muhamad rasul dan negarawan
Post on 18-Jan-2016
44 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI1
ABSTRAK Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan
oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad Rasulullah
wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau yang
akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah.
Al-Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak
sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau
tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta pembentukannya.
Pentas perjalanan sejarah ummat Islam pasca Nabi sampai di abad
modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai sistem dan bentuk
pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang demokratis
sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam praktek
mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para
tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan
pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang
dikaitkan dengan kedudukan Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran
Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga
kelompok pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama
berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus
lembaga politik. Karena itu, kepala negara adalah pemegang
kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Kelompok kedua
mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi
mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai
kekuasaan agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga
menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang samasekali
terpisah dari agama. Karena itu, kepala negara hanya mempunyai
kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.
Kata Kunci: Muhamad, Rasul, Negarawan, Politik
A. Pendahuluan
Salah satu persoalan kontroversial di kalangan ulama ataupun awam di
lingkungan ummat Islam hingga saat ini adalah seputar ada dan tidaknya
bangunan negara Islam. Kalaupun ada, negara manakah di dunia ini yang
telah merealisasikan konstruksi tersebut? Sedangkan jika tidak ada, lalu
bagaimana ummat yang berjumlah satu milyar jiwa lebih ini hidup dalam
percaturan bangsa-bangsa di dunia? Lantas, bagaimana ummat Islam
1 Penulis adalah dosen STH Galunggung Tasikmalaa
Indonesia menyikap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945? Bagaimana korelasinya sistem
pemerintahan yang ditampilkan oleh Nabi Saw dengan situasi negara
Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam?
Wacana di atas merupakan sebuah diskursus yang sangat menarik untuk
diperbincangkan, terutama melihat posisi Muhammad Saw semasa hayatnya.
Pada satu sisi Muhammad Saw adalah sebagai seorang Nabi dan Rasul, tetapi
pada sisi lain beliau juga sebagai seorang pemimpin masyarakat dan negara
dengan karakter kenegaraannya yang khas.
Hemat penulis, berkembangnya wacana “negara Islam” sesungguhnya
tidak lepas dari wacana umum yang berkembang di kalangan yuris Islam
mengenai hubungan antara agama dan politik atau agama dengan negara.
Memang, hubungan agama dan politik atau agama dan negara selalu menjadi
topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada
ajaran agama maupun golongan yang berpandangan sekuler. Bagi ummat
Islam, munculnya topik pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan
mendasar: Apakah kerasulan Muhammad Saw mempunyai kaitan dengan
masalah politik; atau apakah Islam merupakan agama yang terkait erat
dengan urusan politik, kenegaraan dan pemerintahan; dan apakah sistem dan
bentuk pemerintahan, sekaligus prinsip-prinsipnya terdapat dalam Islam?
Munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah
Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw adalah agama yang penuh dengan
ajaran dan undang-undang (qawânin) yang bertujuan membangun manusia
guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, Islam
menekankan terwujudnya keselarasan antara kepentingan duniawi dan
ukhrawi. Karena itu, Islam mengandung ajaran yang integratif antara tauhid,
ibadah, akhlak dan moral, serta prinsip-prinsip umum tentang kehidupan
bermasyarakat.
Di samping itu, sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang
dipersoalkan oleh generasi pertama ummat Islam sesudah Muhammad
Rasulullah wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau
yang akan memimpin ummat, atau juga lazim disebut persoalan imamah. Al-
Qur‟an sebagai acuan utama di samping sunnah Nabi tidak sedikitpun
menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi atau tentang sistem dan bentuk
pemerintahan serta pembentukannya.
Tidak mengherankan, jika dalam pentas perjalanan sejarah ummat Islam
pasca Nabi sampai di abad modern ini, ummat Islam menampilkan berbagai
sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari bentuk kekhalifahan yang
demokratis sampai ke bentuk yang monarkis absolut. Keragaman dalam
praktek mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para
tokoh pemikir tentang politik Islam. perbedaan konsep dan pemikiran ini
bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang dikaitkan dengan kedudukan
Nabi, dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik
dan pemerintahan.
Wacana tentang hubungan agama dan negara melahirkan tiga kelompok
pemikiran di kalangan ummat Islam. Kelompok pertama berpendapat bahwa
negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu,
kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi
mempunyai fungsi politik. Karena itu, kepala negara mempunyai kekuasaan
agama yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara
adalah lembaga politik yang samasekali terpisah dari agama. Karena itu,
kepala negara hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi
saja.2
Kemudian, pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam
kaitannya dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan.
Golongan pertama menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan
pemerintahan, karena Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua
mengatakan di dalam Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tapi
mengandung ajaran-ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat dan
2 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah & Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997, hal. xii.
bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat Islam sama sekali tidak
terkait dengan politik dan pemerintahan. Ajaran agama Islam hanya berkisar
tentang tauhid dan pembinaan akhlak dan moral manusia dalam berbagai
aspek kehidupannya. 3
Menurut hemat penulis, terjadinya keragaman praktek dan keragaman
konsep dan pemikiran tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran Islam itu
sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan seperti tuntutan
zaman, sejarah, latar belakang budaya, tingkat perkembangan peradaban dan
intelektual serta pengaruh peradaban dan pemikiran asing. Artinya, baik
faktor interen maupun faktor eksteren sama-sama mempengaruhi keragaman
tersebut. Atau dengan kata lain selalu ada tarik-menarik antara ketentuan-
ketentuan normatif ajaran Islam dan kenyataan sosial politik dan historis.
