oleh - core.ac.uk · hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa mendoakan...
Post on 10-Apr-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI
KABUPATEN MAROS
SKRIPSI
OLEH :
MUSDALIFAH
O 111 11 267
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii
PREVALENSI PARAMPHISTOMIASIS PADA SAPI BALI DI
KABUPATEN MAROS
SKRIPSI
Oleh :
MUSDALIFAH
O 111 11 267
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Musdalifah
NIM : O111 11 267
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Prevalensi
Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten Maros” adalah hasil penelitian
saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain. Demikian
Pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 3 Desember 2015
Musdalifah
NIM. O 111 11 267
v
ABSTRAK
MUSDALIFAH. O11111267. Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di
Kabupaten Maros. Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan FAIZAL
ZAKARIYA.
Sapi Bali merupakan salah satu sapi potong asli Indonesia yang memiliki
nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Salah
satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas sapi Bali adalah
penyakit parasitik atau helminthiasis. Namun, penyakit ini kurang diperhatikan
oleh peternak. Paramphistomiasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh
Paramphistomum sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi
paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros. Sebanyak 84 sampel feses segar dikumpulkan dengan cara
acak sistematik pada tingkat peternak. Feses diperiksa dengan uji sedimentasi
untuk mendeteksi keberadaan telur Paramphistomum sp. berdasarkan
morfologinya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2015. Feses diperiksa
dengan uji sedimentasi untuk mendekteksi keberadaan telur Paramphistomum sp.
berdasarkan morfologinya. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi
paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros adalah 5,95 %
Kata Kunci : Sapi Bali, prevalensi, paramphistomiasis, Maros
vi
ABSTRACT
MUSDALIFAH. O11111267. Prevalence of Paramphistomiasis on Bali Cattle in
Maros Regency. Suvervised by LUCIA MUSLIMIN and FAIZAL
ZAKARIYA.
Bali Cattle is one of beef native in Indonesia which has a high economic
value and are important in people's lives. One of the factors that can lead to
decreased productivity Bali cattle is a parasitic disease or helminthiasis. However,
the disease is less noticed by the breeder. Paramphistomiasis is a parasitic disease
caused by Paramphistomum sp. 84 samples of fresh faeces collected by Systemic
Random Sampling (SRS) at the farmer level. Faecal were examined by
sedimentation method to detect eggs of Paramphistomum sp. on the basis of their
morphology. Research was done at July until August 2015. Faecal were examined
by sedimentation method to detect eggs of Paramphistomum sp. on the basis of
their morphology. The results showed the prevalence paramphistomiasis on Bali
Cattle in the Pucak Village, Tompobulu Sub-District, Maros Regency is 5.95%
Key Word : Bali Cattle, prevalence, paramphistomiasis, Maros
vii
KATA PENGANTAR
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam yang
dengan-Nya lah segala pinta, cinta, dan syukur diperuntukkan. Seluruh ranting
pohon yang ada di bumi jika dijadikan pena dan air di lautan jika dijadikan tinta
untuk menuliskan nikmatMu maka itu tidak akan pernah bisa karena nikmat yang
Engkau berikan sangat besar, tak terhingga dan senantiasa meliputi diri ini setiap
nafas yang terhembus. Terlebih nikmat hidayah, Iman dan Islam yang membuat
penulis melewati masa-masa indah di kampus yang sebelumnya tidak pernah
terbayangkan. Selama proses penyelesaian skripsi “Prevalensi
Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten Maros”, sebagai salah satu
syarat untuk memeperoleh gelar sarjana pada Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran UNHAS dengan segala tahapan dan persyaratan yang harus
dipenuhi, kendala-kendala yang tak pernah luput darinya senantiasa hadir
pertolongan dan kemudahan dariMu dari arah yang tak disangka dan tak terduga
sehingga penulis semakin yakin akan indahnya pengaturanMu dan besarnya
kekuasaan dan rahmatMu bahkan saat penulis merasa tidak mungkin Engkau
menjadikannya mungkin. Tak ada daya dan upaya melainkan dengan
pertolonganMu. Wahai Rabb yang sebaik-baik yang dicintai cukuplah hati, lisan,
dan perbuatan semoga senantiasa mencerminkan syukur akan karuniaMu yang
indah.
Salam dan salawat senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, orang yang paling mulia sepanjang zaman dan
panutan terbaik yang paling pantas dijadikan idola.
Selama penyusun skripsi ini tidak sedikit kendala yang menghadang.
Namun berkat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak dan tak terlepas dari
pertolongan Allah, hal tersebut dapat penulis hadapi. Terima kasih yang sebesar-
besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Ayahanda Abd. Halim dan ibunda Misjanna, atas segala doa yang
terlayangkan ke langit di atas sajadahmu untuk putrimu agar selalu
dimudahkan langkahnya. Segenap cinta, kasih sayang dan pengorbananmu
takkan bisa terbalas hanya dengan skripsi ini. Semoga bisa memberikan
hadiah terbaik untukmu dengan menjadi anak sholihah yang senantiasa
mendoakan kebaikan dan keselamatan untukmu dunia akhirat. Kepada
Allah penulis meminta agar rahmat dan kasih sayangNya senantiasa
meliputi kalian. Untuk 3 saudara laki-laki penulis yang menjaga,
mengayomi dan memberikan bantuan juga semangat. Jazakunallahu khair.
2. Ibu Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing Utama dan
Bapak Drh. Faizal Zakariyah, M.Sc. selaku pembimbing kedua, yang
telah membantu dan meluangkan waktu untuk saya dalam menyelesaikan
tugas akhir ini.
3. Ibu Drh. Sandra, ibu Drh. Adryani Ris, M.Si dan bapak Drh. Hadi
Purnama Wirawan sebagai dosen pembahas yang ikut memberikan
masukan dan saran dalam penyusunan dan perbaikan penulisan skripsi ini.
viii
4. Ibu Dr. drh. Dwi Kesuma Sari selaku penasehat akademik atas saran-
saran, nasihat, motivasinya dan bimbingannya selama penulis kuliah di
PSKH FK UNHAS .
5. Ibu Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc, selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran UNHAS.
6. Bapak dan ibu Dosen Pengajar Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran UNHAS.
7. Para Staf Administrasi Program Studi Kedokteran Hewan Pak Hasyim, bu
Murni dan Pak Nawir.
8. Kepala dan Sekretaris Desa Pucak yang telah mengizinkan penelitian
dilaksanakan di daerahnya.
9. Keluarga Dg. Eppe yang memberikan bantuan selama proses pengambilan
sampel di Desa Pucak.
10. Staf Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner Maros yang
memberikan arahan dan bantuan dalam pemeriksaan sampel.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Kedokteran Hewan 2011
ClaVata, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu terima kasih untuk
persahabatan yang kalian. Terkhusus tim penelitian Musdhalifah Hasyim,
Sri Febrianti, Suci Amaliah yang telah membantu dan ikut merasakan suka
duka dalam penelitian.
12. Special thanks to saudarikufillah Ifah, Aini, Kak Nur atas ukhuwah,
semangat dan doa serta bantuan yang diberikan. Merindukan duduk
melingkar dalam majelis ilmu bersama kalian. Semoga persaudaraan kita
terjalin selalu sampai Allah mempertemukan kembali di Surga-Nya.
Uhibbukifillah.
13. Untuk keluarga cemara kak pur, kak ita, umiy, wina yang penulis banyak
belajar hal darinya terkhusus dalam perkara ilmu agama dan amanah.
Meskipun sudah terpisah tempat tetapi semoga hati senantiasa terpaut.
14. Untuk Saudariku Muslimah Zero Eleven ukhti ani, umiy, wina, isra, nelsi,
sri, ayu wadi, ayu zahrah, rahmah, ica, ika, cahyani, dewi, fitri. Syukron
untuk ukhuwah dan semangat yang diberikan. Semoga dimudahkan dalam
kebaikan dan dimudahkan penyusunan skripsinya juga.
15. Untuk keluarga di pondok Spada heni, iftah, azizah, ana, ani, mala, nita,
mita, kak naadhirah, kak haafizhoh, kak fitri, kak yani terkhusus untuk
ukhti Ica dan Rahmah, terimakasih atas semangat dan ukhuwah yang
diberikan.
16. Terimakasih kepada seluruh pengurus Forum Studi Ulul Albaab periode
1436-1437 H atas semangat, pembelajaran dan ukhuwah yang terjalin
karena kecintaan padaNya.
17. Untuk seluruh pengurus SC AN-NAML Kedokteran Hewan yang baru
terbentuk selamat menjalankan amanah dan tetap semangat
menyampaikan kebaikan.
18. Dzakirat 7 yang selalu kompak, terimakasih atas ilmu, ukhuwah dan
moment indah yang diberikan.
19. Semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam seluruh proses perkuliahan di universitas Hasanuddin.
ix
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan penulis dalam
mencapai kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga peneltian ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Terima kasih.
