paleobotani (fosil kayu) hutan tropis...
Post on 19-Jul-2018
241 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PALEOBOTANI (FOSIL KAYU) HUTAN TROPIS
Oleh:
Andianto, Sri Rulliaty, Agus Ismanto, Dominicus Martono
Abstrak
Penelitian dilakukan terhadap sejumlah fosil kayu yang berasal dari wilayah Banten dan Garut. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di sekitar wilayah Banten dan Garut. Irisan bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya dengan menggunakan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager A1m. Diskripsi ciri anatomi mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA. Analisis umur fosil dilakukan berdasarkan metoda radio karbon serta analisa peta geologi. Ciri-ciri natomi yang berhasil teridentifikasi berupa pembuluh yang sebagian besar soliter, lainnya berganda radial dan diagonal, ukuran pembuluh agak kecil sampai agak besar, jari-jari agak sempit dan jarang, terlihat adanya saluran damar aksial berderet tangensial panjang. Ciri anatomi demikian adalah ciri anatomi dari jenis Shoreoxylon sp.(Meranti). Ciri anatomi pada fosil lainnya yang teridentifikasi adalah pembuluh hampir seluruhnya soliter, pembuluh agak jarang, jari-jari agak sempit dan jarang. Ciri-ciri demikian merupakan ciri anatomi yang dimiliki oleh jenis Drobalanoxylon sp.(Kamper). Fosil-fosil kayu tersebut diperkirakan berumur masa Plistosen awal (0,012-0,027 juta tahun lalu). Kata kunci: Fosil kayu, Banten, Garut, Shoreoxylon, Dryobalanoxylon
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia selain dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman
jenis pohon juga memiliki keragaman jenis fosil kayu. Penemuan fosil kayu di
Indonesia masih sedikit yang terungkap, sehingga hal ini mejadi daya tarik
untuk tetap dicari dan digali informasinya. Hingga saat ini, kekayaan fosil kayu
yang berlimpah hanya sebagai sarana pemuas konsumsi para kolektor dan
penjual demi kepentingan bisnis dan kesenangan. Menurut Mandang dan
Martono (1996), fosil kayu sejak kurang lebih 20 tahun lalu sudah
diperjualbelikan di daerah barat pulau Jawa. Sebenarnya Sumber Daya Alam
berupa fosil kayu yang kita miliki ini dapat menjadi media dan sarana ilmu
pengetahuan dan pendidikan. Informasi jenis pohon pada masa lampau dapat
digunakan untuk mengetahui perubahan ekologi atau kedekatan ekologi
berbagai daerah. Salah satu dari hasil penelitian fosil kayu di Indonesia
melaporkan bahwa penemuan fosil kayu jenis suku Dipterocarpaceae yang
banyak ditemukan di daerah Banten menandakan adanya kemungkinan
bersatunya pulau Jawa dengan Sumatera dan Kalimantan pada jaman dahulu
kala (Mandang dan Martono, 1996). Keberadaan jenis-jenis pohon dari suku
Dipterocarpaceae dewasa ini adalah dominan di Pulau Sumatera dan
Kalimantan, namun di Pulau Jawa semua jenis tersebut hampir tidak ditemukan
lagi.
Penelitian fosil kayu dirasa penting mengingat fosil kayu merupakan
salah satu kekayaan peninggalan sejarah flora di Indonesia. Semakin gencarnya
praktek jual beli fosil kayu selama ini dikhawatirkan fosil kayu akan semakin
langka, padahal fosil-fosil kayu yang diperjual belikan sebagian besar tanpa
diketahui identitas botanisnya. Identitas botanis ini penting untuk menggali
sejarah sebaran jenis-jenis pohon yang tumbuh di masa lampau, sehingga kita
dapat menguak adanya perubahan anatomi kayu dari pohon keturunannya
yang tumbuh saat ini.
3
Harapan ke depan dari kegiatan penelitian fosil kayu ini akan melahirkan
suatu kebijakan yang dapat membangun persepsi yang sama terhadap
pentingnya keberadaan kawasan konservasi fosil kayu di Indonesia. Dampak
yang diharapkan juga adalah kesadaran akan perlunya perlindungan terhadap
keberadaan fosil kayu sebagai aset ilmu pengetahuan dan kekayaan alam
Indonesia.
B. Tujuan dan Sasaran
A. Tujuan
Penelitian tahun 2015 bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah
mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di sekitar wilayah Banten dan Garut.
