makalah syndrom nefrotik (autosaved)
Post on 11-Dec-2015
41 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Sindrom nefrotikCristy Ayu Ningtyas Tan
10. 2009. 139
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat: Jalan Arjuna Utara nomor 6 Jakarta Barat, 11510
Email : Cristyayuni@ymail.com
A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat kehilangan masif
protein melalui urin (terutama albuminuria) yang menyebabkan hipoproteinemia (kebanyakan
hipoalbuminemia) dan karenanya, edema. Biasanya terjadi hiperlipidemia,
hiperkolesterolemia, dan peningkatan lipiduria yang menyertai. Walaupun tidak biasa
dianggap sebagai bagian dari sindrom, hipertensi, hematuria, dan azotemia dapat terjadi.
Sindrom nefrotik biasanya karena penyebab glomerular dan saat ini digolongkan ke dalam
bentuk primer maupun sekunder. Termasuk dalam kelainan ini adalah suatu variasi status
klinis serta patologi yang luas, yang kini beberapa diantaranya dikenal dengan nama berikut:
sindrom nefrotik dengan lesi minimal atau perubahan minimal, sklerosis segmental fokal,
glomerulonefritis membranoproliferatif, glomerulonefritis membranosa, nefritis proliferatif
mesangium, glomerulonefritis proliferatif, dan nefrosis kongenital.1
B. ANAMNESA
Pada anamnesa, pertama kali dilakukan adalah menanyakan identitas pasien, seperti
nama, umur, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat, nama orang tua, jenis kelamin,
suku bangsa, serta agama.
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau
seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.2
C. PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan fisik
Anak dengan sindrom nefrotik antara usia 1 sampai 8 tahun agaknya menderita
penyakit lesi minimal yang berespons terhadap steroid, dan terapi kortikosteroid harus
dimulai tanpa biopsi ginjal. Penyakit lesi minimal tetap lazim pada anak di atas usia 8 tahun
yang datang dengan nefrosis, tetapi glomerulonefritis membranosa dan membranoproliferatif
menjadi ssemakin sering; biopsi ginjal dianjurkan pada kelompok ini untuk menegakkan
diagnosis pasti sebelum mempertimbangkan terapi.3
Sindrom nefrotik pada anak biasanya didiagnosis dengan mengenali tiga temuan
pembengkakan (edema), tinggi kadar protein dalam urin (proteinuria), dan rendahnya tingkat
protein (albumin) dalam darah (hipoalbuminemia).4
Onset serangan dari sindrom nefrotik dapat menjadi pengalaman mengganggu bagi
orang tua dan anak. Karena pembengkakan cenderung berkembang secara perlahan, tidak
dapat diketahui segera. Pada saat diagnosis dibuat oleh dokter, anak mungkin sudah
mengalami pembengkakan yang luar biasa sehingga perlu dirawat di rumah sakit.
Kebanyakan anak merespons sangat baik untuk pengobatan sindrom nefrotik dan meskipun
kebanyakan anak memiliki serangan lebih lanjut dari penyakit, prognosis jangka panjang bagi
kebanyakan anak-anak sangat baik.
2. Pemeriksaan penunjang
Analisa urin menunjukkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hematuria
mikroskopis, tetapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau
menurun. Klirens kreatinin rendah karena terjadi penyusutan perfusi ginjal akibat penyusutan
volume intravaskuler dan akan kembali ke normal bila volume intravaskuler membaik.
Ekskresi protein melebihi 2g/24 jam, kadar kolesterol dan trigliserid serum naik, kadar
albumin serum biasanya kurang dari 2g/dL (20g/L), dan kadar kalsium serum total menurun,
karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 normal.
Selain urin, tim medis (dokter) juga biasanya mengambil sampel darah untuk melihat
seberapa baik ginjal menghilangkan limbah. Ginjal yang sehat menghilangkan kreatinin dan
nitrogen urea dari darah. Jika darah mengandung kadar tinggi dari produk limbah, beberapa
kerusakan ginjal mungkin sudah terjadi. Tapi kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik tidak
memiliki kerusakan ginjal permanen.
