padi hibrida
Post on 09-Aug-2015
144 Views
Preview:
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asal dan Taksonomi Padi
Padi (Oryza sativa L.), seperti halnya gandum, jagung dan barley
termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) atau rumput-rumputan. Genus Oryza
terdiri atas 23 spesies, 21 diantaranya adalah padi liar (wild relatives) yang
memiliki genom diploid atau tetraploid, sedangkan 2 lainnya merupakan padi budi
daya (Makarim, 2002). Studi variasi karakter morfologi terhadap 16 spesies padi,
telah dilaporkan oleh Grist (1965) yang menyatakan bahwa spesies Oryza dapat
dibagi ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) Oryza sativa dan kerabat dekatnya, (2)
Oryza officinalis dan kerabatnya serta (3) spesies kerabat jauh lainnya.
Kush (2000) melakukan klasifikasi ulang terhadap spesies Oryza
berdasarkan jumlah kromosom, komposisi genom dan daerah penyebarannya
(Tabel 1). Spesies padi liar seperti O. nivara dan O. glaberrima dilaporkan
banyak mengandung gen-gen bermanfaat yang dapat ditransfer ke genom padi
budidaya (O. sativa). Introgresi gen-gen bermanfaat tersebut dapat dilakukan
melalui hibridisasi interspesifik (Brar et al. 1996). Menurut Kush (2000),
berdasarkan tingkat kemudahan transfer gen-gen dari spesies liar ke spesies
budidaya, spesies padi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga gene pool. Gene pool
utama terdiri atas sejumlah spesies liar, yaitu O. rufipogon, O. nivara, O.
glumaepatula, O. meridionalis, O. breviligulata, O. longistaminata serta dua
spesies budidaya, yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Kelompok ini memiliki
genom AA dan transfer gen antar spesies ini dapat dilakukan melalui persilangan
dan metode seleksi tertentu. Gene pool sekunder adalah spesies kelompok O.
officinalis komplek. Persilangan antara O. sativa dan spesies-spesies dalam
kelompok ini lebih sulit dilakukan dan harus menggunakan bantuan teknik
penyelamatan embrio (embryo rescue). Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan
homologi antara genom AA (O. sativa) dengan genom BB, CC, CCDD, EE dan
FF (spesies padi liar), sehingga jumlah gen yang dapat ditransfer terbatas. Gene
pool tersier terdiri atas kelompok O. meyeriana, O. ridleyi dan O. schlechteri.
