naskah publikasi bertahan dalam kekerasan...
Post on 06-Mar-2018
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
NASKAH PUBLIKASI
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh :
SRI ANGILIA NURLAILI RINA MULYATI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
2
NASKAH PUBLIKASI
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Rina Mulayti, S.Psi., M.Si)
3
BERTAHAN DALAM KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Sri Angilia Nurlaili
Rina Mulyati
Intisari
Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif case study, penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang bertahan dalam rumah tangganya.
Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang perempuan dengan karakteristik berusia antara 20 – 50 tahun, sudah menikah dan memiliki anak, mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pernah melapor ke Ruang Pelayanan Khusus Polres Sleman.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap dua orang subyek penelitian. Kemudian untuk data pendukung juga dilakukan wawancara kepada lima orang informan subyek penelitian. Data dianalisis dengan tekhnik analisis thematic coding dengan langkah – langkah berupa penggolongan tema – tema berdasarkan fokus penelitian untuk kemudian diintegrasikan menjadi sebuah dinamika psikologis mengenai fenomena bertahan dalam KDRT.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah respon bertahan yang dilakukan masing – masing subyek berbeda karena dipengaruhi oleh dua hal yaitu latar belakang keluarga dan nilai – nilai yang dianut keluarga.
Subyek pertama yang berasal dari keluarga yang orangtuanya bercerai karena KDRT. Subyek diajarkan paham patriaki yang kental sehingga istri harus patuh kepada suami dalam kondisi apapun. Paham patriaki ini membuat subyek selalu merasa bahwa subyek adalah milik suami subyek sehingga subyek diam dan bertahan dalam rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya. Setelah empat tahun bertahan dalam rumah tangganya, subyek pada akhirnya memutuskan bercerai karena ternyata orangtua subyek tidak mempermasalahkan perceraian. Hal ini disebabkan karena orangtua subyek
4
juga menganut nilai masalah rumah tangga adalah masalah privasi dan orang lain termasuk orangtua tidak berhak ikut campur. Dengan demikian, orangtua subyek menyerahkan semua keputusan rumah tangganya kepada subyek apakah ingin bercerai atau mempertahankan rumah tangganya.
Subyek kedua yang berasal dari keluarga yang harmonis dan religius. Orangtua subyek juga mengajarkan untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Latar belakang keluarga subyek ini membuat subyek menjadi individu yang “nrimo”. Sifat nrimo ini membuat subyek selalu berusaha menerima semua kekurangan suaminya sehingga membuat subyek menjadi sayang kepada suaminya apa adanya. Perasaan sayang dan sifat nrimo subyek membuat subyek mampu mempertahankan rumah tanggannya selama tiga belas tahun. Subyek baru memutuskan bercerai setelah merasa bahwa suaminya tidak menyayangi subyek lagi kemudian ibu mertua subyek selalu menyalahkan subyek atas permasalahan yang terjadi antara subyek dan suaminya.
Dengan demikian, dari penelitian ini diperoleh hubungan saling mempengaruhi antara latar belakang keluarga dan nilai yang dianut dengan bentuk respon bertahan serta lama bertahan subyek korban kekerasan dalam rumah tangga. Perbedaan latar belakang dan nilai yang dianut pada masing – masing keluarga membuat respon bertahan dalam rumah tangga yang penuh dengan kekerasan juga berbeda. Hal ini terjadi karena proses belajar masing – masing subyek korban kekerasan terhadap nilai yang diajarkan keluarga dan perilaku orangtua juga berbeda.
Kata Kunci : Bertahan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
5
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah
Menurut UU No. 23 Tahun 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan bentuk kekerasan
yang dialami perempuan sebagai istri ada empat macam yaitu, kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksul, dan kekerasan ekonomi.
Sebenarnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi. Mitra
perempuan dalam Harian Kompas edisi rabu, 26 desember 2007 menyebutkan
dari jumlah data tahun 2006, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) yang terjadi di Jakarta meningkat. Pada tahun 2006, dari 284 kasus
kekerasan yang terjadi 85,42 % merupakan KDRT sedangkan pada tahun 2007,
dari 336 kasus, 87,32 % merupakan kasus KDRT. Sebagian Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dilakukan oleh suami dengan presentasi pada tahun 2006
sebesar 76,49 % dan pada tahun 2007 sebesar 77,46 %. Adiningsih (2008)
menyebutkan data yang dikeluarkan Komnas Perempuan pada 7 Maret 2007
mencatat adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani
257 lembaga di 32 propinsi. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
menempati angka tertinggi yakni 16.709 kasus atau 76 %.