Misalnya, dalam sejarah dicatat mengenai Dinasti Umayah dan Dinasti
Abbasiyah. Keberadaan kedua daulah tersebut di samping dipengaruhi ajaran
Islam juga dipengaruhi oleh model pemerintahan Romawi dan Persia. Atau
dalam alam pemikiran, terlihat bagaimana para tokoh pemikir politik Islam
Sunni klasik dan pertengahan misalnya, sangat dipengaruhi oleh kenyataan
historis dan kondisi sosial politik di masa mereka. Akibatnya tidak ada di
antara para yuris Sunni yang berusaha membuat lompatan pemikiran tentang
teori-teori politik dan kenegaraan untuk mengantisipasi perkembangan peta
kehidupan sosial politik ummat Islam di masa mendatang. Tampaknya
mereka terlalu yakin bahwa sistem pemerintahan di zaman mereka akan
bertahan. Tidak seperti dalam pembahasan mereka di bidang hukum fikih
yang banyak melakukan pengandaian, dengan mengemukakan beberapa
kasus yang peristiwanya belum terjadi, lalu menetapkan hukumnya.
Terlepas dari perdebatan pemikiran tersebut di atas, kiranya yang paling
menarik adalah persoalan kedudukan Muhammad dalam sejarah Islam, baik
beliau sebagai Nabi ataupun sekaligus sebagai pemimpin negara atau
masyarakat. Inilah barangkali topik penting yang perlu dibahas dalam tulisan
ini. Penulis lebih setuju terhadap pandangan bahwa Islam adalah agama
3 J. Suyuthi Pulungan, Ibid, hal. xii-xiii.
komprehensif yang di dalamnya mengatur aturan kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya, termasuk kehidupan manusia dalam berbangsa dan
bernegara. Namun, sebelum membahas mengenai posisi Muhammad sebagai
Nabi dan negarawan, terlebih dahulu perlu diketengahkan mengenai prinsip-
prinsip dasar pemikiran politik dan kenegaraan dalam Islam. Hal ini penting
untuk meletakkan dasar pandangan mengenai posisi Muhammad sebagai
Nabi dan negarawan.
B. Prinsip-prinsip Dasar Pemikiran Politik dan Kenegaraan dalam Islam
Penulis sepakat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif.
Didalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi,
sistem sosial dan sebagainya. Pandangan ini sepaham dengan pemikiran
Rasyid Ridha, Hasan al-Banna dan al-Maududi. Sebagaimana dikutip oleh
Munawir Sjadzali4, mereka berpendapat bahwa Islam adalah agama yang
serba lengkap. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan
atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara ummat Islam hendaknya
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan
jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan atau
politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad Saw dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.
Al-Farabi sebagai seorang filosof muslim dan sekaligus ahli ilmu politik
Islam mengatakan bahwa keistimewaan agama Islam ialah memberi
pimpinan bagi urusan-urusan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, ibadah
dan mu‟amalah, soal-soal iman dan ilmu pengetahuan, ketuhanan dan
kemanusiaan, dan persoalan masyarakat dan pribadi manusia. Dengan
begitu, Islam merupakan agama yang lengkap sebagai pedoman bagi manusia
dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk politik dan negara. 5
4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1990, hal. 1 dan 147. 5 Zainal Abidin Ahmad, Madinatul Fadlilah: Teori Kenegaraan dari Sarjana Islam Al-
Farabi, Jakarta: PT Kinta, 1968, hal. 3.
Bahkan kata Nurcholis Madjid dalam pengantarnya terhadap tulisan
Syafi‟i Ma‟arif menegaskan bahwa salah satu karakteristik agama Islam pada
masa-masa awal penampilannya ialah kejayaan di bidang politik. Penuturan
sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak Nabi Muhammad Saw
sendiri (periode Madinah) sampai masa-masa jauh sesudah beliau wafat. 6
Paradigma pemikiran bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
dan didalamnya terdapat berbagai sistem kehidupan seperti sistem
ketatanegaraan, secara sepintas dibenarkan oleh Al-Qur‟an sendiri
sebagaimana dinyatakan dalam pada ayat-ayat berikut:
سلم الي وم أكملت لكم دينكم وأتمت عليكم نعمت ورضيت لكم ال ﴾۳:املائدة﴿.دينا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. 7
﴾۳۸:االنعامما ف رطنا ف الكتاب من شيء ﴿“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab…”8
يانا لكل شيء وهدى ورحة وبشرى ون زلنا عليك الكتاب تب ﴾۸۹:النحل﴿.للم لم
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. 9
Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Pulungan10 mengatakan
bahwa ayat-ayat di atas harus diapresiasi mendukung pendapat yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, yang
didalamnya termasuk masalah politik dan kenegaraan. Ayat pertama (Q.S.