Makassar , 3 Desember 2015
Musdalifah
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAH iii
PERNYATAAN KEASLIAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.5 Hipotesa 2
1.6 Keaslian Penelitian 2
1.7 Alur Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Sapi Bali 4
2.2 Paramphistomiasis 4
2.2.1 Etiologi 5
2.2.2 Siklus Hidup 5
2.2.3 Distribusi Penyakit 7
2.2.4 Patogenesis 7
2.2.5 Gejala Klinis 7
2.2.6 Diagnosa 8
2.2.7 Pencegahan 8
2.2.8 Pengobatan 9
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Paramhistomiasis pada Sapi Bali 9
3. METODOLOGI PENELITIAN 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 11
3.2 Materi Penelitian 11
3.3 Metode Penentuan Besaran Sampel Penelitian 11
3.4 Prosedur Pengujian Sedimentasi 12
3.4.1 Bahan 12
3.4.2 Alat 12
3.4.3 Pengambilan Feses 12
3.4.4 Pengujian Laboratorium 12
3.5 Analisa Data 13
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14
5. KESIMPULAN DAN SARAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 28
RIWAYAT HIDUP 36
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 13
Tabel 2 Kejadian Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Marosq 18
Tabel 3 Hasil Identifikasi Telur Cacing Lain 25
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Alur Penelitian 3
Gambar 2 Telur Paramphistomum sp 6
Gambar 3 Siklus Hidup Paramphistomum sp 7
Gambar 4 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 100x 18
Gambar 5 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 200x 18
Gambar 6 Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 400x 19
Gambar 7 Telur Paramphistomum sp. Hasil Penelitian dan
Sesuai Literatur 20
Gambar 8 Perbedaan Telur Paramphistomum sp. dan Fasciola sp 21
Gambar 9 Sapi Bali Digembalakan di Sawah yang Kering 23
Gambar 10 Areal Penggembalaan Sapi Bali 24
Gambar 11 Sistem Pemeliharaan Sapi Bali 25
Gambar 12 Sanitasi Kandang yang Buruk 27
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ternak sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil daging yang memiliki
nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Seekor atau
kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai
bahan makanan berupa daging, di samping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang,
kulit, dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein
hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai
pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi, kemudian
diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging (Sugeng, 2008). Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang memiliki keunggulan berupa
kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan
tingkat fertilitas yang tinggi. Tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki
produktivitas dan pengelolaan sapi Bali untuk perkembangan peternakan di masa
mendatang (Guntoro, 2002).
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas sapi Bali adalah
penyakit parasitik atau helminthiasis. Namun, penyakit ini kurang diperhatikan oleh
peternak. Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi
mencari makan sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak
dikandangkan (sistem tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem inilah yang
dapat meningkatkan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak (Harminda,
2011).
Infeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit tidak menimbulkan gejala klinis
pada ternak, tetapi pada infeksi yang berat dapat menimbulkan gastroenteritis dan
menyebabkan kematian cukup tinggi, terutama pada ternak muda (Melaku and Addis,
2012).
Data prevalensi paramphistomiasis pada sapi di Aceh sebanyak 94.5%, di Sumatera
Barat 99.5%, di Lampung sebanyak 69.84%, di Jawa 41.6%, di Sulawesi Selatan
53.23%, di Kalimanatan Selatan 56%, di Nusa Tenggara Barat 80% dan di Nusa
Tenggara Timur 32.27% (Beriajaya, 1979). Juga di Kecamatan Libureng, Kabupaten
Bone prevalensi paramhistomiasis pada sapi Bali adalah 57 % (Darmin, 2014).
Melihat tingginya prevalensi paramhistomiasis pada sapi Bali menjadi latar
belakang peneliti melakukan penelitian di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros. Berdasarkan Badan Pusat Statistika (2013), populasi sapi Bali di
Kecamatan Tompobulu merupakan populasi sapi terbesar di Kabupaten Maros. Selain
itu, di kabupaten ini pernah dilaporkan kejadian paramphistomiasis.
2
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa prevalensi paramphistomiasis
pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi paramphistomiasis
pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Ilmu
1. Sebagai bahan informasi mengenai prevalensi paramhistomiasis pada sapi bali di
Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
2. Sebagai referensi ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah keilmuan terutama
dalam bidang ilmu parasitologi veteriner.
3. Sebagai referensi untuk pengendalian paramphistomiasis pada sapi bali.
Manfaat Aplikasi
1. Memberikan informasi tentang paramphistomiasis yang menyerang sapi bali
sehingga dapat menyadarkan peternak maupun pemerintah dalam melakukan
pencegahan paramphistomiasis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi.
2. Dapat dijadikan acuan untuk merancang program pengendalian paramphistomiasis
dengan tepat, khususnya di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
1.5 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 30%.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai prevalensi paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros belum pernah dilakukan. Penelitian
prevalensi paramphistomiasis di Indonesia pernah dilakukan. Namun, tujuan dan
lokasinya yang berbeda. Diantara penelitian yang pernah dilakukan adalah Nofyan et al.
(2008) pernah melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di daerah
Palembang, sedangkan Suharmita Darmin (2014) melaporkan tingkat prevalensi
paramphistomiasis pada sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan.
3
1.7 Alur Penelitian
P
Identifikasi telur cacing
Positif paramphistomum sp.
(
Negatif paramphistomum sp
Analisa Data
Feses segar
Sapi Bali di Desa
Pucak
Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali
di Desa Pucak, Kec. Tompobulu, Kab. Maros
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali
Sapi bali merupakan turunan dari sapi liar yang disebut banteng (Bos bibos atau Bos
sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) berabad-abad
lamanya. Hampir seluruh jenis sapi di Indonesia berasal dari banteng yang telah
mengalami persilangan dengan bangsa sapi yang lain, seperti zebu, ongole, hissar dan
gujarat. Daerah atau lokasi penyebaran utama sapi bali adalah Pulau Bali. Di pulau Bali,
sapi ini diternakkan secara murni. Daerah penyebaran lain dari sapi Bali adalah
Sulawesi, NTB, dan NTT (Sugeng, 2008).
Sapi bali memiliki banyak keunggulan, antara lain adalah dagingnya yang
bertekstur lembut dan tidak berlemak. Daya produksinya bagus sehingga sapi ini
menjadi primadona di kalangan peternak sapi di Indonesia. Oleh karena daya
reproduksi sapi bali bagus, maka populasinya menjadi tinggi. Populasi sapi bali
mencapai sekitar 2.6 juta ekor atau sekitar 26% dari populasi sapi potong di Indonesia
(Yulianto, 2010).
Sapi bali termasuk tipe pedaging dan pekerja. Sapi bali memiliki bentuk tubuh
seperti banteng tetapi berukuran lebih kecil akibat proses domestikasi. Sapi bali
memiliki dada yang dalam dan badan yang padat. Warna rambut pada sapi yang masih
muda (pedet) adalah sawo matang atau merah bata. Setelah dewasa, rambut sapi betina
akan bertahan merah bata, sedangkan sapi jantan kehitam-hitaman. Pada bagian-bagian
tertentu, baik pada jantan maupun betina, berwarna putih, yakni pada bagian keempat
kakinya dari sendi kaki sampai kuku dan di bagian glutea. Kepala sapi bali agak pendek
dengan dahi datar. Tanduk pada jantan tumbuh ke bagian luar kepala, sedangkan betina
agak ke bagian dalam. Kaki sapi bali pendek sehingga menyerupai kaki kerbau
(Sugeng, 2008).
2.2 Paramphistomiasis
Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum
sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda. Paramphistomum sp.
hidup di dalam rumen, retikulum, usus, saluran empedu atau kandung kemih hewan
yang diserangnya. Hal ini menyebabkan kerja rumen menjadi terganggu sehingga pakan
tidak dapat dicerna dengan sempurna (Hamdan, 2014).
Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda akibat infeksi Paramhistomum
sp. yang dapat menyerang sapi, kambing, domba dan ruminansia lain. Penyakit ini
tersebar diseluruh Indonesia dengan prevalensi yang tinggi terutama pada sapi (50 –
88,89 %). Infeksi Paramphistomum sp. dalam jumlah sedikit tidak menimbulkan gejala
klinis pada ternak, tetapi pada infeksi yang berat dapat menimbulkan gastroenteritis dan
menyebabkan kematian cukup tinggi, terutama pada ternak muda (Melaku and Addis,
2012).
5
2.2.1 Etiologi
Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda yang dapat menyerang sapi,
kambing, domba dan ruminansia lain. Penyakit parasitic ini disebabkan oleh satu atau
lebih cacing dari genus Paramphistomum sp., misalnya P. cervi, P. microbothrioides,
P. liorchis, P. ichikawi, P. gotoi, dan Calicophoron sp. atau Ceylonocotyle sp. maupun
Cotyledophoron sp. Ada 2 spesies Paramphistomum sp. yang telah ditemukan di
Indonesia, yaitu P. cervi dan P. (Gygantocotyl) explanatum. Salah satu jenis yang
sering terdapat pada sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto, 2007).
Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, berbentuk pipih,
seperti Fasciola sp. dan Eurythrema sp. Cacing ini mempunyai batil isap di bagian
perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, dan di bagian mulut ada batil isap
mulut yang kecil (oral sucker). Paramphistomum sp. memiliki saluran pencernaan yang
sederhana dan juga testis yang bergelambir, terletak sedikit di bagian anterior ovarium.
Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Michel and
Upton 2006).
Karakteristik telur Paramphistomum sp. adalah transparan, sel embrional dan
operkulum yang jelas, dinding berwarna jernih (transparan), sering terdapat tonjolan
kecil di ujung posterior. Ukuran telur Paramphistomum sp. adalah panjangnya 113-175
mikron dan lebar 73-100 mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan, seperti
pada Gambar 2 (Lukesova, 2009).
Gambar 2. Telur Paramhistomum sp (Lukesova,2009)
2.2.2 Siklus Hidup
Telur cacing keluar saat defekasi yang telah mengalami perkembangan awal
dan pada kondisi yang menunjang (air tergenang dan suhu 270 C) setelah lebih
kurang 12 hari melalui operkulum akan keluar larva yang disebut mirasidium.
Mirasidium selanjutnya akan berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes
intermidiet berupa siput dari genus ( Planorbis, Bulinus, Fossaria sp., Gliptanisus
dan Fysmanisus ). Setelah masuk dalam tubuh siput mirasidium akan berubah
menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan
6
didalamnya mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke- 21 sporokista akan
pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5 – 1 mm. Di dalam tubuh
redia ditemukan 15-30 cercaria. Serkaria akan keluar dari dalam tubuh siput
terutama pada saat kena sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor
sederhana dan sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam, kemudian
akhirnya akan mengkista disebut metaserkaria di dalam tumbuhan air yang dapat
tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang
mengandung metaserkaria, setelah sampai di dalam usus kista akan pecah dan
terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk kedalam mukosa
usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi keatas
menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa
(Javed et al, 2006).
Demi kelangsungan hidupnya, cacing ini memerlukan inang antara untuk
berkembangnya stadium larva (stadium redia sampai serkaria). Ada dua famili siput
yang penting yang bertindak sebagai inang antara dari parasit cacing ini, ialah :
Planorbidae dan Lymneaeidae. Di Afrika, Australia dan India, inang enters hanya
terdapat pads famili Planorbidae. Di Amerika Utara dan Eropa inang antaranya
adalah siput Planorbidae dan juga siput Lymneaeidae. Pada sekitar tahun 1932 dan
1933 Krull menemukan inang antara dan cacing P. Microbotrium, yaitu siput
Lymnea humilisatau L. bulimoides dan siput tersebut mirip dengan L . trunctetula
yang merupakan inang antara dari cacing P. daubneyi di Kenya. Di Indonesia telah
ditemukan siput sebagai inang antara dari cacing Paramphistomum (Gygantocotyl)
explanatum yaitu Gyraulus convexiusculus dari famili Planorbidae (Darmono,
1983).
Gambar 3. Siklus hidup Paramphistomum sp (Lioyd, 2007)
7
2.2.3 Distribusi Penyakit
Kejadian paramphistomiasis banyak terjadi di bagian dunia dengan curah
hujan yang tinggi dan di padang rumput yang basah, hal ini berkaitan dengan siklus
hidup cacing tersebut. Infeksi Paramphistomum sp. pada ternak biasa terjadi pada
akhir musim hujan dan awal musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan
optimal telur menjadi mirasidium terjadi pada awal musim hujan dan perkembangan
di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan.
Pelepasan serkaria pada hospes antara dimulai awal musim kemarau dengan curah
hujan yang masih cukup tinggi dan menurun seiring makin rendahnya curah hujan
(Subronto, 2007). Selain itu, Melaku and Addis (2012) mengatakan bahwa
paramphistomiasis tersebar di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi terjadi pada
daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Asia, Afrika, Australia, Eropa timur
dan Rusia
Suharmita Darmin (2014) melaporkan prevalensi paramhistomiasis pada
sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone 57 %. Beriajaya et al. (1981)
melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di beberapa bagian Indonesia,
yaitu di Aceh 94.80%, di Sumatera Barat 99.50%, di Lampung 69.84%, di Jawa
41.60% dan di Nusa Tenggara Barat 80.00%. Penelitian Darmono et al. (1983)
melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada sapi di Bali adalah sebesar 88.89%.
Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan di Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7% (Siswansyah et al., 2006). Selain itu,
Tantri et al. (2013) melaporkan kejadian paramphistomiasis sebanyak 18.75% pada
sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
2.2.4 Patogenesis
Cacing muda Paramphistomum sp. yang menembus masuk ke dalam
submukosa akan menyebabkan peradangan usus, nekrosis sel dan erosi vili-vili
mukosa. Cacing muda dalam jumlah banyak yang berada di dalam usus halus dapat
menyebabkan kematian pada sapi. Cacing dewasa yang berada di dalam rumen dan
retikulum akan menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan
kepucatan pada mukosa. Papilla rumen pada sapi yang terinfeksi Paramphistomum
sp. akan mengalami degenerasi sehingga perubahan tersebut mengakibatkan
gangguan kerja rumen dan makanan tidak dapat dicerna dengan sempurna
(Subronto, 2007).
Infeksi pada induk semang terjadi akibat memakan tanaman atau rumput
yang tercemar metacercaria. Setelah tertelan didalam usus halus menjadi cacing
muda. Cacing muda ini akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus,
kemudia keluar kepermukaan dan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum kira-
kira satu bulan setelah infeksi. Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub
mukosa akan menyebabkan keradangan usus, nekrose dari sel, dan erosi vili-vili
dari mukosa. Sedangkan cacing dewasa dalam rumen dan retikulum menghisap
bagian permukan mukosa menyebabkan kepucatan pada mukosa, serta papilla
rumen banyak mengalami degenerasi. Adanya cacing muda dalam jumlah banyak
8
dalam usus halus dapat menyebabkan kematian pada sapi. Mukosa rumen yang
terinfeksi parasit ini terlihat anemi dan nekrose, sehingga perubahan tersebut akan
mengakibatkan gangguan kerja rumen, sehingga makanan tidak dapat dicerna
dengan sempurna (Javed et al, 2006).
2.2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah
besar pada usus halus adalah diarhe profus, kekurusan dan anemi. Gejala klini baru
timbul bila jumlah cacing muda diatas 30 000 ekor. Gejala lain berupa kekurusan,
kondisi tubuh menurun , hypoproteinaemia dan odema. Adanya cacing dewasa
dalam rumen dan retikulum akan menyebabkan terganggunya sistem pencernaan.
Gejala klinis akibat paramphistomiasis pada fase intestinal, yaitu adanya
peradangan usus yang ditandai dengan diare yang berbau busuk. Sapi yang
terinfeksi akan menjadi lemah, depresi, dehidrasi dan anoreksia. Selain itu, sapi
mengalami hipoproteinemia yang ditandai dengan oedema submandibular dan
mukosa mulut kelihatan pucat. Kemungkinan sapi akan mengalami kematian dalam
waktu 15-20 hari setelah gejala klinis teramati. Paramphistomiasis fase ruminal
dapat menyebabkan penyakit kronik yang berupa kekurusan, anemia, bulu kusam
serta produktivitas menurun (Subronto, 2007).
2.2.6 Diagnosa
Diagnosa yang paling awal ialah dengan jalan melihat gejala klinis yang
timbul . Ternak ruminansia yang terserang oleh parasit cacing ini terlihat kurang
nafsu makan (anorexia), mencret, kadangkadang pada infestasi yang berat, cacing
dewasa bisa keluar bersama-sama dengan tinja. Diagnosa juga bisa dilakukan
dengan pemeriksaan tinja dari hewan penderita den akan ditemukan telur cacing
yang berwarna kuning muda (Darmono, 1983).
2.2.7 Pencegahan
Cacing Paramphistomum sp. merupakan parasit cacing yang sering
ditemukan di daerah tropik dan sub tropik yang biasa menyerang ternak sapi,
kerbau, kambing dan domba . Cacing ini cukup berbahaya untuk hewan ternak
muda, yaitu bila terjadi migrasi cacing muda dari usus menuju rumen . Pada fase
ini, banyak terjadi kematian, sehingga infestasi parasit cacing ini perlu mendapat
perhatian untuk diteliti. Untuk mencegah terjadinya infestasi cacing ini, perlu
dilakukan (Darmono, 1983) :
1. Pengobatan terhadap ternak-ternak yang sudah terinfestasi, untuk mencegah
keluarnya telur cacing, karena cacing dewasa telah terbunuh, sehingga penyakit
tidak dapat tersebar secara luas.
