panduan bagi para praktisi tentang buruh migran · dengan tambahan studi dan makalah oleh lim wei...
Post on 06-May-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Panduan Bagi Para Praktisi Tentang Buruh Migran:
Mengajukan Gugatan Perdata di Singapuradan dari Luar Negeri
Edisi Kedua
Disusun dan Diedit oleh Douglas MACLEAN
Direktur Eksekutif
Charmaine YAP
Misa MITSUGI
Sanjana JAYARAMAN
Stephanie TEH
Pro Bono Research Fellows
Justice Without Borders
Sheila HAYRE
Dosen Senior
National University of Singapore
Fakultas Hukum
Dengan Tambahan Studi dan Makalah oleh
LIM Wei Zhen
NGUYEN Vu Lan
Pro Bono Research Fellows
Justice Without Borders
Terjemahan didonasikan oleh Tifa Foundation
Editor Terjemahan
Clarissa WONG
Felix Valianto HALIMAWAN
Dipublikasi oleh Justice Without Borders
Bekerjasama dengan National University of Singapore, Fakultas Hukum,
Pro Bono Group
© May 2016
Dokumen Asli Dipublikasikan dalam Bahasa Inggris
Hak cipta dilindungi UU. Dilarang mereproduksi sebagian atau seluruh isi dari
buku ini ke dalam berbagai format melalui cara elektronis maupun
mekanistermasuk sistem penyimpanan dan sistem penemuan kembali informasi
tanpa izin secara tertulis dari pihak Justice Without Borders.
PERNYATAAN BEBAS DARI TANGGUNG JAWAB
Panduan ini berisi informasi umum secara singkat tentang tentang undang-undang,
yang disusun oleh para relawan pengacara dengan Justice Without Borders (JWB) dan
dapat digunakan terhitung mulai bulan Mei 2016. Informasi ini disediakan oleh JWB
sebagai layanan publik. Meskipun panduan ini berasal dari sumber yang terpercaya dan
akurat, namun JWB tidak memberikan jaminan atas keakuratan informasi. JWB dan
perwakilannya juga tidak bertanggung jawab jika terdapat kesalahan atau kelalaian
terhadap informasi yang diberikan. Informasi yang diberikan bukan merupakan analisis
yang definitif dari subjek permasalahan, dan hendaknya dilakukan konsultasi hukum
secara profesional terlebih dahulu sebelum mengambil satu tindakan.
Pandangan yang diberikan oleh para kontributor tidak dengan sendirinya mewakili
pandangan dari pihak JWB. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk
memastikan bahwa informasi yang terkandung dalam buku panduan ini akurat, namun
pihak kontributor, tim editorial, JWB, dan Kelompok Pro Bono dari National
University of Singapore menyatakan diri terlepas dari semua kewajiban dan tanggung
jawab atas setiap kesalahan atau kelalaian yang terjadi dalam publikasi ini dan dalam
setiap perkara atau konsekuensi apapun, yang dilakukan oleh setiap pihak yang
menjadikan sandaran, baik secara keseluruhan maupun sebagian terhadap semua atau
sebagian isi dari publikasi ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Panduan ini tidak akan tersusun tanpa adanya masukan dari para pengacara ahli,
profesor, dan penyedia layanan langsung di lapangan. Dalam urutan abjad, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Celine DERMINE, Alexis DUECKER, Jacqueline
FIELD, Jennifer GOEDHUYS, Priscilla GOH, Profesor GOH Yihan, June LIM,
Profesor Jaclyn NEO, NG Bin Hong, Matthew SAW, Jolovan WHAM, Ronald
WONG, dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan namanya satu-
persatu. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada organisasi yang
mendukung hak buruhmigran di Singapura - Humanitarian Organisation for
Migration Economics (HOME), Transient Workers Count Too (TWC2), dan
HealthServe sebagai lembaga atas kesediaannya untuk berbagi informasi dan
pengalaman dalam penyediaan layanan langsung, dan kami berharap untuk terus
mendukung peran kerja mereka sebagai mitra. Akhirnya, kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Hukum National University of Singapore
(NUS), dan Kelompok Mahasiswa Hukum Pro Bono dari National University of
Singapore, yang tanpa jerih payah mereka, panduan ini tidak akan tersusun. Mereka
adalah para mitra yang luar biasa, dan para mahasiswa mereka telah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan sebagai mitra penelitian Pro Bono di JWB.
KATA PENGANTAR
Buruh migran merupakan salah satu kalangan pendatang internasional yang paling
umum di kawasan tersebut. Namun, dari semua upaya yang dilakukan oleh masyarakat
sipil, pemerintah nasional, dan organisasi internasional untuk meningkatkan kondisi
migrasi dan kondisi kerja mereka, akses terhadap keadilan masih tetap menjadi
gagasan di dalam negeri yang mengecewakan, hanya terbatas pada yurisdiksi yang
secara kebetulan mereka berada di dalamnya.
Panduan ini bertujuan untuk mengatasi adanya kesenjangan yang mencolok dalam
penyediaan layanan di Singapura, salah satu negara tujuan paling populer bagi para
buruh migran dari seluruh kawasan Asia. Dengan menyusun panduan tentang pilihan
langkah hukum yang tersedia bagi mereka yang tidak bisa tetap tinggal di Singapura
untuk mengajukan klaim mereka, kami berusaha mempermudah para advokat untuk
membantu korban eksploitasi tenaga kerja atau perdagangan manusia dalam mencari
kompensasi yang adil dari para pelaku, bahkan setelah mereka kembali ke negara asal.
Kami juga berharap bahwa adanya pertambahan kasus perdata akan mengirim pesan
kepada para pemberi kerja dan broker licik, yang sayangnya ada di setiap negara,
sehingga mereka tidak bisa lagi menggunakan alasan kepulangan buruh migran untuk
mengelakkan hukum Singapura dan menghindari tanggung jawab.
Catatan tentang pengguna: Panduan ini dirancang bagi para pengacara Singapura,
penyedia layanan langsung Singapura, serta pengacara pendamping dan entitas di
negara asal klien. Bagi para pengacara yang baru pertama kali menangani masalah
buruh migran, panduan ini memberikan gambaran tentang masalah hukum yang
umumnya dihadapi buruh migran dalam pekerjaan mereka. Bagi para penyedia
layanan langsung Singapura, panduan ini dapat berfungsi sebagai instrumen
penjajakan, yang dapat membantu paralegal dan staf lainnya dalam mengidentifikasi
apakah ada potensi klaim sebelum melakukan konsultasi hukum dengan pengacara.
Akhirnya, pengacara dan penyedia layanan di negara asal klien dapat menggunakan
panduan ini untuk melakukan penilaian awal tentang kemungkinan klaim yang
berbasis di Singapura, dan mempertimbangkan pro dan kontra atas upaya untuk
mengajukan langkah hukum dari luar negeri.
Akhirnya, panduan ini masih merupakan upaya yang sedang berjalan. Banyak
permasalahan yang telah kita upayakan untuk ditangani, melibatkan pertanyaan-
pertanyaan baru tentang hukum yang masih belum mendapatkan jawaban dari
pengadilan. Hambatan logistik yang terkait dengan litigasi pro bono lintas-batas juga
masih belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan
menyambut umpan balik anda tentang bagaimana kualitas dokumen ini dapat kita
tingkatkan. Silakan kirim masukan anda melalui e-mail ke kami pada alamat di bawah
ini.
Douglas MacLean
Direktur Eksekutif
Justice Without Borders
MacLean@forjusticewithoutborders.org
PENGENALAN TERHADAP EDISI KEDUA
Kami dengan senang hati mengeluarkan edisi kedua dari Panduan Bagi Para Praktisi
Tentang Buruh Migran: Mengajukan Gugatam Perdata di Singapura dan dari Luar
Negeri. Pembaharuan ini ditujukan untuk penyesuaian terhadap perubahan hukum
yang relevan dan memperbaiki ketidakakuratan yang telah diberitahukan oleh
beberapa pembaca kepada kami. Beberapa tambahan yang terdapat dalam Panduan
termasuk:
1. Detail baru tentang prosedur untuk mengajukan gugatan perdata. Panduan ini kini
telah mencakup proses yang disederhanakan untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan Magistrate (Magistrate’s Court) (yakni, untuk nilai di bawah $60.000),
efektif tanggal 1 November 2014. Mengingat nilai gugatan dari buruh migran
sering kali di bawah jumlah ini, proses yang baru dapat membantu akses terhadap
keadilan bagi pihak yang mengajukan gugatan, menyediakan jalur yang lebih
murah dan cepat untuk mendapatkan putusan. Keistimewaan dari proses tersebut
mencakup pertukaran dokumen di muka, pengawasan awal oleh pengadilan, dan
penekanan pada mediasi dan penyelesaian.
2. Perluasan bagian tentang kepailitan dan proses pembubaran. Dalam sengketa
buruh migran, kerja keras mungkin baru benar-benar dimulai setelah klien
mendapatkan putusan yang menguntungkan. Ketika terdakwa adalah perusahaan
yang sudah tidak berjalan, buruh migran akan menemui kesulitan untuk
mendapatkan jumlah uang yang seharusnya diterima. Panduan ini kini berisi
informasi lebih terkait bagaimana buruh migran dan konsultannya dapat memulai
proses kepailitan dan pembubaran, baik terhadap perorangan atau entitas
perusahaan, dan bagaimana untuk berpartisipasi dalam proses yang sudah
berlangsung.
3. Pencantuman persyaratan baru terhadap pemberi kerja untuk menyediakan dan
memelihara catatan hubungan kerja yang penting, efektif tanggal 1 April 2016.
Panduan ini mencakup persyaratan baru terhadap pemberi kerja untuk
menyediakan bagi para karyawanmereka dokumen hubungan kerja tertentu (slip
pembayaran mendetail, dll.) dan memelihara catatan–catatan ini untuk periode
waktu tertentu. Mengingat salah satu hambatan utama dalam litigasi buruh migran
adalah sering kali kurangnya dokumentasi, persyaratan baru ini memiliki potensi
untuk memastikan bukti substantif tersedia dalam gugatan upah yang belum
dibayar.
4. Kenaikan limit berdasarkan Work Injury Compensation Act. Edisi kedua ini
mencakup batasan moneter yang baru, berlaku terhadap gugatan yang timbul
setelah tanggal 1 Januari 2016, untuk pengeluaran medis, kelumpuhan permanen,
dan kematian berdasarkan Work Injury Compensation Act.
Mohon juga untuk mencatat bahwa Edisi Kedua menggunakan kata pengganti “dia”
sebagai kata ganti umum untuk mengacu kepada baik laki – laki maupun perempuan.
Hasil karya ini terus memperoleh manfaat dari masukan yang diberikan oleh lembaga
hukum dan nirlaba yang menangani gugatan buruh migran setiap hari, dan kerja keras
dari para pengacara dan rekan hukum kami. Kami sangat berterimakasih kepada Rekan
Hukum Probono kami, Joshua CHIA, Hui Xin CHIANG, Moses LEE, Natasha SIM,
dan Xenia YAU, atas ketajaman mata dan kerja mereka yang baik dalam Edisi Kedua
ini. Laporan atas ketidakakuratan dan ide–ide untuk pembaharuan yang akan datang
sangat diharapkan, dan dapat dikirimkan kepada kami di
info@forjusticewithoutborders.org.
i
DAFTAR ISI
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA .......................... 2
1. PENDAHULUAN ................................................................................................................... 2
2. SEJARAH SINGKAT SINGAPURA UNTUK WARGA DARI LUAR SINGAPURA ............. 2
I. Keajaiban Singapura ................................................................................................. 2
II. Migrasi awal ke Singapura dan demografi Singapura saat ini ............................. 3
III. Tenaga kerja asing, termasuk buruh migran .......................................................... 4
IV. Identitas warga Singapura saat ini .......................................................................... 6
3. MENJALIN HUBUNGAN KERJA DENGAN BURUH MIGRAN: SEJUMLAH
RINTANGAN ....................................................................................................................... 8
I. Catatan tentang pekerja rumah tangga asing ........................................................ 8
II. Retribusi bulanan dibandingkan uang jaminansekali bayar .............................. 10
A. Retribusi .................................................................................................. 10
B. Uang jaminan .......................................................................................... 10
III. Hukum secara teori versus hukum dalam praktek: realitas menyakitkan yang
dihadapi buruhmigran di Singapura ..................................................................... 11
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
.............................................................................................................................................. 17
1. PENDAHULUAN ................................................................................................................. 17
I. Gambaran umum ..................................................................................................... 17
2. MASALAH MENDASAR KETENAGAKERJAAN DAN SENGKETA GAJI ....................... 18
I. Masalah mendasar ketenagakerjaan ..................................................................... 18
A. Proses rekrutmen .................................................................................... 19
B. Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan .................................................. 19
C. Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan ........................................ 26
Gaji yang dibayar = ................................................................................................................... 30
Jumlah hari aktual dimana pekerja telah bekerja pada bulan tersebut ............................... 30
II. Contoh umum sengketa gaji .................................................................................. 34
A. Jika terdapat ketentuan yang jelas tentang gaji ...................................... 34
B. Jika tidak ada ketentuan yang jelas tentang gaji ..................................... 34
III. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 35
A. Mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan perjanjian
tertulis ...................................................................................................... 36
B. Menerapkan janji secara lisan yang dibuat oleh pemberi kerja .............. 38
C. Pembatalan kontrak................................................................................. 48
D. Menerapkan kontrak yangditandatangani di luar negeri ......................... 49
ii
E. Menerapkan kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki izin kerja yang
sah ........................................................................................................... 51
F. Menyikapi masalah ketentuan yang tidak jelas dan bertentangan –
mengidentifikasi ketentuan kontrak yang dapat diberlakukan ................ 54
3. PEMBAYARAN ILEGAL DAN PEMOTONGAN GAJI ....................................................... 55
I. Gambaran umum ..................................................................................................... 55
A. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh pemberi kerja ........................ 56
B. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh agen tenaga kerja ................. 57
II. Contoh umum pemotongan gaji ilegal .................................................................. 58
III. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 59
A. Klaim atas pemotongan gaji klien secara tidak resmi ............................. 59
4. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN
GAJI 60
I. Gambaran umum ..................................................................................................... 60
A. Kondisi dalam pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji ......................... 60
B. Pekerjaan yang ternyata tidak ada .......................................................... 61
II. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 61
A. Menerapkan ketentuan tersirat yang mengatur kondisi pekerjaan yang
tidak terkait dengan gaji .......................................................................... 61
B. Mengupayakan ganti rugi atas pengeluaran biaya yang dilakukan karena
janji pekerjaan yang palsu ....................................................................... 62
5. KECELAKAAN YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA ...................................................... 62
I. Gambaran umum ..................................................................................................... 62
II. Perbedaan antara klaim WICA dan klaim berdasarkan common law (tort of
negligence) ............................................................................................................... 63
A. Batasan waktu ......................................................................................... 63
B. Jumlah yang kemungkinan diberikan ...................................................... 63
C. Perbedaan dalam ketentuan pembuktian ............................................... 63
D. Kebutuhan konseling ............................................................................... 63
III. UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Workplace
Injury Compensation Act) ....................................................................................... 65
i. Apakah kecelakaan yang terjadi di tempat kerja itu? .............................. 65
IV. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 66
A. Mengajukan klaim berdasarkan Work Injury Compensation Act (WICA) 66
B. Jenis cedera apa yang tercakup dalam WICA? ...................................... 66
C. Mengajukan klaim pada common law berdasarkan tort of negligence ... 70
6. KEKERASAN FISIK DAN CEDERA LAINNYA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN
PEKERJAAN .................................................................................................................... 73
I. Gambaran umum ..................................................................................................... 73
II. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 73
iii
A. Tindakan penganiayaan .......................................................................... 73
7. KESIMPULAN ..................................................................................................................... 75
8. ANALISA Black letter law DAN CASE LAW ..................................................................... 76
I. Pendahuluan ............................................................................................................ 76
II. Action for contractual debt .................................................................................... 76
III. Economic duress .................................................................................................... 76
IV. Employment Act (Cap 90, 2009 Rev Ed Sing) ....................................................... 78
V. Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing) ..................................... 92
VI. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) .............. 93
VII. Fraudulent misrepresentation ................................................................................ 94
VIII. Illegality of contract ................................................................................................ 95
IX. Misrepresentation ................................................................................................. 100
X. Oral promises ........................................................................................................ 106
XI. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) .......................................................... 109
XII. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) .......................... 112
XIII. Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing) .................... 113
XIV. Tort .......................................................................................................................... 114
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN ............................................. 122
1. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 122
I. Gambaran umum ................................................................................................... 122
II. Buruh migran di Singapura – sebagai pemegang kartu izin kerja ................... 125
2. GAMBARAN UMUM DARI JALUR PENYELESAIAN YANG TERSEDIA BAGI BURUH
MIGRAN 125
I. Melakukan negosiasi dengan pemberi kerja ...................................................... 126
II. Mengajukan gugatan melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) ......... 127
III. Mengajukan gugatan ke pengadilan perdata Singapura ................................... 128
3. PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI SINGAPURA ............ 131
I. Pendahuluan .......................................................................................................... 131
II. Kesulitan untuk tetap tinggal di Singapura ........................................................ 131
A. Permasalahan imigrasi .......................................................................... 131
B. Kartu pas khusus untuk tinggal sementara ........................................... 133
C. Keterbatasan dalam memiliki kartu pas khusus .................................... 133
D. Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme) ............. 134
E. Pembatalan/berakhirnya masa berlaku izin kerja ................................. 135
III. Menggunakan jalur Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) .......................... 136
A. Klaim berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA) ...................................... 137
B. Klaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat
Kerja (WICA) ......................................................................................... 139
iv
C. Catatan tambahan ................................................................................. 140
IV. Memulai gugatan perdata ketika klien berada di Singapura ............................. 141
A. Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Magistrate atau Pengadilan
Negeri .................................................................................................... 142
B. Security for costs ................................................................................... 148
C. Mengajukan gugatan perdata ke Small Claims Tribunal (SCT) ............ 149
D. Biaya proses hukum yang dikeluarkan.................................................. 151
E. Batasan Waktu ...................................................................................... 154
4. PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI NEGARA ASAL
MEREKA 154
I. Pendahuluan .......................................................................................................... 154
II. Penerapan putusan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) atau
pengadilan perdata ketika klien berada di luar negeri ...................................... 155
A. Beberapa catatan awal .......................................................................... 156
B. Garnishee proceedings ......................................................................... 157
C. Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure and Sale)
............................................................................................................... 162
D. Proses Insolvensi .................................................................................. 166
E. Surat Kuasa (POA, Power of Attorney) ................................................. 171
F. Pendekatan hukum yang lunak (Soft Law) dari Kemenaker –
memasukkan pemberi kerja ke dalam daftar hitam .............................. 171
II. Memulai gugatan perdata atas nama klien di luar negeri ................................. 172
A. Pilihan pengadilan ................................................................................. 172
B. Kehadiran di pengadilan Singapura – berbagai cara untuk menyajikan
bukti ....................................................................................................... 172
5. KESIMPULAN ................................................................................................................... 178
6. ANALISIS Black letter law DAN Case law ...................................................................... 178
I. Pendahuluan .......................................................................................................... 178
II. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing) ...................................................... 179
III. Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing) ....................................................... 183
IV. Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing) .............. 186
V. Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing) ...................................... 187
VI. Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing) ..................................................... 190
VII. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) ............ 193
VIII. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) .......................................................... 195
IX. Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing) ......................... 200
X. Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing) ..................................................... 201
XI. Rules of Court (Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing)............................................... 204
XII. State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing) ................................................... 222
v
XIII. Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing) ...................... 222
XIV. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) .......................... 223
BAB 4: MENCARI MITRA KERJA LOKAL ...................................................................... 231
1. MENCARI MITRA KERJA KETIKA KLIEN MENINGGALKAN SINGAPURA ................ 231
2. TANTANGAN UTAMA PADA PENDAMPINGAN HUKUM DARI JARAK JAUH ........... 232
I. Tantangan telekomunikasi ................................................................................... 232
II. Hambatan bahasa .................................................................................................. 232
III. Perbedaan budaya dan kurangnya pemahaman tentang proses hukum ........ 233
IV. Waktu dan ketersediaan ....................................................................................... 233
3. BAGAIMANA MITRA KERJA LOKAL DAPAT MENDUKUNG PENDAMPINGAN JARAK
JAUH 233
I. Keuntungan memiliki mitra kerja lokal ............................................................... 233
II. Praktisi hukum, paralegal dan non-hukum sebagai mitra kerja lokal ............. 234
4. MEMPERSIAPKAN PENDAMPINGAN JARAK JAUH .................................................... 234
I. Bagi klien yang belum meninggalkan Singapura .............................................. 234
A. Mengumpulkan kontak informasi yang relevan di tujuan klien .............. 235
B. Menjelaskan dan menyediakan salinan tertulis dari tahap selanjutnya dan
keseluruhan proses litigasi. Cantumkan langkah selanjutnya dan
jadwalkan waktu untuk berbicara setelah klien telah kembali ke negara
asal. ....................................................................................................... 235
C. Prosedur lengkap yang memerlukan kehadiran klien ........................... 235
II. Bagi klien yang sedang atau telah meninggalkan Singapura .......................... 236
A. Klien di Singapura yang harus segera kembali ..................................... 236
B. Calon klien yang melakukan kontak pertama dengan Pengacara
Singapura dari luar Singapura ............................................................... 237
5. CARA MENCARI MITRA KERJA LOKAL DI NEGARA ASAL KLIEN ............................ 237
I. Asosiasi advokatnasional .................................................................................... 238
II. Fakultas hukum (klinik hukum) ............................................................................ 238
III. Organisasi masyarakat dan organisasi non-pemerintahan .............................. 239
IV. Institusi keagamaan yang relevan ....................................................................... 239
V. Organisasi internasional ...................................................................................... 240
6. MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN ORGANISASI PENGHUBUNG ........................ 242
I. Menyaring mitra kerja potensial .......................................................................... 242
A. Bagaimana reputasi mitra kerja? ........................................................... 242
B. Apakah organisasi mitra kerja memiliki kemampuan bahasa yang
memadai? .............................................................................................. 243
C. Apakah terdapat kapasitas yang memadai untuk mendampingi
pengacara? ............................................................................................ 243
II. Membuat perjanjian resmi dengan mitra kerja ................................................... 243
III. Menjaga hubungan dengan klien......................................................................... 243
vi
IV. Mengumpulkan bukti dan mengambil deposisi (deposition) ........................... 244
A. Menjelaskan perbedaan penting dalam metode pengumpulan bukti .... 244
B. Mengurus kehadiran dari jarak jauh di pengadilan Singapura .............. 244
7. PRAKTISI DARI NEGARA ASAL YANG MENCARI BANTUAN HUKUM DI
SINGAPURA ................................................................................................................... 245
I. Skema bantuan hukum di Singapura .................................................................. 246
II. LSM yang relevan .................................................................................................. 246
III. Organisasi keagamaan ......................................................................................... 246
IV. Kedutaan besar di Singapura ............................................................................... 247
8. MELAKUKAN PENILAIAN atas TUNTUTAN KLIEN ....................................................... 247
I. Seberapa banyak yang dapat diklaim oleh klien? ............................................. 247
II. Menghitung biaya .................................................................................................. 247
III. Melakukan penilaian atas bukti yang tersedia dan hambatan prosedural untuk
mengajukan klaim ................................................................................................. 248
IV. Membayar biaya jaminan keamanan bagi pengadilan ...................................... 248
V. Melakukan penilaian atas kepentingan klien dalam pengajuan klaim ............. 249
VI. Kesimpulan ............................................................................................................ 249
Bab 1:
Pengenalan Terhadap Buruh Migran di
Singapura
oleh Sheila Hayre, National University of Singapore
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
2
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
1. PENDAHULUAN
1.1. Bab ini memberikan gambaran umum tentang buruh migran di Singapura untuk
membantu para pengacara agar dapat bekerja lebih efektif dengan klien buruh
migran. Mula-mula akan dijelaskan tentang konteks sejarah, sosial, dan politik yang
dihadapi buruh migran ketika mereka datang ke Singapura untuk bekerja. Kemudian
akan diberikan sejumlah informasi latar belakang dan kerangka lintas-budaya agar
dapat bekerja secara efektif dengan buruh migran ebagai klien. Bagian 2 akan
membahas tentang kenaikan pesat perekonomian Singapura sejak kemerdekaan
negara tersebut hampir lima puluh tahun yang lalu, dan ketergantungannya pada
pekerja asing terampil dan tidak terampil untuk mengisi pertumbuhan tersebut. Bagian
3 akan memperkenalkan sejumlah konsep dasar yang diperlukan untuk memahami
konteks buruh migran di Singapura, termasuk status unik dari pekerja rumah tangga
asing; uang jaminan keamanan dibandingkan dengan sistem retribusi; dannon-
portabilitas dari Izin Kerja. Bab ini ditutup dengan tutorial tentang teknik untuk
melakukan advokasi lintas-budaya ketika menjalin hubungan kerja dengan buruh
migran.
2. SEJARAH SINGKAT SINGAPURA UNTUK WARGA DARI LUAR
SINGAPURA
I. Keajaiban Singapura
2.1. Singapura adalah kota negara yang padat penduduk, sebuah pulau kecil seluas
604 kilometer persegi yang terletak di ujung wilayah selatan Malaysia.1
Populasinya sekitar 5,4 juta, dengan jumlah warga asing yang bukan penduduk
sebesar lebih dari 1,5 juta serta penduduk tetap sebesar kurang lebihsetengah
juta, yang mencakup hampir 39% populasi Singapura.2
2.2. Bagi mereka yang tidak begitu faham dengansejarah Singapura, negara-kota
tersebut memperoleh kemerdekaan dari Malaysia pada tahun 1965. Pada saat
itu, Singapura sepertinya menghadapi masa depan ekonomi yang suram.
Namun, hanya dalam beberapa dekade, Singapura telah membangun kembali
identitas negara mereka sendiri, dengan melakukan perubahan besar di bidang
politik dan ekonomi, melakukan transformasi dari negara berkembang menjadi
salah satu negara terkaya di dunia. “Di bawah Lee Kuan Yew, Perdana Menteri
Singapura selama periode tahun 1959 sampai 1990, negara tersebut mengalami
perkembangan dan tumbuh makmur sebagai pusat industri ringan dan teknologi
tinggi, ”dengan kondisi ekonomi yang bercirikan “efisiensi pemerintah,
1 Population and Land Area, Yearbook of Statistics Singapore, Januari 2014.
2 Eugene KB Tan, “Managing Female Foreign Domestic Workers in Singapore: Economic Pragmatism, Coercive Legal
Regulation, or Human Rights?” (2010) 43 Israel Law Review 99 at 103.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
3
infrastruktur yang luar biasa, korupsi yang minimal, dan tenaga kerja terampil.”3
Hingga saat ini, Singapura bisa dikatakan sebagai negara terkaya di Asia
Tenggara. Sebagian besar kemakmuran ini dapat dikaitkan dengan keberadaan
warga negara asing dan tenaga kerja asing.
II. Migrasi awal ke Singapura dan demografi Singapura saat ini
2.3. Pada awal tahun 1819, Singapura berkembang menjadi “pusat komersial
kegiatan maritim” dimana para pedagang Inggris, Cina, India, Arab, dan Melayu
berdatangan untuk melakukan transaksi perdagangan.4 “Sejak awal, Singapura
menarik para pendatang dari seluruh dunia: Orang-orang dari keturunan Arab,
Armenia, Bugis, Cina, Eropa, India, Jawa,dan Melayu.”5 Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika mulai tahun 1891, “Populasi Pulau Singapura terdiri dari 67
persen keturunan Cina, 20 persen Melayu dan 9 persen India.”6
2.4. Saat ini, mayoritas warga Singapura adalah keturunan Cina (sekitar 77%),
sedangkan keturunan Melayu sekitar 14%, sekitar 7,6% adalah keturunan
India,dan sekitar1 %persen sisanya sebagian besar terdiri atas para pekerja dari
Eurasia dan negara-negara barat.7 Meskipun demikian, Singapura saat ini adalah
masyarakat multikultural dimana negara secara aktif mendorong interaksi rasial
yang harmoni dan terintegrasi.8 Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa
utama di Singapura, pemerintah mengakui empat bahasa resmi untuk
mempromosikan persatuan nasional dan identitas nasional, yang mencakup
3 Malaysia and Singapore, (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 45.
4 Kwa Chong Guan, Derek Heng, & Tan Tai Yong, Singapore: A 700-Year History: From Early Emporium to World City
(Singapore: National Archives of Singapore, 2009), pada halaman 79-82.
5 Chris Lydgate, Lee’s Law: How Singapore Crushes Dissent, (Melbourne: Scribe Publications, 2003), pada halaman
11.
6 Ibid. (kutipandihapus).
7 Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 199. Lihat secara umum Saw Swee-Hock, The
Population of Singapore, 3d ed (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2012), pada halaman 55-79.Orang-
orang Singapura keturunan Cina cukup beragam dan berbicara bahasa Hokkien, Teochew, Kanton, Hainan, Hakka, dan
lainnya. Sebagai perbandingan, sebagian besar orang Singapura keturunan India datang dari India Utara dan berbicara
bahasa Tamil. Lihat, contohnya, Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore:
McGraw-Hill Education, 2012), halaman 115-16
8 “Sejak kerusuhan rasial di tahuan 1960-an, masyarakat telah jauh lebih rukun, dengan pemerintah melakukan segala
upaya untuk menjaga kerukunan tersebut.” Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) halaman 199; lihat
juga Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore: McGraw-Hill Education,
2012), halaman 126 (“Ketika Singapura memperoleh kemerdekaan di tahun 1965, pemerintah PAP menerapkan
demokrasi budaya sebagai prinsip dasar dari negara baru tersebut. Pemerintah menyadari bahwa sulit untuk
menumbuhkembangkan identitas dan budaya Singapura yang sama karena semua komunitas rasial memiliki identitas,
bahasa dan budaya yang berbeda.Karena nilai-nilai etnis yang berbeda tidak dapat dihilangkan hanya untuk sebuah
identitas nasional yang homogen, pemerintah memanfaatkan sebuah strategi untuk mengakomodasi karakteristik yang
unik dari setiap kelompok etnis dengan membangun di atas kekuatan keberagaman etnis untuk mempertahankan
stabilitas sosial dan nasional; pemerintah akan mempertahankan bangsa tersebut sebagai bangsa yang multiras,
multikultural, multibahasa, dan multiagama.”)
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
4
bahasa Melayu, Cina Mandarin, dan Tamil. Banyak orang Singapura yang
berkomunikasi dengan salah satu dari tiga bahasa tersebut selain bahasa
Inggris. Agama juga dapat dipraktekkan secara bebas, dan banyak sekali ragam
agama yang ada di Singapura.9
III. Tenaga kerja asing, termasuk buruh migran
2.5. Mengingat kebutuhan, Singapura terus menjadi negara bagi warga negara asing.
“Karena tingkat fertilitas yang selalu rendah sejak tahun 1975, Singapura telah
melonggarkankebijakan imigrasi mereka dalam rangka menarik warga negara
asing untuk berkontribusi terhadap pemeliharaan ekspansi ekonomi pada tingkat
tinggi dan terhadap pertumbuhan penduduk ketika mereka menjadi penduduk
tetap, dan kemudian menjadi warga negara tetap […]”10 Kontribusi dari para
imigran dan para buruh migran terhadap ekonomi Singapura tidak bisa
dipungkiri: pada 1990-an, pekerja asing memberikan kontribusi sebesar 3,2
persen terhadap tingkat pertumbuhan PDB tahunan yang mencapai 7,8%.”11
2.6. Dengan demikian, karena pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, tingkat
kelahiran yang menurun, dan populasi yang semakin menua, Singapura terpaksa
banyak bergantung pada “sejumlah tenaga kerja asing yang senantiasa
bergantian dan terkendali” untuk melengkapi tenaga kerja lokal.
Sejak Singapura mulai mengimpor pekerja asing pada tahun 1960, persentase
populasi warga asing telah tumbuh secara stabil..Rekrutmen dilakukan secara
selektif; pada tahun-tahun awal, rekrutmen tersebut hanya terbatas untuk warga
Malaysia. Sejak awal tahun 1980-an, Singapura telah mencari pekerja asing dari
luar Malaysia, dimana mereka menerima pekerja tidak terampil yang sebagian
besar berasal dari negara-negara Asia lainnya. Pada akhir tahun 1980-an,
negara Singapura memulai apa yang disebut sebagai‘kebijakan imigrasi yang
inovatif, menggunakan kombinasi dari mekanisme harga dan kuota pekerjaan
untuk mengatur arus masuk pekerja agar sesuai dengan kondisi pasar tenaga
kerja domestik.’[...] [Pada tahun 2007,] diperkirakan 80% dari seluruh pekerja
asing berada dalam kategori tenaga kerja tidak terampil.12
2.7. Dengan demikian, “pemerintah Singapura telah membangun sebuah sistem
secara hati-hati dimana berbagai jenis pekerjaan yang diberikan kepada buruh
migran disesuaikan dengan kualifikasi mereka dan gaji bulanan mereka...
Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan yang berbeda pada saat merekrut
orang asing yang berbakat[...] dan pekerja asing.”13 Ada tiga jenis pekerjaan yang
9 Pemeluk Budha terdiri dari 33,3%; Islam 14,7%; Kristen 18,3%; Tao 10,9%; Hindu 5,1%; dan sisa pemeluk lainnya
kurang dari 1%. Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 45.
10 Theresa W. Devasahayam, “Placement and/or protection? Singapore’s labour policies and practices for temporary
women migrant workers,” (2010) 15:1 J Asia Pac Economy 45, pada halaman 47.
11 Ibid.
12 Ibid.
13 Ravi Chandran, “Management of Foreign Employees: A Singapore Perspective” (2008) 22 J Imm Asylum & Nat’lity L
350-357, 350.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
5
ditawarkan: Kartu E Pass bagi mereka yang memiliki kualifikasi profesional
dengan gaji tetap minimal $3.300;14 Kartu S-Pass bagi para pekerja terampil
tingkat menengah dengan gaji tetap bulanan minimal $2.200; dan terakhir izin
kerja bagi para pekerja berketrampilan rendah atau pekerja semi terampil.15
2.8. Sistem kartu kerja pass Singapura bergantung pada perbedaan yang tajam
antara “tenaga profesional asing”yang terampil dan “pekerja asing” yang kurang
terampil atau tidak terampil atau “pekerja lepas”atau “buruh migran”(yang
selanjutnya disebut “buruh migran”).16 “Tenaga profesional asing”mengacu pada
pekerjaan atau pemegang kartuS-Pass yang memiliki kualifikasi profesional atau
gelar spesialis; mereka bekerja dalam struktur yang lebih tinggi dari ekonomi
Singapura dan berhak mengajukan permohonan nuntuk menjadi penduduk tetap.
“Buruh migran” merujuk pada pekerja asing semi-terampil atau tidak terampil
yang memperoleh Izin Kerja jangka pendek untuk melakukan pekerjaan –
terutama dalam sektor jasa industri, konstruksi, dan dalam negeri – yang
dihindari sebagian besar warga Singapura karena “kotor, berbahaya, dan tidak
terhormat.” Mayoritas buruh migran ini berasal dari Republik Rakyat Cina,
Indonesia, India, Bangladesh, Pakistan, Myanmar, Sri Lanka, Filipina, dan
Thailand, sebagai bagian dari perjanjian bilateral antara Singapura dan negara-
negara tersebut.17
2.9. Advokat buruh migran telah mengkritisi sistem kartu Pass di Singapura sebagai
lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan tempat kerja:
“Singapura adalah negara yang sangat neo-liberal, yang telah mencapai
perkembangan pesat melalui kebijakan pemerintahan yang kuat yang lebih
mendahulukan kepentingan bisnis dan modal daripada tenaga kerja,
terutamatenaga kerja asing[…]”18 “Sejak awal tahun 1980-an, alasan yang telah
mendasari kebijakan ketenagakerjaan Singapura adalah memaksimalkan
manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan biaya sosial dan ekonomi, pola pikir
yang telah lama diadopsi oleh negara terhadap pekerja asing.”19 Namun
demikian, meskipun baru-baru ini terjadi peningkatan kekhawatiran yang
berlebihan terhadap orang asing (xenophobia) di kalangan para pemilih
Singapura pada pemilu tahun 2011, pemerintah telah “menunjukkan keseriusan
yang lebih besar dalam menangani isu-isu buruh migran,” terutama yang
14 Seluruh mata uang dollar yang tercantum dalam bab ini adalah dollar Singapura kecuali jika disebutkan lain.
15 Lihat Ministry of Manpower, Foreign Manpower: Passes & Visas, online: Ministry of
Manpower<http://www.mom.gov.sg>. [MOM, Passes & Visas].
16 Cheah Wui Ling, “Migrant Workers as Citizens within the ASEAN Landscape: International Law and the Singapore
Experiment,” (2009) 1 Chinese J of Int’l L, 205–231.
17 Brenda S. A. Yeoh, “Singapore: Hungry for Foreign Workers at All Skill Levels,” Migration Policy Institute (Washington
D.C.: Migration Immigration Source, 2007) di: <http://www.migrationpolicy.org/article/rapid-growth-singapores-immigran-
population-brings-policy-challenges/ >.
18 Sallie Yea, AKM Moshin, & Debbie Fordyce, A Thousand and One Days: Stories of Hardship from South Asian
Migran Workers in Singapore, pada halaman 5 (Singapore: Banglar Kantha Publications 2014) (hereinafter “1001
Days”).
19 Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 46.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
6
berkenaan dengan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga.20 Contohnya,
terhitung bulan Januari 2013, berkat Kampanye Libur Sehari (Day Off Campaign)
yang digalang oleh LSM yang bergerak di bidang buruh migran dan hak-hak
kaum perempuan, semua pekerja rumah tangga asing (foreign domestic workers,
FDWs) yang baru dikontrak akhirnya diberikan hak libur satu hari per minggu,
meskipun masih banyak buruh migran yang masih berjuang untuk
memperolehmanfaat dari keberadaan hak ini.21 Baru-baru ini, pemerintah telah
mengusulkan Small Claims Employment Tribunal (pengadilan dengan
pemeriksaan cepat atas tuntutan yang nilai gugatannya kecil) yang memutuskan
perkara klaim yang diajukan oleh buruh migran.22
IV. Identitas warga Singapura saat ini
2.10. Meskipun menjadi bangsa para imigran, Singapura umumnya tidak menunjukkan
identitas yang kuat dengan keberadaan para buruh migran ditengah-tengah
mereka. ”Singapura yang dulu dan sekarang tetap merupakan masyarakat
imigran. Kebijakan imigrasinya sangat dipengaruhi oleh rasa [ketidak] amanan
dan kerentanan ekonomi.23 Dikelilingi oleh negara-negara dengan penduduk
mayoritas beragama Islam seperti Malaysia dan Indonesia, Singapura adalah
satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas dari kalangan etnis Cina di
Asia Tenggara. Paradoksnya, kemakmuran dan pemerintahan yang kuat telah
[...] memperburuk rasa tidak aman terhadap tetangganya.”24 Tidak
20 Ibid. Devasahayam mengutip berbagai perbaikan dalam UU yang ditujukan untuk melindungi PRTA, termasuk:
mendorong namun tidak mewajibkan standarisasi kontrak; memberikan satu hari libur; denda yang keras atas
pelecehan dan perlakuan buruk; raising the minimum age limit and formal educational level of applicants; checks on
employers and mad agencies; altered repatriation and employment procedures; requiring employers to pay for full
medical care and a safe environment; etc. Ibid. di 51-55.
21 Lihat Jolovan Wham, “Still Struggling for a Weekly Day Off,” online: Workfair Singapore:
<http://workfairsingapore.wordpress.com/2013/06/15/still-struggling-for-a-weekly-day-off/> (mengutip Amelia Tan, The
Straits Times, diterbitkan pada tanggal 24 Januari 2013).
22 Lihat Tan Chuan-Jin, “A Great Workforce, a Great Workplace - Working as One for a Better Singapore,” (keynote
address by Acting Minister for Manpower delivered at the MOM Workplan Seminar 2014, 24 April 2014), di:
http://www.mom.gov.sg/newsroom/Pages/SpeechesDetail.aspx?listid=474>.
23Baru-baru ini Singapura telah memberantas imigrasi ilegal. Negara ini terhubung dengan semenanjung Malaysia yang
dijembatani oleh regulasi ketat. Tidak adanya batas daratan dengan negara tetangga membuat penyelundupan yang
tidak terdeteksi menjadi sulit, bahkan jika dilakukan melalui perairan. Karena pengendalian imigrasi di perbatasan yang
ketat, hampir separuh imigrasi ilegal di Singapura yang ada saat ini terjadi ketika pengunjung masuk ke Singapura
dengan menggunakan kartu izin kunjungan yang melebihi masa izin tinggal (overstay), atau ketika pekerja asing yang
masuk menggunakan kartu izin kerja yang valid tetap tinggal di Singapura bahkan setelah kartu pass mereka
kadaluwarsa atau telah dibatalkan. Migrasi ilegal ke Singapura akan dihukum keras, dan imigran ilegal terancam
hukuman penjara maupun hukuman cambuk, sedangkan pemberi kerja yang mempekerjakan imigran ilegal
menghadapi ancaman penjara, denda dan kemungkinan hukuman cambuk.
24 Eugene KB Tan, “Managing Female Foreign Domestic Workers in Singapore: Economic Pragmatism, Coercive Legal
Regulation, or Human Rights?” (2010) 43 Israel Law Review 99 pada halaman 103.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
7
mengherankan, perubahan mengesankan yang telah terjadi selama beberapa
dekade terakhir telah mempengaruhi sikap mereka terhadap para buruh migran.
2.11. Meskipun negara tersebut memiliki sejarah yang berwarna sebagai sebuah pulau
yangdihuni oleh para buruh migran dan pelaut yang berpengalaman,25 sebagian
besar warga Singapura saat ini tidak mengidentifikasikan negara mereka sebagai
negara imigran, walaupun setiap tahun mereka merayakan keragaman etnis
mereka pada perayaan Hari Nasional. Meskipun banyak warga Singapura
keturunan Cina dan India memiliki nenek moyang yang datang ke pulau tersebut
sebagai saudagar, pedagang, rentenir, dan pekerja buruh, namun sebagian
besar tidak berhubungan —apalagi berinteraksi — dengan para tenaga
kerjaasing saat ini, bahkan mereka yang dulunyaberasal dari Cina, India, dan
Malaysia.
2.12. Tentu saja, ada faktor-faktor lain yang lebih mendasar yang mempengaruhi sikap
wargaSingapura terhadap para pekerja asing:
Untuk menampung lebih dari satu juta pekerja asing dengan baik ke negara
tersebut, pemerintah telah menekankan bahwa keseimbangan etnis pada
umumnya dapat dijaga dengan membawa masuk pekerja dan kaum pendatang
dari Cina dan India secara proporsional. Meskipun demikian, perbedaan
kebangsaan dan budaya antara warga Singapura dan warga negara asing telah
mengakibatkan ketegangan sosial. Adanya sentimen tentang perbedaan budaya
telah berlangsung bersama dengan pandangan murni tentang wargaasing di
Singapura yang sudah padat penduduk sehingga mendorong persepsi di
kalangan masyarakat bahwa warga Singapura sedang terdesak dari pekerjaan,
sekolah, angkutan umum [,] dan lingkungan sekitar lainnya.26
2.13. Salah satu masalah utama adalah bagaimana dan dimana untuk menampung
dan “menjaga” populasi buruh migran yang terus tumbuh, karena harga
perumahan sudah begitu tinggi di kalangan penduduk pribumi. Hal ini
menimbulkan perdebatan yang kontroversial di Singapura, dan upaya untuk
menjaga populasi buruh migran secara terpisah dan tidak terlihat belum
sepenuhnya berhasil.27
25 Kwa Chong Guan, Derek Heng, & Tan Tai Yong, Singapore: A 700-Year History: From Early Emporium to World City
(Singapore: National Archives of Singapore, 2009), pada halaman 79-82.
26 Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore: McGraw-Hill Education,
2012), pada halaman 115-16 (kutipan dihapus). Kritikus Chris Lydgate mendeskripsikan mentalitas terkepung yang
dimiliki Singapura: “Pada tanggal 9 Agustus 1965, Singapura menyatakan dirinya sebagai republik yang berdiri sendiri.
Melalui penyataan sejarah, koloni Inggris terdahulu telah menjadi… Pulau kecil padat penduduk yang didonminasi oleh
orang Cina, dikelilingi oleh raksasa yang bermusuhan, sebuah ibukota yang bergantung dari semenanjung Melayu…
Menurut Menteri untuk Informasi dan Seni (Minister of Information and Arts) George Yeo: “Kesuksesan kami merupakan
hasil dari kecemasan dan kecemasan tidak pernah dikurangi oleh kesuksesan.” Lihat Lydgate, supra note 5 pada
halaman 11. Kecemasan ini yang mendorong para pemilih pada pemilihan umum di tahun 2011 untuk memberikan
tekanan kepada pemerintah untuk membatasi akses untuk mendapatkan izin tinggal tetap dan kewarganegaraan.
27 Terutama, pada tahun 2012, pemerintah mulai memberlakukan persyaratan wisuda bagi semua mahasiswa hukum
yang mewajibkan mereka melakukan kerja pro bono minimal dua puluh empat jam selama menempuh kuliah. Lihat
<http://www.sile.edu.sg/pro-bono-programme>. Sejumlah mahasiswa hukum— mereka yang telah makmur karena
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
8
3. MENJALIN HUBUNGAN KERJA DENGAN BURUH MIGRAN: SEJUMLAH
RINTANGAN
3.1. Sebelum membahas teknik khusus untuk melakukan advokasi lintas-budaya
ketika menjalin kerja dengan para buruh migran, pada bagian ini akan
diperkenalkan sejumlah konsep latar belakang yang penting untuk memahami
keadaan buruh migran di Singapura. Hal ini mencakup status unik dari pekerja
rumah tangga asing, uang jaminan keamanan pemerintah dibandingkan dengan
sistem retribusi, dan izin kerja yang tidak portabel.
I. Catatan tentang pekerja rumah tangga asing
3.2. Kebanyakan warga Singapura menyebut para pekerja rumah tangga asing
sebagai “pembantu”, “pelayan”, atau “bibi”. Sangat berbeda dengan sebutan
terhormat “amah yang berseragam hitam putih” pada beberapa dekade lalu yang
berasal dari Cina Selatan,28 sebagian besar pekerja rumah tangga asing di
Singapura saat ini berasal dari Filipina dan Indonesia, “dengan sejumlah kecil dari
Sri Lanka, Myanmar, dan India [,]" serta baru-baru ini, Kamboja. Terima kasih
ditujukan terutama kepada PRT, yang telah merawat kalangan muda dan tua
Singapura, dengan jumlah yang luar biasa sebesar 72% dari kaum perempuan
Singapura saat ini bekerja diluar rumah.29
3.3. Panduan ini akan menggunakan istilah yang lebih formal “pekerja rumah tangga
asing” (yang selanjutnya disebut “PRTA”) sebagai pengakuan atas fakta bahwa
kalangan perempuan ini adalah pekerja sehingga bisa dibilang layak untuk
memperoleh hak-hak dan perlindungan sebagaimana yang diberikan kepada para
pekerja lainnya berdasarkan hukum, meskipun dalam hal ini mereka hanya
bekerja dalam lingkup domestik, di rumah, dan hanya melakukan “pekerjaan
rumah tangga,”yang secara tradisional tidakdipandang sebagai pekerjaan yang
transformasi Singapura dan jaminan keuangan yang telah menyebabkan kemakmuran bagi mereka dan keluarga
mereka — saat ini ingin melakukan lebih banyak hal, yang dapat diberikan kepada masyarakat dan, terutama, terhadap
kelompok yang tidak memperoleh manfaat yang setara dari keajaiban ekonomi Singapura. Buruh migran yang
berpenghasilan rendah telah memperoleh manfaat dari situasi ini. Desakan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan
pro bono telah menyebabkan mahasiswa hukum ikut merasakan sejumlah permasalahan yang dialami para buruh
migran secara langsung —permasalahan yang kebanyakan tersembunyi akibat adanya pemisahan para pekerja secara
fisik dan sosial di negara kota. Kebanyakan mahasiswa merasa terkejut dan khawatir ketika mereka mengetahui
sejumlah kesulitan yang dihadapi oleh para pekerja ini —seperti gaji yang tidak dibayar, kondisi kerja yang
membahayakan, pemulangan paksa, dll. — serta bertambahnya jumlah mahasiswa yang telah memilih melibatkan diri
mereka dalam upaya untuk memperbaiki kesusahan para buruh migran di Singapura.
28 Ooi Keat Gin, “Domestic Servants Par Excellence: The Black and White Amahs of Malaysia and Singapore with
Special Reference to Penang” (1992), 65:2 Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 69.
29 Lihat contohnya Tan, supra note 24.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
9
nyata.30 PRTA sebenarnya memang diminta untuk “tinggal” di rumah bersama
dengan pemberi kerja mereka.31
3.4. Sedikit sekali undang-undang tentang ketenagakerjaan Singapura yang berlaku
untuk PRTA. Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas mengecualikan
pekerja rumah tangga, bersama dengan kategori tertentu pekerja lainnya,
mengecualikan mereka dari undang-undang tentang upah, persyaratan kontrak,
kondisi kerja, cuti sakit dan liburan, serta kompensasi pekerja, dll.32
Sebagaimanayang dijelaskan oleh Eugene Tan: “Kebiasaan yang
mengasosiasikan PRTA dengan lingkup domestik – yang didukung oleh persepsi
tentang privasi, harmoni, kewajiban dan tanggung jawab keluarga– menghalangi
pekerja tersebut terhadap akses penuh atas berbagai hak, karena rumah tidak
dianggap sebagai tempat yang sesuai untuk mengatur hubungan antara pemberi
kerja-karyawan yang sangat berbasis hak.”33
3.5. Karena didominasi kaum perempuan, PRTA harus menghadapi batasan-batasan
hukum secara khusus yang tidak dihadapi oleh pekerja asing lainnya. Pertama,
mereka diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan medis untuk memastikan
mereka tidak terkena penyakit menular dan berkehamilan setiap enam bulan.
Seorang PRTA yang tidak dapat memenuhi syarat pemeriksaan ini akan
menghadapi sanksi pemulangan dengan segera.34 Melahirkan bayi di Singapura
merupakan pelanggaran terhadap peraturan izin kerja. Selain itu, semua pekerja
asing berketerampilan rendah yang memegang izin kerja – termasuk namun tidak
terbatas pada PRTA– harus mengikuti “kebijakan pembatasan perkawinan
Singapura, ”yang melarang pernikahan dengan warga negara Singapura atau
Penduduk Tetap (Permanent Resident) di Singapura atau di luar Singapura, baik
saat memiliki izin kerjaatau setelah izin kerja kedaluwarsa atau dihentikan.35
Pembatasan perkawinan ini tidak berlaku bagi pekerjaan atau pemegang KartuS-
Pass, yang memiliki kualifikasi profesional atau keahlian khusus dan mereka,
seperti yang baru disebutkan di atas, juga diperbolehkan untuk mengajukan
permohonan menjadi penduduk tetap.36
3.6. Tidak ada undang-undang yang mengatur upah minimum di Singapura. Pada
umumnya, gaji PRTA berkisar dari $400 sampai $700 perbulan. Namun, gaji
masih belum diatur dan sebenarnya bisa kurang dari $400 perbulan, terutama
bagi PRTA yang kurang fasih berbahasa Inggris, yang kurang berpengetahuan,
dan PRTA yang kurang tegas terhadap pemberi kerja mereka.
30 Lihat Tan, supra note 24 pada halaman 108.
31 Ibid.
32 Employment Act, Ch 91, Statutes of the Republic of Singapore (edisi revisi 2009).
33 Tan, supra note 24 pada halaman 108.
34 Ibid pada halaman 112.
35 Ibid pada halaman 112.
36 Lihat <http://www.mom.gov.sg/foreign-manpower/passes-visas/work-permit-fw/other-information/Pages/marriage-
application-process.aspx>.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
10
II. Retribusi bulanan dibandingkan uang jaminansekali bayar
3.7. Bagi semua pekerja asing, penting untuk membedakan antara retribusi bulanan
dan uang jaminan satu kali. Singkatnya, retribusi adalah pajak bulanan yang
dikenakan oleh pemerintah Singapura terhadap tenaga kerja asing, sedangkan
uang jaminan pemerintah adalah seperti uang deposit, yang akan hangus jika
mereka, atau pekerja mereka, tidak memenuhi beberapa persyaratan tertentu.
A. Retribusi
3.8. Setiap pemberi kerja harus membayar retribusi bulanan untuk setiap pekerja
asing yang diupah. Pembayaran ini pada dasarnya merupakan pajak pemerintah
yang bertujuan untuk mendorong pemberi kerja agar tidak mempekerjakan
karyawan asing atas karyawan lokal. Tercatat, jumlah retribusi yang dikenakan
untuk mengupahi pekerja tidak terampil secara substansial lebih tinggi daripada
pekerja asing professional (hingga $400 dibandingkan hanya $80 perbulan).37
Dalam kasus PRTA contohnya, pemberi kerja umumnya harus membayar
retribusi sebesar $265 perbulan kepada pemerintah;38 beberapa pemberi kerja
tercatat membayar pekerja mereka sendiri hanya $300 atau $400 per bulan. LSM
yang bergerak di bidang buruh migran berpendapat bahwa tingginya tingkat
retribusi – yang semuanya disetor secara langsung ke kas negara – secara
substansial meningkatkan biaya untuk mengupah pekerja asing pada sektor
pekerjaan-pekerjaan yang penduduk setempat tidak bersedia melakukannya. Hal
ini menciptakan peluang bagi para pemberi kerjauntuk mengenakan biaya
tambahan kepadapara pekerja dalam bentuk praktek eksploitasi pemotongan
biaya.39
B. Uang jaminan
3.9. Sejak tahun 1986, semua pemberi kerja dari pemegang izin kerja non-Malaysia
harus mengirimkan uang jaminan, saat ini sebesar S$5.000.00 per pekerja.40
Uang jaminan tersebut akan hangus jika pemberi kerja dianggap tidak mampu
memastikan bahwa pekerjanya telah memenuhi persyaratan pekerjaan. Sebagai
contoh, uang jaminan bisa hangus jika pemberi kerja tidak membayar biaya
pemulangan pekerja atau keperluan lainnya atau, dalam teori, jika pemberi kerja
tidak membayar gaji pekerja dan biaya pengobatan atau tidak memberikan
37 Para advokat dari LSM di bidang buruh migran telah memberikan argumen secara lebih umum bahwa mengenakan
retribusi lebih tinggi terhadap pekerja yang bergaji lebih rendah sepertinya bertentangan dengan harapan pada
umumnya mengingat hampir semua warga Singapura dengan usia dewasa menginginkan pekerjaan profesional yang
memerlukan keahlian dan pada umumnya menolak pekerjaan kasar, tanpa memperhatikan gaji. Lihat secara umum
Devasahayam, supra note 10 pada halaman 49.
38 Lihat <http://www.mom.gov.sg/foreign-manpower/passes-visas/work-permit-fdw/before-you-
apply/Pages/default.aspx#levy>.
39 Selain retribusi, pemerintah Singapura menerapkan kuota yang ketat pada sektor tertentu yang mempekerjakan
pekerja migran. Lihat <http://www.mom.gov.sg/foreign-manpower/foreign-worker-levies/Pages/calculation-of-foreign-
worker-quotas.aspx>.
40 Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 49.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
11
akomodasi yang “layak”. Advokat LSM seperti Alex Au dari TWC2 (“Transient
Workers Count Too”) berpendapat bahwa uang jaminan telah menciptakan
sebuah sistem pengambilan kebijakan pribadi dimana pemberi kerja, yang tidak
ingin kehilangan uang jaminan mereka, terpaksa harus memantau keberadaan
karyawan mereka, “menyimpan” paspor dan dokumen identifikasi para pekerja
mereka, dan bahkan terpaksa menggunakan perusahaan repatriasi untuk
mencari dan memindahkan karyawan dengan paksa jika mereka menghilang.
Pengambilan kebijakan ini bisa sangat mengerikan pada kasus PRTA, dimana
pemberi kerja dapat mencegah mereka untuk memperoleh hari libur atau
meninggalkan rumah tanpa ditemani karena rasa takut bahwa pekerja tersebut
“mungkin berada di perusahaan yang buruk atau terlibat dalam kegiatan yang
dapat melanggar persyaratan yang terkait dengan izin kerja, seperti menjadi
hamil.41 Menurut para pengkritik kebijakan, keberadan uang jaminan tersebut
meningkatkan peluang pemberi kerja untuk “menggunakan kekuasaan mereka
hingga terjadinya tindakan yang sewenang-wenang.”42
3.10. Sayangnya bagi para buruh migran, meskipun jaminan dikenakan pada pemberi
kerja (misalnya untuk membayar pekerja), Departemen Tenaga Kerja (Ministry of
Manpower) tidak menggunakan jumlah uang jaminan yang hangus tersebut untuk
memberikan ganti rugi bagi pekerja atas tuntutan terkait pekerjaan yang sah yang
mereka ajukan terhadap pemberi kerja mereka, seperti gaji yang tidak dibayar,
meskipun LSM telah menghimbauuntuk memperlakukannya.
III. Hukum secara teori versus hukum dalam praktek: realitas menyakitkan yang dihadapi
buruhmigran di Singapura
“Ketakutan atas hilangnya pekerjaan adalah dilema yang dihadapi oleh setiap
pekerja yang ingin mengajukan pengaduanterhadap seorang pemberi kerja.”43
3.11. Bagi mereka pemegang izin kerja yang menghadapi eksploitasi keuangan atau
bahkan penderitaan fisik, untuk berbicara terus terang dapat menimbulkan resiko
yang besar, sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap diam.44
Hambatan terbesar seseorang untuk berbicara terus terang adalah hampir tidak
mungkin adanya pengalihan pemberi kerja selagi tetap mempertahankan izin
kerjanya. “Sistem izin kerja yang tidakfleksibel telah membatasi mobilitas kerja
dan memungkinkan para pemberi kerjauntuk memutuskan hubungan kerjanya
begitu saja yang membuat pekerja berada dalam kondisi yangdirugikan dan tidak
41 Ibid.
42 Ibid.
43 H.O.M.E. & TWC2, “Justice Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migrant Workers in Singapore: 2010
Report” pada halaman 9 online: < http://twc2.org.sg/2010/12/15/justice-delayed-justice-denied/> (selanjutnya disebut
dengan “Justice Delayed”).
44 Ketika pertama kali mereka mendengar cerita para buruh migran yang mentolelir pencurian gaji yang berulang
dansistematis — terutama dalam kasus PRTA, bahkan terkadang mengalami kekerasan fisik dan batin — tentu saja
mahasiswa hukum mempertanyakan mengapa masih ada orang rasional yang mentolelir tindakan tersebut.
Sebenarnya, pertanyaan yang lebih baik adalah dalam situasi mendesak yang dihadapi banyak buruh migran mengapa
tidak ada orang rasional yang pernah mengungkapkan perkara ini, mengingat pentingnya permasalahan.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
12
mampu melakukan tawar-menawar untuk memperoleh kondisi kerja yang lebih
baik.”45 Jika pemberi kerja memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan
alasan apapun, pemberi kerja dapat secara sepihak membatalkan izin kerja dari
seorang pekerja, terkadang dapat berlangsung cepat hanya dalam waktu satu
hari,46 dan pekerja akan dipaksa untuk kembali ke negara asalnya. Hanya dalam
kasus-kasus khusus tertentu Kementerian Tenaga Kerja Singapura
(“Kemenaker”) mengizinkan pekerja dengan klaim yang sahuntuk
memintapergantian pemberi kerja47 (Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Bagian
Kemenaker tentang “Program Kerja Sementara” di bawah pada 3.18).
3.12. Secara umum, “para pekerja yang ingin berganti pemberi kerja harus kembali ke
negara asal mereka sebelum mengajukanaplikasi baru untuk melamar pekerjaan
di Singapura. Namun, hal ini merupakan pilihan yang terlalu mahal bagi
kebanyakan pekerja, karena berarti mereka harus membayar biaya tambahan
perekrutan atau “biaya agen” lagi.”48 Untuk sampai ke Singapura, kebanyakan
pekerja harus membayar biaya yang sangat tinggi yang dibebankan oleh pihak
agen dan perantara. Banyak diantara mereka yang harus menjual satu-satunya
aset atau barang berharga mereka —termasuk tanah, rumah, atau perhiasan milik
keluarga — atau mengambil utang yang besar, dari kerabat, bank dan rentenir
untuk membayar biaya ini.49 Misalnya, banyak orang Bangladesh yang membayar
S$8.000 atau lebih, untuk datang ke Singapura. Kondisi ini akan memerlukan
waktu lebih dari 95 bulan (hampir 8 tahun) bagi seorangpekerja dariBangladesh
sebagai pekerja pada pabrik garmen dengan upah minimum sebesar$85 perbulan
utanguntuk melunasi utang tersebut.50
45 Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 1.
46 Ibid.
47 Kecuali dalam kasus yang sangat terbatas, buruh migran tidak dapat mengalihkan izin kerjanya kepada buruh
lainnya. Hanya dalam kasus khusus tertentu Kemenaker mengizinkan buruh dengan alasan yang sah untuk
mengajukan pergantian pemberi kerja. Jika hubungan kerja dihentikan, PRTA hanya diberikan waktu satu Minggu untuk
mencari pemberi kerja lain atau menghadapi pemulangan, dan bahkan perpindahan tersebut memerlukan persetujuan
dari pemberi kerja mereka sebelumnya. Ibid.
48 Ibid. Pada halaman 9. Pemutusan kontrak secara dini adalah kerugian yang sangat besar bagi buruh migran. Saat ini,
sistem migrasi internasional bagi pekerja bergaji rendah kebanyakan dikendalikan oleh perusahaan swasta dan individu
di sepanjang perbatasan internasional. Sifat industri yang transnasional merupakan tantangan utama bagi pemerintah.
Bisnis yang terkait dalam migrasi tenaga kerja menghasilkan keuntungan dengan mengenakan biayaataslayanan yang
diberikan seperti pelatihan kerja dan penempatan kerja. Biaya ini kebanyakan diambil dari para buruh migran. Ibid.
49 Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 9-10.
50 Ibid. “Secara rata-rata, biaya yang dibayarkan kepada agen sebesar minimal sepuluh bulan potensi gaji buruh migran
di Singapura.” Ibid. “Industri ini memiliki sifat buruk atas praktek yang tidak etis dan pelanggaran hak asasi manusia,
dengan kritik terkeras yang menyamakannya dengan tindak perbudakan. Sistem yang ada saat ini mengambil
keuntungan dari imigran yang berasal dari negara-negara yang secara ekonomi kurang berkembang dimana migrasi
menjadi perkera yang penting bagi banyak orang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sebagaimana di negara
tujuan lainnya, perekrutan buruh migran di Singapura didominasi oleh perusahaan swasta. Seorang buruh migran yang
bekerja di Singapura mengeluarkan ribuan dollar biaya yang biasanya dibayarkan kepada agen tenaga kerja. … Biaya
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
13
3.13. Selain itu, banyak buruh migran yang memilih untuk “tidak menggunakan hak
mereka yang tertera dalam kontrak kerja karena takut akan menyulitkan diri
mereka dan memperoleh ‘tanda hitam’ dalam ‘laporan kartu kerja’ mereka di
Singapura,”51 yang bisa mempersulit mereka untuk kembali bekerja di Singapura
pada masa yang akan datang. “Kemudahan yang sedemikian membuat pemberi
kerja dapat memutuskan hubungan kerja dan membatalkan izin kerja dari
pekerjanya membuat para pekerja rentan terhadap pemecatan yang tidak adil.
Karena mengetahui bahwa para buruh migran menggantungkan mata
pencahariannyakepada mereka, beberapa pemberi kerja menyalahgunakan
kekuasaan ini dengan tujuan untuk mencegah para buruh migran melakukan
pengaduan.”52 Mengingat kondisi ini, banyak pekerja yang paham atas situasi
tersebut yang menunggu sampai izin kerja mereka sudah berakhir sebelum
mengajukan klaim terhadap pemberi kerja mereka, bahkan jika mereka tahu
bahwa klaim yang tidak segera dilakukan akan menimbulkan kecurigaan dan
jumlah total ganti rugiyang mereka ajukan kemungkinan akan terbatas akibat tidak
segera mengajukanklaim mereka pada waktu yang semestinya.
3.14. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para pekerja yang berada dalam situasi
ini merasa bahwa mereka tidak bisa mengeluh ketika mereka tiba di Singapura
dan mereka mendapati bahwa kenyataan yang dihadapi ternyata berbeda dari
apa yang pernah dijanjikan: beberapa diantara merekatidak mendapatkan upah
sebagaimana yang dijanjikan; sebagian lagi harus melakukan pembayaran
kembali kepada pemberi kerja mereka; dan sebagian lainnya
mengalamipemotongan gaji yang besar sebagai biaya akomodasi di bawah
standard yang dulunya dijanjikan gratis. Tidak mengherankan jika banyak pekerja
yang mencari bantuan untuk satu masalah yang akhirnya mengungkapkanadanya
pelanggaran hukum ketenagakerjaan lain yang telah mereka alami. Misalnya,
banyak sekali pekerja yang mencari bantuan dari LSM lokal Singapura setelah
mengalami penderitaan akibatkecelakaan yang terkait dengan pekerjaan, hanya
untuk mengungkapkan bahwa mereka belum mendapatkan gaji penuh mereka
selama berbulan-bulan, atau pemberi kerja mereka telah secara rutin melanggar
hukum dengan melakukan pemotongan terhadap gaji mereka.
3.15. Kejadian di Singapura dimana pekerja terpaksa pulang lebih awal karena cedera
atau karena pemutusan hubungan kerja yang tidak adil (hanya karena mereka
mengajukan keluhan) seringkalimengenaskan. Setelah bekerja selama beberapa
bulan, ada di antara merekayang pulang ke Indonesia dengan memiliki utang.
Oleh itu, kondisi uangan mereka ternyata menjadi lebih buruk dibandingkan
kondisi mereka sebelum datang ke Singapura.53
ini berbeda untuk tiap kebangsaan dan pekerjaan yang berbeda dan telah mengalami perubahan seiring dengan
waktu.” Ibid pada halaman 9.
51 Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 52.
52 Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 9.
53 Tentu saja, remitansi yang dikirim ke negara asal sebagai akibat dari kondisi ekonomi migran Singapura memberikan
manfaat pada berbagai negara di wilayah tersebut: Filipina sendiri menerima sekitar S$300 juta selama triwulan
pertama tahun 2013 saja. Lihat misalnya<http://www.philstar.com/business/2013/02/15/909187/2012-remittances-hit-
record-high>; <http://therealsingapore.com/content/filipinos%E2%80%99-remittance-reaches-56b-philippines>. Yang
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
14
3.16. Keterbatasan darikartu pass khusus.54 Ketika pekerja memutuskan untuk
mengajukan klaim terhadap pemberi kerja mereka sesuai dengan proses
pengadilan ketenagakerjaan Kemenaker, izin kerja mereka dibatalkan, dan
Kementerian tersebut menerbitkan Kartu Pass Khusus, yang membenarkan
mereka untuk tetap tinggal di Singapura — tetapi tidak untuk bekerja — sampai
kasus mereka diselesaikan. Para advokat berpendapat bahwa system Kartu Pass
Khusus tersebut telah memojokkan para pekerja, membuat mereka harus memilih
antara mengejar mata pencaharian mereka atau mengejar tuntutan hukum
mereka:
Memastikan agar para pekerja memperoleh keadilan dan kompensasi
adalah proses yang sulit dan berlarut-larut... Proses penantian yang
panjang dan tidak pasti... telah memberikan dampak yang merusak
terhadap sisi kesehatan ekonomi, emosional dan fisik dari para pekerja
akibat adanyapembatasan terhadap pekerjaan... Para buruh migran bisa
mengalami penderitaan selama berbulan-bulan di Singapura dengan
memegang jenis visa ini yang mana dapat berlangsung hingga bertahun-
tahun, yang membuat mereka menjadi contoh kasus pendatang
‘sementara secara permanen’. Sebagaimana yang disampaikan oleh
salah satu buruh migran tentang hal ini, “Singapura ibaratnyaseperti
sebuah penjara bagi kami[.]”… Sepertinya bukan hanya pemberi kerja
saja yang menghukum para pekerja yang berani memperjuangkan hak-
hak mereka, tetapi ternyatapihak otoritasvisa dari Kartu Pass Khusus
semakin membuat mereka lebih terpuruk. Banyak pekerja laki-laki yang
memegang Kartu Pass Khusus... yang mengalami penderitaan secara
sosial dan emosional selama mereka memegang Kartu Pass Khusus
dalam periode yang panjang dan tidak ada kepastian.55
3.17. Tentu saja, banyak diantara para pekerja ini — tanpa makanan, perumahan, dan
pekerjaan — yang kemudianmulai bekerja secara ilegal. Tanpa pembatasan
pekerjaan dan gaji yang dikenakan oleh izin kerja mereka, para pekerja ini bisa
mendapatkan berbagai pekerjaan dan seringkali bisa memperoleh penghasilan
hingga $80 perhari, dibandingkan dengan $30 perhari atau kurang dari yang
mereka terima ketika bekerja secara sah. Namun, mereka memiliki risiko
terkenatuntutan pidana dan klaim tentang pekerjaan mereka terlepas. Banyak
diantara mereka yang hidup dalam ketakutan apabila tertangkap, tetapi mereka
merasa bahwa mereka tidak punya pilihan, setelah dibiarkan dalam kondisi tanpa
paling menyedihkan adalah cerita dari pekerja konstruksi asal Bangladesh yang kembali ke rumah dengan keadaan
cedera permanen dan masih memiliki utangutang ribuan dolar kepada pemberi pinjaman uang lokal. Ia mengakui bawa
sebelum ia datang, ia telah mendengar cerita-cerita tentang cedera dan utang yang melilit dari teman sebangsanya
yang telah kembali ke rumah dari Singapura, tetapi ia menolak untuk mendengarkan. Lebih parah, ia yakin bahwa saat
ia menceritakan ceritanya kepada teman sebangsanya, mereka juga akan menolak untuk mendengarkan – janji akan
kesuksesan di Singapura terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
54 Lihat One Thousand and One Days, supra note 18 pada halaman 5.
55 Ibid.
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
15
sarana untuk mendukung diri mereka sendiri dan keluarga mereka.56 Masalah
menjadi semakin rumit, mereka yang memilih untuk mengikuti sidang administratif
di Kemenaker sering menghadapi kesaksian yang bertentangan tidak hanya dari
pemberi kerja yang menyalahkan mereka saja, tetapi juga dari sesama kalangan
rekan pekerja mereka, banyak diantara mereka yang memberi kesaksian palsu
atas nama pemberi kerja mereka akibat rasa takut yang beralasan jika mereka
harus kehilangan pekerjaan mereka sendiri.
3.18. Skema pekerjaan sementara. Satu titik terang dalam perkara ini adalah
adanyaSkema PekerjaanSementara (TJS, Temporary Job Scheme) yangmasih
relatif baru. Kemenaker mengeluarkan izin kerja yang dapat diperbarui enam
bulan sekali ini kepada para pekerja yang membantu pihak berwenangdalam
melakukan investigasi sebagai saksi bagi jaksa penuntut.57 Sayangnya, TJS
melakukan pengecualian terhadap pekerja tertentu: “para pekerja yang
mengajukan klaim tunggakan gaji dan klaim kompensasi akibat cedera di tempat
kerja tidak memenuhi syarat untuk mencari pekerjaan melalui TJS.”58 Selanjutnya,
banyak pekerja yang mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan yang
memenuhi syarat berdasarkansejumlah peraturandan perundangan yang
diberlakukan oleh otoritas TJS.59
56 Amelia Tan, “Workers find illegal jobs though informal network,” The Straits Times (25 November 2013) di:
<http://www.straitstimes.com/breaking-news/singapore/story/foreign-workers-find-illegal-jobs-through-informal-network-
20131125>.
57 Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 29.
58 Ibid.
59 Ibid.
Bab 2:
Masalah Hukum Yang Umum Terjadi
Dan Penyelesaian Yang Ada
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
17
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN
YANG ADA
1. PENDAHULUAN
I. Gambaran umum
1.1. Bab ini menyoroti masalah umum yang dihadapi oleh buruh migran dan
menjabarkan substansi penyebab gugatan perdata yang ada. Tujuannya adalah
untuk membantu para praktisi dalam mengevaluasi kasus yang dihadapi klien
dalam mengidentifikasi klaim yang layak, mempertimbangkan unsur-unsur
hukum, persyaratan pembuktian, beban pembuktian, dan mencari jalan keluar.
1.2. Bagian 2 mengkaji berbagai pilihan yang tersedia bagi para buruh migran dalam
menghadapi masalah gaji yang tidak terbayar. Dalam tiga sub-bagian, akan
dijabarkan tentang masalah perekrutan dan pekerjaan, termasuk undang-
undang yang terkait dengan undang-undang tentang ketenagakerjaan —
terutama UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act) dan UU Ketenagakerjaan
bagiTenaga Kerja Asing (EFMA, Employment of Foreign Manpower Act);
sengketa gaji pada umumnya, yang dapat dibagi menjadi pembayaran gaji di
bawah nilai yang telah disepakati dan sengketa atas jumlah gaji yang harus
dibayar; serta penyelesaian hukum yang tersedia.
1.3. Masalah umum lainyang dihadapi para buruh migran adalah pembayaran ilegal
dan pemotongan gaji oleh pemberi kerja atau agen tenaga kerja. Bagian 3
menyoroti berbagai bentuk pembayaran illegal dan pemotongan gaji yang harus
dicermati oleh para praktisi, serta dasar tuntutan yang dapat dilakukan terhadap
pemberi kerja atau agen tenaga kerja untuk memperoleh kembali jumlah uang
tersebut.
1.4. Bagian 4 membahas dua masalah umum lain tentang perjanjian kerja yang tidak
terkait dengan gaji: pelanggaran kondisi kerja yang tidak terkait dengan gaji dan
janji pekerjaan yang ternyata tidak ada. Yang pertama memfokuskan pada
kewajiban hukum dari pemberi kerjauntuk menanggung biaya perawatan dan
pemeliharaan pekerja, sertauntuk memastikan adanya standar minimum tentang
makanan dan akomodasi.
1.5. Selain permasalahan tentang gaji dan kontrak, beberapa pekerja mengalami
kesulitan untuk mengajukan klaim kompensasi atas cedera yang terjadi di
tempat kerja. Bagian 5 memaparkan dan membandingkan dua jalur utama
dimana seorang pekerja yang cedera dapat mengajukan klaim atas cedera yang
terjadi di tempat kerja — berdasarkan perundang-undangan (WICA) atau melalui
tort of negligence (perbuatan ceroboh yang melanggar hukum) pada common
law (peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada keputusan hakim
dan adat-istiadat).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
18
1.6. Pekerja juga dapat mengalami cedera di luar tempat kerja. Bagian 6 menyoroti
klaim perdata yang tersedia bagi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh
pemberi kerja mereka.
1.7. Bagian akhir terdiri dari perundang-undangan dan kasus terkait yang disebutkan
dalam bab ini.
2. MASALAH MENDASAR KETENAGAKERJAAN DAN SENGKETA
GAJI
2.1. Bagian ini membahas persoalan mendasar ketenagakerjaan, sengketa gaji
yang pada umumnya dialami buruh migran, dan solusi hukum yang tersedia.
2.2. Sebagai catatan awal, Singapura tidak memiliki standar upah minimum (tetapi
badan tripartite merumuskan pedoman tentang upah).1 Hal ini berarti bahwa gaji
karyawan, pada prinsipnya, tergantung pada hasil negosiasi antara pihak
karyawan dan pemberi kerja. Namun dalam prakteknya, ketidakseimbangan
kekuasaan antara pihak pemberi kerja dan karyawan berarti bahwa karyawan
jarang dilibatkan dalam penentuanbesaran gaji.
2.3. Gaji yang tidak terbayarkan dapat mencakup kurangnya pembayaran atau tidak
ada pembayaran sama sekali dari gaji yang disepakati. Klaim sederhana atas
utang kontrak dapat melibatkan sengketa-sengketa fakta seperti saat pihak
pemberi kerja mempertanyakan jumlah jam lembur yang dilakukan klien dan
menolak untuk membayar kekurangan secara penuh.
2.4. Situasi yang lebih kompleks muncul jika masa berlakunya kontrak menjadi
sengketa. Organisasi dari sektor buruh berupah rendah, pekerja
berketerampilan rendah sering kali serampangan dan informal. Selama proses
rekrutmen, migrasi, dan ketenagakerjaan, pihak agen tenaga kerja serta
pemberi kerja dapat membuat gambarandan janji-janji yang tidak sesuai atau
bahkan bertentangan.
I. Masalah mendasar ketenagakerjaan
2.5. Sub-Bagian ini membahas A) masalah gaji yang mungkin timbul saat proses
rekrutmen, B) Bagian utama dari perundang-undangan yang terkait dengan UU
ketenagakerjaan-EA dan EFMA, dan C) rumusan untuk menghitung gaji yang
dibayarkan kepada klien.
1 Terhitung sejak September 2014, pemberi kerja harus tunduk pada berbagai persyaratan izin sesuai dengan aturan
perizinan yang ditetapkan pemerintah dimana disyaratkan upah sebesar S$1000 di tingkat awal untuk petugas
kebersihan. Namun demikian, peraturan ini hanya berlaku untuk “tenaga kerja yang bermukim di negara tersebut”.
Pidato Ministry of Finance, “Speech By Mr Tharman Shanmugaratnam, Deputy Prime Minister & Minister for Finance, At
The e2i Best Sourcing Symposium” (8 Januari) online: MOF Newsroom <http://app.mof.gov.sg/>.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
19
A. Proses rekrutmen
2.6. Perekrutan buruh migran di Singapura didominasi oleh perusahaan swasta.2
Untuk mendapatkan pekerjaan di Singapura, calon pekerja biasanya akan
menghubungi agen pengerah tenaga kerja ketika masih berada di negara asal
mereka. Agen ini seringkali membuat pernyataan atau janji-janji tentang
peluang tawaran atau syarat dan kondisi kerja di negara penerima. Ketika calon
pekerja telah sepakat untuk menerima pekerjaan yang diselenggarakan oleh
agen tenaga kerja dinegara asal, tidak semua kesepakatan antara pihak agen
dan calon pekerja yang tercatat secara tertulis dan kebanyakan masih
sepenuhnya berupa kesepakatan lisan.
2.7. Buruh migran yang akan bekerja di Singapura seringkali membayar ribuan dolar
untuk biaya penempatan. Tiga jenis umum dari biaya penempatan adalah:
1) Biaya agen di negara asal;
2) Biaya pusat pelatihan di negara asal; dan
3) Biaya agen di negara penerima.