3
Tabel 1. Klasifikasi Padi
4
Species 2n Genome Distribution Useful or potentiallyO. sativa complex
O. sativa L. 24 AA Worldwide CultigenO. nivara Sharma et Shastry
24 AA Tropical and subtropical Asia
stunt virus, blast, drought avoidance
O. rufipogon Griff. 24 AA Tropical and subtropical Asia
Elongation ability, resistance to BB, source of CMS
O. breviligulata A. Chev. et Roehr.
24 Ag Ag Africa Resistance to GLH, BB, drought avoidance
O. glaberrima Steud.
24 Ag Ag West Africa Cultigen
O. longistaminata A. Chev. et Roehr
24 Ag Ag Africa Resistance to BB, drought avoidance
O. meridionalis Ng 24 Am Am Tropical Australia Elongation ability, drought avoidance
O. glumaepatula Steud.
24 Agp Agp South and Central America
Elongation ability, source of CMS
O. officinalis complexO. punctata Kotschy ex Steud
24 BB Africa Resistance to BPH, zigzag leafhopper
O. minuta J. S. Pesl. Ex C. B. Presl.
48 BBCC Philippines and Papua New Guinea
Resistance to sheath blight, BB, BPH, GLH
O. officinalis Wall ex Watt
24 CC Tropical and subtropical Asia, tropical Australia
Resistance to thrips, BFW, GLH, WBPH
O. rhizomatis Vaughan
24 CC Sri Lanka Drought avoidance, rhizomatous
O. eichingeri A. Peter
24 CC South Asia and East Africa
Resistance to yellow mottle virus, BPW, WBPH, GLH
O. latifolia Desv. 48 CCDD South and Central America
Resistance to BPH, high biomass production
O. alta Swallen 48 CCDD South and Central America
Resistance to striped stemborer, high biomass production
O. grandiglumis (Doell) Prod.
48 CCDD South and Central America
High biomass production
O. australiensis Domin.
24 EE Tropical Australia Drought avoidance, resistance to BPH
O. brachyantha A. Chev. et Roehr.
24 FF Africa Resistance to yellow stemborer, leaf-folder, whorl maggot, tolerance to laterite soil
O. meyeriana complexO. granulata Nees et Am. ex Watt
24 GG South and Southeast Asia
Shade tolerance, adaptation to aerobic soil
O. meyeriana (Zoll. Et Mor. ex Steud.) Bad.
24 GG Southeast Asia Shade tolerance, adaptation to aerobic soil
O. ridleyi complexO. logiglumis Jansen
48 HHJJ Irian Jaya, Indonesia and Papua New Guinea
Resistance to blast, BB
5
O. ridleyi Hook. f. 48 HHJJ South Asia South Asia Resistance to stemborer, whorl maggot, blast, BB
Unknown genomeO. shlechteri Pilger
48 unknown Papua New Guinea Stoloniferous
Keterangan:BPH = brown planthopper; GLH = green leafhopper; WBPH = white-backed planthopper; BB = bacterial blight; CMS = cytoplasmic male sterility
(Kush, 2000)
Oryza sativa terdiri atas banyak subspesies dan telah terdistribusi ke
seluruh dunia. Dikenal dua grup varietas padi yaitu indica dan japonica, kedua
grup ini memiliki banyak perbedaan karakter dibandingkan antar varietas
tipikalnya, tetapi variasinya saling overlap. Kedua grup ini telah dikarakterisasi
berdasarkan resistensinya, panjang bulu di apikulus dan reaksinya terhadap
phenol. Morinaga (1954) dalam Kush (2000) mengusulkan adanya grup ketiga
yang terdiri atas varietas bulu dan gundil dari Indonesia. Grup ini disebut
javanica, dan Galszmann (1987) dalam Kush (2000) menyatakan bahwa javanica
berada di antara grup japonica berdasarkan analisis isozym. Saat ini javanica
dikenal sebagai tropical japonica, sedangkan typical japonica disebut sebagai
temperate japonica
Gambar 1. Lintasan evolusi dua species padi budidaya(Kush, 2000)
6
2.2 Prinsip Padi Hibrida
Padi hibrida dikembangkan dengan memanfaatkan adanya fenomena
heterosis yang menyebabkan produksi yang lebih tinggi dibanding galur murni.
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan dasar genetis dari heterosis.
Hipotesis dominansi menjelaskan faktor dominan salah satu tetua menutupi
gangguan mutasi resesif tetua lain pada populasi F1 heterosigot. Sebaliknya
hipotesis overdominan percaya bahwa heterosigositas pada lokus tunggal lebih
superior dibanding yang homosigos (You et al. 2006). Kedua hipotesis tersebut
telah diverifikasi melalui penelitian biologi molekuler (Stuber et al. 1992).
Hipotesis ketiga menduga bahwa heterosis mungkin akibat terjadinya epistasi
antara alel-alel pada lokus yang berbeda (You et al. 2006).
Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem 3 galur, yang
melibatkan tiga galur tetua meliputi galur mandul jantan sitoplasmik, galur
pelestari dan galur pemulih kesuburan. Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil
persilangan antara galur mandul jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih
kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat varietas padi hibrida
ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat
meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan berbagai
kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan
(You et al. 2006). Oleh karena itu, untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang
baik dengan sifat-sifat yang diinginkan seperti daya hasil tinggi (ditunjukkan oleh
nilai heterosis yang tinggi), dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, maka
penelitian padi hibrida diutamakan pada proses perbaikan galur-galur tetua padi
hibrida serta proses pembentukan kombinasi persilangan yang menghasilkan
produksi dan heterosis tinggi.