Al-Mâidah:3) mengandung maksud bahwa Islam sebagai agama, yang
diwahyukan kepada para Nabi mulai dari Nabi Adam a.s., Ibrahim a.s.,
6 Syafi‟i Ma‟arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah
Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1996, hal. i. 7 Q.S. Al-Mâidah (5):3. 8 Q.S. Al-An‟âm (6):38. 9 Q.S. An-Nahl (16):89. 10 Pulungan, Op. Cit., hal. 2-3.
Musa a.s., Isa a.s. dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai Nabi dan Rasul terakhir, menjadi sempurna ajarannya, dan menjadi
sempurna wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Kemudian, dalam menafsiri ayat tersebut, Al-Thabari11 menyebutkan
bahwa ta‟wil ayayt tersebut adalah Allah menyempurnakan kewajiban-
kewajiban, hukum-hukum, perintah dan larangan, yang halal dan yang
haram, dan berbagai ibadah yang berhubungan dengan urusan agama bagi
manusia serta wahyu diturunkan kepada Rasul-Nya.
Sedangkan pernyataan ayat kedua dan ketiga tidak berarti Al-Qur‟an
mengandung sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya,
tetapi yang dimaksud dengan “Al-Qur‟an sebagai penjelasan bagi segala sesuatu
dan didalamnya tak luput sesuatu apa pun” adalah berkaitan dengan masalah-
masalah keagamaan dan pokok-pokok kebahagiaan dunia dan akhirat. 12
Memang, secara eksplisit Al-Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana
negara itu didirikan. Namun, Al-Qur‟an mengintrodusir beberapa prinsip
dasar bangunan suatu negara Islam. banyak ayat-ayat Al-Qur‟an yang
berbicara mengenai prinsip dasar kehidupan bernegara dan berbangsa serta
bermasyarakat, seperti: prinsip menegakkan kepastian hukum dan keadilan
(Q.S. Al-Nisâ:48), prinsip kepemimpinan (Q.S. Ali Imrân:118), prinsip
musyawarah (Q.S. Ali Imrân:159), prinsip persatuan dan persaudaraan (Q.S.
Ali Imrân:103), prinsip persamaan (Q.S. Al-Nisâ:1), prinsip hidup
bertetangga/hubungan antar negara bertetangga (Q.S. Al-Nisâ:2), prinsip
tolong-menolong dan membela yang lemah (Q.S. Al-Mâ‟idah:2), prinsip bela
negara (Q.S. At-Taubah:38), dan prinsip-prinsip lainnya, yang kesemuanya
hampir dikatakan bahwa Al-Qur‟an berbicara berbagai aspek yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara serta
bermasyarakat menurut Islam.
11 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân an-Ta’wîl Ayât al-Qur’ân,
Vol IV, Juz 6, Mesir: Dâr al-Fikr, 1984, hal. 79-80. 12 Pulungan, Op. Cit., hal. 1-2.
Bahkan menurut Sayyid Aqil Siradj13 mengatakan bahwa dalam suautu
hadits, menjelang Nabi Saw wafat (pada tahun 11 H/632 M), beliau telah
memberikan wejangan kepada kaum muslimin agar tidak terperosok dalam
jurang kesesatan, hendaklah selalu menempatkan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya sebagai referensi utama dalam setiap langkah hidupnya. Pesan
tersebut memberikan suatu ilustrasi akan cakupan Al-Qur‟an terhadap semua
persoalan kehidupan, termasuk kehidupan politik, kenegaraan,
kepemimpinan, dan kemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya Islam telah meletakkan dasar-dasar bangunan politik dan
kenegaraan Islam yang kokoh sejak kehadirannya. Melalui kepemimpinan
Muhammad Saw sebagai Rasul dan sekaligus sebagai negarawan, Islam telah
menunjukkan suatu protype bangunan suatu negara yang adil dan makmur
dengan semboyan Madinatul Munawarah, sebuah negara kesejahteraan yang
diliputi dengan prinsip keadilan (al-„adalah), permusyawaratan (asy-syurâ), dan
egalitarian (al-musawah). Dengan ciri-ciri seperti itu, maka jelas bahwa
ummat Islam dituntut untuk membentuk suatu negara yang berkonotasi Islam
dengan prinsip dan dasar-dasar sebagaimana tersebut di atas.
C. Praktek Pemerintahan pada Masa Muhammad Saw sebagai Rasul dan
Negarawan
Pemikiran politik Islam pada umumnya merupakan produk perdebatan
besar yang terfokus pada masalah religi politik tentang Imamah dan
Kekhalifahan. Di Madinah, merupakan tempat yang dipilih Nabi
Muhammad untuk menetap setelah “teraniaya” di Mekkah, dimana pada
masa tahun pertama terdapat sedikit kontroversi mengenai siapa yang pantas
mengendalikan kekuatan politik.
Dalam teori maupun praktek, Nabi menempati suatu posisi yang unik
sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, namun
13 Sayyid Aqil Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1999, hal, 37.
sekaligus juga sebagai pemimpin pemerintahan Islam yang pertama.