2. Sasaran
Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai
identitas botanis, persebaran serta umur fosil kayu. Dengan demikian maka
keberadaan fosil-fosil kayu yang terdapat di beberapa wilayah Indonesia terlihat
jelas dengan dukungan data-data ilmiah yang dapat dipergunakan untuk
pengelolaan sumber daya alam fosil kayu di Indonesia.
C. Luaran
Luaran dari penelitian ini adalah berupa :
1. Laporan hasil penelitian yang berisi data dan informasi data-data fosil kayu
seperti jenis, lokasi, serta umur fosil sebagai bahan penyusunan atlas fosil
kayu Indonesia dan bahan rekomendasi kebijakan konservasi fosil kayu di
Indonesia.
2. Draft karya tulis ilmiah
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini berupa :
1. Survey dan pengumpulan fosil kayu
Survey dan pengumpulan fosil kayu yang berasal dari galian tanah
dilakukan pada sekitar wilayah yang telah diketahui keberadaan fosil kayunya.
Dilakukan pencatatan data sekunder berupa lokasi letak temuan fosil serta data
pelengkap lainnya.
4
2. Pengamatan struktur anatomi
Irisan bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri
anatominya pada preparat iris dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio
Imager A1m.
3. Analisa perkiraan umur fosil
Perkiraan umur fosil kayu ditelusuri dan dianalisis dengan bantuan data
yang terdapat pada peta Geologi (skala 1 : 100.000). Peta Geologi merupakan
peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan
informasi umurnya. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam lapisan
tanah diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan tanah itu sendiri.
Selain berdasarkan peta Geologi, untuk mengetahui perkiraan umur fosil kayu
juga akan dilakukan melalui teknik peluruhan isotop radioaktif (waktu paruh).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kata fosil berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti "galian", yakni
sisa/bekas mahluk hidup yang telah membatu atau membentuk mineral (Fosil,
2006). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu & Zein, 2001), arti
kata Fosil adalah sisa tulang belulang binatang atau tumbuhan yang berasal
dari zaman purba yang telah membatu atau yang tertanam di bawah lapisan
tanah. Diperkirakan bahwa hewan maupun tumbuhan yang mati dapat menjadi
fosil apabila segera tertutup oleh sedimen. Sedimen ini berupa mineral (seperti
kuarsa) yang terbawa oleh air dan masuk melapisi lignin dan selulosa melalui
sel pohon sehingga menjadi batu. Dengan kata lain fosil terbentuk melalui
permineralisasi secara kimia dan fisika dalam proses waktu yang panjang.
Museum Geologi Bandung pada awal tahun 2014 meminta bantuan
kepada Puslitbang Hasil Hutan-Bogor untuk mengidentifikasi fosil kayu yang
merupakan koleksi dari beberapa wilayah di Indonesia. Dari 22 spesimen fosil
yang diamati terdapat 19 spesimen yang berhasil diidentifikasi (Mandang et al,
2014). Hal ini menggambarkan bahwa di sisi lain, masih banyak jenis-jenis fosil
kayu yang ada di Indonesia yang belum diketahui identitas botanisnya.
Menurut Dewi (2013), fosil kayu ditemukan di kawasan KHDTK
Labanan-Berau Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya diberitakan juga adanya
fosil kayu di daerah Sumba Tengah (Njurumana, 2013 dalam Dewi 2013).
Dengan adanya informasi keberadaan fosil kayu di beberapa wilayah tertentu
ini, tidak menutup kemungkinan fosil-fosil kayu dapat juga ditemukan di
wilayah lainnya.
