makalah-ta'wil dan nasakh
Post on 22-Mar-2017
508 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
TA’WIL DAN NASAKH
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah ilmu fiqh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen : Hariman Surya Siregar, M.Ag
Disusun oleh :
Faujiah Rahmah (1152100020)
Hafidzotul Millah (1152100024)
Iis Azzahra (1152100028)
Iis Mustika (1152100030)
Kamila Nur (1152100031)
JURUSAN PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUDUNG DJATI
BANDUNG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat
rahmat petunjuk dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Ta’wil Dan Nasakh” tepat pada waktunya. Shalawat
beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya beserta
keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata
kuliah Ilmu Fiqh yang mana merupakan salah satu mata kuliah utama yang sangat
penting untuk disampaikan kepada mahasiswa karena ini merupakan tolak ukur di
fakultas Tarbiyah dan Keguruan khususnya jurusan PGRA khususnya penanaman
norma dan bertujuan agar pesan moral yang ingin di sampaikan guru dapat benar-
benar sampai dan di pahami oleh anak-anak untuk bekal kehidupannya di masa
depan.
Kami menyadari bahwa makalah yang sederhana ini jauh dari
kesempurnaan. Karena itu, dengan segala kerendahan hati kami memohon kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak, terutama Bapak Dosen selaku
pembimbing mata kuliah ini. Dan penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan khususnya menambah wawasan bagi para pembaca.
Bandung, 13 April 2016
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................................2
C. Maksud dan tujuan...................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
A. Pengertian Ilmu Hadits.............................................................................................3
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS.....................................................5
C. CABANG-CABANG ILMU HADIS.....................................................................9
BAB III..................................................................................................................10
A. Simpulan................................................................................................................10
B. Saran.......................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal
pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya.
Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”.
Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya.
Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.
Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama
tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam
usaha mencari kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi
tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan
ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara
mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”.Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam.Ushul fiqh
dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran
fiqh.Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama
Islam.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur
bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang
melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal
"interpretasi historis." Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi
itulah kita membicarakan masalah takwil dan nasakh.
1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian ta’wil dan nasakh?
2. Apasaja syarat-syarat ta’wil dan nasakh ?
3. Bagaimana macam-macam ta’wil dan nasakh?
C. Maksud dan tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ilmu hadis.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat ta’wil dan nasakh.
3. Untuk memahami bentuk ta’wil dan nasakh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’wil dan Nasakh.
Pengertian Ta’wil
Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl ( يؤول– أول ),
artinya kembali. Ta’wil, ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang
tidak terang (lemah) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna yang
kedua tersebut harus dipakai.Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut:
راجحا ره يصي بدليل يحتمله معنى الى ظهره من م الكال صرف اويل التArtinya :
“ta’wil ialah memebelokkan kalimat dari zhahir nya pada arti lain yang lain inilah
yang dianggap lebih sesuai.”(imam ayukhani)
Dengan alasan yang kuat dan syarat-syarat yang lengkap, maka dalil
disebut dapat dita’wilkan. Tujuan dari ta’wil agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Ta’wil tersebut harus dibenarkan oleh ilmu bahasa kesastraan arab agar cara
menta’wilkannya tidak keliru. Muhammad husaya al-dzahabi , mengemukakan
bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
a) Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan
maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu
sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
b) Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan
itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam).
Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan
yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang
dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan. Sedangkan pengertian
Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain
membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke
makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
3
Pengertian Nasakh
Pengertian nasakh ialah:
متواج ابدليل حكماشرعي ارع الش رفع“Membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang
Ada beberapa istilah yang ditemukan dalam nasakh. Yaitu nasikh atau
menghapus (hukum yang datang kemudian) dan mansukh artinya yang dihapus
(hukum lama).
Dalam nasakh sebenarnya hukum lama masih berlaku seandainya tidak
ada hukum baru yang menghapusnya. Dan orang yang pertama kali membahas
masalah nasakh adalah imam syafi’i beliau memasukkan hukum nasakh sebagai
penjelasan hukum bukan mengosongkan atau menghapus nash dari hukum.”
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi kata Naskh ini
dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan
pengubahan.
Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau
pengalihan ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang
ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut
ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa
pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus
menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu
pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian
pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau
muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk
ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu,
4
sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan
terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian
tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di
lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada
satu pengertian.