2.8. Wawancara yang dilakukan oleh Transient Workers Count Too (TWC2)
mengungkapkan bahwa jumlah uang ini secara kebanyakan diperoleh dengan
menjual asset properti, serta pinjaman dari kerabat, bank, dan/atau rentenir.3
selanjutnya, wawancara TWC2 ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, biaya
yang dibayarkan kepada agen berjumlah setidaknya sebesar potensi
pendapatan buruh migran selama sepuluh bulan. Biaya ini dapat bervariasi
tergantung dari jenis kebangsaan dan pekerjaan, dan dapat berubah dari waktu
ke waktu.
B. Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan
2.9. Terlepas dari prinsipcommon law tentang kontrak perjanjian, kontrak kerja
mengacu pada UU ketenagakerjaan4 (EA) dan UU ketenagakerjaan bagi
tenaga kerja asing5 (EFMA).
i. UU Ketenagakerjaan (EA)
2.10. EA adalah undang-undang ketenagakerjaan yang utama di Singapura, yang
menentukan persyaratan dan kondisi kerja minimum. Untuk klien yang masuk
dalam ruang lingkup dari EA, undang-undang menyediakan dua jalan bagi
penyelesaian:
1) Mengajukan klaim terhadap Komisioner Tenaga Kerja (Labour
2 Humanitarian Organisation for Migration Economics (H.O.M.E.) & Transient Workers Count Too (TWC2), Justice
Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migrant Workers in Singapore, (Singapore: H.O.M.E. & TWC2, 2010),
online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg/wp-content/uploads/2013/09/Justice-Delayed-Justice-Denied-
ver2.pdf> at 10 [HOME & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied].
3 Ibid.
4 Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing) [EA]. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV. untuk naskah teks UU tersebut.
5 Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) [EFMA] Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah
teks UU tersebut.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
20
Commissioner) (yakni “Jalur Kementerian Tenaga Kerja” (“Ministry of
Manpower Route“)); atau
2) Mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan6 (yakni “Jalur
perdata”).
2.11. Jika pemberi kerja melanggar hak yang diberikan oleh Undang-undang atau
yang secara khusus diberikan oleh kontrak kerja, karyawan berhak untuk
melakukan gugatan perdata atas pelanggaran kewajiban.7 Jalur perdata
terbuka untuk klien selama proses dengan Komisioner Buruh (Labour
Commissioner) tidak dilembagakan, atau, jika dilembagakan, belum berlanjut
ke pengambilan keputusan berdasarkan UU;8 Lihat Bab 3, Bagian 3, untuk
proses dari dua jalur tersebut.
2.12. Dalam hal kondisi pekerjaan, Bagian III dari EA (UU ketenagakerjaan) mengatur
persyaratan tentang pembayaran gaji, dan Bagian IV menetapkan tentang
pembayaran lembur dan kerja pada hari libur.
Sebuah dasar atas kewajiban baru untuk menyimpan catatan pembayaran gaji dan hubungan
kerja berdasarkan EA
2.13. Sejak tanggal 1 April 2016, perubahan terhadap EA mewajibkan pemberi kerja
untuk menyediakan slip gaji yang terperinci9 dan ketentuan-ketentuan kerja
penting10 untuk seluruh pekerja mereka sebagaimana yang diatur dalam EA.
2.14. Slip gaji yang terperinci dapat dikeluarkan dalam bentuk cetakan atau softcopy
dan harus diberikan bersamaan dengan pembayaran gaji kepada pekerja atau
dalam waktu 3 hari kerja setelah pembayaran dan harus dikeluarkan paling
sedikit satu kali selama sebulan. Slip gaji ini harus memuat detil terkait
pembayaran gaji pokok dari pekerja, pengurangan, dan jam kerja lembur. Para
pekerja juga diharuskan untuk menyimpan catatan dari setiap slip gaji yang
telah dikeluarkan selama dua tahun terakhir. Untuk mantan pekerja, catatan
atas slip gaji selama dua tahun terakhir harus disumpan selama satu tahun
setelah pekerja yang bersangkutan meninggalkan pekerjaannya.
2.15. Ketentuan-ketentuan kerja utama harus diberikan kepada para pekerja
sebagaimana yang diatur didalam EA yang baru saja dipekerjakan pada atau
setelah tanggal 1 April 2016 dan dipekerjakan untuk jangka waktu yang terus
menerus selama 14 hari atau lebih. Ketentuan-ketentuan kerja utama ini harus
dikeluarkan dalam bentuk cetakan atau softcopy dan harus memuat ketentuan
sebagai berikut, kecuali ketentuan – ketentuan tersebut tidak berlaku:
1) Nama dari pemberi kerja dan pekerja; 2) Jabatan pekerjaan serta tugas dan tanggung jawab utama; 3) Tanggal mulai pekerjaan;
6 Ravi Chandran, LexisNexis Annotated Statutes of Singapore Employment Act (Singapore: LexisNexis 2009) di 183
[Chandran, Annotated EA].
7 Ibid di 188.
8 EA, supra note 4 di s 132.
9 EA Bagian 96. Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya.
10 EA Bagian 95A. Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
21
4) Durasi pekerjaan (apabila pekerja terikat dengan perjanjian kerja tetap); 5) Pengaturan kerja, antara lain jam kerja harian, jumlah hari kerja setiap
minggu, dan hari libur; 6) Periode pembayaran gaji, yakni, pada tanggal berapa pembayaran
dilaksanakan; 7) Gaji pokok per periode pembayaran gaji 8) Tunjangan tetap dan potongan per periode pembayaran gaji 9) Pembayaran uang lembur; 10) Komponen terkait gaji lainnya antara lain bonus dan insentif; 11) Hak untuk cuti; 12) Manfaat kesehatan; 13) Masa percobaan; dan 14) Periode pemberitahuan.
2.16. Kewajiban ini yang ditujukan kepada pemberi kerja untuk menjaga informasi
terkait akan membantu para pekerja dalam membuktikan gugatan potensial
atas tidak dibayarkannya gaji atau pelanggaran ketentuan kerja. Pemberi kerja
yang gagal untuk memenuhi kewajiban ini dapat dikenakan sanksi
administratif.11
Siapakah yang dianggap sebagai karyawan dalam UU Ketenagakerjaan (EA)
2.17. Berdasarkan EA, ‘karyawan’ (employee) adalah seseorang yang telah
menandatangani atau bekerja berdasarkan kontrak kerja dengan seorang
pemberi kerja, kecuali:12
1) Awak kapal;
2) Pekerja rumah tangga; dan
3) Kalangan profesional, manajer dan eksekutif (PME) yang
berpenghasilan lebih dari $4.500 per bulan.13
2.18. EA membuat sub-kategori “karyawan” untuk tujuan Bagian IV dari EA, yang
memberikan upah minimum yang menjadi haknya. Bagian IV dari EA berlaku
hanya untuk kategori karyawan yang ditetapkan dalam EA berikut ini:
1) Seluruh karyawan yang berada dalam ruang lingkup EA (selain pekerja
manual (workmen) dan PME) yang berpenghasilan tidak lebih dari
$2.500 per bulan (tidak termasuk upah lembur, bonus, gaji tahunan
tambahan, dan tunjangan produktifitas); dan
2) Seluruh“pekerja manual”(workmen) yang berpenghasilan tidak lebih dari
$4.500 (tidak termasuk upah lembur, bonus, gaji tahunan tambahan, dan
11 EA Bagian 126A dan 126B, Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya. Jumlah dari sanksi
administratif yang dapat dikenakan terdapat dalam Lampiran Peraturan Ketenagakerjaan 2016 (Sanksi Administratif).
Kementerian Tenaga Kerja telah memberitahukan bawha pemberi kerja akan diberikan satu tahun masa tenggang
sejak 1 April 2016 untuk mengikuti ketentuan – ketentuan ini sebelum adanya pengenaan sanksi administratif, harap
mengacu kepada pengumuman Kementerian Tenaga Kerja di <http://www.mom.gov.sg/newsroom/press-
releases/2015/0817-employment-amendment-bill>.
12 Ibid, s 2(1).
13 Pengecualian ada pada Bagian IV, dimana semua PME tidak dianggap sebagai karyawan, Ibid, s 2(2).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
22
tunjangan produktifitas).14
2.19. “Pekerja manual” didefinisikan oleh EA sebagai:15
1) Seseorang, baik terampil maupun tidak terampil, yang mengerjakan
pekerjaan manual;
2) Seseorang, selain staf administrasi yang dipekerjakan di bagian
operasional atau perawatan kendaraan yang digerakkan secara
mekanis yang membawa penumpang, untuk persewaan atau tujuan
komersial;
3) Seseorang yang dipekerjakan untuk melakukan pengawasan terhadap
pekerja dan melakukan pekerjaan manual, dengan catatan waktu yang
dihabiskan untuk pekerjaan manual lebih dari separuh total waktu kerja
dalam periode gaji; atau
4) Seseorang yang disebutkan dalam Lampiran Utama (First Schedule)
dari EA, yaitu petugas kebersihan; pekerja konstruksi; pekerja manual;
operator dan perakit mesin; pekerja pengolahan logam dan perawatan
mesin; masinis kereta, sopir bus, sopir truk, dan sopir van; inspektur
kereta dan bus; serta seluruh pekerja yang dipekerjakan berdasarkan
piece rate (satuan kerja yang dihasilkan) di tempat kerja.16
2.20. Tabel di bawah menjelaskan batasan dari ruang lingkup EA.
Tabel 1: Ruang Lingkup dari UU Ketenagakerjaan (EA)
Bagian III-
Pembayaran
gaji
Bagian IV- Hari
istirahat, jam
kerja dan
ketentuan kerja
lainnya
Bagian X- Hak
cuti liburan dan
sakit
Pekerja manual ✓ Hanya berlaku
jika gaji tidak
melebihi $4.500
✓
14 Ibid, s 35.
15 Ibid, s 2(1).
16 Ibid, First Schedule.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
23
Bukan pekerja
manual
(workmen)
(misalnya staf
administrasi,
sales)
✓ Hanya berlaku
jika gaji tidak
melebihi $2.500
✓
Kalangan
profesional,
manajer dan
eksekutif (PME)
Hanya berlaku
jika gaji tidak
melebihi $4.500
✗ Hanya berlaku
jika gaji tidak
melebihi $4.500
2.21. Alasan yang diberikan untuk pengecualian awak kapal dari cakupan EA adalah
karena memiliki sifat pekerjaan yang menuntut jam kerja yang lebih panjang
dari jam kerja maksimum sebagaimana yang disebutkan yaitu 8 jam per hari.17
Perhatikan bahwa definisi dari “awak kapal” telah dijelaskan dengan
mengecualikan individu yang pekerjaannya tidak berbasis di laut, seperti
mereka di daratan yang melakukan pekerjaan di kapal, termasuk pilot, kuli
pelabuhan, dan sejumlah orang yang dipekerjakan sementara di kapal selama
berlabuh di pelabuhan.18
2.22. Begitu juga, alasan pengecualian pekerja rumah tangga adalah karena sifat
pekerjaannya agak berbeda dari pekerjaan normal, yang membuat sulit untuk
melakukan pengaturan atas persyaratan pekerjaan.19 Oleh karena itu,
pengelolaan ketenagakerjaan dari pekerja rumah tangga asing diatur
berdasarkan EFMA.
ii. UU Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja Asing (EFMA)
2.23. EFMA menyebutkan tanggung jawab dan kewajiban dari pemberi kerja
terhadap buruh migran. EFMA tidak memberikan hak langsung atas gugatan
perdata terhadap para pekerja ini. Namun, EFMA menetapkan kewajiban
kepada pemberi kerja. EFMA mencakup seluruh “karyawan asing”, yang
meliputi seluruh orang asing, selain mereka yang berwiraswasta sendiri, yang
mencari atau ditawari pekerjaan di Singapura.20 Hal ini mencakup pekerja
rumah tangga asing (PRTA) yang dikecualikan dari perlindungan di bawah EA.
2.24. Peraturan penggunaan Tenaga Kerja Asing (Izin Kerja) tahun 2012 melengkapi
17 Parliamentary Debates Singapore: Official Report, vol 27 di col 651 (31 Juli 1968).
18 EA, supra note 4, s 2(1).
19 Parliamentary Debates Singapore: Official Report, vol 85 at col 998 (18 November 2008) [Parliamentary Debates vol
85].
20 EFMA, supra note 5 di s 2. Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
24
EFMA dan menetapkan persyaratan pekerjaan bagi buruh migran yang terkait
dengan keperluan, perawatan dan kesejahteraan mereka sebelum, selama, dan
setelah periode kerja mereka. Peraturan terbagi antara persyaratan kerja bagi
pekerja rumah tangga dan seluruh pekerja lainnya. Bagian I dan II dari Lampiran
Empat (the Fourth Schedule) terkait dengan persyaratan kerja dari pekerja
rumah tangga, sedangkan Bagian III dan IV terkait dengan persyaratan kerja
dari pekerja selain pekerja rumah tangga.
2.25. Pelanggaran dari EFMA diperlakukan sebagai pelanggaran administratif atau
tindak pidana. Pertanyaan tentang apakah seorang buruh migran dapat
mengajukan tuntutan terhadap pemberi kerja mereka atas pelanggaran
kewajiban sebagaimana ketentuan dalam EFMA masih belum teruji di
pengadian Singapura. Namun, terdapat satu potensi argumen bahwa ketentuan
dalam EFMA terdiri dari persyaratan yang hendaknya dicantumkan dalam
peraturan pada kontrak kerja, yang memungkinkan terjadinya gugatan atas
pelanggaran kontrak jika pemberi kerja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan dalam EFMA. Argumen ini sesuai dengan keinginan parlemen yang
menghendaki EFMA agar memberikan perlindungan mendasar terhadap buruh
migran yang rentan.21 EFMA juga dapat menganggap kontrak tertentu ilegal.
2.26. Para pekerja juga seringkali dikenakan biaya untuk pelatihan kerja wajib yang
diselenggarakan di pusat pelatihan di negera asal mereka dan/atau di
Singapura.
Tabel 2: Rentang komisi untuk agen yang dibayarkan oleh para pekerja India, Bangladesh dan China
Kebangsaan Komisi untuk agen di negara asal
India $6.00022 – $7.000
Bangladesh $8.000 – $10.000
Cina $3.000 - $7.000 bagi pekerja konstruksi. $8.000 hingga
$10.000 bagi pekerja pada sektor layanan,
2.27. Selain komisi yang dibayarkan kepada agen di negara asal mereka, sejumlah
buruh migran juga diminta untuk membayar biaya komisi pada saat kedatangan
mereka kepada agen di Singapura. Menurut peraturan tentang agen pengerah
21 Parliamentary Debates vol 85, supra note 19.
22 Semua angka dolar yang tercantum dalam bab ini merujuk pada dolar Singapura kecuali dinyatakan lain.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
25
tenaga kerja tahun 2011,23 agen tenaga kerja hanya diperbolehkan
mengenakan biaya penempatan sebesar satu bulan gaji per tahun kontrak kerja
atau per masa berlakunya Izin Kerja, tergantung pada masa yang paling
pendek, dan diperlakukan batas atas sebanyak dua bulan gaji.24 Dalam
prakteknya, biaya penempatan yang dibayarkan kepada agen setempat dapat
bervariasi antara $3.000 – $8.000 bagi selain pekerja rumah tangga,25
sedangkan biaya penempatan bagi pekerja rumah tangga rata-rata $1.900,
yang setara dengan sekitar empat bulan gaji.26
2.28. Setelah agen mempertemukan pekerja dengan pemberi kerja di Singapura,
pemberi kerja harus mengajukan permohonan Izin Kerja atau kartu S-Pass27
untuk pekerja tersebut sebelum mempekerjakannya. Setelah menerima
permohonan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) akan
mengeluarkan persetujuan prinsip (IPA, In-Principle Approval) yang
menetapkan nama pemberi kerja, gaji bulanan pekerja, dan setiap tunjangan
atau potongan yang berlaku.28
2.29. IPA adalah dokumen administratif yang dikeluarkan oleh Kemenaker,
berdasarkan permohonan dari pemberi kerja atau agen, dan tentu saja bukan
merupakan kontrak kerja29 Meskipun pekerja dapat mengetahui persyaratan
dan kondisi dari IPA, karena seharusnya mereka memperoleh salinannya dalam
bahasa ibunya, namun dokumen tersebut hanya sebagai bukti kontrak antara
pemberi kerja dan pekerja, tetapi dokumen tersebut bukan kontrak kerja.
2.30. Begitu mereka sampai di Singapura, pekerja dapat menandatangani atau tidak
menandatangani kontrak baru dengan pemberi kerja. Jika tidak ada kontrak
baru, IPA merupakan salah satu bukti bahwa terdapat perjanjian antara pihak
pekerja dan pemberi kerja mereka.
2.31. Proses yang rumit dari penempatan kerja lintas-batas ini dapat menyebabkan
adanya permasalahan dalam mengidentifikasikan perjanjian yang dapat
diterapkan dan menunjukkan persyaratan khusus dari perjanjian. Kemungkinan
yang ada mencakup:
23 Employment Agencies Rules 2011 (S 172/2011 Sing) [Employment Agencies Rules].
24 Ibid di s 12(1)(a).
25 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 26.
26 Amelia Tan, “10 maid agencies face temporary ban”, The Straits Times (13 April 2013) online: The Straits Times
<http://www.straitstimes.com/>.
27 Lihat Bab 3, Bagian 1.10 tentang Izin Kerja yang biasanya dipegang pekerja asing.
28 Lihat secara umum Singapore, Ministry of Manpower, Work Permit- Before you apply, (Singapore: Ministry of
Manpower, 2012), online: Ministry of Manpower <http://www.mom.gov.sg/>.
29 Winsor Homes Ltd. v St. John's MunicIpal Council 20 Nfld. & P.E.I.R. 361; 53 APR 361 (1978); Halsbury's Laws of
England, Volume 22, 5th ed (Singapore: LexisNexis, 2012) di 191 ("Ini berarti bahwa, prima facie, tidak ada kontrak
yang menyimpulkan secara jelas perlunya kesepakatan selanjutnya [...] Jika para pihak telah mencapai kesepakatan
secara prinsip saja, mungkin dapat disimpulkan bahwa mereka belum selesai mencapai kesepakatan, misalnya: jika
mereka membuat kesepakatan yang tergantung pada rincian atau tergantung pada kontrak; atau jika terdapat begitu
banyak hal penting yang dibiarkan tidak pasti yang membuat perjanjian mereka tidak lengkap" di para 268).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
26
1) Perjanjian ganda dengan syarat dan kondisi yang berbeda dalam hal gaji;
2) Pekerja menandatangani kontrak tanpa mengetahui syarat serta kondisi yang tertera; dan
3) Kontrak tidak berlaku karena ilegal, karena pekerja tidak memiliki izin kerja yang masih berlaku.
2.32. Pada tingkat bukti, cara informal yakni sifat pengaturan pekerjaan yang tidak
tertulis dan ketimpangan kekuasaan antara pemberi kerja dan pekerja
berartidokumentasi tersebut seringkali kurang lengkap atau dapat dipalsukan
dengan mudah oleh pemberi kerja.
C. Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan
2.33. Perhitungan gaji didasarkan pada EA, EFMA dan aturan utama dari kontrak.
Referensi gaji dalam Bagian ini mencakup i. gaji pokok, ii. gaji lembur, iii. cuti
istirahat berbayar, iv. cuti sakit berbayar, v. cuti tahunan berbayar, vi. ciburan
berbayar, serta persyaratan dan kondisi kontrak lainnya yang terkait dengan
gaji.
2.34. Gaji seorang pekerja bisa dihitung dengan basis bulanan, harian, jam-jaman
atau untuk tiap item pekerjaan (misalnya pembayaran untuk tiap pekerjaan yang
diselesaikan). Perhitungan tingkat gaji kotor dan gaji pokok bagi pekerja
tergantung dari apakah mereka dibayar berbasis bulanan atau untuk item
pekerjaan, dan apakah mereka bekerja secara reguler atau secara bergilir.
i. Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan untuk kerja lembur
2.35. Pemberi kerja diwajibkan untuk membayar pekerja sebagaimana yang tercakup
dalam Bagian IV dari EA untuk kerja lembur.30 Upah kerja lembur yang harus
dibayarkan kepada pekerja non manual ditentukan berdasarkan batas gaji
pokok bulanan sebesar $2.250.31
2.36. Seorang pekerja berhak untuk memperoleh gaji lembur jika mereka, atas
permintaan pemberi kerja, bekerja lebih dari 8 jam sehari,32 atau lebih dari 44
jam dalam satu minggu.33 Kerja lembur harus dibayar minimal sebesar 1,5 kali
30 Untuk karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, Lihat Bagian 2.17-2.19.
31 EA, supra note 4, Fourth Schedule.
32 Ibid, s 38(4). Jika disepakati sesuai kontrak kerja bahwa pekerja diwajibkan untuk bekerja kurang dari 8 jam dalam
satu hari atau lebih dalam seminggu, atau diwajibkan bekerja tidak lebih dari 5 hari dalam seminggu, batas jam kerja
sebesar 8 jam sehari dapat dilampaui. Namun demikian, pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 9 jam per hari atau 44
jam dalam seminggu, EA, supra note 4, s 38(1). Dalam situasi seperti ini, yaitu jika diminta oleh pemberi kerja untuk
bekerja lebih dari 9 jam per hari atau lebih dari 44 jam seminggu, maka pekerja tersebut berhak atas uang lembur.
33 Ibid. Jika disepakati dalam kontrak kerja bahwa pekerja diharuskan bekerja kurang dari 44 jam setiap minggu
berselang, maka batas waktu 44 jam dalam seminggu dapat dilampaui dalam selang minggu berikutnya. Namun
demikian, pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu atau lebih dari 88 jam dalam jangka waktu 2
minggu secara terus-menerus. Dalam situasi seperti ini, pekerja berhak atas uang lembur jika diminta oleh pemberi
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
27
besar gaji pokok pekerja per jam.34 Rumus untuk menghitung gaji lembur adalah
sebagai berikut:
Tabel 3: Rumus untuk menghitung upah lembur35
Untuk pekerja manual yang dipekerjakan berdasarkan gaji bulanan:
1,5 x jumlah jam kerja lembur
X
(12 x gaji pokok bulanan)
(52 minggu x 44 jam)
Untuk pekerja non-manual yang memiliki gaji pokok bulanan kurang
dari $2.250:
1,5 x jumlah jam kerja lembur
X (12 x gaji pokok bulanan)
(52 minggu x 44 jam)
Untuk pekerja non-manual yang memiliki gaji pokok bulanan $2.250 atau lebih:
1,5 x jumlah jam kerja lembur
X (12 x $2.250)36
(52 minggu x 44 jam)
kerja untuk bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, atau lebih dari 88 jam dalam jangka waktu 2 minggu secara
terus-menerus.
34 Ibid. Untuk tarif dasar upah pekerja per jam untuk menghitung pembayaran uang lembur lihat EA, supra note 4 Fourth
Schedule.
35 Diadopsi dari Tripartite Alliance for Fair & Progressive Employment Practices,Guide on Employment Laws for
Employers, online: Tripartite Alliance for Fair & Progressive Employment Practices
<http://www.tafep.sg/assets/files/Publications/Publication_GELE_ENG_LR1%20as%20of%20April%202014.pdf>
[TAFEP Guide].
36 EA, supra note 4, Fourth Schedule. Tarif uang lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual dibatasi
pada gaji pokok bulanan sebesar $2250, sehingga harus dihitung berdasarkan angka tersebut.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
28
Tabel 4: Contoh Perhitungan Gaji Lembur (pekerja manual)37
Jenispekerja Gaji Rumus untuk
menghitung
gaji pokok per
jam
Perhitungangaji
pokok per jam
Jumlah
jam
kerja
lembur
Gaji
lembur
Bulanan $800
per
bulan
12 x gaji pokok
bulanan
52 x 44
12 x $800
52 x 44
= $4,20
2 jam $4,20 x
1,5 x 2
jam
=
$12,60
Harian $20
per
hari
Gaji pokok
harian
Jumlah jam kerja
dalam satu hari
$20
8
= $2,50
2 jam $2,50 x
1,5 x 2
jam
= $7,50
37 TAFEP Guide, supra note 35.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
29
Tabel 5: Contoh Perhitungan Gaji Lembur (Pekerja non-manual)38
Jenispekerja Gaji Rumus
untuk
menghitung
gaji pokok
per jam
Perhitun
gangaji
pokok
per jam
Jumlah
jam
kerja
lembur
Gaji
lembur
Bulanan $1600 per
bulan
12 x gaji pokok
bulanan
52 x 44
12 x
$1.600
52 x 44
= $8,40
4 jam $8,40 x 1,5
x 4 jam
= $50,40
Bulanan $2250 per
bulan
12 x gaji pokok
bulanan
52 x 44
12 x
$2.250
52 x 44
= $11,80
2 jam $11,80 x
1,5 x 2 jam
= $35,40
Bulanan $2400 per
bulan
12 x $225039
52 x 44
12 x
$2.250
52 x 44
= $11,80
2 jam $11,80 x
1,5 x 2 jam
= $35,40
ii. Perhitungan gaji yang harus dibayarkan untuk kerja sebulan yang tidak penuh
2.37. Gaji yang harus dibayarkan kepada pekerja bulanan untuk kerja sebulan yang
tidak penuhdihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:40
38 Ibid.
39 EA, supra note 4, Fourth Schedule. Angka uang lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual dibatasi
pada gaji pokok bulanan sebesar $2250, sehingga harus dihitung berdasarkan angka tersebut.
40 Ibid, s 20A(1).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
30
Gaji yang dibayar =
Gaji kotor bulanan
Jumlah hari kerja pada bulan
tersebut
X
Jumlah hari aktual
dimana pekerja telah
bekerja pada bulan
tersebut
2.38. Gaji kotor bulanan mengacu pada jumlah uang, termasuk tunjangan yang harus
dibayarkan kepada pekerja karena telah bekerja selama satu bulan, tetapi tidak
mencakup:
1) Gaji tambahan melalui upah lembur, pemberian bonus, atau upah
tahunan tambahan;
2) Jumlah yang dibayarkan kepada pekerja sebagai penggantian biaya
atas pengeluaran tertentu yang dibelanjakan selama bekerja;
3) Pemberian insentif produktifitas; dan
4) Tunjangan perjalanan, makanan, atau perumahan.41
2.39. Jumlah hari kerja dalam bulan tersebut tidak mencakup hari istirahat dan hari
libur tetapi mencakup hari libur umum.42
2.40. Jumlah hari aktual dimana karyawan bekerja pada bulan tersebut mencakup
hari libur umum, cuti rawat inap berbayar, atau cuti tahunan bagi yang berhak.43
2.41. Hari kerja selama lebih dari 5 jam dianggap sebagai satu hari kerja, sedangkan
hari kerja selama 5 jam atau kurang dianggap sebagai setengah hari kerja.44
iii. Perhitungan gaji yang harus dibayarkan atas pekerjaan yang dilakukan pada hari
istirahat
2.42. Pekerja yang tercakup dalam Bagian IV dari EA45 berhak untuk beristirahat
sehari penuh tiap minggu tanpa upah.46 Tarif upah akan lebih tinggi jika
pekerjaan dilakukan pada hari istirahat.
2.43. Jumlah upah yang dibayarkan tergantung pada durasi kerja dan apakah
permintaan kerja datang dari pekerja atau dari pemberi kerja. Besaran upah
lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual ditentukan
berdasarkan batas gaji pokok bulanan sebesar $2.250.47
41 Ibid, s 2(1).
42 TAFEP Guide, supra note 35.
43 Ibid.
44 EA, supra note 4, s 20A(2).
45 Untuk karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, Lihat Bagian 2.13 - 2.19.
46 Ibid, s 36.
47 Ibid, Fourth Schedule.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
31
Tabel 6: Rumus untuk menghitung pembayaran atas pekerjaan yang dilakukan pada hari istirahat48
Durasi kerja
Tidak lebih dari
setengah jam
kerja normal
dalam sehari
Lebih dari
setengah, tetapi
tidak melebihi
jam kerja normal
dalam sehari
Lebih dari jam
kerja normal
dalam sehari
Pekerja
bekerja pada
hari istirahat
atas
permintaan
sendiri
Setengah hari gaji
pokok
Satu hari gaji
pokok
1. Satu hari gaji
pokok; dan
2. Upah lembur
minimal 1,5 kali
upah pokok per jam
x
Jumlah jam kerja
lembur yang
dilakukan
Pekerja
bekerja pada
hari istirahat
atas
permintaan
pemberi kerja
Satu hari gaji
pokok
Dua hari gaji
pokok
1. Dua hari gaji
pokok; dan
2. Upah lembur
minimal 1,5 kali
upah pokok per jam
x
Jumlah jam kerja
lembur yang
dilakukan
iv. Hak cuti sakit berbayar
2.44. Bagian ini mencakup hak cuti sakit berbayar secara umum berdasarkan EA.
Hak cuti ini harus dibedakan dari tunjangan cuti medisyang dapat diklaim
berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA,
Workplace Injury Compensation Act)49 yang dikhususkan untuk tunjangan cuti
medis yang terkait dengan kecelakaan di tempatkerja. Untuk menghitung gaji
48 Diadopsi dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 37.
49 Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) [WICA].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
32
yang harus dibayarkan pada klien yang menjalani cuti medis yang terkait
dengan kecelakaan di tempat kerja, lihat Bab 2, Bagian 5, Tabel 14.
2.45. Seluruh karyawan yang termasuk dalam EA berhak atas cuti sakit berbayar jika
mereka memenuhi persyaratan berikut:
1) Telah bekerja dengan pemberi kerja mereka setidaknya selama 3
bulan;50
2) Telah memperoleh surat keterangan medis dari dokter perusahaan. Jika
tidak ada dokter perusahaan, karyawandapat memperoleh surat
keterangan medis dari dokter pemerintah; 51 dan
3) Telah menginformasikan kepada pemberi kerja tentang cuti sakit dalam
48 jam.52 Jumlah hari cuti sakit berbayar yang menjadi hak pekerja
tergantung pada berapa lama mereka telah bekerja:
Tabel 7: Jumlah hari dari hak cuti sakit berbayar53
Jumlah bulan
telah bekerja
Cuti sakit rawat
jalan berbayar
(hari kerja)
Cuti rawat inap
berbayar (hari
kerja)54
3 bulan 5 15
4 bulan 8 30
5 bulan 11 45
6 bulan ke atas 14 60
2.46. Jika karyawan telah bekerja setidaknya selama tiga bulan, pemberi kerja secara
hukum wajib menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, misalnya biaya
konsultasi dokter. Untuk biaya medis lainnya seperti obat-obatan, pengobatan
atau rawat inap, pemberi kerja wajib menanggung biaya tersebut tergantung
pada tunjangan kesehatan yang disediakan dalam kontrak kerja karyawan.55
v. Hak cuti hari libur berbayar
2.47. Karyawan berhak atas cuti hari libur berbayar berdasarkan tarif gaji kotor
50 Ibid, s 89(2).
51 Ibid, s 89(1), s 89(2). Kunjungi www.mom.gov.sg untuk daftar rumah sakit umum yang disetujui.
52 Ibid, s 89(4).
53 Diadopsi dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 89(1), 89(2).
54 Hal ini meliputi semua cuti sakit rawat jalan, jika diambil.
55 TAFEP Guide, supra note 35.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
33
mereka apabila satu dari sekian hari yang ditentukan dalam UU tentang hari
libur (Holidays Act)56 jatuh pada waktu mereka dipekerjakan.57 Jika hari libur
jatuh pada hari istirahat, hari kerja berikutnya setelah hari istirahat merupakan
hari libur berbayar.58
2.48. Seorang pekerja yang diminta oleh pemberi kerjanya untuk bekerja pada hari
libur umum tertentu berhak atas tambahan satu hari gaji berdasarkan tarif gaji
pokok untuk satu hari kerjaselain tarif gaji kotoruntuk hari tersebut.59
vi. Hak cuti tahunan berbayar
2.49. Karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA berhak atas cuti tahunan
berbayar jika mereka telah bekerja setidaknya selama tiga bulan.60
2.50. Hak cuti tahunan diberikan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan
pemberi kerja. Namun, hak cuti tahunan tersebut tidak boleh kurang dari yang
telah ditetapkan oleh EA sebagai berikut:
Tabel 8: Jumlah hari dari hak cuti tahunan berbayar61
Tahun dari jasa yang berkesinambungan
Jumlah hari cuti
Pertama 7
Kedua 8
Ketiga 9
Keempat 10
Kelima 11
Keenam 12
Ketujuh 13
Kedelapan dan seterusnya 14
2.51. Karyawan yang telah bekerja selama lebih dari 3 bulan, tetapi kurang dari satu
tahun berhak atas cuti tahunan dalam proporsi jumlah bulan yang telah dijalani
56 Hari libur nasional di Singapura adalah Tahun Baru, Tahun Baru Cina (dua hari), Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul
Adha, Jumat Agung, Hari Buruh, Hari Raya Waisak, Hari Kemerdekaan, Hari Raya Diwali, dan Hari Natal, Holidays Act
(Cap 126, 2006 Rev Ed Sing), The Schedule.
57 EA, supra note 4, s 88(1).
58 Ibid.
59 Ibid, s 88(4).
60 Ibid, s 43. Untuk pekerja yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, lihat Bagian 2.13 - 2.19.
61 Diambil dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 43(1).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
34
dalam tahun tersebut.62
II. Contoh umum sengketa gaji
2.52. Sengketa tentang gaji biasanya masuk ke dalam salah satu dari dua kategori:
A. jika besaran gaji yang telah disepakati disengketakan dan tujuannya adalah
sekedar untuk mengklaim utang yang belum dibayar, atau B. jika besaran gaji
disengketakan karena adanya berbagai persyaratan pembayaran yang tidak
jelas.
A. Jika terdapat ketentuan yang jelas tentang gaji
2.53. Jika terdapat persyaratan kontrak secara tertulis atau lisan tentang besaran gaji
yang tidak disengketakan, perhatian harus dipusatkan kepada masalah faktual
yang menunjukkan bahwa sejumlah besaran gaji tersebut tidak dibayarkan
kepada klien oleh pemberi kerja. Di bawah ini adalah contoh-contoh situasi
dimana persyaratan kontrak yang jelas dapat ditemukan:
i. Kontrak tertulis
2.54. Seorang pekerja menandatangani kontrak dengan seorang pemberi kerja.
Pekerja tersebut memahami seluruh ketentuan dalam kontrak, yang sesuai
dengan gaji yang ditetapkan dalam IPA. Pemberi kerja tidak mampu membayar
gaji pegawainya secara penuh selama beberapa bulan. Pemberi kerja menunda
pembayaran penuhgaji yang tertunggak yang menjadi hak pekerja hingga
perusahan tersebut tutup. Pekerja tersebut tidak lagi dipekerjakan, dan ada
sejumlah tunggakan gaji yang belum terbayarkan. Namun tidak ada praktek
penggunaan tanda terima pada saat pembayaran gaji, dan pekerja tersebut
mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa mereka belum dibayar penuh
selama beberapa bulan.
ii. Kontrak lisan
2.55. Secara lisan, pekerja dijanjikan gaji yang lebih tinggi daripada yang tertera
dalam IPA. Pemberi kerja secara rutin membayar mereka dengan gaji yang
lebih tinggi, yang mana juga tercatat dalam slip pembayaran. Gaji pekerja
tertunda pembayarannya selama beberapa bulan. Akhirnya, perusahaan tutup.
Pekerja tersebut tidak lagi dipekerjakan, tunggakan gaji selama beberapa bulan
belum dibayarkan.
B. Jika tidak ada ketentuan yang jelas tentang gaji
2.56. Jika terdapat banyak ketentuan yang membingungkan tentang gaji, masalah
utama adalah mengidentifikasi ketentuan yang dapat diterapkan.
62 EA, supra note 4, s 43(2). Dalam menghitung proporsi hak cuti tahunan, angka yang kurang dari sehari harus
diabaikan, sementara angka yang mencapai separuh atau lebih harus dianggap sebagai satu hari, EA, supra note 4, s
43(3).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
35
2.57. Berbagai ketentuan kontrak tentang gaji dapat timbul selama proses rekrutmen
sebagaimana dijelaskan di atas dalam Bab 2, Bagian 2.II.B. Untuk
mengidentifikasi ketentuan kontrak yang dapat diterapkan bergantung pada
kondisi dimana perjanjian ingin dicapai, sifat dari perjanjian, isi dari ketentuan
kontrak, dan dan perilaku para pihak selanjutnya. Di bawah ini adalah beberapa
contoh dari kondisi dimana perjanjian ganda yang mungkin timbul dan kondisi
dimana perjanjian tertulis dapat diperoleh:
i. Perjanjian ganda yang dilakukan dengan pihak yang berbeda
mengandung ketentuan yang berbeda tentang gaji
2.58. Pekerja menandatangani kontrak dengan seorang agen di negara asal mereka.
Kontrak tersebut menyebutkan bahwa gaji pekerja tersebut sebesar $X. IPA
mereka juga menyebutkan bahwa mereka akan dibayar gaji pokok sebesar $X.
Ketika tiba di Singapura, pemberi kerja atau agen tenaga kerja membuat
pekerja tersebut menandatangani kontrak yang menyebutkan bahwa mereka
akan dibayar dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah dari $X.
ii. Pekerja menandatangani kontrak tanpa memahami arti dari
ketentuan-ketentuan yang ada
2.59. IPA dari pekerja menyediakan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura,
pemberi kerjaB membuat mereka menandatangani kontrak dalam bahasa
inggris, yang tidak dapat dibaca oleh pekerja. Kontrak tersebut menyatakan
bahwa pekerja akan dibayar dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah
dari $X sebagaimana yang disebutkan dalam IPA.
2.60. IPA dari pekerja menyediakan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura,
pihak pemberi kerja memaksa mereka untuk menandatangani selembar kertas
kosong. Kemudian, pemberi kerja mengisi kertas tersebut dengan kontrak yang
menyatakan bahwa gaji pokok mereka adalah $Y, yang lebih rendah dari $X
sebagaimana yang tertera dalam IPA.
2.61. IPA dari pekerja menyebutkan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura,
pihak pemberi kerja memaksa mereka untuk menandatangani kontrak yang
dilipat sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat membaca ketentuan yang
ada dalam kontrak. Kontrak tersebut menyatakan bahwa pekerja akan dibayar
dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah dari $X sebagaimana
tercantum dalam IPA.
III. Penyelesaian dan ketentuan
2.62. Berbagai macam situasi fakta yang terkait dengan perjanjian tentang gaji
mungkin dapat timbul. Tujuan dari masing-masing klien dapat berbeda – satu
klien mungkin ingin menerapkan kontrak yang ditandatangani di Singapura
yang menjanjikan gaji lebih besar daripada IPA mereka, sedangkan yang lain
ingin membatalkan kontrak yang ditandatangani di Singapura dan ingin
menerapkan kontrak yang ditandatangani di negara asal.
2.63. Bagian ini menjabarkan berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh klien serta
berbagai macam tuntutan yang dapat dilayangkan untuk memperoleh capaian
tersebut. Kemungkinan tujuan klien yang tercakup dalam bagian ini adalah:
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
36
A. ,mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan kontrak tertulis;
B. menuntut penerapan janji lisan; C. membatalkan kontrak; D. menuntut
diberlakukannya kontrak yang ditandatangani di luar negeri; E. menuntut
diberlakukannya kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki surat izin kerja
yang sah; dan F. mengidentifikasi ketentuan yang kurang jelas dan/atau saling
bertentangan yang dapat diterapkan. Masing-masing Bagian mencakup definisi
hukum, elemen klaim, dan evaluasi potensi efektivitas klaim dalam konteks
buruh migran.
A. Mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan perjanjian tertulis
2.64. Jika terdapat kontrak tertulis yang jelas, klien dapat mengklaim sejumlah uang
yang belum terbayarkan berdasarkan perjanjian tertulis.
2.65. Kesulitan yang kemungkinan timbul adalah dalam membuktikan gaji yang
belum terbayarkan. Slip gaji atau pernyataan bank biasanya digunakan sebagai
bukti pembayaran. Namun, catatan seperti itu dapat dengan mudah dipalsukan
oleh pemberi kerja yang curang.
i. Mengajukan tuntutan atas utang berdasarkan perjanjian tertulis
Definisi
2.66. Jika kontrak menyatakan tentang pemberian sejumlah uang sebagai
pembayaran bagi pihak lain yang melakukan jasa, maka pihak yang melakukan
jasa berhak atas uang tersebut setelah selesai melakukan jasanya. Jika pihak
yang membayar gagal melakukannya, penyelesaian bagi pihak yang
melakukan jasa adalah tuntutan utang untuk memperoleh sejumlah uang sesuai
dengan kontrak.
2.67. Jika ketentuan dalam kontrak menyebutkan porsi pembayaran untuk tiap tahap
kinerja (misalnya kontrak tersebut dapat terbagi) pihak yang mengajukan klaim
dapat menuntut atas tiap Bagian harga kontrak tersebut pada saat pekerjaan
terkait telah terselesaikan.63 Pekerja biasanya memiliki kontrak yang dapat
terbagi seperti kontrak gaji bulanan, per jam, atau per item pekerjaan.64
Elemen
2.68. Pertama, klien harus membuktikan keberadaan ketentuan dalam kontrak yang
menyatakan besaran kontrak gaji mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan
menunjukkan kontrak tertulis. Jika tidak ada kontrak tertulis, lihat Bagian 2.III.B
Pada bab ini tentang perjanjian lisan.
2.69. Kemudian, klien harus membuktikan bahwa terdapat utang dengan
63 MP-Bilt Pte Ltd v Oey Widarto [1999] 1 SLR(R) 908 [55]; [1999] SGHC 70 [MP-Bilt].
64 EA menganggap perjanjian kerja sebagai sesuatu yang dapat terjadi secara terpisah sebagaimana terlihat dari rumus
untuk menghitung gaji. Berdasarkan EA, pekerja yang digaji secara bulanan dapat mengklaim gaji yang belum terbayar
berdasarkan jumlah hari kerja aktual yang telah dikerjakan serta gaji untuk separuh hari pada saat mereka bekerja 5
jam atau kurang, dimana jangka waktu tersebut adalah kurang dari satu bulan, EA, supra note 4 di s 20As. Uang lembur
dihitung per jam tanpa memandang dasar yang digunakan untuk menentukan tarif upah klien, EA, supra note 4 di s 37.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
37
memberikan dokumentasi untuk menunjukkan bahwa mereka telah bekerja
selama sejumlah jam kerja sehingga mereka mengklaim pembayaran, seperti
laporan jam kerja klien. Sayangnya, para pekerja seringkali tidak memiliki akses
terhadap dokumentasi mereka sendiri karena biasanya dipegang oleh pemberi
kerja mereka. Pemberi kerja yang curang kemungkinan juga dapat memalsukan
dokumen.
2.70. Alternatif terbaik berikutnya adalah dengan menyediakan catatan pribadi klien
atas jumlah jam kerja yang telah dijalani. Jika klien masih dipekerjakan, mereka
disarankan untuk menyimpan catatan mereka tentang jumlah jam kerja yang
telah dijalani. Dokumen asli diperlukan (misalnya bukan hasil foto copy atau
print-out).
2.71. Klien kemudian harus memberikan pernyataan bahwa gaji mereka belum
dibayar selama sejumlah jam kerja yang telah dijalani.
2.72. Beban pembuktian (burden of proof) kemudian berpindah ke pemberi kerja
untuk membuktikan pembayaran telah dibuat sebagai pembelaan terhadap
klaim klien atas tuntutan utang, dimana pertimbangan dilakukan atas
bentukjasa yang telah diberikan pekerja. Begitu utang terbukti ada, maka akan
terus dianggap sebagai utang kecuali pembayaran atau penyelesaian dapat
dibuktikan atau ditentukan oleh kondisi yang menunjukkan kemungkinan besar
pembayaran telah terjadi.65
2.73. Jika pemberi kerja mampu menunjukkan tanda terima atau slip gaji, hal ini tidak
berarti telah ada bukti kuat bahwa pembayaran telah dibuat. Masih ada
kemungkinan pembayaran belum dilaksanakan sepenuhnya.66 fakta yang dapat
menyangkal keterangan pemberi kerjatergantung pada masing-masing
kasusnya.
Evaluasi atas tuntutan terhadap utang
2.74. Bahkan jika klien menjaga agar kontrak tetap berjalan67 dengan tetap bekerja
meskipun pemberi kerja senantiasa melanggar kontrak dengan melakukan
pembayaran gaji yang lebih rendah, klien dapat memperoleh kembali tiap
kekurangan pembayaran gaji yang telah terakumulasi sebagai utang yang
belum terbayarkan setelah melakukan pekerjaan. Klien tidak diwajibkan untuk
mengurangi klaim atas utang tersebut.68 Namun, harus diperjelas bahwa
berlanjutnya jasa klien merupakan penegasan atas kontrak dengan besaran gaji
yang telah disepakati sebelumnya, dan bukan konfirmasi atas besaran gaji yang
lebih rendah sebagai revisi ketentuan dari kontrak.
2.75. Mengajukan klaim atas utang yang terkait dengan kontrak terbuka bagi semua
pekerja sepanjang mereka memiliki kontrak hukum tentang jasa dengan
pemberi kerja. Untuk penerapan kontrak ilegal, lihat Bagian 2.III.E.
65 Young v Queensland Trustees Limited [1956] HCA 51. Lihat Bab 2, Bagian 8.II untuk ringkasan kasus.
66 Ibid.
67 MP-Bilt, supra note 63 di [57].
68 Ibid di [20].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
38
B. Menerapkan janji secara lisan yang dibuat oleh pemberi kerja
2.76. Klien mungkin berkeinginan untuk menerapkan janji lisan yang dibuat oleh
pemberi kerja mereka. Hal ini dapat terjadi jika pemberi kerja menjanjikan klien
secara lisan gaji yang lebih besar daripada yang dinyatakan dalam IPA, dimana
tidak ada satupun perjanjian tertulis yang tersedia; atau jika pemberi kerja
membuat janji lisan di luar kontrak tertulis, seperti pemberian bonus. Alternatif
lainnya, klien mungkin berkeinginan untuk melakukan tuntutan atas kerugian
yang ditimbulkandari misrepresentation (pernyataan yang keliru) yang
dilakukan oleh pemberi kerja. Tantangan dalam kedua kasus tersebut terletak
dalam pembuktian keberadaan dari janji lisan.
i. Mengajukan tuntutan atas utang yang berdasarkan kriteria bahwa
janji lisan yang dibuat oleh pemberi kerja adalah ketentuan lisan
dari kontrak
2.77. Karyawan dapat meminta kembali utang yang terkait kontrak dengan
mengklaim bahwa janji lisan adalah ketentuan oral dari kontrak, ataukontrak
yang sebagian tertulis, sebagian dalam bentuk lisan.
2.78. EA mengakui kontrak lisan dari jasa, baik secara eksplisit maupun implisit.69
pengadilan juga mengakui kontrak pemberian jasa yang sebagian dalam bentuk
lisan dan sebagian dalam bentuk tertulis.70
Elemen
2.79. Untuk mengajukan tuntutan atas utang yang didasarkan pada janji lisan,
penggugat harus menunjukkan bahwa 1) pernyataan tersebut merupakan
penekanan tentang ketentuan khusus dari kontrak dan 2) pernyataan tersebut
besar kemungkinan akan menjadi ketentuan yang disertakan ke dalam
kontrak.71 Kedua elemen ini akan didiskusikan secararinci di bawah ini.
2.80. Menyertakan bukti yang tidak tertulis, janji lisan ke dalam bukti adalah
memungkinkan, sepanjang tidak semua ketentuan telah dituliskan ke dalam
kontrak. Hal ini dikenal sebagai aturan “bukti bebas bersyarat”, dan dilindungi
dalam UU tentang bukti.72 Namun, beberapa kontrak mencakup ketentuan yang
menyatakan bahwa ketentuan tertulis mencakup keseluruhan kontrak (yang
dikenal sebagai pasal “perjanjian keseluruhan”). Dalam kasus yang demikian,
menjadi jauh lebih sulit untuk mengakui ketentuan lisan tambahan.
2.81. Kesaksian yang dilakukan oleh pemberi kerja dan pekerja dianggap mencukupi
untuk membuktikan bahwa ketentuan lisan tentang gaji memang ada. Dalam
69 EA, supra note 4 di s 2(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk naskah teks UU tersebut.
70 Carmichael v National Power Plc, [1999] ICR 1226 [Carmichael]. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus.
71 Andrew B.L. Phang dan Goh Yihan, Contract Law in Singapore, (Singapore: Kluwer Law International, 2012) di para
1009, para 1012 [Phang dan Goh, Contract Law in Singapore].
72 Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed), ss 93-100. Lihat juga also Zurich Insurance (Singapore) Pte Ltd v B-Gold
Interior Design & Construction Pte Ltd [2008] 3 SLR(R) 1029 and Sembcorp Marine Ltd v PPL Holdings Pte Ltd [2013] 4
SLR 193. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
39
kasus sebelumnya, pencarian ketentuan lisan telah dibuat berdasarkan
kesaksian yang diberikan oleh seorang direktur eksekutif73 dan seorang
manajer.74
2.82. Ketentuan lisan juga dapat ditunjukkan oleh tindakan berikutnya. Hal ini tidak
perlu bergantung terhadap ingatan pembicaraan secara jelasnya. Jika kedua
pihak sepakat tentang apa yang mereka pahami sebagai kewajiban yang saling
menguntungkan, bukti ini barangkali dapat dipertimbangkan.75 saling
memahami persetujuan lisan dapat tersirat dari proses penanganan, seperti
pola pembayaran dari sejumlah uang yang dijanjikan selama suatu periode
waktu. Dalam satu kasus, kontrak kerja dapat ditunjukkan dari tindakan tergugat
berikutnya yang mengizinkan penggugat untuk bekerja di tempat kerjanya dan
membayar gaji penggugat selama dua bulan.76
Membedakan ketentuan yang eksplisit dari pernyataan
2.83. Bahkan jika apa yang dijanjikan oleh pemberi kerja dapat ditetapkan dengan
jelas, tidak berarti bahwa hal tersebut telah disertakan ke dalam kontrak.
Keterangan yang dibuat selama negosiasi bisa jadi hanya sebatas pernyataan
saja, atau barangkali termasuk ketentuan kontrak yang mengikat secara hukum.
2.84. Ketentuan adalah janji dimana pemberi kerja memegang tanggung jawab yang
terkait dengan kontrak, sedangkan pernyataan adalah keterangan yang
semata-mata menegaskan kebenaran fakta di masa lalu maupun sekarang, dan
mendorong seseorang agar membuat perjanjian. Pernyataan, jika benar pada
saat itu, tidak mengikat pihak pemberi pernyataan secara hukum dan mereka
dapat menarik kembali pernyataan mereka.77
2.85. Ada sejumlah faktor yang dapat membantu membedakan antara ketentuan dan
pernyataan, termasuk a) keinginan objektif para pihak; b) tahapan transaksi
pada saat pernyataan penting dibuat; c) melakukan ketentuan kontrak secara
tertulis; dan d) pengetahuan khusus yang dimiliki pemberi kerja tentang
pekerjaan tersebut.
a) Keinginan para pihak sebagaimana yang ditentukan secara objektif
2.86. Sekedar menyatakan bahwa fakta memang benar adanya tanpa janji (atau
“jaminan”) atas kebenarannya adalah pernyataan saja. Pemberi kerja harus
berniat memberikan jaminan mereka tentang kebenaran fakta.78
2.87. Jika pernyataan yang dibuat selama pembuatan kontrak dengan tujuan untuk
mendorong klien agar menadatangani kontrak, terdapat alasan prima facie
73 Melaka Farm Resorts (M) Sdn Bhd v Hong Wei Seng, [2004] 6 MLJ 506 di [13] [Melaka Farm Resorts]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus.
74 Ibid.
75 Carmichael, supra note 70.
76 Melaka Farm Resorts, supra note 73.
77 Kleinwort Benson Ltd v Malaysia Mining Corporation BHD [1989] 1 WLR 379. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus.
78 Oscar Chess Ltd v Williams [1957] 1 All ER 325. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
40
(memadai pada kesan pertama) untuk menyimpulkan bahwa pernyataan
ditujukan sebagai jaminan, misalnya bahwa pemberi kerja berniat memberikan
jaminan tentang kebenaran fakta.79
2.88. Pemberi kerja dapat menyangkal kesimpulan ini jika mereka dapat
menunjukkan bahwa pihak mereka tidak bersalah dalam membuat pernyataan
mengingat mereka berada dalam kondisi yang tidak masuk akal untuk terikat
dengan pernyataan tersebut karena mereka tidak berada dalam posisi untuk
mencari kebenaran.80
b) Tahapan transaksi pada saat pernyataan penting dibuat
2.89. Pernyataan tersebut harus direncanakan sebagai ketentuan dari kontrak dan
tidak hanya sebagai selingan saja pada tahap awal negosiasi.
2.90. Jika pernyataan tersebut dibuat mendekati proses pembuatan kontrak,
kemungkinan besar pernyataan tersebut dianggap sebagai ketentuan dalam
kontrak.81
c) Melakukan ketentuan kontrak secara tertulis
2.91. Pertimbangan perlu dilakukan jika pernyataan lisan diikuti dengan melakukan
ketentuan secara tertulis.
2.92. Jika para pihak menghendaki kontrak tersebut sebagai setengah tertulis,
setengah lisan, pernyataan tersebut kemungkinan merupakan jaminan lisan
terhadap kontrak tertulis,82 misalnya terdapat jaminan lisan yang merupakan
bagian dari keseluruhan kontrak. Oleh karena itu, pernyataan lisan dapat
dipertimbangkan sebagai ketentuan lisan dari kontrak, daripada pernyataan
eksternal terhadap kontrak.
d) Pengetahuan khusus dari pemberi kerja
2.93. Jika terdapat informasi yang tidak berimbang, (misalnya salah satu pihak tahu
lebih banyak daripada pihak lainnya) pengadilan cenderung menyalahkan pihak
yang memiliki pengetahuan khusus, yang berada dalam posisi yang lebih baik
untuk menemukan kebenaran.83 hampir semua pemberi kerja selalu memiliki
pengetahuan yang lebih banyak tentang kondisi ketenagakerjaan daripada
karyawan.
2.94. Begitu ketentuan lisan dapat dibuktikan, klien dapat mengklaim utang yang
terkait dengan kontrak berdasarkan ketentuan tersebut.Silakan mengacu ke
Bagian 2.III.A.i. yang membahas tentang melakukan tuntutan atas utang.
79 Dick Bentley Productions v Harold Smith Motors [1965] 2 All ER 65 [Dick Bentley]. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus.
80 Ibid.
81 Bannerman v White [1861] 10 CBNS 844. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
82 Birch v Paramount Estates Ltd [1956] 167 Estates Gazette 396. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
83 Dick Bentley, supra note 79.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
41
Evaluasi untuk tuntutan terhadap utang dalam ketentuan lisan:
2.95. Ketentuan lisan akan lebih mudah dibuktikan jika terdapat bukti seperti slip gaji
dari pembayaran atau rekaman percakapan sebelumnya.
2.96. Bahkan jika klien menjaga kontrak tetap berjalan84 dengan melanjutkan bekerja
meskipun pemberi kerja terus melakukan pelanggaran kontrak dengan
pembayaran yang lebih rendah, klien dapat memperoleh kembali akumulasi tiap
kekurangan pembayaran sebagai utang yang belum terbayarkan setelah
melakukan pekerjaan. Klien tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi klaim
atas utang tersebut.85
2.97. Aturan ini hanya akan membantu klien untuk memperoleh kembali tiap
kekurangan pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukan. Jika penggugat
ingin mengklaim pembayaran mendatang di muka, mereka harus menerima
pembatalan kontrak dan menuntut ganti kerugian, sehingga mereka dihadapkan
pada aturan terkait upaya mitigasi (mengurangi) kerugian yang dialami.
2.98. Pengajuan klaim atas utang yang terkait dengan kontrak terbuka bagi semua
pekerja selama mereka memiliki kontrak kerja yang sah dengan seorang
pemberi kerja. Untuk penerapan kontrak ilegal, lihat Bagian 2.III.E.
ii. Melakukan tuntutan atas kerugian akibat misrepresentation
(penyajian fakta yang keliru) yang dilakukan oleh pemberi kerja
Definisi
2.99. Tuntutan atas misrepresentation barangkali lebih tepat jika pernyataan lisan
bukan merupakan ketentuan kontrak, tetapi pernyataan tentang fakta masa lalu
atau fakta yang ada yang secara material mendorong klien agar
menandatangani kontrak kerja.
Elemen
2.100. Untuk menetapkan misrepresentation, sejumlah elemen berikut harus
ditemukan 1) pernyataan tentang fakta yang dibuat oleh salah satu pihak yang
menandatangani kontrak kepada pihak lainnya; 2) pernyataan tersebut ternyata
palsu; dan 3) pernyataan tersebut secara material telah mendorong pihak yang
tidak bersalah menandatangani kontrak.
1) Pernyataan tentang fakta yang dibuat oleh salah satu pihak yang
menandatangi kontrak kepada pihak lainnya
2.101. Hanya pernyataan tentang fakta yang bisa menjadi operative misrepresentation
(pernyataan operatif yang keliru). Pernyataan tentang fakta harus dibedakan
dengan pernyataan tentang keinginan, pernyataan tentang opini, yang
dijelaskan di bawah ini, begitu juga sales puffs (iklan yang berlebihan tentang
84 MP-Bilt, supra note 63 di [57].
85 Ibid di [20].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
42
kualitas produk atau jasa).86 Beberapa faktor terkait yang menentukan apa yang
dianggap sebagai pernyataan tentang fakta mencakup: pengetahuan para
pihak yang menandatangani kontrak, posisi relatif dari para pihak yang
menandatangani kontrak, kata-kata yang digunakan, dan hakikat permasalahan
dalam kontrak.
Membedakan pernyataan tentang fakta dengan pernyataaan tentang opini
2.102. Pernyataan tentang opini adalah pertimbangan subyektif yang tidak
menyatakan kebenaran permasalahan. Pernyataan ini tidak dapat
dipersalahkan meskipun jika opini tersebut ternyata tidak akurat.87
2.103. Misalnya, pernyataan yang dibuat oleh agen dimana menurut pandangan
mereka sendiri, pihak pemberi kerja tersebut adalah seseorang yang baik,
hanyalah ungkapan opini saja, jika agen tersebut jujur.
2.104. Perkecualian adalah jika ada ketimpangan pengetahuan yang membuat
pengadilan akan menyiratkan pernyataan faktual yang masuk akal untuk opini
yang demikian.88
2.105. Jika agen membuat pernyataan yang sama seperti di atas, meskipun
mengetahui bahwa pemberi kerja tidak dapat membayar gaji karyawan mereka
selama beberapa bulan, pernyataan agen tersebut kemungkinan dapat dituntut
berdasarkan kenyataan bahwa agen secara tersirat menyatakan bahwa dia
mengetahui fakta yang mendukung opininya.
Membedakan pernyataan tentang fakta dengan pernyataan tentang itikad
2.106. Pernyataan tentang fakta mengacu pada fakta masa lalu atau fakta yang ada,
sedangkan pernyataan tentang itikad atau prediksi mengacu pada kelakuan di
masa mendatang dan biasanya tidak dapat dituntut sebagai misrepresentation.
2.107. Pemberi kerja mungkin menyatakan bahwa akan ada kerja lembur untuk
karyawan setiap minggu. Pernyataan ini hanyalah prediksi dari pekerjaan yang
ada, dan tidak menjamin adanya kerja lembur bagi karyawan.
2.108. Namun, pernyataan tentang keinginan bisa merupakan janji, dan jika
pernyataan tersebut menjadi ketentuan kontrak, ketidakmampuan pemberi
kerja untuk melaksanakannya dapat dianggap sebagai pelanggaran. Lihat
Bagian 2.III.B.i. tentang pengajuan gugatan atas utang berdasarkan ketentuan
lisan dari kontrak.
2.109. Yang tertera dalam pernyataan tentang keinginan adalah pernyataan tentang
fakta yang secara tersirat mewakili pemikiran pemberi kerja. Jika pemberi kerja
telah menunjukkan secara salah (misalnya berbohong tentang) itikad dia pada
saat pernyataan dibuat, maka terdapat pernyataan yang salah dari fakta yang
ada, yang dapat dikategorikan sebagai misrepresentation dan oleh karena itu
86 Deutsche Bank AG v Chang Tse Wen [2012] SGHC 248 [Deutsche Bank]. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan
kasus.
87 Bisset v Wilkinson [1927] AC 177 NZ Privy Council. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
88 Smith v Land & House Property Corporation [1884] 28 Ch D 7. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
43
dapat digugat.89
2) Pernyataan tersebut ternyata palsu
2.110. Pada umumnya, pasti terdapat pernyataan tentang fakta yang salah yang
merupakan pernyataan keliru yang operatif.
Separuh kebenaran merupakan misrepresentation
2.111. Pernyataan yang benar, tetapi mengabaikan fakta material sehingga
menciptakan kesan yang salah yang menyesatkan klien dapat menjadi operatif
misrepresentation (pernyataan keliru yang operatif).90
Kewajiban yang berkelanjutan untuk mengoreksi pernyataan ketika
kondisi berubah
2.112. Ada kewajiban yang berkelanjutan untuk mengoreksi pernyataan jika kondisi
mengalami perubahan yang akan membuat pernyataan salah. Tidak melakukan
apa-apa dapat dianggap sebagai operatif misrepresentationapabila kewajiban
untuk mengungkapkan atau mengoreksi timbul.91
Misrepresentation dapat ditelusuri melalui perilaku
2.113. Misrepresentation secara tersirat dapat disimpulkan dari perilaku pemberi
kerja.92
Pencegahan fakta material secara sengaja dapat dianggap sebagai
misrepresentation
2.114. Meskipun tidak melakukan apa-apa pada umumnya tidak dapat dianggap
sebagai operatif misrepresentation (pernyataan keliru yang operatif) jika tidak
ada kewajiban untuk mengungkapkan, tidak melakukan apa-apa dapat
dikategorikan sebagai misrpresentationjika terdapat upaya secara aktif untuk
merahasiakan fakta-fakta penting yang jika diungkapkan akan membuat
pernyataan menjadi tidak benar.93
3) Dorongan material
2.115. Setiap pernyataan yang palsu dari pemberi kerja secara material telah
mendorong karyawan untuk menandatangani kontrak. Pernyataan tersebut
seharusnya tidak menjadi satu-satunya dorongan; dorongan seharusnya
relevan dengan kontrak.
2.116. Terdapat dorongan jika klien:
89 Deutsche Bank, supra note 86; Edgington v Fitzmaurice [1885] 29 Ch D 459. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan
kasus.
90 Dimmock v Hallett [1866] 2 Ch App 21. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
91 With v O’Flanaghan [1936] Ch 575. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
92 Spice Girls Ltd v Aprilla World Service BV [2002] EMLR 27. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
93 Trans-World (Aluminium) Ltd v Cornelder China (Singapore) [2003] 3 SLR 501. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
44
a) Sadar atas pernyataan tersebut;
b) Tidak tahu bahwa pernyataan tersebut tidak benar;
c) Mengacu pada pernyataan;94 dan
d) Tidak memiliki dasar yang yang masuk akal untuk
meragukankeakuratan dari pernyataaan. Fakta bahwa klien seharusnya
dapat melakukan verifikasi atas keakuratan dari pernyataan bukan hal
yang fatal terhadap klaim.95
Penyelesaian
2.117. Dua penyelesaian yang tersedia jika pernyataan yang keliru telah terbukti:
1) Klien dapat membatalkan kontrak sebagai akibat dari pernyataan yang
keliru.
2) Karyawan dapat menuntut ganti rugi berdasarkan dorongan untuk
menandatangani kontrak akibat pernyataan yang keliru.
2.118. Terdapat beberapa jenis pernyataan yang keliru dan didiskusikan di bawah ini.
Diantaranya adalah: 1) fraudulent misrepresentation (pernyataan yang keliru
karena kecurangan); 2) negligent misrepresentation (pernyataan yang keliru
karena kelalaian); 3) tindakan hukum tertulis atas pernyataan yang keliru karena
kelalaian; dan 4) penyataan keliru yang tidak bersalah. Penyelesaian tersedia
bagi klien tergantung pada jenis penyataan keliru yang ditemukan.
1) Misrepresentation: fraudulent misrepresentation
Definisi
2.119. Fraudulent misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kecurangan),
atau kesalahan karena melakukan penipuan, berdasarkan tort law adalah
penyebab timbulnya tuntutan hukum.
2.120. Fraudulent misrepresentation adalah “membuat pernyataan palsu secara
sengaja dengan tujuan agar klien bertindak berdasarkan hal tersebut sehingga
mereka melakukannya dan mengakibatkan kerugian.”96
Elemen
2.121. Pernyataan palsu seharusnya dibuat dengan sadar;
a) Tanpa keyakinan atas kebenarannya; atau
b) Tanpa mempedulikan apakah hal tersebut benar atau salah.97
94 Holmes v Jones (1907) 4 CLR 1692; Leow Chin Hua v Ng Poh Buan [2005] SGHC 39. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus.
95 Redgrave v Hurd [1881] 20 Ch D 1; Jurong Town Corporation v Wishing Star Ltd [2005] 3 SLR 283 SGCA. Lihat Bab
2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus tentang Redgrave v Hurd.
96 KEA Holdings Pte Ltd v Gan Boon Hock, [2000] 2 SLR(R) 333.
97 Derry v Peek [1889] 14 App Cas 337. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
45
Penyelesaian
2.122. Ada dua penyelesaian yang tersedia bagi klien: a) membatalkan kontrak dan
meminta uang yang dibayarkan berdasarkan pernyataan yang keliru; dan b)
mengklaim seluruh kerugian yang diakibatkan oleh pernyataan yang keliru.
a) Penyelesaian untuk fraudulent misrepresentation: membatalkan
kontrak dan memulihkan reliance interest
2.123. Pembatalan kontrak menganggap seakan-akan perjanjian tersebut tidak pernah
ada, dengan penyelesaian yang ditujukan untuk mengembalikan secara
finansial posisi para pihak pada posisi sebelum kontrak.
2.124. Kontrak yang dibatalkan dalam konteks ini adalah kontrak kerja antara pihak
pemberi kerja dan klien. Jumlah uang yang akan dikembalikan seharusnya
dibayar berdasarkan pada kebergantungan (reliance) terhadap
misrepresentation yang telah dibuat. Oleh karena itu, apa yang dapat diperoleh
kembali tergantung pada waktu dimana misrepresentationtersebut dibuat oleh
pemberi kerja terhadap klien.
2.125. Jika pemberi kerja menghubungi klien secara langsung ketika mereka masih
berada di negara asal dan membuat misrepresentation pada saat itu, klien
dapat memperoleh kembali biaya berikut:
Biaya pemusatan latihan;
Biaya transportasi; dan
Biaya lainnya yang dibayarkan kepada pemberi kerja atau Kemenaker
pada saat tiba di Singapura.
2.126. Namun, kasus yang lebih sering terjadi adalah mula-mula klien menghubungi
agen pengerah jasa tenaga kerja di negara asal mereka, bukan secara
langsung menghubungi pemberi kerja. Dalam situasi ini, masih menjadi
perdebatan apakah pemberi kerja masih bertanggung jawab atas pernyataan
yang keliru karena curang sebabadanya hubungan prinsip antara pihak agen
tenaga kerja dan pemberi kerja.
2.127. Agensi adalah hubungan yang timbul jika seseorang (agen) bertindak untuk
pihak lain (prinsipal). Melalui tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga dapat
membuat hubungan kontraktual. Agen tersebut memiliki kekuatan yang
sedemikian karena prinsipal telah memberikan wewenangnya kepada agen
untuk melakukan tindakan yang diperlukan dan agen telah menyepakatinya.
2.128. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa agen tenaga kerja adalah agen yang
bertindak antara klien (pihak ketiga) dan pemberi kerja (prinsipal).
2.129. Oleh karena itu, jika agen bertindak dalam wewenang pemberi kerja, pemberi
kerja dapat dianggap bertanggung jawab atas setiap pernyataan keliru yang
dibuat oleh agen tenaga kerja. Jika demikian, selain biaya yang tersebut di atas,
pemberi kerja juga bertanggung jawab atas biaya agen, yang dibayarkan
berdasarkan pernyataan palsu yang dibuat oleh agen tenaga kerja yang berada
dalam wewenang pemberi kerja. Sebagai catatan bahwa pada saat publikasi,
argumen hukum ini masih belum diujicobakan dalam konteks ini di pengadilan
Singapura. Jadi, litigasi strategis akan diperlukan untuk menentukan apakah hal
ini merupakan garis argumen yang dapat dipertahankan di pengadilan.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
46
2.130. Jika tidak ada hubungan prinsipal-agen yang dapat ditetapkan antara agen
tenaga kerja dan pemberi kerja, atau agen tersebut bertindak di luar wewenang
pemberi kerja, pemberi kerjatidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
pernyataan keliru yang dibuat oleh agen tenaga kerja. Klaim terhadap
pernyataan yang keliru karena kecurangan dapat dilakukan terhadap agen
tenaga kerja secara langsung. Dalam kasus yang demikian, kesalahan agensi
harus dibuktikan.98 Alternatif lainnya, klien dapat melakukan klaim atas
pelanggaran janji yang dilakukan oleh agen tenaga kerja yang bertindak dalam
wewenang pemberi kerja.
2.131. Dalam kasus tersebut, klaim klien terhadap pemberi kerja akan terbatas pada
pernyataan keliru yang dibuat oleh pemberi kerja itu sendiri ketika klien berada
di Singapura. Tiap biaya yang dikeluarkan di negara asal menjadi tidak bisa
diperoleh kembali di Singapura (meskipun ada kemungkinan dapat diperoleh
kembali di negara asal klien). Klien hanya dapat melakukan klaim atas sejumlah
uang yang telah dibayarkan setelah pernyataan yang keliru dari pemberi kerja.
2.132. Untuk membatalkan kontrak, klien harus secara jelas dan tegas
mengkomunikasikan keputusan mereka untuk membatalkan kontrak kepada
pemberi kerja. Komunikasi tentang pembatalan kontrak dapat dilakukan secara
eksplisit atau implisit, dan melalui tindakan, tetapi jika memungkinkan, pekerja
harus berusaha untuk membawa bukti dari pembicaraan dengan:
Rekaman suara pembicaraan; atau
Video pembicaraan tersebut; dan
Memastikan salah satu pihak menyebutkan nama dan identifikasi mereka.
Batas pembatalan
2.133. Batasan terhadap pembatalan kontrak adalah:
i. Klien mengiyakan (misalnya memberikan persetujuan terhadap) kontrak
setelah menyadari adanya kepalsuan dari pernyataan yang keliru;
ii. Adanya ketidakmungkinan atas ganti rugi; atau
iii. Jika hak untuk membatalkan tidak digunakan dalam rentang waktu yang
memungkinkan.
2.134. Jadi, ketika klien mencari bantuan hukum, tindakan untuk membatalkan kontrak
harus dilakukan sesegera mungkin setelah menemukan bahwa pemberi kerja
telah menyalahi ketentuan ketenagakerjaan. Jika klien menjalani kontrak
dengan bekerja meskipun memahami tentang adanya pernyataan yang keliru
dari pemberi kerja, tindakannya dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan
atas kontrak, misalnya menyetujui kontrak meskipun terdapat pernyataan yang
keliru.
b) Penyelesaian terhadap fraudulent misrepresentation: Klien dapat
mengklaim seluruh kerugian yang diakibatkan dari
misrepresentation
2.135. Kerugian atas fraudulent misrepresentationdapat diklaim meskipun kontrak
98 MP-Bilt, supra note 63 di [21].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
47
tersebut dibatalkan.99
2.136. Pemberian ganti rugi akibat fraudulent misrepresentationditujukan untuk
menempatkan penggugat berada dalam posisi dimana jika pelanggaran hukum
tidak dilakukan. Klien dapat memperoleh kembali kerugian yang seharusnya
dapat mereka hindari jika pihak pemberi kerja berlaku jujur, termasuk kerugian
langsung dan yang diakibatkannya100 sebagai dampak dari
misrepresentation.101 Hal ini mencakup seluruh kerugian yang diakibatkan
secara langsung dari klien yang menandatangani kontrak berdasarkan
fraudulent misrepresentation, tanpa menghiraukan apakah kerugian yang
sedemikian dapat diperkirakan.102
2) Misrepresentation: tuntutan hukum atas negligent
misrepresentation
2.137. UU tentang Misrepresentation (Misrepresentation Act) melengkapi negligent
misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kelalaian) yang berada di
bawah tort law.
Elemen
2.138. Klien harus membuktikan bahwa:
a)Mereka menandatangani kontrak akibat misrepresentation; dan
b)Mereka mengalami kerugian sebagai akibatnya.
2.139. Setelah memenuhi elemen-elemen ini, agen atau pemberi kerja akan
menanggung beban untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai alasan
yang masuk akal untuk meyakini, dan benar-benar meyakini hingga saat
kontrak dibuat, bahwa pernyataan mereka adalah benar.103
Penyelesaian
2.140. Untuk tindakan yang melanggar hukum, klaim ini memberikan hak kepada
penggugat atas tingkat kerugian yang sama sebagaimana fraudulent
misrepresentation.104 Tidak seperti kerugian akibat pelanggaran hukum yang
disebabkan oleh kecerobohan, klaim yang berada di bawah Misrepresentation
Act tidak dibatasi oleh apakah kerugian tersebut dapat diperkirakan oleh
99 Phang dan Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 510.
100 Kerugian langsung adalah kerugian yang secara langsung sebagai akibat dari pelanggaran perjanjian, sedangkan
consequential remedies (konsekuensi upaya penyelesaian yang timbul) adalah kerugian dimana para pihak
kemungkinan telah menganggap bahwa hal itu terjadi sebagai akibat dari pelanggaran tersebut. Contohnya, kerugian
langsung karena keterlambatan kontraktor dalam menyelesaikan proyek yang melanggar kontrak adalah biaya yang
harus dikeluarkan untuk menyelesaikan proyek tersebut, sedangkankonsekuensi kerugian yang muncul adalah
kerugian dalam pendapatan usaha karena lambatnya penyelesaian proyek.
101 Wishing Star Ltd v Jurong Town Corp [2008] 2 SLR(R) 909 [21] – [26].
102 Ibid, di [28].
103 Misrepresentation Act (Cap 390, 1994 Rev Ed Sing), s 2(1).
104 Ibid.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
48
pemberi kerja atau agen.
2.141. Pemutusan kontrak dapat dikabulkan dengan kebijaksanaan pengadilan
(court’s discretion) dan tergantung pada batasan yang tercantum dalam
paragraf 2.129.
3) Misrepresentation: innocent misrepresentation
2.142. Jika misrepresentation dibuat tanpa kesalahan yang masuk dalam kategori
fraudulent misrepresentationataunegligent misrepresentation, pengadilan
memiliki keleluasaan untuk mengizinkan agar kontrak tersebut diputuskan atau
memberikan ganti rugi akibat dari pemutusan tersebut.105
Evaluasi untuk melakukan tuntutan atas misrepresentation
2.143. Misrepresentation akan berguna jika pernyataan yang dibuat terlalu samar
untuk dianggap sebagai ketentuan kontrak yang dapat diterapkan.
2.144. Tindakan atas misrepresentation dapat dilakukan jika bukti dari pernyataan
aktual oleh pemberi kerja tersedia, seperti rekaman dari percakapan aktual. Hal
ini memerlukan bukti dari pernyataan aktual yang dibuat, yang lebih sulit untuk
ditunjukkan daripada ketentuan lisan yang dapat tersirat dari kebiasaan perilaku
yang konsisten.
2.145. Penyelesaian dari pemutusan kontrak dapat terhambat jika jangka waktu yang
masuk akal telah terlewati dan ada perilaku yang dapat diambil sebagai
persetujuan atas kontrak.
C. Pembatalan kontrak
2.146. Pekerja kemungkinan dipaksa untuk menandatangani kontrak baru dengan
ketentuan yang kurang menggembirakan setelah tiba di Singapura. Klien
mungkin berkeinginan untuk membatalkan kontrak yang dilakukan dalam
kondisi terpaksa untuk menerapkan kontrak yang lebih menguntungkan yang
telah ditandatangani sebelumnya.
i. Pembatalan kontrak yang dibuat berdasarkan tekanan ekonomi
2.147. Pemaksaan adalah faktor yang membuat kontrak dapat dibatalkan. Tekanan
ekonomi adalah bentuk pemaksaan yang paling umum yang dilakukan terhadap
buruh migran.
2.148. Tekanan ekonomi terjadi paling sering dalam bentuk modifikasi kontrak
unilateral, dimana pemberi kerja mengancam akan melanggar kontrak yang ada
kecuali klien sepakat untuk melakukan perubahan kontrak dengan menerima
pembayaran yang lebih kecil daripada apa yang dijanjikan sebelumnya.
Elemen
2.149. Terdapat dua elemen yang dibutuhkan untuk membuktikan adanya tekanan
105 Ibid, s 2(2).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
49
ekonomi:106
1) Ancaman atau permintaan yang menyertai ancaman yang dibuat oleh
pemberi kerja dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga
tekanan tersebut dianggap melawan hukum;
2) Klien terpengaruh oleh ancaman tersebut sehingga tindakan mereka
dilakukan secara terpaksa.107
2.150. Jika pemberi kerja mengancam akan melanggar kontrak kerja, bukti atas
ketidakjujuran dapat menjadi faktor penting dalam menyimpulkan adanya
tekanan yang bersifat melawan hukum.108 Ancaman yang lebih ditujukan untuk
memanfaatkan posisi tawar klien yang lemah daripada memecahkan masalah
finansial atau masalah lainnya dari pemberi kerja adalah salah satu bentuk
itikad buruk.109
2.151. Meskipun demikian, ancaman pemberi kerja yang sah menurut hukum untuk
memutuskan kontrak sesuai dengan EA bisa saja menjadi tidak sah dan
dianggap ‘lawful act duress’(tindak pemaksaan yang sah secara hukum) jika:
1) Ancaman melibatkan penyalahgunaan proses hukum;
2) Permintaan tidak dibuat dengan niat baik;
3) Permintaan dipandang tidak masuk akal; atau
4) Ancaman dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral.110
2.152. Namun, pengadilan-pengadilan di Singapura berhati-hati dalam menyatakan
suatu tindak pemaksaan yang sah secara hukum sebagai perbuatan yang
melawan hukum. Jika ancaman pemutusan kontrak sendiri adalah sah,
tindakan tersebut akan relatif jarang dianggap sebagai tidak sah sehingga dapat
digolongkan sebagai bentuk pemaksaan.111
2.153. Pilihan untuk membatalkan kontrak tergantung pada batasan yang ada
terhadap pemutusan kontrak. Lihat Bagian 2.133.
D. Menerapkan kontrak yangditandatangani di luar negeri
2.154. Pekerja dapat menandatangani kontrak di negara asal mereka. Kontrak ini bisa
dengan pemberi kerja atau agen tenaga kerja di Singapura, yang menetapkan
beberapa ketentuan pekerjaan tertentu yang ingin diterapkan oleh klien.