Rifka Annisa Women Crisis Center dalam Annual Reportnya
menyebutkan pada tahun 2005 terjadi 35 kasus kekerasan terhadap perempuan,
9 kasus merupakan kasus kekerasan terhadap istri. Sedangkan pada tahun 2006
6
terjadi 205 kasus kekerasan terhadap perempuan, 168 kasus merupakan kasus
kekerasan terhadap istri. Sedangkan Usia korban kekerasan terhadap istri
adalah antara 18 – 55 tahun. Jumlah ini dapat dikatakan meningkat drastis
karena dalam rentang waktu satu tahun terjadi peningkatan kasus sebanyak 196
kasus. Sehingga dari data Rifka Annisa tersebut, dapat disimpulkan terjadinya
KDRT meningkat dari tahun ke tahun.
Namun pada kenyataannya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
yang dialami perempuan merupakan sebuah fenomena gunung es
(Pikanisa,2008). Artinya, sebenarnya fenomena KDRT terhadap perempuan
banyak terjadi, akan tetapi yang terungkap ke permukaan dan diketahui oleh
masyarakat hanya sedikit. Faktanya satu dari tiga istri pernah mengalami tindak
kekerasan (Firdaus,2008). Masalah yang terjadi dalam keluarga jangan sampai
diketahui oleh orang lain, sehingga ketika seorang perempuan mengalami tindak
kekerasan, perempuan tersebut akan menyimpan sendiri apa yang dialaminya
karena menganggap itu adalah aib keluarga dan jangan sampai orang lain
mengetahuinya.
Dampak dari kekerasan dalam rumah tangga beraneka ragam, mulai
dampak terhadap fisik sampai dampak terhadap psikis terhadap masing –
masing anggota keluarga. Pada bayi, kekerasan yang dilakukan suami terhadap
istri dapat menyebabkan anak memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur
yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Hal ini selanjutnya akan berdampak
ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangan emosi, bahkan sangat
terkait dengan masalah kelancaran berkomunikasi (Jaffe dalam Wahab, 2006).
Kemudian KDRT juga berdampak terhadap anak usia Pra sekolah, yaitu
menyebabkan tingkat disstres yang tinggi (Hughes dalam Wahab, 2006) dan
7
berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial – kognitif anak usia pra
sekolah (De Lang dalam Wahab, 2006). Selanjutnya dampak KDRT terhadap
anak usia SD adalah anak cepat belajar bahwa kekerasan merupakan suatu cara
yang paling tepat menyelesaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan (Jaffe
dalam Wahab, 2006). Lebih lanjut, KDRT juga memberi dampak terhadap
remaja. Remaja putra yang menyaksikan kekerasan antar kedua orang tuanya
menjadi lebih agresif, sedangkan pada remaja putri menyebabkan menjadi lebih
depresif (Wahab, 2006).
Tidak sampai disini saja, kekerasan dalam rumah tangga juga berdampak
besar terhadap istri yang menjadi sasaran langsung tindak kekerasan yang
dilakukan suami. Dampak yang dirasakan istri adalah dari rasa sakit sampai
kematian. Susilowati (2008) menyebutkan KDRT bisa menyebabkan istri
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga
diri, ketergantungan kepada suami, depresi dan keinginan untuk bunuh diri.
Hakimi, dkk (2001) menyebutkan perempuan yang mengalami KDRT dapat
menderita cidera, kelainan kandungan, dan penyakit menular seksual. Bailey
(Hakimi, 2001) menambahkan paling ekstrim KDRT dapat mengarah pada
pembunuhan terhadap perempuan. Sedangkan pada suami sebagai pelaku
kekerasan, KDRT yang dilakukannya akan berdampak dengan hukuman pidana
dalam bentuk hukuman penjara antara 5 sampai 20 tahun penjara ataupun
denda antara Rp. 3.000.000,00 – Rp. 300.000.000,00 sesuai dengan kekerasan
yang dilakukan.
Akan tetapi dengan serentetan dampak akibat kekerasan dalam rumah
tangga ini, pada kenyataannya korban kekerasan yang melapor hanya sedikit.
Hal ini terlihat dari data kantor Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian
8
Resort (Polres) Sleman mengungkapkan pada tahun 2007, terdapat hanya 45
kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan. Sedangkan pada tahun 2008,
sampai bulan mei, hanya terdapat 15 kasus kekerasan terhadap istri.