Pada padi hibrida diperlukan 3 tetua, yakni tetua A sebagai galur yang
punya sifat mandul jantan, sering disebut galur CMS (Cytoplasmic male sterility
line) galur B (maintainer line) yang berfungsi sebagai tetua yang ketika
disilangkan dengan tetua A bisa menghasilkan benih yang ketika ditanam
tanamannya adalah mandul jantan juga. Tanpa tetua B benih-benih tetua A tidak
mungkin bisa diproduksi. Tetua yang lain adalah tetua R (restorer), yakni tetua
yang akan disilangkan dengan tetua A untuk menghasilkan benih F1. Ketiga tetua
7
inilah yang dipakai sebagai modal untuk menghasilkan benih F1 yang bagus.
Namun untuk mendapatkan 3 tetua tersebut tentu saja memerlukan waktu
bertahun-tahun dan penelitian yang tidak mengenal lelah. Untuk memahami
mekanisme kerja padi hibrida dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tetua A dan B merupakan pasangan yang tidak terpisahkan dan harus
cocok secara genetik. Tetua A atau galur CMS merupakan galur yang secara
genetik membawa sifat mandul jantan ditandai dengan tidak adanya kemampuan
menghasilkan polen yang fertil. Sifat ini di bawa oleh DNA faktor S (steril) yang
terdapat pada sitoplasma, ketika berinteraksi dengan DNA pada inti sel (rr) yang
juga steril maka ekspresi polen menjadi steril juga. Pada persilangan CMS (A)
dan maintainer (B), yang dipakai sebagai induk betina adalah galur A dengan gen
S pada sitoplasma. Polen yang digunakan dari galur B bersifat fertil, namun gen S
pada mitokondria B tidak terikut pada persilangan A x B. Oleh karena itulah
benih-benih yang dihasilkan dari persilangan A x B ketika ditanam akan steril.
Galur A dan B ini harus dicari dengan cara mengeskplorasi plasma nutfah yang
ada, baik dari varietas lokal/ introduksi, japonica/indica, varietas liar, dan
sebagainya. Persilangan dengan jarak genetik yang berbeda biasanya bisa
menghasilkan tanaman CMS. Untuk menghasilkan tanaman A dan B yang kembar
biasanya dilakukan silang balik berkali-kali. Hal ini perlu dilakukan agar ketika
dilakukan persilangan dengan restorer tidak banyak variasi genetik pada tanaman
CMS. Tanaman CMS harus seragam secara genetik. Dengan persilangan silang
balik berulang-ulang akan dihasilkan tanaman CMS dan maintainer yang susunan
genetik pada gen inti sama kecuali gen S pada sitoplasma (LITBANG, 2007).
Tabel 2. Mekanisme kerja padi hibrida.
Galur Fungsi Gen sitoplasma Gen inti Kondisi polen
A CMS S (rr) Steril
B Maintainer N (rr) Fertil
A/B F1 CMS (=CMS) S (rr) Steril
R Restorer N atau S (RR) Fertil
A/R F1 Hybrid S (Rr) Fertil
(LITBANG, 2007)
8
Selain sistem tiga galur, terdapat dua sistem yang dapat digunakan dalam
pengembangan padi hibrida, yaitu sistem dua galur dan sistem satu galur. Sistem
satu galur adalah penggunaan sistem apomiktik (tanpa pembuahan), namun
sampai saat ini masih dalam skala penelitian. Sistem dua galur melibatkan
penggunaan galur mandul jantan TGMS/Temperature-sensitive Genic Male
Sterility dan galur fertil. Keuntungan sistem ini adalah (1) tidak memerlukan galur
pelestari dalam produksi benih TGMS, (2) semua galur fertil dengan sifat-sifat
yang baik dapat digunakan sebagai tetua jantan dalam produksi benih hibrida, dan
(3) potensi heterosisnya lebih besar dibanding sistem tiga galur (Virmani et al.
2003).
Sistem dua galur sebenarnya cocok untuk digunakan di daerah tropis,
tetapi anomali iklim yang sering terjadi di daerah tropika seperti Indonesia
menjadi kendala. TGMS akan menjadi normal (fertil) ketika temperatur kurang
dari 300 C (Liu et al. 1998), dan di Indonesia sering sekali terjadi pergantian
temperatur yang sangat ekstrim, karena itu sistem tiga galur masih merupakan
sistem yang dapat diterapkan.