Kerangka kerja konstitusional pemerintahan pada masa itu terungkap dalam
sebuah dokumen terkenal yang disebut dengan Konstitusi Madinah atau
dikenal dengan Piagam Madinah. 14
Dalam dokumen tersebut terdapat langkah pertama dan amat penting
bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan Islam atau Ummah. Menurut
piagam itu, konsep suku tentang pertalian darah digantikan dengan ikatan
iman yang bersifat ideologis. Piagam ini juga menyuguhkan landasan bagi
prinsip saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan
orang-orang yang mengikuti, bergabung dengan dan berjuang bersama
mereka. Mereka yang dimaksudkan dalam pembukaan piagam itu adalah
masyarakat Yahudi Madinah.
Menurut konstitusi tersebut, orang-orang Islam dan semua warga negara
yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat yang secara fisik
dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Tidak ada pengerian
lain mengenai siapa yang harus memegang tampuk pimpinan dalam
konfederasi semacam itu. Namun, dalam konstitusi tersebut ditegaskan
bahwa Allah dan Nabi Muhammad Saw sebagai hakim terakhir serta sumber
segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).
Dalam kerangka sejarah telah ditegaskan bahwa sejak hijrah ke
Madinah tahun 522 M sampai saat wafat pada 6 Juni 632 M, Muhammad
Saw berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat dibantah (unquestionable
leader) bagi negara Islam yang baru lahir itu. Sebagai Nabi, ia meletakkan
prinsip-prinsip agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai
khutbah. Sebagai negarawan, ia mengutus duta ke luar negeri, membentuk
angkatan perang dan membagikan rampasan perang. Peristiwa wafatnya
Nabi yang tak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam
ketidakpastian tentang krisis penggantinya sebagai pimpinan negara Madinah
saat itu.
14 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hal. 1.
Memang, semasa hidupnya Nabi tidak pernah menyampaikan wasiat
tentang siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin negara Islam.
Inilah yang menjadi picu lahirnya perdebatan sengit dan berkepanjangan
mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin ummat Islam. Abu Bakar ash-
Shiddiq, shahabat Nabi paling karib dan pendukung dakwahnya yang paling
awal meski bukan keluarga Nabi, tampil sebagai calon terkuat setelah
sebelumnya muncul protes dari para penentangnya yang melibatkan para
pemimpin terkemuka Madinah.
Untuk menangkal manuver-manuver warga Madinah dalam ebrbagai
kekuatan atau kekuasaan, Abu Bakar menghendaki agar perioritas
kepemipinan setelah Nabi dipegang oleh suku Quraisy. Tatkala tokoh-tokoh
utama Quraisy memberikan dukungan kepada Abu Bakar, penduduk
Madinah pun mengikuti jejak mereka dengan suka cita. Masa 30 tahun
berikutnya dikenal sebagai era Khulafaur Rasyidin, yang terdiri dari para
shahabat dekat Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Masa-masa itu merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih dengan
berbagai perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konstitusi dan
akomodasi.
Masalah perebutan kekuasaan telah mulai nampak tajam selama masa
pemerintahan Utsman. Ia dipilih oleh sekelompok dewan pemilih yang
terdiri dari enam shahabat Nabi terkemuka yang dibentuk khalifah
sebelumnya, Umar. Kericuhan itu bermuara pada sekelompok pejabat
pemerintahan yang didasarkan pada favoritisme dan nepotisme. Cara ini
melahirkan rasa tidak puas dan keresahan pada sebagian anggota masyarakat
yang kemudian ebrkembang menjadi pertikaian massal dan memuncak pada
kematian Utsman. 15
Ali, keponakan Nabi dan “rival” Utsman dalam perebutan nkursi
kekhalifahan kemudian dinobatkan sebagai khalifah dan mampu meraup
kesetiaan dari sebagian besar ummat. Meski demikian, ia juga dihadapkan
15 Amir Siddiqi, Studies in Islamic History, Karachi: Jam‟iyatul Falah Publication, 1962,
hal. 46.
dengan oposisi kuat yang terdiri dari unsur masyarakat, terutama dari anak
keturunan Umayyah yang pernah diuntungkan pada masa Utsman. Lebih
dari itu, isteri Nabi sendiri, Aisyah r.a., diiringi dengan sebagian shahabat
karib Nabi, menyuarakan sikap anti Ali. Maka, periode ini tidak terhindar
dari kekerasan dan perang sipil yang berakhir dengna terbunuhnya Ali dan
memunculkan dinasti Umayyah yang memerintah sejak tahun 661 M – 749
M. 16
Selama masa-masa pergolakan inilah ditemukan kelahiran berbagai
ragam faksi politik yang membentuk spektrum pemikiran politik Islam.
seusai perang Siffin (657 M) antara Ali dan Mu‟awiyyah, pemimpin
Umayyah, sekelompok pasukan Ali keluar dari barisan dan memberontak
kepadanya. Kelompok muslim yang puritan ini kemudian dikenal dengan
Khawarij (para pembangkang dan pemberontak). Mereka memprotes
perjanjian damai antara Ali dan Mu‟awiyyah. Mereka percaya bahwa
dengan menerima prinsip kompromi sebenarnya Ali telah kehilangan status
resminya sebagai pemimpin ummat yang adil. Bahkan mereka bersikap keras
dengan mengkafirkan Ali karena tindakannya dianggap sebagai dosa besar
sehingga pelakunya mesti bertobat nasuha. Kaum Khawarij lalu
menyimpulkan bahwa Islam akan terjaga baik bila tiga orang yang
bertanggungjawab atas terjadinya perang itu dienyahkan, yaitu: Ali,
Mu‟awiyah, dan Amr bin Ash, penasehat Mu‟awiyyah dan penyaji kerangka
pemikiran perjanjian tersebut.