Penelitian fosil di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1854
oleh Goppert yang meneliti fosil kayu di Pulau Jawa (Krausel, 1925). Crie
(1888) menemukan fosil kayu Naucleoxylon spectabile (Rubiaceae) di Gunung
Kendeng (Jawa), yang kemudian direvisi oleh Krausel melalui penelitiannya
menjadi Dipterocarpoxylon spectabile (Krausel, 1926). Beberapa tahun
sebelumnya juga ditemukan jenis Dipterocarpoxylon javanense di daerah
6
Bolang-Rangkasbitung (Krausel, 1922b) dan Dipterocarpoxylon sp. di Sumatera
Selatan (Krausel, 1922a). Den Berger merevisi temuan Krausel menjadi
Dryobalanoxylon spectability dan Dryobalanoxylon javanense (Den Berger, 1923
& 1927). Schweitzer (1958) menemukan fosil Vaticoxylon pliocaenicum dan
Shoreoxylon pulchrum di Jambi, Dipterocarpoxylon javanicum di Indramayu
serta Dryobalanoxylon tobleri di Banten. Sukiman (1971) melaporkan temuan
fosil kayu Shoreoxylon pachitanensis di daerah Pacitan (Jawa timur). Mandang
dan Martono (1996) melaporkan bahwa jenis fosil kayu yang ditemukan di
tempat pengumpulan/penjualan fosil di Ciampea, Leuwiliang, dan Jasinga
didominasi oleh jenis-jenis suku Dipterocarpaceae yaitu Anisopteroxylon,
Dipterocarpoxylon, Dryobalanoxylon, Hopeoxylon, Shoreoxylon,
Parashoreoxylon, dan Cotylelobioxylon. Masih di daerah Leuwiliang, fosil kayu
Dryobalanoxylon bogorensis ditemukan oleh Srivastava dan Kagemori (2001).
Beberapa tahun kemudian, Mandang dan Kagemori (2004) menemukan fosil
kayu Dryobalanoxylon lunaris di daerah Maja-Kabupaten Lebak (Banten).
Temuan fosil kayu jenis Shoreoxylon floresiensis juga diberitakan oleh Dewi
(2013) di Cagar Alam Wae Wuul Pulau Flores. Temuan fosil kayu di kali Cemoro
(Jawa Tengah) diidentifikasi sebagai fosil kayu jenis Rengas (Gluta wallichii)
dari suku Anacardiaceae (Andianto et al., 2012). Menurut Dewi (2013), fosil
kayu yang ditemukan di Indonesia berasal dari endapan pada masa Miocene
yaitu 25 juta tahun BP (Before Present) hingga masa Pliocene yaitu 2 juta
tahun BP (Before Present).
7
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan bahan utama penelitian dilakukan di wilayah Banten
dan Garut. Pembuatan preparat iris guna pengamatan anatomi fosil dilakukan di
Museum Geologi Bandung. Analisis umur fosil kayu dilaksanakan di
Laboratorium Pusat Survei Geologi Bandung. Pengamatan struktur anatomi fosil
kayu untuk penentuan jenis dilakukan di Puslitbang Hasil Hutan-Bogor.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan utama penelitian adalah fosil kayu yang masih tertimbun di dalam
tanah yang dikumpulkan dari beberapa wilayah di Banten dan Garut. Bahan
kimia yang dipakai di antaranya yaitu carborundum dan canada balsam.
Peralatan yang digunakan antara lain pemotong batu (gergaji mesin),
mikrotom, mikroskop cahaya, kamera, hot plate. Sedangkan bahan gelas kaca
yang diperlukan antara lain object glass, cover glass, loupe,dan lain-lain.
C. Prosedur Kerja
Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan
penelitian, yaitu :
1. Survey dan pengumpulan fosil kayu
Survey dan pengumpulan fosil kayu yang berasal dari galian tanah
dilakukan pada sekitar wilayah Banten dan Garut, dimana informasi letak
keberadaannya telah diketahui. Dilakukan pencatatan data sekunder berupa
lokasi letak temuan fosil serta data pelengkap lainnya.
2. Pengamatan struktur anatomi
Bidang lintang, radial dan tangensial dari setiap fosil kayu diamati ciri-ciri
anatominya pada preparat iris dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio
Imager A1m. Pembuatan preparat iris dimulai dengan memotong/mengiris
sebongkah fosil kayu berukuran 3 cm x 3 cm x 6 cm pada tiga
bidang/penampang yaitu lintang, radial, dan tangensial. Permukaan pada setiap
8
penampang irisan ditipiskan dengan menggunakan mesin gosok batuan yang
sudah ditaburi serbuk carborundum 100 mesh. Selanjutnya setiap irisan fosil
dicuci dengan air, dan digosok kembali dengan kaca ketebalan 5 milimeter yang
sudah ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Kemudian dicuci kembali dan
selanjutnya digosok pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 600 mesh
agar lebih halus. Selanjutnya masing-masing irisan fosil kayu beserta object
glass dipanaskan pada hot plate hingga suhu 70-800C. Setelah dipanaskan
selanjutnya masing-masing irisan fosil direkatkan pada object glass yang sudah
diolesi canada balsam dengan menekan hingga tidak nampak gelembung
udara. Diamkan hingga dingin dan melekat dengan baik. Setiap irisan fosil yang
sudah melekat pada object glass selanjutnya digosok kembali pada plat gosok
batuan hingga terlihat tipis (bayang-bayang) dengan melihatnya di bawah
mikroskop. Untuk mendapatkan ketipisan sesuai yang diinginkan, irisan fosil
selanjutnya dibersihkan dengan air dan digosok kembali pada kaca yang
ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Apabila belum sesuai dengan ketipisan
yang diinginkan, digosok kembali pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum
600 mesh. Jika ketipisan sudah sesuai, selanjutnya dikeringkan sebentar dan
beri entelan serta tutup dengan cover glass hingga kering selama lebih kurang
2 jam. Selanjutnya preparat iris siap untuk dilakukan pengamatan.
