mekanisme survival masyarakat pinggiran kota (studi pada
Post on 08-Nov-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Mekanisme survival masyarakat pinggiran kota
(studi pada petani di Kelurahan Made, Kota Surabaya)
Sudarso Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Abstrak
Petani merupakakan jenis pekerjaan yang tidak lazim di Kota, terlebih Surabaya yang
terkenal sebagai kota metropolis menjadi bias dengan masih adanya daerah yang sangat
mempertahankan kondisinya dengan sawah dan para petani yang masih konsisten memilih
jalur ini sebagai pertahanan hidup. Tulisan artikel ini berasal dari hasil penelitian yang
bertujuan utuk menjawab permasalahan tentang mekanisme survival petani di daerah
pinggiran kota Surabaya. Penggalian data primer dilakukan pada 50 petani di Kelurahan
Made Kota Surabaya.. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang tidak hanya bertumpu pada
data-data kuantitatif lewat kuesioner, tetapi juga menjaring data-data kualitatif lewat
pedoman wawancara (indepth interview) dengan melakukan wawancara pada para nara
sumber. Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak mengurangi tekanan
kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di
kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa
selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah
penghematan atau pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau
melakukan diversifikasi usaha. (belum ada memuat latar belakang masalah, tujuan penulisan,
abstrak harus 150 – 200 kata)
Kata kunci: Petani, Mekanisme survival, Kota
Latar Belakang
Surabaya sebagai kota metropolis di Indonesia, sekarang dipenuhi gedung-gedung
perkantoran yang menjulang dan perumahan-perumahan elit sebagai pertanda berdenyutnya
investasi disegala sektor. Sehingga kepadatan Surabaya tidak perlu ditanyakan lagi.
Daerah pinggiran kota selalu kurang adanya perhatian dari pemerintah yang hanya
memfokuskan pada Surabaya Pusat dan sekitarnya. Surabaya Barat sangat minim dapat
perhatian dari pemerintah sehingga masyarakat di daerah pinggiran kota ini sangat
memperihatinkan. Mayoritas masyarakat daerah pinggiran kota mengeluh dengan keadaan
yang ada saat ini. Salah satunya adalah kelurahan Made yang sebagian besar penduduknya
masih bekerja sebagai petani namun tetap berada pada lingkup kota metropolitan. Pekerjaan
sebagai petani untuk di kota yang sebesar ini bukan merupakan suatu yang lazim dipandang
masyarakat kota itu sendiri, terlebih Surabaya yang terkenal sebagai kota metropolis menjadi
bias dengan masih adanya daerah yang sangat mempertahankan kondisinya dengan sawah
dan para petani yang masih konsisten memilih jalur ini sebagai pertahanan hidup mereka.
Sedangkan lahan pertanian semakin hilang dari kota Surabaya dari tahun ke tahun. Dinas
Pertanian kota Surabaya pun mengungkapkan dari 1.634 ha lahan pertanian yang tersisa di
kota Surabaya, 60 persen diantaranya telah dikuasai pihak swasta dalam hal ini para
2
pengembang. Kepala Seksi Tanaman Pangan dan Hotikultura Dinas Pertanian (Distan) kota
Surabaya, Bagas Swadaya mengungkapkan para Pengembang telah menguasai lahan
pertanian tersebut. Lahan pertanian produktif di Surabaya, kata dia, saat ini hanya tersisa di
wilayah Surabaya Barat, Timur dan Selatan. (Farocha, 2014)
Kepala Distan Kota Surabaya Sigit Sugiharsono memperkirakan, lahan pertanian di Surabaya
akan habis dalam 15 tahun mendatang. Pasalnya, pengembang terus melakukan
pembangunan perumahan-perumahan baru. Baik yang menyasar kelas menengah atas
maupun menengah bawah. Saat ini, lahan pertanian yang tersisa, sebagian sudah dikuasai
pengembang. Lahan tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diubah menjadi perumahan.
(Lukman Hakim, 2014)
Dari data Distan, Petani hanya menguasai 40 persen dari lahan pertanian produktif di kota
Surabaya. Meskipun demikian sebagian besar lahan yang sudah dikuasai tersebut masih
dikelola para petani untuk bertani. Hal itu dikarenakan para pengembang yang telah membeli
lahan pertanian produktif sejak lama belum memanfaatkan lahan tersebut untuk
pembangunan. Para pengembang membeli lahan pertanian itu untuk investasi, sehingga
banyak lahan pertanian yang masih dipakai Petani meskipun hanya sebatas sewa. (Abdul
Hakim, 2014)
Namun, di tengah modernisasi kota dan menyempitnya lahan pertanian, sektor pertanian di
Surabaya nyatanya masih bisa hidup, bahkan untuk menghidupi warganya. Adalah warga di
Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, yang berhasil menjalankan konsep bertani di
perkotaan dengan memaksimalkan lahan sawah yang tersisa dan pekarangan. Sejak tahun
2009 , sejumlah hasil pertanian seperti tomat, sawi, cabai, pare dan juga melon dipanen oleh
kelompok tani (Poktan) di Kelurahan Made. Selain tomat dan melon yang ditanam di lahan
persawahan, banyak petani di Made yang juga memanfaatkan lahanpekarangannya untuk
bertanam sawi, kangkung, bayam, kacang panjang, pare. Pemakaian lahan pekarangan untuk
pertanian (urban farming) itu sudah dimulai warga di Made sejak beberapa tahun silam. Sejak
tahun 2009 silam, Pemkot Surabaya membuat terobosan untuk memanfaatkan pekarangan
dengan konsep urban farming (pertanian perkotaan). Percontohannya ada di Kelurahan Made
yang memang punya sejarah sebagai daerah pertanian. Hasil pertanian para petani Kelurahan
Made sudah dipasarkan ke luar propinsi, bahkan hingga ke luar Jawa. (Abdul hakim,2014)
Selama ini, masa panen petani di Made hanyalah ketika curah hujan cukup. Namun, ketika
musim kemarau panjang, petani sulit memanen karena tanaman kekurangan air. Distan juga
akan menggandeng Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk tahu
analisa detail tentang perkiraan kapan musim hujan tahun depan dimulai. (Abdul Hakim,
2014).
Kehidupan di kelurahan Made yang masih bernuansa pedesaan, yang sebagian wajahnya
masih berupa lahan pertanian, muali berhadapan dengan semakin pesatnya pembangunan
yang sudah merambah daerah pinggiran kota Surabaya, seperti perumahan kelas menengah
atas, perkantoran, lembaga pendidikan internasional, dan tempat bisnis (ruko). Keadaan ini
membuat para petani kota di Kelurahan Made harus berjuang untuk mengelola lahan
pertaniannya yang semakin menyempit. Problem mekanisme survival itulah yang menarik
peneliti untuk mengkajinya
Tinjauan Pustaka
3
Sudah banyak dikaji para ahli, ketika terjadi over urbanization dan ketika spasial di kota-kota
besar terasa semakin sesak, maka pada saat itu pula banyak problem mulai bermunculan —
terutama masalah pertanahan. Banyak orang memburu tanah bukan sekadar untuk dijadikan
tempat tinggal atau permukiman. Namun, tanah seolah-olah telah menjadi semacam barang
dagangan dan dianggap sebagai sumber rejeki yang paling menguntungkan. Di daerah-daerah
pusat industri, perdagangan, dan permukiman elit, atau daerah-daerah strategis lainnya harga
tanah umumnya terus melonjak dan semakin tidak terkendali karena kebutuhan akan tanah
dari hari ke hari semakin tinggi.
Penyerahan harga dan peruntukan tanah kepada mekanisme pasar adalah salah satu faktor
yang membuat masalah pertanahan kota semakin runyam (McAuslan, 1986). Kompetisi yang
bebas di mana semua orang bisa terlibat dalam bisnis tanah sering membawa akibat
pelaksanaan rencana dan tata ruang menjadi semakin sulit dijalankan. Di samping itu,
kemampuan pemerintah dalam mengelola tanah kota atau untuk membangun fasilitas publik
juga menjadi kian terbatas.