Masa sesudah itu menjadi saksi bahwa hanya Ali yang terbunuh, sedang
dua sasaran lainnya terhindar dari maut. Mu‟awiyyah bahkan
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan basis pemerintahan di
Syria. Peristiwa ini menandai akhir politik yang didasarkan pada pemilihan
dan merupakan awal kehidupan sistem warisan dalam pemerintahan Islam.
Untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, Bani Umayyah harus
menghadapi oposisi tangguh yang muncul dari sebagian ummat Islam dan
shahabat Nabi, di Madinah dan Mekkah, yang tidak saja mengecam cara
16 Jindan, Op. Cit., hal. 3.
Mu‟awiyyah merebut kekuasaan, tetapi juga mencaci sistem dinasti yang
dianggap sebagai pemutarbalikkan cara pemerintahan Islam yang ideal.
Sebenarnya, pemerintahan yang turun temurun itu tidak dikenal oleh bangsa
Arab pada umumnya dan tidak ada jalan untuk menerimanya kecuali jika
sang penguasa menggunakan cara yang tiranik.
Di antara penentang keras rezim Umayyah itu adalah golongan Syi‟ah.
Mereka menentang Bani Umayyah tidak saja perilaku politik yang diterapkan
pada kaum Syi‟ah dan bukan Syi‟ah, namun lebih dari itu adalah tantangan
tersebut merupakan ungkapan kepercayaan yang mendalam bahwa kursi
kepemimpinan setelah Nabi hanya berhak diserahkan kepada Ali, kemenakan
dan menantunya, bukan Abu Bakar. Menurut kepercayaan Syi‟ah, hanya
anggota Ahl al-Bait (keluarga Nabi) yang memenuhi syarat untuk menjadi
khalifah atau pemimpin.
Sejarah mencatat bahwa Ali tidak menggugat kekhalifahan Abu Bakar
dan tidak menentang Umar dan Utsman. Ia menjadi khalifah setelah Utsman
terbunuh karena didukung oleh sekelompok shahabat utama Nabi. Proses
pemilihan itu kemudian dikukuhkan dalam masyarakat melalui sumpah setia
atau bai‟at.
Meskipun demikian, Syi‟ah sebagai suatu ideologi mulai berkembang
seusai pembantaian tentara Umayyah terhadap putra Ali, Husain di Karbala.
Tragedi itu memunculkan dendam kaum Syi‟ah, yang menganggap Husain
sebagau martir agung di samping memperkuat kepercayaan ideologis mereka
terhadap peran Ali dan anak keturunannya serta arti kepemimpinan.
Di samping Khawarij dan Syi‟ah, ada segolongan ummat Islam yang
membentuk mayoritas ummat dan dikenal sebagai penganut Ahli Sunnah wal
Jama‟ah atau dikenal dengan sebutan Kaum Sunni. Sekitar abad XI,
pandangan mereka tentang kekhalifahan ditampilkan oleh para ahli
hukumnya yang memainkan peran dalam pemerintahan. Teori tentang Sunni
yang dikemukakan oleh fuqaha kebanyakan merupakan deskripsi sejarah
negara Islam sejak masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa sesudahnya
serta bukan merupakan evaluasi kritis terhadap apa yang disebut dengan
negara Islam.
Jadi, persoalan mendasar dan paling awal dalam sejarah peradaban
Islam semenjak wafat Nabi hingga para shahabatnya adalah masalah politik
kenegaraan, yaitu persoalan Khalifah dan pemerintahan Islam. Persoalan
inilah yang hingga kini masih menjadi perdebatan aktual di kalangan ummat
Islam, baik kalangan ulama ataupun awam.
Namun, terlepas dari timbulnya perdebatan, maka guna menghindari
perdebatan lebih lanjut, maka dalam tulisan ini perlu dikembalikan
pemahaman ummat Islam kepada sejarah awal pemerintahan Islam pada
masa Nabi Muhammad Saw. Hal ini menjadi penting terutama untuk
menghindari perpecahan dan perdebatan yang tak berujung.
Sejarah mencatat bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw sebenarnya
sudah ada negara dan pemerintahan Islam. Pandangan seperti ini akan
tertuju pada masa Nabi Muhammad Saw menetap di kota Yatsrib. Kota ini
kemudian berganti nama menjadi Madinat al-Nabi, dan populer dengan
sebutan Madinah. Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah
Islam itu terkenal dengan Negara Madinah. Kajian terhadap negara dan
pemerintahan ini dapat diamati dengan menggunakan dua pendekatan.