B. SYARAT-SYARAT TA’WIL DAN NASAKH
Syarat-Syarat Ta’wil
1. Sesuai dengan ilmu bahasa/kesustraan
2. Dapat digunakan sesuai dengan pengertian bahasa
3. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah –istilah syara’ yang
ada.
4. Menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu).
5. Apabila berdasarkan qiyas, haruslah memakai qiyas yang terang dan kuat.
6. Lafal itu dapat menerima ta’wil lafal zahir dan lafal nash serta tidak
berlaku untuk muhkam dan mufassar.
7. Lafal itu mengandung kemungkinan untuk dita’wilkan karena lafal
tersebut memiliki jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk
dita’wil,serta tidak asing dengan pengalihan kepada makna lain tersebut
8. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil
9. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dalil dan tidak bertentangan
dengan dalil yang ada.
Syarat-Syarat Nasakh
Syarat syarat nasakh yang telah disepaki:
1. Nasikh harus berpisah dari mansukh. Jika tidak berpisah, seprti sipat dan
istisna, maka tidak dikatakan nasakh.
2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Karena itu
qur’an bisa dinasakh dengan qur’an dan hadis mutawatir. Demikian pula hadis
mutawatir dinasakh dengan qur’an dan hadis mutawatir pula.
5
3. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’. Kalau nasikh bukan dalil syara’,
seperti mati, maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hukum terdapat orang yang
sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
4. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu. Seperti kebolehan makan
dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau sudah
terbit fajar, mkan dan minum tidak dibolehkan lagi. (baca Baqarah: 187)
Meskipun menghapuskan kebolehan makan dan minum, namun tidak disebut
nasakh. Hukum yang pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila yang waktu
disebutkan telah habis.
5. Mansukh harus hukum-hukum syara’. Yang bisa dibatalkan (mansukh)
harushukum-hukum syara’.
Tidak semua nas-nas qur’an dan hadis dapat dinasakh. Ada nas- nas yang
sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama sekali, yaitu:
1) Nas-nas yang bernilai hukum pokok, baik yang berhubungan dengan
kepercayaan dan pokok-pokok ibadah; atau yang ber hubungan dengan
pokok-pokok keutamaan, seperti adil, kejujuran, dan lain-lain; atau yang
melarang perbuatan yang hina seperti mempersekutukan tuhan,
membunuh, mencuri dan lain-lain.
2) Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi, seperti firman allah;
jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”.
3) Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat ataupun
yang akan datang, seperti pristiwa musa dan fir’aun, akan datangnya
kiamat dan lain-lain.
Syarat nasakh yang belum disepakati :
1. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2. Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.
3. Hukum pengganti lebih berat dari pada hukum yang dibatalkan.
Penjelasan :
1. Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2. Qur’an dinasakh dengan hadis.
3. Hadis dinasakh dengan qur’an;
6
4. Qur’an dinasakh dengan hadis.
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat imam syafi’i dan pendapat
jumhur ulama.
Pendapat imam syafi’i :
Menurut pendapatnya, Al-qur’an tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-
qur’an pula, hadis tidak lain hanyalah mengikuti apa yang telah ditegaskan Al-
qur’an menjelaskan apa telah disebutkan dalam Al-qur’an secara ijmal (garis
besar). Rasulullah s.a.w. diharuskan mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya
dengan tidak boleh menggantikannya dengan kehendak rasul sendiri (Q.s
yunus:15) sebagaimana Allah menetapkan hukum dalam Al-qur’an,maka Allah
pula yang membatalkannya hadis tidak sama tingkatannyadengan Al- qur’an
apalagi melebihinya.
Menurut pendapatnya pula hadis tidak bisa dinasakhkan dengan Al-qur’an.
Jika dibolehkan, tentulah tiap-tiap hadis yang menurut lahirnya bertentangan
dengan Al-qur’an akan ditinggalkan begitu saja dengan alasan , hadis nabi baik
perkataan maupun perbuatan, adalah sebelum turunnya Qur’an dan barangkali
hadis itu tidak disabdakan Nabi, karena tidak sama dengan yang dalam Qur’an.