2.3 Sitem Mandul Jantan pada Padi
Mandul jantan sitoplasmik adalah kondisi dimana tanaman tidak mampu
memproduksi polen/tepung sari fungsional. Mandul jantan merupakan karakter
yang diwariskan secara maternal, dan biasanya terkait dengan adanya gangguan
pada open reading frame (ORF) di genom mitokondria (Hanson & Bentotila
2004). Pada banyak kasus, termasuk padi, kesuburan mandul jantan dapat
dipulihkan oleh gen-gen nukleus yang mengkode fertility restoration (gen Rf)
yang terdapat pada galur pemulih kesuburan (Restorer/galur R). Sistem mandul
jantan sitoplasmik terjadi karena adanya interaksi antara genom nukleus dan
mitokondria. Dalam hal ini, sterilitas akibat gen mitokondrial menyebabkan
disfungsi sitoplasmik, sedangkan gen-gen nukleus akan menekan disfungsi
sitoplasmik tersebut (Ekcard 2006).
Penggunaan galur mandul jantan merupakan prasyarat untuk eksploitasi
heterosis pada padi. Cytoplasmic-genetic male sterility (CgMS/CMS) telah
digunakan secara luas untuk mengembangkan padi hibrida. Pistil galur mandul
jantan tumbuh normal dan dapat memproduksi biji bila diserbuki oleh polen
9
normal. Jika faktor genetik yang menginduksi kemandulan tersebut tidak ada
dalam sitoplasma maka tanaman menjadi normal (male fertile).
Jika terdapat tanaman normal (male fertile) yang memiliki faktor
pengendali kemandulan pada sitoplasma dan gen inti yang memulihkan kesuburan
bersifat resesif, maka tanaman tersebut dapat mempertahankan sifat mandul
jantan. Tanaman atau galur tersebut disebut galur pelestari (maintainer line) yaitu
suatu galur yang mempunyai sitoplasma normal tetapi gen inti yang berkaitan
dengan pemulihan kesuburan resesif, galur ini berfungsi untuk melestarikan
keberadaan galur mandul jantan pasangannya. Adanya gen restorer dominan di
nukleus pada suatu galur mengakibatkan galur tersebut mampu memulihkan
kesuburan pada hibrida hasil persilangan antara galur tersebut dan galur CMS.
Galur ini disebut sebagai galur pemulih kesuburan atau restorer (septianingsih et
la, 2002).
Pada sistem tiga galur, galur mandul jantan selalu diperbanyak dengan
cara menyilangkannya dengan galur pelestari, baik secara manual (hand crossing)
untuk produksi benih skala kecil, maupun melalui persilangan alami pada plot
terisolasi untuk produksi benih dalam skala besar. Galur mandul jantan dan galur
pelestari selalu sama secara morfologi, hanya galur mandul jantan steril
sedangkan galur pelestari fertil. Namun kadang-kadang, kedua galur tersebut juga
menunjukkan beberapa sifat morfologi dan agronomis yang berbeda karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di dalam sitoplasma yang menginduksi
mandul jantan (Virmani et al. 1997). Restorer yang mempunyai gen pemulih
kesuburan (Rf) dominan, ketika disilangkan dengan GMJ akan menghasilkan F1
hibrida yang fertil. Perbanyakan benih galur pelestari dan pemulih kesuburan
dilakukan seperti perbanyakan padi biasa, karena kedua galur ini fertil dan
mempunyai bunga sempurna (Mashur et la, 2008).
10
Gambar 2. Skema Sistem Galur Mandul Jantan
Galur mandul jantan diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, antara
lain (1) berdasarkan perilaku genetik dari gen ms, GMJ dibedakan menjadi dua
tipe yaitu GMJ sporofitik dan gametofitik. Pada GMJ sporofitik, sterilitas atau
fertilitas polen ditentukan oleh genotipe dari sporofit sedangkan genotipe
gametofit (polen) tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa GMJ yang tergolong
tipe ini antara lain wild-abortive (WA) dan Gambiaca (Gam). Pada kedua GMJ
tersebut, gugurnya polen terjadi pada fase awal perkembangan mikrospora.