D. Analisis Data
Diskripsi ciri anatomi guna penentuan jenis fosil kayu mengacu kepada
daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (Wheeler et al.,
1989). Jumlah pengamatan ciri-ciri kuantitatif sel disesuaikan dengan jumlah sel
yang dapat dilihat pada slide/preparat pengamatan. Ciri-ciri anatomi hasil
pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan ciri-ciri anatomi kayu masa kini
yang sejenis.
Perkiraan umur fosil kayu ditelusuri dan dianalisis dengan bantuan data
yang terdapat pada peta Geologi (skala 1 : 100.000). Peta Geologi merupakan
peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan
informasi umurnya. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam lapisan
tanah diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan tanah itu sendiri.
9
Selain berdasarkan peta Geologi, untuk mengetahui perkiraan umur fosil
kayu juga dilakukan melalui teknik peluruhan isotop radioaktif (waktu paruh).
Cara pentarikhan radiokarbon merupakan salah satu metoda radiometri yang
dapat dipakai untuk menentukan umur mutlak suatu bahan sampai umur ±
50.000 tahun yang lalu. Metoda ini hanya dapat digunakan pada bahan yang
mengandung unsur karbon (C). Unsur karbon yang dipakai adalah isotop C14
yang terdapat dalam atmosfir yang terikat dalam senyawa 14CO2. Nisbah
radiokarbon terhadap isotop karbon yang mantap dalam organisma hidup
adalah sama dengan nisbah dalam atmosfir. Kematian organisma mengakhiri
pertukaran 14CO2 antara organisma dengan atmosfir. Dalam organisma yang
mati, C14 berkurang melalui degradasi radioaktif. Dengan membandingkan
derajat keradioaktifan dalam organisma hidup dapat ditentukan sudah berapa
lama organisma itu mati.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik wilayah temuan fosil kayu
Lokasi fosil kayu berada di wilayah Kabupaten Lebak (Provinsi Banten),
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Garut (Provinsi Jawa Barat). Berdasarkan
tinjauan ke lokasi, fosil kayu yang berhasil ditemukan berada pada daerah
persawahan dan kebun campuran. Temuan fosil kayu di wilayah Kabupaten
Lebak berada pada dua kecamatan, sedangkan kecamatan lainnya merupakan
wilayah perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Bogor yaitu Kecamatan
Jasinga. Temuan fosil kayu di daerah Garut berada pada satu wilayah
kecamatan.
1. Lokasi Banten
Kabupaten Lebak merupakan kabupaten terluas di Provinsi Banten dan
memiliki luas lahan persawahan ke dua terbesar di Provinsi Banten (23,66%)
setelah Kabupaten Pandeglang. Kabupaten Lebak berbatasan dengan
Kabupaten Serang dan Tangerang di sebelah utara, berbatasan dengan
Kabupaten Bogor dan Sukabumi di sebelah timur, dan Kabupaten Pandeglang di
sebelah barat dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia.
Secara geografis wilayah Kabupaten Lebak berada pada 105025' s/d
106030' BT dan 06018' s/d 07000' LS dengan luas wilayah 304.472 Ha. Bagian
utara berupa dataran rendah, dan di bagian selatan merupakan pegunungan.