Data Polres Sleman kembali menegaskan bahwa fenomena Kekerasan
dalam rumah tangga terhadap Istri merupakan fenomena gunung es. Dua korban
kekerasan dalam rumah tangga yang ditemui peneliti memilih diam dan bertahan
dalam rumah tangga beberapa waktu walaupun sering mendapat kekerasan dari
suaminya. Subyek tidak menceritakan kekerasan yang sering dilakukan
suaminya kepada orang lain bahkan kepada orang tuanya sendiri sehingga apa
yang subyek alami tidak pernah terungkap ke permukaan.
Subyek KDRT pertama berasal dari keluarga dimana orang tua subyek
bercerai karena ayah subyek sering melakukan tindak kekerasan kepada ibu
subyek. Suami subyek sebagai pelaku kekerasan juga berasal dari keluarga
dimana ayah suami subyek melakukan kekerasan terhadap ibu suami subyek,
akan tetapi ibu dan ayah suami subyek tidak bercerai. Suami subyek memiliki
emosi yang sangat tidak stabil yaitu mudah marah tanpa alasan yang jelas dan
mudah pula mereda kemarahannya. Subyek pertama bertahan dalam rumah
tangganya selama empat tahun.
Korban KDRT kedua berasal dari keluarga yang harmonis dan religius.
Baik subyek dan suaminya tidak memiliki sejarah orang tua yang melakukan
kekerasan terhadap pasangan masing – masing. Akan tetapi, ibu mertua subyek
memiliki sifat temperamen. Suami subyek memiliki gangguan emosi seperti
mudah marah dan suka membanting – banting barang saat marah. Suami
subyek juga suka menyakiti diri sendiri saat meminta maaf setelah memukul
subyk. Subyek bertahan dalam rumah tangganya selama 14 tahun.
9
Dari kedua korban KDRT tersebut dapat dilihat bahwa subyek dengan
latar belakang keluarga harmonis dan religius memilih diam dan bertahan dalam
rumah tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya lebih
lama dari subyek korban KDRT dengan latar belakang keluarga dimana KDRT
pernah terjadi.
Kemungkinan latar belakang keluarga mempengaruhi lama dan bentuk
respon bertahan pada korban KDRT. Hal ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan nilai yang dianut dan diajarkan pada tiap keluarga. Poerwandari
(2001) menyatakan bahwa KDRT menjadi sulit diungkap karena KDRT oleh
sebagian orang akan dianggap sebagai hal yang biasa – biasa saja sehingga
korban KDRT akan memilih diam dan bertahan dalam rumah tangganya
walaupun sering mendapat kekerasan karena menganggap orang lain tidak akan
menganggap penting persoalan KDRT yang dialaminya. Ridwan (2006)
menambahkan perempuan bertahan dalam rumah tangganya karena adanya
nilai – nilai yang dianut bahwa KDRT terjadi dalam lingkup rumah tangga yang
dipahami sebagai urusan yang bersifat privasi. Kemudian adanya stigma sosial
bahwa kekerasan yang dilakukan suami dipahami oleh masyarakat sebagai hal
yang dianggap wajar dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang
mempunyai otoritas untuk melakukannya sehingga timbul pemahaman memukul
istri itu lumrah dalam rangka mendidik istri menjadi lebih baik.
Mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga menunggu beberapa
saat baru kemudian melaporkan atau memutuskan bercerai dari suaminya?
Padahal dampak yang dialami korban tidaklah ringan, dari sekedar memar pada
tubuh hingga kematian, belum lagi ketidaknormalan perkembangan anak, dan
kehancuran keutuhan rumah tangga. Kemudian apakah latar belakang keluarga
10
dan nilai – nilai yang dianut menjadikan respon bertahan dalam rumahtangga
pada masing – masing korban kekerasan berbeda? Hal inilah yang ingin
diungkap peneliti dalam penelitian ini.
11
METODE PENELITIAN
1. Subyek Penelitian
Karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah perempuan yang berusia
antara 20 – 50 tahun, sudah menikah dan memiliki anak, serta mengalami
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian kualitatif dilakukan untuk mengembangkan pemahaman
mengenai respon bertahan dalam kekerasan dalam rumah tangga. Pengumpulan
data yang dilakukan dengan tehnik wawancara mendalam dan observasi.
12
HASIL PENELITIAN
1. Dinamika Psikologis Subyek Maria
Subyek berasal dari keluarga dimana orangtuanya bercerai. Sebelum
bercerai, orangtua subyek sudah pisah rumah dari subyek kelas 3 SD sampai
subyek SMP. Saat subyek masuk SMP orang tua subyek resmi bercerai.