2. Hewan ternak muda sebaiknya dijauhkan penggembalaannya dari daerah padang
rumput yang telah terinfeksi.
3. Pemberantasan siput sebagai inang antara dengan jalan pemberian moluskisida,
untuk memotong siklus hidup cacing tersebut .
9
Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum sp. dengan
pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber
infeksi untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di padang
rumput. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan menghindarkan ternak
dari penggembalaan di padang rumput ketika musim hujan (Llyod et al., 2007).
2.2.8 Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi Paramphistomum sp. terdiri atas dua bagian,
yakni pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing dewasa di dalam rumen
dan pengobatan yang ditujukan untuk membunuh cacing muda bila terjadi suatu
ledakan penyakit (outbreak) (Gandahusada et al., 2000). Obat-obat yang dapat
digunakan untuk membunuh Paramphistomum sp. adalah meniclopholen
(niclofolan®, bilevon®), mensonil (niclosaminde®, yomeson®) dan resorentel
(terenol®) (Subronto, 2007).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi paramhistomiasis pada Sapi Bali
Paramphistomiasis umumnya menyerang ternak ruminansia terutama sapi dan
kerbau. Tingkat infeksi cacing tergantung dari derajat infeksi dan daya tahan tubuh
ternak terhadap penyakit (Tuasikal and Suhardono, 2006). Menurut Raza et al. (2009),
paramphistomiasis pada ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur
ternak, jenis kelamin, jenis ternak, penggunaan anthelmintika, pendidikan dan status
ekonomi peternak, serta manajemen ternak. Manajemen pemeliharaan ternak
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap infeksi cacing pada ternak
(Purwanta et al., 2009).
Daerah yang memiliki suhu 25-30 0C membantu pertumbuhan telur-telur cacing
menjadi larva yang infektif bagi hospes definitif dan merupakan kondisi optimum
berlangsungnya penularan lewat padang rumput. Banyaknya vegetasi pada lahan
penggembalaan, menjadikan daerah tersebut lembab dan lama dalam menyimpan air
sehingga memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya.
Hasil penelitian dari 9 jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi paling banyak
adalah Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. yang keduanya termasuk kelas trematoda
(cacing daun). Kejadian kedua jenis parasit cacing ini disebabkan oleh pengambilan
sampling dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari
lahan persawahan sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan
hospes perantara (siput air) (Sugama and Suyasa 2011).
Melaku and Addis (2012) menyatakan bahwa prevalensi paramphistomiasis yang
lebih tinggi pada ternak betina diduga disebabkan ternak betina umumnya dipelihara
lebih lama sebagai induk untuk breeding sehingga resiko paparan oleh
Paramphistomum sp. akan lebih besar. Selain itu, ketidakstabilan imunitas ternak betina
pada masa bunting, melahirkan dan laktasi diduga dapat berpengaruh terhadap infeksi
cacing dan kondisi tubuh yang buruk pada ternak akan memperparah
paramphistomiasis.
10
Ternak ruminansia yang sudah dewasa atau yang sudah pernah mengalami infestasi
cacing dewasa di dalam rumennya, biasanya kebal terhadap infestasi baru (reinfestasi) .
Horek melaporkan hasil penelitiannya mengenai adanya kekebalan terhadap infestasi
P, microbothrium pada domba, kambing den sapi . Infestasi beberapa spesies cacing
Paramphistomum (multiple infestation), dapat menimbulkan kekebalan yang kuat
terhadap reinfestasi cacing tersebut (Darmono, 1983).
Tingginya kejadian paramphistomiasis pada hewan dewasa diduga berkaitan dengan
frekuensi penggembalaan yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi
metaserkaria Paramphistomum sp., sedangkan tingginya prevalensi pada ternak yang
digembalakan diduga berkaitan dengan tingginya tingkat kontaminasi lapangan
penggembalaan, potensi biologi yang tinggi dari siput sebagai hospes perantara dan
pemberian anthelmintik yang tidak tepat, serta kurangnya tindakan pengendalian (Yasa,
2013).
Konsumsi pakan hijauan yang tercemar metaserkaria dapat menyebabkan tingkat
infeksi cacing yang cukup tinggi. Sapi yang diberi pakan dengan ¾ bagian jerami
menderita paramphistomiasis cukup tinggi. Infeksi ini terjadi dikarenakan metaserkaria
pada batang padi umumnya tersebar di sepertiga bagian bawah batang padi atau pada
bagian bawah sekitar 10-15 cm dari tanah (Abidin, 2002).
Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan ternak sebagai
tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada ternak. Selain itu,
sanitasi kandang yang buruk dapat menyebabkan imunitas tubuh hewan menurun.
mengatakan bahwa infeksi Paramphistomum sp. pada ternak akan lebih tinggi
kejadiannya pada hewan ternak dengan imunitas yang rendah. Sebagian besar kandang
sapi yang sudah dilakukan pembersihan secara teratur, tetapi masih ditemukan ternak
sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. Infeksi ini terjadi pada saat ternak
digembalakan di tempat penggembalaan atau melalui pakan yang mengandung
metaserkaria( Melaku and Addis 2012).
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Pemeriksaan feses dilaksanakan di
Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros.
3.2 Materi Penelitian
Unit kajian dalam penelitian ini adalah peternakan sapi bali yang tersebar di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Materi penelitian berupa feses Sapi
Bali yang berasal dari hasil sampling tingkat peternakan Sapi Bali di Desa Pucak. Unit
terkecil dalam penelitian ini adalah peternak Sapi Bali Desa Pucak yang dipilih dengan
cara sampling rambang sistematik.
Materi kajian penentuan prevalensi penyakit Paramphistomoiasis ini berupa
spesimen feses dalam bahan pengawet buffer neutral formalin 10%. Untuk pengujian
identifikasi parasitik menggunakan teknik uji sedimentasi.
3.3 Metode Penentuan Besaran Sampel Penelitian
Rancangan dalam pengambilan sampel yang baik dan representatif merupakan
komponen yang penting dalam penyidikan dan kajian epidemiologi analitik. Penelitian
ini merupakan kajian epidemiologi secara prospektif analitik dalam menentukan
tingkat prevalensi penyakit Paramphistomoiasis di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros. Unit terkecil dalam penelitian ini adalah peternak sapi
Bali yang tersebar di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi Bali yang terdapat di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebanyak 1.436 ekor (BPS, 2013). Asumsi
prevalensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 30%, dengan tingkat
kepercayaan sebesar 90% dan tingkat galat sebesar 10%.
Penentuan besaran sampel dilakukan dengan menggunakan rumus (Selvin, 2004) :
Keterangan : n = Besaran sampel feses sapi yang diambil
P = Asumsi dugaan tingkat kejadian paramphistomiasis (30%)
Q = (1-Asumsi Prevalensi)
L = Galat/Tingkat kesalahan 10%
Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut :
𝒏 = 𝟒 𝑷.𝑸
𝑳𝟐
12
n = 4 (0.30)(1 − 0.30)
0.12
n = (1.2)(0.70)
0.01
n = 0.84
0.01
n = 84 𝑒𝑘𝑜𝑟
Pemilihan peternak Sapi Bali menggunakan metode sampling rambang sistematik
dengan penentuan besaran sampel pada ternak Sapi Bali dipilih secara klaster.
3.4 Prosedur Pengujian Sedimentasi
3.4.1 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah feses, air, methylene
blue dan formalin 10% (Darmin, 2014).
3.4.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik,
coolbox, timbangan, object glass, cover glass, mikroskop, sentrifus, tabung plastik
sentrifus bertutup yang mempunyai skala ukuran volume 30 ml, saringan teh,
mortar, gelas ukur, pipet pastuer, sendok pengaduk dan botol pot plastik (Darmin,
2014).
3.4.3 Pengambilan Feses
Feses yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar, sebanyak
kurang lebih 20 gram setiap ekor sapi. Feses segar dimasukkan ke dalam kantong
plastik bersama formalin untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan
dan penyimpanan. Setiap spesimen diberi label yang memuat keterangan kode sapi.
Setelah itu, spesimen dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat
pengambilan sampel, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator sampai
dilakukan pemeriksaan di laboratorium (Darmin, 2014).
3.4.4 Pengujian Laboratorium
Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi digunakan untuk
mengidentifikasi telur trematoda (Paramphistomum sp.) di dalam feses karena telur
trematoda yang relatif besar dan berat dibandingkan dengan telur nematoda. Feses
ditimbang sebanyak 2 gram dan dicampur dengan sedikit air kemudian diaduk
sampai merata dengan menggunakan mortar. Setelah campuran homogen, lalu
disaring menggunakan saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke
dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung sentrifus diseimbangkan kemudian
disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Jika sentrifus tidak bisa
13
digunakan, campuran tersebut didiamkan selama 20-30 menit. Proses selanjutnya,
supernatan dibuang sementara sedimennya dibiarkan mengendap. Sedimen yang
berada pada permukaan dan dasar tabung masing-masing diambil dengan pipet
pastuer dan diletakkan di atas object glass yang berbeda (jika terlalu keruh
ditambahkan 1 tetes air dan diaduk), kemudian ditambahkan 1 tetes larutan
methylene blue lalu dicampur secara merata dan ditutup dengan cover glass.
