makna simbolik dan nilai pendidikan karakter jawa
Post on 14-Jan-2017
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN
KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pendekatan semiotik pada naskah dan nilai
pendidikan karakter kurang diminati dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Kebanyakan penelitian yang telah ada kurang spesifik dalam menganalisis
maupun mengkaji nilai pendidikan karakter dan pendekatan semiotik. Sebagian
besar penelitian hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan maupun semiotiknya
saja. Adapun penelitian mengenai nilai pendidikan karakter Jawa masih jarang
ditemukan, karena sebagian besar penelitian yang ada hanya mengkaji mengenai
nilai pendidikan karakter secara umum belum mengkhususkan pada suatu
karakter. Penelitian mengenai nilai pendidikan karakter, sangat baik jika
direlevansikan dengan pengajaran. Karena dengan merelevansikan nilai
pendidikan karakter dalam pengajaran dan proses pembelajaran, dapat membantu
proses pembentukan karakter siswa menjadi lebih baik. Namun penelitian yang
menggabungkan ketiga aspek tersebut masih dirasa kurang.
Penelitian yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian Wardoyo (2005), dalam penelitiannya yang berjudul Dover Beach:
Semiotics In Theory And Practice menyatakan bahwa semiotik pada teori dan
praktiknya dapat diaplikasikan pada sebuah puisi. Hal tersebut sangat bermanfaat
dalam menginterpretasikan teks puisi. Dengan menggunakan teori semiotik,
pembaca puisi akan mudah menemukan suasana yang dramatis, memahami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
intertekstual dalam membaca puisi, serta memudahkan pemahaman interpretasi
dalam membaca puisi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama
membahas sebuah objek menggunakan pendekatan semiotik dengan kajian sebuah
puisi. Namun yang membedakan adalah objek kajiannya. Dalam penelitian
Wardoyo menggunakan puisi berbahasa Inggris dengan judul Dover Beach,
sedangkan dalam penelitian ini objek kajiannya berupa puisi Jawa lama yang
terdapat dalam Sêrat Safingi. Meskipun sama-sama menggunakan pendekatan
semiotik dalam penelitiannya, namun kajian yang diterapkan berbeda. Wardoyo
mengambil bahan kajian mengenai semiotik yang dikupas menjadi tiga bagian
yaitu decoding situasi dramatis, intertekstualitas, dan makna konotasi dalam puisi.
Sedangkan dalam penelitian ini, kajian tidak hanya sekedar menggunakan
pendekatan semiotik namun dikhususkan pada simbol. Pendekatan semiotik
digunakan untuk mencari makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam objek
penelitian, namun juga dicari nilai pendidikan karakter Jawa dan kemudian dicari
relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa.
Penelitian Veraksa (2013) yang berjudul Symbol as a Cognitive Tool
mengungkapkan mengenai pemaknaan simbol yang tidak dapat dipisahkan dari
realita. Berbagai macam aspek simbol dapat menunjukkan sesuatu yang spesifik.
Oleh karena itu simbol merupakan sebuah alat yang spesial untuk berbagai situasi.
Hasil penelitian tersebut adalah simbol dapat digunakan sebagai alat kognitif
untuk memaknai sebuah kondisi berdasarkan pengamatan manusia. Apapun yang
terjadi di dalam hidup manusia, tidak akan lepas dari simbol-simbol terutama
dilihat dari simbol yang berkaitan dengan bahasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Penelitian tersebut dan penelitian ini sama-sama menggunakan simbol
sebagai kajian penelitiannya. Simbol yang digunakan dalam kedua penelitian ini
yaitu simbol yang berkaitan dengan bahasa. Yang sedikit berbeda adalah simbol
yang berkaitan dengan bahasa dalam penelitian Veraksa berasal dari hasil
pengamatan, sedangkan dalam penelitian ini simbol yang berkaitan dengan bahasa
diperoleh dari Sêrat Safingi. Hal lain yang membedakan kedua peneletian ini
adalah sumber penelitian. Penelitian Veraksa menggunakan pengamatan manusia
sebagai sumber simbol, akan tetapi dalam penelitian ini simbol-simbol diperoleh
dari susunan kata-kata dalam Sêrat Safingi. Perbedaan lainnya adalah dalam
penelitian tersebut tidak disertakan nilai-nilai pendidikan karakter. Adapun
pengaplikasian penelitiannya, pada dasarnya sama-sama diaplikasikan untuk
kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam penelitian ini, pengaplikasiannya lebih
spesifik yaitu untuk pengajaran Bahasa Jawa selain diterapkan secara langsung
dalam kehidupan sehari-hari.
Dwiningrum (2013) dalam penelitiannya Nation’s Character Education
Based on the Social Capital Theory, mengemukakan mengenai pendidikan
karakter nasional yang berdasar pada teori sosial kapital. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa telah terjadi degradasi karakter nasional yang dapat
berdampak pada kehidupan sosial suatu Negara yang dapat membahayakan bagi
eksistensi suatu Negara di era globalisasi sekarang ini. Perlu adanya pendidikan
karakter untuk menyelamatkan dan membangun kembali kekuatan Negara untuk
menghadapi globalisasi. Pendidikan karakter tersebut dapat diperoleh melalui
keluarga, sekolah, maupun komunitas. Pengembangan nilai-nilai kearifan lokal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dapat digunakan pula sebagai modal dasar penguatan nilai-nilai karakter.
Penelitian yang dilakukan Dwiningrum dan penelitian ini sama-sama mengkaji
mengenai pendidikan karakter yang diharapkan dapat memperkuat karakter
bangsa Indonesia. Perbedaan utama yang terdapat dalam penelitian tersebut
adalah teori yang digunakan untuk mengupas mengenai pendidikan karakter.
Dalam penelitian tersebut teori yang digunakan adalah teori sosial kapital, adapun
dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori semiotik. Perbedaan
lainnya adalah Dwiningrum lebih memfokuskan penelitiannya pada pendidikan
karakter nasional, adapun penelitian ini fokus pada nilai pendidikan karakter
Jawa. Cakupan penelitian ini lebih luas dibanding dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dwiningrum. Dalam penelitian ini, setelah diperoleh nilai
pendidikan karakter dalam objek penelitian yaitu Sêrat Safingi kemudian akan
dicari relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa. Sedangkan dalam penelitian
Dwiningrum, diteliti mengenai unsur-unsur modal sosial yang diperlukan dalam
pembentukan karakter sebuah bangsa kemudian dihubungkan dengan krisis
karakter nasional.