Orangtua subyek bercerai karena masalah kekerasan dalam rumah tangga
seperti yang subyek alami. Ayah subyek sering memukul ibu subyek ketika
mereka bertengkar. Sejak kecil subyek sudah terbiasa mandiri karena ketika
orang tuanya pisah rumah dan subyek sedang tinggal bersama ayahnya, subyek
harus mencuci pakaiannya sendiri bahkan mencuci pakaian ayahnya, kemudian
subyek juga harus memasak makanan untuk subyek dan ayahnya. Padahal saat
itu subyek masih duduk dibangku SD dimana subyek seharusnya masih
menikmati bermain bersama teman – teman subyek (W1, M, B 149 - 169).
Ayah subyek memiliki sifat keras dan temperamen. Walaupun ayah
subyek sering melakukan kekerasan kepada ibu subyek ketika subyek masih
kecil, akan tetapi ayah subyek tidak pernah memukul subyek dan adiknya.
Namun, ayah subyek mudah marah dan meledak – ledak ketika sedang marah.
Ayah subyek langsung memarahi subyek saat subyek pulang terlambat tanpa
bertanya mengapa subyek pulang terlambat (W2, M, B 1126 - 1136). Akan tetapi,
pertengkaran subyek dan ayahnya tidak akan berlangsung lama. Keesokan
harinya, ayah subyek sudah kembali seperti biasa. Ibu subyek tidak memiliki
temperamen yang tinggi seperti ayah subyek. Subyek seminggu sekali akan
mengunjungi ibu. Subyek merasa ibunya sebagai teman dan sahabat, bahkan
terkadang subyek memanggil ibunya dengan “mbak” ketika bercanda dengan ibu
subyek.
13
Ayah subyek menganut nilai bahwa bagaimanapun seorang istri harus
patuh kepada suami (paham patriaki). Budaya patriaki patriaki menempatkan laki
– laki sebagai lebih utama di atas perempuan (Hamim, 2001). Laki – laki yang
menganut budaya patriaki memberikan pengertian berhak untuk dihormati dan
dilayani oleh wanita berdasarkan superioritas jenis kelamin laki – laki ( Chrisler,
2003 ). Karena hal ini, ketika ayah subyek untuk pertama kalinya mengetahui
bahwa suami subyek memukul subyek, ayah subyek langsung memarahi subyek
tanpa bertanya mengapa suami subyek memukul subyek (W2, M, B 1016 - 1021)
karena menganggap pemukulan terjadi karena kesalahan subyek. Ayah subyek
juga menganut nilai bahwa masalah keluarga merupakan hal yang sangat
privasi. Apapun masalah yang terjadi dalam keluarga jangan sampai diketahui
oleh orang lain. Karena hal ini, ayah subyek memarahi subyek ketika subyek
melaporkan kekerasan yang dialaminya ke polisi. Ayah subyek berpendapat,
dengan melaporkan apa yang dialami subyek ke kantor polisi, maka subyek
sudah mengumbar aib keluarga. Seharusnya, masalah keluarga subyek bisa
diselesaikan juga secara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi (W3, M, B 47 -
52). Ayah subyek juga tidak pernah membela subyek ketika subyek dipukul
suaminya karena ayah subyek menganggap apa yang terjadi pada subyek
adalah urusan rumah tangga subyek. Ayah subyek tidak berhak mencampuri
masalah subyek karena menurut ayah subyek, ayah subyek bukan siapa – siap
dalam rumah tangga subyek dan suaminya (W2, M, B 1111 - 1122).
Suami subyek juga berasal dari keluarga dimana kekerasan dalam rumah
tangga pernah terjadi. Ibu suami subyek pernah mendapat kekerasan dari ayah
suami subyek. Akan tetapi, ibu suami subyek tidak mempermasalahkan
kekerasan yang dilakukan suaminya dan memilih bertahan dalam rumah
14
tangganya. Hal ini dikarenakan ayah dan ibu suami subyek menganut paham
patriaki sehingga ibu subyek menganggap pemukulan yang dilakukan ayah
subyek merupakan hal yang wajar untuk mendidik istri (W1, IM, B 202 - 204).
Ayah subyek sendiri bertemperamen keras. Ketika suami subyek masih
kecil, ayah subyek sering memukul suami subyek saat marah. Ibu subyek juga
memiliki temperamen yang keras sehingga suami subyek dan ibu suami subyek
sering bertengkar karena sama – sama memiliki sifat keras (W2, M, B 520 - 525).