Pihak yang menjadi penentu arah perkembangan dan pemanfaatan ruang kota sering adalah
kekuatan komersial atau setidak-tidaknya suara kekuatan swasta acapkali dominan
mempengaruhi kekuatan kelembagaan dalam menyusun berbagai kebijakan pembangunan
kota (Firman, 1991). Sementara itu, kekuatan massa —terutama kelompok marjinal kota—
acapkali menjadi pihak yang sama sekali tidak diperhitungkan dalam pengaturan dan
pembagian spasial tata ruang kota.
Selama ini di wilayah perkotaan kesempatan golongan miskin untuk memperoleh akses tanah
umumnya cenderung semakin terbatas, dan bahkan dalam banyak hal nyaris tidak ada. Sering
terjadi, warga kota golongan menengah ke bawah semakin tersisih dari hasil pembangunan
kota dan tersuksesi ke daerah-daerah pinggiran atau permukiman kumuh. Yang dimaksud
dengan suksesi adalah proses tergantikannya penduduk asli oleh penduduk pendatang (Nas,
1984). Di kota-kota di Negara Sedang Berkembang sering terjadi suksesi berarti terdesaknya
penduduk kota yang miskin oleh penduduk kota lain yang secara sosial-ekonomi lebih
mampu.
Evers (1982) mencatat kecenderungan yang biasa terjadi di kota-kota besar Negara Sedang
Berkembang adalah kota meluas ke arah pinggiran, pertama kali yang terjadi adalah
pembagian tanah-tanah yang luas. Namun, kemudian terjadi periode singkat pengumpulan
kembali ketika para pembangun kota memborong tanah untuk perumahan. Akibatnya —
menurut Wolfe— terjadi banyak sekali pemilikan tanah kecil, sementara pengumpulan
kembali hanya terjadi sementara. Evers (1982) juga menyatakan bahwa tekanan atas tanah
kota yang sedemikian meningkat, tidak hanya disebabkan olah adanya pertambahan
penduduk, tetapi juga olah karena kurangnya alternatif terhadap kesempatan penanaman
modal. Harga tanah bergerak secara spiral, dan kota-kota Dunia Ketiga dilanda gelombang
spekulasi —segera setelah terjadi perkembangan ekonomi.
Yang menjadi persoalan, sering terjadi bersamaan dengan munculnya gelombang spekulasi
adalah hak rakyat atas tanah lalu menjadi terlupakan dan bahkan dalam banyak seolah
disisihkan begitu saja. Di berbagai kota besar, setiap orang bisa dengan mudah melihat
adanya tanah-tanah kosong yang dibiarkan terlantar begitu saja. Masalahnya bukan karena si
pemilik tanah tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun. Tetapi, karena tanah
tersebut memang hanya sekedar dijadikan barang dagangan dan spekulatif saja untuk suatu
saat dijual kembali bisa harga dirasa sudah benar-benar menguntungkan (McAuslan, 1986).
4
Tanah-tanah pertanian di daerah pinggiran kota, akibat ulah spekulan tanah lambat-laun juga
mulai menghilang dan sebagai gantinya muncul pusat-pusat industri atau kompleks-kompleks
perumahan mewah. Penelitian yang dilakukan Siahaan (1987) mencatat bahwa seiring
dengan proses perkembangan kota (Surabaya) menjadi metropolis, yang terjadi tidak cuma
berubahnya fungsi tanah di daerah pinggiran kota, tetapi juga menyebabkan terjadinya
pergeseran okupasi penduduk warga pinggiran kota dari sektor pertanian ke sektor non-
pertanian.
Dari sudut manapun kita melihat, kenyataan seperti di atas tentu merupakan hal yang ironis.
Di satu sisi pembebasan lahan di lakukan secara besar-besaran di berbagai daerah strategis,
tetapi tidak segera diikuti dengan aktivitas pembangunan sehingga banyak ditemui kantong-
kantong lahan yang terlantar. Sementara itu, di sisi lain terdapat jutaan penduduk hidup
berdesak-desakan di rumah-rumah sempit, jauh dari pelayanan pusat kesehatan, dan acapkali
terancam dan menjadi korban penggusuran. Gejala seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut
bukan tidak mungkin akan menyebabkan timbulnya kecemburuan dan keresahan sosial di
kalangan masyarakat.
Kota yang terlalu ambisius mengejar status metropolis, seperti dikatakan J.E. Goldthorpe
(1988) akan "tumbuh tanpa perasaan" dan cenderung hanya melahirkan proses marginalisasi
dan alienasi bagi warganya, khususnya yang berasal dari golongan masyarakat rentan. Benar
di satu sisi kota-kota besar tumbuh makin gemerlap, megah, dan sesuai dengan paradigma
modernisasi yang disepakati oleh kebanyakan para perencana pembangunan di negara sedang
berkembang. Namun, di saat yang bersamaan hak-hak warga kota yang miskin —khususnya
hak pemilikan tanah— ternyata justru ditelikung, dan bahkan dengan berbagai alasan mereka
seolah-olah diperlakukan seperti pendatang haram yang hanya menodai kebersihan dan
kemajuan perkembangan kota itu sendiri. Penggusuran, operasi penertiban, dan sejenisnya
adalah fenomena sehari-hari yang dengan mudah kita jumpai di kota-kota besar.
Mekanisme survival
Scott dalam teori ini mengulas mengenai teori mekanisme survival di kalangan petani. Scott
menjelaskan bahwa keluarga petani harus dapat bertahan melalui-tahun tahun dimana hasil
bersih panennya atau sumber-sumber lainnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pokoknya. Maka mereka dapat mengikat sabuk mereka lebih kencang lagi dengan
makan hanya sekali dalam sehari dan beralih ke makanan dengan mutu rendah. (Scott,1989)
Di kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis, kekhawatiran akan mengalami
kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan sebagai ―Etika
Subsistensi‖. Etika yang terdapat di kalangan petani Asia Tenggara ini, ternyata juga terdapat
di kalangan rekan-rekan mereka di Prancis, Rusia dan Italia di abad ke 19. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari suatu kehidupan yang begitu dekat dengan garis baris.
Keharusan memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga, yang mengatasi segala-galanya,
seringkali memaksa petani tidak saja menjual dengan harga berapa saja asal laku, akan tetapi
juga membayar lebih jika membeli atau menyewa tanah, lebih besar dari apa yang lazim
menurut kriteria investasi kapitalis. Seorang petani yang kekurangan tanah, yang mempunyai
keluarga besar dan tak dapat menambah penghasilannya dengan melakukan pekerjaan-
pekerjaan lain, seringkali berani membayar harga yang sangat tinggi untuk tanah, atau
―hunger rents‖ menurut istilah Chayanov, selama tambahan tanah itu dapat menambah isi
5
priuk nasi dengan berapa saja. Sesungguhnya, semakin kecil lahan yang dimiliki satu
keluarga, semakin besar keluarga itu akan berani membayar untuk sebidang lahan tambahan
(Scott,1989)
Dengan demikian, teori mikro ekonomi dapat menjelaskan swa-pacal sebagaimana yang telah
diamati oleh Chayanov itu. Juga fenomena hunger-rent kiranya dapat dijelaskan dengan cara
yang sama. Semakin besar keluarga (lebih banyak mulut yang harus diberi makan dan lebih
banyak tangan yang untuk bekerja), makin besar produk marginal dari setiap tambahan lahan
dan karenanya makin besar pula sewa maksimum yang keluarga itu berani membayar.
Karena tingkat kesempatan yang mendekati nol dan arena keharusan untuk mencapai
subsistensi yang memadai, maka rumah tangga petani akan bersedia bekerja untuk upah-upah
yang sangat rendah.