Kourdis & Zafiri (2010) dalam Semiotics and Translation in Support of
Mother Tongue Teaching mengemukakan mengenai semiotik dan penerjemahan
yang dapat mendukung dalam pengajaran bahasa ibu. Pendekatan yang digunakan
untuk mengajar Bahasa Yunani sebagai bahasa ibu yaitu dengan menggunakan
pendekatan semiotika dan terjemahan. Kedua pendekatan tersebut, kemudian
diterapkan sebagai metode dalam pembelajaran bahasa ibu di sekolah dasar.
Dengan menggunakan pendekatan semiotika akan mempermudah siswa dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
mempelajari dan memahami materi yang diajarkan melalui simbol-simbol baik
warna maupun tampilan grafis berupa ilustrasi-ilustrasi. Adapun metode
terjemahan digunakan sebagai pembanding antara Bahasa Yunani lama dan
Bahasa Yunani modern, untuk lebih mempermudah terhadap pemahaman
linguistik. Kedua metode tersebut diterapkan secara bersama dalam pengajaran
bahasa ibu sebagai kontribusi guru agar proses pengajaran bahasa ibu memperoleh
hasil yang lebih baik.
Kedua penelitian ini sama-sama penggunakan pendekatan semiotik yang
digunakan untuk memaknai simbol-simbol yang terdapat dalam materi
pembelajaran bahasa ibu. Kemudian dari pemaknaan terhadap simbol-simbol
tersebut akan direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu. Perbedaan utama
dalam penelitian ini dengan penelitian Kourdis & Zafiri adalah objek penelitian
yang digunakan, meskipun sama-sama menggunakan bahasa ibu namun bahasa
ibu yang dimaksud sangat berbeda. Bahasa ibu dalam penelitian Kourdis & Zafiri
adalah Bahasa Yunani, sedangkan dalam penelitian ini yang dimaksud bahasa ibu
adalah Bahasa Jawa. Perbedaan lainnya terletak pada kajian penelitian yang
dilakukan. Kourdis & Zafiri hanya menggunakan pendekatan semiotik kemudian
direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu, sedangkan penelitian ini
merelevansikan pengajaran Bahasa Jawa dengan nilai pendidikan karakter Jawa
dalam Sêrat Safingi dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Abushihab (2012) dalam Semiotic-based Approach as an Effective Tool
for Teaching Verbal and Non-verbal Aspects of Language mengemukakan
mengenai prinsip-prinsip dasar dan wawasannya tentang semiotika, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
aplikasinya dalam pembelajaran bahasa asing. Kesadaran guru sebagai pembelajar
bahasa asing meningkat melalui pendekatan semiotik dan bagaimana
mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam pembelajaran. Hasil dari penelitian
tersebut adalah semiotik memiliki kontribusi sangat besar jika digunakan secara
maksimal, dampaknya dapat membuat pembelajaran bahasa asing menjadi lebih
efisien. Hal ini dikarenakan melalui pembelajaran dengan menggunakan media
tanda dalam semiotik dapat memfasilitasi siswa untuk belajar bekerjasama dan
lebih mengenal budayanya, selain itu siswa juga akan lebih menikmati
pembelajaran.
Penelitian Abushihab dan penelitian ini memiliki persamaan yaitu sama-
sama menggunakan pendekatan semiotik yang diaplikasikan dalam pembelajaran
bahasa. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada
aplikasi penerapannya. Abushihab memfokuskan penelitiannya untuk
pembelajaran bahasa asing, sedangkan dalam penelitian ini penerapannya
ditujukan untuk pembelajaran bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa. Selain hal
tersebut, penelitian Abushihab hanya terbatas pada pendekatan semiotik yang
dihubungkan dengan pembelajaran bahasa, sedangkan penelitian ini cakupannya
lebih luas yaitu mengenai pendekatan semiotik dalam Sêrat Safingi, kemudian
dicari nilai pendidikan karakter Jawa yang terdapat di dalamnya, untuk
selanjutnya direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.
Wijayanti dan Nurwianti (2010) dalam “Kekuatan Karakter Dan
Kebahagiaan pada Suku Jawa” mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa
kekuatan karakter pada suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Jabodetabek mempengaruhi kebahagiaan hidup mereka. Dalam hal ini karakter
Jawa yang sangat menonjol dan berperan terhadap kebahagian orang Jawa sendiri
adalah kegigihan, kreatifitas, perspektif, keadilan, vitalitas, keingintahuan, dan
pengampunan. Sedangkan kekuatan karakter yang menonjol dalam karakter Jawa
adalah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas.
Persamaan anatara penelitian Wijayanti dan Nurwianti dengan penelitian ini
adalah sama-sama menggunakan karakter Jawa sebagai bahan penelitiannya.
Namun terdapat beberapa perbedaan yang menonjol antara penelitian tersebut
dengan penelitian ini yaitu pendekatan yang digunakan serta relevansi nilai
karakter tersebut dengan pengajaran Bahasa Jawa. Secara garis besar, penelitian
Wijayanti dan Nurwianti hanya membahas mengenai karakter Jawa dan
direlevansikan dengan kebahagiaan seseorang. Namun dalam penelitian ini akan
direlevansikan mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dengan pembelajaran
Bahasa Jawa di sekolah-sekolah, dengan menggunakan pendekatan semiotik.
Hasim dan Adi (2012) dalam “Nilai-nilai Islam dalam Teks Tembang
Macapat Karya Ranggawarsita” mengemukakan bahwa berbagai unsur
kebudayaan diantaranya etika, pandangan hidup, bahasa, religi, adat istiadat
terdapat di dalam naskah Jawa lama. Salah seorang pujangga Jawa ternama yaitu
Raden Ngabei Ranggawarsita banyak menulis teks-teks tembang yang terdapat
nilai-nilai Islam di dalamnya, yaitu tawakal, istiqomah, amanah, sabar,
bertanggung jawab, dan sebagainya. Dikemukakan pula bahwa pembelajaran
sastra Jawa dapat digunakan sebagai media pembentukan karakter seseorang.
Hasil yang diperoleh yaitu nilai-nilai Islami yang berhubungan dengan pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
moral dan budi pekerti dalam hubungannya dengan diri sendiri yaitu cerdas, kerja
keras, bijaksana, sederhana, percaya diri, sabar, jujur, mawas diri, dan tidak putus
asa. Adapun nilai-nilai Islami dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya
adil, empati, tenggang rasa, bertanggung jawab, dan aja dumèh.