Pendapat jumhur ulama :
Hadis nabi adalah syari’at Tuhan sebagaiman Al-qur’an. Apa yang datang
dari nabi. sama dengan apa yang datang dari qur’an, karena apa yang dikatakan
Nabi bukan hawa nafsunya(Q.s. An Najim: 3). Dalam Al-qur’an berkali-kali kita
disuruh mengikuti Nabi (Q.s. Ali imran 31, An-nisa’ 59-69). Dengan perintah
trsebut teranglah bahwa hadis yang sudah jelas dari Nabi sama kuatnya dengan
Al-qur’an dan hukumnyapun sama.
Karena itu hadis nabi menasakhkan Al-qur’an. sebagai contoh ialah ayat
yang mewajibkan wasiat terhadap kedua orang tua dan keluarga (Q.s. Al-baqarah:
180) yang dinasakhkan dengan hadis, tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris”.
7
Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan :
1. Hukum yang ada pada nas yang dinasakhkan adakalanya :
a. Menuntut perbuatan, atau
b. Melarang perbuatan atau
c. Membolehkan perbuatan.
Dalil yang membaatalkan (nasikh) adakalanya :
a. Membatalkan hukum-hukum tersebut semata-mata, atau
b. Membatalkan hukum-hukum tersebut dan mengadakan hukum lain, tetapi
tidak lepas dari ketiga macam hukum tersebut, kemudian dibolehkan.
2. Hukum pengganti lebih berat daripada hukum yang dibatalkan.
Yang sudah disepakati ulama usul, ialah bahwa pengganti lebih ringan
atau sama beratnya dengan yang dibatalkan. Jika pengganti tersebut lebih berat,
maka terdapat dua pendapat, yaitu yang membolehkannya dan yang tidak
membolehkannya.
Alasan tidak membolehkan;
1) Tuhan menghendaki kemurahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan
(Al-Baqarah: 185).
2) Tuhan berkehendak meringankan kamu (An-nisa: 28).
Memberi beban yang lebih berat sesudah yang ringan, bukan berarti
memudahkan, bahkan berlawanan dengan kedua ayat tersebut.
Alasan yang mebolehkan:
Adanya taklif (beban) dari syara’ kepada umat, adalah untuk menjadi
kepentingan umat itu sendiri. Adakalanya kepentingan-kepentingan umat tidak
dapat terpelihara kecuali, dengan adanya taklif yang lebih berat. Karena itu tidak
ada alasan untuk menolak adannya taklif tersebut.
8
C. Macam-Macam Ta’wil dan Nasakh
Macam-macam Ta’wil
Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wil :
1. Ta’wil Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk
penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia,
padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-
Nya.Umpamanya men-ta’wil-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan
Allah” seperti tersebut dalam surat al-Fath (48): 60.Tangan Allah berada
diatas tangan mereka. Atau mengartikan “tangan Allah” dengan “kemurahan
Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah
(5):64 “Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya.”
Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam
lingkup “tafsir” yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan
penyamaan dengan makhluk-Nya.Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut
“tafsir” dengan majaz masyhur”.
2. Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong
oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau
hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil
yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda
(bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip:
“mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang
keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wil kan surat al-Baqarah
(2): 240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234, seperti dalam
contoh diatas.
Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir
ayat, namun sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan. Kadang-kadang tidak dibenarkan menggunakan ta’wil, atau ta’wil itu
dianggap salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk ta’wil; atau ada
dorongan untuk men-ta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan;atau ta’wil
itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i.
9
Bila diperhatikan persyaratan bagi orang yang boleh berfatwa
sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa orang yang bukan
mujtahid dan bukan pula muqallid yang bermazhab tidak boleh berfatwa.
Adapun seorang ahlim yang mempunyai keahlian untuk mengetahui suatu
pendapat imam mazhab dan mampu membandingkan serta men-tarjih-kan antara
beberapa pendapat imam-imam mujahid yang ada, meskipun belum mencapai
derajat mujathid, maka boleh ia memfatwakan pendapat salah satu imam madzhab
yang ada. Namun dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya itu ia harus
memerhatikan sebagai berikut :
a. Dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya ia harus ikhlas dan
ber-i’tiqad baik untuk mewujudkan kemaslahatan dan sebanyak mungkin
menguntungkan semua pihak serta tidak merugikan siapa pun.
b. Ia memilih pendapat yang menghendaki kehati-hatian dalam beramal,
tidak menyulitkan orang dalam beragama, juga tidak mempermudah
agama.
c. Ia memilih pendapat yang menurut keyakinannya benar dan kuat dalilnya.