Bagi mereka yang hidup dekat dengan subsistensi, akibat dari suatu kegagalan adalah begitu
rupa, sehingga mereka lebih mengutamakan apa yang dianggap aman dan yang diandalkan
dari pada keuntungan yang diperoleh dalam jangka panjang. Banyak hal yang kelihatannya
ganjil dari perilaku ekonomi petani bersumber pada kenyataan bahwa perjuangan untuk
memperoleh hasil yang minimum basi subsistensi berlangsung konteks kekurangan tanah,
modal dan lapangan kerja di luar. Sebagaimana telah ditunjuk oleh A.V Chayanov dalam
studinya yang klasik tentang petani di Rusia, konteks yang berbatasani itu kadang-kadang
memakan petani untuk melakukan pilihan yang tak masuk akal jika dilihat dari ketentuan-
ketentuan pembukuan yang lazim (Scott, 1989)
Oleh karena tenaga kerja seringkali merupakan satu-satunya faktor produksi petani yang
relatif melimpah, maka pastinya ia akan melakukana kegiantan yang membutuhkan tenaga
kerja yang banyak dengan hasil yang sangat kecl, sehingga kebutuhan subsistensinya
terpenuhi. Suatu panen yang buruk itu berarti bukan hanya kurang makan, untuk tetap makan
orang tersebut mungkin harus melakukan berbagai cara walau dia harus menjual tanah
ataupun ternaknya, sehinnga diharapkan akan memperkecil kemungkinan baginya mencapai
batas subsistensi di tahun berikutnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh petani dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh petani
tersebut itulah yang kita kenal dengfan prinsip ―safety first‖ atau dahulukan selamat. Dalam
prinsip ―dahulukan selamat‖ atau ―menghindari resiko‖ ini banyak dari para ahli ekonomi
belajar dari petani berpenghasilan rendah dari dunia ke tiga (asia tenggara) yang merupakan
salah satu karya terpenting tentang pertanian subsistensi yang menunjukkan tentang adanya
penyesuaian pokok mengenai prinsip-prinsip tersebut.
Sikap-sikap terhadap kekurangan pangan menentukan sikap rakyat terhadap semua hal
lainnya: pemerintah, daerah pedesaan, hidup dan mati, kehilangan hal yang berharga,
moralitas, kebanggaan, kenistaan, harga diri. Ia merupaka tema sentral dari segala bentuk
pengungkapan rakyat. Begitu pula rakyat biasa tidak hidup dalam mitos dan kekuatan panik;
karena dalam kenyataannya kekurangan dan kelaparan merupakan ancaman tunggal terbesar
bagi eksistensi mereka (Scott, 1989)
Dalam keadaan yang krisis, untuk tetap bisa mempertahankan subsistensinya, para petani
harus memiliki strategi untuk mempertahankannya, strategi tersebut dalam Scott (1983)
dinamakan dengan mekanisme survival, terdapat 3 mekanisme survival:
1. Menggunakan relasi atau jaringan sosial
6
Meminta bantuan dari relasi atau jaringan sosial seperti sanak saudara, kawan-kawan
sedesa, atau memanfaatkan hubungan dengan pelindungnya (patron)/ memanfaatkan
hubungan patronase, dimana ikatan patron dan klien merupakan salah satu bentuk
asuransi dikalangan petani
2. Alternatif subsistensi
Menggunakan alternatif subsisten yaitu swadaya yang mencakup kegiatan seperti
berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, sebagai buruh lepas, atau melakukan
migrasi untuk mencari pekerjaan. Cara ini dapat melibatkan seluruh sumber daya
yang ada di dalam rumah tangga miskin, terutama istri sebagai pencari nafkah
tambahan bagi suami.
3. Mengikat sabuk lebih kencang
Mengurangi pengeluaran untuk pangan dengan jalan makan hanya sekali sehari dan
beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah, seperti beralih makan jewawut atau
umbi-umbian.
Beberapa penelitian yang dilakukan di pedesaan Jawa Timur memperlihatkan beberapa cara
yang di kembangkan oleh petani dalam menghadapi persoalan perekonomiannya, tanpa harus
berpindah tempat (Suyanto,1996), yaitu dengan cara :
1. Mengencangkan ikat pinggang dengan menyederhanakan menu makanan sehari-hari.
Yang dimaksud menyederhanakan disini adalah bentuk pengurangan anggaran belanja
harian terutama untuk makan dan pengurangan uang jajan untuk anak dan orang tua,
atau kembali ke pola subsistem, yaitu mencari lauk pauk makanan dari bahan-bahan
tanaman disekitar yang tidak harus membeli.
2. Mencari sumber alternatif yang sekiranya bisa memberikan pendapatan meski
mungkin hasil yang di peroleh tidak begitu besar.
3. Mengerahkan anggota keluarga yang ada untuk melakukan diversifikasi usaha,
anggota keluarga yang umumnya sering menjadi alternatif tempat bergantung adalah
kaum ibu dan anak yang dirasa sudah cukup umur.
4. Meminta bantuan pada sistim penunjang yang ada di sekitarnya, khususnya dengan
cara meminta tolong kepada orang tua, anak atau teman. Bentuk hubungan patron dan
rasa solidaritas yang masih relatif kuat adalah pranata sosial setempat yang masih
banyak membantu proses adaptasi keluarga petani dalam mengantisipasi tekanan
ekonomi yang menimpanya.
Metode Penelitian.
Kegiatan ini pada dasarnya bermaksud mengkaji situasi problematik dan mekanisme survival
yang dihadapi Petani di perkotaan di Surabaya. Populasi penelitian ini adalah petani yang
tinggal di wilayah perkotaan di Surabaya. Sebagai sampel lokasi penelitian, dalam penelitian
ini secara purposive telah dipilih di Kelurahan Made.
Untuk memperoleh masukan dan data yang akurat, dalam kegiatan ini bahan-bahan yang
dibutuhkan menurut rencana akan dikumpulkan melalui empat cara, yakni:
Pertama, mengkaji dan menganilisis data sekunder mengenai kondisi petani di wilayah kota
besar. Data sekunder yang dibutuhkan dicari dari BPS, survei-survei lokal, dan data dari
berbagai Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian lainnya.
Kedua, melakukan review terhadap hasil-hasil studi mengenai petanidi perkotaan yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Review ini penting dilakukan untuk pembanding
7
sekaligus kerangka acuan dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dari
penelitian di lapangan.
Ketiga, melakukan penggalian data primer ke lapangan untuk memperoleh gambaran yang
valid dan akurat mengenai kondisi kemiskinan di perkotaan, kadar kerentanan dan kehidupan
sehari-hari keluarga miskin di kota di kota yang menjadi sampel lokasi penelitian. Sejumlah
persoalan akan dicoba digali dari keluarga miskin di perkotaan ini selain tentang tekanan
kemiskinan dan kelangsungan hidupnya, juga mekanisme survival yang dikembangkan
keluarga miskin di perkotaan di Provinsi Jawa Timur. Dalam penelitian ini, jumlah responden
yang diwawancarai sebanyak 50 petani yang tinggal di kelurahan Made.
Keempat, melakukan wawancara mendalam (indepth interview) pada 5 nara sumber tentang
situasi problematik yang dihadapi petani di perkotaan, kohesi sosial mereka, dan potensi-
potensi yang mereka miliki. Wawancara mendalam ini penting dilakukan untuk menggali
lebih jauh tentang kondisi dan keberadaan masyarakat petani di perkotaan dan kendala-
kendala yang dihadapi dalam upaya melangsungkan kehidupannya.
Seluruh data yang berhasil dikumpulkan, setelah melalui proses editing dan klasifikasi
kemudian akan dicoba dianalisis dan diinterpretasi. Di akhir laporan, selain ditampilkan
kesimpulan atau temuan pokok studi berupa kondisi petani di Kota Surabaya.
Temuan dan Analisis Data
Di wilayah perkotaan, kemiskinan sesungguhnya adalah sebuah fenomena sosial yang
kontradiktif. Di balik pertumbuhan kota-kota besar yang makin gigantis dan berkembang
menjadi daerah industri yang meraksasa, ternyata acapkali terselip kehidupan masyarakat
yang termarginalisasi dan miskin akibat tak mampu bersaing dalam kerasnya kehidupan kota.