Penelitian Hasim dan Adi tersebut memiliki persamaan dengan penelitian
ini yaitu sama-sama mengambil objek penelitian berupa tembang-tembang dalam
naskah Jawa lama karya R. Ng. Ranggawarsita. Namun yang membedakan adalah
dari tembang-tembang dalam naskah tersebut oleh Hasim dan Adi dicari nilai
Islami yang berhubungan dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Sedangkan
dalam penelitian ini berdasarkan tembang-tembang dalam Sêrat Safingi dicari
nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung didalamnya, untuk kemudian
direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.
B. Kajian Teori
1. Tembang Macapat
Padmosoekotjo (1956:21) mengungkapkan bahwa tembang merupakan
sesuatu hal yang cara membacanya harus dilagukan. Tembang macapat
merupakan bentuk karya sastra yang secara konvensi memiliki bentuk dan lagu
dengan aturan dan tata cara tertentu, serta lazim disebut lagu macapat. Lagu
macapat digunakan untuk membaca karya sastra yang berbentuk macapat, oleh
kerena itu sering disebut juga sebagai lagu waosan (Suparno, 2013:1). Macapat
disebut pula puisi bertembang karena ditembangkan atau dilagukan berdasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
pada susunan titilaras atau notasi yang sesuai dengan pola metrumnya
(Prabowo, 2007:163)
Sejarah macapat dimulai pada zaman Majapahit akhir, dimana pengaruh
budaya Hindu semakin berkurang dan mulai munculnya pengaruh Islam. Hal
ini dibuktikan dengan munculnya tembang-tembang macapat yang diciptakan
oleh Walisanga. Misalnya tembang dhandhanggula yang diciptakan oleh
Sunan Kalijaga, asmarandana dan pocung diciptakan oleh Sunan Giri, dan
tembang pangkur yang diciptakan oleh Sunan Drajat (Sutardjo, 2006:16).
Tembang macapat juga disebut sebagai tembang cilik, yang terdiri dari
11 (sebelas) tembang yaitu mijil, maskumambang, sinom, durma,
asmarandana, kinanthi, dhandhanggula, gambuh, pangkur, megatruh, dan
pocung (Padmosoekatja, 1956:31). Soetardjo (2006:17) menjelaskan bahwa
tembang-tembang macapat tersebut secara filosofis memiliki makna perjalanan
hidup manusia dimulai sejak lahir sampai meninggal.
Mijil merupakan simbol kelahiran seorang anak yang sifatnya prihatin
karena menyambut kelahiran seorang anak dan terdapat perasaan senang
karena putra yang diidamkan telah lahir. Tembang kedua adalah maskumbang
yang merupakan simbol dari masa kanak-kanak.yang hanya diisi dengan
bermain-main dan bersenang-senang. Adapun watak tembang tersebut adalah
prihatin dan sedih, hal ini dikarenakan pada masa tersebut orangtua dipenuhi
dengan perasaan khawatir dan was-was (Sutardjo, 2011:34).
Sinom merupakan simbol dimana seseorang sedang melalui masa
pertumbuhan alami dalam lingkungan kekeluargaan dan dalam proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
menginjak masa remaja atau masa muda (enom) (Rama, 2007:39). Watak
tembang sinom cenderung digambarkan canthas „terlihat gagah‟ dan ethes
„lincah‟. Oleh karena itu sangat cocok digunakan untuk memberikan petuah
maupun sebagai penutup sebuah karangan. Tembang berikutnya adalah
asmarandana, yang merupakan gambaran dimana seorang remaja mulai
mengenal asmara. Oleh karena itu pada masa tersebut seseorang cenderung
merasakan berbagai situasi perasaan, sehingga watak tembang tersebut adalah
prihatin, sedih, dan kasmaran (Mardimin, 1991:154)
Tembang kinanthi merupakan gambaran dari masa pada saat hidup
berumah tangga yang bersifat senang, kasih sayang dan bersatu. Berikutnya
adalah dhandhanggula yang merupakan gambaran kehidupan awal berumah
tangga yang memiliki sifat manis seperti gula atau menyenangkan. Tembang
kedelapan adalah durma sebagai gambaran dari masa dimana seseorang
memasuki masa tuanya, sehingga tembang ini memiliki sifat pemberani dan
memiliki semangat tinggi (Sutardjo, 2011:39).
Gambuh merupakan gambaran dimana seseorang telah memasuki masa
yang semakin matang baik lahir maupun batin. Hal ini disesuaikan dengan
semakin matangnya usia seseorang. Watak tembang ini adalah persaudaraan
dan sangat cocok digunakan untuk memberi petuah atau nasehat (Mardimin,
1991:155). Tembang kesembilan adalah pangkur yang merupakan gambaran
dari perjalanan hidup manusia yang mulai memasuki masa lanjut usia dan
sudah mulai mengesampingkan urusan duniawi dan lebih mempersiapkan diri
untuk menghadap Tuhan (Sutardjo, 2011:36). Tembang tersebut memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
watak penuh semangat dan memiliki greget sehingga cocok pula untuk
memberikan petuah (Mardimin, 1991:155).
Tembang kesepuluh yaitu megatruh yang berkeyakinan bahwa hidup ini
kuat karena Allah dan bahagia karena keyakinan inna lillahi wa inna ilaihi
roji’un „semua makhluk akan kembali kepada Allah‟ (Rama, 2007:41).
Tembang tersebut digambarkan sebagai masa dimana terpisahnya antara roh
dengan jasad. Adapun watak tembang tersebut adalah sedih, prihatin, dan
kecewa. Tembang yang terakhir adalah pocung yang merupakan gambaran
akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia yaitu setelah meninggal akan
dipocong atau dipakaikan kain kafan. Watak tembang ini cenderung
sembarangan atau seenaknya sendiri. Karena dalam kondisi seperti itu,
manusia sudah tidak ingat apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi
(Sutardjo, 2006:18-19). Kesebelas tembang macapat tersebut mengandung
petuah supaya manusia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan ini hanyalah
bersifat semantara. Oleh karena itu perlu mempersiapkan diri sejak dini untuk
menuju kehidupan berikutnya.
Tembang-tembang macapat tersebut lazimnya ditulis dalam satu pupuh
atau bait dan nama tembang di tuliskan langsung di atas cakêpan atau liriknya.