2.155. Permasalahan utama adalah apakah Singapura mempunyai yurisdiksi untuk
menerapkan kontrak yang ditandatangani di luar negeri. Dua konsep pokok
106 Phang and Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 562.
107 Huyton SA v Peter Cremer GmbH & Co [1998] EWHC 1208 (Comm).
108 Nicholas Seddon, Cheshire & Fifoot’s Law of Contract/ Cheshire & Fifoot’s Law of Contract, 9th ed (Chatswood,
N.S.W: LexisNexis Butterworths, 2008) di 708.
109 A.S. Burrows, The Law of Restitution, 2nded (UK: Butterworths, 2002) di 233.
110 4 faktor ini diaplikasikan oleh Pengadilan Tinggi SingapurapadaTam Tak Chuen v Khairul bin Abdul Rahman and
Others [2009] 2 SLR 240; [2008] SGHC 242. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus.
111 E C Investment Holding Pte Ltd v Ridout Residence Pte Ltd and another (Orion Oil Limited and another, Interveners)
[2010] SGHC 270 di [48]-[59].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
50
yang mendasari penentuan yurisdiksi dalam sengketa lintas-batas adalah:
1) Harus ada hubungan-hubungan hukum yang mengaitkan antara kasus
tersebut atau tergugat (dalam hal ini, pemberi kerja) dan Singapura agar
keberadaan yurisdiksi dapat tercipta; dan
2) Singapura harus menjadi tempatatau forum yang paling tepat untuk
sengketa tersebut, dengan mempertimbangkan tingkat hubungan
hukum antara kasus tersebut dan Singapura, dibandingkan dengan
tingkat keterkaitan yang mungkin ada antara kasus tersebut dan negara-
negara lainnya.112
2.156. Yurisdiksi pengadilan ditentukan olehproper law of the contract(hukum yang
berlaku adalah yang banyak memiliki hubungan hukum dengan kontrak). Ada
tiga cara dalam menentukan proper law of the contract:
1) Jika para pihak yang menandatangani kontrak telah memilih dengan
jelas yurisdiksi untuk mengatur kontrak, hal itu akan menjadi proper law
yang subjektif, kecuali jika pilihan tidak dibuat dengan iktikad yang
baik.113 Pengeculian tersebut diartikan secara sempit. Pilihan pada
sistem hukum yang tidak ada hubungan hukum, bukan dengan
sendirinya dianggap sebagai sesuatu yang melanggar.
2) Jika para pihak tidak membuat pilihan yang jelas, pengadilan dapat
membuat pilihan sesuai dengan kontrak tersebut serta kondisi yang ada
pada saat pembuatan kontrak.
3) Jika pengadilan tidak menemukan adanya pilihan dari para pihak sesuai
dengan poin 1) dan 2), makasistem hukum yang dianggap tepat untuk
diberlakukan adalah hukum dari suatu negara atau sistem hukum yang
memiliki hubungan paling dekat dan paling nyata dengan transaksi dan
para pihak tersebut, yaitu proper law yang obyektif.114
2.157. Proper law pada poin 3) di atas ditentukan berdasarkan analisa yang lazimnya
digunakan untuk fakta objektif dalam pendekatan common law untuk
menentukan keinginan objektif dari para pihak. Keinginan subjektif para pihak
dalam hal ini tidak relevan.
i. Menerapkan pilihan dari kesepakatan pengadilan
2.158. Kontrak dapat memasukkan pasal tentang pilihan pengadilan (choice of court)
yang menjadi dasar untuk menetapkan Singapura sebagai wilayah yurisdiksi.
Kesepakatan tentang pilihan yang dibuat pengadilan ini mempunyai dua fungsi
yang berbeda, yaitu sebagai kesepakatan yurisdiksi secara non-eksklusif atau
eksklusif.
112 Yeo Tiong Min, Ch. 06 The Conflict of Laws, online: SingaporeLaw.sg <http://www.singaporelaw.sg/sglaw/>di para
6.2.1 [Yeo, The Conflict of Laws].
113 Peh Teck Quee v Bayerische Landesbank Girozentrale [2000] 1 SLR 148, [1999] SGCA 79 [Peh].
114 Yeo, The Conflict of Laws, supra note 112 di para 6.3.8.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
51
1) Kesepakatan yurisdiksi non-eksklusif.
2.159. Para pihak dapat mencapai kesepakatan untuk tunduk pada yurisdiksi
pengadilan Singapura. Jika pasal tentang yurisdiksi non-eksklusif menetapkan
wilayah yurisdiksi yang lain, maka sifat dari kesepakatan tersebut tidak
mencegah untuk dimulainya tindakan hukum di Singapura.115
2) Kesepakatan yurisdiksi eksklusif.
2.160. Apabila tercantum pasal yang sah tentang pilihan pengadilan di dalam kontrak,
maka pengadilan sebagai langkah awal akan memberlakukan pasal tersebut
sebagai upaya untuk menegakkan kontrak.116
2.161. Jika Singapura adalah wilayah yurisdiksi yang telah ditetapkan, maka pemberi
kerja atau agen harus membuktikan adanya alasan kuat kenapa mereka
diperbolehkan untuk melakukan pelanggaran kontrak dan mencegah
dimulainya proses persidangan di Singapura. Sebaliknya, apabila tidak ada
ketetapan bahwa Singapura menjadi wilayah yurisdiksi, maka klien harus
mempunyai alasan kuat kenapa klien diperbolehkan untuk menuntut terjadinya
wanprestasi.117
2.162. Apabila pemberi kerja atau agen sepakat bahwa pengadilan Singapura
mempunyai yurisdiksi untuk menangani kasus sengketa, maka pengadilan
Singapura akan mempunyai yurisdiksi atas dasar bahwa para pihak sepakat
untuk tunduk pada yurisdiksi pengadilan Singapura.118
2.163. Apabila yurisdiksi local dari pengadilan telah ditetapkan, klien dapat memulai
proses memperkarakan tuntutannya. Proses ini akan berbeda tergantung sifat
dari hubungan klien dengan pihak yang satunya di dalam kontrak. Jika kontrak
ditandatangani bersama dengan pemberi kerja, klien dapat mengajukan
tuntutan atas utang sesuai dengan ketentuan dalam kontrak tersebut. Jika
kontrak ditandatangani bersama dengan agen pengerah tenaga kerja, maka
yang dapat dituntut adalah kerugian akibat terjadinya wanprestasi.
E. Menerapkan kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki izin kerja yang sah
2.164. Kontrak yang melanggar EFMA akan menjadi kontrak ilegal yang pada
umumnya akan diperlakukan sebagai tidak sah dan tidak dapat diterapkan
karena berada dalam kategori ilegal.119 Begitu kontrak dipastikan oleh
pengadilan secara jelas atau secara tersirat melanggar UU, maka tidak akan
ada pemulihan hak dalam bentuk apapun, terlepas dari kesalahan apapun yang
115 Ibid di para 6.2.13.
116 Halsbury's Laws of Singapore, Volume 6(2), (Singapore: LexisNexis, 2014) di para 75.119.
117 Yeo, The Conflict of Laws, supra note 112 di para 6.2.13.
118 Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing), s 16(1)(b) [SJCA] dan Rules of Court (Cap 322, R 5,
2014 Rev Ed Sing), 0 10 r 3 [RC] jika metode penetapan yurisdiksi ditentukan dalam kontrak, dan SJCA, s 16(1)(a)(ii)
dan RC o 11 r1(d)(IV) jika tidak diberikan metode penetapan yurisdiksi dalam kontrak.
119 Asiawerks Global Investment Group Pte Ltd v Ismail Bin Syed Ahmad [2004] 1 SLR 234 di para 45. Lihat Bab 2,
Bagian 8.V Untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
52
mungkin dilakukan para pihak.120 Perlindungan hak minimum sesuai dengan EA
juga tidak berlaku jika kontrak dinyatakan tidak sah.121
2.165. Klien mungkin saja tertipu untuk menandatangani kontrak illegal, dimana
pemberi kerja melakukan kecurangan dalam hal izin kerja atau secara tidak sah
menempatkan klien di perusahaan atau lokasi kerja lain.
2.166. Skenario yang umum terjadi melibatkan pemberi kerja yang terus
mempekerjakan tenaga kerja asing meskipun setelah izin kerja mereka telah
dicabut. Mempekerjakan tenaga asing tanpa izin kerja yang sah adalah suatu
pelanggaran di bawah EFMA.122
2.167. Bentuk perbuatan melawan hukum lainnya adalah penipuan dalam
menyebutkan atau memberi informasi tentang gaji pekerja. Melalui cara
penipuan ini, pemberi kerja lebih memilih untuk mengurus kartu kerja S-Pass
untuk pekerja daripada izin kerja yang seharusnya menjadi dokumen yang lebih
tepat dipunyai pekerja. Hal ini karena kartu S-Pass mensyaratkan gaji minimum
yang lebih tinggi dibanding izin kerja, dan pemberi kerja dapat memberi
pernyataan palsu tentang gaji sehingga memenuhi ambang batas gaji tersebut,
kemudian mengurangi sebagian dari gaji pekerja setiap bulan. Memberikan
informasi yang salah merupakan pelanggaran berdasarkan EFMA.123 Klien
akan berada dalam golongan ini, terutama jika pemberi kerja mereka telah
dinyatakan bersalah melakukan penipuan dengan memberikan informasi salah
tentang gaji pekerja.
2.168. Pemberi kerja dapat memanfaatkan situasi seperti ini dan mengaku terjadinya
hal yang melawan hukum sebagai bentuk pembelaan terhadap tuntutan klien
untuk melakukan pembayaran.
2.169. Namun demikian, dalam perkara pidana Pengadilan Tinggi memutuskan agar
pemberi kerja membayar ganti rugi kepada pembantu rumah tangga asing
untuk masa kerja tanpa adanya izin kerja yang sah. Pada saat itu, pekerja asing
tersebut tidak menyadari jika izin kerjanya dicabut, sehingga dinyatakan tidak
bersalah atas pelanggaran apapun.124
2.170. Putusan pengadilan ini menunjukkan bahwa tidak bersalahnya klien tersebut
merupakan faktor penentu dari ditegakkannya kontrak di pengadilan perdata.125
Meskipun belum teruji, dapat dikatakan bahwa kontrak kerja yang mana pekerja
telah ditempatkan secara illegal atau yang mana informasi salah tentang gaji
telah diberikan dengan sendirinya bukan sesuatu yang illegal. Sebaliknya, suatu
kontrak menjadi ilegal karena dilaksanakan secara tidak sah atau untuk tujuan
yang ilegal. Berdasarkan common law, jika kontrak itu sendiri tidak dilarang oleh
UU, maka pihak yang tidak bersalah yang tidak mengetahui atau tidak
120 Phang and Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 854, citing Sinnathamby Rajespathy v Lim Chong
Seng [2002] 2 SLR(R) 608.
121 Chandran, Annotated EA, supra note 6 di 29.
122 EFMA, supra note 5, s 5(1).
123 Ibid, s 22(1)(d).
124 Public Prosecutor v Donohue Enilia [2005] 1 SLR 220. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII Untuk ringkasan kasus.
125 Chandran, Annotated EA, supra note 6 di 29.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
53
menyetujui hal yang tidak sah tersebut masih dapat memulihkan haknya sesuai
dengan kontrak.
2.171. Tiga prinsip berikut ini berlaku pada ketidakabsahan kontrak:126
1) Jika kontrak dilarang oleh UU, secara eksplisit maupun implisit, atau
bertentangan dengan kebijakan publik, maka kontrak dianggap batal.
2) Jika pada saat kontrak dibuat, ada keinginan untuk melaksanakan
kontrak dengan cara yang melawan hukum, maka kontrak tidak dapat
diberlakukan oleh pihak yang mempunyai niat yang sedemikian.
3) Penggugat tidak dapat memulihkan haknya sesuai kontrak, jika untuk
membuktikan klaimnya, penggugat harus mengandalkan
perbuatannya sendiri yang tidak sah – terlepas dari ketidakbersalahan
atau ketidaktahuannya.
2.172. Prinsip-prinsip ini dapat lebih menyulitkan klien yang tidak mempunyai izin kerja
yang sah untuk mengajukan tuntutan. Kontrak dapat dianggap sebagai kontrak
kerja untuk pekerja asing tanpa izin kerja, sehingga kontrak menjadi tidak sah
dalam pembuatannya. Selain itu, klien harus mengandalkan pada perbuatan
tidak sahnya (yaitu bekerja tanpa izin kerja yang resmi) untuk memperkarakan
tuntutannya.
2.173. Berikut ini menyajikan rincian tentang dua tuntutan alternatif yang dapat
diajukan klien tanpa harus bersandar pada kontrak ilegal tersebut. Hal-hal di
bawah ini adalah pelanggaran terhadap kontrak kolateral (collateral contract),
atau adanya ganti kerugian atas manfaat yang telah diterima oleh pemberi kerja
dan karena itu telah memperkaya pemberi kerja secara tidak adil.
i. Menuntut kerugian karena pelanggaran collateral contract
2.174. Pemberi kerja yang tidak mengurus iIzin kerja resmi untuk klien telah ingkar janji
(baik itu dinyatakan secara eksplisit atau implisit) untuk mendapatkan izin kerja
yang seharusnya untuk pekerjanya. Janji ini merupakan suatu collateral
contract. Klien menandatangani kontrak kerja dengan pemberi kerja atas dasar
percaya bahwa pemberi kerja telah mengurus (atau mengurus) izin kerja yang
diperlukan. Karena janji tersebut diingkari, maka klien dapat menuntut kerugian,
biasanya untuk biaya yang dikeluarkan agar klien tersedia untuk bekerja.
Berbagai pengeluaran ini dapat meliputi: biaya agen, biaya transportasi, biaya
pelatihan dan ongkos lainnya yang dibayarkan kepada pemberi kerja atau
Kemenaker.
2.175. Pekerja yang tertipu untuk mau bekerja tanpa izin kerja resmi dan kemudian
melakukan kesalahan di bawah EFMA dapat berusaha untuk mendapatkan
ganti rugi. Pekerja harus membuktikan terjadinya penipuan, atau wanprestasi
oleh pemberi kerja, dan pekerja tidak dinyatakan bersalah atas kelalaian ketika
menandatangani kontrak atau bekerja sesuai dengan ketentuan dalam
kontrak.127 Selain itu, jika pada suatu ketika klien menyadari akan hal yang ilegal
tersebut namun tetap saja bekerja, klien mungkin tidak dapat menuntut ganti
126 Ting Siew May v Boon Lay Choo [2014] 3 SLR 609. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII Untuk ringkasan kasus.
127 Strongman (1945) Ltd v Sincock, [1955] 2 QB 525. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
54
rugi.
ii. Menuntut ganti rugi atas manfaat yang secara tidak adil telah
memperkaya pemberi kerja
2.176. Pada akhirnya, pekerja dapat memperjuangkan ganti rugi terhadap manfaat
yang telah diberikan kepada pemberi kerja sesuai kontrak. Dengan kata lain,
jika pemberi kerja mengambil manfaat dari kerja yang dilakukan pekerja, maka
pekerja dapat mengklaim besaran nilai dari manfaat tersebut. Beban
pembuktian terletak pada pekerja untuk membuktikan bahwa pemberi kerja
telah diperkaya secara tidak adil diatas penderitaan pekerja. Ganti rugi yang
akan diberikan sebesar jumlah yang wajar untuk jasa yang diberikan, yaitu
quantum meruit.
Elemen
2.177. Dua kondisi yang membuat suatu tuntutan ganti rugi dikabulkan:
1) Kesalahan klien harus lebih sedikit dari kesalahan yang dilakukan
pemberi kerja;128 dan
2) Klien telah menolak kontrak ilegal secara tepat waktu.129
2.178. Situasi dimana klien akan dianggap mempunyai kesalahan yang lebih kecil atas
perbuatan melanggar hukum adalah ketika klien:
1) Berada di bawah tekanan untuk menandatangani kontrak;
2) Tidak menyadari tentang perkara yang melawan hukum tersebut karena
kesalahan atau misrepresentation; atau
3) Tergolong dalam kelompok orang yang dilindungi UU.130
2.179. Klien harus menolak kontrak sebelum tujuan atau pelaksanaan ilegal dari
kontrak telah tercapai secara substansial. Penolakan harus bersifat sukarela.
F. Menyikapi masalah ketentuan yang tidak jelas dan bertentangan – mengidentifikasi
ketentuan kontrak yang dapat diberlakukan
2.180. Kontrak kerja untuk buruh migran seringkali mengandung ketentuan yang tidak
jelas atau bertentangan. Selain itu, tidak semua ketentuan kontrak adalah sah
secara hukum, dan bahkan dapat bertentangan dengan ketentuan di dalam EA.
Dua aturan berikut ini dapat membantu untuk mengidentifikasi ketentuan yang
dapat diberlakukan dalam situasi seperti demikian: 1) ketentuan yang kurang
menguntungkan dari EA adalah ilegal; dan 2) penafsiran ketentuan terhadap
pembuat kontrak.
i. Menjadikan suatu ketentuan ilegal apabila kurang menguntungkan
dibanding EA
2.181. Apabila pekerja tercakup dalam EA, maka setiap ketentuan dari kontrak kerja
128 Mohamed v Alaga [2000] 1 WLR 1815. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
129 Tribe v Tribe [1996] Ch 107 (UKCA).
130 Kirriri Cotton Co Ltd v Dewani [1960] AC 192 (Uganda PC).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
55
yang kurang menguntungkan bagi pekerja tersebut dibanding ketentuan yang
relevan yang ditetapkan EA adalah ilegal, batal dan tidak berlaku, paling tidak
sebatas hal tersebut kurang menguntungkan.131
2.182. Apabila berbagai ketentuan mengatur bidang kerja yang sama, maka setiap
ketentuan yang tidak menguntungkan dibanding ketentuan yang disebutkan
dalam EA tidak dapat diberlakukan, sedangkan ketentuan yang lebih
menguntungkan dianggap dapat diberlakukan. Untuk ketentuan yang dapat
ditafsirkan secara berbeda, hanya penafsiran yang sesuai dengan standard
minimum EA yang dapat diberlakukan. Pekerja kemudian dapat menuntut ganti
rugi berdasarkan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut.132
2.183. Apabila semua ketentuan, atau seluruh penafsiran yang memungkinkan dari
ketentuan, kurang menguntungkan1 dibanding EA, maka ketentuan yang
terkandung dalam EA menjadi ketentuan yang akan diberlakukan.133
ii. Menafsirkan ketentuan terhadap pembuat kontrak
2.184. Apabila terdapat dua penafsiran yang masuk akal dari ketentuan dalam kontrak,
pengadilan akan menggunakan penafsiran yang kurang menguntungkan untuk
pembuat kontrak. Meskipun pemberi kerja tidak selalu menyusun kontraknya
sendiri, pemberi kerja adalah pihak yang menyediakan kontrak kerja tersebut,
sehingga lebih cenderung dianggap sebagai pembuat kontrak.
3. PEMBAYARAN ILEGAL DAN PEMOTONGAN GAJI
I. Gambaran umum
3.1. Juga dikenal sebagai “suap,” pembayaran ilegal dan pemotongan gaji mengacu
pada sejumlah uang yang diberikan oleh buruh migran kepada pemberi kerja
atau agen tenaga kerja setempat yang tidak direstui oleh EA atau EFMA.
3.2. Pemotongan gaji ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagaimana yang
dijelaskan secara rinci pada Bagian 3.II di bawah.
3.3. Banyak pekerja yang tidak menyadari bahwa pemotongan tertentu terhadap gaji
mereka adalah ilegal sehingga tidak menyadari perlunya untuk
mendokumentasikan atau bahkan menyebutkan pemotongan yang diambil dari
gaji mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanyakan klien dengan
pertanyaan yang tepat untuk mengungkapkan pemotongan gaji ilegal yang
mungkin telah dibuat. Pertanyaan tersebut mencakup:
131 EA, supra note 4, s 8.
132 Monteverde Darvin Cynthia v VGO Corp Ltd [2014] 2 SLR 1; [2013] SGHC 280 [Monteverde] di [12]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.V untuk ring kasan kasus.
133 Ibid.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
56
Apakah pemberi kerja anda melakukan pemotongan ‘uang
simpanan/deposit’ dari gaji anda setiap bulan, yang mereka janjikan
akan dikembalikan ketika terjadi pemutusan izin kerja anda?
Apakah pemberi kerja anda melakukan pemotongan ‘uang
perpanjangan’ dari gaji anda untuk perpanjangan izin kerja anda?
3.4. Membuktikan bahwa pemotongan terhadap gaji klien secara ilegal telah
dilakukan oleh pemberi kerja kemungkinan akan sangat sulit. Seringkali tidak
ada bukti tertulis atas pembayaran tersebut. Lihat Bagian 3.II di bawah untuk
contoh-contoh taktik yang digunakan oleh pemberi kerja untuk
menyembunyikan bukti dari pemotongan secara ilegal. Ada juga pemberi kerja
yang menerima suap dengan melakukan pemotongan gaji dan menamakannya
sebagai potongan resmi dari gaji.134
3.5. Kemungkinan ada juga kesulitan dalam menetapkan bukti biaya penempatan
yang berlebihan yang dibayarkan kepada agen tenaga kerja setempat.135
Sudah menjadi kebiasaan agen tenaga kerja untuk tidak memberikan tanda
terima kepada pekerja atas pembayaran yang dibuat. Permintaan pekerja atas
tanda terima atau kontrak seringkali ditolak. Agen tenaga kerja kemungkinan
juga mengancam bahwa para pekerja tidak akan ditawari pekerjaan jika mereka
mereka bersikukuh agar transaksi mereka didokumentasikan. Bahkan jika
diberikan tanda terima, tidak ada identitas yang tertera seperti nama agensi atau
nama orang yang memberikan tanda terima untuk menunjukkan bahwa tanda
terima tersebut dikeluarkan oleh agen tenaga kerja.136
A. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh pemberi kerja
3.6. Pemberi kerja tidak diizinkan untuk melakukan pemotongan gaji selain
pemotongan yang diizinkan oleh EA. Pemotongan gaji berikut diizinkan oleh EA:
1) Karena tidak masuk kerja;
2) Untuk kerugian atau kehilangan barang atau uang yang dipercayakan
kepada karyawan, dimana kerugian atau kehilangan tersebut secara
langsung disebabkan oleh kecerobohan atau kelalainnya. Jumlah yang
dipotong tidak boleh melebihi 25% dari satu bulan gaji dan pemotongan
hanya dapat dilakukan setelah menetapkan bahwa kehilangan atau
kerugian yang terjadi akibat kecerobohan atau kelalaian karyawan;
3) Untuk biaya makan aktual yang disediakan oleh pemberi kerja atas
permintaan karyawan;
4) Untuk biaya akomodasi atau fasilitas dan layanan yang disediakan oleh
pemberi kerja dimana karyawan telah menerimanya. Jumlah yang
dipotong untuk biaya akomodasi, fasilitas dan layanan tidak boleh
melebihi 25% dari satu bulan gaji;
134 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 23.
135 Pada tahun 2009 H.O.M.E. menyaksikan 23 pekerja China telah membayar uang kepada agen setempat di
Singapura tetapi tidak dapat menuntut kembali dana ini karena mereka tidak memiliki bukti apapun dalam bentuk tanda
terima atau kontrak, Ibid di 26.
136 Ibid.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
57
5) Untuk pembayaran pinjaman, utang atau penyesuaian dari kelebihan
pembayaran gaji. Jumlah yang dipotong tidak boleh melebihi 25% dari
satu bulan gaji dalam kasus pemotongan untuk pembayaran pinjaman
dan utang;
6) Untuk kontribusi bagi skema pensiun atau dana hari depan atau skema
pendanaan lainnya atas permintaan karyawan dalam bentuk tertulis.
Namun, skema pendanaan ini harus ditetapkan secara sah agar
memberikan manfaat bagi karyawan dan disetujui oleh Komisioner
Ketenagakerjaan; dan
7) Untuk pembayaran koperasi yang terdaftar dengan persetujuan tertulis
dari karyawan.137
3.7. Jumlah maksimum pemotongan yang terkait dengan salah satu periode
pembayaran gaji adalah 50% dari gaji karyawan tetapi hal ini tidak mencakup
pemotongan yang dilakukan untuk:
1) Absen dari pekerjaan;
2) Penyelesaian pinjaman/utang; dan
3) Pembayaran atas persetujuan karyawan, untuk mendaftar sebagai
anggota koperasi yang terkait dengan biaya pendaftaran, cicilan utang,
bunga dan cicilan lain yang harus dibayar.138
3.8. Termasuk pelanggaran juga di bawah EMA bagi pemberi kerja yang menerima
pembayaran dari pekerja sebagai faktor yang menentukan pekerjaan mereka139
atau memperoleh kembali biaya yang terkait dengan pekerjaan seperti
pungutan pajak bagi pekerja asing yang seharusnya ditanggung pemberi
kerja.140
B. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh agen tenaga kerja
3.9. Biaya agensi yang dibayarkan ke agen yang melebihi batas yang ditentukan
dalam Employment Agencies Act (EAA)141 juga merupakan bentuk pembayaran
ilegal.
3.10. Berdasarkan EAA, biaya penempatan tidak boleh melebihi satu bulan gaji untuk
tiap tahun dari:
1) Periode berlakunya izin kerja klien; atau
2) Periode kontrak kerja, tergantung mana yang lebih singkat.142
3.11. Biaya penempatanmaksimum dibatasi sebesar2 bulan gaji.143
137 EA, supra note 4, s 27; TAFEP Guide, supra note 35.
138 Ibid, s 32(1).
139 EFMA, supra note 5, di s 22A. Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
140 Ibid, di s 25(4)(a) dan (b).
141 Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing).
142 Employment Agencies Rules, supra note 23.
143 Ibid.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
58
II. Contoh umum pemotongan gaji ilegal
3.12. Tiga jenis pemotongan gaji ilegal yang umum dijelaskan dalam tiga contoh di
bawah ini: 1) pemotongan uang deposit; 2) pemotongan untuk biaya
perpanjangan izin kerja; dan 3) pemotongan untuk biaya akomodasi. Daftar ini
bukan daftar yang lengkap, pemotongan gaji ilegal dapat terjadi dalam berbagai
bentuk lainnya, seperti pemotongan gaji atas kerusakan peralatan yang
melampaui biaya barang yang sesungguhnya.
3.13. Contoh keempat menunjukkan sejumlah taktik yang mungkin digunakan oleh
pemberi kerja untuk menyembunyikan pemotongan ilegal yang diambildari gaji
klien.
1) ‘Tabungan’ atau uang deposit
3.14. Pemberi kerja melakukan pemotongan sebesar $X dari gaji mereka setiap akhir
bulan, dengan menerangkan bahwa mereka membantu pekerja untuk
mengumpulkan uang yang akan mereka terima ketika mereka kembali ke
negara asal mereka. Pekerja menyaksikan pemberi kerja mengembalikan uang
‘tabungan’ pekerja lainnya sebelum meninggalkan Singapura sehingga mereka
mempercayai pemberi kerja. Namun, di kemudian hari terjadi sengketa antara
pekerja dengan pemberi kerja mereka dan pemberi kerja tersebut memutuskan
hubungan kerjanya. Pemberi kerja kemudian mengklaim bahwa uang
‘tabungan’ pekerja dijadikan denda karena mereka telah melanggar kontrak.
2) Uang untuk perpanjangan
3.15. Izin kerja karyawan telah mendekati kadaluwarsa. Pemberi kerja
memberitahukan kepada mereka bahwa mereka harus membayar $X jika
mereka ingin memperbarui izin kerja mereka. Pekerja setuju, dan $X dipotong
dari gaji mereka selama tiga bulan.
3) Akomodasi
3.16. IPA pekerja menyatakan bahwa tidak ada pemotongan gaji yang akan dilakukan
untuk biaya akomodasi. Namun, $X dipotong dari gaji mereka setiap bulan,
yang menurut pemberi kerja adalah untuk biaya sewa ruang asrama.
4) Pemotongan tidak didokumentasikan
3.17. Pemberi kerja membayar para pekerja dengan uang kontan. $X dipotong dari
gaji mereka setiap bulan. Ketika pekerja menerima gaji mereka, mereka
menandatangani slip gaji dimana pemberi kerja mencatat bahwa mereka telah
menerima gaji sebesar jumlah gaji yang belum dipotong.
3.18. Selain itu, gaji pekerja dibayarkan melalui transfer bank. $X dipotong dari gaji
mereka setiap bulan. Setelah pekerja menerima gaji mereka, pemberi kerja
menemani mereka ke ATM untuk mengambil uang sebesar $X untuk
dikembalikan kepada pemberi kerja.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
59
III. Penyelesaian dan ketentuan
A. Klaim atas pemotongan gaji klien secara tidak resmi
3.19. Klien dapat mengajukan klaim atas pemotongan gaji tidak resmi atau
pembayaran ilegal dari pemberi kerja mereka atau agen tenaga kerja.
i. Mengajukan tuntutan atas utang mengingat ketentuan yang kurang
menguntungkan daripada yang ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan
(EA, Employment Act) adalah ilegal dan batal
3.20. Tidak ada pemotongan selain yang diizinkan berdasarkan ketentuan dalam EA
yang dianggap legal.144 Ketentuan yang mengizinkan pemberi kerja untuk
melakukan pemotongan tidak resmi akan dianggap ilegal dan batal.145 Oleh
karena itu, jumlah uang yang dipotong berdasarkan ketentuan tersebut secara
kontraktual menjadi hak klien.
Elemen
3.21. Mula-mula klien harus membuktikan ketentuan dalam kontrak yang yang
membuktikan pembayaran atau pemotongan uang tersebut adalah ilegal. Hal
ini dapat dilakukan dengan menunjukkan kontrak tertulis. Jika persyaratan
tersebut tidak terdokumentasikan, bukti dari tindakan yang konsisten atas
pemotongan atau pembayaran yang demikian tersebut dapat dijadikan bukti
dari perjanjian lisan.
3.22. Apakah terdapat kontrak tertulis atau untuk membuktikan bahwa perjanjian lisan
telah tercapai, klien harus menunjukkan bahwa pemotongan tersebut telah
dilakukan terhadap gaji mereka. Bukti yang dapat dikumpulkan untuk
mendukung klaim yang demikian mencakup slip gaji dan catatan bank yang
menunjukkan telah terjadi penarikan sejumlah tertentu uang secara yang
konsisten setiap bulan, yang menunjukkan bahwa pemberi kerja telah memaksa
klien untuk mengembalikan sebagian dari gajinya.
3.23. Begitu klien dapat membuktikan adanya pemotongan ini, akan diperkirakan
bahwa sejumlah uang telah dikumpulkan sebagai pertimbangan untuk
memperoleh pekerjaan, misalnya suap pekerjaan. Beban kemudian berpindah
kepada pemberi kerja untuk menangkis perkiraan tersebut dengan
menunjukkan bahwa terdapat tujuan yang sah dalam melakukan pemotongan
atau pengumpulan uang dari klien.146
144 EA, supra note 4, s 26.
145 Ibid, s 8.
146 EFMA, supra note 5, s 22A.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
60
ii. Menuntut kembali atas biaya berlebihan yang dikenakan oleh agen
tenaga kerja
3.24. Pekerja dapat mengajukan komplain pada Small Claims Tribunal (SCT) untuk
meminta pembayaran kembali atas biaya agensi mereka. Lihat Bab 3, Bagian
3.IV.C untuk proses pengajuan klaim pada SCT.
3.25. Pekerja harus menyimpan tanda terima dan kontrak dari agen tenaga kerja.
Harus ada sejumlah bentuk identitas yang menunjukkan bahwa tanda terima
tersebut dikeluarkan oleh agen tenaga kerja yang bersangkutan, seperti nama
agen atau nama orang yang mengeluarkan tanda terima.147
Evaluasi
3.26. Pekerja dapat mengalami kesulitan untuk mengesahkan izin tinggal mereka
ketika mengajukan klaim pada SCT karena Kemenaker tidak mengeluarkan
Kartu Pass Khusus148 kepada pekerja yang mengajukan klaim terhadap agen
atas biaya yang dibayarkan kepada mereka. Proses pengambilan keputusan
SCT memerlukan waktu satu bulan atau lebih.149
4. PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK
TERKAIT DENGAN GAJI
I. Gambaran umum
4.1. Bagian ini akan membahas dua kategori utama tentang permasalan dalam
perjanjian kerja yang tidak terkait dengan gaji: pelanggaran kondisi pekerjaan
yang tidak terkait dengan gaji dan janji tentang pekerjaan oleh pihak pemberi
kerja atau agen tenaga kerja yang ternyata tidak ada.
A. Kondisi dalam pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji
4.2. Pemberi kerja disyaratkan oleh hukum untuk menanggung biaya pemeliharaan
dan perawatan pekerja asing yang mereka kontrak. “Pemeliharaan” dan
“perawatan”150 tidak didefiniskan dalam hukum Singapura, tetapi mencakup
penyediaan makanan dan perawatan medis yang memadai. Pemberi kerjajuga
147 Lihat secara umum H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 26.
148 Ibid.
149 Ibid.
150 Lihat misalnya The Employment of Foreign Manpower (Work Passes) Regulations 2012 (S 569/2012 Sing), Fourth
Schedule Part I para 1.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
61
disyaratkan untuk menjamin bahwa pekerja asing memiliki “akomodasi yang
layak”.151 Kewajiban ini berlangsung untuk rentang waktu sebelum, selama,
dan setelah pekerjaan, sepanjang pekerja masih tinggal di Singapura.
4.3. Kenyataannya, sebagian besar pemberi kerja hanya menyediakan subsidi
akomodasi dan makanan jika biaya ini dapat dipotong dari gaji bulanan pekerja,
karena hal ini dianggap sebagai sebagai pemotongan resmi berdasarkan EA.
Namun, pekerja yang menunggu klaim atas cedera yang terkait dengan
pekerjaan atau penyelesaian atas tunggakan gaji dilarang untuk bekerja, dan
banyak diantaranya yang dipaksa untuk mencari tempat bernaung dan
makanan mereka sendiri.152
B. Pekerjaan yang ternyata tidak ada
4.4. Beberapa pemberi kerja membangun shell or partial-sham business (bisnis
yang sebagianmerupakan tipuan dan bisa ilegal) untuk memancing pekerja
asing datang ke Singapura dengan janji pekerjaan palsu. Setelah
mengumpulkan sejumlah uang yang banyak dari pekerja-pekerja ini, mereka
tidak mengajukan izin kerja yang memadai dan membiarkan para pekerja untuk
mencari pekerjaan mereka sendiri di Singapura dan menjaga diri mereka
sendiri.
II. Penyelesaian dan ketentuan
A. Menerapkan ketentuan tersirat yang mengatur kondisi pekerjaan yang tidak
terkait dengan gaji
i. Mengajukan klaim atas pelanggaran ketentuan kontrak yang tersirat
dalam perundang-undangan
4.5. Masih belum teruji apakah ketentuan dalam EFMA memberikan hak untuk
melakukan gugatan perdata. Ketentuan dalam EFMA secara teori dapat
diperlakukan sebagai ketentuan undang-undang yang tersirat terhadap kontrak
kerja, yang mendorong dasar tuntutan atas pelanggaran kontrak jika dilanggar.
4.6. Pasca pekerjaan, pemberi kerja masih terus bertanggungjawab atas biaya
pemeliharaan dan perawatan dari pekerja asing yang masih tinggal di
Singapura yang sedang menunggu penyelesaian dan pembayaran dari klaim
terhadap tunggakan gaji berdasarkan EA, atau kompensasi atas cedera yang
terkait dengan pekerjaan berdasarkan WICA. Pemberi kerja juga harus
menjamin bahwa pekerja tersebut memperoleh akomodasi yang layak.153
4.7. Jadi, jika pemberi kerja telah melanggar tiap kondisi ini, dapat diperdebatkan
bahwa klien dapat mengajukan klaim terhadap pemberi kerja atas seluruh biaya
151 Lihat misalnya Fourth Schedule Part I para 4, Fourth Schedule Part III para 2.
152 Lihat secara umum H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 30.
153 Lihat supra note 150, Fourth Schedule, Bagian III, para. 16.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
62
yang terkait dengan pemeliharaan dan perawatan serta perumahan hingga
pemulangan kembali setelah penyelesaian klaim EA atau WICA. Perlu dicatat
bahwa pada saat publikasi ini, argumen hukum ini belum pernah diupayakan
dalam konteks ini pada pengadilan di Singapura. Jadi, litigasi strategis akan
diperlukan untuk menentukan apakah hal ini merupakan argumen yang dapat
diteruskan.
B. Mengupayakan ganti rugi atas pengeluaran biaya yang dilakukan karena janji
pekerjaan yang palsu
i. Mengajukan klaim atas misrepresentation yang dibuat oleh
pemberi kerja atau agen tenaga kerja
4.8. Lihat Bagian 2.III.B.ii tentang klaim atas misrepresentation.
4.9. Representation palsu dalam kasus ini adalah bahwa pekerjaan di Singapura
ada untuk klien. Representation ini pasti telah dibuat oleh pemberi kerja atau
agen di negara asal pekerja, yang mendorong mereka untuk menandatangani
kontrak kerja dan kontrak penempatan kerja. Kerugian yang dapat diklaim oleh
karena itu mencakup: biaya agen, biaya pelatihan, biaya transportasi, dan
sejumlah uang yang telah dibayarkan kepada pemberi kerja atau Kemenaker.
4.10. Kemungkinan komplikasi yang timbul adalah jika klien memililih untuk mencari
pekerjaan dengan perusahaan lain setelah mengetahui bahwa pekerjaan yang
dijanjikan tersebut tidak ada. Skenario yang umum terjadi adalah bahwa
pemberi kerja sepakat untuk menjaga agar izin kerja pekerja tetap berlaku
sebagai gantinya maka pekerja mencari pekerjaan dengan perusahaan
lainnya. Karena izin kerja terikat untuk satu pemberi kerja tertentu, praktek ini
adalah ilegal, baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.154
5. KECELAKAAN YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA
I. Gambaran umum
5.1. Selain permasalahan gaji dan permasalahan yang terkait dengan kontrak,
klaim kompensasi atas kecelakaan yang terjadi di tempat kerja merupakan
permasalahan hukum lainnya yang sering dihadapi pekerja asing. Pemberi
kerja dapat menolak untuk mengakui bahwa cedera tersebut telah terjadi di
tempat kerja atau menolak untuk membayar biaya pengobatan dan
kompensasi lainnya yang terkait dengan cedera.
5.2. Ada dua jalur utama, seorang pekerja yang cedera dapat mengajukan klaim
atas cedera yang terjadi di tempat kerja:
1) Perundangan - Workplace Injury Compensation Act (WICA)
154 Lihat EFMA, supra note 5, ss 22B - 23. Lihat Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
63
2) Common law (Tort of negligence)
5.3. Karyawan harus memilih salah satu dari jalur ini dan hanya dapat memperoleh
kompensasi dari satu jalur. Perbedaan utama tertera di bawah ini.
II. Perbedaan antara klaim WICA dan klaim berdasarkan common law (tort of
negligence)
A. Batasan waktu
5.4. Karyawan memiliki batas waktu satu tahun dari tanggal terjadinya kecelakaan
untuk mengajukan klaim berdasarkan WICA, sementara itu karyawan tersebut
memiliki batas waktu enam tahun untuk mengajukan klaim berdasarkan
common law. Jika karyawan pada awalnya mengajukan klaim berdasarkan
common law, karyawan dapat berpindah ke WICA tetapi hal tersebut hanya
dapat dilakukan jika berada dalam batas waktu satu tahun.
B. Jumlah yang kemungkinan diberikan
5.5. Jika karyawan mengajukan klaim common law, jumlah kompensasi yang
diberikan kemungkinan lebih besar daripada jika mengajukan klaim WICA. Hal
ini dapat terjadi karena WICA menetapkan batasan kompensasi untuk cedera,
yang berarti bahwa pemberian kompensasi tidak dapat melebihi jumlah
tertentu.
C. Perbedaan dalam ketentuan pembuktian
5.6. Untuk mengajukan kerugian berdasarkan common law, karyawan harus
menunjukkan bahwa:
1) Pemberi kerja tidak dapat menyediakan tempat kerja yang aman;
2) Pemberi kerja melanggar kewajiban yang disyaratkan oleh hukum; atau
3) Cedera tersebut disebabkan oleh kecerobohan pemberi kerja.
5.7. Sebaliknya, kompensasi dapat dibayarkan tanpa didasarkan pada kesalahan
berdasarkan WICA. Sepanjang seorang karyawan mengalami cedera yang
diperoleh selama menjalankan pekerjaannya, karyawan dapat mengkalim
kompensasi atas cedera yang terkait dengan pekerjaan. Tidak diperlukan
pembuktian bahwa pemberi kerja ceroboh atau langkah-langkah yang
memadai tidak dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Sepanjang
karyawan tidak bersalah (misalnya menjadi pihak penyerang dalam suatu
perkelahian), karyawan dapat mengklaim kompensasi.
D. Kebutuhan konseling
5.8. Karyawan tidak perlu menyewa pengacara jika dia ingin mengajukan klaim
berdasarkan WICA.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
64
Tabel 9: Perbedaan antara klaim dalam common law dan WICA
Common law WICA
Kesalahan Perlu membuktikan
bahwapemberi kerja/pihak
ke-3 melakukan kesalahan
Tidak perlu membuktikan
bahwapemberi kerja
melakukan kesalahan. Hanya
perlu menunjukkan bahwa
cedera terjadi karena
pekerjaan
Batasan waktu Tiga tahun (cedera
pribadi)
Satu tahun
Peruntukan
kelompok
orang yang
disediakan
Tersedia bagi semua Buruh migran kecuali pekerja
rumah tangga asing
Waktu yang
dilibatkan
Proses pengadilan lebih
lambat dari WICA
Proses yang singkat, lebih
singkat waktu yang
diperlukan
Jumlah
kompensasi
Kemungkinan lebih-
Kompensasi tidak dibatasi
tetapi jumlah kerugian
harus diputuskan di
persidangan
Kemungkinan kurang-
Kompensasi didasarkan
pada rumus tetap dan
dibatasi
Kebutuhan
representasi
hukum
Sangat direkomendasikan Tidak diperlukan
Aturan tentang
Pembuktian
Terikat olehAturan tentang
Pembuktian
Prosedurtidak terikat
olehAturan tentang
Pembuktian. Rumor
kemungkinan dapat diterima
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
65
III. UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Workplace Injury
Compensation Act)
5.9. Pekerja rumah tangga tidak tercakup dalam WSHA atau WICA.155
5.10. WICA menyediakan karyawan yang cedera dengan alternatif berbiaya rendah
dan relatif cepat daripada common law untuk menyelesaikan klaim atas
kompensasi. Tidak diperlukan bukti kesalahan atau kecerobohan, tetapi jumlah
kompensasi dihitung berdasarkan pada rumus tetap156 dan tergantung pada
batasan tertinggi.
5.11. Berdasarkan WICA, seluruh pemberi kerja diwajibkan untuk memberi asuransi
kompensasi kecelakaan kerja yang memadai untuk seluruh pekerja yang
dipekerjakan untuk:157
1) Kerja manual, tanpa memandang tingkat besaran gaji, dan
2) Kerja non-manual dengan penghasilan $1.600 atau kurang sebulan.
5.12. Kegagalan untuk melaksanakannya merupakan pelanggaran yang dapat
dihukum dengan denda maksimum sebesar $10.000 dan/atau penjara hingga
12 bulan. Mengelola asuransi yang tidak memadai (misalnya dengan
mempekerjakan sepuluh tenaga manual tetapi hanya melakukan pembelian
asuransi untuk delapan orang pekerja saja) juga merupakan pelanggaran.
i. Apakah kecelakaan yang terjadi di tempat kerja itu?
5.13. Untuk mengajukan klaim berdasarkan WICA, karyawan hanya perlu
membuktikan bahwa dia mengalami cedera dalam kecelakaan yang terjadi di
tempat kerja atau menderita penyakit akibat pekerjaannya. Penyakit yang
terkait dengan pekerjaan mencakup tiap penyakit yang disebabkan oleh
paparan terhadap bahan kimia dan biologis di tempat kerja. Situasi ketika
seorang karyawan melakukan perjalanan dari tempat kerjanya di dalam
kendaraan perusahaan juga dicakup oleh WICA.158
5.14. Bagian-Bagian berikut ini akan membahas penyelesaian yang ada
155 WICA, supra note 49. Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
156 Ministry of Manpower, “What can be claimed under WICA?”, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/workplace-safety-hEalth/work-injury-compensation/Pages/WICA_claimed.aspx> [MOM What
can be claimed?].
157 WICA, supra note 49, s 23(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU. Berdasarkan the Work Injury
Compensation (Waiver from Insurance Requirement) Notification 2008 S 171/2008, kewajiban untuk memiliki asuransi
berdasarkan WICA s 23(1) dikesampingkan sehubungan dengan Pemerintah, pemberi kerja dari seluruh pekerja
dengan pendapatan perbulan lebih dari $1.600 dan yang dipekerjakan selain sebagai “pekerja manual ".
158 Berita TWC2 News, “Bergantung dengan kursi roda, pekerja tidak memilik pilihan untuk mengajukan klaim” (8
November 2012), online: Transient Workers Count Too<http://twc2.org.sg>. [TWC2 News, “Confined to wheelchair for
months, worker had no good advice how to make a claim”] <http://twc2.org.sg/2012/11/08/confined-to-wheelchair-for-
months-worker-had-no-good-advice-how-to-make-a-claim/>.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
66
berdasarkan WSHA dan WICA.
IV. Penyelesaian dan ketentuan
A. Mengajukan klaim berdasarkan Work Injury Compensation Act (WICA)
i. Siapa yang memenuhi syarat untuk mengajukan klaim WICA?
5.15. Kelompok orang berikut ini tidak tercakup dalam skema WICA:159
1) Personel berseragam (Angkatan Bersenjata Singapura, Polisi, Pertahanan
Sipil, Biro Narkotika Pusat, dan Sipir Penjara);
2) Pekerja mandiri / kontraktor independen; dan
3) Pekerja rumah tangga (penekanan akan ditambahkan).
5.16. Seluruh karyawan lainnya dapat mengajukan klaim melalui WICA. Jika
kematian diakibatkan oleh cedera tersebut, keluarga dari karyawan yang
meninggal atau yang menjadi tanggungannya dapat mengajukan klaim.160
B. Jenis cedera apa yang tercakup dalam WICA?
5.17. Semua jenis cedera dapat memenuhi syarat untuk memperoleh kompensasi
sepanjang hal itu terjadi selama menjalankan pekerjaannya.
i. Apa yang dapat diklaim berdasarkan WICA?
5.18. Secara umum, berikut ini adalah beberapa pengeluaran yang diakibatkan oleh
cedera yang dapat diklaim dari pemberi kerja: a) biaya medis, yang mencakup
tetapi tidak terbatas pada, biaya konsultasi medis, biaya rawat inap,
pengobatan dan operasi,tangan atau kaki buatan dan peralatan operasi; b)
tunjangan cuti medis; dan c) lump sum untuk kelumpuhan permanen atau
kematian.
a) Biaya medis
5.19. Biaya-biaya ini dapat dibayarkan oleh pemberi kerja;
1) Hingga batas tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang;161
2) Sepanjang proses pengobatan dipandang “perlu”162 oleh dokter resmi
Singapura.
Biaya – biaya medis termasuk biaya sehubungan dengan transportasi darurat untuk
medis; biaya untuk laporan medis yang diwajibkan untuk klaim WICA; biaya untuk
159 WICA, supra note 49, Fourth Schedule. Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
160 WICA, supra note 49, s 6(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
161 WICA supra note 49, Third Schedule, para 5(1).
162 WICA, supra note 49, s 14(2).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
67
fisioterapi, terapi sehubungan dengan pekerjaan dan terapi bicara; manajemen
kasus; biaya untuk psikoterapi untuk post-traumatic disorder, evaluasi untuk
kapasitas fungsional, penilaian tempat kerja, atau hal-hal yang diperlukan untuk
rehabilitasi dan memungkinkan pekerja yang cedera untuk kembali bekerja; dan
biaya untuk obat-obatan, anggota badan buatan dan peralatan bedah.163
Tabel 10: Batasan tentang klaim atas biaya pengobatan
Batasan Kecelakaan
terjadisebelum1
Jan 2016164 (dalam
S$)
Kecelakaan
terjadipada dan
setelah 1 Jan 2016
(dalam S$)
Biaya
pengo
batan
Maksimum
$30.000 untuk setiap kecelakaan
atau biaya pengobatan yang diterima selama
satu tahun setelah kecelakaan, atau yang mana yang
lebih sedikit
$36.000 setiap
kecelakaan atau
biaya pengobatan
yang diterima
selama satu tahun
setelah kecelakaan,
atau yang mana
yang lebih sedikit
b) Tunjangan cuti medis165
Tabel 11: Cuti medis berbayar
Cuti medis Cuti rawat inap
Gaji
penuh
Hingga 14 hari Hingga 60 hari
163 WICA, supra note 49, Third Schedule, para 5(2).
164 Limit ini berlaku untuk kecelakaan yang terjadi setelah 1 Jun 2012 dan sebelum 1 Jan 2016.
165 Lihat WICA, supra note 49, s 2(1) untuk definisi dari “pendapatan” dan s 8 untuk penghitungan dari “pendapatan
bulanan” .jumlah dari pekerja yang dapat melakukan klaim tidak berdasarkan dari gaji tetapnya, melainkan berdasarkan
Rata-rata Pendapatan Bulanannya (Average Monthly Earnings atau AME). Umumnya, ini merupakan rata-rata
pendapatan selama 12 bulan terakhir sebelum kecelakaan (termasuk gaji lembur, tapi tidak termasuk tunjangan untuk
transportasi serta penggantian dan bukan hari kerja, contohnya hari istirahat, hari libiur nasional).
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
68
⅔ gaji Hari ke-15 dan seterusnya,
hingga satu tahun dari
kecelakaan
Hari ke-60 dan seterusnya,
hingga satu tahun dari
kecelakaan
c) Kelumpuhan permanen (PI, Permanent Incapacity)166
Tabel 12: Batasan tentang klaim PI
Limits Kecelakaan terjadi
sebelum1 Jan
2016167 (dalam S$)
Kecelakaan
terjadipada dan
setelah1 Jan 2016
(dalam S$)
Lumpuh
permanen
Minimum $73.000 dikalikan
dengan % hilangnya
kapasitas
penghasilan
$88.000 dikalikan
dengan % kapasitas
penghasilan
Lumpuh
permanen
Maksimum $218.000 dikalikan
dengan % hilangnya
kapasitas
penghasilan dan
tambahan 25%
kompensasi yang
dibayarkan untuk
pekerja dengan
kelumpuhan total
permanen
$262.000 dikalikan
dengan % hilangnya
kapasitas
penghasilan dan
tambahan 25%
kompensasi yang
dibayarkan untuk
pekerja dengan
kelumpuhan total
permanen
166 WICA supra note 49. Third Schedule, para 2.
167 Supra note 164.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
69
d) Kematian168
Tabel 13: Batasan tentang klaim permanen atas kematian
Batasan Kecelakaan terjadi
sebelum1 Jan 2016
(dalam S$)
Kecelakaan
terjadipada dan
setelah 1 Jan 2012
(dalam S$)
Kematian Minimum $57.000 $69.000
Kematian Maksimum $170.000 $204.000
e) Perhitungan mandiri dari kompensasi yang dapat diklaim
Tabel 14: Perhitungan kompensasi yang dapat diklaim
Kompensasi yang
dapat dibayarkan
[penghasilan bulanan karyawan] x [faktor pengali]
X [% kerugian dari kapasitas penghasilan]169
5.20. Jika penghitungan kompensasi masuk dalam kisaran sebagaimana disebutkan
dalam Tabel 12 (sebagai contoh, kisaran untuk kecelakaan yang terjadi setelah
1 Januari 2016 dengan PI% sejumlah 10% akan menjadi $8.800 - $26.200),
pekerja yang bersangkutan kemungkinan besar memperoleh jumlah penuh.
Akan tetapi, jika penghitungan kompensasi di bawah nilai minimum, pekerja
yang bersangkutan kemungkinan mendapatkan jumlah minimum dan jika di
atas kisaran tersebut, maka pekerja yang bersangkutan kemungkinan
mendapatkan jumlah maksimum.
5.21. Penambahan sebesar 25% dari kompensasi akan diberikan jika karyawan
tersebut mengalami kelumpuhan total secara permanen. Yang terakhir,
karyawan juga dapat mengklaim tunjangan cuti medis yang belum diterimanya
untuk tahun lalu
5.22. Kalkulator online (WIC Self-Assessment Tool) tersedia pada situs resmi
168 WICA, supra note 49, Third Schedule, para 1.
169 Disini, batas maksimumnya adalah $218.000 x [% kehilangan kapasitas pendapatan]. Batas minimumnya adalah
$73.000 x [% kehilangan kapasitas penghasilan].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
70
Kemenaker.170
ii. Pemberitahuan Klaim dan Bukti yang diperlukan
5.23. Jika dimungkinkan, pemberitahuan atas kecelakaan harus diberikan kepada
pemberi kerja sesegera mungkin setelah kecelakaan terjadi. Sebagai
tambahan, klain untuk kompensasi yang diatur didalam WICA harus dibuat
dalam satu tahun sejak terjadi kecelakaan yang menyebabkan terjadinya
cedera, atau dalam hal kematian, dalam waktu satu tahun sejak tanggal
kematian.171
5.24. Secara umum, karyawan harus:
1) Memperoleh foto/video, testimoni saksiuntuk menunjukkan bahwa hal itu
adalah cedera yang terjadi di tempat kerja
2) Menyimpan fotocopy Surat Keterangan Dokter dan memberikan aslinya
kepada pemberi kerja untuk mengklaim tunjangan cuti medis. Pemberi kerja
harus membayarnya paling lambat pada hari pembayaran berikutnya.172
3) Menyimpan fotocopy dari semua tagihan medis yang terkait dengan cedera
dan memberikan aslinya kepada kepada pemberi kerja, yang akan
membayarnya secara langsung kepada klinik/rumah sakit. Jika pekerja
telah membayarnya, pemberi kerja harus menggantinya kepada pekerja.
C. Mengajukan klaim pada common law berdasarkan tort of negligence
5.25. Beberapa masalah yang umum dihadapi oleh karyawan ketika pertama kalinya
mereka mengajukan klaim berdasarkan WICA adalah mereka harus
menunjukkan bahwa cedera mereka adalah cedera yang terjadi di tempat
kerja. Hal ini kemungkinan akan sulit karena pihak pemberi kerja kemungkinan
dapat menyangkal bahwa cedera tersebut terjadi ketika bekerja. Dalam kondisi
yang demikian, klaim dapat gugur jika pihak karyawan tidak menunjukkan bukti
yang mendukung, seperti foto, video, atau kesaksian rekan kerja. Selain itu,
meskipun klaim berdasarkan WICA tidak dapat dilakukan jika pihak karyawan
yang menyebabkan kecelakaan, karyawan tersebut masih dapat mengajukan
klaim berdasarkan tort pada common law.173
170 http://www.mom.gov.sg Work Injury Compensation Act (WICA) online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/workplace-safety-health/work-injury-compensation/resources-and-tools/WIC-
eCalculators/Pages/default.aspx> [WICA Calculator].
171 Lihat, WICA, supra note 49, s 11(1).
172 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 30.
173 Dalam kasus yang demikian, contributory negligenceberperan sebagai pembelaan parsial untuk mengurangi klaim
kerugian yang dilakukan penggugat, lihat Gary Chan Kok Yew, The Law of Torts in Singapore (Singapore: Academy
Publishing, 2011) di 297. Namun, klien masih dapat memperoleh beberapa bentuk kerugian dibandingkan pada WICA
dimana klaim penggugat akan dilarang.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
71
i. Apa yang dapat diklaim berdasarkan common law jika kecerobohan
berhasil dibuktikan?
5.26. Kerugian berdasarkan common law akan mencakup kompensasi atas rasa
sakit dan penderitaan, hilangnya gaji, biaya medis dan hilangnya penghasilan
di masa mendatang.
Elemen
5.27. Pihak penggugat harus membuktikan bahwa pihak pihak tergugat memiliki
kewajiban untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan (duty of care). Hal
ini dilakukan secara mudah dengan konsep non-delegable duty174 (kewajiban
yang tidak dapat didelegasikan) dan statutory duties (kewajiban untuk
melaksanakan tugasnya berdasarkan undang-undang) sebagaimana
didefinisikan dalam perundang-undangan.175 Pemberi kerja berutang kepada
karyawan duty of care (DOC) yang tidak dapat didelegasikan untuk
memastikan keamanan pribadi karyawan di tempat kerja (bahkan jika
terkadang dikirim untuk bekerja di tempat lain, dsb.)176 DOC yang tidak dapat
didelegasikanyang tidak dapat didelegasikandapat timbul dari perundang-
undangan juga.177 Namun, saat ini masih belum jelas apakah pelanggaran
kewajiban sebagaimana yang didefinisikan dalam WSHA dapat mendorong
hak masyarakat untuk melakukan tuntutan. Tidak ada common law DOC
secara otomatis jika terdapat statutory duty,tetapi keberadaan statutory duty
dapat mendorong untuk menemukan common law DOC.178 Masih tidak jelas
apakah keuntungan yang diperoleh jika menggunakancommon law breach of
a statutory DOC. Namun, kemungkinan manfaat yang diperoleh dapat
mencakup kerugian yang jauh lebih besar berdasarkancommon law atau
batasan waktunya lebih lama.
5.28. Pihak penggugat harus membuktikan bahwa pihak tergugat melakukan
pelanggaran kewajiban dengan ketidakmampuan untuk memenuhi standar
perilaku yang disyaratkan.
5.29. Pihak penggugat harus menentukan hubungan sebab akibat antara
kecelakaan di tempat kerja yang mengakibatkan terjadinya cedera.
5.30. Pihak penggugat harus membuktikan bahwa dia benar-benar mengalami
174 Chandran a/l Subbiah v Dockers Marine Pte Ltd, [2010] 1 SLR 786; [2009] SGCA 58 [Chandran] di [2]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.XIV untuk rangkuman kasus.
175 Lihat misalnya Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing) s 12, s 14 [WSHA].
176 Chandran, supra note 174.
177 Oberoi Imperial Hotel v Tan Kiah Eng [1992] 1 SLR 380, [1992] SGCA 1 [Oberoi] di [25]-[26].
178 Jurong Primewide Pte Ltd v Moh Seng Cranes Pte Ltd and others [2014] 2 SLR 360; [2014] SGCA 6 [Jurong] at [36]-
[37]. Lihat Bab 2, Bagian 8.XIV untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
72
cedera.
5.31. Pemberi kerja memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian yang memadai
dalam menyediakan, diantaranya, lingkungan kerja dan peralatan kerja yang
aman yang digunakan oleh karyawannya serta menjaganya agar berada
dalam kondisi yang memadai.179
Bukti yang diperlukan
5.32. Penggugat harus membuktikan bahwa tergugat melakukan pelanggaran
kewajiban dengan ketidakmpuan untuk memenuhi standar perilaku yang
disyaratkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan saksi, menyerahkan
foto dan video dari tempat kerja sebelum dan setelah terjadinya kecelakaan.
5.33. Penggugat harus menentukan hubungan sebab akibat antara kecelakaan yang
mengakibatkan cedera dan bahwa mereka berada di tempat kerja pada saat
terjadinya cedera. Catatan pergantianshift pekerja, slip gaji, kesaksian dari
rekan kerja dapat digunakan untuk mendukung klaim ini.
5.34. Penggugat harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mengalami
cedera. Penggugat dapat menggunakan catatan medis untuk membuktikan
bahwa mereka mengalami cedera.
Beban pembuktian
5.35. Karyawan harus membuktikan kasusprima facie (memadai pada kesan
pertama) berdasarkan prinsip keseimbangan probabilitas(on the balance of
probalilities). Hal ini berarti bahwa karyawan mula-mula harus menyatakan
fakta bahwa, jika benar, akan mengajukan klaim atas kelalaian. Pemberi
kerja/tergugat kemudian memiliki beban untuk membuktikan bahwa mereka
telah melakukan langkah-langkah pencegahan yang memadai. Beban hukum
masih tetap bersama penggugat tetapi beban pembuktian bergeser kepada
tergugat begitu penggugat telah membuktikan adanya kelalaian berdasarkan
prinsip keseimbangan probabilitas (on a balance of probalilities).180
179 Kasus dari Araveanthan and another v Nippon Pigment (S) Pte Ltd [1992] SGHC 20 [Araveanthan], menyoroti
kewajiban ini untuk melakukan perawatan secara memadai. Meskipun legislasi yang dijadikan acuan dalam kasus ini
adalah UU tentang Pabrik (Factories Act), yang sekarang digantikan oleh WSHA, apakah kewajiban yang ditetapkan
dalam WSHA bersifat mutlak dan apakah kewajiban tersebut mendorong hak pribadi untuk melakukan tuntutan masih
menjadi pernyataan yang belum terjawab dan perlu dilakukan litigasi. Masih belumjelas juga apakah yurisprudensiyang
dibuat Factories Actberlaku terhadap WSHA. Salah satu pandangan yang ada adalah karena hampir semua Bagian
WSHA mirip dengan Factories Act, paling tidak beberapa kasus belakangan dapat diterapkan terhadap kasus
sebelumnya. Di sisi lainnya, Factories Act dicabut dan digantikan dengan WSHA. Jika terdapat itikad untuk melanjutkan
yurisprudensi sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Factories Actseharusnya tidak digantikan tetapi sebaiknya dilakukan
perubahan. Lihat Bab 2, Bagian 8.XIV untuk rangkuman kasus.
180 Loh Tek Hua v Tey Joo Soon and Another, [2006] SGDC 225 [Loh Tek Hua]. Untuk rangkuman kasus, lihat Bab 2,
Bagian 8.XIV untuk ringkasan kasus.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
73
ii. Potensi penggunaan WSHA untuk memperkuat kelalaian
5.36. Meskipun masih merupakan teori hukum, pelanggaran pemberi kerja terhadap
WSHA kemungkinan relevan dalam menguatkan adanya kelalaian pemberi
kerja. Seluruh tempat kerja kecuali tempat kerja yang melibatkan pekerja
rumah tangga tercakup dalam WSHA. Ketika karyawanmengajukan klaim
berdasarkan WICA ataucommon law, bukti sehubungan dengan
adanyapelanggaran terhadap WSJA oleh pemberi kerja dapat dijadikan
sebagai pendukung klaim atas kelalaian tersebut dan untuk mendukung
argument tambahan bahwa pemberi kerja telah lalai.
5.37. Perusahaan dan karyawan yang tercakup dalam WSHA harus melakukan
langkah yang dapat dilaksanakan untuk memastikan tempat kerja mereka
aman. Hal ini mencakup manajemen resiko yang memadai atau mengambil
tindakan untuk mengidentifikasi dan mengelola resiko yang ada dalam satu
tempat kerja sedemikian rupa untuk mencegah kecelakaan yang terkait
dengan pekerjaan. Berdasarkan WSHA, pertanggungjawaban ditentukan bagi
sejumlah orang.181
6. KEKERASAN FISIK DAN CEDERA LAINNYA YANG TIDAK TERKAIT
DENGAN PEKERJAAN
I. Gambaran umum
6.1. Klaim ini biasanya diajukan oleh pekerja rumah tangga terhadap pemberi kerja
mereka. Meskipun hampir semua kasus kekerasan membuat pihak pemberi
kerja secara pidana bertanggungjawab atas penyerangan dan penganiayaan,
pihak korban dapat juga mengajukan klaim perdata untuk memperoleh
kompensasi atas kerugian. Klaim yang paling relevan biasanya adalah
penganiayaan karena melibatkan penderitaan yang sesungguhnya dari
kontak/kekerasan fisik pada tubuh penggugat.
II. Penyelesaian dan ketentuan
A. Tindakan penganiayaan
i. Elemen
6.2. Penganiayaan didefinisikan sebagai tindakan yang secara sengaja dan
langsung menyebabkan kontak terhadap tubuh pihak penggugat tanpa adanya
181 WSHA, supra note 175. Some of these duties are laid out in Part IV of the WSHA, Part IV Lihat Bab 2, Bagian 8.XIII
untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
74
alasan atau justifikasi yang sah menurut hukum.182
1) Kontak langsung
6.3. Beberapa contoh dari tindakan yang dapat menyebabkan kontak langsung
adalah menampar, meninju dan menggoncang. Contoh lainnya mencakup
menjambak rambut korban atau atau menuangkan minyak panas ke atas
tubuh.
2) Alasan atau justifikasi yang sah
6.4. Alasan yang sah secara hukum adalah pembelaan yang dapat dilakukan oleh
pihak tergugat di persidangan. Tanggungjawab/beban ada pada pihak tergugat
sehingga meskipun mereka mengakui telah melakukan perbuatan yang
melanggar hukum, mereka memiliki alasan secara hukum mengapa mereka
melakukannya, sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah.
3) Itikad
6.5. Penggugat harus membuktikan itikad dari pihak tergugat.183 Dalam beberapa
kasus, pihak tergugat harus memahami akan adanya konsekuensi dari campur
tangan. Niat dapat berubah menjadi penganiayaan (misalnya seseorang
mengayunkan tangannya untuk memukul seseorang namun meleset dan
mengenai orang lain, dia tetap bertanggungjawab atas terjadinya
penganiayaan tersebut). Kealpaan(omission) dapat merupakan penggunaan
kekerasan.184 Tidak ada gunanya untuk menunjukkan sikap permusuhan,185
dan persyaratannya masih tetap untuk membuktikan itikad.
6.6. Selain hal-hal diatas, pihak penggugat harus membuktikan yang berikut ini:
a) Siapa orang yang menyebabkan cedera tersebut?
b) Jenis cedera yang disebabkan?
4) Faktor yang memberatkan atau faktor yang meringankan
6.7. Faktor-faktor yang memberatkan adalah setiap kondisi relevan, yang didukung
oleh bukti yang ditunjukkan selama persidangan yang membuat hukuman
terberat adalah hal yang tepat. Hakim akan memeriksa faktor-faktor tersebut
dan akan berkontribusi terhadap jumlah ganti rugi serta prosedur putusan.
6.8. Bebarapa contoh mencakup pemukulan Bagian tubuh yang rentan,
penyalahgunaan kekuasaan, tidak adanya penyesalan atas tindakan yang
182 Amutha Valli d/o Krishnan v Titular Superior of the Redemptorist Fathers in Singapore and others [2009] 2 SLR
1091, [2009] SGHC 35 [Amutha] at [71].
183 Letang v Cooper [1965] QB 232 [Letang].
184 Fagan v Commissioner of Metropolitan Police [1969] 1 QB 439 [Fagan].
185 Wilson v Pringle [1986] 2 All ER 440 [Wilson].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
75
telah dilakukan dan pola kekerasan yang sistematis.186
6.9. Faktor-faktor yang meringankan adalah tiap bukti yang ditunjukkan tentang
karakter pihak tergugat atau kondisi yang melatarbelakangi tindak pidana
tersebut, yang menyebabkan hakim mempertimbangkan untuk memberikan
putusan yang lebih ringan.
6.10. Beberapa contoh mencakup umur pihak tergugat pada saat terjadinya tindak
pidana, apakah pihak tergugat berperan sebagai pembantu dalam tindak
pidana tersebut dan partisipasinya relatif kecil, apakah pihak tergugat
bertindak dalam tekanan ekstrim atau berada di bawah dominasi kuat dari
orang lain.
ii. Bukti yang diperlukan
6.11. Untuk membuktikan bahwa ada tindakan yang secara sengaja dan secara
langsung menyebabkan terjadinya kontak terhadap tubuh penggugat tanpa
adanya alasan atau justifikasi yang sah secara hukum, penggugat dapat
memanfaatkan saksi, laporan medis, panggilan telepon, video, tanda fisik yang
membekas. Pemeriksaan klinis juga berguna untuk membuktikan bahwa pihak
terdakwamemang benar-benar telah menyebabkan korban mengalami cedera.
7. KESIMPULAN
7.1. Bagian ini menyimpulkan masalah hukum yang umumnya dihadapi buruh
migran dan penyelesaian hukum yang tersedia. Ada lima masalah umum yang
teridentifikasi:
1) Gaji yang tidak terbayarkan
2) Pembayaran dan pemotongan gaji secara ilegal
3) Permasalahan non-gaji dalam perjanjian kerja
4) Cedera yang terjadi di tempat kerja
5) Kekerasan fisik dan cedera lainnya yang tidak terkait dengan pekerjaan
7.2. Penting sekali untuk diperhatikan perbedaan antara pengajuan klaim
berdasarkan common law dibandingkan dengan UU. Beberapa perbedaan
utama, seperti hambatan waktu, beban pembuktian dan evidentiary
requirement (persyaratan kelengkapan bukti) berakibat secara langsung pada
kelayakan dari beberapa tuntutan. Meskipun beberapa penyelesaian telah
dicoba dan diujikan, penyelesaian lainnya saat ini akan memerlukan proses
litigasi untuk menentukan apakah hal tersebut dapat diterapkan dan berjalan
efektif. Yang paling penting, para praktisi harus mengevaluasi kasus yang
dihadapi (dalam hal bukti, dsb) dan menentukan cause of action mana yang
paling layak.
7.3. Setelah berurusan dengan substansi wilayah hukum yang terkait dengan
buruh migran pada Bab 2, Bab 3 akan menjelaskan pemeriksaan secara
186 ADF v Public Prosecutor and another appeal [2010] 1 SLR 874, [2009] SGCA 57 [78], [85].
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
76
mendalam terhadap prosedur hukum yang terkait dalam pengumpulan causes
of action bagi buruh migran.
8. ANALISA BLACK LETTER LAW DAN CASE LAW
I. Pendahuluan
8.1. Banyak referensi dari berbagai perundangan dan kasus yang dibuat dalam
Bab 2. Diatur sesuai dengan urutan abjad, Bagian ini merupakan kompilasi dari
porsi yang relevan dari perundangan yang tersebut di atas serta masing-
masing kasus hukum untuk memberikan penjelasan yang lebih baik tentang
interpretasi hukum. Case law (hukum yang didasarkan atas keputusan hakim
sebelumnya) dan statutory law (peraturan perundang-undangan yang tertulis)
tetap dalam bahasa Inggris untuk menjaga keakuratannya.
II. Action for contractual debt
Young v Queensland Trustees Limited
[1956] HCA 51
Holding The debtor must allege and prove payment by way of discharge as a defence to an action for indebtedness in respect of an executed consideration.
A debt once proved to have existed, is presumed to continue unless payment, or some other discharge, be either proved, or established by circumstances.
III. Economic duress
Huyton SA v Peter Cremer GmbH & Co
[1998] EWHC 1208 (Comm)
Holding “The minimum basic should be the “but for” test: The illegitimate pressure must have […] actually caused the making of the agreement, in the sense that it would not otherwise have been made either at all or, at least, in the terms in which it was made. In that sense, the pressure must have been decisive or clinching.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
77
Tam Tak Chuen v Khairul bin Abdul Rahman and Others
[2009] 2 SLR 240; [2008] SGHC 242
Holding [50]: The four categories of circumstances that indicate when
a threat of lawful action that is not unlawful is illegitimate are:
o where the threat is an abuse of legal process;
o where the demand is not made bona fide;
o where the demand is unreasonable; and
o where the threat is considered unconscionable in light
of all the circumstances.
Although the threat made by the defendant was lawful, he
acted with a collateral motive and the presence of that motive
made the threat illegitimate.
[54]: [Upon discovering the situation that Dr Tam had
repeatedly lied to him about his relationship with Ms Chew], “Dr
Khairul was perfectly entitled to take all legal steps available to
him to terminate the relationship, and to minimise the loss that
he himself would suffer from such a termination. He was not
however entitled to take advantage of the situation and unfairly
profit from it.”
[55]: “It is material that once Dr Khairul’s suspicions had been
confirmed, he did not do anything for a period of three months.
During that period, he discussed the situation with others and
took legal advice. By the time he called Dr Tam and Dr Ashraff
to the meeting on 4 March 2007, he had had the transfer
documents and the Liability Transfer Agreement prepared and
ready for execution. His actions that evening had therefore
been very carefully orchestrated.”
[57]: “On the balance of probabilities, the evidence establishes
that not only did Dr Khairul want to end his partnership with the
plaintiff but that he also wanted to take over the plaintiff’s
shares at an undervalue. […] For Dr Khairul to bring the
business relationship to an end, it rEeally was not necessary
for him to say that unless one of them bought out the other, he
would proceed with a compulsory winding up and present the
necessary evidence. I am satisfied that in making that threat,
although it was a threat of a lawful action, Dr Khairul was acting
with a collateral motive and the presence of that motive made
the threat illegitimate.”
His threat was also illegitimate on the basis that the demands
were unreasonable.
[58]: “As I have held, the true value of the plaintiff’s shares in
the J Companies was far more than the $50,000 that Dr Khairul
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
78
offered Dr Tam for those shares […] As the demands made by
Dr Khairul in respect of the consideration for the transfer of all
the plaintiff’s shares in all the companies were unreasonable,
his threat was illegitimate on this basis as well.”
IV. Employment Act (Cap 90, 2009 Rev Ed Sing)
Section 2. Interpretation
(1) In this Act, unless the context otherwise requires —
“basic rate of pay” means the total amount of money (including wage adjustments and
increments) to which an employee is entitled under his contract of service either for working for a
period of time, that is, for one hour, one day, one week, one month or for such other period as
may be stated or implied in his contract of service, or for each completed piece or task of work
but does not include —
(a) additional payments by way of overtime payments;
(b) additional payments by way of bonus payments or annual wage supplements;
(c) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him
in the course of his employment;
(d) productivity incentive payments; and
(e) any allowance however described;
“contract of service” means any agreement, whether in writing or oral, express or implied,
whereby one person agrees to employ another as an employee and that other agrees to serve
his employer as an employee and includes an apprenticeship contract or agreement;
Acme Canning Corporation Ltd v Lee Kim Seng
[1977] 1 MLJ 252
Holding A term of an oral contract of service is an express condition of
the contract:
“It is clear from the evidence that although there was no written
contract of service there was a well-defined and well-
understood oral contract of service between the parties, and
express condition does not necessarily mean written. It is only
in contrast to implied.”
Summary This was an appeal against the decision of the Labour Officer,
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
79
of facts Butterworth who awarded a sum of $2,865.11 as overtime wages and
double wages for working on rest days. The respondent was employed
as a foreman in the factory and had agreed to work as a monthly rated
employee under the terms and conditions which provided no limit in
hours in return for such benefits as housing allowance, bonus and
incentive payments.
Carmicheal v National Power Plc
[1999] ICR 1226
Holding
Employment contracts may be partly written, partly oral
contracts.
“Putting the matter at its lowest, I think that it was open to the
industrial tribunal to find, as a fact, that the parties did not intend
the letters to be the sole record of their agreement but intended
that it should be contained partly in the letters, partly in oral
exchanges at the interviews or elsewhere and partly left to
evolve by conduct as time went on. This would not be untypical
of agreements by which people are engaged to do work,
whether as employees or otherwise.”
Where a contract is intended to be partly written, partly oral,
oral terms may be implied by subsequent conduct, such as
evidence showing mutual understanding of obligations.
Memory of the precise conversation is not necessary.
“In the case of a contract which is based partly upon oral
exchanges and conduct, a party may have a clear
understanding of what was agreed without necessarily being
able to remember the precise conversation or action which
gave rise to that belief.”
“The evidence of a party as to what terms he understood to
have been agreed is some evidence tending to show that those
terms, in an objective sense, were agreed. [...] when both
parties are agreed about what they understood their mutual
obligations (or lack of them) to be, it is a strong thing to exclude
their evidence from consideration.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
80
Melaka Farm Resorts (M) Sdn Bhd v Hong Wei Seng
[2004] 6 MLJ 506
Holding Contracts of service may be formed orally.
[13]: “A contract of service may be orally entered into, as in
here, where the defendant’s executive director testified that the
plaintiff’s monthly salary was RM2,000.”
A contract of service may be implied by the conduct of the
parties.
[14]: “Further, a contract of service may also be implied by the
conduct of the parties, as e.g. in the instant appeal, where the
defendant has allowed the plaintiff to work in the defendant’s
place of employment and a sum of RM4,000 has been paid by
the defendant to the plaintiff as salary for two months viz
September and October 2001.”
The burden of proof is on the employer to prove that the
employee’s salary has been paid. The employer failed to
discharge the burden in failing to produce documentation of
payments in the form of payment vouchers, pay slips, cheques
etc.
[18]: “The burden is on the defendant as the employer to prove
this fact. If at all the defendant has paid the arrears of salary,
the defendant being a company incorporated under the
Companies Act 1965 would certainly have documented the
payments in the form of payment vouchers, pay slips, cheques
[...] The fact that the defendant has failed to produce the
documents evidencing such payments clearly shows on a
balance of probabilities that the defendant has failed to
discharge the burden of proof.”
Summary
of facts
The appellant (‘the defendant’) had orally agreed to employ the
respondent (‘the plaintiff’) as its general manager in absence of a
written contract of employment. The plaintiff later resigned and claimed
for RM18,000 as arrears for his salary from November 2001 to July
2002, to which the defendant disputed. The director of labour found for
the plaintiff but reduced his claim to RM16,000 on the ground that he
had worked for only two days in the last month. Dissatisfied, the
defendant appealed against the director’s decision. The issues before
the court were whether an employment contract existed between the
parties and whether defendant should pay the arrears in question.
“domestic worker” means any house, stable or garden servant or motor car driver, employed in
or in connection with the domestic services of any private premises
“employee” means a person who has entered into or works under a contract of service with an
employer and includes a workman, and any officer or employee of the Government included in a
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
81
category, class or description of such officers or employees declared by the President to be
employees for the purposes of this Act or any provision thereof, but does not include —
(a) any seafarer
(b) any domestic worker;
(c) subject to subsection (2), any person employed in a managerial or an executive
position; and
(d) any person belonging to any other class of persons whom the Minister may, from time
to time by notification in the Gazette, declare not to be employees for the purposes of this
Act;
Asiawerks Global Investment Group Pte Ltd
[2004] 1 SLR(R) 234
Holding The contract of employment for a foreigner without the
necessary employment pass will be an illegal contract and
cannot be enforced.
[45]: “The second defendant could not have been an employee
of the plaintiff as that would have been a contravention of the
Immigration Act and the Employment of Foreign Workers Act.
If a contract of employment did exist, it could not be enforced
because it would be an illegal contract. The defence of illegality
could be raised notwithstanding the refusal of leave to amend
the Defence in the course of trial to include such a defence.”
Analysis Professor Chandran suggests that if the contract rendered illegal by the
employee not having the required work permits, the EA is unlikely to be
applicable.187
The logic is likely that applicability of the EA is tied to the validity of the
contract. If the contract is rendered void because of an illegality, the EA
cannot apply.