Selanjutnya, kedua object glass tersebut diperiksa menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 100 x (Urquhart et al., 2000).
3.5 Analisa Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif setelah pengujian sampel di laboratorium
yang mendapatkan hasil positif atau negatif. Penentuan tingkat prevalensi
paramphistomiasis dilakukan dengan menggunakan rumus prevalensi (Budiharta, 2002)
:
Prevalensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian untuk mengetahui prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros telah dilakukan pada bulan Juli-Agustus
2015. Sebanyak 84 sampel feses dikumpulkan dalam penelitian ini dengan cara sampling
rambang sistematik pada tingkat peternak di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros. Dari cara tersebut, diperoleh 17 peternak terpilih yang mewakili seluruh
peternak di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten maros. Penentuan jumlah
sampel pada masing-masing peternak terpilih dilakukan secara klaster atau mengambil
semua feses Sapi Bali yang dimilikinya. Jumlah sampel dalam penelitian ini disajikan
dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros
No Nama Peternak Jumlah Ternak (Ekor) Jumlah Sampel
1 Dg. Buang 14 14
2 Pak Arman 1 1
3 Dg. Kanang 2 2
4 Lengko 5 5
5 Pak Baso Raga 4 4
6 Dg. Eppe 5 5
7 Nenek Hasnah 9 9
8 Yauri Haryanto 8 8
9 Bahtiar 6 6
10 Muhammad Saleh 5 5
11 Sabri 3 3
12 Nahlan 3 3
13 Megawati 5 5
14 Sumiati 4 4
15 Nirwana 3 3
16 Kamaruddin 4 4
17 Pak Teki 3 3
Jumlah 84 84
Pengambilan sampel dalam sehari dilakukan minimal 2 kali di setiap peternak
terpilih yaitu pada subuh hari dan petang hari. Kedua waktu tersebut adalah waktu defekasi
sapi sehingga didapatkan feses segar karena sulit dilakukan perektal. Dalam sehari dapat
dikumpulkan sekitar 12 sampel. Sebanyak 20 gram sampel feses segar diambil
menggunakan kantong plastik putih dan diberikan formalin 5 ml untuk mencegah
menetasnya telur cacing sebelum pemeriksaan di laboratorium. Setelah itu, sampel
diberikan label kode atau penomoran berdasarkan data spesimen. Data spesimen meliputi
15
umur, jenis kelamin, riwayat pemberian obat cacing, kondisi ternak, manajemen ternak atau
kandang dan waktu pengambilan sampel.
Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Besar
Veteriner (BBVet) Maros dengan menggunakan metode sedimentasi untuk menemukan
telur Paramphistomum sp yang termasuk dalam kelompok trematoda. Feses ditimbang
sebanyak 2 gram dan dicampur dengan 30 ml NaCl kemudian diaduk sampai merata
dengan menggunakan mortar. Setelah campuran homogen, lalu disaring menggunakan
saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Setelah itu,
tabung sentrifus diseimbangkan kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5
menit. Proses selanjutnya, supernatan dibuang sementara sedimennya dibiarkan
mengendap. Sedimen yang berada pada permukaan dan dasar tabung masing-masing
diambil dengan pipet pastuer dan diletakkan di atas object glass yang berbeda kemudian
ditambahkan 1 tetes larutan methylene blue lalu dicampur dan diaduk secara merata dan
ditutup dengan cover glass. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop.
Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan telur Paramphistomum sp yang nampak di
bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, 200x, dan 400x, seperti pada gambar di bawah
ini.
Gambar 4. Perbesaran 100x Gambar 5. Perbesaran 200x
Gambar 6. Perbesaran 400x
16
Keterangan gambar. Panah merah menunjukkan telur cacing Paramphistomum sp. masing-
masing pada perbesaran 100x, 200x, dan 400x di bawah mikroskop.
Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop, terlihat morfologi telur
Paramphistomum sp. yang memiliki dinding tipis berwarna biru karena menyerap warna
methylen blue dan operkulum yang menebal di bagian ujungnya, blastomer jelas dan
ukurannya yang relatif besar. Secara umum, morfologi tersebut hampir sama dengan
morfologi Paramphistomum sp. menurut literatur, seperti pada gambar 7 (Lukesova, 2009).
a
a
b b
A B
Gambar 7. A) Telur Paramphistomum sp. (hasil penelitian) dan B) Telur Paramphistomum
sp. sesuai literatur (Lukesova, 2009)
Keterangan gambar. a) Operkulum
b) Blastomer
Secara morfologi, telur Paramphistomum sp. hampir sama dengan telur Fasciola
sp. yang berada dalam satu genus sehingga perlu diketahui cara membedakannya sehingga
tidak salah dalam pemeriksaan atau diagnosis. Untuk membedakan keduanya, dapat diamati
dari karakteristik telur, yakni te1ur Fasciola sp. berwarna kuning emas karena tidak
menyerap warna methylene blue, memiliki operkulum di salah satu kutubnya, dan sel-sel
embrional yang kurang jelas dan kecil. Sedangkan telur Paramphistomum sp. memiliki
kerabang telur yang transparan, berwarna keabu-abuan atau biru karena menyerap warna
methylene blue, dan memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan telur Fasciola sp.
17
Telur cacing yang mempunyai persamaan dengan Paramphistomum sp. adalah
Fasciola sp. sehingga adanya telur cacing ini akan mempersulit dalam pemeriksaan. Telur
Paramphistomum sp. mempunyai kulit telur transparan dan menyerap warna bila diwarnai
dengan methylen blue sehingga akan nampak berwarna biru sedang sel-selnya agak lebih
besar bila dibandingkan dengan telur Fasciola sp. sedangkan telur Fasciola sp. kulit telur
berwarna kuning dengan operkulum pada salah satu ujung telur dan sel-sel embrional yang
kurang jelas dan memenuhi ronggat telur. Telur Fasciola sp. tidak menyerap warna
methylen blue sehingga tetap berwarna kuning (Darmin, 2014).
Perbedaan telur Paramphistomum sp. dengan Fasciloa sp bisa dilihat pada gambar
7 di bawah ini.
A B
Gambar 8. A) Telur Fasciola sp. (Anggriana,2014) dan B) Telur Paramphistomum sp.
(hasil penelitian)
Hasil pengujian sedimentasi terhadap sampel feses sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros yaitu dari 84 sampel feses Sapi Bali terdapat 5
sampel feses Sapi Bali yang positif paramphistomiasis. Data hasil pemeriksaan sampel
feses Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros disajikan dalam
tabel 2.
18
Tabel 2. Kejadian Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros
No Nama Peternak Jumlah Sampel Paramphistomum sp.
Positif Negatif
1 Dg. Buang 14 0 0
2 Pak Arman 1 0 1
3 Dg. Kanang 2 0 2
4 Lengko 5 0 5
5 Pak Baso Raga 4 0 0
6 Dg. Eppe 5 0 5
7 Nenek Hasnah 9 0 9
8 Yauri Haryanto 8 1 7
9 Bahtiar 6 0 6
10 Muhammad Saleh 5 2 3
11 Sabri 3 0 0
12 Nahlan 3 0 3
13 Megawati 5 1 4
14 Sumiati 4 1 3
15 Nirwana 3 0 3
16 Kamaruddin 4 0 4
17 Pak Teki 3 0 3
Jumlah 84 5 79
Dari 17 peternak terpilih, terdapat 4 peternak yang didapatkan sampel feses sapinya
positif paramphistomiasis yaitu Yauri haryanto, Megawati, Sumiati, dan Muh.Saleh. 13
19
Peternak lainnya tidak ditemukan adanya telur Paramphistomum sp. Berdasarkan data di
atas, sebanyak 5 ekor dari 84 ekor Sapi Bali yang positif paramphistomiasis sehingga
prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros dengan menggunakan rumus prevalensi (Budiharta, 2002) adalah sebagai
berikut :
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi paramphistomiasis pada Sapi
Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 5,95%. Angka
tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Suharmita Darmin pada
tahun 2004 di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone yaitu mencapai 57%. Di daerah lain,
seperti dilaporkan oleh Wirawan, dkk. (2011) bahwa tingkat kejadian paramphistomiasis di
Kabupaten Bone dan Kabupaten Barru masing-masing 29,23% dan 31,16%. Selain itu,
Purwanta,dkk. (2009) pernah melaporkan kejadian paramphistomiasis di Kabupaten Gowa
yang jauh lebih rendah yaitu 1,31%. Beriajaya et al. (1981) melaporkan prevalensi
paramphistomiasis pada sapi di beberapa bagian Indonesia, yaitu di Aceh 94.80%, di
Sumatera Barat 99.50%, di Lampung 69.84%, di Jawa 41.60% dan di Nusa Tenggara Barat
80.00%. Penelitian Darmono et al. (1983) melaporkan prevalensi paramphistomiasis pada
sapi di Bali adalah sebesar 88.89%. Paramphistomiasis pada sapi juga dilaporkan di
Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan adalah sebesar 66.7% (Siswansyah et
al., 2006). Selain itu, Tantri et al. (2013) melaporkan kejadian paramphistomiasis sebanyak
18.75% pada sapi (Bos sp.) di RPH Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali berbeda-beda dan bervariasi di setiap
daerah. Prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa wilayah di
Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan hospes antara dari cacing
Paramphistomum sp. tidak didukung oleh suhu di daerah tersebut yang mengalami
kemarau dan saat pengambilan sampel tidak ditemukan hospes antara yaitu siput.