Akan tetapi tembang macapat yang ditulis lebih dari satu pupuh seperti yang
tertulis dalam naskah Jawa, penulisan nama tembang tidak ditulis secara jelas
namun dengan menggunakan sasmita. Sasmita tembang menurut Prabowo
(2007:268) adalah kata maupun gabungan kata yang digunakan sebagai
pralambang atau penanda nama tembang. Sasmita tembang di awal pupuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
berfungsi sebagai penunjuk nama tembang dalam pupuh tersebut. Adapun
sasmita tembang yang terletak pada akhir pupuh, menunjukkan nama tembang
pada pupuh berikutnya. Kata-kata yang digunakan sebagai sasmita tembang
macapat dalam Padmosokotjo (1956:58) diantaranya adalah mijil (wijil, mêtu,
sulastri); maskumambang (kumambang, kentir, timbul); sinom (srinata, anom,
taruna); durma (mundur dan galak); asmarandana (asmara, kingkin, brangti);
kinanthi (kanthi dan gandheng); dhandhanggula (sarkara, manis, guladrawa);
gambuh (embuh, jumbuh, kambuh); pangkur (wuri, wuntat, tutwuri);
megatruh (pegat, duduk, truh) dan pocung (kluwak dan ancung).
Ciri-ciri tembang macapat menurut Prabowo (2007:164) yaitu setiap bait
atau pupuh memiliki jumlah tertentu dan setiap larik atau gatra berakhir
dengan guru lagu (asonansi) tertentu. Padmosoekotjo (1958:35) menjelaskan
mengenai penulisan pada dalam tembang yang terdiri dari beberapa gatra
(baris). Awal pupuh ditandai dengan adanya purwapada (§bC §), sedangkan
pupuh yang terletak di tengah-tengah menggunakan tanda yang disebut dengan
madyapada (§!F` §), dan pada akhir pupuh digunakan wasanapada
(§I§).
Sebuah tembang macapat memiliki guru gatra, guru lagu, dan guru
wilangan sebagai pedoman. Guru gatra adalah jumlah baris atau gatra dalam
setiap tembang. Setiap tembang memiliki jumlah gatra yang sudah baku,
misalnya tembang maskumambang ber-guru gatra 5, kinanthi ber-guru gatra
6, durma ber-guru gatra 7, dan sebagainya (Soetardjo, 2011:23). Guru lagu
menurut Prabowo (2007:110) merupakan pola selang-seling vokal akhir setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
larik pada suku kata tembang macapat atau dengan kata lain persajakan akhir.
Guru lagu sering pula disebut dengan dhong-dhing, misalnya guru lagu pada
tembang asmarandana yaitu i, a, e, a, a, u, a. Guru wilangan adalah jumlah
wanda atau suku kata pada setiap gatra tembang. Misalnya guru wilangan
pada tembang dhandhanggula yaitu 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7
(Padmosoekotjo, 1958:23).
Masing-masing tembang memiliki perbedaan jumlah guru gatra, lagu,
dan guru wilangan sebagai ciri khas yang membedakan antara tembang yang
satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak ada tembang yang memiliki
guru gatra, lagu, dan guru wilangan yang sama. Perbedaan di dalam tembang
macapat tersebut oleh Suparno disajikan dalam tabel berikut (2013:2-3).
Tabel 1. Guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dalam tembang macapat
No. Nama Tembang
Gatra ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Mijil 10i 6o 10e 10i 6i 6u
2. Maskumambang 12i 6a 8i 8a
3. Sinom 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
4. Durma 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
5. Asmarandana 8i 8a 8e 8a 7a 8u 8a
6. Kinanthi 8u 8i 8a 8i 8a 8i
7. Dhandhanggula 10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
8. Gambuh 7u 10u 12i 8u 8o
9. Pangkur 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
10. Megatruh 12u 8i 8u 8i 8o
11. Pocung 12u 6a 8i 12a
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2. Pendekatan Semiotik
Cobley dan Janz dalam Ratna (2004:97) mengemukakan bahwa semiotik
secara definitif berasal dari bahasa Yunani seme yang berarti penafsir tanda.
Dapat pula berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Secara luas semiotika
diartikan sebagai studi mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana
cara kerjanya, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Halliday dalam Ratna (2004:98) mengemukakan bahwa semiotik
merupakan kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanya satu bidang di
dalamnya. Namun, melalui bahasa dan sastra kajian semiotika dapat dilakukan
secara mendalam. Konsep utama dalam semiotik adalah hubungan antara
petanda dan penanda. Kedua hal tersebut bersifat arbitrer. Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semiotik merupakan
suatu kajian ilmu yang objeknya berupa tanda atau simbol.
Analisis karya sastra secara semiotis dapat dilakukan dengan dua tahapan
menurut Wellek dan Warren (2014), yaitu analisis intrinsik (analisis
mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Tanda dalam
penelitian sastra salah satunya adalah bahasa. Bahasa tersebut merupakan salah
satu sistem tanda yang sangat kompleks.
Puisi maupun narasi dapat dianalisis secara semiotis dengan menentukan
fungsi, pesan, dan efeknya terhadap masyarakat luas. Dalam sastra, tanda tidak
hanya terbatas pada teks tertulis saja. Menurut Ratna (2004:112), hubungan
antara penulis, karya sastra, dan pembaca juga merupakan suatu pemahaman
mengenai tanda. Sistem tanda yang merupakan kajian nonverbal dalam naskah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
diantaranya adalah kulit buku, susunan warna, tebal buku, dan tipografi tulisan.
Dalam penafsiran secara semiotis, maka tanda-tanda tersebut dihubungkan
dengan ground, denotatum, dan interpretant.
Simbolisme dalam peninggalan sejarah jawa banyak terdapat dalam
naskah maupun kitab-kitab hasil karya para pujangga baik dalam bentuk prosa
maupun berbentuk syair atau tembang (Herusatoto, 2008:189). Simbol menurut
prespektif Saussurean dalam Berger (2010:27) adalah jenis tanda dimana
hubungan antara penanda dan petanda seolah-olah bersifat arbitrer. Maksudnya
adalah sebuah simbol tidak dapat digantikan dengan simbol yang lain.
Salah satu jenis tanda yang dikemukakan oleh Berger (2010:79) adalah
tanda-tanda imajiner, yaitu tanda yang tidak berada di dunia nyata namun dapat
kita bayangkan. Dalam hal ini tanda dibagi menjadi beberapa bagian
diantaranya (1) penggambaran secara verbal yang menggunakan kata-kata
sebagai penjelas gambaran dalam angan-angan seseorang, (2) impian yang
merupakan bentuk-bentuk khayal yang muncul pada saat tidur, (3) halusinasi
yang merupakan kemampuan sistem saraf seseorang untuk memahami objek-
objek tidak nyata, dan (4) bayangan yang merupakan cara memahami sesuatu
dan bersifat supranatural (2010:79-82).