Dalam beberapa kasus, dokter mungkin ingin memeriksa sepotong kecil dari ginjal
anak di bawah mikroskop untuk melihat apakah ada zat yang menyebabkan sindroma nefrotik
ini. Prosedur pengumpulan sampel jaringan kecil dari ginjal disebut biopsi, dan biasanya
dilakukan dengan jarum panjang melewati kulit. Anak akan terjaga selama prosedur dan
menerima obat penenang dan obat penghilang rasa sakit lokal di lokasi masuknya jarum.
Anestesi umum digunakan dalam kasus yang sangat jarang di mana operasi terbuka
diperlukan. Anak akan menginap di rumah sakit untuk beristirahat dan memungkinkan tim
perawatan kesehatan untuk memastikan bahwa tidak ada masalah terjadi.3
D. DIAGNOSIS
1. Working diagnosis
Menderita sindrom nefrotik. Pada kasus tersebut didapatkan seorang anak lakik-laki
yang berusia 4 tahun, mengalami bengkak pada kelopak mata dan kedua kakinyam shifting
dullness, serta hiperkolesterolemia. Anak tersebut menderita sindrom nefrotik berdasarkan
ciri khas penyakit di atas.
2. Differential diagnosis
a. Glomerulonefritis akut pasca infeksi
Pada beberapa tahun terakhir, penyakit ini jarang ditemukan. Berbagai infeksi virus
dan bakteri merupakan penyebab GNA, mengingat kondisi ini diamati terjadi setelah infeksi
dengan stafilokokus dan pneumokokus, koksakivirus B4, ekovirus tipe 9, virus influenza, dan
parotitis. Gambaran klinis yang paling lazim dikenali terjadi menyusul infeksi dengan
streptokokus beta hemolitikus grup A, dan ini merupakan gangguan primer: glomerulonefritis
akut pasca streptokokus (PSAGN). PSAGN dijumpai pada anak 5-8 tahun, terutama laki-laki.
Gambar 1. Glomerulonefritis
Sumber: www.google.com
Kebanyakan AGN diperantarai imunologis. Untuk PSAGN, data menunjukkan bahwa
kompleks imun yang terbentuk bersama antigen sterptokokus terlokalisasi pada dinding
kapiler glomerulus, mengaktifkan sistem komplemen, dan memulai respons proliferatif serta
radang. PSAGN dapat terjadi dalam epidemi atau bersifat sporadik. Bentuk sporadik bersifat
musiman; puncak musim dingin-semi dikaitkan dengan infeksi pernapasan, dan puncak lain
pada musim panas-gugur dikaitkan dengan pioderma. Serotipe streptokokus beta hemolitikus
yang paling lazim dihubungkan dengan infeksi nasofaring adalah tipe 12, sedangkan tipe 49
merupakan yang paling sering selama wabah PSAGN yang berkaitan dengan pioderma. Pada
AGN akibat faringitis, periode laten adalah sekitar 10 hari, dan > 80% pasien akan
menunjukkan kenaikan signifikan pada titer antistreptolisin O. Sebaliknya, periode laten akan
sukar ditentukan pada AGN yang berkaitan dengan impetigo, dan kenaikan titer
antisterptolisin O ditemukan pada hanya 50%. Konsentrasi serum berbagai indikator
sterptokokus lain, seperti titer antihialuronidase dan titer antideoksiribonuklease B, biasanya
meningkat pada PSAGN yang berkaitan dengan infeksi faring atau kulit. Sensitivitas
diagnosis dapat ditingkatkan dengan menggunakan tes streptozim, yang mengukur gabungan
aktivitas anti streptolisin, anti DNA-ase B, anti hialuronidase, dan anti DNA-ase. Temuan C3
pada glomerulus ginjal biasanya disertai dengan penurunan konsentrasi C3 dan komplemen
hemolitik total serum. Nilai tersebut kembali normal pada kebanyakan anak dalam 8 minggu.
Nilai C4 juga dapat menurun.