Pertama, pendekatan normatif Islam yang menekankan pada pelacakan nash-
nash Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang mengisyaratkan adanya praktek
pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka siyasah syar‟iyah.
Kedua, pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan tugas-tugas
yang dilakukan oleh Nabi di bidang mu;amalah sebagai tugas-tugas negara
dan pemerintahan. Hal ini diukur dari sudut pandang teori-teori politik dan
ketatanegaraan.
Terbentuknya Negara Madinah akibat dari perkembangan penganut
Islam yang menjelma menjadi kelompok sosial dan memiliki kekuatan politik
riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Pada periode
Mekkah pengikut Nabi yang jumlahnya relatif kecil belum menjadi suatu
komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan dan ebrdaulat. Mereka
merupakan minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu
tampil menjadi kelompok sosial penekan terhadap kelompok sosial mayoritas
di kota itu yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang
masyarakatnya homogen. Tapi setelah di Madinah, posisi Nabi dan
ummatnya mengalami perubahan besar. Di Madinah mereka mempunyai
kedudukan yang baik dan segera merupakan ummat yang kuat dan dapat
berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru
dibentuknya dan yang akhirnya menjadi suatu negara. Suatu negara yang
daerah kekuasaannya di akhri zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung
Arabia. Dengan kata lain, di Madinah Nabi Muhammad bukan hanya
berkedudukan sebagai Rasul pemimpin agama, akan tetapi juga sekaligus
sebagai Kepala Negara yang memerintah suatu negara Islam. 17
D.B. Macdonald sebagaimana dikutip oleh Muhammad Dhiya‟ al-Dîn
al-Rayis18, mengatakan bahwa Madinah telah terbentuk negara Islam pertama
dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam.
Bahkan menurut Thomas W. Arnold19, dalam Negara Madinah itu pada
kurun waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan
kepala negara.
Fazlur Rahman, tokoh Neo-Modernisme Islam, juga membenarkan
bahwa masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi itu merupakan suatu
negara dan pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu ummat
muslim. 20
Perubahan besar yang dialami oleh Nabi dan pengikutnya dari
kelompok powerless (tanpa kekuasaan) menjadi suatu komunitas yang
memiliki kekuatan sosial politik ditandai dengan beberapa peristiwa penting.
17 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press,
1986, hal. 92. 18 Muhammad Dhiya‟ al-Dîn al-Rayis, Al-Nazhâriyat al-Siyasât al-Islâmiyat, Mesir:
Maktaba‟at al-Anjlu, 1957, hal. 15. 19 Thomas W. Arnold, The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul Ltd., 1965,
hal. 30. 20 Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue and L.
Esposito (Ed.), Islam in Transition: Muslim Perspective, New York, Oxford University Press,
1982, hal. 261.
Pada tahun 621 dan 622 M Nabi berturut-turut memperoleh dukungan moral
dan dukungan politik dari sekelompok orang Atab (suku Aus dan suku
Khajraj) kota Yatsrib yang menyatakan diri masuk Islam. Peristiwa ini
mempunyai keistimewaan tidak seperti halnya orang Arab Mekkah masuk
Islam. Karena disamping mereka menerima Islam sebagai agama mereka,
juga mereka membaiat Nabi sebagai pimpinannya. Baiat mereka dikenal
dengan Baiat Aqabah Pertama pada tahun 621 M, dan Baiat Aqabah Kedua pada
tahun 622 M. Kedua baiat tersebut intinya adalah kesepakatan dan
kesepahaman untuk saling melindungi antara Nabi dengan ummat dan
masyarakatnya, dan antara masyarakat dengan pemimpinnya. 21
Menurut Munawir Sjadzali22, fakta mengenai baiat tersebut
menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Yatsrib telah terjadi “fakta
persekutuan”. Karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling
menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam baiat kedua tahun
622 M tergambar pula adanya penyerahan kekuasaan diri dari peserta baiat
kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka. Dalam ilmu
politik disebut dengan “kontrak sosial”. Karena itu, peristiwa kedua baiat itu
dianggap sebagai batu pertama bagi bangunan negara Islam.
Peristiwa baiat itu mendorong Nabi berhijrah ke Yatsrib beberapa bulan
kemudian. Peristiwa ini direkam dalam wahyu, dan memuji mereka yang
berhijrah. (Q.S. An-Nahl:41). Bahkan, peristiwa baiat ini dinilai oleh para
ahli ilmu politik dan sejarah Islam sebagai suatu gerakan strategi yang jitu.
Suatu gerakan yang menyelamatkan kaum muslimin agar terbebas dari
tindakan sewenang-wenang kaum Quraisy saat itu. Ia juga merupakan reaksi
terhadap fakta sosial keadaan masyarakat Arab Mekkah yang mayoritas
menolak Islam, dan respon terhadap fakta sosial keadaan masyarakat Arab
Madinah secara terbuka menerima seruan Rasul kepada Islam. 23
21Pulungan, Op. Cit., hal. 79. 22 Sjadzali, Op. Cit., hal. 9. 23 Pulungan, Op. Cit., hal. 80.