“employer” means any person who employs another person under a contract of service and
includes —
(a) the Government in respect of such categories, classes or descriptions of officers or
employees of the Government as from time to time are declared by the President to be
employees for the purposes of this Act;
(b) any statutory authority;
187 Chandran, Annfotated EA, supra note 6 at 29.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
82
(c) the duly authorised agent or manager of the employer; and
(d) the person who owns or is carrying on or for the time being responsible for the
management of the profession, business, trade or work in which the employee is
engaged;
“gross rate of pay” means the total amount of money including allowances to which an employee
is entitled under his contract of service either for working for a period of time, that is, for one hour,
one day, one week, one month or for such other period as may be stated or implied in his contract
of service, or for each completed piece or task of work but does not include —
(a) additional payments by way of overtime payments;
(b) additional payments by way of bonus payments or annual wage supplements;
(c) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him
in the course of his employment;
(d) productivity incentive payments; and
(e) travelling, food or housing allowances;
“hours of work” means the time during which an employee is at the disposal of the employer and
is not free to dispose of his own time and movements exclusIive of any intervals allowed for rest
and meals;
“overtime” means the number of hours worked in any one day or in any one week in excess of
the limits specified in Part IV;
“salary” means all remuneration including allowances payable to an employee in respect of work
done under his contract of service, but does not include —
(a) the value of any house accommodation, supply of electricity, water, medical
attendance, or other amenity, or of any service excluded by general or special order of
the Minister published in the Gazette;
(b) any contribution paid by the employer on his own account to any pension fund or
provident fund;
(c) any travelling allowance or the value of any travelling concession;
(d) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him
in the course of his employment;
(e) any gratuity payable on discharge or retirement; and
(f) any retrenchment benefit payable on retrenchment;
“seafarer” means any person, including the master, who is employed or engaged or works in any
capacity on board a ship, but does not include —
(a) a pilot;
(b) a port worker;
(c) a person temporarily employed on the ship during the period it is in port; and
(d) a person who is employed or engaged or works in any capacity on board a harbour
craft or pleasure craft licensed under regulations made under section 41 of the Maritime
and Port Authority of Singapore Act (Cap. 170A), when the harbour craft or pleasure craft
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
83
is used within a port declared by the Minister under section 3 of that Act;
“workman” means —
(a) any person, skilled or unskilled, who has entered into a contract of service with an
employer in pursuance of which he is engaged in manual labour, including any artisan or
apprentice, but excluding any seafarer or domestic worker;
(b) any person, other than clerical staff, employed in the operation or maintenance of
mechanically propelled vehicles used for the transport of passengers for hire or for
commercial purposes;
(c) any person employed partly for manual labour and partly for the purpose of
supervising in person any workman in and throughout the performance of his work:
Provided that when any person is employed by any one employer partly as a
workman and partly in some other capacity or capacities, that person shall be
deemed to be a workman unless it can be established that the time during which
that workman has been required to work as a workman in any one salary period
as defined in Part III has on no occasion amounted to or exceeded one-half of
the total time during which that person has been required to work in such salary
period;
(d) any person specified in the First Schedule;
(e) any person whom the Minister may, by notification in the Gazette, declare to be a
workman for the purposes of this Act.
(2) Any person who is employed in a managerial or an executive position and is in receipt of a
salary not exceeding $4,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual
wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described), or
such other amount as may be prescribed in substitution by the Minister, shall be regarded as an
employee for the purposes of this Act except the provisions in Part IV.
Section 8. Illegal terms of service
Every term of a contract of service which provides a condition of service which is less favourable
to an employee than any of the conditions of service prescribed by this Act shall be illegal, null
and void to the extent that it is so less favourable.
Acme Canning Corporation Ltd v Lee Kim Seng
[1977] 1 MLJ 252
Holding Where an employee agrees to accept other benefits under a
scheme of service in lieu of overtime pay, the doctrine of election
applies to bar them from claiming for overtime pay later.
“According to respondent`s own evidence he agreed to work as
a monthly-rated employee under the terms and conditions which
included without limit in hours in return for such benefits as
housing allowance, food allowance, bonus and incentive
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
84
payments. Having agreed to accept these benefits under a
scheme of service instead of overtime benefits which he would
have received otherwise, he cannot now come to court and
complain that he is entitled to receive overtime benefits. This is
not a case where an employee who by virtue of his inability to
obtain other employment or other schemes of service has been
forced to work overtime. The type of work which the respondent
did, according to his own evidence, involved long periods of
standing by doing nothing, i.e, the actual work he had to do was
of much shorter period than 8 hours. It was the nature of the work
which persuaded him to continue under the terms and conditions
of his service. He himself has said that he made no protest, no
complaint, nor did he want to alter his terms of service.”
Analysis Professor Chandran suggests that s8 may be subject to the doctrine of
election.
Acme can be reconciled with Monteverde in that following Monteverde it
is still possible for employees to come to an arrangement where they
elect to be paid a higher fixed monthly salary in lieu of overtime salary,
merely that there cannot be a contractual obligation to work more than
44 hours per week.
Monteverde is also distinguishable from Acme Canning in that it is not
clear that she was offered higher salary as a benefit in lieu of overtime
payment, whereas in Acme Canning he was explicitly offered a choice of
working as a monthly-rated employee with other benefits in lieu of
overtime salary, or as an hourly-rated employee.
Monteverde Darvin Cynthia v VGO Corp Ltd188
[2013] SGHC 280
Holding [10]: On correct interpretation of the contract, $1900 is the basic
188 Monteverde dapat didamaikan dengan Acme karena berdasarkanputusan di Montverde, masih dimungkinkan bagi
para pekerja untuk mencapai suatu pengaturan di mana mereka dapat memilih untuk mendapatkan gaji bulanan tetap
yang lebih tinggi sebagai pengganti bayaran lembur mereka. Oleh karena itu, Montverde hanya berarti pernyataan
bahwa tidak diperkenankan adanya kewajiban kontrak untuk bekerja lebih dari 44 jam dalam setiap minggunya.
Monteverde juga dapat dibedakan dari Acme Canning karena dalam Monteverde, tidak jelas apakah pekerja ditawarkan
kenaikan gaji sebagai pengganti bayaran lembur. Sedangkan disisi lain, dalam Acme Canning, pekerja yang
bersangkutan secara eksplisit ditawarkan pilihan untuk bekerja sebagai pekerja bulanan dengan manfaat lain sebagai
pengganti bayaran lembur, atau sebagai pekerja per jam.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
85
rate of pay, excluding any overtime payment.
o Appellant’s contract expressly disclaimed the concept of
additional payment for overtime hours worked, stating
that the Appellant was “hired for job completion and not
for number of hours worked”
o The contract does not provide for a fixed number of
hours to be worked but purportedly imposes an
obligation on the part of the Appellant to work a
maximum of 60 hours per week. If she had been
required to work fewer than 60 hours a week, it would
still be obliged to pay her a monthly salary of $1900.
[12]: Even if the contract required the Appellant to work a fixed
number of 60 hours a week rather than expressing a maximum,
finding would remain the same. Such a clause would be
rendered illegal, null and void to the extent that it is less so
favourable. Thus, that particular clause would be treated as one
which only imposed an obligation to work no more than 44 hours
a week, but the contractual obligation to pay her a monthly salary
of $1900 would remain unchanged, and accordingly constitute
her monthly basic rate of pay.
Summary
of facts
The Appellant brought a claim against her former employer, the
Respondent, for overtime pay during the period of her employment.
The Appellant was employed by the Respondent as a senior boutique
associate. It was not disputed that her last drawn monthly basic salary
was $1,900 and that she worked 60 hours per week. She ceased her
employment with the Respondent when her work pass was cancelled.
She then lodged a claim with the Commissioner for overtime pay for the
period from the date of commencement of her employment to the date of
termination of her employment.
Commissioner found that as the Appellant had agreed to work 60 hours
a week at a monthly basic salary of $1900, it was reasonable to presume
that the parties had agreed for the Respondent to pay a single rate for all
hours of work, including the hours worked in excess of 44 hours a week.
Thus the respondent had to pay an additional 0.5 times the hourly basic
rate for the overtime hours.
The issue was whether the Commissioner had erred in accepting that
payments for the overtime hours were already included in the Appellant’s
basic salary of $1900 except for the increase of 50% i.e. 1.5 times the
hourly basic rate of pay.
Section 20. Fixation of salary period
(1) An employer may fix periods, which for the purpose of this Act shall be called salary periods,
in respect of which salary earned shall be payable.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
86
(2) No salary period shall exceed one month.
(3) In the absence of a salary period so fixed, the salary period shall be deemed to be one month.
Section 20A. Computation of salary for incomplete month’s work
(1) If a monthly-rated employee has not completed a whole month of service because —
(a) he commenced employment after the first day of the month;
(b) his employment was terminated before the end of the month;
(c) he took leave of absence without pay for one or more days of the month; or
(d) he took leave of absence to perform his national service under the Enlistment Act (Cap.
93),
(e) the salary due to him for that month shall be calculated in accordance with the following
formula:
Monthly gross rate of pay
Number of days on which the employee is
required to work in that month
x Number of days the employee actually worked
in that month
(2) In calculating the number of days actually worked by an employee in a month under subsection
(1), any day on which an employee is required to work for 5 hours or less under his contract of
service shall be regarded as half a day.
Section 26. No unauthorised deductions to be made
No deduction shall be made by an employer from the salary of an employee, unless the deduction
is authorised by or under any provision of this Act or is required to be made —
(a) by order of a court or other authority competent to make such order;
(b) pursuant to a declaration made by the Comptroller of Income Tax under section 57 of
the Income Tax Act (Cap. 134), the Comptroller of Property Tax under section 38 of the
Property Tax Act (Cap. 254) or the Comptroller of Goods and Services Tax under section
79 of the Goods and Services Tax Act (Cap. 117A) that the employer is an agent for
recovery of income tax, property tax or goods and services tax (as the case may be)
payable by the employee; or
(c) pursuant to a direction given by the Comptroller of Income Tax under section 91 of
the Income Tax Act.
Section 27. Authorised deductions
(1) The following deductions may be made from the salary of an employee:
(a) deductions for absence from work;
(b) deductions for damage to or loss of goods expressly entrusted to an employee for
custody or for loss of money for which an employee is required to account, where the
damage or loss is directly attributable to his neglect or default;
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
87
(c) deductions for the actual cost of meals supplied by the employer at the request of the
employee;
(d) deductions for house accommodation supplied by the employer;
(e) deductions for such amenities and services supplied by the employer as the
Commissioner may authorise;
(f) deductions for recovery of advances or loans or for adjustment of over-payments of
salary;
(g) [Deleted by Act 26 of 2013 wef 01/04/2014]
(h) deductions of contributions payable by an employer on behalf of an employee under
and in accordance with the provisions of the Central Provident Fund Act (Cap. 36);
(i) deductions made at the request of the employee for the purpose of a superannuation
scheme or provident fund or any other scheme which is lawfully established for the benefit
of the employee and is approved by the Commissioner;
(j) deductions made with the written consent of the employee and paid by the employer
to any cooperative society registered under any written law for the time being in force in
respect of subscriptions, entrance fees, instalments of loans, interest and other dues
payable by the employee to such society; and
(k) any other deductions which may be approved from time to time by the Minister.
(2) For the purposes of subsection (1)(e), “services” does not include the supply of tools and raw
materials required for the purposes of employment.
Section 29. Deductions for damages or loss
(1) A deduction under section 27(1)(b) shall not exceed the amount of the damages or loss caused
to the employer by the neglect or default of the employee and except with the permission of the
Commissioner shall in no case exceed one-quarter (or such other proportion prescribed in
substitution by the Minister) of one month’s wages and shall not be made until the employee has
been given an opportunity of showing cause against the deduction.
Section 30. Deductions for accommodation, amenity and service
(1) A deduction under section 27(1)(d) or (e) shall not be made from the salary of an employee
unless the house accommodation, amenity or service has been accepted by him, as a term of
employment or otherwise.
(2) Any deduction under section 27(1)(d) or (e) shall not exceed an amount equivalent to the value
of the house accommodation, amenity or service supplied, and the total amount of all deductions
under section 27(1)(d) and (e) made from the salary of the employee by his employer in any one
salary period shall in no case exceed one-quarter (or such other proportion prescribed in
substitution by the Minister) of the salary payable to the employee in respect of that period.
(3) In the case of a deduction under section 27(1)(e), the deduction shall be subject to such
conditions as the Commissioner may impose.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
88
Section 32. Deductions not to exceed 50% of salary
(1) The total amount of all deductions made from the salary of an employee by an employer in
any one salary period, other than deductions under section 27(1)(a), (f) or (j), shall not exceed
50% (or such other percentage prescribed in substitution by the Minister) of the salary payable to
the employee in respect of that period.
(2) Subsection (1) shall not apply to deductions made from the last salary due to an employee
on termination of his contract of service or on completion of his contract of service.
Section 35. Application of this Part to certain workmen and other employees
The provisions of this Part shall apply —
(a) to workmen who are in receipt of a salary not exceeding $4,500 a month (excluding
overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive
payments and any allowance however described) or such other amount as may be
prescribed by the Minister; and
(b) to employees (other than workmen) who are in receipt of a salary not exceeding $2,000
a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements,
productivity incentive payments and any allowance however described) or such other
amount as may be prescribed by the Minister.
The provisions of this Part shall apply —
(a) to workmen who are in receipt of a salary not exceeding $4,500 a month (excluding
overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive
payments and any allowance however described) or such other amount as may be
prescribed by the Minister; and
(b) to employees (other than workmen) who are in receipt of a salary not exceeding
$2,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage
supplements, productivity incentive payments and any allowance however described) or
such other amount as may be prescribed by the Minister.
Section 36. Rest day
(1) Every employee shall be allowed in each week a rest day without pay of one whole day which
shall be Sunday or such other day as may be determined from time to time by the employer.
(2) The employer may substitute any continuous period of 30 hours as a rest day for an employee
engaged in shift work.
(3) Where in any week a continuous period of 30 hours commencing at any time before 6 p.m. on
a Sunday is substituted as a rest day for an employee engaged in shift work, such rest day shall
be deemed to have been granted within the week notwithstanding that the period of 30 hours
ends after the week.
Section 37. Work on rest day
(1) Subject to section 38(2) or 40(2A), no employee shall be compelled to work on a rest day
unless he is engaged in work which by reason of its nature requires to be carried on continuously
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
89
by a succession of shifts.
(1A) In the event of any dispute, the Commissioner shall have power to decide whether or not an
employee is engaged in work which by reason of its nature requires to be carried on continuously
by a succession of shifts.
(2) An employee who at his own request works for an employer on a rest day shall be paid for
that day —
(a) if the period of work does not exceed half his normal hours of work, a sum at the basic
rate of pay for half a day’s work;
(b) if the period of work is more than half but does not exceed his normal hours of work, a
sum at the basic rate of pay for one day’s work; or
(c) if the period of work exceeds his normal hours of work for one day —
(i) a sum at the basic rate of pay for one day’s work; and
(ii) a sum at the rate of not less than one and a half times his hourly basic rate of
pay for each hour or part thereof that the period of work exceeds his normal hours
of work for one day.
(3) An employee who at the request of his employer works on a rest day shall be paid for that day
—
(a) if the period of work does not exceed half his normal hours of work, a sum at the basic
rate of pay for one day’s work;
(b) if the period of work is more than half but does not exceed his normal hours of work, a
sum at the basic rate of pay for 2 days’ work; or
(c) if the period of work exceeds his normal hours of work for one day —
(i) a sum at the basic rate of pay for 2 days’ work; and
(ii) a sum at the rate of not less than one and a half times his hourly basic rate of
pay for each hour or part thereof that the period of work exceeds his normal hours
of work for one day.
(3A) In this section —
(a) “normal hours of work” means the number of hours of work (not exceeding the limits
applicable to an employee under section 38 or 40, as the case may be) that is agreed
between an employer and an employee to be the usual hours of work per day; or in the
absence of any such agreement, shall be deemed to be 8 hours a day; and
(b) an employee’s “hourly basic rate of pay” is to be calculated in the same manner as for
the purpose of calculating payment due to an employee under section 38 for working
overtime.
Section 38. Hours of work
(1) Except as hereinafter provided, an employee shall not be required under his contract of service
to work —
(a) more than 6 consecutive hours without a period of leisure;
(b) more than 8 hours in one day or more than 44 hours in one week:
Provided that —
(i) an employee who is engaged in work which must be carried on continuously may be
required to work for 8 consecutive hours inclusive of a period or periods of not less than
45 minutes in the aggregate during which he shall have the opportunity to have a meal;
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
90
(ii) where, by agreement under the contract of service between the employee and the
employer, the number of hours of work on one or more days of the week is less than 8,
the limit of 8 hours in one day may be exceeded on the remaining days of the week, but
so that no employee shall be required to work for more than 9 hours in one day or 44
hours in one week;
(iii) where, by agreement under the contract of service between the employee and the
employer, the number of days on which the employee is required to work in a week is not
more than 5 days, the limit of 8 hours in one day may be exceeded but so that no
employee shall be required to work more than 9 hours in one day or 44 hours in one
week; and
(iv) where, by agreement under the contract of service between the employee and the
employer, the number of hours of work in every alternate week is less than 44, the limit
of 44 hours in one week may be exceeded in the other week, but so that no employee
shall be required to work for more than 48 hours in one week or for more than 88 hours
in any continuous period of 2 weeks.
(2) An employee may be required by his employer to exceed the limit of hours prescribed in
subsection (1) and to work on a rest day, in the case of —
(i) accident, actual or threatened;
(ii) work, the performance of which is essential to the life of the community;
(iii) work essential for defence or security;
(iv) urgent work to be done to machinery or plant;
(v) an interruption of work which it was impossible to foresee; or
(vi) work to be performed by employees in any industrial undertaking essential to the
economy of Singapore or any of the essential services as defined under Part III of the
Criminal Law (Temporary Provisions) Act (Cap. 67).
(4) If an employee at the request of the employer works —
(a) more than 8 hours in one day except as provided in paragraphs (ii) and (III) of the proviso
to subsection (1), or more than 9 hours in one day in any case specified in those
paragraphs; or
(b) more than 44 hours in one week except as provided in paragraph (IV) of the proviso to
subsection (1), or more than 48 hours in any one week or more than 88 hours in any
continuous period of 2 weeks in any case specified in that paragraph,
he shall be paid for such extra work at the rate of not less than one and a half times his hourly
basic rate of pay irrespective of the basis on which his rate of pay is fixed.
(5) An employee shall not be permitted to work overtime for more than 72 hours a month.
(6) For the purpose of calculating under subsection (4) the payment due for overtime to an
employee referred to in the first column of the Fourth Schedule, the employee’s hourly basic rate
of pay shall be determined in accordance with the second column of the Fourth Schedule.
[Act 26 of 2013 wef 01/04/2014]
(8) Except in the circumstances described in subsection (2)(a), (b), (c), (d) and (e), no employee
shall under any circumstances work for more than 12 hours in any one day.
Section 40. Shift workers, etc.
(1) Notwithstanding section 38(1), an employee who is engaged under his contract of service in
regular shift work or who has otherwise consented in writing to work in accordance with the hours
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
91
of work specified in this section may be required to work more than 6 consecutive hours, more
than 8 hours in any one day or more than 44 hours in any one week but the average number of
hours worked over any continuous period of 3 weeks shall not exceed 44 hours per week.
(2) No consent given by an employee under this section shall be valid unless this section and
section 38 have been explained to the employee and the employee has been informed of the
times at which the hours of work begin and end, the number of working days in each week and
the weekly rest day.
(2A) An employee to whom this section applies may be required by his employer to exceed the
limit of hours prescribed in subsection (1) and to work on a rest day, in the case of —
(a) accident, actual or threatened;
(b) work, the performance of which is essential to the life of the community;
(c) work essential for defence or security;
(d) urgent work to be done to machinery or plant;
(e) an interruption of work which it was impossible to foresee; or
(f) work to be performed by employees in any industrial undertaking essential to the
economy of Singapore or any of the essential services as defined under Part III of the
Criminal Law (Temporary Provisions) Act (Cap. 67).
(3) Except in the circumstances described in subsection (2A)(a), (b), (c), (d) and (e), no employee
to whom this section applies shall under any circumstances work for more than 12 hours in any
one day.
(4) Section 38(4) shall not apply to any employee to whom this section applies, but any such
employee who at the request of his employer works more than an average of 44 hours per week
over any continuous period of 3 weeks shall be paid for such extra work in accordance with section
38(4).
FOURTH SCHEDULE
EMPLOYEE’S HOURLY BASIC RATE OF PAY
FOR CALCULATION OF PAYMENT DUE FOR OVERTIME
First column Second column
Type of employee Calculation of hourly basic rate of pay
1. A workman employed on a monthly
rate of pay
12 x Monthly basic rate of pay
___________________________
52 x 44
2. A non-workman whose monthly basic
rate of pay is less than $2,250
12 x Monthly basic rate of pay
___________________________
52 x 44
3. A non-workman whose monthly basic
rate of pay is $2,250 or more
12 x $2250
___________________________
52 x 44
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
92
4. A workman employed on piece rates The total weekly pay at the basic rate of
pay received divided by the total
number of hours worked in the week
5. A non-workman employed on piece
rates
The total weekly pay at the basic rate of
pay received divided by the total
number of hours worked in the week, or
the hourly basic rate of pay of an
employee specified in this column for
item 3, whichever is the lower
6. A workman employed on an hourly
rate of pay
Actual hourly basic rate of pay
7. A non-workman employed on an
hourly rate of pay
Actual hourly basic rate of pay, or the
hourly basic rate of pay of an employee
specified in this column for item 3,
whichever is the lower
8. A workman employed on a daily rate
of pay
Daily basic rate of pay divided by the
number of working hours per day
9. A non-workman employed on a daily
rate of pay
Daily basic rate of pay divided by the
number of working hours per day, or the
hourly basic rate of pay of an employee
specified in this column for item 3,
whichever is the lower
V. Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing)
Employment Agencies Rules 2011
12.—(1) For the purposes of sections 14 and 23(1) of the Act and subject to paragraph (2), the
fees that a licensee may charge or receive from an applicant for employment, whether directly or
indirectly, for emplacing the applicant for employment with an employer on or after 1st April 2011
shall not exceed —
(a) where the applicant for employment is a foreign employee, one month’s salary for
each year of —
(i) the period of validity of the foreign employee’s work pass; or
(ii) the period of the contract of employment,
whichever is the shorter, to be pro-rated according to the total relevant period, subject to a
maximum of 2 months’ salary of the employee;
(2) The reference to fees in paragraph (1) shall not include a reference to any fee charged or
received by a licensee in respect of costs incurred by or on behalf of an applicant for employment
outside Singapore.
(3) For the purposes of section 14 of the Act, a licensee may charge and receive any form of fees,
remuneration, profit or compensation from any applicant for workers or any employer.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
93
(4) The licensee shall, as soon as practicable after receiving any fee, whether directly or indirectly,
from an applicant for employment, issue a written receipt for the fee accompanied by an itemised
list of components of the fee to the applicant for employment.
VI. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing)
Section 22A. Restrictions on receipt, etc., of moneys in connection with employment of
foreign employee
(1) No person shall deduct from any salary payable to a foreign employee, or demand or receive,
directly or indirectly and whether in Singapore or elsewhere, from a foreign employee any sum or
other benefit —
(a) as consideration or as a condition for the employment of the foreign employee,
whether by that person or any other person;
(b) as consideration or as a condition for the continued employment of the foreign
employee, whether by that person or any other person; or
(c) as a financial guarantee related, in any way, to the employment of the foreign
employee, whether by that person or any other person.
(2) Any person who contravenes subsection (1) shall be guilty of an offence and shall be liable
on conviction to a fine not exceeding $30,000 or to imprisonment for a term not exceeding 2 years
or to both.
(3) Any person who deducts from any salary payable to a foreign employee, or demands or
receives, directly or indirectly and whether in Singapore or elsewhere, from a foreign employee
any sum or other benefit, not being —
(a) the whole or part of any fee, cost, levy, penalty, charge or amount that the employer
of the foreign employee shall bear and be liable to pay under section 25(6);
(b) the whole or part of any fee or deduction prescribed as recoverable from the foreign
employee under section 25(6)(a);
(c) where sections 26 to 32 of the Employment Act (Cap. 91) apply to the foreign
employee, the whole or part of any deduction from the salary of the foreign employee
authorised to be made under those sections;
(d) where sections 26 to 32 of the Employment Act do not apply to the foreign employee,
the whole or part of any deduction from the salary of the foreign employee made in
accordance with the terms of the employment of the foreign employee; or
(e) the whole or part of any fee, remuneration, profit or compensation that a licensee
under the Employment Agencies Act (Cap. 92) may lawfully charge the foreign employee
and receive under that Act,
shall be presumed, until the contrary is proved, to have done so as consideration for the
employment of the foreign employee.
[Act 24 of 2012 wef 09/11/2012]
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
94
VII. Fraudulent misrepresentation
Derry v Peek
[1889] 14 App Cas 337
Holding “In an action for deceit, […] it is not enough to establish
misrepresentation alone; it is conceded on all hands that
something more must be proved to cast liability”.
“First, in order to sustain an action of deceit, there must be
proof of fraud, and nothing short of that will suffice.”
“Secondly, fraud is proved when it is [shown] that a false
representation has been made (1) knowingly, or (2) without
belief in its truth, or (3) recklessly, careless whether it be true
or false. Although I have treated the second and third as distinct
cases, I think the third is but an instance of the second, for one
who makes a statement under such circumstances can have
no real belief in the truth of what he states.”
“To prevent a false statement being fraudulent, there must, I
think, always be an honest belief in its truth. And this probably
covers the whole ground, for one who knowingly alleges that
which is false, has obviously no such honest belief.”
“Thirdly, if fraud be proved, the motive of the person guilty of it
is immaterial. It matters not that there was no intention to cheat
or injure the person to whom the statement was made.”
“In my opinion making a false statement through want of care
falls far short of, and is a very different thing from, fraud, and
the same may be said of a false representation honestly
believed though on insufficient grounds.”
There were obviously present reasons which had led the
defendants to make the untrue statement, and they “honestly
believed what they stated to be a true and fair representation
of the facts”.
Summary
of facts
The defendant were directors of a tramway company who issued
prospectus stating that the company had the right to use steam power
instead of horses. Under the terms of the relevant Act, the consent of
the Board of Trade was required and they had not acquired this right
yet.
The plaintiff subscribed for shares in the company on the strength of
this prospectus. The consent was subsequently refused and the
company wound up
The plaintiff sued the defendant for deceit.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
95
VIII. Illegality of contract
Archbolds (Freightage) Ltd v Spanglett Ltd
[1961] QBD 374
Holding
179: “The effect of illegality upon a contract may be threefold.
If at the time of making the contract there is an intent to perform
it in an unlawful way, the contract, although it remains alive, is
unenforceable at the suit of the party having that intent; if the
intent is held in common, it is not enforceable at .”
179-180: “Another effect of illegality is to prevent a plaintiff from
recovering under a contract if in order to prove his rights under
it he has to rely upon his own illegal act; he may not do that
even though he can show that at the time of making the
contract he had no intent to break the law and that at the time
of performance he did not know that what he was doing was
illegal.”
180: “The third effect of illegality is to avoid the contract ab initio
and that arises if the making of the contract is expressly or
impliedly prohibited by statute or is otherwise contrary to public
policy.”
Summary
of facts
“The defendants were furniture manufacturers in London and owned a
number of vans with "C" licences under the Road and Rail Traffic Act,
1933, which enabled them to carry their own goods, but did not allow
them to carry for reward the goods of others. The plaintiffs were carriers
with offices in London and Leeds, and their vehicles had "A" licences
under the Act, which enabled them to carry the goods of others for
reward. The plaintiffs' London office, as a result of a telephone
conversation with some unidentified person from the defendants' office,
believed that the defendants' vehicle had "A" licences, and employed
the defendants to carry a part of a load for them on the defendants' van
which was taking some of their (the defendants') furniture from London
to Leeds.
The defendants' driver, having delivered those goods, spoke on the
telephone to the traffic manager of the plaintiffs' office at Leeds to see
if he could obtain a load for his empty van from Leeds to London, and
said that he had just carried goods from the plaintiffs' London office to
Leeds. The traffic manager replied that he had a load, which was in fact
200 cases of whisky, but he made no inquiries from the driver as to
whether he had an "A" licence.
The defendants' van was duly loaded with the whisky, which was stolen
on the way to the London docks owing to the driver's negligence.
On a claim by the plaintiffs for damages for the loss of the whisky, the
defendants pleaded the illegality of the contract, in that their van did not
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
96
have an "A" licence as required by the Act of 1933.”
Mohamed v Alaga
[2000] 1 WLR 1815
Holding 1824: [Citing St. John Shipping Corporation v Joseph Rank Ltd
[1957] 1 Q.B. 267 at 283] “The second principle is that the court
will not enforce a contract which is expressly or impliedly
prohibited by statute. If the contract is of this class it does not
matter what the intent of the parties is; if the statute prohibits
the contract, it is unenforceable whether the parties meant to
break the law or not. A significant distinction between the two
classes is this. In the former class you have only to look and
see what acts the statute prohibits; it does not matter whether
or not it prohibits a contract; if a contract is deliberately made
to do a prohibited act, that contract will be unenforceable. In
the latter class, you have to consider not what acts the statute
prohibits, but what contracts it prohibits; but you are not
concerned at all with the intent of the parties; if the parties enter
into a prohibited contract, that contract is unenforceable.”
1825: “[E]ven if the alleged agreement is discarded as illegal
and unenforceable, and without making any reference to that
agreement at all, the plaintiff is entitled to be paid a reasonable
sum for professional services rendered by him to the defendant
on behalf of the defendant's clients, the surrounding
circumstances being such as to show that such services were
not rendered gratuitously.”
1825: “[T]he plaintiff is not seeking to recover any part of the
consideration payable under the unlawful contract, but simply
a reasonable reward for professional services rendered. I
accept that as an accurate description of what on this limited
basis the plaintiff is, in truth, seeking. It is furthermore in my
judgment relevant that the parties are not in a situation in which
their blameworthiness is equal. The defendant is a solicitors'
firm and bound by the rules. It should reasonably be assumed
to know what the rules are and to comply with them. If, in truth,
it made the agreement as alleged, then it would seem very
probable that it acted in knowing disregard of professional rules
binding upon it. By contrast the plaintiff, on the assumption
made (which I have no difficulty in accepting), was ignorant that
there was any reason why the defendant should not make the
agreement which he says was made. In other commercial
fields, after all, such agreements are common […] On that
limited basis I would for my part allow the appeal and reinstate
the action to the extent of permitting the plaintiff to pursue a
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
97
quantum meruit claim for reasonable remuneration for
professional services rendered.”
Summary
of facts
Solicitors contracted with a translator for translation services and
introduction of clients to the firm; they would pay translator a share of
their fees contrary to legislation. The translator sued for monies owing
under the contract; the solicitors claimed the agreement was illegal.
Strongman (1945) Ltd v Sincock
[1955] 2 QB 525
Holding 526: “The builders could not recover the price under the
contract, since the contract was illegal as being absolutely
prohibited by the regulations.”
526: “The assurance given by the architect amounted to a
warranty or collateral contract that he would obtain the
supplementary licences or stop the work if he could not obtain
them.”
535: “[T]here was a warranty, or (putting it more accurately) a
promise by the architect that he would get supplementary
licences, or that if he failed to get them he would stop the work.
The builders say the on the faith of that promise they did the
work, and as the promise was broken they can recover
damages in respect of it.”
526: “That unless the builders had themselves been morally to
blame or culpably negligent they might recover damages in a
civil action for breach of warranty (and similarly for fraud), since
they had been led to commit the criminal offence which was
absolutely prohibited by the promise or representation of the
architect.”
526: “That these builders had not been culpably negligent in
themselves failing to obtain licences or ascertaining that they
had been obtained, since, as between architect and builder, the
primary obligation to obtain licences was by universal practice
admitted to be on the architect, and that duty was not displaced
in the present case by the fact that the architect was also the
building owner. The builders were accordingly entitled to
damages.”
537: “When a builder is doing work for a lay owner - if I may so
describe him - the primary obligation is on the builder to see
that there is a licence. He ought not simply to rely on the word
of the lay owner. He ought to inspect the licence himself. If he
does not do so, it is his own fault if he finds himself landed in
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
98
an illegality. But in this case there was not a lay owner. The
owner was the architect, and he himself said in evidence: "I
agree that where there is an architect it is the universal practice
for the architect and not the builder to get the licence." No fault,
it seems to me, can, in these circumstances, be attributed to
the builder”
Summary
of facts
An architect owner contracted with builders to supply materials and
carry out work at his premises, and promised orally that he would obtain
all the licences necessary at that date under regulation 56A of the
Defence (General) Regulations, 1939. Work considerably in excess of
the licences granted was carried out. The builders sought a claim for
the balance of the price over the licensed amount, or alternatively,
damages for a similar amount for breach of the warranty to obtain the
licenses.
PP v Donohue Enilia
[2005] 1 SLR 220
Holding [51] – [53]: There was no basis not to grant compensation for
the period where there was no valid work permit as there was
no evidence suggesting that the maid had been aware of the
revocation of her work permit.
Summary
of facts
The respondent was the employer of a foreign maid. The maid's work
permit was revoked when the respondent defaulted on the payment of
the maid levy, but the respondent continued to engage the services of
the maid. Throughout the period of employment, the respondent did not
pay the maid any salary. The maid eventually reported the respondent
to the police.
The respondent pleaded guilty in the magistrate's court to a charge
under s 5(1) of the Employment of Foreign Workers Act (Cap 91A, 1997
Rev Ed) ("the EFWA") for employing a foreign worker without a valid
work permit and to a charge under s 22(1)(a) of the EFWA for failing to
comply with the conditions of the work permit to pay the foreign worker
a salary.
The trial judge, however, refused the Prosecution's application for a
compensation order to be made for the unpaid salaries owed by the
respondent.
The Prosecution appealed against the refusal to grant a compensation
order.
Analysis Professor Chandran suggests that the employee’s innocence of the
illegality may be a factor in determining the whether the EA can apply
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
99
to the contract.
However, it is notable that Donohue Enilia is a case about criminal
compensation. As mentioned above, the applicability of the EA is likely
tied to the enforceability of the contract. Innocence of the employee is
thus likely to be relevant as a consideration in common law rules on
illegality of contract.
Ting Siew May v Boon Lay Choo
[2014] 3 SLR 609
Holding [66]: [Where] a contract is entered into with the object of
committing an illegal act, the general approach that the courts
should undertake is to examine the relevant policy
considerations underlying the illegality principle so as to
produce a proportionate response to the illegality in each case.
[70]: This process requires the court to consider a number of
general factors including:
o whether allowing the claim would undermine the
purpose of the prohibiting rule;
o the nature and gravity of the illegality;
o the remoteness or centrality of the illegality to the
contract;
o the object, intent and conduct of the parties; and
o the consequences of denying the claim.
[126]: [The reliance principle] is usually invoked only by a
contracting party seeking to recover (on a restitutionary basis)
what it had transferred to the other party, pursuant to the
(illegal) contract.
Summary
of facts
There was a property cooling measure that reduced the size of the loan
that the property buyers were eligible to receive, from an 80% loan-
to-value ratio to 60%. The buyers obtained an option to purchase a
property after the loan was effective. The loan was backdated to
circumvent the amended regulation. The seller refused to honour the
option on the grounds of illegality of the contract. The Court of Appeal
found that the contract was unenforceable at common law, as it was
entered into with the object of contravening a written law.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
100
IX. Misrepresentation
Bisset v Wilkinson
[1927] AC 177 NZ Privy Council
Holding The purchaser unable to set aside contract, because the
statement was not a statement of fact, but a statement of
opinion which was honestly held which was not actionable.
There was no imbalance in knowledge as both parties were in
the same position as they were both aware that the land had
never been used for sheep farming. Neither were experts in the
trade of farming sheep as well.
Summary
of facts
The plaintiff purchased a piece of farm land to use as a sheep farm. He
asked the seller of the farm how many sheep the land would hold. The
seller had not used it as a sheep farm but estimated that it would carry
2,000 sheep. In reliance of this statement the claimant purchased the
land. The estimate turned out to be wrong and the claimant brought an
action for misrepresentation, seeking to rescind the contract.
Deutsche Bank AG v Chang Tse Wen
[2012] SGHC 248
Holding [93]: “For a statement to constitute an actionable
misrepresentation, it must be a statement of a present fact.
This would exclude statements as to future intention,
predictions, statements of opinion or belief, sales puffs,
exaggerations and statements of law.”
[93]: [Citing Bestland Development Pte Ltd v Thasin
Development Pte Ltd [1991] SGHC 27] “A distinction ought to
be drawn between a representation of an existing fact and a
promise to do something in the future. Furthermore, mere
praise by a man of his own goods or undertaking is a matter of
puffing and pushing and does not amount to representation.
However, a statement of opinion may in certain circumstances
involve a statement of fact.”
[95]: “However, a finding that the statements in question were
statements as to future intention rather than statements of
present fact is not necessarily fatal to a misrepresentation
claim.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
101
[96]: “Statements as to future facts may therefore be re-
characterised as statements implying (i) that the maker of the
statement honestly believed that the event would happen in the
future; or (ii) that the maker of the statement had reasonable
grounds for making such an assertion.”
[97]: “The main difficulty in trying to found an action for
misrepresentation on statements of future intention is an
evidential one. The representee must prove, on a balance of
probabilities, the maker’s lack of honest belief in the
statement.”
Summary
of facts
The plaintiff sued the defendant for repayment of $1.79m USD
outstanding from his private wealth management account.
The defendant counterclaimed for damages arising from actionable
misrepresentation, fraudulent misrepresentation, breach of duty of
care, breach of fiduciary duty, resulting in losses of some $49m USD
due to the plaintiff’s mismanagement of his private wealth management
account.
Dimmock v Hallett
[1866] 2 Ch App 21
Holding There was a half-truth which amounted to a “misrepresentation
calculated materially to mislead a purchaser”.
Summary
of facts
The defendant was a seller of a farm, and had told the plaintiff, the
purchaser, that all farms on the land were fully let.
However, he did not inform the plaintiff that the tenants had given notice
to quit.
The plaintiff bought the land, thinking that tenants would stay. The
tenants left, and the plaintiff sued the defendant for misrepresentation.
Edgington v Fitzmaurice
[1885] 29 Ch D 459
Holding “A misstatement of the intention of the defendant in doing a
particular act may be a misstatement of fact, and if the plaintiff
was misled by it, an action of deceit may be founded on it.”
“Where a plaintiff has been induced both by his own mistake
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
102
and by a material misstatement by the defendant to do an act
by which he receives injury, the defendant may be made liable
in an action for deceit.”
Summary
of facts
“The directors of a company issued a prospectus inviting subscriptions
for debentures, and stating that the objects of the issue of debentures
were to complete alterations in the buildings of the company, to
purchase horses and vans, and to develop the trade of the company.
The real object of the loan was to enable the directors to pay off
pressing liabilities. The Plaintiff advanced money on some of the
debentures under the erroneous belief that the prospectus offered a
charge upon the property of the company, and stated in his evidence
that he would not have advanced his money but for such belief, but that
he also relied upon the statements contained in the prospectus. The
company became insolvent.”
Holmes v Jones
(1907) 4 CLR 1692
Holding The defendant is not entitled to rely on the original
misrepresentation as it did not induce him to enter into the
contract. He had relied on his own information gathered from
his inspection to enter into the contract.
There is a rebuttable inference of reliance. For this inference to
arise, the claimant has to prove that the statement would have
induced a reasonable person to enter the contract.
If it can be shown that the claimant relied on his own
independently acquired information and not upon the
misrepresentation, the element of inducement would be lacking
and it would not amount to an operative misrepresentation.
Summary
of facts
The plaintiff tried to sell land to the defendant, but had made false
representations as to the number of livestock on it. The defendant was
informed of the falsity of the statement and refused to enter into the
contract, but negotiated another deal on a different basis a few months
after inspecting the grounds.
The defendant later argued that the original misrepresentation had
induced him to enter the contract that was signed a few months later
after his inspection.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
103
Leow Chin Hua v Ng Poh Buan
[2005] SGHC 39
Holding [13]: “Admittedly, a party who has had the opportunity to
inspect documents but does not do so is not necessarily
deprived of the right to assert that he was deceived by a false
representation: see Redgrave v Hurd (1881) 20 Ch D 1.
However, it is quite clear that if a party conducts his own
investigation and does not rely on the misrepresentation, it can
no longer be said that the false statement had an effect on him:
see Attwood v Small (1838) 6 Cl & Fin 232; 7 ER 684.”
Summary
of facts
The defendant represented to the plaintiff that the business had a
turnover of $800,000 and made a profit of $200,000 a year. Before the
plaintiff entered into a joint venture with the defendant, the plaintiff
checked the accounts and thought it was worth his while to enter into a
joint venture with the defendant.
The plaintiff then invested in the business, which subsequently started
to lose money. The plaintiff then claimed that the defendant had
misrepresented him and sought to rescind the contract.
Redgrave v Hurd
[1881] 20 Ch D 1
Holding 2: “[T]hat where one person induces another to enter into an
agreement with him by a material representation which is
untrue, it is no defence to an action to rescind the contract that
the person to whom the representation was made had the
means of discovering, and might, with reasonable diligence,
have discovered, that it was untrue.”
2: “[I]t is no defence in such an action that the Defendant made
a cursory and incomplete inquiry into the facts, for that if a
material representation is made to him he must be taken to
have entered into the contract on the faith of it, and in order to
take away his right to have the contract rescinded if it is untrue,
it must be [shown] either that he had knowledge of facts which
[showed] it to be untrue, or that he stated in terms, or [showed]
clearly by his conduct, that he did not rely on the
representation.”
Summary
of facts
The plaintiff, a solicitor, wanted to sell his business. He told the
defendant, a buyer, that his business brought in £300/year, and brought
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
104
the accounts of his business to D.
The defendant only took a cursory look and declined to look further.
Had he done so, he would have noticed that the business only brought
in £200/year
The contract was concluded, but the defendant later found out and
refused to perform. The plaintiff sued for specific performance, while
the defendant sought to rescind the contract.
Smith v Land & House Property Corporation
[1884] 28 Ch D 7
Holding Court rejected vendor’s argument on the basis that his
statement was held to contain an implicit assertion that he
knew of no facts which would lead to the conclusion that the
tenant was actually not a “most desirable tenant”.
“In a case where the facts are equally well known to both
parties, what one of them says to the other is frequently nothing
but an expression of opinion. Such a statement is, in a sense,
a statement of fact about the condition of the man’s own mind.
Nevertheless, this is an irrelevant fact, for it is of no
consequence what the opinion is.”
“But if the facts are not equally known to both sides, then a
statement of opinion by the one who knows the facts best
involves very often a statement of material fact, for he impliedly
states that he knows facts which justify his opinion.”
Summary
of facts
The plaintiff purchased a hotel. The seller described a tenant to be a
“most desirable tenant”. This was despite the seller’s knowledge that
the tenant was in arrears and on the verge of bankruptcy, and the rent
which he had paid was only paid under the threat of legal action.
The plaintiff bought the property and the tenant defaulted on payments.
The plaintiff sued the seller for misrepresentation.
Spice Girls Ltd v Aprilla World Service BV
[2002] EMLR 27
Holding The defendant was liable for misrepresentation by conduct that
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
105
the group would stay intact.
The representation that no one was going to leave the group
was necessarily implicit in the conduct of the Spice Girls.
Although AWS had accepted the risk that one of the girls may
leave after the contract was concluded, it did not accept the risk
that one of them had already decided to leave prior to contract
formation.
Summary
of facts
The defendant, the Spice Girls, entered into a contract with the plaintiff,
in which the plaintiff would sponsor the defendant’s concert tour in
return for promotional work to be carried out by the defendant.
Before the contract was concluded, the members of the Spice Girls all
knew that one of them had the intention to leave the group, but nobody
informed the plaintiff of this, and went ahead with a photoshoot with all
members present, organised just before the contract was concluded.
The plaintiff then sued for misrepresentation after the member left (as
this would reduce the sponsorship appeal of the Spice Girls with a
missing member), claiming that they were induced into entering the
contract.
The defendant claimed that a clause in the contract had already
allocated the risk of one of the members leaving the group to AWS.
Trans-World (Aluminium) Ltd v Cornelder China (Singapore)
[2003] 3 SLR 501
Holding The claim for misrepresentation was dismissed. There is no
general duty for full disclosure.
[66], [68], [126] and [130]: “Misrepresentation by silence
required more than mere silence. There ought to be a wilful
suppression of material and important facts. Thus where
silence was alleged to constitute misleading conduct, the
proper approach was to assess silence as a circumstance like
any other act or statement and in the context in which it
occurred.”
[132] to [136]: “There was no duty of care owed by the
defendants as there was no voluntary assumption of
responsibility here. There was no obligation to speak in the
context of negotiations for an ordinary commercial contract.
While S had chosen to answer questions posed to him, he was
not asked nor did he undertake to provide information on title
or adverse claims.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
106
Summary
of facts
“The plaintiffs entered into a contract with M for the purchase of cargo
in China. The cargo was in the custody of the defendant
warehousemen and collateral managers. The plaintiffs alleged that the
defendants' employee, S, had represented to them that the cargo
carried no risk as to title and delivery. However, the cargo was already
the subject of an injunction and subsequently, in litigation in the
Chinese courts, it was held that M did not have good title to the cargo.
The plaintiffs commenced an action against the defendants for
misrepresentation, whether fraudulent, innocent or negligent.”
With v O’Flanaghan
[1936] Ch 575
Holding The defendant was under an obligation to disclose this change
of circumstances to the plaintiff because (1) there was a
continuing representation, and (2) the defendant had a duty to
communicate the fundamental change of circumstances to the
plaintiff.
Summary
of facts
The plaintiff purchased a medical practice from the defendant. The
plaintiff was induced to buy the practice by the defendant's statement
that the practice took £2,000 per annum. This statement was true at the
time the negotiations for the sale of the practice began. However, by
time the sale was completed the practice was virtually worthless due to
the ill-health of the medical practitioner. The defendant had failed to
disclose this fact to the plaintiff.
X. Oral promises
Bannerman v White
[1861] 10 CBNS 844
Holding Where a statement was made close to the transaction it is more
likely to be a term. The two-day interval between making the
statement and forming the contract was sufficiently close to
render the statement a term.
The undertaking given by plaintiff was relied upon by the
defendant to agree to purchase. It was the term upon which the
defendant contracted and would be contrary to the defendant’s
intention (which was known to plaintiff) should the contract
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
107
remain valid if sulphur was used.
Summary
of facts
The plaintiff agreed by contract to purchase some hops to be used for
making beer. He asked the seller if the hops had been treated with
sulphur and told him if they had he wouldn't buy them as he would not
be able to use them for making beer if they had. The defendant assured
him that the hops had not been treated with sulphur. In fact they had
been treated with sulphur.
Birch v Paramount Estates Ltd
[1956] 167 Estates Gazette 396
Holding An oral warranty collateral to the contract was found because
parties intended for the contract to be partly written, partly oral.
Analysis Comparing this case with Oscar Chess, in both cases, the statement
as not reduced to writing, but the outcomes were different. The two
cases can be distinguished by whether the parties intended for the
contract to be partly written, partly oral, or wholly written.
Dick Bentley Productions v Harold Smith Motors
[1965] 2 All ER 65
Holding The statement was a term, not a representation.
If a representation is made in the course of dealings for a
contract for the very purpose of inducing the client to enter into
the contract, there is prima facie ground for inferring that the
representation was intended as a warranty.
The maker of the representation can rebut this inference if they
can show that they were innocent of fault in making it in that it
would not be reasonable in the circumstances for them to be
bound by it because they were not in a position to find out the
truth.
Summary
of facts
The defendant told the plaintiff that the car had been fitted with
replacement engine and gearbox, and that it had since done only
20,000 miles (the mileage shown on the odometer). The plaintiff bought
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
108
car, and found it to be unsatisfactory.
The trial judge held mileage statement to be untrue though not
dishonest, and awarded the plaintiff damages for breach of warranty
(taken to mean a binding promise in the ordinary sense). The defendant
appealed.
Kleinwort Benson Ltd v Malaysia Mining Corporation BHD
[1989] 1 WLR 379
Holding The defendant’s letter of comfort was simply a representation
of fact which did not amount to a contract promise. Hence, they
were not legally bound to the letter of comfort.
Summary
of facts
The plaintiff agreed to make a £10 million credit facility available to a
subsidiary company of the defendant. The defendant refused to act as
guarantors, but gave the plaintiff a letter of comfort stating that “it is our
policy to ensure that the business of [the subsidiary company] is at all
times in a position to meet its liabilities to you under the above
arrangements”.
The subsidiary company later ceased to trade after the collapse of the
market at a time when its indebtedness to the plaintiff was £10 million.
The defendant refused to honour their undertaking in their letter of
comfort.
Oscar Chess Ltd v Williams
[1957] 1 All ER 325
Holding An affirmation without warranty is only a representation; a
warranty required to make up a term.
“When the seller states a fact which is or should be within his
own knowledge and of which the buyer is ignorant, intending
that the buyer should act on it and he does so, it is easy to infer
a warranty.”
“If, however, the seller, when he states a fact, makes it clear
that he has no knowledge of his own but has got his information
elsewhere, and is merely passing it on, it is not so easy to imply
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
109
a warranty.”
“If the seller says: ‘I believe the car is a 1948 Morris. Here is
the registration book to prove it’, there is clearly no warranty. It
is a statement of belief, not a contractual promise. If however,
the seller says: ‘I guarantee that it is a 1948 Morris. This is
borne out by the registration book, but you need not rely solely
on that. I give you my own guarantee that it is’, there is clearly
a warranty. The seller is making himself contractually
responsible, even though the registration book is wrong.”
Summary
of facts
The defendant sold the plaintiff a car which was actually a 1939 model.
The registration book showed that it was first registered in 1948. The
defendant honestly believed the car to be a 1948 model and showed
the salesman for the plaintiff the registration book. The salesman also
believed it was a 1948. The purchase price of £290 was calculated on
this basis. If the plaintiff had known it to be a 1939 model, they would
have paid only £175 for it.
The plaintiff claimed £115 as damages for breach of warranty. Trial
judge held assumption that car was 1948 model was fundamental and
gave judgment for the plaintiff. The defendant appealed.
XI. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing)
Parole Evidence Rule
Section 93. Evidence of terms of contracts, grants and other dispositions of property
reduced to form of document
When the terms of a contract or of a grant or of any other disposition of property have been
reduced by or by consent of the parties to the form of a document, and in all cases in which any
matter is required by law to be reduced to the form of a document, no evidence shall be given in
proof of the terms of such contract, grant or other disposition of property or of such matter except
the document itself, or secondary evidence of its contents in cases in which secondary evidence
is admissible under the provisions of this Act.
Section 94. Exclusion of evidence of oral agreement
When the terms of any such contract, grant or other disposition of property, or any matter required
by law to be reduced to the form of a document, have been proved according to section 93, no
evidence of any oral agreement or statement shall be admitted as between the parties to any
such instrument or their representatives in interest for the purpose of contradicting, varying,
adding to, or subtracting from its terms subject to the following provisions:
(a) any fact may be proved which would invalidate any document or which would entitle any
person to any decree or order relating thereto; such as fraud, intimidation, illegality, want of due
execution, want of capacity in any contracting party, the fact that it is wrongly dated, want or failure
of consideration, or mistake in fact or law;
(b) the existence of any separate oral agreement, as to any matter on which a document is silent
and which is not inconsistent with its terms, may be proved; in considering whether or not this
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
110
proviso applies, the court shall have regard to the degree of formality of the document;
(c) the existence of any separate oral agreement constituting a condition precedent to the
attaching of any obligation under any such contract, grant or disposition of property, may be
proved;
(d) the existence of any distinct subsequent oral agreement, to rescind or modify any such
contract, grant or disposition of property, may be proved except in cases in which such contract,
grant or disposition of property is by law required to be in writing, or has been registered according
to the law in force for the time being as to the registration of documents;
(e) any usage or custom by which incidents not expressly mentioned in any contract are usually
annexed to contracts of that description may be proved; except that the annexing of such incident
would not be repugnant to or inconsistent with the express terms of the contract;
(f) any fact may be proved which shows in what manner the language of a document is related to
existing facts.
Zurich Insurance (Singapore) Pte Ltd v B-Gold Interior Design &
Construction Pte Ltd
[2008] 3 SLR(R) 1029
Holding The main features of the approach to determining the admissibility of
extrinsic evidence to affect written contracts are as follows (at [132]):
A court should take into account the essence and attributes of
the document being examined. The court ought to be more
reluctant to allow extrinsic evidence to affect standard form
contracts and commercial documents.
If parties intended to embody their entire agreement in a written
contract, no extrinsic evidence is admissible to contradict, vary,
add to or subtract from its term under ss 93 and 94 of the
Evidence Act.
Extrinsic evidence is admissible under proviso (f) to s 94 to aid
in the interpretation of written words. Ambiguity is not a
prerequisite for the admissibility of extrinsic evidence.
The extrinsic evidence in question is admissible so long as it is
relevant, reasonably available to all the contract parties and
relates to a clear or obvious context. There should be no
absolute or rigid prohibition against evidence of previous
negotiations or subsequent conduct, although this will require
more extensive scrutiny by the court in the future. Declarations
of subjective intention remain inadmissible except for the
purpose of giving meaning to terms which have been
determined to be latently ambiguous.
Extrinsic evidence may lead to possible alternative
interpretations of written words. A court may give effect to
these alternative interpretations, bearing in mind s 94 of the
Evidence Act. The normal canons of interpretation apply in
conjunction with the relevant provisions of the Evidence Act (ss
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
111
95-100).
Extrinsic evidence should only be used to explain and
illuminate the written words, and not to contradict or vary them.
Where the court concludes that the parties have used the
wrong words, rectification may be a more appropriate remedy.
Summary
of facts
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
Sembcorp Marine Ltd v PPL Holdings Pte Ltd
[2013] 4 SLR 193
Holding [65]: There are four clear propositions of the contextual
approach to contractual interpretation.
First, the admissibility of extrinsic evidence generally
is governed by rules of evidence and not by the rules
of contractual interpretation.
Second, the rules governing the admissibility of
extrinsic evidence in Singapore are to be found first in
the EA, then in the common law.
Third, the general admissibility of extrinsic evidence
under s 94(f) of the EA must be read together with the
exclusionary provisions of the EA, in particular, ss 95
and 96.
Fourth, extrinsic evidence of surrounding
circumstances is generally admissible under s 94(f).
However, it was and properly remains the position that
extrinsic evidence in the form of parol evidence of the
drafter's intentions is generally inadmissible unless it
can in some way be brought within the exceptions in
ss 97 to 100.
[73]: To buttress the evidentiary qualifications to the contextual
approach to the construction of a contract, the imposition of
four requirements of civil procedure are essential:
First, parties who contend that the factual matrix is
relevant to the construction of the contract must plead
with specificity each fact of the factual matrix that they
wish to rely on in support of their construction of the
contract.
Second, the factual circumstances in which the facts
were known to both or all the relevant parties must also
be pleaded with sufficient particularity.
Third, parties should in their pleadings specify the
effect which such facts will have on their contended
construction.
Fourth, the obligation of parties to disclose evidence
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
112
would be limited by the extent to which the evidence is
relevant to the facts pleaded.
Summary
of facts
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
XII. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing)
Section 6. Persons entitled to compensation
(1) Compensation under this Act shall be payable to or for the benefit of the employee or, where
death results from the injury, to the deceased employee’s estate or to or for the benefit of his
dependants as provided by this Act.
(2) Where a dependant dies before a claim under this Act is determined by the Commissioner,
the legal personal representative of the dependant shall have no right to payment of
compensation, and the amount of compensation shall be calculated and apportioned as if that
dependant had died before the employee.
(3) Where a deceased employee has no dependant, the compensation shall be paid into a fund
to be known as the Workers’ Fund which shall be established, maintained and applied in
accordance with regulations made under this Act and the person managing the Fund shall be
entitled to claim the compensation.
Section 23. Compulsory insurance against employer’s liability
(1) Every employer shall insure and maintain insurance under one or more approved policies with
an insurer within the meaning of the Insurance Act (Cap. 142) against all liabilities which he may
incur under the provisions of this Act in respect of any employee employed by him unless the
Minister, by notification in the Gazette, waives the requirement of such insurance in relation to
any employer.
(2) The Minister may, from time to time, prescribe the minimum amounts for which an employer
shall insure himself in respect of any of his liabilities under this Act.
(3) For the avoidance of doubt, an employer shall be liable to pay any liability that he may incur
under this Act in excess of the insurance limits that the Minister may prescribe under
subsection (2).
(4) In this section, “approved policy” means a policy of insurance not subject to any conditions,
exclusions or exceptions prohibited by regulations made under this Act.
(5) Any conditions, exclusions or exceptions imposed in a policy of insurance by any insurer
which are prohibited by regulations made under this Act shall not absolve the insurer from any
liability under the policy which the insurer may incur under the provisions of this Act.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
113
FOURTH SCHEDULE
CLASSES OF PERSONS NOT COVERED
1. Any member of the Singapore Armed Forces. 2. Any officer of the Singapore Police Force, the Singapore Civil Defence Force, the Central Narcotics Bureau or the Singapore Prisons Service. 3. A domestic worker, being any person employed in or in connection with the domestic services of any private premises.
XIII. Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing)
Section 12. Duties of employers
(1) It shall be the duty of every employer to take, so far as is reasonably practicable, such
measures as are necessary to ensure the safety and health of his employees at work.
(2) It shall be the duty of every employer to take, so far as is reasonably practicable, such
measures as are necessary to ensure the safety and health of persons (not being his employees)
who may be affected by any undertaking carried on by him in the workplace.
(3) For the purposes of subsection (1), the measures necessary to ensure the safety and health
of persons at work include —
(a) providing and maintaining for those persons a work environment which is safe, without risk to
health, and adequate as regards facilities and arrangements for their welfare at work;
(b) ensuring that adequate safety measures are taken in respect of any machinery, equipment,
plant, article or process used by those persons;
(c) ensuring that those persons are not exposed to hazards arising out of the arrangement,
disposal, manipulation, organisation, processing, storage, transport, working or use of things —
(i) in their workplace; or
(ii) near their workplace and under the control of the employer;
(d) developing and implementing procedures for dealing with emergencies that may arise while
those persons are at work; and
(e) ensuring that those persons at work have adequate instruction, information, training and
supervision as is necessary for them to perform their work.
(4) Every employer shall, where required by the regulations, give to persons (not being his
employees) the prescribed information about such aspects of the way in which he conducts his
undertaking as might affect their safety or health while those persons are at his workplace.
Section 14. Duties of principals
(1) Subject to subsection (2), it shall be the duty of every principal to take, so far as is reasonably
practicable, such measures as are necessary to ensure the safety and health of —
(a) any contractor engaged by the principal when at work;
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
114
(b) any direct or indirect subcontractor engaged by such contractor when at work; and
(c) any employee employed by such contractor or subcontractor when at work.
(2) The duty imposed on the principal in subsection (1) shall only apply where the contractor,
subcontractor or employee referred to in that subsection is working under the direction of the
principal as to the manner in which the work is carried out.
(3) It shall be the duty of every principal to take, so far as is reasonably practicable, such measures
as are necessary to ensure the safety and halth of persons (other than a person referred to in
subsection (1)(a), (b) or (c) working under the principal’s direction) who may be affected by any
undertaking carried on by him in the workplace.
(4) For the purposes of subsection (1), the measures necessary to ensure the safety and health
of persons at work include —
(a) providing and maintaining for those persons a work environment which is safe, without risk to
health, and adequate as regards facilities and arrangements for their welfare at work;
(b) ensuring that adequate safety measures are taken in respect of any machinery, equipment,
plant, article or process used by those persons;
(c) ensuring that those persons are not exposed to hazards arising out of the arrangement,
disposal, manipulation, organisation, processing, storage, transport, working or use of things —
(i) in their workplace; or
(ii) near their workplace and under the control of the principal;
(d) developing and implementing procedures for dealing with emergencies that may arise while
those persons are at work; and
(e) ensuring that those persons at work have adequate instruction, information, training and
supervision as is necessary for them to perform their work.
(5) Every principal shall, where required by the regulations, give to persons (other than a person
referred to in subsection (1)(a), (b) or (c) working under the principal’s direction) the prescribed
information about such aspects of the way in which he conducts his undertaking as might affect
their safety or health while those persons are at his workplace.
XIV. Tort
Chandran a/l Subbiah v Dockers Marine Pte Ltd
[2010] 1 SLR 786
Holding Employer owes employee non-delegable DOC for employee’s
personal safety at work place (even when temporarily sent to
work on someone else’s ship etc)
DOC found to be owed, irrespective of who had been careless
(important in showing that even if the job was sub-contracted
out, the main employer can still be held responsible),
[17]: “A distinctive feature of an employer’s duty of care to his
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
115
employees for their safety is that it is personal and therefore
non-delegable. This means that the employer cannot escape
liability simply by baldly asserting that another party was
negligent and responsible for the employee’s injury.”
Summary
of facts
“The appellant worked for the respondent as a stevedore. On 18
October 2005, the appellant was instructed by the respondent to move
cargo containers on board a vessel, the Tasman Mariner ("the vessel").
Prior to the commencement of work no safety inspection or safety
briefing was carried out by the respondent's supervisor; neither was
any safety equipment supplied to the appellant even though he was
required to work from heights. During the course of his engagement on
board the vessel, a ladder ("the defective ladder") on which the
appellant was standing suddenly detached from the hull of the vessel.
This caused the appellant to fall about 10m into a hatch of the vessel.
Resulting thereto, he sustained severe injuries. Consequently, the
appellant started proceedings to recover damages from the
respondent.”
Oberoi Imperial Hotel v Tan Kiah Eng
[1992] 1 SLR 380, [1992] SGCA 1
Holding Employer owed employee non-delegable duty under statute.
[25]: “[W]e were of the view that [the employers] were clearly in
breach of their absolute duty under s 22 of [Factories Act (Cap
104, 1985 Rev Ed) which provides: (1) Every dangerous part
of any machinery […] shall be securely fenced […]”
[26]: “The removal of …safety feature clearly put the
[employers] in breach of their s 22 duty.”
Summary
of facts
“The respondent Tan was employed by the appellant hotel Oberoi as a
laundry operator. Her hand was seriously injured while operating the
laundry press which had been altered. Tan sued Oberoi for damages
for the injuries suffered, alleging that the injuries were caused by an
unsafe system. The alteration to the laundry press was alleged to be in
breach of Oberoi’s common law duties as employers. Alternatively, Tan
alleged that Oberoi breached their statutory duties imposed by the
equivalent of the present ss 20 to 22 of the Factories Act (Cap 104)
(‘the Act’). Oberoi denied Tan’s allegations, the appellants and alleged
that Tan was contributorily negligent and in breach of her statutory duty
under the present ss 80 and 81 of the Act. The defence of volenti non
fit injuria was also pleaded. The trial judge found Oberoi wholly liable
and they appealed, arguing that the trial judge erred in rejecting their
argument that Tan was contributorily negligent.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
116
Jurong Primewide Pte Ltd v Moh Seng Cranes Pte Ltd and others
[2014] 2 SLR 360; [2014] SGCA 6189
Holding [2]: “The parties' operational activities were embraced by the
regulatory framework installed by the Workplace Safety and
Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed) ("WSHA") and the
relevant regulations (collectively, "the WSH Regime"). In this
regard, there was no common law tort of careless performance
of a statutory duty. The mere presence of a statutory duty did
not automatically give rise to a concomitant common law duty
of care. Rather, the presence of a statutory duty would fall
within the rubric of the existing analysis for negligence: at [36]
and[37].”
[6]: ”Industry standards should be taken into account in
assessing the standard of care. The industry standard provided
by the Singapore Standard SS 536 2008 Code of Practice ("the
Code") was applicable here. So were the stipulations under
WSHA: at [43].”
The second quotation gives guidance on how to assess
standard of care once DOC is established.
Summary
of facts
“The appellant, Jurong Primewide Pte Ltd ("JPW") was the main
contractor of a development at a worksite. The third respondent, MA
Builders Pte Ltd ("MA") had various subcontracts with JPW to carry out
structural, architectural and external works on the worksite. The second
respondent, Hup Hin Transport Co Pte Ltd ("Hup Hin"), had a rental
agreement with JPW to supply cranes to the worksite ("crane supply
contract"), and a hiring contract with Moh Seng Cranes Pte. Ltd. ("Moh
Seng"), to hire Moh Seng's mobile cranes whenever required.
MA made a request to JPW for a mobile crane to lift some steel rebars.
In turn JPW requested Hup Hin to deliver a mobile crane to the worksite
the next day. As Hup Hin did not have any cranes immediately available
for hire, Hup Hin hired one from Moh Seng. The next day, one Lian Lam
Hoe ("Lian"), Moh Seng's employee, drove the crane to the worksite.
Upon arrival, he was directed by the lifting supervisor employed by MA
("Lifting Supervisor"), to park the crane at a designated location at the
worksite. Lian raised concerns that the designated location would be
unable to bear the weight of the crane. The Lifting Supervisor assured
Lian that the ground comprised of hard flooring which could safely
support the crane's weight. Lian continued to harbour concerns and
189 NB: This is not a case where the migrant worker was a plaintiff or defendant.
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
117
conveyed this to JPW's Safety Officer. After conferring with the Lifting
Supervisor, JPW's Safety Officer reassured Lian that the ground was
safe. Lian then deployed the crane in accordance with the Lifting
Supervisor's instructions. During the lifting operation, part of the crane
collapsed into a concealed man-hole, causing the crane to topple over.
The High Court judge ("the Judge") held that the Lifting Supervisor was
JPW's representative and that JPW was wholly liable in negligence to
Moh Seng for the damaged crane. The Judge also held that no
contributory negligence was attributable to Moh Seng and MA. Finally,
the Judge dismissed JPW's contractual claim for an indemnity against
both Hup Hin and MA. As regards the claim against Hup Hin, the Judge
held that the legal basis of the relationship between JPW, Hup Hin and
Moh Seng was a tripartite oral contract between the parties ("oral
contract"). The crane supply contract, which contained an indemnity
clause, was not incorporated into the oral contract. JPW's claim against
MA for breach of the subcontracts also failed. The Judge construed
"wilful default" in the indemnity clause to refer to JPW's failure to take
reasonable care. Given his earlier finding of negligence on JPW's part,
JPW could not claim an indemnity against MA. JPW appealed against
the entirety of the Judge's decision.”
Loh Tek Hua v Tey Joo Soon and Another
[2006] SGDC 225
Holding Claim for damages as a result of injuries arising from a traffic
accident.
“It is trite law that the legal burden, or the burden of proving a
fact to the requisite standard of proof, always remains with the
party who seeks to prove that fact. The evidential burden, or
the burden of adducing evidence to meet the standard of proof
or to prevent the opposing party from meeting the standard of
proof, may be on either party, depending on the circumstances
of the case. Jeffrey Pinsler illustrates the point of the shifting of
the evidential burden clearly in Evidence, Advocacy and the
Litigation Process (2nd Edition) at page 240:
[11]: “Unlike the legal burden, the evidential burden can shift
throughout the trial. Put another way, the state of the evidence
can shift so that at one moment the prosecution’s case is strong
enough to satisfy the standard of proof (proof beyond a
reasonable doubt) and at another, it is not. In the former
situation, the evidential burden shifts to the accused in the
sense that if he does not adduce evidence to bring the
prosecution’s case below the standard of proof (ie by creating
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
118
a reasonable doubt), he would lose. As a matter of practice, the
court does not consider the incidence of the evidential burden
at different moments in the proceedings. The crucial time for
this purpose is at the end of the prosecution’s case. He must
discharge the evidential burden by then in order for the
accused to be called upon to enter his defence […] The same
principles apply to the facts in issue which need to be proved
by a plaintiff and a defendant in civil proceedings.”
[12]: “Applying the above principles to the case before me, the
legal burden was on the plaintiff to prove negligence on the part
of the 1st and/or 2nd defendant, as was pleaded in the statement
of claim. The evidential burden would be initially on the plaintiff
to establish such negligence on a balance of probabilities. If he
achieved this, the burden would shift to the defendant to try at
least to equalise the probabilities.”
[14]: “In the present case, similarly, there was a prima facie
case of negligence against both the defendants or either of
them, and it was for each defendant to displace it.”
Summary
of facts
[2]-[4]: “The circumstances surrounding the accident which occurred on
23 September 2003 at about 8:30 pm at the junction of Admiralty Road
West and Woodlands Avenue 8 were straightforward. The weather was
clear, the roads were dry and the traffic was light. The 1st defendant
was riding a motorcycle along Admiralty Road West. The plaintiff was
his pillion rider. The 2nd defendant was the owner and driver of a car
which was travelling along Admiralty Road West in the opposite
direction.
At the T-junction of Admiralty Road West and Woodlands Avenue 8, a
signal-controlled junction, as the motorcycle was making a right turn
into Woodlands Avenue 8, a collision took place between the
motorcycle and the car. The car hit the left side of the motorcycle. As a
result of the impact, both the plaintiff and the 1stdefendant fell from the
motorcycle. According to the 2nd defendant, the plaintiff landed on the
roof of his car and fell onto the rear windscreen. The 1st defendant
landed on his front windscreen before falling to the ground.
In his statement of claim, the plaintiff alleged negligence on the part of
the 1st defendant and/or 2nddefendant. The respective defendants
blamed each other for the accident. Both claimed to have the right of
way when the accident occurred. What was pertinent was that in their
pleadings, neither defendant blamed the plaintiff, who was a pillion
rider, in any way for the accident. I highlighted this fact as it was a factor
I took into account in my findings later in this judgment.”
(The facts of how the plaintiff proved the accident are not very relevant
and important to migran worker claims.)
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
119
Amus bin Pangkong v Jurong Shipyard Ltd and another
[2000] 1 SLR(R) 839; [2000] SGHC 67 [Amus]
Holding Held, allowing the appeal.
[7]: “The burden of proving what was reasonably practicable in
relation to s 33(3) lay not on the person injured but on the
person responsible for maintaining the safety of the
workplace.”
Summary
of facts
“The appellant worker was employed by the second respondents (“the
employers”) to carry out blastering work in a tank of a vessel at the
shipyard of the first respondents (“shipyard owners”). The shipyard
owners subcontracted the blastering work to the employers. The
worker accidentally fell to the bottom of the tank and when his co-
workers discovered him, he was not wearing a safety belt. However, an
insurance adjuster for the shipyard owner’s insurers recorded a
statement where the worker admitted wearing a safety belt. At trial, the
worker disputed the contents of the statement and that the signature
on it was his. A co-worker testified that there was no safety equipment
available on the day of the accident and that any safety equipment had
been given long before that day. The worker claimed damages for
personal injuries suffered as a result of the negligence of the shipyard
owners and/or the employers, a breach of their duties as occupiers of
the vessel and a breach of their statutory duties under the Factories Act
(Cap 104, 1998 Rev Ed) (“the Act”). The district judge dismissed all the
worker’s claims.
On appeal the worker argued that the district judge erred in: (1) finding
that he had on a safety belt consequently erred in concluding that the
employers were not in breach of their duty to provide the worker with a
safety belt; (2) confining the duty to the commencement of the
blastering work as the duty to provide a safe system of work was
continuous; (3) finding that the employers’ failure to supervise the
workers was not the proximate cause of the worker’s injuries; (4) finding
that the first respondents were not occupiers of the tank in the vessel;
(5) finding that the employers were not liable to the worker as
occupiers; and (6) concluding that there was no breach of s 33(3) and
33(7) of the Act by either of the respondents.
Section 33(3) of the Act provided that there should be safe access and
egress from any place or work and s 33(7) provided, among other
things, that a secure foothold and handhold be provided for a person
who had to work at a height of more than 3 metres.”
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
120
Araveanthan and another v Nippon Pigment (S) Pte Ltd
[1992] SGHC 20
Holding The wording of s 24 of the Factories Act (Cap 104, 1985 Rev
Ed) indicated that the duties were absolute in the sense that
once it was proved that the safeguards and machinery were
not maintained or kept in position as required, the first plaintiff
did not need to prove any lack of care on the part of the factory
owner.
Summary
of facts
“The first plaintiff, an infant, sued the defendant by his father and next
friend for damages in respect of personal injuries he suffered during an
industrial accident in the defendant's factory. The first plaintiff argued
that the accident was caused by the defendant's negligence and/or
breach of statutory duty.
The first plaintiff had been employed by the defendant as a machine
operator. The first plaintiff operated a plastic injection moulding
machine. The machine had a gate guard which acted as an automatic
safety device. When the gate guard was open, the moving mould
should have remained stationary. At the time of the accident, the gate
guard was open and the first plaintiff was removing a plate from the
machine. Instead of remaining stationary, the moving mould closed on
the first plaintiff's right hand. As a result of the accident, the first
plaintiff's right index, middle and ring fingers had to be completely
amputated. He was assessed to have 70% permanent incapacity for
the purposes of estimating workmen's compensation.”
Bab 3:
Prosedur Untuk Mencari Penyelesaian
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
122
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
1. PENDAHULUAN
I. Gambaran umum
1.1. Berbagai prosedur yang dikemukakan dalam bab ini terutama berlaku untuk
pekerja dengan izin kerja, atau kartu pas khusus1 yang mengizinkan mereka untuk
dapat tinggal di Singapura. Namun demikian, buruh migran yang mempunyai
kartu S-pass dan ingin mengajukan gugatan di pengadilan Singapura juga dapat
mengacu pada bagian-bagian tertentu yang menjelaskan tentang proses
pengajuan gugatan perdata baik dari dalam Singapura atau dari luar negeri.
1.2. Tergantung pada keabsahan izin kerja, berbagai kemungkinan jalur prosedural
akan dikemukakan pada bagian-bagian berikut ini:
1.3. Bagian 2 menyajikan gambaran umum dan pengenalan singkat terhadap
berbagai jalur penyelesaian yang tersedia bagi buruh migran, termasuk negosiasi
dengan pemberi kerja, melakukan pendekatan pada Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan mengajukan gugatan perdata.
1.4. Bagian 3 mengkaji berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang
masih berada di Singapura, apakah melalui izin kerja yang masih berlaku, atau
dalam hal izin kerja sudah kadaluwarsa atau dibatalkan, kartu pas khusus untuk
buruh migran.Dengan pengecualian Pekerja Rumah Tangga Asing (PRT Asing),
klaim yang diajukan buruh migran dapat dibawa ke Kemenaker.2 Buruh migran
dapat menjalani proses mediasi opsional, dan selanjutnya memutuskan untuk
membawa kasusnya ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di bawah
Kemenaker, dimana ia dapat memperoleh keputusan yang dikeluarkan oleh
Asisten Komisioner untuk Ketenagakerjaan (ACL, Assistant Commissioners for
Labour).3 Selain itu, buruh migran juga dapat mengajukan gugatan perdata di
1 “Kartu pas khusus” adalah kartu pas yang dikeluarkan atas wewenang petugas imigrasi, atau petugas Kemenaker,
berdasarkan wewenang petugas imigrasi berdasarkan pasal 15 dari Peraturan Imigrasi. Dengan kartu pas ini, pemilik
kartu dapat memasuki atau tetap tinggal di Singapura selama jangka waktu yang tidak melebihi satu bulan. Lihat
Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing), reg 15. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah teks UU tersebut.
2 Perlu dicatat bahwa karena PRT Asing tidak tercakup dalam UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act) dan UU
tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Work Injury Compensation Act), berbagai prosedur
Kemenaker yang dibahas dalam manual ini tidak berlaku untuk PRT Asing. Namun demikian, mereka masih dapat
mengambil jalur perdata dan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate atau Small
Claims Tribunal (SCT). Lihat Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing), s 2 [EA]; Work Injury Compensation Act
(Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) Fourth Schedule [WICA]. Lihat Bagian 6.VII dan Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU
tersebut.
3 Di pihak ACL, para direksi dan sejumlah jaksa penuntut (prosecuting officers) mengambil peran quasi-judicial dalam
melakukan adjudikasi sengketa yang terkait dengan klaim berdasarkan UU tersebut. Lihat WICA, supra Chapter 2 note
49, s 2A; MOM, Divisions and Statutory Boards: Legal Services Department, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg>.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
123
Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate atau SCT (Small Claims Tribunal,
suatu pengadilan yang menyelesaikan sengketa dengan nilai gugatan kecil).4
1.5. Bagian 4 menjelaskan tentang berbagai jalur hukum yang tersedia ketika buruh
migran tidak lagi mempunyai izin kerja yang masih berlaku sehingga harus
kembali ke negara asalnya. Bagi mereka yang telah kembali ke negara asalnya,
keputusan dari Kemenaker yang sudah dikeluarkan dapat diberlakukan melalui
permohonan atas Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure
and Sale) atau persidangan Garnishee.5 Selain itu, pekerja tersebut dapat
berusaha untuk mengajukan tuntutan perdata dari negara asalnya melalui
pengacara yang berlisensi Singapura.6
1.6. Bagian 5 menyajikan rangkuman yang konklusif dari bab ini.
1.7. Bagian 6 terdiri dari perundangan dan kasus hukum terkait yang menjadi sumber
rujukanbab ini.
4 Perlu dicatat bahwa jalur SCT agak terbatas. Lihat Bagian 3.IV.C.
5 Lihat Bagian 4.II.B.
6 Lihat Bagian 4.II.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
124
Bagan 1: Gambaran umum opsi hukum yang tersedia bagi buruh migran
Pilihan Hukum yang Tersedia untuk
Buruh Migran
Buruh Migran di
Singapura
Buruh Migran di Negara
Asal
Kementerian Tenaga Kerja
(Kemenaker)
Mediasi
*pilihan
Pengadilan Buruh
Kemenaker
Gugatan Perdata (diajukan secara
terpisah)
Putusan Putusan
Gugatan Perdata
(diajukan secara
domestik)
Putusan
Jika putusan dianggap tidak
sesuai, dimungkinkan
untuk diajukan ke
Pengadilan Tinggi
Pelaksanaan putusan
Perintah Sitaan (Garnishee
Order)
Surat Perintah Sitaan dan Penjualan (Writ of
Seizure and Sale)
Dijalakan
Jika putusan tidak
dijalankan
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
125
II. Buruh migran di Singapura – sebagai pemegang kartu izin kerja
1.8. Ada berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang ingin
mengajukan tuntutan hukum, mulai dari mengajukan gugatan kepada Kemenaker
ketika masih berada di Singapura, hingga mengajukan gugatan perdata dari luar
Singapura setelah kembali ke negara asal. Jalur hukum yang tersedia bagi
pekerja tergantung pada seberapa lama mereka masih bisa tinggal di Singapura,
yang pada gilirannya tergantung pada apakah klien memegang kartu izin kerja
yang masih berlaku.