Sungai Ciujung mengalir ke arah utara yang merupakan sungai terpanjang di
wilayah Banten (Provinsi Banten, 2015). Temuan fosil kayu di Kabupaten Lebak
berada pada dua wilayah yaitu kecamatan Curug Bitung dan kecamatan
Cimarga. Kedua wilayah kecamatan ini berada pada ketinggian antara 100
hingga 500 mdpl. Berdasarkan data potensi komoditi industri kecil di daerah
Kabupaten Lebak, batu fosil merupakan salah satu hasil komoditi daerah ini.
Kabupaten Lebak merupakan satuan Ekoregion Karst dan sebagiannya
merupakan Blok patahan yang cenderung berbukit dengan kemiringan lereng
11
dominan lebih dari 37%. Struktur geologi di daerah ini terdiri dari formasi
batuan yang terdiri batuan sedimen, batuan gunung api, batuan terobosan dan
alluvium yang berumur mulai Miosen awal hingga Resen (Provinsi Banten,
(2015).
Gambar 1. Peta lokasi ditemukannya fosil kayu
Gambar 2. Wilayah kecamatan ditemukannya fosil kayu
12
Masyarakat di wilayah ini sudah tidak asing dengan pencarian fosil kayu,
bahkan terdapat beberapa pengusaha batu alam yang menjadikan fosil kayu
sebagai komoditi yang diperjual-belikan. Masyarakat setempat melakukan
cara/teknik pencarian fosil kayu dengan cara menusukkan sebatang besi ke
dalam tanah. Apabila terasa adanya benturan keras, maka diduga kemungkinan
di bawah tanah tersebut terdapat fosil kayu.
Gambar 3. Lubang galian dan fosil-fosil kayu di wilayah Banten
13
Sebaran fosil kayu yang terdapat di wilayah Banten tercermin dalam
tabel berikut di bawah ini.
Tabel 1. Sebaran lokasi fosil kayu di daerah Banten
No. Lokasi penemuan Koordinat lokasi Ketinggian (mdpl)
jumlah specimen yang diambil (buah)
Kode specimen
1. Kampung Blok Kebon panas, Desa Koleang, Kec. Jasinga
LS (S) 06028'39,6'' BT (E) 106027'12,5''
107 3 I.1, I.2,I.3
2. Kampung Blok Kebon panas, Desa Koleang, Kec. Jasinga
LS (S) 06028'658'' BT (E) 106027'207''
100
2
I.A, I.B
3. Kampung Candi, Desa Lebak kasih, Kec. Curug bitung
LS (S) 06026'756'' BT (E) 106024'446''
117 4 II.1, II.2, II.3, II.4,
II.5
4. Kampung Turus, Desa Curug bitung, Kec. Curug bitung
LS (S) 06028'726'' BT (E) 106023'549''
101 8 III.1 s/d III.7
5. Kampung Kadu luhur, Desa Tambak, Kec. Cimarga
LS (S) 06028'726'' BT (E) 106023'549''
101 1 IV.1
6. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga
LS (S) 06025'421'' BT (E) 106017'925''
98 1 V.1
7. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga
LS (S) 06025'410'' BT (E) 106017'792''
65 1 VIII.1, VIII.2
8. Kali Cisentul LS (S) 06025'400'' BT (E) 106017'791''
63 2 IX.1, IX.2
9. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga
LS (S) 06025'633'' BT (E) 106017'553''
72 1 X.1
10. Kampung Polad, Desa Tambak, Kec. Cimarga
LS (S) 06025'603'' BT (E) 106017'521''
81 2 XI.1, XI.2
Jumlah 25
14
2. Lokasi Garut
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan
(06056'49'' LS dan 107025'8'' BT). Kabupaten ini memiliki luas sekitar 306.519
Ha, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang di
sebelah utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah Timur, Kabupaten Bandung
dan Cianjur di sebelah Barat, serta berbatasan dengan Samudera Indonesia di
sebelah Selatan. Rangkaian gunung api aktif mengelilingi dataran dan cekungan
antar gunung seperti Gunung Guntur, Gunung Haruman, Gunung Kamojang di
sebelah Barat, Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray di sebelah Selatan
Tenggara, serta Gunung Cikuray, Gunung Talagabodas, Gunung Galunggung di
sebelah Timur.
Gambar 4. Kecamatan Banjarwangi
15
Letak/tapak fosil kayu yang ditemukan berada pada dua lokasi areal
persawahan penduduk. Saat mengunjungi tapak fosil kayu, keberadaan fosil
kayu sudah tidak tampak lagi karena sudah dipindahkan ke salah satu rumah
penduduk dan pekarangan kepala desa setempat. Bagian fosil kayu yang masih
tersisa di lokasi dibawa untuk dilakukan identifikasi jenis. Sebaran fosil kayu
yang di temui di lapangan adalah sebagai berikut di bawah ini.