Jika dianalisa mengenai posisi Muhammad Saw dalam kaitannya
dengan kedudukannya sebagai Nabi ataupun negarawan, terutama pada
kedua periode dakwah dan kehidupan yang dijalaninya, baik di Mekkah
ataupun Madinah, maka dapat dikatakan di sini bahwa pada periode
Makiyyah yang dijalani oleh Rasulullah Saw hanya berhasil menempatkan
Muhammad sebagai seorang pemimpin agama. Sementara sebagai pemimpin
negara belum bisa diterima.
Kemudian, setelah 13 tahun melakukan dakwah di Mekkah belum
membuahkan hasil yang diharapkan, Nabi Muhammad Saw memutuskan
untuk migrasi ke Yatsrib (Madinah). Pada periode Madinah suasana beradab
yang akan mengarah kepada terbangunnya tatanan kehidupan bernegara
sudah mulai tampak. Oleh karena itu, posisi Muhammad sebagai Rasulullah
pada pasca hijrah semakin melebar. Dengan terbangunnya pranata sosial
kemasyarakatan di Madinah, secara otomatis memposisikan Muhammad
sebagai pemimpin suatu negara.
Deklarasi berdirinya “negara” Madinah bisa terefleksikan dalam
“Piagam Madinah” yang terdiri dari 48 pasal. Meskipun Madinah saat itu
barulah berupa city state, harus diakui bahwa tipologi pemerintahan semacam
itu merupakan format baru ditengah-tengah kebesaran kekuasaan imperium
Romawu dan Persia yang feodalistis-otoriter. Realitas ini lebih memperjelas
misi Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil „âlamîn. Peran sebagai pemimpin
sebuah pemerintahan diemban oleh Nabi Muhammad hingga beliau wafat
tahun 11 H.
Dalam pandangan politik Islam, peran ganda Nabi Saw sebagai Nabi
dan sekaligus negarawan selama satu dasawarsa lebih telah membentuk
integritas beliau sebagau umara yang menyatu dengan tanggung jawabnya
sebagai pemimpin agama. Meskipun demikian, dengan posisi baru beliau
sebagai pemimpin pemerintahan bukan berarti semua urusan duniawi
merupakan hak patent Nabi Muhammad, akan tetapi Nabi bertindak
demokratis. Hal ini terungkap dalam sebuah haditsnya “antum a‟lamu bî
umuri dunyakum”, kalian lebih mengerti urusan dunia kalian. 24
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan di sini bahwa
kerasulan dan kenegarawanan Muhammad dalam suatu pemerintahan di
Madinah terlihat dari prinsip-prinsip dasar sistem pemerintahannya yang
mengetengahkan demokratisasi. Hal itu tercermin dari misi Nabi sebagai
rahmatan lil „alamin dan sekaligus membentuk Madinatul Munawarah.
Prinsip tersebut dilaksanakan ditengah-tengah kondisi masyarakat dan
ummatnya yang majemuk.
Atas dasar itu, maka apabila dikaitkan dengan kondisi kenegaraan
Indonesia, maka sesungguhnya model pemerintahan Nabi Muhammad
dengan konsep rahmatan lil „alamin dan Madinatul Munawaroh adalah
sangat cocok. Betapa tidak, karena Indonesia dengan mayoritas
penduduknya memeluk Islam, tetapi Indonesia merupakan negara
polyreligious yang mengakui berbagai macam agama, bhineka suku bangsa dan
rasnya, maka dasar negara Pancasila dan UUD 1945 merupakan bentuk yang
dianggap final dan sesuai.
Bagi penulis, sistem kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dianggap sangat cocok apabila mereduksi sistem kenegaraan
yang dicontohkan Nabi Saw dengan konsep Negara Madinah atau Madinatul
Munawarah melalui konstitusi Piagam Madinah. Sebab, bagi kalangan
ummat Islam Indonesia, yang paling penting bukan formalitas pencatuman
dasar negaranya dalam suatu konstitusi, akan tetapi yang paling penting
adalah apakah seorang penguasa itu mampu menegakkan prinsip-prinsip
dasar kehidupan bernegara yang bersidat rahmatan lil „alamin.
Bagi Islam, seorang penguasa menegakkan keadilan (al-„adalah) adalah
satu keharusan. Islam juga mengajarkan untuk memperlakukan semua warga
(rakyat) secara musawah (tidak pandang bulu dimuka hukum) harus
menjunjung tinggi musyawarah (al-syurâ) serta adanya mekanisme yang
24 Sayyid Aqil Siradj, Op. Cit., hal. 55.
transparan dalam kontrol kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat sebagai
manifestasi dari pertanggungjawaban penguasa.