1.9. Agar dapat bekerja di Singapura, semua non-penduduk Singapura harus memiliki
izin kerja yang masih berlaku. Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga asing
yang tidak memiliki izin kerja dapat dituntut berdasarkan UU Ketenagakerjaan
bagi Tenaga Kerja Asing (EFMA, Employment of Foreign Manpower Act).7
1.10. Secara singkat, izin erja yang biasanya dimiliki tenaga kerja asing adalah:8
• Kartu Pas Kerja bagi mereka yang memperoleh gaji bulanan tetap minimal sebesar $3.300 dan mempunyai kualifikasi profesional;9
• Kartu S-Pass untuk pekerja dengan tingkat ketrampilan menengah yang memperoleh gaji bulanan minimal sebesar $2.200;
• Izin kerja untuk pekerja dengan tingkat ketrampilan rendah atau kurang memadai.
1.11. Berbagai jalur yang tersedia dan dikemukakan dalam panduan ini sebagian besar
hanya berlaku bagi pekerja yang memegang izin kerja atau, kartu pas khusus jika
masa berlaku izin kerja telah berakhir atau telah dibatalkan. Hal ini tidak berarti
bahwa pekerja dengan kartu S-Pass tidak mempunyai jalur hukum lain. Pekerja
dengan kartu S-Pass masih dapat mengajukan tuntutan melalui jalur perdata.
1.12. Bagian berikut ini menjelaskan lebih lanjut tentang berbagai kesulitan yang
dihadapi buruh migran ketika mengajukan tuntutan di Singapura dan mengkaji
berbagai proses pengajuan tuntutan di Singapura melalui jalur Kemenaker dan
jalur gugatan perdata.
2. GAMBARAN UMUM DARI JALUR PENYELESAIAN YANG TERSEDIA
BAGI BURUH MIGRAN
2.1. Terdapat tiga cara utama dimana buruh migran (klien) dapat mengajukan klaim
terhadap pemberi kerjanya: melakukan negosiasi secara langsung dengan
pemberi kerja; melalui Kemenaker, serta mengajukan gugatan di pengadilan
perdata. Ketiga cara ini akan dijelaskan masinng-masing di Bagian I, II dan III.
7 Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing), s 5 [EFMA]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah
teks UU tersebut.
8 Ministry of Manpower, Foreign Manpower Passes & Visas, online: Ministry of Manpower <http://www.mom.gov.sg>
[MOM, Passes & Visas].
9 Seluruh angka dalam dolar yang tercantum dalam bab ini adalah dolar Singapura, kecuali disebutkan lain.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
126
I. Melakukan negosiasi dengan pemberi kerja
2.2. Pengacara dapat membantu dan mewakili klien dalam menegosiasikan
penyelesaian sengketa dengan pemberi kerja sebelum mengajukan tuntutan
melalui Kemenaker atau pengadilan perdata. Perundingan seperti ini sangat
berbeda dengan negosiasi yang dilakukan melalui jalur Kemenaker (akan dibahas
di bawah). Sayangnya, buruh migran yang masih bekerja mempunyai posisi tawar
yang lemah karena pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja dan izin kerja
buruh migran tersebut tanpa mengalami banyak kesulitan sehingga pekerja dapat
dipulangkan ke negara asal10 mereka dalam jangka waktu tujuh hari.11 Buruh
migran kemungkinan juga enggan melakukan negosiasi karena khawatir akan
terjadi pembalasan,12 perlakuan buruk dan pelecehan terhadap mereka maupun
anggota keluarga mereka di negara asal mereka oleh agen dari pemberi kerja
tersebut,13 meskipun rasa takut ini dapat meluas hingga pada semua upaya
penyelesaian yang ada. Pemberi kerja juga mungkin berpikir bahwa mereka dapat
menunggu sampai masa izin kerja buruh migran tersebut berakhir, yang membuat
buruh migran tidak dapat mengajukan klaim di Singapura, sehingga memaksa
mereka untuk melakukannya dari luar Singapura.
2.3. Oleh karena itu penting bagi para praktisi14 untuk mengingatkan pemberi kerja
bahwa bagaimanapun juga klien dapat menuntut melalui jalur Kemenaker, dan
klien juga masih dapat mengajukan klaim meskipun telah kembali ke negara
asalnya. Hal ini mungkin dapat memperkuat posisi tawar klien karena pemberi
kerja akan memahami bahwa mereka tidak dapat begitu saja menghentikan izin
kerja pekerja mereka dan memulangkan pekerja mereka tanpa takut akan adanya
tuntutan hukum.
2.4. Meskipun klien telah kembali ke daerah asalnya, para praktisi masih dapat
10 Lihat Bagian 3.II; TWC2 News, “Our Stand: Work permit holders should be free to change employers and stay longer”
(17 October 2013), online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg>. [TWC2 News, “Our Stand: Work permit
holders”].
11 Pemberi kerja harus mengurus pemulangan pekerja dalam waktu tujuh hari. Pekerja buruh akan dihadapkan pada
konsekuensi yang serius, seperti denda, jika masih tetap berada di Singapura lewat batasan waktu tersebut. Lihat
Kemennaker, Foreign Manpower: Passes & Visas, Work Permit (Foreign Worker) – Cancellation & Renewal, online:
<http://www.mom.gov.sg>. [MOM, Cancellation & Renewal].
12 Telah terjadi kasus pemulangan paksa, kadangkala sebelum waktunya, yang dibantu oleh perusahaan repatriasi.
Lihat Jolovan Wham, “Repartriation [sic] Companies – Manpower Minister’s response belittles the efforts of migran
workers” (30 November 2011), online: The Online Citizen <http://www.theonlinecitizen.com> [Wham, “Repartriation
Companies – Manpower Minister’s response”]; Wham, “TOC Expose: Repatriation companies” (14 Januari 2009),
online: The Online Citizen <http://www.theonlinecitizen.com>; Joyce Wong, “Gripped by two repatriation agents, Monjor
is taken to airport” (30 Maret 2014), online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg>.
13 Telah terjadi kasus penahanan ilegal dan pemukulan. Lihat Au Waipang, “Crime and ambivalence” (17 November
2011), online: Yawning Bread <http://yawningbread.wordpress.com>; Farah, “Foreign worker told: ‘if we kill you there
won’t be any witness’” (25 Juli 2012), online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg>.
14 Panduan ini menggunakan istilah “praktisi” dalam pengertian paling luas yang mengacu untuk semua bidang profesi
yang bekerja dengan dan atas nama buruh migran, termasuk pengacara, petugas penanganan kasus, pekerja sosial,
aktivis, advokat yang tidak terlatih dalam bidang hukum (non-legally trained advocates), dsb.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
127
berhubungan dengan klien mereka, dan membantu mereka dalam mengajukan
gugatan perdata dari jarak jauh. Dalam hal ini, praktisi harus memperoleh kontak
informasi secara detail dari klien. Lihat Bab 4 untuk informasi lebih lanjut, namun
informasi yang paling penting mencakup:
Nama lengkap;
Alamat rumah dan kode pos;
Alamat email (jika ada);
Nomor telepon; dan
Kontak anggota keluarga terdekat.
2.5. Apabila negosiasi dengan pemberi kerja berhasil dilakukan, catatan tertulis yang
jelas dan akurat dari perjanjian tersebut harus dicetak, ditandatangani dan dibubuhi
tanggal oleh kedua belah pihak (dan sebaiknya ada saksi). Jika negosiasi ditolak
atau tidak berhasil, klien dapat mengajukan gugatan mereka ke Kemenaker, atau
bahkan dapat memulai proses gugatan perdata di Singapura atau dari negara asal
mereka. Dalam situasi seperti ini, pemberi kerja sebaiknya diperingatkan terlebih
dahulu bahwa kegagalan dalam melakukan negosiasi dapat mengakibatkan hasil
yang lebih menguntungkan untuk klien karena Kemenaker akan melihat kasus
klien tersebut secara lebih positif apabila proses negosiasi telah diupayakan.15
Catatan tertulis dari proses negosiasi yang telah diupayakan akan bermanfaat
untuk membuktikan kepada Kemenaker bahwa klien sudah mengupayakan untuk
untuk menyelesaikan sengketa dengan iktikad baik.
II. Mengajukan gugatan melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker)
2.6. Kemenaker memiliki sejumlah mekanisme untuk menyelesaikan beragam
permasalahan hukum yang dihadapi buruh migran dan yang terkait dengan
pekerjaan mereka.
2.7. Kecuali PRT Asing,16 buruh migran yang mengalami kecelakaan di tempat kerja
dapat mengklaim ganti rugi berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan
di Tempat Kerja (WICA, Work Injury Compensation Act).17 Mereka yang mengalami
masalah dalam pekerjaannya, seperti upah yang tidak dibayar, dapat melakukan
tuntutan berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act). Tuntutan
lainnya yang melibatkan agen pengerah jasa tenaga kerja dapat diajukan melalui
15 Kemenaker dapat melihat kasus klien secara lebih positif apabila klien telah mengupayakan negosiasi namun ditolak
oleh pemberi kerja. Begitu juga untuk gugatan perdata, sesuai dengan Rules of Court (aturan-aturan yang berkenaan
dengan pengadilan), dalam menggunakan keleluasaannya yang terkait dengan biaya, pengadilan dapat
mempertimbangkan “tingkah laku para pihak yang terkait dengan upaya penyelesaian perkara atau masalah melalui
mediasi maupun cara penyelesaian sengketa lainnya.” Oleh karena itu, kemungkinan akan ada perintah pengeluaran
biaya (adverse costs orders) yang merugikan pihak pemberi kerja jika upaya negosiasi ditolak. Lihat Rules of Court
(Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing), o 59 r 5(c) [Rules of Court]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
16 Bab 2, supra note 49.
17 WICA, supra Chapter 2 note 49. s 3(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
128
Employment Agencies Act (EAA).18 Untuk para buruh migran yang telah
ditempatkan atau dipekerjakan secara ilegal, dapat melaporkan kepada
Kemenaker tentang adanya pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan
berdasarkan EFMA. Namun demikian, buruh migran dapat dikenai sanksi jika ikut
terlibat dalam kegiatan ilegal kecuali mereka dapat membuktikan bahwa mereka
tidak menyadari telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut.
Dengan demikian, praktisi harus mengkaji kasus klien secara seksama sebelum
mengajukan tuntutan kepada Kemenaker.
2.8. Melalui prosedur komplain ini, buruh migran dapat memperoleh keputusan yang
mempunyai kekuatan hukum. Perlu dicatat bahwa keputusan Kemenaker biasanya
berujung pada penyelesaian secara keuangan, misalnya ganti rugi dan
kompensasi, daripada injunctive remedy (penyelesaian dalam bentuk perintah
pengadilan yang mewajibkan salah satu pihak untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu). Prosedur pengajuan klaim yang umumnya dilakukan
oleh buruh migran ini akan dibahas secara rinci pada Bagian 3.
III. Mengajukan gugatan ke pengadilan perdata Singapura
2.9. Buruh migran memiliki opsi untuk tidak mengambil jalur Kemenaker tetapi
mengajukan gugatan ke pengadilan perdata. Tuntutan seperti ini beragam, mulai
dari common law claims (klaim yang dilakukan menurut peraturan perundang-
undangan yang didasarkan pada keputusan hakim dan adat-istiadat) seperti
kelalaian, hingga statutory claims (klaim berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang tertulis) seperti EA dan WICA. Sebelum memperkenalkan berbagai
jenis pengadilan dimana gugatan perdata dapat dilakukan, pengenalan singkat
tentang sistem peradilan Singapura akan sangat membantu.
2.10. Sistem peradilan Singapura terdiri dari dua tingkatan – Pengadilan Negara (State
Court) dan Mahkamah Agung (Supreme Court).
2.11. Pengadilan Negara (State Court) mencakup tiga pengadilan yang menangani
tuntutan perdata:19
Pengadilan Negeri (District Court) yang menangani gugatan dengan nilai sengketa tidak melebihi $250.000;20
18 Kemenaker biasanya mengarahkan buruh migran tersebut ke Small Claims Tribunal untuk mengajukan gugatan
mereka. Namun demikian, Kemenaker tidak mengeluarkan kartu pas khusus untuk gugatan yang terkait dengan agen
pengerah jasa tenaga kerja sehingga menyulitkan buruh migran untuk tetap berada di Singapura agar dapat mengikuti
proses gugatan jika Izin Kerja mereka dibatalkan atau habis masa berlakunya. Lihat H.O.M.E. & TWC2, Justice
Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migran Workers in Singapore (2010) di 26, online: Transient Workers
Count Too <http://twc2.org.sg/wp-content/uploads/2013/09/Justice-Delayed-Justice-Denied-ver2.pdf>. [H.O.M.E. &
TWC2, Justice Delayed, Justice Denied].
19 Civil Justice Division, Processes & Procedures: Going to Court on Civil Matters, online:
<https://app.statecourts.gov.sg>.
20 “Nilai yang disengketakan” adalah jumlah klaim yang diupayakan oleh pihak penuntut, yaitu klien, melalui
gugatannya.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
129
Pengadilan Magistrate (Magistrate’s Court) yang menangani gugatan dengan nilai sengketa tidak melebihi $60.000; dan
Small Claims Tribunal (SCT) menangani gugatan yang nilainya tidak lebih dari $10.000 (atau hingga $20.000 jika para pihak yang bersengketa sepakat) yang timbul dari sengketa yang terkait dengan perjanjian penjualan barang, penyediaan layanan, atau perbuatan melanggar hukum, dimana terjadi kerusakan pada harta milik. Kerusakan harta millik ini tidak mencakup kerusakan yang disebabkan oleh kecelakaan sebagai akibat dari atau yang terkait dengan penggunaan kendaraan bermotor.
2.12. Mahkamah Agung (Supreme Court) terdiri dari Pengadilan Tinggi (High Court) dan
Pengadilan Banding(Court of Appeal):
Pengadilan Tinggi yang menangani gugatan perdata dengan nilai sengketa lebih dari $250.000;21 dan
Court of Appeal yang menangani banding kasus yang berasal dari Pengadilan Tinggi.22
2.13. Para pihak dapat mengajukan banding terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negara, baik yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau
Magistrate ke Pengadilan Tinggi.23 Dari Pengadilan Tinggi, para pihak dapat
mengajukan banding ke Court of Appeal kecuali gugatan tersebut tidak
diperbolehkan untuk naik banding lagi berdasarkan UU yang berlaku.24
2.14. Klaim yang diajukan buruh migran umumnya tidak lebih dari $250.000 sehingga
tuntutan mereka seharusnya dibawa ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate
atau jika sesuai, ke SCT. Penjelasan lebih lanjut tentang cara melakukan
pengajuan gugatan perdata di Singapura dan dari luar negeri dapat diperoleh
masing-masing pada Bagian 3 dan Bagian 4 di bawah ini.
21 The Law Society of Singapore, You & the Law: Singapore Court System¸ online: The Law Society
<http://www.lawsociety.org.sg/forPublic/YoutheLaw/SingaporeCourtSystem.aspx>.
22 Ibid.
23 Ibid.
24 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
130
Bagan 2: Gambaran umum Sistem Peradilan di Singapura
Pengadilan Negeri
(District Court)
Pengadilan Magistrate
(Magistrate’s Court)
Gugatan Perdata
dimana jumlah yang
dipermasalahkan
kurang dari $250.000
Gugatan Perdata
dimana jumlah yang
dipermasalahkan kurang
dari $60.000
Gugatan Kecil
Tribunal (Small
Claims Tribunal*)
Lainnya
Gugatan Perdata
dimana jumlah yang
dipermasalahkan
kurang dari $10.000
Ketika parah pihak
sepakat, gugatan
perdata yang
dipermasalahkan
kurang dari than
$20.000 dapat
diterima
Family Court Juvenile Court Bail Court Criminal Courts Coroner’s Court Community Court Centralised Sentencing Court Filter Court Mentions Court Night Courts Neighbourhood Court Traffic Court
State Courts
Sistem Pengadilan Singapura
Pengadilan
tinggi (High
Court)
Court of
Appeal
Gugatan Perdata dimana jumlah yang dipermasalahkan lebih dari $250.000
Gugatan Perdata yang dimohonkan banding dari Pengadilan tinggi (High Court)
Permohonan
banding
Supreme Court
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
131
3. PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI
SINGAPURA
I. Pendahuluan
3.1. Buruh migran yang memasuki Singapura memegang izin kerja yang biasanya
berlaku hingga dua tahun.25 Dengan demikian, klien mempunyai jangka waktu
yang terbatas jika harus melalui Kemenaker atau memulai gugatan perdata
untuk menyelesaikan sengketa dengan pemberi kerja mereka atau dengan agen
pengerah tenaga kerja di Singapura (seperti sengketa yang terkait dengan upah,
kurangnya kompensasi terhadap kecelakaan di tempat kerja, dsb.). Jika kartu
pas khusus tidak dimiliki, izin kerja yang sudah habis masa berlakunya akan
menghambat proses persidangan yang dikehendaki buruh migran, baik yang
ditangani oleh Kemenaker maupun pengadilan perdata.
3.2. Bagian 3 selanjutnya dibagi seperti berikut: Bagian II menjelaskan situasi yang
dihadapi buruh migran yang berusaha untuk tetap tinggal di Singapura untuk
menyelesaikan proses hukum mereka. Bagian III menerangkan tentang berbagai
jalur di Kemenaker yang tersedia untuk buruh migran. Bagian IV menjelaskan
proses untuk memulai gugatan perdata di Singapura.
II. Kesulitan untuk tetap tinggal di Singapura
3.3. Buruh migran umumnya menghadapi berbagai kesulitan untuk mengajukan
klaim ketika mereka masih berada di Singapura karena mereka harus pergi
ketika izin kerja mereka habis masa berlakunya atau dibatalkan, kecuali jika
mereka dapat memperoleh kartu pas khusus. Namun, meskipun kartu pas
khusus mengizinkan buruh migran untuk tetap berada di Singapura, kartu pas
juga memberlakukan beberapa batasan, yang paling utama adalah mereka tidak
diperbolehkan bekerja. Suatu skema telah diperkenalkan yang memungkinkan
buruh migran memperoleh pekerjaan untuk sementara waktu, tetapi tetap saja
ada sejumlah pekerja yang tidak terjangkau oleh skema pekerjaan sementara
(TJS, Temporary Job Scheme) tersebut. Hal ini akan dijelaskan di Bagian A
hingga E di bawah.
A. Permasalahan imigrasi
3.4. Pada umumnya, buruh migran merasa ragu untuk mengajukan klaim ketika
masih dipekerjakan karena takut kehilangan pekerjaan mereka dan izin kerja
mereka dibatalkan oleh pemberi kerja mereka atau oleh Kemenaker.26 Tanpa
izin kerja, buruh migran tidak dapat tinggal atau bekerja di Singapura secara
sah.27 Buruh migran yang mempunyai izin kerja terikat pada pemberi kerja
25 Kemenaker, Cancellation & Renewal, supra note 11.
26 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
27 EFMA, supra note 7, s 5. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
132
mereka karena pemberi kerja harus membayar uang jaminan kepada
Kemenaker sebagai jaminan pemulangan pekerja ketika izin kerja telah berakhir
masa berlakunya atau dibatalkan.28 Berdasarkan sistem ini, kecuali buruh migran
diharuskan untuk meninggalkan Singapura dan kembali ke daerah asalnya,
sebelum mereka memperoleh izin kerja dan pemberi kerja baru.29 Oleh karena
itu, buruh migran sangat tergantung pada pemberi kerja mereka agar dapat
mempertahankan pekerjaan dan izin kerja mereka. Mereka beresiko kehilangan
mata pencaharian dan status hukum untuk dapat bekerja di Singapura jika
mereka mengajukan gugatan terhadap pemberi kerja melalui Kemenaker.
3.5. Selain itu, pemberi kerja dapat melakukan pemulangan pekerja secara
paksa.Hal ini sayangnya merupakan praktek yang sering terjadi.30 Dengan tidak
adanya ketentuan yang jelas untuk melakukan pemutusan perjanjian kerja, EA
menetapkan jangka waktu minimum untuk pemberitahuan pemutusan kerja baik
oleh pekerja maupun pemberi kerja.31 Jangka waktu ini hanya berkisar antara
satu minggu hingga empat minggu (semakin singkat pekerja tersebut
dipekerjakan, semakin singkat juga jangka waktu pemberitahuan)32 Pemberi
kerja juga mempunyai kekuasaan untuk membatalkan izin kerja dari pekerja
tersebut secara sepihak hanya dengan mengikuti prosedur online yang
sederhana tanpa perlu membuktikan bahwa pemberitahuan pemutusan kerja
telah dilakukan sesuai dengan EA.33
3.6. Berbagai kerentanan ini seringkali memaksa buruh migran menunggu hingga
berakhirnya kontrak kerja mereka untuk mengajukan gugatan, biasanya setelah
dua tahun.34 Hal ini mengakibatkan berbagai masalah berikut:
Hanya memiliki waktu yang singkat untuk menjalani proses gugatan mereka sebelum harus kembali ke negara asal.
Klaim yang diajukan berdasarkan EA atau ganti rugi untuk pekerja berdasarkan WICA dibatasi waktu selama satu tahun.35
3.7. Namun demikian, sebagian dari masalah-masalah ini dapat dihindari jika buruh
migran dapat memperoleh kartu pas khusus setelah izin kerja mereka telah habis
masa berlakunya atau dibatalkan.
28 Kemennaker, Foreign Manpower: Work Permit (Foreign Worker) – Security Bond, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/foreign-manpower/passes-visas/work-permit-fw/before-you-apply/Pages/security-bond.aspx>.
29 TWC2 News, “Our Stand: Work permit holders”, supra note 10.
30 Wham, “Repartriation [sic] Companies – Manpower Minister’s response”, supra note 12.
31 EA, supra note 2, s 10. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
32 Ibid.
33 Izin kerja dapat dibatalkan melalui proses online yang sederhana. Lihat Kemenaker, Cancellation & Renewal, supra
note 11, “Step-by-Step Guide on Cancellation of a Foreign Worker's Work Permit”; Kemenaker, Statistics &
Publications: “How do I cancel my foreign worker’s work pass?”, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/Documents/statistics-publications/Brochures/cancel-fw-work-permit-english.pdf>.
34 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
35 Lihat Bagian 3.21 dan 3.27.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
133
B. Kartu pas khusus untuk tinggal sementara
3.8. Berdasarkan peraturan imigrasi, buruh migran dapat diberikan “kartu pas
khusus” yang memungkinkan mereka untuk tetap berada di Singapura sambil
menunggu pemrosesan atau adjudikasi dari gugatan mereka.36 Kartu pas ini
dikeluarkan sesuai kebijaksanaan Kemenaker, berdasarkan pada apakah
Kementerian “menilai bahwa pekerja mempunyai alasan yang sah agar tetap
berada di Singapura untuk menyelesaikan sengketa atau klaim terhadap
pemberi kerja atau untuk menjalani pengobatan medis dan menyelesaikan
proses ganti rugi atas kecelakaan di tempat kerja.”37 Kartu pas khusus hanya
dapat dikeluarkan untuk jangka waktu yang tidak lebih dari satu bulan. Pas
khusus ini biasanya hanya diperpanjang apabila Kemenaker memutuskan untuk
menyelidiki pemberi kerja yang bersangkutan, serta memperbolehkan pekerja
untuk tetap berada di Singapura secara sah sampai proses penyelidikan
selesai.38
C. Keterbatasan dalam memiliki kartu pas khusus
3.9. Terdapat sejumlah kesulitan untuk memperoleh pas khusus, termasuk:
Kemenaker akan hanya mengeluarkan pas khusus untuk pekerja yang mengajukan klaim kompensasi gaji atau kompensasi yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja dan klaim serupa yang diperkenankan lainnya yang ditimbulkan secara langsung oleh pekerjaan mereka yang sah di Singapura;
Pekerja yang mengajukan gugatan masalah lainnya, seperti meminta kembali biaya yang telah dibayarkan ke agen, biasanya tidak akan diberikan pas khusus;39 dan
Pekerja yang menggugat agen pengerah tenaga kerja umumnya akan diarahkan oleh Kemenaker ke SCT atau pengadilan perdata lainnya untuk mengajukan gugatan mereka.40
3.10. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa tanpa adanya pas khusus yang dapat
membuat mereka tetap tinggal di Singapura secara sah, buruh migran
mempunyai waktu yang sangat terbatas41 untuk menyelesaikan klaim mereka
pada sistem peradilan yang ada.
3.11. Buruh migran yang memegang pas khusus masih dihadapkan pada sejumlah
36 Immigration Regulations, supra note 1, reg 15. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah teks UU tersebut.
37 Kemennaker, Newsroom, Press Replies Detail, “Who’s required to stay for cases: MOM”, online: Ministry of
Manpower <http://www.mom.gov.sg/newsroom/Pages/PressRepliesDetail.aspx?listid=224>.
38 Debbie Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too” (28 September 2005), online:
Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg> [Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass
holders too”]; MOM, “Who’s required to stay for cases: MOM”, Ibid.
39 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 26.
40 Ibid.
41 Supra note 11, buruh migran hanya memiliki waktu maksimal tujuh hari sebelum mereka harus meninggalkan
Singapura dan kembali ke negara asal mereka.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
134
masalah. Meskipun pengajuan klaim melalui Kemenaker pada umumnya
sekarang dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun,42 buruh migran
mungkin kesulitan untuk mendapatkan akomodasi43 selama menunggu kasus
tersebut selesai dan menghadapi kesulitan keuangan karena mereka tidak
diperbolehkan bekerja tanpa dispensasi khusus berdasarkan Skema Pekerjaan
Sementera (TJS, Temporary Job Scheme) yang dibahas di bawah ini.44 Jika
buruh migran memperoleh pekerjaan ilegal, ia dapat diberi peringatan, atau
dikenakan denda atau hukuman penjara45 yang biasanya mengakibatkan
pemulangan dan penolakan gugatan mereka oleh Kemenaker.46
D. Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme)
3.12. Beberapa pemegang pas khusus47 dapat memenuhi syarat untuk mengakses
Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme) sesuai dengan
kebijaksanaan Kemenaker, yang membantu pekerja dalam mencari pekerjaan
yang bergaji sambil mereka membantu Kemenaker dalam proses penyelidikan
atau bertindak sebagai saksi dalam penuntutan. Dibawah TJS, buruh migran
dengan pas khusus “dipasangkan” dengan calon pemberi kerja melalui pusat
penyimpanan data. Begitu terjadi kecocokan, calon pemberi kerja dapat
mengajukan permohonan izin kerja kepada Kemenaker bagi pekerja tersebut.
Kemenaker kemudian mengeluarkan izin kerja untuk pekerja tersebut selama 6
bulan.48 Kemenaker mempunyai keleluasaan untuk memperpanjang izin kerja
tersebut.49
3.13. Namun demikian, TJS belum tentu merupakan solusi terbaik bagi buruh migran
– proses untuk mendapatkan pekerjaan sangat lambat50 dan tidak ada jaminan
pekerja akan memperoleh pekerjaan51 karena ketersediaan pekerjaan
tergantung pada kondisi pasar dan jumlah pemberi kerja yang mengikuti TJS.52
Pada kenyataannya, hanya sedikit pemberi kerja yang menyadari adanya skema
ini. Selain itu, pemberi kerja yang mengetahui tentang TJS mungkin enggan
42 Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
43 TWC2 News, “Our Stand: Housing workers who are on special passes” (17 October 2013), online: Transient Workers
Count Too <http://twc2.org.sg>.
44 Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
45 EFMA, supra note 7, s 5(7). Lihat Bagian 6.VIII di bawah.
46 Fordyce, “MOM tough on worker, lets employer run rings around laws” (2 January 2013), online: Transient Workers
Count Too <https://twc2.org.sg>.
47 Perlu dicatat bahwa tidak semua pekerja yang memperoleh Pas Khusus akan memenuhi persyaratan TJS, seperti
pekerja yang mengajukan klaim gaji atau kompensasi atas kecelakaan di tempat kerja. Pekerja yang membantu proses
penyelidikan dapat mencakup penyelidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pemberi kerja. Lihat H.O.M.E. &
TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29.
48 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29
49 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29.
50 Alex Au, “Amin and his abusive employers” (13 September 2012), online: Transient Workers Count Too
<http://twc2.org.sg>.
51 Fordyce, “The perfect job” (3 February 2012), online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg>.
52 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
135
untuk mempekerjakan buruh migran tersebut sebab mereka dianggap sebagai
“pembuat masalah” karena telah mengajukan gugatan melalui Kemenaker.53
Sebagai akibatnya, jenis pekerjaan yang tersedia melalui TJS54 sangat terbatas
dengan upah rendah dan kemungkinan kondisi kerja yang tidak layak.55 Selain
itu, urusan akomodasi dan makanan tidak selalu disediakan oleh pemberi kerja.56
Oleh karena itu, TJS tidak efektif dalam meringankan beban finansial buruh
migran ketika menunggu gugatan mereka diproses di Singapura.
E. Pembatalan/berakhirnya masa berlaku izin kerja
3.14. Apabila izin kerja buruh migran telah habis masa berlakukanya atau telah
dibatalkan oleh pemberi kerja sebelum waktunya, buruh migran tidak
diperbolehkan untuk tetap tinggal secara sah di Singapura kecuali Kemenaker
mengeluarkan pas khusus.57 Kemenaker memberikan pas khusus untuk gugatan
yang diajukan melalui Kemenaker, tetapi tidak mengeluarkan pas khusus untuk
buruh migran yang mengajukan gugatan perdata.58 Jika buruh migran ingin
mengajukan klaim namun tidak dapat tetap berada di Singapura karena tidak
mempunyai izin kerja yang masih berlaku atau pas khusus, mereka harus
kembali ke negara asal dan hanya dapat mengajukan klaim dari jarak jauh.
Bagian 4 membahas berbagai alternatif jalur hukum yang tersedia ketika buruh
migran telah kembali ke negara asal mereka.
53 Au, “Made to stand in the corner like children” (26 July 2013), online: Transient Workers Count Too
<http://twc2.org.sg>.
54 Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
55 Nguyen Minh Quan, “Frustrating time as Badal waits for ministry to look into salary deductions” (18 June 2014),
online: Transient Workers Count Too <http://twc2.org.sg>.
56 Au, “Made to stand in the corner like children”, supra note 53.
57 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 26.
58 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
136
Bagan 3: Gambaran umum berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran untuk
mengajukan gugatan di Singapura
III. Menggunakan jalur Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker)
3.15. Mengajukan gugatan perdata di sistem peradilan Singapura bisa merupakan
proses yang memakan banyak biaya dan berkepanjangan. Sebagai
alternatifnya, buruh migran dapat menyelesaikan kasus mereka melalui
mekanisme yang tersedia dari Kemenaker. Jalur Kemenaker hanya tersedia bagi
buruh migran yang secara fisik berada di Singapura;59 dan memegang izin kerja
59 Ketika mengajukan gugatan atau klaim berdasarkan EA, Kemenaker dapat mewajibkan pekerja untuk menghadiri
pertemuan yang dijadwalkan bersama petugas dari Kemenaker dan bekas pemberi kerja dari pekerja tersebut. Jika
pekerja tidak menghadiri pertemuan yang telah dijadwalkan tersebut, kasus yang dilaporkan kepada Kemenaker tidak
akan diproses dan diverifikasi. Lihat Kemenaker, Employment Standards Online (ESOL), online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/services-forms/labour-relations/Pages/esol-individual.aspx>; Ketika mengajukan klaim
berdasarkan WICA, klien diminta untuk menghadiri pertemuan pra persidangan apabila pemberitahuan telah diberikan.
Izin Kerja yang Masih
Berlaku
Kementerian Ketenagakerjaan
(Ministry of
Manpower)
Gugatan
Perdata
Mencari penyelesaian dari
luar
Pulang ke negara
asal
Tetap di Singapura
Buruh migran di
Singapura
memegang
Izin Kerja daluwarsa
atau dibatalkan
Pas
khusus
Lihat Bagian
4 di bawah
Hanya tersedia untuk gugatan melalui
Kemenaker
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
137
atau pas khusus yang sah. Segmen ini membahas secara rinci dua bentuk
gugatan yang paling sering diajukan oleh buruh migran,60 perlu dicatat bahwa
PRTA tidak dapat mengajukan kedua gugatan ini.61
3.16. Suatu gugatan melalui jalur Kemenaker biasanya dapat diselesaikan kurang dari
setahun.62 Namun demikian, apabila buruh migran diharuskan meninggalkan
negara atau memutuskan untuk meninggalkan negara, upaya penyelesaian
melalui jalur Kemenaker tidak akan berlanjut.
3.17. Jika klien hendak mengajukan gugatan yang terkait dengan pekerjaan mereka,
seperti masalah gaji, seharusnya mereka melakukannya berdasarkan EA. Jika
klien mengalami cedera yang terkait dengan pekerjaan, gugatan dapat diajukan
berdasarkan WICA. Lihat Bab 2 untuk permasalahan substantif dari setiap klaim
tersebut. Perlu dicatat bahwa kedua jalur ini tidak tersedia bagi PRTA.63
A. Klaim berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA)
3.18. EA mencakup para pekerja yang berada dibawah kontrak kerja dengan pemberi
kerja. UU ini tidak mencakup pekerja rumah tangga dan kategori pekerja
tertentu lainnya.64 Gugatan atas pelanggaran berdasarkan EA ditangani oleh
Divisi Hubungan Kerja dan Tempat Kerja (LRWD, Labour Relations and
Workplaces Division) yang berada di bawah Kemenaker. Untuk melengkapi
berbagai pertimbangan substantif yang disebutkan pada Bab 2, Bagian ini akan
Ketidakhadiran klien pada pertemuan pra persidangan ini akan merugikan pekerja yang bersangkutan. Lihat WICA,
supra note 2, s 25B dan s 25C. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
60 Selain itu, jika klien mengajukan klaim terhadap agen pengerah tenaga kerja, hal ini dapat dilakukan berdasarkan
Employment Agencies Act (EAA). Perlu dicatat bahwa Kemenaker tidak mengizinkan buruh migran yang mengajukan
klaim yang terkait dengan biaya agen untuk memiliki pas khusus apabila Izin Kerjanya dihentikan. Lihat Employment
Agencies Act (Cap 92, 2012 rev Ed Sing); Employment Agencies Rules 2011 (Cap 92).
Klien juga dapat melaporkan berbagai masalah seperti pekerjaan ilegal, penempatan ilegal dan membuat pernyataan
palsu kepada Kemenaker, karena hal ini melanggar Employment of Foreign Manpower Act (EFMA). Penting untuk
dicatat bahwa buruh migran tidak diizinkan untuk mengajukan klaim gaji atas penempatan illegal, yang terjadi ketika
pemberi kerja mempekerjakannya pada sektor atau perusahaan lain yang tidak tertera pada Izin Kerjanya. Hal ini untuk
mencegah pekerja terus bekerja secara ilegal pada pekerjaan atau perusahaan lainnya tanpa melaporkan kepada
Kemenaker. Lihat EFMA, supra note 7. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
61 PRT secara eksplisit tidak tercakup dalam klaim EA atau WICA. Pertama, PRT secara eksplisit tidak tercantum dalam
definisi “karyawan” pada Bagian 2 dari EA, sehingga mereka tidak tercakup oleh EA. Kedua, “kategori orang yang tidak
tercakup” pada Fourth Schedule (lampiran keempat) dari WICA juga tidak mencantumkan “pekerja rumah tangga, yaitu
seseorang yang dipekerjakan atau terkait dengan jasa rumah tangga dalam lingkungan atau wilayah pribadi” pada
ketentuan tentang ganti rugi untuk kecelakaan di tempat kerja dan penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Lihat EA,
supra note 2, s 2. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut; WICA, supra note 2, Fourth Schedule; Lihat di
atas, supra note 2. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
62 Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
63 Supra note 2. Lihat juga supra note 60.
64 Supra note 2. Lihat juga supra note 60. Lihat juga Kemenaker, Employment Practices, The Employment Act: Who it
covers, online: Ministry of Manpower <http://www.mom.gov.sg>. Lihat juga Bab 2, Bagian 2.53 – 2.57.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
138
berfokus pada proses pengajuan klaim berdasarkan EA melalui jalur Kemenaker.
i. Batasan waktu untuk mengajukan klaim berdasarkan UU
Ketenagakerjaan (EA)
3.19. Terdapat dua batasan waktu yang membatasi upaya pengajuan klaim melalui
EA.
3.20. Pertama, untuk proses mediasi maupun proses Labour Court (Pengadilan
Perburuhan atau Pengadilan Industrial) yang berada di bawah Kemenaker,
buruh migran harus melaporkan kasusnya kepada Kemenaker dalam waktu 6
bulan terhitung dari tanggal pemutusan kerja.65 Misalnya, jika kontrak kerja
dihentikan pada tanggal 1 Januari 2014, maka klaim harus diajukan selambat-
lambatnya tanggal 30 Juni 2014.
3.21. Kedua, berdasarkan EA, Kemenaker hanya berwenang untuk menyelidiki kasus
yang terjadi kurang dari satu tahun dari tanggal pengajuan gugatan.66 Hal ini
berlaku untuk mediasi sukarela67 dan adjudikasi berdasarkan Labour Court yang
berada di bawah Kemenaker.68 Oleh karena itu, jika buruh migran menunggu
untuk mengajukan klaim gaji hingga akhir masa dari dua tahun kontrak kerja
karena takut akan ada tindakan balasan, klaim atas tunggakan gaji dari tahun
pertama masa kerja tidak akan dilayani.69
3.22. Sebagai alternatif, buruh migran yang ingin menyelesaikan sengketa yang
tercakup dalam EA dapat memilih untuk mengajukan gugatan pada pengadilan
perdata. Ketika mengajukan gugatan perdata, klien tidak terbatas oleh batas
waktu satu tahun tetapi oleh batas waktu enam tahun.70
ii. Proses pengajuan klaim melalui UU Ketenagakerjaan (EA)71
3.23. Buruh migran dapat mengajukan gugatan berdasarkan EA melalui portal Standar
Pekerjaan Online (ESOL, Employment Standards Online).72 Setelah pengajuan
klaim, baik prosedur mediasi atau pengadilan ketenagakerjaan akan
65 EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
66 Ibid.
67 Lihat juga Kemennaker, Services & Forms, Employment Standards Online (ESOL), online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg>.
68 EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
69 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 14.
70 Sebagaimana diatur berdasarkan EAs 122, batasan waktu sesuai EA s 115, wewenang Komisioner untuk menyelidiki
keluhan, tidak berlaku untuk gugatan perdata karena “tidak ada satupun pada Bagian ini akan membatasi atau
mempengaruhi yurisdiksi pengadilan manapun”. Lihat EA, supra note 2, s 122; EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian
6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
71 EA, supra note 2, s 119. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
72 Untuk mengajukan klaim di bawah EA, Kemenaker telah menyiapkan portal yang disebut Standar Pekerjaan Online
(Employment Standards Online, ESOL). Lihat Kemenaker, Services & Forms, Employment Standards Online (ESOL)
for Individual Users, online: Ministry of Manpower <http://www.mom.gov.sg>.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
139
dilaksanakan, Perlu dicatat bahwa baik untuk mediasi maupun proses Labour
Court yang dijelaskan di bawah, kedua belah pihak harus hadir dan tidak boleh
diwakili oleh pengacara.73 Namun demikian, karena pemberi kerja secara teknis
adalah suatu badan usaha, badan usaha tersebut dapat mengirim petugas selain
atasan langsung dari pekerja atau direktur utama perusahaan.
1) Mediasi
3.24. Setelah klaim diajukan, LRWD akan mengkaji klaim tersebut dan petugas
penasehat dapat melakukan sesi mediasi secara sukarela, tanpa biaya, untuk
pekerja dan pemberi kerja. Sebagai alternatif, klien dapat memilih untuk
mengajukan klaim secara langsung kepada Labour Court yang berada di bawah
Kemenaker.
2) Adjudikasi oleh Pengadilan Ketenagakerjaan (Labour Court) yang
berada di bawah Kemenaker
3.25. Pasca mediasi, jika salah satu atau kedua belah pihak tidak puas dengan hasil
proses mediasi, mereka dapat mengajukan proses adjudikasi oleh Labour
Courtyang berada di bawah Kemenaker.74 Biaya pengajuan untuk persidangan
adalah $3. Kedua belah pihak mengemukakan persoalan mereka sebelum
Asisten Komisioner untuk Tenaga Kerja (ACL, Assistant Commissioner for
Labour) mengeluarkan keputusan.75
B. Klaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat
Kerja (WICA)
3.26. WICA memberikan kompensasi kepada pekerja apabila mengalami cedera atau
mengidap penyakit selama masa kerja di Singapura.76 Lihat Bab 2 untuk
penjelasan mengenai UU tersebut.77 Bagian ini akan membahas proses
pengajuan klaim berdasarkan WICA.
i. Batasan waktu untuk mengajukan klaim berdasarkan UU
tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA)
3.27. Bagi mereka yang ingin mengklaim ganti rugi, diberlakukan batasan waktu
selama satu tahun, mulai dari tanggal terjadinya kecelakaan yang
menyebabkan cedera atau tanggal kematian.78
73 Aris Chan, “Hired on Sufferance, China’s Migran Workers in Singapore” (2011) China Labour Bulletin Research
Reports di 44; Meskipun pengacara tidak diperlukan, mereka dapat mewakili klien dalam mengajukan klaim WICA.
74 Perlu dicatat bahwa istilah “Labour Court” dan “Labour Tribunal” dapat dipakai secara bergantian dalam naskah ini.
Karena saat ini sepertinya Labour Court lebih sering digunakan, istilah Labour Court akan dipakai seterusnya.
75 Perlu dicatat bahwa ACL belum tentu terlatih secara hukum.
76 WICA, supra note 2, s 3(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
77 Lihat Bab 2, Bagian 5.
78 WICA, supra note 2, s 11. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
140
ii. Proses pengajuan klaim melalui UU tentang Kompens2asi atas
Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA)
3.28. Proses pengajuan klaim terbagi menjadi lima langkah:79
1) Melaporkan kejadian;
2) Mengajukan klaim;
3) Pemeriksaan medis;
4) Penerimaan Kemenaker atas hasil pemeriksaan; dan
5) Penyelesaian sengketa
C. Catatan tambahan
i. Klaim atas kecelakaan di tempat kerja: membandingkan klaim
berdasarkan WICA & gugatan perdata
3.29. Selain mengajukan klaim melalui jalur WICA, klien juga dapat mengajukan
gugatan perdata untuk kompensasi berdasarkan common law. Kedua jalur
menyelesaikan kasus yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja berbeda
dalam dua aspek.
3.30. Pertama, besar kompensasi berdasarkan gugatan perdata tidak dibatasi, tidak
seperti halnya klaim WICA.80 Namun demikian, lebih sulit untuk menetapkan
pertanggungjawaban pemberi kerja dalam gugatan perdata karena pihak
penggugat harus dapat membuktikan bahwa pemberi kerja adalah pihak yang
bersalah.
3.31. Kedua, pekerja hanya diperbolehkan untuk menggunakan satu jalur. Oleh
karena itu, jika pekerja telah menjalani proses penyelesaian klaim di pengadilan
perdata, maka mereka tidak diperbolehkan untuk mengakses jalur WICA dan
sebaliknya.81 Namun demikian, pekerja dapat meneruskan gugatan perdatanya
sepanjang ia telah menarik klaim WICA yang telah diajukan sebelum ACL
mengeluarkan perintah.82 Begitu juga, pekerja yang menarik klaimnya dari
79 Kemenaker, Workplace Safety & Health, Work Injury Compensation, I am the employee, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg>.
80 Bab 2 Bagian 5 untuk batas tertinggi yang sesuai dengan hukum.
81 WICA, supra note 2, s 33. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
82 Yang Dan v Xian De Lai Shanghai Cuisine Pte Ltd [2010] SGHC 346. [2011] 2 SLR 379. Hakim memutuskan bahwa
jika pertemuan pra persidangan diselenggarakan dan kesepakatan telah tercapai untuk menyelesaikan segala masalah
selama persidangan, maka Komisioner akan mengeluarkan Perintah Penyelesaian (Settlement Order). Begitu
Settlement Order telah dibuat, buruh migran yang bersangkutan kehilangan haknya untuk menarik klaim WICA dan
tidak boleh mengajukan gugatan perdata. Jika pekerja tidak setuju atas penyelesaian semua masalah pada saat
pertemuan pra persidangan, maka pekerja masih berhak untuk menarik diri. Namun demikian, setelah klaim WICA maju
ke persidangan dan jika Komisioner telah mengeluarkan Perintah Pasca Persidangan, maka telah terlambat bagi
pekerja untuk menarik klaim WICA atau untuk mengajukan gugatan perdata. Namun demikian, pekerja dapat
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
141
pengadilan perdata sebelum keputusan dikeluarkan dapat melanjutkan dengan
klaim WICA sepanjang masih berada dalam batasan waktu satu tahun dari
tanggal kecelakaan.83
3.32. Perbedaan antara pengajuan klaim WICA dan gugatan perdata yang disebutkan
di sini masih belum menyeluruh. Perbandingan yang lebih rinci antara klaim
WICA dan gugatan perdata disajikan pada Bab 2, Bagian 5.
ii. Batasan kompensasi: membandingkan EA & WICA
3.33. Berdasarkan EA, jumlah ganti rugi yang dapat diterima pekerja sangat beragam,
tergantung pada jumlah upah atau gaji yang disengketakan.84
3.34. Namun berdasarkan WICA, kompensasi dihitung berdasarkan jenis cedera, dan
dibatasi pada jumlah tertentu.85 Tabel selengkapnya tentang batasan ganti rugi
diberikan pada Bab 2 Bagian 5.IV.A, Tabel 10 sampai dengan Tabel 13.
3.35. Perbedaan antara pengajuan klaim berdasarkan WICA dan EA dapat dirangkum
secara singkat pada tabel di bawah:
Tabel 15: Perbandingan antara klaim berdasarkan WICA dan EA
Klaim berdasarkan WICA Klaim berdasarkan EA
Ganti rugi dibatasi Ganti rugi berbeda berdasarkan jumlah yang ingin diklaim buruh migran
Jumlah ganti rugi tergantung pada jenis cedera yang dialami
IV. Memulai gugatan perdata ketika klien berada di Singapura
3.36. Buruh migran yang ingin mengajukan gugatan perdata ketika masih di Singapura
harus memiliki izin kerja yang masih berlaku atau mempunyai status tinggal
lainnya yang sah karena Kemenaker tidak akan mengeluarkan pas tinggal
khusus untuk buruh migran yang mengajukan klaim di pengadilan perdata.86
mengajukan gugatan perdata sepanjang klaim WICA dibatalkan sebelum ACL mengeluarkan perintah Lihat Bagian
6.XIV untuk ringkasan kasus.
83 Kemennaker, Work Injury Compensation Act: Frequently Asked Questions, online: Ministry of Manpower
<http://www.mom.gov.sg> [MOM, WICA: FAQ].
84 Lihat Bab 2 Bagian 2.I.C untuk rinciannya.
85 Lihat Bab 2 Bagian 5.II untuk perbandingan pengajuan klaim melalui WICA vs pelanggaran hukum dalam hukum
perdata. Lihat juga Kemenaker, WICA: FAQ, supra note 83. Lihat juga http://www.mom.gov.sg/legislation/occupational-
safety-health/Pages/work-injury-compensation-act-faqs.aspx - sthash.DTx0wVES.dpuf.
86 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
142
Apabila izin kerja telah berakhir masa berlakunya atau telah dibatalkan, dan
pekerja tidak mempunyai izin tinggal lain yang sah, maka mereka terpaksa harus
mengajukan tuntutan dari luar Singapura. Hal ini dibahas pada Bagian 4 di
bawah.
3.37. Tergantung pada jumlah yang dituntut, klien dapat memutuskan untuk
mengajukan gugatan di Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri, yang
telah dijelaskan di Bagian A, atau di Small Claims Tribunal, sebagaimana yang
dibahas di Bagian C. Bagian D memaparkan tentang biaya yang mungkin timbul
dari pengajuan gugatan perdata.
A. Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Magistrate atau Pengadilan
Negeri
3.38. Pengadilan Magistrate menangani gugatan dimana jumlah sengketa tidak lebih
dari $60.000.87 Kebanyakan buruh migran kemungkinan akan mengajukan klaim
di pengadilan ini. Untuk nilai sengketa yang lebih besar, Pengadilan Negeri
menangani tuntutan dimana nilai yang disengketakan tidak melebihi $250.000.88
Lihat Bagan 4 di bawah untuk panduan visual tentang proses pengajuan gugatan
perdata.
i. Proses untuk memulai gugatan perdata89
3.39. Klien memulai tindakan perdata dengan mengajukan dokumen sesuai dengan
prosedur untuk memulai gugatan berdasarkan Writ of Summons (Surat
Panggilan) atau originating summons (panggilan awal).90 Proses hukum dimana
kemungkinan ada perselisihan fakta yang substansial dimulai dengan Writ
(perintah tertulis yang dikeluarkan peradilan agar melakukan tindakan
sesuatu).91 Dengan demikian, kebanyakan tuntutan perdata atas perbuatan
melanggar hukum dan kontrak dimulai melalui Writ.92 Suatu tuntutan hukum
hanya akan dimulai melalui panggilan awal apabila disyaratkan oleh UU atau
apabila ada perselisihan yang terkait dengan masalah hukum dimana kecil
kemungkinan adanya perselisihan fakta yang substansial.93 Klien lebih
87 Supra note 19.
88 Para pihak juga dapat menyepakati secara tertulis untuk membawa kasus mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun
jumlah yang disengketakan melebihi $250.000. Jika penggugat membatasi klaimnya hanya sebesar $250.000,
Pengadilan Negeri juga dapat menangani kasus tersebut.
89 Untuk informasi lebih lanjut tentang berbagai proses hukum perdata, lihat Cavinder Bull SC, Yarni Loi & Jeffrey
Pinsler, “Laws of Singapore: Overview- Ch. 02 Civil Procedure”, online: Singapore Law
<http://www.singaporelaw.sg/sglaw/laws-of-singapore/overview> [Bull, Loi & Pinsler, “Laws of Singapore: Civil
Procedure”].
90 Ibid.
91 Rules of Court, supra note 15, o 5 r 2. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
92 Bull, Loi & Pinsler, “Laws of Singapore: Civil Procedure”, supra note 89.
93 Rules of Court, supra note 15, o 5 r 3. Penjelasan dapat dilihat pada Ibid. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU
tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
143
cenderung memulai gugatan perdata melalui Writ.
3.40. Permohonan atas writ diajukan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate
oleh pekerja yang melakukan gugatan (penggugat) dan secara langsung
diserahkan94 kepada pemberi kerja atau pihak terkait dimana tuntutan tersebut
ditujukan (tergugat). Bentuk penyerahan secara langsung (personal service)
seperti ini umumnya diperlukan selama proses litigasi. Writ harus didukung
dengan pernyataan klaim (yang akan mencantumkan fakta material yang
mendukung klaim). Atau, jika sebuah Writ tidak didukung dengan pernyataan
klaim, sebuah pernyataan singkat mengenai sifat klaim yang dibuat atau bantuan
atau penyelesaian yang dicari harus disertakan.95
3.41. Jika klaim dipertentangkan: Setelah diberikan Writ of Summon (surat
panggilan), jika tergugat ingin mempertentangkan klaim klien, tergugat harus
memberitahukan pihak Pengadilan dan klien tentang keinginannya tersebut
melalui kehadiran (“appearance”).96 Appearance disini bukan berarti appearance
secara fisik, tetapi berupa memorandum of appearance (dalam bentuk dokumen)
yang diajukan dan diserahkan melalui eLitigation. Tergugat harus mengajukan
memorandum of appearance ke Pengadilan dalam waktu delapan hari setelah
tergugat menerima Writ of Summons (surat panggilan).97
3.42. Putusan karena tidak membuat memorandum of appearance: Jika tergugat
tidak menyerahkan memorandum of appearance dalam waktu yang telah
ditetapkan pada surat panggilan (writ), pengadilan dapat mengeluarkan putusan
terhadap pihak tergugat. Putusan ini dapat berupa keputusan akhir (final
judgment) atau putusan sela (interlocutory judgment), tergantung pada sifat dari
tuntutan tersebut. Namun jika ada pengajuan dari pihak terkait, pengadilan dapat
mengesampingkan atau mengubah putusan tersebut sepanjang memenuhi
keadilan. Apabila, Writtersebut tidak didukung dengan pernyataan klaim,
pernyataan klaim harus diserahkan dalam waktu 14 hari setelah terdakwa
Rules of Court, supra note 15, o 62; Lihat juga Sing, The Supreme Court Practice Directions, (2013) Bagian III s 33,
online: Supreme Court of Singapore
<http://app.supremecourt.gov.sg/data/doc/ManagePage/98/ePD_WebHelp/ePD.htm>. [Sing, The Supreme Court
Practice Directions]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
94 Personal Service (layanan langsung) dapat dilakukan oleh pengacara (solicitor) atau asisten pengacara. Juru sita
pengadilan (court process server) tidak ditugaskan untuk memberikan layanan langsung dari proses dan dokumen yang
terkait dengan tuntutan kecuali jika ada alasan khusus. Oleh karena itu, pengacara harus memberitahukan Kantor
Pencatatan Hukum (Legal Registry) dari Mahkamah Agung tentang pencatatannya, dan setiap perubahan daripadanya,
terkait dengan asisten pengacara yang telah diberi wewenang oleh pengacara untuk melakukan layanan langsung
(personal service) dari proses dan dokumen dengan mengisi Formulir 5 pada Lampiran A dari Arahan Praktek (Practice
Directions). Asisten pengacara tidak memerlukan otorisasi dari Kantor Pencatatan Hukum (Registrar) untuk dapat
memberikan layanan langsung (personal service) atas proses dan dokumen persidangan.
95 Rules of Court, supra note 15 o 6 r 2. See Section 6.XI untuk naskah teks UU.
96 Rules of Court, supra note 15, o 12 r 1; Jeffrey Pinsler, “Legal Systems In Asean – Singapore Chapter 4 – Legal
Procedure (Civil)” di 2, online: ASEAN Law Association <http://www.aseanlawassociation.org/legal-sing.html>. [Pinsler,
“Legal Procedure (Civil)”]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
97 Ibid di 3.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
144
melakukan appearence.98
3.43. Jika ada pembelaan dan tuntutan balik: Dalam waktu 14 hari sejak tanggal
diserahkannya Writ of Summons (surat panggilan), pihak tergugat harus
mengajukan pembelaan di Pengadilan dan juga mengirimkan salinan pembelaan
tersebut ke alamat klien atau alamat kantor pengacara klien tersebut.
3.44. Jika tergugat menyatakan bahwa dirinya mempunyai klaim atau berhak atas
keringanan atau penyelesaian terhadap penggugat, tergugat dapat melakukan
tuntutan balik dalam tuntutan yang sama dengan yang dilakukan oleh klien. Hal
ini disebut sebagai pembelaan dan tuntutan balik.
3.45. Penggugat dapat memberikan jawaban (dan pembelaan atas tuntutan balik)
kepada tergugat dalam waktu 14 hari setelah pembelaan (dan tuntutan balik)
diserahkan kepada penggugat.
3.46. Putusan yang dibuat Karena Tidak Ada Pembelaan: Jika tergugat telah
diberikan Writ of Summons (surat panggilan) dan melakukan appearance, tetapi
tidak melakukan pembelaan atas gugatan atau bagian manapun dari gugatan
atau tidak mengajukan pembelaan, maka penggugat dapat memohon
Pengadilan untuk mengeluarkan putusan terhadap tergugat. Putusan ini dapat
berupa keputusan akhir (final judgment) atau putusan sela (interlocutory
judgment), tergantung pada sifat dari tuntutan tersebut. Namun jika ada
pengajuan dari pihak terkait, pengadilan dapat mengesampingkan atau
mengubah putusan tersebut sepanjang memenuhi keadilan.
ii. Informasi dasar terkait prosedur untuk pemeriksaan atas gugatan
perdata
3.47. Jika sebuah klaim ditentang oleh penggugat, klaim tersebut akan diproses untuk
diadili di Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri (District Court). Bagian
ini merupakan informasi dasar yang singkat dari tahapan utama dalam kasus
perdata.
3.48. Panggilan untuk Arahan99: Ini digunakan untuk menetapkan langkah berikut
yang perlu untuk diambil agar para pihak dapat secara efektif mempersiapkan
persidangan. Pengadilan akan memutuskan dan memberikan arahan
sehubungan dengan pengajuan dan penukaran afidavit, jumlah saksi yang harus
dipenuhi oleh setiap pihak, dan jumlah hari persidangan yang diperlukan.
Panggilan untuk pengarahan biasanya dilakukan pada saat sudah mendekati
pembacaan gugatan (ini terjadi 14 hari setelah adanya penyerahan pembelaan
dari penguggat atau jawaban, dan/atau pembelaan atas klaim balik) atau setelah
permohonan untuk ringkasan putusan telah selesai.
3.49. Permohonan Interlocutory: Sebelum gugatan perdata masuk ke persidangan,
biasanya gugatan terkait akan melalui beberapa tahapan dan para pihak
98 Rules of Court, supra note 15, o 18 r1. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
99 Rules of Court, supra note 15, o 25 r1. Lihat Bgian 6.XI untuk naskah UU.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
145
diwajibkan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang terdapat dalam Rules
of Court. Selama masa pra-persidangan, adalah lazim bagi setiap pihak untuk
menyampaikan permohonan interculotory sebagai persiapan lebih lanjut dalam
suatu kasus. Permohonan interlocutory yang biasanya diajukan dalam kasus
perdata termasuk:
Permohonan untuk ringkasan putusan100: dimana penguggat dapat mengajukan harhas tidak adanya pembelaan yang nyata untuk menggugat klaimnya.
Permohonan untuk menghilangkan bagian101: dimana salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk mengilangkan seluruh atau beberapa bagian dari gugatan pihak lain, seperti halnya pernyataan klaim dan pembelaan. Terdakwa dapat menggunakan cara ini untuk menghilangkan seluruh pernyataan klaim (yakni seluruh kasus perdata), jika pihaknya meyakini bahwa klaim tersebut tidak berdasari (unmetorious).
Permohonan terhadap pihak lain untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dan lebih baik atas dokumen-dokumen yang telah diajukan102 atau perubahan terhadap berbagai macam dokumen yang telah diajukan.103
Permohonan untuk pencarian dokumen104: melalui proses ini, pengadilan dapat memerintahkan para pihak untuk mengungkapkan kepada satu sama lain dokumen-dokumen yang berada dalam kepemilikan atau penguasaan mereka yang berkaitan dengan perihal yang dipersengketakan diantara mereka.
3.50. Pendaftaran: Setelah berbagai hal dalam pra-persidangan dan permohonan
interlocutory telah ditangani (termasuk persyaratan untuk mencari dan
mengungkapkan seluruh dokumen dan bukti lainnya yang diandalkan dalam
persidangan), para pihak perlu membuat sebuah permohonan untuk
mendaftarkan kasus tersebut di persidangan,105 Hal ini merupakan langkah yang
perlu diambi oleh salah satu pihak (biasanya oleh penguggat) sebelum kasus
tersebut dapat dilanjutkan ke pengadilan.
3.51. Persidangan dan pasca persidangan: Pada saat persidangan para pihak akan
memberikan pandangan mereka masing elum kasus okumen yang nya,
mengemukakan bukti-bukti terkait, dan memanggil saksi – saksi untuk
mendukung kasus mereka. Pada akhir masa persidangan, pengadilan akan
memberikan putusannya terhadap kasus tersebut. Pengadilan dapat segera
memberikan putusan atau dapat menunda kasus dan memberitahukan kepada
para pihak dikemudian hari agar hadir di pengadilan untuk pembacaan putusan.
Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya klaim atas cedera pribadi, penutupan
persidangan mungkin tidak akan menyelesaikan klaim dengan sepenuhnya.
Pengadilan dapat memberikan putusan terhadap permasalahan tanggung jawab
100 Rules of Court, supra note 15, o 14. Lihat Bagian 6.XI untuk naskan UU.
101 Rules of Court, supra note 15, o 18 r19. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
102 Rules of Court, supra note 15, o 18 r12. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
103 Rules of Court, supra note 15, o 20 r 1 sampai 12. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
104 Rules of Court, supra note 15, o 24. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
105 Detail atas persyaratan dan prosedur untuk pendaftaran kasus untuk pengadilan dapat dlihat pada Rules of Court,
supra note 15, o 34. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
146
namun tanpa memberikan putusan terkait dengan jumlah kerugian yang harus
dibayarkan kepada penggugat yang menang. Dalam kasus ini, jumlah dari
kerugian yang akan diberikan akan didinilai oleh panitera dalam persidangan
tertutup di tahap berikutnya.106
iii. Proses yang lebih sederhana untuk persidangan gugatan perdata107
3.52. Apabila klaim dibawa ke Pengadilan Magistrate, maka proses perdata yang lebih
sederhana akan berlaku terhadap klaim tersebut. Untuk klaim di Pengadilan
Negeri (District Court), para pihak dapat memilih untuk mengikuti prosedur yang
lebih sederhana.108 Akan tetapi, aturan ini tidak berlaku untuk gugatan dalam
kecelakaan kendaraan tanpa cedera atau gugatan atas cedera pribadi.109
Sehingga, apabila beberapa bagian dari klaim mencakup cedera yang terjadi di
tempat kerja berdasarkan perbuatan melanggar hukum atas kelalaian (tort of
negligence) atau penyiksaan fisik dan cedera lain yang tidak disebabkan oleh
pekerjaan, maka proses yang lebih sederhana tidak dapat diterapkan dalam
klaim tersebut.
3.53. Fokus dari prosedur yang lebih sederhana ini adalah memfasilitasi penyelesaian
sengketa yang lebih cepat, Mengingat bahwa fokus dari hal ini adalah
penyelesaian yang lebih cepat, proses yang lebih sederhana umumnya akan
lebih dipilih daripada prosedur yang normal untuk kasus perdata. Fitur utama dari
proses yang lebih sederhana ini adalah sebagai berikut:
3.54. Pengungkapan Di Awal: Para pihak diwajibkan untuk menyerahkan dan
menyediakan dafrar dari dokumen terkait dengan gugatan mereka (yaitu
pernyataan atas klaim, pembelaan dan jawaban). Salinan dari dokumen yang
ada didalam daftar tersebut harus sudah dilengkapi dalam waktu 7 hari setelah
permintaan secara tertulis.110 Jika permintaan tertulis untuk salinan dari setiap
dokumen yang terdapat dalam daftar dokumen pihak yang lain tidak dipenuhi
dalam waktu 7 hari setelah permintaan, maka pihak yang membuat permintaan
tersebut dapat mengajukan permohonan untuk pembuatan. 111
3.55. Pengecualian Terhadap Permohonan Interlocutory Tertentu: Permohonan
Interlocutory untuk ringkasanputusan, pencarian serta pemeriksaan dokumen
dan permohonan untuk pemeriksaan tidak tersedia dalam proses yang lebih
sederhana.112
3.56. Case Management Conference (CMC): Setelah pembelaan diajukan,
pengadilan akan mengajukan CMC untuk keperluan membantu para pihak
106 Rules of Court, supra note 15, o 37. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
107 Rules of Court, supra note 15, o 108. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
108 Rules of Court, supra note 15, o 108 r1(2). Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
109 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 3(8). Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
110 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 3. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
111 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU
112 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
147
dalam mengelola kasus mereka sejak tahap awal proses.113 CMC biasanya akan
diadakan dalam waktu 50 hari setelah pembelaan diajukan dan pemberitahuan
untuk menghadiri CMC akan diberikan kurang lebih 21 hari sebelum CMC.114
Pada saat CMC, pengadilan akan membantu para pihak mengidentifikasi dan
mempersempit permasalahan, menangangi permasalahan interculotory terkait
dan mendiskusikan kelanjutan dari pengelolaan kasus. Para pengacara yang
mewakili para pihak harus hadir pada saat CMC dan pengadilan dapat meminta
para pengacara yang mewakili suatu pihak menghadiri CMC.
3.57. Tujuh hari sebelum CMC, para pihak diwajibkan untuk mengajukan melalui
eLitigation: (i) sebuah formulir yang memuat daftar permasalahan yang
disengketakan dan daftar dari saksi-saksi yang akan dipanggil,115 termasuk juga
(ii) ’C, para pihak116 Formulir ini mewajibkan para pihak untuk
mempertimbangkan berbagai macam opsi alternatif penyelesaian sengketa
untuk menyelesaikan klaim, termasuk mediasi, evaluasi netral dan arbitrase.
3.58. Pada saat CMC, pengadilan dapat mengelola kasus dengan mendorong agar
para pihak bekerja sama, membantu para pihak untuk mengidentifikasi dan
mempersempit permasalahan, mendorong para pihak untuk melakukan
negosiasi untuk menyelesaikan permasalahannya, mengunakan prosedur
alternatif penyelesaian sengketa atau bahkan menyelesaikan kasus. Pengadilan
juga akan memberikan arahan unutk memastikan bahwa kasus berjalan dengan
cepat, termasuk menetapkan jangka waktu untuk kasus tersebut.117
3.59. Persidangan yang Lebih Sederhana: Apabila hal ini berlanjut ke persidangan,
pengadilan dapat memberikan arahan agar dilakukan persidangan yang lebih
sederhana. Persidangan yang lebih sederhana akan dilakukan dalam jangka
waktu yang dialokasikan untuk pemeriksaan (10 menit), pemeriksaan silang (60
menit), dan pemeriksaan ulang (10 menit) untuk masing-masing saksi; dan
penyampaian penutupan (30 menit).118
113 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU
114 The State Courts Practice Directions, (2016) part III s 20(3) online: State Courts of Singapore <
https://www.statecourts.gov.sg/Lawyer/Documents/EPD/WebHelp_15Feb/index.htm>.
115 The State Courts Practice Directions, Ibid., Form 3 of Appendix A.
116 The State Courts Practice Directions, Ibid., Form 7 of Appendix A.
117 The State Courts Practice Directions, Ibid., Part III s 20(11).
118 Rules of Court, supra note 15, o 108 r 5. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
148
Bagan 4: Proses yang lazim dalam pengajuan gugatan perdata di Singapura
B. Security for costs
3.60. Klien yang kembali ke negara asalnya atau yang mengajukan gugatan perdata
dari luar Singapura beresiko untuk mendapatkan perintah pengadilan yang
mengharuskan klien membayar uang jaminan untuk biaya hukum pemberi
kerjanya. Pemberi kerja harus mengajukan permohonan kepada pengadilan
Penggugat mengajukan Writ of Summons atau
Originating Summons dan menyampaikannya kepada
Tergugat
Tergugat dapat meminta keputusan
yang menentang Tergugatdan memperoleh
Putusan atas dasar kegagalan untuk
menagjukan Pembelaan
Keputusan
Dapat berupa putusan akhir atau putusan sela (interlocutory judgment), tergantung pada sifat gugatan.
Tergugat membuat Memorandum of
Appearance dalam 8 hari
Tergugat menyerahkan
jawabannya kepada Penggugat (dan
pembelaan terhadap Klaim balik), dalam 14
hari
Penggugat mengajukan
Jawabannya (dan Klaim balik jika ada), dan memberikannya
kepada Tergugat
dalam 14 hari
Penggugat dapat memohon Putusan kepada Pengadilan terhadap Tergugat dan memperoleh
Putusan atas dasar kegagalan Pembelaan
Jika Tergugat gagal melakukan
appearance,
hal tidak ada Pembelaan
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
149
agar mengeluarkan perintah untuk membayar biaya jaminan,119 dan harus
membuktikan bahwa kasus tersebut masuk dalam kategori kasus yang
memungkinkan pengadilan untuk memutuskan apakah adil untuk mengharuskan
pekerja membayar uang jaminan.120 Pengadilan akan mempertimbangkan
seluruh keadaan dari kasus sebelum membuat keputusan, termasuk apakah
suatu perintah pengadilan akan mencegah penggugat dari benar-benar
mengajukan gugatan. Namun demikian, klien dapat mengajukan banding atas
keputusan yang memerintahkan untuk membayar uang jaminan.121
C. Mengajukan gugatan perdata ke Small Claims Tribunal (SCT)122
3.61. Small Claims Tribunal (SCT) mengadili setiap gugatan yang tidak melebihi
$10.000 (atau hingga $20.000 jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak
yang bersengketa) yang timbul dari adanya perselisihan yang terkait dengan
kontrak penjualan barang, penyediaan jasa, atau perbuatan melawan hukum,
dimana terjadi kerusakan pada harta milik.123 Meskipun biaya pengajuan klaim
melalui SCT lebih terjangkau, ada sejumlah keterbatasan yang menghalangi
buruh migran dari upaya untuk memanfaatkan jalur ini.
i. Keterbatasan jenis gugatan yang dapat ditangani Small Claims Tribunal
3.62. SCT tidak dapat mengadili gugatan yang terkait dengan pekerjaan atau
perbuatan melawan hukum.124 Namun, SCT dapat menangani gugatan yang
timbul dari kontrak untuk penyediaan jasa.125 Dalam konteks buruh migran, SCT
dapat menangani gugatan tentang kegagalanagen pengerah jasa tenaga kerja
untuk menjamin pekerjaan yang sah bagi buruh migran, atau gugatan terhadap
agen pengerah tenaga kerja yang mengenakan biaya agen yang tidak sesuai
dengan EA.
3.63. Pengacara tidak diperbolehkan untuk mewakili pihak manapun dalam
persidangan di SCT. Kecuali SCT memutuskan bahwa tuntutan tersebut
mengganggu atau mengada-ada karena menghabiskan biaya maupun waktu,
biaya tidak dibebankan kepada pihak yang memenangkan perkara. Terdapat
119 Rules of Court, supra note 15, o 23. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
120 Unsur paling relevan dalam konteks ini adalah Rules of Court, supra note 15, o 23, r 1(1)(a) “(1) Where, on the
application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it appears to the Court — (a) that the plaintiff is
ordinarily resident out of the jurisdiction;...then, if, having regard to all the circumstances of the case, the Court thinks it
just to do so, it may order the plaintiff to give such security for the defendant’s costs of the action or other proceeding as
it thinks just”.
121 Pada saat penulisan (September 2014), tidak ada kasus hukum yang memadai untuk menjelaskan keadaan dimana
pengadilan akan mendukung peninjauan kembali terhadap pemohonan pemberi kerja atas biaya jaminan keamanan.
122 Secara umum lihat The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, online: The State
Courts of Singapore <https://app.statecourts.gov.sg>.
123 Perbuatan melawan hukum tidak mencakup kerugian yang dialami dalam kecelakaan akibat dari atau yang terkait
dengan penggunaan kendaraan bermotor; supra note 19.
124 Small Claims Tribunal, “Checklist”, online: The State Courts of Singapore <https://app.statecourts.gov.sg/sct/>.
125 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
150
batas waktu selama satu tahun untuk mengajukan klaim ke SCT. Jika insiden
tersebut terjadi lebih dari satu tahun yang lalu, SCT tidak dapat menangani
tuntutan tersebut.
ii. Proses pengajuan gugatan ke Small Claims Tribunal (SCT)
3.64. Untuk mengajukan tuntutan ke SCT, penggugat dapat mendatangi SCT secara
langsung atau melalui faks.126 Klien harus menyiapkan beberapa hal berikut
ini:127
Formulir Gugatan asli yang diisi lengkap dan benar, mudah dibaca dan ditandatangani;
3 salinan Formulir Gugatan asli yang di atas;128
1 salinan dari masing-masing dokumen pendukung lainnya;129
Jika Tergugat adalah suatu perusahaan, salinan asli dari pencarian Informasi Cepat terkini tentang [Profil Bisnis] dari Tergugat130 tidak boleh diperoleh lebih awal dari satu bulan sejak tanggal pengajuan tuntutan; dan
Salinan dokumen identifikasi penggugat, atau jika praktisi melakukan pengajuan gugatan atas nama penggugat maka harus dicantumkan juga salinan dokumen identifikasi praktisi tersebut.
3.65. Jika dokumen ditulis dalam bahasa selain bahasa Inggris,terjemahan resmi dari
dokumen tersebut juga harus disediakan. Suatu tanggal akan ditetapkan dimana
para pihak diminta hadir dalam suatu forum konsultasi dalam waktu 10 hingga
14 hari setelah pendaftaran.131
3.66. Jika gugatan telah diajukan, SCT mengharuskan para pihak untuk terlebih
dahulu menghadiri forum konsultasi dimana Registrar (Pencatat) atau Assistant
126 Jika mengajukan klaim melalui faks, nomor faks pada saat proses percetakan adalah +65 6536-4478 atau +65 6435-
5994.
127 The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, Processes & Procedure, Lodging a
Claim, online: The State Courts of Singapore <https://app.statecourts.gov.sg>. [SCT, Lodging a Claim].
128 Jika klien menyatakan dalam Ringkasan Formulir Gugatan bahwa klien mengacu pada dokumen yang terlampir
maka dokumen terlampir tersebut juga harus dibuat salinannya. Perlu dicatat bahwa berkas Formulir Gugatan dan
dokumen terlampir pada “Ringkasan Formulir Gugatan tersebut akan diteruskan ke pihak lainnya oleh Majelis SCT.
129 Jika klien mengirim dokumen melalui faks dan jumlah halaman dari dokumen pendukung tersebut melebihi tiga
halaman, jangan mengirimkan dokumen pendukung tersebut melalui faks. Sebagai gantinya, bawa dokumen aslinya
serta satu salinannya untuk diserahkan kepada Registrar atau Asisten Registrar yang hadir pada forum konsultasi.
130 Pencarian Informasi Cepat tentang [Profil Bisnis] dapat dibeli dari e-kios layanan mandiri yang terletak dalam ruang
tunggu pengadilan SCT. Sebagai alternatif, pencarian informasi cepat tentang [Profil Bisnis] dapat dibeli secara online
di situs web Otoritas Peraturan Akuntansi dan Korporasi (Accounting and Corporate Regulatory Authority, ACRA) yang
disebut BizFile di <www.bizfile.gov.sg> (> Purchase of Information > Instant Information > Business Profile) atau
penyedia layanan terakreditasi ACRA lainnya. Penyedia layanan terdekat adalah Crimsonlogic Pte Ltd
<http://www.crimsonlogic.com.sg>.
131 SCT akan menyampaikan surat gugatan kepada pihak Tergugat melalui pos. Sebagai alternatif, klien dapat juga
menyerahkan sendiri dokumen tersebut secara langsung kepada pihak Tergugat. Dalam melakukan penyerahan
dokumen ini, suatu pernyataan tertulis mengenai penyerahan ini harus diberikan pada saat konsultasi.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
151
Registrar dari SCT akan berupaya untuk melakukan mediasi proses
penyelesaian.132 Konsultasi selanjutnya dapat dilakukan atas kebijaksanaan
Registrar atau Assistant Registrar.133
3.67. Jika tidak tercapai penyelesaian, tanggal persidangan akan ditetapkan bagi para
pihak untuk menghadiri persidangan di hadapan seorang Juri (Referee).134
Sidang ini umumnya ditentukan dalam waktu 7 hingga 10 hari sejak
konsultasi.135 Para pihak masih dapat berupaya untuk menyelesaikan masalah
diantara mereka sebelum tanggal konsultasi. Jika tercapai penyelesaian, dan jika
klien ingin mencabut gugatan,136 klien harus menyatakan keinginan tersebut
secara tertulis kepada SCT dan menarik gugatan tersebut. Para pihak juga harus
memberitahu SCT secara tertulis mengenai penyelesaian tersebut.137
Bagan 5: Proses pengajuan gugatan kepada SCT
D. Biaya proses hukum yang dikeluarkan
3.68. Apabila memilih untuk mengajukan gugatan hukum, klien diharuskan membayar
132 Small Claims Tribunal, “General Reference BOOKLET [sic]” at 8, online: The State Courts of Singapore
<https://app.statecourts.gov.sg>. [General Reference Booklet].
133 Ibid di 9.
134 Ibid di 10.
135 Untuk informasi selanjutnya lihat The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division: Small Claims Tribunal- A
General Overview of Filing a Claim at the Small Claims Tribunals”, online: The State Courts of Singapore
<https://app.statecourts.gov.sg/sct/>.
136 General Reference Booklet, supra note 132 di 11.
137 SCT, Lodging a Claim, supra note 127.
Mengajukan gugatan
Konsultasi
Persidangan
Jika mediasi gagal
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
152
biaya yang seringkali tidak terjangkau bagi mereka. Biaya tersebut mencakup
ongkos, beban, pembayaran, pengeluaran dan upah.138 Hal ini menghalangi
buruh migran dari mengakses bantuan hukum sehingga banyak yang pada
akhirnya memilih untuk kembali ke negara asalnya tanpa mengajukan
gugatan.139 Hal ini juga membuat pencarian bantuan hukum tidak efektif karena
klien terkena beban biaya yang membuat mereka terjerat utang yang semakin
banyak setelah proses persidangan.140 Oleh karena itu, praktisi atau pengacara
buruh migran harus meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan oleh klien
mereka.
i. Tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan hukum
3.69. Buruh migran tidak memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan hukum dalam
proses gugatan perdata karena bentuk bantuan hukum seperti ini hanya tersedia
bagi warga negara Singapura dan penduduk tetap di Singapura.141 Tanpa
layanan pro bono dari pengacara, buruh migran umumnya tidak mempunyai
dana bagi biaya sewa pengacara untuk menangani tuntutan yang diajukan.142
ii. Biaya yang harus dibayarkan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Magistrate
3.70. Biaya pengadilan telah diatur dalam sejumlah UU dan harus dibayar pada
berbagai tahapan proses persidangan perdata. Biaya dibayarkan secara terpisah
sesuai jasa yang diberikan, misalnya penyegelan dokumen, pengadaan salinan
dokumen dan penggunaan pengadilan untuk persidangan.143 Biaya sidang
biasanya dibayar pada saat perkara disidangkan, yaitu ketika para pihak siap
untuk menjalani proses persidangan.144 Berbagai biaya ini umumnya dibayar
oleh pihak penggugat atau pihak yang mengajukan permohonan penetapan
138 Rules of Court, o 59 r (1), supra note 15, Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut; Masalah biaya dalam
proses litigasi dijelaskan sebagai berikut: A successful party would ordinarily be entitled to claim costs from his
opponent (i.e. party and party costs); and both parties would have to pay the bills of their respective lawyers (i.e.
solicitor and client costs). Lihat Pinsler, Principles of Civil Procedure (Singapore: Academy Publishing, 2013) pada Bab
26.
139 Berdasarkan pada penelitian lapangan yang ekstensif, banyak buruh migran yang memilih untuk kembali ke negara
asal dengan hanya sedikit jumlah uang yang belum dibayarkan kepada mereka. Bahkan, beberapa diantaranya
meninggalkan negara tersebut tanpa ada kompensasi sama sekali.
140 Fordyce, “Widespread but unnecessary reliance on lawyers” (14 July 2013), online: TWC2 < http://twc2.org.sg>.
141 Legal Aid Bureau, Eligibility, “Do I qualify for legal aid?”, online: Legal Aid Bureau <http://www.lab.gov.sg>.
142 Sulit bagi seorang buruh migran untuk berperan sebagai litigant-in-person (tanpa diwakili pengacara di persidangan),
terutama karena hambatan bahasa dan kurangnya pemahaman atas hak-hak hukum mereka.