Dengan paham patriaki yang dianut ibu mertua subyek, ibu mertua
subyek selalu menyalahkan subyek ketika subyek bertengkar dengan suaminya.
Ibu subyek akan menyuruh subyek diam saja ketika suami subyek sedang
memarahi subyek. Jika subyek tetap menjawab saat suami sedang berbicara,
kemudian subyek dipukul suaminya, maka menurut ibu mertua subyek
pemukulan tersebut wajar terjadi karena subyek tidak patuh terhadap suami (W2,
M, 1044 - 1048).
Pendekatan social cognitive atau social learning Albert Bandura (Corsini,
Kristyanti, 2004) menyebutkan bahwa individu dan lingkungan tidak berdiri
sendiri – sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan
demikian, perilaku yang dihasilkan individu merupakan produk yang dipengaruhi
oleh lingkungan. Berdasarkan teori Bandura, dengan latar belakang suami
subyek dimana ayah suami subyek sering menyelesaikan masalah dengan
kekerasan dan ibu suami subyek menganggap wajar kekerasan yang dilakukan
ayahnya terhadap ibu suami subyek, maka suami subyek belajar bahwa
kekerasan merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan masalah. Suami
subyek pun menganggap wajar kekerasan yang dilakukannya terhadap subyek
mengingat ayahnya sendiri sering melakukan tindak kekerasan terhadap ibu
15
suami subyek dan ibu suami subyek tidak mempermasalahkan kekerasan yang
dialaminya tersebut.
Belajar dari pengalaman seperti yang dilakukan suami subyek, juga
dilakukan subyek dalam usaha subyek bertahan dalam rumah tangganya.
Subyek pertama kali mendapat kekerasan setelah satu tahun menikah dan
sedang hamil empat bulan. Walaupun subyek sering mendapatkan kekerasan
dari suaminya, subyek memilih diam saja dan bertahan dalam rumah tangganya.
Hal ini dilakukan subyek karena subyek sudah merasakan tidak
menyenangkannya menjadi anak dari keluarga broken home yang harus mandiri
di usia yang masih kecil. Dengan demikian, subyek tidak ingin anaknya
merasakan tidak enaknya menjadi anak dari keluarga broken home seperti
dirinya. Alasan lainnya yang membuat subyek tetap bertahan dalam rumah
tangganya walaupun sering mendapat kekerasan dari suaminya adalah karena
budaya patriaki yang dianut baik ayah subyek maupun mertua subyek. Subyek
merasa bahwa subyek adalah milik suaminya dan suami subyek berhak
melakukan apa pun kepada diri subyek (W1, IM, B 428 - 430). Ibu mertua subyek
juga selalu menekankan agar subyek mengalah ketika bertengkar dengan
suaminya. Sehingga subyek mampu bertahan dalam rumah tangganya selama
empat tahun.
Jika pada akhirnya subyek memutuskan bercerai, bisa jadi karena ada
proses belajar terhadap apa yang terjadi dalam keluarga subyek. Ibu subyek juga
meminta cerai dari ayah subyek ketika mendapat kekerasan dari ayah subyek.
Walaupun subyek merasakan hal yan tidak menyenangkan akibat perceraian
orang tuanya, namun subyek melihat ibunya menjadi lebih baik setelah bercerai
dari ayahnya. Ayah subyek juga tidak mengekang subyek untuk tetap bertahan
16
dalam rumah tangganya karena menurut ayah subyek, subyek berhak
menentukan pilihannya sendiri dalam rumah tangganya karena subyek lah yang
menjalani dan merasakan semua hal yang terjadi dalam hidup rumah tangga
nya. Dengan kebebasan menentukan pilihan sendiri ini, menyebabkan subyek
yang tadinya takut ayahnya tidak mendukung jika subyek berpisah dari
suaminya, menjadi berani untuk memutuskan bercerai dari suaminya setelah
empat tahun pernikanannya berlangsung.
2. Dinamika Psikologis Subyek Aisyah.
Subyek Aisyah berasal dari lingkungan keluarga yang harmonis dan
religius. Hal ini dapat terlihat dari shalat Maghrib dan shalat Isya berjamaah yang
selalu dilakukan subyek dan keluarganya di mushalla yang terletak di halaman
rumah orang tua subyek. Mushalla tersebut juga dijadikan tempat mengaji oleh
anak – anak yang tinggal di sekitar rumah subyek. Selain seorang Ustadz yang
mengajar ngaji, subyek juga ikut mengajarkan anak – anak tersebut mengaji.