Kemampuan manusia dalam menciptakan simbol merupakan bukti
bahwa manusia telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi bahkan
maju. Hal ini dikarenakan manusia mampu menciptakan simbol sederhana
seperti isyarat bahkan sampai simbol yang telah dimodifikasi seperti sinyal
gelombang televisi maupun radio (Sobur, 2004:43).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Langer dalam Herusatoto menjelaskan mengenai simbol yang dibedakan
mejadi dua menurut pembedaan formal dan menurut cara pemakaiannya.
Secara formal simbol dibedakan menjadi dua macam yaitu simbolisme
presentasional yang merupakan simbol dan cara penangkapannya tidak
memerlukan pemikiran matang, melainkan spontan menyampaikan apa yang
dikandungnya. Biasanya dapat ditemukan dalam alam, lukisan, tarian, dan
sebagainya. Sedangkan simbol yang kedua adalah simbolisme diskursif yang
berupa simbol dengan cara penangkapannya menggunakan pemikiran yang
matang, tidak serta merta mengungkapkan apa yang dikandungnya, melainkan
secara beraturan dan bertahap. Media yang merupakan simbolisme diskursif
adalah bahasa (2008:63). Menurut cara pemakaiannya, simbol dibedakan
menjadi bahasa, ritus, mitos dan musik. Keempat hal tersebut digunakan untuk
mengungkap arti dalam bidang lain, seperti mimpi, tingkah laku, dan angan-
angan (2008:64).
Simbol menurut Herusatoto (2008:52) dapat berupa benda atau bentuk-
bentuk, misalnya rumus-rumus maupun lambang. Namun simbol juga dapat
berupa keadaan misalnya pepatah, candra sengkala, ataupun kisah dan
dongeng.
Puisi merupakan salah satu perwujudan dari tanda. Berger menyatakan
bahwa tanda yang terpenting dalam karya sastra adalah visualisasi (2010:121).
Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam puisi Jawa klasik yang terdapat dalam
sebuah naskah Jawa. Simbolisme dibagi menjadi beberapa jenis menurut
Herusatoto (2008:139) yaitu 1) simbolisme dalam alat-alat yang dipakai dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
kehidupan sehari-hari orang Jawa; 2) simbolisme yang dipakai dalam
penggunaan warna; 3) simbolisme dalam bahasa sastra yang dipakai orang
Jawa misalnya penggunaan sengkalan, pepatah, perumpamaan, dan sebagainya.
Klap dalam Berger (2010:125) menyatakan bahwa identitas sebuah tanda
bukan merupakan suatu fungsi pemilikan materi setiap orang, tetapi identitas
dihubungkan dengan wujud simbolis dan cara seseorang dirasakan oleh
lainnya. Oleh karena itu, perlu ketelitian dan kebenaran seseorang dalam
menafsirkan tanda-tanda yang berupa identitas. Oleh sebab itu, simbolisme
digunakan sebagai alat untuk menguraikan dan menggambarkan sesuatu
sebagai media budaya oleh orang Jawa (Herusatoto, 2008:153).
Berdasarkan beberapa teori di atas, peneliti mengacu pada teori semiotik
Berger dan teori simbol menurut Herusatoto. Hal tersebut dikarenakan pada
teori Berger, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda dimana
simbol termasuk dalam bahan kajiannya. Sedangkan dalam teori Herusatoto
simbol diterangkan lebih detail khususnya simbol-simbol dalam budaya Jawa.
Kedua teori tersebut mengungkap mengenai simbol yang akan dikaji lebih
lanjut dalam penelitian ini.
3. Sêrat Safingi
Sêrat Safingi merupakan naskah pertama dalam bendel Sêrat Iman
Kanapi sebelum naskah Sêrat Raden Hermaya. Dalam katalog naskah Girardet
dijelaskan bahwa Sêrat Iman Kanapi diawali dengan cerita kerajaan Supiyah di
bawah pemerintahan Dewi Hamarah dan diakhiri dengan cerita Pangeran dari
Ngesam (1983:46). Naskah tersebut merupakan koleksi Perpustakaan Sasana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pustaka Keraton Surakarta dengan nomor penyimpanan KS 539.0 126Ka SMP
156/7 dan KS 539.1 126Ka SMP 156/7 (Florida, 1996:299). Namun setelah
diteliti lebih lanjut pada penelitian sebelumnya, hanya ditemukan satu buah
naskah dengan nomer penyimpanan 126Ka dalam katalog lokal perpustakaan
Sasana Pustaka Keraton Surakarta.
Naskah Sêrat Safingi berbentuk tembang macapat, yang terdiri dari 42
pupuh sebanyak 269 halaman. Naskah ini memiliki keunikan dalam penulisan
halaman yaitu pada halaman pertama ditulis dengan menggunakan huruf Arab
dan Jawa dalam satu halaman. Mulai pada halaman 2 sampai 61 ditulis secara
recto-verso (bolak-balik) dengan menggunakan angka Arab (2, 3, 4, 5,…, 61)
dan Jawa (;2;,;3;,;4;,;5;,…,;61;). Sedangkan halaman 62 sampai 135
ditulis secara recto dengan menggunakan angka Arab, dan halaman verso tidak
diberi halaman.
Pada halaman akhir naskah Sêrat Safingi dinyatakan hilang. Hal ini
dibuktikan pada bait terakhir kalimat dalam satu gatra belum tuntas, namun
sudah berganti teks lain. Selain itu pada halaman berikutnya terdapat sobekan
di ujung bawah kanan dan kiri kertas, sehingga dapat disimpulkan bahwa
bagian akhir naskah tersebut benar-benar hilang.
Naskah Sêrat Safingi merupakan naskah anonym, karena tidak ditemukan
nama pengarang atau penyalinnya. Hanya nama pemilik naskah saja yang
disebutkan di dalam cover luar dan dalam Sêrat Safingi yaitu Bandara Radèn
Ayu Adipati Sêdhah Mirah (Anonim, 1801:cover dalam). Naskah Sêrat Safingi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
merupakan naskah salinan, dimana terdapat kata manurun sungging atau
menyalin pada pupuh pertama. Namun setelah dilakukan penelitian, tidak
ditemukan naskah babon atau naskah aslinya. Selain keterangan tersebut,
terdapat pula keterangan mengenai kolofon dari naskah ini yaitu Kêmis Wagè,
28 Muharam 1728 tahun Jawa dengan sêngkalan èsthi nêmbah swarèng rat,
atau Kamis Wage, 11 Juni 1801 setelah dikonversikan dalam tahun Masehi
(Anonim, 1801:1).