Fertilitas GMJ gametofitik secara langsung ditentukan oleh genotipe gametofit
(polen) saja tanpa dipengaruhi oleh genotipe sporofit. Pengguguran polen
biasanya terjadi di fase akhir perkembangan mikrospora. GMJ dengan sitoplasma
Boro-type termasuk dalam tipe ini; (2) berdasarkan pola pelestarian-pemulih
kesuburan dari GMJ, terdapat tiga tipe galur mandul jantan yaitu WA, Honglian
dan Boro type (BT); dan (3) berdasarkan morfologi polen, GMJ digolongkan ke
dalam tipe typical abortion, spherical abortion, dan stained abortion. GMJ tipe
typical abortion mempunyai bentuk polen tidak beraturan dan pengguguran polen
biasanya terjadi pada fase uninukleat, sedangkan tipe spherical abortion
mempunyai polen berbentuk agak lonjong dan polen gugur kira-kira saat fase
binukleat. Terakhir, bentuk polen tipe stained abortion juga agak lonjong tetapi
11
agak lebih kecil dibanding polen normal dan polen gugur saat fase trinukleat
(Yuan, 1994).
Galur mandul jantan yang berkembang di Indonesia hampir seluruhnya
mempunyai sumber sitoplasma yang sama, yaitu Wild Abortive (WA). Apabila
galur ini digunakan secara terus-menerus, ada kekhawatiran akan mengakibatkan
kerapuhan genetik padi hibrida terhadap hama dan penyakit padi yang kemudian
akan menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit, sama seperti yang
pernah terjadi pada jagung hibrida (kasus Texas CMS). IRRI telah
mengembangkan beberapa galur mandul jantan dengan sumber sitoplasma yang
berbeda antara lain Gambiaca, Dissi, ARC, Kalinga, Hong Lian, Indonesian
Paddy (IP) dan beberapa sumber sitoplasma dari padi liar seperti Oryza rufipogon
dan O. perennis. Namun di Indonesia sumber-sumber sitoplasma di atas belum
digunakan dalam pembentukan dan produksi padi hibrida, karena belum
teridentifikasi galur pemulih kesuburan yang cocok berkombinasi dengan GMJ
dengan sumber-sumber sitoplasma di atas (Anwar, 1992).
2.4 Karakter Galur Mandul Jantan yang Diinginkan
Galur mandul jantan (galur A/GMJ) dapat diperoleh secara spontan di
antara galur hasil pemuliaan yang berasal dari persilangan kerabat jauh
(interspesifik) atau melalui mutagenesis (Hanson & Bentolila 2004). Ada
beberapa tipe galur mandul jantan sitoplasma, antara lain Wild-Abortive (WA),
Gambiaca, Kalinga, Dissy, Indonesian-type dan lain-lain. Galur mandul jantan
tipe WA merupakan galur yang banyak digunakan dalam pengembangan varietas
padi hibrida. Jing et al. (2001) menyebutkan bahwa 90% padi hibrida yang
ditanam di Cina menggunakan GMJ tipe WA sebagai tetua betinanya. GMJ tipe
WA merupakan GMJ yang dikembangkan pada padi indica dengan sitoplasma
yang berasal dari populasi padi liar Oryza rufipogon Griff. (Eckard 2006). Di
Indonesia, GMJ tipe WA tersebut juga digunakan untuk merakit beberapa F1
hibrida unggul (Suwarno et al. 2003). GMJ yang digunakan dalam produksi benih
padi hibrida tersebut berasal dari IRRI, seperti IR58025A, IR62829A, IR68886A,
IR68888A, dan IR68897A. Namun penggunaan satu tipe sitoplasma yang sama
untuk kepentingan komersial secara intensif, dikhawatirkan akan menimbulkan
kerapuhan genetik, seperti kasus Texas cytoplasm pada jagung. Kerapuhan
12
genetik disebabkan oleh sempitnya latar belakang genetik, sehingga tanaman
menjadi rentan terhadap penyakit, hama maupun faktor-faktor iklim yang tidak
menguntungkan (Ani et la, 2002).