Orang tua subyek, juga sifat lembut dan tidak pemarah. Baik ayah dan ibu
subyek tidak pernah memarahi subyek yang diikuti tindak kekerasan seperti
pemukulan (W1, A, B 1191 - 1198).
Ibu mertua subyek, memiliki temperamen keras dan mudah marah. Ibu
mertua subyek juga suka membesar – besarkan masalah saat marah kepada
subyek. Ketika marah, ibu mertua subyek juga suka membanting – banting
barang yang berada di dekatnya. Bahkan, subyek juga pernah dimarahi oleh ibu
mertuanya di depan kelurga besar suami subyek hanya karena masakan yang
dimasak subyek ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan ibu mertua subyek
17
(W1, A, B 1383 - 1387). Ibu mertua subyek membanting – banting piring saat
memarahi subyek tersebut.
Dengan latar belakang ibu yang temperamental, tak heran suami subyek
juga memiliki sifat yang keras dan kaku. Ketika subyek, suami, anak – anak, dan
pramuwisma subyek duduk bersama kemudian bercanda, hanya suami subyek
saja yang tetap kaku dan tidak tertawa ketika yang lain tertawa (W1, SE, B 272 -
277) Suami subyek juga suka membanting – banting barang ketika marah
kepada subyek (W1, A, B, 51 - 54). Suami subyek juga memiliki gangguan
emosi, yaitu ketika sudah marah dan memukul subyek, suami subyek akan
langsung menyesal kemudian minta maaf dengan menyakiti diri sendiri, seperti
memukulkan kepala ke lantai dan minum baygon (W1, A, B 201 - 208). Suami
subyek tidak akan berhenti menyakiti diri sendiri sebelum subyek memaafkan
dirinya.
Orangtua subyek mengajarkan subyek untuk patuh pada suami (paham
patriaki). Keluarga subyek membentuk subyek menjadi individu yang “nrimo”.
Akan tetapi, orang tua subyek tetap menegur dan memarahi suami subyek ketika
kekerasan yang dilakukan suami subyek membahayakan subyek. Seperti ketika
suami subyek mencekik subyek dan mengakibatkan subyek pingsan bahkan
subyek cacat akibat dicekik suaminya tersebut. Orangtua subyek meminta suami
subyek membuat surat perjanjian diatas materai bahwa suami subyek tidak akan
mengulangi perbuatan kekerasannya lagi baru kemudian orangtua subyek
mengijinkan subyek kembali bersama suaminya lagi.
Walaupun orangtua subyek selalu melindungi dan membantu subyek jika
subyek mendapat masalah dalam rumah tangganya, subyek jarang sekali
menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang tuanya sehingga orang
18
tua subyek tidak mengetahui jika subyek sering mendapat kekerasan dari
suaminya. Oleh karena itu, subyek mampu bertahan dalam rumah tangganya
selama 13 tahun.
Subyek menganut paham selalu patuh pada perintah suami. Hal ini
dilakukan subyek karena ingin orang tuanya masuk surga jika subyek patuh pada
perintah suami (W1, A, B 841 - 845). Subyek juga tidak menceritakan kekerasan
yang sering dialaminya dan sikap arogan ibu mertuanya kepada orang tua
subyek untuk menjaga hubungan baik antara ibu mertua dan orang tua subyek
serta menjaga kehormatan suami subyek di mata orang tua subyek. Sifat nrimo
yang dimiliki subyek juga berperan dalam upaya subyek mempertahankan rumah
tangganya. Subyek selalu berusaha menerima semua kekurangan yang dimiliki
suaminya sehingga selama 13 tahun pernikahan subyek dan suaminya, orang
lain tidak pernah tahu permasalahan yang terjadi dalam rumah tangganya karena
dengan menerima kekurangan suaminya seperti sifat temperamentalnya, subyek
selalu menjaga tetap terlihat harmonis. Walaupun subyek sering mendapat
kekerasan dari suami bahkan sampai subyek memiliki cacat pada leher, subyek
tetap berusaha bertahan dalam rumah tangganya karena subyek juga sayang
kepada suaminya. Rasa sayang inilah yang mampu membuat subyek menerima
semua kekurangan yang ada pasa suaminya. Keputusan subyek untuk bercerai
dari suaminya karena subyek merasa suami tidak menyayangi subyek lagi
dengan menyebut akan menceraikan subyek saat mereka bertengkar kemudian
mertua subyek yang menuntut keluarga besar subyek datang untuk minta maaf
kepada mertua subyek agar subyek dan suaminya bisa menyelesaikan masalah
dan kembali bersama.