Macam-Macam Nasakh
Khalid Ramdhan hasan dalam kitabnya Mu’kjam fi Ushul Fiqih, membagi nasakh
menjadi 4 jika dilihat dari segi nasikh atau yang menghapus ;
1. Al-qur’an di nasakh oleh al-qur’an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan
mereka yang mengatakan adanya naskh . misalnya ayat tentang idah empat bulan
sepuluh hari. Allah SWT berfirman
Artinya : ” Dan orang –orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan
meninggalkan istri ,hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya , (yaitu ) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan
tetapi jika mereka pindah (sendiri) , maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri
mereka . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.al-Baqarah/2: 240)
Artinya : ” Orang orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
istri istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan
10
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat ”. (QS.al-Baqarah/2:234).
Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan
dengan pemberian wasiat bagi istri jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan
tidak kawin lagi. Sedangkan ayat ke dua berkenaan dengan masalah idah. Dengan
demikian maka tidak ada pertentangan antara kedua ayat itu.
2. Al-qur’an yang di nasakh oleh As-sunnah
Naskh ini ada dua macam yaitu:
a. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Ahad
Jumhur ulama berpendapat bahwa al-qur`an tidak boleh dinaskh oleh
hadits ahad , karena al-qur`an adalah mutawatir dan menunjukan yakin ,
sedangkan hadits ahad dzanni , bersifat dugaan , disamping tidak sah pula
menghapuskan sesuatu yang ma`lum (jelas diketahui) dengan yang madznun
(diduga)
b. Naskh al-Qur`an dengan Hadits Mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad
dalam satu riwayat, sebab masing masing keduanya adalah wahyu dan naskh itu
sendiri merupakan salah satu penjelasan. Allah berfirman :
Artinya : “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS.
An-Najm/53: 3-4)
Artinya : “ Keterangan –keterangan (mu`jizat) dan kitab kitab. Dan kami turunkan
kepadamu al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan
(QS.an-Nahl/16:44)
3. As-Sunnah di nasakh oleh Al-qur’an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . Misalnya masalah menghadap
ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak
11
terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan
firmannya :
Artinya : “ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka
sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah
mukamu kea rah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada , palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang
diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil
haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah/2: 144)
4. As-Sunnah di nasakh oleh As-Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat
seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh
jumhur ulama .
12
BAB III
PENUTUP
A. SimpulanBerdasarkan pembahasan tentang kajian pengertian ta’wil dan nasakh,
syarat-syarat ta’wil dan nasakh,dan macam-macam ta’wil dan nasakh di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Ta’wil adalah pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zahir kepada
makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang
menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafal itu.
2) syarart-syarat ta’wil diantaranya adalah sesuai dengan ilmu
bahasa/kesustraan ,dapat digunakan sesuai dengan pengertian
bahasa,sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah –istilah
syara’ yang ada,menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu) dll.
3) macam-macam ta’wil adalah
Ta’wil Al-qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk
penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia,
padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.
Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong
oleh usaha mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-qur’an
atau hadis Nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.
4) Nasakh diartikan pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari
orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.
5) syarat-syarat nasakh diantaranya adalah :
Nasikh harus berpisah dari mansukh.
Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.
Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.
Mansukh harus hukum-hukum syara’.
13
6) Macam-macam nasakh diantaranya ialah Al-qur’an di nasakh oleh al-
qur’an,Al-qur’an yang di nasakh oleh As-sunnah,As-Sunnah di nasakh
oleh Al-qur’an,As-Sunnah di nasakh oleh As-Sunnah.
B. SaranKarena ta’wil dan nasakh adalah bagian dari ilmu fiqh, dan merupakan hal
yang penting, maka sudah sepatutnya kita harus mempelajari tentang ta’wil dan nasakh. Apabila kita sudah mengetahuinya, maka kita akan lebih paham hususnya tentang ilmu fiqh ta’wil dan nasakh.
14
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Syekh Abdul Wahab.2005.Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta : rineka cipta.
Syafe’i, Rahmat.1999. Ilmu Ushul Fiqh.Bandung : pustaka setia.
Sumaryono, E. Hermeneutika.1993. Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta:
Kanisius.
Wijaya, Aksin.2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-
istinbathi-dan-ijtihad-tathbiqi/
http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
15
top related