Tabel 2. Sebaran lokasi fosil kayu di daerah Garut
No. Lokasi penemuan Koordinat lokasi
Ketinggian (mdpl)
jumlah specimen yang diambil (buah)
Kode specimen
1. Kampung Kareo RT05/RW 04, Desa Wangunjaya, Kec. Banjarwangi, Kabupaten Garut
LS (S) 07024'595''
BT (E) 107053'425
''
804
2
I.1, I.2
2. Kampung Kadu RT04/RW 04, Desa Wangunjaya, Kec. Banjarwangi, Kabupaten Garut
LS (S) 07024'782''
BT (E) 107053'255
''
853
1
II
Jumlah 3
16
B. Analisis perkiraan umur fosil kayu
Sebagai perwakilan untuk pengujian umur fosil kayu, analisa umur fosil
dilakukan terhadap fosil kayu asal Kecamatan Jasinga dengan kode I.1 dan fosil
kayu asal Kecamatan Curug Bitung dengan kode III.2. Analisis kedua specimen
fosil tersebut dilakukan berdasarkan data peta geologi. Sedangkan untuk
perbandingannya dilakukan juga pengujian umur fosil kayu berdasarkan
metoda pentarikhan radiokarbon C-14 pada 5 sampel fosil lainnya. Hasil
pengujian dapat dilihat pada lampiran.
Berdasarkan stratigrafi lembar peta geologi Lembar Serang, lokasi temuan
fosil kayu ini berada dalam formasi Bojong dan masuk dalam daerah Qpb, yaitu
masa pertengahan Plistosen. Berdasarkan International Chronostratigraphic
Gambar 5. Lokasi penemuan fosil kayu di wilayah Garut
17
Chart (Cohen et al., 2013) umur fosil masa Plistosen adalah 0.01 hingga 2,5
juta tahun lalu.
Masa Plistosen termasuk dalam masa Kwarter, yaitu sekitar 0,01 - 1,8 juta
tahun lalu yang ditandai oleh beberapa kali glasiasi (zaman es) yang menutupi
sebagian besar Eropa, Amerika Utara, Asia Utara, pegunungan Alpen, Himalaya,
dan Cherpathia (Museum Geologi, 2014). Sedangkan berdasarkan metoda radio
karbon, fosil-fosil kayu yang ditemukan dperkirakan berumur Plistosen awal
(0,012 hingga 0,027 juta tahun lalu).
Sumber: Puslitbang Geologi, 1996
Keterangan: Gambar lingkaran adalah lokasi temuan fosil kayu
Gambar 6. Peta geologi lembar Serang, Jawa
06028'39,6'' LS 1060 27'12,5'' BT
06028'726'' LS 1060 23'549'' BT
18
C. Jenis fosil kayu
Guna penentuan jenis fosil maka dilakukan pengamatan terhadap ciri-ciri
anatominya. Pengamatan ciri anatomi dilakukan terhadap fosil kayu asal
Kecamatan Jasinga dengan kode I.1 dan fosil kayu asal Kecamatan Curug
Bitung dengan kode III.2.
Berdasarkan hasil pengamatan, fosil asal Jasinga memiliki ciri berupa sel
pembuluh yang hampir seluruhnya soliter dan sebagian bergabung 2-3 arah
radial dan kadang-kadang berkelompok dalam arah diagonal maupun
tangensial. Ciri anatomi lainnya adalah ditemukannya sel jari-jari yang hampir
Sumber : Cohen, dkk (2013).
Gambar 7. Peta grafik perkiraan umur fosil
19
seluruhnya multiseriate, terdapat sel parenkim berbentuk selubung dan
terkadang aliform maupun konfluen, serta terdapat saluran damar aksial
berderet tangensial panjang. Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-
ciri anatomi kayu dari genus Shorea famili Dipterocarpaceae, sehingga
berdasarkan ciri-ciri demikian maka jenis fosil yang berasal dari Kecamatan
Jasinga adalah jenis Shoreoxylon sp. (Meranti).