19
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon bertahan pada masing –
masing subyek penelitian berbeda.
1. Dinamika Psikologis Subyek Maria
Subyek pertama yang berasal dari keluarga dimana orangtua subyek
bercerai karena masalah KDRT kemudian suami subyek sebagai pelaku
kekerasan berasal dari keluarga dimana KDRT juga sering terjadi, akan tetapi
orang tua suami subyek tidak bercerai. Ibu suami subyek tidak
mempermasalahkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah suami subyek
sehingga ibu suami subyek bertahan sampai saat penelitian ini dilakukan. Nilai
yang ditanamkan pada subyek oleh orangtua dan mertuanya adalah paham
patraki yang sangat kental. Paham patriaki ini mempengaruhi subyek dalam
upayanya bertahan dalam rumah tangganya, yaitu subyek merasa bahwa subyek
adalah milik suami sehingga harus bertahan dalam rumah tangganya. Namun,
paham patriaki yang ditanamkan keluarga subyek ini tidak membuat subyek
bertahan lama dalam penikahannya. Setelah empat tahun menikah, pada
akhirnya subyek memutuskan bercerai dari suaminya. Jika dihubungkan dengan
social learning Bandura, maka keputusan subyek untuk berpisah dari suaminya
karena subyek belajar dari pengalaman ibunya yang juga memutuskan bercerai
setelah sering mendapat kekerasan dari ayah subyek. Subyek melihat bahwa ibu
subyek menjadi lebih baik setelah berpisah dari ayahnya. Hal lain yang
mempengaruhi karena nilai yang ditanamkan ayah subyek bahwa urusan rumah
tangga subyek merupakan urusan pribadi subyek sehingga jika subyek ingin
20
memutuskan bercerai dari suaminya, maka keputusan itu diserahkan ayah
subyek kepada subyek sepenuhnya. Ayah subyek berpendapat bahwa ayah
subyek bukan siapa – siapa dalam rumah tangga subyek sehingga tidak berhak
mencampuri keputusan yang akan diambil subyek apakah ingin bercerai atau
tidak. Oleh karena itulah, subyek akhirnya memutuskan bercerai dari suaminya
sehingga subyek hanya mampu mempertahankan rumah tangganya selama
empat tahun.
2. Dinamika Psikologis Subyek Aisyah
Subyek Aisyah berasal dari keluarga yang harmonis dan religius.
Orangtua subyek tidak pernah memarahi subyek kemudian memukul. Orangtua
subyek pun memiliki sifat lemah lembut. Suami subyek berasal dari keluarga
yang temperamental. Ibu mertua subyek sering memarahi subyek karena hal
yang sepele, misalnya karena masakan yang dibuatkan subyek tidak sesuai
dengan yang diinginkan ibu mertua subyek. Saat marah, ibu mertua subyek
membanting – banting barang yang ada di dekatnya. Dengan latar belakang
keluarga seperti ini, suami subyek juga memiliki sifat yang temperamental. Suami
subyek mudah marah dan suka membanting – banting barang ketika sedang
marah. Namun, emosi suami subyek suka mereda tiba – tiba setelah memarahi
atau memukul subyek. Ketika emosinya mereda, suami subyek sering meminta
maaf kepada subyek dengan menyakiti diri sendiri seperti memukulkan
kepalanya ke lantai sampai benjol dan minum baygon. Suami subyek akan
melakukan segala cara agar subyek memaafkan dirinya.
Dengan latar belakang keluarga subyek yang harmonis dan religius
membentuk subyek menjadi individu yang “nrimo”. Dengan sifat nrimonya,
21
subyek berusaha memahami dan menerima semua kekurangan yang dimiliki
suaminya. Subyek juga sayang kepada suaminya sehingga mampu
mempertahankan rumah tangganya selama 13 tahun walaupun sering mendapat
kekerasan dari suaminya. Bahkan, sekarang leher subyek cacat akibat
pemukulan yang dilakukan suaminya. Akan tetapi, karena subyek sayang dan
selalu berusaha menerima suaminya apa adanya, subyek tidak terlalu
mempermasalahkan hal ini. Setelah 13 tahun menjalani rumah tangga bersama
suaminya, subyek baru memutuskan ingin bercerai dari suaminya karena
merasa suaminya tidak menyayangi subyek lagi dengan menyebut ingin
menceraikan subyek ketika mereka bertengkar, belum lagi ibu mertua subyek
yang menuntut subyek dan keluarganya untuk minta maaf pada keluarga suami
subyek baru kemudian mereka boleh bersatu kembali.