Gambar 2. Skema glomerulonefritis
Sumber: www.google.com
Pada kebanyakan pasien dengan AGN sedang sampai berat, terjadi penurunan GFR
yang cukup besar biasanya pengurangan kapasitas mengekskresikan garam serta air yang
menyebabkan penambahan volume cairan ekstrasel (ECF). Volume ECF yang bertambah
menyebabkan hipertensi, anemia, kongesti sirkulasi, dan ensefalopati.
Edema adalah gejala yang paling sering muncul dan biasanya mengenai daerah
periorbita. Hematuria makroskopik terjadi saat awitan pada 30-50% anak dengan PSAGN
yang memerlukan rawat inap. Hipertensi merupakan tanda ketiga PSAGN.
Curah urin biasanya menurun, dengan urin yang pekat menunjukkan pH asam.
Glukosuria kadang terjadidan proteinuria biasanya sesuai derajat hematuria.3
E. ETIOLOGI
Kebanyakan (90%) anak yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk
sindrom nefrotik idiopatik; penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi
mesangium pada 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita
nefrosis, sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk
glomerulonefritis, dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.3
F. EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada wanita
(2:1)dan paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah dilaporkan
pada setengah tahun terakhir dari usia satu tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode awal
dari kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca infeksi virus saluran pernapasan atas yang
nyata. penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan di sekitar
mata dan pada tungkai bawah, dimana edemanya bersifat pitting. Semakin lama, edema
menjadi menyeluruh dan mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan atau efusi
pleura, penurunan curah urin. Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dan dari
hari ke hari tampak berpindah dari muka ke punggung ke perut, perineum, dan kaki.
Anoreksia, nyeri perut, dan diare lazim terjadi; jarang ada hipertensi.3
G. PATOFISIOLOGI
Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari eknaikan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum
diketahui, tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan
negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya
melebihi 2gr/24 jam dan terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya
adalah hipoalbuminemia. Umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah
2,5g/dL (25g/L).
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak di mengerti sepenuhnya.
Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia, akibat
kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,
yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang intersisial.
Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem
renin angiotensin aldosteron, yang merangsang reabsorpsi natrium di tubulus distal.
Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang
mempertinggi reabsorpsi air didalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma
berkurang, natrium dan air yang telah direabsorpsi masuk ke dalam ruang interstitial,
memperberat edema. Adanya faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan
edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindrom nefrotik
mempunyai volume intravaskular yang normal atau meningkat, dan kadar renin serta
aldosteron plasma normal atau menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intrarenal
dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan
permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh, serta dalam ginjal.5
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan
lipoprotein serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang memberikan sebagian
penjelasan (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein, dan (2) katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein keluar
melalui urin belum jelas.
Gambar 3. Sindrom nefrotik
Sumber: www.google.com
Hipertensi
Pada beberapa anak, hipertensi agaknya merupakan respon fisiologik terhadap
penurunan volume plasam. Pada pasien dengan sindrom nefrotik perubahan minimal
(MCNS), atau glomerulosklerosis segmental fokal (FSGS), mempunyai tekanan darah
sistolik dan diastolik melebihi presentil ke-98 untuk usia mereka.
Hematuria
Hematuria mikroskopik terjadi pada 20% anak dengan MCNS atau FSGS, dan pada
sekitar 4% hematuria akan makroskopik. Di sisi lain, pada dasarnya 100% anak menderita
hematuria, dan kecenderungan untuk pada suatu saat menjadi makroskopik adalah hampir
50%.
