metode rekonstruksi -8

Post on 24-Jul-2015

621 Views

Category:

Documents

10 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Metode perbandingan klasik tidak hanya

bertalian dengan menemukan hukum bunyi

(korespondensi fonemis) antara bhs-bhs kerabat,

tetapi masih dilanjutkan dengan usaha

mengadakan rekonstruksi unsur-unsur purba,

baik fonemis maupun morfemis.

Bahasa-bahasa yang yang

memiliki naskah-naskah

tua, tidak perlu lagi

diadakan rekonstruksi

karena memang bentuk

tuanya sudah diketahui dari

naskah-naskah tertulisnya

itu

Perbandingan-

perbandingan bunyi dan

bentuk kata dalam

berbagi bahasa yang

memiliki naskah tertulis,

memperlihatkan adanya

keteraturan hubungan

dan perkembangan.

Kenyataan itu memberikan dasar bagi para ahli untuk

mencari atau menduga bentuk-bentuk masa lampau

dari bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah.

Rekonstruksi fonem dan morfem proto dimungkinkan

karena para ahli menerima suatu asumsi bahwa jika

diketahui fonem-fonem kerabat dari suatu fonem

bahasa proto, maka fonem proto itu dapat ditelusuri

kembali bentuk tuanya.

(1) Mencatat semua korespondensi fonemis dalam

bhs-bhs kerabat yang diperbandingkan.

(2) Membandingkan unsur-unsur yang

menunjukkan kontras itu dalam lingkungan

yang lebih luas dengan mencari pasangan-

pasangan baru untuk memperkuat nomor satu.

(3) Mengadakan rekonstruksi tiap fonem yang

terkandung dalam pasangan kata- kata yang

diperbandingkan.

(4) Dengan selesainya mengadakan rekonstruksi

fonemis pada tiap bunyi yang terdapat dalam

pasangan kata yang diperbandingkan itu, berarti

kita juga selesa mengadakan rekonstruksi

morfemis dari morfem proto.

(1) Bandingkan pasangan-pasangan kata dalam

berbagai bhs kerabat dengan menemukan

korespondensi fonemis dari tiap fonem yang

membentuk kata-kata kerabat tsb.

(2) Dengan menemukan korespondensi fonemisnya

dapat diperkirakan fonem proto mana yang

menurunkan fonem-fonem yang

berkorespondensi tsb

(3) Bagi tiap perangkat korespondensi

kemudian dicarikan suatu etiket

pengenal untuk memudahkan referensi.

Etiket pengenal ini tidak lain adalah

fonem proto tadi. Fonem ini biasanya

diberi tanda asterik (tanda : *)

1) Sebuah fonem yang distribusinya paling banyak

dalam sejumlah bhs kerabat dapat dianggap

merupakan pantulan linear fonem proto.

2) Fonem tadi harus didukung dengan distribusi

geografis yang luas, atau fonem itu terdapat

dalam banyak bhs.

3) Fonem proto tadi hanya boleh menurunkan satu

perangkat korespondensi

Misalnya dalam kasus korespondensi fonemis /b-w-b-f/

dan /b-b-b-b/ dalam bahasa Melayu-Jawa-Karo-Lamalera.

Sekali ditetapkan bahwa fonem proto */b/ menurunkan

perangkat korespondensi /b-b-b-b/ maka tidak boleh

menentukan lagi bahwa fonem proto */b/ menurunkan juga

perangkat korespondensi /b-w-b-f/.

Untuk itu, perangkat korespondensi /b-w-b-f/ misalnya

akan ditetapkan sebagai diturunkan oleh */w/ atau */f/,

bukan dari */b/

Kata ‘ikan’ dalam bahasa Gotik adalah fiks, Eslandia Kuno

fiskr, Sakson Kuno fisk, Jerman Tinggi Kuno fisk, dan

Inggris Kuno fisk.

Data-data tersebut menunjukkan adanya kemungkinan

korespondensi fonemis yang meliputi semua bahasa

dalam fonem-fonem pembentuk kata ‘ikan’.

1) Rekonstruksi fonem proto memantulkan atau

menurunkan bahasa-bahasa kerabat sekarang.

2) Berhasil dilakukan rekonstruksi morfemis (kata

dasar atau bentuk terikat), yaitu menetapkan

suatu morfem proto yang diperkirakan

menurunkan bhs-bhs kerabat sekarang.

3) Morfem proto ini biasanya ditandai dengan

sebuah tanda asterik di depannya.

1) Tiap cabang bahasa mengandung ciri-ciri atau

bukti-bukti yang khas dari bentuk atau ciri

bahasa proto.

2) Identitas atau korespondensi fonemis antara

bahasa-bahasa kerabat akan menjelaskan

tentang ciri-ciri bahasa purba atau bahasa proto.

1) Bahasa purba merupakan suatu

masyarakat bahasa yang homogen.

2) Bahasa purba ini berangsur-angsur

menjadi dua bahasa atau lebih yang

kemudian kehilangan kontak satu sama

lain.

Kelompok-kelompok yang terdiri dari bahasa-bahasa

yang diturunkan dari bahasa induk yang sama disebut

sebagai satu keluarga bahasa.