Karakter yang diinginkan dalam perakitan GMJ adalah laju persilangan
alami tinggi, sterilitas tepung sari 100% dan stabil, kemandulannya mudah
dipulihkan (easy restorability), mampu menyesuaikan dengan lingkungannya,
tahan terhadap hama dan penyakit utama, mempunyai daya gabung yang baik
dengan berbagai galur pemulih kesuburan, tanaman sedang (semidwarf), malai
keluar sempurna, stigma keluar lebih dari 70%, dan kualitas biji baik. Namun
pembentukan GMJ masih banyak mengalami kendala. Sangat sulit mendapatkan
GMJ dengan tingkat sterilitas 100% dan stabil di daerah tropika. GMJ hasil
introduksi dari IRRI (IR58025A, IR62829A dan IR68897A) mempunyai laju
persilangan alami (outcrossing rate/OCR) yang rendah serta rentan terhadap hama
dan penyakit utama di Indonesia (Suwarno et al. 2003). BB Padi telah
mengembangkan GMJ baru tipe wild abortive yang telah memiliki ketahanan
terhadap hama atau penyakit. Diantaranya adalah GMJ3, GMJ4 dan GMJ5 yang
memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri (HDB) dan wereng batang coklat
(WBC) (Abdullah, 2002).
2.5 Heterosi Tanaman Hibrida
Heterosis dalam genetika adalah efek perubahan pada penampilan
keturunan persilangan (blaster) yang secara konsisten berbeda dari penampilan
kedua tetuanya. Heterosis bukan mengacu pada penggabungan dua sifat baik dari
kedua tetua kepada keturunan hasil persilangan, melainkan pada penyimpangan
dari penampilan yang diharapkan dari penampilan yang diharapkan dari
penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya. Contoh paling jelas adalah
pada jagung hibrida. Penyimpangan ini sebagian besar bersifat positif, dalam arti
melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya dan menunjukkan
daya pertumbuhan (vigor) yang lebih besar. Dalam keadaan demikian (positif),
heterosis dapat dinyatakan dengan istilah hybrid vigor. Silangan yang
menunjukkan heterosis diketahui memiliki postur yang lebih besar, fertilitas yang
lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih cepat, serta ketahanan terhadap penyakit
yang lebih baik daripada rata-rata tetuanya.
13
Sebagian besar ahli sepakat bahwa gejala heterosis adalah kebalikan dari
gejala depresi kawin sekerabat (inbreeding depression), yaitu efek penurunan
penampilan pada individu keturunan perkawinan sekerabat (Akmal, 2003).
Heterosis atau vigor hibrida adalah suatu fenomena pada padi hibrida yang
menunjukkan nilai F1 dari suatu persilangan melebihi nilai kedua tetuanya.
Persilangan antar galur homozigot yang berbeda dapat menyembunyikan sifat
cacat yang resesif dan mengembalikan vigor hibrida (Allard, 1999).
Hayes (1964) menyatakan bahwa pada tanaman menyerbuk sendiri
kemungkinan kemanfaatan heterosis diawali dengan seleksi tetua yang
mengahasilkan kombinasi karakter terbaik. Menurutnya, hal ini penting untuk
melanjutkan pemuliaan bagi kombinasi gen terbaik yang dapat diperoleh dari
varietas yang relatif homozigot. Pemulia tanaman yang memanfaatkan heterosis
telah memberikan hasil yang jauh lebih tinggi dari varietas inbrida pada berbagai
jenis tanaman. Pengaruh heterosis inilah yang dimanfaatkan oleh pemulia
tanaman dalam teknologi hibrida yang telah berhasil pada berbagai komoditas
seperti jagung, sorgum, kapas, kedelai dan padi.
Gambar 3. Heterosi Padi
14
2.6 Daya Gabung Galur Murni
Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung
galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk
mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya
(Septianingsih, 2002).
Daya gabung umum merupakan penampilan rata-rata galur murni dalam
berbagai kombinasi hibrida, sedangkan daya gabung khusus menunjukkan
penampilan galur murni dari suatu kombinasi hibrida dibandingkan dengan
kombinasi yang lainnya (Mashur, 2008). Daya gabung umum mengukur
penampilan hibrida dari suatu genotip e (galur murni) dibandingkan dengan
sampel acak atau genotip yang banyak, sedangkan daya gabung khusus mengukur
penampilan hibrida dari suatu genotip galur murni dibandingkan dengan genotip
galur uni lainnya (De Data, 1981).