22
SARAN
1. Untuk Penelitian Selanjutnya.
Disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut
mengenai laki – laki yang menjadi korban KDRT karena selama penelitian ini
dilakukan, peneliti belum menemukan penelitian lain yang meneliti suami sebagai
korban KDRT. Penelitian selanjutnya diharapkan juga dapat meneliti dinamika
psikologis terbentuknya pelaku KDRT.
Kemudian peneliti juga menyarankan agar penelitian selanjutnya bisa
meneliti dinamika psikologis korban KDRT yang bertahan dalam rumah
tangganya dan tidak memutuskan bercerai. Cara korban KDRT tersebut
mengatasi masalah yang dihadapinya dengan bertahan tanpa terbebani mungkin
bisa dimanfaatkan pihak lain yang juga ingin mempertahankan keutuhan rumah
tangganya atau memiliki masalah yang sama dengan subyek penelitian.
2. Subyek Penelitian
Dari penelitian ini, subyek sempat merahasiakan kekerasan yang
dialaminya dari orang lain. Peneliti menyarankan agar subyek berani
menceritakan apa yang dialami untuk mendapatkan bantuan atas apa yang
dialaminya.
23
DAFTAR PUSTAKA
- . 2003. Himpunan Perundang – Undangan, Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang – Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Kantor Pemberdayaan Perempuan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Adiningsih, N.U, 2008. Stop Kekerasan Terhadap Perempuan.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=40764.
Anggarawaty, H. 2006. Isu KDRT : Antara Fakta dan Propaganda. http://www.mail-archive.com/aeronggsociety@yahoogroups.com/. 05/02/06
Anggoman,Y, Wirawan,H. 2002. Dampak Psikologis Kekerasan Fisik Di Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah Psikologi ”Arkhe”, 2, 91-101
Firdaus, S. 2008. Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://www.bung- hatta.info/tulisan_226.ubh. 01/04/08
Hakimi, M, Hayati, E.N, Marlinawati, U.V, Winkvist, A, Ellsberg, M.C . 2001. Membisu Demi Keharmonisan ”Kekerasan Terhadap Isteri Dan Kesehatan Perempuan Di Jawa Tengah, Indonesia”. Yogyakarta : LPKGM-FK-UGM
Hamim, A. 2001. Menjadi Suami Sensitif Gender. Yogyakarta : Rifka Annisa Women’s Crisis Center.
Hassanah, M., Alsa, A., Rustam, A. 2006. Kekerasan dalam rumah tangga (studi kualitatif mengenai kekerasan dalam rumah tangga di LBH APIK Semarang). Jurnal Psikologi Proyeksi, 1, 11- 22
Meiyenti, S. 1999. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Pikanisa. 2008. Undang-Undang no. 23 tahun 2004 : Hanya Tataran Wacana atau Konsep Penyadaran ?. http://www.gagasmedia.com/budaya/penulis/undang-undang-no-23-tahun-2004-hanya-tataran-wacana-atau-konsep-penyadaran.html. 17/03/08
Poerwandari, K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Lembaga sarana pengukuran dan pendidikan psikologi (LPSP3) fakultas psikologi universitas indonesia.
24
Poerwandari, K. 2001. Menjadikan Persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Masalah Bersama. http://www.rahima.or.id/SR/20-06/Opini2.htm
Prayudi, G. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press : Yogyakarta.
Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender. Yogyakarta : Fajar Pustaka
Rosalina, J. 2004. Memahami dinamika Kekerasan Pada Perempuan Korban kekerasan dalam rumah tangga (sebuah studi kualitatif pada perempuan korban KDRT yang bertahan dalam perkawinannya). Jurnal Psikologi, 1, 81-92.
Rosalina, J. 2003. Mencari Makna Dalam Penderitaan (Potensi Peran Logoterapi Untuk Perempuan Korban KDRT). Jurnal Ilmiah Psikologi ”Arkhe”, 2, 66 - 77
Sullivan, M., Bybee, D. 1999. Reducing Violence Using Community-Based Advocacy For Women With Abusive Partners. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 67, 43 – 53
Susilowati, Pudji. 2008. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri. http://www.E-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=475. 20/02/08
Wahab, R. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Perspektif Psikologis dan Edukatif. Unisia, 61, 247 - 278
25
IDENTITAS PENULIS
Nama : Sri Angilia Nurlaili
Alamat Rumah : Jalan Sengkan No. 14, Babadan Baru XV, Sinduadi,
Sleman, Yogyakarta, 55284
Nomor Telepon : 085292404090
top related