 Oman 15.00 perkiraan 2004 .146 Iran 15.00 perkiraan 2007 .147 Saint Vincent and the Grenadines 15.00 perkiraan 2001.148 Wallis and Futuna (France) 15.20 2003149 Jordan 15.40 perkiraan 2006 .150 Algeria 15.70 perkiraan 2006.151 Dominican Republic 16.00 perkiraan 2006.152 Netherlands Antilles (Netherlands) 17.00 perkiraan 2002.153 New Caledonia (France) 17.10 2004154 Croatia 17.20 perkiraan 2006 .155 Kyrgyzstan 18.00 perkiraan 2004.156 Sudan 18.70 perkiraan 2002 .157 Comoros 20.00 perkiraan 1996 .158 Ghana 20.00 perkiraan 1997.159 Lebanon 20.00 perkiraan 2006.160 Saint Lucia 20.00 perkiraan 2003.161 Mauritania 20.00 perkiraan 2004.162 Gaza Strip 20.30 2005163 Palestinian 20.30 2005164 Cape Verde 21.00 perkiraan 2000.165 Gabon 21.00 perkiraan 1997.166 Mozambique 21.00 perkiraan 1997.167 Micronesia 22.00 perkiraan 2000.168 Dominica 23.00 perkiraan 2000169 Botswana 23.80 2004170 Iraq 25.00 perkiraan 2005 .171 Mayotte (France) 25.40 2005172 South Africa 25.50 perkiraan 2006.173 Montenegro 27.70 2005174 Honduras 27.90 perkiraan 2006.175 American Samoa (United States) 29.80 2005176 Cameroon 30.00 perkiraan 2001.177 Equatorial Guinea 30.00 perkiraan 1998 .178 Libya 30.00 perkiraan 2004 .
179 Marshall Islands 30.90 perkiraan 2000.180 Serbia 31.60 perkiraan 2005 .181 Yemen 35.00 perkiraan 2003.182 Macedonia 36.00 perkiraan September 2006 .183 Afghanistan 40.00 perkiraan 2005 .184 Swaziland 40.00 perkiraan 2006.185 Kenya 40.00 perkiraan 2001.
186 Nepal 42.00 perkiraan 2004 .
187 Lesotho 45.00 2002188 Bosnia and Herzegovina 45.50 perkiraan 31 December 2004 189 Senegal 48.00 perkiraan 2001 .190 Djibouti 50.00 perkiraan 2004 .191 Zambia 50.00 perkiraan 2000.192 East Timor 50.00 perkiraan 2001193 Cocos Islands (Australia) 60.00 perkiraan 2000194 Turkmenistan 60.00 perkiraan 2004195 Zimbabwe 80.00 perkiraan 2005196 Liberia 85.00 perkiraan 2003197 Nauru 90.00 perkiraan 2004
Dari data sejumlah negara di atas dapat dilhat posisi Indonesia pada
peringkat penganggurannya, makin rendaringkatnya maka semakin banyak
tingkat dan angka pengangguran di negara tersebut, dalam hal ini Indonesia
menduduki posisi ke 133, kita kalah jauh dari Singapura, Thailand, Malaysia,
Brunei Darusalam bahkan Myanmar. Sungguh mengherankan negara dengan
sumber daya alam yang banyak dan dapat dikatakan kaya memiliki tingkat angka
pengangguran yang tinggi, sungguh sulit dipercaya. Dengan ini kita hanya dapat
berhapkan pemerintah dapat bertindak untuk menyelesaikan masalah
keterpurukan perkembangan ekonomi di Indonesia dan tentunya dengan usaha
dari diri kita masing – masing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesmipulan
Pengangguran di Indonesia kondisinya saat ini sangat memprihatnkan,
banyak sekali terdapat pengangguran di mana-mana. Penyebab pengangguran
di ndonesia ialah terdapat pada masalah sumber daya manusia itu sendiri dan
tentunya keterbatasan lapangan pekerjaan. Indonesia menempati urutan ke 133
dalam hal tingkat pengangguran di dunia, semakin rendah peringkatnya maka
semakin banyak pulah jumlah pengangguran yang terdapat di Negara tersebut.
Untuk mengatasi masalah pengangguran ini pemerintah telah membuat suatu
program untuk menampung para pengangguran. Selain mengharapkan bantuan
dari pemerintah sebaiknya kita secara pribadi juga harus berusaha memperbaiki
kualitas sumber daya kita agar tidak menjadi seornag pengangguran dan
menjadi beban pemerintah.
B. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta
setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus
dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. Sepuluh juta
penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan
gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan
pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi beras, gula,
minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi
mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras
dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya.
Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan
tetap lebih baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena
itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah
pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah
persoalan muara. Berbicara mengenai pengangguran banyak aspek dan teori
disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara
konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun
muara.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat
ditempuh sebagai berikut. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan
yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal
27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih
tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro
(khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan pengangguran,
antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang beredar,
tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank
Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-
rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait
dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan
pelaksanaannya.
Selalin itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat
dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama, pengembangan mindset dan
wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia
sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan
mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi
sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan
kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya sendiri maupun
masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi
yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset
yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan
informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari
sikap mental kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur
matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat
diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan
lembaga pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya
yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas
transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para
penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya
potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin
kehidupan penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian
Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang
terdiri dari berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga
itu, setiap penganggur di Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat
perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga itu dapat
disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu
banyak jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal
Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi
masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera
dibahas dan disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi
untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan
masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan
lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang
dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang.
Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk
menciptakan lapangan kerja dan pupuk organik itu dapat didistribusikan ke
wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan.
Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan
kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional.
Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan
dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan
menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara
lain sumber daya manusianya (brainware), perangkat keras (hardware),
perangkat lunak (software), manajemen dan keuangan. Lembaga itu dapat di
bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung
kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke
luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri.
Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan
dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan,
keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha
Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-
PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training
Center) yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat
banyak peluang di negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri
tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem
pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat
menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya
dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial
(PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak
berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan
permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya
tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada
PHK yang berarti menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu
perlu dicegah dengan berbagai cara terutama penyempurnaan berbagai
kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis
yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial
sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik
supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan
lapangan kerja bagi para penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya,
umurnya penganggur terbuka atau setengah penganggur, atau orang yang baru
masuk ke pasar kerja, dan sebagainya. Diharapkan ke depan kebijakan
ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara
optimal untuk memerangi pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.andisite.com, 2007
http://www.datastatistik-indonesia.com, 2007
http://www.dephan.go.id, 2007
http://www.google.co.id, 2007
http://id.wikipedia.co.id, 2007
http://www.instruments.worldpress.com, 2007
http://www.suarapembaruan.com, 2007
http://www.tempointeraktif.com, 2007
top related