Azotemia
Sepertiga anak dengan MCNS mempunyai konsentrasi nitrigen urea darah atau
kreatinin serum yang melebihi presentil ke-98 untuk usianya. Pasien yang menderita MPGN
(glomerulonefritis membranoproliferatif) lebih mungkin menderita azotemia, dan derajat
azotemia pada kelompok ini lebih besar dibandingkan kelompok MCNS.1
Gambar 4 : Edema pada sindrom nefrotik
Sumber: www.google.com
H. PENATALAKSANAAN
1. Medika mentosa
Sampai diuresis akibat kortikosteroid mulai, edema ringan sampai sedang dapat
dikelola di rumah dengan klorotiazid 10-40mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi. Bila
terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida atau spironolacton (3-5mg/kg/24 jam
dibagi menjadi empat dosis). Jika edemanya menjadi berat, menhakibatkan kegawatan
pernapasan akibat efusi pleura yang masif dan asites atau pada edema skrotum yang berat,
anak harus di rawat inap di rumah sakit. Pembatasan natrium harus diteruskan, tetapi
pengurangan masukan yang lebih lanjut jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum
yang membengkak dinaikkan dengan bantal untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan
gravitasi. Di masa lampau, edema yang berat diobati dengan pemberian albumin intravena,
pada beberapa penderita disertai dengan pemberian furosemide intravena. Namun sekarang
terapi ini diganti dengan pemberian furosemid oral (1-2mg/kg setiap 4 jam) bersama dengan
metolazon (0,2-0,4mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi); metolazon dapat bekerja pada
tubulus proksimal dan distal. Bila menggunakan kombinasi yang kuat ini, kadar elektrolit dan
fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Pada beberapa keadaan edema berat, pemberian
albumin manusia 25% (1g/kg/24 jam) intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya
sementara dan harus dihindari terjadinya kelebihan beban volume dengan hipertensi dan
gagal jantung.3
Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik
Remisi
Kambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ³4
kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
steroid.
sumber: www.pediatrik.com
Setelah diagnosisnya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat,
patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan keluarganya untuk
meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya. Remisi kemudian diinduksi
dengan pemberian prednison, kortikosteroid yang kurang mahal, dengan dosis 60 mg/m2/24
jam (maksimum dosis 60mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis selama sehari.
Digunakan terapi dosis terbagi bukannya dosis tunggal karena beberapa penderita yang gagal
berespons terhadap dosis tunggal akan berespons terhadap dosis terbagi. Waktu yang
dibutuhkan untuk berespons terhadap prednison rata-rata sekitar 2 minggu, responsnya
ditetapkan pada saat urin menjadi bebas protein. Jika anak berlanjut menderita proteinuria
(2+ atau lebih) setelah satu bulan mendapat prednison dosis terbagi yang terus menerus setiap
hari, nefrosis demikian disebut resisten steroid dan biopsi ginjal terindikasi untuk
menentukan penyebab penyakitnya yang tepat.
Lima hari setelah urin menjadi bebas protein (negatif, sedikit sekali, atau 1+ pada
dipstick), dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (dosis maksimum 60mg) diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Regimen selang sehari ini
diteruskan selama 3-6 bulan. Tujuan terapi selang sehari ini adalah mempertahankan remisi
dengan menggunakan dosis prednison yang relatif non toksik, dengan demikian menghindari
seringnya kekambuhan dan toksisitas kumulatif akibat pemberian kortikosteroid setiap hari.
Setelah periode terapi selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak.
Pengalaman cukup menunjukkan bahwa ada pemulihan yang cukup pada fungsi aksis
pituitari adrenal sehingga penderita tidak beresiko terhadap insufisiensi adrenal setelah
penarikan kembali prednison selang sehari tersebut secara mendadak. Sebaliknya, dalam
waktu sampai dengan satu tahun setelah penyelesaian terapi kostikosteroid, anak akan
membutuhkan tambahan kortikosteroid untuk penyakit yang berat atau pembedahan.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan
sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria, karena beberapa anak dengan
keadaan ini akan menderita proteinuria intermitten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil
penderita yang berespons terhadap dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan
segera setelah perubahan atau setelah penghentian terapi selang sehari. Penderita demikian itu
disebut tergantung steroid.