Di sela-sela gedung yang menjulang dan perkembangan berbagai pusat perbelanjaan super
mewah, ternyata di sana dengan mudah ditemui rumah-rumah petak, permukiman liar, dan
bahkan rumah-rumah kardus yang dihuni petani kota.
Yang termasuk petani kota ini, mereka bukan hanya kaum migran yang berasal dari desa,
tetapi tidak sedikit yang menderita kemiskinan di kota adalah penduduk asli setempat yang
sejak awal sebelum kota berkembang sudah tergolong miskin, berpendidikan rendah dan
tidak memiliki keahlian yang berguna dalam kegiatan industri, sehingga mereka tersingkir
dari kegiatan perekonomian perkotaan karena ketidakmampuan mereka turut berpartisipasi
dan memanfaatkannya (Suparlan, 2004).
Petani kota cenderung hidup di perkampungan kumuh, dan bahkan sebagian di antaranya
hidup di permukiman liar atau di zone-zone publik, akibat tidak lagi memiliki aset produksi
yang dapat diandalkan untuk menopang kelangsungan kehidupannya. Sebagian besar petani
kota biasanya menjadi pekerja upahan di pabrik-pabrik atau pusat-pusat kegiatan
perdagangan dan jasa, menjadi pedagang kecil atau penjual jasa di sektor informal, dan
bahkan terkadang ada di antara mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pelacuran,
perjudian dan berbagai tindak kejahatan, baik perorangan atau kelompok.
Bagi petani kota, salah satu problema mendasar yang harus dihadapi adalah bagaimana
mereka dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya di tengah kondisi masyarakat dan
ekonomi perkotaan yang kian tidak ramah. Ketika pemerintah memutuskan menaikkan harga
BBM yang kemudian melahirkan efek domino berupa kenaikan harga kebutuhan pokok
8
sehari-hari, bagi petani kota ibaratnya adalah pukulan susulan yang benar-benar mematikan.
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin petani kota itu mampu bertahan hidup pasca kenaikan
harga BBM, sementara dalam kondisi normal sekali pun mereka sebenarnya seringkali harus
bekerja ekstra untuk melakukan berbagai langkah penghematan?
Dalam bab ini, selain dipaparkan tentang profil sosial-ekonomi petani kota, termasuk kadar
kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian dan kesehatannya, juga sekaligus diuraikan
secara mendalam tentang mekanisme survival yang dikembangkan petani kota dalam
menyiasati berbagai tekanan, serta perkembangan kohesi sosial di antara sesama petani kota
itu sendiri.
Profil Sosial Petani Kota
Yang disebut petani di kota sebetulnya tidak berbeda dengan petani di pedesaan.
Karakteristik yang menandai petani kota adalah mereka umumnya tidak atau kurang
berpendidikan, dan secara ekonomi cenderung rentan atau rapuh. Kendati secara
administratif, status mereka adalah bagian sah dari warga kota, dan bukan migran, tetapi
dalam kehidupan sehari-hari kadar kerentanan dan kondisi ekonomi petani kota umumnya
tidak jauh berbeda dengan migran.
Dari 50 petani kota yang diwawancarai, 82,5% mengaku hanya berpendidikan setara Sekolah
Dasar, dan bahkan 15% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku
sekolah. Tidak ada satu pun responden yang lulusan Perguruan Tinggi. Hanya 1%
berpendidikan SMA, dan 1,5% berpendidikan setara SMP.
Bagi petani kota, melanjutkan pendidikan hingga bangku kuliah memang merupakan barang
mewah. Dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, memang sulit bagi anak-anak dari
keluarga miskin di kota dapat melanjutkan pendidikan hingga jenjang PT. Kebanyakan, anak-
anak dari keluarga miskin hanya lulus SD, kemudian putus sekolah. Dalam usia dini, sudah
lazim anak-anak dari keluarga miskin di perkotaan mulai berlatih bekerja, baik sekadar
membantu orang tuanya atau bekerja di sektor publik: menjadi anak jalanan, berjualan koran,
atau masuk ke sektor-sektor informal lain yang seharusnya tidak diperuntukan bagi anak-
anak di bawah umur.
Sebagian besar responden yang diwawancarai dalam kegiatan ini berjenis kelamin laki-laki
(70,6%), dan sekitar sepertiga berjenis kelamin perempuan (29,4%). Usia responden berkisar
antara 17 tahun hingga 63 tahun. Mayoritas responden berusia sekitar 30-39 tahun (51,1%)
dan 40-49 tahun (30,3%). Dengan kata lain, hampir semua responden merupakan tenaga kerja
dalam usia produktif. Semua responden sudah menikah, tetapi tidak semua saat diwawancarai
telah memiliki anak.
Dari 50 responden yang diwawancarai, 3% responden mengaku hingga saat ini belum
memiliki anak. Namun, sebagian besar responden umumnya telah memiliki anak lebih dari 2
orang. Sebanyak 29,8% responden mengaku memiliki anak 3 orang, dan bahkan 25%
responden mengaku memiliki anak 5 orang atau lebih. Sebanyak 8% responden memiliki
anak 4 orang. Sementara itu, sebanyak 20,3% responden memiliki anak 2 orang, dan 14%
memiliki anak 1 orang.
Di atas kertas, makin banyak anak yang dimiliki tentu secara ekonomi beban yang harus
ditanggung keluarga petani di kota akan makin berat, terutama pada saat anak masih berusia
9
balita atau belum genap 10 tahun. Tetapi, bagi keluarga miskin makin banyak anak yang
dimiliki terkadang justru menjadi sumber penghasilan alternatif bagi keluarga yang
menguntungkan. Sudah lazim terjadi, anak-anak dari keluarga miskin di perkotaan sejak usia
dini telah terlatih untuk ikut bekerja. Daripada bersekolah, anak-anak dari keluarga miskin di
kota umumnya lebih memilih putus sekolah dan sesegera mungkin mencari kerja yang dapat
menghasilkan uang.
Pekerjaan yang ditekuni petani kota umumnya di sektor informal (38%), di industri kecil
(15,5%), pedagang tradisional (11%) atau berwiraswasta kecil-kecilan (13%), seperti
membuka warung atau menjual makanan. Dari 50 responden yang diwawancarai, 15,5%
bekerja sebagai petani dan 7% bekerja sebagai nelayan tradisional. Bagi petani di kota yang
tinggal di daerah pinggiran, sebagian dari mereka bekerja sebagai petani atau nelayan. Meski
luas lahan yang digarap tidak seluas lahan petani di pedesaan, tetapi bagi petani kota
bagaimana pun hasilnya dirasa cukup menguntungkan, minimal dapat dipakai untuk
membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara subsisten. Seorang nelayan miskin
yang tinggal kawasan pesisir Kota Surabaya, misalnya, mereka mengaku bekerja sebagai
nelayan memang hasilnya tidak menentu, tetapi paling-tidak sebagian ikan hasil tangkapan
mereka dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi setiap harinya. Bagi
keluarga miskin, mengurangi pengeluaran dengan cara hidup subsisten atau semi subsisten,
sedikit-banyak membantu mereka tidak terlalu cepat masuk dalam perangkap utang yang
menjejas.
Apakah petani kota memiliki pekerjaan sampingan? Kalau berbicara di atas kertas, bagi
keluarga petani yang berpenghasilan pas-pasan atau bahkan mungkin kekurangan, sudah
seharusnya mereka berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Tetapi, di tengah keterbatasan kemampuan yang dimiliki dan waktu yang juga terbatas,
sesungguhnya tidak banyak hal yang dapat dilakukan responden.