Demi kelangsungan hidupnya, Paramphistomum sp. memerlukan inang antara
untuk berkembangnya stadium larva (stadium redia sampai serkaria). Ada dua famili siput
yang panting yang bertindak sebagai inang antara dari parasit cacing ini ialah Planorbidae
dan Lymneaeidae. Di Afrika, Australia dan India, hanya terdapat famili Planorbidae. Di
P = 5
84 𝑥 100%
P = 0,0595 𝑥 100%
P = 5,95 %
Prevalensi (P) = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 100%
20
Amerika Utara dan Eropa inang antaranya adalah siput Planorbidae dan juga siput
Lymneaeidae. Pada sekitar tahun 1932 dan 1933 Krull menemukan inang antara dan cacing
P. Microbotrium, yaitu siput Lymnea humilisatau L. bulimoides dan siput tersebut mirip
dengan L . trunctetula yang merupakan inang antara dari cacing P. daubneyi di Kenya. Di
Indonesia telah ditemukan siput sebagai inang antara dari cacing Paramphistomum
(Gygantocotyl) explanatum yaitu Gyraulus convexiusculus dari famili Planorbidae
(Darmono, 1983).
Daerah yang memiliki suhu 25-30 0C membantu pertumbuhan telur-telur cacing
menjadi larva yang infektif bagi hospes definitif dan merupakan kondisi optimum
berlangsungnya penularan lewat padang rumput. Banyaknya vegetasi pada lahan
penggembalaan, menjadikan daerah tersebut lembab dan lama dalam menyimpan air
sehingga memungkinkan berbagai jenis cacing untuk melanjutkan siklus hidupnya. Hasil
penelitian dari 9 jenis parasit gastrointestinal yang menginfeksi paling banyak adalah
Paramphistomum sp. dan Fasciola sp. yang keduanya termasuk kelas trematoda (cacing
daun). Kejadian kedua jenis parasit cacing ini disebabkan oleh pengambilan sampling
dilakukan pada daerah yang basah atau pakan yang diberikan berasal dari lahan persawahan
sehingga memungkinkan perkembangan cacing ini yang memerlukan hospes perantara
(siput air) (Sugama and Suyasa 2011).
Infeksi Paramphistomum sp. umumnya terjadi saat sapi sebagai hospes definitif
memakan rumput atau jerami yang mengandung metaserkaria (Abidin, 2002). Metaserkaria
adalah larva infektif yang akan menembus dan memakan jaringan dari dinding usus kecil
kemudian bermigrasi kedalam rumen (Njoku and Nwoko, 2009). Kelangsungan hidup serta
penyebaran Paramphistomum sp. bergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa)
sebagai hospes antara. Metaserkaria berasal dari serkaria yang keluar dari siput. Mirasidium
akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi
kering. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan
akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang berair (Kusumamiharja, 1992).
Jika dihubungkan dengan prevalensi paramphistomiasis pada Sapi Bali di Desa
Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros yang sebesar 5,95% cukup sesuai karena
di desa tersebut mengalami musim kemarau dan kekeringan sehingga sulit untuk siput
sebagai hospes antara untuk bertahan hidup. Beberapa peternak yang menggembalakan
sapinya di sawah yang kering tidak didapatai adanya infestasi Paramphistomum sp. Berikut
ini gambar 8. Sapi Bali milik peternak yang digembalakan di sawah yang kering karena
kemarau.
21
Gambar 9. Sapi Bali digembalakan di Sawah yang Kering
Meskipun di desa tersebut mengalami musim kemarau, masih ada beberapa titik
penggembalaan yang didapati lembab dan memungkinkan pertumbuhan hospes antara yaitu
siput tempat perkembangan serkaria menjadi metaserkaria sebagai larva infektif. Menurut
Kusumamiharja (1992), metaserkaria berasal dari serkaria yang hidup di dalam tubuh siput.
Telur cacing yang keluar bersama feses membutuhkan waktu sekitar 4 minggu untuk
berkembang menjadi mirasidium dan selanjutnya mencari hospes antara. Apabila tidak
menemukan siput mirasidium akan mati walaupun metaserkaria tahan terhadap kondisi
kering. Siput sebagai hospes antara berhabitat pada lingkungan yang berair dengan vegetasi
yang baik seperti di sekitar aliran sungai, danau, sawah, kolam dan daerah berawa. Dapat
dilihat pada gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Areal Penggembalaan Sapi Bali yang Lembab
Selain karena faktor geografis, prevalensi paramphistomiasis pada ternak juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan ternak, umur ternak,
jenis kelamin ternak, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi peternak
(Raza et al., 2009).
Manajemen pemeliharaan ternak adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan
kejadian penyakit parasitik pada hewan ternak utamanya Sapi Bali. Menurut Harminda
22
(2011), peternak sapi di Indonesia kurang memperhatikan masalah penyakit parasitik.
Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi mencari makan
sendiri (sistem gembala) bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan (sistem
tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem inilah yang dapat meningkatkan
peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak. Muzani et al. (2010) mengemukakan
bahwa sebagian besar sapi yang dipelihara secara tradisional terserang penyakit parisitik.
Akibat yang ditimbulkan tergantung dari jenis parasit, jumlah parasit, umur sapi dan
kondisi pakan. Berdasarkan morfologinya, cacing pada sapi dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
trematoda, cestoda dan nematoda.
Secara umum, sistem pemeliharaan Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan
Tompobulu, Kabupaten Maros adalah secara tradisional (Gambar 10) yaitu digembalakan
pada pagi hari sampai sore hari dan diikat di belakang rumah atau di bawah rumah
panggung saat malam hari sehingga membuka peluang untuk terinfestasi Paramphistomum
sp. Sebagian besar peternak tidak memiliki kandang dan kesulitan dalam mendapatkan
pakan untuk ternaknya karena musim kemarau. Hal inilah yang membuat peternak
mengembalakan ternak mereka ke lapangan, ke sawah, bahkan ke bukit atau gunung yang
memiliki banyak hijauan atau rerumputan dalam waktu yang lama. Menurut Yasa (2013),
kejadian paramphistomiasis diduga berkaitan dengan frekuensi penggembalaan yang lebih
sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi metaserkaria Paramphistomum sp. dan
tingginya tingkat kontaminasi lapangan penggembalaan, potensi biologi yang tinggi dari
siput sebagai hospes perantara.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 84 peternak ada 4 peternak yang sapinya positif
Paramphistomiasis. Pengamatan dan wawancara di lapangan, keempat peternak tersebut
menggembalakan sapinya mulai pagi sampai sore hari. Ada yang di lapangan dan di bukit
atau gunung.
Gambar 11. Sistem Pemeliharaan Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Maros
Prevalensi Paramphistomiasis juga dipegaruhi oleh jenis kelamin ternak. Ternak
betina memiliki peuang lebih tinggi dibandingkan jantan untuk terinfestasi
Paramphistomum sp. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 5 sampel positif
paramphistomiasis semuanya berjenis kelamin betina, satu diantaranya bunting. Melaku
and Addis (2012) menyatakan bahwa prevalensi paramphistomiasis yang lebih tinggi pada
23
ternak betina diduga disebabkan ternak betina umumnya dipelihara lebih lama sebagai
induk untuk breeding sehingga resiko paparan oleh Paramphistomum sp. akan lebih besar.
Selain itu, ketidakstabilan imunitas ternak betina pada masa bunting, melahirkan dan laktasi
diduga dapat berpengaruh terhadap infeksi cacing dan kondisi tubuh yang buruk pada
ternak akan memperparah paramphistomiasis.
Selain itu, faktor umur juga berpengaruh. Hasil penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan 5 sampel positif paramphistomiasis berumur 1-6 tahun. Menurut Yasa
(2013), sapi dewasa (usia >12 bulan) memiliki prevalensi paramphistomiasis lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi yang lebih muda (usia<12 bulan). Tingginya kejadian
paramphistomiasis pada hewan dewasa diduga berkaitan dengan frekuensi penggembalaan
yang lebih sering sehingga meningkatkan peluang terinfestasi metaserkaria
Paramphistomum sp.