Fosil yang berasal dari Kecamatan Curug Bitung memiliki ciri-ciri anatomi
berupa sel pembuluh yang hampir seluruhnya soliter dan terkadang gabungan
2-3 arah radial atau tangensial. Ciri anatomi lainnya adalah terdapat sel
parenkim tipe paratrakeal selubung dan parenkim pita terputus serta parenkim
baur, terdapat saluran damar berderet tangensial dengan diameter lebih kecil
dibandingkan diameter sel pembuluh. Ciri-ciri anatomi demikian serupa dengan
ciri-ciri kayu jenis Dryobalanops sp. anggota famili Dipterocarpaceae. Sehingga
fosil kayu asal Kecamatan Curug Bitung ini teridentifikasi sebagai
Dryobalanoxylon sp. (Kamper).
20
Ciri-ciri anatomi utama yang terlihat : Pembuluh sebagian besar soliter dan sebagian kecil bergabung 2-3 dalam arah radial dan
terkadang berkelompok dalam arah diagonal atau tangensial Terdapat saluran damar aksial berderet tangensial panjang (tanda panah) Sel parenkim paratrakeal bentuk selubung lengkap atau tidak lengkap dan terkadang
berbentuk aliform atau konfluen Jari-jari hampir seluruhnya multiseriate berukuran sedang
Gambar 8. Foto makroskopis penampang lintang jenis Shoreoxylon sp. (Meranti)
1 mm
21
Shoreoxylon sp. Shorea sp.
Keterangan : a. Penampang lintang, b. Penampang radial, c. Penampang tangensial
Gambar 9. Foto perbandingan mikroskopis fosil kayu Shoreoxylon sp. (Meranti) dengan kayu Shorea sp. (Meranti)
a
b
c
Sumber : Balitbanghut, 2014
22
Ciri-ciri anatomi utama yang terlihat :
Pembuliuh hampir seluruhnya soliter dan terkadang terdapat gabungan 2-3 arah radial atau tangensial
Terdapat parenkim tipe paratrakeal berbentuk selubung lengkap dan parenkim pita terputus serta parenkim baur
Terdapat saluran tangensial dengan diameter lebih kecil dari pembuluh (tanda panah)
Gambar 10. Foto makroskopis penampang lintas jenis Dryobalanoxylon sp. (Kamper)
1 mm
23
Dryobalanoxylon sp. Dryobalanops sp.
Keterangan : a. Penampang lintang, b. Penampang radial, c. Penampang tangensial
Gambar 11. Foto perbandingan mikroskopis fosil kayu Dryobalanoxylon sp. (Kapur) dengan kayu Dryobalanops sp. (Kapur)
a
b
c
Sumber : Balitbanghut, 2014
24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sejumlah fosil kayu yang diperoleh dari wilayah Banten dan Garut telah
berhasil diambil langsung dari lokasi keberadaannya. Hasil pengamatan ciri-ciri
anatomi terhadap sampel fosil kayu asal Kecamatan Jasinga dan Kecamatan
Curug Bitung adalah jenis Shoreoxylon sp. (Meranti) dan Dryobalanoxylon sp.
(Kamper). Analisa pengukuran umur fosil terhadap ke dua jenis fosil tersebut
berdasarkan data peta geologi diperkirakan berumur Plistosen yaitu sekitar 0,01
hingga 2,5 juta tahun lalu. Sedangkan hasil pengujian berdasarkan metoda
radio karbon terhadap 5 sampel fosil lainnya yang juga berasal dari wilayah
Banten diperkirakan berumur Plistosen awal (0,012 hingga 0,027 juta tahun
lalu). Lokasi wilayah temuan fosil kayu umumnya berada pada lahan
persawahan dan kebun dengan lokasi ketinggian berkisar antara 63 hingga 107
mdpl.
B. Saran
Berdasarkan jumlah fosil kayu yang ditemukan di wilayah Banten dan
Garut mengindikasikan bahwa pada ke dua wilayah ini memiliki potensi sebagai
sumber keragaman jenis fosil kayu di Indonesia. Sehingga untuk menjaga
keberadaannya diperlukan upaya konservasi mengingat adanya kabar yang
berkembang bahwa di wilayah ini akan direncanakan pembangunan waduk
untuk pengairan sawah dan pembangkit tenaga listrik.
25
DAFTAR PUSTAKA Andianto, N.E. Lelana, A. Ismanto. (2012). Identifikasi Fosil Kayu dari Kali
Cemoro Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional
Biologi. Prospektif Biologi Dalam Pengelolaan Sumber Hayati. Fakultas
Biologi, UGM. Yogyakarta.