Dari 50 petani yang diwawancarai, separuh lebih responden (58%) mengaku tidak memiliki
pekerjaan sampingan. Hanya 19,9% responden yang mengaku memiliki pekerjaan sampingan
yang sifatnya tetap. Sementara itu, sebanyak 22,1% responden memiliki pekerjaan
sampingan, hanya saja sifatnya tidak tetap alias insidentil. Seorang tukang becak, misalnya,
pada saat-saat tertentu mereka terkadang memang dimintai bantuan warga yang lain untuk
membersihkan rumah atau membuat sesuatu. Sepanjang hasilnya menguntungkan, biasanya
mereka selalu bersedia melakukan. Namun demikian, kesempatan seperti itu biasanya tidak
selalu datang setiap hari, sehingga hasilnya pun tidak terlalu bisa diharapkan.
Dengan kemampuan dan keahlian yang serba terbatas, harus diakui memang tidak banyak
pilihan yang dapat dikembangkan petani kota untuk mencari pekerjaan alternatif. Dari hasil
wawancara diketahui bahwa sebagian besar petani kota umumnya tidak banyak menguasai
ragam ketrampilan alternatif yang dapat dipakai untuk melakukan deversifikasi usaha atau
mencari pekerjaan sampingan. Ketrampilan di bidang pertukangan, misalnya, hanya 19,4%
responden yang menguasai, sementara sebagian besar responden (80,6%) menyatakan tidak
menguasainya. Demikian pula, ketrampilan di bidang kerajinan dan industri kecil, hanya
21,4% responden yang mengaku menguasainya. Sebagian besar petani kota (77,5%)
umumnya juga tidak bisa mengemudi kendaraan roda empat, sehingga peluang mereka untuk
bekerja sebagai driver nyaris mustahil. Yang agak mendingan adalah ketrampilan responden
di bidang buruh bangunan. Sebanyak 49,7% responden mengaku memiliki dan menguasai
ketrampilan di bidang buruh bangunan. Namun demikian, di tengah lesunya kondisi
10
perekonomian dan bisnis properti, maka kesempatan untuk bekerja sebagai buruh bangunan
umumnya sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada.
Saat ini, upaya realistis yang banyak dikembangkan petani kota untuk bertahan hidup adalah
berusaha memperkecil rasio ketergantungan dengan cara seluruh anggota keluarga sejauh
memungkinkan akan berusaha bekerja dan mencari sumber-sumber penghasilan alternatif
yang dapat memperkuat tiang penyangga ekonomi keluarga.
Dari 50 petani kota yang diteliti, hampir semua (85%) menyatakan bahwa ayah sebagai
Kepala Keluarga umumnya bekerja dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga.
Sementara itu, sebanyak 34,5% responden menyatakan bahwa salah satu sumber penghasilan
ekonomi alternatif keluarga adalah ibu, dan 11,2% responden mengaku anak-anak mereka
yang sudah cukup umur juga telah ikut membantu orang tua dengan bekerja dan mencari
uang sendiri.
Di kalangan keluarga miskin di kota, tidak jarang terjadi penghasilan yang diperoleh ibu dan
anak terkadang lebih besar daripada penghasilan ayah. Bahkan, ketika harga BBM naik dan
sebagian Kepala Keluarga pendapatannya kecil, ternyata yang mampu menopang
kelangsungan hidup keluarga adalah sosok ibu dan anak.
Kondisi Ekonomi Petani Kota
Petani yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar termasuk Keluarga Sejahtera I
(77,5%) dan sebanyak 22,5% termasuk Keluarga Pra-Sejahtera. Kendati sebagian termasuk
miskin absolut, dan sebagian yang lain tergolong near poor, tetapi dalam kenyataan kondisi
ekonomi petani di kota sesungguhnya sama-sama rentan.
Secara empirik, banyak bukti memperlihatkan bahwa naiknya penduduk di atas garis
kemiskinan tidak otomatis berarti penduduk tersebut hidupnya benar-benar bebas dari
ancaman dan perangkap kemiskinan, melainkan penduduk tersebut sebenarnya hanya
berpindah dari satu tahap kemiskinan yang terendah —yaitu tahap destitute— ke tahap apa
yang disebut sebagai near poor. Dibandingkan dengan kelompok kemiskinan destitute,
kelompok near poor hidupnya memang relatif lebih baik, namun belum benar-benar stabil.
Dalam arti bila sewaktu-waktu kelompok near poor ini menghadapi suatu krisis, maka
dengan cepat kelompok near poor ini akan melorot lagi ke status destitute. Sebuah keluarga
pedagang tradisional atau tukang becak yang termasuk kelompok near poor, misalnya tidak
mustahil terpaksa turun kelas menjadi kelompok destitute bila tanpa diduga anak mereka
jatuh sakit atau mengalami kecelakaan.
Kalau menilik berapa besar penghasilan keluarga petani di kota, sebagian besar terlihat total
penghasilan mereka umumnya di bawah UMR buruh, apalagi KHM (Kebutuhan Hidup
Minimum). Dari 50 petani yang diteliti, 31,8% responden mengaku berpenghasilan sekitar
500-600 ribu per bulan, dan bahkan 18,3% responden mengaku total penghasilan keluarga
mereka di bawah 500 ribu per bulan. Hanya 10% responden yang penghasilan keluarganya
rata-rata di atas 800 ribu per bulan. Yang lain, sebanyak 24% total penghasilan keluarganya
sekitar 600-700 ribu per bulan, dan sebanyak 16% antara 700-800 ribu per bulan.
Sepanjang hidup berjalan lancar dan tidak ada riak-riak kebutuhan yang sifatnya tak terduga,
meski secara absolut penghasilan keluarga miskin tergolong kecil, barangkali masih pas-
pasan dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, lain soal
ketika rendahnya penghasilan keluarga miskin itu berbanding terbalik dengan jumlah
11
tanggungan keluarga, dan belum lagi jika memperhitungkan kemungkinan terjadinya
kebutuhan hidup yang sifatnya mendadak.
Alih-alih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, studi ini menemukan
bahwa keluarga miskin justru harus utang ke sana-sini untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang terus melonjak pasca kenaikan harga BBM. Seperti diakui sebagian besar responden
(46%), bahwa total pendapatan keluarga dalam setahun terakhir umumnya sangat kurang
untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari 50 responden, 32,5%
menyatakan kekurangan, dan 20,5% menyatakan pas-pasan. Hanya 1% responden yang
menyatakan cukup.
Dibandingkan setahun yang lalu, kondisi ekonomi keluarga miskin yang diteliti umumnya
tidak mengalami peningkatan atau perbaikan. Hanya 1% responden yang taraf kehidupannya
saat ini makin atau lebih baik. Sebagian besar responden (30%) yang diwawancarai
menyatakan untuk saat ini kondisi ekonomi mereka lebih buruk dan bahkan 28% responden
menyatakan jauh lebih buruk. Sebanyak 41% responden menyatakan sama saja.
Bagi keluarga miskin di perkotaan, efek domino dari kebijakan kenaikan harga BBM sedikit-
banyak memang terasa berat dan menjejas. Kenaikan harga barang kebutuhan hidup sehari-
hari yang tidak sebanding dengan daya beli masyarakat bukan saja menimbulkan inflasi,
tetapi juga menyebabkan petani terpaksa harus melakukan berbagai langkah penyesuaian dan
penghematan.
Tidak jarang terjadi, petani kota yang secara ekonomi rentan pada akhirnya harus menyerah
pada nasib. Dari 50 petani yang diteliti, hanya 1,5% yang masih bisa menyiasati tekanan
kebutuhan dengan mengandalkan sisa-sisa tabungan yang dimiliki. Tetapi, hampir semua
responden mengaku mereka umumnya terpaksa harus utang ke sana ke mari untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang sifatnya mendesak. Sebanyak 39% responden mengaku biasanya
utang ke warung terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin mendesak.
Sementara itu, sebanyak 32,5% responden mengaku utang ke kerabat, dan sebanyak 27%
responden mengaku utang ke orang lain.