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas
kosrtikosteroid berat (tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh), kemudian harus
dipikirkan terapi siklofosfamid. Siklofosfamid terbukti memperpanjang lama remisi dan
mencegah kekambuhan pada anak yang sindrom nefrotiknya sering kambuh. Kemungkinan
efek samping obat (leukopenia, infeksi varisela tersebar, sistitis hemoragika, alopesia,
sterilitas) harus dipantau pada keluarga. Dosis siklofosfamid adalah 3mg/kg/24 jam sebagai
dosis tunggal, selama total pemberian 1-2 minggu. Terapi prednison selang sehari sering
diteruskan selama pemberian siklofosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit
harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah
5.000/mm3 . Penderita yang resisten steroid berespins terhadap perpanjangan pemberian
siklofosfamid (3-6 bulan), bolus metil prednisolon, atau siklosporin.
Trasnplantasi ginjal terindikasi untuk gagal ginjal stadium akhir karena
glomerulosklerosis setempat dan segmental resisten steroid. Sindrom nefrotik berulang terjadi
pada 15-55% penderita. Absorpsi protein plasma pada kolom protein basis-A dapat
menurunkan proteinuria pada penderita-penderita ini. Absorpsi protein memindahkan suatu
fraksi (BM<100.000), yang menaikkan permeabilitas protein ginjal.3
2. Non medika mentosa
Terapi yang perlu diberikan untuk anak penderita sindrom nefrotik antara lain adalah:
diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi
diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Selain itu, tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin
konsentrat, berantas infeksi bila terjadi pada anak tersebut, lakukan work up untuk diagnosis
serta untuk mencari komplikasi. Anak dianjurkan untuk tirah baring bila terdapat edema,
karena edema akan menganggu aktivitas anak tersebut.4
Karena asupan garam yang tidak dibatasi diketahui dapat meningkatkan edema,
asupan garam dari diet harus dikurangi. Pembatasan asupan air atau cairan belum pernah
menjadi bagian dari rencana terapeutik lazim, walaupun terkadang rasa haus anak dapat
sedemikian terstimulasinya sehingga terjadi asupan berlebihan, jika demikian pembatasan
moderat mungkin akan bermanfaat. Selebihnya, diet harus normal.
Gambar 5. Edema pada sindrom nefrotik
Sumber: www.kompas.com
Sikap
Meskipun dokter harus menunjukkan sikap optimis kepada keluarga anak penderita
sindrom nefrotik, keluarga harus memahami bahwa sindrom nefrotik merupakan suatu
penyakit kronis. Hal ini merupakan konsep yang sulit bagi pasien dan juga keluarganya, dan
kegagalan untuk memahami hal tersebut turut bertanggung jawab atas ketaatan pada regimen
medis serta bisa menyebabkan belanja dokter. Walaupun dokter pertama pasien tersebut
mungkin mempunyai dukungan dari ahli nefrologi pediatri mungkin akan membantu pada
saat kita mencoba membangun rasa menerima penyakit oleh pasien beserta keluarganya.
Aktivitas
Biasanya, anak dengan sindrom nefrotik merupakan penentu konsentrasi aktivitas
terbaik bagi dirinya sendiri. Tirah baring tidak diperlukan, dan aktivitas penuh biasanya dapat
dilakukan kecuali bila ada edema signifikan yang mengganggu.
Kehadiran di sekolah dan kontak sosial
Anak dengan sindrom nefrotik yang mengalami edema nyata atau sedang mendapat
terapi steroid atau terapi imunosupresif harian bersifat lebih rentan terhadap infeksi. Dalam
masa tersebut, anak mungkin perlu dipindahkan dari lingkungan yang berpotensi tinggi untuk
infeksi. Keputusan seperti itu hanya boleh dibuat sesudah pengaruh pembatasan tersebut
terhadap situasi sosial anak dan situasi ekonomi keluarga dipertimbangkan. Antibiotik
profilaksis biasanya tidak diindikasikan.
Imunisasi
Pada anak dengan sindrom nefrotik yang tengah berada dalam masa remisi, agens
imunisasi rutin (tetanus, difteri, campak, dan sebagainya) dapat memicu eksaserbasi. Dengan
demikian, imunisasi seperti itu sebaiknya ditunda sampai anak telah mengalami remisi dan
berhenti terapi selama 6 bulan. Pencegahan ini mungkin perlu dihapus untuk anak non
perespon atau pekambuh sering karena mereka berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
infeksi pneumokokus serta infeksi lain, dan vaksin pneumokokus mungkin akan berguna.