143 Supreme Court of Singapore, “Civil Proceedings: Commencement of an Action - Court Fees and Hearing Fees”,
online: Supreme Court of Singapore <http://app.supremecourt.gov.sg/> [Civil Proceedings, Court Fees and Hearing
Fees].
144 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
153
tanggal persidangan.145
3.71. Pengadilan di Singapura menganut prinsip “biaya mengikuti kejadian” (costs
follow the event) yang berarti bahwa biaya suatu tuntutan hukum biasanya
dibebankan kepada pihak pemenang.146 Hal ini merupakan halangan yang besar
bagi buruh migran dalam memulai gugatan perdata karena mereka mungkin
tidak bersedia untuk mengambil resiko kalah dalam berperkara dan malah
berakhir dengan utang yang lebih banyak. Biaya yang dijatuhkan rata-rata
setidaknya mencapai $1.000.147
iii. Biaya yang harus dibayarkan ke Small Claims Tribunal
3.72. Penggugat harus membayar biaya pengajuan perkara untuk mengajukan
gugatan ke SCT.148
Tabel 16: Biaya yang harus dibayarkan ke SCT149
Tidak melebihi $5.000
Diatas $5.000 tetapi tidak
melebihi $10.000
Diatas $10.000 tetapi tidak
melebihi $20.000
Gugatan konsumen
$10 $20 1% dari jumlah klaim
Gugatan non-konsumen (misalnya, klaim terhadap agen pengerah tenaga kerja)
$50 $100 3% dari jumlah klaim
3.73. Jika klien telah mengajukan permohonan untuk mengajukan gugatan ke SCT
melalui faks, pembayaran harus dilakukan tujuh hari sejak tanggal penerimaan
permohonan, kegagalan melakukan pembayaran membuat gugatan dianggap
145 Ibid.
146 Pinsler, “Legal Procedure (Civil)”, supra note 96, di 8.
147 Wawancara dengan June Lim, Senior Associate, Fortis Law Corporation dan pengacara lainnya.
148 The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, Filing Fees, online: The State Courts of
Singapore <https://app.statecourts.gov.sg>.
149 SCT, Lodging a Claim, supra note 127.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
154
telah dicabut.150
E. Batasan Waktu
3.74. Gugatan yang diajukan sesuai dengan tort law atau contract law didasarkan pada
batas waktu selama enam tahun sejak tanggal terjadinya penyebab tuntutan
hukum.151 Perbuatan melawan hukum yang melibatkan cedera pribadi dikenakan
batas waktu tiga tahun.
4. PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI NEGARA
ASAL MEREKA
I. Pendahuluan
4.1. Banyak buruh migran kembali ke negara asalnya sebelum dapat mengajukan
tuntutan ke Kemenaker atau mengajukan gugatan perdata di Singapura. Jika klien
harus kembali ke negara asal mereka setelah menyelesaikan proses pengajuan
tuntutan melalui jalur Kemenaker, klien masih dapat menerapkan keputusan yang
dikeluarkan Kemenaker dari negara asal mereka. Untuk melaksanakan
keputusan Kemenaker, klien dapat mengajukan permohonan untuk Writ of
Seizure and Sale (WSS) atau Garnishee Proceeding (proses perolehan
pembayaran dari pihak ketiga). Masalah ini dijabarkan pada Bagian II di bawah.
4.2. Bagi mereka yang tidak mengajukan gugatan atau memperoleh keputusan lewat
jalur Kemenaker, maka dapat berupaya untuk mengajukan gugatan perdata jarak
jauh dari negara asal mereka. Proses untuk melakukan hal ini akan dijelaskan
pada Bagian II di bawah.
150 Ibid.
151 Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing), s 6(1)(a) [Limitations Act].
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
155
Bagan 6: Gambaran umum dari berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang mengajukan gugatan atau penerapan keputusan dari luar negeri
II. Penerapan putusan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) atau pengadilan
perdata ketika klien berada di luar negeri
4.3. Setelah memperoleh Putusan atau Perintah untuk pembayaran uang (misalnya
pembayaran upah), maka klien dapat memohon untuk memberlakukan keputusan
melalui Garnishee proceeding atau Writ of Seizure and Sale (WSS)152 atau
152 Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. See Section 6.XI for the text of the law.
Buruh Migran di Singapura
Dengan keputusan MOM ATAU
Dengan keputusan
Pengadilan
Tanpa keputusan MOM DAN Tanpa Keputusan
Pengadilan
Buruh Migran di Negara Asal
Laksanakan keputusan MOM atau
Mahkamah
Mulai Gugatan Perdata
dari luar
Writ of Seizure
Garnishee Proceedings
Gunakan
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
156
dengan melaksanakan proses insolvensi. Bagian B, C, dan D menjelaskan
tentang proses pengajuan permohonan untuk Garnishee proceeding, WSS, dan
melaksanakan proses insolvensi. Klien dapat memberi kuasa kepada
pengacaranya agar dapat menjalankan Garnishee order dan WSS atas namanya
atau melaksanakan proses insolvensi. Hal ini dimungkinkan walaupun klien
berada di luar negeri. Bagian F akan menjelaskan mengenai Surat Kuasa (Power
of Attorney atau POA), dimana klien dapat memberikan kepada LSM, untuk
memastikan bahwa uang dan barang-barang yang dikumpulkan oleh LSM melalu
Kemenaker (atau dengan cara eksekusi lain) dapat dengan selamat dikembalikan
kepada mereka di negara asal mereka. Part F kemudian secara singkat
membahas tentang kemungkinan menggunakan pendekatan “soft law” (hukum
yang lunak) melalui Kemenaker.
A. Beberapa catatan awal
i. Catatan tentang akhir dari keputusan Kementerian
Ketenagakerjaan
4.4. Pertama, sangat penting untuk menentukan apakah putusan Kemenaker masih
terbuka untuk ditentang pemberi kerja, yang akan menghambat atau menunda
pelaksanaan keputusan oleh buruh migran. Putusan Kemenaker dapat diajukan
banding ke Pengadilan Tinggi,153 meskipun dihadapkan pada batasan waktu
tertentu. Sehubungan dengan gugatan yang didasarkan pada EA, siapapun yang
tidak puas dengan keputusan Kemenaker “dalam waktu 14 hari setelah adanya
keputusan atau perintah, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi154
terhadap keputusan atau perintah tersebut.”155 Begitu juga dengan gugatan yang
didasarkan pada WICA, salah satu pihak dapat “mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi yang akan mengeluarkan keputusan final.”156 Namun demikian,
tidak semua putusan dapat diajukan banding: “tidak ada banding yang dapat
muncul dari perintah apapun kecuali ada argumen hukum yang substansial
(substantial question law) pada banding tersebut dan nilai yang disengketakan
tidak kurang dari $1,000.”157
153 Rules of Court, supra note 15, o 55. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
154 Pengadilan Tinggi menangani kasus pidana maupun kasus perdata sebagai pengadilan tingkat pertama. Pengadilan
Tinggi juga menangani banding terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Magistrate untuk perkara perdata
dan pidana, serta membuat keputusan tentang argumen hukum (points of law) pada kasus-kasus khusus yang diajukan
oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate. Selain itu, Pengadilan Tinggi memiliki yurisdiksi pengawasan dan
penelahaan (supervisory dan revisionary jurisdiction) atas seluruh pengadilan di tingkat yang lebih rendah (subordinate
court) untuk perkara perdata dan pidana. Supreme Court of Singapore, “About Us: Our Courts”, online: Supreme Court
of Singapore <http://app.supremecourt.gov.sg/>.
155 EA, supra note 2, s 117(1); Namun demikian, penelitian lapangan yang ekstensif menunjukkan bahwa 14 hari
sepertinya bukan batas waktu yang ketat yang pada prakteknya harus benar-benar dipatuhi Lihat Bagian 6.VII untuk
naskah teks UU tersebut.
156 WICA, supra note 2, s 29(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
157 Ibid, s 29(2A); Perlunya argumen atau pertanyaan hukum yang substansial (substantial question of law) berarti
bahwa “tidak cukup untuk hanya adanya pertanyaan hukum atau bahwa pengadilan memandang bahwa penafsiran
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
157
ii. Catatan tentang batasan waktu
4.5. Tidak ada batasan waktu untuk memanfaatkan Garnishee proceedings atau
WSS.158 Namun seiring dengan berjalannya waktu, pemberi kerja yang culas
kemungkinkan dapat melikuidasi aset badan usahanya atau menyatakan dirinya
pailit. Apabila aset terlikuidasi maka jalan untuk memperoleh keputusan semakin
tertutup bagi penggugat. Hal ini dikarenakan proses kepailitan memberikan
kesempatan bagi pihak kreditor lainnya untuk dapat memperoleh pembayaran
sebelum penggugat, sehingga perusahaan berpotensi kehilangan semua aset
begitu tuntutan dari penggugat diberikan prioritas.
B. Garnishee proceedings
4.6. Jika klien telah memperoleh putusan dari Kemenaker, misalnya putusan bahwa
pemberi kerja harus membayar upah yang belum dibayarkan dan terutang pada
klien, namun pemberi kerja tidak membayarnya, maka klien dapat mengajukan
permohonan atas garnishee order dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan
yang berbeda dari fakta-fakta seharusnya dapat dibuat” (Kee Yau Chong v S H Interdeco Pte Ltd [2014] 1 SLR 189).
Dalam Pang Chew Kim v Wartsila Singapore Pte Ltd [2012] 1 SLR 15 [Pang Chew Kim] at [19], Tay Yong Kwang J
melihat bahwa berbagai kekeliruan hukum (errors of law) berikut ini relevan untuk upaya banding sesuai dengan s
29(2A): “... salah penafsiran UU atau produk hukum lainnya atau peraturan common law; menanyakan pada diri sendiri
dan memberikan jawaban yang salah, melakukan berbagai pertimbangan yang tidak relevan atau gagal melakukan
berbagai pertimbangan yang relevan ketika bermaksud menerapkan hukum terhadap fakta-fakta; menyerahkan bukti
yang tidak dapat diterima atau menolak bukti yang dapat diterima dan relevan; menggunakan kebijaksanaan
(discretion) atas dasar prinsip-prinsip hukum yang salah; memberi alasan yang menunjukkan pertimbangan hukum
yang keliru atau tidak memadai untuk memenuhi kewajiban dalam memberikan alasan, dan menyesatkan diri sendiri
dalam hal beban pembuktian.” Namun lihat Pang Chew Kim at [20]; sebaliknya, temuan fakta dapat diajukan banding
hanya jika temuan tersebut adalah temuan yang “tidak ada seorangpun yang bertindak secara hukum dan menjalankan
sesuai dengan UU yang relevan, dapat dijadikan dasar untuk mengajukan banding". Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah
teks UU tersebut.
158 Sementara Limitation Act, supra note 151, s 6(3) menentukan batas waktu untuk tindakan yang bertujuan untuk
menegakkan putusan, Desert Palace Inc v Poh Soon Kiat [2009] SGCA 60 [Desert Palace] menjelaskan bahwa s 6(3)
harus ditafsirkan secara terbatas “untuk mengecualikan surat perintah eksekusi putusan dan seluruh cara penegakan
putusan lainnya seperti Garnishee proceedings…yang mana Limitation Act tidak menetapkan batasan waktu apapun”.
Dalam hal ini, pengadilan mencatat bahwa dalam case law ada perbedaan antara “tindakan” atas putusan dan
“eksekusi” dari putusan, dan kemudian mengemukakan berbagai alasan kebijakan yang mendukung adanya perbedaan
tersebut. Lihat Bagian 6.X untuk naskah teks UU tersebut.
Namun demikian, terkait WSS, sesuai dengan Rules of Court, supra note 15, o 46 r 2, WSS untuk menegakkan putusan
atau perintah tidak dapat dikeluarkan tanpa persetujuan pengadilan jika “6 tahun atau lebih telah berlalu sejak tanggal
putusan atau perintah”. Daripada menggolongkan ini sebagai batasan waktu, pengadilan di Desert Palace, Ibid, melihat
persyaratan untuk meminta persetujuan pengadilan “lebih sebagai langkah prosedural dan pemantauan daripada
langkah wajib yang substantif untuk menghentikan pelaksanaan putusan begitu enam tahun atau lebih telah berlalu”.
Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
158
Magistrate.159
i. Apakah garnishee proceeding itu?
4.7. “Garnishee order absolute” (perintah pembayaran utang kepada pihak ketiga
secara mutlak) adalah perintah pengadilan yang ditujukan kepada pihak
garnishee (biasanya pihak ketiga yang memegang sebagian dari aset debitur atau
bank) yang mengharuskan mereka untuk membayar kepada klien, yang dalam
hal ini sebagai Judgment Creditor, atas sejumlah uang dimana pihak pemberi
kerja, yang dalam hal ini sebagai Judgment Debtor, masih berhutang kepada
klien.160
4.8. Berikut ini adalah suatu gambaran hipotetis:
Muneeb merupakan seorang buruh migran yang berasal dari India. Pemberi kerja
Muneeb, yaitu Mr. Wang, tidak membayar gaji Muneeb meskipun Kemenaker,
melalui Labour Court telah mengeluarkan putusan untuk melakukan pembayaran
tersebut. Muneeb dapat mulai mengajukan gugatan terhadap Mr. Wang untuk
memperjuangkan pembayaran gaji tersebut. Muneeb membawa perkaranya ke
pengadilan dan memperoleh garnishee order untuk mendapatkan uang yang
disimpan oleh Mr. Wang di bank. Dalam hal ini, Muneeb adalah judgment creditor
karena Mr. Wang memiliki pinjaman padanya, sedangkan Mr. Wang merupakan
judgment debtor karena berhutang pada Muneeb, dan bank bertindak sebagai
Garnishee, yaitu bank tersebut diharuskan untuk menyerahkan uang Mr. Wang
ke Muneeb.161
ii. Proses pengajuan permohonan
4.9. Garnishee order tidak dapat ditegakkan kecuali dijadikan mutlak, misalnya
menjadi lengkap. Agar garnishee order menjadi mutlak, dua komponen utama
berikut harus terpenuhi:
1) Pertama, Judgment Creditor harus mengajukan permohonan Garnishee
order, yang dapat diajukan sebagai Surat Panggilan Pengadilan (Summons
in Chamber)162 yang bersifat ex parte (yaitu di mana hanya salah satu pihak
159 Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
160 The Subordinate Courts of Singapore, Garnishee Proceedings (1999) di 1, online: LawNet
<http://lwb.lawnet.com.sg/legal/lgl/html/freeaccess/scpp/Garnishee.pdf> [Subordinate Courts, Garnishee Proceedings].
161 Raffles Group Law Practice, “Someone owes you money”, online: Raffles Group Law Practice
<http://www.singaporelawraffles.com/>.
162 Surat Panggilan Pengadilan yang bersifat ex parte (mutlak satu pihak) meliputi:
Permohonan untuk menentukan tanggal kembali bagi semua pihak yang berkepentingan untuk hadir di pengadilan.
Permohonan agar dilampirkan pernyataan yang terkait dengan seluruh hutang yang harus dibayar atau hutang yang
terakumulasi dari garnishes kepada judgment debtor. Pernyataan bahwa jumlah yang terikat tersebut dibatasi pada
jumlah tetap tertentu. Jumlah ini biasanya terdiri dari jumlah yang telah diputuskan, biaya bunga pasca putusan dan
biaya pengajuan permohonon perintah garnishee itu sendiri. Lihat Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra
note 160.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
159
yang hadir di pengadilan) dan didukung oleh afidavit;163 dan
2) Kedua, garnishee order harus diserahkan ke pihak garnishee dan Judgment
Debtor secara langsung paling tidak tujuh hari sebelum tanggal
pengembalian.164
4.10. Jika garnishee tidak membantahgarnishee order tersebut,165 maka garnishee
orderakan dijadikan absolut.166
4.11. Begitu garnishee order telah dikeluarkan, suatu draf perintah pengadilan harus
disusun dan diajukan ke pengadilan.167 Setelah menerima draf tersebut,
pengacara dari judgment creditor harus menyerahkan dua salinan dari perintah
final tersebut.168 Tanggal kembali untuk menghadiri sidang permohonan
garnishee order absolute kemudian akan disebutkan di surat perintah tersebut.
Saat ini, pengadilan menentukan hari sidangnya sekitar empat minggu sejak
dikeluarkannya garnishee order.169
163 Afidavit meliputi:
Mengidentifikasi putusan yang akan diberlakukan.
Menyebutkan sisa jumlah yang belum terbayar.
Menyebutkan bahwa sesuai dengan apa yang diketahui dan diyakini klien, pihak garnishee berada di dalam yurisdiksi
dan berhutang kepada judgment debtor. Dengan demikian, sumber informasi atau dasar keyakinannya harus
disebutkan. Ibid.
164 Hal ini akan menetapkan Surat Panggilan Pengadilan (Summons in Chamber) yang bersifat ex parte. Ibid.
165 Terdapat tiga situasi dimana Garnishee order dapat dipertentangkan:
1. Jika garnishee tidak memegang uang sama sekali:
Judgment creditor harus hadir dan meminta agar perintah tersebut dibatalkan.
2. Jika Garnishee menyatakan keberatan terhadap suatu perintah:
Dalam situasi ini, pengadilan secara langsung dapat memutuskan mengenai masalah ini. Jika terdapat masalah yang
terkait fakta, pengadilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan agar masalah tersebut diperkarakan, apakah itu
di depan Hakim atau Registrar. Pengadilan akan memberikan segala arahan yang diperlukan untuk proses persidangan
tersebut, termasuk menentukan permasalahan yang akan disidangkan. Arahan pengadilan tersebut biasanya sesuai
dengan Formulir 101 dari Rules of Court, dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Jika dalam afidavit terdapat
bukti yang bertentangan sebagaimana yang diberikan oleh garnishee dan judgment creditor, maka permasalahan
tersebut akan disidangkan dan tidak diputuskan secara langsung.
3. Apabila ada tuntutan dari Pihak Ketiga:
Garnishee mempunyai kewajiban untuk memberitahu pengadilan mengenai tuntutan atau gadai atas uang yang
diketahui oleh garnishee. Jika ada tuntutan yang demikian dari pihak ketiga atas utang yang diupayakan agar dibayar
melalui garnishee order, maka pengadilan dapat memerintahkan agar orang tersebut hadir di persidangan dan segera
menyelesaikan masalahnya, atau menangani masalah tersebut dengan cara yang sama untuk kasus dimana garnishee
menyatakan keberatan atas perintah mutlak yang telah dikeluarkan. Ibid.
166 Rules of Court, supra note 15, o 49. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
167 Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra note 160.
168 Ibid.
169 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
160
Bagan 7: Proses pengajuan permohonan Garnishee Order
Langkah 1:
Klien mengajukan
permohonan untuk Garnishee
Order
Langkah 2:
Garnishee Order harus
diberikan kepada Garnishee
dan pemberi kerja secara
langsung
Jika Garnishee tidak
menentang Garnishee Order
Garnishee Order
mutlak
Langkah 3:
Serahkan draft perintah
pengadilan kepada
pengadilan Summons in
Chamber
Langkah 4:
Ajukan dua Salinan final order
Hadiri sidang
pengadilan
Klien harus mengajukan:
a) Ex parte Summons in
Chamber (2 salinan)
b) Afidavit (1 salinan)
Garnishee Order harus diserahkan
maksimum 7 hari sebelum tanggal
kepulangan
Garnishee Order dapat ditentang
dalam cara berikut:
Garnishee tidak memiliki
uang
Garnishee keberatan atas
Garnishee Order
Terdapat orang ketiga
yang juga telah
meletakkan gugatan atas
uang milik Garnishee
Tanggal sidang akan tertulis dalam
perintah final
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
161
4.12. Perlu dicata tbahwa apabila klien tidak berada di Singapura, klien harus membuat
surat keterangan dari Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of
Singapore) yang memberi persetujuan170 untuk pembayaran, apakah itu tanpa
syarat atau dengan syarat yang telah dipenuhi.171
iii. Biaya permohonan garnishee order
4.13. Apabila perintah mutlak telah dibuat, Rules of Court menetapkan jumlah biaya
yang harus dibayarkan.172 Hanya setelah membayar biaya yang ditanggung
judgment creditor dan garnishee maka jumlah yang dituntut akan digunakan untuk
menutup jumlah utang yang telah diputuskan pengadilan.173 Hal ini berarti bahwa
jumlah uang yang dituntut melalui garnishee order tersebut pertama-tama harus
digunakan untuk membayar biaya permohonan garnishee order sebelum dipakai
untuk membayar klien sejumlah uang yang belum dibayar oleh pihak yang
satunya.
Bagan 8: Biaya permohonan garnishee order dan pelunasan utang yang harus dibayarkan kepada buruh migran
4.14. Dalam semua keadaan lainnya, biaya pengadilan tergantung pada kebijaksanaan
pengadilan. Apabila tidak ada utang yang telah jatuh tempo atau bertambah dari
garnishee, maka order nisi (perintah bersyarat atau penetapan sementara), yaitu
perintah yang dijadikan mutlak berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat tertentu,
biasanya dikeluarkan tanpa ketentuan yang terkait dengan biaya.174 Oleh karena
itu, klien harus menanggung biaya dari permohonan garnisheeorder. Namun,
pengadilan mempunyai diskresi yang luas ketika memutuskan penanggungan
biaya. Pengadilan dapat meminta judgment debtor untuk menanggung biaya
garnishee proceeding jika dianggap tepat.
170 Exchange Control Act (Cap 99, 2000 Rev Ed Sing).
171 Rules of Court, supra note 15, o47 r 7. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
172 Rules of Court, supra note 15, o 59, Lamipran 2, Bagian III, item 4. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU
tersebut.
173 Rules of Court, supra note 15, o 49 r 10, o 59, Lampiran 2, Bagian III, item 4(a)). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah
teks UU tersebut.
174 Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra note 160.
Sudah mendapatkan
Garnishee Order
Absolut
Jumlah uang yang
diperoleh berdasarkan
garnishee
Biaya Pemohonan
Garnishee
Jumlah sisa uang
untuk membayar utang
yang harus dibayar
kepada pekerja
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
162
4.15. Di bawah ini adalah lanjutan dari gambaran hipotetis sebelumnya di 4.8:
Mr. Wang berhutang $3,000 kepada Muneeb untuk gaji yang belum dibayar.
Ketika Muneeb telah memperoleh garnishee order, uang bisa diperoleh dari
Garnishee (dalam kasus ini adalah pihak bank). Namun demikian, pada bank
hanya terdapat sejumlah $2,500 dari uang Mr. Wang. Uang senilai $2,500
tersebut pertama-tama akan dipakai untuk membayar biaya permohonan
garnishee order. Setelah melunasi biaya tersebut, sisa uang dapat digunakan
untuk melunasi utang Mr. Wang pada Muneeb. Perlu dicatat bahwa
ketidakmampuan untuk menyelesaikan utang tidak berarti sisa utang akan
terhapus. Dalam hal ini, Muneeb dapat mencoba cara lain untuk memperoleh
kembali sisa utang tersebut.
iv. Keterbatasan garnishee proceeding
4.16. Upaya hukum melalui garnishee proceeding mempunyai sejumlah keterbatasan:
Garnishee tidak mungkin diperintahkan apabila garnishee tidak berada dalam wilayah yurisdiksi;175
Berdasarkan hukum yang ada, upah atau gaji judgment debtor dikecualikan dari perintah garnishee;176 dan
Garnishee proceeding tidak menjamin bahwa klien akan menerima kompensasi penuh. Seperti yang digambarkan pada hipotetis di atas, jika jumlah utang garnishee kepada judgment debtor lebih sedikit dari utang judgment debtor kepada judgment creditor, maka garnisheeorder dapat terpenuhi tanpa perlu melunasi seluruh utang yang harus dibayarkan.
C. Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure and Sale)
4.17. Cara lain untuk menegakkan putusan yang dikeluarkan Kemenaker adalah
dengan memperoleh Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan atau Writ of Seizure
and Sale (WSS).177
i. Apakah Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS) itu?
4.18. Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS) adalah perintah pengadilan yang
memberi wewenang kepada juru sita atau bailiff (petugas pengadilan) untuk
175 Rules of Court, supra note 15, o 49 r 1(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
176 Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing), s 13(c). Lihat juga Susan Leong, “Attachment of
Salaries and Wages in Singapore — Recent Developments” (2004), online: Law Gazette
<http://www.lawgazette.com.sg/2004-4/April04-feature.htm>; Pinsler, “Section 13 of the Supreme Court of Judicature
Act and Enforcement against the Judgment Debtor’s Earnings” (2004)16 SAcLJ 27; American Express Bank Ltd v Abdul
Manaff bin Ahmad [2003] 4 SLR 780.
177 Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
163
menyita harta kekayaan bergerak178 milik judgment debtor.179 Dalam konteks ini,
debitur umumnya adalah pemberi kerja dari klien. Juru sita kemudian mengurus
pelelangan harta sitaan tersebut dan hasil penjualannya akan digunakan untuk
melunasi judgment debt (setelah mengurangi biaya eksekusi dan ongkos juru
sita).180
ii. Proses permohonan181
4.19. Langkah 1: Jika klien mempunyai seorang pengacara, maka pengacara tersebut
harus mengisi formulir elektronik yang sudah disediakan online melalui eLitigation
(dengan asumsi pengacara tersebut berlangganan eLitigation182). Hal ini hanya
dapat dilakukan pengacara jika klien tidak berada di Singapura. Jika klien tidak
mempunyai pengacara, atau pengacara tidak berlangganan eLitigation, mereka
juga dapat mengisi formulir dalam bentuk hardcopy yang tersedia di Biro
Layanan.183
4.20. Langkah 2: Juru sita, yaitu seorang petugas pengadilan, akan memberitahukan
penggugat, dalam hal ini klien, dengan Surat Penunjukan (Appointment Letter)
yang dikirim melalui pos atau faks (jika diberi nomor faks) tentang tanggal
eksekusi.184 Jika klien, pengacaranya, atau penerima kuasa dari klien yang
memiliki surat kuasa tidak menerima Surat Penunjukan dari Divisi Juru Sita dalam
waktu tiga minggu setelah pengajuan atau penyerahan dokumen, mereka dapat
menghubungi Divisi Juru Sita.185
4.21. Langkah 3: Penggugat, dalam hal ini klien, dapat memberi kuasa kepada seorang
perwakilan untuk hadir mewakilinya melalui surat kuasa jika klien tidak dapat
menghadiri pada hari yang telah dijadwalkan (misalnya jika mereka telah kembali
ke negara asal).186
4.22. Penggugat atau perwakilan yang telah dikuasakan harus menyerahkan kepada
Juru Sita yang ditugaskan untuk menangani kasus (sebagaimana yang
178 Misalnya harta kekayaan milik judgment creditor: Jika pemberi kerja dari klien memilik sebuah restoran, maka meja,
kursi, piring dan bahkan gedungnya sendiri dapat disita oleh juru sita untuk kemudian dilakukan pelelangan.
179 Juru sita berwenang sesuai dengan State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing), s 15 & s 16 untuk menangani
proses pelaksanaannya. Juru sita, sesuai dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya berdasarkan State Courts Act,
s 16 dapat memasuki rumah milik judgment debtor atau lokasi pihak ketiga untuk menjalankan semua Surat Perintah
Eksekusi dan Perintah Pengadilan. The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division- Baliffs Section”, online: The
State Courts of Singapore https://app.statecourts.gov.sg/ [Civil Justice Division - Bailiff’s Section].
180 Ibid.
181 Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
182 Untuk panduan langkah demi langkah dalam mengisi formulir secara elektronik, lihat “Writ of Seizure and Sale”,
online: eLitigation <https://www.elitigation.sg/getready/writ.html>.
183 eLitigation, “About Service Bureau”, online: eLitigation <https://www.elitigation.sgl>
184 Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
185 State Courts Bailiff Section, no. telepon +65 64355871.
186 Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
164
disebutkan dalam Surat Penunjukan) hal-hal berikut ini:
• Surat Penunjukan (dikeluarkan oleh Juru Sita);
• Tanda terima resmi untuk membuktikan bahwa uang deposit sebesar $300 atau sejumlah yang diminta Juru Sita, telah dibayarkan ke Divisi Keuangan dari Pengadilan Negara; dan
• Surat kuasa dan jaminan (indemnity) yang telah ditandatangani oleh penggugat;
4.23. Perlu dicatat bahwa jika penggugat atau perwakilannya tidak hadir pada hari
penyitaan yang ditentukan, mereka harus mengajukan ulang permohonan untuk
tanggal penyitaan yang baru.187
iii. Biaya
4.24. Biaya yang biasanya timbul dari proses WSS disajikan pada Tabel di bawah.
Tabel 17: Biaya proses WSS188
Small Claims
Tribunal
Pengadilan
Magistrate
Pengadilan
Negeri Dokumen
$60 $155 $270 WSS
$10 $10 $10
Pelaksanaan
, Deklarasi
dan
Ganti Rugi
$10 - - Perintah
Pengadilan
$80 $165 $280 Total:
4.25. Perlu dicatat bahwa biaya di atas tidak termasuk biaya eLitigation untuk
pemrosesan permohonan secara elektronik dan penanganan manual. Uang tidak
dapat dikembalikan jika pekerja memutuskan untuk menghentikan WSS.189
Apabila pengadilan menemukan kesalahan administrasi/ketatausahaan, akan
187 Ibid.
188 The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division: Processes & Procedures- Enforcement of Judgments or
Orders by Writ of Seizure and Sale”, online: The State Courts of Singapore <https://app.statecourts.gov.sg/> [State
Courts of Singapore, “Enforcing Judgments or Orders by WSS”].
189 Lihat Civil Justice Division, Processes & Procedures: Enforcement of Judgment or Orders by Writ of Seizure and
Sale, online: <https://app.statecourts.gov.sg>.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
165
dikenakan biaya penolakan.
4.26. Biaya tambahan yang timbul dalam proses WSS mencakup:190
• Biaya kehadiran juru sita sebesar $50 per jam atau bagian darinya akan dibayarkan ketika menangani WSS;
• Barang milik judgment debtor akan dikenakan komisi Pengadilan setelah disita. Jumlah minimum uang komisi adalah $50;
• Tambahan komisi pengadilan akan dikenakan begitu harta sitaan telah terjual. Jumlah minimum komisi adalah $100;
• Jika nilai dari barang sitaan tersebut diperkirakan sebesar $2,000 atau kurang, biaya juru lelang paling tidak sebesar $150. Jika nilai barang sitaan diperkirakan lebih dari $2,000, biaya juru lelang paling tidak sebesar $800;
• Biaya Locksmith; dan
• Biaya penilaian.
4.27. Perlu dicatat bahwa biaya yang telah dikeluarkan dapat diklaim dari debitur jika
eksekusi berhasil dan hasil penjualan cukup untuk menutupi judgment debt dan
biaya WSS.191 Jika hasil penjualan lelang tidak mencukupi untuk menutupi biaya
eksekusi juru sita, sisa biaya yang belum dibayar akan dikurangi dari uang deposit
kreditor.
iv. Keterbatasan Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS)
4.28. Tingginya biaya permohonan WSS merupakan hambatan bagi banyak buruh
migran yang telah mengalami kesulitan finansial. Meskipun biaya yang
dikeluarkan dapat dikembalikan melalui pelaksanaan surat perintah, sulit bagi
mereka untuk memperoleh uang untuk memulai proses WSS.
4.29. Perlu dicatat bahwa tidak ada jaminan WSS akan berhasil dilaksanakan.192
Menerapkan surat perintah menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika perusahaan
tidak memiliki aset yang memadai (misalnya ketika perusahaan sudah bangkrut
atau dalam kesulitan finansial). Sayangnya, perusahaan yang licik dan tidak
bermoral dapat mengalihkan asetnya dalam penawaran untuk menghindar dari
kewajiban membayar pekerja atau dari keputusan yang telah diberlakukan
terhadapnya. Pada akhirnya, pekerja akan kembali ke negara asal mereka tanpa
ada hasil, atau dengan hanya sebagian kecil saja dari apa yang seharusnya
dibayarkan kepada mereka, meskipun telah mendapatkan perintah pengadilan
dan menghabiskan begitu banyak biaya untuk proses tersebut dengan harapan
pemberi kerja akan membayar utangnya untuk mencegah asetnya dilelang.193
190 Ibid.
191 Ibid.
192 State Courts of Singapore, “Enforcing Judgments or Orders by WSS”, supra note 188.
193 H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 15.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
166
D. Proses Insolvensi
4.30. Metode lain untuk melaksanakan putusan adalah dengan melaksanakan proses
insolvensi terhadap pemberi kerja. Jika pemberi kerja adalah orang perorangan,
proses kepailitan dapat dilaksanakan. Jika pemberi kerja adalah perusahaan,
proses pembubaran dapat dilaksanakan.
4.31. Baik proses kepailitan atau pembubaran adalah proses yang secara “kolektif”
dilakukan terhadap debitur, yang berarti bahwa ketika proses insolvensi telah
berhasil, seorang administrator akan ditunjuk untuk menyita aset dari debitur dan
mendistribusikannya kepada kreditor dari para debitur, termasuk klien.
i. Proses permohonan – Kepailitan
4.32. Guna mengajukan proses kepailitan, utang kepada klien harus berjumlah lebih
dari $10.000194 dan utang ini harus sudah dilikuidasi dan dapat dibayarkan
secepatnya.195 Jika utang kepada klien berjumlah kurang dari ini, ia tetap dapat
mengajukan proses kepailitan melalui permohonan yang diajukan bersama-sama
dengan kreditor lainnya, dimana jumlah keseluruhannya menjadi lebih dari
$10.000.
4.33. Walaupun kriteria di atas telah dipenuhi, Pengadilan tidak akan membuat
keputusan kepailitan terhadap debitur, kecuali debitur menunjukkan bahwa ia
tidak dapat membayar utang-utangnya. Gambaran umum terkait dengan langkah-
langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan hal ini adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Membuat permintaan berdasarkan undang-undang atas
debitur bahwa debitur memiliki waktu 21 hari untuk melunasi utang.196 Jika
klien telah melaksanakan proses Garnishee atau WSS, langkah ini dapat
dilewati.197
Langkah 2: Jika debitur belum memenuhi permintaan berdasarkan
undang-undang, mengajukan permohonan kepailitan yang harus dilengkapi
dengan afidavit.198 Permohonan kepailitan dan avidavit pendukung harus
diserahkan kepada debitur.199
Langkah 3: Memenuhi berbagai macam persyaratan sebelum persidangan
untuk permohonan kepailitan.200
194 Mohon untuk dicatat bahwa jumlah ini dalam waktu dekat akan dinaikkan menjadi $15.000, ketika ketentuan dalam
Bankruptcy (Amendment) Act tahun 2015 diberlakukan. Mohon untuk dicek apakah angka batas ini telah diubah.
195 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 61(1). Lihat Bagian 6.II for untuk naskah teks UU tersebut.
196 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(a). Lihat Bagian 6.II untuk naksah teks UU tersebut. Bentuk
permintaan berdasarkan undang-undangdapat dilihat di Formulir 1 dari Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing)].
197 Hal ini dikarenakan gagal dipenuhinya proses eksekusi seperti proses Garnishee atau WSS yang merupakah bentuk
lain yang membuktikan ketidakmampuan pembayaran utang. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(b).
Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
198 Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), Rules 99, 100 dan Formulir 2.
199 Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), Rules 109.
200 Pada umumnya, dokumen-dokumen berikut ini harus diserahkan:
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
167
Langkah 4: Menghadiri persidangan kepailitan, dimana pengadilan akan
memutuskan apakah akan membuat putusan kepailitan terhadap debitur
atau tidak. Jika, terdapat beberapa kriteria yang telah dipenuhi, pengadilan
dapat menunda persidangan untuk merujuk hal tersebut kepada Official
Assignee agar Official Assignee dapat menentukan apakah debitur
memenuhi syarat untuk skema pembayaran utang.
4.34. Jika putusan kepailitan dibuat terhadap debitur, maka Official Assignee biasanya
akan ditunjuk sebagai trustee dalam kepailitan. Akan tetapi, permohonan dapat
dibuat untuk menunjuk orang pribadi sebagai trustee dalam kepailitan.201 Trustee
ini yang akan mengelola proses administrasi dari kepailitan, yang termasuk
menyita harta benda dari debitur dan mendistribusikannya kepada kreditor.
ii. Proses permohonan – Pembubaran
4.35. Agar berhasil melaksanakan proses pembubaran, klien harus menunjukkan
bahwa perusahaan terkait tidak mampu membayar utangnya.202 Gambaran umum
mengenai bagaimana hal ini dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Membuat permintaan berdasarkan undang-undang terhadap
debitur. Permintaan tersebut harus berjumlah lebih dari $10.000 dan harus
memberikan jangka waktu selama 21 hari bagi perusahaan yang
bersangkutan untuk membayar utangnya.203 Jika klien telah memenuhi
proses Garnishee atau WSS makan langkah ini dapat dilewati.204
Langkah 2: Mengajukan permohonan pembubaran, yang harus didukung
dengan afidavit.205 Permohonan pembubaran harus diserahkan kepada
debitur.206
Langkah 3: Hadir di hadapan Panitera (Registrar) untuk menyatakan
bahwa berbagai persyaratan pra-persidangan atas permohonan
pembubaran telah dipenuhi.207
Afidavit untuk pengajuan permohonan kepailitan:
Afidavit untuk pengajuanpermintaan berdasarkan undang-undang;
Afidavitatas kegagalan pemenuhan yakni, untuk memastikan apakah debitur belum membayar utang antara pengajuan
permohonan kepailitan dan persidangan kepailitan;
Pembayaran uang deposit sebesar $1.600 kepada Official Assignee.
201 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 33. Lihat Bagian 6.II untuk naskah teks UU tersebut.
202 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 61(1). Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
203 Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 254(2)(a). Lihat Bagian 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
204 Hal ini dikarenakan gagal dipenuhinya proses eksekusi seperti proses Garnishee atau WSS yang merupakah bentuk
lain yang membuktikan ketidakmampuan pembayaran utang. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(b).
Lihat Bagian 6.II Iuntuk teks naskah UU tersebut.
205 Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rules 24 dan 25.
206 Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rule 26.
207 Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rule 32. Secara umum persyaratan pra-persidangan
adalah:
permohonan pembubaran telah sah dipublikasikan dalam Gazette dan diiklankan;
afidavit yang mendukung permohonan pembubaran telah diajukan;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
168
Langkah 4: Menghadiri persidangan pembubaran, dimana pengadilan
akan menentukan untuk membubarkan perusahaan atau tidak.
4.36. Apabila putusan pembubaran dijatuhkan kepada perusahaan, pengadilan akan
menunjuk likuidator atau Official Receiver untuk bertindak sebagai likuidator.
Likuidator akan mengelola proses administrasi pembubaran, yang termasuk
menyita aset dari perusahaan dan mendistribusikannya keapada kreditor.
Umumnya, jika tidak ada likuidator yang ditetapkan pada saat persidangan
pembubaran, pengadilan akan menunjuk Official Receiver sebagai likuidator.
iii. Biaya – biaya
4.37. Biaya – biaya yang biasanya dikeluarkan dalam proses insolvensi terdapat
didalam tabel dibawah ini:
Tabel 18: Estimasi biaya proses insolvensi
Pembubaran Kepailitan Jenis
$600 $400 Estimasi biaya
permohonan dan
biaya pengajuan
$5.200 $1.600 Uang deposit
untuk Official
Assignee /
Official Receiver
$5.000 - Estimasi: Biaya
publikasi
$10.800 $2.000 Jumlah:
iv. Distribusi dalam proses insolvensi dan Prioritas kepada klaim pekerja dalam proses
ini
4.38. Distribusi atas utang tanpa jaminan: Mengingat proses insolvensi bersifat kolektif,
debitur atau aset perusahaan akan didistribusikan ‘pari passu’ atau secara
proporsional kepada seluruh kreditor tanpa jaminan. Sebagai contoh, ini berarti
jika nilai dari klaim kreditor adalah 10% dari total utang tanpa jaminan yang biasa,
ia akan menerima 10% dari aset yang didistribusikan.
affidavit penyerahan telah diajukan;
Persetujuan secara tertulis atas likuidator yang telah disetujui (jika ada) yang ditunjuk oleh pemohon telah didapatkan
dan diajukan; dan
Pembayaran uang deposit sebesar $5.200 kepada Official Receiver.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
169
4.39. Utang preferen: Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, beberapa utang
diberikan prioritas preferen dalam proses insolvensi.208 Hal ini berarti aset yang
didapatkan akan digunakan untuk membayar kreditor preferen terlebih dahulu,
sebelum dilakukan pembayaran kepada kreditor tanpa jaminan dan kreditor
dengan jaminan tertentu209. Beberapa jenis klaim klien pada umumnya yang
mungkin adalah kreditor preferen termasuk:
Biaya-biaya dan pengeluaran-pengeluaran atas permohonan kepailitan
atau pembubaran (berlaku apabila itu diajukan oleh klien);
upah atau gaji yang terutang kepada pekerja dan pembayaran ex gratia
dan manfaat penghematan, sampai dengan batas sebesar $12.500;
jumlah yang harus dibayar terkait klaim kompensasi atas cidera kerja
berdasarkan Work Injury Compensation Act; and
remunerasi pengganti cuti libur.
4.40. Kecuali jika mayoritas dari utang klien adalah utang preferen, klaimnya terkadang
dapat mendapatkan proporsi yang kecil dari jumlah utang debitur atau
perusahaan. Dengan demikian, ia akan menerima rata-rata proporsi yang kecil
dari aset debitur atau perusahaan yang tersedia untuk kreditor tanpa jaminan.
Ketika digabungkan dengan biaya tinggi atau uang deposit yang diperlukan dalam
proses permohonan insolvensi, maka proses ini hanya dapat dipertimbangkan
sebagai jalan terakhir bagi debitur non-preferen saja.210
4.41. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa walaupun jumlah biaya untuk menyelesaikan
proses insolvensi mungkin tinggi, memulai langkah pertama, yakni mengajukan
permintaan berdasarkan undang-undang kepada pemberi kerja, tidak
menimbulkan biaya yang signifikan. Perlu dipertimbangkan untuk menyatakan
maksud untuk memulai proses insolvensi melalui surat permintaan berdasarkan
undang-undang, karena adanya konsekuensi yang cukup berat yang mungkin
timbul dari kepailitan atau pembubaran yang dapat memaksa beberapa pemberi
kerja untuk membayar klaim terutang yang dimiliki klien, atau paling tidak untuk
menandatangani penyelesaian melalui negosiasi.
v. Ketika pemberi kerja dihadapkan dengan proses insolvesi atau telah diputuskan pailit
atau dibubarkan
4.42. Proses insolvensi dapat dilakukan oleh setiap kreditor. Oleh karena itu adalah hal
yang lazim bagi klien untuk menghadapi pemberi kerja yang tengah menghadapi
proses ini, atau telah diputuskan pailit atau bubar. Jika hal ini terjadi, terdapat
beberapa implikasi terhadap klaim yang dilakukan oleh klien.
208 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 90 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 328. Lihat
Bagian 6.II and 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
209 Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 328(5). Dalam situasi tertentu, klaim pekerja dapat juga diberikan
status prioritas terhadap kreditor dengan jaminan dalan proses non-insilvensi, lihat Companies Act (Cap 50, 2006 Rev
Ed Sing), s 226, EA, s 33.
210 Dalam kasus tertentu, beberapa klaim klien tidak dapat diberikan status preferen. Sebagai contoh, klaim
berdasarkan perrbuatan melawan hukum berupa kelalaian yang biasanya dinggap sebagai klaim tanpa jaminan.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
170
4.43. Apabila klien mengajukan klaim sebelum individu tersebut dinyatakan pailit atau
perusahaan dibubarkan, terdapat kemungkinan bahwa pengadilan akan menahan
(yakni, menangguhkan) klaim klien.211 Sehingga, apabila klien telah
melaksanakan proses Garnishee atau WSS, ia tidak akan berhak untuk
mendapatkan manfaat dari proses ini, kecuali mereka telah menyelesaikannya
sebelum tanggal dari putusan kepailitan212 atau tanggal permohonan pembubaran
diajukan213 sesuai dengan keadaannya.
4.44. Setelah seorang individu dinyatakan pailit atau perusahaan telah dibubarkan,
klien tidak dapat lagi mengupayakan tuntutan hukum apa pun untuk memperoleh
kembali uang yang belum dibayarkan sebelum terjadi pailit214 atau
pembubaran.215 Untuk dapat mengetahui apakah individu yang bersangkutan
pailit atau perusahaan tersebut telah dibubarkan, penelusuran sehubungan
dengan insolvensi perlu dilakukan. Terdapat beberapa penyedia jasa yang
menawarkan penelusuran terkait, salah satunya dapat ditemukan di website
Kementrian Hukum (Ministry of Law).216
4.45. Namun demikian klien dapat mengajukan formulir Bukti Utang kepada trustee
dalam kepailitan atau likuidator. Jika Official Assignee bertindak sebagai trustee
atau Official Receiver bertindak sebagai likuidator, hal ini dapat dilakukan secara
elektronik217 dengan biaya sebesar $5.218 Klien diharuskan untuk mengajukan
formulir Bukti Utang (Proof of Debt form)219 meskipun ia merupakan salah satu
pemohon dalam proses kepailitan atau pembubaran, karena klien tidak akan
berhak untuk pendistribusian dari harta insolvensi kecuali bukti utang telah
diajukan.
211 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 74 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 258. Lihat
Bagian 6.II and 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
212 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 105. Lihat B Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
213 Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 260. Lihat Bagian 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
214 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 76(1)(c)(ii). Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
215 Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 90 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 262(3). Lihat
Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
216 Lihat Ministry of Law, Insolvency Office E-services online portal <https://www.mlaw.gov.sg/eservices/io/>
217 Lihat Ministry of Law, Insolvency Office E-services online portal < https://www.mlaw.gov.sg/eservices/io/> untuk
menyerahkan formulir secara elektronik.
218 Bankruptcy: Ministry of Law, “Bankruptcy - Information for Creditors”, online: Insolvency Office
<https://www.mlaw.gov.sg/content/io/en/bankruptcy-and-debt-repayment-scheme/bankruptcy/information-for-
creditors.html>. Winding up: Ministry of Law, “Information for Creditors”, , online: Insolvency Office
<https://www.mlaw.gov.sg/content/io/en/corporate-insolvency/information-for-the-creditors-of-a-company-in-
liquidation.html>
219 Bentuk formulir dapat ditemukan di: Bankruptcy: Ministry of Law,
online<https://www.mlaw.gov.sg/content/io/en/bankruptcy-and-debt-repayment-scheme/bankruptcy/forms.html>
Winding up: Ministry of Law, online<https://www.mlaw.gov.sg/content/io/en/corporate-insolvency/forms.html>
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
171
E. Surat Kuasa (POA, Power of Attorney)
4.46. Surat Kuasa (POA, Power of Attorney) adalah suatu “instrumen yang dibuat oleh
seseorang yang memberikan kepercayaan pada seseorang lainnya untuk
bertindak atas nama dirinya.”220 Pihak yang membuat Surat Kuasa, dalam hal ini
adalah klien, disebut “donor” atau pemberi, sedangkan pihak yang menerima
kuasa untuk bertindak atas nama donor disebut “done” atau penerima.221 Surat
Kuasa222 tersebut dapat disimpankan di Mahkamah Agung.223
4.47. Surat Kuasa dapat memberikan berbagai wewenang kepada pengacara dari
klien, mulai dari wewenang untuk membuat keputusan kecil hingga semua
keputusan yang terkait dengan kasus. Penting bagi klien untuk membahas
dengan pengacaranya tentang berbagai wewenang yang ingin diberikan sebelum
klien membuat suatu keputusan.
4.48. Surat pengikatan yang komprehensif sudah dapat dianggap cukup bagi
pengacara untuk bertindak untuk dan atas nama klien mereka. Akan tetapi,
sebuah surat kuasa dapat berguna bagi LSM yang mungkin membutuhkannya
untuk mengambil barang atau uang dari Kemenaker atas nama klien mereka.
Contohnya, ketika Kemenaker tidak memilik alamat terdaftar dari pekerja,
Kemenaker akan mengirimkan uang kepada LSM, seperti halnya HOME, TWC2,
HealthServe atau yang lainnya.
F. Pendekatan hukum yang lunak (Soft Law) dari Kemenaker – memasukkan
pemberi kerja ke dalam daftar hitam
4.49. Kemenaker berwenang untuk melarang (biasanya disebut sebagai memasukkan
ke dalam daftar hitam) terhadap pemberi kerja ketika melakukan pelanggaran
hukum.224 Perusahaan yang terkena larangan ini “tidak akan diperbolehkan untuk
mengajukan permohonan izin kerja bagi pekerja asing baru serta memperpanjang
izin kerja dari pekerja asing mereka yang sudah ada.”225 Hal ini dapat berdampak
pada kegiatan operasional perusahaan, dan pendekatan hukum yang lunak (soft
law) tersebut sangat efektif untuk mendorong kepatuhan hukum dari pihak
pemberi kerja. Meskipun pelarangan tidak menyebabkan adanya kompensasi,
ancaman dari buruh migran dia akan menghubungi Kemenaker tentang
penjatuhan larangan dapat menjadi alat negosiasi yang berguna untuk
memperoleh penyelesaian yang menguntungkan dari pemberi kerja.
220 Supreme Court of Singapore, “Civil Proceedings: Other Civil Proceedings and Processes- Power of Attorney”, online:
Supreme Court of Singapore <http://app.supremecourt.gov.sg/>.
221 Ibid.
222 Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing), s 48. Lihat Bagian 6.IV untuk naskah teks UU
tersebut.
223 Rules of Court, supra note 15, o 60 r 6. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah teks UU tersebut.
224 Ministry of Manpower, “Work Permit- before you apply”, online: Ministy of Manpower
<http://www.mom.gov.sg/foreign-manpower/passes-visas/work-permit-fw/before-you-apply/Pages/blacklisting.aspx>.
225 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
172
4.50. Salah satu kasus yang berhasil mendorong kepatuhan hukum adalah kasus dari
Ms Leng:226
4.51. Ms Leng adalah seorang pegawai di perusahaan wisata yang mempunyai
tunggakan gaji yang belum dibayarkan oleh bekas pemberi kerjanya, dan beliau
telah memperoleh surat perintah dari Labour Court untuk pembayaran utang
tersebut. Bekas pemberi kerjanya bersikeras tidak mau membayar, namun ketika
Kemenaker menjatuhkan pelarangan atas perusahaan dan direksinya, bekas
pemberi kerja tersebut “akhirnya menyadari keseriusan masalahnya jika tidak
mematuhi perintah pengadilan tersebut, dan kemudian dengan segera membayar
uang tunggakan secara penuh kepada Ms Leng”.
II. Memulai gugatan perdata atas nama klien di luar negeri
4.52. Klien yang sudah meninggalkan Singapura masih dapat menunjukkan bukti, dan
mengajukan gugatan kasusnya di pengadilan Singapura dengan bantuan
pengacara Singapura. Klien dapat memilih untuk pergi ke Singapura, atau
sebagai alternatif, dapat menyerahkan bukti melalui cara lain seperti deposition
(pernyataan saksi secara tertulis) atau konferensi video.
A. Pilihan pengadilan
4.53. Praktisi hukum dapat mengajukan klaim dari klien mereka ke Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Magistrate, tergantung dari nilai yang disengketakan, yaitu nilai
sengketa dimana klien berupaya untuk mengklaimnya.227
B. Kehadiran di pengadilan Singapura – berbagai cara untuk menyajikan bukti
4.54. Rules of Court menetapkan adanya konsekuensi yang berat bagi pihak yang tidak
hadir di persidangan tertentu.228 Hakim dapat memulai sidang tanpa kehadiran
pihak yang bersengketa, langsung menjatuhkan summary judgment (putusan
pengadilan tanpa melalui persidangan), atau menolak tuntutan.229 Namun
demikian, “kehadiran” tidak harus selalu berarti kehadiran secara langsung.
i. Kehadiran secara fisik dari luar negeri
4.55. Klien hampir selalu dapat memilih untuk pergi ke Singapura. Meskipun klien harus
membayar dulu biaya perjalanan di muka, kasus hukum baru-baru ini
menunjukkan bahwa klien dapat menuntut kembali, paling tidak sebagian biaya
226 Lihat misalnya. Anna Yap, “When The Going Gets Tough”, Challenge (July-August 2009) 5, online: Challenge
<http://issUU.com/challengeonline/docs/challenge-200907-mag>.
227 Lihat supra note 19.
228 Rules of Court, supra note 15, o 35 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
229 Lihat Lin Tsang Kit and Another v Chng Thiam Kwee [2005] SGHC 10 dimana tuntutan penggugat kedua ditolak
karena tidak hadir untuk memberi kesaksian di persidangan. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
173
tersebut jika memenangkan perkara.230 Biaya ini termasuk biaya perjalanan dan
bahkan termasuk biaya perjalanan di dalam negara asal (misalnya jika pekerja
tinggal di suatu tempat yang jauh dari kota yang mempunyai bandara).231
Berdasarkan case law yang ada,232 biaya yang dibebankan tergantung pada
kebijaksanaan pengadilan233 yang berdasarkan pada asas kewajaran.234 Prinsip
ini bersifat luas dan mengharuskan penggugat untuk menunjukkan bahwa biaya
yang dikeluarkan masih dalam batas kewajaran dan memang dipandang perlu,
dan bahwa biaya tersebut “proporsional”235 dan sesuai dengan “seluruh konteks
dari kasus tersebut.”236
ii. Penyerahan afidavit
4.56. Sehubungan dengan afidavit, aturan umum yang berlaku adalah bahwa “pada
sidang pengadilan kasus yang dimulai oleh surat perintah, bukti utama (evidence-
in-chief) dari saksi diberikan melalui afidavit (pernyataan tertulis di bawah
sumpah).”237 Kecuali pihak lawan dan pengadilan sepakat untuk menerima bukti
tanpa perlu pemeriksaan silang (cross-examination), bukti utama dalam
afidavitoleh saksi yang tidak hadir tidak diperbolehkan kecuali atas persetujuan
pengadilan (the leave of the court).238
iii. Konferensi Video
4.57. Jika klien secara fisik tidak dapat menghadiri persidangan di Singapura, klien juga
dapat mengajukan permohonan untuk hadir melalui konferensi video.239
1) Biaya konferensi video
4.58. Biaya pemakaian fasilitas konferensi video untuk memberikan kesaksian dapat
230 Lihat Lam Hwa Engineering & Trading Pte Ltd v Yang Qiang [2014] SGCA 3 [Lam Hwa Engineering]. Lihat Bagian
6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
231 Ibid, dimana biaya transportasi darat sebesar $95 yang dikeluarkan di Cina untuk melakukan perjalanan pulang-pergi
ke bandara dapat diberi penggantian.
232 Ibid.
233 Rules of Court, supra note 15, o 59 r 1(1); “in the discretion of the Court, and the Court shall have full power to
determine by whom and to what extent the costs are to be paid” atau “sesuai kebijaksanaan Pengadian dan Pengadilan
mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang menanggung biaya dan seberapa banyak”. Lihat Bagian
6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
234 Rules of Court, supra note 15, o 59 r 27(2); “there shall be allowed a reasonable amount in respect of all costs
reasonably incurred” (“diperbolehkan dalam jumlah yang wajar terkait semua biaya yang lazim dikeluarkan”). Lihat
Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
235 Lam Hwa Engineering, supra note 230 di [21] dan Lin Jian Wei and another v Lim Eng Hock Peter [2011] 3 SLR
1052 [Lin Jian Wei] di [78]. Lihat Bagian 6.XII untuk ringkasan kasus.
236Lin Jian Wei, ibid, di [56]. Lihat Bagian 6.XII untuk ringkasan kasus.
237 Rules of Court, supra note 15, o 38 r 2(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
238 Rules of Court, supra note 15, o 38 r 2(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
239 Lihat Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing), s 62A(1) [Evidence Act]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU
tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
174
menjadi hambatan bagi kebanyakan buruh migran. Klien harus membayar biaya
atas penggunaan teknologi pengadilan dan fasilitas video konferensi, baik di
Singapura maupun di negara asalnya.
4.59. Biaya yang harus dibayarkan di Singapura ditunjukkan pada Tabel berikut ini.
Tabel 19: Biaya konferensi video240
Pemesanan pengadilan TIK (technology court): $50 per hari
Pemesanan fasilitas konferensi video dari
pengadilan TIK: $1.000 per hari
4.60. Selain itu, klien harus membayar biaya konferensi video lainnya yang timbul di
negara dimana saksi hadir secara fisik (contohnya, klien harus menanggung
biaya konferensi video dari lokasi tersebut).
4.61. Masih belum jelas apakah penggugat yang memenangkan perkara berhak
mendapatkan kembali biaya fasilitas konferensi video tersebut.
2) Ketentuan yang memperbolehkan penggunaan konferensi
video
4.62. Sebagai aturan umum, keterangan saksi seharusnya diberikan secara langsung
dan di pengadilan terbuka,241 dan “diberlakukan berdasarkan UU tentang Aturan
dan Bukti (Rules and the Evidence Act), serta hukum tertulis lainnya yang terkait
dengan bukti”.242 Namun demikian, UU tentang Bukti menetapkan bahwa
“seseorang, dengan persetujuan pengadilan, dapat memberikan kesaksian
melalui tautan siaran video secara langsung atau siaran langsung televisi dalam
setiap persidangan, selain persidangan perkara pidana”.243 Masalah hukumnya
adalah apakah buruh migran, atas persetujuan pengadilan, dapat memberikan
kesaksian melalui konferensi video, sehingga tidak perlu secara fisik di Singapura.
240 Lihat Supreme Court of Singapore, “Technology Courts Booking”, online: Supreme Court of Singapore
<http://app.supremecourt.gov.sg/default.aspx?pgid=57>.
241 Sonica Industries v Fu Yu Manufacturing Ltd [1999] SGCA 63 [Sonica] at [8]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks
UU tersebut.
242 Rules of Court, supra note 15, o 38 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk teks naskah UU tersebut.
243 Evidence Act, supra note 239, yang memperbolehkan konferensi video untuk saksi yang secara fisik berada di luar
Singapura, diperbolehkan untuk sidang non-pidana tapi dilarang dalam sidang pidana; c.f. Kim Gwang Seok v Public
Prosecutor [2012] 4 SLR 821; [2012] SGCA 51 di [24], [27] – [29], dimana Court of Appeal secara jelas menyatakan
bahwa Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing) s 281 tidak boleh diterapkan untuk memperbolehkan
saksi yang secara fisik berada di luar Singapura untuk memberikan kesaksian melalui tautan video untuk persidangan
pidana di Singapura. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
175
4.63. Pengadilan Singapura telah menetapkan tiga tahap untuk menentukan apakah
kehadiran melalui konferensi video244 diperbolehkan.
4.64. Tahap 1: Pertama, permohonan persetujuan harus masuk ke dalam salah satu
dari empat dasar persyaratan. Terkait dengan buruh migran yang sudah kembali
ke negara asalnya, satu dasar persyaratan memperbolehkan penggunaan
konferensi video jika saksi berada di luar Singapura.245
4.65. Tahap 2: Pengadilan kemudian harus mempertimbangkan apakah persetujuan
akan diberikan, melaluipertimbangan dari tiga faktor berikut ini.246
1) Alasan mengapa saksi tidak dapat memberi kesaksian di Singapura;
2) Fasilitas administrasi dan teknis serta pengaturan di tempat dimana saksi
akan memberikan kesaksian; dan
3) Apakah ada salah satu pihak dalam persidangan yang akan dirugikan secara
tidak adil.
4.66. Faktor-faktor ini belum menyeluruh. Faktor-faktor lain yang ikut
dipertimbangkanoleh pengadilan Singapura termasuk:
• Seberapa penting bukti yang ada: apabila bukti tidak begitu penting terhadap masalah utama di persidangan, suatu perintah yang menyetujui konferensi video biasanya tidak akan dibenarkan.247
• “Keamanan dan kerahasiaan persidangan:” apabila pengadilan tidak
dapat memastikan keamanan dan kerahasiaan dari persidangan yang dilakukan melalui konferensi video, pengadilan kemungkinan akan melarang penggunaan konferensi video.248
244 Kasus Sonica, supra note 241, adalah otoritas hukum utama tentang prinsip-prinsip yang mengatur tentang
persetujuan pengadilan untuk konferensi video. Dalam kasus Sonica, penggugat mengklaim telah menandatangani
kontrak dengan tergugat, yang kemudian dilanggar oleh tergugat, sehingga terjadi kerugian dan kemungkinan adanya
kewajiban hukum atas pihak ketiga. Penggugat mengajukan permohonan secara lisan sesuai dengan Evidence Act,
supra note 239, s 62A untuk konferensi video bagi dua saksi dengan alasan bahwa mereka tidak dapat datang ke
Singapura untuk memberikan kesaksian lisan di persidangan. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskh teks UU tersebut.
245 Lihat Evidence Act, supra note 239, s 62A(1)(c). Empat persyaratan tersebut adalah: (a) saksi berusia dibawah 16
tahun; (b) adanya kesepakatan yang jelas antara para pihak dalam persidangan bahwa bukti atau kesaksian dapat
diberikan dengan cara demikian; (c) saksi berada di luar Singapura; atau (d) pengadilan merasa puas bahwa telah
berlaku bijaksana demi kepentingan menegakkan keadilan apabila memutuskan untuk memperbolehkan konferensi
video. (adanya tambahan penekanan). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
246 Evidence Act, supra note 239, s 62A(2). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
247 Lihat Sonica, supra note 241 di [19]. Permintaan penggugat untuk saksi kedua dalam memberi kesaksian melalui
konferensi video telah ditolak karena kesaksian yang akan diberikan hanya terkait kredibilitas para saksi. Lihat Bagian
6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
248 Lihat IB v Comptroller of Income Tax [2005] SGDC 50, di [42]. Jika banding diajukan terhadap Comptroller atas
Pemberitahuan Ketetapan Pajak Penghasilan untuk pajak yang harus dibayar, pihak yang mengajukan banding
(appellant) meminta untuk memberi kesaksian lewat tautan video dari Xian, Cina. Pengadilan memandang tidak adanya
langkah yang memadai untuk menjaga “keamanan dan kerahasiaan persidangan jika dilakukan melalui tautan video di
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
176
• Apakah orang yang memberi kesaksian merupakan salah satu pihak dalam persidangan, atau yang akan memberikan keterangan sebagai saksi: Permohonan untuk mengadakan konferensi video dapat diajukan untuk dua jenis saksi – seseorang yang merupakan salah satu pihak dalam persidangan dan seseorang yang bukan salah satu pihak dalam persidangan.
4.67. Dalam kasus dimana saksi bukan salah satu pihak dalam persidangan dan berada
dalam yurisdiksi yang terpisah, saksi tersebut tidak perlu memberi kesaksian di
pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan lebih memahami akan perlunya
konferensi video.249 Sebaliknya, apabila saksi merupakan salah satu pihak dalam
persidangan, pengadilan cenderung tidak mengizinkan penggunaan konferensi
video, meskipun hal ini belum menjadi ketentuan pasti.250 Kasus litigasi
selanjutnya diperlukan untuk menguji kesediaan pengadilan dalam mengizinkan
klien atau buruh migran untuk hadir dari jarak jauh.
4.68. Tahap 3: Akhirnya, mengacu pada s 62A(5), pengadilan “seharusnya tidak
mengeluarkan perintah berdasarkan bagian ini [...] jika melakukan hal tersebut
tidak sejalan dengan kewajiban pengadilan untuk memastikan bahwa proses
persidangan berjalan adil bagi para pihak dalam persidangan.”251 Pengadilan
akan mempertimbangkan apakah dan seberapa jauh mengabulkan atau menolak
konferensi video akan merugikan masing-masing pihak.252
4.69. Masalah tentang ketidakadilan adalah “pertimbangan yang mengesampingkan
pertimbangan lainnya pada aplikasi semacam ini.”253
lokasi pribadi yang diajukan oleh appellant” sebagai alasan untuk melarang diadakannya konferensi video. Lihat Bagian
6.VIII untuk ringkasan kasus.
249 Lihat Sonica, supra note 241, di [12]. Permintaan penggugat untuk menghadirkan saksi pertama untuk memberi
kesaksian melalui konferensi video dikabulkan. Pengadilan memandang bahwa pihak penggugat tidak berkuasa atas
Mr Kawamura dan telah melakukan upaya yang diperlukan untuk menghadirkan Mr Kawamura di Singapura meskipun
tidak berhasil. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
250 Berdasarkan s 62A(2), pengadilan harus mempertimbangkan semua hal lainnya yang terkait dengan kasus. Lihat
juga Peters Roger May v Pinder Lillian Gek Lian [2006] 2 SLR(R) 381, di [27]: “jika ada alasan yang memadai mengapa
kehadiran fisik dari saksi asing tidak dapat dilakukan, pengadilan seharusnya lebih memilih untuk memperbolehkan
kesaksian melalui tautan video sebagai ganti aturan umum yang mensyaratkan kesaksian secara fisik. Alasan yang
memadai seharusnya didasarkan pada persyaratan yang relatif ringan dan seharusnya dinilai secara liberal dan
pragmatis.”Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
251 Evidence Act, supra note 239, s 62A(5). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
252 Lihat Sonica, supra note 241, di [15]. Pengadilan menimbang antara kerugian yang akan dialami pihak tergugat jika
konferensi video diperbolehkan untuk menghadirkan saksi pertama dengan kerugian bagi pihak penggugat jika
konferensi video ditolak. Pengadilan tidak menemukan adanya kerugian bagi pihak tergugat karena tergugat tidak akan
terkejut dengan kesaksian yang akan diberikan, tidak ada keberatan bahwa kesaksian yang diberikan akan rumit dan
sangat teknis, serta fasilitas yang digunakan memungkinkan untuk dilakukannya pemeriksaan silang. Sebaliknya, jika
penggugat tidak memperoleh persetujuan, penggugat tidak dapat menyajikan bukti yang sangat penting untuk tuntutan
intinya. Lihat Bagian 6.VIII untuk ringkasan kasus.
253 Ibid.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
177
4.70. Pada akhirnya, meskipun keputusan untuk mengizinkan penggunaan konferensi
video mengikuti tiga tahapan sebagaimana yang diuraikan di atas, keputusan
tersebut menyangkut upaya Pengadilan untuk menyeimbangkan berbagai faktor
yang saling bertentangan dalam kasus ini.
iv. Pembuktian melalui Deposisi (Deposition)
4.71. Dalam kondisi khusus, apabila klien tidak dapat memberi kesaksian secara
langsung di persidangan, pembuktian melalui proses deposisi (pernyataan saksi
secara tertulis) masih memungkinkan. Hal ini melibatkan pemeriksaan orang
tersebut di hadapan petugas peradilan dalam persidangan resmi. Selama proses
pemeriksaan, isi pokok dari kesaksian dicatat dalam bentuk deposition, yang
kemudian diserahkan kepada bagian pendaftaran (registry) untuk digunakan
sebagai bukti di persidangan.254
4.72. Pemeriksaan tersebut dilakukan sesuai perintah pengadilan dan dilakukan di
bawah sumpah di hadapan Hakim, Pencatat (Registrar), atau beberapa orang
lainnya, di tempat yang ditentukan oleh pengadilan.255
4.73. Klien di luar wilayah yurisdiksi dapat meminta pengacara untuk mengeluarkan
surat permohonan kepada lembaga peradilan di negara dimana klien akan
memberikan kesaksian.256 Sebagai alternatif, permohonan dapat diajukan kepada
pemeriksa khusus yang diangkat pengadilan Singapura untuk mengambil
kesaksian orang di luar negeri, dengan persetujuan pemerintah negara
tersebut.257 Permohonan yang demikian hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan
Negara (State Courts).258 Klien harus menanggung biaya pemeriksaan (termasuk
honor pemeriksa dan biaya lokal yang timbul di wilayah yurisdiksi luar negeri).259
254 Lihat Jeffrey Pinsler, Civil Practice in Singapore and Malaysia (Lexis: 1996) di 578 (Lexis); “o 39 mengatur prosedur
pembuktian melalui deposition (pernyataan saksi secara tertulis). O 39 harus dibaca bersamaan dengan ketentuan
penting di o 38; yaitu, aturan 9 dari perintah tersebut menyebutkan bahwa bukti tidak boleh diberikan melalui deposition,
kecuali jika deposition tersebut diterima berdasarkan perintah pengadilan berdasarkan O 39, r 1, dan 'apakah pihak
yang berlawanan dimana pembuktian tersebut diberikan memberi persetujuan, atau telah terbukti dan diterima
pengadilan bahwa saksi sudah meninggal, atau berada di luar yurisdiksi pengadilan, atau tidak dapat menghadiri
persidangan karena sakit atau kondisi uzur lainnya. Selain itu, pihak yang berniat untuk menggunakan deposition
sebagai bukti di pengadilan harus memberitahukan tentang keinginan tersebut dalam ‘jangka waktu yang pantas’
sebelum persidangan. Berkenaan dengan masalah keaslian (authenticity), deposition yang ‘diakui ditandatangani oleh
pihak yang membuatnya akan dapat diterima sebagai bukti tanpa bukti bahwa tandatangan yang dibubuhi adalah
tandatangan orang tersebut'.”
255 Rules of Court, supra note 15, o 39, r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
256 Ibid, o 39, r 3. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
257 Ibid, o 39, r 2.
258 Ibid, o 39, r 2(3).
259 Ibid, o 39, r 14.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
178
5. KESIMPULAN
5.1. Bagi buruh migran yang harus kembali ke negara asal, situasi yang ideal adalah
untuk memperoleh penyelesaian sengketa dan mengambil pembayaran sebelum
pulang ke negara asal.
5.2. Namun demikian, apabila negosiasi gagal atau tidak dapat dilaksanakan,
berbagai jalur hukum masih tersedia bahkan bagi mereka yang tidak bisa tetap
tinggal di Singapura. Jalur mana yang sebaiknya diambil buruh migran
tergantung dari sejumlah hal seperti biaya, batas waktu untuk mengajukan klaim,
bukti yang diperlukan dan yang paling penting adalah jangka waktu yang
diperbolehkan bagi mereka untuk tetap tinggal di Singapura agar dapat
menyelesaikan klaim mereka.
5.3. Bagi mereka yang harus kembali ke negara asal sebelum klaim mereka
terselesaikan, jalur Kemenaker hanya terbuka jika mereka dapat menyelesaikan
berbagai prosedur sebelum meninggalkan Singapura. Klien tidak perlu tetap
tinggal di Singapura untuk menunggu putusan, sehingga pengacara dapat
mengambil jumlah apapun yang ditetapkan atau disepakati melalui prosedur
Kemenaker setelah klien kembali ke negara asal.
5.4. Bagi semua klien lainnya, pengajuan klaim di pengadilan perdata secara teknis
memungkinkan, baik klien yang masih berada di Singapura ataupun yang sudah
kembali ke negara asal.
5.5. Klien yang telah kembali atau yang akan kembali ke negara asal harus
menandatangani surat kuasa yang memberikan kepada praktisi atau pengacara
wewenang untuk menyelesaikan penegakan atau persidangan hukum di
Singapura atas nama klien.
5.6. Setelah melakukan analisis atas statutory law (perundangan yang tertulis) dan
case law (perundangan yang didasarkan atas keputusan hakim sebelumnya),
Bab 4 akan menjelaskan tentang berbagai tantangan dalam mewakili klien yang
tinggal di luar negeri, dan sejumlah cara yang memungkinkan untuk mencari
mitra kerja lokal yang dapat diajak kerjasama.
6. ANALISIS BLACK LETTER LAW DAN CASE LAW
I. Pendahuluan
6.1. Terdapat banyak referensi dari berbagai perundangan dan kasus yang dibuat
dalam Bab 3. Diatur sesuai dengan urutan abjad, bagian ini merupakan kompilasi
dari porsi yang relevan dari perundangan yang tersebut di atas serta masing-
masing kasus hukum untuk memberikan penjelasan yang lebih baik tentang
interpretasi hukum. Case law (hukum yang didasarkan atas keputusan hakim
sebelumnya)dan statutory law (peraturan perundang-undangan yang tertulis)
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
179
tetap dalam bahasa Inggris untuk menjaga keakuratannya
II. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing)
Section 33. Appointment of person other than Official Assignee as trustee in bankruptcy
(1) The court may —
(a) on making a bankruptcy order; and
(b) on the application of the creditor who applied for the bankruptcy order,
appoint a person other than the Official Assignee to be the trustee of the bankrupt’s estate
Section 61. Grounds of bankruptcy application
(1) No bankruptcy application shall be made to the court in respect of any debt or debts unless at
the time the application is made —
(a) the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is not less than $10,000;
(b) the debt or each of the debts is for a liquidated sum payable to the applicant creditor
immediately;
(c) the debtor is unable to pay the debt or each of the debts; and
(d) where the debt or each of the debts is incurred outside Singapore, such debt is
payable by the debtor to the applicant creditor by virtue of a judgment or an award which
is enforceable by execution in Singapore.
Section 62. Presumption of inability to pay debts
For the purposes of a creditor’s bankruptcy application, a debtor shall, until he proves to the
contrary, be presumed to be unable to pay any debt within the meaning of section 61(1)(c) if the
debt is immediately payable and —
(a)
(i) the applicant creditor to whom the debt is owed has served on him in the
prescribed manner, a statutory demand;
(ii) at least 21 days have elapsed since the statutory demand was served; and
(iii) the debtor has neither complied with it nor applied to the court to set it aside;
(b) execution issued against him in respect of a judgment debt owed to the applicant
creditor has been returned unsatisfied in whole or in part;
(c) he has departed from or remained outside Singapore with the intention of defeating,
delaying or obstructing a creditor in the recovery of the debt; or
(d) the Official Assignee has —
(i) issued a certificate of inapplicability of a debt repayment scheme under section
56L;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
180
(ii) issued a certificate of failure of a debt repayment scheme under section
56M(1); or
(iii) revoked a certificate of completion of a debt repayment scheme under section
56O(1),
in respect of the debtor within 90 days immediately preceding the date on which the
bankruptcy application is made, and the applicant creditor had proved the debt under that
debt repayment scheme.
Section 74. Power to stay proceedings against person or property of debtor
(1) Any court may by order, at any time after the making of a bankruptcy application, stay any
action, execution or other legal process against the person or property of the debtor.
(2) Where an order is made under subsection (1) staying any action or proceedings or staying
proceedings generally, the order may be served by sending a copy thereof, under the seal of the
court, by prepaid registered post to the address for service of the plaintiff or other party
prosecuting such proceedings.
Section 76. Effect of bankruptcy order
(1) On the making of a bankruptcy order —
(a) the property of the bankrupt shall —
(i) vest in the Official Assignee without any further conveyance, assignment or
transfer; and
(ii) become divisible among his creditors;
(b) the Official Assignee shall be constituted receiver of the bankrupt’s property; and
(c) unless otherwise provided by this Act —
(i) no creditor to whom the bankrupt is indebted in respect of any debt provable
in bankruptcy shall have any remedy against the person or property of the
bankrupt in respect of that debt; and
(ii) no action or proceedings shall be proceeded with or commenced against the
bankrupt in respect of that debt, except by leave of the court and in accordance
with such terms as the court may impose.
(2) Where a bankruptcy order is made against a firm, the order shall operate as if it were a
bankruptcy order made against each of the persons who, at the time of the order, is a partner in
the firm.
(3) This section shall not affect the right of any secured creditor to realise or otherwise deal with
his security in the same manner as he would have been entitled to realise or deal with it if this
section had not been enacted.
(4) Notwithstanding subsection (3) and section 94, no secured creditor shall be entitled to any
interest in respect of his debt after the making of a bankruptcy order if he does not realise his
security within 6 months from the date of the bankruptcy order or such further period as the Official
Assignee may determine.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
181
Section 90. Priority of debts
(1) Subject to this Act, in the distribution of the property of a bankrupt, there shall be paid in priority
to all other debts —
(a) firstly, the costs and expenses of administration or otherwise incurred by the Official
Assignee and the costs of the applicant for the bankruptcy order (whether taxed or
agreed) and the costs and expenses properly incurred by a nominee in respect of the
administration of any voluntary arrangement under Part V;
(b) secondly, subject to subsection (2), all wages or salary (whether or not earned wholly
or in part by way of commission) including any amount payable by way of allowance or
reimbursement under any contract of employment or award or agreement regulating the
conditions of employment of any employee;
(c) thirdly, subject to subsection (2), the amount due to an employee as a retrenchment
benefit or an ex gratia payment under any contract of employment or award or agreement
that regulates the conditions of employment, whether such amount becomes payable
before, on or after the date of the bankruptcy order;
(d) fourthly, all amounts due in respect of any work injury compensation under the Work
Injury Compensation Act (Cap. 354) accrued before, on or after the date of the bankruptcy
order;
(e) fifthly, all amounts due in respect of contributions payable during the 12 months
immediately before, on or after the date of the bankruptcy order by the bankrupt as the
employer of any person under any written law relating to employees’ superannuation or
provident funds or under any scheme of superannuation which is an approved scheme
under the Income Tax Act (Cap. 134);
(f) sixthly, all remuneration payable to any employee in respect of vacation leave, or in
the case of his death, to any other person in his right, accrued in respect of any period
before, on or after the date of the bankruptcy order;
(g) seventhly, the amount of all taxes assessed and any goods and services tax due
under any written law before the date of the bankruptcy order or assessed at any time
before the time fixed for the proving of debts has expired; and
(h) eighthly, all premiums (including interest and penalties for late payment) and other
sums payable in respect of the bankrupt’s insurance cover under the MediShield Life
Scheme referred to in section 3 of the MediShield Life Scheme Act 2015 before the time
fixed for the proving of debts has expired.
(2) The amount payable under subsection (1)(b) and (c) shall not exceed an amount that is
equivalent to 5 months’ salary whether for time or piecework in respect of services rendered by
any employee to the bankrupt or $7,500, whichever is the lesser.
(3) The Minister may, by order published in the Gazette, amend subsection (2) by varying the
amount specified in that subsection as the maximum amount payable under subsection (1)(b) and
(c).
(4) For the purposes of subsection (1)(b) and (c) —
“employee” means a person who has entered into or works under a contract of service with the
bankrupt and includes a subcontractor of labour;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
182
“wages or salary” includes —
(a) all arrears of money due to a subcontractor of labour;
(b) any amount payable to an employee on account of wages or salary during a period of
notice of termination of employment or in lieu of notice of such termination, as the case
may be, whether such amount becomes payable before, on or after the date of the
bankruptcy order; and
(c) any amount payable to an employee, on termination of his employment, as a gratuity
under any contract of employment, or under any award or agreement that regulates the
conditions of his employment, whether such amount becomes payable before, on or after
the date of the bankruptcy order.