Seperti juga di wilayah pedesaan, di berbagai kampung dan permukiman kumuh di kota
biasanya memang banyak berkeliaran rentenir dan pelepas uang lain yang beroperasi
menawarkan iming-iming utang dengan bunga yang mencekik leher. Di antara petani di kota,
menurut Parsudi Suparlan (2004) biasanya banyak yang terlibat dalam perangkap rentenir
(loan shark). Berbeda dengan utang pada kerabat yang biasanya tanpa bunga, jika petani kota
utang pada rentenir, niscaya mereka harus bersiap-siap membayar bunga utang dan cicilan
yang sangat tinggi, dan bahkan tidak jarang petani itu harus kehilangan sebagian dari aset
produksinya karena dipakai untuk membayar utang yang terus bertambah.
Bagi petani di kota, kenaikan harga BBM yang terjadi dalam setahun terakhir ini ibaratnya
adalah pukulan susulan yang mematikan. Ketika imbas situasi krisis belum sepenuhnya
teratasi, beban baru yang mesti ditanggung keluarga miskin di kota tak pelak adalah
keputusan pemerintah mengurangi subsidi harga BBM, yang ujung-ujungnya melahirkan
sejumlah masalah yang memberatkan petani di wilayah perkotaan.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika biaya produksi meningkat (87%), sementara di
saat yang sama daya beli masyarakat justru menurun drastis. Yang jelas, seperti diakui 43%
responden bahwa akibat kenaikan harga BBM terasa usaha yang mereka tekuni mengalami
12
kemunduran, dan bahkan 45% responden menyatakan dampaknya sangat terasa bagi
kemunduran usaha mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebanyak 33,5% responden menyatakan
bahwa belakangan ini terasa makin sulit, dan bahkan 35,2% responden menyatakan sangat
terasa perubahannya. Akibat kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari yang terus
melambung, tidak sedikit petani mengaku harus berhemat dan menerima nasib makan
seadanya.
Kendati berpuasa dan hidup serba irit bukan pengalaman baru bagi petani di kota. Tetapi,
imbas kenaikan harga BBM yang menyeruak ke mana-mana, bagaimana pun telah
menyebabkan sebagian keluarga miskin di kota kehilangan daya tahan dan terganggu
kesehatannya. Sebanyak 25% menyatakan terasa terganggu kesehatannya, dan bahkan 20%
responden menyatakan sangat terasa kalau derajad kesehatan mereka mulai terganggu dengan
serius.
Dari data di tabel bisa dilihat bahwa di antara berbagai anggota keluarga miskin di kota, yang
tergolong rentan terkena serangan penyakit adalah ayah dan ibu. Dari 50 petani yang diteliti,
hanya 10,6% ayah yang mengaku tidak pernah sakit dalam setahun terakhir. sementara itu,
untuk ibu angkanya lebih besar lagi, yakni sebanyak 34,1% ibu mengaku tidak pernah sakit
dalam setahun terakhir. Untuk orang tua dan anak, yang di atas kertas semestinya lebih rentan
terkena penyakit, ternyata studi ini menemukan justru angkanya lebih jarang daripada ayah
dan ibu. Bagi keluarga miskin, figur ayah dan ibu yang paling rentan terkena sakit ini, tentu
merugikan. Sebab, di kalangan penduduk dan keluarga miskin seringkali figur yang
diandalkan sebagai pencari nafkah keluarga adalah ayah dan ibu. Jika dalam keluarga miskin
yang namanya tenaga kerja produktif justru malah sakit, maka implikasinya benar-benar
akan sangat terasa.
Di kalangan petani kota, sudah lazim terjadi tatkala krisis terjadi, maka salah satu dampak
yang segera terasakan adalah meningkatnya jumlah utang yang mesti mereka tanggung.
Sekitar tiga per empat responden (74%) menyatakan bahwa dampak kenaikan harga BBM
benar-benar sangat terasa bagi mereka karena mau tidak mau menyebabkan responden
terpaksa harus utang ke berbagai pihak, baik utang tanpa bunga maupun utang dengan beban
bunga yang mencekik leher. Ketika kebutuhan hidup tidak lagi bisa ditunda, sementara
penghasilan terus menurun atau bahkan tidak lagi ada karena gagal panen, maka utang bagi
petani kota adalah sebuah pilihan yang tidak terelakkan.
Mekanisme Survival Petani Kota
Ada banyak cara dan mekanisme yang dikembangkan petani di kota untuk bertahan dan
melangsungkan kehidupannya. Ketika tekanan kebutuhan hidup makin kuat dirasakan,
sementara kondisi ekonomi keluarga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan itu, maka mau
tidak mau yang harus dilakukan adalah bagaimana mengembangkan berbagai upaya untuk
menyiasati tekanan dan persoalan kemiskinan yang dihadapi.
Studi ini menemukan, sepanjang memungkinkan yang dilakukan petani kota untuk mengatasi
persoalan dan tekanan yang dihadapi adalah dengan cara-cara yang sifatnya mandiri. Dalam
hal ini, langkah populer yang dilakukan umumnya adalah melakukan berbagai langkah
penghematan untuk mengurangi beban pengeluaran. Seperti bisa kita simak pada Tabel di
bawah ini, langkah-langkah penghematan yang populer dilakukan petani kota untuk bertahan
13
hidup adalah dengan cara mengurangi kualitas menu makanan (54%), atau mengurangi uang
jajan anak (50,5%).
Tabel 1
Bentuk Penghematan yang Dikembangkan Petani Kota
Keterangan Ya,
Sering
Ya
Tetapi
Jarang
Tidak
Pernah
1. Mengurangi frekuensi makan 13.9 29.7 56.4
2. Mengurangi kualitas menu makanan 54.0 25.0 21.0
3. Mengurangi uang jajan anak 50.5 34.3 15.2
4. Mengurangi uang jajan ayah 20.0 35.0 45.0
5. Mengurangi uang jajan ibu 24.1 25.2 50.7
Bagi keluarga miskin yang benar-benar kondisinya parah, jika perlu langkah penghematan
yang dilakukan adalah dengan cara mengurangi frekuensi makan. Dari 50 petani yang diteliti,
sebanyak 13,9% menyatakan bahwa mereka sering mengurangi frekuensi makan untuk
menyiasati tekanan kemiskinan. Artinya, jika biasanya sehari-hari mereka makan 3 kali,
maka akibat imbas krisis dan efek domino kenaikan harga BBM dengan terpaksa mereka
mengurangi frekuensi makan menjadi 2 kali sehari.
Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika petani kota yang setiap hari harus bekerja berat,
ternyata setiap harinya jatah makan mereka dikurangi. Memang, untuk jangka pendek,
mengurangi frekuensi makan merupakan jalan keluar yang paling pragmatis untuk menyiasati
tekanan kemiskinan. Tetapi, dalam jangka panjang cara seperti ini sesungguhnya sangat
beresiko, sebab jika seseorang mengeluarkan tenaga ekstra, tetapi pasokan energi yang masuk
malah berkurang, maka jangan heran jika efeknya kemudian malah makin memberatkan.
Seperti sudah disinggung di muka, bahwa salah satu anggota keluarga yang paling rentan
terserang penyakit adalah ayah. Boleh jadi, faktor penyebab ayah lebih mudah terserang
penyakit ini karena merekalah yang terpaksa mengurangi frekuensi dan kualitas menu
makanan, sementara di saat yang sama tetap harus bekerja keras untuk mencari nafkah bagi
keluarganya.
Tabel 2
Hal-Hal yang Dilakukan untuk Mengatasi Kebutuhan Hidup
Selama Masa Kekurangan
Keterangan Sering Kadang -
kadang
Tidak
pernah
1. Menggadaikan barang 20.0 38.0 42.0
2. Menjual barang 24.1 55.4 20.5
3. Utang dengan bunga 37.0 57.0 51.0
4. Utang tanpa bunga 58.8 35.3 50.9
5. Meminta bantuan kerabat 33.9 30.9 15.2
Di luar langkah-langkah penghematan, upaya lain yang dilakukan keluarga miskin di kota
untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa kekurangan adalah dengan cara utang,
menggadaikan atau menjual barang, atau meminta bantuan kepada kerabat. Ketika situasi
masih memungkinkan, memang cara yang paling sering ditempuh adalah mencoba utang
14
tanpa bunga (58,8%). Tetapi, ketika utang tidak lagi memungkinkan untuk dilakukan, maka
cara lain yang dikembangkan adalah dengan menggadaikan barang (20%), menjual barang
(24,1%), meminta bantuan kerabat (33,9%), atau bahkan jika perlu utang ke orang lain meski
pun mereka harus membayar bunga cicilan yang cukup besar.