Pemberian anthelmintika pada ternak mutlak diperlukan dalam pengendalian infeksi
cacing. Pencegahan terhadap cacing dewasa Paramphistomum sp. dapat dilakukan dengan
pemberian anthelmintika. Anthelmintika juga berperan dalam mengurangi sumber infeksi
untuk hospes perantara sehingga mengurangi perkembangan larva di padang rumput. Dari 5
sampel yang positif paramphistomiasis, satu diantaranya yang tidak pernah diberikan obat
cacing. Menurut Pfukenyi et al. (2006), pada umumnya sebagian besar ternak sudah diberi
anthelmentik. Akan tetapi, masih banyak yang terinfeksi Paramphistomum sp. Efektivitas
pemberian anthelmintika dipengaruhi oleh ketepatan dosis, sprektrum anthelmintika dan
cara pemberian. Tingginya prevalensi paramphistomiasis pada ternak yang diberi
anthelmintika diduga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan peternak terhadap
penggunaan anthelmintik (Yasa, 2013). Selain itu, Purwanta et al. (2009) berpendapat
bahwa peternak hanya akan memberi anthelmintika jika ternaknya menunjukkan gejala
klinis terinfeksi cacing. Pemberian obat cacing secara berkala minimal dua kali dalam satu
tahun bertujuan untuk mengeliminasi cacing dewasa. Pengobatan pertama dilakukan pada
akhir musim hujan sehingga selama musim kemarau, ternak dalam kondisi yang baik dan
juga menjaga lingkungan terutama kolam air. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir
musim kemarau dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke
dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat
membunuh cacing muda (Ditjennak, 2012).
Kondisi sanitasi kandang peternak yang sapinya terinfestasi Paramphistomum sp.
berdasarkan penelitian sangat buruk dan kurang diperhatikan (Gambar 12). Kotoran sapi
jarang dibersihkan dan dibiarkan mengering. Selain itu, kandang Sapi Bali berdekatan
dengan kandang hewan ternak lainnya. Sanitasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga
kesehatan ternak sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjangkitnya penyakit pada
ternak. Selain itu, sanitasi kandang yang buruk dapat menyebabkan imunitas tubuh hewan
menurun. Melaku and Addis (2012) mengatakan bahwa infeksi Paramphistomum sp. pada
ternak akan lebih tinggi kejadiannya pada hewan ternak dengan imunitas yang rendah.
Sebagian besar kandang sapi yang sudah dilakukan pembersihan secara teratur, tetapi masih
ditemukan ternak sapi yang terinfeksi Paramphistomum sp. Infeksi ini terjadi pada saat
ternak digembalakan di tempat penggembalaan atau melalui pakan yang mengandung
metaserkaria.
24
Gambar 12. Sanitasi Kandang yang Buruk
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan prevalensi paramphistomiasis pada
Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobul sebesar 5,95%. Namun, hasil pengujian
sampel di laboratorium Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros ditemukan telur cacing lain
yang angkanya cukup tinggi (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena sebagain besar peternak
belum pernah memberikan obat cacing kepada ternaknya. Selain itu sistem pemeliharaan
ternak yang masih tradisional dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
25
Tabel 3. Hasil Uji dan Identifikasi Telur Cacing Lain Balai Besar Veteriner Maros
No
Telur Cacing
Jumlah Sampel
Positif
1 Cooperia sp. 9
2 Mecistocirrus sp. 4
3 Toxocara vitolorum 2
4 Monieza benedeni 2
5 Strongyloides sp. 5
6 Oesophagostomum sp 18
Total 40
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi paramphistomiasis
pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 5,95 %.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan terhadap
kejadian paramphistomiasis pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,
Kabupaten Maros untuk mengetahui faktor-faktor resiko yang mempengaruhinya sebagai
bahan untuk merancang program pengendalian paramphistomiasis di daerah tersebut.
Disarankan kepada peternak untuk memberikan anthelmintik secara teratur kepada
ternaknya dan memperhatikan sanitasi lingkungan ternak utamanya daerah kandang.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z. 2002. Penggemukan sapi potong. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Beriajaya, Soetedjo R. 1979. Laporan inventarisasi parasit cacing pada ternak di RPH
Ujung Pandang dan Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan [Laporan Penelitian].
Bogor: Lembaga Penelitian Penyakit Hewan.
Beriajaya, Soetedjo R, Adiwinata G. 1981. Beberapa aspek epidemiologi dan biologi
Paramphistomum di Indonesia. Seminar Parasitologi Nasional II. 1981 Jun 24-27,
Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Statistika Peternakan Sulawesi Selatan Tahun 2013.
Sulawesi Selatan (ID): BPS.
Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan Masyarakat
Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta.
Darmin, Suharmita. 2014. Prevalensi Paramhistomiasis pada Sapi Bali di Kecamatan
Libureng, Kabupaten Bone. Makassar : Universitas Hasanuddin.
Darmono. 1983. Parasit cacing Paramphistomum sp. pada ternak ruminansia dan akibat
infestasinya. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan. Wartazoa. 1: (2).
Darmono, Adiwinata G, Djayasasmita M. 1983. Paramphistomiasis pada sapi Bali I
[Laporan Penelitian]. Bogor: Balai Penelitian Penyakit Hewan.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2002. Mengenal sapi Bali. Jakarta (ID):
Ditjennak.
Gandahusada, Pribadi SW, Herry DI. 2000. Parasitologi kedokteran. Jakarta (ID):
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Hamdan A. 2014. Paramphistomiasis pada ternak ruminansia. Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (akan diterbitkan).
Harminda D. 2011. Infestasi parasit cacing Neoascaris vitulorum pada ternak sapi pesisir di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang [Skripsi]. Sumatera Barat: Fakultas
Peternakan, Universitas Andalas.
Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Aness A. 2006. Epidemiology of paramphistomiasis in
buffaloes under different managemental conditions at four districts of Punjab
Propince Pakistan. Irianian J Vet Res. 7(3): 68-73.
Javed KU, Akhtar T, Maqbool A, Masood S. 2008. Epidemiological studies of
paramphistomosis in cattle. Veterinarski Arhiv. 78(3): 243-251.
Kamaruddin M, Fahrimal Y, Hambal M, Hanafiah M. 2005. Buku Ajar Parasitologi
Veteriner. Banda Aceh (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syah Kuala.
Kusumamiharja S.1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan piaraan di
Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Lloyd J, Joe B, Stephen L. 2007. Stomach fluke (paramphistomes) in ruminants. Primefact.
452: 1-4.
Lukesova D. 2009. Atlas of Livestock Parasites Digitized Collection of Microscopical
Preparations. Institute of Tropics and Subtropics: Czech University of Life
Sciences Prague, Czech Republic.
28
Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphistomum in ruminants
slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob Vet. (8)3: 315-319.
Michel K, Upton SJ. 2013. Animal and human parasite images. [terhubung berkala].
http://www.kstate.edu /parasitology /625 tutorials/index.html. [23 Februari 2014].
Muzani A, Tanda SP, Luh Gde SA. 2010. Petunjuk praktis manajemen pencegahan dan
pengendalian penyakit pada ternak sapi. NTB (ID): Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian.
Nofyan E, Mustaka K, Rosdiana I. 2008. Identitas jenis telur cacing parasit usus pada
ternak sapi (Bos sp.) dan kerbau (Bubalus sp.) di rumah potong hewan Palembang.
Jurnal Penelitian Sains. 10: 06-11.
Pfukenyi DM, Mukaratirwa S, Willingham AL, Monrad J. 2006. Epidemiological studies
of Fasciola gigantica infections in cattle in the highveld and lowveld communal
grazing areas of Zimbabwe. Onderstepoort J Vet Res. 73: 37–51.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran pencernaan
(gastrointestinal) pada sapi Bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa.
Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.
Raza MA, Murtaza S, Bachaya HA, Hussain A. 2009. Prevalence of Paramphistomum
cervi in ruminants slaughtered in district Muzaffar Garh. Pakistan Vet J. 29(4): 214-
215.
Selvin S. 2004. Statistical analysis of epidemiology data. London (UK): Oxford University
Pres.
Siswansyah D, Tarmudji D, Ahmad SN, Wasito. 1989. Survey penyakit parasit menular
pada ternak sapi dan kerbau di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
[Laporan Penelitian]. Banjarbaru: Balai Penelitian Veteriner.
Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, Cetakan ke-3.
Sugama IN, Suyasa IN. 2011. Keragaan infeksi parasit gastrointestinal pada sapi Bali
model kandang simantri [Laporan Penelitian]. Bali: Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian.
Sugeng YB. 2008. Sapi Potong. Semarang: Penebar Swadaya.
Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. 2013. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit
pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan
Barat. Jurnal Protobiont. 2(2): 102-106.