Secara garis besar, Sêrat Safingi berisi tentang cerita petualangan Raja
Safingi (Imam Safi‟i) dan anak lelakinya yang bernama Raden Khanafi dan
Raden Maliki. Mereka adalah rakyat biasa yang soleh dan taat beragama,
namun kemudian diangkat menjadi Raja Supiyah. Sedangkan Raden Maliki
kemudian diangkat menjadi Raja Karsinah. Dalam kehidupan pernikahan,
Raden Safingi menikah dengan dua orang istri yaitu Dewi Amarah dan Ni
Retna Kumalawati. Dari kedua istrinya tersebut masing-masing memiliki satu
orang putra. Naskah tersebut juga menggambarkan peperang antara Islam yang
melawan kekafiran dan selalu dimenangkan oleh Islam.
Ajaran mengenai Islam yang terdapat dalam Sêrat Safingi adalah
mengenai nafsu dalam diri manusia yaitu amarah, sufiyah, aluamah, dan
mutmainah. Nafsu-nafsu tersebut dijadikan sebagai nama tokoh maupun nama
tempat. Nafsu yang dijadikan sebagai nama tokoh dalam naskah ini adalah
Dewi Amarah, Maharaja Luamah, dan Dewi Mutmainah. Adapun nafsu
sufiyah digunakan sebagai nama tempat kerajaan yang menjadi seting utama
dalam Sêrat Safingi yaitu kerajaan Supiyah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
4. Pengajaran Bahasa Jawa
Pengajaran menurut Dewantara (1977:20) adalah pendidikan dengan cara
memberi ilmu atau pengetahuan, serta memberi kecakapan terhadap anak-anak,
yang keduanya dapat bermanfaat untuk kehidupan anak-anak baik lahir
maupun batin. Dalam pengajaran, seorang pengajar harus memberikan seluruh
ilmu pengetahuan baik yang bersifat umum maupun khusus. Tentunya ilmu
pengetahuan yang diberikan haruslah yang berguna bagi siswa dalam
kehidupannya (1977:164).
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling mendasar digunakan
oleh manusia. Bahasa yang digunakan sehari-hari pada dasarnya merupakan
bahasa yang dipakai dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Bahasa yang
digunakan oleh anak biasanya merupakan bahasa ibu. Dalam masyarakat Jawa,
bahasa ibu yang dimaksud adalah Bahasa Jawa. Menurut Perda Provinsi Jawa
Tengah no. 9 tahun 2012, Bahasa Jawa berfungsi sebagai sarana komunikasi
dalam keluarga dan masyarakat serta pembentuk kepribadian dan peneguh
jatidiri pada suatu masyarakat di daerah. Melihat kondisi saat ini, banyak
keluarga Jawa yang sudah tidak menggunakan bahasa ibu sebagai alat
komunikasi, namun menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-
hari. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitarnya yang kurang mendukung
dengan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan. Tidak ada
salahnya menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa sehari-hari, namun
perlu suatu keseimbangan dengan tetap menggunakan Bahasa Jawa sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
bahasa pergaulan. Jika kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, maka
lambat laun kondisi Bahasa Jawa akan semakin memprihatinkan.
Pengajaran bahasa daerah banyak mengajarkan nilai-nilai luhur budaya
lokal suatu daerah. Dalam hal ini pengajaran bahasa yang dimaksud adalah
Bahasa Jawa. Pada Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah nomor
4 tahun 2012, pasal 47 ayat 4 menyatakan bahwa mata pelajaran muatan lokal
adalah Bahasa Sastra dan Budaya Jawa yang diajarkan pada semua jenjang
pendidikan dan satuan pendidikan secara berdiri sendiri dengan alokasi waktu
2 (dua) jam per minggu, dievaluasi setiap semester, dan akhir jenjang
pendidikan dengan mencantumkan di rapor dan ijazah. Dalam pengajaran
bahasa perlu diperhatikan dan disampaikan keempat aspek keterampilan
berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, mambaca, dan menulis (Andayani,
2010:1). Oleh karena itu perlu adanya pengajaran Bahasa Jawa sebagai salah
satu upaya untuk tetap menjaga dan memelihara kelestarian bahasa dan sastra
Jawa (Perda nomor 9 tahun 2012 tentang bahasa, sastra, dan aksara Jawa; bab
I, pasal 1, ayat 8).
Proses pengajaran pada dasarnya dilakukan oleh guru dengan
menyampaikan sebuah materi terhadap siswa. Tugas guru menurut Endraswara
diantaranya adalah menyampaikan ilmu pengetahuan, menyampaikan
maklumat, menyampaikan amanat, memberi kemahiran, dan memupuk nilai-
nilai luhur (2002: 70). Seorang guru juga perlu melakukan pendekatan kepada
muridnya agar para siswa dapat mengembangkan keterampilan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kepribadiannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan selama proses
pembelajaran sedang berlangsung.
Nurhayati dalam Wibowo (2013:39) menyatakan bahwa implementasi
proses pengajaran sastra yang dapat membangun karakter siswa dibagi menjadi
beberapa cara, salah satunya yaitu dengan mengarahkan siswa untuk membaca
karya sastra kemudian mencari nilai-nilai positif dalam karya sastra untuk
kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, pelajaran bahasa sangat penting. Hal ini dikarenakan
bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Sehingga
dalam pengajaran Bahasa Jawa peran guru sangat diperlukan dalam
penyusunan materi yang matang dengan pemilihan metode yang tepat, serta
pembentukan suasana belajar yang menyenangkan. Sehingga pengajaran
bahasa memiliki kesan yang mendalam bagi siswa bukan hanya sebagai
pelajaran yang membosankan dan tidak penting (Dewantara, 1977:506).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran
Bahasa Jawa merupakan proses mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai
Bahasa Jawa yang dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari siswa. Baik
digunakan sebagai pembentukan karakter maupun penguatan identitas siswa.
Selain itu, dengan pengajaran Bahasa Jawa akan menambah kecintaan siswa
terhadap kebudayaan Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
5. Nillai-nilai Pendidikan Karakter Jawa
a. Pendidikan Karakter
Pendidikan menurut Perda no. 4 tahun 2012 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
Bangsa dan Negara (bab 1, pasal 1, ayat 9). Menurut Dewantara (1977:20)
pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.
Pendidikan menjadi tuntunan bagi segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak, agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat
memperoleh keselamatan dan mencapai kebahagiaan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk mengajarkan
tuntunan hidup melalui proses pembelajaran terhadap peserta didik, agar
dapat mengembangkan potensi dirinya sebagai langkah untuk
mempersiapkan diri terjun didalam masyarakat.
Karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu kharakter yang berarti
memahat atau mengukir. Sedangkan dalam bahasa Latin, karakter berarti
membedakan tanda (Narwanti, 2011:1). Karakter pada dasarnya merupakan
ciri khas yang melekat pada diri seseorang yang membedakan antara orang
satu dengan lainnya. Karakter pada pribadi manusia dapat dibentuk sedini
mungkin. Dengan menanamkan nilai-nilai tertentu, dapat pula digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
sebagai penentu karakter seseorang selain dari karakter bawaan yang berasal
dari faktor keturunan.
Scerenko dalam Samani (2012:42) mendefinisikan karakter sebagai
ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan
kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok, atau bangsa. Listyarti
(2012:3-4) membagi karakter seseorang secara teoritis menjadi tiga aspek
yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving
the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Spranger dalam Dewantara (1977:26) membagi karakter menjadi 6
(enam) jenis berdasar hasrat seseorang, yaitu kekuasaan (machtsmensch),
agama (religieus mench), keindahan (kunstmensch), kegunaan (nutsmensch),
pengetahuan (wetenschaps), dan mengabdi (sociale mensch). Berdasarkan
penjabaran di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa karakter
adalah sifat bawaan seorang manusia yang sudah dibawa sejak lahir dan
merupakan sesuatu yang melekat dalam diri seseorang.
Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada seseorang yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan. Pada dasarnya pendidikan karakter juga mencakup pembiasaan
mengenai perilaku dan kebiasaan yang baik. Dengan menanamkan hal
tersebut di sekolah, siswa dapat memahami serta merasakan dan mau
membiasakan diri untuk bersikap dan berperilaku baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Tujuan pendidikan karakter disebutkan dalam Pasal 40 ayat 1, Perda
no. 4 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yaitu membentuk
bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh Pancasila, iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tujuan pendidikan karakter menurut
Suparlan (2012:103) adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai standar kompetensi lulusan.
Pencetus pendidikan karakter yaitu Jerman FW Foerster pada tahun
1869-1966. Beliau lebih menekankan pada proses pembentukan pribadi dari
dimensi etis-spiritual. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang,
Korea, dan Cina pendidikan karakter dimulai sejak pendidikan dasar.
Negara-negara tersebut beranggapan bahwa penanaman pendidikan karakter
sejak sekolah dasar menimbulkan efek positif bagi perkembangan anak ke
depan.
Indonesia saat ini juga telah melakukan suatu gerakan yang disebut
Gerakan Nasional Pendidikan Karakter (GNPK). Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dalam Narwanti (2011:16) mengemukakan bahwa terdapat lima
hal dasar yang menjadi tujuan dari GNPK tersebut, yaitu (1) manusia
Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik; (2) bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional; (3) bangsa Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
menjadi bangsa yang inovatif dan mengejar kemajuan serta bekerja keras
mengubah keadaan; (4) harus bisa memperkuat semangat; dan (5) manusia
Indonesia harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negara
serta tanah airnya.
Pendidikan karakter memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah (a)
mengembangkan potensi dasar supaya memiliki hati, pikiran, dan perilaku
yang baik; (b) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur; (c) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.
Konsep nilai-nilai pembentukan karakter sangat beragam. Nilai
pembentuk karakter yang cukup lengkap dikemukakan oleh Pusat
Kurikulum mengenai Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Pilar nilai karakter menurut Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas
dalam Suparlan (2012:66-67), dirumuskan sebanyak delapan belas item nilai
yang harus dikembangkan untuk membentuk karakter anak didik di
Indonesia. Nilai-nilai tersebut adalah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)
disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa
ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai
prestasi, (13) bersahabat atau kominikatif, (14) cinta damai, (15) gemar
membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung
jawab.
Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pemikirannya mengenai konsep
pendidikan karakter. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
positioning karakter dalam pendidikan nasional (Samani dan Hariyanto,
2012:34) adalah (a) Lawan Sastra Ngesti Mulya, yang artinya dengan ilmu
manusia akan mencapai keberhasilan hidup, (b) Suci Tata Ngesti Tunggal,
artinya adalah untuk mencapai cita-cita yang mulia diperlukan kesucian
batin, kejernihan pikiran, dan kedisiplinan nasional.
Ki Hajar Dewantara menyampaikan pula tiga macam fatwa yang satu
yaitu (a) Tetep-Mantep-Antep yang maknanya adalah dalam melakukan
suatu pekerjaan hendaknya harus diiringi dengan ketetapan hati, tekun
bekerja, kemantapan hati, dan kebulatan tekat. Karena dengan ketetapan
pikiran dan kekuatan batin akan menentukan kualitas seseorang; (b)
Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel, maksudnya adalah untuk menggapai cita-
cita harus percaya pada diri sendiri, berani menghadapi segala hal yang
merintang, teguh pendirian, kuat secara lahir-batin, serta tawakal; dan (c)
Neng-Ning-Nung-Nang, maknanya adalah kita harus memiliki sikap
meneng, wening, hanung, dan menang. Kesucian pikiran dan hati yang
diperoleh dengan ketenangan hati, akan mendatangkan kebahagiaan.
Apabila telah dicapai ketiga hal tersebut, maka kesuksesan atau kemenangan
akan kita peroleh (Dewantara, 1977:14).
Lickona (2012:82) menjabarkan mengenai karakter yang tepat bagi
pendidikan nilai yaitu karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang
baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Pada
dasarnya karakter yang tepat diterapkan adalah yang dapat membuat
seseorang memiliki sikap dan menjadi pribadi yang lebih baik. Adapun ciri-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Komponen Karakter yang Baik
ciri karakter digambarkan oleh Lickona dalam komponen karakter yang baik
sebagai berikut (2012:84).