Begitu pula Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang harus
dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama
adalah jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan kesewenang-
wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan terhadap kebebasan
berpendapat secara rasional (hifdz al-„aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas
harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mâl). Prinsip keempat, jaminan atas
kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-dîn). Dan, prinsip kelima
adalah jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wal-„irdl). 25
Dari sini jelas, bahwa Islam tidaklah mewajibkan secara sharih untuk
menamakan suatu negara dengan sebutan negara Islam atau khilafah
Islamiyah. Apalah artinya suatu negara memakai simbol-simbol Islam, tetapi
dalam prakteknya justru menginjak-injak prinsip-prinsip Islam. Tidaklah
berlebihan jika sebenarnya corak negara demokratis seperti Indonesia itu
sejalan dengan prinsip-prinsip Islam bahkan sudah menjadi tradisi yang hidup
ditengah-tengah ummat Islam.
Dalam sejarah Islam sudah dijelaskan, pada masa Nabi Muhammad
misalnya, tatkala beliau membangun masyarakat Madinah, Piagam Madinah
dibuat sebagai perjanjian bersama antara kaum Muhajirin (orang-orang
Mekkah yang hijrah ke Madinah), Anshar (penduduk asli Madinah yang
membela Muhajirin), dan kaum Yahudi. Meskipun dalam perjanjian tersebut
kaum Muhajirin dan Anshar termasuk kelompok mayoritas, namun tidak
ditemukan penyebutan legalitas negara Islam ataupun memberikan perioritas
terhadap orang-orang mukmin. Ketiga kelompok sepakat untuk menjadi
ummat wahidah, menjunjung tinggi persamaan, keadilan, pelestarian adat
yang baik, kebebasan beragama serta pembelaan terhadap tanah air. Lebih
jauh lagi, ketika Nabi Muhammad wafat pun tidak ada wasiat untuk
meneruskan pemerintahan atau mengharuskan berdirinya sebuah negara
Islam.
25 Sayyid Aqil Siradj, Ibid., hal. 93.
Apabila kondisi pemerintahan Rasulullah Saw ketika di Madinah
dijadikan prototype bagi negara Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal tidaklah diproyeksikan
sebagai negara Islam. padahal secara nominal representasi para perumus
kemerdekaan RI dari ummat Islam baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif
merupakan bagian yang terbesar. Meski demikian harus juga diakui bahwa
nilai-nilai Islami diberikan jaminan untuk ditegakkan dalam NKRI.
Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik di sini adalah bahwa jika Indonesia
ingin berkembang dan maju menjadi negara demokratis dengan
mengedepankan civil society, maka negara harus melihat model pemerintahan
Negara Madinah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dengan tidak
memformalkan bentuk Negara Islam, tetapi yang ditampilkan adalah nilai-
nilai ajaran Islam dalam menjalankan roda kenegaraan dengan prinsip
rahmatan lil „alamin.
D. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas, maka kesimpulan dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Islam adalah agama sempurna, yang didalamnya berisi ajaran tentang
semua aspek kehidupan manusia, termasuk pengaturan secara tertib
bagaimana manusia berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
2. Posisi Nabi Muhammad Saw dalam sejarah Islam adalah sebagai Nabi
dan sekaligus sebagai negawaran, terutama yang beliau tampilkan ketika
mendirikan Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya.
3. Negara Madinah atau Madinatul Munawarah dengan kontrak sosialnya
dalam bentuk Piagam Madinah, merupakan bentuk sistem ketatanegaraan
yang dianggap cocok bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam, tetapi mengakui
kemajemukan agama, suku dan ras.
KEPUSTAKAAN
Pulungan, J. Suyuthi. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah & Pemikiran.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.
Ahmad, Zainal Abidin. 1968. Madinatul Fadlilah: Teori Kenegaraan dari
Sarjana Islam Al-Farabi. Jakarta: PT Kinta.
Ma‟arif, Syafi‟i. 1996. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan
Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
Al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. 1984. Jâmi’ al-Bayân an-Ta’wîl
Ayât al-Qur’ân, Vol IV, Juz 6. Mesir: Dâr al-Fikr.
Siradj, Sayyid Aqil. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri.
Jakarta: Pustaka Ciganjur.
Jindan, Khalid Ibrahim. 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Siddiqi, Amir. 1962. Studies in Islamic History. Karachi: Jam‟iyatul Falah
Publication.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I.
Jakarta: UI Press.
Al-Rayis, Muhammad Dhiya‟ al-Dîn. 1957. Al-Nazhâriyat al-Siyasât al-
Islâmiyat. Mesir: Maktaba‟at al-Anjlu.
Arnold, Thomas W. 1965. The Caliphate. London: Routledge and Kegan Paul
Ltd.
Rahman, Fazlur, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue and
L. Esposito (Ed.). 1982. Islam in Transition: Muslim Perspective. New
York, Oxford University Press.
MUHAMMAD SEBAGAI RASUL DAN NEGARAWAN
MAKALAH
Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG 2010
DAFTAR ISI
Halaman
A. Pendahuluan ………………………………………………… 1
B. Prinsip-prinsip Dasar Pemikiran Politik dan Kenegaraan dalam
Islam …………………………………………………………. 5
C. Praktek Pemerintahan pada Masa Muhammad Saw sebagai Ra-
sul dan Negarawan ..…………………………………………….. 8
D. Kesimpulan ………………………………………………………. 19
KEPUSTAKAAN …………………………………………………… 20
top related