Tuasikal BJ, Suhardono. 2006. Pengaruh infeksi Fasciola gigantica (cacing hati) iradiasi
terhadap gambaran darah kambing (Capra hircuslinn). JITV. 11(4): 317-323
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2000. Veterinary
Parasitology. 3rd. Edn, Longman Scientific Technology UK. PP: 64-71.
Wirawan PH. 2011. Laporan kegiatan survey internal dan eksternal parasit (Kabupaten
Barru, Poso, Bone dan Sigi) [Laporan Penelitian]. Maros: Balai Besar Veteriner
Maros.
Yasa NF. 2013. Prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko paramphistomosis pada
peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Sumedang [Skripsi].
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
29
Yulianto P. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Jakarta: Penebar Swadaya.
30
LAMPIRAN
1. Data Populasi Ternak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros (BPS, 2013)
31
2. Hasil Pemeriksaan Telur Paramphistomum sp. pada Sapi Bali di Desa Pucak,
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan Pengujian Sedimentasi di
Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros
No
Nama Pemilik
Ternak
Kode
Waktu Penelitian
Hasil
Pengambilan
Sampel
Pemeriksaan
Sampel
1 Dg Buang 01 03/08/2015 25/08/2015 negatif
2 Dg Buang 02 03/08/2015 25/08/2015 negatif
3 Dg Buang 03 03/08/2015 25/08/2015 negatif
4 Dg Buang 04 03/08/2015 25/08/2015 negatif
5 Dg Buang 05 03/08/2015 25/08/2015 negatif
6 Dg Buang 06 03/08/2015 25/08/2015 negatif
7 Dg Buang 07 03/08/2015 25/08/2015 negatif
8 Dg Buang 08 03/08/2015 25/08/2015 negatif
9 Dg Buang 09 03/08/2015 25/08/2015 negatif
10 Dg Buang 10 03/08/2015 25/08/2015 negatif
11 Dg Buang 11 03/08/2015 25/08/2015 negatif
12 Dg Buang 12 03/08/2015 25/08/2015 negatif
13 Dg Buang 13 03/08/2015 25/08/2015 negatif
14 Dg Buang 14 03/08/2015 25/08/2015 negatif
15 Pak Arman 15 03/08/2015 26/08/2015 negatif
16 Dg Kanang 16 03/08/2015 26/08/2015 negatif
17 Dg Lengko 17 04/08/2015 26/08/2015 negatif
18 Dg Lengko 18 04/08/2015 26/08/2015 negatif
19 Dg Lengko 19 04/08/2015 26/08/2015 negatif
20 Dg Lengko 20 04/08/2015 26/08/2015 negatif
21 Baso Raga 21 04/08/2015 26/08/2015 negatif
22 Baso Raga 22 04/08/2015 26/08/2015 negatif
23 Baso Raga 23 04/08/2015 26/08/2015 negatif
24 Baso Raga 24 04/08/2015 26/08/2015 negatif
25 Dg Kanang 25 04/08/2015 26/08/2015 negatif
32
26 Dg Ngeppe 26 05/08/2015 26/08/2015 negatif
27 Dg Ngeppe 27 05/08/2015 26/08/2015 negatif
28 Dg Ngeppe 28 05/08/2015 26/08/2015 negatif
29 Dg Ngeppe 29 05/08/2015 26/08/2015 negatif
30 Dg Ngeppe 30 05/08/2015 26/08/2015 negatif
31 Nenek Hasna 31 05/08/2015 26/08/2015 negatif
32 Nenek Hasna 32 05/08/2015 26/08/2015 negatif
33 Dg Lengko 33 05/08/2015 26/08/2015 negatif
34 Yauri Haryanto 34 05/08/2015 26/08/2015 positif
35 Yauri Haryanto 35 05/08/2015 26/08/2015 negatif
36 Yauri Haryanto 36 05/08/2015 26/08/2015 negatif
37 Yauri Haryanto 37 05/08/2015 26/08/2015 negatif
38 Bahtiar 38 06/08/2015 26/08/2015 negatif
39 Bahtiar 39 06/08/2015 26/08/2015 negatif
40 Bahtiar 40 06/08/2015 26/08/2015 negatif
41 Bahtiar 41 06/08/2015 26/08/2015 negatif
42 Bahtiar 42 06/08/2015 26/08/2015 negatif
43 Bahtiar 43 06/08/2015 26/08/2015 negatif
44 Yauri Haryanto 44 07/08/2015 26/08/2015 negatif
45 Yauri Haryanto 45 07/08/2015 26/08/2015 negatif
46 Yauri Haryanto 46 07/08/2015 26/08/2015 negatif
47 Yauri Haryanto 47 07/08/2015 26/08/2015 negatif
48 Muh. Saleh 48 07/08/2015 26/08/2015 positif
49 Muh. Saleh 49 07/08/2015 26/08/2015 negatif
50 Muh. Saleh 50 07/08/2015 26/08/2015 negatif
51 Muh. Saleh 51 07/08/2015 27/08/2015 positif
52 Muh. Saleh 52 07/08/2015 27/08/2015 negatif
53 Sabri 53 07/08/2015 27/08/2015 negatif
54 Sabri 54 07/08/2015 27/08/2015 negatif
55 Sabri 55 07/08/2015 27/08/2015 negatif
56 Nahlan 56 07/08/2015 27/08/2015 negatif
57 Nahlan 57 07/08/2015 27/08/2015 negatif
58 Nahlan 58 07/08/2015 27/08/2015 negatif
59 Megawati 59 07/08/2015 27/08/2015 negatif
60 Sumiati 60 08/08/2015 27/08/2015 positif
61 Sumiati 61 08/08/2015 27/08/2015 negatif
62 Sumiati 62 08/08/2015 27/08/2015 negatif
33
63 Sumiati 63 08/08/2015 27/08/2015 negatif
64 Nirwana 64 08/08/2015 27/08/2015 negatif
65 Nirwana 65 08/08/2015 27/08/2015 negatif
66 Nirwana 66 08/08/2015 27/08/2015 negatif
67 Megawati 67 09/08/2015 27/08/2015 negatif
68 Megawati 68 09/08/2015 27/08/2015 positif
69 Megawati 69 09/08/2015 27/08/2015 negatif
70 Megawati 70 09/08/2015 27/08/2015 negatif
71 Nenek Hasnah 71 09/08/2015 27/08/2015 negatif
72 Nenek Hasnah 72 09/08/2015 27/08/2015 negatif
73 Nenek Hasnah 73 09/08/2015 27/08/2015 negatif
74 Nenek Hasnah 74 09/08/2015 27/08/2015 negatif
75 Nenek Hasnah 75 09/08/2015 27/08/2015 negatif
76 Nenek Hasnah 76 09/08/2015 27/08/2015 negatif
77 Nenek Hasnah 77 09/08/2015 27/08/2015 negatif
78 Kamaruddin 78 09/08/2015 27/08/2015 negatif
79 Kamaruddin 79 09/08/2015 27/08/2015 negatif
80 Kamaruddin 80 09/08/2015 27/08/2015 negatif
81 Pak Teki 81 09/08/2015 27/08/2015 negatif
82 Pak Teki 82 09/08/2015 27/08/2015 negatif
83 Pak Teki 83 09/08/2015 27/08/2015 negatif
84 Pak Teki 84 09/08/2015 27/08/2015 negatif
3. Dokumentasi Penelitian
1. Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros
34
2. Pengambilan Sampel Feses
3. Pemeriksaan Sampel Uji Sedimentasi
35
4. Telur Paramphistomum sp. Perbesaran 100x
36
RIWAYAT PENULIS
Musdalifah. Lahir di Kassa, 19 Agustus 1993 sebagai putri
ketiga dari empat bersaudara dari Abd.Halim dan Misjanna.
Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 2005 di SD
Negeri 219 Kassa , Sekolah Menengah Pertama tahun 2008
di SMP 2 Batulappa dan Sekolah Menengah Atas pada tahun
2011 di SMA 2 Parepare dan pada tahun yang sama diterima
di UNHAS melalui jalur tertulis SMPTN. Penulis memilih
Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
UNHAS. Selama mengikuti perkuliahan, penulis tercatat
sebagai anggota aktif Himpunan Mahasiswa Kedokteran
Hewan (HIMAKAHA) periode 2013-2014. Pengurus UKM LDK MPM UH
periode 2013-2014. Pengurus Forum Studi Ulul Albaab Universitas Hasanuddin
Tahun 2014-sekarang. Pembina Study Club An-Naml Kedokteran Hewan
Universitas Hasanuddin yang terbentuk Tahun 2015. Penulis menyelesaikan
skripsi berjudul “Prevalensi Paramphistomiasis pada Sapi Bali di Kabupaten
Maros”, untuk menyelesaikan Program Sarjana Kedokteran Hewan dibawah
bimbingan Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan Drh. Faizal Zakariyah, M.Sc.
top related