Daya gabung umum relatif lebih penting dari pada daya gabung khusus
untuk alu-galur murnu yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus
lebih penting dari daya gabung khusus untuk galur-galur murni yang sudah
diseleksi sebelumnya untuk peningkatan hasil (Mashur, 2008). Pengujian daya
gabung dapat dilakukan dengan metode di alel Cross, yakni evaluasi terhadap
seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah galur murni (De Data,
1981).
Evaluasi hibrida silang tunggal dilakukan dengan menggunakan hibrida
komersial standar pada 4-6 lokasi atau lebih dalam periode dua tahun atau lebih.
Data hasil pengujian tersebut dapat menjadi dasar untuk memperkirakan hasil
hibrida silang ganda tunggal dan silang tiga (De Data, 1981).
2.7 Teknik Persilangan pada Tanaman Padi
Persilangan tanaman padi dapat berlangsung secara alami dan buatan
persilangan padi alami berlangsung dengan bantuan angin hal ini karena tanaman
padi merupakan tipe tanaman menyerbuk sendiri yang memiliki morfologi bunga
yang kecil sehingga penyerbukan yang terjedi dibantu oleh angin. Adanya varietas
padi lokal di berbagai daerah menunjukkan telah terjadi persilangan secara alami.
Contoh varietas padi lokal yang banyak ditanam petani adalah Rojolele, Mentik,
Cempo, Pandan Wangi, Markoti, Hawarabunar, Lemo, Kuwatik, dan Siam.
15
Persilangan padi secara buatan dilakukan dengan campur tangan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan membuat kombinasi
persilangan untuk menghasilkan tanaman yang sesuai dengan keinginan. Varietas
padi unggul hasil persilangan dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan budi
dayanya, yaitu padi sawah, padi gogo dan padi rawa. Persilangan padi secara
buatan pada umumnya menghasilkan tanaman yang relatif pendek, berumur
genjah, anakan produktif banyak, dan hasil tinggi. Sementara itu persilangan
secara alami menghasilkan tanaman yang relatif tinggi, berumur panjang, anakan
produktif sedikit, dan produktifitas rendah. Untuk menghasilkan varietas padi
baru melalui persilangan diperlukan waktu 5-10 tahun (Soedyanto., et al. 1978).
Padi hibrida yang dirakit dengan memanfaatkan terjadinya heterosis pada
F1 sangat potensial untuk dikembangkan dalam usaha peningkatan produksi padi
nasional. Penelitian yang dilakukan di International Rice Research Institute
(IRRI) mulai tahun 1986 sampai 1995 menunjukkan padi hibrida memberikan
peningkatan hasil sebesar 17% dibandingkan varietas inbrida (Virmani, 1999).
Sejumlah hibrida yang menunjukkan daya hasil lebih tinggi dibandingkan varietas
padi inbrida juga telah dilepas sebagai varietas unggul nasional di Indonesia.
Padi yang merupakan tanaman menyerbuk sendiri membutuhkan sistem
mandul jantan yang efektif untuk mengembangkan dan memproduksi hibrida F1-
nya. Salah satu sistem mandul jantan yang efektif pada tanaman ini adalah mandul
jantan sitoplasma (cytoplasmic male sterility = CMS). Pembentukan padi hibrida
dengan sistem mandul jantan tersebut melibatkan tiga galur tetua yaitu galur
mandul jantan (CMS), galur pelestari kesuburan (maintainer) dan galur pemulih
kesuburan (restorer) (Virmani, 1994). Galur mandul jantan dapat digunakan
secara efektif hanya jika tersedia galur-galur pemulih kesuburan yang efektif.