Bahasa induk dapat berupa sebuah bahasa yang

memiliki naskah tertulis, seperti bahasa Latin

(dianggap proto dari bhs-bhs Roman).

Suatu bhs yang tidak memiliki naskah tertulis (bhs proto

Semit dan bhs proto Indo Eropa)

Bahasa proto yang tidak memiliki dokumen-dokumen

tertulis, maka kata-kata protonya adalah hasil

rekonstruksi morfologis dari bhs-bhs sekarang, atau dari

bhs-bhs tua yang memiliki naskah tertulis.

Prinsip proses rekonstruksi : kesederhanaan,

penghematan, dan tidak ada faktor yang mengganggu

evolusi itu, dan evolusi itu berada dalam situasi isolasi

yang kuat.

Bentuk-bentuk rekonstruksi secara pasti dapat

memberi implikasi tentang wujud kata-kata proto ,

tetapi ia bukan kata-kata proto itu sendiri.

Adanya Alomorf

Dalam bahasa Indonesia kita jumpai sejumlah

bentuk kata seperti berjalan, bermain,

berdiri,belajar, berumah, dsb. Di samping itu

terdapat pula bentuk-bentuk seperti : terjadi,

terlihat, terdapat, terasa, telanjur, dsb.

Bentuk-bentuk tsb terdiri dari morfem terikat ber-be-,

bel-; ter-, te-, dan tel- dan morfem dasar : jalan, main,

diri, ajar, rumah, jadi, lihat, dapat, rasa, dan anjur.

Bentuk-bentuk itu bervariasi karena lingkungan yang

dimasukinya.

Ada satu morfem untuk masing-masing kelompok variasi

di atas, sedangkan ketiga bentuk dari tiap satuan itu

disebut alomorf.

Berdasarkan prinsip kesederhanaan,

penghematan, serta melihat distribusi

tiap alomorf, maka dapat disimpulkan

bahwa bentuk proto alomorf-alomorf di

atas adalah :*/b r/ dan */t r/ .

Keenam konsonan yang sering menimbulkan

problem dalam b. Jerman adalah /p/, /t/, /k/,

/b/, /d/, dan /g/

Keenamnya dapat muncul dalam posisi awal dan

tengah, tetapi dalam posisi akhir hanya ada

/p/, /t/, dan /k/.

Kata dasar dari kata sifat dan kata benda yang

berakhir dengan sebuah stop akan

memperlihatkan dua pola yang berlainan bila

ditambah akhiran infleksi.

(1) ty.p-typen ‘tipe’ (2) tawp-taw.ben ‘tuli’

to.t-to.te ‘mati’ to.t -to.d‘kematian

dek-deke ‘dek ta.k-tages ‘hari’

Biasanya dikatakan bahwa konsonan /b/, /d/,/g/ secara deskriptif

mengalami proses netralisasi pada posisi akhir dan diganti dengan

konsonan /p/, /t/, /k/.

Beberapa gejala dalam bahasa Indonesia dapat memperkuat

hipotesis ini.Adanya posisi /b/ pada posisi akhir dalam kata lembab,

sebab, Sabtu yang diucapkan dengan /p/.

Dalam segmen yang yang lebih panjang seperti kelembaban, fonem

/b/ dapat diucapkan dengan /k l mbaban/ atau /k l mbapan/.

Sans. : da-dau ‘saya telahmemberi’

Yun. : de-do-ka ‘saya telah memberi,

Lat. : de-di ‘saya telah memberi

Dalam bahasa Yunani dan Latin vokal /O/ dan /i/ dilemahkan

menjadi /e/. Sehingga bentuk rekonstruksinya adalah * do-do-

ka dan *di-di.

Sans. : ba-bhu-va ‘ada’, ‘memiliki’

Yun. : pe-phu-ka ‘berkembang

Akar kata yang mengalami aspirata akan kehilangan

aspiratanya bila konsonan yang mengandung aspirata

itu direduplikasikan.

Maka rekonstruksinya adalah sebagai berikut:

Sans. : *bha-bhu-va

Yun. : *phe-phu-ka

Dalam bhs-bhs Austonesia juga terdapat peristiwa

reduplikasi pada suku kata awal. Seperti tangga-

tetangga, laki-lelaki, luhur-leluhur.

Reduplikasi ini melemahkan vokal pada suku kata

awal sehingga menjadi / / .

Sehingga rekonstruksinya *ta-tangga, * la-laki,

*la-luhur,

Infleksi adalah perubahan bentuk kata

tanpa mengubah identitas leksikal kata

itu.

menulis-ditulis-kutulis-kautulis-kami tulis

melihat-dilihat-kulihat-kaulihat-kami lihat

membaca-dibaca-kubaca-kaubaca-kami

baca.

Dalam bahasa Lamalera terdapat bentuk infleksi pada kata

kerja seperti: goe ka ‘saya makan’

moe go ‘engkau makan’

nae ga ‘dia makan’

kame n ka ‘kami makan’

tite t ka ‘kita makan’

mio ge ‘kamu makan’

rae r ka ‘mereka makan’

Konsonan /k/ pada orang kedua tunggal dan jamak berubah

menjadi /g/. Dengan demikian dapat diadakan rekonstruksi

dalam pada bentuk-bentuk itu .sehingga diperoleh bentuk tua

*/ka/. @

top related