Di kalangan petani di kota, utang boleh dikata adalah hal yang lazim dan paling populer.
Kenapa? Mekanisme gali lubang, tutup lubang bagi petani adalah sesuatu hal yang biasa
dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk
melangsungkan kehidupannya. Berbeda dengan keluarga yang secara ekonomi mapan dan
biasanya memiliki tabungan atau asuransi untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya
mendadak. Yang namanya keluarga miskin di kota rata-rata kehidupan sehari-harinya sangat
rentan, tidak memiliki tiang penyangga atau tabungan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendadak, sehingga ketika kebutuhan itu sudah ada di
depan mata, maka tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali utang ke sana-sini, termasuk
utang ke rentenir yang acapkali meminta beban bunga yang mencekik leher.
Pengalaman selama ini, sebetulnya sudah banyak mengajarkan kepada mereka bahwa utang
adalah salah satu roda pengerak kemiskinan yang membuat kehidupan orang miskin menjadi
makin sulit. Sebuah keluarga miskin yang terperangkap utang dan terpaksa menjual barang-
barangnya untuk membayar utang itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka
umumnya akan masuk dalam pusaran spiral kemiskinan yang membuat posisi mereka
menjadi lebih tidak berdaya lagi. Kalau diperkenankan memilih, yang namanya keluarga
miskin di kota sudah berusaha menghindari dari perangkap utang. Tetapi, diakui oleh
sebagian besar responden bahwa menghindarkan diri dari perangkap utang sesungguhnya
bukanlah hal yang mudah.
Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak mengurangi tekanan kemiskinan dan
kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-keluarga miskin di kota sebetulnya
sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden mengaku bahwa selama ini mereka
telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai langkah penghematan atau
pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau melakukan deversifikasi
usaha. Tetapi, disadari bahwa mencoba mengembangkan langkah-langkah antisipatif seperti
diuraikan di atas ternyata sangat sulit, bahkan nyaris mustahil. Keinginan responden untuk
menambah jam kerja agar hasil yang diperoleh lebih banyak, misalnya, sebanyak 56%
menyatakan sangat sulit dilakukan karena kesempatan kerja memang tidak ada akibat kondisi
perekonomian yang cenderung lesu. Demikian pula, upaya-upaya seperti melakukan
deversifikasi usaha, penghematan, mendayagunakan tenaga kerja keluarga dan sebagainya,
menurut responden juga sulit atau bahkan sangat sulit dilakukan karena faktor-faktor yang
sifatnya struktural.
Tabel 3
Kiat Petani Kota Menyiasati Situasi Krisis Ekonomi
Keterangan
Sangat
sulit
dilakukan
Sulit
dilakukan
Relatif
mudah
dilakukan
Sangat
mudah
dilakukan
1. Perilaku subsistensi 19.1 36.9 35.0 9.0
2. Diversivikasi usaha 15.0 34.0 31.5 10.5
3. Penambahan jam kerja 56.0 34.0 8.0 2.0
4. Pengetatan 29.2 30.8 35.0 5.0
15
konsumsi/mengencangkan
ikat pinggang
5. Pendayagunaan tenaga kerja
keluarga
23.0 22.0 25.0 30.0
6. Meminta bantuan kerabat 27.3 49.4 20.3 3.0
Bagi keluarga miskin di kota, ketika modal yang dimiliki serba terbatas atau bahkan sama
sekali tidak ada, dan mereka pun juga tidak memiliki aset produksi yang cukup untuk
mengembangkan usahanya, maka tidak ada hal lain yang dapat dilakukan keluarga miskin di
kota --kecuali berharap ada faktor-faktor eksternal yang merubah nasib mereka. Sejumlah
aset produksi, seperti tanah, mesin atau alat kerja tertentu, modal atau sepeda motor,
diperkirakan hanya sekitar seperempat responden yang memilikinya. Dari 50 petani yang
diwawancarai, hanya 23,9% responden yang mengaku memiliki modal di atas 500 ribu.
Sisanya, sebanyak 76,1% responden mengaku tidak memiliki modal meski hanya 500 ribu
sekali pun.
Untuk sepeda motor, studi ini menemukan hanya 14,3% responden yang memiliki, dan
sebagian besar (85,7%) mengaku tidak memiliki. Tanah atau lahan garapan, hanya 31%
responden yang memiliki. Sementara itu, untuk mesin atau alat produksi, sebanyak 78,3%
responden menyatakan tidak memiliki.
Dengan kondisi yang serba terbatas seperti diuraikan di atas, akhirnya bisa diprediksi kemana
sebenarnya keluarga-keluarga dan petani di kota akan bergulir. Dengan kondisi yang serba
kekurangan, dan tidak didukung aset produksi yang memadai, maka yang dapat dilakukan
keluarga miskin saat ini pada akhirnya hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup, dan
berusaha semaksimal mungkin agar tidak tergerus pusaran krisis yang akan makin
menyengsarakan mereka. Bagi keluarga miskin di kota, mereka sebetulnya tidak pernah
terlalu berani berharap bahwa mereka akan dapat melakukan mobilitas vertikal dengan cepat
atau menjadi orang yang mapan tanpa harus dibayang-bayangi tagihan utang. Bagi orang
miskin, asalkan mereka dapat bertahan hidup dan tidak makin miskin sesungguhnya hal itu
sudah merupakan kemewahan tersendiri.
Kohesi Sosial Petani Kota
Secara teoritis sesungguhnya ada dua faktor yang membuat petani di kota senantiasa mampu
bertahan dari waktu ke waktu melewati tekanan kemiskinan dan situasi krisis. Pertama,
karena petani memilki kemampuan survival yang sangat ligat, kenyal menghadapi tantangan
dan karenanya senantiasa mampu survive dari tekanan sekeras apa pun. Kedua, karena petani
memiliki kohesi sosial dan dukungan dari kelompoknya yang berfungsi sebagai asuransi
sosial atau jaring pengaman.
Bagi petani, keberadaan kelompok dan kohesi sosial yang kuat merupakan sesuatu yang
fungsional –-semacam garansi sosial untuk mendukung kelangsungan petani, terutama ketika
mereka menghadapi masalah. Bagi petani kota, menghadapi berbagai masalah dan tekanan
kemiskinan sendirian seringkali terasa berat dan menjejas. Dari hasil temuan data
menunjukkan bahwa sebagian besar (47,3%) petani kota yang diwawancarai umumnya
mengakui kalau mereka ragu-ragu dapat bertahan hidup mandiri sekadar mengandalkan aset
yang saat ini dimiliki. Bahkan, sebanyak 30,5% responden menyatakan kemungkinan tidak
mampu, dan 12,7% menyatakan jelas tidak mampu. Dari 50 petani yang diteliti, hanya 5%
yang menyatakan optimis mampu survive.
16
Dengan modal yang terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada, dan juga karena koneksi
yang serba terbatas, disadari responden bahwa ruang gerak mereka untuk berkembang dan
mengembangkan usahanya menjadi sangat sempit. Separuh lebih (60,3%) petani yang
diwawancarai menyatakan bahwa prospek usaha yang ditekuni di masa depan cenderung
suram. Hanya 3,5% responden yang menyatakan bagus, dan sisanya 36,2% menyatakan
biasa-biasa saja. Di tengah kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, memang tidak
mudah bagi petani di kota untuk mempertahankan, apalagi mengembangkan usahanya. Alih-
alih maju, bahkan sebagian besar responden khawatir justru usaha yang masih dilakukan
collapse akibat daya beli masyarakat yang menurun drastis, sementara biaya produksi
pertanian yang dikeluarkan justru naik karena efek domino kenaikan harga BBM.