Badudu, J.S. dan S.M. Zein.(2001). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Balitbanghut. (2014). Atlas Kayu Indonesia. Departemen Kehutanan. Crie, M.L. (1888).Recherches sur la Flore Pliocenee de Java. Samlung des
Geologishen Reichsmuseums in Leiden. Beitrage zur Geologie von Ost-Asians Australlians 5; 1-21.
Cohen, K.M., Finney, S.M., Gibbard, P.L., and Fan, J.-X. (2013). The ICS
International Chronostratigraphic Chart. Episodes, 36(3): 199-204. Fosil. (2006).http://id.wikipedia.org/wiki/fosil.Diakses tanggal 10 November
2006. Dewi, L. M.(2013).Penelitian Fosil Kayu: Status dan Prospeknya di Indonesia.
Makalah Diskusi Litbang Anatomi Kayu Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
Den Berger, L.G. (1927).Unterscheidung-smerkmale von rezenten und fossilen
Dipterocapaceen Gattungen. Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg Series 3; 495-498.
________. (1923).Fossiele houtsoorten uit het Tertiair van Zuid-Sumatra. Verh.
Geol. Mijnb. Genoot. Ned. (Geol.ser.) 7; 143-148. Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N. (1996). Peta Geologi Lembar
Sindangbarang dan Bandarwaru, Jawa (edisi ke dua). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Krausel, R. (1926).Űber einige Fossile Hőlzer aus Java. Leidsche Geol.
Mededeel. Bd. 2; 1-8. ________. (1922a).Fossile Hőlzer aus dem Tertiar von Sűd-Sumatra. Verh.
Geol. Minb.Genootsch. V. Nederland en Kol., Geol. Serie V: 231-294.
26
________. (1922b).Ǖeber einen Fossilen Baumstammm von Bolang (Java). Ein Beitrag zur Kenntnis der fossilken flora Niederlandisch-Indiens. Versl. Afd. Natuurkunde Kon. Akad. Amsterdam 31.
________. (1925).Der stand unserer kenntnisse von der tertiarflora
Nederlandisch-Indien. Verh. Geol. Mijnb. Genootsh. V. Nederland en Kol., Geol. Serie 8; 3129-342.
________. (1922a).Fossile Hőlzer aus dem Tertiar von Sűd-Sumatra. Verh.
Geol. Minb.Genootsch. V. Nederland en Kol., Geol. Serie V: 231-294. ________. (1922b).Ǖeber einen Fossilen Baumstammm von Bolang (Java). Ein
Beitrag zur Kenntnis der fossilken flora Niederlandisch-Indiens. Versl. Afd. Natuurkunde Kon. Akad. Amsterdam 31.
Museum Geologi. (2014). http://uunhalimah. blogspot.com/2011/12/mu-seum-
geologi.html.[12-Mei-2014]. Mandang, Y.I., Andianto & H. Oktariani. (2014). Laporan Identifikasi Fosil Kayu
Koleksi Museum Geologi Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Tidak dipublikasikan.
Mandang, Y.I. and N. Kagemori.(2004).A Fossil Wood of Dipterocarpaceae from
Pilocene Deposit in the West Region of Java Island, Indonesia. Biodiversitas, Vol. 5 No. 1 Halaman 28-35.
Mandang, Y.I. & D. Martono. (1996). Keanekaragaman Fosil Kayu di Bagian
Barat Pulau Jawa. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Provinsi Banten. (2015). http://ppejawa.com/11_provinsi _banten.html).
Srivastava, R. and N. Kagemori. (2001). Fossil wood of Dryobalanops from
Pliocene deposit of Indonesia. Paleobotanist 50(2001): 395-401. Sukiman, S. (1971). Sur deux bois fossiles du Gisenment de la region Pachitan
a Java. C.r. 102e Congr.Nat.Soc.Sav., Limoges, 1; 197-209. Schweitzer,J.H. (1958). DieFossilenDipterocarpaceen-Hőlzer.Paleontographica B
104 (1-4); 1-66. Wheeler, E.A., P.Baas and P.E.Gasson. (1989). IAWA List of Microscopic
Features for Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s. 10 (3); 219-
27
332.International Association of Wood Anatomists. Leiden, The Netherlands.
28
Lampiran
29
30
31
32
33
top related