(5) For the purposes of subsection (1)(c) —
“ex gratia payment” means the amount payable to an employee on the bankruptcy of his employer
or on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by reason of
any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the amount payable
to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract of employment,
award or agreement, as the case may be;
“retrenchment benefit” means the amount payable to an employee on the bankruptcy of his
employer, on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by
reason of any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the
amount payable to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract
of employment, award or agreement, as the case may be, or if no amount is stipulated therein,
such amount as is stipulated by the Commissioner for Labour.
(6) The debts in each class specified in subsection (1) shall rank in the order therein specified but
debts of the same class shall rank equally between themselves, and shall be paid in full, unless
the property of the bankrupt is insufficient to meet them, in which case they shall abate in equal
proportions between themselves.
(7) Where any payment has been made to any employee of the bankrupt on account of wages,
salary or vacation leave out of money advanced by a person for that purpose, the person by whom
the money was advanced shall, in a bankruptcy, have a right of priority in respect of the money
so advanced and paid, up to the amount by which the sum in respect of which the employee
would have been entitled to priority in the bankruptcy has been diminished by reason of the
payment, and shall have the same right of priority in respect of that amount as the employee
would have had if the payment had not been made.
(8) Where any creditor has given any indemnity or made any payment of moneys by virtue of
which any asset of the bankrupt has been recovered, protected or preserved, the court may make
such order as it thinks just with respect to the distribution of such asset with a view to giving that
creditor an advantage over other creditors in consideration of the risks run by him in so doing.
(9) Where an interim receiver has been appointed under section 73 before the making of the
bankruptcy order, the date of the appointment shall, for the purposes of this section, be deemed
to be the date of the bankruptcy order.
Section 105. Restriction of rights of creditor under execution or attachment
(1) Where the creditor of a bankrupt has issued execution against the goods or lands of the
bankrupt or has attached any debt due or property belonging to him, the creditor shall not be
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
183
entitled to retain the benefit of the execution or attachment against the Official Assignee unless
he has completed the execution or attachment before the date of the bankruptcy order, except
that —
(a) a person who purchases in good faith under a sale by the Sheriff any goods of a
bankrupt on which an execution has been levied shall in all cases acquire a good title to
them against the Official Assignee; and
(b) the rights conferred by this subsection on the Official Assignee may be set aside by
the court in favour of the creditor to such extent and subject to such terms as the court
may think fit.
(2) For the purposes of this Act —
(a) an execution against goods is completed by seizure and sale;
(b) an attachment of a debt is completed by receipt of the debt; and
(c) an execution against land or any interest therein is completed by registering under
any written law relating to the registration of land a writ of seizure and sale attaching the
interest of the bankrupt in the land described therein.
III. Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing)
Section 254. Circumstances in which company may be wound up by Court
(2) A company shall be deemed to be unable to pay its debts if —
(a) a creditor by assignment or otherwise to whom the company is indebted in a sum
exceeding $10,000 then due has served on the company by leaving at the registered
office a demand under his hand or under the hand of his agent thereunto lawfully
authorised requiring the company to pay the sum so due, and the company has for 3
weeks thereafter neglected to pay the sum or to secure or compound for it to the
reasonable satisfaction of the creditor;
(b) execution or other process issued on a judgment, decree or order of any court in
favour of a creditor of the company is returned unsatisfied in whole or in part; or
(c) it is proved to the satisfaction of the Court that the company is unable to pay its debts;
and in determining whether a company is unable to pay its debts the Court shall take into
account the contingent and prospective liabilities of the company.
Section 258. Power to stay or restrain proceedings against company
At any time after the making of a winding up application and before a winding up order has been
made, the company or any creditor or contributory may, where any action or proceeding against
the company is pending, apply to the Court to stay or restrain further proceedings in the action or
proceeding, and the Court may stay or restrain the proceedings accordingly on such terms as it
thinks fit.
Section 260. Avoidance of certain attachments, etc.
Any attachment, sequestration, distress or execution put in force against the estate or effects of
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
184
the company after the commencement of the winding up by the Court shall be void.
Section 262. Actions stayed on winding up order
(3) When a winding up order has been made or a provisional liquidator has been appointed, no
action or proceeding shall be proceeded with or commenced against the company except —
(a) by leave of the Court; and
(b) in accordance with such terms as the Court imposes.
Section 328. Priorities
(1) Subject to the provisions of this Act, in a winding up there shall be paid in priority to all other
unsecured debts —
(a) firstly, the costs and expenses of the winding up including the taxed costs of the
applicant for the winding up order payable under section 256, the remuneration of the
liquidator and the costs of any audit carried out pursuant to section 317;
(b) secondly, subject to subsection (2), all wages or salary (whether or not earned wholly
or in part by way of commission) including any amount payable by way of allowance or
reimbursement under any contract of employment or award or agreement regulating
conditions of employment of any employee;
(c) thirdly, subject to subsection (2), the amount due to an employee as a retrenchment
benefit or ex gratia payment under any contract of employment or award or agreement
that regulates conditions of employment whether such amount becomes payable before,
on or after the commencement of the winding up;
(d) fourthly, all amounts due in respect of work injury compensation under the Work Injury
Compensation Act (Cap. 354) accrued before, on or after the commencement of the
winding up;
(e) fifthly, all amounts due in respect of contributions payable during the 12 months next
before, on or after the commencement of the winding up by the company as the employer
of any person under any written law relating to employees’ superannuation or provident
funds or under any scheme of superannuation which is an approved scheme under the
law relating to income tax;
(f) sixthly, all remuneration payable to any employee in respect of vacation leave, or in
the case of his death to any other person in his right, accrued in respect of any period
before, on or after the commencement of the winding up; and
(g) seventhly, the amount of all tax assessed and all goods and services tax due under
any written law before the commencement of the winding up or assessed at any time
before the time fixed for the proving of debts has expired.
(2) The amount payable under subsection (1)(b) and (c) shall not exceed such amount as may
be prescribed by the Minister by order published in the Gazette.
(2B) For the purposes of —
(a) subsection (1)(b) and (c) —
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
185
“employee” means a person who has entered into or works under a contract of service
with an employer and includes a subcontractor of labour;
“wages or salary” shall be deemed to include —
(i) all arrears of money due to a subcontractor of labour;
(ii) any amount payable to an employee on account of wages or salary during a
period of notice of termination of employment or in lieu of notice of such
termination, as the case may be, whether such amount becomes payable before,
on or after the commencement of the winding up; and
(iii) any amount payable to an employee, on termination of his employment, as a
gratuity under any contract of employment, or under any award or agreement
that regulates conditions of employment whether such amount becomes payable
before, on or after the commencement of the winding up;
(b) subsection (1)(c) —
“ex gratia payment” means the amount payable to an employee on the winding up of a
company or on the termination of his service by his employer on the ground of
redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business,
trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the
amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may
be;
“retrenchment benefit” means the amount payable to an employee on the winding up of
a company or on the termination of his service by his employer on the ground of
redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business,
trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the
amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may
be, or if no amount is stipulated therein, such amount as is stipulated by the
Commissioner for Labour.
(3) The debts in each class, specified in subsection (1), shall rank in the order therein specified
but as between debts of the same class shall rank equally between themselves, and shall be paid
in full, unless the property of the company is insufficient to meet them, in which case they shall
abate in equal proportions between themselves.
(4) Where any payment has been made to any employee of the company on account of wages,
salary or vacation leave out of money advanced by a person for that purpose, the person by whom
the money was advanced shall, in a winding up, have a right of priority in respect of the money
so advanced and paid, up to the amount by which the sum in respect of which the employee
would have been entitled to priority in the winding up has been diminished by reason of the
payment, and shall have the same right of priority in respect of that amount as the employee
would have had if the payment had not been made.
(5) So far as the assets of the company available for payment of general creditors are insufficient
to meet any preferential debts specified in subsection (1)(a), (b), (c), (e) and (f) and any amount
payable in priority by virtue of subsection (4), those debts shall have priority over the claims of
the holders of debentures under any floating charge created by the company (which charge, as
created, was a floating charge), and shall be paid accordingly out of any property comprised in or
subject to that charge.
(6) Where the company is under a contract of insurance (entered into before the commencement
of the winding up) insured against liability to third parties, then if any such liability is incurred by
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
186
the company (either before or after the commencement of the winding up) and an amount in
respect of that liability is or has been received by the company or the liquidator from the insurer
the amount shall, after deducting any expenses of or incidental to getting in such amount, be paid
by the liquidator to the third party in respect of whom the liability was incurred to the extent
necessary to discharge that liability or any part of that liability remaining undischarged in priority
to all payments in respect of the debts referred to in subsection (1).
(7) If the liability of the insurer to the company is less than the liability of the company to the third
party, nothing in subsection (6) shall limit the rights of the third party in respect of the balance.
(8) Subsections (6) and (7) shall have effect notwithstanding any agreement to the contrary
entered into after 29th December 1967.
(9) Notwithstanding anything in subsection (1) —
(a) paragraph (d) of that subsection shall not apply in relation to the winding up of a
company in any case where the company is being wound up voluntarily merely for the
purpose of reconstruction or of amalgamation with another company and the right to the
compensation has on the reconstruction or amalgamation been preserved to the person
entitled thereto, or where the company has entered into a contract with an insurer in
respect of any liability under any law relating to work injury compensation; and
(b) where a company has given security for the payment or repayment of any amount to
which paragraph (g) of that subsection relates, that paragraph shall apply only in relation
to the balance of any such amount remaining due after deducting therefrom the net
amount realised from such security.
(10) Where in any winding up assets have been recovered under an indemnity for costs of
litigation given by certain creditors, or have been protected or preserved by the payment of
moneys or the giving of indemnity by creditors, or where expenses in relation to which a creditor
has indemnified a liquidator have been recovered, the Court may make such order as it thinks
just with respect to the distribution of those assets and the amount of those expenses so
recovered with a view to giving those creditors an advantage over others in consideration of the
risks run by them in so doing.
IV. Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing)
Section 48. Deposit of power of attorney
(1)
(a) An instrument creating a power of attorney, its execution being verified by affidavit,
statutory declaration, notarial certificate or other sufficient evidence, or a true copy of the
instrument duly compared therewith and marked by the Registrar, Deputy Registrar or
Assistant Registrar of the Supreme Court with the words “true copy”, or, if the instrument
is registered in Malaysia, an office copy thereof, may be deposited in the Registry of the
Supreme Court.
(b) For the purposes of this section, a photographic reproduction of any such instrument
made in such manner and of such dimensions as may be prescribed by general rule shall
be deemed to be a true copy of the instrument.
(c) The affidavit or declaration, if any, verifying the execution of any instrument creating
a power of attorney, or, where an office or true copy of such an instrument is deposited,
an office or true copy of that affidavit or declaration, shall be deposited with the instrument
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
187
or copy of the instrument, and paragraphs (a) and (b) shall apply, mutatis mutandis, to
such office or true copy.
(2) In the case of any instrument creating a power of attorney in a foreign language being so
deposited, there shall be deposited therewith a translation thereof, certified by a sworn interpreter
of the court, or if there is no interpreter attached to the court sworn to interpret in the language in
which the instrument is written, the translation shall be verified by a statutory declaration of some
person qualified to translate it.
(3) A separate file of instruments so deposited shall be kept, and any person may search that file
and inspect every instrument so deposited, and an office copy thereof, and if in a foreign
language, of the translation thereof, shall be delivered out to him on request.
(4) A copy of an instrument so deposited may be presented at the Registry, and may be stamped
or marked as an office copy, and when so stamped or marked shall become and be an office
copy.
(5) An office copy of an instrument so deposited shall without further proof be sufficient evidence
of the contents of the instrument and of the deposit thereof in the Registry.
(6) If the instrument so deposited is in a foreign language, an office copy of the translation
deposited with the instrument shall without further proof be admissible in evidence as a correct
translation of the original document.
(7) The fees to be taken in the Registry shall be fixed by the Chief Justice.
(8) If any such instrument so deposited at any time thereafter has been or is revoked, the Registrar
of the Supreme Court, on being satisfied by affidavit or statutory declaration or otherwise that the
instrument has been revoked, shall endorse thereon a certificate stating that it has been revoked
and the date thereof, and thereupon the instrument shall be deemed to have been duly revoked
as from the date of that certificate.
(9) Nothing in this section shall be deemed to affect or invalidate a revocation of any such
instrument where no certificate is made or any earlier revocation thereof.
(10) Any reference in subsections (2), (3), (4), (5), (6), (8) and (9) to an instrument shall be
deemed to include a reference to a true or office copy of the instrument deposited in accordance
with subsection (1).
(11) Any reference in section 8 or any written law to a power of attorney deposited, filed or
registered under or in the manner provided by this section includes a reference to a lasting power
of attorney registered under the Mental Capacity Act 2008.
V. Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing)
Section 281. Evidence through video or television links
(1) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law, but subject to the
provisions of this section, the court may allow the evidence of a person in Singapore (except the
accused) to be given through a live video or live television link in any trial, inquiry, appeal or other
proceedings if —
(a) the witness is below the age of 16 years;
(b) the offence charged is an offence specified in subsection (2);
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
188
(c) the court is satisfied that it is in the interests of justice to do so; or
(d) the Minister certifies that it is in the public interest to do so.
(2) The offences for the purposes of subsection (1)(b) are —
(a) an offence that involves an assault on or injury or a threat of injury to persons, including
an offence under sections 319 to 338 of the Penal Code (Cap. 224);
(b) an offence under Part II of the Children and Young Persons Act (Cap. 38) (relating to
protection of children and young persons);
(c) an offence under sections 354 to 358 and sections 375 to 377B of the Penal Code;
(d) an offence under Part XI of the Women’s Charter (Cap. 353) (relating to offences against
women and girls); and
(e) any other offence that the Minister may, after consulting the Chief Justice, prescribe.
(3) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law, the court may order an
accused to appear before it through a live video or live television link while in remand in Singapore
in proceedings for any of the following matters:
(a) an application for bail or release on personal bond at any time after an accused is first
produced before a Magistrate pursuant to Article 9(4) of the Constitution;
(b) an extension of the remand of an accused under section 238; and
(c) any other matters that the Minister may, after consulting the Chief Justice, prescribe.
(4) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law but subject to
subsection (5), an accused who is not a juvenile may appear before the court through a live video
or live television link while in remand in Singapore in proceedings for an application for remand
or for bail or for release on personal bond when he is first produced before a Magistrate pursuant
to Article 9(4) of the Constitution.
(5) A court may, if it considers it necessary, either on its own motion or on the application of an
accused, require an accused to be produced in person before it in proceedings referred to in
subsection (4).
(6) In exercising its powers under subsection (1), (3) or (4), the court may make an order on all or
any of the following matters:
(a) the persons who may be present at the place with the witness;
(b) that a person be kept away from the place while the witness is giving evidence;
(c) the persons in the courtroom who must be able to be heatd, or seen and heard, by the
witness and by the persons with the witness;
(d) the persons in the courtroom who must not be able to be heard, or seen and heard, by
the witness and by the persons with the witness;
(e) the persons in the courtroom who must be able to see and hear the witness and the
persons with the witness;
(f) the stages in the proceedings during which a specified part of the order is to apply;
(g) the method of operation of the live video or live television link system including
compliance with such minimum technical standards as may be determined by the Chief
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
189
Justice;
(h) any other order that the court considers necessary in the interests of justice.
(7) The court may revoke, suspend or vary an order made under this section if —
(a) the live video or live television link system stops working and it would cause unreasonable
delay to wait until a working system becomes available;
(b) it is necessary for the court to do so to comply with its duty to ensure fairness in the
proceedings;
(c) it is necessary for the court to do so in order that the witness can identify a person or a
thing or so that the witness can participate in or view a demonstration or an experiment;
(d) it is necessary for the court to do so because part of the proceedings is being heard
outside a courtroom; or
(e) there has been a material change in the circumstances after the court has made the
order.
(8) The court must not make an order under this section, or include a particular provision in such
an order, if to do so would be inconsistent with its duty to ensure that the proceedings are
conducted fairly to all parties.
(9) An order made under this section does not cease to apply merely because the person in
respect of whom it was made reaches the age of 16 years before the proceedings in which it was
made are finally concluded.
(10) When a witness gives evidence in proceedings through a live video or live television link, the
evidence is to be regarded for the purposes of sections 193, 194, 195, 196, 205 and 209 of the
Penal Code as having been given in those proceedings.
(11) If a witness gives evidence in accordance with this section, for the purposes of this Code and
the Evidence Act (Cap. 97), he is regarded as giving evidence in the presence of the court and
the accused, as the case may be.
(12) In subsections (6), (10) and (11), a reference to “witness” includes a reference to an accused
who appears before a court through a live video or live television link under subsection (3) or (4).
(13) The Chief Justice may make such rules as appear to him to be necessary or expedient to
give effect to this section and for prescribing anything that may be prescribed under this section.
Kim Gwang Seok v Public Prosecutor
[2012] 4 SLR 821; [2012] SGCA 51
Holding ● [24]: “Parliament clearly intended that s 364A [of the Criminal Procedure Code] should not be applied to allow witnesses who were physically outside Singapore to give evidence via video link for criminal proceedings in Singapore because of the potential problem of foreign witnesses giving false evidence to exonerate accused persons, particularly in cases involving drug offences, which was exactly the situation in the present case.”
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
190
● Furthermore, it seemed that the norm was that witnesses had to be physically present in court to give evidence, as a matter of both practice and law. The provisions in the CPC were based on the assumption that the entire trial process, which included the goving of evidence by witnesses, was to be physically conducted in a courtroom. The manner in which s 364A [of the Criminal Procedure Code] itself was framed reinforced this point: s 364A [of the Criminal Procedure Code] provided a sole and exceptional avenue for allowing a witness to give evidence in a criminal proceeding while physically outside of the court through video link, as could be inferred from the presence of the words "[n]otwithstanding any other provision of this Act or the Evidence Act" at the beginning of s 364A [of the Criminal Procedure Code] at [27 and [28]
● As far as adduction of evidence by video link was concerned, Parliament clearly intended that criminal proceedings were to be treated differently from civil proceedings. Section 62A of the Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed) expressly permitted witnesses to give evidence from abroad via video link for civil proceedings in Singapore. For criminal proceedings, the witnesses who were giving evidence via video link had to be present in Singapore even though they need not be physically present in court before the judge.
Summary of facts
The appellant was a Korean national who was charged for an offence under the Misuse of Drugs Act (Cap 185, 2008 Rev Ed) of engaging in a conspiracy to export drugs from Singapore to Australia. He filed a criminal motion seeking leave from the High Court to allow five Korean nationals to testify for him at his impending trial via video link from Korea, with a view towards establishing his defence to the charge.
VI. Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing)
Section 2. Interpretation
(1) In this Act, unless the context otherwise requires — …
“employee” means a person who has entered into or works under a contract ofservice with an
employer and includes a workman, and any officer or employee of the Government included in a
category, class or description of such officers or employees declared by the President to be
employees for the purposes of this Act or any provision thereof, but does not include —
(a) any seafarer;
(b) any domestic worker;
(c) subject to subsection (2), any person employed in a managerial or an executive
position; and
(d) any person belonging to any other class of persons whom the Minister may, from time
to time by notification in the Gazette, declare not to be employees for the purposes of this
Act;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
191
Section 3. Appointment of officers
(1) The Minister may appoint an officer to be styled the Commissioner for Labour (referred to in
this Act as the Commissioner) and also one or more officers to be styled Deputy Commissioner
for Labour, Principal Assistant Commissioner for Labour or Assistant Commissioner for Labour,
who, subject to such limitations as may be prescribed, may perform all duties imposed and
exercise all powers conferred on the Commissioner by this Act, and every duty so performed and
power so exercised shall be deemed to have been duly performed and exercised for the purposes
of this Act.
(2) The Minister may appoint such number of inspecting officers and other officers as he may
consider necessary or expedient for the purposes of this Act.
Section 10. Notice of termination of contract
(1) Either party to a contract of service may at any time give to the other party notice of his
intention to terminate the contract of service.
(2) The length of such notice shall be the same for both employer and employee and shall be
determined by any provision made for the notice in the terms of the contract of service, or, in the
absence of such provision, shall be in accordance with subsection (3).
(3) The notice to terminate the service of a person who is employed under a contract of service
shall be not less than —
(a) one day’s notice if he has been so employed for less than 26 weeks;
(b) one week’s notice if he has been so employed for 26 weeks or more but less than 2
years;
(c) 2 weeks’ notice if he has been so employed for 2 years or more but less than 5 years;
and
(d) 4 weeks’ notice if he has been so employed for 5 years or more.
(4) This section shall not be taken to prevent either party from waiving his right to notice on any
occasion.
(5) Such notice shall be written and may be given at any time, and the day on which the notice is
given shall be included in the period of the notice.
Section 115. Commissioner’s power to inquire into complaints
(1) Subject to this section, the Commissioner may inquire into and decide any dispute between
an employee and his employer or any person liable under the provisions of this Act to pay any
salary due to the employee where the dispute arises out of any term in the contract of service
between the employee and his employer or out of any of the provisions of this Act, and in
pursuance of that decision may make an order in the prescribed form for the payment by either
party of such sum of money as he considers just without limitation of the amount thereof.
(2) The Commissioner shall not inquire into any dispute in respect of matters arising earlier than
one year from the date of lodging a claim under section 119 or the termination of the contract of
service of or by the person claiming under that section:
Provided that the person claiming in respect of matters arising out of or as the result of a
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
192
termination of a contract of service has lodged a claim under section 119 within 6 months of the
termination of the contract of service.
(3) The powers of the Commissioner under subsection (1) shall include the power to hear and
decide, in accordance with the procedure laid down in this Part, any claim by a subcontractor for
labour against a contractor or subcontractor for any sum which the subcontractor for labour claims
to be due to him in respect of any labour provided by him under his contract with the contractor
or subcontractor and to make such consequential orders as may be necessary to give effect to
his decision.
(3A) Where the employee is employed in a managerial or an executive position, an order for the
payment of money under subsection (1) shall not exceed $20,000.
(3B) Subject to subsection (3C), any order made by the Commissioner under subsection (1) in
the absence of a party concerned or affected by the order may be set aside or varied by the
Commissioner, on the application of that party, on such terms as the Commissioner thinks just.
(3C) An application to set aside or vary an order made by the Commissioner referred to in
subsection (3B) shall be made no later than 14 days after the date of the order.
(4) In this section, “employer” includes the transferor and the transferee of an undertaking or part
thereof referred to in section 18A.
Section 117. Right of appeal
(1) Where any person interested is dissatisfied with the decision or order of the Commissioner,
he may, within 14 days after the decision or order, appeal to the High Court from the decision or
order.
(2) The procedure governing any such appeal to the High Court shall be as provided for in the
Rules of Court.
Section 119. Procedure for making and hearing claims
(1) The mode of procedure for the making and hearing of claims shall be as follows:
(a) the person claiming shall lodge a memorandum at the office of the Commissioner,
specifying shortly the subject-matter of the claim and the remedy sought to be obtained,
or he may make his claim in person to the Commissioner who shall immediately reduce
it or cause it to be reduced in writing;
(b) upon receipt of the memorandum or verbal claim and of the registration fee payable
by the person in accordance with the rates specified in the Second Schedule, the
Commissioner shall summon in writing the party against whom the claim is made, giving
reasonable notice to him of the nature of the claim and the time and place at which the
claim will be inquired into, and he shall also notify or summon all persons whose interests
may appear to him likely to be affected by the proceedings;
(c) the Commissioner may also summon such witnesses as either party may wish to call;
(d) if the party against whom a claim is made wishes to make a counterclaim against the
party claiming, he shall notify the Commissioner and the other party in writing of the
nature and amount of the counterclaim not less than 3 days before the date of the inquiry;
(e) at any time between the issuing of summons and the hearing of the claim, the
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
193
Commissioner may hold or cause to be held a preliminary inquiry at which the party
claiming and the party against whom the claim is made shall be present after having been
notified in writing of the inquiry;
(f) at the preliminary inquiry the parties may amend or withdraw the whole claim or portion
thereof, make a counterclaim or reach a settlement in respect of the claim;
(g) if a settlement is effected at a preliminary inquiry in respect of a claim or portion
thereof, the Commissioner shall make an order recording the terms of the settlement and
that order shall have effect as if it were an order made under paragraph (h);
(h) at the time and place appointed the parties shall attend and state their case before
the Commissioner and may call evidence, and the Commissioner, having heard on oath
or affirmation the statements and evidence and any other evidence which he may
consider necessary, shall give his decision and make such order in the prescribed form
as may be necessary for giving effect to the decision;
(i) if any person interested has been duly summoned by the Commissioner to attend at
the inquiry and makes default in so doing, the Commissioner may hear the claim and
make his decision in the absence of that person notwithstanding that the interest of that
person may be prejudicially affected by his decision;
(j) the Commissioner shall keep a case book, in which he shall enter notes of the evidence
taken and the decisions arrived at in each case hEead before him and shall authenticate
them by attaching his signature thereto, and the record in the case book shall be sufficient
evidence of the giving of any decision, or of the making of any order, and of the terms
thereof; and any person interested in a dispute, decision or order, shall be entitled to a
copy of the record upon payment of the prescribed fee.
(2) In hearing claims or conducting proceedings under this Part, the Commissioner —
(a) shall not be bound to act in a formal manner or in accordance with the Evidence Act
(Cap. 97) but may inform himself on any matters in such manner as he thinks just; and
(b) shall act according to equity, good conscience and the merits of the case without regard
to technicalities.
(3) All proceedings before the Commissioner shall be held in private.
Section 122. Jurisdiction of courts not affected
Nothing in this Part shall limit or affect the jurisdiction of any court.
VII. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing)
Section 5. Prohibition of employment of foreign employee without work pass
(1) No person shall employ a foreign employee unless the foreign employee has a valid work
pass.
(2) No foreign employee shall be in the employment of an employer without a valid work pass.
(3) No person shall employ a foreign employee otherwise than in accordance with the conditions
of the foreign employee’s work pass.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
194
(4) In any proceedings for an offence under subsection (1), it shall not be a defence for a
defendant to prove that he did not know that the employee was a foreign national unless the
defendant further proves that he had exercised due diligence to ascertain the nationality of the
employee.
(5) For the purpose of subsection (4), a defendant shall not be deemed to have exercised due
diligence unless he had checked the passport, document of identity or other travel document of
the employee.
(6) Any person who contravenes subsection (1) shall be guilty of an offence and shall —
(a) be liable on conviction to a fine of not less than $5,000 and not more than $30,000
or to imprisonment for a term not exceeding 12 months or to both; and
(b) on a second or subsequent conviction —
(i) in the case of an individual, be punished with a fine of not less than $10,000
and not more than $30,000 and with imprisonment for a term of not less than
one month and not more than 12 months; or
(ii) in any other case, be punished with a fine of not less than $20,000 and not
more than $60,000.
(6A) [Deleted by Act 24 of 2012 wef 09/11/2012]
(7) Any person who contravenes subsection (2) shall be guilty of an offence and shall be liable
on conviction to a fine not exceeding $20,000 or to imprisonment for a term not exceeding 2 years
or to both.
(7A) Any person who contravenes subsection (3) shall be guilty of an offence and shall be liable
on conviction to a fine not exceeding $10,000.
(8) For the purposes of this section —
(a) [Deleted by Act 24 of 2012 wef 09/11/2012]
(b) for the avoidance of doubt, where a person has been convicted of an offence under
subsection (6), and he has on a previous occasion been convicted for contravening
section 5(1) of the Employment of Foreign Workers Act (Cap. 91A, 1997 Ed.) in force
immediately before 1st July 2007, the first-mentioned conviction shall be considered a
second or subsequent conviction under subsection (6); and
(c) all convictions against the same person for the contravention of subsection (1) at one
and the same trial shall be deemed to be one conviction.
Section 22B. Proscribed manpower-related practices
(1) Any person who —
(a) obtains a work pass for a foreign employee for a trade or business that does not exist,
that is not in operation or that does not require the employment of such a foreign
employee; and
(b) fails to employ the foreign employee,
shall be guilty of an offence and shall on conviction be punished with imprisonment for a term of
not less than 6 months and not more than 2 years and shall also be liable to a fine not exceeding
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
195
$6,000.
Section 23. Abetment of offences
(1) Any person who abets the commission of an offence under this Act shall be guilty of
the offence and shall be liable on conviction to be punished with the punishment
provided for that offence.
VIII. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing)
Section 23. Admissions in civil cases when relevant
(1) In civil cases, no admission is relevant if it is made —
(a) upon an express condition that evidence of it is not to be given; or
(b) upon circumstances from which the court can infer that the parties agreed together
that evidence of it should not be given.
(2) Nothing in subsection (1) shall be taken —
(a) to exempt any advocate or solicitor from giving evidence of any matter of which he
may be compelled to give evidence under section 128; or
(b) to exempt any legal counsel in an entity from giving evidence of any matter of which
he may be compelled to give evidence under section 128A.
Section 62A. Evidence through live video or live television links
(1) Notwithstanding any other provision of this Act, a person may, with leave of the court, give
evidence through a live video or live television link in any proceedings, other than proceedings in
a criminal matter, if —
(a) the witness is below the age of 16 years;
(b) it is expressly agreed between the parties to the proceedings that evidence may be
so given;
(c) the witness is outside Singapore; or
(d) the court is satisfied that it is expedient in the interests of justice to do so.
(2) In considering whether to grant leave for a witness outside Singapore to give evidence by live
video or live television link under this section, the court shall have regard to all the circumstances
of the case including the following:
(a) the reasons for the witness being unable to give evidence in Singapore;
(b) the administrative and technical facilities and arrangements made at the place where
the witness is to give his evidence; and
(c) whether any party to the proceedings would be unfairly prejudiced.
(3) The court may, in granting leave under subsection (1), make an order on all or any of the
following matters:
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
196
(a) the persons who may be present at the place where the witness is giving evidence;
(b) that a person be excluded from the place while the witness is giving evidence;
(c) the persons in the courtroom who must be able to be heard, or seen and heard, by
the witness and by the persons with the witness;
(d) the persons in the courtroom who must not be able to be heard, or seen and heard,
by the witness and by the persons with the witness;
(e) the persons in the courtroom who must be able to see and hear the witness and the
persons with the witness;
(f) the stages in the proceedings during which a specified part of the order is to have
effect;
(g) the method of operation of the live video or live television link system including
compliance with such minimum technical standards as may be determined by the Chief
Justice; and
(h) any other order the court considers necessary in the interests of justice.
(4) The court may revoke, suspend or vary an order made under this section if —
(a) the live video or live television link system stops working and it would cause
unreasonable delay to wait until a working system becomes available;
(b) it is necessary for the court to do so to comply with its duty to ensure that the
proceedings are conducted fairly to the parties thereto;
(c) it is necessary for the court to do so, so that the witness can identify a person or a
thing or so that the witness can participate in or view a demonstration or an experiment;
(d) it is necessary for the court to do so because part of the proceedings is being heard
outside a courtroom; or
(e) there has been a material change in the circumstances after the court has made an
order.
(5) The court shall not make an order under this section, or include a particular provision in such
an order, if to do so would be inconsistent with the court’s duty to ensure that the proceedings are
conducted fairly to the parties to the proceedings.
(6) An order made under this section shall not cease to have effect merely because the person in
respect of whom it was made attains the age of 16 years before the proceedings in which it was
made are finally determined.
(7) Evidence given by a witness, whether in Singapore or elsewhere, through a live video or live
television link by virtue of this section shall be deemed for the purposes of sections 193, 194, 195,
196, 205 and 209 of the Penal Code (Cap. 224) as having been given in the proceedings in which
it is given.
(8) Where a witness gives evidence in accordance with this section, he shall, for the purposes of
this Act, be deemed to be giving evidence in the presence of the court.
(9) The Rules Committee constituted under the Supreme Court of Judicature Act (Cap. 322) may
make such rules as appears to it to be necessary or expedient for the purpose of giving effect to
this section and for prescribing anything which may be prescribed under this section.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
197
IB v Comptroller of Income Tax
[2005] SGDC 50
Holding In considering whether to grant leave under s 62A(2) [of the Evidence Act] the Board considered measures to safeguard the security and confidentiality of the proceedings being conducted via video conferencing to private premises nominated by the Appellant.
[42] “The Appellant’s subsequent application for leave at the last minute before the hearing to give evidence by video-link from Xian, China was opposed by the respondent on the grounds that they would be unfairly prejudiced. For evidence through live video-link, the applicant must satisfy the conditions in s 62A of the Evidence Act. Some of the circumstances that the Board should consider whether or not to grant leave in this case are laid out in s 62A(2) of the Evidence Act. After hearing the parties’ submissions, the Board refused to grant leave to the Appellant’s application on these reasons as well as the absence of any adequate measure to safeguard the security and confidentiality of the proceedings being conducted via video-link to private premises nominated by the Appellant.”
Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context
Peters Roger May v Pinder Lillian Gek Lian
[2006] 2 SLR 381
Holding Held that the ready availability and accessibility of video conferencing coupled with its relative affordability has diminished the significance of the physical convenience of a witness as a yardstick in assessing the appropriateness of a forum.
[26]: “The easy and ready availability of video link nowadays warrants an altogether different, more measured and pragmatic re-assessment of the need for the physical presence of foreign witnesses in stay proceedings. Geographical proximity and physical convenience are no longer compelling factors nudging a decision on forum non conveniens towards the most “witness convenient” jurisdiction from the viewpoint of physical access. Historically, the availability and convenience of witnesses was a relevant factor as it had a bearing on the costs of preparing and/or presenting a case and, most crucially, in ensuring that all the relevant evidence was adduced before the adjudicating court. The advent of technology however has fortunately engendered affordable
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
198
costs of video-linked evidence with unprecedented clarity and life-like verisimilitude, so that the importance of this last factor recedes very much into the background both in terms of relevance and importance. In other words, the availability and accessibility of video links coupled with its relative affordability have diminished the significance of the “physical convenience” of witnesses as a yardstick in assessing the appropriateness of a forum.”
The threshold to granting leave for video conferencing ought to be relatively low.
[27]: “The respondent has not advanced any arguments, cogent or otherwise, why adducing evidence by video link in this case would be in any way inconvenient, unsuitable or prejudicial. If sufficient reason is given why the actual physical presence of foreign witnesses cannot be effected, a court should lean in favour of permitting video-linked evidence in lieu of the normal rule of physical testimony. Sufficient reason ought to be a relatively low threshold to overcome and should be assessed with aliberal and pragmatic latitude. If a witness is not normally resident within a jurisdiction that may itself afford a sufficient reason with a view to minimising costs. On the other hand, if for instance the evidence of an important foreign witness cannot be voluntarily obtained by video link, this could tip the balance in favour of heeaing the matter in the foreign jurisdiction where the witness resides so the witness can be compelled to give evidence there. Even then, the importance of that witness personally gIiving evidence as a factor may not be critical if deposition taking is available. The relative gravity of this factor must invariably be weighed and measured against the nature and relevance of the proposed evidence.”
Summary of facts
The parts of the case that are relevant pertain to forum non conveniens and its relationship with video conferencing. The respondent requested for a stay of proceedings, arguing that England (as opposed to Singapore) was the more appropriate forum for the determination of the proceedings, one reason being the convenience of witnesses.
Sonica Industries v Fu Yu Manufacturing Ltd
[1999] SGCA 63
Holding There are four grounds for an application for leave under s 62A(1) of the Evidence Act. Further the court must have regard to all the circumstances of the case, including the three non-exhaustive factors in s 62A(2) of the Evidence Act. Finally, the court will consider the overriding question of unfair prejudice under s 62A(5)of the Evidence Act.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
199
[10]: “In this case, the application was made on the ground that
the two witnesses were outside Singapore and were unable to
come to Singapore to give oral evidence. Thus, para (c) of s
62A(1) was satisfied. That, of course, was not the end of the
matter. The court must have regard to all the circumstances of
the case, including the three particular circumstances
described in sub-s (2) of s 62A of the Act.”
[15]: “The question of unfair prejudice is an overriding
consideration in such an application. Subsection (5) of s 62A
of the Act provides expressly that the court is not to make an
order under that section, or to include a particular provision in
such an order, if to do so would be inconsistent with the court’s
duty to ensure that the proceedings are conducted fairly to the
parties to the proceedings.”
With regard to Mr Kawamura, the plaintiff’s request for video conferencing was granted. First, in considering all circumstances of the case pursuant to s 62A(2) of the Evidence Act, the court noted that the plaintiffs had no control over Mr Kawamura and had made the necessary attempts to secure his presence in Singapore without any success. Second, regarding the issue of prejudice, the court balanced the prejudice to the defendants if videoconferencing were granted against prejudice to the plaintiffs if video-conferencing were denied.
[12]: “The fact remained that MrKawamura had always been located overseas, and in particular in California. To come to Singapore to give evidence for the plaintiffs at the trial, Mr Kawamura had to make a special arrangement for the purpose. It must be remembered that Mr Kawamura was not in any way obliged to give evidence on behalf of the plaintiffs. Indeed, Mr Kawamura is an employee of Kanematsu, and according to the plaintiffs, Kanematsu has made a claim against the plaintiffs and is therefore in some degree of contention with them. Clearly, the plaintiffs have no control over Mr Kawamura and can only rely on his willingness to help them. In all the circumstances, we were of the view that the plaintiffs had made the necessary attempts to secure Mr Kawamura’s presence in Singapore for the purpose of the trial but without any success.”
[16]: “In this case, we can see no prejudice to the defendants by an order allowing Mr Kawamura to give evidence via live video or television link. The plaintiffs have identified the particular facts and issues which could be proved by Mr Kawamura’s testimony. A statement of the evidence of Mr Kawamura had already been furnished to the defendants. The defendants would not be taken by surprise by the evidence that is intended to be led. There was also no objection that the evidence of Mr Kawamura would be very complicated or technical. The video or television link facilities would still allow the defendants’ counsel to cross-examine Mr Kawamura on his evidence.”
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
200
[17]: “On the other hand, if the plaintiffs were refused leave to use the video or television link facilities, they would be unable to adduce critical evidence pertaining to the resale contract alleged to have been made with Kanematsu, as well as evidence on how Kanematsu came to cancel their orders with the plaintiffs. Apparently, the alleged contract for the resale was not otherwise evidenced by any purchase order, due to Kanematsu’s standard procedure. Mr Kawamura would be in a position to give relevant evidence on this point. We agreed with the plaintiffs that Mr Kawamura’s evidence on the resale contract was material in the main action. Leave should be given for such evidence to be adduced via video link, as no prejudice is thereby caused to the defendants.”
With regard to Mr Lee, the plaintiff’s request for video conferencing was rejected as his evidence related merely to the credibility of the witness.
[19]: “As for the other witness, Mr Paul Lee, his evidence related solely to the alleged improper threat alleged to have been uttered to Mr Kawamura by the defendants’ officers. This evidence was not material to the issues in the main action and related merely to the credibility of Mr Kawamura and the defendants’ witnesses. At best, this evidence was only peripheral to the main issues in the trial, and we did not think that it justified an order allowing Mr Paul Lee to give evidence by live video or television link.”
Summary of facts
The plaintiff claimed to have entered into a contract with the defendant which was subsequently breached by the defendant, resulting in a loss of profits and possible legal liability to a third party. The plaintiff made an oral application pursuant to s 62A of the Evidence Act for leave to allow video-conferencing for two witnesses, Mr Kawamura and Mr Lee, on grounds that they were unable to come to Singapore to give oral evidence at trial.
IX. Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing)
Regulation 2. Definitions
“Controller” includes —
(a) an immigration officer or other person authorised by the Controller to act generally on
his behalf under these Regulations; and
(b) where the Controller authorises an immigration officer or other person to act on his
behalf for the purpose of one or more but not all of these Regulations, for the purposes
of such regulation, the immigration officer or other person so authorised;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
201
Regulation 15. Special pass
(1) A special pass, other than a special pass issued under section 6A260 of the Act, may be issued
by the Controller to any person if the Controller considers the issue of such a pass desirable —
(a) in order to afford an opportunity of making enquiry for the purpose of determining
whether that person is entitled to an entry permit or is otherwise entitled to enter
Singapore under the provisions of the Act or of these Regulations or whether that person
is a prohibited immigran;
(b) in order to afford that person a reasonable opportunity of prosecuting an appeal under
the provisions of the Act against any decision of the Controller; or
(c) for any other special reason.
(2) A special pass shall entitle the holder thereof to enter Singapore or remain therein for such
period, not exceeding one month, as may be stated in the pass except that the Controller may
from time to time extend the period of the pass, and in special circumstances, the period of such
extension may exceed one month.
(3) [Deleted by S 393/2008]
(4) A special pass may at any time be cancelled by the Controller except that the Controller shall
not cancel a pass issued under paragraph (1)(b) otherwise than for breach of any condition
imposed in respect thereof until the appeal, in respect of which the pass has been issued, has
been determined.
(5) Where a special pass is to be issued, the applicant shall, if so required, furnish to the Controller
2 recent photographs of himself.
X. Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing)
Section 6. Limitation of actions of contract and tort and certain other actions
(1) Subject to this Act, the following actions shall not be brought after the expiration of 6 years
from the date on which the cause of action accrued:
(a) actions founded on a contract or on tort;
(b) actions to enforce a recognizance;
(c) actions to enforce an award;
(d) actions to recover any sum recoverable by virtue of any written law other than a
penalty or forfeiture or sum by way of penalty or forfeiture.
(2) An action for an account shall not be brought in respect of any matter which arose more than
6 years before the commencement of the action.
(3) An action upon any judgment shall not be brought after the expiration of 12 years from the
260 Immigration Regulations, supra note 1, s 6A. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah UU tersebut.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
202
date on which the judgment became enforceable and no arrears of interest in respect of any
judgment debt shall be recovered after the expiration of 6 years from the date on which the interest
became due.
Desert Palace Inc v Poh Soon Kia
[2009] SGCA 60
Holding Held that s 6(3) of the Limitation Act does not prescribe any time bar for garnishee proceedings or a writ of seizure. In this regard, the court noted that a distinction has been drawn in case law between an “action” upon a judgment and an “execution” of a judgment, and highlighted policy reasons supporting such a distinction. [60]: “In Ridgeway Motors (Isleworth) Ltd v ALTS Ltd [2005] 2 All ER 304, a judgment creditor presented a winding-up petition based on a judgment that was more than six years old. The judgment debtors’ attempt to strike out the winding up petition on the basis that it was statute-barred after the expiration of six years from the date on which the judgment became enforceable was dismissed. It was held that “an action upon a judgment” had the special or technical mEeaning of a “fresh action” brought upon a judgment in order to obtain a second judgment, which could be executed. Insolvency proceedings, whether personal or corporate, did not fall within the scope of that special meaning and it was not open to the court to interpret the expression “action upon a judgment” in s 24 (1) of the 1980 Act in the sense indicated by the extended definition of “action” in s 38(1) which stated, inter alia, that “[i]n this Act, unless the context otherwise requires, ‘action’ includes any proceeding in a court of law, including an ecclesiastical court”. Mummery LJ in the English Court of Appeal said (at [31]): There is, in my opinion, much to be said for the submission of Mr Anthony Mann QC (as he then was) appearing as counsel for the plaintiff judgment creditors in Lowsley’s case [1999] 1 ACT 329 at 333: There are good policy reasons for distinguishing between action and execution. Limitation statutes are intended to prevent stale claims, to relieve a potential defendant of the uncertainty of a potential claim against [him] and to remove the injustice of increasing difficulties of proof as time goes by. These considerations do not apply to execution. If it is unfair to have a judgment debt outstanding with interest running at a high rate, the debtor has the remedy of paying the debt or taking out his own bankruptcy if he cannot pay it”
[63]: “In the LA, unless the context otherwise requires, an “action” also includes a suit or any other proceedings in a court. Basically, there are two ways of enforcing a judgment: by execution and by action. However, a writ of execution does not come within s 6 (3) of the LA, a stand that I would take in reliance on the authorities above. The Court of Appeal in Tan Kim Seng v Ibrahim Victor Adam [2004] 1 SLR(R) 181 at [29] also observed that there was a distinction between “execution” and “an action upon any judgment” and referred to Halsbury’s Laws of England vol 28 (Butterworths, 4th Ed Reissue, 1997) at para 916: [A]n action upon a judgment applies only to the enforcement of judgments by suing on them and does not apply to the issue of executions upon judgments for which the leave of the court is required, after six years
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
203
have elapsed, by RSC Ord 46 r 2(1)(a); in matters of limitation the right to sue on a judgment has always been regarded as quite distinct from the right to issue execution under it, but the court will not give leave to issue execution when the right of action is barred.”
[64] “As such, the law of limitation of actions would not affect the rules in relation to execution (and would also not apply to applications to levy execution for that matter). If it did, then an argument could be made that O 46 r 2 which subjected the writ of execution to enforce a judgment or order to the leave of the court where six years or more had lapsed since the date of the judgment or order could be in conflict with s 6(3) of the LA which allowed 12 years for bringing an action upon any judgment as of right under the statute. Further, the fact that the court could theoretically grant leave to the plaintiff to issue a writ of execution to enforce a judgment even after more than 12 years had elapsed would appear to contradict the time bar set out in s 6(3) of the LA, if that section was intended to apply to enforcement of a judgment by way of a writ of execution. If a matter was time-barred under the LA, a court would not have the power or the discretion to extend time beyond the time bar by granting leave.
[65]: “The policy reasons for distinguishing between “action” and “execution” as set out by Mummery LJ (see [60] above), and the reasons why the considerations of potential defendants being subjected to the uncertainty of stale claims and the injustice of increasing difficulties of proof with time did not apply to the procedural steps needed for execution on a judgment already obtained (as opposed to that of a fresh substantive action upon a judgment) made much sense to me. They also explained the rationale for the absence of a time bar for the procedural enforcement of a judgment like the writ of execution or other modes of enforcement; and why a case of a fresh action on a judgment to obtain another substantive judgment must be treated differently and be made subject to a time bar. If a limitation period were to exist for execution of a judgment, then a clever judgment debtor can simply avoid payment of the judgment debt by hiding his assets well and keeping them out of reach of the judgment creditor as long as possible by using the international financial and banking systems and setting up shell companies or trusts in overseas jurisdictions to hold and hide his assets. The existence of a time bar for procedural execution may incentivise a judgment debtor to frustrate the judgment creditor’s search for his assets until the execution on the judgment against him is time-barred. Passage of time should not on principle be allowed to morph into an instrument to extinguish a judgment debt and make a mockery of the execution process on a judgment of the court.”
[66]: “Public policy and the interests of justice should instead lean in favour of the position that it is for the judgment debtor to seek out the judgment creditor and settle the judgment creditor’s judgment debt expeditiously. There is no good reason why the court should favour cat and mouse games that are usually played out when judgment debtors use all possible means to delay and if possible evade enforcement or execution. The court ought not to favour those who have no qualms about flouting orders of court to pay on judgment debts.”
[67]: “A time bar for procedural execution of a judgment would have the inadvertent and unintended effect of encouraging such cat-and-mouse
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
204
games. The resources of both the court and the judgment creditor are often expended unnecessarily whereby the judgment creditor has to search far and wide for the assets of the judgment debtor, take up numerous court enforcement measures and try to execute on the judgment that he has obtained, probably with much effort and costs on his part already. It would not make sense to make it more difficult for the judgment creditor to obtain the fruits of the judgment he has obtained by imposing a time bar for procedural execution on judgments in the LA. A judgment debtor ought to recognise the authority of the order of the court directing that he, the judgment debtor, pays the judgment creditor. By not paying, it is the judgment debtor who is breaching the order of the court for him to pay. It is important to note that a judgment is no longer a claim but an order of court to be obeyed by the judgment debtor after the claim has been adjudicated by the court in favour of the judgment creditor. The judgment creditor as the winning party tries to ensure that the judgment as an order of the court is respected and obeyed by the losing party (and is not rendered a paper judgment to be treated with scorn and disdain). Hence, for good public policy reasons, the court should lean in favour of assisting the winning party rather than the losing party. This in my view is a good reason to interpret “action upon any judgment” in s 6(3) of the LA restrictively to exclude a writ of execution on a judgment and all other modes of enforcement like garnishee proceedings, charging orders and insolvency proceedings, for which the LA does not prescribe any time bar, and accordingly, a judgment obtained is never “dead” because procedural execution on it always remains possible.”
Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context.
XI. Rules of Court (Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing)
Interpretation (O. 59, r. 1)
(1) In this Order —
“costs” includes fees, charges, disbursements, expenses and remuneration;
Order 23. Security for costs
Security for costs of action, etc. (O. 23, r.1)
(1) Where, on the application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it
appears to the Court —
(a) that the plaintiff is ordinarily resident out of the jurisdiction;
(b) that the plaintiff (not being a plaintiff who is suing in a representative capacity) is a
nominal plaintiff who is suing for the benefit of some other person and that there is reason
to believe that he will be unable to pay the costs of the defendant if ordered to do so;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
205
(c) subject to paragraph (2), that the plaintiff’s address is not stated in the writ or other
originating process or is incorrectly stated therein; or
(d) that the plaintiff has changed his address during the course of the proceedings with a
view to evading the consequences of the litigation, then, if, having regard to all the
circumstances of the case, the Court thinks it just to do so, it may order the plaintiff to
give such security for the defendant’s costs of the action or other proceeding as it thinks
just.
(2) The Court shall not require a plaintiff to give security by reason only of paragraph (1) (c) if he
satisfies the Court that the failure to state his address or the mis-statement thereof was made
innocently and without intention to deceive.
(3) Where, on the application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it
appears to the Court —
(a) that a party, who is not a party to the action or proceeding (referred to hereinafter as
a ‘‘non-party’’), has assigned the right to the claim to the plaintiff with a view to avoiding
his liability for costs; or
(b) that the non-party has contributed or agreed to contribute to the plaintiff’s costs in
return for a share of any money or property which the plaintiff may recover in the action
or proceeding, and the non-party is a person against whom a costs order may be made,
then, if, having regard to all the circumstances of the case, the Court thinks it just to do
so, it may order the non-party to give such security for the defendant’s costs of the action
or other proceeding as the Court thinks just.
(4) An application for an order under paragraph (3) shall be made by summons, which must be
served on the non-party personally and on every party to the proceedings.
(5) A copy of the supporting affidavit shall be served with the summons on every person on whom
the summons is required to be served.
(6) The references in paragraphs (1), (2) and (3) to a plaintiff and a defendant shall be construed
as references to the person (howsoever described on the record) who is in the position of plaintiff
or defendant, as the case may be, in the proceeding in question, including a proceeding on a
counterclaim.
Manner of giving security (O. 23, r. 2)
Where an order is made requiring any party to give security for costs, the security shall be given
in such manner, at such time, and on such terms (if any), as the Court may direct.
Saving for written law (O. 23, r. 3)
This Order is without prejudice to the provisions of any written law which empowers the Court to
require security to be given for the costs of any proceedings.
Order 35. Proceedings at Trial
Failure to appear by both parties or one of them (O. 35, r. 1)
(1) If, when the trial of an action is called on, neither party appears, the Judge may dismiss the
action or make any other order as he thinks fit.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
206
(2) If, when the trial of an action is called on, one party does not appear, the Judge may proceed
with the trial of the action or any counterclaim in the absence of that party, or may without trial
give judgment or dismiss the action, or make any other order as he thinks fit.
Lin Tsang Kit and Another v Chng Thiam Kwee
[2005] SGHC 10
Holding The second plaintiff’s claim was dismissed under O 35 r. 1 of the Rules of Court because his “written testimony would have no probative value whatsoever, as the contents and his veracity could not be tested under cross examination.”
[30]: “I had made it clear from the outset to counsel for the plaintiffs that if the second plaintiff did not testify, I would have no alternative but to dismiss his claim. His written testimony would have no probatIive value whatsoever, as the contents and his veracity could not be tested under cross-examination. Accordingly, as the second plaintiff failed to testify despite my warning his counsel of the consequences thereof, I am dismissing his claim pursuant to O 35 r 1(1) of the Rules of Court (Cap 322, R 5, 2004 Rev Ed).”
Summary of facts
Case involving a claim by two plaintiffs against a defendant Singapore businessman for breach of trust by selling trust shares without accounting to them for the sales proceeds. Alternatively, it was argued that the court should find that a trust was created between the plaintiffs and the defendant’s company, with the defendant as managing director acting dishonestly in assisting the company’s breach of trust. According to the plaintiff’s counsel, the second plaintiff had applied to court to give his evidence by way of video conferencing due to his advanced and medical condition but his application was denied. The second plaintiff did not appear to testify at trial.
Order 38. Evidence in General
General rule: Witnesses to be examined (O. 38, r. 1)
Subject to these Rules and the Evidence Act (Chapter 97), and any other written law relating to
evidence, any fact required to be proved at the trial of any action begun by writ by the evidence
of witnesses shall be proved by the examination of the witnesses in open Court.
Depositions when receivable in evidence at trial (O. 38, r. 9)
(1) No deposition taken in any cause or matter shall be received in evidence at the trial of the
cause or matter unless —
(a) the deposition was taken in pursuance of an order under Order 39, Rule 1; and
(b) either the party against whom the evidence is offered consents or it is proved to the
satisfaction of the Court that the deponent is dead, or beyond the jurisdiction of the Court
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
207
or unable from sickness or other infirmity to attend the trial.
(2) A party intending to use any deposition in evidence at the trial of a cause or matter must, at a
reasonable time before the trial, give notice of his intention to do so to the other party.
(3) A deposition purporting to be signed by the person before whom it was taken shall be
receivable in evidence without proof of the signature being the signature of that person.
Order 39. Evidence by Deposition: Examiners of the court
Power to order depositions to be taken (O. 39, r. 1)
(1) The Court may, in any cause or matter where it appears necessary for the purposes of justice,
make an order in Form 73 for the examination on oath before a Judge or the Registrar or some
other person, at any place, of any person.
(2) An order under paragraph (1) may be made on such terms (including, in particular, terms as
to the giving of discovery before the examination takes place) as the Court thinks fit.
Where person to be examined is out of jurisdiction (O. 39, r. 2)
(1) Where the person in relation to whom an order under Rule 1 is required is out of the jurisdiction,
an application may be made —
(a) for an order in Form 74 under that Rule for the issue of a letter of request to the judicial
authorities of the country in which that person is to take, or cause to be taken, the
evidence of that person; or
(b) if the government of that country allows a person in that country to be examined before
a person appointed by the Court, for an order in Form 75 under that Rule appointing a
special examiner to take the evidence of that person in that country.
(2) An application may be made for the appointment as special examiner of a Singapore consul
in the country in which the evidence is to be taken or his deputy —
(a) if there subsists with respect to that country a Civil Procedure Convention providing
for the taking of the evidence of any person in that country for the assistance of
proceedings in the High Court; or
(b) with the consent of the Minister. (3) An application under this Rule can only be made
in the High Court even if the proceedings are commenced in the Subordinate Courts.
Order for payment of examiner’s fees (O. 39, r. 14)
(1) If the fees and expenses due to an examiner are not paid, he may report that fact to the Court,
and the Court may make an order against the party, on whose application the order for
examination was made, to pay the examiner the fees and expenses due to him in respect of the
examination.
(2) An order under this Rule shall not prejudice any determination on the taxation of costs or
otherwise as to the party by whom the costs of the examination are ultimately to be borne.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
208
Order 45. Enforcement of Judgment and Orders
Enforcement of judgment, etc., for payment of money (O. 45, r. 1)
(1) Subject to these Rules and section 43 of the Subordinate Courts Act (Chapter 321) where
applicable, a judgment or order for the payment of money, not being a judgment or order for the
payment of money into Court, may be enforced by one or more of the following means:
(a) writ of seizure and sale;
(b) garnishee proceedings;
(c) the appointment of a receiver;
(d) in a case in which Rule 5 applies, an order of committal.
(2) Subject to these Rules, a judgment or order for the payment of money into Court may be
enforced by one or more of the following means:
(a) the appointment of a receiver;
(b) in a case in which Rule 5 applies, an order of committal.
(3) Paragraphs (1) and (2) are without prejudice to any other remedy available to enforce such a
judgment or order as is therein mentioned or to the power of a Court under the Debtors Act
(Chapter 73) to commit to prison a person who makes default in paying money adjudged or
ordered to be paid by him, or to any written law relating to bankruptcy or the winding up of
companies.
(4) In this Order, references to any writ shall be construed as including references to any further
writ in aid of the first mentioned writ.
Order 46. Writ of Execution: General
When leave to issue any writ of execution is necessary (O. 46, r. 2)
(1) A writ of execution to enforce a judgment or order may not issue without the leave of the Court
in the following cases:
(a) where 6 years or more have lapsed since the date of the judgment or order;
Desert Palace Inc v Poh Soon Kia
[2009] SGCA 60
Holding While the court determined that there are no time bars for the execution of judgments, it nevertheless noted that with regard to writ of seizures, pursuant to O 46 r 2 of the Rules of Court, they may not be issued without the leave of court where “6 years or more have lapsed since the date of the judgment or order”.
[68]: “I recognise the existence of O 46 r 2 where a writ of execution (which includes a writ of seizure and sale, a writ of possession and a writ of delivery) to enforce a domestic
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
209
judgment or order may not be issued without the permission of the court where six years or more has elapsed but this does not mean that a time bar of six years has thereby been created. A statutory limitation must be created by way of an Act of Parliament as in the Limitation Act, and not in some subsidiary legislation (e.g., in the Rules of Court) since a time bar has the effect of taking away a substantive right, i.e., enforcement of a domestic judgment by way of a writ of execution. I further note that O 46 is limited in its scope and it applies only to a writ of execution but not other forms of enforcement on a judgment. Although there is no time bar, the court should nevertheless, for good administration of justice, monitor enforcement of its judgments by way of a writ of execution if more than six years had elapsed, which I believe is the rationale for O 46. Order 46 r 2 balances the need to allow time for unhindered execution on a judgment by the judgment creditor and the need to see that the judgment creditor does not sit on his hands and make no real effort to search for the assets of the judgment debtor and use the appropriate enforcement measures to satisfy his judgment debt. The requirement for the court’s discretionary leave as prescribed under O46 is more a procedural and monitoring measure than a substantive mandatory measure to extinguish execution on a judgment the moment six years or more has elapsed since the date of the judgment. In any event, if such a substantive mandatory measure amounting to a statutory time bar was intended, then it should more appropriately be made by amending the LA than by inserting it as a rule within the Rules of Court.”
Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context.
Order 47. Writ of Seizure and Sale
Power to stay execution by writ of seizure and sale (O. 47, r. 1)
(1) Where a judgment is given or an order made for the payment by any person of money, and
the Court is satisfied, on an application made at the time of the judgment or order, or at any time
thereafter, by the judgment debtor or other party liable to execution —
(a) that there are special circumstances which render it inexpedient to enforce the
judgment or order; or
(b) that the applicant is unable from any cause to pay the money, then, notwithstanding
anything in Rule 2 or 3, the Court may by order stay the execution of the judgment or
order by writ of seizure and sale either absolutely or for such period and subject to such
conditions as the Court thinks fit.
(2) An application under this Rule, if not made at the time the judgment is given or order made,
must be made by summons and may be so made notwithstanding that the party liable to execution
did not enter an appearance in the action.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
210
Separate writs to enforce payment of costs, etc. (O. 47, r. 2)
(1) Where only the payment of money, together with costs to be taxed, is adjudged or ordered,
then, if when the money becomes payable under the judgment or order the costs have not been
taxed, the party entitled to enforce that judgment or order may issue a writ of seizure and sale to
enforce the judgment or order and, not less than 8 days after the issue of that writ, he may issue
a second writ to enforce payment of the taxed costs.
(2) A party entitled to enforce a judgment or order for the delivery of possession of any property
(other than money) may, if he so elects, issue a separate writ of seizure and sale to enforce
payment of any damages or costs awarded to him by that judgment or order.
Where landlord claims arrears of rent of premises where property seized (O. 47, r. 3)
(1) Where the landlord or any other person entitled to receive the rent of the premises in which
any movable property has been seized by the Sheriff has any claims for arrears of rent of those
premises, he may apply to the Court, at any time before the sale of such property, for a writ of
distress for recovery of such arrears of rent.
(2) When a writ of distress has been issued the provisions of section 20 of the Distress Act
(Chapter 84) shall apply.
(3) Unless a writ of distress is issued for the recovery of such arrears of rent, the property seized
by the Sheriff shall be deemed not to be liable to be seized under a writ of distress and to be free
from all claims in respect of rent and may be dealt with accordingly and the landlord or other
person entitled to receive rent as aforesaid shall have no claim in respect of the property or to the
proceeds of sale or any part thereof.
Immovable property (O. 47, r. 4)
(1) Where the property to be seized consists of immovable property or any interest therein, the
following provisions shall apply:
(a) seizure shall be effected by registering under any written law relating to the immovable
property a writ of seizure and sale in Form 83 (which for the purpose of this Rule and
Rule 5 shall be called the order) attaching the interest of the judgment debtor in the
immovable property described therein and, upon registration, such interest shall be
deemed to be seized by the Sheriff;
(b) an application for an order under this Rule may be made by ex parte by summons;
(c) the application must be supported by an affidavit —
(i) identifying the judgment or order to be enforced;
(ii) stating the name of the judgment debtor in respect of whose immovable
property or interest an order is sought;
(III) stating the amount remaining unpaid under the judgment or order at the time
of application;
(IV) specifying the immovable property or the interest therein in respect of which
an order is sought; and
(v) stating that to the best of the information or belief of the deponent, the immovable
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
211
property or interest in question is the judgment debtor’s and stating the sources of the
deponent’s information or the grounds for his belief;
(d) as many copies of the order as the case may require shall be issued to the judgment
creditor in order that he may present the order, in compliance with the provisions of any
written law relating to such immovable property, for registration at the Registry of Deeds
or the Land Titles Registry, as the case may be, of the Singapore Land Authority;
(e) after registering the order, the judgment creditor must —
(i) file a Request for direction to the Sheriff in Form 95 and a direction to the
Sheriff in Form 96; and
(ii) upon compliance with sub-paragraph (i), the Sheriff must serve a copy of the
order and the notice of seizure in Form 97 on the judgment debtor forthwith and,
if the judgment debtor cannot be found, must affix a copy thereof to some
conspicuous part of the immovable property seized;
(f) subject to sub-paragraph (g), any order made under this Rule shall, unless registered
under any written law relating to such immovable property, remain in force for 6 months
from the date thereof;
(g) upon the application of any judgment creditor on whose application an order has been
made, the Court, if it thinks just, may from time to time by order extend the period of 6
months referred to in sub-paragraph (f) for any period not exceeding 6 months, and the
provisions of sub-paragraphs (d) and (e) shall apply to such order; and
(h) the Court may at any time, on sufficient cause being shown, order that property seized
under this Rule shall be released.
(2) Order 46, Rule 6 (1) and (2), shall not apply to the order made under paragraph (1).
Sale of immovable property (O. 47, r. 5)
Sale of immovable property, or any interest therein, shall be subject to the following conditions:
(a) there shall be no sale until the expiration of 30 days from the date of registration of
the order under Rule 4(1)(a);
(b) the particulars and conditions of sale shall be settled by the Sheriff or his solicitor;
(c) the judgment debtor may apply by summons to the Court for postponement of the sale
in order that he may raise the amount leviable under the order by mortgage or lease, or
sale of a portion only, of the immovable property seized, or by sale of any other property
of the judgment debtor, or
otherwise, and the Court, if satisfied that there is reasonable ground to believe that the
said amount may be raised in any such manner, may postpone the sale for such period
and on such terms as are just;
(d) the judgment creditor may apply to the Court for the appointment of a receiver of the
rents and profits, or a receiver and a manager of the immovable property, in lieu of sale
thereof, and on such application, the Court may appoint such receiver or receiver and
manager, and give all necessary directions in respect of such rents and profits or
immovable property;
(e) where the interest of the judgment debtor in any immovable property, seized and sold
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
212
under the order, includes a right to the immediate possession thereof, the Sheriff shall
put
the purchaser in possession;
(f) pending the execution or endorsement of any deed or document which is ordinarily
lawfully required to give effect to any sale by the Sheriff, the Court may by order appoint
the Sheriff to receive any rents and profits due to the purchaser in respect of the property
sold; and
(g) the Sheriff may at any time apply to the Court for directions with respect to the
immovable property or any interest therein seized under the order and may, or, if the
Court so directs, must give notice of the application to the judgment creditor, the judgment
debtor and any other party interested in the property.
Securities (O. 47, r. 6)
(1) Where the property to be seized consists of any Government stock, or any stock of any
company or corporation registered or incorporated under any written law, including any such stock
standing in the name of the Accountant-General, to which the judgment debtor is beneficially
entitled, seizure thereof must be made by a notice in Form 98, signed by the Sheriff, attaching
such stock.
(2) The notice must be addressed —
(a) in the case of Government stock, to the Accountant-General;
(b) in the case of stock listed on the Stock Exchange of Singapore Ltd. and held under a
central depository system, to the depository for the time being and the company or
corporation concerned;
(c) in the case of other stock, to the company or corporation concerned; and
(d) in the case of stock standing in the name of the Accountant-General, to the
Accountant-General, and together with a copy of the writ of seizure and sale must be
served by the Sheriff by any mode of service as he thinks fit.
(3) A copy of the notice must at the same time be sent to the judgment debtor at his address for
service.
(4) On receipt of such notice, the judgment debtor must hand over to the Sheriff at his office any
indicia of title in his possession relating to such stock, or where any such indicia of title are not in
his possession, must notify the Sheriff in writing of the name and address of the person having
possession thereof.
(5) The Sheriff must further send a copy of the notice to any person, other than the judgment
debtor, in whose possession he has reason to believe any such indicia of title to be.
(6) After the receipt of any notice sent under paragraph (2), and unless the notice is withdrawn,
no transfer of the stock or any interest therein, as the case may be, shall be registered or effected
unless the transfer be executed or directed by the Sheriff, and any such transfer or direction by
the Sheriff shall have the same effect as if the registered holder or beneficial owner of such stock
had executed the transfer, and shall be dealt with accordingly.
(7) All interest or dividends becoming due and payable or benefits accruing after receipt of such
notice, and until withdrawal thereof or transfer or direction by the Sheriff as above mentioned,
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
213
must be paid or transmitted to the Sheriff.
(8) Any notice served under paragraph (2) may be withdrawn by notice in writing to that effect
signed by the Sheriff and served to the person and in the manner provided by paragraph (2).
(9) In this Order, ‘‘Government stock’’ means any stock issued by the Government or any funds
of or annuity granted by the Government and ‘‘stock’’ includes shares, debentures, debenture
stock and stock options.
(10) The Court, on the application of the judgment debtor or any other person interested in the
stock seized under this Rule, may at any time, on sufficient cause being shown, order that the
stock or any part thereof be released.
Sale of securities (O. 47, r. 7)
(1) Stock seized under Rule 6 may be sold through the agency of a broker.
(2) If the indicia of title are not in the possession of the Sheriff, he may apply to the Court for such
directions as may be necessary to give effect to the sale.
* O. 47, r. 8 was deleted.
Withdrawal and suspension of writ (O. 47, r. 9)
(1) Where any execution creditor requests the Sheriff to withdraw the seizure, he shall be deemed
to have abandoned the execution, and the Sheriff shall mark the writ of seizure and sale as
withdrawn by request of the execution creditor: Provided that where the request is made in
consequence of a claim having been made in interpleader proceedings, the execution shall be
deemed to be abandoned in respect only of the property so claimed.
(2) A writ of seizure and sale which has been withdrawn under this Rule shall not be re-issued
but the execution creditor may apply by summons supported by affidavit stating the grounds of
the application for a fresh writ of seizure and sale to be issued, and such writ shall take priority
according to its date of issue.
Order 49. Garnishee Proceedings
Attachment of debt due to judgment debtor (O. 49, r. 1)
(1) Where a person (referred to in these Rules as the judgment creditor) has obtained a judgment
or order for the payment by some other person (referred to in these Rules as the judgment debtor)
of money, not being a judgment or order for the payment of money into Court, and any other
person within the jurisdiction (referred to in this Order as the garnishee) is indebted to the
judgment debtor, the Court may, subject to the provisions of this Order and of any written law,
order the garnishee to pay the judgment creditor the amount of any debt due or accruing due to
the judgment debtor from the garnishee, or so much thereof as is sufficient to satisfy that judgment
or order and the costs of the garnishee proceedings.
(2) An order in Form 101 under this Rule shall in the first instance be an order to show cause,
specifying the time and place for further consideration of the matter, and in the meantime
attaching such debt as is mentioned in paragraph (1), or so much thereof as may be specified in
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
214
the order, to answer the judgment or order mentioned in that paragraph and the costs of the
garnishee proceedings.
(3) In this Order, ‘‘any debt due or accruing due’’ includes a current or deposit account with a bank
or other financial institution, whether or not the deposit has matured and notwithstanding any
restriction as to the mode of withdrawal.
Application for order (O. 49, r. 2)
An application for an order under Rule 1 must be made by ex parte summons supported by an
affidavit in Form 102 —
(a) identifying the judgment or order to be enforced and stating the amount remaining
unpaid under it at the time of the application; and
(b) stating that to the best of the information or belief of the deponent the garnishee
(naming him) is within the jurisdiction and is indebted to the judgment debtor and stating
the sources of the deponent’s information or the grounds for his belief.
Service and effect of order to show cause (O. 49, r. 3)
(1) An order under Rule 1 to show cause must, at least 7 days before the time appointed thereby
for the further consideration of the matter, be served —
(a) on the garnishee personally; and
(b) unless the Court otherwise directs, on the judgment debtor.
(2) Such an order shall bind in the hands of the garnishee as from the service of the order on him
any debt specified in the order or so much thereof as may be so specified.
No appearance or dispute of liability by garnishee (O. 49, r. 4)
(1) Where on the further consideration of the matter the garnishee does not attend or does not
dispute the debt due or claimed to be due from him to the judgment debtor, the Court may, subject
to Rule 7, make a final order261 in one of the forms in Form 103 under Rule 1 against the
garnishee.
(2) A final order262 under Rule 1 against the garnishee may be enforced in the same manner as
any other order for the payment of money.
Dispute of liability by garnishee (O. 49, r. 5)
Where on the further consideration of the matter the garnishee disputes liability to pay the debt
due or claimed to be due from him to the judgment debtor, the Court may summarily determine
the question at issue or order in Form 104 that any question necessary for determining the liability
261 Formerly known as an “order absolute.”
262 Formerly known as an “order absolute.”
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
215
of the garnishee be tried in any manner in which any question or issue in an action may be tried.
Claims of third persons (O. 49, r. 6)
(1) If in garnishee proceedings it is brought to the notice of the Court that some person other than
the judgment debtor is or claims to be entitled to the debt sought to be attached or has or claims
to have a charge or lien upon it, the Court may order that person to attend before the Court and
state the nature of the claim with particulars thereof.
(2) After hearing any person who attends before the Court in compliance with an order under
paragraph (1), the Court may summarily determine the questions at issue between the claimants
or make such other order as it thinks just, including an order that any question or issue necessary
for determining the validity of the claim of such other person as is mentioned in paragraph (1) be
tried in such manner as is mentioned in Rule 5.
Judgment creditor resident outside scheduled territories (O. 49, r. 7)
(1) The Court shall not make an order under Rule 1 requiring the garnishee to pay any sum to or
for the credit of any judgment creditor resident outside the scheduled territories unless that
creditor produces a certificate that the Monetary Authority of Singapore has given permission
under the Exchange Control Act (Chapter 99), for the payment unconditionally or on conditions
which have been complied with.
(2) If it appears to the Court that payment by the garnishee to the judgment creditor will contravene
any provision of the Exchange Control Act, it may order the garnishee to pay into Court the amount
due to the judgment creditor and the costs of the garnishee proceedings after deduction of his
own costs, if the Court so orders.
Discharge of garnishee (O. 49, r. 8)
Any payment made by a garnishee in compliance with a final order263 under this Order, and any
execution levied against him in pursuance of such an order, shall be a valid discharge of his
liability to the judgment debtor to the extent of the amount paid or levied notwithstanding that the
garnishee proceedings are subsequently set aside or the judgment or order from which they arose
reversed.
Money in Court (O. 49, r. 9)
(1) Where money is standing to the credit of the judgment debtor in Court, the judgment creditor
shall not be entitled to take garnishee proceedings in respect of that money but may apply to the
Court by summons for an order that the money or so much thereof as is sufficient to satisfy the
judgment or order sought to be enforced and the costs of the application be paid to the judgment
creditor.
(2) On issuing a summons under this Rule the applicant must produce the summons at the office
of the Accountant-General and leave a copy at that office, and the money to which the application
relates shall not be paid out of Court until after the determination of the application. If the
263 Formerly known as an “order absolute.”
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
216
application is dismissed, the applicant must give notice of that fact to the Accountant-General.
(3) Unless the Court otherwise directs, the summons must be served on the judgment debtor at
least 7 days before the day named therein for the hearing of it.
(4) Subject to Order 70, Rule 24, the Court hearing an application under this Rule may make such
order with respect to the money in Court as it thinks just.
Costs (O. 49, r. 10)
The costs of any application for an order under Rule 1 or 9, and of any proceedings arising
therefrom or incidental thereto, shall, unless the Court otherwise directs, be retained by the
judgment creditor out of the money recovered by him under the order and in priority to the
judgment debt.
Order 55. Appeals to High Court from court, tribunal or person
Application (O. 55, r. 1)
(1) Subject to paragraphs (2) and (4), this Order shall apply to every appeal which under any
written law lies to the High Court from any court, tribunal or person.
(2) This Order shall not apply to an appeal from a Subordinate Court constituted under the
Subordinate Courts Act264 (Chapter 321) or any application by case stated.
(3) Rules 2 to 7 shall, in relation to an appeal to which the Order applies, have effect subject to
any provision made in relation to that appeal by any other provision of these Rules or under any
written law.
(4) In this Order, references to a tribunal shall be construed as references to any tribunal
constituted under any written law other than any of the ordinary courts of law.
Order 59. Costs
Interpretation (O. 59, r. 1)
(2) In this Order — “costs” includes fees, charges, disbursements, expenses and remuneration;
Special matters to be taken into account in exercising discretion (O. 59, r. 5)
The Court in exercising its discretion as to costs shall, to such extent, if any, as may be appropriate
in the circumstances, take into account any payment of money into Court and the amount of such
payment and the conduct of all the parties, including conduct before, as well as during, the
proceedings, and in particular the extent to which the parties followed any relevant pre-action
protocol or practice direction for the time being issued by the Registrar.
264 Note the Subordinate Courts have since been renamed as the State Courts.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
217
When a party may sign judgment for costs without an order (O. 59, r. 10)
(1) Where —
(a) a plaintiff by notice in writing and without leave either wholly discontinues his action
against any defendant or withdraws any particular claim made by him therein against any
defendant; or
(b) an action, a cause or matter is deemed discontinued,
the defendant may, unless the Court otherwise orders, tax his costs of the action, cause
or matter and if the taxed costs are not paid within 4 days after taxation, may sign
judgment for them. The reference to a defendant in this paragraph shall be construed as
a reference to the person (howsoever described) who is in the position of defendant in
the proceeding in question, including a proceeding on a counterclaim.
(2) If a plaintiff accepts money paid into Court in satisfaction of the cause of action, or all the
causes of action, in respect of which he claims, or if he accepts a sum or sums paid in respect of
one or more specified causes of action and gives notice that he abandons the others, then subject
to paragraph (4), he may, after 4 days from payment out and unless the Court otherwise orders,
tax his costs incurred to the time of receipt of the notice of payment into Court and 48 hours after
taxation may sign judgment for his taxed costs.
(3) Where a plaintiff in an action for libel or slander against several defendants sued jointly accepts
money paid into Court by one of the defendants, he may, subject to paragraph (4), tax his costs
and sign judgment for them against that defendant in accordance with paragraph (2).
(4) Where money paid into Court in an action is accepted by the plaintiff after the trial or hearing
has begun, the plaintiff shall not be entitled to tax his costs under paragraph (2) or (3).
(5) When an appeal is deemed to have been withdrawn under Order 55D or Order 57 —
(a) the respondent may tax his costs of and incidental to the appeal, and, if the taxed
costs are not paid within 4 days after taxation, may sign judgment for them; and
(b) any sum of money lodged in Court as security for the costs of the appeal shall be paid
out to the respondent towards satisfaction of the judgment for taxed costs without an
order of the Court and the balance, if any, shall be paid to the appellant.
Basis of taxation (O. 59, r. 27)
(1) Subject to the other provisions of these Rules, the amount of costs which any party shall be
entitled to recover is the amount allowed after taxation on the standard basis where —
(a) an order is made that the costs of one party to proceedings be paid by another party
to those proceedings;
(b) an order is made for the payment of costs out of any fund; or
(c) no order for costs is required, unless it appears to the Court to be appropriate to order
costs to be taxed on the indemnity basis.
(2) On a taxation of costs on the standard basis, there shall be allowed a reasonable amount in
respect of all costs reasonably incurred and any doubts which the Registrar may have as to
whether the costs were reasonably incurred or were reasonable in amount shall be resolved in
favour of the paying party; and in these Rules, the term ‘‘the standard basis’’, in relation to the
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
218
taxation of costs, shall be construed accordingly.
(3) On a taxation on the indemnity basis, all costs shall be allowed except in so far as they are of
an unreasonable amount or have been unreasonably incurred and any doubts which the Registrar
may have as to whether the costs were reasonably incurred or were reasonable in amount shall
be resolved in favour of the receiving party; and in these Rules, the term ‘‘the indemnity basis’’,
in relation to the taxation of costs, shall be construed accordingly.
(4) Where the Court makes an order for costs without indicating the basis of taxation or an order
that costs be taxed on any basis other than the standard basis or the indemnity basis, the costs
shall be taxed on the standard basis.
(5) Notwithstanding paragraphs (1) to (4), if any action is brought in the High Court, which would
have been within the jurisdiction of a Subordinate Court, the plaintiff shall not be entitled to any
more costs than he would have been entitled to if the proceedings had been brought in a
Subordinate Court, unless in any such action a Judge certifies that there was sufficient reason for
bringing the action in the High Court.
Lam Hwa Engineering & Trading Pte Ltd v Yang Qiang
[2014] 2 SLR 191 [2014] SGCA 3
Holding Held that the travel expenses incurred by the respondent were both reasonable and reasonably incurred. The quantum of these expenses was proportionate when considered on an item by item basis as well as in the aggregate, [22].
An assessment of costs requires consideration to be given to all facts and circumstances.
[33] “The issue of costs is fundamentally a matter of assessment based on the entire myriad of relevant facts and circumstances. It is not, and can never be, a precise science. To lay down a general rule that costs must be mathematically and precisely pegged to the final apportionment of liability, would fail to ensure justice in each case. It is for this reason that the legal framework in O 59 of the ROC as interpreted by this court in Lin Jian Wei requires due consideration to be given to all the relevant facts and circumstances.”
Summary of facts
The respondent, a Chinese foreign worker employed by the appellant, was injured in the course of his work in July 2010. He commenced an action against the appellant in February 2011 seeking compensation. In the meantime, as the respondent was unable to work and maintain his Singapore work pass, he returned to China. Sometime in July 2011, he flew back to Singapore for the purpose of attending and giving evidence at the trial. On 25 July 2011, which was the very first day of the trial, the parties reached a settlement. The appellant agreed to bear 80% liability. Final judgment was entered against the appellant for damages of $75,000, and costs and disbursements to be agreed or taxed.