Diet
Pembatasan natrium biasanya akan bermanfaat selama fase edema atau bila anak
sedang mendapat terapi glukokortikoid harian. Jika tidak, diindikasikan untuk memberikan
diet normal serta seimbang.1
I. KOMPLIKASI
Infeksi adalah komplikasi nefrosis paling utama, komplikasi ini akibat meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Penjelasan yang diusulkan meliputi
penurunan kadar imunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media biakan,
defisiensi protein, penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi imunosupresif, penurunan
perfusi limpa karena hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam
urin yang mengopsonisasi bakteri tertentu. Belum jelas, mengapa peritonitis spontan
merupakan tipe infeksi yang paling sering; sepsis, pneumonia, selulitis dan infeksi saluran
kencing juga dapat ditemukan.
Organisme penyebab peritonitis yang paling lazim adalah Streptococcus pneumoniae;
bakteri gram negatif juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila
ada terapi kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera
(termasuk biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal yang mencakup
organisme gram positif maupun gram negatif adalah penting untuk mencegah terjadinya
penyakit yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang
menderita nefrosis harus mendapat vaksin pneumokokus polivalen.
Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadinya trombosis arteri
dan vena (setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu dan
inhibitor fibrinolisis plasma, penurunan kadar anti trombin III plasma, dan kenaikan agregasi
trombosit); defisiensi faktor koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan kadar vitamin D
serum.3
J. PENCEGAHAN
Hingga saat ini, penyebab pasti sindrom nefrotik tidak diketahui dan tidak dapat
dicegah. Namun, penelitian hingga sampai sekarang sedang berlangsung dan peneliti
berusaha untuk mengembangkan pengobatan yang semakin efektif. Apa yang kita tahu adalah
bahwa sindrom nefrotik biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem kekebalan
tubuh dari waktu ke waktu. Ketidakseimbangan ini menyebabkan zat kimia tertentu untuk
mengganggu filter dari ginjal. Filter ini mulai memungkinkan protein bocor ke dalam urin.
Untuk itu, sistem kekebalan tubuh anak harus dijaga, agar anak tersebut dapat terhindar dari
sindrom nefrotik.
K. PROGNOSIS
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespon terhadap steroid akan mengalami
kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya meneymbuh sendiri secara spontan menjelang
usia akhir dekade kedua. Yang penting adalah menunjukkan pada keluarga bahwa anak
tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa penyakitnya biasanya tidak
herediter, dan bahwa anak akan tetap fertil (bila tidak ada terapi siklofosfamid atau
klorambusil). Untuk memperkecil efek psikologis nefrosis, selama masa remisi anak tersebut
normal serta tidak perlu perbatasan diet dan aktivitas. Pada anak yang sesang berada dalam
masa remisi pemeriksaan protein urin biasanya tidak diperlukan.3
KESIMPULAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala klinis yang ditandai oleh
proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, dan hiperkoagulabilitas yang
disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau
berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman
pengobatan rasional sebagian besar pasien Sindrom Nefrotik. Penatalaksanaan Sindrom
Nefrotik meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab,
menghilangkan/mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan
mengatasi penyulit. Dengan demikian maka prognosis yang dihasilkan pun akan menjadi
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rudolph MA, Rudolph CD, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ. Buku ajar pediatri
rudolph. Edisi ke-20. Volume ke-2. Jakarta: EGC;2007.h.1503, 1505-6
2. Nephrotic syndrome, 2011. Diunduh dari: http://www.medscape.com, Jakarta, 19
Oktober 2011
3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
USA: Elsevier saunder; 2007.h.1487-8, 1829, 1830-1
4. Sindrom nefrotik, 2011. Diunduh dari: http://www,pediatric.com, Jakarta, 19 Oktober
2011
5. McPhee SJ, Hammer GD. Pathophysiology of disease: an introduction to clinical
medicine. Edisi ke-6. USA: The mc graw hill companies;2007.p.458-9
top related