Kemungkinan mencari pekerjaan alternatif, disadari responden juga bukan hal yang mudah.
Kendati di kota keberadaan sektor informal acapkali disebut sangat fleksibel dan memiliki
kemampuan involutif yang luar biasa. Tetapi, tanpa didukung koneksi dan modal yang cukup
tentu tidak serta-merta mereka dapat mengembangkan usahanya seketika. Dari 50 petani yang
diteliti, sebagian besar (62,8%) menyatakan tidak memiliki kerabat, teman atau tetangga yang
dapat dijadikan koneksi untuk mencarikan pekerjaan.
Sementara itu, sebanyak 47,6% responden juga menyatakan bahwa tidak mungkin bagi
mereka dapat memperoleh pinjaman lunak untuk modal usaha. Bahkan 32,4% responden
menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak mungkin. Dalam setahun terakhir, disadari
responden bahwa situasi sektor riil di lapangan memang cenderung lesu, dan masing-masing
orang umumnya sibuk mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri. Berbeda dengan
komunitas pedagang besar yang biasanya memiliki jejaring yang kuat dan akses yang terbuka
terhadap sumber-sumber keuangan perbankan, untuk petani kota rata-rata mereka tidak
memiliki akses yang cukup, sehingga kesempatan untuk memperoleh bantuan atau pinjaman
modal usaha sepertinya nyaris mustahil.
Menurut pengakuan responden, ketika mereka pertama kali datang ke kota, umumnya mereka
berusaha sendiri untuk mencari kerja (45,5%). Sebanyak 21,5% responden mengaku dibantu
teman, 11,5% dibantu saudara dan 21% responden dibantu kerabat. Berbeda dengan kaum
migran yang memiliki kohesi sosial yang kuat dan acapkali masih terbiasa mengembangkan
hubungan sosial saling tolong-menolong yang kuat (Hans-Dieter Evers, 2002), petani di kota
umumnya ikatan kohesi sosial mereka pelan-pelan tampak mulai memudar. Hal ini tampak,
paling-tidak dari indikasi berikut: Pertama, menurunnya kemungkinan di antara sesama
petani di kota untuk mengakses sumber-sumber pinjaman modal tanpa bunga. Kedua,
memudarnya pola hubungan patron-client akibat perubahan pola hubungan sosial yang makin
kontraktual. Ketiga, makin menyempitnya konsentrasi perkembangan kohesi sosial di tingkat
keluarga atau kerabat, dan memudarnya dukungan sosial di tingkat komunitas yang lebih
besar.
Dari 50 petani yang diteliti, studi ini menemukan hanya sekitar separuh yang mengaku
termasuk atau masuk sebagai anggota perkumpulan atau organisasi sosial-kemasyarakatan
(51,6%). Sebanyak 48,4% responden mengaku sama sekali tidak terlibat dalam organisasi
sosial-kemasyarakatan atau asosiasi sosial tertentu. Sebagian responden menyatakan bahwa
terlibat dalam perkumpulan atau asosiasi sosial tertentu, dalam beberapa hal justru seringkali
membebani. Iuran dan berbagai kewajiban sosial lain, bagi petani di kota terkadang justru
memberatkan karena tidak selalu mereka memiliki cadangan uang atau simpanan yang cukup
untuk membiayai hal-hal seperti itu.
17
Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar pihak yang dijadikan tempat bersandar
ketika petani di kota mengalami masalah atau membutuhkan bantuan umumnya adalah
saudara dan kerabat. Ketika petani membutuhkan bantuan uang cash, misalnya, 45,2%
responden menyatakan biasanya akan meminta bantuan ke saudara dan sebanyak 22,1%
meminta bantuan ke kerabat. Demikian juga, ketika responden membutuhkan bantuan untuk
mendukung kelangsungan usahanya, sebanyak 43,2% akan meminta dukungan saudara, dan
21,2% meminta dukungan kerabat.
Hanya dalam soal perlindungan keamanan, sebagian besar responden mengaku lebih condong
meminta bantuan teman (37,9%) atau asosiasi sosial tertentu (19,7%). Bagi petani kota,
memudarnya daya kohesi sosial di antara sesama memang pada akhirnya menyebabkan daya
kohesi sosial pada akhirnya makin mengerucut ke lingkaran kerabat atau keluarga inti:
saudara. Di tengah tekanan kehidupan kota yang cenderung makin keras, memudarnya pola
hubungan sosial dan sebaliknya berkembangnya pola-pola hubungan yang lebih kontraktual,
bagaimana pun akan membuat petani terpaska pelan-pelan belajar hidup soliter, sembari
berharap tidak lagi terjadi pukulan susulan yang benar-benar akan mematikan seluruh daya
tahap yang tersisa, yang masih mereka miliki saat ini.
Kesimpulan.
Kesimpulan penelitian ini adalah: Studi ini menemukan, untuk mencegah atau paling-tidak
mengurangi tekanan kemiskinan dan kemungkinan masuk dalam perangkap utang, keluarga-
keluarga miskin di kota sebetulnya sudah melakukan berbagai upaya. Sebagian responden
mengaku bahwa selama ini mereka telah berusaha menambah jam kerja, melakukan berbagai
langkah penghematan atau pengetatan, mencoba mengembangkan perilaku subsistensi atau
melakukan deversifikasi usaha.
Kemungkinan mencari pekerjaan alternatif, disadari responden juga bukan hal yang mudah.
Kendati di kota keberadaan sektor informal acapkali disebut sangat fleksibel dan memiliki
kemampuan involutif yang luar biasa. Tetapi, tanpa didukung koneksi dan modal yang cukup
tentu tidak serta-merta mereka dapat mengembangkan usahanya seketika. Dari 50 petani yang
diteliti, sebagian besar menyatakan tidak memiliki kerabat, teman atau tetangga yang dapat
dijadikan koneksi untuk mencarikan pekerjaan.
Hanya dalam soal perlindungan keamanan, sebagian besar responden mengaku lebih condong
meminta bantuan teman atau asosiasi sosial tertentu. Bagi petani kota, memudarnya daya
kohesi sosial di antara sesama memang pada akhirnya menyebabkan daya kohesi sosial pada
akhirnya makin mengerucut ke lingkaran kerabat atau keluarga inti: saudara. Di tengah
tekanan kehidupan kota yang cenderung makin keras, memudarnya pola hubungan sosial dan
sebaliknya berkembangnya pola-pola hubungan yang lebih kontraktual, bagaimana pun akan
membuat petani terpaska pelan-pelan belajar hidup soliter, sembari berharap tidak lagi terjadi
pukulan susulan yang benar-benar akan mematikan seluruh daya tahap yang tersisa, yang
masih mereka miliki saat ini.
Daftar Pustaka
Ahmad, Ahmaddin (2002) Re-Desain Jakarta, Tata Kota, Tata Kita. Jakarta: Kota Kita Press.
Azuma, Yoshifumi (2001) Abang Beca, Sekejam-kejamnya Ibu Tiri, Masih Lebih Kejam
Ibukota. Jakarta: Sinar Harapan.
18
Evers, Hans-Dieter (1982) Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.
Gilbert, Alan & Josef Gugler (1996) Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hauser, Phlilip M. (1985) Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Studi Kasus di Beberapa
Daerah Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurmandi, Achmad, 2006. Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi, Pengelolaan Daerah
Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Sinergi
Publishing.
Suyanto, Bagong dkk (2001) Penyusunan Rencana Induk Pengentasan kemiskinan di Kota
Surabaya. Surabaya: Bappeko Surabaya bekerjasama dengan Lutfansah.
Suparlan, Parsudi (2004) Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi
Perkotaan. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu kepolisian.
Yunus, Hadi Sabari, 2005. Manajemen Kota, Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari, 2006. Megapolitan, Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
top related