Usaha pemuliaan padi hibrida selain untuk mendapatkan kombinasi-kombinasi
hibrida yang berdaya hasil tinggi, juga diarahkan untuk memperoleh hibrida-
hibrida yang memiliki sifat ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan
abiotik, serta memiliki mutu beras yang baik. Padi hibrida akan memiliki sifat-
sifat unggul tersebut hanya jika kedua tetuanya membawa sifat tersebut atau jika
salah satu tetuanya membawa karakter yang diinginkan yang dikendalikan oleh
gen-gen dominan (Virmani, 1999). Suwarno (2004) melaporkan varietas-varietas
16
padi hibrida yang telah dilepas secara umum memiliki ketahanan terhadap hama
dan penyakit lebih rendah dibandingkan dengan varietas inbrida unggul.
Perbaikan sifat padi hibrida dapat dilakukan secara langsung dengan
mengidentifikasi tetua hibrida dari galur-galur elit yang membawa sifat yang
diinginkan. Selain itu usaha perbaikan dapat dilakukan melalui program
pemuliaan untuk menggabungkan sifat-sifat unggul ke dalam galur-galur yang
telah teridentifikasi sebagai tetua hibrida baik terhadap CMS sebagai induk betina
maupun terhadap galur-galur restorer sebagai tetua jantan (Mashur, 2008).
Padi lokal (land race) merupakan plasma nutfah yang potensial sebagai
sumber gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat penting pada tanaman.
Keragaman genetik yang tinggi pada padi-padi lokal dapat dimanfaatkan dalam
program pemuliaan padi secara umum dan juga untuk perbaikan tetua padi
hibrida. Identifikasi sifat-sifat penting yang terdapat pada padi-padi lokal perlu
terus dilakukan agar diketahui potensinya dalam program pemuliaan (Eckard,
2006).
Hal yang dilakukan sebelum melakukan persilangan padi yaitu melakukan
kastrasi atau emaskulasi. Kastrasi dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar
putik menjadi masak sempurna saat penyerbukan sehingga keberhasilan
penyilangan lebih tinggi. Setiap bunga (spikelet) terdapat enam benang sari.
Bunga pada malai yang akan dikastrasi dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga.
Sepertiga bagian bunga dipotong miring menggunakan gunting kemudian benang
sari diambil dengan alat penyedot vacuum pump. Bunga yang telah bersih dari
benang sari ditutup dengan glacine bag agar tidak terserbuki oleh tepung sari yang
tidak dikehendaki.Waktu yang baik untuk melakukan kastrasi adalah setelah
pukul 3.00 sore. Stadia bunga yang baik untuk dikastrasi adalah pada saat ujung
benang sari berada pada pertengahan bunga. Pada stadia demikian, benang sari
akan mekar dalam 1-2 hari (Supartopo, 2006).
Menurut Harahap (1982) terdapat banyak cara atau metode untuk
menyilangkan padi secara buatan diantaranya :
Silang tunggal (single cross) merupakan persilangan padi yang hanya
melibatkan dua tetua saja.
Silang puncak (top cross) merupakan persilangan antara F1 dan tetua lainnya.
17
Silang ganda (double cross) merupakan persilangan antara F1 dan F1 dari
persilangan tunggal.
Silang balik (backcross) merupakan persilangan F1 dengan salah satu
tetuanya.
Adapun teknik persilangan pada padi ini yaitu:
1. Kastrasi yaitu membuang bagian-bagian dari tanaman yang dapat
mengganggu proses persilangan. Kastrasi biasanya dilakukan sehari sebelum
proses persilangan dilakukan agar putik menjadi masak sempurna saat
penyerbukan. Hal yang perlu diiperhatikan dalam mengkastrasi yaitu setiap
bunga memiliki enam benang sari dan dua kepala putik yang tidak boleh
rusak.
2. Emaskulasi yaitu mengambil benang sari dari bunga dengan cara menyedot
atau mengambilnya dengan pinset kecil. Bunga yang telah bersih dari benang
sari itu di tutup dengan glacine bag atau sungkup agar tidak dimasuki oleh
benang sari yang tidak dikehendaki. Proses ini sebaiknya dilakukan pada
03.00 sore.
3. Pollinasi adalah proses penyerbukan. Proses ini baiknya dilakukan pada pagi
hari. Padi yang telah kita emaskulasi tersebut dibuka sungkupnya kemudian
oleskan benag sari yang kita kehendaki ke dalamnya kemudia sungkup
kembali.
18
top related