Bagan 1. Komponen Karakter yang Baik
Berdasarkan beberapa teori mengenai karkter dan pendidikan karakter
di atas, peneliti lebih memilih konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar
Dewantara sebagai acuan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan konsep
pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara mengacu pada konsep kebudayaan
Jawa, dimana akan lebih relevan dengan penelitian ini.
b. Karakter Jawa
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter Jawa merupakan penanaman pendidikan
karakter kepada seseorang yang berlandaskan kebudayaan Jawa. Aspek nilai
pendidikan karakter Jawa telah diungkapkan oleh Dewantara pada dasarnya
merupakan sebuah ajaran bahwa karakter seseorang terbentuk karena
pribadi orang tersebut. Oleh karena itu diperlukan kemantapan hati,
kerendahan hati, percaya pada kuasa Tuhan, terus menuntut ilmu, serta
Pengetahuan Moral
1. Kesadaran moral
2. Pengetahuan nilai
moral
3. Penentuan
perspektif
4. Pemikiran moral
5. Pengambilan
keputusan
6. Pengetahuan
pribadi
Perasaan Moral
1. Hati nurani
2. Harga diri
3. Empati
4. Mencintai hal
yang baik
5. Kendali diri
6. Kerendahan hati
Tindakan Moral
1. Kompetensi
2. Keinginan
3. Kebiasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
ketenangan batin untuk mencapai sebuah kesuksesan dan kemuliaan lahir
maupun batin (1977:14).
Masyarakat Jawa pada masa lalu dikenal lebih banyak
bermatapencaharian sebagai petani. Karakter yang menonjol pada petani
Jawa adalah menerima keadaan yang dijalaninya sebagai nasib.
Ketidakpunyaan dan kerasnya hidup membentuk para petani memiliki sifat
yang sabar, tabah, dan pasrah (Koentjaraningrat, 1984:436).
Sikap lain yang tampak dalam diri manusia Jawa adalah prinsip yang
digunakan dalam bergaul yaitu sangat memperhatikan empan papan, lambe
ati, dan duga prayoga. Hal-hal tersebut yang kemudian membentuk
terjadinya unggah-ungguh basa dan beragam tuturan yang berkembang
dalam kehidupan sehari-hari (Djatun, 2011:14).
Cerminan karakter manusia Jawa juga tergambar melalui sifat air.
Karakter tersebut diantaranya bersih dan jernih yang melambangkan
kebersihan hati, kejernihan pikiran, serta kejujuran. Aliran air yang tidak
selalu lurus menggambarkan bahwa manusia Jawa memiliki karakter yang
luwes, kreatif, mudah beradaptasi, dan tidak mudah putus asa. Air juga
memiliki sifat selalu mengalir dari atas ke bawah. Hal tersebut
melambangkan sifat manusia yang memiliki sopan santun serta kerendahan
hati (Widodo, 2011:188). Kerendahan hati dan sopan santun juga nampak
pada tutur kata serta cara berbicara orang Jawa. Sifat tersebut dipersepsi
masyarakat sebagai sifat khas masyarakat Jawa, karena masyarakat Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
beranggapan bahwa sifat rendah hati merupakan sifat manusia yang luhur
(Djatun, 2011:16).
Sikap hidup manusia Jawa yang juga sangat jelas terwujud adalah etis,
estetis, spiritualis, taat pada adat-istiadat warisan leluhur, serta selalu
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya
(Herusatoto, 2008:130).
Perda Provinsi Jawa Tengah no. 9 tahun 2012, bab IV, pasal 7, poin c
menjelaskan bahwa fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa salah satunya
adalah sebagai sarana pembentuk kepribadian dan peneguh jati diri suatu
masyarakat di daerah. Bahasa Jawa yang penuh dengan lambang
tersembunyi dalam kiasan, harus dibahas dan dikupas secara mendalam
sehingga dapat menangkap makna sebenarnya yang tersembunyi
(Herusatoto, 2008:137). Hal tersebut akan semakin memperkuat dan
mempertegas karakter Jawa seorang manusia Jawa melalui media naskah.
C. Kerangka Berpikir
Naskah Jawa carik merupakan salah satu produk kebudayaan Jawa.
Dalam berbagai jenis naskah yang ada, terdapat salah satu naskah yang diambil
untuk menjadi objek kajian penelitian yaitu Sêrat Safingi. Pengajaran Bahasa
Jawa juga merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Jawa. Dengan
mengajarkan Bahasa Jawa, sama halnya dengan ikut melestarikan dan
menghidupkan kebudayaan Jawa yang adi luhung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Sêrat Safingi yang pada penelitian sebelumnya telah melalui proses
deskripsi naskah dan kritik teks, pada penelitian ini langsung dilakukan
pengkajian dengan menggunakan pendekatan semiotik. Dengan pendekatan
tersebut, kemudian dicari simbol-simbol atau tanda-tanda beserta maknanya yang
terdapat di dalam naskah.
Langkah awal penelitian yaitu menerapkan pendekatan semiotik untuk
mencari simbol-simbol yang sesuai dengan teori Herusatoto untuk dapat
dilakukan pengkajian lebih lanjut. Kemudian naskah dipilah berdasarkan bait-bait
dalam pupuh atau episode maupun bagian-bagiannya untuk dipilih dan
diidentifikasi nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung di dalam Sêrat
Safingi. Selanjutnya pupuh-pupuh tersebut dianalisis secara mendalam untuk
mencari nilai pendidikan karakter Jawa sesuai dengan karakter Jawa yang tersurat
dalam Sêrat Safingi, untuk kemudian dibahas dengan menggunakan konsep dasar
pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara. Setelah ditemukan nilai-nilai
pendidikan karakter di dalam Sêrat Safingi, langkah selanjutnya adalah mencari
relevansi mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dalam naskah dengan
pengajaran Bahasa Jawa baik pada tingkat SMP, maupun SMA. Ketiga hal
tersebut kemudian dihubungkan dengan pengajaran Bahasa Jawa. Dalam
pengajaran Bahasa Jawa yang menjadi acuan utama guru berasal dari standar
kompetensi yang terdapat di dalam silabus pembelajaran. Selain hal tersebut
pengajaran Bahasa Jawa juga mengacu pada fungsi dan tujuan pembelajaran
Bahasa Jawa khususnya pada kompetensi inti sikap religius dan sikap sosial.
Untuk selanjutnya, pengajaran Bahasa Jawa dihubungkan kembali dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
kebudayaan Jawa, dimana pengajaran Bahasa Jawa termasuk di dalamnya dan
menjadi bagian yang penting sebagai salah satu upaya pelestarian budaya Jawa.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan dan memperkenalkan
kebudayaan Jawa kepada genarasi muda dalam hal ini adalah siswa.
Gambaran singkat untuk memperjelas konsep pemikiran tersebut, maka
dibuat bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut.
Pendekatan Semiotik
Bagan 2. Kerangka Berpikir
Kebudayaan
Jawa
Sêrat Safingi Nilai Pendidikan Karakter Jawa
Relevansi
Simbol
Pengajaran
Bahasa Jawa
Fungsi dan
Tujuan
Pembelajaran
Bahasa Jawa
top related