The parties later agreed on the costs due to the respondent but they were unable to agree on the disbursements. The appellant took issue with the respondent’s claim for travel expenses of $1,208. Out of this, a sum of $1,113 was for the respondent’s return air tickets for travel between
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
219
Shanghai and Singapore and the remainder of $95 was for land transport expenses incurred in China to travel to and from the airport.
The appellant did not dispute that the itemised amounts were reasonable. The appellant’s case was that it was not obliged to pay these expenses as a matter of legal principle. The respondent eventually filed an application for the taxation of the disbursements.
Lin Jian Wei and another v Lim Eng Hock Peter
[2011] SGCA 29 [2011] 3 SLR 1052
Holding By O 59 r 27(2) and para 1(2) of Appendix 1, costs are in the discretion of the court. However this discretion is not unfettered
[56] “in assessing whether costs incurred are reasonable, it needs to be shown that the costs incurred were not just reasonable and necessary for the disposal of the matter, but also, in the entire context of that matter, proportionately incurred”
Clarified that proportionality should be considered both on an item by item basis and on a global basis
[78] “The approach that should be adopted in taxation is that the Court should first assess the relative complexity of the matter, the work supposedly done against what was reasonably required in the prevailing circumstances, the reasonableness and proportionality of the amounts claimed on an item by item basis and thereafter, assess the proportionality of the resulting aggregate costs. In this exercise, all the Appendix 1 considerations are relevant. In the general scheme of things, no single consideration ordinarily ought to take precedence. In every matter, this calls for careful judgment by reference to existing precedents and guidelines. A taxing officer should consider the complexity of the issues of fact and law which arose in the matter against the backdrop of the statements as to the amount of time spent by the solicitors and also the seniority of the counsel involved in order to determine whether the costs claimed for the amount of time spent is reasonable and proportionate. […]”
Summary of facts
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
Miscellaneous (Appendix 2, Part III.) [from Rules of Court, O 55]
3. Where a plaintiff or defendant signs judgment for costs under Rule 10, there shall be allowed
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
220
the following costs, in addition to disbursements:
Costs to be allowed
High Court District Court Magistrate’s
Court
Costs of judgment $300 $300 $200
4. Where upon the application of any person who has obtained a judgment or order against a debtor for the recovery or payment of money, a garnishee order is made under Order 49, Rule 1 against a garnishee attaching debts due or accruing due from him to the debtor, there shall be allowed the following costs, in addition to disbursements:
(a) to the garnishee, to be deducted by him from any debt owing by him as aforesaid before payments to the applicant —
If no affidavit used If affidavit used
High Court
District Court
Magistrate’s Court
High Court District Court
Magistrate’s Court
$150 $150 $150 $300 $300 $300
(b) to the applicant, to be retained, unless the Court otherwise orders, out of the money recovered by him under the garnishee order and in priority to the amount of the debt owing to him under the judgment or order —
Costs to be allowed
High Court District Court Magistrate’s Court
$750 $750 $600
Order 60. The Registry
Filing of instruments creating powers of attorney (O. 60, r. 6)
(1) An instrument creating a power of attorney which is presented for deposit in the Registry of
the Supreme Court under —
(a) section 27 of the Trustees Act (Chapter 337); or
(b) section 48 of the Conveyancing and Law of Property Act (Chapter 61), shall not be
deposited therein unless the execution of the instrument has been verified in accordance
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
221
with Rule 7 and the instrument is accompanied —
(i) except where Rule 7 (b) applies, by the affidavit, declaration, certificate or
other evidence by which the execution was verified;
(ii) in the case of an instrument presented for filing under section 27 of the
Trustees Act (Chapter 337), by the statutory declaration required by subsection
(4) of that section.
(2) Without prejudice to section 48 of the Conveyancing and Law of Property Act (Chapter 61), a
certified copy of an instrument creating a power of attorney which is presented for deposit in the
Registry of the Supreme Court under that section shall not be deposited therein unless —
(a) the execution of the instrument has been verified in accordance with Rule 7;
(b) the signature of the person who verified the copy is sufficiently verified; and
(c) except where Rule 7 (b) applies and subject to paragraph (3), the copy is accompanied
by the affidavit, declaration, certificate or other evidence by which the execution was
verified.
(3) If the affidavit, declaration, certificate or other evidence verifying the execution of the
instrument is so bound up with or attached to the instrument that they cannot conveniently be
separated, it shall be sufficient for the purpose of paragraph (2) to produce and show to the proper
officer in the Registry the original affidavit, declaration, certificate or other evidence and to file a
certified or office copy thereof.
Verification of execution of power of attorney (O. 60, r. 7)
The execution of such an instrument or statutory declaration as is referred to in Rule 6 (1) may
be verified —
(a) by an affidavit or statutory declaration sworn or made by the attesting witness or some
other person in whose presence the instrument was executed, or, if no such person is
available, by some impartial person who knows the signature of the donor of the power
of attorney created by the instrument;
(b) if the instrument was attested by a Commissioner for Oaths, by the signature of the
Commissioner as attesting witness; or
(c) by such other evidence as, in the opinion of the Registrar is sufficient.
Inspection, etc., of powers of attorney (O. 60, r. 8)
(1) An index shall be kept in the Registry of the Supreme Court of all instruments and certified
copies to which Rule 6 relates deposited in the said Registry and of the names of the donors of
the powers of attorney created by such instruments.
(2) Any person shall, on payment of the prescribed fee, be entitled —
(a) to search the index;
(b) to inspect any document filed or deposited in the Registry in accordance with Rule 6;
and
(c) to be supplied with an office copy of such document; and a copy of any such document
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
222
may be presented at the Registry to be marked as an office copy
XII. State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing)
Section 15. Powers and duties of certain State Court officers
The bailiffs and process servers shall —
(a)execute all writs, summonses, warrants, orders, notices and other mandatory
processes of the State Courts given to them;(b) make a return of the same together with
the manner of the execution thereof to the court from which the process issued; and
(c) arrest and receive all such persons and property as are committed to the custody of
the State Courts.
Section 15A. Solicitor, etc., authorised to act as bailiff
(1) Subject to such directions as may be given by the Presiding Judge of the State Courts, the
registrar may authorise a solicitor or a person employed by a solicitor to exercise the powers and
perform the duties of a bailiff during such period or on such occasion as the registrar thinks fit and
subject to such terms and conditions as the registrar may determine.
(2) Section 68(2) shall apply to a solicitor or person authorised under subsection (1) as it applies
to an officer of a State Court.
Section 16. Special powers of bailiffs
The bailiffs in executing any writ of seizure and sale or any other writ of execution or of distress
may effect an entry into any building, and for that purpose, if necessary, may break open any
outer or inner door or window of the building or any receptacle therein, using such force as is
reasonably necessary to effect an entry.
XIII. Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing)
Section 13. Writs of execution
A judgment of the High Court for the payment of money to any person or into court may be
enforced by a writ, to be called a writ of seizure and sale, under which all the property, movable
or immovable, of whatever description, of a judgment debtor may be seized, except —
(a) the wearing apparel and bedding of the judgment debtor or his family, and the tools and
implements of his trade, when the value of such apparel, bedding, tools and implements
does not exceed $1,000;
(b) tools of artisans, and, where the judgment debtor is an agriculturist, his implements of
husbandry and such animals and seed-grain or produce as may in the opinion of the court
be necessary to enable him to earn his livelihood as such;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
223
(c) the wages or salary of the judgment debtor;
(d) any pension, gratuity or allowance granted by the Government; and
(e) the share of the judgment debtor in a partnership, as to which the judgment creditor is entitled
to proceed to obtain a charge under any provision of any written law relating to partnership.
American Express Bank Ltd v Abdul Manaff bin Ahmad
[2003] 4 SLR 780
Holding The court decided that s 13(c) of the SCJA is applicable to the garnishee process, and therefore, wages and salaries cannot be garnished.
Summary of facts
Appeals against the High Court decision that the wages or salaries
of judgment debtors may be garnished.
XIV. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing)
Section 2A. Appointment of Assistant Commissioners, investigation officers and
authorised persons
(1) The Commissioner may appoint such number of public officers as Assistant Commissioners
(Work Injury Compensation) and investigation officers and such persons as authorised persons,
as may be necessary to assist the Commissioner in the administration of this Act.
(2) The Commissioner may delegate the exercise of all or any of the powers conferred or duties
imposed upon him by this Act (except the power of delegation conferred by this subsection) to
any Assistant Commissioner, investigation officer or authorised person, subject to such conditions
or limitations as the Commissioner may specify.
Section 3. Employer’s liability for compensation
(1) If in any employment personal injury by accident arising out of and in the course of the
employment is caused to an employee, his employer shall be liable to pay compensation in
accordance with the provisions of this Act.
(2) An accident happening to an employee while he is, with the express or implied permission of
his employer, travelling as a passenger by any means of transport to or from his place of work
shall be deemed to arise out of and in the course of his employment if at the time of the accident
the means of transport is being operated by or on behalf of his employer or by some other person
by whom it is operated in pursuance of arrangements made with his employer and is not being
operated in the ordinary course of a public transport service.
(3) An accident happening to an employee in or about any premises at which he is for the time
being employed for the purposes of his employer’s trade or business shall be deemed to arise
out of and in the course of his employment if it happens while he is taking steps, on an actual or
supposed emergency at those premises, to rescue or protect persons who are, or are thought to
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
224
be or possibly to be injured or imperilled, or to avert or minimise damage or loss to property.
(4) An accident happening to an employee shall be deemed to arise out of and in the course of
his employment notwithstanding that he was at the time of the accident acting in contravention of
any written law or other regulations applicable to his employment, or of any orders given by or on
behalf of his employer, or that he was acting without instructions from his employer, if —
(a) the accident would have been deemed so to have arisen had such act not been done
in contravention as aforesaid or without instructions from his employer, as the case may
be; and
(b) such act was done for the purposes of and in connection with the employer’s trade or
business.
(5) An employer shall not be liable to pay compensation in respect of —
(a) any injury to an employee resulting from an accident if it is proved that the injury to
the employee is directly attributable to the employee having been at the time thereof
under the influence of alcohol or a drug not prescribed by a medical practitioner;
(b) any incapacity or death resulting from a deliberate self-injury or the deliberate
aggravation of an accidental injury; or
(c) any injury to an employee suffered in a fight or an attempted assault on one or more
persons unless —
(i) the employee did not assault or attempt to assault any other person in the fight
or attempted assault, or did assault any such person in the exercise of the right
of private defence in accordance with sections 97 to 106 of the Penal Code (Cap.
224); or
(ii) the employee was, at the time when the injury was received, breaking up or
preventing the fight or assault, or in the course of safeguarding life or any
property of any person or maintaining law and order, under any instruction or with
the consent (whether express or implied) of his employer or a principal referred
to in section 17.
(5A) In this section, “drug” means —
(a) controlled drug within the meaning of the Misuse of Drugs Act (Cap. 185); or
(b) a prescription only drug specified for the purposes of section 29 of the Medicines Act
(Cap. 176) that is not prescribed by a medical practitioner for the employee’s consumption
or use.
(6) For the purposes of this Act, an accident arising in the course of an employee’s employment
shall be deemed, in the absence of evidence to the contrary, to have arisen out of that
employment.
Section 11. Notice and claim
(1) Except as provided in this section, proceedings for the recovery of compensation for an injury
under this Act shall not be maintainable unless —
(a) notice of the accident has been given to the employer by or on behalf of the employee
as soon as practicable after the happening thereof;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
225
(b) a claim for compensation with respect to that accident has been made within one year
from the happening of the accident causing the injury, or, in the case of death, within one
year from the date of the death; and
(c) the claim has been made in such form and manner as the Commissioner may
determine.
(2) No notice to the employer shall be necessary where a fatal accident has occurred.
(3) The want of or any defect or inaccuracy in a notice shall not be a bar to the maintenance of
proceedings if —
(a) the employer is proved to have had knowledge of the accident from any other source
at or about the time of the accident; or
(b) it is found in the proceedings for settling the claim that the employer is not, or would
not be, if a notice or an amended notice were then given and the hearing postponed,
prejudiced in his defence by the want, defect or inaccuracy, or that such want, defect or
inaccuracy was occasioned by mistake, absence from Singapore or other reasonable
cause.
(4) Subject to subsection (4A), the making of a claim after the lapse of the period specified in
subsection (1) shall not be a bar to the maintenance of proceedings if it is found that the delay
was occasioned by mistake, absence from Singapore or other reasonable cause.
(4A) The making of a claim after the lapse of the period specified in subsection (1) shall be a bar
to the maintenance of proceedings in respect of an accident if it is found that the delay was
occasioned by the claimant having instituted an action for damages in any court for compensation
with respect to that accident if —
(a) the accident occurs on or after the date of commencement of the Work Injury
Compensation (Amendment) Act 2011 (referred to in this subsection as the appointed
day); or
(b) the accident occurred before the appointed day, and the claim is made after the expiry
of the period of 12 months beginning on the appointed day.
(4B) For the purposes of subsections (4) and (4A), it is immaterial whether there were any
previous claims made in respect of that accident.
(5) Notice to the employer (or, if there is more than one employer, to one of such employers) in
respect of an injury may be given either in writing or orally or to the foreman or other person under
whose supervision the employee was employed, or to any person designated for the purpose by
the employer, and shall state in ordinary language the cause of the injury and the date on which
and the place at which the accident happened.
(6) The notice if in writing may be given by delivering the notice at, or sending it by registered post
addressed to, the residence or place of business of the person to whom it is to be given.
Section 29. Appeal from decision of Commissioner
(1) Subject to section 24(3B), any person aggrieved by any order of the Commissioner made
under this Act may appeal to the High Court whose decision shall be final.
(2) The procedure governing any such appeal to the High Court shall be as provided for in the
Rules of Court.
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
226
(2A) No appeal shall lie against any order unless a substantial question of law is involved in the
appeal and the amount in dispute is not less than $1,000.
(3) Notwithstanding any appeal under this section, the employer shall deposit with the
Commissioner the amount of compensation ordered by the Commissioner under section 25A,
25B, 25C or 25D within 21 days from the date of the Commissioner’s decision, and the deposit
shall be held by the Commissioner pending the outcome of the appeal.
Kee Yau Chong v S H Interdeco Pte Ltd
[2014] 1 SLR 189
Holding ●With regard to s 29(2A) of WICA, the court noted that the requirement of a substantial question of law means that it is “not enough for there to be a mere question of law or that the Court takes the view that a different interpretation of the facts could have been drawn”.
[15]: “As can be seen, it is necessary (but insufficient) for there to be a "substantial question of law" before an appeal against an order made by the learned Assistant Commissioner will avail itself to "any person aggrieved" by such order. In deciding whether the requirements for an appeal against an order made by the learned Assistant Commissioner have been met, it is not enough for there to be a mere question of law or that the Court takes the view that a different interpretation of the facts could have been drawn. Only a substantial question of law will suffice.”
Summary of facts
Appeal against the labour court’s dismissal of the claimant’s claim on the grounds that no “accident” had taken place within the meaning of WICA.
Pang Chew Kim v Wartsila Singapore Pte Ltd
[2012] 1 SLR 15
Holding With regard to s 29(2A) of WICA, the court noted the range of errors of law that may provide grounds for appeal.
[19]: “In determining the range of errors of law that may provide grounds for appeal under s 29(2A), the courts have accepted the full range of errors of law listed in Halsbury's Laws of England vol 1(1) (Butterworths, 4th Ed Reissue, 1989) at para 70:... misinterpretation of a statute or any other legal document or a rule of common law; asking oneself and answering the wrong question, taking irrelevant considerations into account or failing to take relevant considerations into account when purporting to apply the law to the facts; admitting inadmissible evidence or rejecting admissible and relevant evidence; exercising a discretion on the basis of incorrect legal principles;
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
227
giving reasons which disclose faulty legal reasoning or which are inadequate to fulfil an express duty to give reasons, and misdirecting oneself as to the burden of proof.”
[21]: “While the court will not generally disturb findings of facts unless they are such that "no person acting judicially and properly instructed as to the relevant law could have come to the determination upon appeal" (Karuppiah at [13]), there is no similar rule precluding courts from assessing the robustness of inferences drawn from the facts as found by the Commissioner.”
Summary of facts
Appeal against the labour court judgment on the interpretation of s3 of WICA.
Section 33. Limitation of employee’s right of action
(1) Nothing in this Act shall be deemed to confer any right to compensation on an employee in
respect of any injury if he has instituted an action for damages in respect of that injury in any court
against his employer or if he has recovered damages in respect of that injury in any court from
his employer.
(2) Subject to subsections (2A) and (2B), no action for damages shall be maintainable in any court
by an employee against his employer in respect of any injury by accident arising out of and in the
course of employment —
(a) if he has a claim for compensation for that injury under the provisions of this Act and
does not withdraw his claim within a period of 28 days after the service of the notice of
assessment of compensation in respect of that claim;
(b) if he and his employer have agreed or are deemed to have agreed to the notice of
assessment under section 24(2)(a) for that injury; or
(c) if he has recovered damages in respect of the injury in any court from any other
person.
(2A) Where —
(a) a claim for compensation under this Act is made for an employee’s injury by accident
arising out of and in the course of the employment;
(b) there is no objection by the employee to the notice of assessment of compensation in
respect of that claim;
(c) the compensation ordered by the Commissioner thereafter in respect of that claim is
of a lesser amount than that stated in that notice of assessment of compensation in
respect of that claim;
(d) within a period of 28 days after the making of the order, the employee notifies the
Commissioner and the employer in writing that he does not accept the compensation so
ordered, and has not received or retained any part of such compensation earlier paid (if
any) by the employer; and
(e) no appeal under section 29 is made against the order, the employee may institute an
action in any court against his employer for damages in respect of that injury and any
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
228
order made by the Commissioner in respect of that injury shall be void.
(2B) Where —
(a) the Commissioner assesses or makes an order that no compensation shall be payable
for a claim for compensation for an employee’s injury by accident arising out of and in the
course of employment because —
(i) the injury did not arise out of and in the course of the employee’s employment;
or
(ii) the injured person is not an employee within the meaning of this Act; or
(b) an appeal to the High Court under section 29 from an order made by the
Commissioner has failed because of any reason mentioned in paragraph (a)(i) or (ii), the
employee may institute an action in any court to recover damages independently of this
Act for injury caused by that accident.
(3) If an action is brought within the time specified in section 11 in any court to recover damages
independently of this Act for injury caused by any accident and it is determined in the action or on
appeal that the injury is one for which the employer is not liable but that he would have been liable
to pay compensation under the provisions of this Act, the action shall be dismissed; but the court
shall, if the employee so chooses, proceed to assess the compensation and may deduct
therefrom all or any part of the costs which, in its judgment, have been caused by the employee
instituting the action instead of proceeding under this Act.
(4) In any proceedings under subsection (3) when the court assesses the compensation, it shall
give a certificate of the compensation it has awarded and the direction it has given, if any, as to
the deduction of costs and such certificate shall have the same effect as a judgment of the court.
Yang Dan v Xian De Lai Shanghai Cuisine Pte Ltd
[2010] SGHC 346. [2011] 2 SLR 379.
Holding ● Appeal should be allowed because the respondent did not withdraw his Compensation Claim before the order of 7 May 2008 was made.
● The correct interpretation of s 33(2)(a) WCA is that a workman may proceed with a General Law Claim even after the Commissioner has assessed that zero compensation is payable on his Compensation Claim provided that he first withdraws his Compensation Claim (emphasis added).
[57]: “(a) Under s 24(3) WCA, the Commissioner’s assessment becomes a Deemed Order if there is no objection thereto within two weeks of the service of the notice of assessment. Section 25(1) WCA refers to a period of 14 days to do so which is the same as the two-week period. Once there is a Deemed Order, it is then, in my view, too late for the workman to withdraw his Compensation Claim. In this regard, while the District Judge said that the consequence of a failure to object within the relevant time frame is that the workman loses his right to a hearing and cannot appeal (see Yang Dan at [32]) it is
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
229
important to bear in mind that a further consequence of a failure to object within the relevant time frame is that the assessment becomes a Deemed Order.”
“b) If however there is an objection to the assessment within the relevant time frame, the assessment does not become a Deemed Order. The workman’s right to withdraw his Compensation Claim and proceed with a General Law Claim continues for the time being even if he was not the one who had objected to the assessment.”
● However, once an order has been made on the Compensation Claim, the “workman” may no longer withdraw his Compensation Claim to pursue a General Law Claim.
[57]: “(c) If there is a pre-hearing conference and an agreement is reached to settle all matters for earing in that conference, the Commissioner may record a Settlement Order. At that point, the workman will lose his right to withdraw his Compensation Claim and proceed with a General Law Claim.”
“(d) If the workman does not agree to a settlement of all matters at the pre-hearing conference, the workman’s right to withdraw continues for the time being. However, after the Compensation Claim proceeds to a hearing and the Commissioner makes a Post-hearing Order, it will be too late for the workman to withdraw his Compensation Claim or to proceed with a General Law Claim.”
Summary of facts
Appeal against the interpretation of s 33(2), s 33(2A) and s 33(2B) of WICA.
The respondent, Yang Dan, having previously received an assessment of zero incapacity in his WICA Claim, subsequently attempted to make a General Law Claim.
FOURTH SCHEDULE [from WICA]
Classes of persons not covered
1. Any member of the Singapore Armed Forces.
2. Any officer of the Singapore Police Force, the Singapore Civil Defence Force, the
Central Narcotics Bureau or the Singapore Prisons Service.
3. A domestic worker, being any person employed in or in connection with the domestic
services of any private premises.
Bab 4:
Mencari Mitra Kerja Lokal
oleh Douglas MacLean, Justice Without Borders
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
231
BAB 4: MENCARI MITRA KERJA LOKAL
1. MENCARI MITRA KERJA KETIKA KLIEN MENINGGALKAN
SINGAPURA
1.1. Bab ini menjelaskan tentang masalah logistik dan tantangan yang dihadapi
dalam mencari dan bekerjasama dengan mitra kerja lokal di Singapura. Mitra
kerja sangat dibutuhkan untuk memastikan klien dapat menyelesaikan klaim
yang diajukan di Singapura.
1.2. Dengan demikian, bab ini dibagi menjadi delapan bagian. Bagian 1 memberikan
gambaran ringkas tentang pentingnya mencari mitra kerja lokal, Bagian 2
menjelaskan tentang berbagai tantangan besar dalam memberikan
pendampingan hukum dari jarak jauh, Bagian 3 membahas mengenai
bagaimana mitra kerja lokal dapat membantu sehubungan dengan
pendampingan jarak jauh, Bagian 4 mendiskusikan persiapan-persiapan yang
diperlukan sehubungan dengan pendampingan jarak jauh, Bagian 5 membahas
bagaimana untuk mencari mitra kerja di negara asal klien, Bagian 6
memperkenalkan tentang seluk-beluk dan pertimbangan dalam membangun
kerjasama dengan entitas lain, Bagian 7 membahas bagaimana praktisi di
daerah asal klien dapat mencoba untuk mendapatkan bantuan hukum di
Singapura, dan Bagian 8 mengakhiri bab ini dengan gambaran umum mengenai
bagaimana para praktisi bisa menilai kelayakan tuntutan klien untuk diajukan dari
jarak jauh.
1.3. Mengajukan tuntutan hukum dari luar negeri merupakan perkara yang sulit.
Meskipun hukum yang berlaku di Singapura memungkinkan klien untuk
mengajukan gugatan dari jarak jauh, berbagai hambatan logistik seringkali
menjadi tantangan yang berat bagi pengacara maupun klien. Hal ini terutama
berlaku untuk buruh migran, yang umumnya harus bergantung pada
pendampingan hukum secara pro bono, seringkali sibuk dalam upaya mencari
pekerjaan, kemungkinan tidak fasih dalam bahasa yang dipakai pengacaranya
dan kemungkinan tinggal di daerah terpencil dimana sarana telekomunikasi yang
dapat diandalkan masih jarang.
1.4. Pengacara lokal, organisasi penyedia jasa langsung1, atau individu lain, atau
organisasi yang dapat berperan sebagai perantara yang dapat diandalkan atau
mitra kerja bagi pengacara Singapura di dalam komunitas klien dapat membantu
menghadapi beberapa penghalang ini. Bab ini mendiskusikan bagaimana mitra
kerja lokal dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari pengacara Singapura
selama masa litigasi, bagaimana untuk mencari mitra kerja dan pertimbangan-
pertimbangan hukum dalam bermitra dengan individu atau entitas lain.
1.5. Bagi para pembaca di negara asal klien yang yakin bahwa klien mereka
mempunyai tuntutan hukum yang dapat diajukan di Singapura, lihat Bagian 5
1 Organisasi penyedia jasa langsung pada umumnya adalah organisasi masyarakat yang menyediakan layanan sosial
secara langsung kepada populasi klien. Ini dapat mencakup konsultasi hukum, perawatan medis, konseling, pelatihan
pekerjaan dan jasa lainnya.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
232
tentang metode untuk mencari bantuan hukum di Singapura.
2. TANTANGAN UTAMA PADA PENDAMPINGAN HUKUM DARI JARAK
JAUH
2.1. Penyedia jasa dan pengacara pro bono di Singapura melaporkan bahwa klien
yang telah mengalami eksploitasi tenaga kerja atau bahkan perdagangan
manusia cenderung tidak dapat mengajukan tuntutan jika mereka meyakini
bahwa mereka tidak bisa tetap tinggal di Singapura dalam jangka waktu yang
cukup lama untuk menyelesaikan tuntutan mereka. Sebagaimana dijelaskan di
Bab 3,2 tidak ada status tinggal yang sah bagi mereka yang ingin
memperjuangkan ganti rugi untuk perkara perdata terhadap pemberi kerja
mereka atau terhadap agen di Singapura. Alternatif yang tersedia adalah melalui
proses penyelesian sengketa dan adjudikasi dari Kementerian Tenaga Kerja
(Kemenaker). Berbagai proses ini dapat memakan waktu berbulan-bulan dan
selama itu pihak klien mungkin saja tetap menganggur. Dihadapkan dengan
berbagai tekanan finansial, klien lebih cenderung akan menerima penyelesaian
yang tidak adil atau tidak menjalani prosedur pengaduan sama sekali. Bagi
mereka yang mencoba untuk mengajukan tuntutan hukum setelah pulang ke
negara asal, maka hambatan logistik yang paling sederhana pun sudah cukup
untuk menghentikan tuntutan hukum tersebut. Berikut ini adalah empat masalah
yang paling sering dihadapi pengacara dan klien dalam proses pendampingan
hukum dari jarak jauh.
I. Tantangan telekomunikasi
2.2. Sayangnya, upaya untuk tetap berkomunikasi dengan klien setelah kembali ke
negara asal merupakan tantangan yang sangat berat. Telekomunikasi melalui
internet seperti Skype seringkali tidak dapat diandalkan dan menyebabkan
frustasi apabila panggilan telepon berulang kali tidak tersambung. Panggilan
telepon dapat berbiaya tinggi, dan apabila klien tinggal di wilayah terpencil,
sarana telekomunikasi dalam keadaan buruk atau bahkan tidak ada sama sekali.
Klien juga mungkin berpindah-pindah di negara mereka sendiri atau mengganti
nomor telepon, sehingga memperumit upaya untuk tetap berkomunikasi.
Masalah berubahnya nomor telepon sering terjadi di antara klien Indonesia
karena biaya yang murah untuk mendapatkan nomor telepon baru di Indonesia.
II. Hambatan bahasa
2.3. Ketidakfasihan dalam bahasa Inggris dapat menyulitkan komunikasi dan sekali
lagi menyebabkan rasa frustrasi. Kesalahan komunikasi dapat mengakibatkan
klien melewatkan tenggat waktu penting, memberikan materi yang salah atau
menjadi bingung tentang posisi tuntutan mereka dan/atau sifat dari keputusan
yang harus mereka buat sebagai klien. Klien juga dapat salah paham tentang
2 Lihat Bab 3 Bagian 3.IV.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
233
peluang mereka untuk berhasil atau seberapa cepat proses dapat diselesaikan,
sehingga menjadi tidak sabar atau bahkan tidak mempercayai pengacara
mereka. Ditambah dengan tanggungjawab dan tantangan lain dalam kehidupan
pribadi mereka, rasa frustasi ini dapat mendorong klien untuk menghentikan
tuntutan.
III. Perbedaan budaya dan kurangnya pemahaman tentang proses hukum
2.4. Sejumlah besar klien cenderung tidak mempunyai banyak pengalaman
sebelumnya dengan sistem hukum, atau mungkin pernah mengalami
pengalaman buruk. Sistem hukum di negara asal mereka mungkin berbeda
dan/atau rentan terhadap korupsi, sehingga muncul juga rasa tidak percaya
terhadap sistem hukum Singapura. Seperti kebanyakan non-pengacara, klien
pada umumnya juga tidak tahu tentang berbagai proses yang terlibat dalam
mengajukan tuntutan dan melaksanakan putusan, apalagi memahami mengenai
waktu yang diperlukan untuk menjalani berbagai proses tersebut. Diperparah
dengan hambatan bahasa, klien mungkin tidak sepenuhnya memahami proses
hukum, sehingga menyebabkan frustrasi ketika proses tersebut tidak
memberikan hasil yang diharapkan.
IV. Waktu dan ketersediaan
2.5. Akhirnya, apabila klien kembali ke negara asalnya, kemungkinan mereka
memilki jadwal yang tidak teratur, sehingga mengatur pertemuan secara rutin
menjadi suatu tantangan. Jika temu janji sering terlewatkan, pengacara
Singapura terpaksa menghabiskan waktu dan sumberdaya untuk melakukan
tindak lanjut dengan klien melalui telepon dan email.
3. BAGAIMANA MITRA KERJA LOKAL DAPAT MENDUKUNG
PENDAMPINGAN JARAK JAUH
3.1. Mitra kerja lokal yang dapat baik dapat membantu menangani banyak beban
sehubungan dengan manajemen kasus yang tidak siap untuk ditangani oleh
klien. Mitra kerja seringkali adalah merupakan penyedia langsung layanan,
pengacara pro bono atau klinik hukum Universitas di tempat domisili klien. Sub-
Bagian berikut menjelaskan keuntungannya memiliki mitra kerja lokal serta
berbagai jenis mitra kerja yang pada umumnya tersedia.
3.2. Bagi mereka yang memiliki klien dari Indonesia, Fillipina atau Thailand, mohon
untuk menghubungi Justice Without Borders untuk konsultasi gratis dalam
mencari mitra kerja di negara-negara ini.
I. Keuntungan memiliki mitra kerja lokal
3.3. Komunikasi tatap muka secara langsung sangatlah penting bagi banyak klien,
dan mitra kerja lokal memberikan kesempatan secara langsung ini. Klien juga
lebih mudah untuk mempercayai seseorang yang mereka temui secara
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
234
langsung, yang berbicara bahasamereka, dan yang mengerti budaya mereka.
Bagi pengacara Singapura, mitra kerja lokal tidak hanya dapat menyediakan alih
bahasa sehubungan dengan bahasa klien, tetapi juga dapat menjelaskan
dengan cara yang lebih mudah dimengerti and sesuai dengan budaya klien.
Yang terutama, mitra kerja lokal dapat bekerja sesuai dengan jadwal klien, serta
menindaklanjuti lebih lanjut dengan mereka secara langsung sebagaimana
diperlukan.
3.4. Selanjutnya, mitra kerja lokal kemungkinan besar memiliki pengertian yang lebih
mendalam sehubungan dengan prinsip hukum secara umum, serta
permasalahan spesifik tertentu sehubungan dengan buruh migran. Pengacara
Singapura akan menjelaskan permasalahan hukum dan logistik yang unik
sehubungan dengan sistem hukum di Singapura, namun, landasan yang lebih
spesifik akan membuat komunikasi lebih mudah. Akhirnya, mitra kerja lokal
berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengumpulkan bukti-bukti yang
diperlukan beserta kesaksian, serta dapat membantu mengatur teleconference
sebagaimana diperlukan.
II. Praktisi hukum, paralegal dan non-hukum sebagai mitra kerja lokal
3.5. Walaupun pada umumnya seorang pengacara berlisensi Singapura diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan hukum klien di dalam Singapura, dukungan dari
negara asal klien tidak selalu membutuhkan bantuan dari pengacara berlisensi.
Walaupun pengacara setempat tentu dapat menyediakan bantuan yang
berharga, kebutuhan dari pengacara Singapura dapat dipenuhi dengan
menggunakan jasa paralegal (misalnya pekerja kasus dengan latar belakang
hukum) atau bahkan mitra kerja non-hukum yang telah menjalani pelatihan.
3.6. Patut dicatat bahwa setiap negara memiliki ketentuan lisensi yang berbeda
sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan hukum.
Panduan ini memfokuskan pada penyelesaian dalam yurisdiksi Singapura yang
berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di negara asal klien pada
umumnya tidak akan berkaitan dengan proses hukum di Singapura. Namun,
para praktisi harus memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut,
misalnyapengumpulan bukti dan pengambilan deposisi tidak memerlukan lisensi
khusus di negara asal klien. Akhirnya, jika klien memutuskan untuk menggugat
agen pengerah kerja lokal atau perantara di negara asal mereka, pengacara
berlisensi setempat akan diperlukan.
4. MEMPERSIAPKAN PENDAMPINGAN JARAK JAUH
I. Bagi klien yang belum meninggalkan Singapura
4.1. Para pengacara harus mengerjakan persiapan kasus dengan semaksimal
mungkin sebelum keberangkatan klien. Walaupun setiap kasus akan melibatkan
tugas yang berbeda, pengacara sebaiknya berusaha untuk menyelesaikan hal-
hal berikut yang disebutkan di bawah ini sebelum klien meninggalkan Singapura.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
235
A. Mengumpulkan kontak informasi yang relevan di tujuan klien
4.2. Praktisi harus memperoleh sebanyak mungkin informasi yang dimungkinkan dari
klien untuk memastikan bahwa mereka akan terus memiliki kontak. Informasi
tersebut dapat mencakup:
1) Nomor telepon seluler lokal
2) Alamat email
3) Alamat fisik berikutnya
4) Alamat dan nomor telepon dari anggota keluarga
5) Pemberitahuan akan setiap rencana untuk pindah baik di dalam negara asal
maupun rencana migrasi berikutnya
6) Informasi kontak di Singapura sebagai cadangan
B. Menjelaskan dan menyediakan salinan tertulis dari tahap selanjutnya dan
keseluruhan proses litigasi. Cantumkan langkah selanjutnya dan jadwalkan
waktu untuk berbicara setelah klien telah kembali ke negara asal.
4.3. Konsultasi secara penuh sebelum keberangkatan klien sangatlah penting dalam
mempersiapkan klien bersangkutan akan tantangan yang akan timbul
sehubungan dengan pendampingan jarak jauh. Praktisi harus menjelaskan
sepenuhnya akan proses negosiasi atau litigasi pada saat bersangkutan. Apabila
dimungkinkan, salinantertulis dari informasi yang sama harus disediakan dalam
bahasa Inggris dan bahasa ibu dari klien. Dokumen-dokumen ini juga akan
menjadi penting bagi para mitra di negara asal klien, serta mempersiapkan
mereka dari awal, untuk memuluskan proses pembangunan hubungan kerja
yang baik. Akhirnya, klien harus memiliki pengertian yang konkrit akan apa yang
harus mereka lakukan ketika mereka kembali pulang, walaupun jika hal tersebut
hanya dalam bentuk menghubungi pengacara mereka untuk penindak lanjutan.
Walaupun klien mungkin membutuhkan fleksibilitas dalam menjadwalkan
pertemuan pertama mereka setelah kembali, menjadwalkan tanggal dan waktu
penindaklanjutan akan membantu mempertahankan momentum serta menjaga
klien tetap terlibat dalam kasus.
C. Prosedur lengkap yang memerlukan kehadiran klien
4.4. Jika penyelesaian melalui jalur Kemenaker menjadi tidak tersedia dengan klien
meninggalkan Singapura, klaim perdata hanya memerlukan kehadiran klien
berdasarkan persyaratan tertentu. Tabel berikut menggambarkan secara umum
jumlah minimal dari tugas yang harus dikerjakan untuk dapat secara sukses
melanjutkan (atau menunda) kasus setelah keberangkatan klien dari Singapura.
Untuk ketentuan lengkap mengenai proses perdata, mohon lihat Bab 3. Dengan
catatan bahwa di semua kasus, klien harus menandatangani surat pengikatan
yang memberikan kuasa kepada pengacara untuk mencapai apapun langkah
selanjutnya yang diperlukan setelah kepulangan klien.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
236
Tabel 20: Prosedur penyelesaian hukum dan persiapan yang diperlukan ketika klien berada di Singapura
Tipe prosedur Tugas yang perlu dilakukan ketika di
Singapura
Prosedur adjudikasi Kemenaker Klien harus berada di Singapura sampai
adjudikasi selesai atau sampai penyelesaian
tercapai. Mediasi atau adjudikasi tidak
dapat dilanjutkan setelah klien
meninggalkan Singapura.
Klaim kecelakaan kerja berdasarkan
WICA
Klien pada umumnya harus mendapatkan
sertifikat medis dari rumah sakit Singapura
yang berlisensi.3
Klaim perdata – Kontrak, perbuatan
melawan hukum atau Employment
Act, dll
Tidak ada. Namun, semua bukti yang relevan
yang dipegang oleh klien harus dikumpulkan,
dikopi (satu salinan untuk klien) dan
didokumentasikan. Harap dicatat bahwa
klien hanya dapat mengikuti klaim
Kemenaker atau klaim perdata, tida
keduanya. Lihat Bab 3.
Menegakkan keputusan Tidak ada.
II. Bagi klien yang sedang atau telah meninggalkan Singapura
4.5. Klien yang tidak dapat terus berada di Singapura terbagi dalam beberapa
kategori namun secara bersama-sama, mereka memiliki kebutuhan yang sama
sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Jenis klien berdasarkan kategori ini
termasuk: klien yang harus segera meninggalkan Singapura and mereka yang
menghubungi pengacara Singapura pertama kalinya dari luar negeri.
A. Klien di Singapura yang harus segera kembali
4.6. Klien tertentu dapat dipaksa untuk meninggalkan Singapura sebelum praktisi
dapat menyelesaikan baik adjudikasi Kemenaker, klaim WICA ataupun klaim
perdata, sebagaimana dijelaskan pada Tabel sebelumnya. Membangun dan
mempertahankan kontak sangatlah penting untuk melanjutkan pendampingan,
dan praktisi harus bekerja dengan cepat untuk menginformasikan kepada klien
akan langkah selanjutnya dan untuk mengatur pertemuan rutin. Walaupun klien
bertanggungjawab untuk mempertahankan kontak, pengacara juga harus
memahami akan tantangan yang dihadapi oleh klien dalam melakukan hal
tersebut. Langkah selanjutnya yang lengkap serta penjadwalan pembicaraan di
tahap awal akan menyediakan baik struktur dan momentum bagi keduanya, klien
3 Lihat Bab 2 Bagian III
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
237
dan pengacara.
B. Calon klien yang melakukan kontak pertama dengan Pengacara Singapura
dari luar Singapura
4.7. Dalam kasus tertentu, kontak awal oleh pengacara dapat dilakukan setelah
pekerja telah kembali ke negara asalnya. Walaupun jarang pada saat ini, namun
terdapat organisasi penyedia jasa langsung di Indonesia, Filipina dan negara
lainnya yangtengah bekerjasama dengan pihak lain di negara tuan rumah seperti
Singapura untuk membangun jalur komunikasi sehingga para pekerja yang
memiliki klaim hukum dapat mencoba untuk mencari penyelesaian hukum di
negara tuan rumah bahkan setelah mereka kembali pulang.
4.8. Pada umumnya, pengacara Singapura pertama kali akan dihubungi oleh
organisasi penyedia jasa langsung atau lembaga bantuan hukum di negara asal
klien. Organisasi ini dapat bertindak hanya sebagai agen rujukan atau menjadi
mitra kerja pengacara dalam mengajukan kasus. Praktisi harus sebelumnya
mengkonfirmasi apakah organisasi tersebut memiliki kapasitas dan kemauan
untuk melanjutkan perannya sebagai pengantara dengan klien terkait, apabila
pengacara setuju untuk mengambil kasus tersebut.
4.9. Dalam kasus dimana calon klien melakukan kontak dengan praktisi Singapura
melalui organisasi lokal, praktisi harus terlebih dahulu menilai sejauhmana
organisasi tersebut bersedia untuk melanjutkan perannya sebagai perantara.
Para pengacara harus siap untuk menjelaskan secara lengkap akan apa yang
diharapkan dari organisasi mitra kerja untuk dilakukan dalam jangka waktu
dekat, dan untuk memberikan gambaran akan durasi dan tingkap dukungan yang
diperlukan apabila litigasi perdata berlanjut.
5. CARA MENCARI MITRA KERJA LOKAL DI NEGARA ASAL KLIEN
5.1. Bagian ini menjelaskan beberapa organisasi di negara asal klien yang dapat
didekati oleh pengacara di Singapura untuk dijadikan mitra kerja dan perantara
setelah klien pulang. Daftar berikut tidak dibuat dalam urutan tertentu;
keuntungan dan kekurangan dalam bekerja dengan setiap grup akan didalami.
5.2. Harap dicatat bahwa mitra kerja yang paling sesuai akan bervariasi dari lokasi ke
lokasi. Bahkan mungkin merupakan hal yang baik untuk mendekati beberapa
dari entitas yang disebutkan di bawah ini sebelum dapat mengidentifikasi mitra
kerja yang sesuai. Para pengacara sebaiknya menginvestigasi entitas mana
yang sepertinya paling sesuai, dilihat dari posisi geografis klien sejak kembali
dan menghubungi organisasi tersebut terlebih dahulu.
5.3. Mencari mitra kerja di negara asal klien dapat menjadi salah satu langkah yang
paling menantang dalam pendampingan. Klien yang pindah ke daerah urban
yang besar kemungkinan besar akan memiliki beberapa pilihan, sedangkan klien
yang pindah ke daerah yang lebih terpencil mungkin tidak akan memiliki pilihan
dan harus menerima perantara yang agak jauh di kota yang lebih besar. Dimana
memungkinkan, klien harus didorong untuk mencari mitra kerja yang sesuai
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
238
karena hubungan dengan mitra kerja lokal adalah sama pentingnya dengan
hubungan antara mitra kerja dan praktisi.
5.4. Dalam banyak kasus, kontak pertama dari praktisi di negara asal klien mungkin
berujung pada rujukan, baik di dalam kota yang sama dimana klien tinggal atau
dekat dengan dimana klien tinggal. Organisasi internasional dan nasional di
negara asal klien mungkin dalam membantu dalam mencari mitra kerja yang
cocok di dalam jaringan profesional mereka sendiri.
5.5. Mereka yang mencari mitra kerja di Indonesia, Filipina, atau Thailand dapat
menghubungi Justice Without Borders untuk konsultasi gratis dalam mencari
mitra kerja.
5.6. Bagi praktisi yang tidak memiliki kontak di negara asal klien, beberapa entitas di
bawah ini dapat bertindak sebagai titik kontak pertama yang produktif:
I. Asosiasi advokatnasional
5.7. Asosiasi-asosiasi ini kemungkinan besar memiliki direktoriterbesar sehubungan
dengan mitra kerja hukum di negara bersangkutan. Namun, jasa pro bono di
dalam organisasi advokat mungkin minimum ataupun tidak ada dikarenakan
banyak pengacara yang menolak untuk mengambi kasus tanpa kompensasi.
Kekurangan krusial lainnya dalam mencari pengacara lokal adalah mereka
cukup sulit untuk disaring. Asosiasi advokat umumnya meliputi pengacara yang
mendampingi kepentingan pekerja dan mereka yang melayani pemberi kerja dan
perantara. Tanpa kemampuan untuk secara wajar memeriksa pengacara,
praktisi menghadapi risiko bekerjasama dengan mitra kerja lokal yang dapat
secara aktif bertentangan dengan kepentingan klien. Dengan demikian, adalah
penting untuk memperoleh rujukan dari sumber yang terpercaya untuk setiap
pengacara yang dihubungi melalui asosiasi advokat nasional.
5.8. Direktori pro bono dapat menjadi alternatif yang aman, namun tidak semua
asosiasi advokat menyimpan daftar tersebut. Ketika mereka memiliki daftar
tersebut, praktisi perlu untuk mencari dan menyaring pengacara yang berdomisili
dekat dengan klien dan yang menyatakan ketertarikannya dalam mendampingi
kasus bersangkutan.
II. Fakultas hukum (klinik hukum)
5.9. Banyak Universitas di negara asal yang sekarang memiliki klinik pro bono atau
dengan biaya hukum yang terjangkau untuk melayani komunitas lokal.
5.10. Kelebihan utama dalam bekerja dengan mitra kerja fakultas hukum adalah
mahasiwa hukum pada umumnya memiliki pengertian yang lebih baik akan
bahasa Inggris, atau setidaknya dalam bahasa Inggris secara tertulis, serta
antusias untuk membantu. Ketika kllien kembali ke komunitas lokal, mereka
mungkin lebih mempercayai untuk bekerja dengan fakultas dan mahasiwa yang
berasal dari komunitas setempat juga. Harap dicatat bahwa para mahasiswa
mungkin membutuhkan pelatihan tambahan dan pengawasan, jadi adalah vital
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
239
untuk memastikan bahwa staf klinik yang mengawasi sudah diberitahukan
dengan baik dan mengerti lingkup kerja serta detail dari pekerjaan.
5.11. Kekurangan utama adalah klinik hukum yang fokus pada buruh migran cukup
jarang dan di negara tertentu, bahkan akademisi hukum yang familiar dengan
migrasi tenaga kerja cukup susah untuk ditemui. Dengan demikian, disarankan
untuk menghubungi fakultas hukum terdekat dari klien untuk mempelajari
apakah ada anggota staf yang bersedia untuk membantu (dan membawa
mahasiswa sukarelawan selama proses) atau yang dapat membantu
memberikan rujukan kepada seseorang yang dapat bertindak sebagai perantara.
III. Organisasi masyarakat dan organisasi non-pemerintahan
5.12. Kebanyakan mitra kerja adalah organisasi penyedia layanan langsung. Mereka
dapat dibagi menjadi organisasi bantuan hukum lokal, organisasi dengan
paralegal (misalnya pekerja kasus yang terlatih namun bukan merupakan
pengacara berlisensi), dan organisasi tanpa staf paralegal. Walaupun ketiga
jenis organisasi ini dapat menyediakan bantuan yang cukup, pengacara
Singapuraakan perlu untuk mendiskusikan secara keseluruhan ruang lingkup
kemitraan yang diperlukan untuk memastikan bahwa organisasi tersebut
memiliki kapasitas cukup untuk menjalankan baik dari segi aspek teknis maupun
non teknis dari kasus bersangkutan.
5.13. Selain itu, organisasi-organisasi ini harus diperiksa untuk memastikan bahwa
mereka adalah entitas yang dikenal, terutama di dalam bidang dimana mereka
bekerja. Walaupun dukungan dari organisasi internasional pada umumnya
adalah merupakan indikator yang baik dari kredibilitas, organisasi yang kecil
yang telah diverifikasi oleh organisasi non-pemerintahan (LSM) tingkat nasional
atau entitas lainnya dapat menjadi cukup. Praktisi yang melayani klien yang
berdomisili di daerah terpencil mungkin akan memiliki pilihan terbatas dan
mungkin perlu untuk menyesuaikan harapan mereka. Namun demikian, ketika
sebuah organisasi tidak dikenal atau ada kecurigaan bahwa organisasi
tersebut tidak dapat diandalkan, atau terlihat mencurigakan, pengacara
harus memilih organisasi yang lebih dapat diandalkan walaupun lebih jauh
dari kllien.
IV. Institusi keagamaan yang relevan
5.14. Di banyak negara, institusi keagamaan adalah merupakan organisasi komunitas
utama di daerah bersangkutan. Jika klien merasa nyaman dengan sebuah
institusi agama, praktisi patut mempertimbangkan mencari dan menyaring mitra
kerja tersebut. Suatu keuntungan utama dari mitra kerja seperti ini adalah, klien
dari agama tersebut akan lebih mempercayai dan bekerjasama dengan orang-
orang terkait berbasiskan persaudaraan agama, bahkan jika mereka tidak secara
personal mengenal gereja, masjidmaupun kuil tersebut.
5.15. Beberapa pertimbangan timbul dalam mendekati organisasi keagamaan sebagai
mitra kerja. Pertama dan yang terutama, agama mayoritas belum tentu monolitik.
Budaya, etnik, divisi sektor antara berbagai agama utama akan membutuhkan
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
240
pengacara untuk menentukan Bagian khusus dari agama tersebut dimana
kliennya bergabung. Ketika ragu, berkonsultasilah dengan penyedia jasa lokal
atau ahli lainnya. Para ahli ini dapat saja merekomendasikan untuk tidak
bekerjasama dengan institusi keagamaan di negara asal klien terutama
sehubungan dengan pertimbangan apakah institusi tersebut cukup terstruktur
untuk menyediakan jenis jasa perantaraan yang diperlukan.
5.16. Kedua, dimana organisasi di negara asal klien tersebut terlihat sebagai
kesempatan terbaik untuk mencari mitra kerja yang sesuai, pengacara dapat
menanyakan lebih lanjut dengan organisasi agama berbasis di Singapura yang
melayani etnik dan sekte yang sama dengan dimana klien berasal. Sekali lagi,
kehati-hatian harus dijalankan untuk memastikan bahwa pengacara mendekata
organisasi yang sesuai. Sebuah organisasi India Muslim kemungkinan besar
tidak memiliki hubungan yang bermanfaat dengan organisasi Muslim di Jawa
Tengah, misalnya.
5.17. Akhirnya bahkan setelah perkenalan telah dilakukan, kehati-hatian masih harus
terus dijalankan untuk memastikan bahwa mitra kerja lokal ini sepenuhnya
mendukung buruh migran dan tidak memiliki benturan kepentingan mealui ikatan
dengan agen ketenagakerjaan atau perantara di daerah bersangkutan. Dalam
level praktis, tidak semua mitra kerja akan memiliki pekerja kasus sebagai staf,
sengan demikian penilaian kapasitas juga merupakan langkah yang krusial.
V. Organisasi internasional
5.18. Organisasi pemerintahan dan non-pemerintahan dengan kantor lokal di negara
asal klien pada umumnya memiliki jaringan yang memadai dengan mitra kerja
lokal. Pengenalan dari organisasi-organisasi ini akan menghemat waktu dalam
proses verifikasi, dan dengan demikian entitas lokal tersebut kemungkinan besar
dikenal dan lebih terpercaya. Akan tetapi, praktisi juga didorong untuk melakukan
verifikasi untuk melihat kecukupan kapasitas yang dimiliki dari organisasi yang
bersangkutan..
A. Organisasi pemerintahan internasional
5.19. Tiga organisasi pemerintahan yang paling terlibat dalam isu buruh migran dan
yang berkemungkinan besar memiliki akses kepada calon mitra kerja lokal:
International Labour Organisation (ILO), International Organisation for Migration
(IOM) dan beberapa cabang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Harap
dicatat bahwa kehadiran organisasi-organisasi ini di setiap negara berbeda
secara signifikan dan ukuran dari kantor lokal serta misi khusus terhadap negara
tersebut akan memiliki efek yang besar terkait dengan bantuan yang dapat
mereka sediakan dalam menemukan mitra kerja lokal. Walaupun praktisi
sepatutnya tidak berharap akan kemitraan langsung dengan organisasi-
organisasi ini, adalah pantas untuk ditanyakan apakah mereka memiliki pekerja
kasus untuk mendampingi, terutama dimama klien menemukan kantor yang
dekat dengan mereka. Ketiga organisasi diatas memiliki tujuan misi yang
mencakup mendukung akses yang lebih besar terhadap keadilan bagi buruh
migran. Tujuan klien akan kompensasi yang adil akan searah dengan misi
mereka dan organisasi-organisasi ini mungkin akan bersedia untuk membantu
dalam menemukan mitra kerja dimana dimungkinkan.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
241
i. ILO
5.20. ILO mungkin merupakan yang paling terlibat secara langsung dalam isu migrasi
tenaga kerja secara regional. Akses terhadap keadilan seringkali merupakan
prioritas misi, dan organisasi telah bermitra dengan pemerintah maupun serikat
kerja lokal untuk mendirikan pusat buruh migran lokal. Praktisi harus memeriksa
program yang dibangun oleh ILO di negara asal klien untuk menentukan apakah
program tersebut berada di dekat lokasi klien. Dimana tidak, maka konsultasi
melalui telepon dengan staf ILO dapat membantu mengidentifikasi mitra kerja
yang dapat diandalkan dan dekat dengan klien.
ii. IOM
5.21. IOM seringkali mendampingi korban perdagangan manusia dan eksploitasi
dalam memastikan migrasi yang aman dan reintegrasi ke dalam komunitasnya.
Mereka yang menggunakan jalur resmi IOM kemungkinan besar akan menerima
bantuan langsung dari IOM. Kantor ini mungkin memiliki staf atau sukarelawan
yang terlatih untuk bermitra dengan praktisi. Namun, pengacara harus siap untuk
menanyakan staf IOM mengenai rujukan kepada mitra kerja lokal, jika kapasitas
mereka terbatas.
iii. PBB – UNDP dan UN Women
5.22. Organ PBB yang paling relevan adalah UNDP dan dimana klien adalah wanita,
UN Women. Sampai pada pencetakan panduan ini, UNDP memiliki kepentingan
dalam mengakses keadilan bagi buruh migran, terutama (walaupun tidak secara
eksklusif) untuk wanita, sedangkan UN Women berfungsi untuk memajukan hak-
hak wanita, termasuk buruh migran. Harap dicatat bahwa setiap agensi memiliki
keberadaan yang terpisah dan bervariasi dalam ukuran, di negara asal klien,
dengan prioritas yang berbeda di setiap negara. Karena organisasi-organisasi ini
seringkal memiliki kontrak dengan Universitas setempat dan LSM untuk
menjalankan misi mereka, UNDP dan UN Women adalah titik kontak utama yang
baik untuk rujukan kepada agensi yang dapat diandalkan.
B. Firma hukum internasional dengan keberadaan di Singapura dan negara
asal
5.23. Firma hukum internasional mungkin bersedia mendampingi secara pro bono jika
mereka memiliki kantor di negara asal klien. Untuk firma hukum, kesempatan
untuk mendampingi klien dapat membantu firma hukum tersebut untu memenuhi
kewajiban pro bono yang mana telah mereka sepakati, atau membantu
menciptakan kisah yang positif akan keterlibatan dengan komunitas di negara
asal klien. Harap dicatat bahwa banyak firma hukum internasional yang tidak
memiliki program pro bono secara keseluruhan; mereka akan mengatur kegiatan
pro bono pada level nasional, terutama di negara-negara yang memerlukan firma
hukum tersebut untuk bermitra dengan entitas lokal. Dengan demikian, firma
hukum yang mendukung kasus buruh migran di Singapura mungkin tidak
menyediakan bantuan yang sama di luar negeri.
5.24. Seperti sebelumnya disarankan, penyaringan yangsesuai akan sebuah firma
hukum adalah penting, terutama dimana kantor di negara asal merupakan kantor
yang terpisah yang mengadakan kemitraan dengan firma hukum internasional.
Perantara tenaga kerja lokal yang menyediakan pemberi kerja di Singapura
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
242
menyewa pengacara mereka sendiri, dan adalah kritis untuk mengkonfirmasi
bahwa firma hukum yang terlibat di negara asal tidak memiliki benturan
kepentingan.
5.25. Apabila firma tersebut terbukti sesuai, patut diingat bahwa firma hukum
merupakan mitra kerja yang kuat yang dapat ditemukan oleh praktisi.
Pengetahuan lokal, pengalaman dengan llitigasi antar yurisdiksi dan kapasitas
yang memadai, termasuk potensi untuk mendampingi melalui pendampingan
jarak jauh melalui peralatan telekomunikasi dari firma bersangkutan, adalah
beberapa keuntungan unik yang dapat disediakan oleh firma hukum.
C. Kedutaan Singapura di negara asal klien
5.26. Kedutaan Singapura mungkin memiliki daftar firma hukum lokal dan pengacara
yang mereka rekomendasikan kepada warga negara yang menghadapi masalah
hukum ketika berada di luar negeri. Namun, kecil kemungkinan bahwa entitas ini
menyediakan pendampingan secara pro bono.
6. MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN ORGANISASI PENGHUBUNG
6.1. Organisasi yang berpotensi untuk menjadi mitra praktisi lokal biasanya
mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Memberikan mereka pemahaman
yang jelas tentang komitmen yang dapat dilakukan, dapat membuat mereka
menyatakan komitmen atau membantu mencarikan mitra kerja lokal dengan
kemampuan yang memadai untuk membantu. Berikut adalah penjelasan
mengenai proses penyaringan, diikuti dengan berbagai kegiatan umum yang
perlu dilaksanakan oleh mitra organisasi.
I. Menyaring mitra kerja potensial
6.2. Sebelum membangun hubungan, praktisi harus menyaring calon mitra kerja
untuk memastikan bukan hanya bahwa mereka dapat dipercaya, melainkan juga
memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan klien dan praktisi. Beberapa hal
di bawah ini berlaku bagi baik organisasi maupun pengacara individual pro bono
yang mungkin bermitra dengan praktisi.
A. Bagaimana reputasi mitra kerja?
6.3. Beberapa riset latar belakang dapat mencukupi untuk menentukan apakah calon
mitra kerja bersangkutan, dapat dipercaya. Ini merupakan pertimbangan utama
di beberapa negara asal, dimana status LSM organisasi dapat digunakan untuk
menghindari tanggung jawab pajak sehubungan dengan kegiatan komersil.
Kemungkinan terburuk, organisasi tersebut mungkin memiliki hubungan dengan
agen ketenagakerjaan yang tidak bertanggungjawab atau bahkan perdagangan
manusia. Dimana informasi akan mitra kerja potensial tidak ada, praktisi harus
menghubungi entitas yang terpercaya di negara asal klien untuk mengkonfirmasi
bahwa mitra kerja potensial tersebut dapat dipercaya. International Labour Office
(ILO), International Organisation for Migration (IOM) atau PBB, khususnya UN
Development Program (UNDP) atau UN Women, adalah tempat yang sesuai
untuk mulai, karena staf mereka seringkali berpengetahuan akan organisasi
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
243
lokal.
B. Apakah organisasi mitra kerja memiliki kemampuan bahasa yang
memadai?
6.4. Selain berbicara bahasa yang dimengerti oleh pengacara, praktisi harus
mengkonfirmasi bahwa organisasi memiliki staf yang berbicara Bahasa klien
atau dialeknya. Hal ini khususnya penting ketika bahasa ibu klien adalah bukan
bahasa nasional di negara asal.
C. Apakah terdapat kapasitas yang memadai untuk mendampingi pengacara?
6.5. Organisasi-organisasi dan pengacara pro bono seringkali telah berkapasitas.
Walaupun mereka bersedia membantu, penilaian yang jujur akan apakah
mereka memiliki waktu dan sumber daya untuk mendampingi merupakan hal
yang penting, terutama dimana tenggat waktu terlibat. Praktisi harus berhati-hati
dalam menentukan komitmen waktu, potensi jangka waktu dari kasus dan isu
logistik yang perlu dihadapi agar kedua belah pihak memilii pengertian akan
orang, waktu dan sumber daya finansial yang diperluan sehubungan dengan
kasus. Dimana mitra kerja potensial tidak memiliki kapasitas tersebut, entitas ini
dapat tetap membantu dalam merekomendasikan mitra kerja yang sesuai.
II. Membuat perjanjian resmi dengan mitra kerja
6.6. Organisasi layanan langsung dan organisasi bantuan lainnya pada umumnya
terikat dengan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien sebagaimana
diwajibkan untuk pengacara Singapura. Dengan demikian, praktisi perlu
menyusun suatu nota kesepahaman yang mengesahkan kerjasama, pemBagian
informasi rahasia klien, dan prosedur untuk mentransfer uang yang diambil di
Singapura. Klien harus mengesahkan perjanjian ini setelah mendapatkan
informasi sepenuhnya tentang perjanjian tersebut. Perjanjian harus ditulis dalam
bahasa yang dimengerti oleh para pihak, meskipun hal ini kemungkinan sulit
untuk dilakukan mengingat adanya keterbatasan sumberdaya.
III. Menjaga hubungan dengan klien
6.7. Tugas mitra kerja di negara asal yang paling penting adalah memastikan bahwa
klien tetap dapat dihubungi oleh pengacara mereka di Singapura. Meskipun mitra
kerja tidak dapat menjamin agar klien tetap memperjuangkan kasusnya
seandainya klien memutuskan tidak ingin lagi meneruskan kasusnya, hubungan
dengan klien sangat penting untuk memastikan agar klien tetap percaya dan
terlibat dalam proses.
6.8. Menjaga hubungan seringkali hanya memerlukan percakapan melalui telepon
secara berkala, atau jika memungkinkan, pertemuan secara langsung antara
mitra lokal dan klien. Mitra kerja yang berada di daerah asal klien dapat dengan
lebih mudah melakukan hal ini, sementara klien yang tinggal di wilayah yang
lebih terpencil kemungkinan bergantung pada organisasi yang berpusat di kota-
kota yang lebih besar. Mengatur jadwal rutin untuk memantau keadaan,
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
244
meskipun tidak ada informasi terbaru, sangat penting tidak hanya untuk tetap
menjalin komunikasi dengan klien, tetapi juga untuk membangun hubungan
antara klien dan mitra kerja.
6.9. Terakhir, klien yang merupakan buruh migran, kemungkinan juga mempunyai
mobilitas tinggi. Baik praktisi maupun mitra organisasi harus siap jika klien
berpindah tempat beberapa kali selama kasusnya berjalan, termasuk
kemungkinan pindah ke negara lain. Klien seperti ini sangat sulit untuk tetap
menjalin komunikasi. Bagi klien yang berpindah-pindah di dalam negara mereka
sendiri, praktisi dan mitra kerja harus siap untuk mencari organisasi di lokasi klien
yang baru yang dapat berfungsi sebagai penghubung baru.
IV. Mengumpulkan bukti dan mengambil deposisi (deposition)
6.10. Meskipun kebanyakan bukti untuk tuntutan hukum yang dibahas dalam panduan
ini berada di Singapura, klien mungkin saja membawa pulang buku rekening
bank mereka, catatan pembayaran atau informasi lainnya yang penting untuk
penanganan kasus. Apabila bukti yang terkait dengan perantara atau pemberi
kerja yang terjadi sebelum keberangkatan klien diperlukan untuk penanganan
kasus, mitra organisasi kemungkinan perlu mengumpulkan informasi tersebut,
baik itu dari klien, agen pengerah tenaga kerja atau lembaga pemerintah
setempat. Praktisi harus menentukan informasi apa saja yang diperlukan dan
memastikan bahwa mitra organisasi memahami dengan jelas tentang apa yang
diperlukan, bagaimana mengumpulkan informasi tersebut dan batas waktu yang
ditentukan oleh pengadilan.
A. Menjelaskan perbedaan penting dalam metode pengumpulan bukti
6.11. Sistem hukum seringkali mempunyai syarat berbeda tentang bagaimana bukti
dicatat dan disajikan. Terdapat berbagai perbedaan, mulai dari persyaratan yang
terkait dengan tingkat rincian yang diperlukan untuk membuktikan keaslian
(authenticity), hingga format dokumen. Praktisi Singapura harus memberikan
instruksi yang jelas kepada mitra kerja, dan jika memungkinkan, memberikan
formulir yang sudah dalam format baku untuk memastikan bahwa bukti yang
dikumpulkan dapat diterima di pengadilan Singapura. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka banyak waktu dan tenaga akan disia-siakan, sehingga menyebabkan rasa
frustrasi bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, praktisi harus siap
menghadapi penundaan dan kesalahan dalam pengumpulan bukti dengan mitra
kerja yang baru. Mitra organisasi mungkin tidak sepenuhnya memahami tentang
bentuk rincian yang diperlukan untuk formulir Singapura, dan hanya
mengandalkan pada cara yang berlaku di negara mereka sendiri ketika
menjalankan tugasnya.
B. Mengurus kehadiran dari jarak jauh di pengadilan Singapura
6.12. Klien yang mengajukan tuntutan hukum kemungkinan perlu hadir di pengadilan.
Dalam beberapa kasus, klien dapat melakukannya dari jarak jauh melalui
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
245
konferensi video.4
6.13. Pada saat panduan ini dicetak, persyaratan minimum untuk peralatan konferensi
atau lokasi yang dapat diterima masih belum ada untuk kasus yang melibatkan
buruh migran. Pertemuan melalui Skype dengan koneksi internet yang kuat
mungkin dapat diterima. Namun demikian, karena pengadilan harus memastikan
bahwa lokasinya “aman”,5 pengadilan dapat membatasi bentuk sarana
telekomunikasi yang digunakan.
6.14. Oleh karena itu, pengacara dan mitra kerjanya harus siap untuk mencarikan
fasilitas yang memenuhi persyaratan pengadilan. Penyusun panduan ini
berharap lokasi berikut ini kemungkinan lebih dapat diterima:
Universitas yang dilengkapi dengan peralatan telekomunikasi yang profesional
Fasilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa
Fasilitas yang dikelola pemerintah
Fasilitas kedutaan besar
Kantor lembaga hukum internasional
Studio televisi
6.15. Perlu dicatat bahwa penggunaan berbagai fasilitas ini memerlukan biaya. Para
praktisi dan mitra kerjanya perlu melakukan negosiasi dengan pemilik fasilitas
tersebut untuk memperoleh pengurangan biaya atau pemakaian tanpa biaya.
Bagi klien di Indonesia, Filipina atau Thailand, silakan menghubungi Justice
Without Borders jika memerlukan bantuan untuk mencari lokasi fasilitas seperti
di atas.
7. PRAKTISI DARI NEGARA ASAL YANG MENCARI BANTUAN HUKUM
DI SINGAPURA
7.1. Bagi entitas di negara asal klien yang meyakini bahwa klien mereka mempunyai
klaim yang layak diajukan di Singapura, membangun hubungan kerja dengan
LSM Singapura, entitas keagamaan atau kedutaan besar negara asal klien di
Singapura dapat menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan bantuan hukum.
Bagian ini mula-mula mengemukakan berbagai pertanyaan yang membantu
menilai kelayakan tuntutan klien sebelum memperkenalkan berbagai opsi untuk
memperoleh bantuan hukum.
7.2. Untuk menentukan apakah klien anda mempunyai tuntutan yang layak diajukan
di Singapura, silakan lihat Bab 2 terlebih dahulu tentang berbagai mekanisme
penyelesaian. Jika anda meyakini bahwa klien anda mempunyai tuntutan yang
layak untuk diajukan, silakan menghubungi Justice Without Borders untuk
melakukan konsultasi tanpa biaya.
4 Lihat Bab 3, Bagian 4.II.B mengenai informasi tentang persyaratan hukum untuk kehadiran dari jarak jauh.
5 Ibid.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
246
I. Skema bantuan hukum di Singapura
7.3. Saat ini, skema bantuan hukum di Singapura tidak menawarkan bantuan hukum
kepada mereka yang telah meninggalkan wilayah yurisdiksi Singapura.
Komunitas Hukum Singapura (Law Society of Singapore) mengelola kantor pro
bono yang kemungkinan dapat memberikan bantuan untuk kasus spesifik
melalui Skema Rujukan Pro Bono Ad Hoc, tetapi pencarian Komunitas Hukum
Singapura terbatas pada pengacara yang bersedia untuk membantu kasus
secara pro bono.6
II. LSM yang relevan
7.4. LSM Singapura lebih memahami hukum yang berlaku dan mungkin dapat
membantu dalam menentukan lebih lanjut apakah kasus yang akan ditangani
layak untuk diajukan. Namun demikian, tidak ada LSM yang relevan di Singapura
yang memiliki staf hukum sendiri. Dengan demikian, organisasi seperti ini
mungkin dapat membantu untuk mencari pengacara pro bono yang bersedia
menangani perkara tersebut:
H.O.M.E. [Indonesia, Filipina, Cina dan lainnya]–Organisasi ini menangani pekerja rumah tangga maupun buruh di berbagai sektor lainnya. Organisasi ini merupakan salah satu penyedia layanan langsung yang terbesar di Singapura.
Transient Workers Count Too (TWC2) [Bangladesh, India, Indonesia, Filipina dan lainnya] – Memfokuskan diri pada upaya advokasi dan sebagian layanan langsung, organisasi ini paling berpengalaman dalam membantu klien dengan klaim yang dilakukan melalui sistem penyelesaian sengketa dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
HealthServe [Cina] – Organisasi ini bekerja terutama dengan menangani klien di industri konstruksi. Organisasi ini mempunyai staf paralegal untuk membantu mereka yang mempunyai keperluan bantuan hukum.
III. Organisasi keagamaan
7.5. Singapura adalah negara multi-etnis yang memiliki perwakilan dari hampir
semua agama utama, termasuk Hindu, Islam, Kristen, dan agama lainnya. Para
pembaca sebaiknya melakukan konsultasi dengan organisasi terkait di negara
mereka sendiri tentang apakah lembaga tersebut memiliki hubungan dengan
organisasi afiliasi di Singapura.
6 Lihat Law Society of Singapore Pro Bono Services Office, http://probono.lawsociety.org.sg atau hubungi kantor di +65
6534-1564, probonoservices@lawsoc.org.sg.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
247
IV. Kedutaan besar di Singapura
7.6. Hampir semua negara di wilayah tersebut memiliki kedutaan besar di Singapura.
Beberapa dianta memiliki staf atase tenaga kerja, yang ditugaskan membantu
buruh migran dari negara mereka dalam menyelesaikan permasalahan hukum
dan permasalahan lainnya yang dihadapi di Singapura. Perlu dicatat bahwa
kapasitas untuk memberikan bantuan kepada pekerja akan bervariasi antar
kedutaan besar dan harus diingat bahwa staf kedutaan tidak berwenang
untuk memberikan bantuan hukum di Singapura. Namun, kedutaan besar
biasanya memiliki daftar pengacara setempat yang kemungkinan dapat
membantu klien. Para pengacara ini biasanya tidak bekerja secara pro bono.
Akan tetapi, kemungkinan mereka mau melakukannya dalam kondisi tertentu
atau jika tidak dapat memberikan rujukan ke pengacara pro bono. Perlu dicatat
bahwa sebagaimana kasus yang terjadi di negara-negara lainnya, pengacara pro
bono di Singapura seringkali bekerja berdasarkan kapasitas yang ada dan
kemungkinan besar akan memprioritaskan buruh migran yang berada di
Singapura.
8. MELAKUKAN PENILAIAN ATAS TUNTUTAN KLIEN
8.1. Pekerja sosial yang menangani kasus individu (caseworker) di negara asal klien
harus mempertimbangkan sejumlah pertanyaan berikut ini dalam
melakukanpenilaian terhadap potensi tuntutan klien. Yang paling penting adalah
pertanyaan sehubungan dengan jumlah uang yang akan diklaim, jumlah bukti
yang tersedia, dan komitmen klien untuk tetap menjalin hubungan dengan
pengacara mereka dan mengupayakan gugatan.
I. Seberapa banyak yang dapat diklaim oleh klien?
8.2. Klien harus mengajukan klaim dalam jumlah uang yang cukup besar untuk
mengatasi biaya pendampingan hukum dari jarak jauh. Bahkan meskipun
pengacara Singapura memberikan layanan tanpa biaya, klien seringkali harus
membayar biaya pengadilan. Biaya-biaya ini dapat diperoleh kembali jika klien
memenangkan perkaranya, tetapi biaya yang harus dibayarkan di muka cukup
mahal. Klien yang memiliki bukti putusan pengadilan Singapura atau
penyelesaian merupakan kandidat yang baik untuk memperoleh bantuan pro-
bono karena pengacara Singapura hanya perlu mengupayakan pelaksanaan
putusan. Untuk seluruh kasus lainnya, tuntutan minimal sebesar S$10.000
diperlukan sebagai justifikasi atas waktu dan biaya yang dilibatkan.
II. Menghitung biaya
8.3. Mereka yang mengajukan klaim gaji yang tidak dibayar, penipuan kontrak, atau
pembayaran ilegal harus menghitung apa yang mereka yakini seharusnya
menjadi hak mereka, berdasarkan bukti tertulis atau lisan. Penyedia layanan
harus melakukan pengecekan jumlah ini dibandingkan dengan bukti yang dimiliki
klien. Jika klien mengklaim bahwa pemberi kerja menjanjikan secara lisan
sejumlah gaji tertentu atau persyaratan lainnya, bukti pembayaran atau
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
248
setidaknya jumlah jam kerja yang telah dilalui akan sangat penting dalam
memperkuat klaim tersebut.
8.4. Bagi mereka yang mengalami cedera dalam kecelakaan kerja, silakan mengacu
ke Bab 2 untuk kemungkinan kompensasi berdasarkan skema kompensasi
pekerja Singapura (WICA) dan persyaratan untuk mengajukan klaim.7 Mereka
yang tidak dapat mengajukan klaim berdasarkan skema ini masih dapat mencari
ganti rugi melalui litigasi perdata. Namun, biaya yang dibutuhkan bisa sangat
bervariasi. Penyedia layanan seharusnya menggunakan jumlah yang ditetapkan
dalam WICA sebagai dasar. Tagihan medis yang dapat mendukung penyebab
kerugian akan sangat membantu. Jika kurang yakin, direkomendasikan untuk
melakukan konsultasi dengan salah satu entitas Singapura yang dijelaskan di
atas.
8.5. Bagi mereka yang mengajukan klaim atas kerugian lainnya, termasuk
penganiayaan, pemukulan, atau kekerasan seksual, hendaknya juga
menghubungi salah satu entitas Singapura di bawah untuk memperoleh
bantuan.
III. Melakukan penilaian atas bukti yang tersedia dan hambatan prosedural untuk
mengajukan klaim
8.6. Silakan lihat Bab 2 dan 3 untuk informasi tentang pembuktian yang diperlukan
bagi tiap-tiap klaim. Pembuktian dapat berupa dokumen resmi, rekaman yang
disimpan secara pribadi oleh klien, rekaman telepon atau email, atau kesaksian
dari klien, rekan kerja, dan/atau saksi lainnya. Klaim yang secara keseluruhan
didasarkan pada pembuktian lisan kemungkinan akan sangat sulit untuk diajukan
jika klien tidak berada di Singapura.
8.7. Batasan waktu seringkali menjadi halangan terbesar yang akan dihadapi mereka
yang telah kembali ke negara asalnya dalam mengajukan klaim. Silakan
memperhatikan batasan waktu pada Bab 3. Selain itu, kejadian yang telah lama
terjadi di masa lalu akan semakin sulit untuk diajukan. Rekaman kemungkinan
besar telah hilang atau mengalami kerusakan, para saksi kemungkinan telah
pindah atau menghilang, dan ingatan klien sendiri kemungkinan bisa salah.
Secara umum, semakin baru kejadian yang dialami klien, semakin mudah untuk
mengajukan tuntutan.
IV. Membayar biaya jaminan keamanan bagi pengadilan
8.8. Pihak tergugat yang berkewarganegaraan Singapura dapat mengajukan klaim
dan meminta pengadilan agar memerintahkan penggugat di luar negeri untuk
membayar deposit jaminan keamanan bagi pengadilan dan biaya hukum. Nilai
ini dapat berkisar di atas S$10.000. Secara teoritis masih memungkinkan untuk
mengajukan alasan ketidakwajaran dan meyakinkan pengadilan untuk
mengabaikan deposit jaminan keamanan, meskipun standar atau ketentuan
7 Lihat Bab 2 Bagian 5.III.
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
249
yang dapat diterapkan pengadilan untuk mengevaluasi permohonan atas
pengabaian tuntutan tersebutmasih belum jelas pada saat publikasi (Oktober
2014).
V. Melakukan penilaian atas kepentingan klien dalam pengajuan klaim
8.9. Klien seringkali tidak menyadari waktu dan upaya yang terlibat dalam pengajuan
tuntutan, terutama ketika tuntutan tersebut dilakukan dari jarak jauh. Para praktisi
hendaknya menginformasikan klien bahwa komunikasi secara reguler akan
sangat diperlukan, dan bahwa klaim dapat memakan waktu enam bulan hingga
dua atau tiga tahun sebelum kasusnya diputuskan. Namun, dengan membagi
proses ke dalam langkah yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola, para praktisi
dapat memberikan informasi tentang kemajuan perkara meskipun ada
kemungkinan bahwa klien kemungkinan tidak dapat memperolehnya pada
akhirnya.
8.10. Akhirnya, klien harus menyadari seluruh kemungkinan, mulai dari memperoleh
penyelesaian secara relatif cepat hingga kasus yang berlanjut hingga
persidangan maupun banding. Pada saat yang sama, para praktisi hendaknya
menginformasikan klien bahwa mereka tidak perlu langsung membuat komitmen
atas waktu yang sedemikian lama terhadap kasus tersebut. Jika penilaian awal
menunjukkan bahwa klien memiliki klaim yang layak, para praktisi hendaknya
mulai menawarkan untuk melakukan investigasi atas nama klien. Tindakan
yang menindaklanjuti klaim yang potensial akan sangat membantu klien,
membuat mereka merasa bahwa ada pihak lain yang bekerja atas nama
mereka. Hal ini dapat berkontribusi terhadap pemulihan dari eksploitasi,
tanpa memandang apakah pada akhirnya mereka dapat memperoleh
kembali. Dalam beberapa keadaan, negosiasi awal dengan pihak pemberi kerja
dapat membawa pada penyelesaian yang memuaskan klien. Karena pemberi
kerja yang licik biasanya mengandalkan pada kepergian klien untuk
menghentikan adanya komplain hukum, keberadaan pengacara yang mewakili
klien di luar negeri dapat meyakinkan pihak pemberi kerja untuk menyelesaikan
kasusnya untuk menghindari tuntutan hukum selanjutnya yang memusingkan.
VI. Kesimpulan
8.11. Kemitraan yang efektif antara para praktisi di Indonesia dan Singapura dapat
membuat upaya untuk memperoleh kompensasi atas gaji yang tidak dibayar atau
cedera yang diderita menjadi suatu hal yang memungkinkan. Meskipun
hambatan hukum dan hambatan prosedural memang sangat nyata, masalah
non-hukum tentang menjaga hubungan dengan klien merupakan permasalahan
yang paling penting untuk ditangani dalam membuat litigasi antar negara menjadi
kenyataan bagi buruh migran. Organisasi layanan masyarakat dengan klien yang
kembali dari Singapura dapat menghubungi Justice Without Borders untuk
melakukan konsultasi secara cuma-cuma. JWB akan melakukan pembaruan
panduan ini sesuai dengan perkembangan pada ruang lingkup litigasi probono
lintas batas, agar dapat menyediakan pengetahuan tambahan tentang pencarian
dan penggalangan kerjasama dengan mitra di luar negeri.
top related